lembaran daerah - jdih.badungkab.go.idjdih.badungkab.go.id/uploads/perda_1_1979.pdf · bahwa...

36
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG Nomor : 15 Tahun1981 Seri H Nomor 15 PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG PEMBAGIAN WILAYAH PERUNTUKAN BUKIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II BADUNG : Menimbang : 1. Bahwa Pembangunan Industri Pariwisata, adalah bagian dari pada Rencana Pembangunan Nasional secara keseluruhan. Dalam rangka usaha Pemerintah mengembangkan Industri Pariwisata tersebut di Daerah TK.I Bali umumnya dan di daerah Tk. II Badung khususnya, maka dipandang perlu membuat Peraturan Daerah Industri Pariwisata dalam hubungannya dengan Pembagian Wilayah Peruntukan Bukit. 2. Bahwa Rencana Induk Pariwisata Bali telah disetujui dan disahkan oleh DPRD Propinsi Bali dengan surat Keputusan tanggal 19 Desember 1973 Nomor : 21/KPT/DPRD/1973. 3. Bahwa Rencana Induk dan Usulan Zoning Regulation Wilayah Lingkungan Bukit telah disetujui dan disahkan oleh DPRD Kabupaten Daerah Tk. II Badung dengan Surat Keputusan tanggal 1 Juli 1977, Nomor : 5/DPRD/1977.

Upload: lamdiep

Post on 05-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG

Nomor : 15 Tahun1981 Seri H Nomor 15

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH

TINGKAT II BADUNG

NOMOR 1 TAHUN 1979

TENTANG

PEMBAGIAN WILAYAH PERUNTUKAN BUKIT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II BADUNG :

Menimbang : 1. Bahwa Pembangunan Industri Pariwisata, adalah

bagian dari pada Rencana Pembangunan Nasional

secara keseluruhan. Dalam rangka usaha Pemerintah

mengembangkan Industri Pariwisata tersebut di

Daerah TK.I Bali umumnya dan di daerah Tk. II

Badung khususnya, maka dipandang perlu membuat

Peraturan Daerah Industri Pariwisata dalam

hubungannya dengan Pembagian Wilayah Peruntukan

Bukit.

2. Bahwa Rencana Induk Pariwisata Bali telah disetujui

dan disahkan oleh DPRD Propinsi Bali dengan surat

Keputusan tanggal 19 Desember 1973 Nomor :

21/KPT/DPRD/1973.

3. Bahwa Rencana Induk dan Usulan Zoning Regulation

Wilayah Lingkungan Bukit telah disetujui dan

disahkan oleh DPRD Kabupaten Daerah Tk. II Badung

dengan Surat Keputusan tanggal 1 Juli 1977, Nomor :

5/DPRD/1977.

2

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-

pokok Pemerintahan di Daerah;

2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang

Pembentukan Daerah - Daerah Tingkat II didalam

Wilayah Daerah-daerah Tk. I Bali, Nusa Tenggara

Barat dan Nusa Tenggara Timur;

3. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1969, tentang

Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Pembangunan

Kepariwisataan di Indonesia.

4. Peraturan-Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor

2/PD/DPRD/1974, Nomor 3/PD/DPRD/1974 dan

Nomor 4/PD/DPRD/1974 masing-masing tentang Tata

Ruang untuk Pembangunan, Lingkungan Khusus dan

Bangun-Bangunan.

Dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten Daerah Tk. II Badung dalam sidang-sidang

Paripurna tanggal 9 April 1979.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tk. II Badung

tentang Pembagian Wilayah Peruntukan Bukit.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

(1) Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

a. Pemda : Pemerintah Kabupaten Daerah

Tk.II Badung.

3

b. Bupati : Bupati Kepala Daerah Tk. II

Badung.

c. D.P.R.D : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten Daerah Tk. II Badung.

d. Perda : Peraturan Daerah Kabupaten

Daerah Tk. II Badung.

e. Gubernur : Gubernur Kepala Daerah Tk. I

Bali.

f. Penggunaan pelengkap :

Sesuatu penggunaan atau bangunan dalam

pekarangan yang sama dengan penggunaan atau

bangunan utama yang berhubungan dengan dan

merupakan pelengkap terhadap penggunaan atau

pelengkap dari bangunan utama.

g. Wilayah Bukit :

Adalah Wilayah yang meliputi 4 Desa Dinas : yaitu

Jimbaran, Pecatu, Ungasan dan Benoa yang

termasuk didalam Kecamatan Kuta, Kabupaten

Daerah Tingkat II Badung.

Peraturan Pembagian Wilayah Peruntuk Bukit ini

tidak berlaku untuk Wilayh Peruntukan Nusa Dua

karena untuk Wilayah tersebut diatur tersendiri.

Batas-batas Wilayah bukit yang dimaksud didalam

Peraturan Daerah ini dapat terlihat dalam Peta

Resmi Pembagian Wilayah Peruntukan Bukit.

h. Wilayah Nusa Dua :

Daerah yang meliputi luas kira-kira 310 (Tiga ratus

sepuluh) Ha yang terletak di bagian timur dari pada

Daerah semenanjung Bukuit yang membentang

dari batas pantai menuju ke Desa Benoa, dengan

batas utara di Pura Kuwuk, batas barat laut adalah

teluk Benoa, batas selatan Pura Geger dan

selanjutnya meluas kebarat daya dari pada Desa

Benoa dengan batas utama mengikuti jalan yang

ada sekarang menuju kebarat daya dari pada Desa

4

Benoa dan batas selatannya mengikuti jalan yang

ada sekarang menuju kearah barat dari Pura Geger

sampai pada batas barat dari pada Daerah yang

terletak kira-kira 1200 (seribu dua ratus) meter di

Barat Daya dari pada pusat Desa Benoa,

keseluruhan dari pada pembagian Wilayah

Peruntukan tersebut tidak meliputi areal Desa

Benoa, Batas-batas yang tepat dari pada Daerah

tersebut dapat dilihat pada Wilayah Peruntukan

yang resmi.

i. Unit Tempat Tinggal :

Satu kamar atau lebih yang digunakan oleh

seorang atau lebih, yang hidup bersama-sama

sebagai satu kesatuan rumah tangga yang

mempunyai fasilitas-fasilitas untuk masak, ruang

tamu, kamar mandi, dan W.C dan fasilitas-fasilitas

tempat tidur yang tergabung dengan bangunan itu.

1. Unit Tempat Tinggal Keluarga tunggal :

Suatu bangunan yang mempunyai satu unit

tempat tinggal.

2. Unit Tempat Tinggal Keluarga Jamak Flat, atau

rumah Kopel

Suatu bangunan yang mempunyai lebih dari

satu Unit Tempat Tinggal.

3. A s r a m a :

Suatu bangunan atau kumpulan bangunan-

bangunan yang biasanya dipakai untuk tempat

tinggal orang-orang yang tidak mempunyai

hubungan keluarga dan dikembangkan kedalam

suatu bentuk Lembaga, misalnya ; Sekolah.

5

j. Perbandingan luas lantai,

Perbandingan antara luas pekarangan seluruhnya

dengan luas lantai bangunan seluruhnya dengan

cara membagi luas lantai seluruhnya dengan luas

pekarangan seluruhnya.

