makalah fitomedisin
DESCRIPTION
fitomedisinTRANSCRIPT
MAKALAH FITOMEDISINAL
PENGEMBANGAN OBAT TRADISIONAL MENJADI SEDIAAN FITOFARMAKA
”Penggunaan Seledri (Apium graveolens L.) Sebagai Terapi Antihipertensi”
Disusun oleh :
Nama : YENI ADHANINGRUM
NIM : 1041011197
PROGRAM STUDI S1 FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI "YAYASAN PHARMASI"
SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia dengan iklim tropis memiliki kekayaan flora yang sangat melimpah.
Salah satu pemanfaatan yang sering ada di masyarakat adalah dalam bidang kesehatan.
Indonesia memiliki banyak sekali jenis tanaman obat yang tersebar di seluruh wilayahnya.
Sejak lama hingga sekarang telah banyak dikembangkan obat dari bahan alam untuk berbagai
macam penyakit. Seiring dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi maka
pengembangan obat-obatan tersebut juga semakin baik. Sampai saat ini obat-obat dari bahan
alam dibagi menjadi 3 level yaitu; jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka.
Fitofarmaka merupakan level tertinggi, dimana telah dipersyaratkan adanya uji
klinik terhadap obat bahan alam tersebut. Adanya uji tersebut, dilakukan untuk memastikan
khasiat serta keamanannya secara scientific. Uji klinik tersebut membutuhkan biaya yang
sangat besar dan tidak mudah dilakukan. Sampai saat ini belum banyak tanaman yang telah
dilakukan uji klinik. Oleh karena itu, masih perlu adanya pengembangan herbal untuk dapat
dijadikan sediaan fitofarmaka.
Hipertensi adalah salah satu penyakit yang banyak diderita baik di Indonesia
maupun di luar negeri. Data WHO tahun 2000 menunjukkan di seluruh dunia, sekitar 972 juta
orang atau 26,4% penghuni bumi mengidap hipertensi dengan perbandingan 26,6% pria dan
26,1% wanita. Angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% pada tahun 2025.
Dari 972 juta pengidap hipertensi, 333 juta berada di negara maju dan 639 sisanya berada di
negara sedang berkembang, temasuk Indonesia. Sedangkan, menurut Kartari (1988)
melaporkan hasil survei populasi hipertensi pada berbagai daerah di Indonesia, dan hasilnya
menunjukkan 68,4% tergolong hipertensi ringan (diastolik 95-104 mmHg) dan 28,1%
hipertensi sedang (diastolik 105-129 mmHg) dan hanya 3,5% dengan hipertensi berat
(diastolik sama atau lebih besar dengan 130 mmHg). Mulai tahun 1995, saat batasan
hipertensi berubah, mulai dilakukan penelitian berskala nasional, antara lain; Susenas,
Surkesnas, dan SKRT. Dimana, Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) 2001, menunjukkan
proporsi hipertensi pada pria 27% dan wanita 29%. Sedangkan, hasil Survesi Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) 2004, menunjukkan proporsi hipertensi pada pria 12,2% dan wanita
15,5% (Anonim, 2007).
Salah satu pengobatan hipertensi adalah dengan terapi herbal. Pada masa saat ini,
terapi herbal merupakan pengobatan yang banyak diminati oleh masyarakat karena efek
sampingnya yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pengobatan kimia. Oleh karena itu,
masyarakat lebih memilih pengobatan herbal untuk menangani berbagai penyakit, salah
satunya adalah hipertensi.
Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai salah satu tanaman yang banyak
tumbuh di Indonesia yaitu seledri, dimana seledri dapat berkhasiat untuk menurunkan
tekanan darah tinggi (antihipertensi). Seledri diketahui mengandung senyawa aktif apigenin
yang dapat menurunkan tekanan darah tinggi.
BAB II
ISI
I. DEFINISI TANAMAN
Seledri (Apium graveolens L.)
Seledri (Apium graveolens L) adalah sayuran daun dan tumbuhan obat yang
biasa digunakan sebagai bumbu masakan. Beberapa Negara termasuk Jepang, Cina,
dan Korea mempergunakan bagian tangkai daun sebagai makanan. Di Indonesia
tumbuhan ini, diperkenalkan oleh penjajah Belanda dan digunakan daunnya untuk
menyedapkan sup atau sebagai lalapan. Penggunaan seledri paling lengkap adalah di
Eropa: daun, tangkai daun, buah, dan umbinya semua dimanfaatkan (Volkov, 2010).
Menurut Volkov (2010), dalam taksonomi tumbuhan, seledri diklasifikasikan
sebagai berikut;
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Apiales
Famili : Apiaceae
Genus : Apium
Spesies : Apium graveolens
Nama binominal : Apium graveolens L.
Gambar. Tanaman Seledri
Nama Simplisia : Apii graveolentis Herba (herba seledri), Apii graveolentis
Radix (akar seledri), Apii graveolentis folium (daun seledri), Apii graveolentis
fructus (buah seledri) (Dalimartha, 2000).
Morfologi :
“Tanaman”
Seledri berasal dari subtropik Eropa dan Asia, dan merupakan tanaman
dataran tinggi yang ditemukan pada ketinggian diatas 900 m dpl. Di daerah ini
seledri yang tumbuh memiliki tangkai daun yang menebal. Untuk
pertumbuhannya, seledri memerlukan cuaca yang lembab. Seledri juga bisa
ditanam didataran rendah. Hanya saja ukuran batangnya menjadi lebih kecil dan
digunakan sebagai penyedap masakan. Seledri terdiri dari tiga jenis yaitu seledri
daun, seledri potongan dan seledri berumbi (Dalimartha, 2005).
Tanaman seledri tumbuh tegak, tinggi sekitar 50 cm dengan bau
aromatic yang khas. Batang persegi, beralur, beruas, tidak berambut, bercabang
banyak, berwarna hijau pucat. Daun majemuk menyirip ganjil dengan anak daun
3-7 helai. Anak daun bertangkai yang panjangnya 1-2,7 cm, helaian daun tipis
dan rapuh, pangkal dan ujung runcing, tepi berimpit, panjang 2-7,5 cm, lebar 2-5
cm, pertulangan menyirip, berwarna hijau keputih-putihan. Bunga majemuk
berbentuk payung, 8-12 buah, kecil-kecil, berwarna putih, mekar secara
bertahap. Buahnya buah kotak, berbentuk kerucut,panjang 1-1,5 mm, berwarna
hijau kekuningan (Dalimartha, 2005).
“Simplisia”
Daun berwarna hijau, hijau kecoklatan sampai hijau kekuningan. Bau
aromatik, khas, rasa agak asin, agak pedas dan menimbulkan rasa tebal di lidah.
