makalah 1 (schizofrenia) - ms. conny
DESCRIPTION
psikiatri schizophreniaTRANSCRIPT
MODUL ORGAN MENTAL EMOSIONAL
“SEORANG SISWI SMA YANG MENGALAMI GANGGUAN
TIDUR DAN KEBINGUNGAN”
KELOMPOK III
030.06.149 M. Ardiansyah Rakun
030.08.167 Muhammad Yusuf
030.08.177 Ni Putu Devia Suciyanti
030.08.178 Ni Putu Indra Dewi
030.08.189 Oryza Sativa
030.08.206 Ricksando Siregar
030.09.063 Christopher R P Siagian
030.09.064 Citra Indah Puspita Sari
030.09.065 Claudia Marisca
030.09.066 Cynthia Ayu Permatasari
030.09.067 Dani Fahma Qurani
030.09.107 Hario Nugeroho
030.09.110 Henza Ayu Primalita
030.09.111 Herjuno Darpito
030.09.112 Hikmah Soraya
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA, 14 NOVEMBER 2011
BAB I
Pendahuluan
Gangguan jiwa merupakan suatu masalah dalam kehidupan bermasyarakat dari sejak
dahulu. Bidang Psikiatri sendiri mulai dikenal di Indonesia sekitar abad ke 14-15 M, yakni tepat
pada masa kafilah Islam. Semakin berkembangnya bidang ini saat mulai ditemukannya obat
Klorfromazine di tahun 1950. Saat ini, berbagai jenis gangguan jiwa sudah dapat ditemukan,
salah satunya adalah Schizofrenia.
Skizofrenia ini berasal dari bahasa Yunani schizos artinya terbelah, terpecah, dan phren
artinya pikiran. Secara harfiah, skizofrenia berarti pikiran atau jiwa yang terpecah/terbelah. Yaitu
tidak adanya integrasi otak yang mempengaruhi pikiran, perasaan dan afeksi. Dengan demikian
tidak ada kesesuaian antara pikiran dan emosi, antara persepsi dengan kenyataan yang
sebenarnya. Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric Association (APA)
tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. 75% Penderita
skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang
berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat
disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian
diri.
Makalah ini merupakan laporan dari hasil diskusi kelompok kami. Dalam makalah ini
akan dibahas mengenai status pasien, hasil pemeriksaan, gejala – gejala yang dialami pasien,
etiologi, patofisiologi penyakit serta terapi yang diberikan. Hasil akhir yang ingin dicapai adalah
penderita skizofrenia dapat kembali berfungsi dalam bidang pekerjaan, sosial dan keluarga.
BAB II
Laporan Kasus
1. Bina Rapport
2. Identitas Pasien
Nama : Nn. Conny
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 17 tahun
Alamat : -
Pekerjaan : seorang pelajar kelas II SMA swasta di Jakarta.
Anak ke- : 2
3. Keluhan Utama :
Sulit tidur dan merasa bingung mengapa semuanya berubah
4. Riwayat Gangguan Sekarang :
Pasien merasa lingkungan disekitarnya berubah termasuk keluarga dan teman-
temannya.
Pasien lebih sering berdiam diri, menarik diri dari pergaulan.
Malas merawat diri sendiri dan tidak mau sekolah.
Sering bergumam sendiri “mengapa semuanya berubah?”, “apa dunia mau kiamat?” ,
“apa aku ini mau gila?”
Sering marah – marah tanpa alasan.
Pasien merasa semua orang disekitarnya mengetahui rahasia dirinya dan mendengar
orang-orang menyindirnya.
5. Riwayat Gangguan Sebelumnya :
Sudah sejak 8 bulan yang lalu pasien tampak malas dan tidak mau sekolah.
Dibawa beristirahat keluar kota selama 6 bulan kondisi semakin memburuk.
Pernah mencoba bunuh diri dengan memotong urat nadi di pergelangan tangan.
6. Riwayat Pengobatan : -
7. Riwayat Kehidupan Pribadi :
Pasien merupakan anak ke-2 dari tiga bersaudara. Kakak laki – lakinya berumur 20
tahun seorang mahasiswa dan adiknya seorang perempuan berumur 15 tahun seorang
pelajar SMP.
Pasien dilahirkan cukup bulan, tidak ada masalah dengan kelahiran.
Perkembangan psikomotorik tidak ada kelainan.
Anak yang rajin dan suka merawat diri.
Hobby membaca buku novel, mengarang dan jalan – jalan di mall.
Kehidupan agama cukup baik
Senang bergaul banyak mempunyai teman dan belum mempunyai pacar.
8. Riwayat Pendidikan :
Pasien anak yang rajin dan termasuk paling pandai di sekolah. Prestasi akademiknya
bagus.
Pendidikan terakhir pasien adalah siswi kelas II SMA tetapi harus cuti setelah pasien
mengalami gangguan.
9. Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah pasien seorang karyawan swasta.
Ibu seorang ibu rumah tangga.
10. Riwayat Keluarga
Bibi pasien (adik perempuan dari ibu) pernah mengalami stress berat hingga mau
bunuh diri dan sempat dirawat di Rumah Sakit Jiwa.
Paman pasien pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa karena marah – marah tanpa
alasan dan mempunyai pikiran aneh – aneh.
11. Riwayat Sosial Sekarang
Pasien lebih sering berdiam diri, menarik diri dari pergaulan.
Malas merawat diri sendiri dan tidak mau sekolah.
Sering marah – marah tanpa alasan.
STATUS MENTAL
1. Deskripsi Umum
Penampilan : Tampak sesuai dengan usianya. Rambut tidak disisir, cara
berpakaian seadanya, wajah tidak dirias, memakai sepatu.
Kesadaran biologis : Tidak terganggu meskipun nampak mengantuk.
Kesadaran psikologis : Tampak seperti orang kebingungan, bicaranya agak
kacau, dan sering tidak menyambung.
Perilaku : Tidak dapat duduk lama, terlihat seperti bicara sendiri,
tersenyum sendiri.
