legal standing pemohon dalam perkara …

92
LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK BERDASARKAN PRINSIP NEGARA DEMOKRASI (KAJIAN PERBANDINGAN INDONESIA DENGAN JERMAN) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: RAHMAH NURLAILY NIM : 11150480000173 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2020 M

Upload: others

Post on 21-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA PEMBUBARAN

PARTAI POLITIK BERDASARKAN PRINSIP NEGARA DEMOKRASI

(KAJIAN PERBANDINGAN INDONESIA DENGAN JERMAN)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

RAHMAH NURLAILY

NIM : 11150480000173

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/2020 M

Page 2: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

ii

Page 3: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …
Page 4: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …
Page 5: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

v

ABSTRAK

Rahmah Nurlaily, Nim 11150480000173. LEGAL STANDING PEMOHON

DALAM PERKARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK BERDASARKAN

NEGARA DEMOKRASI (KAJIAN PERBANDINGAN INDONESIA DENGAN

JERMAN). Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,1441 H/2020 M.

Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai legal standing pembubaran

partai politik berdasarkan prinsip negara demokrasi, kajian perbandingan Indonesia

dengan negara Jerman. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif. Dalam

penelitian ini metode pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi kepustakaan

(Library Research) yaitu dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan

pengundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, serta tulisan tulisan para sarjana

yang berkaitan dengan skripsi ini.. Data yang telah dihimpun dan dianalisis

menggunakan metode normatif yuridis atau metode kualitatif, yakni penelitian yang

mengkhusus pada kajian berdasarkan teori-teori hukum yang kemudian dikaitkan

dengan perundang-undangan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan perundang-undangan serta pendekatan analistis.

Hasil Penelitian ini menunjukan perbandingan legal standing pemohon

perkara pembubaran partai politik di Indonesia dengan Jerman, yang dimana

Indonesia mempunyai persamaan dengan negara Jerman yakni sama-sama memiliki

sistem multi partai serta kewenangan pembubaran partai politik kewenangannya

dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, namun dalam penerapan legal standing pemohon

pembubaran partai politik yang berbeda, yang mana Jerman menetapkan Parlemen

Federal, Majelis Federal dan Pemerintahan Federal sebagai pemohon pembubaran

partai politik, penerapan tersebut sudah berdasarkan prinsip negara demokrasi,

berbeda dengan Indonesia yang legal standing pemohon hanya pemerintah saja, tentu

hal ini belum berdasarkan prinsip negara demokrasi apabila bercermin kepada negara

Jerman. Bahwa seharusnya terdapat pihak lain yang menjadi pemohon dalam perkara

pembubaran partai politik di Indonesia, pihak tersebut yakni DPR dan DPD, hal itu

mencerminkan kehidupan bernegara yang demokratis serta menjadikan pengawasan

terhadap partai politik dan pemerintah yang menjadi pihak dalam melakukan

pengajuan permohonan pembubaran partai politik, untuk itu perlu adanya kajian

dalam memperluas kewenangan pemohon dalam perkara pembubaran partai politik

agar terwujudnya prinsip negara demokrasi di Indonesia.

Kata Kunci : Legal Standing, Pemohon, Negara Demokrasi, Pemerintah,

Pembubaran, Partai Politik.

Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Moh. Ali Wafa, S.H, S.Ag, M.Ag.

2. Irfan Khairul Umam, L.L.M.

Daftar Pustaka : Tahun 1975 Sampai Tahun 2019.

Page 6: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

vi

KATA PENGANTAR

حِيْمِ حْمَنِ الرَّ بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّ

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan inayat-Nya akhirnya

penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat beserta salam tak luput

dihaturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah berjasa bagi kita semua dalam

membuka gerbang ilmu pengetahuan.

Skripsi yang berjudul “Legal Standing Pemohon dalam Perkara

Pembubaran Partai Politik Berdasarkan Prinsip Negara Demokrasi (Kajian

Perbandingan Indonesia dengan Jerman)” penulis susun dalam rangka memenuhi

dan melengkapi peryaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program

Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara Fakultas Syarian dan

Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.

Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan

mengatasi berbagai macam hambatan, rintangan, ujian, dan tantangan yang menjadi

kendali dalam proses penyelesaian skripsi ini, Penulis banyak mendapatkan

bimbingan, arahan, serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini

penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah Dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu

Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

berkontribusi dalam pembuatan skripsi ini.

3. Dr. Moh. Ali Wafa, S.H., M.Ag dan Irfan Khairul Umam, L.L.M. Pembimbing

Skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk

membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi, serta memberikan arahan,

dukungan, saran sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

Page 7: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

vii

4. Fathudin, S.H.I.,S.H., M.A.Hum. Pembimbing Akademik yang telah membimbing

dan memberi dukungan kepada peneliti.

5. Kepala dan Staff Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti mengadakan

studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

6. Kepala dan Staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu peneliti dalam menyediakan fasilitas

yang memadai dalam segi kepustakaan.

7. Kepala Subag Fakultas Syariah dan Hukum beserta jajarannya yang telah

membantu proses administrasi peneliti dari awal perkuliahan hingga saat ini.

