lereng licin perkuatan otoritas perpajakan

4
5/20/2018 LerengLicinPerkuatanOtoritasPerpajakan-slidepdf.com http://slidepdf.com/reader/full/lereng-licin-perkuatan-otoritas-perpajakan 1/4 Seminar Perpajakan Yayan Puji Riyanto/9B Reguler/30/134060018118 1 “LERENG LICIN” PERKUATAN OTORITAS PERPAJAKAN Oleh: Yayan Puji Riyanto Mahasiswa Diploma IV, Prodip Keuangan, Spesialisasi Akuntansi, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) Kenapa otoritas perpajakan perlu diperkuat? Pertama, karena vitalnya pajak dalam membiayai  pengeluaran-pengeluaran negara. Sumber pembiayaan  Negara Indonesia berasal dari tiga lumbung: pajak,  bagi hasil sumber daya alam, dan utang. Masing- masing besarannya, dalam APBN 2014, Rp1.280 triliun, Rp380 triliun, dan 175 triliun. Namun, meskipun lebih dari 70% pendapatan negara dipikul  pajak, lima tahun terakhir targetnya tak pernah tercapai. DPR selalu mencecar DJP karena tak bisa mengerek tax ratio yang macet di kisaran 12-13%. Jika tren ketidaktercapaian target ini berlanjut, maka porsi signifikan dari APBN akan hilang, anggaran akan defisit, dan pembangunan serta program-program kemakmuran rakyat yang diusung oleh pemerintahan manapun takkan bisa dieksekusi. Kedua, karena lemahnya struktur institusional yang dimiliki kepada DJP untuk mengumpulkan pajak. Bagaikan menggunakan sendok untuk memindahkan gundukan pasir, kita membebankan pembiayaan mayoritas pengeluaran negara kepada hanya sebuah direktorat saja di sebuah kementerian. Kewenangan anggaran, SDM, dan bentuk organisasi, selama ini ditagih untuk meningkatkan kinerja. Proposi fiskus dan penduduk di Indonesia rendah. Dengan 31.000 fiskus dan 240 juta penduduk, maka satu orang petugas pajak harus mampu mengawasi 7.500 wajib pajak. Bandingkan dengan Jepang, yang  penduduknya separuh dari Indonesia, tapi memiliki 66.000 pegawai pajak. Atau Jerman, yang memiliki 110.000 pegawai, dengan penduduk hanya 100 juta. Hal ini makin mencemaskan bila menilik hanya sepertiga saja dari jumlah petugas pajak Indonesia yang memiliki wewenang pemeriksaan pajak. Untuk menambah pegawai yang dibatasi BKN maksimal 5.000-an per tahun, DJP butuh 10 tahun untuk mencapai proporsi ideal. Jika proses ini tak diakselerasi maka ketidakidealan proporsi fiskus selama sekurangnya satu dekade akan terjamin. Dari segi anggaran, meskipun termasuk instansi  pertama yang mendapatkan remunerasi, tapi  penyesuaian remunerasi tak pernah dilakukan sejak 2004. Gerusan inflasi dan kompetisi penawaran insentif yang lebih besar di instansi lain, membuat  banyak pegawai berniat beralih pengabdian. Bahkan dunia swasta mengambil celah ini untuk melakukan strategi brain-drain, dengan menawari pendapatan  berkali lipat bagi pegawai kawakan. Pelaksanaan  beberapa program strategis, seperti sensus pajak, canvassing, atau profiling potensi perpajakan juga terbentur pagu anggaran yang terbatas. Bentuk organisasi yang di bawah sebuah kementerian, mencegah DJP memiliki kemampuan membuat  peraturan dan kebijakan yang lebih berani dan mengikat. Perubahan struktural dan institusional internal pun perlu mendapatkan persetujuan birokrasi yang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Biaya oportunitas ini membuat kegesitan DJP dalam melakukan dinamisasi dan akselerasi pengumpulan  pajak, misalnya pemekaran kantor pajak atau reorganisasi direktorat, menjadi berkurang. Ketiga, lemahnya wewenang yang dimiliki. Karena hanya berlaku sebagai administrasi perpajakan, fungsi utama DJP hanya berkisar pada tiga domain: layanan,  pemeriksaan, dan penegakan hukum. Proses bisnis layanan pun hanya bersentuhan dengan wajib pajak dalam empat momen: pendaftaran di kantor pajak,  perhitungan mandiri oleh wajib pajak, pembayaran di  bank, dan pelaporan SPT kembali di kantor pajak. Pemeriksaan dilakukan bila dalam jaring compliance risk management  wajib pajak termasuk dalam kategori tidak patuh, yang bisa berujung pada pengeluaran SKP. Penegakan hukum adalah domain terakhir, dengan  penagihan, penyitaan, pemblokiran rekening, dsb.