2. Afek
Terbatas, cenderung tumpul (masih ada ekspresi tapi dengan intensitas yang sangat
kecil)
Ekspresi agak labil (mudah dirangsang)
Pengendalian kurang
Echt (wajar, tidak dibuat-buat)
Dangkal (Intensitasnya kurang)
Tidak dapat dirabasakan. (tidak ada keserasian antara perasaan, pikiran, dan
perbuatan)
Skala diferensiasi sempit. (hanya bisa memberikan satu atau dua jenis emosi)
3. Fungsi Intelektual
Daya konsentrasi terganggu.
Perhatian terganggu
Orientasi baik.
Daya ingat baik
Intelegensi di atas rata – rata
4. Gangguan Persepsi
Halusinasi auditorik third order (menurut pasien, pasien sering merasa ada orang yang
menyindirnya, mengomentarinya)
Ada derealisasi dan depersonalisasi (menurut pasien, baik dirinya maupun sekitarnya,
bahkan ibu dan teman-temannya berubah)
5. Proses Pikir
Isi pikir : Waham bizar (dunia mau kiamat), siar piker (menurut pasien,
semua orang mengetahui rahasianya).
Proses Pikir : Produktivitas kurang, miskin pikir, pengendoran asosiasi,
inkoherensi
6. Daya Nilai
Daya nilai social baik
Uji daya nilai social baik
Daya nilai realita, ada hendaya berat dalam menilai realita.
7. Tilikan : tilikan derajat I
8. Taraf dapat dipercaya : dapat dipercaya
9. Pemeriksaan Fisik, Neurologi, dan Laboratorium
Pemeriksaan Fisik : Tidak ada kelainan
Pemeriksaan Neurologi : Tidak ada kelainan
Pemeriksaan Laboratorium : Tidak ada kelainan
10. Diagnosis dan Diagnosis Banding4
Diagnosis
Berdasarkan Evaluasi Multiaksial
Aksis I : (F20-F29) SCHIZOFRENIA
Aksis II : (Z03.2) TIDAK ADA DIAGNOSIS AKSIS II
Aksis III : -
Aksis IV : -
Aksis V : (20-11) Bahaya mencederai diri/orang lain, disabilitas sangat
berat dalam komunikasi dan mengurus diri
Diagnosis Banding
Depres-i dengan gejala psikosis
Gangguan Skizoafektif
Gangguan Delusional
11. Daftar Masalah
Secara garis besar masalah pasien dapat dilihat dari 3 faktor, yaitu :
Organobiologi : masalah genetik
Psikologis : adanya halusinasi, waham, derealisasi, depersonalisasi
Sosiokultural : menarik diri dari pergaulan, tidak mau sekolah, tidak ada
aktifitas, tidak merawat dirinya.
Masalah Dasar Masalah
Genetik Bibi pasien (adik perempuan dari
ibu) pernah mengalami stress berat
hingga mau bunuh diri dan sempat
dirawat di Rumah Sakit Jiwa.
Paman pasien pernah dirawat di
Rumah Sakit Jiwa karena marah –
marah tanpa alasan dan mempunyai
pikiran aneh – aneh.
Depersonalisasi Pasien merasa dirinya berubah (“Apakah saya
sudah gila?”
Derealisasi Pasien merasakan hal diluar dirinya berubah
Merasa orang-orang di sekitarnya
berubah
Menurut pasien ibunya juga
berubah tidak seperti ibunya yang
dulu
Demikian juga teman-temannya
tidak sama lagi
Lingkungannya juga nampak
berubah bagi pasien
Halusinasi auditorik 3rd order Halusinasi yang menggunakan kata ganti orang
ketiga “dia” dan biasanya pasien akan
mendengarkan halusinasi dalam percakapan
atau diskusi
Pasien mendengar orang
menyindirnya
Mengomentarinya
Waham bizar Bizar = aneh, tidak masuk akal
Waham = isi pikir yang patologis
Jadi, waham bizar adalah isi pikir yang
patologis (keyakinan patologis) yang tidak
masuk akal, misalnya pasien merasa dunia mau
kiamat
Siar pikir Pasien merasa bahwa semua orang mengetahui
rahasianya
Autism Pasien menarik dirinya
Ambivalensi Kebingungan terutama dalam mengambil
keputusan
Afek tidak serasi Tidak adanya keserasian dari koordinat
psikiatri sehingga pada pasien ini, pemeriksa
(dokter psikiatri) tidak merasakan empati
Asosiasi longgar Menyebabkan bicara pasien kacau, tidak
nyambung
Percobaan bunuh diri Diakibatkan oleh karena adanya kebingungan,
putus asa, dan juga akibat adanya waham serta
halusinasi
12. Etiologi
Multifactorial
Terutama disebabkan oleh genetik (heredite) dimana terjadi suatu penurunan “bakat”
gangguan kejiwaan yang ditemukan pada genogram pasien.
13. Patofisiologi
Patofisiologi dari skizofrenia belum diketahui secara pasti, namun terdapat hipotesis-
hipotesis seperti stress-diathesis model, neurobiologi, genetika. Saat ini hipotesis yang
sering dgunakan adalah yang melibatkan sistem dopaminergik dan serotonergik.
Pada pasien ini ditemukan adanya
peningkatan dopaminergik. Dopamine
yang bermakna pada kasus ini adalah
dopamin tipe 2, terutama pada jalur
mesolimbik dan mesocortical.
Peningkatan dopamin pada jalur
mesolimbik akan menyebabkan
timbulnya gejala +
Pada jalur mesokortikal sebenarnya dopamin yang dihasilkan sudah sedikit, jadi pada
jalur ini serotonin yang meningkat menimbulkan gejala –
14. Rencana Terapi
1. Hospitalisasi
Merupakan suatu indikasi primer, dengan tujuan :
Untuk tujuan diagnosa lebih lanjut
Stabilisasi dari medikasi
Keselamatan pasien karena sudah tercetusnya suatu gagasan bunuh diri/gagasan
membunuh, perilaku kacau, tidak mampu mengurus diri
Dapat pula mengurangi stress pada pasien
Menolong memperbaiki aktifitas sehari-hari
Mengurus diri sendiri
Mengembalikan kualitas hidup, bekerja, dan hubungan sosial
2. Pengobatan somatik
a. Antipsikotik
Antipsikotik terbagi menjadi 2, yaitu APG I dan APG II
o APG I : hanya memiliki sifat sebagai D2 antagonis saja (bersifat “hit”)
jadi obat ini mengikat sangat kuat pada reseptor D2 sehingga
menyebabkan resiko efek samping tinggi
o APG II : selain memiliki D2 antagonis juga memiliki 5HT2 (serotonun
antagonis) dan bersifat “hit and run” jadi jika fungsinya sudah terlaksana,
obat ini akan melepas ikatannya sehingga efek sampingpun berkurang.
