limbah b3
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)
Limbah ada yang berbahaya dan beracun bagi lingkungan hidup dan
khususnya manusia.Secara umum yang disebut limbah adalah bahan sisa yang
dihasilkan dari suatu kegiatan dan proses produksi, baik pada skala rumah tangga,
industri, pertambangan, dan sebagainya. Bentuk limbah tersebut dapat berupa gas
dan debu, cair atau padat. Di antara berbagai jenis limbah ini ada yang bersifat
beracun atau berbahaya dan dikenal sebagai limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (Limbah B3).
Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah sisa suatu usaha dan
atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena
sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun
tidak langsung dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau
dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia
serta makhluk hidup lainnya (PP No. 18 Tahun 1999 Jo PP No. 85 Tahun 1999).
Sedangkan B3 adalah bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan
atau merusak lingkungan hidup, dan atau membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya (PP No. 74
Tahun 2001).
Limbah B3 maupun bahan berbahaya dan beracun tidak saja dihasilkan
atau digunakan oleh kegiatan industri tetapi juga dari berbagai aktivitas manusia
lainnya misalnya dari kegiatan pertanian, rumah tangga dan rumah sakit. Untuk
itulah perlu dikelola secara benar sehingga tidak mencemari dan mengganggu
kesehatan manusia.
B. Jenis-Jenis Limbah Beracun
Yang termasuk limbah B3 antara lain adalah bahan baku yang berbahaya
dan beracun yang tidak digunakan lagi karena rusak, sisa kemasan, tumpahan, sisa
proses, dan oli bekas kapal yang memerlukan penanganan dan pengolahan khusus.
Bahan-bahan ini termasuk limbah B3 bila memiliki salah satu atau lebih
karakteristik berikut: mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun,
menyebabkan infeksi, bersifat korosif, dan lain-lain, yang bila diuji dengan
toksikologi dapat diketahui termasuk limbah B3. Jenis-jenis limbah beracun
diantaranya:
a. Limbah mudah meledak
Limbah yang melalui reaksi kimia dapat menghasilkan gas dengan suhu dan
tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan.
b. Limbah mudah terbakar
limbah yang bila berdekatan dengan api, percikanapi, gesekan atau sumber
nyala lain akan mudah menyala atau terbakar dan bila telah menyala akan terus
terbakar hebat dalam waktu lama.
c. Limbah reaktif
Limbah yang menyebabkan kebakaran karena melepaskanatau menerima
oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil dalam suhutinggi.
d. Limbah beracun
Limbah yang mengandung racun yang berbahaya bagimanusia dan
lingkungan. Limbah B3 dapat menimbulkan kematian atau sakit bila masuk ke
dalam tubuh melalui pernapasan, kulit atau mulut.
e. Limbah penyebab infeksi
Limbah penyebab infeksi adalah limbah laboratorium yang terinfeksi penyakit
ataulimbah yang mengandung kuman penyakit, seperti bagian tubuh manusia
yang diamputasi dan cairan tubuh manusia yang terkena infeksi.
f. Limbah yang bersifat korosif
Limbah yang bersifat korosif merupakan limbah yang menyebabkan iritasi
pada kulitatau mengkorosikan baja, yaitu memiliki pH sama atau kurang dari 2,0
untuk limbahyang bersifat asam dan lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat
basa.
C. Sumber Limbah B3
Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi
sebagai berikut:
a. Primary sludgeyaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada
pemisahan awal dan banyak mengandung biomassa senyawa organik yang
stabil dan mudah menguap.
b. Chemical sludge yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi
danflokulasi.
c. Excess activated sludgeyaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan
dengnlumpur aktif sehingga banyak mengandung padatan organik berupa
lumpur darihasil proses tersebut.
d. Digested sludgeyaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan
digested aerobic maupun anaerobic di mana padatan atau lumpur yang
dihasilkancukup stabil dan banyak mengandung padatan organik
Berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh Bina Lingkungan Hidup DKI,ada
sembilan kelompok besar penghasil limbah B3, delapan kelompok industri skala
menengah dan besar, serta satu kelompok rumah sakit yang juga memiliki potensi
menghasilkan limbah B3.
