lingkungan hidup dalam hukum

42
8 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara yang kaya adalah negara yang memiliki semua kekayaan dan anugerah dari Sang Pencipta. Kekayaan itu terdiri atas berbagai unsur – unsur, salah satu diantaranya adalah “Hutan”. Hutan merupakan paru – paru dunia, tempat dimana makhluk hidup meneruskan dan melangsungkan hidup, termasuk pohon – pohon dan hasil tambang serta berbagai Sumber Daya Alam lainnya. Sungguh tak dapat dipungkiri bahwa manfaat Hutan bagi kehidupan manusia, telah memberikan kontribusi yang tak ternilai harganya bagi kesejahteraan hidup manusia, baik manfaat secara langsung ( tangible ) dan manfaat yang dirasakan secara tidak langsung ( intangible ). 1 1 Rahmawati.( 2004 ).Hutan : Fungsi dan Peranannya Bagi Masyarakat. Makalah Kuliah Umum Fakultas Pertanian USU. Hal.1 Manfaat langsung seperti penyediaan kayu, satwa dan hasil tambang. Sedangkan manfaat tidak langsung dapat kita lihat seperti tempat rekreasi, perlindungan dan pengaturan tata air, serta pencegahan erosi. Secara yuridis definisi “Hutan“ termuat dalam Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yakni suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.Dari definisi tersebut tersebut dapat dilihat bahwa terdapat 3 unsur yang menjadi ciri khas hutan, antara lain : 1. Suatu kesatuan ekosistem 2. Berupa hamparan lahan Universitas Sumatera Utara

Upload: nennouw

Post on 26-Jun-2015

794 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

8

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Negara yang kaya adalah negara yang memiliki semua kekayaan dan

anugerah dari Sang Pencipta. Kekayaan itu terdiri atas berbagai unsur – unsur,

salah satu diantaranya adalah “Hutan”. Hutan merupakan paru – paru dunia,

tempat dimana makhluk hidup meneruskan dan melangsungkan hidup, termasuk

pohon – pohon dan hasil tambang serta berbagai Sumber Daya Alam lainnya.

Sungguh tak dapat dipungkiri bahwa manfaat Hutan bagi kehidupan manusia,

telah memberikan kontribusi yang tak ternilai harganya bagi kesejahteraan hidup

manusia, baik manfaat secara langsung ( tangible ) dan manfaat yang dirasakan

secara tidak langsung ( intangible ).1

1 Rahmawati.( 2004 ).Hutan : Fungsi dan Peranannya Bagi Masyarakat. Makalah Kuliah

Umum Fakultas Pertanian USU. Hal.1

Manfaat langsung seperti penyediaan kayu,

satwa dan hasil tambang. Sedangkan manfaat tidak langsung dapat kita lihat

seperti tempat rekreasi, perlindungan dan pengaturan tata air, serta pencegahan

erosi.

Secara yuridis definisi “Hutan“ termuat dalam Pasal 1 angka 1 Undang

– Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yakni suatu

kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang

didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.Dari definisi tersebut tersebut dapat dilihat

bahwa terdapat 3 unsur yang menjadi ciri khas hutan, antara lain :

1. Suatu kesatuan ekosistem 2. Berupa hamparan lahan

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

9

3. Berisi sumber daya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Ketiga ciri pokok yang dimiliki suatu wilayah yang dinamakan hutan

merupakan suatu rangkaian kesatuan komponen yang utuh dan saling

ketergantungan terhadap fungsi ekosistem di bumi, eksistensi hutan sebagai paru

– paru dunia.2

1. Bahwa ada hutan yang berisi Sumber Daya Alam Hayati merupakan karunia

Tuhan Yang Maha Esa, yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia adalah

merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya, yang dapat dimanfaatkan

sebagai modal pembangunan. ( Penjelasan Umum Undang – Undang Nomor

41 tahun 1999 )

Dari pengertian tersebut, tampak bahwa ada 2 kepentingan yang

terkandung dalam hakikat hutan, yakni :

2. Bahwa hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem dalam pesekutuan alam

dan lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

Selain memiliki manfaat, hutan juga mempunyai fungsi – fungsi pokok yang

menjadi prinsip kelestarian hutan, yang berfungsi antara lain :

a. Fungsi Ekologis

b. Fungsi Ekonomi

c. Fungsi Sosial

Ini menunjukkan bahwa keberadaan hutan di dunia, khususnya dalam

konteks Indonesia ternyata memperoleh tempat yang cukup dilindungi oleh

peraturan – peraturan hukum yang ada, meskipun mungkin saja hasilnya belum

dapat dibuktikan secara optimal. Keberadaan hutan secara umum dalam hal upaya

dukung hutan terhadap segala aspek kehidupan manusia, satwa dan tumbuhan

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

10

sangat ditentukan pada tinggi rendahnya kesadaran manusia akan arti penting

hutan dalam pemanfatan dan pengelolaan hutan itu sendiri. Tentunya hutan

menjadi media hubungan timbal balik antara manusia dan mahluk hidup lainnya

dengan faktor – faktor alam yang terdiri dari proses ekologi dan merupakan suatu

kesatuan siklus yang dapat mendukung kehidupan.3

Laporan World Bank menyebutkan bahwa selama 35 ( tiga puluh lima

tahun) terakhir telah terjadi deforestasi seluas 1,6 ( satu koma enam ) – 1,7 ( satu

koma tujuh ) juta, bahkan mencapai 2,0 ( dunia koma nol ) juta per tahun. Justeru

kondisi tersebut pada era otonomi daerah semakin meningkat jumlahnya, yakni

Mengingat pentingnya arti hutan bagi masyarakat, maka peranan dan

fungsi hutan tersebut perlu dikaji lebih lanjut. Pemanfaatan Sumber Daya Alam

hutan apabila dilakukan sesuai dengan fungsi yang terkandung di dalamnya

seperti adanya fungsi lindung, fungsi suaka, fungsi produksi, fungsi wisata dengan

dukungan kemampuan pengembangan Sumber Daya Manusia, ilmu pengetahuan

dan tekhnologi, akan sesuai dengan hasil yang akan dicapai. Pada kenyataan yang

terjadi dalam masyarakat, kemampuan hutan dan lingkungannya untuk menjamin

kepentingan hidup manusia seringkali kurang mendapat apresiasi yang kurang

baik dari manusia. Manusia sebagai subjek (pelaku) aktivitas kehidupan lalai dan

mengabaikan keseimbangan dalam lingkungan hidup. Manusia dengan nafsu

keserakahannya selalu terpengaruh oleh kepentingan hidup yang berlebihan

porsinya, sementara dalam hal pemeliharaan hutan dan lingkungannya yang

menjadi sebuah kewajiban, kerap kali diabaikan.

2 Alam Setia Zain. (1996 ). Hukum Lingkungan Konservasi Hutan dan Segi – Segi

Pidana. Rineka Cipta : Jakarta .1996. Hal.2 3 Reksohaadiprojo . ( 2003 ). Ekonomi Lingkungan . BPFE Yogyakarta : Yogyakarta .

Hal.12.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

11

mencapai lebih dari 3,0 ( tiga koma nol ) juta per tahun.4

Tentunya belum cukup itu saja permasalahan yang dihadapi oleh sektor

kehutanan Terakhir, arah sektor kehutanan semakin tidak jelas ketika Pemerintah

Republik Indonesia mengeluarkan Inpres No.5 Tahun 2003 tentang Paket

Kebijakan Ekonomi menjelang dan sesudah berakhirnya program kerja sama

dengan International Monetary Fund ( IMF ) atau yang popoler disebut dengan

White Paper.

Beberapa organisasi

konservasi menyatakan jika hal ini tidak segara dilakukan tindakan nyata, maka

diperkirakan hutan dataran rendah Sumatera dan Kalimantan akan lenyap pada

tahun 2010. Adapun penyebab dari deforestasi ( kehilangan hutan ) kebanyakan

terjadi karena praktek industri perkayuan yang berlebihan, pembalakan liar (

Illegal Loging ), ekspansi lahan perkebunan dan pertanian, disamping karena

masalah kebijakan yang kurang mendukung kelestarian hutan dan kegagalan

penegakan hukum di bidang kehutanan.5

5

4

Khusus untuk permasalahan kebijakan yang kurang mendukung

kelestarian hutan, sebagai contoh : pembukaan lahan secara besar – besaran untuk

perkebunan tanpa dibarengi pengawasan yang ketat. Akibatnya banyak lahan

terlantar setelah hutannya dibabat habis. Kemudian adanya ancaman perubahan

fungsi kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi, dimana hutan

lindung atas nama kapital akan dijadikan areal pertambangan. Sementara itu,

penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku,

karena lebih disebabkan lemahnya komitmen pemerintah dan aparat penegak

hukum.

www.greenpeace.com, di akses pada tanggal 23 Agustus 2009. 5 Abdul Khakim. ( 2005 ). Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia Dalam Era Otonomi

Daerah. PT.Citra Aditya Bakti : Bandung..Hal.3.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

12

Dalam Bab V bagian Ketiga Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan ini sangat jelas diamatkan tentang Pengelolaan Hutan,

Pemanfaatan dan Penggunaan Hutan tepatnya pada Pasal 23 yang menyatakan

Bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal

bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga

kelestariannya. Pengertian optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat

diperjelas dalam penjelasan Pasal 23 yang secara tegas menyatakan hutan sebagai

sumber daya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat

sehingga tidak boleh terpusat pada seseorang, kelompok, atau golongan tertentu.

