legalitas hukum atas label halal luar negeri dalam...
TRANSCRIPT
LEGALITAS HUKUM ATAS LABEL HALAL LUAR NEGERI
DALAM PRODUK PANGAN IMPOR
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
MUSYAROFAH
11140460000108
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
v
ABSTRAK
Musyarofah, NIM. 11140460000108, “LEGALITAS HUKUM ATAS
LABEL HALAL LUAR NEGERI DALAM PRODUK PANGAN IMPOR”,
Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Indonesia memiliki penduduk yang bermayoritas muslim, keterangan
tentang produk halal menjadi sangat penting dan justru terdapat adanya
perlindungan hukum bagi masyarakat agar terhindar dari pangan yang berbahaya
atau tidak halal. Saat ini negara Indonesia merupakan salah satu negara yang
terlibat dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), maka dari itu semua produk
dalam jenis apapun bebas masuk ke Indonesia, termasuk produk pangan. Akan
tetapi, Indonesia memiliki ketentuan yang ketat terkait produk pangan, yaitu
mewajibkan bagi pelaku usaha yang ingin memasukkan produknya, berdedar, dan
diberdangkan untuk memiliki sertifikat halal. Sebagaimana telah ditegaskan dalam
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia
wajib bersertifikat halal. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui berbagai
pengaturan mengenai sertifikasi halal bagi pelaku usaha luar negeri terhadap
produk pangan impor di Indonesia dan untuk untuk mengetahui perlindungan
hukum bagi konsumen terhadap produk tersebut.
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian normatif dengan pendekatan
undang-undang (statue aproach), teori, dokumen-dokumen. Penelitian ini
menggunakan tiga bahan hukum, yaitu bahan primer, sekunder, dan tertier.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada berbagai pengaturan tentang
sertifikasi dan pelabelan halal pada produk pangan, hal ini terjadi sebelum
lahirnya Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal,
yaitu terdiri dari Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, Undang-
Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang
36 tahun 2009 tentang Kesehatan, dan pengaturan lainnya yang berada di bawah
undang-undang. Penelitian ini pula menunjukan perlindungan hukum bagi
konsumen apabila dirugikan oleh pelaku usaha yang tidak mentaati ketentuan
sesuai peraturan perundang-undangan.
Kata Kunci : Produk Pangan Impor, Sertiikat Halal, Label Halal, JPH
Pembimbing : Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H.
Daftar Pustaka : Dari tahun 1969 sampai 2019
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb…
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta
alam, berkat nikmat, anugerah, rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “LEGALITAS HUKUM ATAS LABEL
HALAL LUAR NEGERI DALAM PRODUK PANGAN IMPOR”.
Shalawat serta salam, semoga tetap dan akan terus tercurahkan untuk Nabi
Muhammad SAW, yang telah memimpin umat Islam menuju jalan yang diridhoi
Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik berkat doa,
dukungan, bimbingan, semangat, dan bantuan dari berbagai pihakk, sehingga
dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasi yang amat besar kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Para Wakil
Dekan.
2. A.M. Hasan Ali, M.A., selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah, dan Dr. Abdurrauf, M.A., selaku Sekretaris Program Studi
Hukum Ekonomi Syariah UIN Syarifa Hidayatullah Jakarta.
3. Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H., selaku Dosen pembimbing yang
telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabaran
dalam membimbing, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, khususnya dosen Program Studi Hukum Ekonomi Syariah yang
telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga
vii
Allah SWT senantiasa membalas semua jasa-jasa dan serta menjadikan
semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk beliau semua.
5. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum,
dan Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan fasilitas yang memadai
untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
6. Kedua orang tua tercinta, Bapak Nurjaya dan Ibu Satirah, yang selalu tulus
memberikan semangat, dorongan moriil, materiil, serta doa yang selalu
dipanjatkan agar diberikan kemudahan serta kelancaran dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Kakak-kakak tersayang, Nurhayati dan Ifah Kholifah, juga kakak-kakak
ipar penulis, Nana Rusdiana dan Dasep Ikhsan, yang selalu memberikan
dan arahan, dorongan serta motivasi penulis unutk menyelesaikan skripsi
ini.
8. Sahabat-sahabat tercinta, Geng Princess, Nabilla Yudia Putri, Ulfatun
Mardiyah, Iffah Karimah, Venny Andrianingtyas, Ines Nur Afifah, dan
Yuanita Nindyas, yang sudah menemani penulis sejak masuk perkuliahan
hingga saat ini, serta memberikan semangat kepada penulis selama
mengerjakan skripsi ini.
9. Teman sekaligus kakak bagi penulis, Evi Eriyani, S.Pd, selaku teman
tinggal bersama selama di kotsan, yang telah bersedia meluangkan waktu
unutk menemani penulis, memberikan dorongan dan semangat dalam
mengerjakan skripsi ini.
10. Teman-teman dan sahabat penulis pula, Indri Syahfitri, Muhammad
Syukron Amin, Ismiyatul Arifiah, Eti Asyaroh, yang tidak ada hentinya
untuk memberikan motivasi, dorongan serta mendengarkan keluh kesah
penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
11. Teman-teman Prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta angkatan 2014, khususnya HES C (Native C), yang telah
mendukung, berbagi ilmu, dan memberikan semangat penulis sejak masuk
perkuliahan hingga saat ini.
viii
12. Teman-teman KKN 110 (ASSOFIN), yang telah memberikan kenangan,
kebersamaan, dan pengalaman yang sangat berkesan.
13. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak
membantu dan memberi masukan dan inspirasi bagi penulis, suatu
kebahaian telah dipertemukan dan diperkenalkan dengan kalian semua.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada
semua pihak atas seluruh bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada
penulis dalam menyusun skkripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum
Jakarta, September 2019
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN. ................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ....................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................... 8
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................................ 9
E. Teknik Pengolahan dan Metode Penelitian ................................................ 10
F. Sistematika Penulisan ................................................................................. 13
BAB II KERANGKA KONSEP DAN KAJIAN TERITIS
A. Kerangka Konseptual ............................................................................... 15
1. Legalitas Hukum ................................................................................ 15
2. Label Halal ......................................................................................... 15
3. Produk Pangan Impor ......................................................................... 18
4. Legalitas Hukum Label Halal Pada Produk Pangan Impor ................ 19
B. Kerangka Teoritis ..................................................................................... 19
1. Perlindungan Hukum ......................................................................... 19
2. Jenis Perlindungan Hukum ................................................................ 21
3. Perlindungan Konsumen .................................................................... 23
x
4. Kepastian Hukum ............................................................................... 26
5. Kriteria Halal dalam Islam ................................................................. 28
BAB III PROSEDUR PERMOHONAN PENGAJUAN SERTIFIKASI
HALAL
A. Tahap Pengajuan Sertifikasi Halal ............................................................ 35
B. Tahap Pengajuan Sertifikasi Halal Produk Impor .................................... 42
BAB IV LEGALITAS HUKUM ATAS LABEL HALAL LUAR NEGERI
A. Sebelum Mandatory atau Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal ............................................. 44
B. Setelah Mandatory atau Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal .............................................. 46
C. Aspek Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Produk Pangan Impor ..... 53
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 61
B. Saran ......................................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 64
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan perekonomian di Indonesia saat ini telah melahirkan
berbagai industri baru yang mengahasilkan produk-produk konsumsi, baik
yang diproduksi oleh perusahaan domestik maupun perusahaan asing.
Produk-produk yang beredar di Indonesia tidak sepenuhnya berasal dari
negara Indonesia sendiri. Sejak Januari 2016, Indonesia merupakan salah satu
negara yang terlibat dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Dalam
kesepakatan MEA, negara ASEAN akan membebaskan free flow1 dalam
bidang barang, jasa, investasi, tenaga kerja, dan modal. Oleh karena itu,
berangkat dari kesamaan sesama negara berkembang maka para pemimpin
Negara anggota MEA menyepakati hal-hal tersebut, segala sesuatu
dibebaskan. Sebagaimana dengan ditandatanganinya Deklarasi Cebu2 dari
kesepakatan konsesus bahwa ASEAN dijadikan sebagai daerah perdagangan
bebas yang meliputi seluruh komponen aktivitas ekonomi. Mulai dari barang,
tenaga kerja (terampil), investasi, modal, sampai jasa.3 Free flow atau arus
bebas merupakan salah satu elemen utama MEA Blueprint dalam
mewujudkan MEA dengan kekuatan pasar tunggal dan berbasis produksi.
Arus bebas dalam MEA terdiri dari dari arus bebas barang, arus bebas jasa,
arus bebas investasi, arus bebas modal dan arus bebas tenaga kerja terampil.
Hal tersebut, bertujuan meningkatkan perekonomian di kawasan ASEAN.4
1 Arus bebas yang merupapkan salah satu tujuan dalam implementasi pasar tunggal dan
berbasis produksi ASEAN yang diharapkan dapat meningkatkan stabilitas perekonomian di
kawasan ASEAN
2 Hasil dari konsensus dari Konferensi Tingkat Tinggi antar negara ASEAN. Dengan
ditandatangani deklatasi Cebu maka keputusan konsesnsus dari tahun ke tahun menjadi satu
langkah nyata untuk menjadikan ASEAN sebagai daerah perdagangan bebas yang meliputi seluruh
komponen aktivitas ekonomi
3https://www.cermati.com/artikel/amp/masyarrakat-ekonomi-asean-mea-inilah-yang-perlu-
diketahui.html diakses pada tanggal 29 September 2018 Pukul 09:19 WIB
4 http://direktori-bisnis.com/10-negara-anggota-mea.html. Diakses pada tanggal 29
September 2018 pukul 09:36 WIB.
2
Pada masa MEA semua produk dalam jenis apapun bebas masuk ke
Indonesia, termasuk produk makanan. Produk makanan impor dari berbagai
negara ASEAN akan dengan bebas masuk ke Indonesia tanpa adanya aturan
dari negara asalnya yang mengharuskan untuk memiliki sertifikat halal.
Sementara di Indonesia sendiri dalam Pasal 8 ayatu 1 huruf h Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentnag Perlindungan Konsumen, menyatakan
bahwa pelaku usaha harus mencantmkan pernyataan halal dalam produknya.5
Sebagaimana pengaturan tentang kewajiban memiliki sertifikat halal terdapat
dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal, menyatakan bahwa produk yang masuk, beredar, dan
diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.6
Pada dasarnya, pangan halal berarti pangan yang tidak mengandung
unsur atau bahan haram atau dilarang untuk dikonsumsi oleh umat muslim,
baik menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan dan bahan penolong
lainnya. Kemudian diproses sesuai ketentuan hukum islam dengan cara yang
baik.7 Kehalalan suatu produk menjadi kebutuhan wajib bagi setiap
konsumen, terutama konsumen muslim. Baik itu produk berupa makanan,
obat-obatan maupun barang-barang konsumsi lainnya. Seiring besarnya
kuantitas konsumen muslim di Indonesia yang jumlahnya mencapai 204,8
juta jiwa penduduk Indonesia, dengan sendirinya pasar Indonesia menjadi
pasar konsumen muslim yang sangat besar. Oleh karena itu, jaminan akan
produk halal menjadi suatu hal yang penting untuk mendapatkan perhatian
dari negara.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Maaidah ayat 88:
لو حلال طيباوكلواما رزقكم ال
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezekikan kepadamu”(Q.S. Al-Maaidah:88)
5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
7 INFOPOM 18 Nomor 1 Januari-Februari 2017
3
Dari ayat di atas bahwasannya Allah memerintahkan kepada umat Islam
untuk mengkonsumsi makanan yang halal merupakan suatu kewajiban bagi
umat Islam.
Namun demikian, pada masa akhir-akhir ini yang disebut dengan era
globalisasi, penetapan kehalalan suatu produk pangan tidak sederhana.
Penyebabnya berbagai makanan itu telah diperlakukan sedemikian rupa
sehingga bahan-bahan mentah dan campurannya pun sulit diklarifikasi.
Misalnya, membandingkannya dengan masa sebelum teknologi berkembang
pesat seperti sekarang. Berdasarkan hal di atas, diperlukan adanya suatu
jaminan dan kepastian akan kehalalan produk-produk pangan yang
dikonsumsi. Khususnya oleh umat Islam yang merupakan bagian terbesar
penduduk Indonesia. Dalam hal ini digarisbawahi bahwa lebih dari 89 persen
penduduk Indonesia adalah muslim.8
Produk makanan yang beredar di Indonesia sangat penting memiliki
nama produk dan label halal dari Majelis Ulama Indonesia, sebab konsumen
akan memahami bagaimana memilih produk berlabel halal yang benar-benar
terjamin kehalalannya. Sehingga pada akhirnya konsumen muslim lebih
memilih produk yang sudah berlabel halal resmi dibanding yang tidak ada
labelnya dan produsen yang telah memiliki sertifikat halal akan segera
menempel logo halal pada produksinya, agar konsumen yakin bahwa
makanan tersebut telah terjamin kehalalannya.9
Konsumsi terhadap produk halal menurut keyakinan agama (Islam) dan
atau demi kualitas hidup dan kehidupan, merupakan hak warga negara yang
dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.10
Kemudian mengkonsumi
produk halal itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.11
8 Mardiyono, “Peningkatan Mawas Diri Konsumen Menggunakan Label Halal”, Jurnal
Cakrawala Hukum, Vol 19, No.1 Juni 2014, h..60
9 Umdah auliya dan Iswantoro, “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Produk
Makanan yang Tidak Berlabel Halal di Daerah Istimewa Jakarta”, Jurnal Sumremasi Hukum, Vol
5, No. 2 2016, h. 226.
10 Amirsyah Tambunan, “Hak Konsumen Dalam Perspektif UU No.8 Tahun 1999”, Jurnal
halal, No.101 Th. XVI Tahun 2013, Jakarta: LPPOM MUI. h.16.
11 Anton Apriyantono, “LPPOM MUI Harus Diperkuat”, Jurnal Halal, No.99 Th. XVI
Tahun 2013, Jakarta: LPPOM MUI, h.48.
4
Di Indonesia kedudukan Majelis Ulama Indonesia terhadap produk
halal adalah sentral dan sangat penting, karena keberadaan MUI di tahan air
diposisikan sebagai induk organisasi keislaman. MUI juga mendirikan suatu
lembaga teknis yaitu Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan
Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). LPPOM MUI adalah
lembaga yang bertugas untuk meneliti, mengkaji, menganalisis dan
memutuskan apakah produk-produk baik pangan dan turunannya, obat-obatan
dan kosmetika aman dikonsumsi baik dari sisi kesehatan dan dari sisi agama
Islam (yakni halal dan baik untuk dikonsumsi bagi umat Islam) khususnya di
wilayah Indonesia, memberikan rekomendasi, merumuskan ketentuan dan
bimbingan kepada masyarakat.12
LPPOM MUI dapat mengeluarkan bukti
tertulis untuk menyatakan bahwa suatu produk itu halal yang dikeluarkan
dalam bentuk Sertifikat Halal yang ditandatangani oleh Pimpinan Lembaga
Teknis (Direktur LPPOM MUI).
Label halal yang terdapat pada kemasan produk, akan mempermudah
untuk mengidentifikasi suatu produk. Di Indonesia penggunaan label halal
sangatlah mudah ditemukan, pada produk makanan umumnya. Suatu produk
yang tidak jelas bahan baku dan pengolahannya dapat saja ditempeli tulisan
halal dengan tulisan Arab, maka seolah-olah produk tersebut telah halal
dikonsumsi. Padahal penentuan label halal pada suatu produk, tidak bisa
hanya asal tempel, harus dilakukan berdasarkan ketentuan-ketetuan syariat
Islam yang melibatkan pakar dari berbagai disiplin ilmu, baik agama maupun
ilmu-ilmu lain yang mendukung hal tersebut.
Adapun untuk memperoleh label halal tidak mudah, harus mengikuti
peraturannya sesuai dengan aturan yang berlaku di Negara Indonesia.
Mekanisme permhonan sertifikat halal menurut Undang-Undang Jaminan
Produk Halal.
Undang-undang ini menegaskan, permohonan sertifkat halal diajukan
oleh Pelaku Usaha secara tertulis kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH
12
Mashudi, Kontruksi Hukum & Respons Masyarakat Terhadap Sertifikasi Produk Halal,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 46.
5
menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengajuan
kehalalan Produk. Adapun pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk
dilakukan oleh Auditor Halal di lokasi usaha pada saat proses produksi.
Sebgaimana ditegaskan dalam Pasal 31 ayat 3 Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2014 bahwa dalam hal pemeriksaan produk sebagaimana dimaksud
terdapat bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di
laboratorium.
Selanjutnya, LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian
kehalalan produk kepada BPJPH untuk disampaikan kepada Majelis Ulama
Indonesia (MUI) guna mendapatkan penetapan kehalalan produk.
MUI akan menggelar Sidang Fatwa Halal untuk menetapkan kehalalan
produk paling lama 30 (tiga pulu) hari kerja sejak diterimanya hasil
pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari BPJPH itu. Keputusan
Penetapan Halal Produk akan disampaikan MUI kepada BPJPH untuk
menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal. “Dalam hal Sidang Fatwa Halal
menyatakan produk tidak halal, BPJPH mengembalikan permohonan
Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha disertai dengan alasan,” bunyi pasal 34
ayat (2) UU JPH. Sementara yang dinyatakan halal oleh Sidang Fatwa Halal
MUI akan menjadi dasar BPJPH untuk menerbitkan Sertifikat Halal paling
lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan produk diterima
dari MUI.