1. Industri Tekstil dan kulit
Sumber utama limbah B3 pada industri tekstil adalah penggunaan zat
warna.Beberapa zat warna dikenal mengandung Cr, seperti senyawa Na2Cr2O7
atausenyawa Na2Cr3O7. Industri batik menggunakan senyawa Naftol yang sangat
berbahaya. Senyawa lain dalam kategori B3 adalah H2O2 yang sangat reaktif dan
HClO yang bersifat toksik.Beberapa tahap proses pada indusrti kulit yang
mneghasilkan limbah B3antara lain washing, soaking, dehairing, lisneasplatting,
bathing, pickling,dan degreasing. Tahap selanjutnya meliputi tanning, shaving,
dan polishing.Proses tersebut menggunakan pewarna yang mengandung Cr dan
H2SO4. Halinilah yang menjadi pertimbangan untuk memasukkan industrikulit
dalamkategori penghasil limbah B3.
2. Pabrik kertas dan percetakan
Sumber limbah padat berbahaya di pabrik kertas berasal dari proses
pengambilan kembali bahan kimia yang memerlukan stabilisasisebelum ditimbun.
Sumber limbah lainnya ada pada permesinan kertas, pada pembuangan boiler dan
proses pematangan kertas yangmenghasilkan residu beracun. Setelah residu
tersebut diolah, dihasilkankonsentrat lumpur beracun.Produk samping proses
percetakan yang dianggap berbahaya dan beracunadalah dari limbah cair
pencucian rol film, pembersihan mesin, dan pemrosesan film. Proses ini
menghasilkan konsentrat lumpur sebesar 1-4 persen dari volume limbah cair yang
diolah. Industri persuratkabaran yang memiliki tiras jutaan eksemplar ternyata
memiliki potensi sebagai penghasil limbah B3.
3. Industri kimia besar
Kelompok industri ini masuk dalam kategori penghasil limbah B3, yang
antaralain meliputi pabrik pembuatan resin, pabrik pembuat bahan pengawet kayu,
pabrik cat, pabrik tinta, industri gas, pupuk, pestisida, pigmen, dansabun.Limbah
cair pabrik resin yang sudah diolah menghasilkan lumpur beracunsebesar 3-5
persen dari volume limbah cair yang diolah. Pembuatan catmenghasilkan
beberapa lumpur cat beracun, baik air baku maupunzat pelarut Sedangkan industri
tinta menghasilkan limbahterbesar dari dari pembersihan bejana-bejana produksi,
baik cairan maupunlumpur pekat. Sementara, timbulnya limbah beracun dari
industri pestisida bergantung pada jenis proses pada pabrik tersebut, yaitu apakah
ia benar-benar membuat bahan atau hanya memformulasikan saja.
4. Industri farmasi
Kelompok indusrti farmasi terbagi dalam dua sub-kelompok, yaitusub-
kelompok pembuat bahan dasar obat dan sub-kelompok formulasi dan
pengepakan obat. Umumnya di Indonesia adalah sub-kelompok kedua yang tidak
begitu membahayakan. Tapi, limbah industri farmasi yang memproduksiatibiotik
memiliki tingkat bahaya cukup tinggi. Limbah industri farmasiumumnya berasal
dari proses pencucian peralatan dan produk yang tidak terjual dan kadaluarsa.
5. Industri logam dasar
Industri logam dasar nonbesi menghasilkan limbah padat dari pengecoran,
percetakan, dan pelapisan, yang mengahasilkan limbah cair pekat beracunsebesar
3% dari volume limbah cair yang diolah. Industri logam untuk keperluan rumah
tangga menghasilkan sedikit cairan pickling yang tidak dapat diolah di lokasi
pabrik dan memerlukan pengolahan khusus. Selain itu juga terdapat cairan
pembersih bahan dan peralatan, yang konsentratnyamasuk kategori limbah B3.
6. Industri perakitan kendaraan bermotor
Kelompok ini meliputi perakitan kendaraan bermotor seperti mesin, disel,dan
pembuatan badan kendaraan (karoseri). Limbahnya lebih banyak bersifat padatan,
tetapi dikategorikan sebagai non B3. Yang termasuk B3 berasal dari proses
penyiapan logam (bondering) dan pengecatan yang mengandung logam berat
seperti Zn dan Cr.