Daun majemuk, menyirip, tipis, rapuh, jumlah anak daun 3-7 helai; batang
dengan rusuk dan alur membujur, sisa pangkal tangkai daun terdapat di bagian
ujung. Warna daun hijau mengkilat, bentuk belah ketupat miring, panjang 2-7,5
cm dan lebar 2-5 cm, pangkal dan ujung anak daun runcing, panjang ibu tangkai
daun sampai 2,5 cm, terputar, beralur membujur, panjang tangkai anak daun 1-
2,7 cm.
Sifat dan Khasiat :
Akar seledri berkhasiat memacu enzim pencernaan dan peluruh
kencing (diuretic), sedangkan buah dan bijinya sebagai pereda kejang
(antipasmodik), menurunkan kadar asam urat darah, antirematik, peluruh kentut
(karminatif), afrodisiak dan penenang. Seledri berbau aromatic, rasanya manis,
sedikit pedas dan sifatnya sejuk. Seledri bersifat tonik, memacu enzim
pencernaan (stomatik), menurunkan tekanan darah (hipotensif), penghenti
pendarahan (hemostatis), peluruh haid, pembersih darah dan memperbaiki
fungsi hormone yang terganggu (Dalimartha, 2005).
Kandungan Kimia :
Herba seledri mengandung flavonoid, saponin, tannin 1%, minyak
atsiri 0,033%, flavon-glukosida (apiin), apigenin, kolin, lipase, asparagines, zat
pahit, vitamin A, vitamin B, vitamin C. Setiap 100 g herba seledri mengandung
air sebanyak 93 ml, protein 0,9 g, lemak 0,1 g, karbohidrat 4 g, serat 0,9 g,
kalsium 50 mg, besi 1 mg, fosfor 40 mg, yodium 150 mg, kalium 400 mg,
magnesium 85 mg, vitamin A 130 IU, vitamin C 15 mg, riboflavin 0,5 mg,
tiamin 0,3 mg dan nikotinamid 0,4 mg. Di dalam akar seledri mengandung
asparagin, manit, zat pati, lender, minyak atsiri, pentosan, glutamine, dan tirosin.
Sedangkan, pada biji mengandung apiin, minyak menguap, apigenin dan
alkaloid (Dalimartha, 2005).
II. DEFINISI HIPERTENSI
Hipertensi adalah keadaan dimana tekanan systolic dan diastolic mengalami
kenaikan yang melebihi batas normal (tekanan systole di atas 140 mmHg, diastole di
atas 90 mmHg). Harga tekanan darah menurut WHO yaitu berkisar antara 120/80
mmHg – 140/90 mmHg (Arita, 2008).
Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis dimana terjadi
peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam jangka waktu lama). Penderita yang
mempunyai sekurang-kurangnya tiga bacaan tekanan darah melebihi 140/90 mmHg saat
istirahat diperkirakan mempunyai keadaan darah tinggi. Tekanan darah yang selalu
tinggi adalah salah satu faktor resiko untuk stroke, serangan jantung, gagal jantung dan
aneurisma arterial, dan merupakan penyebab utama gagal jantung kronis (Tekanan
Darah Tinggi, 2009). Faktor yang mempengaruhi hipertensi seperti; ras, usia, obesitas,
asupan garam yang tinggi, adanya riwayat hipertensi dalam keluarga, gangguan emosi,
konsumsi alkohol yang berlebihan, rangsangan kopi yang berlebihan, merokok, faktor
keturunan, dan penyakit ini banyak menyerang wanita dari para pria (Smeltzer & Bare,
2001).
III. Seledri Dalam Hubungannya Dengan Penurunan Tekanan Darah
Unsur-unsur yang terdapat dalam seledri yang dapat menurunkan tekanan
darah adalah flavonoid, apigenin, vitamin C, fitosterol dan vitamin K yang dapat
berperan dalam metabolism gula (mengatur kadar gula darah), metabolism lemak, efek
diuretic dan mempertahankan elastisitas pembuluh darah. Dengan demikian seledri
memiliki peranan mekanisme penurunan tekanan darah.
Kandungan seledri yang dapat menurunkan tekanan darah antara lain;
a) Flavonoid;
Flavonoid dapat menghalau penyakit degeneratif. Flavonoid dapat bertindak
sebagai quencher atau penstabil oksigen siglet. Salah satu flavonoid yang berkhasiat
seperti itu adalah quercetin. Senyawa ini beraktivitas sebagai antioksidan dengan
melepaskan atau menyumbangkan ion hydrogen kepada radikal bebas peroksi agar
menjadi lebih stabil. Aktivitas tersebut menghalangi reaksi oksidasi kolesterol jahat
(LDL) yang menyebabkan darah mengental, sehingga mencegah pengendapan
lemak pada dinding pembuluh darah (Jupiter, 2008).
b) Apigenin;
Apigenin yang terdapat pada seledri sangat bermanfaat untuk mencegah
penyempitan pembuluh darah, sehingga peredaran darah lancar dan mencegah
terjadinya tekanan darah tinggi (Seledri Penyedap yang Berkhasiat, 2010).
c) Vitamin C;
Vitamin C dapat memperkuat otot jantung dan berperan penting melalui
proses metabolisme kolesterol, karena dalam proses metabolisme kolesterol vitamin
C dapat meningkatkan laju kolesterol yang dibuang dalam bentuk asam empedu dan
mengatur metabolisme kolesterol. Vitamin C juga dapat meningkatkan kadar HDL
dan berfungsi sebagai pencahar, sehingga dapat meningkatkan pembuangan kotoran
(Kusuma, 2010).
d) Fitosterol;
Fitosterol adalah sterol yang terdapat dalam tanaman dan mempunyai struktur
mirip kolesterol. Secara alami fitosterol dapat ditentukan di dalam sayuran, kacang-
kacangan, dan gandum. Fitosterol dapat membantu menurunkan kadar kolesterol
dengan cara menghambat penyerapan kolesterol di usus, sehingga membantu
menurunkan jumlah kolesterol yang memasuki aliran darah. Sehingga, fitosterol
dapat membantu untuk menurunkan tekanan darah (Grandfa, 2007).
e) Vitamin K;
Vitamin K berfungsi membantu proses pembekuan darah. Vitamin K
berpotensi mencegah penyakit serius seperti; penyakit jantung dan stroke, karena
efeknya mengurangi pengerasan pembuluh darah oleh factor-faktor seperti
timbunan plak kalsium (Astawan, 2010).
f) Apiin;
Apiin bersifat diuretic yaitu membantu ginjal untuk mengeluarkan kelebihan
cairan dan garam dari dalam tubuh, sehingga berkurangnya cairan dalam darah akan
membantu menurunkan tekanan darah (Materyen, 2009).