8. Ayahanda dan Ibunda tercinta, Bapak Atang Mukhtar dan Umi Maesarah yang

selalu mendoakan dengan tulus dan tanpa henti, selalu memberikan arahan dan

nasihat, motivasi, dukungan dan ridho yang tiada hentinya. Terimakasih atas kasih

sayang yang selama ini telah diberikan. Terimakasih atas perjuangan dan kerja

keras untuk mendidik dan membesarkan peneliti sampai sekarang. Sehingga

peneliti dapat bertahan dan menyelesaikan pendidikan dalam jenjang Perguruan

Tinggi. Terimakasih telah menjadi Bapak dan Ummi yang terbaik dan terhebat.

Semoga Allah SWT membalas segala apa yang telah Bapak dan Ummi berikan

kepada peneliti.

9. Pihak-pihak lain yang telah memberikan kontribusi serta motivasi kepada peneliti

dalam penyelesaian skripsi ini.

Peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan pembaca serta

piha-pihak yang memerlukannya. Sekian dan terimakasih

Jakarta, 29 November 2019

Rahmah Nurlaily

Page 8: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iv

ABSTRAK ..................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................................... vi

DAFTAR ISI .................................................................................................. ix

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .............. 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.............................. ................. 5

D. Metode Penelitian .................................................................. 6

E. Sistematika Pembahasan ....................................................... 8

BAB II LEGAL STANDING PEMOHON PEMBUBARAN PARTAI

POLITIK DALAM TINJAUAN HUKUM .............................. 10

A. Kerangka Konseptual ............................................................ 10

1. Legal Standing ............................................................... 10

2. Pemohon ........................................................................ 11

3. Partai Politik ................................................................... 12

4. Pemilihan Umum ........................................................... 16

5. Konstitusi ....................................................................... 16

6. Mahkamah Konstitusi …………………………………. 19

B. Kerangka Teoritis .................................................................. 20

1. Teori Negara Hukum ..................................................... 20

2. Teori Demokrasi ............................................................ 23

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .................................... 24

Page 9: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

x

BAB III SEJARAH DAN KEWENANGAN PEMBUBARAN PARTAI

POLITIK DALAM NEGARA DEMOKRASI ........................ ... 29

A. Pembubaran Partai Politik dalam Negara Demokrasi ……… 29

B. Pembubaran Partai Politik di Negara Federal Jerman ........... 31

1. Sejarah Pembubaran Partai Politik Jerman ……………. . 31

2. Kewenangan Perkara Pembubaran Partai Politik Jerman… 37

C. Pembubaran Partai Politik di Indonesia ................................. .. 37

1. Masa Penjajahan Indonesia……………. ......................... 37

2. Masa Orde Lama ............................................................. 41

3. Masa Orde Baru ………………………………………… 45

4. Pasca Reformasi ………………………………………... 47

BAB IV LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA

PEMBUBARAN PARTAI POLITIK ...................................... 54

A. Pengaturan Legal Standing Pemohon dalam Perkara Pembubaran

Partai Politik Berdasarkan Demokrasi Jerman ...................... 54

B. Legal Standing Pemohon Pembubaran Partai Politik dalam Prinsip

Negara Demokrasi ................................................................ 65

BAB V PENUTUP ................................................................................... 73

A. Kesimpulan ........................................................................... 73

B. Rekomendasi ......................................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

Page 10: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia memasuki demokratisasi setelah Presiden Soeharto dijatuhkan

melalui gerakan reformasi di pelopori mahasiswa, tepatnya tahun 1998. B.J

Habibie sebagai Presiden kemudian memberikan komitmen terhadap

kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berkumpul, dan kebebasan

mendirikan partai.1 Demokrasi tidak hanya sebagai bentuk negara ataupun

sistem pemerintahan, tetapi sebagai gaya hidup serta tata masyarakat yang

mengandung unsur-unsur moril, sehingga dikatakan bahwa demokrasi didasari

dengan nilai (value). Menurut Henry B. Mayo salah satu nilai demokrasi yakni

menyelenggarakan pengantian pemimpin secara teratur (orderly succesion of

rules). Penggantian pemimpin dalam suatu demokrasi satu-satunya cara adalah

dengan melalui proses pemilihan umum, yang dimana penyelenggaraan

Pemilu ini partai politik memiliki pengaruh dan peran yang sangat vital karena

partai politik adalah media dalam pelaksanaan pemilu bagi rakyat untuk

memilih wakil-wakil rakyatnya yang akan duduk dalam lembaga negara.2

Menurut Jimly Asshiddiqie, partai politik adalah pilar utama demokrasi.

Oleh karena itu, sebuah partai politik harus kuat dan kokoh agar demokrasi

yang ditopangnya menjadi kokoh pula. Itulah sebabnya diperlukan rambu-

rambu hukum yang adil untuk mengatur tatacara pendirian dan pembubaran

partai politik. Banyak orang berlomba mendirikan partai politik dengan tujuan

untuk mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan.3 Berdasarkan sejarah dan

perkembangan partai politik, pertama-tama lahir di negara-negara eropa barat.

Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu

1 Subekti & Valina Singka, Dinamika Konsolidasi Demokrasi (Dari Ide Pembaharuan

Sistem Politik hingga ke Praktik Pemerintahan Demokratis), (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor

Indonesia,2015), h. 119

2 Henry Arianto, Peranan Partai Politik Dalam Demokrasi di Indonesia, Lex Jurnalica

/Vol. 1 /No.2 /April 2004, h. 80

3Muhammad Sukroni, Gagasan Perluasaan Legal Standing Dalam Permohonan

Pembubaran Partai Politik di Indonesia, JOM Fakultas Hukum Volume II nomor 1 Februari

2015, h. 2

Page 11: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

2

diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik.4 Partai politik

kemudian disebut juga alat untuk mencapai kedaulatan rakyat, yang dimana

dengan adanya partai politik maka lahirlah wakil-wakil rakyat yang dapat

mewakili di lembaga negara tentu dengan pemilihan umum. Wakil-wakil

rakyat inilah yang menjadi penyambung suara rakyat dalam kehidupan

bernegara, maka dari itu partai politik sebagai wadah untuk mendukung

negara berdemokrasi haruslah menunaikan amanah yang telah dituliskan

dalam konstitusi yakni memperjuangkan dan membela kepentingan rakyat,

sehingga nilai-nilai kedaulatan tertanam dengan seutuhnya. Namun,

implementasinya wakil-wakil rakyat yang terlahir dari partai politik kadang-

kadang lalai terhadap fungsinya, yang terkadang partai politik digunakan

sebagai kendaraan politik bagi pengurus partai menuju puncak kekuasaan,

yang tidak mengindahkan pilar utama demokrasi.

Partai politik yang telah didirikan dan tidak memenuhi nilai-nilai tugas dan

fungsinya sebagai kendaraan untuk kepentingan rakyat haruslah dibubarkan,

hal itu sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008

jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Walaupun

dalam hal ini undang-undang tidak menegaskan alasan pembubaran partai

politik, akan tetapi dalam Pasal 40 ayat (5) menyatakan bahwasanya partai

dilarang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan

peraturan perundang-undangan, kemudian selain itu partai juga tidak

diperkenankan menggelar kegiatan yang membahayakan keutuhan dan

keselamatan NKRI, serta dilarang menganut, mengembangkan, dan

menyebarkan paham komunisme/marxisme-leninisme.5 Implementasi legal

standing atau kedudukan hukum dalam pembubaran partai politik menuai

polemik yang dimana dalam Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pemohon

4 M. Iwan Satriawan, Risalah Hukum dan Teori Partai Politik Di Indonesia, (Bandar

Lampung: PKKPUU, 2015), h. 19

5https://nasional.kompas.com/read/2017/03/20/16472621/pembubaran.partai, di kutip

pada tanggal 28/01/2019, pukul 9:32

Page 12: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

3

adalah pemerintah, maka dalam hal ini terdapat batasan terhadap legal

standing pemohon dalam pembubaran partai politik, dengan adanya batasan

tersebut, maka yang berhak memohonkan pembubaran politik tersebut

hanyalah pemerintah dengan demikian rakyat tidak dapat mengawasi

berjalannya suatu partai politik dikarenakan adanya batasan yang hanya

dimiliki oleh pemerintah. Selain itu pemerintah adalah bagian dari pada

kontestasi politik yang dimana kepentingan dalam politik sangat kental, hal ini

perlu adanya kajian perbandingan terhadap legal standing pemohon dalam

perkara pembubaran partai politik dengan negara demokratis lainya.

Pemberian legal standing ini dilakukan dalam rangka untuk melakukan

pengawasan terhadap partai politik.6 Sebagaimana di negara demokrasi

lainnya, salah satunya adalah negara Jerman yang dimana tidak hanya

pemerintah yang berhak mengajukan pembubaran partai politik.7 Jerman

sendiri merupakan negara yang menganut demokrasi bebas serta beroperasi di

bawah sistem multi-partai, hal ini menyinggung bahwasanya adanya

persamaan dengan negara Indonesia yang menganut prinsip negara demokratis

walaupun Indonesia menganut demokrasi Pancasila, serta Mahkamah

Konstitusi mempunyai kewenangan dalam membubarkan partai politik di

masing-masing negara, akan tetapi, dalam perbedaanya legal standing pada

negara Jerman dalam perkara pembubaran partai politik tidak hanya

pemerintah dalam inisiatif permohonan pembubaran partai politik. Pemberian

legal standing yang tidak hanya pemerintah sebagai pemohon perkara

pembubaran partai politik adalah dalam rangka menerjemahkan pelaksanaan

negara demokrasi dan prinsip negara hukum.