Oleh karena itu, pemanfaatan hutan harus didistribusikan secara berkeadilan

melalui peningkatan peran serta masyarakat, sehingga masyarakat semakin

berdaya dan berkembang potensinya.

Seperti yang kita ketahui bersama, tidak dapat dipungkiri bahwa selama 32

( tiga puluh dua tahun ) pemerintahan Orde Baru menempatkan sektor kehutanan

sebagai andalan perolehan devisa negara nomor 2 (dua) setelah sektor migas

(minyak & gas). Disamping sebagai penghasil devisa, sektor kehutanan juga

menyerap banyak tenaga kerja dan mampu mendorong terbentuknya sentra –

sentra ekonomi dan berhasil membuka keterisolasian di beberapa daerah

terpencil.6

6 Ibid. Hal. 5.

Bertolak dari kondisi ini diperlukan sinergi semua pihak ( stake

holders ) untuk berperan aktif dalam mengelola hutan secara optimal dan lestari.

Dan untuk itu pula, peran serta rakyat tidak dapat diabaikan, karena prinsip

sasaran pemanfaatan hutan dan segala sumber daya yang terkandung didalamnya

ditujukan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat, sesuai dengan hakikat

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

13

dari Pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945.

Berdasarkan hasil pengamatan penulis melalui beberapa informasi yang

penulis dapatkan, bahwa tingginya tingkat pelanggaran pidana dalam bidang

kehutanan justru disebabkan oleh lemahnya fungsi hukum itu sendiri. Tidak dapat

kita pungkiri bahwa prestasi hukum yang ada di negara kita memang belum

mampu dibanggakan kepada masyarakat . Perbuatan – perbuatan merusak hutan

bahkan mengeksploitasi hasil hutan terus menjadi objek atau lahan pribadi, tanpa

memeprhatikan kesejahteraan masyarakat disekitanya. Rata – rata perbuatan

tersebut dilakukan oleh para pengusaha. Dari lebih kurang 205 putusan pengadilan

yang ada , hanya 17,24% saja putusan yang berhasil menghadirkan pelaku utama (

master mind ) ke meja persidangan, sementara itu sebanyak 66,83% putusan

dinyatakan bebas murni dan sebanyak 21,46% putusan menjatuhkan vonis kurang

dari 1 tahun dan selebihnya adalah putusan menjatuhkan vonis sampai 2 tahun

atau lebih. Jelas sekali ini prestasi yang masih kurang maksimal bagi sistem

peradilan Indonesia.7

Berangkat atas kesadaran pentingnya arti hutan bagi manusia di bumi dan

sebagai contoh konkrit atas tingginya pelanggaran serta tindak pidana di bidang

kehutanan, maka penulis mengambil kasus Lahan Register 40 milik pengusaha

asal Sumatera Utara, yakni Darianus Lungguk Sitorus ( D.L.Sitorus ) yang

sekaligus merupakan seorang warga negara Indonesia. Kasus yang dikenal dengan

“Lahan Register 40“ itu sampai hari ini masih terus menjadi perdebatan yang

cukup serius dalam menunjukkan fakta bahwa penanganan hukum terhadap

7 www.APHI.com, di akses pada tanggal 01 September 2009.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

14

pelaku kejahatan bidang kehutanan masih jauh dari pemberdayaan fungsi hukum

dalam sistem peradilan kita.

Penulis sangat tertarik untuk membahas dan menganalisa lebih jauh,

bagaimana peran hukum kita dalam menangani tindak pidana bidang kehutanan

ini, khususnya terhadap apa yang telah dilakukan oleh Darianus Lungguk Sitorus

( D.L. Sitorus ) tersebut. Perbuatan terdakwa memasuki kawasan hutan Negara

kawasan Register 40 serta mengelolanya sehingga merubah fungsi dari hutan

tersebut menjadi sebuah lahan perkebunan kelapa sawit yang dibuktikan dengan

dibangunnya beberapa pabrik kelapa sawit dan koperasi perkebunan kelapa sawit

menjadi sebuah perdebatan dalam tingkatan penegak hukum untuk memutus

apakah perbuatan terdakwa termasuk dalam tindak pidana korupsi yang berarti

telah merugikan keuangan negara, ataukah hanya sebatas sebuah pelanggaran atas

Undang – Undang Kehutanan No.41 Tahun 1999 ynag melindungi kawasan hutan

Register 40 tersebut. Atas dasar pemikiran inilah penulis menjadi tertarik untuk

menganalisis lebih jauh bagaimanakah sebenarnya rumusan yang tepat dalam

memutuskan perkara ini secara yuridis. Lagipula seharusnya hukum maupun

undang – undang yang diciptakan mampu menciptakan keadilan dan dapat

menimbulkan efek jera ( detterence effect ) bagi pelakunya serta bagi masyarakat

umum.

B. PERUMUSAN MASALAH

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

15

Dalam hal ini penulis ingin mengemukakan beberapa permasalahan yang

menjadi tolak ukur dalam pembahasan yang berkaitan dengan Analisis Hukum

atas pelaksanaan eksekusi lahan Register 40, diantaranya adalah :

1. Bagaimana pengaturan Hukum Pidana terhadap tindak pidana di

bidang kehutanan menurut Undang – Undang Kehutanan.

2. Bagaimana analisis hukum pidana terhadap Putusan Negeri

Nomor.481/Pid.B/2006 PN.Jkt.Pst dan Putusan Mahkamah Agung

No.2642/k/Pid/2006 PT.Jkt.Pst ( dengan terdakwa Darianus Lungguk

Sitorus ( D.L.Sitorus ).

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

1. Tujuan Penulisan

Bahwa setiap penulisan karya ilmiah tentunya memiliki tujuan yang akan

diperoleh berdasarkan suatu permasalahan yang dibahas. Adapun tujuan yang

ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui sejauh manakah perkembangan hukum terhadap

pengaturan masalah tindak pidana, khususnya dalam bidang kehutanan.

b. Untuk memaparkan dan menjelaskan tindak pidana bidang kehutanan.

c. Untuk membahas bagaimanakah pertanggung jawaban pidana korporasi

yang dilakukan oleh individu maupun badan hukum.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut :

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

16

a. Manfaat Teoritis

Yaitu untuk memberikan kontribusi pemikiran dan memperkaya khasanah

dalam bidang hukum pidana pada umumnya, dan tentang tindak pidana

bidang kehutanan pada khususnya, sehingga diharapkan skripsi ini

nantinya dapat menjadi bahan masukan dan referensi bagi mahasiswa

fakultas hukum dan fakultas kehutanan.

b. Manfaat Praktis

1. Untuk memberikan kontribusi dalam rangka sosialisasi kepada

masyarakat luas tentang Tindak Pidana bidang Kehutanan yang terjadi

dan semakin berkembang saat ini, yang diharapkan akan dapat

menimbulkan kesadaran masyarakat dalam mencegah

perkembangannya.

2. Sebagai bentuk kontribusi pemikiran bagi aparat penegak hukum, mulai

dari pihak kepolisian, kejakasaan, kehakiman serta para bagian dari

lembaga peradilan di Indonesia, agar dapat meningkatkan

profesionalisme kerja dalam upaya penegakan hukum dalam

pemberantasan masalah tindak pidana bidang kehutanan.

3. Serta memberikan pemahaman tentang efektivitas pelaksanaan eksekusi

keputusan ataupun kebijakan yang dilahirkan oleh lembaga – lembaga

swadaya masyarakat ataupun kelompok studi hukum lainnya.

D. KEASLIAN PENULISAN

Skripsi dengan judul “Analisis Hukum Atas Tindak Pidana di Bidang

Kehutanan ( Studi Putusan Pengadilan Negeri No.481/k/Pid/2006 PN.Jkt.Pst &

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

17

Putusan Mahkamah Agung No.2642/K/Pid/2006 PT.Jkt.Pst dengan Terdakwa

Darianus Lungguk Sitorus ) ini sepengetahuan penulis belum pernah ditulis oleh

siapapun di Fakultas Hukum Sumatera Utara. Apabila dikemudian hari terdapat

judul dan objek pembahasan yang sama sebelum tulisan ini dibuat, maka penulis

siap untuk mempertanggung jawabkannya secara moral dan ilmiah.

