lembaga keuangan mlkro sebagai jembatan...

19
LEMBAGA KEUANGAN MlKRO SEBAGAI JEMBATAN PERDAMAIAN MASYARAKAT POSO PASCA KONFLIK (Belajar dan Bertindak Bersama Komunitas Tiga Desa) Oleh: Laksmi A.Savitri1, Moh. Miqdad2, Lian GogaliJ, Moh. Shohib4 PENDAHULUAN Konflik komunal yang melanda masyarakat Poso dalam kurun waktu panjang-- babakan kekerasan berlangsung dari penghujung tahun 1998 hingga tahun 2004-- mengakibatkan kerugian dun penderitaan yang sangat berat bagi sebagian besar -: masyarakat Poso. Kekerasan tersebut masih disusul dengan berbagai peristiwa setelah tahun 2004 hingga awal tahun 2007. Berbagai peristiwa yang terjadi belakangan, meskipun memperlihatkan pergeseran pola dari konflik horisontal menjadi konflik vertikal antara sekelompok orang dengan aparat keamanan, bagaimanapun memiliki daya rusak tambahan terhadap kehidupan masyarakat Poso yang sudah sangat menderita. Tidak pelak, rentetan kekerasan tersebut sangat mengganggu kondisi aman yang memungkinkan pulihnya masyarakat dari trauma dun aktifitas perekonomian yang menjadi basis bagi keberlanjutan kehidupan. Untuk mengembalikan kondisi masyarakat Poso seperti saat sebelum konflik memang terasa berat. Berbagai upaya pemulihan berlangsung dalam bayang-bayang tentang situasi yang lampau. kondisi damai yang cukup ideal, dimana pada beberapa dekade sebelumnya masyarakat Poso yang sangat plural mampu hidup berdampingan tanpa gejolak kekerasan cukup berarti. Jika pun terjadi berbagai kekerasan dalam skala kecil, seperti perkelahian pemuda antar kelompok-yang seringkali juga melibatkan identitas berbeda--dun pergesekan dalam konstelasi politik lokal, tetapi ha1 demikian tidak berbuntut pada kekerasan komunal dalam skala luas seperti yang terjadi dalam konflik berjilid-jilid belakangan ini. I Pegiat di Sajogyo Institute (SATNS), Bogor dan kandidat doktor Kassel Universitat, Jerman ' Pegiat di Awam Green (AG), Palu dan peneliti Pasca-Konflik Poso 3 Pegiat di Sajogyo Institute (SATNS), Yogyakarta dan peneliti Konflik Poso Direktur Eksekutif Sajogyo Institute, Bogor

Upload: vudien

Post on 18-May-2018

217 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

LEMBAGA KEUANGAN MlKRO SEBAGAI JEMBATAN PERDAMAIAN

MASYARAKAT POSO PASCA KONFLIK

(Belajar dan Bertindak Bersama Komunitas Tiga Desa)

Oleh: Laksmi A.Savitri1, Moh. Miqdad2, Lian GogaliJ, Moh. Shohib4

PENDAHULUAN

Konflik komunal yang melanda masyarakat Poso dalam kurun waktu panjang--

babakan kekerasan berlangsung dari penghujung tahun 1998 hingga tahun 2004--

mengakibatkan kerugian dun penderitaan yang sangat berat bagi sebagian besar

-: masyarakat Poso. Kekerasan tersebut masih disusul dengan berbagai peristiwa setelah

tahun 2004 hingga awal tahun 2007. Berbagai peristiwa yang terjadi belakangan,

meskipun memperlihatkan pergeseran pola dari konflik horisontal menjadi konflik vertikal

antara sekelompok orang dengan aparat keamanan, bagaimanapun memiliki daya

rusak tambahan terhadap kehidupan masyarakat Poso yang sudah sangat menderita.

Tidak pelak, rentetan kekerasan tersebut sangat mengganggu kondisi aman yang

memungkinkan pulihnya masyarakat dari trauma dun aktifitas perekonomian yang

menjadi basis bagi keberlanjutan kehidupan.

Untuk mengembalikan kondisi masyarakat Poso seperti saat sebelum konflik

memang terasa berat. Berbagai upaya pemulihan berlangsung dalam bayang-bayang

tentang situasi yang lampau. kondisi damai yang cukup ideal, dimana pada beberapa

dekade sebelumnya masyarakat Poso yang sangat plural mampu hidup berdampingan

tanpa gejolak kekerasan cukup berarti. Jika pun terjadi berbagai kekerasan dalam skala

kecil, seperti perkelahian pemuda antar kelompok-yang seringkali juga melibatkan

identitas berbeda--dun pergesekan dalam konstelasi politik lokal, tetapi ha1 demikian

tidak berbuntut pada kekerasan komunal dalam skala luas seperti yang terjadi dalam

konflik berjilid-jilid belakangan ini.

I Pegiat di Sajogyo Institute (SATNS), Bogor dan kandidat doktor Kassel Universitat, Jerman ' Pegiat di Awam Green (AG), Palu dan peneliti Pasca-Konflik Poso 3 Pegiat di Sajogyo Institute (SATNS), Yogyakarta dan peneliti Konflik Poso

Direktur Eksekutif Sajogyo Institute, Bogor

Hampir semasa dengan sejumlah konflik komunal yang terjadi di Indonesia,

ledakan kekerasan di Poso menorehkan korban jiwa yang cukup besar, serta

merupakan konflik komunal berbasis identitas agama terpanjang di antara sekian konflik

komunal di Indonesia, paling tidak sejak Orde Baru berkuasa.

Pasca keruntuhan rezim Orde Baru, terjadi sejumlah ledakan kekerasan di

Indonesia. Seperti serempak, fenomena tersebut menunjukkan gejala yang patut

dicermati lebih jauh. Inter-tekstualitas gejala tersebut, bagaimanapun, akan dilihat

sebagai bagian dari sejarah lndonesia modern. Potret kelam yang turut menyusun

bentang budaya nusantara.

Varshney eta1 (2004) mengemukakan tiga teori di balik merebaknya konflik

komunal yang terjadi di lndonesia sepanjang 1990-2003. Teori pertama memandang

Indmesia di bawah rezim Soeharto relatif damai karena keberadaan mekanisme politik,

administratif dun militer untuk meredam ledakan gejolak sosial. Cakupan kontrol yang

mengakar tersebut menjadi alat peredam utama atas nama stabilitas demi

kepentingan nasional. Dengan demikian, pandangan ini menekankan pcda ketiadaan

mekanisme kontrol serupa pasca kejatuhan rezim Orde Baru, yang berimplikasi pada

merebaknya konflik komunal di Indonesia.