Berdasarkan latar belakang maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul: Legal Standing Pemohon Dalam Perkara

6 Allan FGW. & Harry S, Pemberian Legal Standing kepada Perseorangan atau

Kelompok Masyarakat dalam Usul Pembubaran Partai Politik, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum

No. 4 Vol. 20 Oktober 2013, h. 537

Page 13: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

4

Pembubaran Partai Politik Berdasarkan Prinsip Negara Demokrasi (Kajian

Perbandingan Indonesia dengan Jerman)

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, peneliti

mengidentifikasi beberapa permasalahan yakni sebagai berikut:

a. Analisa legal standing pemohon dalam perkara pembubaran partai

politik sebagai negara demokrasi.

b. Adanya urgensi perluasaan legal standing dalam pembubaran partai

politik di Indonesia.

c. Pengajuan permohonan dalam pembubaran partai politik di

Indonesia dan Jerman.

d. Inisiasi pemohon dalam mengajukan pembubaran partai politik.

e. Lembaga negara dalam mengajukan permohonan pembubaran partai

politik

2. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan identifikasi masalah diatas, untuk

membatasi permasalahan maka peneliti membatasi pada aspek analisa

hukum dan kajian komparatif dalam pembahasan tentang legal standing

pemohon dalam perkara pembubaran partai politik antara Indonesia

dengan Jerman.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembahasan dari masalah utama yang telah diuraikan

oleh peneliti di atas, maka yang menjadi persoalan utama penelitian

skripsi ini adalah terkait “pengaturan legal standing pemohon dalam

perkara pembubaran partai politik di Indonesia apakah sesuai dengan

nilai dan prinsip negara demokrasi (Kajian perbandingan Indonesia &

Jerman)” Persoalan ini memunculkan beberapa pertanyaan berikut:

a. Bagaimana pengaturan legal standing Pemohon Dalam perkara

pembubaran partai politik di negara demokrasi Jerman?

Page 14: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

5

b. Apakah legal standing pemohon mengenai pembubaran partai politik

di Indonesia sesuai dengan prinsip negara demokrasi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian legal standing pemohon dalam perkara pembubaran

partai politik berdasarkan prinsip negara demokrasi (Kajian perbandingan

Indonesia dengan Jerman) memiliki tujuan yaitu:

a. Untuk menjelaskan pengaturan legal standing pemohon dalam

perkara pembubaran partai politik di negara demokrasi Jerman.

b. Untuk menjelaskan kedudukan hukum pemohon (legal Standing)

pembubaran partai politik di Indonesia sudah sesuai dengan prinsip-

prinsip demokrasi.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman terhadap

hukum kelembagaan negara, serta secara khusus dapat memberikan

manfaat kontruksi ideal dalam pengaturan legal standing pemohon

dalam pembubaran partai politik di Indonesia.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para peminat

hukum kelembagaan Negara dan praktisi ketatanegaraan dalam

menganalisis hukum legal standing dalam pembubaran partai politik

di Indonesia.

D. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan didalam penelitian hukum

adalah pendekatan undang-undang (Statue Approach) yang dimaksud

dengan pendekatan undang-undang adalah melakukan penelitian

berdasarkan pada undang-undang yang berkaitan dengan penelitian ini,

dan yang kedua adalah pendekatan analistis (Analyctical Approach),

Page 15: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

6

maksud utama analisis terhadap bahan hukum adalah mengetahui makna

yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan

perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui

penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum.8

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam

jenis penelitian hukum normatif yuridis. Dipilihnya jenis penelitian

normatif yuridis dikarenakan penelitian ini menguraikan permasalahan-

permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian yang

berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dalam praktik hukum. Penelitian

hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan meneliti

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

3. Sumber Hukum

Sumber penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder. Dalam penelitian hukum, data sekunder mencakupi:

a. Sumber Bahan Hukum Primer

Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang

mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan aturan yang berkaitan

yang bersifat mengikat. Sumber bahan hukum primer yang digunakan

dalam penelitian ini adalah; Undang-Undang Dasar 1945, Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Atas Perubahan Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Atas Perubahan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, Basic

Law for the Federal Republic of Germany atau dalam bahasa Jerman

disebut dengan Grundgesetz (Undang-Undang Dasar Jerman),

Constiutional Court of Federal Germany

8 Jhonny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum, (Malang: Bayumedia, 2007),

h. 310

Page 16: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

7

Bundesverfassungsgerichtsgesetz (Undang-undang Mahkamah

Konstitusi Federal Jerman.

b. Sumber Bahan Hukum Sekunder

Sumber bahan sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti hasil penelitian, hasil karya

dari praktisi hukum, dan pendapat pakar hukum.

c. Sumber Bahan Hukum Tersier

Sumber bahan hukum tersier adalah bahan penelitian yang diambil

seperti dari kamus hukum, ensiklopedia hukum dan lain sebagainya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah hukum

normatif yuridis yang dimana mengenal data sekunder saja, yang terdiri

dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier. Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan berdasarkan

studi kepustakaan (Library Reasearch). Dalam studi kepustakaan

peneliti mengkaji pembahasan penelitian berdasar pada kepustakaan.

5. Teknik Pengolaan Data

Data yang didapat dari penelitian studi dokumen ini disusun secara

sistematika untuk memperoleh deskripsi tentang suatu pembahasan

penelitian.

6. Teknik Analisa Data

Untuk analisis data menggunakan metode penelitian kualitatif.

Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data dan informasi data

yakni Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah

Konstitusi, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Atas

Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai

Politik, Basic Law for the Federal Republic of Germany atau dalam

bahasa Jerman disebut dengan Grundgesetz (Undang-Undang Dasar

Jerman), dan Constitutional Court of Federal Germany

Page 17: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

8

Bundesverfassungsgerichtsgesetz (Undang-undang Mahkamah

Konstitusi Federal Jerman).