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Setiap karya ilmiah tentunya memerlukan suatu studi kepustakaan atau

sering disebut dengan istilah tinjauan kepustakaan. Pada tahapan ini penelitian

mencari landasan teoritis dari permasalahan penelitiannya sehingga penelitian

yang dilakukan bukanlah aktivitas yang bersifat “ trial and error “.

1. Pengertian Hutan

Kata hutan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu dan forrest

bos dalam bahasa Inggris. Forrest berarti dataran tanah yang bergelombang, dan

dapat dikembangkan untuk kepentingan diluar kehutanan, seperti pariwisata.8

8 Salim,H.S.( 1993 ). Dasar – Dasar Hukum Kehutanan. Sinar Grafika: Jakarta. Hal.40

Dalam Hukum Inggris kuno, hutan (forest) adalah suatu daerah tertentu yang

tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup binatang buas dan burung – burung

hutan. Disamping itu, hutan juga dijadikan tempat pemburuan, tempat istirahat

dan tempat bersenang – senang bagi raja dan pegawai – pegawainya. Namun

dalam perkembangan selanjutnya ciri khas ini menjadi hilang. Menurut KBBI (

Kamus Besar Bahasa Indonesia ), yang dimaksud dengan hutan adalah tanah luas

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

18

yang ditumbuhi pohon – pohon, ( biasanya tidak dipelihara orang ). Sedangkan

Menurut Dengler , yang diartikan dengan hutan adalah :

“ Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembapan, cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh – tumbuhan atau pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat ( horizontal dan vertikal ) “.9

1. Unsur lapangan yang cukup luas ( minimal ¼ Hektar ) yang disebut tanah hutan.

Sedangkan pengertian hutan secara yuridis, menurut pasal 1 ayat 1 Undang

– Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan bahwa hutan

adalah “Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya

alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya

,yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan ”.

Terdapat empat unsur yang terkandung dari definisi hutan diatas, yaitu :

2. Unsur pohon ( kayu, bambu, palem ), flora dan fauna. 3. Unsur Lingkungan. 4. Unsur penetapan pemerintah.

Jika kita bandingkan, ternyata terdapat perbedaan antara pengertian hutan

secara umum dengan pengertian hutan secara yuridis. Untuk dapat menyelami

pengertian tentang hutan lebih jauh, sebaiknya kita lihat dari penjelasan resmi

Pasal 1 ayat 1 Undang – Undang No.41 tahun 1999 .Berdasarkan ketentuan yang

mengatur tentang kehutanan, yaitu Undang – Undang Nomor 41 tahun 1999,

pembagian hutan digolongkan atas empat jenis, yaitu :

a. Hutan berdasarkan Statusnya.

9 W.J.S. Poerwardarminta. Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ). PT.Balai Pustaka : Jakarta.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

19

Hutan berdasarkan statusnya adalah suatu pembagian hutan yang

didasarkan pada status ( kedudukan ) antara orang, badan hukum atau institusi

yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan terhadap hutan

tersebut. Hutan berdasarkan statusnya dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu

hutan negara dan hutan hak.

1). Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas

tanah.

2). Hutan Negara adalah hutan , yang berada pada tanah yang dibebani hak

atas tanah, yang termasuk dalam kualifikasi hutan negara adalah:Hutan

Adat, Hutan Desa Hutan kemasyarakatan. Hutan Adat adalah : Hutan

Negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat

( rechtgemeenschap ). Hutan Desa adalah Hutan Negara yang dikelola

oleh Desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraaan desa. Hutan

Kemasyarakatan adalah Hutan Negara yang pemanfaataanya untuk

memberdayakan masyarakat.

b. Hutan Berdasarkan Fungsinya.

Dalam pasal 6 sampai dengan pasal 7 Undang – Undang Nomor 41 tahun

1999 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hutan berdasarkan fungsinya

adalah Penggolongan hutan yang didasarkan pada kegunaannya. Hutan ini dapat

digolongkan menjadi tiga macam, yaitu Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan

Hutan Produksi.

1). Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang

mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuh –

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

20

tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Hutan Konservasi ini terbagi

lagi atas tiga macam, antara lain : kawasan hutan suaka alam, kawasan

pelestarian alam dan kawasan Taman Buru.

2) Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok

sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, untuk mengatur tata

air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi

(penerobosan ) air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

c. Hutan Berdasarkan Tujuan Khusus.

Menurut Pasal 8 Undang – Undang Kehutanan ( Nomor 41 Tahun 1999 ),

penggunaan hutan untuk keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan

latihan serta untuk kepentingan religi dan budaya setempat, syaratnya tidak

mengubah fungsi pokok kawasan hutan .

d Hutan Berdasarkan Pengaturan Iklim Mikro.

estetika dan resapan air di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai

hutan kota. Menurut Pasal 9 Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999, yang

dimaksud dengan hutan kota adalah hutan yang berfungsi untuk pengaturan iklim

mikro, estetika dan resapan air. Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang

sangat penting dalam menunjang pembangunan bangsa dan negara. Hal ini

dikarenakan hutan dapat memberikan manfaat yang sebesar – besarnya bagi

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Menurut Salim, manfaat hutan

digolongkan menjadi dua, yakni Manfaat Langsung dan Manfaat Tidak

Langsung. Adapun yang dikatakan sebagai manfaat langsung adalah manfaat

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

21

yang dapat dirasakan atau dinikmati secara langsung oleh masyarakat, dimana

masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan hasil hutan, contoh : kayu,

rotan, getah, buah – buahan, madu dan lain – lain. Sementara itu, yang dimaksud

dengan manfaat secara tidak langsung adalah manfaat yang secara tidak langsung

dinikmati oleh masyarakat, tetapi dapat dirasakan adanya keberadaan hutan itu

sendiri.11

a. untuk mengatur tata air.

Contohnya antara lain :

b. untuk menecegah terjadinya erosi.

c. untuk memberikan manfaat terhadap kesehatan.

d. Menciptakan lapangan pekerjaan.

e. Memberikan kontribusi dalam bidang pertahanan keamanan.

f. Memberikan manfaat dalam bidang pariwisata.

g. dan lain – lain.

Selanjutnya, kegiatan pengukuhan hutan merupakan kegiatan yang sangat

penting dalam bidang kehutanan. Hal ini disebabkan karena kegiatan ini

merupakan dasar dalam menentukan status hukum hutan. Pengukuhan Hutan

merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penataan batas suatu wilayah yang

telah ditunjuk sebagai wilayah hutan guna memperoleh kepastian hukum

mengenai status hukum dan batas kawasan hutan. Perintah pengukuhan hutan

diatur dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 16 Undang – Undang Nomor 41

Tahun 1999 dan Pasal 7 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1967, yang berbunyi

“ Penetapan kawasan hutan didasarkan pada suatu rencana umum pengukuhan

hutan itu, untuk selanjutnya digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam

11 Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan. ( 1990 ). Hukum Kehutanan Suatu Ringkasan untuk Bahan Penyuluhan Hukum Kehutanan. Jakarta.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

22

penetapan hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam dan hutan wisata ”.12

1. Penunjukkan Kawasan Hutan.

Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor

33 Tahun 1970 tentang Perencanaa Hutan, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

339 / Kpts – II / 1990 tentang Pedoman Pengukuhan Hutan, serta diatur dalam

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 400/ Kpts – II / 1990 tentang Pembentukan

Panitia Tata Batas.

Di dalam Pasal 15 Undang – Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999,

ditentukan empat tahap dalam pengukuhan hutan, yakni :

2. Penataan Batas Kawasan Hutan.

3. Pemetaan Batas Kawasan Hutan.

4. Penetapan Batas Kawasan Hutan.

Ad.1. Tahap Penunjukkan kawasan Hutan.

Penunjukkan hutan pada dasarnya merupakan penetapan awal peruntukkan

suatu wilayah tertentu sebagai wilayah hutan. Penunjukkan ini dilakukan oleh

Menteri Kehutanan atau pejabat lainnya. Penunjukkan ini dapat didasari pada

Tata Guna Hutan Kesepatan (TGHK) atau Government Besluit13

12 Yahya Hanaf. (1993). Pengukuhan HUtan dan Aspek – Aspek Hukum Bagian II. Bahan Penataran Tekhnis Yuridis Kawasan Hutan. Jakarta. 13 Govenrment Besluit dalam makna bahasa Indonesia disamakan dengan sebuah surat ketetapan yang diberikan atau di keluarkan oleh pemerintah Belanda ( Kolonial ).