Wilayah teori kedua, dengan sudut pandang historis, menelisik lebih jauh pada

kurun waktu ke belakang yang lebih lama. Kekerasan dipandang sebagai sesuatu yang

memiliki akar cukup kuat dalam sejarah Indonesia. "Kekerasan yang sekarang tidak

semata-mata, atau tidak hanya, warisan Orde Baru" (Colombijn dun Lindblad dalam

Varshney et. at, 2004): Dengan pandangan ini, Orde Baru dianggap hanya sebagai

bagian dari sejarah kekerasan yang sudah berakar kuat dalam budaya Indonesia.

Wilayah teori ketiga mernandang kekerasan terjadi setelah 1998 karena

mekanisme disipliner Orde Baru turnbang. Wilayah teori ini memandang Orde Baru yang

menjadi penyebab kekerasan, baik selama rezim tersebut berkuasa maupun setelah

ketumbangannya (Bertrand, 2004 dalam Varshney et. al., 2004), dengan melakukan

peremukan tatanan sosial yang sangat parah rnelalui kontrol yang mematikan

sernangat kewargaan dan pada akhirnya merenggangkan kohesi sosial yang substantif.

Pola ini mengakibatkan ketidakpercayaan terhadap negara yang menggunakan

kekerasan dalam melakukan kontrol terhadap warganya. Maka pemupukan

ketidakpercayaan itu dianggap sebagai rangsangan bagi kekerasan-kekerasan

berikutnya pasca kejatuhan rezim tersebut.

Tabel 1. Kekerasan Kolektif di Indonesia 1990 - 2003 (Varshney et.al, 2004)

Data-data sebaran konflik dun dampak yang sempat dihimpun oleh Ashutos

Varshney dun timnya seperti dalam tabel di atas, untuk Poso, belum termasuk beberapa

peristiwa peledakan bom dun pembunuhan yang memakan korban jiwa yang besar,

dalam sejumlah kekerasan yang berlangsung pada tahun 2004 hingga awal2007.

Tentu saja tersedia berbagai teori mengenai penyebab ledakan kekerasan yang

terjadi di Indonesia, termasuk Poso. Dalam kasus Poso, berbagai teori tersebut pada

kenyataannya berada dalam kompleksitas fakta-fakta yang menjelaskan longgarnya

Populasi (2000) ' NO.

1.

Jumlah lnsiden

Total

206.264.595

1 49.309.365

432.295

Kabupaten/Kota

INDONESIA

Total 14 Provinsi

PER PROVlNSl

Maluku Utara

Kematian

Total

4.270

3.608

60

%

100,O

72,4

02

2.

3.

4.

5.

Total

1 1.160

10.758

2.410

%

100,O

84,5

1,4

1 78

24

190

32

Jakarta (5 Kota]

Kotawaringin Timur

Kota Ambon

Poso

%

100,O

96,4

21,6

1.322

1.229 ------

1.097 ------

655

6.

7.

1 1,8

11,O

9,8

5,9

42

0,6

4,4

0,7

Maluku Tengah

Landak

8. Sambas 428 3,8 16 0,4

2 10.780

632

455

-

9.

10.

1 1.

0,l

5,7

4,l

Pontianak

Halmahera Tengah

Maluku Tenggara

12. Buru 1 49 1,3 15 0,4

13. Bengkayang 1 32 1,2 19 0,4 --

14. Kota Ternate 73 0,7 6 0,l

115

4

425

31 1

168

15.

2,7

0,l

---- 3,8

2,8

1,5

Sanggau

Total 15

Kabupaten-Kota

Lain-lain

523.1 22

556.684

8

6

12

59

9.545

1.615

0,3

0,3

0,2

0,l

0,3

0,5

853

14,5

63 1 -773

147.509

186.922

5

690

3.580

0,3

0,l

0,l

0,l

16,2

83,8

508.676

13.35 1.133

1 92.9 13.462

0,2

6,5

93,5

kohesi sosial dalam formasi sosial masyarakat Poso mutakhir, di tengah berlangsungnya

berbagai kepentingan kuasa, modal, sumberdaya serta buntut dari sesat pikir

pengelolaan kebijakan negara di berbagai aspek. Kelonggaran tersebut bisa jadi

adalah metamorfosa dari rangkaian berbagai kepentingan dun sesat pikir pengelolaan

kebijakan, yang memicu segala macam ketimpangan. Ketimpangan itu pada akhirnya

menajam menjadi konflik kekerasan terbuka, disebabkan oleh politisasi terhadap

identitas kultural berbeda di Poso.

lmajinasi sosial tentang masa depan Poso saat ini seharusnya bergerak

melampaui angan-angan tentang kedamaian di masa lalu. Dalam konteksnya sendiri,

konflik telah mendorong perubahan formasi sosial masyarakat Poso. Konflik,

bagaimanapun, saat ini turut mempengaruhi pola relasi di dalam masyarakat. Hal ini

menyebabkan pembaruan hubur~gan dun pembangunan kontrak sosial baru harus

terjadi.

Di tengah situasi demikian, implikasi kqnflik yang meremukkan tatanan sosial

ekonomi sebelumnya memperhadapkan semua pihak pada pilihan: apakah formasi

sosial yang terbarui setelah konflik, diarahkan untuk tatanan yang lebih baik dengan

bercermin pada kesalahan-kesalahan di masa lalu, atau, formasi sosial terbarui tersebut

mengarah pada kecenderungan yang memperkuat segregasi dengan tidak

menjadikan anomali-anomali di masa lalu sebagai sesuatu yang harus diperbaiki.

Berangkat dari kenyataan tersebut, kegiatan para pihak di Poso pasca konflik, di

satu sisi perlu ditujukan semaksimal mungkin untuk merajut ikatan sosial masyarakat

dengan menyediakan jembatan perdamaian yang memungkinkan ruang dialogis

berfungsi dengan baik, dun di sisi lain ditujukan untuk menata kembali ketimpangan dun

kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi.