7. Teknik Penulisan Data

Teknik penulisan penelitian ini mengacu pada buku “Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017”

E. Sistematika Pembahasan

Sesuai dengan buku pedoman, untuk menjelaskan isi skripsi secara

menyeluruh dan sistematis, maka skripsi ini disusun dengan sistematika

penulisan yang terdiri dari lima bab adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang masalah, identifikasi masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : LEGAL STANDING PEMOHON PEMBUBARAN PARTAI

POLITIK DALAM TINJAUAN HUKUM

Bab ini membahas landasan teori dan kerangka konsep yang

digunakan dalam penelitian tentang Legal Standing Pemohon

Dalam Perkara Pembubaran Partai Politik Di Indonesia dan

Jerman Berdasarkan Kerangka Negara Demokrasi.

BAB III : SEJARAH DAN KEWENANGAN PEMBUBARAN

PARTAI POLITIK DALAM NEGARA DEMOKRASI

Bab ini membahas tentang sejarah perkembangan pembubaran

partai politik di kedua negara (Indonesia dan Jerman) serta

membahas kewenangan pembubaran partai politik terhadap dua

negara.

BAB IV : LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA

PEMBUBARAN PARTAI POLITIK INDONESIA &

JERMAN

Page 18: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

9

Bab ini membahas mengenai analisis pengaturan legal standing

pemohon dalam perkara pembubaran partai politik di Indonesia

dan Jerman berdasarkan prinsip negara demokratis.

BAB V : PENUTUP

Bab ini peneliti akan menarik beberapa kesimpulan dari hasil

penelitian dan memberikan beberapa rekomendasi.

Page 19: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

10

BAB II

LEGAL STANDING PEMOHON PEMBUBARAN

PARTAI POLITIK DALAM TINJAUAN HUKUM

A. Kerangka Konseptual

Dalam penelitian ini diuraikan konsep terkait istilah yang sering

digunakan, sehingga dalam hal ini penulis memberikan berbagai kerangka

konseptual untuk menyederhanakan pemahaman terhadap penelitian ini

berupa

1. Legal Standing

Legal standing atau yang sering disebut dengan kedudukan hukum

adalah suatu hak untuk mengajukan sebuah gugatan dalam suatu perkara.

Legal standing adalah dimana seseorang atau suatu pihak ditentukan

memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan

permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan

Mahkamah Konstitusi.1 Menurut Maruarar dalam buku yang berjudul

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengatakan

bahwa legal standing adalah satu konsep yang digunakan untuk

menentukan apakah pemohon terkena dampak dengan cukup sehingga satu

perselisihan diajukan kedepan pengadilan.2 Standing atau personae standi

in judicion adalah hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan

atau permohonan di depan pengadilan standing to sue. Doktrin yang

dikenal di Amerika tentang standing to sue diartikan bahwa pihak tersebut

mempunyai kepentingan yang cukup dalam satu perselisihan yang dapat

dituntut untuk mendapatkan keputusan pengadilan atas perselisihan

tersebut. Standing adalah satu konsep yang digunakan untuk menentukan

1 Harjono dalam jurnal Ramdan Ajie, Problematika Legal Standing Putusan Mahkamah

Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 4, Desember 2014, h. 740

2 Maruarr Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta:

Sekertariat Jendral dan Kepaniteran Mahkamah Konstitusi RI 2006), h. 96

Page 20: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

11

apakah satu pihak terkena dampak secara cukup sehingga satu perselisihan

diajukan ke depan pengadilan.3

Kedudukan Hukum Legal Standing mencakup syarat formal

sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, dan syarat materiil yang

kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya

undang-undang yang dimohonkan pengujiannya, sebagaimana diatur

dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi.4

2. Pemohon

Pemohon adalah subyek hukum yang memenuhi persyaratan

berdasarkan undang-undang untuk mengajukan permohonan perkara

konstitusi.5 Dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Pemohon adalah

pihak yang menanggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya

dirugikan oleh berlakunya Undang-undang, yaitu; Perseorangan warga

negara Indonesia, Kesatuan Masyarakat hukum adat sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan perkembangan masayarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang, Badan

hukum publik atau privat; atau lembaga negara.

Pengaturan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lebih lanjut dengan ketentuan yang

sama dalam Pasal 3 PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman

Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Jimly Asshiddiqie

mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya kedudukan

3 Ajie Ramdan, Problematika Legal Standing Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal

Konstitusi, Volume 11, Nomor 4, Desember 2014, h. 739

4 Ajie Ramdan, Problematika Legal Standing Putusan Mahkamah Konstitusi… h. 740

5 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Jakarta: Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteran Mahkamah Konstitusi RI, 2006, h. 68

Page 21: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

12

hukum (legal standing) pemohon dalam perkara pengujian undang-undang

terhadap UUD di Mahkamah Konstitusi. Pemohon harus menguraikan

dalam permohonan hak dan kewenanangan konstitusionalnya yang

dirugikan.