Upload: yayan-puji-riyanto

Post on 09-Oct-2015

34 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Artikel Perpajakan

TRANSCRIPT

LERENG LICIN PERKUATAN OTORITAS PERPAJAKANOleh: Yayan Puji RiyantoMahasiswa Diploma IV, Prodip Keuangan, Spesialisasi Akuntansi, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN)

Seminar PerpajakanYayan Puji Riyanto/9B Reguler/30/134060018118

Kenapa otoritas perpajakan perlu diperkuat? Pertama, karena vitalnya pajak dalam membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Sumber pembiayaan Negara Indonesia berasal dari tiga lumbung: pajak, bagi hasil sumber daya alam, dan utang. Masing-masing besarannya, dalam APBN 2014, Rp1.280 triliun, Rp380 triliun, dan 175 triliun. Namun, meskipun lebih dari 70% pendapatan negara dipikul pajak, lima tahun terakhir targetnya tak pernah tercapai. DPR selalu mencecar DJP karena tak bisa mengerek tax ratio yang macet di kisaran 12-13%. Jika tren ketidaktercapaian target ini berlanjut, maka porsi signifikan dari APBN akan hilang, anggaran akan defisit, dan pembangunan serta program-program kemakmuran rakyat yang diusung oleh pemerintahan manapun takkan bisa dieksekusi.Kedua, karena lemahnya struktur institusional yang dimiliki kepada DJP untuk mengumpulkan pajak. Bagaikan menggunakan sendok untuk memindahkan gundukan pasir, kita membebankan pembiayaan mayoritas pengeluaran negara kepada hanya sebuah direktorat saja di sebuah kementerian. Kewenangan anggaran, SDM, dan bentuk organisasi, selama ini ditagih untuk meningkatkan kinerja. Proposi fiskus dan penduduk di Indonesia rendah. Dengan 31.000 fiskus dan 240 juta penduduk, maka satu orang petugas pajak harus mampu mengawasi 7.500 wajib pajak. Bandingkan dengan Jepang, yang penduduknya separuh dari Indonesia, tapi memiliki 66.000 pegawai pajak. Atau Jerman, yang memiliki 110.000 pegawai, dengan penduduk hanya 100 juta. Hal ini makin mencemaskan bila menilik hanya sepertiga saja dari jumlah petugas pajak Indonesia yang memiliki wewenang pemeriksaan pajak. Untuk menambah pegawai yang dibatasi BKN maksimal 5.000-an per tahun, DJP butuh 10 tahun untuk mencapai proporsi ideal. Jika proses ini tak diakselerasi maka ketidakidealan proporsi fiskus selama sekurangnya satu dekade akan terjamin.Dari segi anggaran, meskipun termasuk instansi pertama yang mendapatkan remunerasi, tapi penyesuaian remunerasi tak pernah dilakukan sejak 2004. Gerusan inflasi dan kompetisi penawaran insentif yang lebih besar di instansi lain, membuat banyak pegawai berniat beralih pengabdian. Bahkan dunia swasta mengambil celah ini untuk melakukan strategi brain-drain, dengan menawari pendapatan berkali lipat bagi pegawai kawakan. Pelaksanaan beberapa program strategis, seperti sensus pajak, canvassing, atau profiling potensi perpajakan juga terbentur pagu anggaran yang terbatas. Bentuk organisasi yang di bawah sebuah kementerian, mencegah DJP memiliki kemampuan membuat peraturan dan kebijakan yang lebih berani dan mengikat. Perubahan struktural dan institusional internal pun perlu mendapatkan persetujuan birokrasi yang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Biaya oportunitas ini membuat kegesitan DJP dalam melakukan dinamisasi dan akselerasi pengumpulan pajak, misalnya pemekaran kantor pajak atau reorganisasi direktorat, menjadi berkurang.Ketiga, lemahnya wewenang yang dimiliki. Karena hanya berlaku sebagai administrasi perpajakan, fungsi utama DJP hanya berkisar pada tiga domain: layanan, pemeriksaan, dan penegakan hukum. Proses bisnis layanan pun hanya bersentuhan dengan wajib pajak dalam empat momen: pendaftaran di kantor pajak, perhitungan mandiri oleh wajib pajak, pembayaran di bank, dan pelaporan SPT kembali di kantor pajak. Pemeriksaan dilakukan bila dalam jaring compliance risk management wajib pajak termasuk dalam kategori tidak patuh, yang bisa berujung pada pengeluaran SKP. Penegakan hukum adalah domain terakhir, dengan penagihan, penyitaan, pemblokiran rekening, dsb.Bahkan pencatatan penerimaan pajak dilakukan oleh instansi lain, DJPB. Kewenangan menerima data dari