majelis permusyawaratan rakyat

20
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Oleh: I Gusti Ngurah Santika, SPd Perubahan UUD 1945 telah membawa perubahan yang sangat mendasar, terutama dalam kaitannya dengan hubungan antar lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ditandai dengan berkurangnya kekuasaan yang dimiliki oleh MPR, yang pada awal mulanya dalam UUD 1945 adalah sebagai pemegang  sepenuhnya kedaulatan rakyat. Ini merupakan salah satu hasil yang sangat positif daripada adanya amandemen terhadap UUD 1945, yang merubah kedudukan MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan demikian, merupakan sebuah awal daripada mulai diletakannya landasan guna terciptanya mekanisme checks and  balances antara lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945. Dalam hubungan antara kelembagaan negara, yang merupakan salah satu tujuan utama untuk diadakannya amandemen terhadap UUD 1945 adalah untuk menata kembali kedudukan, fungsi dan kewenangannya yang tentunya akan berimplikasi pula terhadap keseimbangan ( check  and  balance) antara lembaga negara. Hubungan itu ditata sedemikian rupa sehingga tidak terjadi  pemusatan kekuasaan pada salah satu institusi negara saja. apalagi, the central   goal  of  a constitution is to create the precondition for wel-functioning democratic order . Dengan  penumpukan kekuasaan pada satu institusi negara, kehidupan ketatanegaraan yang lebih demokratik tidak mungkin diwujudkan (Tutik,2008;90). Pada periode sebelum adanya amandemen terhadap UUD 1945 terkait dengan mekanisme checks and  balances tidaklah dapat dilakukan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lain. Apalagi berkehendak untuk mengadakan suatu mekanisme checks and  balances terhadap MPR hal itu tidak mungkin dilakukan. Karena sesuai dengan kedudukannya pada waktu itu dalam UUD 1945 sebelum diamandemen ( amandement ), MPR merupakan pelaksana  sepenuhnya kedaulatan rakyat, yang  berarti bahwa kedudukan MPR sangat sentral dalam ketatanegaraan Indonesia. Hal tersebut dapat diketahui sesuai dengan ketentuan dari Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen yang menyatakan bahwa  Kedaulatan adalah di tangan rakyat , dan dilakukan  sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” (kursif penulis). Dalam penjelasan UUD 1945 sebelum dihapus dinyatakan bahwa. Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia ( Vertretungsorgen des Willens des  staatsvolkes). Majelis ini menetapkan Undang-Undang Dasar dan menetapkan garis-garis  besar haluan negara. Majelis ini mengangkat Kepala negara (Presiden) dan Wakil Kepala  Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegan g keku asaan ne gara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis…. Bahkan, jika kita kembali membaca ketentuan dari Penjelasan Pasal 3 UUD 1945 sebelum dihapus tersebut terutama berkaitan dengan adanya kedaulatan rakyat yang ternyata dipegang

Upload: i-gusti-ngurah-santika-spd

Post on 18-Oct-2015

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)Oleh: I Gusti Ngurah Santika, SPdPerubahan UUD 1945 telah membawa perubahan yang sangat mendasar, terutama dalam kaitannya dengan hubungan antar lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ditandai dengan berkurangnya kekuasaan yang dimiliki oleh MPR, yang pada awal mulanya dalam UUD 1945 adalah sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Ini merupakan salah satu hasil yang sangat positif daripada adanya amandemen terhadap UUD 1945, yang merubah kedudukan MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan demikian, merupakan sebuah awal daripada mulai diletakannya landasan guna terciptanya mekanisme checks and balances antara lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945. Dalam hubungan antara kelembagaan negara, yang merupakan salah satu tujuan utama untuk diadakannya amandemen terhadap UUD 1945 adalah untuk menata kembali kedudukan, fungsi dan kewenangannya yang tentunya akan berimplikasi pula terhadap keseimbangan (check and balance) antara lembaga negara. Hubungan itu ditata sedemikian rupa sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada salah satu institusi negara saja. apalagi, the central goal of a constitution is to create the precondition for wel-functioning democratic order. Dengan penumpukan kekuasaan pada satu institusi negara, kehidupan ketatanegaraan yang lebih demokratik tidak mungkin diwujudkan (Tutik,2008;90). Pada periode sebelum adanya amandemen terhadap UUD 1945 terkait dengan mekanisme checks and balances tidaklah dapat dilakukan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lain. Apalagi berkehendak untuk mengadakan suatu mekanisme checks and balances terhadap MPR hal itu tidak mungkin dilakukan. Karena sesuai dengan kedudukannya pada waktu itu dalam UUD 1945 sebelum diamandemen (amandement), MPR merupakan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, yang berarti bahwa kedudukan MPR sangat sentral dalam ketatanegaraan Indonesia. Hal tersebut dapat diketahui sesuai dengan ketentuan dari Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen yang menyatakan bahwa Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (kursif penulis). Dalam penjelasan UUD 1945 sebelum dihapus dinyatakan bahwa.Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgen des Willens des staatsvolkes). Majelis ini menetapkan Undang-Undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan negara. Majelis ini mengangkat Kepala negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis.Bahkan, jika kita kembali membaca ketentuan dari Penjelasan Pasal 3 UUD 1945 sebelum dihapus tersebut terutama berkaitan dengan adanya kedaulatan rakyat yang ternyata dipegang oleh MPR, bahwa di sana juga dinyatakan. Oleh karena Majelis Permusyawaratan Rakyat memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas, Menurut Manan dan Magnar (1997;111) bahwa penjelasan ini bertentangan dengan sendi-sendi pokok UUD 1945 sebagai negara yang berdasar atas hukum dan negara berdasarkan konstitusi yang menghendaki pembatasan setiap kekuasaan. Dengan demikian, akan terlihat bahwa terjadi kontradiksi sendiri di dalam tubuh UUD 1945, terkait dengan apa yang diatur dalam sistem konstitusi dengan apa yang kemudian dikehendaki dengan apa tercantum di dalamnya tidaklah selaras.Rumusan kedaulatan rakyat sebelum UUD 1945 diamandemen diletakan pada sebuah lembaga negara bernama MPR, lembaga inilah nantinya yang ditentukan untuk bertugas guna melaksanakan kedaulatan rakyat, yang harus sesuai dengan garis-garis yang telah ditentukan dalam UUD 1945 tersebut. Adanya konsekuensi dipusatkannya semua kekuasaan hanya pada satu lembaga tentunya akan membawa efeknya tersendiri, seperti menyebabkan tersumbatnya kedaulatan rakyat. Dalam hal ini tentunya akan menyebabkan terjadinya potensi penyalagunaan terhadap kedaulatan rakyat semakin besar. Selain itu, dengan meletakan suatu kedaulatan rakyat hanya kepada satu badan, akan menyebabkan pula ketidakseimbangan hubungan karena kedudukan yang berbeda-beda antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lain. Karena secara otomatis kedudukan lembaga-lembaga negara lain yang tidak memegang kedaulatan rakyat yang telah ditentukan dalam UUD 1945 akan terlihat lebih rendah dari MPR, karena MPR telah memonopoli semua kedaulatan rakyat ada tangannya. Telah terbukti dalam sejarahnya yang jika suatu kekuasaan ternyata terpusat, baik pada satu orang ataupun satu organ tentunya akan berpotensi untuk mengundang otoriterisme. Pernyataan di atas justru diakui sendiri oleh MPR RI, yang kemudian pada akhirnya berhasil merubah dengan meletakan kedaulatan rakyat pada tempat bahkan harus dilaksanakan menurut prinsip-prinsip UUD 1945. Padahal rumusan sebelum