Luas lantai bangunan ialah :

Jumlah luas datar semua tingkat suatu bangunan

yang diukur dari permukaan luar tembok luar,

atau diukur dari garis tengah tembok-tembok yang

memisahkan dua bangunan, atau dari pinggir

lantai yang paling luar termasuk balkon, jalan kaki

yang beratap dan tangga jalan kaki, tempat-tempat

berteduh tidak berdinding yang lebih dari

5 (lima) M2 dan bangunan-bangunan yang serupa,

tapi tak termasuk loteng dan ruangan dibawah

tanah dengan tinggi ruangan kurang 2 (dua) m,

tangga-tangga penyelamat bahaya kebakaran,

bangunan lift diatas atap, menara pendingin dan

luas areal yang diperuntukan A.C, ventilasi dan

alat-alat mesin lainnya dari bangunan itu.

k. Bangunan – Bangunan tempat makan :

Restoran, cafetaria, tempat-tempat minum dan

tempat-tempat lainnya, termasuk warung-warung

Bali yang tradisional, dimana makanan disediakan

dan dijual untuk ditempat itu. Rombong-Rombong

dan kios-kios mekanik tidak dianggap sebagai

tempat makan.

l. Tingga Bangunan :

Jarak tegak lurus yang diukur dari permukaan

tanah setelah bangunan-bangunan selesai sampai

kepuncak atap yang tertinggi, kecuali bangunan

dengan 4 (empat) tingkat yang harus diukur sampai

titik tengah jarak antara langit-langit tingkat paling

atas dan titik atap tertinggi, tidak termasuk

6

penangkal petir, antene, tiang-tiang bendera,

ruangan yang berisi perlengkapan-perlengkapan lift

dan bangunan-bangunan serupa itu yang ada pada

permukaan tegak lurus dari bangunan tersebut.

Untuk mengukur tinggi bangunan dengan jumlah

tingkatnya, hanya tingkat-tingkat yang ada diatas

permukaan tanah yang dihitung tingkat dibawah

permukaan tanah tidak termasuk.

m. Luas tanah tertutup bangunan :

Presentase luas tanah keseluruhan yang ditutup

oleh bangunan dan bangunan=bangunan lainnya,

termasuk jalan-jalan kaki beratap tempat-tempat

berteduh tidak berdinding yang luasnya lebih dari 5

(lima) m2, bnagunan tradisionil Bali seperti

bangunan untuk kul-kul dan yang serupa.

n. Fasilitas Umum :

Pengguna-pengguna yang melayani kebutuhan

umum yang tidak bersifat komersiil, baik yang

diusahakan oleh Pemerintah, atau oleh Badan

Swasta, maupun oleh perkumpulan Swasta;

pengertian dasar ini hanya terbatas pada

penggunaan-penggunaan yang diijinkan dalam

Pembagian Wilayah Peruntukan dari Peraturan

Daerah ini.

o. Batas Jalan :

Bila batas jalan yang sah tidak ada, maka batas

jalan dianggap tepi luar saluran pembuangan

sepanjang jalan tersebut, atau tepi luar jalan

setapak yang terdekat dari Jalan yang paling luar.

p. Garis Pantai :

Garis yang dibentuk oleh air laut di daratan pada

waktu pasang rata-rata jika garis air pasang ini

sukar ditentukan, Pemerintah Daerah harus

7

membuat keputusan mengenai garis pantai

tersebut sebagai pelengkap dari Perda ini.

q. Tanda-tanda :

Setiap alat yang dibuat untuk menarik perhatian

orang-orang yang tidak berada dalam pekarangan

dimana tanda itu dipasang. Tanda-tanda tersebut

termasuk reklame-reklame yang bersifat komersiil

atau pengumuman-pengumuman untuk umum,

tetapi tidak termasuk alat-alat yang dipakai oleh

masyarakat Bali didalam upacara-upacara adat

dan keagamaan, misalnya : Umbul-umbul dan

sejenisnya.

1. Tanda-tanda pada emper

Tanda yang tertulis atau ditempelkan pada

emper. Emper dari tanda atau dari bahan-bahan

lainnya adalah atap pelindung yang menjorok

keluar dari tembok luar sebuah bangunan.

2. Tanda yang bersinar langsung ;

Tanda yang bersinar yang mempunyai sumber

cahaya buatan, dan cahaya tersebut langsung

terlihat dari Jalan Umum, atau tempat tinggal

dan Hotel.

3. Tanda berkedip :

Tanda yang mempunyai penerangan hidup dan

mati atau yang nampak demikian.

4. Tanda yang dipasang di tanah :

Tanda yang dipasang pada suatu bangunan

yang didirikan diatas tanah dan yang

mempunyai satu permukaan atau lebih.

8

5. Tanda gantung :

Tanda yang digantung atau ditempelkan pada

emper, tenda atau penyangga-penyangga

horisontal lainnya.

6. Tinggi tanda :

Tinggi tanda harus diukur dari permukaan

tanah sampai kepuncak tertinggi dari tanda

tersebut, termasuk puncak atap dari tanda

tersebut.

7. Tanda yang disinari tidak langsung :

Tanda yang disinari dari bagian dalam atau

disinari oleh cahaya buatan yang ditutup

sedemikian rupa sehingga tidak ada berkas

sinar yang langsung dapat dilihat dari jalan

umum, atau Wilayah peruntukan Hotel maupun

tempat tinggal.

8. Tanda yang bergerak :

Suatu tanda yang dipasang diluar pekarangan

yang tidak ada hubungannya dengan

penggunaan, kegiatan, maupun pelayanan yang

diberikan, atau barang-barang yang dijual

dipekarangan itu.

9. Tanda diluar Pekarangan :

Suatu tanda yang dipasang diluar pekarangan

yang tidak ada hubungannya dengan

penggunaan, kegiatan, maupun pelayanan yang

diberikan, atau barang-barang yang dijual

dipekarangan itu.

10. Tanda didalam pekarangan :

Suatu tanda yang dipasang dipekarangan yang

berhubungan dengan penggunaan, kegiatan,

maupun pelayanan yang diberikan, atau

barang-barang yang dijual dipekarangan.

9

11. Tanda yang mudah dipindahkan :

Suatu tanda yang dipasang pada bangunan atau

yang tidak ditancapkan ditanah.

12. Tanda yang menjorok keluar :

Suatu tanda yang dipasang pada dan disangga

oleh tembok sebuah bangunan, dan menjorok

keluar dari tembok bangunan tersebut.

13. Luas tanda :

Luas suatu tanda meliputi seluruh luas

permukaan tanda itu, dimana terdapat tulisan

atau gambar, tetapi tidak termasuk

penyangganya.

Bila tanda itu mempunyai 2 (dua) permukaan,

hanya permukaan yang terbesar harus diukur :

bila lebih dari 2 (dua) permukaan, maka seluruh

luas tanah tersebut harus diukur.

14. Tanda dinding/tembok :

Suatu tanda yang dipasang pada tembok luar

suatu bangunan dan tak menjorok keluar lebih

dari 30 (tiga puluh) cm dari tembok bangunan

tersebut.

15. Tanda Angin :

Suatu tanda yang dipasang sedemikian rupa,

sehingga dapat bergerak oleh karena adanya

tenaga angin, termasuk juga alat-alat yang

berputar.

r. Tingkat :

Ruangan dalam sebuah bangunan antara suatu

lantai dan lantai diatasnya, meliputi luas lantai

bangunan sebagai yang telah dinyatakan dalam

Peraturan Daerah ini. Tingkat bangunan mencakup

lantai pertama dan lantai dibawah tanah.

10

(2) Pengertian-pengertian dasar yang sudah ada dalam

Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor :

2/PD/DPRD/1974 akan dipakai dalam Peraturan

Pembagian Wilayah Peruntukan Bukit.