7. Industri baterai kering dan aki
Limbah padat baterai kering yang dianggap bahaya berasal dari prosesfiltrasi.
Sedangkan limbah cairnya berasal dari proses penyegelan. Industriaki
menghasilkan limbah cair yang beracun, karena menggunakan H2SO4
sebagaicairan elektrolit.
8. Rumah sakit
Rumah sakit menghasilkan dua jenis limbah padat maupun cair, bahkan
jugalimbah gas, bakteri, maupun virus. Limbah padatnya berupa sisa obat-obatan,
bekas pembalut, bungkus obat, serta bungkus zat kimia. Sedangkan limbahcairnya
berasal dari hasil cucian, sisa-sisa obat atau bahan kimialaboratorium dan lain-
lain. Limbah padat atau cair rumah sakit mempunyaikarateristik bisa
mengakibatkan infeksi atau penularan penyakit. Sebagian juga beracun dan
bersifat radioaktif.
D. Teknologi Pengolahan Limbah B3
Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga
metode yang paling populer di antaranya ialah :
1. chemical conditioning, yaitu salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah
chemical conditioning. Tujuan utama dari chemical conditioning ialah:
1) menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam lumpur
2) Mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur
3) mendestruksi organisme patogen
4) Memanfaatkan hasil samping proseschemical conditioning yang masih
memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada
prosesdigestion
5) Mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan
aman dan dapat diterima lingkungan
2. Solidification/Stabilization
Secara umum stabilisasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah
dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan
pencemar dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut.
Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan
berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait
sehingga sering dianggap mempunyaiarti yang sama. Proses solidifikasi atau
stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu:
1) Macroencapsulation,yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah
dibungkus dalam matriks struktur yang besar
2) Microencapsulation,yaitu proses yang mirip macroencapsulation tetapi
bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat
mikroskopik
3) Precipitation
4) Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia
pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
5) Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan
menyerapkannya ke bahan padat
6) Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi
senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang
sama sekali.
Teknologi solidikasi atau stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur
(CaOH2),dan bahan termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah
metoda in-drum mixing, in-situ mixing , dan plant mixing. Peraturan mengenai
solidifikasi atau stabilitasi diatur oleh BAPEDAL berdasarkan
Kep-03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
3. Incineration
Teknologi pembakaran (incineration) adalah alternatif yang menarik dalam
teknologi pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah
hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi ini sebenarnya bukan
solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena pada dasarnya hanya
memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak
kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Namun,
insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari komponen
limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat.
Selain itu, insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil. Aspek penting
dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value) limbah.
Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses
pembakaran, heating value juga menentukan banyaknyaenergi yang dapat
diperoleh dari sistem insinerasi. Jenis insinerator yang palingumum diterapkan
untuk membakar limbah padat B3 ialah rotary kiln, multiplehearth, fluidized bed,
open pit, single chamber, multiple chamber, aqueous wasteinjection, dan starved
air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut,rotary kiln mempunyai kelebihan
karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair,dan gas secara simultan.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Limbah Industri Gula Tebu
Tebu merupakan salah satu jenis tanaman yang hanya dapat ditanam di
daerah yang memiliki iklim tropis. Di Indonesia, perkebunan tebu menempati luas
areal 232 ribu hektar, yang tersebar di Medan, Lampung, Semarang, Solo, dan
Makassar. Tanaman ini merupakan sumber bahan baku perusahaan gula. Dalam
suatu produksi barang, pastilah didapat hasil samping (limbah). Begitu pula
halnya dengan produksi pada pabrik gula. Berikut adalah limbah yang dihasilkan
dari produksi gula yang berasal dati tanaman tebu:
1. Pucuk Tebu
Pucuk tebu adalah ujung atas batang tebu berikut 5-7 helai daun yang
dipotong dari tebu giling ataupun bibit. Diperkirakan dari 100 ton tebu dapat
diperoleh sekitar 14 ton pucuk tebu segar. Pucuk tebu segar maupun dalam bentuk
awetan, sebagai silase atau jerami dapat menggantikan rumput gajah yang
merupakan pakan ternak yang sudah umum digunakan di Indonesia.