perubahan, kedaulatan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, yang justru telah mereduksi paham kedaulatan rakyat menjadi paham kedaulatan negara, suatu paham yang hanya lazim dianut oleh negara yang masih menerapkan totalitarian dan/atau otoritarian (MPR RI,2011;61). Lebih lanjut terkait dengan adanya perubahan, terutama terhadap ketentuan mengenai kedudukan MPR yang sebelumnya menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen adalah pemegang kedaulatan, maka MPR setelah amandemen UUD 1945 tidak lagi memegang kedaulatan rakyat, karena MPR sendiri telah mengembalikan kedaulatan pada rakyat melalui amandemen 1945 sebagai sarananya, yaitu dengan tujuan utamanya adalah untuk meletakan kedaulatan rakyat itu sendiri agar sesuai dengan posisinya. Penyerahan kedaulatan rakyat melalui konstitusi merupakan satu-satunya jalur yang dapat ditempuh oleh MPR, dengan melakukan perubahan mendasar terhadap UUD 1945, khususnya berkaitan dengan pemegang kedaulatan rakyat. Sehingga untuk sekarang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah diubah bunyinya menjadi Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, maka dalam kaitannya dengan adanya ketentuan pasal tersebut Mahmud MD (2009;35) menyatakan bahwa berdasarkan bunyi pasal tersebut di atas, secara teoritis berarti terjadi perubahan yang fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu dari sistem yang sebelumnya vertikal-hierarkis dengan prinsip supremasi MPR menjadi sistem yang horizontal-fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi antar lembaga negara. Hal mana tentunya akan berbeda sekali dengan pengertian ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum diamandemen bahwa MPR dalam kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara, kemudian dianggap pula sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Dengan konsep yang demikian, sebenarnya UUD 1945 sebelum diamandemen telah menempatkan MPR, sebagai lembaga negara yang kedudukan paling tinggi diantara lembaga yang lainnya, sehingga akan berpotensi menjadikan kedaulatan rakyat yang dipegang oleh MPR, kemudian berubah menjadi kedaulatan negara, tentunya akan merugikan rakyat sendiri pemegang kedaulatan rakyat dalam arti yang sesungguhnya. Bahkan, konstruksi ini menunjukan bahwa MPR merupakan majelis yang mewakili kedudukan rakyat, sehingga menjadikan lembaga tersebut sebagai sentral kekuasaan, yang mengatasi cabang-cabang kekuasaan yang lainnya. Adanya satu lembaga yang berkedudukan paling tinggi, membawa konsekuensi bahwa seluruh kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara negara di bawahnya harus bertanggungjawab kepada MPR. Akibatnya, konsep keseimbangan antara elemen-elemen penyelenggara negara, atau bisa dipahami sebagai sistem checks and balances sistem antar lembaga tinggi negara, tidak dapat dijalankan. Karena itulah untuk membangun keseimbangan antara hubungan kelembagaan negara, maka dengan pemikiran yang matang dirasa perlulah diadakan perubahan terhadap UUD 1945, terutama berkaitan dengan kedudukan MPR yang sebelumnya merupakan posisi kunci bahkan penyebab utama tersumbatnya kedaulatan rakyat, karena hanya dimonopoli oleh satu lembaga seperti apa yang disebutkan dalam UUD 1945.Sistem ketatanegaraan yang dianut sebelumnya oleh UUD 1945 adalah vertical hierarkis, yang menempatkan MPR sebagai satu-satunya lembaga negara yang paling tinggi di antara yang lainnya. Sebelum perubahan kedudukan MPR dalam UUD 1945 adalah sebagai pemegang kuasa atas kedaulatan rakyat, untuk selanjutnya kedaulatan rakyat tersebut didistribusikannya kepada lembaga-lembaga negara lainnya, sehingga dalam hal ini kemudian dikenal dengan istilah pembagian kekuasaan (distribution of power). Pernyataan yang sama juga dilontarkan oleh Jimly Asshiddiqie (2009;190) yang menyatakan bahwa dengan perubahan ini berarti UUD 1945 tidak lagi menganut sistem MPR berdasarkan prinsip supremasi parlemen dan sistem pembagian kekuasaan (distribution of power) oleh lembaga tertinggi MPR ke lembaga-lembaga negara di bawahnya. Dan sekarang dengan adanya perubahan susunan dan kedudukan MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, maka sistem yang dianut adalah sistem pemisahan kekuasaan dengan mekanisme check and balances diantara lembaga-lembaga negara. Pasalnya, berdasarkan UUD 1945 yang diamandemen tentang eksistensi, fungsi, tugas dan wewenang MPR, ia bukan lagi lembaga wakil rakyat yang tinggi dan tertinggi. Dan bukan juga sebagai lembaga yang sangat berkuasa, seperti sebelumnya (Isra,2010;31). Dengan demikian, kedudukan antara lembaga negara yang satu dengan lembaga negara lainnya adalah sama sehingga dapat pula untuk saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), sesuai dengan kedudukan, tugas, fungsi dan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 setelah perubahan. Dengan adanya amandemen terhadap UUD 1945, selain telah mengubah kedudukan daripada MPR sebagaimana dimaksudkan penjelasan di atas. Maka disusul dengan terjadi perubahan terhadap susunan keanggotaan MPR yang ternyata berubah secara struktural terutama karena dihapuskannya keberadaan daripada Utusan Golongan, yang sebelum UUD 1945 diamandemen mencerminkan prinsip dari perwakilan fungsional (fungsional representation) yang merupakan salah unsur keanggotaan dari MPR. Sebelum amandemen UUD 1945 yang berkaitan dengan susunan keanggotaan MPR telah dinyatakan dengan tegas pula dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang(kursif penulis). Dengan demikian, dalam perjalanannya, bahwa MPR yang notabene merupakan pemegang kuasa atas kedaulatan rakyat, serta ditentukan sepenuhnya sebagai pelaksana daripada kedaulatan rakyat, yang secara tegas tercantum dalam ketentuan UUD 1945 sebelum amandemen. Kemudian dapatlah dilihat kembali ketentuan tersebut yang ternyata menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum diamandemen menyerahkan pengaturannya lebih lanjut hanya dengan sebuah undang-undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden. Tentu apa saja yang diatur di dalamnya terutama berkaitan dengan MPR, baik mengenai kedaulatan, kedudukann, keanggotaanya, maupun yang lainnya, bahkan pendek kata sebenarnya undang-undanglah yang paling menentukan nasib daripada pemegang kedaulatan ini. Padahal jika cermati kembali secara saksama terhadap ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa undang-undang sebenarnya merupakan produk hukum yang dibuat oleh lembaga negara lain seperti ditentukan dalam UUD 1945. Yang tentun saja pada waktu itu kedudukan kedua lembaga negara tersebut (DPR dan Presiden) yang fungsinya sebagai pembentuk undang-undang ternyata berkedudukan di bawah MPR menurut UUD 1945. Dengan demikian, kemungkinan besar ternyata jika terjadi kolaborasi negatif antara DPR dan Presiden sebagai lembaga negara yang berwenang dalam membentuk undang-undang akan membawa dampak tersendiri terhadap MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Padahal kedudukan kedua lembaga tersebut sebenarnya berada persis di bawah MPR, namun konstitusi telah memberikan kewenangan untuk menafsirkan, terkait dengan seberapa besar kedaulatan rakyat yang akan dipegang oleh MPR, karena kewenangan menafsirkan tersebut adalah berdasarkan atribusi yang telah ditentukan sendiri dalam UUD 1945, untuk kemudian mengaturnya lebih lanjut. Dengan demikian, kewenangan Presiden dan DPR dalam hal pembentukan undang-undang tentunya mempunyai kekuasaan yang penuh untuk mengatur berkenaan dengan seluk beluk MPR, menyebabkan MPR menjadi lembaga negara, yang boleh dikatakan bahwa sebenarnya tidak lagi memegang kedaulatan rakyat serta tidaklah pula memiliki kedudukan yang tertinggi menurut UUD 1945. Kedaulatan rakyat yang sebenarnya dipegang oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah menurut undang-undang, yang ditetapkan oleh dua lembaga yang berwenang yaitu DPR dan Presiden menurut UUD 1945. Dengan demikian, MPR bukanlah sebagai pemegang kedaulatan rakyat dalam arti yang sesungguhnya, seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945. Bahkan, MPR yang kedudukannya sebagai lembaga negara tertinggi, ternyata dalam pengaturan mengenai pengisian keanggotaannya ditentukan oleh lembaga negara lain yang notabene berkedudukan di bawahnya. Pengaturan sebagaimana dimaksud adalah baik mengenai jumlah, maupun tatacara pemilihan anggota MPR yang tentunya juga dalam hal ini adalah termasuk hak dan kewajiban anggotanya. Oleh karenanya, dapatlah dikatakan bahwa sebelum adanya amandemen terhadap UUD 1945 berkaitan dengan pengaturan MPR, baik berupa pengisian keanggotaan maupun lain-lainnya, telah ditentukan secara tegas akan diatur kembali oleh dua lembaga negara tersebut (DPR dan Presiden), sebagai lembaga yang sama-sama memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang, yang dapat dipsatikan bahwa kedudukan kedua lembaga negara ini sebenarnya berada di bawah MPR. Dalam hal ini, sebenarnya kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh MPR, akan lebih banyak ditentukan oleh undang-undang, bukannya oleh konstitusi. Dengan demikian, pemegang kedaulatan rakyat (MPR) akan sangat bergantung pada kehendak dari DPR dan Presiden, yang menurut konstitusi harus mengatur lebih lanjut ketentuan berkaitan dengan MPR dalam bentuk undang-undang. Berdasarkan kehendak kedua lembaga tersebutlah akan terbentuk sebuah undang-undang, tentunya mengatur segela hal yang berkaitan dengan kelembagaan MPR. Hanya saja, suatu kehendak pembentuk undang-undang, kadang-kadang bahkan bisa saja tidaklah selalu selaras dengan apa yang dikehendaki oleh konstitusi itu sendiri. Sehingga, bisa jadi kehendak norma hukum konstitusi yang ditafsirkan oleh DPR dan Presiden adalah sesuai dengan jiwa konstitusi, maka MPR tentunya akan tetap memegang sepenuhnya kedaulatan rakyat sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Hal ini tentunya sesuai dengan kehendak rakyat, yang memberikan kedaulatannya melalui konstitusi kepada MPR, dengan kembali mengatribusikan pengaturannya lewat undang-undang. Ataukah sebaliknya suatu saat DPR dan Presiden yang memberikan tafsiran terhadap MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat, ternyata berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh UUD 1945, melainkan hanya menyesuaikan dengan kehendak pembentuk undang-undang itu sendiri. Jadi, semua pengaturannya terutama tentang kedaulatan MPR, akan sangatlah tergantung pada kehendak para pembentuk undang-undang itu sendiri. Hanya saja yang terlihat selama ini bahwa berkaitan dengan kehendak daripada UUD 1945 dalam pengaturannya kembali dalam bentuk undang-undang terutama tentang pemegang kedaulatan rakyat, ternyata apa yang diatur oleh DPR dan Presiden adalah tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki konstitusi. Sehingga, kemudian tentunya terjadi pertentangan antara prosedur yang dianut dengan prinsip-prinsip negara yang bentuk pemerintahannya demokratis, terutama dalam kaitannya dengan pengaturan pemegang kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, kesimpulan yang diperoleh untuk sementara waktu adalah MPR itu sendiri pada periode sebelum amandemen UUD 1945, sebenarnya tidaklah memiliki kedaulatan rakyat secara utuh seperti apa yang diamanatkan oleh UUD 1945. Terbukti jelas dalam perjalanannya terkait dengan penafsiran-penafsiran yang diberikan oleh pembentuk undang-undang, terhadap pengisian keanggotaan dalam tubuh MPR, sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan, seperti adanya kata golongan-golongan, ternyata oleh pembentuk undang-undang kemudian ditafsirkan dengan memasukan angkatan bersenjata sebagai salah satunya, yang untuk itu memiliki hak untuk duduk dalam pengisisan keanggotaan di MPR. Pada awal mula ditetapkannya pengisian keanggotaan di MPR, yang terdiri dari DPR, Utusan-Utusan Daerah dan golongan-golongan yang menurut Penjelasan UUD 1945 sebelum dihapus dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan utusan golongan yaitu:Maksudnya ialah supaya seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai wakil dalam Majelis sehingga Majelis itu akan betul-betul dapat dianggap sebagai penjelmaan rakyat.Yang disebut golongan-golongan ialah badan-badan seperti koperasi, serikat pekerja, dan lain-lain badan kolektif. Aturan demikian memang sesuai dengan aliran zaman. Berhubung dengan anjuran mengadakan sistem koperasi dalam ekonomi, maka ayat ini mengingat akan adanya golongan-golongan dalam badan-badan ekonomi.Maksud utama daripada Penjelasan dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum dihapus adalah supaya seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan memiliki wakilnya dalam Majelis, sehingga Majelis itu tentunya akan betul-betul dapat dianggap sebagai penjelmaan rakyat. Bahkan dalam penjelasan pun, sudah dijelaskan pula dengan tegas yang disebut dengan golongan-golongan ialah badan-badan seperti koperasi, serikat pekerja, dan lain-lain badan kolektif. Lebih lanjut, maksudnya adalah untuk memasukan unsur golongan-golongan seperti tersebut di atas adalah memang sesuai dengan aliran zaman. Berhubungan dengan itu anjuran untuk mengadakan sistem ekonomi, maka ayat ini mengingat akan adanya golongan-golongan dalam badan-badan ekonomi. Dari Penjelasan UUD 1945 sebelum dihapus, dapatlah diketahui dengan jelas dimaksudkan dalam hal ini adalah badan-badan ekonomilan yang disebut dengan golongan-golongan, sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum diamandemen, bukannya militer. Dalam rangka itu perlu diakui bahwa ada masalah yang sampai sekarang belum terpecahkan yaitu bagaimana menetapkan patokan obyektif mengenai sifat-sifat golongan fungsional yang akan diikutsertakan, dan bagaimana menentukan kriteria untuk mengukur kekuatan golongan fungsional masing-masing (Budiardjo,2008;319). Dengan demikian, setelah adanya amandemen terhadap UUD 1945, keanggotaan MPR kemudian hanya terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah menurut ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 setelah diamandemen. Bunyi pasal 2 ayat (1) UUD 1945 setelah amandemen yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang(kursif penulis). Berkaitan dengan struktur MPR yang ditentukan terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang keanggotaannya telah ditentukan yaitu melalui pemilihan umum ternyata dapat juga dijumpai dalam pengaturannya lebih lanjut terkait dengan MPR, yaitu dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tepatnya dalam Pasal 2 undang-undang tersebut. Dewan Perwakilan Rakyat yang mencerminkan prinsip perwakilan politik (political representation) yang mewakili rakyat secara keseluruhan yaitu rakyat Indonesia dan anggota Dewan Perwakilan Daerah merupakan pencerminan dari prinsip perwakilan daerah (regional representation), yang dalam hal ini merupakan perwakilan dari daerah-daerah provinsi masing-masing di seluruh Indonesia. Perubahan ketentuan mengenai susunan keanggotaan MPR dimaksudkan untuk mengoptimalkan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang seluruh anggota MPR dipilih oleh rakyat melalui pemilu. Selain itu, perubahan itu untuk meningkatkan legitimasi MPR. Dengan perubahan ketentuan tersebut, MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD yang semuanya dipilih oleh rakyat dalam pemilu. Ketentuan itu sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu perwakilan atas dasar pemilihan (representation by election). Sehingga rakyat memegang kedaulatan dalam arti yang sebenarnya berupa