IV. Parameter Standarisasi Mutu Ekstrak
Produk bahan alam seledri aman dikonsumsi apabila memenuhi standar mutu
yang telah dipersyaratkan. Suatu produk obat bahan alam seledri yang dibuat dengan
cara mengekstraksi herba tumbuhan tersebut harus memenuhi ketentuan yaitu
mengandung apiin sebagai senyawa identitas tidak kurang dari 1,4% dan minyak atsiri
tidak kurang dari 0,1%. Ekstraksi dilakukan menggunakan pelarut etanol 50% dan hasil
rendemen yang diperoleh harus tidak kurang dari 10,54% dengan kadar air tidak lebih
dari 9,3%, kadar abu total tidak lebih dari 16,1% dan kadar abu tidak larut asam tidak
lebih dari 1,6%. Residu pestisida yang dipersyaratkan tidak lebih dari 5 μg/kg,
sedangkan cemaran logam berat yang dipersyaratkan adalah Pb tidak lebih dari 10
mg/kg, Cd tidak lebih dari 0,3 mg/kg dan As tidak lebih dari 10 μg/kg. Di samping itu,
suatu produk seledri sebisa mungkin bebas dari cemaran aflatoksin atau tidak lebih dari
20 μg/kg. Adapun cemaran mikroba yang dipersyaratkan adalah Angka Lempeng Total
(ALT) tidak lebih dari 10 kol/g, Angka Kapang/Khamir (AKK) tidak lebih dari 10
kol/g, dan tidak boleh mengandung bakteri patogen seperti; Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus aureus, Clostridia sp., Shigella sp., dan Salmonella sp.
V. Isolasi dan Identifikasi Komponen Kimia Ekstrak Seledri
Kandungan kimia yang telah diisolasi dari tanaman Apium graveolens Linn.
antara lain ialah; senyawa fenol, asam miristisat (senyawa golongan alkohol gula),
manitol (senyawa golongan kumarin) terdiri dari senyawa umbeliferon dan psoralen
serta derivatnya; senyawa golongan flavonoid, luteolin dan senyawa golongan mineral,
kalium nitrat.
Untuk memperkirakan adanya komponen kimia dalam tanaman seledri yang
mempunyai daya menurunkan tekanan darah pada binatang percobaan seperti
dilaporkan dalam pustaka, maka dilakukan isolasi dan identifikasi komponen kimia
Ekstrak etanol 95% dari tanaman seledri. Dimana, komponen kimia serbuk kering
seluruh tanaman seledri diisolasi dengan metode ekstraksi cair padat sinambung,
berturut-turut menggunakan pelarut; petroleum eter, kloroform dan etanol 95% dengan
memakai alat Soxhlet.
Ekstrak etanol 95% pada suhu kamar membentuk endapan, kemudian endapan
disaring. Dan filtrat yang diperoleh dipekatkan dengan penguap putar vakum, sehingga
diperoleh ekstrak kental. Selanjutnya, ekstrak etanol 95% dikromatografi cair vakum
berulang, menggunakan silika gel G 60 dengan campuran pelarut non polar dan polar
dalam bermacam-macam perbandingan. Dari kromatografi cair vakum ini diperoleh
Kristal. Selanjutnya, endapan dilakukan rekristalisasi berulang dengan pelarut metanol
dan etanol 95% : air dengan perbandingan 3:2, sehingga diperoleh Kristal. Dan
dilakukan lagi rekristalisasi berulang dari endapan dengan pelarut metanol, sehingga
menghasilkan Kristal murni.
Senyawa hasil isolasi diidentifikasi berdasarkan uji kimia, sifat fisika serta
penentuan spektrum inframerah, spektrum ultraviolet, spektrum massa dan spektrum
resonansi magnet inti proton.
Dari ekstrak etanol 95% tanaman seledri tersebut telah diisolasi empat
senyawa, yaitu;
Pertama, kalium nitrat dengan kadar 3,14%, yang diidentifikasi melalui
pembandingan data titik leleh, hasil analisis ion kalium dengan spektroskopi emisi
nyala dengan data pustaka dan hasil analisis ion nirat dengan menggunakan uji
difenilamin. Dimana, pada uji farmakologi diuresis oleh Siswono et al. kalium nitrat
hasil isolasi yang diberikan secara per oral dengan dosis 0,150 gram dan 0,300 gram per
kg berat badan hewan percobaan, keduanya memberikan pengaruh natriuresis pada
tikus putih jantan strain Wistar.
Kedua, Manitol dengan kadar 0,47%, yang diidentifikasi melalui
pembandingan titik leleh, spektrum inframerah, spektrum resonansi magnet inti proton
dan spektrum massa, dihasilkan senyawa asetilasi dengan titik leleh dan spektrum
manitol heksaasetat otentik. Dimana, manitol merupakan suatu diuretik osmotic yang
digunakan terutama sebagai bahan diagnosis fungsi ginjal.
Ketiga, Apigenin-7-0-glukosida dengan kadar 0,016%, yang telah
diidentifikasi melalui pembandingan spektrum inframerah dan spektrum ultraviolet
dengan spektrum apigenin-7-0-glukosida otentik, spektrum massa aglikon dengan
spektrum apigenin otentik, spektrum resonansi magnet inti proton dengan data pustaka
dan pada kromatografi kertas Rf dan warna bercak glikon dengan Rf dan warna bercak
glukosida otentik. Berdasarkan dari telaah pustaka, ternyata bahwa pada penelitian efek
farmakologi apigenin oleh Chang et al. menunjukkan bahwa apigenin dapat
menurunkan tekanan darah normal anjing dan kelinci sebesar 50 mmHg bila diberikan
secara intravena dengan dosis sebesar 10 mg per kg berat badan binatang percobaan.
Selain itu, Apigenin-7-0-glukosida pada pemberian per oral, akan menurunkan tekanan
darah penderita hipertensi, karena akan terhidrolisis menjadi apigenin dan glukosa
dalam saluran cerna.
Keempat, 7,7-di-0-metilamentoflavon dengan kadar 0,014%, yang telah
diidentifikasi melalui pengamatan spektrum inframerah, spektrum ultraviolet dan
pembandingan spektrum resonansi magnet inti proton dengan amentoflavon otentik.
Dimana, senyawa biflavonoid tersebut, terdistribusi tidak merata pada dunia tanaman.
Sepanjang telaah pustaka, belum pernah dilaporkan adanya biflavonoid dalam
tumbuhan suku Apiaceae, dengan demikian ditemukannya 7,7-di-0-metilamentoflavon
merupakan penemuan pertama adanya biflavonoid dalam suku Apiaceae, karena
senyawa tersebut baru ditemukan dalam satu tanaman yaitu Araucaria excelsa dari suku
Araucariaceae.
Berdasarkan empat senyawa yang teridentifikasi dalam ekstrak etanol 95%
dari tanaman seledri tersebut, menunjukkan bahwa kemungkinan Apigenin-7-0-
glukosida yang paling berperan dapat menurunkan tekanan darah pada binatang
percobaan.