2. Ampas Tebu
Tebu diekstrak di stasiun gilingan menghasilkan nira dan bahan bersabut yang
disebut ampas. Ampas terdiri dari air, sabut dan padatan terlarut. Komposisi
ampas rata-rata terdiri dari kadar air : 46 – 52 %; Sabut 43 – 52 %; padatan
terlarut 2 – 6 %. Umumnya ampas tebu digunakan sebagai bahan bakar ketel
(boiler) untuk pemenuhan kebutuhan energi pabrik. Pabrik gula yang efisien dapat
mencukupi kebutuhan bahan bakar boilernya dari ampas, bahkan berlebih. Ampas
yang berlebih dapat dimanfaatkan untuk pembuatan briket, partikel board, bahan
baku pulp dan bahan kimia seperti furfural, xylitol, methanol, metana, dll.
3. Blotong
Pada proses pemurnian nira yang diendapkan di clarifier akan menghasilkan
nira kotor yang kemudian diolah di rotary vacuum filter. Di alat ini akan
dihasilkan nira tapis dan endapan yang biasanya disebut “blotong” (filter cake).
Blotong dari PG Sulfitasi rata-rata berkadar air 67 %, kadar pol 3 %, sedangkan
dari PG. Karbonatasi kadar airnya 53 % dan kadar pol 2 %. Blotong dapat
dimanfaatkan antara lain untuk pakan ternak, pupuk dan pabrik wax. Penggunaan
yang paling menguntungkan saat ini adalah sebagai pupuk di lahan tebu.
4. Tetes
Tetes (molasses) adalah sisa sirup terakhir dari masakan (massecuite) yang
telah dipisahkan gulanya melalui kristalisasi berulangkali sehingga tak mungkin
lagi menghasilkan gula dengan kristalisasi konvensional. Penggunaan tetes antara
lain sebagai pupuk dan pakan ternak dan pupuk. Selain itu juga sebagai bahan
baku fermentasi yang dapat menghasilkan etanol, asam asetat, asam sitrat, MSG,
asam laktat dll.
5. Asap
Telah disebutkan di atas hasil sampingan (limbah) pabrik gula cukup beragam.
Agar limbah ini tidak menjadi masalah bagi lingkungan sekitar, maka diperlukan
suatu pengelolaan terhadap limbah tersebut. Cara- cara yang bisa digunakan dalm
pengolahan limbah yaitu menetralkan limbah sehingga tidak berbahaya bagi
lingkungan, dan dengan merubah limbah menjadi barang lain yang lebih bernilai
tinggi.
B. Teknologi Pengolahan Limbah Tebu
Secara umum pengelolaan limbah seperti limbah cair, yang dikeluarkan
pabrik merupakan limbah organik dan bukan Limbah B3 (bahan beracun dan
berbahaya). Limbah cair ini dikelola melalui dua tahapan. Pertama, penanganan di
dalam pabrik (in house keeping). Sistem ini dilakukan dengan cara
mengefisienkan pemakaian air dan penangkap minyak (oil trap) serta pembuatan
bak penangkap abu bagasse (ash trap). Kedua, penanganan setelah limbah keluar
dari pabrik, melalui Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). IPAL dibangun di
atas tanah seluas lebih dari 8 ha, terdiri dari 13 kolam dengan kedalaman
bervariasi dari 2 m (kolam aerasi) sampai 7 m (kolam anaerob). Total daya
tampung lebih dari 240.000 m3, sehingga waktu inap (retention time) dapat
mencapai 60 hari.
Sedangkan pengelolaan limbah dengan cara pemanfaatan limbah dari
pabrik tebu dapat memberikan nilai lebih. Pemanfaatan limbah pabrik tebu bisa
berupa pembuatan bioetanol, pemanfaatan pucuk tebu sebagai bahan pakan
ternak, ampas tebu untuk pakan ternak dan pembuatan senyawa furfural besrta
turunannya, serta pembuatan pupuk kompos dari blotong. Sedangkan untuk
limbah berupa asap dapat dikelola dengan jalan menekan pengeluaranya diudara
bebas.