kekuasaan untuk menentukan wakil-wakilnya untuk duduk di MPR. Kalau kedaulatan diartikan sebagai kekuasaan tertinggi dalam negara, maka kedaulatan rakyat mengandung arti bahwa kekuasaan yang tertinggi dalam negara berada di tangan rakyat (Soemantri,1992;20). Kedaulatan sebagai ekspresi yuridis dari kekuasaan tertinggi menjadi kerangka tempat ide demokrasi dapat ditemukan dalam kekuasaan tertinggi di tangan rakyat (teori kedaulatan rakyat) (Nurtjahjo,2006;29). Intinya bahwa berkaitan dengan kedaulatan rakyat terutama dalam pemilihan anggota yang duduk dalam badan perwakilan tercermin dengan tidak adanya lagi anggota MPR yang diangkat oleh Presiden seperti masa lalu, dimana pada waktu itu sebagian besar keanggotaannya diangkat oleh Presiden Soeharto, sehingga lembaga ini tidak dapat berfungsi terutama dalam melakukan checks and balances kekuasaan Presiden, karena dapat dipastikan bahwa anggota-anggotanya tentu akan loyal hanya terhadap orang yang mengangkatnya. Walaupun sebenarnya dalam perjalanannya banyak yang menentang adanya sistem pengangkatan anggota MPR oleh Presiden, dikarenakan terlalu banyaknya anggota-anggota MPR yang diangkat, sehingga kemudian dapatlah dikatakan bahwa sebelum Perubahan UUD 1945 MPR yang dikatakan sebagai pemegang kedaulatan rakyat serta sekaligus sebagai pelaksananya tidaklah dapat dikatakan sepenuh benar. Sebelum adanya amandemen terhadap UUD 1945, dengan adanya sistem pengangkatan anggota MPR terutama dari unsur Utusan Daerah dan Utusan Golongan, bagi pembentukan MPR dalam jumlah yang demikian besar juga dapat dilihat sebagai suatu penyimpangan konstitusional yang dilakukan oleh Orde Baru, karena secara logika dan dalam kenyataan juga akan terlihat bahwa wakil yang diangkat akan patuh dan loyal pada pihak yang mengangkatnya, sehingga wakil tersebut tidak lagi mengemban kepentingan daerah atau golongan yang diwakilinya. Dengan demikian, akan mengaburkan konsep perwakilan yang dianut dalam sistem perwakilan Indonesia. Akibatnya adalah wakil-wakil yang diangkat itu tidak lagi memiliki hubungan dengan yang diwakilinya, hubungan terjadi hanya pada orang yang mengangkatnya, sedangkan rakyat tidak memiliki kekuasaan terhadap wakil tersebut karena rakyat tidak memilihnya. Yang menjadi latar belakang adanya sistem pengangkatan terhadap anggota yang akan duduk di MPR merupakan suatu konsensus yang tercapainya pada 27 Juli 1967 antara pihak pemerintah dan partai-partai politik terkait model sistem pemilihan umum yang dianut. Dimana pada saat itu diusulkan oleh pihak pemerintah untuk sistem pemilihan umum yang digunakan adalah dengan sistem distrik, namun banyak mendapat penolakan dan sempat menimbulkan perdebatan yang akhirnya kemudian disepakati untuk menggunakan model pemilihan umum dengan sistem proporsional yang terutama sangat diinginkan daripada partai-partai politik pawa waktu itu. Namun, dilain pihak partai-partai politik pada waktu itu mengalah yaitu dengan menerima syarat dari pemerintah bahwa 100 anggota parlemen yang dari jumlah total pada saat itu 460 akan diangkat oleh Presiden terutama dari golongan ABRI (75) dan non ABRI (25) dengan adanya jaminan sebagai ketentuan bahwa golongan militer tidak akan menggunakan haknya untuk memilih dan dipilih. Perlu diketahui berkaitan lebih lanjut terkait dengan susunan keanggotaan MPR itu sendiri pada saat dalam proses amandemen UUD 1945 oleh MPR merupakan suatu meteri perubahan yang dapat digolongkan sangatlah sulit untuk mendapatkan kesepakatan di antara anggota-anggota MPR yang melakukan perubahan waktu itu. Dengan demikian, dari berbagai materi yang telah dirubah dan disepakati oleh MPR, ternyata ada satu ketentuan yang merupakan hasil dari amandemen terhadap UUD 1945, yang kemudian dalam mengambil keputusannya dilakukan dengan suara terbanyak (voting). Kemudian dari berbagai perdebatan yang begitu panjang dan melelahkan pada akhirnya hanya terdapat dua alternatif tentang susunan keanggotaan MPR. Yang merupakan alternatif pertama yaitu, Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum, ditambah dengan utusan golongan yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, yang selanjutnya diatur oleh undang-undang. Sedangkan untuk alternatif yang kedua yaitu, Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Menurut keterangan yang didapat dalam buku Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia (2011;48) di sana dinyatakan bahwa pada pemungutan suara tersebut, mayoritas anggota MPR memilih alternatif 2, yaitu sebanyak 475 anggota MPR, sedangkan alternatif 1 dipilih 122 anggota MPR, dan 3 anggota MPR memilih abstain. Berkaitan dengan adanya perubahan terhadap susunanan keanggotaan MPR yang hanya terdiri dari DPR dan DPD, maka untuk nantinya diharapkan bahwa seluruh anggotanya merupakan pilihan rakyat karena memang dipilih secara langsung yang sesuai dengan kehendak rakyat sendiri. Selain sebagai mana dimaksud dalam penjelasan di atas, maka dalam ketentuan itu juga menyiratkan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, yang secara otomatis akan mengubah lembaga perwakilan dari model satu setengah kamar kemudian menjadi model dua kamar. Pada awal perubahan terhadap kelembagaan MPR memang pada waktu itu muncul ide untuk membentuk model perwakilan dua kamar yang nantinya terdiri dari DPR dan DPD yang membentuk sidang gabungan yang kemudian diberi nama Majelis Permusyawaratan Rakyat. Menurut Winardi (2008;47) ada 3 alasan untuk mengubah MPR menjadi lembaga perwakilan dua kamar, yaitu.1. Kebutuhan dalam pembenahan sistem, sehubungan dengan berbagai permasalahan dalam sistem MPR yang lama. Anggota MPR yang bukan anggota DPR yaitu Utusan Daerah dan Utusan Golongan tidak berfungsi efektif dan tidak jelas orientasi keterwakilannya;2. Kebutuhan untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat daerah secara struktural. Dengan adanya DPD masyarakat di daerah akan dapat diakomodasikan melalui institusi formal di tingkat nasional;3. Kebutuhan bagi Indonesia saat ini mulai menerapkan sistem checks and balances dalam rangka memperbaiki kehidupan ketatanegaraan dan mendorong demokratisasi.Memang pada awal-awal dilaksanakannya amandemen terhadap UUD 1945, terdapat wacana bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat dirancang, untuk diubah menjadi genus dari lembaga perwakilan rakyat atau parlemen Indonesia yang terdiri atas dua kamar. Kamar pertama merupakan Dewan Perwakilan Rakyat dan kamar kedua adalah Dewan Perwakilan Daerah. Prinsip yang sama dapat kita temukan pada konstitusi Amerika Serikat yang menentukan bahwa semua kekuasaan legislatif ada di Konggres yang terdiri atas the House of Representatives and senate. Demikian pula dengan Kerajaan Belanda yang di dalam konstitusi tersebut menyatakan bahwa kekuasaan legislatif berada di Staten Generaal yang terdiri atas Erste Kameren een Tweede Kamer(Asshiddiqie,2003). Kemudian lebih lanjut menurut Harjanti (2009;12) yang menyatakan pendapatnya tentang pertimbangan diadakan sistem parlemen dua kamar, yaitu.Beberapa pertimbangan penerapan sistem dua kamar adalah sebagai berikut: terciptanya mekanisme checks and balances antara kamar-kamar dalam satu badan perwakilan, penyederhanaan sistem badan perwakilan karena penghapusan utusan golongan, wakil daerah menjadi bagian dari pelaksanaan fungsi parlemen sehingga kepentingan daerah dapat terintegrasi dan dapat dilaksanakan sehari-hari dalam kegiatan parlemen, menciptakan produktivitas karena tugas dan wewenang dapat dilakukan setiap unsur. Dengan demikian dari aspek akademis terlihat bahwa reformasi sistem perwakilan ditujukan ke arah bicameral system.Memang dengan menggunakan parlemn yang sistemnya bikameral tentunya akan memiliki keunggulan tersendiri, seperti argumen yang digunakan