TlGA DESAs Dl POSO: Konteks Konflik di Butu, Mali, dan Mada

Butu

Situasi konflik dirasakan oleh penduduk Butu sejak tahun 1998. Pada akhir tahun

1998, Kelurahan Butu menjadi tempat pelarian pengungsi dari kota. Akibatnya,

kelurahan ini didatangi oleh sekelompok orang berpakaian putih yang mengancam

penduduk untuk tidak menampung pengungsi pelarian dari kota. Ancaman dun isu

penyerbuan besar-besaran karena asumsi menyembunyikan pelarian dari pengungsi

menyebabkan penduduk Butu mengungsi ke kebun-kebun. Keadaan ini terjadi

meskipun saat itu telah ditempatkan 50 aparat keamanan (Perintis) dari Polda Sulteng.

Pads saat itu, sejumlah warga muslim dari desa Tero, Waga dun Sino dengan

menggunakan truk menghadang kelompok massa berpakaian putih tersebut untuk

tidak memusnahkan Butu. Hal ini menjadi bagian dari jalinan hubungan kekerabatan

yang sudah terjalin sejak dahulu antara warga Butu dun desa-desa lain yang mayoritas

penduduknya beragama Islam. Namun, arus pengungsian keluar kampung tidak

terhindari.

Pada tahun 2003, beberapa penduduk memberanikan diri untuk kembali ke Butu

bersamaan dengan program pengembalian pengungsi yang dilakukan pemerintah.

Meskipun demikian, gelombang aksi kekerasan masih terus berlangsung di be be rap,^

desa sehingga belum semua penduduk asal Butu kembali. Kehidupan ekonomi mulai

ditata kembali pada tahun 2004. Akan tetapi, penembakan beruntun terhadap warga

9, di lapangan desa pada tahun yang sama menimbulkan ketakutan dun kewaspadaan i ,;

warga Butu terhadap penduduk di sekitar mereka yang mayoritas beragama Islam.

Jalinan kekerabatan yang terjalin sejak dulu dengan desa-desa sekitar Butu dianggap

tidak lagi menjadi jaminan untuk keamanan warga Butu.

Gelombang dun pola konflik kekerasan yang dialami warga mengubah cara

pandang warga Butu berkenaan dengan relasi keagamaan. Sebelum konflik,

silahturahmi antara penduduk Butu dengan desa-desa sekitarnya yang mayoritas muslim

berjalan dengan sangat baik. Setelah konflik, rasa cemas, curiga dun takut terhadap

desa-desa di sekitar Butu menguat. Rasa curiga dun ketakutan ini menyebabkan jalur

transportasi yang semula terdiri dari empat jalur untuk mendistribusikan hasil kebun, tidak

lagi dimanfaatkan. Saat ini hanya jalur transportasi yang melewati Kawa dun Kuwu yang . .

masih memungkinkan dilalui. Jika sebelum konflik penduduk bisa berjalan kaki melalui ke

empat jalur tersebut berkelompok maupun sendiri, saat ini mobilitas penduduk ke luar

kampung sangat tergantung pada ojek motor.

Keadaan ini bukannya tidak disadari oleh penduduk, sebaliknya mereka

berpendapat bahwa selama ini mereka menghidupi seorang tukang ojek setiap

harinya Rp. 250.000 untuk bisa menjalankan aktivitas ekonomi sosial mereka. Setidaknya

terdapat empat tukang ojek asal Butu, akan tetapi setiap kali terjadi peristiwa

kekerasan warga yang masih memberanikan diri untuk keluar sangat tergantung pada

ojek dari luar desa. Salah satu ojek yang selama ini menjadi langganan warga Butu

berasal dari kelurahan Waga dun beragama Islam. Isu bahwa beberapa anggota

masyarakat di desa-desa muslim menjadi bagian dari jaringan Islam tertentu

Semua nama desa dan kelurahan adalah pseudonym

menyebabkan orang luar yang beragama Islam--termasuk tukang ojek--dicurigai

sebagai mata-mata.

Sebelum konflik hingga pada saat konflik awal meluas, hubungan antara

masyarakat Butu dengan desa-desa di sekitarnya relatif baik dun terjaga. Selain karena

hubungan kekerabatan, juga karena jalur distribusi hasil tanam yang melewati desa-

desa tersebut turut berpengaruh dalam membangun kedekatan emosional di antara

mereka. Hal ini sudah berlangsung turun temurun. Keadaan demikian berubah kdrena

kecurigaan masyarakat terhadap desa-desa sekitarnya berkembang seiring dengan

babakan konflik yang semakin merusak dun maraknya insiden pasca konflik kekerasan

terbuka.

Mali

. Desa Mali aalam catatan mengenai konflik Poso disebut sebagai daerah

perbatasan penyerangan terbuka antara kelompok-kelompok yang menamakan

dirinya kelompok Islam dun kelompok Kristen. Peristiwa saling serang secara terbuka

antar komunitas agama ini tidak saja menimbulkan korban jiwa dun hancurnya tatanan

kehidupan masyarakat, tapi secara bertahclp menimbulkan gelombang pengungsian

dengan mempertimbangkan wilayah pengungsian berdasarkan wilayah keagamaan.

Peristiwa penyerangan di bulan Mei - Juli 2001 di Mali misalnya mengakibatkan

terbakarnya rumah-rumah dun menyebabkar, gelombang pengungsian ke kebun-

kebun, hingga ke desa-desa sekitarnya. Karena kondisi dirasakan tidak aman maka

gelombang pengungsi bergerak hingga ke wilayah Tune untuk komunitas Kristen dun di

wilayah Lalupa dun Pana'a untuk komunitas Muslim.

Hingga saat ini perasaan tidak aman karena rasa curiga dun prasangka

terhadap komunitas agama lain dirasakan masih cukup tinggi. Hal ini antara lain

tergambarkan melalui sikap enggan untuk melakukan kontak langsung atau berinteraksi

dengan warga lain yang beragama berbeda, misalnya saling mengunjungi wilayah-

wilayah tertentu yang dianggap sebagai wilayah mayoritas agama tertentu. Warga

Kristen di dusun Ill dun IV enggan untuk sekedar berjalan-jalan di wilayah dusun I dan II

yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Demikian pula sebaliknya. Hal seperti itu

berlangsung pula pada masyarakat di beberapa desa sekitarnya. Mendengar wilayah-

wilayah yang diidentifikasikan "dimiliki" atau "dikuasai" oleh mayoritas agama tertentu,

menimbulkan perasaan tidak aman, rasa curiga dun prasangka tentang kemungkinan-

kemungkinan untuk diserang. Namun, betapapun tingginya tingkat trauma, faktor

ekonomi adalah alasan utama warga Mali untuk kembali ke desa. Oleh karena itu faktor

ekonomi juga yang memungkinkan warga untuk berinteraksi kembali dun menghidupi

situasi yang belum sepenuhnya dianggap kondusif.