(GB)

Pemerintah Hindia Belanda. Disamping itu, penunjukkan kawasan hutan dapat

juga dilakukan atas dasar tukar – menukar kawasan hutan dengan hutan milik,

hasil kompensasi terhadap pemakaian kawasan hutan di daerah – daerah yang

kawasan hutannya sudah berada di bawah batas minimal, dan atau karena

perbuatan – perbuatan hukum lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

23

Ad.2. Tahap Kegiatan Pengukuhan

Dalam pelaksanaan pengukuhan ini, terdapat delapan kegiatan yang harus

dilakukan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 Keputusan Meneteri

Kehutanan Nomor 339/Kpts-II/1990 tentang Pedoman Pengukuhan

Hutan.Tahapan – tahapan tersebut antara lain :

a. Penyusunan rencana kerja dan pembuatan peta.

Penyusunan rencana kerja memuat tentang rencana – rencana yang akan

dikerjakan. Peta kerja tat batas berisi rancangan batas dibuat berdasarkan

kawasan hutan., yakni dengan cara memindahkan batas kawasan pada peta

dasar dengan skala 1 : 25.000 atau skala 1 : 50.000. Apabila peta skala itu

belum tersedia maka dapat digunakan perta skala 1 : 100.000 atau skala 1 :

250.000.

b. Penyusunan Konsep Trayek Batas.

Konsep Proyek Batas merupakan suatu konsep tentang rencana garis batas

dilapangan yang ditandai dengan rintis batas dan patok batas atau tanda –

tanda batas lainnya. Biasanya pembuatan trayek bats ini dilakukan dengan

memindahkan (plotting) batas kawasan hutan pada peta dasar dengan

memperhatikan kaidah – kaidah kartograf ( proyeksi peta, kordinat garis

geografis, dan skala peta ).

c. Rapat Panitia Batas.

Dalam rapat Panitia Tata Batas dibahas tentang trayek batas dan

inventarisasi adanya hak – hak pihak ketiga dan permasalahan yang terkait.

Apabila segala permasalahan telah dapat diselesaikan, selanjutnya Panitia

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

24

Tata Batas mengadakan rapat mengenai persiapan pelaksanaan

pengukuran/pemamcangan batas yang dikoordinasikan oleh Kantor Wilayah

Departemen Kehutanan.

d. Pemancangan Patok Batas.

Kegiatan pemanconagn patok batas merupakan penegasan batas suatu

wilayah yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan sesuai dengan trayek

batas. Pemancangan ini meliputi : pemasangan batas sementara, perintisan

batas sementara serta pemberian tanda – tanda di alapangan tentang adanya

tanah – tanahyang dipertimbangkan akan dimasukkan/dikeluarkan dari

wilayah hutan yang ditunjuk sebagai kawasan hutan. Panitia Tata Batas

meninjau hasil pemancangan batas sementara dan membuat pengumuman

batas sementara atas wilayah/areal yang ditunjuk sebagai kawasan hutan.

e. Inventarisasi & Penyelesaian hak – hak pihak ketiga yang berkaitan dengan

trayek batas.

Tujuan inventarisasi dan penyelesaian hak pihak ketiga yang berkaitan

dengan trayek batas adalah untuk menghimpun tanah – tanah yang dimiliki

oleh pihak ketiga yang terdapat dalam kawasan hutan yang akan ditentukan

status hukumnya dan memberikan penyelesaiannya.

f. Pengumuman.

Tujuan pengumuman ini adalah untuk memberitahukan kepada masyarakat

di sekitar hutan tentang pemancangan batas sementara atas wilayah/areal

yang ditunjuk sebagai kawasan hutan.

g. Kegiatan Pengukuran, Pemetaan dan Pemasangan Pal Batas.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

25

Apabial tidak ada lagi hak – hak pihak ketiga dalam kawan hutan,

dilakukannlah pengukuran secara definitif adn pemasangan pal batas hutan

dari beton dengan ukuran 10 x 10 x 139 cm atau pal batas kayu kelas awet I

atau awet II dengan ukuran 15 x 15 x 130 cm. Pal batas itu diberi nomor

urut dan kode huruf dimulai ari pelebaras rintis batas yang berfungsi untuk

jalannya pemeriksaan batas.

h. Membuat dan Menandatangani Berita Acara Tata Batas.

Apabila ketujuh kegiatan diatas telah dilakukan, maka kegiatan selanjutnya

adalah membuat Berita Acara Tata Batas, dan kemudian ditandatangi oleh

Panitia Tata Batas.

Ad.3. Tahap Penetapan Kawasan Hutan.14

1. Adanya penetapan dari Menteri Kehutanan yang dituangkan dalam Surat

Keterangan ( SK ) Menteri Kehutanan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dan penelitian Berita Acara Tata Batas,

Biro Hukum dan Organisasi, Departemen Kehutanan menyiapkan dan memproses

penetapan kawasan hutan yang telah ditata batas dan diketahui pasti luasnya

dengan suatu produk hukum berupa “keputusan” penetapan kawasan hutan tetap

dengan fungsi tertentu atau tanpa fungsi. Selanjutnya, tentang kawasan hutan

sendiri diatur dalam Pasal 4 Ayat ( 1 ) dan ( 2 ) Undang – Undang Kehutanan

Nomor 5 Tahun 1967, dengan pengertian bahwa kawasan hutan merupakan

wilayah yang sudah berhutan atau yang tidak berhutan, yang telah ditetapkan

menjadi hutan. Ada dua ciri khas yang disebut sebagai Kawasan Hutan,

diantaranya :

14 Salim H.S. (2005). Dasar – Dasar Hukum Kehutanan. PT.SInar Grafika : Jakarta. Hal.51.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

26

2. Telah ada penetapan batas kawasan hutan.

Dalam sistem pengelolaan Sumber Daya Alam terdapat 2 ( dua )

paradigma, yaitu pengelolaan Sumber Daya Alam ( hutan ) yang berpusat pada

negara ( state based forest management ) dan pengelolaan Sumber Daya Alam

oleh masyarakat ( Community based forest management ). Paradigma pertama

menempatkan pemerintah dalam posisi sentral dan menentukan, sedangkan

masyarakat mendapat peran hanya sebagai perangkap. Sebaliknya, paradigma

kedua menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama, sedangkan pemerintah

hanya berperan sebagai fasilitator dan administrator untuk mendukung proses

tersebut.

Sebagian pihak berpendapat bahwa Undang – Undang No.41 Tahun 1999

tentang Kehutanan masih menganut paradigma pertama, khususnya dalam konteks

negara menguasai sumber daya hutan, walaupun harus diakui dalam undang –

undang ini terdapat banyak klausul dengan semangat paradigma kedua. Hal ini

dibuktikan, antara lain dengan adanya pengakuan yang lugas terhadap hutan

kemasyarakat ( penjelasan pasal 5 ), hutan adat ( pasal 1 angka 6 ), peranan

masyarakat terhadap pengawasan ( pasal 60 ayat 2 ), pasal 62 dan pasal 64,

masyarakat hukum adat ( pasal 67 ), peran serta masyarakat ( pasal 68 sampai

dengan pasal 70 ) dan gugatan perwakilan atau class action ( pasal 71 ).

2. Pengertian dan Unsur - Unsur Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Istilah Tindak Pidana adalah berasal dari Bahasa Belanda, yakni

“Strafbaar Feit“, yang apabila diartikan ke dalam Bahasa Indonesia sama

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

27

artinya dengan “ Peristiwa Pidana “. Banyak sekali pendapat dari para ahli atau

sarjana hukum yang menggunakan istilah berbeda – beda, untuk menunjuk kepada

Peristiwa Pidana. Moeljatno menggunakan istilah “Perbuatan Pidana“, beliau

tidak menggunakan istilah Tindak Pidana. Menurutnya, perbuatan pidana

dirumuskan sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan

diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut.15

Sekarang ini semua undang – undang telah memakai istilah tindak pidana,

seperti Undang – Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang – Undang Tindak

Pidana Imigrasi, Undang – Undang Tindak Pidana Suap, dan seterusnya. Istilah

tindak pidana itupun tidak disetujui oleh Moeljatno, antara lain dikatakan bahwa

“tindak” sebagai kata “tindak pidana” baik dalam pasal – pasalnya sendiri maupun

Hukum pidana Belanda memakai istilah “Strafbaar Feit”,, kadang –

kadang juga “Delict” yang berasal dari bahasa Latin “Delictum ”. Hukum Pidana

negara – negara Anglo Saxon memakai istilah “offense” atau “criminal act ”

untuk maksud yang sama. Oleh karena KUHP Indonesia bersumber pada WvS (

Wetboek van Strafreht ) Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu strafbaar

feit. Selanjutnya timbul masalah dalam menerjemahkan istilah Strafbaar Feit itu

ke dalam bahasa Indonesia. Meoljatno dan Roeslan Saleh memakai istilah

perbuatan pidana meskipun tidak untuk menerjemahkan “strafbaar feit” itu.

Moeljatno menolak istilah peristiwa pidana katanya peristiwa pidana itu adalah

pengertian yang konket yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian yang tertentu

saja, contoh : matinya orang. Artinya hukum pidana tidak melarang orang mati,

tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain.