BAB II

PENETAPAN WILAYAH PERUNTUKAN

Pasal 2

JENIS-JENIS WILAYAH PERUNTUKAN

(1) Wilayah Peruntukan yang terdapat didalam Peraturan

Daerah Propinsi Bali Nomor ; 3/PD/DPRD/1974 juga

dipakai pada Daerah Bukit ini seperti ;

a. Rumah besar (T-1)

b. Peribadatan (L-3)

c. Industri ringan (I-1)

d. Industri berat (J-2)

e. Jalan daratan (M-1)

f. Taman-Taman (H-1)

g. Daerah-Daerah Hijau (H-2)

(2) Sebagai tambahan dari jenis Wilayah-Wilayah tersebut

pada Ayat (1) Pasal ini, satu Wilayah Peruntukan yang

baru yaitu Wilayah Peruntukan Pedesaan (T-6)

dinyatakan dipakai untuk Daerah Bukit.

Pasal 3

PETA PEMBAGIAN WILAYAH PERUNTUKAN YANG RESMI

(1) Peruntukan Daerah ini berlaku bagi tanah-tanah yang

menjadi Wilayah Peruntukan sebagai yang terlihat

pada Peta Pembagian Wilayah Peruntukan Bukit, dan

dengan demikian Peta tersebut disahkan dan

11

dijadikan Bagian yang tak terpisahkan dari peraturan

ini. Peta resmi ini harus disahkan sesuai dengan

pengesahan sesuai dengan pengesahan Peraturan

Daerah.

(2) Peta Pembagian Wilayah Peruntukan yang resmi

tersebut disimpan di Kantor Bupati cq. Dinas

Pekerjaan Umum Kabupaten Daerah Tingkat II

Badung dan terbuka untuk diketahui oleh Umum.

Untuk memudahkan penggunaanya maka peta

pembagian Wilayah Peruntukan tersebut dapat

diperbanyak, tetapi hanyalah peta aslinya yang dapat

dianggap sebagai dokumen sah yang mempunyai

kekuatan hukum mengenai status Wilayah

Peruntukan.

(3) Tidak diperkenankan mengadakan perubahan-

perubahan terhadap Peta Pembagian Wilayah

Peruntukan yang resmi ini, kecuali bila tidak

bertentangan dengan tata cara yang telah ditetapkan

dalam Pasal 24 Peraturan Daerah ini.

(4) Bila peta pembagian Wilayah Peruntukan ini

mengalamai kerusakan sebagai atau keseluruhannya,

atau hilang, maupun sukar untuk ditafsirkan, karena

perubahan-perubahan atau tambahan-tambahan yang

baru, Bupati harus menetapkan Peta Pembagian

Peruntukan yang baru sebagai pengganti yang lama.

Peta Pembagian Wilayah Peruntukan yang baru ini

disahkan pula seperti yang telah ditentukan dalam ayat

(1) Pasal ini.

12

BAB III

PENAFSIRAN MENGENAI BATAS-BATAS WILAYAH PERUNTUKAN

Pasal 4

Bila timbul keragu-raguan mengenai batas-batas Wilayah

Peruntukan sebagai yang terlihat pada Peta Pembagian

Wilayah Peruntukan, maka ketentuan berikut harus

digunakan :

a. Batas-batas yang diperkirakan mengikuti sumbu

atau batas jalan, hendaknya sumbu atau batas

jalan tersebut dinyatakan sebagai batas-batas yang

dimaksud.

b. Batas-batas yang diperkirakan mengikuti batas

pekarangan atau batas tanah milik pribadi,

hendaknya batas-batas tersebut dinyatakan sebagai

batas-batas yang dimaksud.

c. Batas-batas yang diperkirakan mengikuti batas-

batas pembagian Pemerintahan Administratif,

misalnya Wilayah Kabupaten, Wilayah Kecamatan,

Desa atau batas kota, hendaknya batas-batas

tersebut dinyatakan sebagai batas-batas tersebut

dinyatakan sebagai batas-batas yang dimaksud.

d. Batas-batas yang mengikuti garis pantai, hendaknya

batas-batas tersebut dinyatakan sebagai batas yang

dimaksud dan bila garis pantai itu berubah letaknya,

batas-batas tersebut harus dinyatakan berpindah

mengikuti garis pantai yang ada.

e. Batas-batas yang diperkirakan mengikuti sumbu-

sumbu parit, sungai saluran air, danau atau yang

sejenisnya, maka batas tersebut hendaknya

dinyatakan sebagai batas-batas yang dimaksud.

13

f. Batas-batas yang pengertiannya sejalan dengan,

atau merupakan perluasan pengertian dari hal-hal

yang disebutkan didalam huruf a sampai dengan

huruf c, hendaknya dinyatakan demikian pula.

g. Jarak-jarak yang tidak dinyatakan secara khusus

dalam Peta Resmi Wilayah Peruntukan ini,

penentuannya disesuaikan dengan Skala Peta yang

resmi.

h. Bila ada penyimpangan-penyimpangan dari apa yang

telah dinyatakan dalam Peta resmi Wilayah

peruntukan ini, atau bila ada yang belum tercakup

dalam ayat-ayat a sampai dengan ayat g pasal ini

maka Pemda dapat menafsirkan batas-batas Wilayah

Peruntukan tersebut.

BAB IV

PENGGUNAAN DAN PERSYARATAN UNTUK

WILAYAH PEDESAAN (T-6)

Pasal 5

Cara-cara penggunaan tanah dan persyatan-persyaratan

dalam Wilayah Peruntukan Pedesaan adalah sebagai

berikut :

1. Penggunaan :

Bermacam-macam penggunaan tanah di Desa

termasuk tempat tinggal, tempat-tempat perdagangan

kecil-kecilan, fasilitas-fasilitas umum seperti

misalnya : pendidikan, Kesehatan, rekreasi dan

Kantor-kantor administrasi Pemerintahan, fasilitas-

fasilitas tradisional, misalnya ; balai banjar-balai

banjar, tempat-tempat ibadah, tempat-tempat

permandian, lapangan terbuka, Daerah-Daerah

pertanian jalan-jalan dan fasilitas-fasilitas angkutan

lainnya.

14

2. Persyaratan-persyaratan :

Tata guna tanah untuk pedesaan hendaknya

mengikuti aturan-aturan perencanaan desa yang ada

sebagaimana dengan yang telah ditetapkan oleh

Pemda.

Aturan-aturan khusus termasuk tinggi bangunan

maksimum, luas pekarangan, perbandingannya

dengan luas lantai jarak minimum antara bangunan

dan batas pekarangan depan samping dan belakang,

perbandingannya dengan luas lantai, jarak minimum

antara bangunan dan batas pekarangan depan

samping dan belakang, hendaknya sesuai dengan

persyaratan yang telah ditetapkan dalam Peraturan

daerah Propinsi Bali Nomor : 3/PD/DPRD/1974.

Apabila sudah terdapat rencana terperinci dari tata

guna tanah untuk Desa tersebut, maka pelaksanaan

penggunaan tanah itu hendaknya didasarkan pada

rencana tersebut.

BAB V

KETENTUAN-KETENTUAN KHUSUS

Pasal 6

PERENCANAAN TERPERINCI

Pembangunan pada Daerah-Daerah yang ditetapkan di

Wilayah Peruntukan, misalnya : tempat tinggal, Desa dan

bangun-bangunan jenis lainnya, hendaknya mempunyai

rencana terperinci, sebelum ijin prinsip dan ijin bangun-

bangunan dikeluarkan. Rencana terperinci itu harus

menunjukkan letak-letak penggunaan tanah, denah

bangunan klasifikasi bangunan dan Daerah terbuka, pola

dan klasifikasi jalan, dan juga diperhitungkan faktor-

faktor lingkungan, misalnya ; kemiringan tanah,

pengawasan erosi, pengawasan terhadap pengotoran

udara, air dan tempat-tempat untuk pembuangan

sampah.