oleh C.F Strong (2005;273) untuk mendukung parlemen dengan sistem dua kamar tersebut, yaitu pertama, keberadaan kamar kedua dapat mencegah pengesahan undang-undang secara tergesa-gesa dan tidak direncanakan secara matang oleh satu majelis. Kedua, khusus negara federal, dibuat sedemikian rupa untuk mendukung prinsip federal atau melindungi kehendak rakyat dari setiap negara bagian, yang berbeda dengan kehendak federasi sebagai suatu keseluruhan. Apa yang dikemukakan Strong di atas, khususnya terkait dengan pendapat yang kedua tentu hanyalah berkaitan dengan keuntungan yang akan diperoleh oleh negara-negara federal terkait dengan parlemen yang menganut model dua kamar, dimana nantinya bertujuan untuk menjaga kelangsungan daripada negara-negara bagian, khususnya terkait denga apa yang menjadi kebutuhan dan tuntutan rakyat tersebut. Namun, dapatlah dinyatakan dengan pendapat yang juga tidak jauh berbeda seperti di atas, maka oleh Prodjodikoro (1981;72) terkait dengan keuntungan dari sistem parlemen dua kamar, yang dianut oleh suatu negara, maka dapatlah dikatakan bahwa alasan untuk mengadakan sistem dua badan legislatif, yang dapat diketemukan oleh para penulis, sebenarnya hanya satu, yaitu untuk menjaga, jangan sampai tergesa-gesa ada undang-undang baru atau perubahan undang-undang lama, maka rancangan undang-undang yang sudah disetujui oleh DPR (House of Representatives, pen), dibahas lagi oleh Senat, agar undang-undang baru atau perubahan undang-undang betul-betul matang untuk diperlakukan oleh segenap warga negara dan penduduk. Selain itu, menurut Winardi (2008;55) berpendapat bahwa keuntungan yang mungkin diperoleh dari adanya sistem legislatif dengan model bikameral, yaitu.1. Secara resmi mewakili beragam pemilih (misalnya negara bagian, wilayah, etnik, atau golongan);2. Memfasilitasi pendekatan yang bersifat musyawarah terhadap penyusunan perundang-undangan;3. Mencegah disahkannya peraturan perundang-undangan yang cacat atau ceroboh;4. Melakukan pengawasan atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga eksekutif.Namun, apa yang seperti dikemukakan oleh Strong dkk seperti tersebut di atas hanyalah merupakan kebaikannya saja terutama jika negara menganut sistem parlemen dengan model dua kamar. Akan tetapi dalam prakteknya, adanya dua badan seringkali menimbulkan deadlock, dan pergeseran antara yang satu dengan badan yang lainnya, dan menimbulkan banyak pembiayaan (Lubis,1980;80). Sehingga bisa saja, dalam pembahasan terutama pada saat proses pembentukan undang-undang akan memerlukan waktu yang cukup lama, tidak lain dikarenakan adanya perdebatan yang berkepanjangan, di antara dua kamar dalam badan tersebut. Sedangkan disatu pihak, dalam menanggapi situasi seperti sekarang ini yang demikian cepatnya berubah, dikarenakan perkembangan kehidupan suatu bangsa, yang tentunya akan memerlukan dasar hukum yang juga cepat terutama dalam bentuk undang-undang, namun bisa saja kemudian menjadi lambat, yang diakibatkan oleh adanya perbedaan persepsi antara kedua kamar dalam badan tersebut, terkait dengan materi dari rancangan undang-undang yang dibahas, namun pada akhirnya hanya mengabiskan energi dan biaya serta ditambah dapat menghambat tugas-tugas pemerintah dalam menyejahterakan rakyat, padahal hal tersebut merupakan daripada tujuan awal mula dibentuknya parlemen dengan model dua kamar.Kemudian berkaitan dengan tugas dan wewenang MPR yang ditentukan dalam UUD 1945 adalah tersebar, baik yang telah diatur dalam Bab tentang MPR maupun dalam Bab Pemerintahan Negara dan lain-lainnya seperti yang dinyatakan dalam UUD 1945. Namun, kemudian ditentukan dalam UU No.27 Tahun 2009, tepatnya ketentuan dari Pasal 4 yang telah mengatur semua tugas dan kewenangan MPR yang dalam UUD 1945 ditentukan tersebar, kemudian di dalam undang-undang terse but dijadikan satu. Tugas dan kewenangan MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU No. 27 Tahun 2009, yaitu sebagai berikut.1. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;2. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;3. memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden; melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;4. Memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan;5. Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.Tugas dan kewenangan MPR sebagaimana dimaksud tentunya akan diusahakan untuk dibahas di bawah ini secara satu persatu, yang tentunya juga akan dilakukan dengan menggunakan metode perbandingan terutama dengan ketentuan sebelum perubahan terhadap UUD 1945, dengan tujuan agar mendapatkan sedikit tambahan penjelasan. MPR yang merupakan suatu lembaga negara, kemudian telah ditentukan memiliki kewenangan untuk merubah dan menetapkan UUD 1945 seperti yang diamanatkan sendiri oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. Sebelum dilakukan amandemen terhadap ketentuan dari Pasal 3 UUD 1945 ternyata dalam Pasal 3 UUD 1945 terdahulu tidaklah terdapat ayat tambahan, hal ini tidak lain dikarenakan pada waktu itu hanya terdapat satu pasal saja dengan tidak terdapat ayat, yang tentunya akan berbeda sekali dengan sekarang yang di dalam pasal tersebut terdiri dari tiga ayat tambahan sebagai hasil dari amandemen. Bunyi dari Pasal 3 UUD 1945 sebelum diamandemen yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara. Dalam pasal tersebut terdapat kata menetapkan, apakah menetapkan sama dengan kata mengubah? Menurut pendapat penulis yang pertama bahwa kata menetapkan dalam pasal tersebut berarti bahwa MPR hanya berwenang untuk menetapkan UUD 1945, yang dulu pada waktu disahkan oleh PPKI, kemudian menurut Soekarno bahwa UUD 1945 tersebut adalah masih bersifat sementara. Bilamana pengertian demikian yang diberikan, maka secara otomatis bahwa MPR tentunya tidaklah memiliki kewenangan sama sekali untuk melakukan sautu perubahan terhadap UUD, namun hanya mengukuhkan apa yang telah ada sehingga UUD 1945 tersebut kemudian menjadi tetap, yang semula menurut sejarah hanyalah bersifat sementara. Namun, tentunya kita tidak hanya berpedoman pada ketentuan dari Pasal 3 UUD 1945 sebelum diamandemen, dikarenakan berkaitan dengan kewenangan MPR untuk melakukan perubahan terhada UUD 1945, ternyata juga diatur dalam ketentuan Pasal 37 UUD 1945 sebelum perubahan, yang di dalamnya menyatakan bahwa MPR lah yang memiliki kewenangan untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 dengan berbagai syarat yang menyertainya kemudian. Dalam Bab XVI Pasal 37 UUD 1945 sebelum diamandemen dinyatakan bahwa.1. Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir (kursif penulis).2. Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir(kursif penulis).Setelah amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR, ternyata kemudian kedudukan MPR untuk melakukan perubahan terhadap pasal-pasal UUD 1945 menjadi semakin kuat. Dengan demikian, tidak ada lembaga negara lain yang memiliki wewenang untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945, selain MPR. Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 telah memperjelas dan mempertegas kedudukan MPR, dalam melakukan perubahan terhadap pasal-pasal UUD 1945. Adanya ketentuan ini merupakan sebuah jawaban terhadap perdebatan pada waktu reformasi, yang mana pada saat itu telah terjadi suatu perdebatan mengenai kewenangan dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Perdebatan tersebut berkisar antara kewenangan MPR untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945(dalam arti hanya MPR yang memiliki hak untuk melakukan perubahan) dan diberikannya hak kepada masyarakat untuk ikut serta dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945 seperti misalnya dengan membentuk suatu Komisi Konstitusi. Nantinya, diharapkan dengan dibentuknya suatu Komisi Konstitusi yang sifanya independen terutama dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945, kemudian selanjutnya yang merupakan hasil kerja dari komisi tersebut diajukan kepada MPR untuk diterima (dikukuhkan) ataukah ditolak. Jika nantinya ternyata hasil kerja dari Komisi Konstitusi tersebut diterima maka MPR berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 sebelum diamandemen, dapatlah kemudian menetapkannya sebagai UUD yang baru. Maka, untuk sekarang ini terutama setelah adanya perubahan terhadap UUD 1945, khususnya berkenaan dengan ketentuan dari Pasal 3 ayat (1)UUD 1945, kemudian selanjutnya dapatlah disimpulkan bahwa hanya MPR sebagai lembaga yang memiliki kewenangan secara legal konstitusional untuk melakukan perubahan terhadap padal-pasal Undang-Undang Dasar 1945. Namun tentunya dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945 telah ditentukan prosedur yang perlu ditempuh untuk dapat dinyatakan bahwa perubahan yang dilakukan terhadap UUD 1945 sah, sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XVI tentang Perubahan Undang-Undang Dasar, khususnya Pasal 37. Dalam Kemudian dalam ketentuan Pasal 37 UUD 1945 yang terdiri dari 5 ayat merupakan tata cara MPR dalam melakukan perubahan terhadap pasal Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mengetahui secara lebih lengkap Pasal 37 UUD 1945 maka dapatlah dikutipkan isinya tersebut, yaitu.1. Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. 2. Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. 3. Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. 4. Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.5. Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan (kursif penulis). Terlihat dengan jelas bahwa dari ayat-ayat dalam ketentuan Pasal 37 UUD 1945 tersebut bahwa dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945 ternyata tidaklah dapat dilakukan secara menyeluruh (komperhensif), yang di dalam UUD 1945 terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal yang kemudian dipertegas kembali dalam Aturan Tambahan Pasal II UUD 1945. Hal ini tentunya akan berbeda sekali dengan sebelum diamandemennya UUD 1945, yang di dalam ketentuan Pasal 37 UUD 1945 dapat ditafsirkan bahwa MPR pada waktu itu dapat saja melakukan suatu penggantian terhadap UUD 1945 yaitu menggantinya dengan UUD yang sama sekali baru. Ketentuan Pasal 37 UUD 1945 sebelum amandemen, dalam ayat (1) tersebut menyatakan bahwa Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir (kursif penulis). Dalam pasal tersebut sangatlah jelas dinyatakan bahwa MPR dapat mengubah UUD 1945 (tanpa menyebut pasal-pasal/Batang Tubuh UUD 1945), yang dengan demikian menurut penulis kewenangan MPR dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945 di dalamnya termasuk perubahan terhadap Pembukaan UUD 1945 yang cukup hanya dengan 2/3 jumlah keseluruhan anggota MPR yang harus hadir. Namun, terkait dengan keputusan untuk dinyatakan sahnya suatu perubahan terhadap UUD 1945 dinyatakan dalam ketentuan Pasal 37 ayat (2) UUD 1945 sebelum diamandemen yang berbunyi bahwa Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir. Dengan demikian, adanya amandemen terhadap UUD 1945, khususnya terhadap ketentuan dalam Pasal 37 tentang Perubahan UUD 1945 ternyata kemudian berimplikasi, terutama persyaratannya yang menjadi semakin sulit terutama untuk dikemudian hari dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945, apalagi ada keinginan untuk melakukan suatu perubahan secara komperhensif. Hal ini dikarenakan, dalam ketentuan ayat (1) dari Pasal 37 UUD 1945 setelah diamandemen, dinyatakan di dalamnya bahwa jika ada suatu usul perubahan terhadap pasal-pasal UUD 1945, untuk dapat diagendakan saja dalam sidang MPR setidaknya-tidaknya haruslah mendapat dukungan 1/3 dari anggota MPR. Dengan kata lain, jika dukungan suara di MPR tentang usul perubahan terhadap pasal-pasal UUD 1945 ternyata tidak mendapat dukungan suara 1/3 dari anggota MPR, maka rencana yang berbentuk usul perubahan terhadap pasal-pasal UUD 1945 tidaklah dapat kemudian untuk diagendakan dalam sidang MPR. Selain adanya ketentuan tersebut maka dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945, haruslah terlebih dahulu diajukan usul terhadap salah satu pasal yang ingin diadakan perubahan dengan jelas, bahkan terkait dengan usul tersebut haruslah disertai alasan yang cukup kuat mengapa pasal dalam UUD 1945 tersebut perlu dirubah. Untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945 bahwa sudah ditentukan dengan jelas haruslah mendapat dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR. Kemudian barulah putusan untuk melakukan perubahan terhadap Pasal-pasal UUD 1945 harus mendapat persetujuan 50% +1 dari seluruh anggota MPR. Kemudian dengan nada yang juga sama dinyatakan oleh Mahmud MD (2009;195) bahwa dengan ketentuan yang demikian akan sangat sulitlah melakukan perubahan untuk satu paket (keseluruhan isi) UUD karena arahnya mendorong perubahan pasal-perpasal saja sehingga agak sulit untuk melakukan perubahan secara komperhensif dengan konstruksi yang baru. Ketentuan ini merupakan konsekuensi logis dari kesepakatan dasar pada saat akan dilakukan perubahan tahun 1999 bahwa perubahan hanya akan dilakukan dengan addendum. Lebih lanjut terkait dengan perubahan terhadap UUD 1945 ternyata ada satu ketentuan berupa ayat (5) dari Pasal 37 UUD 1945 yang kemudian membatasi kewenangan MPR untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945, dalam pasa tersebut dinyatakan bahwa Khusus mengenai Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. Dengan demikian, menurut penulis dalam hal ini setidaknya ada dua hal yang tidak dapat dilakukan oleh MPR terkait dengan perubahan UUD 1945. pertama, ketentuan yang menyatakan secara implisit bahwa Pembukaan UUD 1945 tidaklah dapat dilakukan perubahan. Karena sangatlah jelas dinyatakan dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) UUD 1945 bahwa MPR hanya berwenang melakukan perubahan terhadap pasal-pasal yang ada dalam UUD 1945. Oleh karena itu, menurut penulis bahwa secara tidak langsung MPR telah memisahkan kedudukan hukum antara Pembukaan UUD 1945 dengan pasal-pasalnya. Sehingga secara tidak langsung dapatlah dikatakan bahwa kedudukan Pembukaan UUD 1945 lebih tinggi daripada kedudukan pasal-pasal yang ada dalam UUD 1945. Tidak lain dikarenakan bahwa di dalam Pembukaan UUD 1945 sendiri terdapat Pancasila yang merupakan suatu norma dasar (basic norma ) yang kedudukannya fundamental dalam negara (staatfundamentalnorm). Bahkan di dalam suatu negara norma dasar ini disebut juga dengan nama Staatsfundamentalnorm. Staatsfundamentalnorm suatu negara merupakan dasar filosofisnya yang di dalamnya mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut (Indrati,2007;46). Bahkan, Hans Nawiasky yang menyatakan bahwa isi daripada Staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (Staatverfassung), termasuk norma pengubahnya. Terkait dengan norma dasar, maka Joeniarto (1996;7) berpendapat bahwa Pancasila dilihat dari segi lain, oleh karena merupakan norma yang pertama yang merupakan sumber berlakunya daripada segala macam norma/aturan/ketentuan hukum yang lainnya. Dengan demikian, kedudukan daripada Pancasila itu sendiri sebenarnya berada di luar UUD 1945. Oleh karena Pembukaan itu berada di luar Undang-Undang Dasar 1945, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak berwenang mengubah atau mengganti bagian atau bagian-bagian tertentu dari Pembukaan (Soemantri,1992;67). Sedangkan terkait dengan larangan terhadap suatu ketentuan dalam perubahan UUD 1945, yang merupakan pendapat kedua penulis adalah tidak dapat dilakukannya perubahan oleh MPR yang dalam ayat (5) dari ketentuan Pasal 37 UUD 1945, terkait masalah mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, kemudian terlihat secara eksplisit. Bahkan, ketentuan ini dipertegas kembali dalam ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa.Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (kursif penulis).Selain kewenangan MPR untuk melakukan perubahan terhadap pasal-pasal UUD 1945, ternyata dalam ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUD 1945, MPR juga memiliki kewenangan lainnya, yaitu untuk melantik Presiden dan Wakil Presiden, selengkapnya berbunyi Majelis Permusyawaratan melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden (kursif penulis). Pasal ini tentunya memiliki kaitan dengan Pasal 8 UUD 1945, yang kemudian dalam ketentuan Pasal 8 UUD 1945 itu terdiri dari 3 ayat, yang berbunyi secara lengkap, yaitu sebagai berikut.1. Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.2. Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.3. Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya (kursif penulis).Dengan demikian, bilamana menurut ketentuan dalam Pasal 8 UUD 1945 tersebut telah terpenuhi, maka MPR kemudian akan mengangkat Wakil Presiden untuk menjadi Presiden, dikarenakan oleh Presiden sebelumnya mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya. Dengan diangkat, Wakil Presiden terdahulu untuk menggantikan kedudukan Presiden yang lama oleh MPR menurut UUD 1945, sebagaimana dimaksudkan di atas, maka secara otomatis tentu akan terjadi kekosongan terhadap jabatan Wakil Presiden, sehingga untuk itulah, MPR harus menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden, yang calon Wakil Presiden tersebut merupakan calon yang diusulkan oleh Presiden, sedangkan calon yang diusulkan oleh Presiden tersebut haruslah terdiri dari dua calon Wakil Presiden, sehingga MPR dapatlah memilih dengan leluasa, hal mana menurut MPR merupakan calon yang memiliki kualitas/kapabilitas yang lebih, sehingga nantinya ke depannya diharapkan dapat bekerja sama dengan Presiden secara harmonis. Namun, dalam hal mengangkat pengganti Wakil Presiden, maka dibatasi pula waktu untuk MPR melakukan sidang guna memilih calon wakil presiden pengganti yaitu enam puluh hari dan juga tentunya juga terhadap Presiden untuk secepatnya mengajukan calon Wakil Presiden kepada MPR, sebagaimana yang dimaksudkan dalam bunyi pasal tersebut. Kemudian terkait dengan jabatan Presiden dan Wakil, ternyata bisa saja terjadi suatu kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan, yang dikarenakan Presiden dan Wakil Presiden tersebut mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya secara bersamaan. Oleh karena itulah, telah ditetapkan pula dalam ketentuan UUD 1945 bahwa sebagai pelaksana tugas kepresidenan secara bersama-sama yang terdiri dari tiga menteri, yaitu Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan. Namun, ditentukan pula batasan waktu terkait dengan pelaksana tugas kepresidenan di dalam konstitusi yaitu selama tiga puluh hari, yang kemudian disusul itu setelah terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan, MPR haruslah melaksanakan sidang, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, yang terdiri dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, yang hanya dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik dari pemenang pemilu, yang mendapatkan suara terbanyak pertama dan kedua pada periode pemilu sebelumnya.Untuk mewujudkan ikatan batin antara jabatan dan pemangku jabatan, dirumuskanlah sumpah jabatan. Rumusan sumpah jabatan untuk Presiden, pada umumnya dicantumkan dalam undang-undang dasar. Sebelum Presiden memangku jabatannya, dia harus bersumpah terlebih dahulu, menurut agama yang dianutnya bahwa dia akan atau tidak melakukan hal-hal yang dsebutkan di dalam rumusan sumpah jabatannya (Alrasid,1993;60). Untuk sumpah jabatan seorang Presiden, maka dalam UUD 1945 kemudian telah ditentukan dalam Pasal 9 UUD 1945. Menurut penulis, lebih tepatlah jika ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) UUD 1945 tersebut kemudian dikaitkan pula dengan kewenangan MPR, menurut Pasal 9 UUD 1945 yang terdiri dari 2 ayat, yaitu.1. Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan atau Dewan Perwakilan Rakyat2. Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.Dengan demikian, wewenang MPR untuk melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, menurut pendapat penulis merupakan suatu kewenangan untuk mengangkat sumpah atau janji di hadapan Majelis permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat dan jika memang tidaklah dapat dilakukan maka untuk itu bisa saja Presiden dan Wakil Presiden bersumpah di hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan hanya disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung, asalkan dilakukan dengan sungguh-sungguh. Oleh karenanya, terkait dengan kewenangan MPR, seperti apa yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 pada dasarnya adalah bersifat insidental, dalam arti terkait dengan kewenangannya hanya diselenggarakan dalam kondisi dan waktu-waktu tertentu saja yang pastinya akan berbeda sekali dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR dan DPD terutama dalam melaksanakan tugasnya bersifat rutin. Terkait dengan kewenangan MPR yang hanya bersifat insidental misalnya, tentang kewenangan MPR dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945, yang tentunya tidak akan menentu terkait dengan kapan waktu yang diperlukan untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Karena hal ini sangatlah tergantung dari kebutuhan dan tentunya adanya dukungan politik, sehingga perubahan terhadap pasal-pasal UUD 1945 benar-benar dapat dilakukan. Sedangkan, dilain pihak kewenangan MPR untuk melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden memang bersifat tetap, yaitu setiap lima tahun. Hanya saja kewenangan MPR untuk melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, ternyat bersifat fakultatif dalam arti bisa saja bukan MPR yang melantik dikarenakan pada waktu itu tidak dapat mengadakan sidang, sehingga kewenangan untuk melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, dapat diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, atau hanya dilangsungkan di hadapan Pimpinan MPR yang kemudian diangkat sumpahnya oleh Ketua Mahkamah Agung. Selain ditentukan tentang tempat untuk Presiden melakukan sumpah atau janji, maka telah ditentukan pula dalam UUD 1945 terkait dengan ada dua pilihan kepada Presiden dalam memegang jabatannya, apakah ia akan mengucapkan sumpah menurut agamanya ataukah akan menyatakan janji, berkaitan dengan kekuatan mengikat antara sumpah dan janji terutama yang kemudian dinyatakan oleh Presiden, maka Alrasid (1993;60) menyatakan bahwa yang melakukan sumpah ialah orang beragama. Jika Presiden tidak beragama, maka dia mengucapkan janji. Meskipun rumusan sumpah/janji itu isinya sama, namun, bagi kalangan orang beragama, kekuatannya tidak sama. Sumpah jabatan dinilai jauh lebih berat daripada janji. Orang lebih takut melanggar sumpah daripada melanggar janji, karena takut akan kutukan Tuhan. Lebih lanjut berkaitan dengan permasalahan dalam pengangkatan sumpah atau janji presiden yang tidak dapat dilaksanakan oleh MPR, maka dapatlah dilihat kembali dalam ketentuan Pasal 33 ayat (5) dan (6) UU No.27 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa.5. Dalam hal MPR tidak dapat menyelenggarakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.6. Dalam hal DPR tidak dapat menyelenggarakan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung (kursif penulis).Kemudian lebih lanjut, terkait dengan adanya kewenangan daripada Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang tercantum dalam