15 Moeljatno. ( 1983 ). Asas – Asas Hukum Pidana. Sinar Grafika : Bandung . Hal.1

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

28

dalam penjelasannya hampir selalu pula memakai kata “perbuatan”. Istilah Feit

digunakan di Negeri Belanda dengan alasan bahwa istilah itu tidak meliputi hanya

perbuatan ( handelen ), tetapi juga pengabaian ( nalaten ). Pemakaian istilah Feit

pun disana dikritik oleh Van der Hoeven, karena katanya yang dapat dipidana

ialah pembuat, bukan feit itu. Senada dengan itu Van Hamel mengusulkan istilah

strafwaardig feit ( strafbaardig ), yang artinya patut dipidana. Oleh karena itulah

Hazewinkel Suringa mengatakan istilah “Delict” yang dipersengketakan , hanya

karena istilah “ Strafbaar Feit ” itu telah biasa dipakai.

Menurut Simons, Strafbaar Feit ialah perbuatan melawan hukum yang

berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang mampu bertanggung jawab.

Kesalahan dalam pengertian ini termasuk juga kesalahan dalam arti luas, yang

meliputi Dollus dan Culpa (kelalaian dan kealpaan). Van Hammel juga

menjelaskan bahwa Stafbaar Feit sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh

undang – undang, melawan hukum dan patut atau bernilai untuk dipidana

(strafwaardig) dan dapat dicela karena kesalahan.16

1. Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handeling kelakuan atau tingkah

laku;

Ia merumuskan bahwa

strafbaar feit itu adalah kelakuan orang (menseijke gedraging ) yang dirumuskan

dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (stafwaardig) dan

dilakukan dengan kesalahan.

Jika melihat pengertian – pengertian ini maka dalam pokoknya ternyata :

2. Bahwa pengertian Strafbaar Feit dihubungkan dengan kesalahan orang

yang mengadakan kelakuan tadi.

16 Ibid. Hal.225.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

29

Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifat perbuatannya saja , yaitu

sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar. Apakah yang

melanggar itu benar – benar dipidana seperti yang sudah dicantumkan tergantung

kepada keadaan bathinnya dengan perbuatannya itu yakni dengan kesalahannya

jadi perbuatan pidana dipisahkan dengan kesalahan. Lain halnya Strafbaar Feit,

disitu dicakup pengertian perbutan pidana dan kesalahan. Perbuatan pidana ini

kiranya dapat kita samakan dengan istilah Inggris, yaitu “Criminal Act ”. Pertama,

karena “Criminal Act” ini juga berarti kelakuan dan akibat, atau dengan kata lain

akibat dari suatu kelakuan yang dilarang hukum. Kedua, karena Criminal Act ini

juga dipisahkan dari pertanggung jawaban pidana yang dinamakan Criminal

Liability atau Responsibility. Untuk adanya Criminal Liability ( jadi untuk

dipidananya seseorang ) selain daripada melakukan Criminal Act ( perbuatan

pidana ) orang itu juga harus mempunyai kesalahan ( Guilt ). Hal ini dinyatakan

dalam kalimat Latin, “ Actus Non facit Reus, nisi Mens Sit Rea “ ( An Act Does

not make a person guilt , unless the mind is guilty ).

Sedangkan Sarjana Pompe menguraikan dua macam definisi tentang

Strafbaar Feit ini, yaitu :

1. Definisi yang bersifat Teoritis.

Maksudnya ialah berupa pelanggaran terhadap norma ( kaedah atau tata

hukum ) yang diadakan karena kesalahan pelanggar dan yang harus

dijatuhkan pidana untuk dapat memepertahankan tata hukum dan

menyelamatkan kesejahteraan umum yang sesuai dengan Undang –

Undang Dasar 1945.

2. Definisi yang bersifat Hukum Positif.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

30

Memberikan pengertian bahwa Strafbaar Feit adalah suatu peristiwa

yang oleh undang – undang ditentukan mengandung perbuatan

(Handelling) dan pengabaian (Nelaten), tidak berbuat atau berbuat pasif,

biasanya dilakukan dalam beberapa keadaan, merupakan bagian dari suatu

peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan ikut serta itulah yang disebut

sebagai uraian delik.

Lain lagi definisi yang diberikan oleh Sarjana VOS, beliau memberikan

pengertian yang singkat bagi Strafbaar Feit, yaitu kelakuan atau tingkah laku

manusia yang oleh peraturan perundang – undangan diberikan pidana atau sanksi.

Pada umumnya, tindak pidana disinonimkan dengan kata “Delict “ atau “Delik”,

yang berasal dari Bahasa Latin, yakni “Delictum”, yang jika kita artikan ke dalam

Bahasa Indonesia sendiri yang dimaksud dengan delik ialah “perbuatan yang

dapat dikenakan hukuman karena merupakan terhadap Undang – Undang Tindak

Pidana “.17

17 W.J.S.Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Penerbit Balai Pustaka :

Jakarta.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa batasan terhadap delik pada

umumnya adalah suatu perbuatan aktif atau pasif, yang untuk delik, materil

diisyarakatkan terjadinya akibat yang mempunyai hubungan yang kausal dengan

perbuatan yang melawan hukum formil dan materil dan tidak adanya dasar yang

membenarkan perbuatan itu. Sementara apabila kita melihat dalam KUHP ( Kitab

Undang – Undang Hukum Pidana ), pengertian dari Delik itu sendiri tidak

ditemukan. Tiap – tiap pasal hanya menguraikan unsur – unsur delik yang berbeda

– beda, sesuai dengan jenis perbuatan yang diaturnya. Perbuatan yang oleh aturan

hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dinamakan perbuatan

pidana yang disebut orang dengan delik. Tetapi tidaklah semua perbuatan yang

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

31

melawan hukum atau yang bersifat merugikan masyarakat diberikan sanksi

pidana. Begitu pula, tidaklah dapat kita mengatakan bahwa hanya perbuatan –

perbuatan yang menimbulkan kerugian yang besar saja yang dijadikan perbuatan

pidana. Adalah kewajiban pemerintah untuk dengan bijaksana menyesuaikan apa

– apa yang ditentukan sebagai perbuatan pidana itu.

Penentuan itu juga dipengaruhi oleh pandangan – pandangan apakah

ancaman dan penjatuhan pidana itu adalah jalan yang utama untuk mencegah

dilanggarnya larangan – larangan tersebut. Jadi syarat utama dari adanya

“perbuatan pidana” adalah kenyataan bahwa ada aturan yang melarang dan

mengancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

Perbuatan melawan hukum yang tidak dilarang dan diancam oleh undang –

undang dengan pidana, tidaklah merupakan perbuatan yang menderita, yang

terkena oleh perbuatan itu. Tentang penentuan perbuatan apa yang dipandang

sebagai perbuatan pidana , kita menganut asas bahwa tiap – tiap perbuatan pidana

harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang – undang. Asas

demikianlah yang disebut sebagai “ asas legalitas ”.

b.Unsur – Unsur Tindak Pidana

Unsur adalah semua syarat - syarat yang harus dipenuhi bagi suatu

perbuatan untuk dapat dikategorikan sebagai perbuatan atau tindakan yang

melawan atau melanggar hukum. Menurut Van Hamel, unsur – unsur dari suatu

Tindak Pidana meliputi :

1. Adanya suatu perbuatan.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

32

2. Perbuatan itu harus ditentukan oleh hukum pidana tertulis (asas legalitas),

yang merupakan perbuatan melawan hukum.

3. Bernilai atau patut dipidana.

Sementara itu, menurut Van Bemellen, yang termasuk dalam unsur –

unsur dari Tindak Pidana diantaranya adalah :

1. Adanya unsur – unsur kesalahan.

2. Kemampuan bertanggung jawab

3. Sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut.

Simons menyatakan bahwa unsur – unsur dari suatu delik, hampir sama

dengan apa yang diuraikan oleh Van Hamel, yakni : 18

1. Merupakan suatu perbuatan manusia.

2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

3. Perbuatan dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya, dalam uraian diatas telah dijelaskan tentang pengertian tindak

pidana, dan secara khusus dalam hukum pidana dikenal sebuah pengkhususan

pada salah satu tindak pidana yang dilakukan oleh badan hukum atau dalam istilah

kerennya disebut dengan tindak pidana korporasi. Dalam perkembangan hukum

Indonesia, penggunaan istilah “korporasi“ merupakan sebutan yang lazim

digunakan dikalangan pakar hukum pidana untuk menyebutkan apa yang biasa

digunakan dalam bidang hukum lain, khususnya dalam bidang hukum perdata,

sehingga badan hukum ( rechtpersoon ) atau yang dalam bahasa Inggris disebut

sebagai Legal Entities atau Corporation.19

18 Leden Marpaung. Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Masalah Prevensinya. Sinar

Grafika .1997. Hal.9 19 Rudy Prasetya. ( 1989 ). Perkembangan Korporasi Dalam Proses Modernisasi. UNDIP