Mada

Saat konflik terjadi, dua kali berturut-turut hanya dusun Mada dun Kapa yang

terbakar, tidak demikian dengan dusun Kale. Kenyataan ini dianggap karena komposisi

penduduk di dua dusun tersebut mayoritas beragama Kristen sementara desa-deia

sekitarnya mayoritas beragama Islam. Peristiwa konflik yang paling membuat trauma

penduduk khususnya di dusun Kapa adalah diberondongnya penduduk dengan senjata

api saat sedang tidur, dalam jarak yang sangat dekat oleh sekelompok orang. Peristiwa

inilah menyebabkan sebagian besar warga Kapa memutuskan untuk tidak kembali lagi ' J

dun menetap di pengungsian.

Setidaknya pengungsian terjadi sebanyak tiga kali, yakni akhir 1998, awal 1999

dun 2000-2002. Sebelumnya lokasi pengungsian masih disekitar kebun masing-masing

penduduk. Pada pengungsian kedua hampir semua warga mengungsi di barak yang

sudah dibangun di lapangan desa. Pada pengungsian ke tiga sebagian besar lokasi

pengungsian (terutama warga dari dusun Mada dun Kapa) berada di wilayah Pano,

Lalupa, dun Molali. Tidak demikian dengan warga Kale yang mengungsi di wilayah Poso

dun sebagian besar bertahan di dusun.

Secara geografis, bagi warga Kristen di dusun Mada, merasa terjepit

(menggunakan kata "terkepung") oleh desa-desa yang mayoritas penduduknya

beragama Islam. Hal ini tidak jarang menyebabkan kekhawatiran dun kecurigaan di

kalangan mereka bahwa masih akan terjadi penyerangan, yang terutama ditujukan

kepada warga Kristen. Kenyataan bahwa masih sering terjadi pembunuhan dun

penembakan misterius di kebun, menyebabkan terbengkalainya lahan terjauh yang

diolah warga (+ 1,s km). Rentetan kekerasan tersebut juga menimbulkan kewaspadaan

yang tinggi, termasuk berjaga-jaga dengan sepjata seadanya untuk melindungi rumah

dun lingkungannya apabila terdengar isu penyerangan atau bom. Upaya aparat

keamanan melalui penangkapan DPO dianggap menjadi salah satu upaya positif untuk

menghilangkan kecurigaan tersebut. Karena hingga saat ini warga Kristen di Mada

mengetahui dun yakin bukan warga Muslim di Mada yang melakukan pembakaran

akan tetapi warga muslim dari desa-desa lain. Lazim disebut sebagai "orang Iuar".

Uniknya bagi sebagian besar penduduk, relasi antar agama yang saat ini terjalin

antar dusunlantar warga cenderung "lebih baik" daripada sebelum konflik. Disebutkan

bahwa konflik telah memberikan pelajaran berharga untuk memperkuat hubungan

antar agama. Kenyataan ini ditunjukkan ketika sebagian kecil pengungsi dusun Kapa

yang semuanya beragama Kristen kembali dari pengungsian. Sebelum membangun

pemukimannya, mereka ditampung dun diberi makan oleh penduduk dusun Kale yang

beragama Islam.

Konflik, menurut kepala dusun Kale, membawa hikmah dengan semakin maju

dun diperhatikannya dusun oleh pemerintah melalui bantuan-bantuan, termasuk

pendirian mesjid dan pengembangan pariwisata. Dalam ha1 ini keadaan yang "lebih

baik" dimaksudkan untuk menunjukkan perhatian warga yang lebih terhadap relasi

antar komunitas beda agama dibandingkan sebelum konflik, termasuk sensitifitas

keagamaannya. Dengan kata lain, terdapat makna ganda dari kata keadaan yang .\ \ ,

"lebih baik" tersebut.

Hal yang paling memungkinkan untuk menghilangkan trauma dun rasa curiga

adalah pertemuan-pertemuan melalui jenis-jenis kegiatan olahraga (termasuk dengan

kelurahan-kelurahan tetangga yang beragama Islam), pesta pernikahan dun duka

melalui mosintuwu6. Proses re-integrasi antar masyarakat mulai berlangsung baik, antara

lain terlihat dengan aktivitas ke kebun yang dilakukan bersama-sama, termasuk saran

untuk saling mengungsi ke kampung yang berbeda agama apabila ada isu

penyerangan oleh kelompok-kelompok agama tertentu. Hal ini juga terlihat dari

anggapan sebagian besar penduduk, bahwa meskipun desa-desa dengan mayoritas

agama tertentu melakukan aksi kekerasan, akan tetapi selalu diperjuangkan agar

semua warga di dusun mereka tidak terlibat dan saling menjaga. Meskipun demikian,

prasangku terhadap berbagai peristiwa masa lalu masih menjadi bagian yang

disembunyikan warga dalam istilah yang biasa mereka sebut sebagai "orang Iuar" . Sikap demikian mendorong kewaspadaan dun kecurigaan berlebih yang menggejala,

salah satu akibat dari tidak adanya pengungkapan mengenai pihak yang

bertanggungjawab dibalik sejumlah aksi kekerasan yang berlangsung di wilayah

mereka.

Berdasarkan kondisi ketika konflik dan dampaknya pasca konflik, maka konteks

konflik di tiga desa diatas dapat dirangkum dalam konstelasi sebagai berikut:

Tabel 2. Konteks Konflik di Tiga Desa

Gotong-royong, solidaritas, toleransi dan persatuan

Desa Butu

Posisi ketika konflik 'Diserang' dan mennungsi

Posisi sebelum konflik Desa Kristen dikelilingi desa Islam

Darnpak konflik lsolasi dari desa sekitar

Desa I Posisi sebelum konflik I Posisi ketika konflik I Dampak konflik Mali 1 Desa campuran tidak 1 Medan 'perang' I Segregasi tempat