Berikut adalah sejumlah hal tentang pemanfaatan dan pengelolaan hasil
samping pabrik gula yang dapat digunkan untuk menekan tingkat pencemaran.
1. Pembuatan Bioetanol
Pada dasarnya unit pembuatan etanol dari tebu terdiri dari 4
bagian, yaitu:
a. Unit gilingan
Unit gilingan berfungsi untuk menghasilkan nira mentah dari tebu.
Komponen unit gilingan terdiri dari pisau pencacah dan tandem gilingan.
Sebelum masuk gilingan, tebu dipotong-potong terlebih dulu dengan pisau
pencacah. Cacahan tebu selanjutnya masuk kedalam tandem gilingan 3 rol
yang biasanya terdiri atas 4 atau 5 unit gilingan yang disusun secara seri. Pada
unit gilingan pertama, tebu diperah menghasilkan nira perahan pertama (npp).
Ampas tebu yang dihasilkan diberi imbibisi, kemudian digiling oleh unit
gilingan kedua. Nira yang terperah ditampung, ampasnya kembali ditambah
air imbibisi dan digiling lebih lanjut oleh unit gilingan ketiga, dan demikian
seterusnya. Semua nira yang keluar dari setiap unit gilingan dijadikan satu dan
disebut nira mentah.
b. Unit preparasi bahan baku
Unit preparasi berfungsi untuk menjernihkan dan memekatkan nira mentah
yang dihasilkan unit gilingan. Klarifikasi bisa dilakukan secara fisik dengan
penyaringan atau secara kimiawi. Klarifikasi terutama bertujuan untuk
menghilangkan beberapa impurities yang bisa mengganggu proses fermentasi.
Nira yang dihasilkan dari proses ini disebut nira jernih. Selanjutnya tahap ini
dilanjutkan untuk memproduksi gula dan sisanya berupa molase bisa
dilanjutkan masuk ke tahapan pembuatan etanol.
c. Unit fermentasi
Unit fermentasi berfungsi untuk mengubah molase menjadi etanol, melalui
aktivitas fermentasi ragi. Jumlah unit fermentasi biasanya terdiri dari beberapa
unit (batch) atau system kontinyu tergantung kepada kondisi dan kapasitas
pabrik. Beberapa nutrisi ditambahkan untuk optimalisasi proses. Etanol yang
terbentuk dibawa ke dalam unit destilasi.
d. Unit destilasi.
Unit destilasi berfungsi untuk memisahkan etanol dari cairan lain
khususnya air. Unit ini juga terdiri dari beberapa kolom destilasi. Etanol yang
dihasilkan biasanya memiliki kemurnian sekitar 95-96%. Proses pemurnian
lebih lanjut akan menghasilkan etanol dengan tingkat kemurnian lebih tinggi
(99%/ethanol anhydrous), yang biasanya digunakan sebagai campuran
unleaded gasoline menjadi gasohol. Selain dari nira, ampas yang dihasilkan
sebagai hasil ikutan dari unit gilingan bisa diproses lebih lanjut menjadi
etanol, dengan menambah unit pretreatment dan sakarifikasi.
Unit pretreatment berfungsi untuk mendegradasi ampas menjadi
komponen selulosa, lignin, dan hemiselulosa. Dalam unit sakarifikasi, selulosa
dihidrolisa menjadi gula (glukosa) yang akan menjadi bahan baku fermentasi,
selanjutnya didestilasi menghasilkan etanol.