Press : Semarang. Hal.2.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

33

Konsep korporasi pada mulanya dikembangkan pada hukum romawi, lebih

dari seribu tahun yang lalu, tetapi sebegitu jauh hingga abad ke XVIII tidak

mengalami perkembangan. Dalam sistem hukum perdata Belanda yang sampai

saat ini masih dianut oleh sistem hukum di Indonesia, maka subjek hukum yang

dikenal di Indonesia ada dua, yaitu :

1. Manusia ( Persoon )

2. Badan Hukum ( Rechtpersoon ).

Dari pembagian subjek hukum tersebut diatas, apabila korporasi ini

merupakan suatu subjek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum, maka

korporasi termasuk dalam kualifikasi Badan Hukum ( Rechtpersoon ).20 Ada

beberapa pengertian tentang batasan korporasi yang dipaparkan oleh para ahli –

ahli hukum, Subekti dan Tjitrosudiro memberi pembatasan bahwa ynag

dimaksud dengan “ korporasi “ adalah suatu perseroan yang merupakan Badan

Hukum.21

20 Edi Yunara. ( 2005 ). Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi berikut

Studi.Kasus. PT.Citra Aditya Bakti : Bandung. Hal. 9. 21 Muladi & Dwipa Prijatna . ( 1991 ). Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum

Pidana. Bandung Press : Bandung . Hal.14.

Senada dengan pendapat tersebut diatas, sebagaimana dikemukakan

oleh Utrecht dan M.Soleh Djindang , yang mengungkapkan bahwa korporasi

adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama –

sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri sebagai suatu personifikasi.

Korporasi dapat dibagi berdasarkan macamnya, yakni Badan Hukum ( korporasi )

yang terbagi lagi atas badan Hukum yang Orisinil ( murni / asli ), dan Badan

Hukum tidak orisinil. Sedangkan menurut jenisnya badan hukum dapat dibagi

menjadi badan Hukum (korporasi) Publik, dan Badan Hukum ( korporasi ) privat.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

34

Terakhir menurut sifatnya, Badan Hukum terdiri atas Korporasi ( corporatie ) dan

yayasan ( stichting ).22

Ada juga pendapat lain yang dipaparkan oleh Aliansi Nasional Reformasi

KUHP tentang korporasi, yang menyatakan bahwa Korporasi atau badan hukum

adalah satu konsep tentang pribadi bayangan dalam hukum modern. Hukum

pidana modern mengkonstruksikan bahwa pelaku dari tindak pidana adalah

pribadi atau individu (naturalijk person), tetapi dalam perkembangannya, badan

hukum (rechts person) atau korporasi dapat juga melakukan kejahatan yang

menimbulkan kerugian publik. Korporasi biasa didefinisikan sebagai sekelompok

orang yang diperlakukan oleh hukum sebagai satu kesatuan, yaitu person yang

memiliki hak dan kewajiban terpisah dari hak dan kewajiban individu yang

membentuknya.

3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Berbicara tentang konsep “liability“ atau pertanggung jawaban pidana,

dilihat dari segi falsafah hukum menurut pendapat seorang Filsuf besar dalam

bidang hukum pada abad ke – 20 , Roscoue Pound mengemukakan :” …I’ll use

the simple word “ Liability “ for the situation where by one may exact legaly and

other is legaly subjected on the exaction“. Bahwa untuk pertanggung jawaban

pidana tidak cukup dilakukannya pebuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu

harus ada kesalahan , atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas

22 H.Setiyono. ( 2005 ) .Kejahatan Korporasi. PT.Bayu Media : Malang . Hal.17.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

35

hukum yang tidak tertulis : “ Tidak dipidana, jika tidak ada kesalahan “ ( Geen

Straf Zonder Schuld, Ohne Schuld Keine Straf ). 23

Pound lebih lanjut mengatakan bahwa “ liability “ diartikan sebagai suatu

kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seorang

yang telah dirugikan. Ukuran ganti rugi tersebut tidak lagi dari nilai suatu

pembalasan yang harus dibeli, melainkan dari sudut kerugian, penderitaan yang

ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan, sehingga dengan demikian

konsepsi “liability” diartikan sebagai “reparation”, terjadilah perubahan arti

konsepsi “liabilty” dari “compotition for vengeance“ menjadi “reparation for

injur “ . Perubahan bentuk wujud ganti rugi dengan sejumlah uang kepada kepada

ganti rugi dengan penjatuhan hukuman secara historis merupakan awal dari

pertanggungjawaban atau “liability”.

24

1. Strict Liability Crimes

Pertanggungjawaban Pidana atau “Criminal Liability” adalah

sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata – mata, melainkan

juga menyangkut soal nilai – nilai moral atau kesusilaan umum yang dainut oleh

masyarakat atau kelompok – kelompok masyarakat. Dalam Hukum Pidana Inggris

dikenal dua macam pertanggungjawaban pidana, yakni :

2. Vicarious Liability

23 Moeljatno. ( 2002 ). Asas – Asas hukum Pidana. PT. Rineka Cipta : Bandung. Hal.153.

Pertanggung jawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar, dinamakan Leer van Het Materiele Feit ( Feit Materielle ). Dahulu dijalankan atas pelanggaran Tindak Pidana sejak adanya Arrest Susu Hari H.R.1916 Nederland, hal itu ditiadakan. Juga bagi delik – delik jenis Overtredingen Arrest Susu H.R.14 Februari 1916.

24 Wirjono Projodikoro. ( 1969 ). Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia. PT.Eresco :

Bandung. Hal.67.

Universitas Sumatera Utara

Page 29: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

36

Ad 1. Strict Liability Crimes

Selain menganut asas “actus non facit neum nisi mens sit rea “ ( a

harmful act without a blame worthy mental state is not punishable ) hukum

pidana juga menganut prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak tanpa harus

dibuktikan ada atau tidaknya unsur kesalahan pada diri si pelaku tindak pidana.

Prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak ini menurut Hukum Pidana Inggris

hanya diberlakukan terhadap perkara pelanggaran terhadap ketertiban umum atau

kesejateraan umum.

Ad.2 Vicarious Liability

Adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada

seseorang atas perbuatan orang lain . Vicarious Liability hanya berlaku terhadap :

1. Delik – delik yang mensyarakatkan kualitas.

2. Delik – delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan

majikan.

Jika dibandingkan antara “strict liability“ dan ”vicarious liability“ tampak jelas

bahwa persamaan dan perbedaannya . Persamaan yang tampak , bahwa baik “stict

liability crimes” maupun “vicarious liability” tidak mensyaratkan adanya “mens

rea ” atau unsur kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Pada pasal 36

Rancangan Undang – Undang Kitab Hukum Pidana tahun 2006 merumuskan

bahwa pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang

ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi

syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Artinya bahwa tindak

pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat

pertanggungjawaban pidana. Ini berarti bahwa setiap orang yang melakukan

Universitas Sumatera Utara

Page 30: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

37

tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus

ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan

diteruskannya celaan ( vewijtbaarheid ) yang objektif terhadap perbuatan yang

dinyatalan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku dan

secara subjektif kepada pemuatan tindak pidana yang memenuhi persyaratan

untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.

Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat

dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa

pembuat tindak pidana tidak hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan

dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai

kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.

Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana,

dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya.25

Sudarto menegaskan bahwa dalam ruang lingkup asas

pertanggungjawaban pidana, disamping kemampuan bertanggung jawab,

kesalahan ( Schuld ) dan melawan hukum ( Wederechtelijk ) sebagai syarat untuk

pengenaan pidana ialah pembahasan masyarakat untuk pembuat. Dengan

demikian, konsepsi pertanggungjawaban pidana dalam arti dipidananya pembuat,

ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu :

26

25 Ibid. Hal.71. 26 Sudarto. (1986). Kapita Selekta Hukum Pidana . PT. Alumni : Bandung. Hal 33-34.

1. Ada suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang

2. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan

3. Ada pembuat yang mampu bertanggungjawab

4. Tidak adanya alasan pemaaf

Universitas Sumatera Utara

Page 31: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

38

Berikut ini penjelasan mengenai syarat – syarat pertanggungjawaban diatas.

Ad 1. Ada suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang

Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat melawan hukum

adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan yang sifat

tercela atau mana dapat bersumber pada Undang – Undang ( melawan hukum

formil atau formelle wedwerechttelijk ), karena bersumber pada masyarakat yang

sering juga disebut dengan bertentangan dengan asas – asas hukum masyarakat,

maka sifat tercela itu tidak tertulis. Sering kali sifat tercela dari suatu perbuatan itu

terletak pada kedua – duanya, seperti perbuatan menghilangkan nyawa orang lain

( pasal 338 KUHP ) adalah dilarang baik dalam undang – undang walaupun dalam

masyarakat adalah wajar setiap perbuatan yang menurut undang – undang,

walaupun kadang kala ada perbuatan yang tercela pula menurut Undang –

Undang, misalnya : perbuatan mengemis ( pasal 504 KUHP ) dan bergelandang (

pasal 505 KUHP ), sebaliknya ada perbuatan yang tercela menurut masyarakata

tetapi tidak menurut Undang – Undang.