Menurut Undang-Undang ini, Pelaku Usaha yang telah memperoleh
Sertifikat Halal wajib mencantukam Label Halal pada: a. Kemasan produk; b.
Bagian tertentu dari Produk; dan/atau tempat tertentu pada Produk.
Sebagaimana tertulis pada Pasal 39 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
bahwa Pencantuman lael halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak
mudah dihapus, dilepas, dan dirusak. Sertifikat Halal berlaku selama 4
(empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, dan wajib diperpanjang oleh
Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3
(tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berlaku.13
Namun
13
https://kominfo.go.id/content/detail/4240/uu-no-332014-pemerintah-harus-bentuk-badan-
penyelenggara-jaminan-produk-halal/0/berita diakses pada 14 Oktober 2018 pukul 12:23 WIB
6
bagaimana dengan produk yang telah memiliki label halal yang berasal dari
luar negeri atau produk impor?
Di era globalisasi, aktivitas perdagangan internasional berupa ekspor
dan impor barang dan jasa antar negara sudah tidak bisa dipungkiri lagi. Sejak
diberlakukannya pasar bebas, barang dan jasa dari luar negeri beredar secara
bebas di pasar Indonesia dan sebagai konsekuensinya produk-produk impor
akan banyak dijumpai di Indonesia. Bahkan ada beberapa produk yang tidak
memiliki label halal dan ada juga berlabel halal tetapi bukan dari lembaga
islam yang berwenang di Indonesia, melainkan label halal dari negara
pengimpor. Di sini jelas akan menjadi kekhawatiran bagi konsumen
Indonesia, karena label halal merupakan bagian yang sangat penting. Serta
legalitas hukum terhadap label halal dalam produk impor juga perlu adanya
kejelasan. Sehingga tidak ada lagi kerugian yang dialami oleh konsumen.
Untuk itulah diperlukan adanya peraturan dan pengaturan yang jelas, yang
menjamin kehalalan sehingga pihak konsumen baik masyarakat muslim dan
non muslim (masyarakat luas) mendapatkan kepastian hukum terhadap
produk makanan dan barang yang akan di konsumsi.
Indonesia merupakan salah satu negara yang sudah terlibat dalam
aktivitas ekspor maupun impor dengan negara lain. Untuk kegiatan impor
Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1990an. Kebutuhan impor barang dan
jasa di Indonesia dirasakan meningkat setelah terjadinya krisis ekonomi. Hal
ini dikarenakan banyak kebutuhan akan barang dan jasa masyarakat
konsumen di Indonesia yang tidak dapat dipenuhi oleh produsen dalam
negeri, di samping juga kualitas produk impor dipandang mempunyai kualitas
tinggi.14
Negara wajib menjamin setiap penduduk menjalankan agama dan
keyakinannya, termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan dan obat-
obatan halal sesuai akidah setiap muslim. Hal ini sejalan dengan Undang-
14
Irna Nurhayati, Efektivitas Pengawasan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Terhadap
Peredaran Produk Pangan Olahan Impor Dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen. Dalam
Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 21, No.2, 2009, h.204
7
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
Pasal 8 ayat (1) huruf h yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/jasa yang tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
“halal” yang dicantumkan pada label.15
Berdasarkan UUPK, setiap produsen
harus secara transparan mencantumkan unsur-unsur setiap makanan yang
diproduksi untuk melindungi kepentingan konsumen,16
sesuai dengan Pasal 4
huruf c yang menyatakan bahwasanya konsumen memilik hak atas informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa.17
Berdasarkan latar belakang di atas, maka ada masalah yang penting
untuk dibahas dan menarik untuk diteliti. Oleh karena itu, penulis memilih
judul: “Legalitas Hukum Atas Label Halal Luar Negeri Dalam Produk
Pangan Impor”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas dapat diidentifikasi beberapa masalah
dalam penelitian ini, diantaranya:
a. Perlindungan hukum bagi konsumen terhadap label halal pada
produk pangan impor
b. Tanggungjawab pelaku usaha terhadap setifikasi halal pada prodak
impor
c. Bagaimana peran LPPOM MUI terhadap label halal yang berasal
dari luar negeri
d. Legalitas hukum bagi label halal yang berasal dari luar negeri
e. Pengaturan sertifkat halal bagi pelaku usaha luar negeri
15
Pasal 8 Ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
16 Siti Muslimah, “Label Halal Pada Produk Pangan Kemasan Dalam Prespektif
Perlindungan Konsumen Muslim”. Yustisia. Vol. 1, No. 2, 2012, h. 86
17 Pasal 4 huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
8
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya
lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Di sini
penulis hanya akan membahas tentang legalitas hukum atas label halal
luar negeri dalam produk pangan impor dan perlindungan hukum bagi
konsumen terhadap label halal pada produk pangan impor.
3. Rumusan Masalah
Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan
penelitian sebagai berkut:
1. Bagaimana legalitas hukum atas label halal luar negeri dalam produk
pangan Impor yang beredar di Indonesia?
2. Bagaimana perlindungan konsumen atas produk pangan impor yang
berlabel halal dari luar negeri?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Tujuan penelitian yang dilakukan adalah:
a. Untuk mengetahui legalitas hukum atas label halal luar negeri dalam
produk pangan Impor yang beredar di Indonesia.
b. Untuk mengetahui perlindungan konsumen atas produk pangan
impor yang berlabel halal dari luar negeri.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah :
a. Secara Teoritis: dapat memberikan kontribusi sebuah keilmuan bagi
siapa saja, khususnya bagi penulis dan bagi orang lain. Kemudian
menambah literature perpustakaan khususnya dalam bidang ilmu
hukum ekonomi syariah.
b. Manfaat Praktisi. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan
masukan yang berguna dan bisa memberikan penjelasan kepada
masyarakat tentang regulasi dan perlindungan hukum bagi konsumen
atas label halal yang berasal dari Negara luar atau produk impor.
9
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Nurul Lisani, “Analisis Pengaruh Labelisasi Halal Produk-Produk
Konsumsi terhadap Preferensi Konsumsi Pada Mahasiswa Muslim FEB
USU” dalam skripsi ini menjelaskan bagaimana pengaruh labelisasi halal
pada produk-produk konsumsi terhadap preferensi konsumsi pada
mahasiswa muslim Fakulas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera
Utara. Sehingga mendapatkan kesimpulan bahwa hubungan yang positif
dan signifikan antara labelisasi produk-produk konsumsi terhadap
preferensi konsumsi pada mahasiswa muslim FEB USU dengan tingkat
keyakinan 95%. Dalam penulisan skripsi tersebut penulisan hanya
berbatas pada pengaruh labelitas halal produk-produk konsumsi di
Universitas Sumatra Utara, berbeda dengan apa yang penulis teliti yaitu
legalitas hukum atas label halal pada produk pangan impor.
2. Yulia Dian Iskandar, “Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Hal
Pencantuman Produk Halal Oleh Pelaku Usaha (Studi Pada Produsen
Pangan Dalam Kemasan Di Kota Pontianak” dalam skripsi ini
menyimpulkan bahwa ketentuan yang mengatur masalah label halal tidak
diatur dalam satu aturan yang secara khusus mengatur label halal,
melainkan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dan
peraturan perundang-undangan yang mengatur label halal tersebut belum
dapat memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen Islam di
Indonesia, karena ketentuan pencantuman label halal pada suatu produk
termasuk produk makanan dalam kemasan bukan merupakan kewajiban,
melainkan hanya bersifat sukarela dari pelaku usaha (produsen).
3. Yuli Mega Anggraeni “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
Produk Pangan Impor yang Tidak Mencantumkan Label Berbahasa
Indnesia Di Kabupaten Banyumas” dalam skripsi ini menyimpulkan
bahwa perlindungan hukum terhadap konsumen produk pangan impor
yang tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia di Kabupaten
Banyumas secara normatif telah terpenuhi sebagaimana yang
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
10
Perlindungan Konsumen khususnya yang berkaitan dengan hak-hak
konsumen dalam Pasal 4 huruf a, c, dan h. Namun dalam kenyataannya,
hak-hak konsumen tersebut belum dapat terpenuhi secara optimal
dikarenakan masih ada pelaku usaha yang tidak memenuhi ketentuan
wajib label berbahasa Indonesia pada pangan yang diimpor.
4. Taufiq Rahman, Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Sertifikasi Halal
Suatu Produk Di Indonesia (Studi pada Lembaga Pengkajian Pangan,
Obat-obatan , dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sulawesi
Selatan). Dalam penelitian ini penulis memaparkan bagaimana proses
sertifkasi halal suatu produk oleh Majelis Ulama Indonesia dan apa saja
landasan hukum mengenai proses sertifikasi tersebut. Berbeda dengan
penulis teliti, yaitu tentang legalitas hukum atas label halal luar negeri
yang masuk ke Indonesia.
E. Teknik Pengolahan dan Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu proses yang panjang untuk menggali
sesuatu yang belum pernah dibahas sebelumnya. Berawal dari minat untuk
mengetahui fenomena tertentu dan selanjutnya berkembang menjadi gagasan,
teori, konsep, pemilihan metode penelitian yang sesuai dan seterusnya.
Penelitian (research) berarti pencarian kembali. Pencarian yang dimaksud
adalah pencarian terhadap pengetahuan yang benar (ilmiah), karena hasil dari
pencarian ini akan dipakai untuk menjawab permasalahan tertentu. Dengan
kata lain penelitian merupakan upaya pencarian yang amat bernilai edukatif,
melatih kita untuk selalu sadar bahwa di dunia ini banyak yang kita tidak
ketahui, dan apa yang kita coba cari, temukan dan ketahui itu tetaplah bukan
kebenaran mutlak. Oleh sebab itu masih perlu diuji kembali.18
Penelitian memiliki tujuan yaitu menemukan, mengembangkan, menguji,
kebenaran suatu pengetahuan berdasarkan fakta dan data. Karena sebuah
usaha dari pengembangan dan penemuan ilmu pengetahuan maka sebuah
18
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada,2004), h. 19
11
penelitian harus mengguanakan metode ilmiah.19
Metode penelitian ilmiah
merupakan penyaluran hasras ingin tahu manusia dalam taraf keilmuan.
Seseorang akan yakin bahwa ada sebab bagi setiap akibat dari setiap gejala
yang tampak dapat dicari penjelasanya secara ilmiah. Penelitian bersikap
objektif, karena kesimpulan yang diperoleh hanya akan ditarik apabila
dilandasi dengan bukti-bukti yang meyakinkan yang dikumpulkan melalui
prosedur yang jelas, sistematis, dan terkontrol.20
Dalam penelitian ini
dijelaskan mengenai cara, prosedur atau proses penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif
yaitu penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai
aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filososfi, perbandingan, struktur dan
komposisi, lingkup materi, dan konsistensi.21
2. Pendekatan
Penelitian normatif yakni suatu penelitian yang meneliti suatu
masalah dengan cara meninjau dari segi peraturan perundang-undangan
yang berlaku.22
Dalam studi hukum, pendekatan yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute
Approach).
3. Sumber Data
Sumber data adalah segala sesuatu yang menjadi sumber dan
rujukan dalam penelitian. Adapun sumber data dalam penelitian ini
penulis bagi ke dalam tiga jenis data, yaitu :
a. Sumber Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang
mengikat, dan terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar,
19
Fahmi Muhammad Ahmadi, Djaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2010), h. 4
20 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,
2003), h. 32
21 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010), h. 10
22 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. Ke-6, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 11
12
peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak
dikodifikasiakn seperti hukum adat dan yurisprudensi.23
Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang penulis
gunakan terdiri dari beberapa aturan perundang-undangan yang
terkait, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun
2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
b. Sumber Hukum Sekunder
Dalam penelitian ini peneliti juga menggunakan sumber data
sekunder. Bahan hukum adalah bahan untuk memberikan penjelasan
tentang bahan hukum utama atau primer. Bahan hukum sekunder
yang digunakan adalah buku-buku hukum, skripsi, tesis, jurnal,
disertasi hukum, artikel ataupun materi-materi yang memberikan
penjelasan dan digunakan untuk menguatkan bahan hukum primer.
c. Sumber Hukum Tertier
Data yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna
terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Seperti Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, media masa dan lain-lain.
4. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian hukum normatif menitikberatkan pada studi kepustakaan
(library research) atau metode pengumpulan data yang digunakan adalah
metode dokumentasi (documentary method).
23
Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada,2004), h. 31
13
5. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa
melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang
dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya. Secara
sederhana analisis data ini disebut sebagai kegiatan memberikan telaah
yang dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah atau
memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap
hasil penelitian dengan pemikiran sendiri dan dibantu teori yang telah
didapat.24
Berdasarkan sifat penelitian ini yang bersifat deskriptif analisis,
analisis data yang digunakan adalah kualitatif terhadap data yang didapat.
Deskriptif tersebut meliputi isis dan struktur hukum positif, yaitu suatu
kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isis atau makna
aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan
permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.25
F. Sistematika Penulisan
Dalam memudahkan penyusunan skripsi ini dan untuk memberikan
gambaran secara rinci mengenai pokok pembahasan, penulis menyusun
skripsi ini dalam beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan. Pada bab ini menjelaskan latar belakang masalah,
identifikasi, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan (review) kajian terdahulu, metodologi penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab II yaitu berisi tentang Kerangka Konsep dan Kajian Teoritis.
Dalam bab ini terdapat konsep mengenai legalitas hukum, label halal, produk
pangan impor dan legalitas label halal produk impor. Kemudian dalam Kajian
24
Mukti Fajar, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2015), h.18
25 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 107
14
teoritis memuat teori yang akan dipakai yaitu berupa teori perlindungan
hukum, kepastian hukum, dan kriteria halal dalam Islam.
Bab III yaitu menjelaskan bagaimana prosedur untuk mengajukan
permohonan serifikasi halal yang ditinjau dari aspek regulsi yang ada.
Bab IV yaitu menjelaskan gambaran umum, hasil penelitian dan
pembahasan mengenai legalitas label halal luar negeri sebelum mandatory
atau sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal dan setelah mandatory atau setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan
perlindungan hukum bagi konsumen atas label halal dari luar negeri.
Bab V yaitu penutup, menjelaskan tentang kesimpulan dan saran.
15
BAB II
KERANGKA KONSEP DAN KAJIAN TEORITIS
A. Kerangka Konseptual
1. Legalitas Hukum
Legalitas berasal dari bahasa Latin yait lex (kata benda) yang
berarti undang-undang, atau kata jadian legalis yang berari sah atau
sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian legalitas
adalah keabsahaan sesuatu menurut undang-undang.1
Secara historis, gagasan legalitas yang mengklaim dapat
memberikan kepastian hukum dalam penegakan hukum, khususnya
dalam ranah hukum pidana, jika ditelusuri secara filosofis dan historis
adalah sebuah gagasan yang lahir berkat gagasan legisme. L.J. van
Apeldoorn, seorang yuris Belanda yang amat memengaruhi dasar-dasar
pendidikan hukum di Hindia Belanda, rupanya menerangkan bagaimana
legalitas itu lahir. Van mengungkapkan pemikiran dari J.J. Rousseau
tentang pembentukan hukum. Proses itu adalah semata-mata kewenangan
istimewa pembentuk undang-undang. Tidak ada tempat bagi kebiasaan
yang hidup dalam keseharian masyarakat untuk menjadi dasar
pembentukan hukum.2
2. Label Halal
Lebel halal adalah pencantuman tulisan atau pernyataan halal
pada kemasan produk untuk menunjukkan bahwa produk yang dimaksud
berstatus sebagai produk halal.3 Adapun yang dimaksud dengan produk
1 Subekti dan Tjitrosudibyo, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1969), h. 63
2 E. Fernando M. Manullang, Legisme, Legalitas dan Kepastian Hukum, (Jakarta: Kencana,
Cet. Ke-2 2017), h. 9
3 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk Teknis Pedoman System Produksi Halal,
Departemen Agama, Jakarta, 2003, h. 2
16
halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syriat
Islam.4
Label halal menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal adalah sebagai tanda kehalalan suatu
produk.5 Label halal diperoleh setelah mendapatkan sertifikat halal.