Saat ini penggunaan obat-obatan APG II lebih disarankan karena merupakan
“obat pintar” yang dapat menyesuaikan kerjanya dengan baik terhadap jalur
dopaminergik.
Obat yang dapat dipilih untuk pasien ini adalah :
Derivat Dibenzodiazepin (Clozapine) dengan sediaan 25 dan 100 mg
(disesuaikan)
Derivat Benzisoksazol (Risperidon) dengan sediaan 1,2,3 mg, sirup
atau injeksi 50 mg/ml
Derivat Tienobenzodiazepin (Olazapin struktur mirip dengan
clozapine) dengan sediaan tablet 5, 10 mg atau vial 10 mg
Quetiapin
Dll
b. ECT
o harus ada indikasi (schizofrenia terutama sub tipe katatonik, depresi berat,
maniakal)
o periksa adanya kontraindikasi
o harus inform consent
3. Terapi psikososial
o Terapi perilaku
o Terapi keluarga
o Terapi kelompok
o Latihan keterampilan
o Psikoterapi individual
15. Prognosis3
Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu ada, kebanyakan orang
mempunyai gejala sisa dengan keparahan yang bervariasi. Secara umum 25% individu
sembuh sempurna, 40% mengalami kekambuhan dan 35% mengalami perburukan. Ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesembuhan skizofrena seperti :
Prognosis baik Prognosis buruk
Usia tua Onset muda
Faktor penceetus jelas Tidak ada faktor pencetus
Onset akut Onset tidak jelas
riwayat sosial / pekerjaan pramorbid baik riwayat sosial / pekerjaan pramorbid buruk
Gejala gangguan mood (terutama gangguan
depresi)
Perilaku menarik diri
Menikah Tidak menikah, cerai, janda/duda
Riwayat keluarga gangguan mod Riwayat keularga skizofrenia
Gejala positif Gejala negatif
Sistem pendukung yang baik Sistem pendukung yang buruk
Riwayat trauma perinatal
Sering relaps
Tanda dan gejala neeurologis
Sehingga pada pasien ini kami simpulkan :
Ad vitam : dubia ad malam
Ad fungctionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Prognosis ini kami tegakkan karena kami berpikir semuanya tergantung kepada pasien
sendiri dan juga dukungan dari orang sekitar pasien. Selain itu kami juga
mempertimbangkan dari segi terapi yang diberikan pada pasien.
Jika pasien memiliki kemauan yang sangat tinggi untuk sembuh dan mendapat dorongan
yang sangat kuat dari keluarga dan orang terdekat pasien, maka kesembuhan akan lebih
baik.
BAB III
Pembahasan
A. Definisi2
Di bawah ini merupakan berbagai definisi Skizofrenia:
1. Skizofrenia adalah kekacauan jiwa yang serius ditandai dengan kehilangan kontak
pada kenyataan (psikosis), halusinasi, khayalan (kepercayaan yang salah), pikiran
yang abnormal dan menggangu kerja dan fungsi sosial (DSM-IV-TR, 2008)
2. Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area
fungsi individu, termasuk berpikir dan berkomunikasi, menerima dan
menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi dan berperilaku
dengan sikap yang tidak dapat diterima secara sosial (Durand dan Barlow, 2007)
3. Skizofrenia adalah penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada
dopamine, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik
paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respon emosional dan
menarik diri dari hubungan antarpribadi normal, sering kali diikuti dengan delusi
(keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsangan panca indera)
(Arif, 2006).
Dari beberapa definisi di atas, kami menyimpulkan bahwa Skizofrenia adalah gangguan
jiwa serius yang bersifat psikosis sehingga penderita kehilangan kontak dengan
kenyataan dan mempengaruhi berbagai fungsi individu, seperti afeksi dan kognitif.
B. Jenis-Jenis Schizofrenia
Terdapat berbagai macam skizofrenia, yaitu sebagai berikut:
1. Skizofrenia Simplex
Yaitu skizofrenia yang sering timbul pertama kali pada masa pubertas (pada beberapa
kasus). Gejala utamanya adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan.
Gangguan proses berpikir biasanya ditemukan, waham dan halusinasinya jarang
sekali ada.
2. Jenis Hebrefenik
Yaitu jenis skizofrenia yang permulannya perlahan-lahan dan sering timbul pada
masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang menyolok ialah gangguan proses
berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi.
3. Jenis katatonik
Yaitu jenis skizofrenia yang timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun,
biasanya akut serta didahului oleh stres emosional. Skizofrenia jenis ini melibatkan
aspek psikomotorik. Skizofrenia jenis katatonik terbagi menjadi 2, yaitu:
a. Stupor Katatonik, merupakan gangguan di mana penderita tidak menunjukkan
perhatian sama sekali pada lingkungan. Gejala yang muncul di antaranya adalah
mutisme (kadang-kadang mata tertutup) dan muka tanpa mimik
b. Gaduh Gelisah Katatonik, merupakan skizofrenia jenis katatonik di mana
terdapat hiperaktivitas, tetapi tidak disertai dengan emosi dan rangsangan dari
luar.
4. Jenis Paranoid
Jenis skizofrenia ini agak berbeda dari jenis-jenis yang lain dalam jalannya jenis
penyakit. Jenis ini mulai sesudah umur 30 tahun, penderita mudah tersinggung,
cemas, suka menyendiri, agak congkak dan kurang percaya pada orang lain. Hal ini
dilakukan penderita karena adanya waham kebesaran dan atau waham kejar ataupun
tema lainnya disertai juga dengan halusinasi yang berkaitan.