VI. Tahapan Pengembangan Obat Tradisional di Indonesia
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian yang utama dan 80%
kasus terjadi di negara berkembang (Gaziano, 2007). Hipertensi merupakan salah satu
faktor resiko kardiovaskular yang paling banyak menyebabkan kematian di seluruh
dunia (Gaziano, 2007). Pemahaman dan penanganan hipertensi sudah banyak dibuat
dan dikerjakan tetapi penyakit hipertensi dan komplikasi yang menyertainya tetap saja
bertambah dengan tidak terkendali. Selain pengobatan menggunakan obat-obat sintetis,
pengobatan menggunakan tumbuhan obat juga digunakan dan bermanfaat untuk
penyakit ini.
Banyak pengobatan tradisional yang telah direkomendasikan sebagai alternatif
untuk mengobati hipertensi. Mekanisme dari herbal-herbal untuk pengobatan hipertensi
belum diketahui dengan pasti. Anti hipertensi yang berasal dari tumbuhan dapat bekerja
dengan berbagai cara, antara lain dengan cara menurunkan volume cairan tubuh
(diuresis), mengurangi tahanan perifer (vasodilator), atau mempengaruhi kerja jantung
itu sendiri. Kebanyakan tumbuhan yang telah ditemukan berisi senyawa-senyawa
seperti; glikosida, alkaloid, terpenoid, flavonoid, dan lain-lain. Tapi sedikit yang telah
diketahui aksi yang spesifik dari tumbuhan tersebut dalam pengobatan hipertensi (Loew
& Kaszkin, 2002). Penggunaan tanaman obat dan formulasi herbal menjadi
pertimbangan untuk mengurangi efek toksik dan memiliki efek samping yang minimal
dibandingkan dengan obat-obat sintetik (Halberstein, 2005), tetapi perlu diperhatikan
lebih lanjut mengenai kepastian bahan aktif dan keamanannya, tidak ada jaminan
terutama untuk penggunaan tanaman obat secara rutin (Katno, 2007).
Tanaman Seledri (Apium graveolens L) sudah tidak asing lagi bagi sebagian
besar masyarakat Indonesia. Tanaman ini sudah lama dikenal sebagai bahan obat
tradisional yang dipercaya dapat menurunkan tekanan darah (Dalimartha, 2003).
Dari hasil penelitian terdahulu dilaporkan bahwa tanaman seledri memiliki
kandungan senyawa terpenoid dan flavonoid (Yao et al. 2009; Zhou et al. 2009). Pada
penelitian terdahulu terbukti bahwa flavonoid memiliki aktivitas sebagai anti
aterosklerosis, anti inflamatori, antioksidan dan antihipertensi (Gross, 2004). Senyawa
flavonoid yang terbukti berkhasiat sebagai antihipertensi adalah apigenin. Apigenin
memberikan efek menurunkan tekanan darah dari 120 mmHg menjadi 70 mmHg. Pada
penelitian tersebut, apigenin diberikan melalui injeksi pada anjing dan tikus teranestesi
dengan dosis 10 mg/kgbb (Hapsari, 2006).
Penelitian tentang khasiat antihipertensi tanaman seledri kian berkembang dari
herba hingga ke bagian tertentu tanaman ini seperti batang dan daunnya. Sayangnya,
salah satu bagian tanaman yang berfungsi sebagai penyokong berdirinya tanaman ini
kerap dilupakan. Akar seledri hanya digunakan sebagai penyedap makanan saja, bahkan
tak jarang bagian tanaman ini hanya dijadikan sampah. Dari hasil penelitian terdahulu
dilaporkan bahwa fraksi kloroform (Sunaryo et al, 2007) dan fraksi etanol (Siska &
Fith, 2007) akar seledri terbukti dapat menurunkan tekanan darah tikus hipertensi.
Penelitian lain yang dilaporkan bahwa fraksi kloroform (Budiman, 2008) dan fraksi
etanol (Zainudin, 2008) dapat meningkatkan volume urin dan kandungan natrium dalam
urin mencit. Hasil penelitian tersebut memperkuat dugaan bahwa akar seledri memiliki
kandungan kimia yang berkhasiat sebagai obat. Berdasarkan penelitian sebelumnya,
dapat diasumsikan bahwa akar seledri mempunyai prospek yang baik untuk
dikembangkan sebagai obat sehingga layak untuk diteliti lebih lanjut.
Pada penelitian ini akan dipelajari manfaat akar seledri sebagai antihipertensi.
Penelitian ini menggunakan model tikus hipertensi dengan metode induksi NaCl +
prednison (Yuliandra, 2007) yang diharapkan dapat mewakili hipertensi pada manusia.
Penelitian ini akan menggunakan beberapa fraksi akar seledri dengan tujuan mencari
fraksi yang efektif dalam menurunkan tekanan darah. Alat yang digunakan untuk
mengukur parameter tekanan darah adalah Biopac® System MP 150. Hasil penelitian
ini diharapkan dapat berguna untuk menambah informasi ilmiah tentang akar seledri
sehingga dapat digunakan sebagai pengobatan penyakit hipertensi.
VII. EFEK FARMAKOLOGI
BAHAN DAN METODE UJI FARMAKOLOGI
Ekstraksi dan Fraksinasi
Akar Apium graveolens L. didapat dari Pasar Induk Kramat Jati dan
dideterminasi di LIPI cibinong. Akar yang sudah kering kemudian diserbukkan dan
dilakukan maserasi selama 9 hari dengan larutan penyari etanol 70%. Maserat diuapkan
dengan menggunakan alat rotary evaporator dengan suhu tidak lebih 40°C hingga
diperoleh ekstrak yang kental dan pekat tetapi masih dapat mengalir. Ekstrak kental
difraksinasi dengan menggunakan pelarut etil asetat dan n-heksan, sehingga didapat
fraksi etil asetat, fraksi n-heksan, dan fraksi etanol-air. Fraksi yang digunakan untuk uji
efek antihipertensi adalah fraksi etil asetat dan fraksi etanol-air. Fraksi yang didapat
dikeringkan dan dibuat suspensi dengan tween 80 untuk digunakan pada penelitian.
Hewan Percobaan
Tikus-tikus percobaan diaklimatisasi selama 7 hari, kemudian diinduksi
hipertensi dengan menggunakan kombinasi prednison 1,5 mg/KgBB dan NaCl 2,5 %.
Sebagai pensuspensi digunakan Tween 80. Formula ini diberikan peroral setiap hari
selama 2 minggu untuk memperoleh tekanan darah di atas normal. Hewan yang
digunakan adalah hewan dengan tekanan darah sistol ³ 150 mmHg.