perbankan dan instansi lain tidak ada, sehingga penggalian potensi terbatas. Padahal amanat pasal 35A UU KUP mewajibkan lembaga pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lain (termasuk bank)memberikan data perpajakan pada DJP. Di sisi lain, OECD mendesak delapan puluhan negara-negara anggotanya untuk memberikan keterbukaan informasi pertukaran data perpajakan dalam rangka mitigasi transfer pricing ke negara-negara tax haven. Namun, hingga sekarang pertukaran informasi perpajakan ini terbentur pada konsep-konsep seperti kerahasiaan bank, privasi bisnis dan semacamnya, yang seharusnya dapat disubordinasi untuk kepentingan nasional yang lebih mendesak.Berkaca di negara lain, pertukaran informasi dengan perbankan telah dilakukan Malaysia dan Singapura pada tahun 1992-1993, dan Peru pada 1988. Korea telah membangun bank data terintegrasi yang dinamakan Korea National Database, sehingga tiap instansi pemerintah dapat me-retrieve informasi berdasarkan kewenangannya.Singkat kata, DJP yang diserahi urusan penerimaan pajak memiliki ruang gerak yang tak sepadan dengan beban tanggung jawab tersebut. Otoritas DJP harus diperkuat tak sekadar administrasi perpajakan saja, melainkan diperkuat dan diperluas mulai dari hilir pengumpulan data dan potensi perpajakan, pengawasan kepatuhan, hingga penegakan hukum. Banyak variabel dan entitas eksternal yang berpengaruh terhadap penerimaan pajak berada di luar jangkauan DJP, sementara di pundak DJP ditumpukan semua beban bila penerimaan yang tak berada dalam rentang kendalinya itu, tak mencapai target. Lereng LicinPerkembangan mutakhir teori perpajakan memunculkan teori lereng licin (the Slippery Slope Framework), dimana interaksi negara dan wajib pajak dinilai berpengaruh dalam tingkat kepatuhan perpajakan (compliance). Jika iklim sinergis negara-rakyat tercipta, yang ditandai adanya saling percaya antara mereka, maka kepatuhan pajak tinggi. Wajib pajak akan menunjukkan komitmen membayar pajak tinggi karena mereka merasa telah berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan diri mereka sendiri dan masyarakat pada umumnya. Namun jika mereka memandang negara berjalan tidak seperti yang diharapkan, hubungan service-client ini akan terkikis, kesempatan ketidakpercayaan meningkat, baik dari sudut pandang fiskus maupun wajib pajak. Meskipun ada ketidakpercayaan wajib pajak dan tingkat ketidakpatuhan tinggi, negara masih bisa mendayagunakan kekuasaan kedaulatannya untuk memaksa warga negara mengikuti peraturan pajak melalui denda dan pemeriksaan.Dengan demikian, kepatuhan pajak dapat didasari atas kesukarelaan (voluntary compliance) ataupun keterpaksaan (enforced compliance). Kepatuhan sukarela bisa terwujud bila iklim sinegis kepercayaan wajib pajak dan negara tercipta, sementara kepatuhan paksaan terjadi bila negara mendayagunakan kekuasaannya untuk memaksa warga negara tunduk.Untuk mencapai tingkat optimum kepatuhan pajak amatlah licin. Kekuasaan (otoritas) negara dapat meningkatkan kepatuhan, tetapi dapat juga menurunkannya. Dalam iklim sinergis, menggunakan lebih banyak kekuasaan negara takkan terlalu meningkatkan kepatuhan. Malahan hal itu dapat mengikisnya, karena wajib pajak yang patuh seakan merasa dicurigai. Dalam iklim antagonistik, mendayagunakan kekuasaan yang lebih mungkin dapat meningkatkan kepatuhan. Di lain sisi, hal ini juga akan membuka peluang maraknya penghindaran pajak, karena wajib pajak terutama yang kakap akan mencari celah keluar dari tarif, denda, dan hukuman perpajakan yang amat menekan. Untuk memberantas ketidakpatuhan ini dengan menekankan lebih banyak upaya penegakan hukum juga memiliki risiko penurunan kepatuhan. Hal ini bisa terjadi bila upaya tersebut gagal, atau terdapat persepsi keadilan masyarakat yang tak terpenuhi (misalnya kesan tebang-pilih), yang mengakibatkan apresiasi publik atas kapasitas legal-koersif otoritas pajak menurun.Perkembangan Teori Lereng Licin membedakan otoritas dalam dua macam daya: daya legitimasi (legitimate power) dan daya koersif (coercive power). Daya legitimasi atau persuasif