15

Pasal 7

BANGUNAN-BANGUNAN DIDALAM WILAYAH

PERUNTUKAN H-2

(1) Didalam Wilayah Peruntukan H-2 ini, hanya

diperbolehkan mendirikan bangun-bangunan atau

kelompok bangunan tradisional dengan luas

maksimum 10 (sepuluh) are untuk setiap Ha nya tidak

termasuk bangun-bangunan untuk pura-pura,

tempat-tempat Ibadah, tempat-tempat berteduh dan

bangun-bangunan yang serupa.

(2) Didalam Wilayah Peruntukan H-2 ini, hanya diijinkan

untuk mendirikan bangun-bangunan yang ada

hubungannya dengan kegiatan-kegiatan pertanian,

penggalian, rekreasi, termasuk rumah-rumah para

petani. Didalam ijin bangun-bangunan hendaknya

dinyatakan secara terperinci tentang jenis penggunaan

bangun-bangunan yang diijinkan itu.

Pasal 8

GARIS-GARIS SEMPADAN BANGUNAN DARI JALAN

Pada jalan-jalan kelas 1,2,3 dan jalan kelas 4 yang

menuju Uluwatu, garis sempadan bangunan dari jalan

minimal 75 (tujuh puluh lima) meter dan pada jalan kelas

4 lainnya dan kelas 5, garis sempadan bangunan dari

jalan minimal 50 (lima puluh) meter, dan pada jalan kelas

6 garis sempadan bangunan dari minimal 25 (dua puluh

lima) meter, kecuali apalagi jalan tersebut melalui

Wilayah Peruntukan Desa, sedangkan untuk bangun-

bangunan pura, tempat-tempat Ibadah, tempat-tempat

berteduh dan bangunan-bangunan serupa tidak perlu

mengikuti ketentuan-ketentuan garis sempadan Pasal ini.

16

Pasal 9

GARIS-GARIS SEMPADAN BANGUNAN DARI GARIS PANTAI.

(1) Garis sempadan bangunan dari garis pantai adalah

minimal 100 (seratus) meter, kecuali pada Wilayah

Peruntukan Desa, tempat tinggal umum yang

membentang ke Pantai atau dekat dengan pantai, dan

pantai Jimbaran, sedangkan untuk bangunan Pura,

tempat-tempat Ibadah, tempat berteduh dan

bangunan-bangunan serupa itu dapat menyimpang

dari garis sempadan diatas. Demi untuk keselamatan,

pengawasan erosi dan untuk pemeliharaan keindahan

pemandangan alam, Pemerintah Daerah bisa

menggunakan garis sempadan tambahan.

(2) Wilayah peruntukan Desa, dan Pantai Jimbaran, garis

sempadan dari garis pantai harus ditentukan oleh

Pemerintah Daerah. Di Wilayah Peruntukan tempat

tinggal umum, garis sempadan bangunan dan garis

pantai ditentukan minimal 50 (lima puluh) meter.

Pasal 10

JALAN-JALAN MENUJU PANTAI DAN PANTAI

(1) Pantai-pantai dilingkungan Wilayah Bukit harus

terbuka bagi dan dapat dipergunakan oleh Masyarakat

Umum untuk tujuan-tujuan yang non komersiil.

(2) Jalan-jalan yang pantas lebarnya yang menuju ke

Daerah Pantai harus diijinkan untuk dilalui oleh

masyarakat umum. Pemerintah Daerah harus

menetapkan jalan mana yang dianggap pantas.

17

Pasal 11

TINGGI MAKSIMUM DARI BANGUN-BANGUNAN

Tinggi bangun-bangunan ditentukan maksimum 15 (lima

belas) meter kecuali bangun-bangunan tradisional yang

mempunyai penggunaan – penggunaan tradisional

misalnya; meru – meru dan sejenisnya.

Pasal 12

PENGGALIAN-PENGGALIAN

(1) Setiap penggalian batu kapur atau bahan-bahan

karang lainnya dan pengambilan pasir hanya boleh

dilakukan setelah mendapat ijin dari Bupati.

(2) Ijin hanya boleh dikeluarkan pada tempat-tempat yang

tidak akan mengakibatkan hal-hal yang merusak

pemandangan, misalnya akibat penggalian sampai

terlihat dari jalan besar, dan penggalian-penggalian

tersebut tidak akan merusak keindahan alam serta

marga satwanya atau menimbulkan kerusakan-

kerusakan lingkungan. Pengambilan Pasir pada

Daerah Pantai tidak diijinkan, kecuali dalam hal-hal

yang luar biasa.

Pasal 13

LARANGAN BERBURU

Dilarang berburu binatang-binatang dan burung-burung

kecuali yang merugikan kepentingan umum.

18

Pasal 14

BANGUN-BANGUNAN YANG MENJOROK KEDALAM AIR

(1) Bangunan-bangunan untuk kapal berlabuh yang

berupa jembatan, dermaga, atau penahan gelombang

dan penahan pantai, fasilitas perdangan dan

bangunan-bangunan lainnya yang menjorok dari

pantai ke air harus mendapat ijin khusus dari

Pemerintah Daerah.

(2) Ijin hanya diberikan setelah diputuskan bahwa

bangunan yang menjorok tersebut akibatnya tidak

akan mengganggu keadaan pantai dan keindahan

alamiah, baik didalam ataupun diluar Daerah Bukit.

Sipemegang hak atas tanah yang ingin membuat

menjorok serupa itu harus bertanggung jawab dan

dapat membuktikan serta membuat laporan dan

analisa semestinya, bahwa bangunannya yang

menjorok itu tidak membawa akibat-akibat yang baru.

Pasal 15

PERSYARATAN-PERSYARATAN TERHADAP

TANDA-TANDA

(1) Semua tanda-tanda tidak diperkenankan berada

didalam ataupun yang menjorok diatas jalan, kecuali

bila sesuai dengan ayat (3) dan (4) pasal ini.

(2) Tanda-tanda yang diperkenankan dipasang didalam

pekarangan pada Wilayah Peruntukan adalah tanda-

tanda yang berhubungan dengan penggunaan,

kegiatan, pelayanan-pelayanan yang disediakan atau

barang-barang yang dijual yang ada dalam

kepemilikan pekarangan dimana tanda-tanda tersebut

dipasang. Tanda-tanda serupa itu tidak boleh

dipasang lebih dari satu tanda yang dipancangkan

untuk setiap pekarangan, dengan luas tanda

19

maksimum 1 (satu) m2, dan tingginya 2,5 (dua

setengah) meter, kecuali tanda-tanda yang

diperkenankan sesuai dengan ayat (3) dan (4) Pasal

ini.

(3) Tanda – tanda resmi dari Pemerintah yang

menunjukan arah, tanda keamanan, pengenalan dan

pengumunan – pengumuman, diijinkan sesuai dengan

kebijaksanaan Bupati.

(4) Bupati dapat menginjinkan tanda – tanda penunjuk

arah, tanda – tanda yang bersifat sementara dan tanda

– tanda untuk acara peristiwa khusus, yang

mempunyai ukuran luas yang sesuai dengan letak dan

tempatnya.

Bila mungkin, tanda – tanda semacam itu harus

dipusatkan dalam satu atau beberapa tempat.

(5) Tanda – tanda yang bersinar langsung tanda – tanda

yang berkedip – kedip, tanda – tanda yang berputar

atau jenis tanda – tanda yang bergerak, tidak

diperkenankan. Penyinaran tiruan terhadap tanda –

tanda hanya diperkenankan untuk penyinaran yang

bersifat tidak langsung, baik berupa penyinaran dari

dalam atau penyinaran emantulan, dan tidak

diperbolehkan adanya penyinaran langsung yang

tampak dari jalan – jalan umum atau jalan – jalan

kaki, sepeda atau jalan – jalan kuda, atau dari Daerah

– Daerah Hotel dan tempat – tempat tinggal.