Prosedur Percobaan
Hewan uji dikelompokkan menjadi beberapa kelompok dengan tiap kelompok
terdiri dari 3 ekor tikus dan diperlakukan seperti terlihat dalam table berikut;
Alat yang digunakan untuk mengukur tekanan darah hewan percobaan pada
penelitian ini adalah BiopacÒ system MP 150. Pada percobaan ini, tikus dianestesi
dengan Pentobarbital Na 60 mg/kgBB secara intra peritonial. Setelah tikus teranestesi
sempurna, tikus ditelentangkan di atas meja operasi dan keempat kakinya diikat. Tubuh
tikus disinari dengan lampu pijar untuk menjaga suhu tubuhnya supaya tidak turun.
Rambut hewan bagian leher dicukur lalu dioperasi dan dipasang kanula pada trakea
untuk memfasilitasi pernafasan. Vena juguler dikanulasi untuk memasukkan infus NaCl
fisiologis yang mengandung heparin 30-50 IU/ml dan pentobarbital 2 mg/kgBBjam
dengan kecepatan infus 2 ml/jam. Arteri karotid dikanulasi melalui transducer dan
dihubungkan dengan alat Biopac System yang terhubung dengan komputer untuk
mengamati tekanan darah tikus. Kanula ini harus terisi penuh dengan larutan NaCl-
heparin dengan konsentrasi 30-50 IU/ml. Untuk memfasilitasi keluarnya urin spontan,
dipasangkan pula kanula pada kandung kemih tikus.
Setelah diberi bolus NaCl 1 ml, tikus diistirahatkan selama 1 jam untuk
menstabilkan kondisinya. Setelah kondisi tikus stabil, data baseline tekanan darah sistol,
diastol, laju jantung, dan tekanan arteri rata-rata tikus direkam. Ekstrak atau kaptopril
diberikan masing-masing sebagai bolus dose secara intra peritoneal sesuai dosis yang
telah direncanakan. Setiap hewan mendapatkan 2 kali pengulangan dosis dan masing-
masing dosis dengan interval 15 menit. Selama interval ini, semua parameter di atas
tetap dimonitor. Selama percobaan berlangsung, infus tetap diberikan dengan kecepatan
2 ml/jam melalui vena juguler.
ANALISA DATA
Data kuantitatif dianalisis secara statistik menggunakan ANAVA dua arah
yang dilanjutkan dengan Uji Beda Duncan dan kebermaknaan diambil pada tingkat
kepercayaan 95%. Data ini akan dianalisa menggunakan software statistic SPSS. Semua
data ditunjukkan sebagai rataan ± Standar Error Baku (SE) (Sulaiman, 2003).
HASIL
Hasil fraksinasi dapat dilihat pada tabel 2. Hasil pengukuran parameter
tekanan darah diolah menggunakan statistik Anova 2 arah dengan kebermaknaan
p<0.05 dan dilanjutkan dengan uji Tukey HSD. Hasil peningkatan parameter tekanan
tekanan darah meliputi tekanan darah sistol (TDS), tekanan darah diastol (TDD),
tekanan arteri rata-rata (mean BP), dan laju jantung setelah diinduksi dengan NaCl dan
prednison dapat dilihat pada table 3,4,5, dan 6. Uji statistik menunjukkan adanya
penurunan TDS, TDD, dan Mean BP secara bermakna (p<0,05), jika dibandingkan
dengan kelompok kontrol negative (tabel 7,8, dan 9). Laju jantung tidak dipengaruhi
oleh pemberian fraksi. Kemampuan fraksi dalam menurunkan TDS, TDD, dan Mean
BP sebanding dengan kaptopril dosis 2,5 mg/kgBB. Tabel terdapat pada LAMPIRAN.
PEMBAHASAN
Setelah dilakukan ekstraksi, tahap selanjutnya adalah fraksinasi yaitu
memisahkan senyawa-senyawa yang terkandung di dalam maserat berdasarkan tingkat
kepolarannya. Pelarut yang digunakan dalam fraksinasi adalah heksan dan etil asetat.
Pelarut heksan dapat menarik senyawa-senyawa yang bersifat non polar sedangkan
pelarut etil asetat digunakan untuk menarik senyawa-senyawa bersifat semi polar. Pada
penelitian ini yang digunakan adalah hasil fraksinasi etil asetat dan etanol-air, karena
berdasarkan penelitian terdahulu fraksi non polar tidak memiliki aktivitas sebagai
antihipertensi.
Pada penelitian ini, komponen tekanan darah diukur secara langsung
menggunakan alat Biopac® system MP 150 (Anonim, 2001). Tikus teranesteri
diletakkan terlentang pada papan bedah dan selanjutnya dilakukan pembedahan dan
kanulasi pada trakea, pembuluh darah arteri karotis, dan vena jugularis. Pemberian
fraksi dilakukan melalui intra vena dan dilakukan sebanyak dua kali dengan rentang
pemberian selama 15 menit. Hasil pengukuran dapat dibaca langsung pada monitor
komputer. Komponen tekanan darah yang dimonitor adalah tekanan darah sistol,
tekanan darah diastol, tekanan darah arteri rata-rata, dan laju jantung.
Data yang diperoleh kemudian dihitung prosentase perubahan tekanan darah
dari seluruh kelompok. Prosentase perubahan tekanan darah yang diperoleh kemudian
dilakukan uji statistik menggunakan Anova dua arah (two way Anova) dan uji lanjut
Tukey HSD. Induksi hipertensi menggunakan NaCl 2,5 % dan prednison 1,5 mg/kgbb
yang diberikan peroral terbukti dapat menaikkan tekanan darah sistol, tekanan darah
diastol, tekanan darah arteri rata-rata, dan laju jantung berturut-turut sebesar 181
mmHg, 157 mmHg, 170 mmHg, dan 330 mmHg.
Kelompok uji fraksi etanol-air dosis 20 mg/kgbb dan 40 mg/kgbb dan fraksi
etil asetat dosis 40 mg/kgbb terbukti dapat menurunkan tekanan darah sistol, diastol,
dan tekanan darah arteri rata-rata. Penurunan terhadap komponen tekanan darah
tersebut sebanding dengan penurunan pada kelompok yang diberikan kaptopril dosis 2,5
mg/kgbb. Sedangkan pada kelompok yang diberikan fraksi etil asetat dosis 20 mg/kgbb
juga dapat menurunkan komponen tekanan darah tersebut tetapi secara statistik
penurunan tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kelompok hipertensi. Laju
jantung tidak dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan. Selain itu juga terlihat tidak
adanya pengaruh pada dua kali pemberian dosis dan tidak ada interaksi antara
kelompok perlakuan dengan banyaknya penyuntikan.
