lo 2 sapi dan sampah-kajian,asosiasi,toksitas logam
DESCRIPTION
tutorial, vet, epidemology,TRANSCRIPT
LEARNING OBJECTIVE
1. Mengetahui kajian observasi beserta keuntungan dan kerugian.
2. Mengetahui asosiasi epidemologi dan kekuatan asosiasi.
3. Mengetahui toksitisitas logam terhadap hewan dan kualitas produksi hewan (etologi,
pathogenesis, gejala klinis, perubahan patologi, terapi dan pencegahan).
PEMBAHASAN
1. Kajian observasi
Kajian observasional digunakan untuk mengetahui faktor resiko dan memperkirakan
efek kuantitatif dari berbagai komponen penyebab yang memberikan kontribusi terhadap
munculnya penyakit (Thrusfield, 2007). Penyidikan didasarkan pada analisis alamiah dari
penyakit yang terjadi dalam populasi dengan membandingkan antara kelompok individu yang
terkena penyakit dan yang terdedah sebagai faktor resiko. Pada kajian observasional
diasumsikan bahwa status pendedahan dan status penyakit merupakan variabel dikotomus
atau variabel biner. Selanjutnya dilakukan uji chi-square untuk menganalisis hubungan antara
faktor penyebab dan munculnya penyakit. Dalam dunia kedokteran hewan kajian ini sangat
penting untuk menghitung efek suatu penyakit terhadap tingkat produksi. Kelebihan kajian
observasional: (1) diarahkan ke spesies hewan yang menjadi pehatian dalam lingkungan
alamiahnya sehingga mengurangi problem mengekstrapolasikan hasilnya kepada populasi
target, (2) memungkinkan penyidik menguji hipotesis yang lebih luas jika dibandingkan
dengan kondisi eksperimen terkendali. Kekurangannya: (1) harus dilakukan pembatasan
terhadap sumber dan seleksi hewan sebagai pembatasan praktis, (2) membuat kelompok yang
dibandingkan menjadi komparabel (Budiharta dan Suardana, 2007).
Terdapat tiga tipe kajian observasional: lintas seksional, kasus control dan kohort.
Ketiganya sama-sama mengklasifikasikan hewan ke dalam kelompok terjangkit penyakit (D+)
dan tidak terjangkit penyakit (D-), serta terdedah faktor (F+) dan tidak terdedah (F-).
1.1.Kohort (cohort)
Dalam kajian kohort (prospective, insiden, longitudinal, follow up), dipilih
kelompok hewan (kohort) yang terdedah faktor resiko yang dihipotesakan (F+) dan
Page | 1
kelompok yang tidak terdedah(F-).Kedua kelompok tersebut diobservasi dan dicatat
perkembangan penyakit dari masing-masing kelompok. Sebagai contoh, bila sapi
digembalakan di TPA (memakan sampah) dianggap sebagai faktor resiko terhadap
kualitas karkas jelek maka untuk kajian kohort dibandingkan antara sapi yang
digembalakan di TPA dengan yang tidak, kemudian diobservasi sehingga didapatkan
informasi jumlah: sapi digembalakan di TPA dan karkasnya jelek (a), sapi digembalakan
di TPA namun karkasnya baik (b), sapi tidak digembalakan di TPA namun karkasnya
jelek (c), dan sapi tidak digembalakan di TPA dan karkasnya baik (d). Angka-angka
tersebut dimasukkan ke dalam kolom 2x2 dengan nilai (a+b) dan (c+d) ditentukan di awal
kajian kohort (Thrusfield, 2007).
Gambar.1.1. Diagram skematik kajian prospektif kohort (Pfeiffer, 2010).
1.2.Kasus-kontrol (case-control)
Dalam kajian kasus-kontrol (retrospective, case-referent, case history, trohoc),
dipilih kelompok yang berpenyakit (kasus; D+) dan kelompok yang tidak berpenyakit
(kontrol; D-), kemudian dibandingkan dengan keberadaan faktor resiko. Sebagai contoh,
kajian kasus-kontrol terhadap kualitas karkas daging yang jelekakan melibatkan
perbandingan antara sapi yang digembalakan di TPA (F+) dengan sapi yang tidak
digembalakan di TPA (F-). Sehingga, dalam kajian ini nilai (a+c) dan (b+d) ditentukan
lebih dulu.Dalam kasus-kontrol nilai insidensi dan prevalensi dapat digunakan
(Thrusfield, 2007).
Page | 2
Gambar. 1.2. Diagram skematik kajian kasus control (Pfeiffer, 2010).