Sedangkan sertifikat halal adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan kehalalan suatu
produk sesuai dengan syariat Islam melalui keputusan sidang Komisi
Fatwa Majelis Ulama Indonesia berdasrkan proses audit yang dilakukan
oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Sertifikat halal merupakan syarat
untuk mendapatkan izin untuk pencantuman label halal pada kemasan
produk.6
Di Indonesia lembaga yang otoritatif melaksanakan sertifikasi
halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara teknis ditangani
oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika
(LPPOM). Sedangkan kegiatan labelisasi halal dikelola oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Dalam pelaksanaannya di
Indonesia kegiatan labelisasi halal telah diterapkan lebih dahulu sebelum
sertifikasi halal. Adapun peraturan yang bersifat teknis yang mengatur
masalah pelabelan halal adalah Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.7
Labelisasi halal adalah perizinan pemasangan kata “Halal” pada
kemasan produk dari suatu perusahaan oleh Badan POM. Izin
4 Burhanuddin, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan Sertifikat Halal, (Malang,
UIN Maliki Press, 2011), h. 140
5 Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
6 Departemen Agama Republik Indonesia, 2003 :2/11
7 Nurul Lisani, Analisis Pengaruh Labelisasi Halal Produk-Produk Konsumsi Terhadap
Preferensi Konsumsi Pada Mahasiswa Muslim FEB USU, Skripsi, (Medan, Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Sumatera Utara, 2018), h. 30
17
pencantuman label halal pada kemasan produk makanan yang
dikeluarkan oleh Badan POM didasarkan rekomendasi MUI dalam
bentuk sertifikat halal.8 Labelisasi halal mengacu pada klasifikasi label
yang diberikan oleh Stanton, maka lablel halal masuk dalam klasifikasi
Descriptive Label yaitu label yang menginformasikan tentang konstruksi
atau pembuatan, ingredient atau bahan baku, dan efek yang ditimbulkan
(other characteristic) yang sesuai dengan standar halal.9 Aspek-aspek
yang menjadi tinjauan dalam labelisasi halal yaitu:10
1. Proses produksi, proses ini harus diperhatikan bagi perusahaan yang
sudah menggunakan label halal dan hendaknya tetap menjaga hal-hal
berikut:
a. Binatang yang hendak dibersirkan merupakan binatang sudah
disembelih menurut syariat Islam.
b. Bahan campuran yang digunakan dalam proses produksi tidak
terbuat dari barang-barang atau bahan haram dan turunannya.
c. Air yang digunakann hendaklah air mutlak atau air bersih dan
mengalir.
d. Dalam proses produksi tidak tercampur atau berdekatan dengan
barang atau bahan yang najis.
2. Bahan baku utama, yaitu bahan utama yang digunakan dalam kegiatan
proses produksi. Baik berupa bahan baku, bahan setengah jadi
maupun bahan jadi.
3. Bahan pembantu atau bahan penolong, yaitu bahan yang berfungsi
untuk membantu mempercepat ataupun memperlambat prses
produksi, termasuk proses rekayasa.
8 Aisjah Girindra, Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal, (Jakarta: LP POM MUI, 2005), h. 69
9 https://karyatulisilmiah.com/pengertian-halal-label-dan-labelisasi-halal/ diakses pada 25
Mei 2019 pukul 1:31 WIB
10 Burhanuddin, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Raawali Pers, 2011)
h.142
18
4. Efek, yaitu suatu dampak yang terkandung dari makanan dan
minuman yang diproduksi. Apabila suatu jenis makanan dapat
membahayakan jiwa, maka makanan tersebut haram untuk
dikonsumsi. Karena produk halal tidak terlepas dari syariat Islam,
yaitu mengambil maslahat dan menlak mudharat atau bahaya.
Manfaat dan tujuan tersebut adalah untuk memberikan kepastian
status kehalalan pada suatu produk sehingga dapat melindungi konsumen
Muslim. Label halal pula mengandung aspek yuridis untuk memberikan
perlindungan pada konsumennya, artinya secara hukum dengan cara
mencantumkan label halal pada sebuah produk berarti telah melindungi
hak-hak konsumen dan telah melaksanakan suatu ketentuan dari Undang-
Undang Perlindungan Konsumen, sebab pencantuman label halal
mengandung konsekuensi hak atas kenyamanan dan keamanan konsumen
dalam mengkonsumi produk.11
3. Produk Pangan Impor
Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah
pabean.12
Secara umum impor adalah suatu kegiatan pembelian dan
memasukkan barang/jasa atau komoditas dari luar negeri ke dalam negeri
secara legal melalui proses perdagangan.13
Sedangkan pangan impor atau
impor pangan adalah kegiatan memasukkan Pangan ke dalam daerah
pabean14
negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,
perairan, dan ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona
Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen.15
Impor Pangan yang dilakukan
11
Muhammad Ibnu Elmi, Label Halal antara Spiritualitas dan Komoditas Agama,
(Malang: Madani Wisma Kalimetro, 2009), h. 73
12 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan
13 https://www.maxmanroe.com/vid/bisnis/pengertian-impor.html diakses pada 19 Juni
2019 pukul 12:15 WIB
14 Wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di
atasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di
dalamnya berlaku undang-undang ini.
19
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri wajib memenuhi
persyaratan keamanan, mutu, Gizi, dan tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan, dan budaya masyarakat.16
4. Legalitas Hukum Label Halal pada Produk Pangan Impor
Izin pencantuman label halal merupakan otoritasnya Badan POM,
prouk impor sendiri harus mencantumkan label halal MUI, tujuannya
agar mempermudah dalam pengawasan. Sebelumnya, produk impor yang
akan diedarkan di Indonsesia harus mencantumkan lebla halal dari MUI
dan harus memiliki sertifikat halal terlebih dahulu, sehingga produk
tersebut harus didaftarkan terlebih dahulu ke MUI. Apabila produk impor
masih menggunakan label halal dari negaranya maka produk tersebut
belum terregister dan dapat dikatakan bahwa produk tersebut ilegal.17
B. Kerangka Teoritis
1. Perlindungan Hukum
Masalah kehalalan suatu produk yang akan dikonsumsi oleh
masyarakat merupakan persoalan yang penting, sehingga apa yang akan
dikonsumsi itu benar-benar halal, dan tidak sedikitpun tercampur oleh
bahan-bahan yang berbahaya atau haram. Oleh karena itu perlu adanya
perlindungan hukum terhadap persoalan di atas.
Teori perlindungan hukum dikemukakan oleh Salmond yang
selanjutnya dijelaskan oleh Fitgerald. Teori ini mengatakan bahwa
hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai
kepentingan hukum yang dapat bertabrakan satu sama lain, sehingga
dengan hukum yang diintegrasikan sedemikian rupa dapat menekan
terjadinya tabrakan kepentingan tersebut.18
Dalam lalu lintas
15
Pasal 1 angka (25) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
16 Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
17 Menurut pihak Humas LPPOM MUI
18 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h. 53
20
kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu
hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan di lain pihak.
Maka dari itu hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara
mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam
rangka kepentingannya sendiri. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan
secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya,
sehingga kekuasaan yang demikian yang disebut dengan hak.19
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan
kepada subyek hukum ke dalam bentuk perangkat baik bersifat preventif
maupun yang bersifat represif, baik lisan maupun tertulis. Dengan kata
lain dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu gambaran
tersendiri diri fungsi hukum itu sendiri yang memiliki konsep bahwa
hukum memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan
dan kedamaian.20
Perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa
yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban
dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati
martabatnya sebagai manusia.21
Menurut Satjipto Raharjo mendefinisikan perlindungan hukum
adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang
dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada
masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan
oleh hukum.22
Menurut R. La Porta dalam Jurnal of Financial
19
Muthia Sakti, Dwi Aryanti R, dan Yuliana Yuli, “Perlindungn Konsumen Terhadap
Beredarnya Makanan yang Tidak Bersertikat Halal”, Jurnal Yuridis, Vol.2 No. 1, 2015, h.65-66
20 http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/ diakses pada
tanggal 25 Mei 2019 pukul 23.10 WIB
21 Setiono, Rule Of Law (supremasi hukum), Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2004, h.3
22 Satjipto Rahardjo, Ilmu hukum,….h. 53
21
economics, bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh suatu negara
memiliki dua sifat, yaitu bersifat pencegahan (prohibited) dan bersifat
hukuman (sanction).23
Bentuk perlindungan yang paling nyata yaitu
adanya institusi-institusi penega hukum seperti pengadila, kejaksaan,
kepolisin, dan lembaga-lembaga penyelesaian sengkena d luar
pengadilan (non-litigasi).
2. Jenis Perlindungan Hukum
Menurut Muchsin, perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu:
1) Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan yang diberkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk
mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam
perauran perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah
suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasa-
batasan dalam melakukan suatu kewajiban.
2) Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa
sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang
diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu
pelanggaran.24
Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan
hukum ada dua macam, yaitu :
1) Sarana Perlindungan Hukum Preventif
Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum
diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau
pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat
23
Rafael La porta, “Investor Protection and Crorate Governence”, Jurnal of Financial
Economic, no.5 (Oktober 1999), h.9
24 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia, (Surakarta,
Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003), h.20
22
bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya
sengketa. Perlindungan hukum ini dapat dilakukan melalui 3
metode, yaitu: pembinaan, pengawasan, dan peraturan
perundang-undangan.
2) Sarana Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum ni dapat
dilakukan melalui: penindakan dan pemberian sanksi berupa
perdata atau ganti rugi, pidana, dan administrasi.
Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan
Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan
hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah
bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah
dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-
pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip
kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak
pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Jika dikaitkan dengan
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan
dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat
utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.25
Keadilan terbentuk oleh pemikiran yang benar, dilakukan secara
adil dan jujur serta bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan. Rasa
keadilan tersebut harus ditegakkan berdasarkan hukum positif untuk
menegakkan keadilan dalam hukum sesuai dengan realitas masyarakat
yang menghendaki tercapainya masyarakat yang damai dan aman.
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepeningan manusia, penegakkan
hukum harus memperhatikan 4 (empat) unsur, yaitu: kepastian hukum
25
Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: Bina
Ilmu, 1987), h.117
23
(Rechtssicherkeit),kemanfaatan hukum (Zeweckmassigkeit), keadilan
hukum (Gerechtigkeit), dan jaminan hukum (Doelmatigkeit).26
3. Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen.27
Adapun tujuan hukum dalam perlindungan konsumen
adalah untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian
hukum.28
Perlindungan konsumen merupakan istilah yang dipakai untuk
menggambarkan bahwa adanya hukum yang memberikan perlindungan
terhadap konsumen dari kerugian atas penggunaan produk barang
dan/atau jasa. Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas,
meliputi perlindungan terhadap segala kerugian akibat penggunaan
barang dan/atau jasa.29
Cakupan tersebut dapat dibedakan dalam dua
aspek, yaitu:30
1. Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada
konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati.
2. Perlindungan tehadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil
kepada konsumen.
Keinginan yang hendak dicapai dalam perlindungan konsumen
adalah menciptakan rasa aman bagi konsumen dalam memenuhi
kebutuhan hidup. Hal ini terbukti bahwa semua norma mengenai
perlindungan konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
26
Ishaq, Dasar-dasar Imu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.43
27 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
28 Erna Widjajati dan Yessy Kusumadewi, Pengantar Hukum Dagang, (Jakarta: Roda Inti
Media, 2010), h.23
29 Burhanuddin, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen,... h.1
30 Adrianus Meliala, Produk Bisnis Curang, (Jakarta: Pustaka Sina Harapan, 1993), h.152
24
memiliki sanksi pidana.31
Singkatnya, bahwa segala upaya yang
dimaksudkan dalam perlindungan konsumen tersebut tidak hanya
terhadap tindakan preventif, melainkan juga tindakan represif dalam
sebuah bidang perlindungan yang diberikan kepada konsumen. Maka
pengaturan perlindunga konsumen dilakukan dengan cara:32
1. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur keterbukaan akses informasi, serta menjamin kepastian
hukum.
2. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan
keseluruh pelaku usaha.
3. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa.
4. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang
menipu dan menyesatkan.
5. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan
perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada
bidang-bidang lainnya.
Dalam perlindungan terdapat asas-asas perlindungan konsumen.
Menurut Satjipto Raharjo, asas hukum bukan merupakan peraturan
hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui
asas-asas hukum memberikan yang ada di dalamnya, asas-asas hukum
memberikan maksa etis kepada setiap peraturan-peraturan hukum serta
tata hukum. Asas merupakan sebuah fondasi bagi suatu undang-undang
dn peraturan pelaksananya.33
31
Pada posisi itu, hukum pidana sebagai sarana social defence yang bertujuan melindungi
kepentingan-kepentingan masyarakat dalam: (1) pemeliharaan tertib masyarakat; (2) perlindungan
masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tidak dibenarkan yang dilakukan
orang lain; (3) pemsyarakatan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum; (4) pemeliharaan dan
pemertahanan integritas pandangan-pandangan dasar tentang keadilan social, martabat
kemanusiaan dan keadilan individu. Lihat dalam Yusuf Shoie, Perlindungan Konsumen dan
Instrumen Hukumnya,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h.30-31
32 Husni Syawali dan Neni Sri Ismayanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung:
Mandar Maju, 2000), h.7
33 Eli Wuria Dewi, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Visimedia, 2008), h.10
25
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama
seluruh piha yang terkait, masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah.
Berdasarkan lima asas menurut pasal 2 undang-undang perlindungan
konsumen, yaitu:34
1. Asas manfaat, yaitu mengutamakan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha.
2. Asal keadilan, yaitu agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan
pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan, yaitu untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usha, dan pemerintah dalam arti
materiil dan spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, yaitu memberikan
jaminan atas eamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum, yaitu agar baik pelaku usaha maupun
konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastin hukum.
Mengingat tujun hukum merupakan untuk meujudkan keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum.35
Kepastian hukum untuk
melindungi hak-hak konsumen dari kecurangan atau dirugikan diperkuat
melalui undang-undang khusus yaitu undang-undang perlindungan
konsumen, undang-undang ini memberikan harapan agar pelaku usaha
34
Ahmad Miru, dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2011), h.25
35 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Sebuah Kajian Filosofi dan Sosiologis), (Jakarta:
Gunung Agung, 2002), h.85
26
tidak bertindang sewenang-wenang yang dapat menimbulkan kerugian
bagi hak-hak konsumen.36
4. Kepastian Hukum
Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau
ketetapan.37
Sedangkan hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan
atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan
peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan
bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.38
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan
dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan
logis. Jelas berarti tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan
logis berarti menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga
tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang
ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma
reduksi norma atau distorsi norma.39
Kepastian hukum adalah “sicherkeit des Rechts selbst” (kepastian
tentang hukum itu sendiri). Ada empat hal yang berhubungan dengan
makna kepastian hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya
bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches Recht). Kedua,
bahwa hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu
rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti
“kemauan baik”, ”kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan
dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam
36
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Gafika,
2011), h.5
37 Cst Kansil, Christine S.t Kansil, dan Engelien, dkk, Kamus Istilah Hukum, (Jakarta: Jala
Permata Aksara, 2009), h. 385
38 Sudikno Mertokusumo, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2010), h. 24
39 https://yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/ diakses pada 26 Juni 2019
pukul 15:01 WIB
27
pemaknaan, di samping juga mudah dijalankan. Keempat, hukum positif
itu tidak boleh sering diubah-ubah.40
Kepastian hukum memiliki pengertian lain yaitu suatu jaminan
bahwa suatu hukum harus dijalankan dengan cara yang baik atau tepat.
Kepastian pada intinya merupakan tujuan utama dari hukum. Jika hukum
tidak ada kepastian maka hukum akan kehilangan jati diri serta
maknanya. Jika hukum tersebut tidak memiliki jati diri, maka hukum
tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang.41
Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya
dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi apabila terlalu menitikberatkan
pada kepastian hukum, maka akan terlalu ketat mentaati peraturan hukum
yang dapat mengakibatkan hukum tersebut kaku dan akan menimbulkan
rasa tidak adil.
Kepastian hukum itu selalu dikaitkan dengan tindakan yang tidak
bisa ditawar-tawar atau suatu keharusan sikap. Apapun aturannya (baik
atau buruk), setiap orang harus patuh. Padahal, kepatuhan itu bukanlah
murni tentang hukum atau aturan, tetapi hal yang berkaitan dengan
psikologi, seperti juga tentang kesadaran kesadaran hukum. Kepatuhan
hukum dan kesadaran hukum merupakan dua term yang penting dalam
mengkonstruksi hukum. Jika terjadi kesenjangan dalam penerapan
hukum antara kepastian dengan keadilam, maka seyogianya yang
diutamakan adalah keadilan.42
Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi pencari
keadilan terhadap kesewenang-wenangan dari aparat penega hukum yang
terkadang selalu arogansi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak
40
Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, (Jakarta: UKI Press,2006), h.135-136
41 https://www.pengertianmenurutparaahli.com/pengertian-asas-kepastian-hukum/ diakses
pada 4 Juni 2019 pukul 20:11 WIB
42 Mashudi, Konstruksi Hukum & Respons Masyarakat Terhadap Sertifikasi Produk Halal
(Studi Socio-Legal terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 306
28
hukum. Dengan adanya kepastian hukum maka masyarakat akan tahu
kejelasan akan hak dan kewajian menurut hukum. Tanpa adanya
kepastian hukum maka seseorang akan tidak tahu apa yang haus
diperbuat, tidak mengetahui perbuatannya benar atau salah, dilarang atau
tidak dilarang oleh hukum. Kepastian hukum ini dapat diwujudkan
melalui penormaan yang baik dan jelas dalam suatu undang-undang dan
akan jelas pula penerapannya. Dengan kata lain, kepastian hukum itu
berarti tepat hukumnya, subjek dan objeknya serta ancaman hukumnya.
Akan tetapi, kepastian hukum mungkin sebaiknya tidak dianggap sebagai
elemen yang mutlak ada setiap saat, tetapi sarana yang digunakan sesuai
dengan situasi dan kondisi dengan memperhatikan asas manfaat dan
efisiensi.43
5. Kriteria Halal dalam Islam
Halal berasal dari kata حلل yang artinya diperbolehkan adalah
segala objek atau kegiatan yang diizinkan untuk digunakan atau
dilaksanakan, dalam agama Islam. Istilah ini dalam kosa kata sehari-hari
lebih sering digunakan untuk menunjukkan makanan dan minuman yang
diizinkan untuk dikonsumsi menurut Islam, menurut jenis makanan dan
cara memperolehnya. Pasangan halal adalah thayyib yang berarti 'baik'.