1 ( tersegregasi I terbuka 1 tinggal berdasarkan I

INTERAKSI EKONOMI DAN BUDAYA MOSlNTUWU SEBAGAI JEMBATAN PERDAMAIAN

Kata rekonsiliasi pernah menanggung stigma dalam sejarah upaya perdamaian

konflik Poso. Tim Rekonsiliasi yang dibentuk Gubernur Sulawesi Tengah dinilai tidak

mampu menjalankan misinya. Alih-alih mendinginkan suasana, tim ini terlibat perang

a1 opini dengan Bupati Poso, sementara sebagian besar warga Poso masih dibakar

dendam (Lasahido et.al, 2003). Oleh sebab itu, rekonsiliasi perlu berjalan tanpa harus

menyebut kata rekonsiliasi itu sendiri. Di ruang interaksi sehari-hari, koridor menuju

rekonsiliasi terbentuk. Berawal dari kebutuhan dasar -makan, pakaian, papan-,

pedagang dun pembeli berlainan agama dan suku diikat dalam interaksi sosial yang

tentunya tidak lagi sama seperti sebelumnya, tapi tidak mungkin terhindari. Pada titik

inilah interaksi ekonomi memiliki makna melampaui nilai ekonomi dun pemenuhan

kebutuhan semata.

Sebagaimana rekonsiliasi atau damai adalah bahasa yang riskan dun tidak

berjiwa pada masyarakat pasca konflik, seringkali memang harus

ditemukan bahasa yang netral, familiar dun berakar kuat pada tradisi. Mosintuwu

menjadi kata kunci. lnteraksi sosial ekonomi di tengah masyarakat pasca konflik tidak

Mada

serta-merta terbentuk jika tidak memiliki unsur perekat yang mampu menjembatani

jurang perbedaan agama dun suku, seperti budaya mosintuwu. Mosintuwu

mengakarkan rasa persatuan, solidaritas dun toleransi pada kenyataan tentang adanya

kebutuhan untuk berbagi ruang hidup di tengah masyarakat yang plural. Peristiwa-

peristiwa penting dalam kehidupan, seperti pernikahan, kelahiran dan kematian

memanggil setiap orang untuk datang menyatakan empati dalam bentuk materil dan

non-materil, terlepas dari segala perbedaan. Budaya ini membesarkan masyarakat Poso

dalam rasa persaudaraan yang kental, ditandai pula oleh ikatan darah yang sudah

melintas perbedaan agama dan suku.

Bagaimana mosintuwu bisa bermakna perdamaian? Mosintuwu mampu

merengkuh hati banyak orang pada kenangan tentang perbedaan yang kehilangan

jarak, tatkala orang Poso bisa saling membantu atau menopang dalam agenda sehari-

Desa campuran dan tersegregasi dalam dusun berdasarkan agama

Dusun Kristen 'diserang' dan dusun Islam tidak

agama Dusun Kristen kosong ditinggal mengungsi

hari. Bisa pada acara perayaan daur hidup, mencari penghidupan, saling bantu dalam

pekerjaan (mesale), dun lain-lain. Orang-orang berbeda identitas akan lebur dalam

semangat rnosintuwu yang sudah menjadi tradisi itu. ltulah mekanisme hidup orang

Poso, jembatan yang mereka bangun sendiri dalam proses yang sangat panjang.

Bahkan ketika arus migrasi besar-besaran di tanah Poso terjadi, mosintuwu berhasil

merengkuh banyak orang. Demikianlah kenapa kata itu menjadi sedemikian bertuah.

Tidak semata semboyan, itu adalah hasil dialog dun negosiasi terhadap kondisi

masyarakat Poso yang sangat plural. Mosintuwu lahir dari rahim kearifan orang Poso

sendiri. Kesadaran yang ditempa dalam semangat zaman yang terus bergerak dinamis,

seiring dengan kian derasnya ragam identitas kvltural yang masuk ke Poso.

Konflik komunal di Poso telah mengkotakkan masyarakat Poso dalam sebutan a,, \. ,

'torang' (kami) dun 'dorang' (mereka). Kenyataan ini menjadi tantangan bagi setiap

fasilitator perdamaian untuk berkreasi dalam mendorong terbentuknya wadah-wadah

: interaksi dun kesempatan-kesempatan pertemuan komunitas lintas agama yang tidak

menempatkan perdamaian hanya sebagai basa-basi. Penggunaan kata mosintuwu,

dalam memfasilitasi proses di desa-desa, dirasakan lebih nyaman dun mudah ditangkap

ketimbang istilah lain yang sudah terlanjur terstigma. Berangkat dari perbedaan konteks

konflik di setiap desa, maka proses fasilitasi untuk mengkonstruksi ruang bertemu di

Mada, Mali dun Butu menemukan titik masuk dun mengalami perjalanan yang

berbeda-beda.

Peran Fasilitator Perdamaian dun Proses Fasilitasi

Berangkat dari konteks konflik yang spesifik di Butu, Mali dan Mada, serta

dampak yang ditimbulkannya pasca konflik, maka profil fasilitator, yaitu: penduduk asli

Poso atau bukan, identitas pribadi (agama, suku, usia, jenis kelamin) dun ketajaman

intuisi dalam memfasilitasi, menjadi unsur penentu dalam mendorong teridentifikasinya

bentuk kegiatan yang bisa mempertemukan dua komunitas beda agama.

Latarbelakang seorang fasilitator perdamaian mempengaruhi proses integrasinya di

tengah masyarakat pasca konflik yang masih memiliki trauma dun kecurigaan tinggi.

Di Butu, yang merupakan desa Kristen dun dikelilingi desa Islam, fasilitator yang

beragama Kristen dun penduduk Poso tidak memerlukan waktu lama untuk diterima

oleh masyarakat korban yang masih terbebani trauma. Di Mada yang dihuni oleh dua

dusun Kristen yang menjadi korban, fasilitator beragama Kristen dun penduduk Poso

tidak terlalu sulit untuk masuk ke tengah komunitas yang rasa curiganya masih sangat

tinggi, meskipun diantara sesama warga desa. Di Mali, seorang fasilitator perempuan

yang sudah berkeluarga, beragama Kristen dun orang asli Poso, secara 'instan'

menyatu dengan warga Kristen. Tantangannya adalah ketika semua fasilitator harus

menjembatani interaksi antara warga Kristiani dengan warga Muslim. Pada titik

kepentingan ini fasilitator tidak bisa bekerja sendiri. Kerjasama dengan warga desa

menjadi mutlak, terutama mereka yang berlainan agama dengan sang fasilitator dun

memiliki motivasi kuat untuk menjadi agen perdamaian. Namun demikian, kemampuan

sang fasilitator untuk membongkar prasangkanya sendiri dun mendekatkan jarak

sosialnya tetap menjadi syarat esensial.