1.3.Lintas seksional (cross-sectional)
Kajian lintas seksional atau disebut juga prevalence melibatkan pemilihan sampel
(n) dari populasi.Tiap individu dalam sampel tersebut dikaji pada saat itu jugaterhadap
positif atau tidaknya penyakit, serta terdedah atau tidaknya individu terhadap faktor
resiko, kemudian dicatat prevalensinya.Sebagai contoh, dalam kajian lintas seksional
kualitas karkas sapi yang digembalakan di TPA, dipilih sejumlah sapi sebagai sampel,
namun belum diketahui berapa angka a, b, c dan d dari sampel tersebut (Thrusfield,
2007).
Gambar.1.3. Diagram skematik kajian lintas seksional (Pfeiffer, 2010).
Page | 3
Tabel.1.1. Komparasi keuntungan dan kerugian kajian kohort, kasus control, dan lintas seksional
(Thrusfield, 2007).
2. Asosiasi epidemologi
Hipotesis dari asosiasi antara penyakit dan faktornya dapat diuji menggunakan
pengujian chi-square (x2 test) namun pengujian ini tidak dapat digunakan untuk mengukur
derajat asosiasi.x2merupakan fungsi proporsi berbagai sel dan total besaran sampel, sementara
derajat asosiasi merupakan fungsi dari proporsi sel, besaran sampel memiliki peran dalam
mendeteksi signifikansi namun tidak menentukan tingkat asosiasinya. Dampak suatu faktor
terhadap kejadian penyakit juga merupakan ukuran yang memberikan informasi. Hal tersebut
dapat diekspresikan dengan mengetahui perbedaan absolut antara kejadian penyakit di
“kelompok terdedah” dengan “kelompok tidak terdedah”, diestimasikan dengan menentukan
perbedaan antara dua proporsi. Rasio kejadian penyakit antara “kelompok terdedah” dengan
Page | 4
“kelompok tidak terdedah” dapat dihitung dengan relative risk (RR)dan odds ratio (OR)
(Thrusfield, 2007).
x2=
[|ad−bc|−0.5 n]2 xn(a+b ) x (c+d ) x (a+c ) x (b+d)
Apabila x2 hitung > x2 tabel maka terdapat signifikansi asosiasi antara faktor dan penyakit.
Kekuatan asosiasi kemudian dihitung dari RR dan OR.
1.1. Relative Risk (RR)
Resiko relative merupakan rasio dari kejadian penyakit pada hewan yang terdedah
terhadap kejadian penyakit pada hewan yang tidak terdedah.
Kejadianterdedah = a/(a+b)
Kejadiantidakterdedah = c/(c+d)
Sehingga, RR = [ a/(a+b) ] / [ c/(c+d) ]
Faktor dan penyakit dikatakan berhhubungan (memiliki asosiasi positif) apabila
nilai RR > 1 (RR = 2, artinya kejadian penyakit pada kelompok terdedah 2x lebih besar
daripada kelompok yang tidak terdedah). RR < 1 mengindikasikan asosiasi negatif
(adanya faktor dapat dikatakan membawa efek protektifitas terhadap penyakit). RR = 1
mengindikasikan tidak ada hubungan antara faktor dan penyakit.
RR dapat diturunkan dari kejadian kumulatif (risk ratio), atau dari tingkat kejadian
(rate ratio).RR hanya dapat diestimasikan secara langsung pada kajian kohort
(Thrusfield, 2007).
1.2.Odds Ratio (OR)
Rasio ganjil (OR) atau ψ (psi) merupakan rasio kemungkinan suatu kejadian dapat
muncul terhadap kemungkinan kejadian itu tidak muncul. Sebagai contoh, kemungkinan
untuk mendapatkan sisi ekor dalam melempar koin adalah 50% (0.5) sementara oddsnya
‘genap’, 1:1 [0.5 / (1-0.5)]. Probabilitas munculnya angka 1 pada pelemparan sebuah
Page | 5
dadu bersisi 6 adalah 1:6 (0.167) sementara odds nya adalah 1:5 [0.167 / (1-
0.167)].Perhatikan bahwa angka odds lebih tinggi dari angka probabilitas.
Dalam kajian kohort, OR merupakan rasio dari odds penyakit pada kelompok
teredah dengan odds pada kelompok yang tidak terdedah, maka
ORkohort(ψd) = ad / bc
Dalam kajian kasus-kontrol, OR merupakan rasio dari odds kelompok terdedah
dalam kasus dengan odds kelompok terdedah dalam control sehingga ORkasus-kontrol (ψe) =
ad / bc.Prevalensi OR dalam lintas seksional adalah ORlintasseksional (ψp) = ad / bc
(Thrusfield, 2007).