5. Skizofrenia Residual
Yaitu jenis skizofrenia dengan gejala mengalami gangguan proses berpikir, gangguan
afek dan emosi, ganguan emosi serta gangguan psikomotor. Namun, tidak ada gejala
waham dan halusinasi. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan
skizofrenia.
6. Jenis Skizo-Afektif
Yaitu jenis skizofrenia yang selain gejala-gejalanya yang menonjol secara bersamaan
juga gejala-gejala depresi atau gejala-gejala mania menyertai. Jenis ini cenderung
untuk menjadi sembuh tanpa efek tetapi mungkin juga seringkali timbul lagi.
C. Sebab-Sebab (BioPsikososialSpiritual)
Ada beberapa teori yang mungkin bisa menjelaskan penyebab skizofrenia. Adapun
teori-teori tersebut seperti tersebut di bawah ini:
1. Teori Neurotransmitter
Di dalam otak manusia terdapat berbagai macam neurotransmitter, yaitu substansi
atau zat kimia yang bertugas menghantarkan impuls-impuls saraf. Ada beberapa
neurotransmitter yang diduga berpengaruh terhadap timbulnya skizofrenia. Dua di
antaranya yang paling jelas adalah neurotransmitter dopamine dan serotonin.
Berdasarkan penelitian, pada pasien-pasien dengan skizofrenia ditemukan
peningkatan kadar dopamine dan serotonin di otak secara relatif.
Menurut Mesholam Gately et.al dalam jurnal Neurocognition in First-Episode
Schizophrenia: A Meta Analytic Review (2009), gangguan neurokognisi adalah fitur
utama pada episode pertama penderita skizofrenia. Gangguan tersebut membuat
sistem kognisi tidak dapat bekerja seperti kondisi normal.
2. Teori Genetik
Diduga faktor genetik juga berpengaruh terhadap timbulnya skizofrenia.
Walaupun demikian, terbukti dari penelitian bahwa skizofrenia tidak diturunkan
secara hukum Mendeell (jika orang tua skizofrenia, belum tentu anaknya skizofrenia
juga). Dari penelitian didapatkan prevalensi sebagai berikut:
Populasi umum 1%
Saudara Kandung 8%-10%
Anak dengan salah satu orang tua skizofrenia 12%-15%
Kembar 2 telur (dizigot) 12%-15%
Anak dengan kedua orang tua skizofrenia 35%-40%
Kembar monozigot 47%-50%
3. Predisposisi Genetika
Meskipun genetika merupakan faktor resiko yang signifikan, belum ada penanda
genetika tunggal yang diidentifikasi. Kemungkinan melibatkan berbagai gen.
Penelitian telah berfokus pada kromosom 6, 13, 18, dan 22. Resiko terjangkit
skizofrenia bila gangguan ini ada dalam keluarga, yaitu satu orang tua yang terkena
12%-15%, kedua orang tua terkena penyakit ini resiko 35%-40%, saudara sekandung
terjangkit resiko 8%-10%, kembar dizigotik yang terkena resiko 12%-15%, bila
kembar monozigotik yang terkena resiko 47%- 50%.
Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia diturunkan, 1% dari
populasi umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai hubungan derajat
pertama seperti orang tua, kakak laki laki ataupun perempuan dengan skizofrenia.
Masyarakat yang mempunyai hubungan derajat ke dua seperti paman, bibi, kakek /
nenek dan sepupu dikatakan lebih sering dibandingkan populasi umum. Kembar
identik 40% sampai 65% berpeluang menderita skizofrenia sedangkan kembar
dizigotik 12%. Anak dan kedua orang tua yang skizofrenia berpeluang 40%, satu
orang tua 12 % (Makalah pembahas).
4. Abnormalitas Perkembangan Syaraf
Penelitian menunjukkan bahwa malformasi janin minor yang terjadi pada awal
gestasi berperan dalam manifestasi akhir dari skizofrenia. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi perkembangan saraf dan diidentifikasi sebagai resiko yang terus
bertambah, meliputi individu yang ibunya terserang influenza pada trimester kedua,
individu yang mengalami trauma atau cedera pada waktu dilahirkan, dan
penganiayaan atau trauma di masa bayi atau masa anak-anak.
5. Abnormalitas Struktur dan aktivitas Otak
Pada beberapa subkelompok penderita skizofrenia, teknik pencitraan otak (CT,
MRI, dan PET) telah menujukkan adanya abnormalitas pada struktur otak yang
meliputi pembesaran ventrikel, penurunan aliran darah ventrikel, terutama di korteks
prefrontal penurunan aktivitas metaolik di bagian-bagian otak tertentu atrofi serebri.
Ahli neurologis juga menemukan pemicu dari munculnya gejala skizofrenia. Pada
para penderita skizofrenia diketahui bahwa sel-sel dalam otak yang berfungsi sebagai
penukar informasi mengenai lingkungan dan bentuk impresi mental jauh lebih tidak
aktif dibanding orang normal.
Temuan ini bisa menjabarkan dan membantu pengobatan munculnya halunisasi
dan gangguan pemikiran pasien skizofrenia, demikian menurut tim dari Harvard
Medical School. Pada saat yang sama para ilmuwan memonitor gelombang otak
partisipan dengan menggunakan alat electroencephalogram (EEG) yang bisa
memberi informasi aktivitas elektrik otak. Kedua kelompok memberi respon terhadap
gambar-gambar tersebut selama satu detik saja. Namun mereka yang menderita
skizofrenia membuat lebih banyak kesalahan dan membutuhkan waktu lebih banya
200 milidetik dibanding yang sehat.
Ketika para ilmuwan mengamati pola gelombang otak, mereka menemukan
bahwa pasien skizofrenia memperlihatkan tidak adanya aktivitas pasti dalam
gelombang otakknya ketika menekan tombol-tombol jawaban. Sementara partisipan
yang sehat memiliki aktivitas gelombang gama yang bisa menjadi identifikasi bahwa
otak mereka memproses informasi visual sebagai petunjuk responnya. “Ada
perbedaan yang sangat dramatis. Para penderita skizofrenia tidak memperlihatkan
respons gama sama sekali”, komentar Dr. Robert McCarley, pemimpin studi. Jika
komunikasi yang paling efisien terjadi pada gelombang 40 hertz, maka penderita
skizofrenia menggunakan frekuensi yang jauh lebih rendah. Ini sama saja artinya
dengan mereka tidak mempunyai proses komunikasi yang efektif pada sel penukar
informasi dan bagian otaknya.