Pembuatan etanol selain dari molase juga dari ampas tebu. Ampas tebu
sebagian besar mengandung ligno-cellulose. Bahan lignoselulosa dapat
dimanfaatkan untuk memproduksi bioetanol. Berikut contoh skema ideal
pemanfaatan bahan lignoselulosa untuk memproduksi bioetanol:
2. Pemanfaatan Ampas Tebu
Limbah padat berupa ampas tebu (bagasse) dapat dapat dijadikan bubur pulp
dan dipakai untuk pabrik kertas, untuk makanan ternak; bahan baku pembuatan
pupuk, particle board, bioetanol, dan sebagai bahan bakar ketel uap (boiler)
sehingga mengurangi konsumsi bahan-bakar minyak oleh pabrik. Selain itu
semua, adanya kandungan polisakarida dalam ampas tebu dapat dikonversi
menjadi produk atau senyawa kimia yang digunakan untuk mendukung proses
produksi sektor industri lainnya. Salah satu polisakarida yang terdapat dalam
ampas tebu adalah pentosan, dengan persentase sebesar 20-27%. Kandungan
pentosan yang cukup tinggi tersebut memungkinkan ampas tebu untuk diolah
menjadi Furfural. Furfural memiliki aplikasi yang cukup luas dalam beberapa
industri dan juga dapat disintesis menjadi turunan-turunannya seperti : Furfuril
Alkohol, Furan, dan lain-lain. Kebutuhan (demand) Furfural dan turunannya di
dalam negeri meski tidak terlalu besar namun jumlahnya terus meningkat . Hingga
saat ini seluruh kebutuhan Furfural untuk dalam negeri diperoleh melalui impor.
Impor terbesar diperoleh dari Cina yang saat ini menguasai 72% pasar Furfural
dunia.
Furfural (C5H4O2) atau sering disebut dengan 2-furankarboksaldehid,
furaldehid, furanaldehid, 2-Furfuraldehid, merupakan senyawa organik turunan
dari golongan furan. Furfural memiliki aplikasi yang cukup luas terutama untuk
mensintesis senyawa-senyawa turunannya. Di dunia hanya 13% saja yang
langsung menggunakan Furfural sebagai aplikasi, selebihnya disintesis menjadi
produk turunannya. Furfural dihasilkan dari biomassa (ampas tebu) lewat 2 tahap
reaksi, yaitu hidrolisis dan dehidrasi. Untuk itu digunakan bantuan katalis asam,
misalnya: asam sulfat, dan lain-lain.Reaksi utama pembuatan Furfural adalah
sebagai berikut :
• Hidrolisis pentosan menjadi pentosa : ………………………..( i )
• Dehidrasi pentosa membentuk Furfural : ………………………..( ii )
Aplikasi Furfural di dunia Consumption % Product synthesised from Furfural
Second stage synthesis product and their application Third stage synthesis product
and their application 13% Furfural solvent, for refining of lubrication oils, etc.
Furan merupakan contoh lain senyawa yang dapat dihasilkan dengan bahan
baku Furfural. Furan yang biasa disebut juga Furfuran atau oxole, memiliki rumus
molekul C4H4O. Furan diproduksi dengan proses dekarbonilasi Furfural dengan
kehadiran katalis logam mulia. Furan dimanfaatkan sebagai bahan kimia
pembangun dalam produksi senyawa kimia yang digunakan pada industri farmasi,
herbisida, senyawa penstabil (stabilizer), dan sebagai bahan baku dalam
pembuatan senyawa turunan dari furan. Salah satu senyawa yang diproduksi
dengan bahan baku Furan adalah Tetrahidrofuran (tetrametilen oksida atau
oxolane). Senyawa yang dihasilkan melalui hidrogenasi katalitik dari Furan ini
digunakan sebagai pelarut untuk polivinil klorida (PVC), polivinilidene klorida,
beberapa serat poliuretan yang diaplikasikan pada proses pelapisan dan perekat.
Secara komersial, pembuatan Furfural dapat berlangsung dalam siklus batch
maupun kontinyu.
3. Pemanfaatan Blotong Untuk Pembuatan Kompos
Pembuatan kompos dilakukan dengan pencampuran bahan baku asal limbah
pabrik gula, antara lain; serasah, blotong dan abu ketel, serta menambahkan bahan
aktivator berupa mikroorganisme, yang terdiri dari; campuran bakteri, fungi,
aktinomisetes, kotoran ayam dan kotoran sapi. Proses pengolahan ini dilakukan
secara biologis karena memanfaatkan mikroorganisme sebagai agen pengurai
limbah.