Suatu makanan dan minuman tidak hanya halal, tetapi harus thayyib;
apakah layak dikonsumsi atau tidak, atau bermanfaatkah bagi kesehatan.
Lawan halal adalah haram.44
Haram adalah segala sesuatu yang dilarang
oleh syariat Islam untuk dikonsumsi, dan apabila tetap dikonsumsi akan
mendapatkan dosa kecuali dalam keadaan terpaksa, serta memiliki
banyak mudharatnya dari pada hikmahnya.45
43
https://www.academia.edu/28896771/A_._Kepastian_Hukum diakses pada 4 Juni 2019
pukul 21:26 WIB
44 https://id.wikipedia.org/wiki/Halal diakses pada 6 Juni 2019 pukul 18:41 WIB
45 Mutawalli Sya’awi, Halal dan Haram, (Jakarta: Amzah, 2003) h. 12
29
Makanan dapat dikatakan halal harus memiliki tiga kriteria, yaitu
halal zatnya, cara memperolehnya, dan cara pengolahannya.
a. Halal zatnya, yaitu makanan yang dari dasarnya halal untuk
dikonsumsi. Kehalalan tersebut telah ditetapkan dalam kitab suci al-
quran dan hadits.
Islam mengajarkan umatnya untuk mengonsumsi makanan
halal lagi baik, suci, dan tidak mengandung mudharat. Semua
makanan yang dapat menimbulkan mudharat hukumnya haram untuk
dikonsumsi. Mudharat yang dimaksud di sini adalah makanan
dengan unsur yang dapat merusak dan berbahaya bagi
tubuh.46
Sebagaimana anjuran kehalalan tertuang dalam surah Al-
Baqarah ayat 168
تبعوا خطوات الشيطان يا أي ها الناس كلواما ف الرض حلال طيبا وال ت بني ج إنو لكم عدوم
“Wahai manusia, makanlah dari makanan yang halal dan baik yang terdapat
dimuka bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.
Sungguh setn itu musuh nyata bagimu.”47
(Q.S. Al-Baqarah:168)
Ayat tersebut bermaksud untuk menyuruh umat manusia agar
senantiasa mengkonsumsi yang ada di muka bumi yang halal dan
baik, baik itu berupa makanan dan minuman, bahkan obat-obatan
serta kosmetik juga lainnya. Obat-obatan dan kosmetik disebut halal
apabila bahan-bahan yang terkandung dalam keduanya harus dari
bahan baku pilihan atau tidak mengandung zat berbahaya dan
bersifat haram, sesuai dengan syariat Islam dan memiliki sertifikat
halal dari Majelis Ulama Indonesia.
46
https://www.hijup.com/magazine/p/kriteria-makanan-halal-menurut-islam diakses pada 6
Juni 2019 pukul 18:34 WIB
47 Departemen Agama RI Al-Quran dan Terjemah, Al-Quran dan Terjemah, (Solo: Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, 2009), h.25
30
Makna thayyib dalam ayat-ayat tersebut segala sesuatu yang secara
dzat nya baik, suci, bersih, mudah dicerna, mengandung gizi yang
bermanfaat bagi jasad serta tidak mengandung dzat yang merusak dan
membahayakan badan dan akal. Sementara yang dimaksud dengan halal
adalah segala sesuatu yang secara dzat telah dibolehkan oleh Allah untuk
dikonsumsi thayyib dan diperoleh dari penghasilan yang halal, tidak
mencuri serta tidak berasal dari mu’amalah yang haram. Jadi, halal dalam
ayat tersebut terkait dengan proses dan mekanisme mendapatkannya.
Sedangkan thayyib terkait dengan dzatnya yang baik, bermanfaat, dan tidak
berbahaya.
Adapun konsep thayyib dalam ajaran Islam sesuai dengan hasil
penemuan dan penelitian para ahli ilmu gizi adalah sebagai berikut:
1. Sehat; makanan sehat adalah makanan yang mempunyai zat gizi
yang cukup, lengkap dan seimbang.
2. Proporsional; yaitu mengkonsumsi makanan yang bergizi,
lengkap dan seimbang bagi manusia yang berada dalam masa
pertumbuhan manusia. Misalnya janin dan bayi atau balita serta
remaja perlu diberikan makanan yang mengandung zat
pembangun (protein).
3. Aman; makanan yang dikonsumsi oleh manusia akan
berpengaruh terhadap kesehatan dan ketahanan fisiknya.
Apabila makanan itu sehat, lengkap dan seimbang, maka kondisi
fisik orang yang mengkonsumsinya akan selalu sehat dan
terhindar dari berbagai macam penyakit. Tetapi sebaliknya,
apabila makanan itu tidak sehat atau tidak cocok dengan kondisi
fisiknya, maka makanan akan menjadi penyebab timbulnya
berbagai penyakit dan bahkan mungkin akan membawa kepada
kematian. 48
48
Mastuhu, Makanan Indonesia Dalam Pandangan Islam, (Kantor Menteri Negara Urusan
Pangan Repunlik Indonesia, 1995), hlm. 55-106
31
Selanjutnya mengumandangkan seruannya kepada orang-orang
mukmin secara khusus.
Firman Allah dalam surah Al-Baqarah: 172-173
ما رزق ناكم واشكروا للو إن كنتم إياه ت عبدون طيبات منيا أي ها الذين آمنوا كلوا
م ولم النزير وما أىل بو لغياللو ا حرم عليكم الميتة والد فمن اضطر اإن
رباغ والعادفل إث عليو إن اللو غفوررحيم غي “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik
yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-
benar kepada-Nya kamu menyembah. Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai,darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, akan tetapi barang siapa
dalam keadaaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-
Baqarah: 172-173).
Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah memerintahkan mereka
supaya suka makan yang baik dan supaya mereka suka menunaikan hak
nikmat itu, yaitu dengan bersyukur kepada Zat yang memberikan nikmat.
Selanjutnya, Allah menjelaskan pula bahwa ia tidak mengharamkan atas
mereka kecuali empat macam seperti yang telah di sebutkan pada ayat di
atas.49
b. Halal cara memperolehnya, yaitu makanan yang diperoleh dengan
cara yang baik dan sah, dan makanan tersebut akan menjadi haram
apabila cara memperolehnya dengan jalan bathil karena cara itu
dapat merugikan orang lain dan dilarang oleh syariat. Contontohnya
cara memperoleh dengan cara yang baik yaitu membeli dengan uang
sendiri, bertani, hadiah, dan lain sebagainya. Sedangkan dengan cara
yg bathil yaitu mencuri, merampok, menyamun, dan lain-lain.
49
Syekh Yusuf Qarhawi, "Halal dan Haram dalam Islam", (Surabaya: PT. Bina ilmu,
1982), h.53-54
32
c. Halal cara pengolahannya, yaitu makanan yang semula halal akan
menjadi haram apabila cara pengolahannya tidak sesuai dengan syariat
Islam.50
Contohnya buah anggur, makanan ini halal tetapi karena telah
diolah menjadi minuman keras maka minuman ini menjadi haram.
Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-A'raf ayat 157
دونو مكتوباعن لذين ي تبعون الر ا ي الذي ي وراة سول النب الم دىم ف الت ل لم الطيبات ويرم هاىم عن المنكر وي يل يأمركم بلمعرف وي ن واإلن
هم إصرىم والغلل الت كانت عليهم عليهم البائث ويضع عن أولئك ىم فالذين آمنوا بو وعزروه ونصروه وات ب عوا الن ر الذي أنزل معو
فلحون
امل"(Yaitu)orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya)
mereks dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik
dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka
beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang
yang beriman kepadanya. Memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya
yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Quran), mereka itulah orang-orang
yang beruntung". (Q.S. Surah Al-A'raf:157).
Adapun syarat-syarat makanan halal menurut islam yaitu:
1) Tidak mengandung babi dan bahan berasal dari babi
2) Tidak mengandung khamar dan produk turunannya
3) Semua bahan berasal dari hewan harus berasal dari hewan halal
yang disembelih menurut tata cara syariat Islam
4) Tidak mengandung bahan-bahan lain yang diharamkan atau
tergolong najis seperti, bangkai, darah, bahan-bahan yang berasal
dari organ manusia, kotoran dan lain sebagainya
5) Semua tempat penyimpanan, penualan, pengolahan, pengelolaan
dan alat transportasi untuk produk halal tidak boleh digunakan
50
Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis, (Malang: UIN Malang Press, 2009), h. 194
33
untuk babi atau barang tidak halal. Jika pernah digunakan untuk
babi atau tidak halal lainnya dan kemudian akan digunakan untuk
produk halal, maka terlebih dahulu harus dibersihkan sesuai
dengan cara yang diatur menurut syaiat Islam. Penggunaan
fasilitas produks untuk produk halal dan tidak halal secara
bergantian tidak diperbolehkan.51
Sebaliknya, ada juga makan yang haram menurut islam untuk
dikonsumsi, yaitu:
1) Bangkai, yaitu semua hewan yang mati tanpa penyembelihan
yang syar'i dan juga bukan hasil perburuan.
a) Al-Munkhaniqah, yaitu binatang yang mati karena dicekik,
baik dengan cara menghimpit leher binatang tersebut
maupun meletakan kepala binatang pada tempat sempit
dan sebagainya, hingga binatang tersebut mati.
b) Al-Mauqudzah, yaitu binatang yang mati karena dipukul
dengan benda keras hingga mati.
c) Al-Mutaraddiyah, yaitu binatang yang jatuh dari tempat
yang tinggi.
d) An-Nathihah, yaitu binatang yang mati karena baku
hantam atau ditanduk hingga mati oleh binatang lain.
e) Maa akalas sabu', yaitu binatang yang disergap oleh
binatang buas dengan dimakan sebagian dagingnya
sehingga mati.
Namun tidak semua bangkai itu haram dimakan, ada juga
bangkai yang dibolehkan dalam syariat islam, yaitu belalang dan
ikan yang hidup di dalam air.
2) Darah, yaitu darah yang mengalir dan terpancar. Alasan
diharamkannya darah yaitu kotor, yang tidak mungkin jiwa
manusia yang bersih menyukai atau mengkonsuminya.
51
Aisjah Girindra, Pengantar Sejarah Sertifikasi Halal, (Jakarta: LPPOM MUI, 1998), h.
124-125
34
3) Daging babi, semua daging yang berasal dari babi adalah
haram, karena makanan-makanan babi itu yang kotor dan najis.
Bahkan menurut ilmu kesehatan, di dalam daging babi terdapat
cacing pita dan itu sangat berbahaya jika masuk ke dalam
tubuh.52
4) Khamar
Sebagaimana dalam surah Al-Maidah ayat 90
ن ا المر والميسر والنصاب والزالم رجس م يا أي هاالذين آمنواإن
لعلكم ت فلحون عمل الشيطان فاجتنبوه "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntunga." (Q.S. Al-Maidah:90).
52
Syekh Yusuf Qarhawi, "Halal dan Haram dalam Islam", (Surabaya: PT. Bina ilmu,
1982), h.55-59
35
BAB III
PROSEDUR PERMOHONAN PENGAJUAN SERTIFIKSI HALAL
A. Tahapan Pengajuan Sertifikasi Halal
Bagi perusahaan yang ingin memperoleh sertifikat halal LPPOM MUI,
baik industri pengolahan (pangan, obat, kosmetika), Rumah Potong Hewan
(RPH), dan restoran/katering/dapur, harus melakukan pendaftaran sertifikasi
halal dan memenuhi persyaratan sertifikasi halal. Sebelum produk diedarkan
di masyarakat tentunya harus dipastikan terlebih dahulu apakah produk
tersebut tidak mengandung zat yang berbahaya atau dilarang maka pelaku
usaha wajib mengajukan sertifikasi halal terlebih dahulu kepada lembaga
yang berwenang.
Berikut ini adalah tahapan yang dilewati perusahaan yang akan
mendaftar proses sertifikasi halal di LPPOM MUI sebelum disahkannya
Undang-Undang Nomor 33 Jaminan Produk Halal:1
1. Memahami Persyaratan Sertifikasi Halal dan Mengikuti Pelatihan
Sistem Jaminan Halal (SJH)2
Perusahaan harus memahami persyaratan sertifikasi halal yang
tercantum dalam HAS 230003. Dokumen HAS 23000 dapat dipesan di e-
store. Selain itu pula, perusahaan juga harus mengikuti pelatihan SJH
yang diadakan LPPOM MUI, baik berupa pelatihan reguler maupun
pelatihan online (e-training).
HAS 23000 terdiri dari 2 bagian, yaitu Bagian I tentang
Persyaratan Sertifikasi Halal: Kriteria Jaminan Halal, dan Bagian II
tentang Persyaratan
1 Prosedur dan tahapan dapat dilihat di www.halalmui.org
2 Sistem yang disusun, dilaksanakan dan dipelihara perusahaan pemegang sertifkat halal
dengan tujuan untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sehina produk yang dihasilkan
dapat dijamin kehalalannya sesuai dengan aturan yang digarskan oleh LPPOM MUI
3 Dokumen yang berisi persyaratan sertifikasi halal LPPOM MUI
36
2. Menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH)
Perusahaan harus menerapkan SJH sebelum melakukan
pendaftaran sertifikasi halal, antara lain: penetapan kebijakan halal,
penetapan Tim Manajemen Halal, pembuatan Manual SJH, pelaksanaan
pelatihan, penyiapan prosedur terkait SJH, pelaksanaan internal audit dan
kaji ulang manajemen. Untuk membantu perusahaan dalam menerapkan
SJH, LPPOM MUI membuat dokumen pedoman yang dapat dipesan di e-
store.
3. Menyiapkan Dokumen Sertifikasi Halal
Perusahaan harus menyiapkan dokumen yang diperlukan untuk
sertifikasi halal, antara lain: daftar produk, daftar bahan dan dokumen
bahan, daftar penyembelih (khusus rumah potong hewan), matriks
produk, Manual SJH, diagram alir proses, daftar alamat fasilitas
produksi, bukti sosialisasi kebijakan halal, bukti pelatihan internal dan
bukti audit internal.4
4. Melakukan Pendaftaran Sertifikasi Halal (upload data)
Pendaftaran sertifikasi halal dilakukan secara online di sistem Cerol
melalui website www.e-lppommui.org. Perusahaan harus membaca user
manual Cerol terlebih dahulu untuk memahami prosedur sertifikasi halal
yang dapat diunduh di website yang sudah tersedia. Setelah itu
perusahaan harus melakukan upload data sertifikasi sampai selesai, baru
dapat diproses oleh LPPOM MUI.
5. Melakukan Monitoring Pre Audit dan Pembayaan Akad Sertifikasi
Monitoring pre audit disarankan dilakukan setiap hari untuk
mengetahui adanya ketidaksesuaian pada hasil pre audit. Pembayaran
akad sertifikasi dilakukan dengan mengunduh akad di Cerol, membayar
biaya akad dan menandatangani akad, untuk kemudian melakukan
pembayaran di Cerol dan disetujui oleh Bendahara LPPOM MUI.
4 http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/56/1362/page/1 diakses
pada 6 Juni 2019 pukul 17:13 WIB
37
6. Pelaksaan Audit
Audit dapat dilaksanakan apabila perusahaan sudah lolos pre audit
dan akad sudah disetujui. Audit dilaksanakan di semua fasilitas yang
berkaitan dengan produk yang disertifikasi.
7. Melakukan Monitoring Pasca Audit
Setelah melakukan upload data sertifikasi, perusahaan harus
melakukan monitoring pasca audit. Monitoring pasca audit disarankan
dilakukan setiap hari untuk mengetahui adanya ketidaksesuaian pada
hasil audit, dan jika terdapat ketidaksesuaian agar dilakukan perbaikan.
8. Memperoleh Sertifikat Halal
Perusahaan dapat mengunduh Sertifikat halal dalam bentuk
softcopy di Cerol. Sertifikat halal yang asli dapat diambil di kantor
LPPOM MUI Jakarta dan dapat juga dikirim ke alamat perusahaan.
Sertifikat halal berlaku selama 2 (dua) tahun.5
Gambar 3.1 Proses Sertifikasi Halal sebelum disahkannya UUJPH
5 http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/56/1362/page/1 diakses
pada 6 Juni 2019 pukul 17:13 WIB
38
Secara umum prosedur sertifikasi halal adalah sebagai berikut:
1. Perusahaan yang mengajukan sertifikasi, baik pendaftaran baru,
pengembangan (produk/fasilitas) dan perpanjangan, dapat melakukan
pendaftaran secara online. Melalui website LPPOM MUI
2. Mengisi data pendaftaran: status sertifikasi (baru/pengembangan
/pepanjangan), dan sertifikat halal, status SJH (jika ada) dan kelompok
produk.
3. Membayar biaya pendaftaran dan biaya akad sertifikasi halal.
Komponen biaya akad sertifikasi halal mencakup: honor audit, biaya
sertifikat halal, biaya penilaian implementasi SJH, dan biaya publikasi
majalah jurnal halal.
4. Mengisi dokumen yang dipersyaratkan dalam proses pendaftaran
sesuai dengan status pendaftaran (baru/pengembangan/perpanjangan)
dan proses bisnis (industri pengolahan, RPH, restoran, dan industri
jasa), diantaranya: Manual SJH, Diagram alir proses produksi, data
pabrik, data produk, data bahan dan dokumen bahan yang digunakan,
serta data matrix produk.