6. Ketidakseimbangan Neurokimia (neurotransmitter)
Skizofrenia memiliki basis biologis, seperti halnya penyakit kanker dan diabetes.
Penyakit ini muncul karena ketidakseimbangan yang terjadi pada dopamine, yakni
salah satu sel kimia dalam otak (neurotransmitter). Otak sendiri terbentuk dari sel
saraf yang disebut neuron dan kimia yang disebut neurotransmitter.
Penelitian terbaru bahkan menunjukkan serotonin, norepinefrin, glutamate, dan
GABA juga berperan dalam menimbulkan gejala-gejala skizofrenia. Majorie Wallace,
pimpinan eksekutif yayasan Skizofrenia SANE, London, berkomentar bahwa, di
dalam otak terdapat miliaran sambungan sel. Setiap sambungan sel menjadi tempat
untuk meneruskan maupun menerima pesan dari sambungan sel lainnya. Sambungan
sel tersebut melepaskan zat kimia yang disebut neurotransmitter yang menbawa pesan
dari ujung sambungan sel yang satu ke ujung sambungan sel yang lain. Di dalam otak
penderita skizofrenia, terdapat kesalahan atau kerusakan pada sistem komunikasi
tersebut. Biasanya mereka mengalami halusinasi.
Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak tidak mampu
menginterpretasikan dan merespons pesan atau rangsangan yang datang. Penderita
skizofrenia mungkin mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya
tidak ada, atau mengalami suatu sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya. Auditory
hallucinations, gejala yang biasanya timbul, yaitu penderita merasakan ada suara dari
dalam dirinya.
Kadang suara itu dirasakan menyejukkan hati, memberi kedamaian, tapi kadang
suara itu menyuruhnya melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, seperti bunuh diri.
Gejala lain adalah menyesatkan pikiran atau delusi, yakni kepercayaan yang kuat
dalam menginterpretasikan sesuatu yang kadang berlawanan dengan kenyataan.
Misalnya, pada penderita skizofrenia, lampu lalu lintas di jalan raya yang berwarna
merah kuning hijau, dianggap sebagai suatu isyarat dari luar angkasa.
7. Proses Psikososial dan Lingkungan
Proses psikososial dan lingkungan juga sangat berpengaruh untuk menyebabkan
skizofrenia. Setiap orang pada umumnya memiliki kecenderungan untuk skizofrenia
1%. Pada individu yang memiliki hubungan dekat dengan seseorang yang terjangkit
skizofrenia, kecenderungannya sekitar 10%. Jika seseorang hidup dalam lingkungan
yang mendukung asosial, kemungkinan seseorang untuk mengidap skizofrenia tinggi.
Namun bila sedeorang hidup dalam lingkungan yang terbuka, walaupun secara
genetik dia memiliki kecenderungan skizofrenia, hal itu bisa diminimalisisr bahkan
dihilangkan.
D. Perspektif Aliran-Aliran
Berbagai cara dilakukan untuk memahami dan mengatasi skizofrenia. Dalam
perspektif psikologis, khususnya perspektif psikodinamik dan perkembangan, diyakini
bahwa skizofrenia bukanlah gangguan yang terjadi secara langsung dan tiba-tiba
melainkan merupakan hasil suatu proses panjang. Proses berakar pada gangguan relasi
yang paling awal, yaitu antara bayi dan caregiver-nya (McGlashan; Arif, 2006).
Sementara itu teori keluarga menjelaskan bawah beberapa pasien skizofrenia
sebagaimana orang mengalami penyakit non-psikiatrik berasal dari keluarga dengan
disfungsi. Selain itu, hal yang juga relevan adalah perilaku keluarga yang patologis, yang
secara signifikan meningkatkan stress emosional yang harus dihadapi oleh pasien
skizofrenia (makalah pembahas).
Gangguan dini dalam relasi ini kemudian mengakibatkan kerentanan dan
berujung pada kerusakan yang berat bagi individu yang bersangkutan. Interaksi bayi
dengan pengasuh atau bahkan ibunya (yang menjadi primary object) harus menghasilkan
ruang psikologis yang memadai untuk pertumbuhan kepribadiannya. Demikian juga
dengan anggota keluarga lainnya yang mungkin akan menjadi external object relations
pertama bagi si bayi (bila bayi tumbuh di lingkungan keluarganya). Respon positif
terhadap keberadaan bayi tersebut akan meneguhkan dan membentuk kepribadian yang
sehat pada bayi tersebut. Kepribadian yang sehat ini kelak ditandai dengan coping yang
baik terhadap masalah yang dihadapi.
Dari perspektif behavioral dijelaskan bahwa patologi terjadi karena proses belajar
yang salah. Hal ini berkaitan dengan perspektif kognitif yang menjelaskan bahwa
patologi terjadi karena keyakinan dan proses kognitif yang salah, yang bisa jadi karena
proses belajar yang salah juga. Prinsip reward dan punishment pada proses belajar juga
akan terkait dengan pengaktualisasian potensi yang dibatasi jika individu terlalu banyak
mendapat punishment saat belajar, sehingga patologi muncul. Jika skizofrenia ditilik dari
perspektif humanistik, maka pasti ada pembatasan aktualisasi diri yang berlebihan pada
diri penderita gangguan psikotik ini.
Sementara jika ditilik dari perspektif spiritual Islami, penderita gangguan psikotik
adalah hasil dari ketidakseimbangan kesehatan mental, kesehatan sosial, kesehatan
spiritual, kesehatan finansial, dan kesehatan fisik. Menurut perspektif spiritual Islami,
manusia akan sehat secara holistik jika mampu menyeimbangkan seluruh aspek
kesehatan yang dimiliknya.
Dari penjabaran di atas, jelas bahwa diperlukan multiperspektif untuk
menjelaskan skizofrenia secara tepat.