Proses fasilitasi di Butu, Mali dun Mada masuk melalui pintu yang berbeda-beda.

Di Mali, misalnya, figur fasilitator yang seorang ibu mengantarkannya pada pintu masuk

pembentukan kelompok perempuan yang berorientasi pada penguatan ekonomi

rumahtangga. Untuk masuk ke komunitas Muslim, fasilitator Mali bekerjasama dengan

seorang pemuda desa yang beragama Islam dun memiliki motivasi kuat untuk

membangun perdamaian di desanya, sehingga dapat diterima di dua komunitas.

Berkat pendekatan kepada kedua komunitas dun beranjak dari kebutuhan riil

penguatan ekonomi rumahtangga, maka pembentukan kelompok perempuan berhasil

mengorganisir ibu-ibu menjadi 12 kelompok dengan 2 diantaranya terdiri dari anggota

berlainan agama.

Sementara di Butu, kenyataan bahwa sang fasilitator adalah laki-laki dun pernah

tinggal di Butu, membuka pintu masuk bagi fasilitator kepada persoalan para bapak

petani kakao yang menghadapi trauma ke kebun pasca konflik. Tambahan pula

mereka didera kerugian karena kebun yang terbengkalai dun keterbatasan

kemampuan dalam menangani penyakit dun hama kakao. Selain itu, sebagai orang

Poso yang pernah bermukim di wilayah-wilayah yang dikategorikan sebagai desa

Muslim, fasilitator mampu melakukan pendekatan ke petani-petani kakao di desa-desa

Muslim tetangga Butu.

Fasilitator menangkap segera keinginan petani kakao untuk membentuk

kelompok kerja dan mengatasi masalah-masalah teknis di kebun yang saling

berbatasan antara Butu dun desa-desa Muslim lainnya. Pertemuan pertama yang

dijembatani oleh penyuluhan dan praktek budi daya kakao telah berhasil mengundang

petani-petani kakao dari desa-desa tetangga Butu yang mayoritas berpenduduk

Muslim. Pada akhir penyuluhan, para petani bersepakat membentuk 5 kelompok kerja

yang beranggotakan masing-masing 10 KK, termasuk dari desa tetangga yang

kebunnya saling berbatasan.

Desa Mada sedikit berbeda dengan Butu dun Mali. Faktor geografis memisahkan

dusun-dusun Mada yang tersegregasi berdasarkan agama. Kondisi ini menimbulkan

kesulitan tersendiri bagi fasilitator untuk memulai pendekatan berskala desa. Dengan

sendirinya pendekatan harus dilakukan dusun per dusun. Pada saat yang sama program

bantuan dana dari pemerintah masuk melalui mekanisme seleksi proposal yang harus

diajukan oleh seluruh warga desa yang merasa membutuhkan. Selain itu, di Mada pun

sudah ada lembaga simpan pinjam yang difasilitasi oleh program kerjasama pemerintah

dun Bank Dunia.

Titik masuk kegiatan di Mada ditemukan pada kenyataan bahwa penerima

manfaat dari semua program yang sedang dun sudah berjalan ternyata bukan

kelompok warga yang justeru paling membutuhkannya. Terinspirasi oleh Grameen Bank

di Bangladesh, kenyataan tersebut membangkitkan ide untuk mendorong terbentuknya a.

\ ,

kelembagaan simpan pinjam yang dianggotai oleh perempuan dari kelompok

masyarakat terbawah. Dengan segala kesulitannya yang spesifik, proses fasilitasi di

Mada memang tidak bisa sepenuhnya partisipatif. Dirasa perlu untuk 'menyuntikkan'

ide tentang kelompok simpan pinjam ini sebagai elemen perekat di komunitas yang

terbelah.

Rangkuman fasilitasi proses di ke-tiga desa terkait konteks konfliknya

digambarkan pada tabel berikut:

Tabel 3. Fasilitasi di Tiga Desa Pasca Konflik

Desa Butu

Mali

Mada

Profil Fasilitator Poso asli, Kristen, laki- laki

Poso asli, Kristen, perempuan

Penduduk Poso, Kristen, laki-laki

Konteks konflik Terisolasi (dikelilingi desa Islam). Warga Kristen 'korban' di konflik jilid terakhir.

Tersegregasi akibat konflik terbuka Warga Kristen 'korban' di konflik jilid terakhir. Tersegregasi karena faktor geografis dan konflik antar dusun beda agama Dusun Islam tidak diserang dari luar dan dusun Kristen 'korban' di konflik jilid terakhir.

Titik masuk fasilitasi Pembentukan kelompok kerja bapak- bapak petani cokelat lintas desa, lintas agama Pembentukan kelompok usaha ibu-ibu lintas agama

Pembentukan kelompok dana bergulir ibu-ibu per dusun (tidak lintas agama)

Kelompok Simpan Pinjam berbasis Mosintuwu

Terinspirasi oleh Muhamad Yunus dengan Grameen Bank-nya(Yunus 8, Jonis,

2007), sekaligus beradaptasi pada mosintuwu sebagai kenyataan lokal, sebuah ide

untuk pemberdayaan sosial ekonomi yang sekaligus menciptakan jembatan

perdamaian, sedang berproses menemukan bentuknya di Poso. Meletakkan mosintuwu

sebagai landasan, diharapkan dapat membangun spirit saling bantu untuk menjadi

lebih kuat, karena masyarakat Poso sudah terbiasa saling menopang. Persoalannya

bagaimana spirit itu diberi energi lagi setelah sempat terkoyak oleh konflik panjang.