Contoh Prosedur pembuatan pupuk kompos adlah sebgai berikut: Bahan
pupuk terdiri dari tumpukan berisi 60 kg serasah, 300 kg blotong , dan 100 kg abu
ketel. Bahan-bahan tersebut dimasukkan ke dalam cetakan berbentuk kotak
dengan ukuran bawah 1,5 x 1,5 m; ukuran atas 1 m x 1 m serta tinggi 1,25 m.
Sebelum dicetak, daun tebu dipotong-potong sehingga panjangnya kurang dari 5
cm. Semua bahan dicampur rata, kemudian ditambah 5 kg TSP dan 10 kg Urea.
Limbah pabrik gula berupa blotong juga dapat dijadikan pupuk organik
dengan cara mencampurkannya dengan limbah pabrik etanol berupa vinace dan
ditambah sejumlah mikroba. Seorang peneliti pupuk mengungkapkan, kandungan
unsur karbon (C) dan Nitrogen (N) pupuk ini mencapai 12 persen. Sementara
tanah yang sehat punya kandungan unsur C dan N antara 10-15 persen. Mikroba
yang ada di pupuk ini antara lain Celulotic bacteria, Pseudomonas, Bacyllus, dan
Lactobacyllus. Dikatakan pula bahwa bakteri itu ada yang berfungsi melarutkan
fosfat. Seperti diketahui, fosfat jika dipakai untuk pupuk harus dalam keadaan
terlarut, dan yang melarutkan itu mikroba. Pupuk organik ini mampu
memperbaiki tekstur dan mampu menyehatkan tanah kritis akibat pupuk kimia
(anorganik).
Pupuk kompos yang dihasilkan dapat dimanfaatkan kembali untuk perkebunan
tebu. Pemberian kompos yang berasal dari limbah industri gula ini telah dicoba
pada tanaman tebu di berbagai wilayah pabrik gula di Indonesia. Secara umum
kompos dapat meningkatkan produksi dan produktivitas gula.
4. Pengelolaan asap dan debu
Senyawa pencemar udara itu sendiri digolongkan menjadi (a) senyawa
pencemar primer, dan (b) senyawa pencemar sekunder. Senyawa pencemar primer
adalah senyawa pencemar yang langsung dibebaskan dari sumber sedangkan
senyawa pencemar sekunder ialah senyawa pencemar yang baru terbentuk akibat
antar-aksi dua atau lebih senyawa primer selama berada di atmosfer. Dari sekian
banyak senyawa pencemar yang ada, lima senyawa yang paling sering dikaitkan
dengan pencemaran udara ialah: karbonmonoksida (CO), oksida nitrogen (NOx),
oksida sulfur (SOx), hidrokarbon (HC), dan partikulat (debu).
Pencemaran udara dari pada pabrik gula berupa asap dan debu, yang dapat
menyebabkan sejumlah penyakit pernafasan seperti infeksi saluran pernafasan
pada manusia disekitar pabrik tersebut, iritasi mata dan lain-. Untuk
menanggulanginya dibutuhkan pengendalian pencemaran udara. Pengendalian ini
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pengendalian pada sumber pencemar dan
pengenceran limbah gas. Pengendalian pada sumber pencemar merupakan metode
yang lebih efektif karena hal tersebut dapat mengurangi keseluruhan limbah gas
yang akan diproses dan yang pada akhirnya dibuang ke lingkungan. Di dalam
sebuah pabrik kimia, pengendalian pencemaran udara terdiri dari dua bagian yaitu
penanggulangan emisi debu dan penanggulangan emisi senyawa pencemar.
Idealnya demikian pula yang harus dilakukan oleh pabrik tebu.
Guna menekan tingkat pencemaran udara, pabrik tebu dapat mengelola asap dan
debu tersebut dengan jalan memisahkan partikel padatanya yang berada di asap.