Dari beberapa dosis fraksi yang diujikan, prosentase penurunan tekanan darah
menjadi semakin kecil dengan bertambahnya dosis. Artinya efek antihipertensi fraksi
semakin rendah dengan bertambahnya dosis pemberian. Fraksi akar seledri terdiri dari
senyawa-senyawa kimia yang secara keseluruhan belum diketahui jenis dan
pengaruhnya terhadap tubuh. Oleh karena itu pemberian fraksi mencapai kadar tertentu
yang lebih besar kemungkinan akan memberikan pengaruh dalam menaikkan tekanan
darah.
Laju jantung tidak diturunkan secara nyata oleh pemberian fraksi. Walaupun
terjadi penurunan laju jantung, tetapi nilainya cukup kecil. Secara fisiologis, tekanan
darah ditentukan oleh curah jantung dan resistensi perifer. Curah jantung adalah hasil
kali denyut dengan volume sekuncup. Resistensi perifer merupakan resultan dari
resistensi pada pembuluh darah (arteri dan arteriol) dengan viskositas darah. Resistensi
pembuluh darah ditentukan oleh tonus otot polos arteri dan arteriol dan elastisitas
dinding pembuluh darah (Guyton, 2007).
Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa fraksi akar seledri ini mempunyai
aktivitas sebagai diuretik (Budiman, 2009; Zainudin, 2009). Diduga fraksi ini
menurunkan tekanan darah melalui mekanisme penurunan tahanan perifer pembuluh
darah tanpa menyebabkan penurunan laju jantung yang berarti. Hal ini juga diperkuat
oleh gejala lain yang diamati selama percobaan, yakni terjadinya diuresis pada tikus
(data tidak ditampilkan). Terjadinya diuresis menunjukkan adanya penambahan volume
urin yang diproduksi dan menunjukkan peningkatan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut
dalam air. Sebagai akibatnya terjadi penurunan cairan volume ekstrasel. Pada kondisi
hipertensi, proses diuresis akan menurunkan kadar natrium dalam cairan tubuh dan
dengan adanya efek vasodilatasi maka terjadi penurunan resistensi perifer yang
kemudian menurunkan tekanan darah (Setiawati, 2004).
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa fraksi akar seledri kecuali fraksi etil
asetat dosis 20 mg/kgbb memiliki efek antihipertensi yang nyata dalam menurunkan
tekanan darah tikus hipertensi. Pada dosis yang digunakan, fraksi mempunyai efek yang
sebanding dengan kaptopril dalam menurunkan tekanan darah sistol, tekanan darah
diastol, dan tekanan arteri rata-rata hewan percobaan. Dengan demikian dapat
diasumsikan bahwa akar seledri merupakan tanaman obat yang mempunyai prospek
yang baik untuk dikembangkan sebagai obat antihipertensi sehingga layak untuk diteliti
lebih lanjut.
VIII.UJI TOKSISITAS
Metode Penelitian Uji Toksisitas
Uji toksisitas ekstrak terhadap Artemia Salina L.
Tahap awal uji toksisitas adalah penetasan kista Artemia Salina L. Kista
Artemia Salina L. ditimbang sebanyak 50 mg kemudian dimasukkan kedalam wadah
yang berisi air laut bersih dilengkapi aeroton dan dibiarkan selama 48 jam dibawah
pencahayaan lampu agar menetas sempurna. Larva yang sudah menetas digunakan
dalam uji sitotoksin. Dalam uji sitotoksin sebanyak 10 ekor larva Artemia Salina L.
dimasukkan dalam vial yang berisi air laut lalu ditambahkan larutan ekstrak etanol
(ekstrak kasar maupun hasil fraksinasi) sehingga konsentrasi akhir ekstrak menjadi
1000, 100, 10 ppm. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dengan menghitung jumlah
larva yang mati (Finney 1971). Pengolahan data persen mortalitas komulatif dilakukan
dengan analisis probit (LC50) menggunakan program Minitab 14 pada selang
kepercayaan 95%.
Fraksinasi Ekstrak Kasar etanol
Fraksinasi dilakukan untuk memurnikan ekstrak kasar etanol akar seledri yang
didapat. Fraksinasi dilakukan pada kolom silika gel G40-63 menggunakan eluen
kombinasi terbaiknya (kloroform : metanol : 9,5 : 0,5). Untuk memilih eluen terbaik
dicoba dengan berbagai eluen heksana, kloroform, etil asetat, aseton, etanol, metanol
dan air. Eluen tunggal dengan pemisahan terbaik kemudian dikombinasikan satu dengan
yang lainnya dengan berbagai perbandingan.
Elusidasi ekstrak dalam kolom silika gel dilakukan dengan eluen kombinasi
terbaiknya secara gradien. Dari sini diharapkan senyawa aktif seledri dapat lebih
banyak terpisah dan proses purifikasi dapat berlangsung dengan lebih cepat. Elusidasi
dilakukan terhadap 10 gram ekstrak kasar etanol akar seledri yang terbagi dalam dua
kali periode kolom, yaitu 5 g pada kolom berukuran 15 cm x 44 mm dengan laju alir
dijaga konstan 10 ml/menit.
Eluat hasil fraksinasi kolom ditampung setiap 5 ml, menggunakan tabung
reaksi kaca, dilakukan penggabungan fraksi dengan mengacu pada nilai Rf dan
kesamaan pola kromatogram menggunakan bantuan KLT analitik, dan setiap fraksi
gabungan yang terbentuk dikering bekukan, dihitung rendemennya, serta diuji
aktivitasnya terhadap Artemia salina L., dari hasil uji Artemia akan diperoleh informasi
awal tingkat toksisitas fraksi (LC50). Pemeriksaan toksisitas diperlukan untuk
mengetahui tingkat konsentrasi yang tepat dalam pengujian dan untuk menghindari efek
toksik bagi senyawa yang akan dijadikan sebagai calon obat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Sitotoksin (LC50)
Uji toksisitas adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui jumlah konsentrasi yang
tepat dari suatu senyawa bioaktif sebagai calon obat. Uji toksisitas yang digunakan
dalam penelitian ini adalah uji letal Consentrasi (LC50). Uji ini digunakan untuk
menentukan batas tingkat konsentrasi yang menyebabkan keracunan. Hasil analisis
Probit diperoleh bahwa ekstrak etanol herba memiliki nilai LC50 sebesar 1969,18 ppm.
Menurut Meyer (1982) senyawa yang dapat dikatakan sebagai obat dan bersifat bioaktif
adalah senyawa yang memiliki nilai LC50 kurang dari 1000 ppm. Berdasarkan hasil
analisis nilai LC50 pada penetian ini menunjukkan bahwa ekstrak kasar etanol seledri
masih kurang berpotensi sebagai obat antihipertensi maupun senyawa yang bersifat
sebagai bioaktivitas. Hal ini diduga dalam ekstrak kasar tersebut masih banyak sekali
golongan senyawa sehingga mengakibatkan ekstrak memiliki daya bunuh yang rendah.