5. Setelah selesai mengisi dokumen yang dipersyaratkan, maka tahap
selanjutnya sesuai dengan diagram alir proses sertifikasi halal seperti
diatas yaitu pemeriksaan kecukupan dokumen Penerbitan Sertifikat
Halal.6
Dalam pelaksanaannya, prosedur untuk memperoleh sertifikasi halal
mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama teknologi pangan
serta tuntutan kebutuhan di lapangan.7
6 https://www.gomuslim.co.id/read/regulasi_direktori/2016/10/15/1799/begini-tata-cara-
pengurusan-sertifikat-halal-mui.html diakses pada 29 Juni 2019 pukul 17:59 WIB
7 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Gaung Persada Press Grup
(GP Press), 2013), h. 123
39
Menurut Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal mengatur tentang tata cara atau mekanisme memperoleh sertifikasi
halal termaktub pada pasal 29 sampai 45, yaitu sebagai berikut:8
Gambar 3.2 Proses Sertifikasi Halal setelah disahkannya UU JPH
Berikut merupakan penjelasan alur diagram di atas:
1. Pengajuan Permohonan
a. Permohonan sertifikasi halal diajukan oleh pelaku usaha secara
tertulis kepada BPJPH.
b. Permohonan sertifikasi halal harus dilengkapi dengan dokumen:
data pelaku usaha, nama dan jenis prduk, daftar produk dan bahan
yang digunakan, dan proses pengolahan produk.
2. Penetapan Lembaga Pemeriksa Halal
a. BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau
pengujian kehalalan produk.
b. Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada di atas dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak
dokumen permohonan dinyatakan lengkap.
8 Pasal 29-45 Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
40
3. Pemeriksaan dan Pengujian
a. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk dilakukan oleh
Auditor Halal.
b. Pemeriksaan terhadap produk dilakukan di lokasi usaha pada saat
proses produksi.
c. Dalam hal pemeriksaaan produk terdapat bahan yang diragukan
kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium.
d. Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha, pelaku usaha
wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal.
Kemudian LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau
pengujian kehalalan produk kepada BPJPH. Setelah itu, BPJPH
menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan
produk kepada MUI untuk memperoleh penetapan kehalalan
produk.
4. Penetapan Kehalalan Produk
a. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI.
b. Penetapan kehalalan Produk dilakukan dalam Sidang Fatwa
Halal.
c. Sidang Fatwa Halal MUI mengikutsertakan pakar, unsur
kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait.
d. Sidang Fatwa Halal memutuskan kehalalan Produk paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan
dan/atau pengujian Produk dari BPJPH.
e. Keputusan Penetapan Halal Produk ditandatangani oleh MUI.
f. Keputusan Penetapan Halal Produk disampaikan kepada BPJPH
untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.
5. Penerbitan Sertifikat Halal
a. Dalam hal Sidang Fatwa Halal menetapkan halal pada Produk
yang dimohonkan Pelaku Usaha, BPJPH menerbitkan Sertifikat
Halal.
41
b. Dalam hal Sidang Fatwa Halal menyatakan Produk tidak halal,
BPJPH mengembalikan permohonan Sertifikat Halal kepada
Pelaku Usaha disertai dengan alasan.
Kemudian sertifikat halal diterbitkan oleh BPJPH paling lama 7
(tujuh) hari kerja terhitung sejak sejak keputusan kehalalan Produk
diterima dari MUI. Setelah penerbitan Seertifikat Halal, BPJPH wajib
mempublikasikannya.
6. Label Halal
a. BPJPH menetapkan bentuk Label Halal yang berlaku nasional.
b. Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib
mencantumkan Label Halal pada: kemasan Produk, bagian
tertentu dari Produk; dan/atau, tempat tertentu pada Produk.
c. Pencantuman Label Halal harus mudah dilihat dan dibaca serta
tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.
d. Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak sesuai
dengan ketentuan di atas dikenai sanksi administratif berupa:
teguran lisan, peringatan tertulis; atau pencabutan Sertifikat Halal.
7. Pembaruan Sertifikat Halal
a. Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan
oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan.
b. Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan
mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga)
bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir.
c. Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH
wajib menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam
informasi yang diserahkan oleh Pelaku Usaha.
8. Pembiayaan
a. Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang
mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
b. Dalam hal Pelaku Usaha merupakan usaha mikro dan kecil, biaya
Sertifikasi Halal dapat difasilitasi oleh pihak lain.
42
c. BPJPH dalam mengelola keuangan menggunakan pengelolaan
keuangan badan layanan umum.9
B. Tahapan Pengajuan Sertifikasi Halal Produk Impor
Untuk produk impor yang telah memiliki sertifikat halal dari negaranya
dan apabila negara tersebut sudah tercatat dalam list negara yang bekerjasama
internasional, maka negara tersebut tidak perlu mengajukan permohonan
sertifikat halal, sepanjang sertifikat tersebut diterbitkan oleh lembaga halal
luar negeri yang telah kerja sama.10
Produk halal yang sertifikat halalnya
diterbitkan oleh lembaga halal luaar negera yang belum diedarkan di
Indonesia, selain memenuhi kewajiban registrasi sertifikat halal juga produk
tersebut wajib memenuhi ketentuan peratran perundang-undangan yang
mengatur mengenai persyaratan peredaan produk terkait.11
Adapun tata
registrasinya sebagi berikut:
1. Pelaku usaha mengajukan permohonan kepada BPJPH secara tertulis
(dapat menggunakan sisem eketrnonik atau manual) dengan
melampirkan:
a. Salinan sertifikat halal luar negeri produk bersangkutan yang telah
disahkan oleh perwakilan Indnesia di luar negeri;
b. Daftar barang yang akan diimpor ke Indonesia dilengkapi degan
nomor kode sistem harmonisasi; dan
c. Surat pernyataan yang menyatakan dokumen yang disampaikan
benar dan sah.12
2. Kepala Badan menerbitkan nomor registasi bagi sertifikat halal luar
negeri yang telah memenuhi persyaratan di atas.13
9 Bab V Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
10 Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
11 Pasal 64 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2019 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
12 Pasal 65 ayat (1-2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2019
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal
43
3. Pelaku usaha yang telah memperoleh nomor registrasi wajib
mencantumkan nomor registras berdekatan dengan label halal pada:
kemasan produk, bagian tertentu pada produk, dan/atau tempat tertentu
pada produk.14
13
Pasal 66 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2019 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
14 Pasal 66 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2019 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
44
BAB IV
LEGALITAS HUKUM ATAS LABEL HALAL LUAR NEGRI
A. Sebelum Mandatory atau sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
Sebagai wujud nyata kehadiran negara dalam melindungi konsumen
dari produk yang tidak halal, maka terdapat beberapa peraturan perundang-
undangan yang sejak lama digunakan untuk mengatur peredaran produk halal.
Peraturan-peraturan tersebut lahir jauh sebelum dibuatanya Rancangan
Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH). Hal ini menandakan
bahwa persoalan pengaturan produk halal sesuangguhnya sudah sejak lama
diperlukan, baik dalam konteks peredaran barang dalam skala domestik
maupun peredaran barang dalam perdagangan global, terutama yang terkait
dalam kegiatan ekspor impor. Tentu adanya perbedaan otoritas yang
berkewajiban atas pencantuman label halal dan prosedur untuk pengajuan
sertifikat halal, label halal bagi produk pangan impor dan legalitas dari label
halal dari produk pangan impor tersebut.
Sebelum mandatory atau sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, izin pencantuman label halal
merupakan otoritas Badan POM, sebagaimana sesuai dengan Kepmenkes RI
No.82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label
Makanan, pada peraturan ini menjelaskan bahwa hasil pengujian laboratorium
dan dilakukan evaluasi oleh tim ahli Majelis Ulama Indonesia. Kemudian
hasil evaluasi tersebut disampaikan kepada Komisi Fatwa1 Majelis Ulama
Indonesia berupa pemberian sertifikay halal bagi yang memenuhi syarat atau
berupa penolakan.2 Berdasarkan keputusan tersebut, izin pencantuman label
halal dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan
1 Komisi Fatwa adalah salah satu komisi di lingkungan Majelis Ulama Indonesia yang
bertugas menyelesaikan beberapa persoalan hukum yang berkembang di masyarakat.
2 Pasal 10 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82 tahun 1996
45
Depkes RI (sekarang Menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan/Badan
POM), baik tugas,3 kedudukan,
4 fungsi
5 dan kewenangan.
6
Untuk produk pangan impor sendiri, Badan POM mensyaratkan bahwa
untuk produknya harus mencantumkan logo atau label halal Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Tujuannya untuk mempermudah dalam pengawasan.
Dengan demikian, ketika ada produk impor yang masuk ke Indonesia dan
dengan label halal bukan dari MUI atau label halal dari negara asalnya, maka
produk tersebut belum ter-register oleh Badan POM untuk pencantuman label
halal MUI. maka dengan demikian label halal tersebut dapat dikatakan ilegal,
karena salah satu syarat produk impor untuk beredar di Indonesia harus
menggunakan label halal dari MUI.
Produk impor yang akan diedarkan di Indonesia yang diharuskan
menggunakan lebla halal MUI, maka demikian produk tersebut harus
memiliki sertifikat halal dari MUI. sehingga produk tersebut harus
mendaftarkan terlebih dahulu kepada MUI, dan Lembaga Pengkajian Pangan,
Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI bertindak sebagai pemeriksanya,
melakukan audit dan lain-lain.
3 BPOM mempunya tugas melaksanakan tugas pemerintah di bidang pengawasan obat dan
makanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
4 Kedudukan BPOM yaitu: sebagai lembaga pemerintah non departemen yang dibentuk
untuk melaksanan tugas pemerintah tertentu dari Presiden, berada di bawah dan bertanggng jawab
kepada Presiden, dalam melaksanakan tugasnya, BPOM dikoordinasikan oleh Menteri Kesehatan
dan Kesejahteraan Sosial, dan dipimin oleh Kepala
5 Fungsi BPOM yaitu: a) pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang
pengawasan obat dan makanan; b) pelaksanaan kebijakan tetentu di bidang pengawasan obat dan
makanan,; c) koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPOM; d) pemantauan,
pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan
obat dan makanan; e) penyelenggaraan bpembinan dan pelayanan administrasi umum di bidang
perencanaan umum; ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawain, keuangan, kearsian,
persandian, perlengkapan dan rumah tangga.
6 Kewenangan BPOM yaitu: a) penysunan rencana nasionalsecara makro di bidang
pengawasan obat dan makanan; b) perumusan kebijakan di bidang pengawasan obat dan makanan
untuk mendukung pembangunan secar makro; c) penetapan sistem informasi di bidang
pengawasan obat dan makanan; d) penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat aditif)
tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman pengawasan peredaran obat dan makanan; e)
pemberian izin dan pengawasan peredaran obt serta penagawasan industri farmasi; f) penetapan
pedoman penggunaan, konservasi, pembangunan, dan pengawasan tanaman obat.
46
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa sebelum mandatory, legalitas
dari suatu produk impor, label halal, dan bahan yang terkandung di dalamnya
untuk pencantuman izinnya merupakan otoritas Badan POM.7
Kemudian dalam hal pengakuan sertifikat halal luar negeri, MUI
bekerja sama dengan lembaga halal luar negeri. Lembaga sertifikasi luar
negeri dapat dikatakan diakui oleh MUI jika lembaga tersebut memenuhi
persyaratan dari MUI. Salah satunya yaitu apakah ada ulama yang tergabung
dalam lembaga tersebut, karena di luar negeri tidak semua lembaga sertifikasi
halal memiliki ulama. Dengan demikian, akan berbeda standar yang
ditetapkan MUI dengan lembaga sertifikasi luar negeri. Kemudian
persyaratan lainnya yaitu apakah ada tim yang melakukan pemeriksaan/audit,
karena ada sebagian lembaga yang tidak memiliki tim pemeriksaan atau tim
audit yang sesuai dengan backgroundnya. Jika lembaga luar negeri dapat
memenuhi persyaratan-persyaratan yang diajukan oleh MUI maka lembaga
tersebut dapat bergabung dengan Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri.
B. Setelah Mandatory atau setelah diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
Perbedaan sebelum mandatory dan setelah mandatory yaitu, mengenai
izin untuk pencantuman label halal MUI yang sebelumnya menjadi otoritas
Badan POM namun setelah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal berlaku maka otoritas tersebut menjadi otoritas Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Sebelum Undang-Undang
Jaminan Produk Halal, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Surat Keputusan
Menteri Agama RI No. 519/2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan
Pangan Halal yang menunjuk MUI sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan
pangan yang dinyatakan halal, yang dikemas untuk diperdagangkan di
Indonesia. Akan tetapi, ketika UU JPH lahir, otoritas ini diambil oleh Badan
Penyelenggra Jaminan Produk Halal (BPJPH).8
7 Hasil Wawancara bersama Bagian Humas LPPOM MUI
8 https://beritagar.id/artikel/berita/badan-pembuat-sertifikat-halal-dan-kewenangan-mui
diakses pada 29 Juni pukul 18:26 WIB
47
Dalam melaksanaan wewenangnya BPJPH9 bekerjasama dengan
beberapa lembaga yaitu,10
Kementerian dan/atau lembaga terkait, Lembaga
Pemeriksa Halal (LPH)11
, dan Majelis Ulama Indnesia (MUI).
MUI adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu’ama,
dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan
mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.12
1. Wewenang Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)
Dalam penyelenggaraan jaminan produk halal (JPH)13
, BPJPH
berwenang:14
a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
b. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;
c. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada
Produk;
d. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri;
e. Melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal;
f. Melakukan akreditasi terhadap LPH;
g. Melakukan registrasi Auditor Halal;15
h. Melakukan pengawasan terhadap JPH;
i. Melakukan pembinaan Auditor Halal; dan
j. Melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di
bidang penyelenggaraan JPH.
9 Badan yang dibentuk oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan produk halal
10 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Jaminan Produk Halal
11 Lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan
produk.
12 https://mui.or.id/sejarah-mui/ diakses pada 29 Juni pukul 18:30 WIB
13 Kepastian hukum terhadap kehalalan suatu produk yng dibuktikan dengan sertifikat halal.
14 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Jaminan Produk Halal
15 Orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalaln produk.
48
2. BPJPH melakukan pengawasan terhadap JPH.16
Adapun pengawsan JPH dilakukan terhadap:17
a. Lembaga Pemeriksa Halal (LPH)18
;
b. Masa berlaku Sertifikat Halal;
c. Kehalalan Produk;
d. Pencantuman Label Halal;
e. Pencantuman keterangan tidak halal;
f. Pemisahan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta
penyajian antara Produk Halal dan tidak halal;
g. Keberadaan Penyelia Halal;19
dan/atau
h. Kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.
Ketentuan Undang-Undang ini juga berlaku untuk untuk produk halal
luar negeri.20 Sesuai dengan bunyi pasal 47 ayat 1 yaitu produk halal luar
negeri yang diimpor ke Indonesia berlaku ketentuan sebagaimana diatur
dalam undang-undang ini.
Menurut peraturan yang berlaku, yaitu Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah dan Rangcangan Peraturan Menteri Agama bahwa ketika produk
impor yang masuk ke Indonesia, barang retail atau non retail produk tersebut
bisa hanya didukung sertifikat halal yang diakui dari lembaga halal yang ada
di negara asalnya.
Telah disebutkan pula dalam undang-undang ini bahwa terdapat
kerjasama Internasiona. Kersama ini dibangun antara MUI dengan lembaga
sertikasi halal dari negara lain dalam hal pengakuan sertifikat halal.
16
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Jaminan Produk Halal
17 Pasal 50 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Jaminan Produk Halal
18 Lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan
produk
19 Orang yang bertanggung jawab terhadap PPH
20 Pasal 47 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Jaminan Produk Halal
49
Pengakuan ini dilakukan oleh MUI, sebagai lembaga yang berwenang atas
sertifikasi atau penilaian kesesuaian terhadap LSHLN yang juga pada
dasarnya memiliki tugas utama melakukan penilaian. Pengakuan yang MUI
berikan berimplikasi pada dapat diterimanya produk negara lain yang telah
melakukan penilaian kesesuaian atau sertifikasi terhadapnya yang dilakukan
oleh lembaga sertifikasi halal dari neggara lain tanpa dilakukannya sertifikasi
ulang oleh LPPOM MUI di Indonesia.21
Mengenai produk yang bersertifikat
halal dari lembaga sertifikat luar negeri tentunya perlu diperhtikan, sebab
tidak semua standar luar negeri atau internasional dapat diterapkan di
Indonesia, karena Indonesia memiliki ketentuan batasan halal yang paling
ketat.