Apabila dikaji sebuah penyakit langka dalam kohort, kejadian penyakit dalam
kelompok terdedah kira-kira sama besar dengan odds penyakit karena nilai a terlatif kecil
dibanding b, sehingga a/(a+b) ≈ a/b dan c/(c+d) ≈ c/d, artinya nilai OR dengan RR
serupa. Karena ψd, ψe dan ψpekuivalen (ad/bc), OR dari kasus-kontrol dan lintas seksional
memberikan estimasi RR secara tidak langsung (Thrusfield, 2007).
3. Toksisitas logam
3.1. Keracunan Timbal (Pb)
Etiologi : Sumber utama timbal antara lain baterai, cat, dempul, aspal,
genteng dan oli motor yang di makan sapi secara tidak sengaja atau
akibat penasaran. Keracunan dapat terjadi akibat konsumsi timbal
dalam satu dosis besar atau dalam dosis kecil dalam periode yang
lama. Keduanya memberikan efek neurological yang sama
dikarakterisasi dengan ensepalopati akut (Andrews et. al, 2004).
Patogenesis : Pb diserap oleh tubuh lebih mudah dalam bentuk garam maupun
bentuk organik. Sedangkan Pb yang berada dalam bentuk murni
ataupun dalam lapisan tertantu tidak mudah diserap tubuh. Pb
memiliki banyak efek terhadap tubuh termasuk berikatan dengan
sel dan ensim terutama pada gugus sulfohidril. Pb juga
berkompetisi dengan ion kalsium menghambat enzim yang
berasosiasi dengan membran dan menganggu metabolisme vit D.
Page | 6
Pb juga menyebabkan gangguan produksi heme dan RBC
(Plumlee, 2004).
Gejala :Pada stadium awal, sapi menyendiri dan depresi. Sapi menjadi
hiperaesthetic terhadap rangsangan sentuhan dan suara.Otot sering
teramati berkedut terutama otot palpebral.Sapi bisa menjadi buta
dan membenturkan kepala ke pojok kandang.Seiring berjalannya
penyakit sapi menjadi sering melenguh, sempoyongan dan
menabrakkan dirinya ke sekelilingnya.Sapi juga bisa teramati kolik
ditunjukkan dengan menendang-nendang perut atau
menggertakkan gigi. Kematian bisa terjadi tiba-tiba atau dalam
beberapa waktu (Andrews et. al, 2004).
Tabel.3.1. Gejala kliis yang berhubungan dengan keracunan timbale pada beberapa hewan
(Plumlee, 2004).
Page | 7
Diagnosis :Diagnosa didasarkan pada gejala klinis dan adanya sumber timbal
di lingkungan. Diagnosa peneguhan didasarkan pada perubahan
patologi dan pengukuran konsentrasi timbal dalam jaringan.
Konsentrasi timbal sebesar > 4 ppm dalam ren dan hepar (dalam
berat basah) dan 0.3 ppm dalam darah dianggap diagnostic (positif)
(Andrews et. al., 2004).
Tabel.3.2.tingkat toksik timbale pada jaringgan (ppm, berat basah)
(Plumlee, 2004).
Patologi :Perubahan tergantung pada lama penyakit dan kadar logam.
Perubahan paling parah ditemui pada penyakit yang sudah
berlangsung lama. Perubahan makroskopis: otak pucat,
membengkak, gyrus menjadi rata dan kekuningan. Perubahan
mikroskopis: neovaskularisasi (endotel kapiler membengkak dan
menonjol) pada yang terinfeksi. Pembengkakan astrosit,
mikrovakuolisasi neutrophil pada stadium awal, melanjut menjadi
spongiosa neuron dengan nekrosis, malacia dan infiltrasi
makrofag. Perubahan juga dapat ditemui di thalamus dan
hipotalamus, medulla dan corda spinalis pada sapi yang keracunan
dalam periode yang panjang (Andrews et. al, 2004).
Terapi :Sapi dengan gejala syaraf dan perubahannya sudah parah sulit
untuk disembuhkan. Apabila sumber timbal terdeteksi dan sapi
diketahui baru mengkonsumsi timbal maka dapat dilakukan cuci
perut dengan memberikan magnesium sulphate (500-1000 g) untuk
Page | 8
mempresipitasi timbal dan mengeluarkannya dari saluran
pencernaan, kemudian injeksi sapi dengan kalsium disodium
edetate 110 mg/kg secara IV perlahan selama 3 hari. Pemberian
thiamin 10-15 mg/kg IV dengan EDTA juga dikatakan
memberikan efek.Pencegahan dilakukan dengan menjaga
manajemen yang baik dan mengkontrol sumber timbale (Andrews
et. al., 2004).
Page | 9