3. Partai Politik

Partai politik berasal dari dua suku kata yaitu partai dan politik. Kata

partai sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu “Partie” yang berarti

membagi.6 Menurut Miriam Budiarjo, partai politik adalah suatu

kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai

orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah

untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik,

biasanya dengan cara konstitusional, untuk melaksanakan kebijaksanaan-

kebijaksanaan mereka.7 Sigmund Neuman dalam buku Miriam Budiardjo

mengemukakan a political party is the articulate organization of society’s

active political agent; those who are concerned with the control of

govermental policy power, and who complete for popular support with

other group or groups holding divergent view, partai politik adalah

organisasi dari aktifitas-aktifitas politik yang berusaha untuk menguasai

kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui

persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang

mempunyai pandangan yang berbeda.8 Undang-undang Nomor 2 Tahun

2011 tentang Partai Politik Pasal 1 ayat (1), partai politik didefinisikan

sebagai organisasi yg bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok

warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan

cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentigan politik anggota,

masyarakat, bangsa dan negara, serta mempelihara keutuhan Negara

6 Lutfi, Mustafa & M. Iwan Satriawan, Risalah Hukum Partai Politik di Indonesia,

(Malang: UB Press, 2016), h. 6

7 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003),

h. 160 8 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik… h. 403

Page 22: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

13

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang

Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, maka dapat

dikatakan bahwasanya partai politik adalah organisasi yang berisi

kumpulan orang-orang yang mempunyai kesamaan tujuan untuk

mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan dengan tujuan untuk negara

dan bangsa.

Robert M. Mac Iver dalam bukunya Modern State menyatakan

bahwasanya partai politik adalah suatu perkumpulan yang di organisasi

untuk mendukung suatu asas atau kebijaksanaan, yang oleh perkumpulan

itu diusahakan dengan sarana konstitusional agar menjadi dasar penentu

bagi pemerintahan.9 Miriam Budiardjo mendefinisikan partai politik

sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota anggotanya

mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok

ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan

politik dengan cara konstitutional untuk melaksanakan kebijaksanaan-

kebijaksaan mereka.10 Menurut Ranney dan Kedall dalam buku yang

ditulis oleh Irwan menyatakan “autonomous groups that make

nominations and contest elections in the hope of eventually gaining and

exercise control of the personnel and policies of government.” Yang

berarti partai politik adalah kelompok otonomi yang membuat suatu

nominasi dan pemilihan dengan harapan pada akhirnya mengatur dan

melatih kontrol atas personal dan kebijakan pemerintah.11

Menurut pasal 1 Angka 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor

2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2008 Tentang Partai Politik yang menyatakan bahwa “Partai Politik

adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok

9 Amin Suptrahtini, Partai Politik di Indonesia, ( Klaten : Penerbit Cempaka Putih, 2018),

h. 2

10 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik… h. 22

11 Widayati, Pembubaran Partai Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal

Hukum Vol XXVI, No. 2, Agustus 2011, h. 613

Page 23: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

14

warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak

dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik

anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan

Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Partai

politik adalah alat untuk memperjuangkan kedaulatan rakyat itu sendiri,

memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat,

bangsa dan negara. Partai politik sebagai suatu istilah yang mengacu

kepada serangkaian upaya atau kegiatan untuk menciptakan suatu tatanan

masyarakat yang teratur dan baik, memajukan masyarakat dengan

membuat keputusan yang mengikat semua warga negara.12 Keberadaan

partai politik dalam negara-negara demokrasi merupakan suatu

kemutlakan, akan tetapi jumlah partai politik dalam setiap negara belum

tentu sama, hal tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan dari

masing-masing, penggolongan partai tersebut terbagi menjadi tiga

bagian,13 yakni:

a. Sistem Partai Tunggal (One Party System)

Sistem ini disebut juga dengan sistem satu partai, yang dimana

suatu negara hanya terdapat satu partai yang dominan diantara

beberapa partai politik kecil lainnya yang berada dalam satu negara

tersebut, apabila dikaitkan dengan negara demokrasi sistem partai

tunggal ini tidak dapat tepat dalam negara demokrasi.

b. Sistem dua partai atau dwi partai

Sistem dua partai ini apabila dalam suatu negara hanya ada dua

partai besar yang berhak bertarung dalam setiap pemilihan, dewasa ini

hanya ada beberapa negara yang memiliki ciri-ciri sistem dwi partai

yaitu Amerika Serikat antara partai Republik dan Demokrat, Inggris,

12 Siti Aminah, Kuasa Negara Pada Ranah Politik Lokal, (Jakarta: Kencana

Prenadamedia group, 2014), h. 1

13 Suptrahtini, Amin, Partai Politik di Indonesia, (Klaten : Penerbit Cempaka Putih,

2018), h. 4

Page 24: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

15

Filipina, Kanada, dan Selandia Baru. Sistem dwi partai ini disebut juga

sebagai a convenient system for contented people yang berarti sebuah

sistem yang tepat bagi orang puas, kenyataanya sistem dwi partai

berjalan baik apabila memenuuhi tiga syarat yaitu: (a) komposisi

masyarakatnya bersifat homogen, (b) adanya konsesus yang kuat

dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial dan politik; (c)

adanya kontinuitas sejarah.