Pada level global, LPPOM MUI aktif menjalin kerja sama dengan
lembaga sertifkasi internasional. LPPOM MUI memprakarsai World Halal
Food Council (WHFC) atau Dewan Halal Pangan Dunia. Pada kongres
WHFC 2004 menetapkan langkah-langkah dengan keluarnya kesepakatan
antar lembaga sertifikasi halal untuk membuat standar pemeriksa halal yang
sama untuk seluruh anggota Dewan Halal Dunia.22
Standar halal MUI dan
auditor halal LPPOM MUI telah menjadi pedoman di Indonesia dan menjadi
rujukan pada 43 lembaga sertifikasi halal luar negeri di 23 negara.23
Sebagaimana disebutkan dalam undang-undang ini bahwa (1)
Pemerintah dapat melakukan kerja sama internasional dalam bidang JPH
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kerja sama
internasional dalam bidang JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berbentuk pengembangan JPH, penilaian kesesuaian, dan/atau pengakuan
Sertifikat Halal.24
Selanjutnya disebutkan pula pada pasal 47 bahwa: (1)
21
Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika MUI, Indonesian Halal
Directory 2016-2017 : Potensial Develoment of Halal Port In Indonesia, h.70
22 Lukmanul Hakim, Bahan Seminar Nasional Halal dan Focus Group Discution di
Universitas Djuanda Bogor, 15 Desember 2014, h.2. 36 P
23 List negara yang tergabung dalam Lembaga Sertikat Halal Luar Negeri (Terlampir)
24 Pasal 46 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Jaminan Produk Halal
50
Produk Halal luar negeri yang diimpor ke Indonesia berlaku ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (2) Produk Halal,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak perlu diajukan permohonan
Sertifikat Halalnya sepanjang Sertifikat Halal diterbitkan oleh lembaga halal
luar negeri yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2). (3) Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib diregistrasi oleh BPJPH sebelum Produk diedarkan di
Indonesia.25
Menurut kedua pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa produk impor
yang sudah memiliki sertifikat halal tidak perlu mengajukan permohonan
sertifikasi halal kembali, sepanjang sertifikat halal dari produk tersebut
diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri yang bekerjasama dengan
Indonesia.
Seperti yang kita ketahui bahwa pengaturan produk halal di Indonesia
saat ini mengandung tiga norma sekaligus, yaitu sukarea (voluntary),
wajib/keharusan (mandatory), bagi produk hewan, dan waib dipersyaratkan
(mandatory if recommended). Padahal perlindungan terhadap hak-hak
konsumen harus dipahami bukanlah sebagai sikap anti terhadap produsen,
melainkan apresiasi terhadap hak-hak konsumen secara universal. Disamping
juga konsumen memiliki hak personal defenses26
. Hadirnya regulasi jaminan
produk halal dari yang semula bersifat voluntary (sukarela) menjadi
mandatory (keharusan) bagi semu produk yang masuk, beredar dan
diperdagangkan di wilayah Indonesia, sesuai dengan bunyi pasal 427
undang-
undang jaminan produk halal nomor 33 tahun 2014. Hal inilah yang menjad
pembeda utama dengan produk perundang-undangan sebelumnya.
25
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Jaminan Produk Halal
26 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Gaung Persada Press Grup
(GP Grup), 2013), h.12
27 Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib
bersertifikat halal.
51
Kemudian, Proses Pengakuan Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri.
MUI melakukan kerjasama dengan lembaga sertifikasi halal luar negeri
(LSHLN) yang menerapkan standar halal MUI melalui proses pengakuan,
diantaranya:28
a. Tahapan Proses Pengakuan Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri
1) Kriteria pengakuan, yaitu dalam kriteria ini MUI menetapkan 7
(tujuh) kriteria sebagai prasyarat yang harus dipenuhi oleh LSHLN
yang ingin diakui oleh MUI. Pengakuan MUI terhadap LSHLN
dilakukan berdasarkan permohonan dari LSHLN yang bersangkutan.
2) Pemenuhan Data Kuesioner Pengakuan
Data pemenuhan 7 kriteria dituangkan ke dalam kuisoner yang
ditetapkan LPPOM MUI yang menitik beratkan pada kemampuan
menerapkan standar dan prosedur sertifikasi halal LSHLN. Data
LSHLN selanjutnya akan dipelajari oleh LPPOM.
Hasil kajian dan verifikasi data oleh LPPOM MUI selanjutnya
disampaikan kepada MUI. Berdasarkan kajian dan verifikasi data
oleh LPPOM MUI, kemudian Dewan Pimpinan MUI akan
menetapkan status kelayakan LSHLN untuk dikunjungi (audit
lapangan) ke LSHLN setempat.
3) Kunjungan Pengakuan, tujuan dari kunjungan ini untuk
membuktikan keberadaan LSHLN dan kebenaran prosedur dan
standar yang tertulis dalam data yang dikirimkan ke MUI.
Kunjungan dilakukan oleh suatu tim yang menguasai aspek
keilmuan (sains) dan syariah.
4) Penetapan Status Pengakuan
Berdasarkan hasil kunjungan lapangan ke LSHLN, tim auditor
berdasarkan data dan fakta lapangan akan menetapkan status
kesesuaian dan pemenuhan berdasarkan ketentuan MUI dan LPPOM
MUI. Jika sesuai maka akan diterbitkan Decree MUI atas pengakuan
28
http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/detil_page/8/1935 diakses pada 10 Mei
2019 pukul 22:42 WIB
52
lembaga sertifikasi halal tersebut untuk kategori tertentu (kategori
pengakuan MUI ada tiga yaitu pemotongan/slaughtering, industri
pengolahan dan flavor).
5) Masa Evaluasi Pengakuan, yaitu MUI akan melakukan review atas
pengakuan LSHLN setiap dua tahun sekali.
b. Peran Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri dalam Proses Sertifikasi
Halal
Sertifikat halal dari LSHLN yang diakui oleh MUI berperan dalam
proses sertifikasi halal untuk bahan baku yang digunakan pada produk
akhir saja dan hanya untuk produk yang diproduksi di wilayah negara
LSHLN tersebut berada.
c. Pembiayaan Pengakuan Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri
Penerbitan sertifikat pengakuan LSHLN diberikan secara gratis.
Pembiayaan dalam proses pengakuan Lembaga Sertifikat Halal Luar
Negeri (LSHLN) hanya untuk mengganti biaya perjalanan (meliputi tiket,
visa, transport lokal di Indonesia, fiskal) dan honor auditor (besarannya
sesuai dengan kebijakan LSHLN). Jadi, ketika Decree MUI diterbitan
tidak dikenai biaya apapun. Berdasarkan standar pembiayaan yang
berlaku di MUI terhadap pengakuan LSHLN, maka tidak dimungkinkan
adanya pembiayaan lain di luar untuk kepentingan audit LSHLN.
d. Sistem Monitoring pada Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri
Monitoring atas pengakuan LSHLN yang telah diakui MUI
dilakukan dengan cara memastikan keabsahan (otentisitas) sertifikat halal
yang diterbitkan, berkomunikasi aktif jika diketahui ada hal-hal yang
tidak sesuai dengan standar dan prosedur MUI dan LPPOM MUI, serta
pertemuan tahunan untuk melakukan koordinasi.
Menurut Kepala BPJPH Sukoso mengatakan bahwa, Peraturan
Menteri Agama (PMA) tentang Tata Cara Registrasi Sertifikat Halal
Luar Negeri diperlukan sebagai dasar pelaksanaan kewenangan BPJPH
dalam melakukan registrasi sertifikat dari produk halal yang disertifikasi
oleh lembaga halal luar negeri. Lembaga dimaksud tentunya adalah yang
53
telah bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia. Dengan demikian,
produk halal luar negeri yang akan masuk ke Indonesia, tidak perlu
diajukan permohonan sertifikat halalnya lagi. Produk tersebut cukup
diregistrasi di BPJPH sebelum diedarkan di wilayah Indonesia.29
C. Aspek Perlindungan Hukum bagi Konsumen Produk Pangan Impor
Produk luar negeri yang diimpor oleh para pelaku usaha di dalam negeri
banyak sekali macamnya. Produk-produk itu harus menyesuaikan dengan
keadaan suatu negara, termasuk mengenai standar yang telah ditetapkan oleh
negara itu. Demikian juga mengenai produk halal harus ada keterangan
bahwa produk itu benar-benar halal baik pengolahannya maupun tata cara
pengepakannya semua harus memenuhi aturan yang telah ditentukan dalam
agama. Mengingat Indonesia penduduknya adalah muslim dan terbesar di
dunia maka semua produk makanan dan minuman harus halal.30
Produk halal kini bukan lagi semata-mata isu agama, tetapi sudah
menjadi isu di bidang bisnis perdagangan. Saat ini, jaminan sebuah produk
sudah menjadi simbol global bahwa produk yang bersangkutan terjamin
kualitasnya. Selain itu, masyarakat dunia sekarang cenderung memilih
produk-produk yang berlabelkan halal, malah menjadi semacam gaya hidup.
Sebab, kualitas produk halal akan lebih terjaga dari segala macam bahan-
bahan yang berbahaya, yang dapat menimbulkan penyakit bagi yang
mengkonsumsinya.
Seiring dengan perkembangan teknologi pangan di Indonesia, Undang-
Undang Jaminan Halal akan diberlakukan dan dilaksanankan pada tahun
2019. Maka salah satu bentuk perlindungan hukum bagi konsumen terhadap
produk pangan yang berlabel halal dari luar negeri ataupun yang tidak
berlabel halal pada saat ini adalah dengan melihat daftar bahan yang
digunakan, nomor izin edar bagi pengolahan, tanggal kode produksi, nama
29
https://jpp.go.id/humaniora/sosial-budaya/326427-bpjph-atur-tata-cara-registrasi-halal-
luar-negeriaa tgl 12/5/19 diakses pada tanggal 12 Mei 2019 pukul 00:48 WIB
30 Mardiyono, “Peningkatan Mawas Diri Konsumen Menggunakan Produk Berlabel Halal”,
Jurnal Cakrawala Hukum, Vol.19, Juni 2014, h.65
54
dan alamat pihak yang memproduksi atau negara yang mengimpor produk
tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi terhadap produk yang tidak
jelas akan kehalalannya.
Perlindungan hukum menurut Satjipto Raharjo yaitu memberikan
pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan
perlindungan diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati
semua hak-hak yan diberikan oleh hukum.31
Pada awalnya dasar dari
keberadaan jaminan produk pangan halal berasal dari informasi yang benar,
jelas, dan lengkap, baik secara kuantitatif maupun kualitas dari produk
pangan yang mereka konsumsi. Dengan adanya pencantuman label halal
sebagai konsekuensi sebuah produk yang bersertifikat halal akan
mengembalikan hak-hak konsumen untuk menyeleksi dan mengkonsumsi
jenis makanan yang akan dikonsumsinya. Maka, pencantuman label halal
harus terbuka dan jelas terlihat, sehingga menunjukkan bahwa adanya itikad
baik dari pelaku usaha untuk memastikan bahwa hak-hak konsumen
terpenuhi. Perlindungan konsumen merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat
keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dan produsen.
Dalam konteks Indonesia, perlindungan makanan menjadi standar yang
perlu dipenuhi. Kelalaian sebagian umat Islam terhadap kehalalan suatu
produk yang dimanfaatkannya dapat memberikan dampak negatif yang
panjang.32
Oleh karena itu, tentunya diperlukan perhatian yang besar terhadap
produk makanan yang beredar bebas di pasaran terutama dari sisi
kehalalannya. Hal ini dikarenakan produk makanan yang terdistribusi akan
diserap oleh pasar yang mayoritas konsumennya adalah pemeluk agama Isalm
dan kepercayaannya tertentu yang mewajibkan pemeluknya untuk
mengkonsumsi makanan tertentu.
31
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Adtya Bakti, 2000), h.53
32 Sri Nuryati, Halalkah Makanan Anda? (Solo: Aqwa Medika, 2008), h.15
55
Labelisasi produk dengan menggunakan stiker atau logo halal
merupakan salah satu fenomena penting yang tidak hanya menandai
bangkitnya kesadaran nilai-nilai etika dan spiritual dalam ranah bisnis dan
perilaku bisnis produsen, tetapi juga menunjukkan adanya kepedulian
produsen terhadap kemaslahatan konsumen. Fenomena labelisasi halal pada
produk ini sudah marak dilakukan di dunia bisnis, baik dalam skala
internasional, nasional maupun lokal.33
Label halal dalam suatu produk
pangan mengandung aspek yuridis untuk memberikan perlindungan terhadap
konsumen. Artinya, secara hukum dengan mencantumkan label halal berarti
melindungi konsumen dan melaksanakan undang-undang tentang
perlindungan konsumen.
Sertifikasi dan labelisasi bertujuan untuk memberikan kepastian hukum
dan perlindungan terhadap konsumen, serta meningkatkan daya saing produk
dalam negeri dalam meningkatkan pendapatan nasional. Ada tiga sasaran
utama yang ingin dicapai yaitu:
1. Menguntungkan konsumen dengan memberikan perlindungan dan
kepastian hukum.
2. Menguntungkan produsen dengan peningkatan daya saing dan omset
produksi dalam penjualan.
3. Menguntungkan pemerintah dengan mendapatkan tambahan
pemasukan terhadap kas negara.34
Adapun upaya perlindungan hukum bagi konsumen salah satunya
dengan memberikan hak-hak yang khusus untuk konsumen, mellihat dari
tujuan hukum melindungi konsumen yaitu mewujudkan keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum.35
Untuk itu konsumen diberikan hak-hak
pada Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Perlindungan Konsumen pada
33
Muhammad Ibnu Elmi As Pelu, Label Halal (Malang: Madani, 2009), h.5
34 Teti Indrawati Purnamasari, Sertifikasi dan Labelisasi Produk Pangan Halal dalam
Rangka Perlindungan konsumen muslim di Indonesia”, Jurnal-Istinbath , No.1 Vol. 3 Desember
2005, h.48.
35 Erna Widjajati dan Yessy Kusumadewi, Pengantar Hukum Dagang,... h.23
56
pasal 4 dan 5 disebutkan bahwa konsumen memiliki hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi, yaitu:36
Hak-hak konsumen:
1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan;
3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8) Hak untuk mendapatkan kompensasi atau ganti rugi jika barang atau asa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau sebagaimana mestinya.
Peraturan yang mengkhususkan menganai perlindungan konsumen bagi
konsumen muslim tertuang pada Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal. Pada undang-undang ini terdapat aturan
tentang hak dan kewajiban pelaku usaha, yaitu pada pasal 2337
, pasal 2438
,
36
Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
37 Pelaku Usaha berhak memperoleh: a) informasi, edukasi, dan sosialisasi mengenai sistem
JPH; b) pembinaan dalam memproduksi Produk Halal; dan c) pelayanan untuk mendapatkan
Sertifikat Halal secara cepat, efisien, biaya terjangkau, dan tidak diskriminatif
38 Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal wajib: a) memberikan
informasi secara benar, jelas, dan jujur; b) memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan,
pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk
Halal dan tidak halal; c) memiliki Penyelia Halal; dan d. melaporkan perubahan komposisi Bahan
kepada BPJPH.
57
pasal 2539
, pasl 2640
, dan pasal 2741
, sehingga sebagai pelaku usaha/produsen
tidak sembarangan memproduksi produknya. Undang-undang ini tidak hanya
mengatur tentang kehalalan produk dan sertifikasi halal bagi produk halal
saja, melainkan memberikan pengecualian terhadap pelaku usaha yang
memproduksi produk dari bahan yang bahan dasarnya yang diharamkan
dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada
kemasan produk atau pada bagian tertentu dari produk yang mudah dilihat,
dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari produk. Telah disebutkan pada pasal 26 bahwa pelaku usaha yang
memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1842
dan pasal 2043
dikecualikan dari
mengajukan permohonan sertifikat halal.44
39
Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib: a) mencantumkan Label
Halal terhadap Produk yang telah mendapat Sertifikat Halal; b) menjaga kehalalan Produk yang
telah memperoleh Sertifikat Halal; c) memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat
pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk
Halal dan tidak halal; d) memperbarui Sertifikat Halal jika masa berlaku Sertifikat Halal berakhir;
dan e. melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH.
40 (1) Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang
diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20 dikecualikan dari mengajukan
permohonan Sertifikat Halal. (2) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mencantumkan keterangan tidak halal pada Produk.
41 (1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 dikenai sanksi administratif berupa: a) peringatan tertulis; b) denda administratif; atau c)
pencabutan Sertifikat Halal. (2) Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa: a) teguran lisan; b)
peringatan tertulis; atau c) denda administratif. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.
42 (1) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (3) meliputi: a) bangkai; b) darah; c) babi; dan/atau d) hewan yang disembelih tidak sesuai
dengan syariat. (2) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI.
43 (1) Bahan yang berasal dari tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
huruf b pada dasarnya halal, kecuali yang memabukkan dan/atau membahayakan kesehatan bagi
orang yang mengonsumsinya. (2) Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang dihasilkan
melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2) huruf c dan huruf d diharamkan jika proses pertumbuhan dan/atau pembuatannya
tercampur, terkandung, dan/atau terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan. (3) Bahan yang
diharamkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan
fatwa MUI.
44 Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
58
Undang-Undang Jaminan Produk Halal lebih mempertegas terkait
kepastian hukum dan jaminan terhadap produk pangan halal di Indonesia.
Sebagaimana penjelasan pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 bahwa adanya asas-asas penyelenggaraan jaminan produk halal, yaitu:
1. Asas perlindungan, yaitu dalam penyelenggraan JPH bertujuan untuk
melindungi masyarakat muslim.
2. Asas keadilan, yaitu bahwa dalam penyelenggaraan JPH harus
mencerminkan keadilan secara proposional bagi setiap warga Negara.
3. Asas kepastian hukum, yaitu bahwa penyelenggaraan JPH bertujuan
memberikan kepastian hukum mengenai kehalalan suatu produk yang
dibuktikan dengan sertifikasi halal.