Salah satu jalannya adalah kembali mengangkat mosintuwu ke permukaan narasi

tentang konflik Poso. Yang dengannya diharapkan ada pemberian makna mosintuwu

secara sengaja pada segala aktifitas pemulihan dun pemberdayaan masyarakat di

Poso. ( 7 Dengan spirit mosintuwu, kelompok dana bergulir tidak hanya dimaknai sekedar

sebagai kelompok yang dibentuk untuk menampung dana bantuan tanpa kewajiban

apa-apa. Kelompok justeru dibentuk dengan 'kewajiban' untuk saling bantu dun saling

kontrol. Lima orang perempuan yang memiliki usaha kecil atau akan memulai usaha

dun memerlukan pinjaman modal diminta membentuk kelompok. Pinjaman tidak

diterima sekaligus oleh lima orang dalam kelompok, tetapi diawali dengan dua orang

sebagai penerima dana pertama. Ketiga anggota lainnya baru akan menerima

pinjaman dalam jumlah yang sama dengan dua temannya terdahulu hanya jika kedua

temannya mampu mengangsur dengan rajin dun tepat waktu. Dengan demikian, jika

ada kesulitan yang menyebabkan terhambatnya pengangsuran atau musibah

menimpa salah satu diantara anggota kelompok, maka persoalan harus dipecahkan

bersama. Dengan tujuan ganda ini, maka bunga pinjaman ditetapkan hanya 2% dari

total pinjaman (bukan berdasarkan jumlah angsuran), sekedar untuk biaya operasional .,I pengurus.

Mekanisme yang sama juga diterapkan pada sistem simpan pinjam berbasis

kelompok usaha bersama. Pencairan dana diberikan kepada satu kelompok,

sementara kelompok lainnya berfungsi sebagai alat kontrol terhadap kelancaran

angsuran kelompok penerima pertama. Bila ada kemacetan karena kesulitan usaha

atau musibah, maka kelompok lain diharapkan membantu kelompok penerima untuk

memecahkan masalahnya.

Di Butu, Mali dun Mada, proses pembentukan kelompok tidak pernah diawali

oleh informasi tentang adanya dana bantuan. Pembentukan kelompok berjalan secara

natural sebagai cetusan kebutuhan masyarakat, terutama di Butu dun Mali. Oleh sebab

itu, semangat mosinfuwu menjadi rona utama yang sudah melandasinya sejak awal.

Meskipun di Mali kebanyakan ibu-ibu masih merasa lebih nyaman memilih teman

seagama sebagai teman kelompok, tetapi pada perjalanannya, pertemuan dun kerja

bersama yang selalu melibatkan seluruh kelompok tanpa pandang bulu mampu

menciptakan kondisi yang 'memaksa' ibu-ibu beda agama saling membantu. Saat ini,

ibu-ibu beragama Kristen tidak sungkan lagi bertamu dun langsung masuk ke dapur ibu-

ibu muslim. Sebaliknya juga demikian, bahkan ibu-ibu Muslim tidak lagi sungkan Gntuk

masuk dun mengamati bagian dalam gereja saat bahu membahu menyiapkan kursi

untuk pertemuan kelompok. Bapak-bapak dari dusun Kristen pun mulai pergi

memancing bersama dengan tetangga dusun mereka yang muslim di wilayah pantai.

Apabila di Butu dun Mali pembentukan kelompok diawali oleh kegiatan yang

diusulkan oleh masyarakat, sehingga tidak langsung berbentuk kelompok simpan

pinjam, maka di Mada pembentukan kelompok langsung berkaitan dengan kegiatan

simpan pinjam. Berangkat dari kenyataan bahwa sebagian besar perempuan di Mada

punya usaha sebagai penjual sayur hasil kebun sendiri atau mengumpulkan dari petani

lain atau pembuat kue, maka basis usaha memang bersifat individual, bukan usaha

kelompok. Namun demikian, ruh solidaritas atau mosinfuwu menjadi kesadaran yang

melekat dari keputusan berkelompok. Terbukti dari satu peristiwa ketika salah satu

anggota kelompok di dusun Kale mengalami musibah, maka sang ibu yang seharusnya

mendapat giliran terakhir untuk perninjaman dana langsung dimajukan gilirannya agar

pencairannya disegera kan.

Diawali di dusun Kale, lalu disusul dusun Kapa dun Mada, satu kelompok pionir

terbentuk di masing-masing dusun. Ketika dilakukan pencairan pinjaman pertama kali,

kelompok dari dusun Kapa (Kristen) diundang ke dusun Kale (Islam) dun mereka saling

bertukar pikiran dalam menentukan mekanisme pergiliran pinjaman, jangka waktu

pengangsuran, dun seterusnya. Kesempatan tersebut merupakan peristiwa langka

semenjak konflik dimana sekelompok ibu-ibu dari dua dusun beda agama saling

berdiskusi dun bersilaturahmi.

Kelompok simpan pinjam di Mada pada awalnya belum diikuti oleh kegiatan

menabung. Pada perjalanannya anggota mulai merasakan pentingnya memiliki

tabungan, sehingga bahkan anggota yang belum menerima pinjaman modal pun

sudah menabung duluan. Demikian bersemangatnya warga Mada menyambut ide

simpan pinjam ini, sehingga pembentukan kelompok terus berjalan. Bukan saja karena

bunga yang rendah, angsuran yang bisa diatur sendiri besaran dun jangka waktunya,

tetapi juga karena ide berkelompok ini merupakan perwujudan nyata dari mosinfuwu

sebagai budaya yang sudah begitu dikenal dun dipahami. Bahkan berita tentang

sistem simpan pinjam ini sampai ke warga Mada di pengungsian dun satu keluarga

telah kembali ke Mada karena merasa memiliki harapan baru di desanya, baik dari sisi

ekonomi, maupun keamanan yang lebih terjamin. Sampai dengan Juli 2007 telah

terbentuk 18 kelompok yang dianggotai 90 perempuan. Sistem simpan pinjam di Mada

digambarkan sebagi berikut:

Pinjaman Ta bungan

Kelompok Individu Individu Kelompok (Fungsi Sosial)

Gambar 1. Sistem Simpan Pinjam berbasis Usaha lndividu

Berangkat dari titik masuk pembentukan kelompok usaha ihu-ibu, ide perguliran

pinjaman untuk modal dun tabungan di Mali baru diaplikasikan setelah 12 kelompok

berupaya mencari modal sendiri melalui berbagai cara, mulai dari berjualan dodol

serta mie -keterampilan baru yang mereka dapatkan dari pelatihan yang merupakan

tindaklanjut pembentukan kelompok usaha-sampai upaya mengajukan proposal ke

program hibah UNDP. proses' ini berjalan sedemikian rupa sehingga semua kelompok

usaha sedari awal telah berorientasi mandiri. Dengan sendirinya pinjaman modal

@? bergulir yang datang belakangan menjadi pelengkap dari usaha mereka. Sampai t2

dengan pertengahan Agustus 2007 telah terbentuk 26 kelompok yang memanfaatkan

modal bergulir ini sebagai modal usaha kelompok. Skema perguliran dana di Mali

adalah sebagai berikut:

Pinjaman I

Tabungan I

Individu Kelompok Kelompo k Individu (Fungsi Sosial dan

I E konomi)

Gambar 2. Sistem Simpan Pinjam berbasis Usaha lndividu

Sementara itu di Butu, proses perguliran dana melalui kelompok mengalami

perjalanan yang hampir sama dengan di Mali. Pada awalnya ada keengganan dari

warga untuk menyambut ide pinjaman modal berkelompok tersebut karena

pengalaman kegagalan dari program-program serupa yang masuk ke desa mereka.