Pasal 16

PERTAMANAN

Sesuatu bangunan yang diusulkan hendaknya

menyertakan pertamanan yang sesuai, dengan ditumbuhi

pohon – pohon dan tanaman – tanaman lainnya, dengan

20

tujuan keindahan pemandangan dan untuk melindungi

bangunan – bangunan dari sinar matahari dan lain

lainnya, serta untuk memberikan tempat – tempat yang

teduh.

Selain dari pada itu, pada semua Wilayah Peruntukan,

penebangan – penebangan kayu harus diawasi, sehingga

keindahan alam tetap terpelihara.

BAB VI

PENAFSIRAN MENGENAI PERATURAN PEMBAGIAN

WILAYAH PERUNTUKAN

Pasal 17

(1) Peraturan Daerah ini bermaksud untuk menetapkan

persyaratan – persyaratan minimum dan sama sekali

akan menghalangi pemegang hak atas tanah untuk

memberlakukan syarat- syarat yang lebih mengikat.

(2) Bila persyaratan – persyaratan Daerah ini berbeda

dengan peraturan – peraturan lainnyan yang

setingkat yang berhubungan dengan bangunan –

bangunan dan tata guna tanah, maka peraturan

Daerah inilah yang berlaku.

Pasal 18

PENGGUNAAN YANG TIDAK SESUAI

(1) Setiap penggunaan tanah yang ada atau yang telah

disetujui untuk dibangun sebelum Peraturan ini

disyahkan, yang tidak memenuhi persyaratan –

persyaratan Peraturan Daerah ini, maka penggunaan

tanahnya, pembangunannya dan pemeliharaannya

dapat diteruskan dengan ijin Pemerintah Daerah;

tetapi tidak boleh diadakan perubahan atau

diperbesar atau penggunaannya dirubah, kecuali

dengan persyaratan – persyaratan peraturan ini.

21

Apabila penggunaan tanah yang tidak sesuai itu

sudah sangat rusak, maka penggunaan tanah

tersebut tidak dapat dibangun kembali terkecuali

memenuhi persyaratan – persyaratan yang ada dalam

peraturan ini.

(2) Tanda – tanda yang telah ada atau yang telah

dipenuhi untuk dibangun pada waktu Peraturan

Daerah ini berlaku tetapi tidak memenuhi

persyaratan – persyaratan harus dipindahkan atau

dirubah sampai waktu masa laku ujiannya habis dan

apabila belum mendapat ijin maka tanda tersebut

dalam waktu satu tahun setelah berlaku, harus

sudah disesuaikan dengan Peraturan ini.

BAB VII

TATA – LAKSANA

Pasal 19

PERSYARATAN IJIN BANGUN BANGUNAN DAN

SURAT KETERANGAN PEMENUHAN PERSYARATAN

WILAYAH PERUNTUKAN

(1) Tidak diperkenankan mendirikan bangunan –

bangunan tanpa ijin bangun – bangunan

Ijin bangun – bangunan tidak akan dikeluarkan bila

bangunan yang diusulkan itu tidak sesuai dengan

peraturan Pembagian Wilayah Peruntukan.

(2) Barang siapa yang akan membangun didalam Wilayah

Peruntukan, harus mengajukan permohonan Ijin

Bangun – Bangunan kepada Bupati.

(3) Pemohon akan diberikan ijin bangun – bangunan

setelah mendapat ijin prinsip dari Gubernur.

22

(4) Surat permohonan ijin bangun – bangunan seperti

dimaksud dalam ayat (2) Pasal ini harus disertai :

a. Penjelasan mengenai tanah milik tersebut secara

terperinci untuk menentukan letaknya yang tepat

dan foto – foto yang menggambarkan tanah

tersebut serta lingkungannya.

b. Gambar tanah milik memakai skala, yang

memperlihatkan bangunan – bangunan tanah

yang sudah ada, maupun yang diusulkan, letak

jenis jalan – jalan, fasilitas – fasilitas hubungan

dan perhubungan ke dan dalam tanah milik

tersebut, keterangan – keterangan lain yang perlu

untuk menunjukkan bahwa tidak bertentangan

dengan persyaratan persyaratan yang ditetapkan

dalam peraturan Pembagian Wilayah Peruntukan

ini.

c. Gambar konstruksi dan bentuk arsitektur yang

lengkap dan terperinci dan tempat dari bangunan

yang diusulkan, yang akan dipakai untuk tujuan

konstruksi bangunan.

d. Keterangan terperinci mengenai macam, banyak,

dan sumber pelayanan umum, termasuk air

tenaga listrik, telekomunikasi dan saluran

pembuangan (sewage) dan pembuangan sampah –

sampah.

e. Perencanaan pertamanan, pengairan dan saluran

pembuangan air hujan yang terpencil.

(5) Bila tidak ada keputusan terhadap permohonan ijin

bangunan tersebut dalam jangka waktu 90 (sembilan

puluh) hari, setelah permohonan iyu diajukan dengan

persyaratan – persyaratan sebagaimana mestinya

maka permohonan otonomis disetujui, kecuali jika

pemohon setuju untuk memperpanjang waktunya.

23

(6) Jika pendirian bangunan atau pembangunan jenis

lainnya yang yang telah diperkenankan dalam ijin

bangun bangunan tersebut, tidak dimulai dalam

jangka waktu 180 (Seratus delapan puluh) hari,

ditambah dengan perpanjangan waktu yang diijinkan

setelah ijin bangunan dikeluarkan, maka ijin

bangunan otomatis tidak dapat berlaku lagi.

(7) Permohonan perpanjangan waktu ijin bangun –

bangunan dapat diajukan kepada Bupati.

Permohonan ini harus dalam bentuk yang tertulis

dengan mengemukakan alasan – alasan yang

secukupnya. Perpanjangan waktu ini tidak akan

diperkenankan lebih dari 90 (sembilan puluh) hari.

(8) Tidak dibenarkan menempati atau menggunakan

bangunan tersebut walaupun ijin bangun – bangunan

tersebut dikeluarkan, sebelum Bupati mengeluarkan

surat keterangan pemenuhan persyaratan yang

menyatakan bahwa bangunan dan penggunaan yang

diusulkan sudah sesuai dengan peraturan –

peraturan Pembagian Wilayah Peruntukan ini.

(9) Bupati mempunyai hak untuk mengawasi tanah hak

tersebut selama dan setelah penyelesaian

pembangunan, untuk meyakinkan bahwa persyaratan

– persyaratan peraturan pembagian Wilayah

Peruntukan ini benar – benar dipenuhi, sebelum

mengeluarkan keterangan pemenuhan persyaratan

Wilayah Peruntukan tersebut bisa digabungkan

dengan surat keterangan penggunaan bangunan jika

keterangan semacam itu diperlukan dalam peraturan

peraturan bangunan.

(10) Disamping harus memperoleh ijin bangun –

bangunan dan keterangan pemenuhan persyaratan

Wilayah Peruntukan, juga menjadi tanggung jawab

pemohon untuk mendapatkan ijin – ijin penting

lainnya.

24

Pasal 20

PENYIMPANAN – PENYIMPANAN

(1) Dalam beberapa hal yang khusus Bupati dapat

menyimpang dari persyaratan – persyaratan

Peraturan Daerah ini, asal saja penyimpangan

tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan

umum, yang mana bila pelaksanaan dari peraturan –

peraturan ini secara leterlyk (harfiah) dapat

mengakibatkan hal – hal yang tidak diinginkan,

disebabkan karena keadaan tanahnya yang sangat

berbeda dengan tanah yang lainnya pada Wilayah

Peruntukan yang sama.

(2) Dalam hal apapun, tidak diperkenankan ada

penyimpangan – penyimpangan terhadap garis

sempadan pantai atau tinggi maksimum dari

bangunan, sebagai yang telah ditetapkan dalam pasal

9 dan 11 Peraturan Daerah ini.