4. Asas akuntabilitas dan transparansi, yaitu bahwa dalam kegiatan
penyelenggaraan JPH harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat sebagai pemegang kedulatan tertingi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Asas efektivitas dan efisiensi, yaitu bahwa penyelenggaraan JPH
digunakan dengan tepat dalam orientasi tepat guna dan berdaya guna
serta meminimalissi penggunaan sumber daya yang dilakukan dengan
cara cepat, sederhana, dan biaya ringan atau terjangkau.45
6. Asas profesionalitas, yaitu penyelenggaraan JPH dilakukan dengan
mengutamakan keahlian yang berdasarkan kompetensi dan kode etik.46
Dalam undang-undang jaminan produk halal juga terdapat sanksi
hukum bagi pelaku usaha yang tidak mematuhi ketentuan yang terdapat
dalam undang-undang ini. Pelaku usaha yang tidak melakukan kewajiban
bagi pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal sebagaimana yang
tercantum pada Pasal 25 UU JPH maka dikenai saksi administratif berupa
peringatan tertulis, denda administrati atau pencabutan sertifikat halal. Begitu
45
Tabunan, Amirsyah, “Hak Konsumen dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999”, Jurnal Halal, No. 101, Tahun XVI, Jakarta: LPPO MUI, 2013, h.,12
46 Penjelasan Pasal 2 huruf (f) Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal
59
pula bagi pelaku usaha yang tidak melakukan kewajibannya terhadap dalam
memproduksi bahan yang diharamkan sesuai Pasal 26 dikenakan sanksi
administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis atau denda administratif.
Selain ketentuan berupa denda yang bersifat administratif dalam UU
JPH ini juga mengatur ketentuan pidana bagi pelaku usaha yang tercantum
dalam Pasal 56 yaitu “Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk
yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.
Kemudian untuk menjamin kerahasiaan formula yang diajukan oleh pelaku
usaha yang melakuan pengajuan sertifikast halal diatur dalam Pasal 43 UU
JPH, yaitu “Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH
wajib menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang
diserahkan oleh Pelaku Usaha”. Apabila pelaku usaha melanggar ketentuan
tersebut maka pelaku usaha dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000 (dua milyar rupiah).47
Kerap kali kita menemukan beberapa produk impor yang sebelumnya
berlabel halal dari lembaga sertifikasi halal negara asalnya sekarang sudah
tidak kita temukan lagi pada kemasannya, bahkan kerap kali label halalnya
ditutupi dengan stiker seolah-olah label halal produk tersebut tidak berlaku.
Hal tersebut dilakukan bukan karena label halal tersebut palsu atau
tidak berlaku. Ternyata ketentuan ini merupakan implementasi peraturan
perundang-undangan yang telah ditetapkan. Diantaranya ialah Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-
Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU Nomor 18 Tahun
2012 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan; Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001
tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal;
47
Pasal 57 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
60
dan Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga
Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal, dll.
Implementasi ini selain bertujuan untuk melindungi pengusaha nasional
dari serbuan produk pangan impor, terutama di era pasar bebas, dimana
gencarnya produk luar masuk ke pasar domestik, aturan ini sekaligus
menjalankan misi perlindungan umat dari produk-produk impor yang belum
jelas kehalalannya. Oleh karena itu, pencantuman label halal untuk produk
halal yang beredar dan dipasarkan di Indonesia, harus dengan adanya bukti
Sertifikat Halal dari MUI sebagai Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan
Halal yang diakui pemerintah Indonesia.
Produk impor berlebel halal masih diragukan kehalalannya dikarenakan
masih adanya lembaga sertifikasi luar negeri yang belum diakui standardnya
oleh LPPOM MUI. Menurut Ketua MUI KH Ma’ruf Amin, “Banyak lembaga
sertifikat halal luar negeri tidak memiliki dewan fatwa, dan beberapa
diantaranya tidak beroperasi di bawah organisasi Islam. Oleh karena itu kami
bermaksud untuk memastikan bahwa produk-produk yang berlebel halal
tersebut memang benar-benar halal,” ujarnya KH Ma’ruf Amin.
Dalam hal ini lembaga sertifikasi internasional juga telah menyetujui
bahwa jika mereka tidak memenuhi standar halal Indonesia, maka produk-
produk tersebut tidak akan memperoleh izin untuk masuk ke Indonesia. Bisa
dibilang peraturan ini secara tidak langsung memberi dampak positif bagi
lembaga sertifikasi luar negeri untuk memperbaiki standar mereka.
Sehingga untuk mendapatkan pengakuan kehalalannya oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) produk halal impor yang akan masuk ke Indonesia terlebih
dahulu harus memiliki sertifikasi halal dari lembaga sertifikasi halal negara
asal yang memenuhi standar halal menurut MUI.48
48
https://www.halalcorner.id/regulasi-label-halal-di-kemasan-produk-impor/ diakses pada
10 Mei 2019 pukul 01:15 WIB
61
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya, penulis mengambil
kesimpulan bahwa:
1. Legalitas atas label halal luar sebelum mandatory, legalitas dari suatu
produk impor, label halal, dan bahan yang terkandung di dalamnya untuk
pencantuman izinnya merupakan otoritas Badan POM dan untuk produk
impor, ketika produknya ingin diedarkan di Indonesia maka harus
mencantumkan label halal dari MUI. Apabila produk tersebut masih
menggunakan label halal dari negara asalnya maka produk tersebut
belum ter-register oleh Badan POM dan MUI dan produk tersebut dapat
dikatakan ilegal. Maka dari itu produk impor harus memiliki sertifikat
halal dari MUI sehingga lembaga halal luar negeri harus mendaftarkan
produknya terlebih dahulu kepada MUI. Setelah mandatory, otoritas
untuk izin pencantuman label halal menjadi kewenangan Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang bekerjasama dengan
Kementerian dan/atau lembaga terkait, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH),
dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Jaminan
Produk Halal bahwa produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di
wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Untuk produk impor yang
telah memiliki sertifikat halal dan label halal tidak perlu melakukan
sertifikasi ulang sepanjang sertifikat halal diterbitkan oleh lembaga halal
luar negeri yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan di bidang
jaminan produk halal. Sertifikat halal tersebut hanya perlu diregistrasi
oleh BPJPH sebelum produk diedarkan. Ketentuan-ketentuan mengenai
kerja sama di atas diatur dalam pasal 25 dan tata cara registrasi produk
impor diatur dalam pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2019
tentang Peratuan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal.
62
2. Pelaku usaha atau produsen yang telah mendapatkan sertifikat halal dari
BPJPH, maka pelaku usaha tersebut memiliki tanggung jawab untuk
menjaga kehalalan produknya. Jika suatu saat pelaku usaha tersebut
merubah formula atau inkonsisten di dalam penerapan bahan-bahan
(ingredients) sehingga dapat merubah status kehalalan pada produk
tersebut, maka pelaku usaha akan dikenakan sanksi. Sebagaimana
tercantum pada Pasal 56 bahwa “pelaku usaha yang tidak menjaga
kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal sebagaimana
dimaksud dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
2000.000.000,00 (dua milyar rupiah)”. Kemudian untuk menjamin
kerahasiaan formula yang diajukan oleh pelaku usaha yang melakuan
pengajuan sertifikast halal diatur dalam Pasal 43 UU JPH, yaitu “Setiap
orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH wajib menjaga
kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan
oleh pelaku usaha”. Apabila pelaku usaha melanggar ketentuan tersebut
maka pelaku usaha dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000 (dua milyar rupiah).
Perlindungan lainnya yaitu MUI melakukan tindakan terhadap produk
impor yang berlabel halal dengan cara mengganti label halal tersebut
dengan label halal MUI, dan ada pula yang menyandingkan label halal
dari luar negeri dengan label halal MUI. Tujuannya adalah untuk
menghindari kekhawatiran masyarakat atas label tersebut, tindakan
tersebut berdasar atas undang-undang yang di sebutkan di atas.
B. Saran
1. Pemerintah harus melakukan sosialisasi dan edukasi terkait sertifikasi
halal secara masif. Hal ini diperlukan sebagaimana mengingat
diwaibkannya sertifikasi (mandatory) menurut ketentuan Undang-Undang
Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
63
2. Pemerintah serta lembaga yang berwenang mengenai proses sertifikasi
halal hendaknya lebih memperketat produk yang masuk, dan diedarkan di
Indonesia tentang kehalalal dan label halal. Karena masih banyak produk
impor yang tidak mencantumkan label halal pada kemasannya.
3. Untuk masyarakat, hendaknya mejandi konsumen yang teliti dan cerdas
sebelum memutuskan untuk membeli produk, perhatikan label dalam
kemasan dan juga kandungan dalam produk tersebut. Sebagai masyarakat
muslim, perlu adanya peran serta dalam mendukung posees
penyelenggaraan jaminan produk halal.
4. Pelaku usaha hendaknya lebih memperhatikan kandungan yang terdapat
pada produk yang diproduksinya. Sehingga tidak hanya menjual tetapi
mengunakan bahan yang tidak membahayakan konsumen, dan
mencantumkan label sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan.
64
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Ahmad, Menguak Tabir Hukum (Sebuah Kajian Filosofi dan Sosiologis,
Jakarta: Gunung Agung, 2002.
Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004.
Ali, Zainudin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Burhanuddin, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan Sertifikat Halal,
Malang: UIN Maliki Press, 2011.
Departemen Agama, Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan
Haji, Petunjuk Teknis Pedoman System Produksi Halal, Jakarta, 2003.
Departemen Agama RI Al-Quran dan Terjemah, Al-Quran dan Terjemah, Solo:
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009.
Djakfar, Muhammad, Hukum Bisnis, Malang: UIN Malang Press, 2009.
Fajar, Mukti, dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Fernando, E. M. Manullang, Legisme, Legalitas dan Kepastian Hukum, Jakarta:
Kencana, Cet. Ke-2, 2017.
Hakim, Lukmanul, Bahan Seminar Nasional Halal dan Focus Group Discution di
Universitas Djuanda Bogor, 15 Desember 2014.
Ibnu, Muhammad Elmi, Label Halal antara Spiritualitas dan Komoditas Agama,
Malang: Madani Wisma Kalimetro, 2009.
INFOPOM 18 Nomor 1 Januari-Februari 2017.
Ishaq, Dasar-dasar Imu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Kansil, Cst, Christine S.t Kansil, dkk, Kamus Istilah Hukum, Jakarta: Jala Permata
Aksara, 2009.
Lisani, Nurul, Analisis Pengaruh Labelisasi Halal Produk-Produk Konsumsi
Terhadap Preferensi Konsumsi Pada Mahasiswa Muslim FEB USU,
65
Skripsi, Medan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sumatera
Utara, 2018.
M., Phillipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya:
Bina Ilmu, 1987.
Mahmud, Peter Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. Ke-6, Jakarta: Kencana, 2010.
Mashudi, Kontruksi Hukum & Respons Masyarakat Terhadap Sertifikasi Produk
Halal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Mastuhu, Makanan Indonesia Dalam Pandangan Islam, Kantor Menteri Negara
Urusan Pangan Republik Indonesia, 1995.
Mertokusumo, Sudikno, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2010.
Miru, Ahmad, dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011.
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia,
Surakarta, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret, 2003.
Muhammad, Fahmi Ahmadi, Djaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2010.
Nurhayati, Sri, Halalkah Makanan Anda?, Solo: Aqwa Media, 2008.
Rahardjo, Satjipto, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Jakarta: UKI Press, 2006.
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
Setiono, Rule Of Law (supremasi hukum), Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta: 2004.
Soekanto, Soerjono , Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2010.
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Gaung Persada Press
Grup (GP Press), 2013
Subekti dan Tjitrosudibyo, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1969.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta:Raja Grafindo
Persada, 2003.
Sya’awi, Mutawalli, Halal dan Haram, Jakarta: Amzah, 2003.
66
Syawali, Husni dan Neni Sri Ismayanti, Hukum Perlindungan Konsumen,
Bandung: Mandar Maju, 2000.
Tri, Celina Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar
Gafika, 2011.
Widjajati, Erna dan Yessy Kusumadewi, Pengantar Hukum Dagang, Jakarta:
Roda Inti Media, 2010.
Wuria, Eli Dewi, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Visimedia, 2008.
Yusuf, Syekh Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1982.
Jurnal
Apriyantono, Anton, LPPOM MUI Harus Diperkuat, Jurnal Halal, LPPOM MUI
Nomor 99, Jakarta: 2013.
Auliya, Umdah dan Iswantoro, “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
Produk Makanan yang Tidak Berlabel Halal di Daerah Istimewa Jakarta”,
Jurnal Sumremasi Hukum, Vol 5, No. 2 2016.
Girindra, Aisjah, Pengantar Sejarah Sertifikasi Halal, Jakarta: LPPOM MUI,
1998.
Girindra, Aisjah, Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal, Jakarta: LP POM MUI,
2005.
Indrawati, Tabunan, X, “Hak Konsumen dalam Perspektif Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999”, Jurnal Halal, No. 101, Tahun XVI, Jakarta:
LPPOM MUI, 2013.
La, Rafael porta, “Investor Protection and Crorate Governence”, Jurnal of
Financial Economic, No.5, Oktober 1999.
Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika MUI, Indonesian Halal
Directory 2016-2017 : Potensial Develoment of Halal Port In Indonesia.
Mardiyono, “Peningkatan Mawas Diri Konsumen Menggunakan Label Halal”,
Jurnal Cakrawala Hukum, Vol 19, No.1 Juni 2014.
Muslimah, Siti, “Label Halal Pada Produk Pangan Kemasan Dalam Prespektif
Perlindungan Konsuemn Muslim”. Yustisia. Vol. 1, No.2, 2012.
67
Nurhayati, Irna, Efektivitas Pengawasan Badan Pengawas Obat Dan Makanan
Terhadap Peredaran Produk Pangan Olahan Impor Dalam Mewujudkan
Perlindungan Konsumen. Dalam Jurnal Mimbar Hukum, Vol.21 No.2,
2009.
Sakti, Muthia, Dwi Aryanti R, dan Yuliana Yuli, “Perlindungn Konsumen
Terhadap Beredarnya Makanan yang Tidak Bersertikat Halal”, Jurnal
Yuridis, Vol.2 No. 1, 2015.
Tambunan, Amirsyah, “Hak Konsumen Dalam Perspektif UU No.8 Tahun 1999”,
Jurnal halal, No.101 Th. XVI Tahun 2013, Jakarta: LPPOM MUI.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan pada Pangan.
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Lain-lain
https://www.cermati.com/artikel/amp/masyarrakat-ekonomi-asean-mea-inilah-
yang-perlu-diketahui.html
http://direktori-bisnis.com/10-negara-anggota-mea.html.
https://kominfo.go.id/content/detail/4240/uu-no-332014-pemerintah-harus-
bentuk-badan-penyelenggara-jaminan-produk-halal/0/berita
https://karyatulisilmiah.com/pengertian-halal-label-dan-labelisasi-halal/
https://www.maxmanroe.com/vid/bisnis/pengertian-impor.html
http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/
https://yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/
https://www.pengertianmenurutparaahli.com/pengertian-asas-kepastian-hukum/
https://www.academia.edu/28896771/A_._Kepastian_Hukum
68
https://id.wikipedia.org/wiki/Halal
https://www.hijup.com/magazine/p/kriteria-makanan-halal-menurut-islam
http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/56/1362/page/1
https://www.gomuslim.co.id/read/regulasi_direktori/2016/10/15/1799/begini-tata-
cara-pengurusan-sertifikat-halal-mui.html
https://beritagar.id/artikel/berita/badan-pembuat-sertifikat-halal-dan-kewenangan-
mui
https://mui.or.id/sejarah-mui/
http://www.halalmui.org/images/stories/pdf/LSH/juli2013/LSHLN.pdf
https://jpp.go.id/humaniora/sosial-budaya/326427-bpjph-atur-tata-cara-registrasi-
halal-luar-negeriaa tgl 12/5/19
https://www.halalcorner.id/regulasi-label-halal-di-kemasan-produk-impor/
LIST OF APPROVED FOREIGN HALAL CERTIFICATION BODIES
No Name of Halal
Certification Bodies Logo Address & CP
Category
Status Copy of
Decree
Slaughtering
■
Raw Material
■
Flavor
■
ASIA
1 Majelis Ugama Islam Singapore (MUIS)
Singapore Islamic Hub, 273 Braddeli Road, Singapore 579702 T : + 6563591199, F : + 65 6253 7572
Email : [email protected]
■ ■ ■ Expired 2020/06/08
Decree
2 Jabatan Kemajuan Islam
Malaysia (JAKIM)
Aras 1, Blok D7, Parcel D, Pusat
Pentadbiran Kerajaan Persekutuan W.P. Putrajaya, Kuala Lumpur, Malaysia T : +603 8315 0200,
F : +603 8889 4951 Email : [email protected]
■ ■ ■ Expired
2020/06/08
Decree
3 Bahagian Kawalan Makanan Halal Jabatan Hal Ehwal Syariah
Tingkat II, BangunanKementerian Hal EhwalUgama (LAMA),Jalan Elizabeth, Bandar Seri Begawan BS 3510 Negara
Brunei Darussalam T : +673 2242565, F : +673 2223106
■
Expired 2020/06/08
Decree
4 Muslim Professional Japan Association (MPJA)
Yoshioka Build 3F, 4-32-1 Yotsuya, Shinjuku-ku, Tokyo 160-0004, Japan, P : +813 6869 1046/ +813 6274 8392
Email : [email protected]
■ ■
Expired 2019/06/06
Decree
No Name of Halal
Certification Bodies Logo Address & CP
Category
Status Copy of
Decree
Slaughtering
■
Raw Material
■
Flavor
■
5 The Japan Moslem Association (JMA)
3-17-23 Higashigotanda, Shinagawa-ku, Tokyo, 141-0022 Japan
P : +81 36277 3561 F : +81 36277 3597 Email : [email protected],
CP : Prof. Tayeb Muto
■ ■ Expired 2020/09/28
Decree
6 Taiwan Halal Integrity
Development Association (THIDA)
3, Lane 25, Xinhai Road, Sec. 1, Taipei
City, Taiwan T : +886-2-2367-5231; F : +8862-2365-2094,
Email : [email protected], CP: Isa Chao
■ ■ Expired
2020/09/27
Decree
7 Jamiat Ulama Halal Foundation
Imam BADA Compound, Imam Bada Road, Near Bhindi Bazar, Mumbai - 400 009 (India), P : +91-22-23735373, F :
+91-22-23759169 Email : jamiatulamaemaharashtra@ hotmail.com; contact@hallacommitee-
jum-org. Website: Halal.committee-jum.org CP : Gulzar Ahmed Azmi
■ Expired 2020/06/08
Decree
8 Jamiat Ulama I-Hind Halal Trust
1 Bahadur Shah Zafar Marg, New Delhi-110002, India
P : +91-11-23322197 F : +91-11-23316173 Email : [email protected]
■ Expired 2020/06/08
Decree
CP : Niaz Ahmed Farooqui
No Name of Halal
Certification Bodies Logo Address & CP
Category
Status Copy of
Decree
Slaughtering
■
Raw Material
■
Flavor
■
9 Asia Pacific Halal Council Co Ltd (APHC)
Flat/Rm B 8/F Chong Ming Building 72 Cheung Sha Wan Road KL, Hongkong
P : +85258083041 Email : [email protected] CP : Uztazah Jannah Ramli
■ ■ Expired 2019/10/02
Decree
10 The Central Islamic Council of Thailand
(CICOT)
45 Moo 3 Klongkao Rd., Klongsib, Nongchok, Bangkok 10530, Thailand
T : +662 949 4114, F : +662 949 5904 email : [email protected]
Cp : Khatawut Murad
■ ■ Expired 2020/09/27
Decree
11 Halal Certification Agency (HCA)
Hai Van Tower, 129 B Tran Dang Ninh, Cau Giay district, Ha Noi, Vietnam
P :+88462693741 F: +88462671285, Email: [email protected], CP : Hj. Mohammed Omar
■ ■ Expired 2019/05/26
Decree
12 Halal Development Institute of the
Phillipines (HDIP)
Central Bldg, 4F, 37 Arayat St. Corner Malabito St. Cubao, Quezon City.