terjadi ketika pemerintah dipersepsikan memiliki nilai keadilan dalam menghukum mereka yang tak patuh pajak dan memberikan penghargaan kepada mereka yang patuh. Daya koersif adalah daya yang bebas nilai, dan harus dianggap sebagai sifat alami pemerintah untuk dipatuhi warga negaranya. Daya legitimasi berkorelasi positif dengan kepatuhan sukarela sementara daya koersif berkorespondensi dengan kepatuhan paksaan. Model ini memperluas Teori Lereng Licin yang sebelumnya mendalilkan kepercayaan mempengaruhi kepatuhan sukarela dan daya koersif mempengaruhi kepatuhan paksaan, dengan satu adagium lagi: daya legitimasi bergantung pada baik kepercayaan maupun daya koersif, dan mempengaruhi kepatuhan, baik sukarela maupun paksaan.AlternatifKontruksi yang ingin dibangun dalam wacana penguatan otoritas DJP adalah: selama ini otoritas pajak rendah, sehingga penerimaan pajak tak mencapai target. Solusi: perkuat otoritas pajak, penerimaan pajak akan tercapai. Penerimaan pajak dalam sistem penelaahan mandiri (self-assessment) amat bergantung pada kesukarelaan wajib pajak dalam menghitung, menyetor, dan melaporkan kewajiban perpajakannya. Akan mudah untuk menafsirkan Teori Lereng Licin bahwa dalam sistem ini yang perlu diperkuat adalah kepercayaan (trust) akan institusi pengumpul pajak, bukannya otoritas (power)-nya.Simpulan ini didukung riset ilmiah, yang kemungkinan dapat memberikan alternatif lain dari perkuaran otoritas perpajakan. Sistem berotoritas pajak rendah (seperti kondisi yang di-klaim DJP dialami sekarang ini) masih mungkin mengharapkan kepatuhan perpajakan tinggi bila kepercayaan masyarakat tinggi. Kepercayaan ini dapat timbul atas berbagai faktor, diantaranya adalah transparansi dan partisipasi anggaran (Djawadi & Fahr, 2013). Jika rakyat tahu tiap sen dari uang mereka akan membiayai pos pengeluaran apa dari pemerintahan, dan mereka diberi kesempatan memilih kemana uang pajak mereka dialokasikan, kepercayaan mereka atas pemerintah dan institusi perpajakan drastis meningkat.Kota Redmond, Kennewick, dan Los Angeles di Amerika Serikat, serta Pemerintah Federal Jerman menerapkan transparansi dan partisipasi anggaran dalam meningkatkan kepatuhan (kesadaran, dan kebanggaan!) perpajakan masyarakatnya, dan mereka berhasil dengan gemilang. Usaha transparansi dan partisipasi anggaran ini dapat dilakukan DJP, misalnya, dengan menambah beberapa kolom di SPT mengenai pos-pos anggaran kemana uang pajak mereka ingin dialokasikan.Jenis-jenis faktor lain yang mempengaruhi kepercayaan wajib pajak atas institusi perpajakan antara lain: kemudahan administrasi (layanan yang mudah, murah, cepat), persepsi keadilan/fairness perlakuan (penghukuman dan pengumuman wajib pajak nakal tanpa pandang bulu, insentif kepada wajib pajak patuh), dan kampanye kontribusi langsung dana pajak. Dengan mengutarakan hal-hal di atas bukan berarti perkuatan otoritas bukanlah hal yang urgen dalam sistem perpajakan penelaahan mandiri. Sistem ini masih memerlukan pengawasan dan penegakan hukum yang kuat di sisi fiskus, di samping mengandalkan kesukarelaan dan kepercayaan wajib pajak untuk patuh di sisi lain. Karena pencapaian kepatuhan maksimum adalah interaksi trust (kepercayaan) dan power (otoritas) yang dinamis dan licin. Dengan memahami teori perpajakan terkini dan melihat potensi penerapannya dalam kebijakan publik, kita bisa merumuskan peningkatan kepatuhan dan ujungnya pencapaian target penerimaan, dengan tak melulu menunggu perkuatan otoritas tuntas dilakukan.Selama masa menunggu perkuatan otoritas itu, dengan semua keterbatasan yang ada di DJP, DJP masih bisa mengoptimalkan usaha pencapaian target pajak dengan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Sikap yang perlu ditanamkan bagi segenap warga DJP bukanlah pesimistis dan menyalahkan pihak lain sembari menunggu tanpa melakukan apapun otoritas yang mereka tuntut datang. Optimisme dan sikap positif dalam mencari jalan keluar di situasi seterbatas apapun haruslah menjadi obor penyemangat. Untuk menutup dengan sebuah klise: dimana ada kemauan, di situ ada jalan!