ketentuan ayat (3) Pasal 3 UUD 1945 dinyatakan bahwa Majelis Pemusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar (kursif penulis). Untuk dapat lebih memahami terkait dengan kewenangan MPR seperti tersebut di atas, maka untuk itu kita perlu menyimak kembali proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar, sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3) UUD 1945 tersebut. Dalam Pasal 3 ayat (3) UUD 1945 tersebut diatas terdapat kata hanya dapat memberhentikan dan menurut Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, kita tentunya akan menengok dahulu tentang tata cara (preosedur) terkait pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang telah ditentukan secara tegas dalam ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian dapatlah kita temukan terkait dengan tata cara pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan, tepatnya dalam ketentuan Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Hal mana di sini kita hanya menyinggungnya sedikit saja, karena nantinya akan penulis jelaskan kembali dalam pembahasan selanjutnya terutama tentang Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945 pada intinya menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang kemudian jika ada usul dari Dewan Perwakilan Rakyat, yang ternyata usul tersebut merupakan bukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden benar-benar telah melakukan tindak pidana tertentu, yang telah ditentukan secara limitatif dalam Undang-Undang Dasar 1945, maupun apabila Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Namun, untuk membuktikan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden benar-benar telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, serta tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana didakwakan lewat usulnya oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka perlulah diuji terlebih dahulu kebenarannya oleh sebuah lembaga peradilan konstitusi (constitutional court) yaitu Mahkamah Konstitusi, sehingga berdasarkan putusannya tersebut kemudian benar-benar dapat menjadi pertimbangan MPR, untuk melakukan tugas yang seperti apa yang diamanatkan oleh UUD 1945, yaitu dalam rangka memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Penulis mengatakan dapat menjadi pertimbangan MPR, hal mana dikarenakan dalam ketentuan Pasal 7A ayat (1) UUD 1945, ternyata ditemukan kata dapat, sehingga menurut itulah kemudian penulis mengambil kesimpulan bahwa walaupun ada putusan dari Mahkamah Konstitusi tentang kesalahan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945, maka MPR tentunya dalam hal ini boleh memberhentikan atau boleh juga dengan tidak memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya. Sehingga dengan demikian akan sangatlah tergantung pada kehendak sepihak dari MPR. Namun, jika dicermati kembali dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3) UUD 1945 dapatlah ditemukan suatu kata yang berbunyi hanya dapat memberhentikan menurut Undang-Undang Dasar dan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 dapat ditemukan kata berbunyi hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan, sehingga penulis berpendapat bahwa MPR tidaklah berwenang untuk memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden jika ternyata pendapat Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan usul yang juga merupakan dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaraan hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden ternyata tidak terbukti, atau dengan kata lain bahwa Mahkamah Konstitusi memutuskan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak bersalah terhadap dakwaan yang berupa suatu pendapat yang diajukan oleh DPR, sehingga proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat lagi diajukan oleh DPR ke MPR untuk diputuskan, karena terhentinya oleh putusan dari Mahkamah Konstitusi. Berkaitan dengan pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden merupakan suatu kewenangan MPR, bukanlah kewenangan MK sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, yang kemudian ditegaskan kembali dalam UU No.27 Tahun 2009, tepatnya dalam ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan (2) yang berbunyi.1. Dalam hal MPR memutuskan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR, Presiden dan/atau Wakil Presiden berhenti dari jabatannya.2. Dalam hal MPR memutuskan tidak memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR, Presiden dan/atau Wakil Presiden melaksanakan tugas dan kewajibannya sampai berakhir masa jabatannya (kursif penulis). Oleh karena itu, walaupun dengan adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi yang membuktikan tentang pendapat dari DPR mengenai dugaan kesalahan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945, maka keputusan terakhir tetaplah ada di tangan MPR. Jika MPR kemudian memutuskan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka tentunya Presiden dan/atau Wakil Presiden akan berhenti dari jabatannya, tetapi jika MPR tidak memutuskan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka Presiden dan/atau Wakil Presiden akan tetap melaksanakan tugasnya sampai berakhir masa jabatannya. Berkaitan dengan kewenangan MPR dalam melaksanakan tugasnya-tugasnya maka diperlulah untuk mengadakan sidang-sidang yang dilaksanakan oleh MPR seperti apa yang diamanatkan ataupun diberikan oleh UUD 1945. Maka dapatlah terlihat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara. Ternyata walaupun adanya amandemen UUD 1945, tetapi ketentuan ayat (2) Pasal 2 UUD 1945 ini tidaklah mengalami suatu perubahan, maka tentunya makna yang terkandung di dalamnya pun pasti masih sama seperti dulu pada saat sebelum UUD 1945 diamandemen. Oleh karena itu, perlulah dikutipkan bunyi daripada Penjelasan UUD 1945 sebelum dihapus, yang di dalamnya dinyatakan bahwa MPR adalah. Badan yang akan besar jumlahnya bersidang sedikit-sedikitnya sekali dalam 5 tahun. Sedikit-sedikitnya, jadi kalau perlu dalam 5 tahun tentu boleh bersidang lebih dari sekali dengan mengadakan persidangan istimewa

BIODATA PENULISI Gusti Ngurah Santika S.Pd, lahir di Yeha 1 Agustus 1988. Anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan I Gusti Ngurah Oka dan I Desak Ayu Putu. Menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 1 Peringsari (1996-2002) kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Selat (2002-2005) dan pendidikan menengah di SMAN 1 Selat (2005-2008) kemudian pada peruguruan tinggi (2009-2012). Setelah menyelesaikan pendidikan SMA kemudian bekerja sebagai security pada PT Arkadena sampai januari 2012. Pada saat yang bersamaan mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan di perguruan tinggi sambil bekerja, akhirnya lulus dengan predikat cum laude. Kemudian untuk sekarang ini penulis belum bekerja, namun sedang melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Pendas di Undhiksa. Pengalaman penulis selama mengikuti pendidikan di perguruan tinggi adalah sebagai nara sumber dalam temuwicara menyambut bulan Bung Karno yang diselenggarakan Gor Kapten Sujana (Lapangan Buyung) Kota Denpasar (2012). Nara sumber dalam seminar alumni FKIP Universitas Dwijendra (2012), Mahasiswa berprestasi Prodi PKn, sebagai salah satu pemenang karya ilmiah tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Dikti. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti seminar-seminar yang berhubungan dengan bidang studi yang di dalami. Berkaitan dengan kritik dan saran terhadap tulisan sebelumnya, dapat disampaikan langsung kepada penulis dengan menghubungi alamat maupun no hp yang ada di bawah ini. Alamat rumah: Banjar Dinas Padang Aji Tengah, Peringsari, Selat Karangasem. No. Hp: 085237832582/085738693121.