Philippines No.10-Ninoy Aquino Avenue, San Dionisio, Paranaque City, Philippines
P : +025 9944 244, F : +025 6338754 Email: [email protected]/
[email protected] CP : H. Abdulatif S. Sangcupan
■ Expired 2019/05/26
Decree
No Name of Halal
Certification Bodies Logo Address & CP
Category
Status Copy of
Decree
Slaughtering
■
Raw Material
■
Flavor
■
13 Halal Accreditation Council (Guarantee)
Limited
26 –B Retreat Road, Bambalapitiya, Colombo 04, Sri Lanka
T :+94117425 225, F : +94112588050 Email: [email protected]/[email protected]
CP : Mr. Ali Fatharally/Mr. M.J.M Fari
■ Expired 2019/05/26
Decree
Australia & New Zealand
14 The Islamic Coordinating
Council of Victoria (ICCV)
155 Lygon Street, East Brunswick
Victoria 3057 Australia T : +61 39380 5467 F : +61 39380 6143
Email : [email protected]
■ ■ ■ Expired
2020/06/08
Decree
15 Supreme Islamic Council
of Halal Meat in Australia Inc. (SICHMA)
Unit No. 1/35/37 Harrow Road,
Auburn New South Wales - Australia 2144 T : +61 2 96437775,
F : +61 2 96437776 Email : [email protected]
■ ■ Expired
2020/09/27
Decree
16 Australian Halal
Development & Accreditation (AHDAA)
Address 839 Beaudesert Road,
Archerfield 4108, Brisbane, Qld, Australia P/F +61 732751077 / +61 733738411,
CP : Ali Warsama, Email : [email protected], Website : www.ahdaa.com.au
■ Expired
2019/08/31
Decree
No Name of Halal
Certification Bodies Logo Address & CP
Category
Status Copy of
Decree
Slaughtering
■
Raw Material
■
Flavor
■
17 Global halal Trade Center Pty Ltd (GHTC
Pty.Ltd)
Level 1, 27 Basswood Street, Algester, QLD 4115, Australia
T : +61 432171255 Email : [email protected] CP : Taoufik Elidrissi
■ ■ Expired 2020/08/07
Decree
18 Western Australian Halal Authority (WAHA)
Unit 2/64 Attfield Street, Maddington, WA 6109, Australia
T : +61 8 9459 4216 F : +61 8 9459 8323 Email : [email protected]
Website : www.halalbooklet.com
■ ■ ■ Expired 2020/08/08
Decree
19 Australian Halal Authority & Advisers
(AHAA)
135 Sydney Road, Coburg VIC 3058 Australia (Melbourne Office)
P : +61 393846939 Email : [email protected], CP : Azmi Raid Badres
■ ■ Expired 2020-09-12
Decree
20 Global Australian Halal Certification (GAHC)
Suite 3/20-21 Bankstown City Plaza, Bankstown, Sidney NSW 2200 P: +61 421050941,
Email : [email protected] CP : Neil Siregar
■ Expired 2020/09/18
Decree
21 Asia Pasific Halal Service - New Zealand, Pty 2011 Limited (APHSNZ-Pty
2011 ltd)
Prime Property House, Level 2, 2 Woodward Street, Wellington 6142 New Zealand, PO Box 11645,
Wellington 6142 New Zealand T : + 64 44734675, F : + 64 44734674 CP : Mr. Mohamud Mohamed Mobile : + 64 212 376 571
■ Expired 2020/06/08
Decree
Email : [email protected]
No Name of Halal
Certification Bodies Logo Address & CP
Category
Status Copy of
Decree
Slaughtering
■
Raw Material
■
Flavor
■
22 New Zealand Islamic Development Trust (NZIDT)
Level 4-369 Queen Street, PO Box 5045, Auckland City, 1010
New Zealand P : 09 306 8934, F : 09 306 8935, Email : [email protected]
CP. : Taoufik Elidrissi
■ ■ Expired 2020/09/27
Decree
23 The Federation of Islamic Association of
New Zealand, Inc (FIANZ)
7-11 Queens Drive, Kilbirnie, Wellington 6022, New Zealand
T : +64 27 571 0929 F : +64 4 387 8023 Email: [email protected]
Website: www.fianz.co.nz CP : Mr. Tahir Nawaz
■ Expired 2019/10/02
Decree
EUROPE
24 Halal Food Council of
Europe (HFCE)
Rue de La Presse, 1000, Brussles,
Belgium T : +32.2227.1114, F : +32.2218.3141 Email : [email protected]
CP: Prof. Dr. Mohamed Sadek
■ ■ ■ Expired
2020/09/28
Decree
25 The Muslim Religious
Union of Poland (MRU)
15-207 Bialystok, ul. Piastowska 13F,
Poland or mailing address : skr.pocz.nr2,ul. Mieszka 114. 15-050 Bialystok 8, Poland
T / F : +0048856643516 Email : [email protected], [email protected]
Website : www.mzr.pl,
■ ■ Expired
2020/06/08
Decree
CP: Tomasz Miskiewics (Mufti Poland)
No Name of Halal
Certification Bodies Logo Address & CP
Category
Status Copy of
Decree
Slaughtering
■
Raw Material
■
Flavor
■
26 Halal Quality Control (HQC)
Laan van Meerdervoort 53d, 2517 AE the Hague, The Netherlands
T : +31703469795, F : +31703450033 Email : [email protected], [email protected], CP: Munim Al Chaman
Pallaswiesenstrasse. 63, 64293 Darmstadt, Germany
T: +49 6151 3609850 Email: [email protected], Web: www.hqc-germany.com
CP: Dr. Abdullah Hito BramscherStr.67, 49088 Osnabrueck,-
Germany T:+49 (0)541/94536876 M :+49(0)1773160482
E-Mail :[email protected] Web: www.halalquality.de General Manager: Dr. Ibrahim Salama
Halal Quality Control Denmark: Agro Food Park 13, 8200 Aarhus,
Denmark +45 2830 9606 [email protected] | [email protected]
Contact: Mrs. Lillian Dakkak
■ ■ ■ Expired 2020/06/08
Decree
Halal Quality Control Austria: Address: Firmenbuchgericht Wien, FN
469056 Telephone: +43 677 62 43 45 49 E-mail: [email protected]
Contact person: Dr. Ahmed Sherif
27 Instituto Halal De Junta
Islamica (Halal Institute of Spain)
Fuente Arriba, s/n 14720
Almodovar deRio – Cordoba, Spain T : +34 902431937, F : +34 957713203
Email : [email protected] Website: institutohalal.com CP: Mariam Isabel Romero
■ ■ Expired
2020/09/28
Decree
28 World Halal Authority (WHA)
Via Gaetano Salvemini, 09, Italy Phone: +39 0236587564
Fax: +39 0295441130 Email: [email protected] CP:Mohamed Elkafrawy
■ ■ ■ Expired 2019/05/26
Decree
29 Total Quality Halal Correct Certification
(TQHCC)
PO. BOX. 179, 2300 AD Leiden, Nederland
T : +31 715235770, F : +31 715235771 Email : [email protected]
Centroallee 273-277, 46047 Oberhausen, Germany
T : +49 (0)208-8802 7110 F : +49 (0)208-8802 7001
■ ■ ■ Expired 2019/06/06
Decree
Email : [email protected]
CP : Taoufik Maatoug
No Name of Halal
Certification Bodies Logo Address & CP
Category
Status Copy of Decree
Slaughtering
■
Raw
Material
■
Flavor
■
30 HALAL CONTROL
Stahlstr. 44, D-65428 Ruesselsheim,
Germany T: +49 6142 301 987-0 F: +49 6142 301 987-29
E-Mail: [email protected] Website : www.halalcontrol.eu
■ ■ Expired
2018/08/02
Decree
31 Halal Certification
Europe (HCE)
PO. BOX 1786 Leicester LE5 5ZE,
England, UK/12 Mayfields Wembley HA9 9PS, P/F : +44 116 273 8228, Email : [email protected],
[email protected] CP : Yusuf Abo Bakar
■ Expired
2020/09/27
Decree
32 Halal Food Authority (HFA) – UK
3rd Floor, Balfour House 741 High Road
London N12 0BP, UK Email : info@halalfoodauthority Web : www.halalfoodauthority.com
CP : Saqib Mohammad
■ ■ Expired 2019/05/26
Decree
33 Halal Feed and Food
Inspection Authority (HFFIA)
Neherkade 3140, 2521 VX, The Hague,
The Netherlands // PO BOX 16786 / 2500 BT / the Hague / The Netherlands P: +31-703649191,
F : +31-703645460 Email: [email protected], [email protected]
■ ■ ■ Expired
2021/03/28
Decree
Website : www.halal.nl
CP : Yasmina Ben Koubia
No Name of Halal
Certification Bodies Logo Address & CP
Category
Status Copy of Decree
Slaughtering
■
Raw
Material
■
Flavor
■
34 Halal Certification
Services (HCS)
Salinenstrasse 18, 4310 Rheinfelden,
Switzerland T : + 41 618133064, F : + 41 618133065
Email : [email protected], [email protected] Website : www.halalcs.org
German Office: Halal Certification Services (EU)GmbH Cear-Stünzi-Strasse 1379618 Rheinfelden (Baden), Germany
T:+ 4930469990384 Email: [email protected] Website: www.halalcs.eu
CP: Mr. Sheeraz Majeed Spain Office: Halal Certification Services S.L.
Calle Poeta Joan Maragall 60 2a planta officina no. 10 Plaza Castilla28020 Madrid –MADRID, Spain
T: +34 914 528 227 F: +34 915 714 266 Email: [email protected]
CP: Mr. Ali Achcar
■ ■ ■ Expired
2020/09/27
Decree
35 Eurasia Halal Services
Centre
Karacaoğlan Mahallesi 6157/2 Sokak
No: 3/10, Işıkkent izmir Türkiye 35070, Turkey T : +902324610988,
■ Expired
2019/10/02
Decree
F : +902324610989
Email : [email protected] CP : Arzu Gavas
No Name of Halal
Certification Bodies Logo Address & CP
Category
Status Copy of Decree
Slaughtering
■
Raw Material
■
Flavor
■
36 HAFSA Halal Certification and Food Imp&Exp Ltd
Kizkalesi Sokak Elit Plaza A Blok No: 1A/24-Serifali / Umraniye,Istanbul /
Turkey T: +90 2123189163 M: +90 5446978104
Email : [email protected] Website : www.hafsahalal.com
■ Expired 2019/06/08
Decree
37 Islamic Foundation of Ireland (IFI)
163 South Circular Road, Dublin 8, Ireland T : 003531 4533242
F : 003531 4532785 Email : [email protected] CP : Yahya Mohammad Al-Hussein
■ ■ Expired 2020/09/11
Decree
AMERICA
38 Islamic Services of America (ISA)
4334 16th Ave SW P.O Box 521 Cedar Rapids, Iowa 52404. USA
T : (319) 362-0480, F : (319) 366-4369 Email : [email protected]
Website : www.isahalal.org
■ ■ ■ Expired 2020/09/27
Decree
39 Halal Transaction of Omaha
P.O. Box. 4546, Omaha, NE 68104 USA T : +1 402 572 6120
F : +1 402 572 4020
■ ■ ■ Expired 2020/06/08
Decree
Email : [email protected]
No Name of Halal
Certification Bodies Logo Address & CP
Category
Status Copy of
Decree
Slaughtering
■
Raw Material
■
Flavor
■
40 The Islamic Food and
Nutrition Council of America (IFANCA)
777 Busse highway - Park Ridge, Illinois
60068 USA T : 847-993-0034 F : 847-993-0038
Email : [email protected] Website :www.ifanca.org CP: Dr. Muhammad Chaudry
■ ■ ■ Expired
2020/06/08
Decree
41 Halal Food Council USA (HFC USA)
132 E, Main Street, Suite 302 Salisbury, MD 21801 USA. T : +1 410 548 1728
F : +1 410 548 2217 Email : [email protected]
■ ■ Expired 2020/09/27
Decree
42 American Halal
Foundation (AHF)
125 N. Vincent Drive Bolingbrook, IL-
60490 (USA) T: +1 6307594981, F: +1 6307594981
Email : [email protected] Cp : Mahzar Hussaini
■ ■ Expired
2020/09/27
Decree
43 Federation of Muslims
Associations in Brazil (FAMBRAS)
Rua Tejupa, 188-CEP 04350-020 San
Paula – SP- Brazil. P : 005511 – 5035820, F : 005511-50316586
CP: Nizar El Ghandour Email : [email protected]
■ ■ ■ Expired
2020-09-12
Decree
44 Islamic Dissemination
Centre for Latin America
MarechalDeodoro, Street 1960, Centro
Sao Bernardo do Compo /Sp – Cep
■ ■ Expired
2020/09/27
Decree
(CDIAL) Brazil
09710 201 – CNPJ 03.243.138/0001-00.,
Brazil T : +11 4338 8456, F : +11 4338 8456 Email : [email protected]
No Name of Halal
Certification Bodies Logo Address & CP
Category
Status Copy of
Decree
Slaughtering
■
Raw Material
■
Flavor
■
SOUTH AFRICA
45 National Independent Halal Trust (NIHT)
South Africa
5770 Corner Topaas & Turquoise Street, Extension 5, Lenasia, 1827 South Africa, T/F : +27 118 544382 / +27
8524300, Website : halal.org.za email : [email protected]
CP : Moulana Abdul WahabWookay
■ ■ Expired 2019/05/26
Decree
Notes :
1. LPPOM MUI recognize halal certificates issued by approved halal certification body only for product produced in the country where the halal certification body located, except for product produced in Europe can be used halal certificate by any approved halal certification body located in Europe.
2. There are still possibilities for LPPOM MUI to ask supporting document to clarify the critical points of certain certified products. 3. The MUI decree regarding list of approved foreign halal certification body is effective for 2 (two) years as of the date it is
stipulated and it will be monitored and evaluated once a year.
4. There are 45 Halal Certifier Bodies approved by LPPOM MUI from 26 country, contain 36 bodies approved for (cattle) slaughtering category, 38 bodies approved for raw material category, 17 bodies approved for flavor category.
5. Updated January 2019.
*) Updated January 2019
Contoh produk berlabel halal luar negeri
bersanding dengan label halal MUI.
Label halal pada gambar di sampin
berasal dari negara China. Yaitu
Shandong Halal Certificate Service
(SHC)
Contoh produk berabel halal luar negeri
diganti dengan label halal MUI.
Label MUI merupakan label yang
diberkan oleh negara Indonesia.
Contoh produk berlabel halal luar negeri.
Label halal pada produk di samping berasal dari
negara Korea. Yaitu Korea Muslim Federation
Committee.