c. Sistem Multi Partai

Sistem multi partai adalah sistem yang banyak partai dalam setiap

pelaksanaan pemilu, fenomena ini terjadi karena adanya pluralitas

budaya. Sistem multi partai ini cocok digunakan dalam negara seperti

Indonesia, Polandia, dan negara pluralitas lainnya, Indonesia terdiri

banyak partai semenjak reformasi 1998.14

Keberadaan partai politik adalah salah satu wujud dari pelaksanaan

hak asasi manusia tersebut untuk berkumpul, berserikat dan

mengemukakan pendapat selain itu juga demi berjalannya demokrasi

yang baik dalam suatu negara. Konsekuensi dari penerapan demokrasi

perwakilan adalah munculnya jarak antara rakyat disatu sisi dengan

pemerintahan di sisi lain, padahal tujuan utama dari sistem perwakilan

dalam suatu negara demokrasi adalah memberikan suatu sarana bagi

warga negara untuk melaksanakan beberapa pengendalian terhadap

pengambilan keputusan politik untuk diri mereka sendiri. Partai politik

merupakan bagian terpenting dari pilar-pilar demokrasi, untuk

mencapai hal tersebut dibutuhkan fungsi-fungsi dan tujuan partai

politik yang kemudian diatur dalam aturan perundang-undangan, yakni

pada Pasal 11 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana

yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011

Tentang Partai Politik.

14 Satriawan, M. Iwan, Risalah Hukum dan Partai Politik, ( Lampung : PKK-PUU

Fakultas Hukum, 2015), h. 61

Page 25: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

16

4. Pemilihan Umum

Menurut Sri Soemantri M, landasan berpijak mengenai pemilihan

umum yang mendasar adalah demokrasi Pancasila yang secara tersirat dan

tersurat ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945 yakni “Kerakyatan yang

dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan

perwakilan.” Ketentuan-ketentuan konstitusional dalam Pancasila,

Pembukaan, dan Pasal-Pasal UUD 1945 memberikan isyarat adanya

proses atau mekanisme kegiatan nasional 5 (lima) tahunan.15 Berkenaan

dengan sistem pemilihan, negara-negara konstitusional dibagi menjadi

dua; negara dengan pemilih dewasa dan negara dengan pemilih dewasa

bersyarat.16

5. Konstitusi

Dalam bahasa latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari dua

kata, yaitu cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti

“bersama dengan…” sedangkan statuere berasal dari kata sta yang

membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu,

kata statuere mempunyai arti “membuat” sesuatu agar berdiri atau

mendirikan/ menetapkan”. Dengan demikian bentuk tunggal (constitutio)

berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak

(constitusines) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan.17 K.C Whare

mengartikan konstitusi sebagai keseluruhan sistem ketatanegaraan dari

suatu negara berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk,

mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu negara.

Konstitusi dipergunakan dalam dua pengertian yaitu dipergunakan

dalam arti luas dan arti sempit, pengertian secara luas berarti sistem dari

pemerintahan dari suatu negara dan merupakan himpunan peraturan yang

15 Ni’matul Huda & M. Imam Nasef, Penataan Demokrasi & Pemilu, (Jakarta: Kencana,

2017), h. 42

16 C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, (Bandung:Penerbit Nusa

Media,2008), h. 95

17 K.C Wheare, Modern Constitutions, London Oxford University Press, 1975, h. 1

Page 26: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

17

mendasari serta mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-

tugasnya, sedangkan dalam pengertian sempit, yakni sekumpulan

peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang

dimuat dalam “suatu dokumen”atau “beberapa dokumen” yang terkait

satu sama lain.18 Pada masa Yunani purba konstitusi masih diartikan

materiil karena belum diletakan dalam bentuk yang tertulis, hal ini

kemudian dikuatkan dengan pendapat Aristoteles yang membedakan

istilah Politea dan nomoi, Politea diartikan sebagai konstitusi dan nomoi

diartikan sebagai undang-undang biasa. Abad modern ini, banyak negara-

negara mengakui bahwa kedaulatan adalah milik rakyat maka dengan

demikian konstitusi ditempatkan sebagai sumber hokum tertinggi karena

dipandang merupakan hasil perjanjian seluruh rakyat sebagai pemegang

kedaulatan, sehingga landasan berlakunya konstitusi sebagai hokum

tertinggi adalah kedaulatan rakyat itu sendiri.19

Dalam bukunya C.F Strong menyatakan “Modern Political

Constitutionals, an Introduction The Comparative Studi Of their History

and Exiting Form.” Dalam definisi tersebut C.F Strong menyatakan

beberapa berikut :

a. Menjelaskan kekuasaan pemerintah kepada siapa penyelenggaraan

negara diserahkan dan kepada siapa kekuasaan penyelenggaraan

negara diserahkan.

b. Mengenai hak-hak warga negara yang dimana semua hak dimiliki

individu yang menjadi bagian integral dari fungsi kemanusiaan

setiap orang.

c. Meletakan hak dan kewajiban warganegara dengan pemerintah.