E. Gejala5
Ada banyak gejala-gejala skizofrenia. Gejala-gejala ini dirumuskan oleh berbagai
sumber. Menurut Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorder IV-TR, gejala
khas skizofrenia berupa adanya:
1. Waham atau Delusi (keyakinan yang salah dan tidak bisa dikoreksi yang tidak sesuai
dengan kenyataan, maupun kepercayaan, agama, dan budaya pasien atau masyarakat
umum)
2. Halusinasi (persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar)
3. Pembicaraan kacau
4. Perilaku kacau
5. Gejala negatif (misalnya berkurangnya kemampuan mengekspresikan emosi,
kehilangan minat, penarikan diri dari pergaulan sosial)
Selain itu untuk menegakkan diagnosa skizofrenia menurut DSM IV-TR (2008)
adalah munculnya disfungsi sosial, durasi gejala khas paling sedikit 6 bulan, tidak
termasuk gangguan perasaan (mood), tidak termasuk gangguan karena zat atau karena
kondisi medis, dan bila ada riwayat Autistic Disorder atau gangguan perkembangan
pervasive lainnya, diagnosis skizofrenia dapat ditegakkan bila ditemui halusinasi dan
delusi yang menonjol selama paling tidak 1 bulan.
Menurut Bleuler, ada 2 kelompok gejala-gejala skizofrenia, yaitu:
1. Gejala Primer, yang meliputi:
a. Gangguan proses pikiran (bentuk, langkah dan isi pikiran). Pada skizofrenia inti,
gangguan memang terdapat pada proses pikiran.
b. Gangguan afek dan emosi. Gangguan ini pada skizofren berupa:
1) Parathimi, yaitu apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira,
pada penderita malah menimbulkan rasa sedih atau marah.
2) Paramimi, yaitu penderita merasa senang tetapi menangis
c. Gangguan kemauan, yaitu gangguan di mana banyak penderita skizofrenia
memiliki kelemahan kemauan. Mereka tidak dapat mengambil keputusan dan
tidak dapat bertindak dalam sebuah situasi menekan. Gangguan kemauan yang
timbul antara lain:
1) Negativisme, yaitu sikap atau perbuatan yang negatif atau berlawanan
terhadap suatu permintaan.
2) Ambivalensi, yaitu sikap yang menghendaki seseuatu yang berlawanan pada
waktu yang bersamaan.
3) Otomatisme, yaitu penderita merasa kemauannya dipengaruhi oleh orang lain
atau oleh tenaga dari luar, sehingga dia melakukannya secara otomatis.
d. Gejala psikomotor, disebut juga dengan gejala-gejala katatonik. Sebetulnya gejala
katatonik sering mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya ringan
saja, maka dapat dilihat gerakan-gerakan yang kurang luwes atau agak kaku.
2. Gejala Sekunder, yang meliputi:
a. Waham.
Pada penderita skizofrenia waham sering tidak logis sama sekali dan sangat bizar.
Tetapi penderita tidak menginsafi hal ini dan untuk dia wahamnya merupakan
fakta dan tidak dapat diubah oleh siapapun.
b. Halusinasi.
Pada penderita skizfrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal
ini merupakan suatu gejala yang hampir tidak dijumpai pada keadaan lain.
Menurut Bleuler, seseorang didioagnosa menderita skizofrenia apabila terdapat
gangguan-gangguan primer dan disharmoni pada unsur-unsur kepribadian yang diperkuat
dengan adanya gejala-gejala sekunder.
Menurut Kut Schneider, terdapat 11 gejala skizofrenia yang terdiri dari 2 kelompok,
yaitu sebagai berikut:
1. Kelompok A, halusinasi pendengaran, yaitu:
a. Pikirannya dapat didengar sendiri
b. Suara-suara yang sedang bertengkar
c. Suara-suara yang mengomentari perilaku penderita
2. Kelompok B, gangguan batas ego, yang meliputi:
a. Tubuh dan gerakan penderita dipengaruhi oleh kekuatan dari luar
b. Pikirannya diambil keluar
c. Pikirannya dipengaruhi oleh orang lain
d. Pikirannya diketahui oleh orang lain
e. Perasaannya dibuat oleh orang lain
f. Kemauannya dipengaruhi orang lain
g. Dorongannya dikuasai orang lain
h. Persepsi yang dipengaruhi oleh waham
Menurut Kut Schneider, seseorang bisa didiagnosa penderita skizofrenia bila ada
gejala dari kelompok A dan Kelompok B, dengan syarat kesadaran penderita tidak
menurun.
Gejala lain yang diungkap adalah:
1. Gejala-Gejala Positif, yaitu penambahan fungsi dari batas normal, meliputi:
a. Delusi.
Delusi adalah keyakinan yang oleh kebanyakan orang dianggap misinterpretasi
terhadap realitas. Delusi memiliki bermacam-macam bentuk, yaitu delusion of
grandeur (waham kebesaran) yaitu keyakinan irasional mengenai nilai dirinya,
delusion of persecution yaitu yakin dirinya atau orang lain yang dekat dengannya
diperlakukan dengan buruk oleh orang lain dengan cara tertentu, delusion of
erotomanic yaitu keyakinan irasional bahwa penderita dicintai oleh seseorang
yang lebih tinggi statusnya, delusion of jealous yaitu yakin pasangan seksualnya
tidak setia, dan delusion of somatic yaitu merasa menderita cacat fisik atau
kondisi medis tertentu.
b. Halusinasi
Gejala-gejala psikotik dari gangguan perseptual dimana berbagai hal dilihat
didengar, atau diindera meskipun hal-hal itu tidak real (benar-benar ada).
2. Gejala-Gejala Negatif, yaitu pengurangan fungsi dari batas normal, meliputi:
a. Avolisi
Yaitu apati atau ketidakmampuan untuk memulai atau mempertahankan kegiatan-
kegiatan penting.
b. Alogia
Yaitu pengurangan dalam jumlah atau isi pembicaraan.
c. Anhedonia
Yaitu ketidakmampuan untuk mengalami kesenangan yang terkaitu dengan
beberapa gangguan suasana perasaan dan gangguan skizofrenik.
d. Afek Datar
Yaitu tingkah laku yang tampak tanpa emosi.