Tetapi setelah dilakukan Fraksinasi terhadap ekstrak kasar etanol kemampuan daya
bunuhnya meningkat, hal ini dapat dilihat dari nilai LC50 pada berbagai fraksi
(Lampiran 9).
Lampiran 9. Nilai toksisitas hasil fraksinasi
Nilai LC50 pada berbagai fraksi hasil kolom menunjukkan bahwa ekstrak tersebut
sangat berpotensi sebagai calon obat dan bersifat bioaktivitas. Hal ini karena nilai LC50
pada berbagai fraksi kurang dari 1000 ppm. Meningkatnya nilai LC50 setelah di
fraksinasi menguatkan dugaan bahwa kandungan senyawa yang ada dalam esktrak
tersebut semakin murni sehingga semakin berpotensi untuk menimbulkan efek. Oleh
karena itu, hasil fraksinasi dari ekstrak etanol akar seledri dapat dikembangkan untuk
diformulasikan sebagai zat aktif dalam bentuk sediaan obat.
IX. PENGEMBANGAN FORMULASI SEDIAAN
ANALISIS PEMILIHAN ZAT AKTIF
Berdasarkan hasil uji farmakologi yang telah dilakukan terhadap tanaman
seledri sebagai antihipertensi diatas. Maka, akar seledri (Apium Graveolens L) yang
memiliki aktivitas antihipertensi adalah pada fraksi etanol-air dosis 20 mg/kgBB dan 40
mg/kgBB dan fraksi etil asetat dosis 40 mg/kgBB yang terbukti dapat menurunkan
tekanan darah sistol, diastol, dan tekanan darah arteri rata-rata yang sebanding dengan
Kaptopril 2,5 mg/KgBB pada percobaan menggunakan tikus (Siska, 2008). Oleh karena
itu, dapat dilakukan pengembangan formulasi sediaan dengan zat aktif berupa salah satu
dari faksi diatas untuk dibuat dalam sediaan tablet.
Pada formulasi ini, akan dikembangkan formulasi sediaan tablet dengan zat
aktif berupa fraksi etanol-air akar seledri dengan dosis 40 mg/KgBB tikus, sehingga
dosis yang dapat digunakan pada manusia adalah sebesar;
Dosis tikus = 40 mg/KgBB = 40 mg/1000 gramBB
Dosis tikus 200 g = 200 g/1000 g x 40 mg = 8 mg/200 gramBB
Konversi dosis ke manusia = 8 mg x 56,0 = 448 mg/70 kgBB manusia
Dosis untuk manusia = 448 mg/70 kgBB manusia
Maka, konsentrasi fraksi etanol-air akar seledri per tablet adalah 448 mg dan
direncanakan bobot tablet yang akan dibuat adalah 600 mg.
ANALISIS PEMILIHAN EKSIPIEN
Dalam khasiatnya sebagai antihipertensi, diketahui bahwa senyawa aktif yang
bekerja sebagai antihipertensi adalah senyawa apigenin yang berasal dari golongan
flavonoid, sehingga senyawa ini diperkirakan tidak stabil dan tidak tahan terhadap
pemanasan. Oleh karena itu, metode yang sesuai dengan sifat senyawa aktif ini adalah
dengan granulasi kering.
Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan tablet meluputi; zat aktif,
bahan penghancur, bahan pengisi, lubrikan dan eksipien. Berbagai macam eksipien
yang digunakan dalam metode granulasi kering antara lain; amilum, PVP, Avicel, Mg
stearat, dan Talk.
FORMULASI, METODE DAN PEMBUATAN SEDIAAN
Master Formula
R/ Akar Apium Graveolens L
Amilum
Avicel
PVP
Mg-stearat
Talk
Perhitungan dan Penimbangan
Pembuatan tablet direncanakan sebanyak 1 batch atau 10.000 tablet. Direncanakan
bobot tablet 600 mg dengan kandungan zat aktif per tablet adalah 448 mg.
Perhitungan Formula :
Fase Dalam (92% x 600 mg = 552 mg)
Fraksi etanol-air akar seledri = 448 mg
PVP = 5% x 600 mg = 30 mg
Amilum = 5% x 600 mg = 30 mg
Avicel = 552 – (448+30+30) = 44 mg
Total fase dalam = 92% x 600 mg = 552 mg
Fase Luar (8% x 600 mg = 48 mg)
Mg-stearat = 1% x 48 mg = 0,48 mg
Talk = 2% x 48 mg = 0,96 mg
Amilum kering = 5% x 48 mg = 2,4 mg
Slug (93,5%) fase dalam + ½ (mg-stearat dan talk)
Fraksi etanol-air akar seledri = 448 mg
PVP = 30 mg
Amilum = 30 mg
Avicel = 44 mg
Mg-stearat = 0,48 mg
Talk = 0,96 mg +
TOTAL Slug = 553,44 mg
Misalnya:
Slug yang diperoleh = 553,44 mg
Jumlah tablet yang diperoleh = 552 mg : 553,44 mg x 10000 tablet = 9973 tablet
Maka, Fase luar yang ditambahkan :
Mg-stearat = 0,5/93,5 x 552 mg = 2,95 mg
Talk = 1/93,5 x 552 mg = 5,9 mg
Amilum kering= 5/93,5 x 552 mg = 29,51 mg
Bobot tablet yang diperoleh = 591,35 mg.
Penimbangan :
Zat Aktif dan tambahan
Berat per tablet (mg) Berat per 10000 tablet (kg)
Apium Graveolens L 448 44.8*Amilum 30 3.0Avicel 44 4.4PVP 30 3.0Mg-stearat 2.95 0.29Talk 5.9 0.59Amilum kering 29.51 2.951
*diketahui % rendemen fraksi etanol-air akar seledri adalah sebesar 1,67%, sehingga
jika bobot ekstrak yang digunakan adalah 44,8 kg, maka berat simplisia yang
dibutuhkan adalah 2790,41 kg.