(3) Cara – cara pemohon untuk dipernankannya

penyimpangan – penyimpangan adalah sebagai

berikut :

a. Harus mengajukan permohonan tertulis, dengan

menyertakan keadaan tanah tersebut yang sangat

berbeda dengan keadaan dan lingkungan tanah

lainnya di Wilayah Peruntukan yang sama.

b. Permohonan tersebut harus bisa menunjukkan

bahwa pelaksanaan dari peraturan – peraturan

Daerah ini secara leterlyk (harfiah) akan

menyebabkan pemohon dapat kehilangan haknya,

yang mana tidak demikian halnya ditempat –

tempat lain di Wilayah Peruntukan itu dan

dinyatakan pula bahwa keadaan – keadaan yang

khas tersebut bukanlah akibat dari tindakan si

pemohon.

c. Bupati akan memberi keputusan terhadap

permohonan penyimpangan ini dalam jangka

25

waktu 60 (enam puluh) hari setelah permohonan

itu diajukan.

Pasal 21

PENGAJUAN KEBERATAN

(1) Pemegang hak atas tanah, orang – orang dan Badan

Hukum, yang ditolak permohonannya untuk

memperoleh penyimpangan dari Bupati bisa

mengajukan keberatan kepada Gubernur.

(2) Permohonan pengajuan keberatan harus diajukan

tertulis kepada Gubernur dalam jangka waktu 60

(enam puluh) hari setelah keputusan diberikan oleh

Bupati dan harus menyatakan alasan – alasan

didalam permohonan naik banding tersebut.

Pasal 22

PELANGGARAN – PELANGGARAN DAN SANKSI – SANKSI

(1) Yang berwenang berhak memasuki tanah hak pribadi

didalam melaksanakan Peraturan Pembangian

Wilayah Peruntukan ini sesuai dengan Pasal 14 dalam

Peraturan Daerah Propinsi Bali No.

2/PD/DPRD/1974, sedangkan yang melanggar

dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 11 dalam

Peraturan tersebut.

(2) Bila ternyata terdapat pelanggaran terhadap

peraturan Pembagian Wilayah Peruntukan ini, Bupati

memberikan peringatan kepada mereka yang

melanggar, serta menyatakan sifat pelanggaran

tersebut dan memerintahkan supaya tindakan –

tindakan yang berikut ini :

a. Memerintahkan untuk menghentikan penggunaan

tanah, bangunan dan bangunan-bangunan lainnya

yang tidak sesuai dengan peraturan.

26

b. Memerintahkan untuk memindahkan bangun-

bangunan, atau bangun-bangunan lainnya,

pembaharuan-pembaharuan dan perubahan-

perubahan bentuk yang tidak memenuhi

peraturan.

c. Memerintahkan untuk menghentikan segala

pekerjaan yang sedang berlangsung.

d. Mengambil tindak-tindakan yang perlu agar

persyaratan-persyaratan didalam peraturan ini

dapat dipenuhi.

(3) Bupati dapat mengambil tindakan yang perlu, agar

persyaratan-persyaratan peraturan ini ditaati.

(4) Bupati dapat menarik kembali/mencabut ijin

bangun-bangunan tersebut, jika tidak ditaatinya

peraturan Pembagian Wilayah Peruntukan dan ijin

Bangun-Bangunan yang telah dikeluarkan.

(5) Barang siapa melanggar ketentuan-ketentuan Pasal

3 ayat (3), Pasal 5 ayat (2), pasal 7, pasal 8, pasal 9,

pasal 10, pasal 11, pasal 12 ayat (1), pasal 13,

pasal 14 ayat (1), pasal 15 ayat (1), (2) dan (5),

pasal 18, pasal 19 ayat (1) dan (8).

(6) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (5) pasal

ini adalah termasuk pelanggaran.

Pasal 23

UANG BANGUN – BANGUNAN

Besarnya uang bangun-bangunan disesuaikan dengan

Peraturan yang berlaku untuk itu.

Pasal 24

USUL – USUL PERUBAHAN TERHADAP PERATURAN PEMBAGIAN

WILAYAH PERUNTUKAN

Pembagian Wilayah Peruntukan yang ditetapkan dalam

Peraturan Daerah ini dapat diubah, ditambah, atau

27

dicabut sesuai dengan Peraturan yang ditetapkan oleh

Pemerintah Daerah didasarkan atas :

1. Usul perubahan hendaknya dibuat oleh Bupati atau

oleh DPRD, tergantung pada bentuk-bentuk

perubahannya.

2. Usul-usul perubahan ini dapat diusulkan oleh Pejabat-

Pejabat/Pegawai-Pegawai Pemerintah, oleh Perorangan

atau oleh perubahan.

3. Permohonan usul perubahan harus diajukan tertulis,

dengan menyatakan macam perubahan yang hendak

diusulkan disertai alasan-alasannya. Jika usul

perubahan itu mengenai batas-batas Wilayah

Peruntukan, maka harus dilampirkan pula sebuah

peta beserta batas-batas yang telah ada dan usul

perubahannya.

4. Permohonan usul perubahan harus ditinjau

sedemikian rupa untuk mengetahui apakah

perubahan-perubahan tersebut akan dapat mencapai

tujuan dari Pemda Pembagian Wilayah Peruntukan ini

sebagaimana tercantum dalam penjelasan Peraturan

Daerah ini.

BAB VIII

Pasal 25

KETENTUAN – KETENTUAN PENUTUP

(1)Hal-hal yang belum diatur dalam Perda ini, akan diatur

lebih lanjut dengan Surat Keputusan Bupati.

(2)Dengan berlakunya Perda ini maka segala Peraturan

yang mengatur hal-hal yang sama dinyatakan tidak

berlaku lagi.

(3)Pelaksanaan Peraturan Daerah ini ditetapkan dengan

Surat Keputusan Bupati.

(4)Peraturan Daerah ini disebut “Peraturan Daerah

Kabupaten Daerah Tingkat II Badung tentang

Pembagian Wilayah Peruntukan Bukit” dan mulai

berlaku sejak disahkan.

28

Mengetahui Denpasar, 9 April 1979

Dewan Perwakilan Rakyat Bupati Kepala Daerah

Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung

Tingkat II Badung

Ketua,

ttd. ttd.

(A.A. Ngurah Manik Parasara) (I. D. G. OKA)

DISAHKAN :

Dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali

Tanggal : 22 Juli 1980 No. 25/HOT/I.C/1980

An. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali

Kepala Biro Hukum dan Organisasi

Dan Tatalaksana

ttd.

I Gusti Nyoman Pacung, SH

NIP. : 010019140

Diundangkan Kedalam Lembaran Daerah

Tingkat II Badung

Tanggal : 7 Januari 1981

Nomor : 15 Seri D Nomor 15

An. Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung

Sekretaris Wilayah/Daerah

ttd

( Drs. I Gusti Agung Mayun Eman )

Nip. : 010026454

29

PENJELASAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG

TENTANG

PEMBAGIAN WILAYAH PERUNTUKAN NUSA DUA

U M U M

1. Tujuan umum dari Peraturan Daerah ini adalah untuk memberikan

petunjuk yang tepat mengenai pembangunan fisik Daerah Bukit

sebagai salah satu alat utama untuk melaksanakan Rencana Induk

Bukit.