Berpegang pada pendirian ini, maka setiap perbuatan yang ditetapkan

sebagai yang dilarang dengan mencantumkannya dalam peraturan (menjadi tindak

pidana) tanpa melihat apakah unsur melawan hukum itu atau tidak dalam

manusia, maka dengan demikian setiap tindak pidana itu sudah mempunyai unsur

melawan hukum. Artinya melawan hukum adalah unsr mutlak dari suatu tindak

pidana. 27

27 Dalam putusan Mahkamah Agung No.30/K/Kr/1969 tanggal 6 Juni 1960 dinyatakan bahwa “dalam setiap tindak pidana selalu ada unsur sifat melawan hukum dari perbuatan – perbuatan yang dituduhkan, walaupun ada dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan”.

Perkataan melawan hukum dalam KUHP yang berlaku saat ini kadang –

kadang disebutkan dalam rumusan tindak pidana dan kadang tidak. Menurut

Universitas Sumatera Utara

Page 32: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

39

Schaffmeister, ditambahkannya kata melawan hukum sebagai salah satu unusur

dalam rumusan delik dimaksudkan untuk membatasi ruuang lingkup rumusan

delik yang ( telah ) dibuat terlalu luas. Ia menambahkan bahwa, tanpa

ditambahkannya perkataan melawan hukum mungkin timbul bahaya, yaitu mereka

yang menggunakan haknya akan termasuk kedalam ketentuan undang – undang

pidana.

Sedangkan alasan tidak dicantumkannya dalam tiap – tiap pasal dalam

KUHP adalah bilamana dari rumusan Undang – Undang, perbuatan yang

tercantum sudah sedemikian wajar perbuatan melawan hukumnya, sehinggga

tidak perlu dinyatakan secara eksplisit. Kedudukan sifat melawan hukum sangat

khas di dalam hukum pidana, bersifat melawan hukum mutlak untuk setiap tindak

pidana. Roeslan Saleh mengatakan bahwa memidana sesuatu yang tidak melawan

hukum tidak ada artinya “. Sementara itu Andi A Zainal Abidin mengatakan

bahwa salah satu unsur esensial delik ialah sifat melawan hukum (

wederrechtelijkheid ) dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam suatu pasal

undang – undang pidana, karena alangkah janggalnya kalau seseorang dipidana

yang melakukan perbuatan tidak melawan hukum“. Dengan demikian untuk dapat

dikaitkan seseorang melakukan tindak pidana, perbuatannya itu harus bersifat

melawan hukum.28

28 Abidin, Zainal. (1995). Hukum Pidana I. PT.Sinar Grafika: Jakarta . Hal.12.

Rancangan KUHP juga menentukan masalah melawan hukum

tindak pidana. Mulanya dalam pasal 15 ayat ( 2 ) Rancangan KUHP tahun 2000,

menentukan bahwa untuk dipidanya perbuatan yang dilarang dan diancam

Universitas Sumatera Utara

Page 33: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

40

dengan pidana oleh peraturan perundang – undangan, perbuatan tersebut harus

juga bersifat melawan hukum.29

Dengan demikian, kesalahan merupakan konsekuensi atas pilihan sebagai

anggota masyarakat yang bebas sepanjang dalam koridor hukum. Sementara

pandangan ini justru melihat kesalahan bukan masalah “choice”, tetapi masalah

“character”. Pembuat bersalah melakukan tindak pidana bukan sebagai

Ad 2. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.

Kesalahan ( schuld ) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran bathin

orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena unsur itu selalu melihat

pada diri si pelaku dan bersifat subjektif. Unsur kesalahan dan menemui keadaan

bathin pelaku.Istilah kesalahan (schuld) dalam hukum pidana adalah

berhubungan dengan pertanggung jawaban pidana (mengandung beban

pertangung jawaban pidana, yang terdiri dari kesengajaan (Dollus / Opzet) dan

kelalaian (Culpa). Kesalahan merupakan penilaian normatif terhadap tindak

pidana, perbuatannya dan hubungan keduanya yang dari situ dapat bahwa

pembuatnya dapat berbuat lain, jika tidak ingin melakukan tindak pidana.

Menurut capasity theory, kesalahan merupakan refleksi dari choice (pilihan) dan

freewill (kehendak) pembuat rindak pidana. Kesalahan merupakan kapasitas

pembuatnya untuk mengontrol perbuatannya. Dengan kata lain, dikatakan ada

kesalahan jika pembuat melakukan tindak pidana dalam kontrolnya.

Ketidakmampuan mengontrol perbuatan yang berujung pada dilakukannya tindak

pidana merupakan dasar untuk mencela pembuat.

29 Rancangan Kitab Undang - Undang Hukum Pidana ( RKUHP ) Tahun 2000.

Universitas Sumatera Utara

Page 34: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

41

konsekuensi wujud dari kehendak bebasnya, tetapi lebih kepada karakter ( jahat )

yang ada pada dirinya. Seperti halnya unsur melawan hukum, unsur kesalahan ini

ada di sebagian rumusan tindak pidana, yakni kejahatan tertentu dan dicantumkan

secara tegas, ( misalnya pasal 104, pasal 179, pasal 204, pasal 205, pasal 362,

pasal 372, pasal 378, pasal 406 dan pasal 480 KUHP ) dan disebagian lagi tidak

dicantumkan, misal pasal 162, pasal 167, pasal 170, pasal 211, pasal 212, pasal

289, pasal 294 dan pasal 422 KUHP ).30

Suatu pandangan yang dikenal dengan ajaran Feit Materiel, terdapat dalam

teori hukum pidana. Dalam hal ini, penentu adanya kesalahan dan

pertangggungjawaban pidana dilakukan cukup dengan meninjau apakah pembuat

memenuhi seluruh rumusan tindak pidana. Dengan demikian, seseorang dapat

dipertanggung jawabkan dalam hukum pidana sepanjang dapat dibuktikan bahwa

perbuatannya telah memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana. Peranan

Korporasi yang semakin pesat telah memberikan dampak yang pesat dalam

kegiatan masyarakat yang harus diikuti dengan perkembangan di bidang hukum

pidana, sebab kecenderungan korporasi melakukan pelanggaran dalam mencapai

tujuan korporasi. Dibidang hukum pidana, keberadaan suatu badan hukum atau

badan usaha yang menyandang. Istilah korporasi diterima dan diakui sebagai

subjek hukum yang dapat melakukan tindak pidana serta dapat dipertanggung

jawabkan.

31

30 Adami Chazawi .(2002).Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. PT.Raja Grafindo Persada :

Jakarta . Hal 88.

Universitas Sumatera Utara

Page 35: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

42

Ad.3. Ada pembuat yang mampu bertanggungjawab.

Menurut Pompe, dapat dipertanggungjawabkan berarti bahwa keadaan

jiwanya dapat menetukan perbuatan itu dipertanggungjawabkan kepadanya.

Masalah ada tidaknya pertanggungjawabkan pidana diputuskan oleh Hakim

karena hal ini merupakan pengertian yuridis bukan medis. Dapat

dipertanggungjawabkan ( toerekenbaarheid ) itu berkaitan dengan kesalahan

(schuld).32

1. Kemungkinan menentukan tingkah lakunya dengan kemauannya.

Dapat dipertanggungjawabkan berarti bahwa keadaan jiwanya dapat

menetukan perbuatan itu dipertanggungjawabkan kepadanya. Istilah di dalam

Pasal 44 KUHP itu terbatas artinya, tidak meliputi melawan hukum. Van

Bemellen, dapat dipertanggungjawabkan itu meliputi :

2. Mengerti tujuan nyata perbuatannya.

3. Sadar bahwa perbuatan itu tidak diperkenankan oleh masyarakat.

Ad.4. Tidak adanya alasan pemaaf

Alasan pemaaf ( Schuld duitsluitingsgronden ) menurut Moeljatno yaitu

merupakan alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang

dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan

perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak adanya kesalahan.33

31 Ibid. Hal.89. 32 Moeljatno. ( 2002 ). Asas – Asas hukum Pidana. PT. Rineka Cipta : Bandung. Hal.158.

Menurut pandangan beberapa sarjana/ahli hukum pidana, dasar peniadaan pidana

sebenarnya dapat dibagi dalam 2 ( dua ) bagian, yakni yang tercantum dalam

undang – undang dan yang terdapat diluar undang – undang ( yang diperkenalkan

oleh doktrin/yurisprudensi). Atau dengan kata lain dapat disebut sebagai “dasar

Universitas Sumatera Utara

Page 36: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

43

pembenar” dan “dasar pemaaf” . Van Bemellen menyatakan bahwa terdapat

perbedaan antara keduanya, alasan pembenar meniadakan unsure melawan hukum

( yang artinya perbuatan itu sendiri tidak dapat dipidana ). Ini berarti bahwa jika

terjadi penyertaan, yaitu sesorang ikut serta sebagai pembantu, menyuruh

melakukan, memancing untuk melakukan delik itu, ia tidak dapat dipidana pula.