Referensi:Behnud M. Djawadi and Ren Fahr . The Impact of Tax Knowledge and Budget Spending Influence on Tax Compliance. Bonn. Econstor: 2013Muehlbacher, Stephan, Erich Kirchler, and Herbert Schwarzenberger. Voluntary Versus Enforced Tax Compliance: Empirical Evidence for The Slippery Slope Framework. Vienna. University of Vienna: 2011.Fischer, Justina AV. The Puzzle of Tax Compliance Revisited: Testing The Slippery Slope Hypothesis ForfTrust and Power against Field Data. SGVS Presentation. Januari 2009Prinz, Aloys, Stephan Muehlbacher, and Erich Kirchler. The Slippery Slope Framework on Tax Compliance: An Attempt to Formalization. Journal of Economic Psychology 40. April 2013, 20-34.Seminar Nasional Perpajakan Peran Strategis Institusi Perpajakan dalam Kemandirian APBN. The Empire Palace Hotel, Audio Recording. Surabaya: 18 Juni 2014.http://www.finance.detik.com/read/2014/02/25/200132/2508357/5/demi-genjot-pajak-aturan-kerahasiaan-bank-akan-diperlonggarhttp://www.jaringnews.com/ekonomi/umum/54576/menkeu-tidak-terima-kekurangan-pegawai-penyebab-target-pajak-tidak-tercapai