2. Rencana Induk dan Peraturan Daerah Pembagian Wilayah

Peruntukan Bukit adalah penting karena dua hal :

a. Pembangunan perlu diawasi dengan teliti di daerah Bukit, karena

hal ini memberikan latar belakang dan suasana lingkungan bagi

Wilayah Wisata Nusa Dua yang direncanakan untuk menjadi salah

satu tempat pemusatan utama dari penampungan Wisatawan-

Wisatawan di Bali, dan lebih umum adalah merupakan daerah

yang sesuai untuk berbagai kegiatan pariwisata dan rekreasi.

b. Daerah Bukit merupakan pengarahan dalam pembangunan fisik

baik dibidang ekonomi dan sosial yang menyeruh, untuk

kepentingan penduduk daerah tersebut pada masa sekarang dan

yang akan datang.

3. Peraturan Pembagian Wilayah Peruntukan yang akan dipakai di

Daerah Bukit adalah Peraturan-Peraturan Daerah Propinsi Bali

Nomor : 2/PD/DPRD/1974, dan Nomor 3 PD/DPRD/1974 yang

dilengkapi dengan Peraturan Pembagian Wilayah Peruntukan Bukit

ini.

Tambahan ini adalah perlu agar Peraturan-Peraturan itu

dilaksanakan bagi Daerah Bukit secara khusus.

4. Tujuan khusus dari Peraturan Daerah ini Pembagian Wilayah

Peruntukan ini mencakup hal-hal sebagai berikut :

a. Memelihara dan memperbaiki keindahan pemandangan alamiah,

termasuk Daerah-Daerah alam terbuka, dan mengarahkan

pembangunan fisik secara untuk menciptakan suasana lingkungan

yang menarik dan fungsional bagi kegiatan-kegiatan pariwisata dan

Wilayah Wisata Nusa Dua sehingga pengembangan pariwisata

dapat ditingkatkan.

30

b. Mengarahkan pengaturan penggunaan tanah yang akan dapat

meningkatkan pengembangan dan perbaikan kegiatan-kegiatan

pertanian, industri ringan dan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya

yang sesuai, selain industri pariwisata, sehingga teecapailah

keseimbangan ekonomi.

c. Memlihara dan melindungi sumber-sumber kekayaan alam,

Daerah-Daerah rekreasi, tempat-tempat yang mempunyai

kepentingan khusus dan benda-benda budaya untuk kepentingan

dan hiburan bagi penduduk maupun Wisatawan, dan menjamin

supaya masyarakat umum dapat pergi ketepi pantai, tempat-

tempat rekreasi dan tempat-tempat bertamasya dan dapat

menyaksikan benda-benda budaya.

d. Menyediakan Daerah-Daerah yang sesuai bagi perluasan desa-desa

yang telah ada, pembangunan Desa-Desa baru dan Daerah-Daerah

Perumahan untuk pemerintahan, termasuk tanah yang cukup

untuk fasilitas-fasilitas masyarakat umum, sehingga pembangunan

Daerah Bukit berjalan dengan cara yang teratur dan sesuai dengan

aturan-aturan yang layak bagi cara hidup orang-orang Bali dan

lingkungan alamiahnya.

e. Meningkatkan sistim pengaturan lalu lintas kendaraan dan jalan

kaki yang aman, mudah dan ekonomis yang diintegrasikan dengan

pola penggunaan tanah yang teratur sedemikian rupa sehingga

fasilitas-fasilitas hubungan dan perhubungan mudah dapat

dicapai, serta memberikan pemandangan alam bebas dan menarik.

f. Memelihara aturan-aturan kepadatan pembangunan, alam

terbuka, bentuk dasar dan kwalitas perencanaan yang serasi bagi

Desa-Desa Bali, Daerah-Daerah Villa dan perumahan lainnya dan

jenis-jenis pembangunan lainnya.

g. Meningkatkan pembangunan dan perencanaan bangunan-

bangunan, komplek-komplek bangunan dan jenis-jenis bangunan

lainnya dan bentuk pemandangan keseluruhan dari Daerah-

Daerah yang dibangun, termasuk pertamanan yang serasi,

fungsional dan indah, yang mencerminkan atau sesuai dengan

bentuk-bentuk arsitektur dan bahan-bahan bangunan Bali.

h. Menghindarkan pengotoran udara, air dan kebisingan, tanda-tanda

reklame yang tidak sesuai, penebangan pohon-pohon yang tidak

perlu, dan segala macam bentuk lainnya yang bisa merusak

31

suasana lingkungan demi untuk kebaikan penduduk dan

Pariwisata.

Pasal 1

Pembagian Wilayah Peruntukan Bukit tidak mencakup Wilayah

Peruntukan Nusa Dua, karena Daerah itu diatur oleh suatu

peraturan yang terpisah. Didalam pengertian dasar mengenai tinggi

bangunan, cara pengukuran yang diijinkan untuk bangun-bangunan

bertingkat 4, membolehkan keluasan dalam perencanaan bangun-

bangunan tersebut, terutama terhadap bentuk perencanaan atap

yang mencerminkan corak-corak arsitektur Bali, sehingga bangunan-

bangunan bertingkat 4 tidak perlu beratap datar atau rendah.

Pengertian-pengertian dasar lainnya cukup jelas.

Pasal 2 ; cukup jelas

Pasal 3

Peta Wilayah Peruntukan Bukit memperlihatkan batas-batas yang

tepat dari berbagai Wilayah Peruntukan dan merupakan bagian dari

Peraturan Wilayah Peruntuk yang disahkan.

Oleh karena itu, Peta Wilayah Peruntukan yang resmi itu dianggap

sebagai suatu dokumen yang sah secara hukum dalam segala hal.

Pasal 4

Karena batas-batas Wilayah Peruntukan dalam Peta Wilayah

Peruntukan yang resmi mungkin memerlukan penafsiran untuk

menentukan letaknya diatas tanah, bagian ini menetapkan cara-cara

untuk memberikan penafsiran tersebut.

Pasal 5

Wilayah Peruntukan desa yang baru adalah penting dan diinginkan,

karena hal itu akan memungkinkan suatu campuran penggunaan

tanah yang berbeda, sesuai dengan suasana lingkungan Desa atau

lingkungan perumahan-perumahan baru.

Pada saat perencanaan dan penentu Wilayah-Wilayah Peruntukan ini

tidaklah mungkin untuk menentukan secara terperinci Wilayah-

Wilayah Peruntukan untuk setiap bagian yang telah ada dan untuk

32

penggunaan tanah dimasa depan di Desa-Desa dan haruslah ada

kebijaksanaan didalam pola Pembangunan.

Akan tetapi, pembangunan Desa harus tetap diawasi untuk

menimbulkan suasana lingkungan yang aman, sehat dan indah. Oleh

karena itu setiap pembangunan yang diusulkan di Desa-Desa harus

mendapat persetujuan dari Pemda, dan harus sesuai dengan

peraturan-peraturan pembangunan Desa yang baik dan dengan

persyaratan yang khusus dari Wilayah Peruntukan untuk

penggunaan tanah tersebut, dan harus pula sesuai dengan rencana

terperinci yang disiapkan untuk Desa tersebut.

Pasal 6

Rencana Induk Bukit dan Peraturan Pembagian Wilayah Peruntukan

ini disiapkan bagi Tingkat Wilayah, dan suatu perencanaan

tambahan yang lebih terperinci diperlukan untuk pembangunan

Desa-Desa tempat rekreasi dan Daerah-Daerah lainnya secara

khusus.

Pasal ini menunjukkan perlunya supaya perencanaan yang terperinci

untuk Daerah-Daerah pembangunan ini dibuat sesegara mungkin.

Pasal 7 ; Cukup jelas.

Pasal 8

Garis sempadan bangunan dari jalan adalah penting untuk

memelihara sifat-sifat alamiah dan alam terbuka di Daerah Bukit

untuk menciptakan suasana lingkungan yang sesuai bagi

perkembangan dan kegiatan kepariwisataan dan rekreasi.