3. Gejala Disorganisasi, yaitu ketidakharmonisan fungsi, meliputi:
a. Disorganisasi dalam pembicaraan (Disorganized Speech)
Gaya bicara yang sering terlihat pada penderita skizofrenia termasuk inkoherensi
dan ketiadaan pola logika yang wajar.
b. Afek yang tidak pas (inappropriate Affect) dan perilaku yang disorganisasi
Afek yang tidak pas merupakan ekspresi emosi yang tidak sesuai dengan aslinya.
Perilaku yang disorganisasi adalah perilaku yang tidak lazim.
Untuk mendiagnosa seseorang skizofrenia, seseorang harus menunjukkan 2 atau lebih
gejala positif, negatif, atau disorganisasi dengan porsi yang besar selama paling sedikit 1
bulan.
Tanda awal skizofrenia seringkali terlihat saat kanak-kanak. Tanda-tanda tersebut
perlu untuk diketahui untuk membedakan gejala skizofrenia pada anak dengan proses
belajar anak yang masih dalam bentuk bermain. Anak seringkali berimajinasi tentang
peran-peran baru dalam permainannya, namun hal tersebut bukanlah sebuah gangguan.
Indikator premorbid (pra-sakit) pada anak pre-skizofrenia antara lain:
1. Ketidakmampuan anak mengekspresikan emosi (wajah dingin, jarang tersenyum, tak
acuh)
2. Penyimpangan komunikasi (anak sulit melakukan pembicaraan terarah)
3. Gangguan atensi (anak tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, serta
memindahkan atensi)
Adapun gejala awal yang terlihat pada tahap-tahap tertentu dalam perkembangan
adalah sebagai berikut:
1. Pada anak perempuan, tampak sangat pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial,
tidak bisa menikmati rasa senang, dan ekspresi wajah sangat terbatas
2. Pada anak laki-laki, sering menantang tanpa alasan jelas, menggangu, dan tidak
disiplin
3. Pada bayi, biasanya terdapat problem tidur makan, gangguan tidur kronis, tonus otot
lemah, apatis, dan ketakutan terhadap objek atau benda yang bergerak cepat
4. Pada balita, terdapat ketakutan yang berlebihan terhadap hal-hal baru seperti potong
rambut, takut gelap, takut terhadap label pakaian, takut terhadap benda-benda
bergerak
5. Pada anak usia 5-6 tahun, mengalami halusinasi suara seperti mendengar bunyi
letusan, bantingan pintu atau bisikan, juga halusinasi visual seperti melihat adanya
sesuatu yang bergerak meliuk-liuk, ular, bola-bola bergelindingan, lintasan cahaya
dengan latar belakang warna gelap. Anak terlihat bicara atau tersenyum sendiri,
menutup telinga, sering mengamuk tanpa sebab.
F. Onset
Siapa saja bisa terkena skizofrenia, tanpa memandang jenis kelamin, status sosial
maupun tingkat pendidikan. Usia terbanyak berdasarkan statistik adalah 15-30 tahun,
dimana gejala skizofrenia mulai muncul pada umur 20 tahun untuk pria, sedangkan untuk
wanita gejala-gejala skizofrenia mulai muncul pada umur 20 tahun atau awal umur 30
tahun. Namun, pada saat ini juga mulai dikenal skizofrenia anak (sekitar usia 8 tahun,
bahkan ada kasus usia 6 tahun) dan late-onset skizofrenia (usia lebih dari 45 tahun).
Berbagai hal lain yang bisa meningkatkan seseorang untuk mengidap skizofrenia, yaitu
memiliki garis keturunan skizofrenia, terjangkit virus saat dalam kandungan, kekurangan
gizi saat dalam kandungan, stresor lingkungan yang tinggi, memakai obat-obatan
psikoaktif saat remaja, dan lain-lain.
Kami mendapatkan sumber kasus onset dini skizofrenia dari DSM-IV-TR (2008).
Sumber tersebut tidak menjelaskan secara rinci bagaimana kasus dan waktu terjadinya.
Sumber hanya menerangkan bahwa memang ada kesulitan untuk mendiagnosis anak
yang terkena skizofrenia, terutama pada fitur visual halusinasi. Penulis mencoba
memberikan contoh kasus ini dari film Pans Labirynth,dimana ada seorang anak yang
sering “bermain” dengan dunia peri namun juga memiliki keluarga di dunia nyata. Anak
tersebut benar-benar tidak dapat membedakan mana dunia nyata dan dunia delusi.
Sementara itu menurut Kaplan, Sadock, & Grebb; Davison & Neale ( Fausiah &
Widur; makalah pembahas) onset untuk laki laki 15 sampai 25 tahun sedangkan wanita
25-35 tahun. Prognosisnya adalah lebih buruk pada laki laki dibandingkan wanita.
Sedangkan onset skizofrenia sebelum usia 10 tahun atau setelah usia 50 tahun sangat
jarang terjadi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pria lebih mungkin
memunculkan simton negatif dibandingkan wanita, dan wanita tampaknya memiliki
fungsi sosial yang lebih baik daripada pria.
Pada kesimpulannya individu pada umur berapapun rawan menderita skizofrenia
bila faktor biologis berinteraksi dengan faktor psikologis dan sosial.
G. Prevalensi
Prevalensi (kemungkinan terjadi) gangguan skizofrenia dapat dilihat pada daftar di
bawah ini:
1. Populasi umum 1%
2. Saudara Kandung 8%-10%
3. Anak dengan salah satu orang tua skizofrenia 12%-15%
4. Kembar 2 telur (dizigot) 12%-15%
5. Anak dengan kedua orang tua skizofrenia 35%-40%
6. Kembar monozigot 47%-50%
H. Terapi1
1. Terapi Biologis/Medis
Psikofarmaka
o Pemilihan Obat
Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah
obat antipsikosis atipikal, Sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol
dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-
pasien dengan efek samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal.