Disini ada unsure obyektif, yaitu perbuatan itu sendiri tidak dapat dipidana.34

33 Ibid. Hal.137. 34 Andi Hamzah. ( 1994 ). Asas – Asas hukum Pidana. PT.Rineka Cipta : Bandung. Hal. 143-145.

Lain haknya dengan dasar / alasan pemaaf yang meniadakan

unsurekesalahan atau unsur subyektif, jika terjadi penyertaan seperti tersebut

dimuka, orang itu tetap dapat dipidana (kalau yang ikut serta dapat

dipertangungjawabkan). Sementara Memory van Toelichting (MvT) tidak

mengadakan pembagian seperti itu, sehingga yang tergolong sebagai alasan

pemaaf sekaligus alasan(dasar) pembenar ialah seperti apa yang tercantum dalam

Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51 ayat (1) dan (2).

1. Pasal 44 : Perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang yang “kurang sempurna akal” atau karena “sakit berubah akal”.

2. Pasal 48 : Perbuatan pidana yang dilakukan karena pengaruh / sesuatu

kekuasaan. 3. Pasal 49 : Melakukan suatu tindak pidana dalam keadaan terpaksa / darurat

(noordweer ) dan ( noordweer exes ) dengan tujuan untuk mempertahankan diri / diri orang lain, mempertahankan kehormatan / harta benda sendiri / kepunyaan orang lain, daripada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga.

4. Pasal 50 : Melakukan / melaksanakan suatu perbuatan untuk menjalankan

peraturan undang – undang. 5.Pasal 51 (1): Melakukan suatu perbuatan untuk menjalankan perbuatan atas

perintah jabatan yang diberikan oleh orang yang berkuasa yang berhak akan itu.

Universitas Sumatera Utara

Page 37: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

44

6. Pasal 51 (2) : Melakukan suatu perbuatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak

berhak / tidak sah.

Selanjutnya, membahas tentang pertanggung jawaban atas tindak pidana

korporasi, dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia dikenal 3 ( tiga )

sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yaitu :

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang

bertanggungjawab.

b. Korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab.

c. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab.35

Berkolerasi dengan perkembangan konsep korporasi sebagai subjek tindak

pidana, dapat dikemukakan bahwa dalam ketentuan umum KUHP Indonesia yang

masih digunakan sampai saat ini. Indonesia menganut badan mengamini bahwa

suatu Delik hanya dapat dilakukan oleh manusia. Sedangkan fiksi badan hukum

( rechtpersoon ) yang dipengaruhi pemikiran Von Savigny yang terkenal dengan

teori Fiksi ( fiction theory), yang tidak diakui dalam hukum pidana. Sebab,

Dari penjelasan tersebut dapat dikualifisir bahwa pertanggungjawaban

pidana korporasi dapat terbagi atas tiga subjek hukum, yaitu:

a. Pengurus korporasi

b. Korporasi dan pengurus korporasi

c. Korporasi saja.

35 Mardjono, ( 1989 ). Pertanggungjawaban Korporasi. Penerbit Universitas Diponegoro

Press : Semarang. Hal.7.

Universitas Sumatera Utara

Page 38: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

45

pemerintah Belanda pada waktu itu bersedia mengadopsi ajaran hukum perdata ke

dalam hukum pidana.36

a. Tanggung jawab mutlak ( Stict Liability )

Mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, menurut teori

hukum terdapat 3 ( tiga ) jenis sistem tanggung jawab, antara lain :

b. Tanggung jawab berdasarkan Kesalahan.

c. Tanggung jawab berdasarkan Kelalaian.

F. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif ( yuridis normatif ),

yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan diajukan pada berbagai peraturan

perundang – undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan

permasalahan dalam skripsi. Penelitian yuridis normative ini disebut juga dengan

penelitian hukum doctrinal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Wigjosoebroto

yang membagi penelitian hukum sebagai berikut :

a. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif

b. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas – asas dan dasar – dasar

falsafah (dogma atau doctrinal ) hukum positif.

c. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak

diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu.

36 Ibid. Hal.30.

Universitas Sumatera Utara

Page 39: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

46

Menurut Jhony Ibrahim, dalam kaitannya dengan penelitian normative

( doktinal ) dapat digunakan beberapa pendekatan yang berupa : 37

1. Pendekatan Perundang – undangan ( statute approach )

2. Pendekatan Analisis ( analytical approach )

3. Pendekatan Historis ( Historical approach )

4. Pendekatan Filasafat ( Philosophical approach )

5. Pendekatan Kasus ( Case approach)

Skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan metode

pendekatan analisis ( Analytical Approach ) yaitu menganalisis bahan hukum

untuk mengetahui makna yang terkandung dalam istilah yang digunakan oleh

peraturan perundang – undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui

penerapannya dalam putusan – putusan hukum,38

37 Johnny Ibrahim., ( 2007 ). Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu

Media : Surabaya. Hal.300.

serta menggunakan metode

pendekatan kasus ( Case Approach ), yaitu suatu penelitian normatif yang

bertujuan untuk mempelajari norma – norma hukum atau kaidah hukum yang

dilakukan dalam praktek hukum. Kasus tersebut akan dipelajari untuk

memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormalan suatu aturan hukum

dalam prakteknya. Metode pendekatan kasus yang perlu dipahami bahwa alasan –

alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya harus

memperhatikan fakta – fakta materil berupa orang, tempat, waktu dan segala yang

menyertainya. Fakta materil tersebut diperlukan karena baik hakim maupun para

pihak akan mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan pada fakta

tersebut. Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah – kaidah atau

norma – norma dalam hukum positif yang dilakukan dan ditujukan pada peratuan

Universitas Sumatera Utara

Page 40: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

47

perundang – undangan tertulis dari berbagai literatur yang berkaitan dengan

permasalahan dalam skripsi dan penerapannya dalam praktek.

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis putusan Mahkamah Agung

Jakarta Selatan untuk mengetahui sejauh mana implementasi hukum pidana

terhadap penegakan hukum di bidang kehutanan dengan tujuan untuk menemukan

norma hukum tertentu in concreto.

2. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian skrispsi ini adalah data sekunder .

Adapun data sekunder tersebut diperoleh dari :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat

dan diterapkan oleh pihak – pihak yang berwenang, yaitu berupa KUHP

dan perundang – undangan.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi

atau bahan kajian kejahatan yang berkaitan denan tindak pidana

menyangkut perlindungan hutan, seperti seminar hukum, majalah –

majalah, karya tulis ilmiah tentang tindak pidana bidang kehutanan dan

beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan persoalan

diatas.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep – konsep

dan keterangan – keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia, dan lain sebagainya.

38 Ibid. Hal.30

Universitas Sumatera Utara

Page 41: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

48

3. Metode Pengumpulan Data.

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode Library Research (Penelitian

kepustakaan), yaitu melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan seperti

peraturan perundang – undangan, buku – buku, majalah, internet, pendapat sarjana

dan bahan lainnya yang dapat menunjang skripsi ini.

4. Analisa Data.

Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan dan diurutkan,

kemudian diorganisir dalam satu pola, kategori dan uraian dasar. Analisa Data

dalam skripsi ini adalah analisa dengan cara Kualitatif, yaitu menganalisa secara

lengkap dan komprehensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh sehingga

dapat menjawab permasalahan – permasalahan dalam skripsi ini.39

39 Ronny Hanitijo Soemitro. ( 1982 ). Metode Penelitian Hukum. Penerbit PT.Ghalia

Indonesia : Jakarta. Hal.93.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan skripsi ini dirancang dengan susunan sebagai berikut : pada Bab

I berisi Bab Pendahuluan yang merupakan Latar belakang, permasalahan, tujuan

dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika

penulisan.

Bab II tentang pengaturan hukum pidana tentang tindak pidana di bidang

kehutanan berdasarkan ketentuan Undang – Undang Nomor 41 tahun 1999

tentang kehutanan.

Universitas Sumatera Utara

Page 42: Lingkungan Hidup Dalam Hukum

49

Bab III membahas tentang penelitian terhadap studi – studi kasus yang

dilampirkan dalam karya tulis penulis serta analisis kasus yang dilampirkan oleh

penulis.

Bab IV sebagai Bab terakhir dari karya tulis ini berisi kesimpulan dan

saran dari karya tulis penulis.

Universitas Sumatera Utara