Pasal 9

Pasal ini menghendaki adanya garis sempadan pantai dari segala

jenis bangunan lainnya, sehingga terpeliharalah keindahan alam dan

tempat-tempat yang mempunyai potensi rekreasi di Daerah Pantai.

Karena kebangyakan pantai Bukit curam, maka garis sempadan

tambahan mungkin akan perlu demi untuk keamanan orang-orang

dan bangunan-bangunan, untuk mencegah erosi dan

memelihara/melindungi keindahan alam di daerah Pantai.

33

Pasal 10

Daerah pantai banyak mempunyai potensi untuk tempat rekreasi,

keperluan bertamasya, tempat-tempat yang dikeramatkan, dan harus

dapat dicapai serta digunakan oleh masyarakat umum. Akan tetapi

hak-hak pemilik tanah harus juga dilindungi dari hal-hal yang tidak

diinginkan, misalnya miliknya digunakan atau dilalui orang, dan oleh

karena itu Pemda perlu menetapkan letak tempat-tempat yang serasi

untuk umum.

Pasal 11. Cukup jelas

Pasal 12

Pengawasan terhadap tempat dan jenis kegiatan-kegiatan penggalian

adalah penting untuk memelihara keindahan pemandangan yang

alamiah. Tetapi pengawasan semacam itu tindakkan dimaksudkan

untuk melarang kegiatan-kegiatan penggalian yang penting artinya

bagi ekonomi Daerah Bukit. Pada umumnya pengambilan pasir dari

pantai Daerah Bukit tidak diperkenankan, demi kepentingan

pariwisata, tempat rekreasi dan juga untuk kepentingan keindahan

alam serta marga satwa di Daerah-Daerah serupa itu.

Kemungkinan ada hal-hal yang luar biasa yang dapat

memperkenankan pengambilan pasir.

Pasal 13

Kehidupan binatang-binatang liar dan terutama burung-burung di

daerah Bukit makin berkurang karena banyak orang-orang berburu.

Sebagai Daerah Pariwisata dan rekreasi, juga untuk tujuan Daerah

alamiah yang dilindungi secara ilmiah, adalah penting untuk

melindungi kehidupan burung-burung dan meningkatkan jumlahnya.

Juga merupakan hal yang penting, bahwa berburu di Daerah

Pariwisata dan tempat rekreasi biasa membahayakan para

pengunjung.

34

Pasal 14

Garis pantai, terutama garis pantai yang berpasir, dilihat dari segi

ekologi adalah daerah-daerah yang sangat mudah rusak bentuknya

karena erosi dan penggeseran pasir, juga dengan mudah dapat

berubah sebagai akibat yang disebabkan oleh alam atau manusia,

yang bisa mengakibatkan hal-hal yang baik atau buruk.

Oleh karena itu pembangunan yang diusulkan yang menjorok

kedalam air harus diteliti dengan seksama untuk menentukan

apakah hal itu akan membawa akibat baik atau buruk terhadap garis

pantai, juga harus dipertimbangkan dengan seksama akibat

pembangunan yang menjorok semacam itu terhadap pemandangan.

Sebagai telah ditetapkan dalam bagian ini, sipemegang hak

atas tanah mempunyai kewajiban untuk melakukan

penelitian semacam itu.

Pasal 15

Hampir ditiap-tiap tempat, terutama di daerah pariwisata dan

tempat rekreasi, dimana keindahan alam dan sifat pemandangan

alamiah harus dipelihara, adalah penting untuk mengawasi jenis,

besar dan letak tanda-tanda.

Pasal 16

Pertamanan termasuk pengertian menanam rumput-rumputan,

pohon-pohonan, semak-semak, bunga-bungaan dan tanaman-

tanaman lainnya, adalah suatu cara yang penting untuk membuat

suatu Daerah yang lebih menarik, serta untuk menghalangi

pandangan dari arah jalan terhadap bangunan-bangunan dan untuk

tempat berteduh, berlindung dari panas matahari dan hujan.

Salah satu cara mengatur pertamanan ialah antara lain dengan

melindungi pohon-pohon yang ada dan tanaman-tanaman lainnya.

Pemotongan terhadap pohon-pohon yang besar pada lingkungan

khusus tidak diijinkan tanda mendapat persetujuan dari Pemerintah

Daerah.

Pasal 17 dan Pasal 18

35

Cukup jelas.

Pasal 19

Ketentuan pasal 19 ayat (1) tidak mengurangi ketentuan dalam pasal

11 tentang Bangun-Bangunan.

Pasal 20

Penyimpangan-penyimpangan adalah suatu cara untuk

memperkenankan penyimpangan dari persyaratan-persyaratan

peraturan Pembagian Wilayah Peruntukan tersebut dalam hal-hal

yang khusus, misalnya karena keadaan tanah itu mempunyai ciri-ciri

yang khas, dan bila persyaratan-persyaratan Peraturan Daerah ini

dilaksanakan secara ketat di Daerah tersebut, kesukaran-kesukaran

yang tidak kita inginkan akan dialami oleh pemegang hak atas tanah.

Penyimpangan-Penyimpangan tidak diperkenankan dalam hal-hal

penggunaan tanah, dimana persyaratan-persyaratan Peraturan-

Peraturan Wilayah Peruntukan ini bisa dilaksanakan, tetapi

penyimpangan-penyimpangan harga diperkenankan bila mengenai

persyatan pembangunan diatas tanah, misalnya garis sempadan

bangunan. Sebagai telah ditetapkan dalam pasal ini, penyimpanan-

penyimpangan tidak diperkenankan terhadap batas tinggi bangunan

atau garis sempadan Pantai.

Pertimbangan yang diberikan dalam memperkenankan

penyimpangan-penyimpangan tersebut adalah didasarkan atas hal

apakah pemilik akan kehilangan hak-hak tanah milik, karena

tanahnya mempunyai ciri-ciri yang khas, pada hal tidak demikian

keadaannya dengan tanah-tanah lain yang ada di Daerah dan di

Wilayah Peruntukan yang sama itu.

Penyimpangan-penyimpangan sama sekali tidak akan diperkenankan

bila merugikan kepentingan umum, atau bila bertentangan dengan

maksud dan tujuan peraturan Pembagian Wilayah Peruntukan ini.

Untuk itu Bupati bisa menambahkan pada penyimpangan-

penyimpangan tersebut persyaratan-persyaratan khusus yang

menurut Pertimbangnnya adalah penting.

36

Pasal 21 : Cukup jelas

Pasal 22

Peraturan ini memberi hak kepada Bupati untuk memperingankan

setiap orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran terhadap

peraturan ini. Kemudian Bupati memutuskan tindakan apa yang

perlu diambil terhadap pelanggaran tersebut yang didasarkan atas

jenis dan besarnya pelanggaran itu.

Pasal 23

Yang dimaksud dengan Peraturan yang berlaku untuk itu ialah

Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Nomor 6

Tahun 1977.

Pasal 24

Kemungkinan untuk mengadakan usul-usul perubahan terhadap

peraturan pembagian Wilayah Peruntukan yang didasarkan atas

perubahan keadaan, akan memungkinkan kita untuk memelihara

peraturan tersebut sebagai dasar hukum yang dapat dilaksanalan

sesuai dengan keadaannya. Akan tetapi, setiap usul perubahan harus

dibuat sesuai dengan maksud dan tujuan dari Peraturan itu dan

untuk kepentingan serta kesejahteraan masyarakat umum.

Pasal 25

Ayat (1) : Yang dimaksud dengan hal-hal yang belum diatur dalam

peraturan ini adalah buku petunjuk menerangkan tata

cara, tata laksana bila perlu dengan memakai gambar,

sehingga mudah dapat dimengerti.

Ayat (2) : Cukup jelas

Ayat (3) : Cukup jelas

Ayat (4) : Cukup jelas