Lagi-lagi dengan menyodorkan spirit rnosintuwu, tawaran dana bergulir tidak lagi

berkonotasi penyalahgunaan dun korupsi. Mereka meraba ada yang berbeda dari misi

kelompok simpan pinjam ini dun karenanya, kelompok simpan pinjam segera mewujud

di Butu.

Berdasarkan pengalaman di Mada, Mali-dun Butu, pembentukan kelompok dun

sistem simpan pinjam telah bergulir melalui dua trek yang paralel, yaitu: 1) dari kelompok

berbasis usaha individu ke kelompok usaha bersama, seperti di Mada; 2) dari kelompok

usaha bersama ke pengembangan usaha individu (lihat Gambar 3). Di Mada, proses

yang memilih trek individu diharapkan mengantarkan para anggota kelompok untuk

mulai berpikir membentuk kelompok usaha bersama. Di Mali dun Butu, trek kelompok

yang diikat oleh usaha atau kerja bersama diupayakan juga membuka peluang bagi

pengembangan usaha individu atau per rumahtangga.

Kedua trek ini mengarah ke satu tujuan, yaitu: rakyat sejahtera, dimana

kesejahteraan bermakna penuh, tidak hanya lahir tapi juga batin. Rakyat dusun Kapa

bahkan mendefinisikan kesejahteraan sebagai -salah satunya- adanya kedamaian.

Tujuan ini menjadi 'label' berjiwa yang memayungi seluruh kelompok simpan pinjam di

tiga desa dengan nama sistem simpan pinjam Selaras atau Selangkah menuju Rakyat

Sejahtera. Elemen dun mekanisme yang serupa di kedua tipe kelompok simpan pinjam

ini, seperti: jumlah anggota per kelompok, pergiliran penerimaan pinjaman, besar

angsuran, jangka waktu pinjaman, diharapkan dapat secara induktif membangun

sebuah sistem keuangan mikro yang dioperasionalisasi oleh kelembagaan yang

berbadan hukum, seperti: Koperasi (lihat Gambar 4).

Gambar 3. Proses Evolusi Modal dan Usaha

Gambar 4. Proses Evolusi Kelembagaan

P~lihan koperasi untuk mewadahi sistem Selaras, sementara ini dinilai sebagai

pilihan aman dari segi hukum dun legitimasi sosial. Transformasi kelembagaan menjadi

BPR (Bank Perkreditan Rakyat), misalnya, akan 'menundukkan' sistem Selaras pada

aturan-aturan perbankan yang tidak selalu ramah pada modal kecil. Koperasi justeru

berangkat dari modal yang tersedia dun mampu membuka peluang setara bagi semua

anggota kelompok untuk memiliki andil. Dengan sendirinya legitimasi sosial akan

dipenuhi, dun pada saat yang sama koperasi memiliki legalitas sebagai badan hukum.

KESIMPULAN

Dalam konteks masyarakat pasca konflik yang kehidupannya terpuruk di titik nol,

kebutuhan untuk bangkit seringkali dimaknai semata-mata sebagai tanda bagi

diperlukannya bantuan materil untuk kebangkitan ekonomi. Tanpa menafikan

kebenaran persepsi tersebut, kebutuhan akan rasa aman dun meyakini damai akan

datang adalah bagian terpenting dari makna kebangkitan itu sendiri. Aktivitas ekonomi

dun pertalian sosial tidak akan mungkin terjalin dun bernafas kembali tanpa terciptanya

'hidup yang normal'.

Hidup yang normal berjalan ketika semua kebutuhan dasar dapat dipenuhi

dengan cara yang normal pula. Adalah normal di Poso ketika pedagang Jawa yang

Islam leluasa berjualan kangkung bagi kebutuhan pakan ternak babi orang Pamona

yang Kristen. Pada titik inilah rekonsiliasi melalui koridor agenda sehari-hari menelusup

tanpa suara. Adalah normal ketika rnosinfuwu menjadi petanda bagi bangkitnya rasa

solidantas diantara sejumlah perbedaan. Maka kedua kenormalan ini menjadi 'formula'

perdamaian ketika masyarakat Poso bisa saling bantu dun menopang hidup melalui

mekanisme simpan pinjam dalam kelompok tanpa memerdulikan lagi jurang

perbedaan diantara mereka.

Lembaga keuangan mikro bukan semata-mata sistem keuangan atau alat

ekonomi. Kelembagaan yang berisi orang-orang dengan sejumlah pengalaman hidup

yang dibagi bersama mampu melampaui nilai materil dari sebuah lembaga keuangan

mikro yang disebut sebagai kelompok simpan pinjam. Tersambungkannya kembali rasa

kekeluargaan dan persahabatan menjadikan hidup yang sekedar cukup makan,

pangan dan papan menjadi hidup yang normal seusai korrflik.

Ucapan terimakasih:

Tulisan ini rnendeskripsikan proses pernberdayaan rnasyarakat yang dilaksanakan oleh

Sajogyo Institute (SAINSJ bersarna rnasyarakat di tujuh desa di Poso sepanjang tahun

2007 ini. Ucapan terirnakasih karni sarnpaikan kepada seluruh Tim SAlNS dan rnasyarakat

di poso yang telah bekerja bersarna untuk rnenciptakan perdarnaian di tanah POSO,

sehingga rnernungkinkan untuk ditulis dan dirnaknai lebih luas. Hanya yang tertulis yang

tertinggal.

DAFTAR PUSTAKA

Varshney, Ashutos, et.al. 2004. Pola kekerasan kolektif di Indonesia (1990-2003). LINSFIR. Jakarta

Lasahido, Tahmidy. 2003. Suara dari Poso: Kerusuhan, konflik dun resolusi. YAPPIKA. 1 1 Jakarta

Yunus, Muhamad dun Alan Jonis. 2007. Bank Kaum Miskin. Marjin Kiri. Jakarta