METODE PEMBUATAN SEDIAAN
a) Pembuatan Ekstrak
Akar Apium graveolens L. yang sudah kering diserbukkan dan dilakukan
maserasi selama 1x2 jam dengan larutan penyari etanol 70%. Maserat diuapkan
dengan menggunakan alat rotary evaporator dengan suhu tidak lebih 40°C hingga
diperoleh ekstrak yang kental dan pekat tetapi masih dapat mengalir. Ekstrak kental
difraksinasi dengan menggunakan pelarut etil asetat dan n-heksan, sehingga didapat
fraksi etil asetat, fraksi n-heksan, dan fraksi etanol-air. Fraksi yang digunakan
sebagai zat aktif dalam sediaan tablet antihipertensi adalah fraksi etanol-air.
b) Pembuatan Tablet Granul Kering
Talk dikeringkan terlebih dahulu dengan oven untuk mengurangi kadar air
yang mungkin masih terkandung, kemudian dilakukan pencampuran bahan-bahan
untuk pembuatan slug. Dilakukan IPC berupa uji homogenitas, dilakukan proses
slugging dengan chilsonator, kemudian dilakukan pengayakan slug. Dan dilakukan
proses IPC berupa kecepatan alir, BJ nyata, BJ mampat dan % kompresibilitas,
distribusi ukuran granul serta kadar zat aktif dalam granul. Kemudian, ditambahkan
lubrikan dan disintegran. Selanjutnya, dilakukan proses kompresi sediaan, dikemas
dan dilakukan proses evaluasi sediaan meliputi; organoleptik, bentuk dan ukuran,
kekerasan tablet, friabilitas, kekerasan tablet, waktu hancur tablet, dan disolusi.
c) IPC dan Pengawasan Mutu
Pengemasan dan Penyimpanan Sediaan Akhir (Primer/Sekunder):
~ Obat disimpan pada suhu ruangan 25-30°C dan terlindung dari cahaya dikarenakan
obat kurang tahan terhadap pemanasan.
~ Obat jadi kemudian dikemas pada kemasan strip (kemasan primer) dengan tiap strip
mengandung 4 tablet (catch cover).
~ Setiap 50 strip dikemas dalam 1 kotak (kemasan sekunder) sehingga 10000 tablet
dikemas dalam 2500 strip yang dikemas lagi dalam 50 kotak/dus.
~ Kemasan strip dipilih karena senyawa aktif tidak tahan terhadap pemanasan, kemasan
strip lebih melindungi sediaan dari panas dan lebab. Obat jadi ini akan didistribusikan
dalam zona IV (panas dan lembab) sehingga kemasan strip paling tepat digunakan
(Hall,et.al, 2005)
~ Bentuk catch cover (1 kemasan terdiri dari 4 tablet) dipilih karena lebih praktis dan
mudah dibawa serta mencakup pemakaian untuk 1 hari.
Sebelum sediaan tablet antihipertensi dengan zat aktif ekstrak akar seledri
tersebut dipasarkan, perlu dilakukan tahap pengujian klinik terlebih dahulu yang terdiri
dari 4 fase yaitu;
a) Fase I; calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk mengetahui apakah sifat yang
diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan
hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat
pada manusia.
b) Fase II; calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efikasi pada penyakit yang
diobati, yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek potensial dengan efek
samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini, mulai dilakukan pengembangan dan
uji stabilitas bentuk sediaan obat.
c) Fase III; melibatkan kelompok besar pasien, disini obat baru dibandingkan efek dan
keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah diketahui.
d) Fase IV; setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran (post
marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai
usia dan ras, studi inu dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai
terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat. Selain itu,
juga dilakukan pemantauan terhadap toksisitas pada obat yang sudah beredar.
Setelah, calon obat melewati beberapa tahapan tersebut, dan apabila terbukti
khasiatnya lebih besar daripada resikonya serta aman dikonsumsi oleh manusia maka
calon obat tersebut dapat digunakan sebagai obat baru sebagai pengganti obat kimia.
Namun, dalam pelaksanaan uji klinik ini membutuhkan waktu yang lama dan biaya
yang sangat mahal, serta sulit dilakukan.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan berbagai data pengujian yang telah dilakukan terhadap tanaman herbal
seledri sebagai terapi antihipertensi yang meliputi; identifikasi senyawa aktif yang berperan
dalam penurunan tekanan darah, uji farmakologi, uji toksisitas dan adanya pengembangan
formulasi sediaan tablet antihipertensi dengan zat aktif akar seledri (Apium Graveolens
Radix) tersebut telah membuktikan bahwa seledri mengandung senyawa aktif apigenin yang
dapat menurunkan tekanan darah tinggi.
Berdasarkan data farmakologi, dari penelitian pengaruh fraksi etanol air dan etil asetat
akar seledri (Apium graveolens L) terhadap darah tikus hipertensi yang diinduksi dengan
NaCl dan prednison, dapat disimpulkan bahwa fraksi etanol-air dosis 20 mg/kgbb dan 40
mg/kgbb dan fraksi etil asetat dosis 40 mg/kgbb dapat menurunkan tekanan darah sistol,
diastol, dan tekanan arteri rata-rata pada tikus hipertensi secara signifikan (P‹0,05) dengan
potensi efek antihipertensi sebanding dengan kaptopril 2,5 mg/kgbb.
Berdasarkan uji toksisitas, menunjukkan nilai LC50 pada berbagai fraksi kurang dari
1000 ppm. Nilai LC50 pada berbagai fraksi hasil kolom menunjukkan bahwa ekstrak tersebut
sangat berpotensi sebagai calon obat dan bersifat bioaktivitas. Menurut Meyer (1982)
senyawa yang dapat dikatakan sebagai obat dan bersifat bioaktif adalah senyawa yang
memiliki nilai LC50 kurang dari 1000 ppm.
Berdasarkan data-data tersebut, maka ekstrak akar seledri dapat diformulasikan dalam
sediaan tablet antihipertensi yang diharapkan dapat dikembangkan menjadi sediaan
fitofarmaka, sehingga sediaan obat dengan zat aktif herbal ini dapat menggantikan obat-obat
kimia antihipertensi yang sudah ada dipasaran. Sehingga, dapat meminimalkan efek samping
obat, hal ini karena obat antihipertensi dikonsumsi dalam jangka panjang, sehingga obat
dengan zat aktif bahan alam tentunya akan memiliki efek samping yang relative lebih rendah
bila dibandingkan dengan obat kimia.
LAMPIRAN
DATA UJI FARMAKOLOGI
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2008. Naturakos. Volume 3,
Nomor 7. Jakarta : Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2010. Acuan Sediaan Herbal.
Volume kelima Edisi Kelima. Jakarta : Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1989. Materia Medika. Jilid V. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
M, Djatmiko, Pramono, S. 2001. Standarisasi Sediaan Daun Seledri (Apium graveolens L.)
Secara KLT-Densitometri Menggunakan Apigenin Sebagai Parameter. Jurnal
Penelitian : Majalah Farmasi Indonesia.
Nadiah. 2008. Kinetika Inhibisi Ekstrak Etanol Seledri (Apium graveolens L.) Dan Fraksinya
Terhadap Enzim Xantin Oksidasi Serta Penentuan Senyawa Aktifnya. Jurnal
Penelitian : Institut Pertanian Bogor.
Siska, Armenia, Arifin, H. 2008. The Effect Of Multiple Fractions Of Celery Root (Apium
graveolens L.) On Blood Pressure Of Hypertension Rats. Jurnal Penelitian :
Universitas Hamka.
Siswono, Hadi. 2008. Isolasi dan Identifikasi Ekstrak Etanol 95 % Dari Apium graveolens L.
Jurnal Penelitian : Mathematics and Natural Sciences.