Nantinya partikel-partikel ini dalam jumlah yang cukup, bisa diolah menjadi
pupuk. Karenanya suatu pabrik gula seharusnya dilengkapai dengan alat-alat
pemisah debu untuk memisahkan debu dari alirah gas buang. Debu dapat ditemui
dalam berbagai ukuran, bentuk, komposisi kimia, densitas, daya kohesi, dan sifat
higroskopik yang berbeda. Maka dari itu, pemilihan alat pemisah debu yang tepat
berkaitan dengan tujuan akhir pengolahan dan juga aspek ekonomis. Secara umum
alat pemisah debu dapat diklasifikasikan menurut prinsip kerjanya:
a. Pemisah Brown
Alat pemisah debu yang bekerja dengan prinsip ini menerapkan prinsip
gerak partikel menurut Brown. Alat ini dapat memisahkan debu dengan
rentang ukuran 0,01 – 0,05 mikron. Alat yang dipatenkan dibentuk oleh
susunan filamen gelas dengan jarak antar filamen yang lebih kecil dari lintasan
bebas rata-rata partikel.
b. Penapisan
Deretan penapis atau filter bag akan dapat menghilangkan debu hingga 0,1
mikron. Susunan penapis ini dapat digunakan untuk gas buang yang
mengandung minyak atau debu higroskopik.
c. Electrostatic Precipitator
a) Pengendap elektrostatik
Alat ini mengalirkan tegangan yang tinggi dan dikenakan pada aliran gas
yang berkecepatan rendah. Debu yang telah menempel dapat dihilangkan
secara beraturan dengan cara getaran. Keuntungan yang diperoleh dari
penggunaan pengendap elektrostatik ini ialah didapatkannya debu yang kering
dengan ukuran rentang 0,2 – 0,5 mikron. Secara teoritik seharusnya partikel
yang terkumpulkan tidak memiliki batas minimum.
b) Pengumpul sentrifugal
Pemisahan debu dari aliran gas didasarkan pada gaya sentrifugal yang
dibangkitkan oleh bentuk saluran masuk alat. Gaya ini melemparkan partikel
ke dinding dan gas berputar (vortex) sehingga debu akan menempel di dinding
serta terkumpul pada dasar alat. Alat yang menggunakan prinsip ini digunakan
untuk pemisahan partikel dengan rentang ukuran diameter hingga 10 mikron
lebih.
c) Pemisah inersia
Pemisah ini bekerja atas gaya inersia yang dimiliki oleh partikel dalam
aliran gas. Pemisah ini menggunakan susunan penyekat sehingga partikel akan
bertumbukan dengan penyekat dan akan dipisahkan dari aliran fasa gas. Alat
yang bekerja berdasarkan prinsip inersia ini bekerja dengan baik untuk
partikel yang berukuran hingga 5 mikron.
d) Pengendapan dengan gravitasi
Alat yang bekerja dengan prinsip ini memanfaatkan perbedaan gaya
gravitasi dan kecepatan yang dialami oleh partikel. Alat ini akan bekerja
dengan baik untuk partikel dengan ukuran yang lebih besar dari 40 mikron dan
tidak digunakan sebagi pemisah debu tingkat akhir.
Pada industri, yang lebih maju terdapat juga beberapa alat yang dapat
memisahkan debu dan gas secara bersamaan (simultan). Alat-alat tersebut
memanfaatkan sifat-sifat fisik debu sekaligus sifat gas yang dapat terlarut
dalam cairan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1999. Volume dan Nilai Ekspor Bahan Kimia Indonesia. Dirjen IKAH
Depperindag RI.
Hoesein. Asrul. 2009. Pemanfaatan Limbah Menjadi Kompos. 30 November 2009
Jps. 2009. Limbah Pabrik Gula Disulap Jadi Pupuk. Diakses dari
www.surya.co.id. 11 November 2012.
Limbah beracun. 2012. http://id.wikipedia.org/wiki/Limbah_beracun [Terhubung
berkala] diakses pada (10 November 2012)
Limbah B3. 2012. http://www.lintasberita.com [Terhubung berkala] diakses pada
(10 November 2012)
Hendra, J. 2012. Strategi Pengelolaan Air Limbah Pabrik Kertas, Dalam Rangka
Penurunan Kandungan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (B3)
[Tesis]. Program Pascasarjana-Universitas Negeri Jakarta: Jakarta