Obat antipsikotik yang beredar dipasaran dapat dikelompokkan menjadi
dua bagian yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I) dan antipsikotik
generasi ke dua (APG ll). APG I bekerja dengan memblok reseptor D2 di
mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal dan tuberoinfundibular sehingga
dengan cepat menurunkan gejala positif tetapi pemakaian lama dapat
memberikan efek samping berupa: gangguan ekstrapiramidal, tardive
dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan menyebabkan disfungsi
seksual / peningkatan berat badan dan memperberat gejala negatif maupun
kognitif. Selain itu APG I menimbulkan efek samping antikolinergik seperti
mulut kering pandangan kabur gangguaniniksi, defekasi dan hipotensi. APG I
dapat dibagi lagi menjadi potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau
sama dengan 10 mg diantaranya adalah trifluoperazine, fluphenazine,
haloperidol dan pimozide. Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi sindrom
psikosis dengan gejala dominan apatis, menarik diri, hipoaktif, waham dan
halusinasi. Potensi rendah bila dosisnya lebih dan 50 mg diantaranya adalah
Chlorpromazine dan thiondazine digunakan pada penderita dengan gejala
dominan gaduh gelisah, hiperaktif dan sulit tidur.
APG II sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA) atau
antipsikotik atipikal. Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada ke
empat jalur dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping
extrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia
untuk golongan ini adalah clozapine, olanzapine, quetiapine dan rispendon.
o Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :
Onset efek primer (efek klinis) : 2-4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : 2-6 jam
Waktu paruh : 12-24 jam (pemberian 1-2 x/hr)
Dosis pagi dan malam dapat berbeda (pagi kecil, malam besar) sehingga
tidak mengganggu kualitas hidup penderita.
Obat antipsikosis long acting : fluphenazine decanoate 25 mg/cc atau
haloperidol decanoas 50 mg/cc, IM untuk 2-4ininggu. Berguna untuk
pasien yang tidak/sulitininum obat, dan untuk terapi pemeliharaan.
o Cara/Lama Pemberian
Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3
hari sampai mencapai dosis efektif (sindrom psikosis reda), dievaluasi setiap 2
minggu bila pertu dinaikkan sampai dosis optimal kemudian dipertahankan 8-
12minggu. (stabilisasi). Diturunkan setiap 2ininggu (dosis maintenance) lalu
dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holiday
1-2/hari/minggu) setelah itu tapering off (dosis diturunkan 2-4 minggu) lalu
stop.
Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis multiepisode, terapi
pemeliharaan paling sedikit 5 tahun (ini dapat menurunkan derajat
kekambuhan 2,5 sampai 5 kali). Pada umumnya pemberian obat antipsikosis
sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala
psikosis reda sama sekali. Pada penghentian mendadak dapat timbul gejala
cholinergic rebound gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing dan
gemetar. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian anticholmnergic agent
seperti injeksi sulfas atropin 0,25 mg IM, tablet trhexyphenidyl 3x2 mg/hari.
2. Terapi Keluarga
Selain terapi obat, psikoterapi keluarga adalah aspek penting dalam pengobatan.
Pada umumnya, tujuan psikoterapi adalah untuk membangun hubungan kolaborasi
antara pasien, keluarga, dan dokter atau psikolog. Melalui psikoterapi ini, maka
pasien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan lingkunganya. Keluarga dan
teman merupakan pihak yang juga sangat berperan membantu pasien dalam
bersosialisasi. Dalam kasus skizofrenia akut, pasien harus mendapat terapi khusus
dari rumah sakit. Kalau perlu, ia harus tinggal di rumah sakit tersebut untuk beberapa
lama sehingga dokter dapat melakukan kontrol dengan teratur dan memastikan
keamanan penderita.
Tapi sebenarnya, yang paling penting adalah dukungan dari keluarga penderita,
karena jika dukungan ini tidak diperoleh, bukan tidak mungkin para penderita
mengalami halusinasi kembali. Menurut Dadang, sejumlah penderita skizofrenia juga
sering kambuh meski telah menyelesaikan terapi selama enam bulan. Karena itu, agar
halusinasi tidak muncul lagi, maka penderita harus terus menerus diajak
berkomunikasi dengan realitas. Namun, keluarga juga tidak boleh berlebih-lebihan
dalam memperlakukan penderita skizofrenia.
3. Terapi Psikososial
Salah satu efek buruk skizofrenia adalah dampak negatif pada kemampuan orang
untuk berinteraksi dengan orang lain. Meskipun tidak sedramatis halusinasi dan
delusi, masalah ini dapat menimbulkan konflik dalam hubungan sosial. Para klinisi
berusaha mengajarkan kembali berbagai keterampilan sosial seperti keterampilan
percakapan dasar, asertivitas, dan cara membangun hubungan pada penderita
skizofrenia. Klien juga diberikan terapi okupasi sebagai bagian untuk membantu
mereka melaksanakan tugas sederhana dalam kehidupan sehari-hari .
BAB IV
Kesimpulan
Pada pasien ini ditemukan adanya gejala-gejala gangguan psikotik yang mengarah
kepada terbentuknya waham dan halusinasi sehingga pasien ini didiagnosa sebagai penderita
Schizofrenia. Dengan terapi yang baik dan juga kemauan pasien beserta dorongan keluarga yang
kuat maka pasien dapat setidaknya memasuki fase residual dimana waham pada pasien sudah
minimal atau tidak ada sama sekali, bahkan tidak sedikit penderita Schizofrenia yang dapat
sembuh.
Daftar Pustaka
1. Nantingkaseh Luana . Skizofrenia dan Gangguan Psikotik Lainnya. Accesed at
November, 11. 2011 available at : http://www.idijakbar.com/prosiding/skizofrenia.htm
2. Durand, V. Mark dan David H. Barlow. 2007. Intisari Psikologi Abnormal. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
3. Kaplan, Hl, Sadock BJ, Grebb JA, Skizofrenia, dalam : Sinopsis psikiatri, ed 7, vol 1,
1997
4. Departeman Kesehaan RI Dikretorat Jendral Pelayanan Medik. Pedoman Penggolongan
dan Diagnosis Gangguan Jiwa III. 1993
5. American Psychiatric Association. 2008. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder 4th Edition Text Revision. Washington DC: Arlington VA.