Sedangkan KC.Wheare menyatakan, bahwa terdapat dua dimensi

pemahaman, yaitu:

18 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, ( Jakarta:

PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 14

19 Venatius,Hadiyono, Hukum Tata Negara, (Surabya: CV. Garuda Mas Sejahtera, 2018),

h. 63

Page 27: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

18

a. Konstitusi sebagai gambaran keseluruhan sistem pemerintahan

negara, yang menggambarkan bentuk negara dan sistem

pemerintahan suatu negara.

b. Konstitusi merupakan seperangkat aturan tentang bagaimana

pelakasana keseluruhan sistem pemerintahan suatu negara.

Dua pemahaman tersebut merupakan pengertian konstitusi secara

sempit.20 Adapun konstitusi dalam artian luas adalah segala hal yang

berkaitan dengan organisasi negara, baik yang terdapat dalam Undang-

Undang Dasar, Undang-undang, maupun peraturan perundang-undangan

lainnya. James Bryce mendefinisikan konstitusi sebagai suatu kerangka

masyarakat politik (negara) yang terorganisir dengan hokum, dengan kata

lain hokum menetapkan adanya lembaga-lembaga permanen dengan

fungsi yang telah diakui dan hak-hak yang telah ditetapkan.21 Konstitusi

seringkali dibedakan menjadi konstitusi yang tertulis dan tidak tertulis,

konstitusi tertulis adalah konstitusi berbentuk dokumen yang memiliki

kesakralan khusus, sedangkan konstitusi tidak tertulis adalah konstitusi

yang lebih berkembang atas dasar adat istiadat custom. Dari bentuk

lainnya konstitusi juga dibedakan menjadi dua yaitu konstitusi fleksibel

dan konstitusi kaku. Konstitusi yang dapat dirubah atau diamandemen

tanpa adanya prosedur khusus dinyatakan sebagai konstitusi fleksibel,

sedangkan konstitusi kaku adalah konstitusi yang mempersyaratkan

prosedur khusus untuk perubahan atau amandemenya.22

Berdasarkan pandangan Ferdinand Laselle bahwasanya konstitusi

merupakan aturan yang berbentuk tertulis maupun tidak tertulis yang

mengatur tentang pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan.

Sedangkan menurut Soemantri Martosoewignjo menyatakan bahwa

20 Venatius,Hadiyono, Hukum Tata Negara, (Surabya: CV. Garuda Mas Sejahtera, 2018),

h. 65 21 C.F. Strong, 2004, Konstitusi Modern, Terjemahan Oleh SPA. Teamwork, Bandung,

Nuansa dan Nusamedia, dalam Hukum Tata Negara, Hadiyono, 2018, h. 67

22 C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Konstitusi Modern, Terjemahan Oleh

SPA. Teamwork, Bandung, Nuansa dan Nusamedia, dalam Hukum Tata Negara, Hadiyono, 2018,

h. 67

Page 28: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

19

konstitusi berasal dari constitution yang dalam bahasa Indonesia dikenal

dengan istilah undang-undang dasar.23 Negara Republik Indonesia

mempunyai konstitusi yakni Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang

juga sebagai konstitusi yang tertulis dituangkan dalam sebuah dokumen

formal yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945.24 Sistem

ketatanegaraan Indonesia senantiasa berubah, saat ini Indonesia

memberlakukan konstitusi pertama, yaitu Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) hasil amandemen.25

6. Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga negara

yang melakukan kekuasaan kehakiman atau peradilan konstitusi yang

merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakan hukum

dan keadilan.26 Mahkamah Kontitusi lahir pada amandemen ketiga sebagai

UUD NRI Tahun 1945 pada Tahun 2001 sebagai salah satu lembaga baru

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia di bidang kekuasaan kehakiman, di

dunia Internasional pun dapat dikatakan lembaga baru, terutama

dilingkungan negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian

menjadi demokrasi pada penempatan terakhir abad ke-20.27

Berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945, MK diberikan (empat)

kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk; menguji undang-undang terhadap Undang-Undang

Dasar; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

23 Yana Suryana, Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, (Surakarta : PT.

Aksara Sinergi Media, 2018), h. 3

24 Sri Soemantri Marthosoewignjo, Konstitusi Indonesia Prosedur dan Sistem

Perubahannya Sebelum dan Sesudah UUD 1945 Perubahan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2016), h. 2

25 Yana Suryana, Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia…h. 11

26 Marwan Mas, Hukum Konstitusi dan Kelembagaan Negara,(Depok: PT RajaGrafindo

Persada,2018), h. 141

27 A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,

( Bekasi : Gramata Publishing, 2016), h. 120

Page 29: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

20

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; memutus

pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil

pemilihan umum. Selain empat kewenangan itu, MK mempunyai

kewajiban untuk memberikan putusan atass pendapat Dewan Perwakilan

Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil

Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Ketentuan ini ditegaskan dalam

Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945.28

Kelahiran Mahkamah Konstitusi di Indonesia merupakan

perwujudan dan/atau realisasi dianutnya paham negara hukum, Indonesia

sebagai negara hukum memerlukan Mahkamah Konstitusi sebagai benteng

yang senantiasa menjaga prinsip-prinsip konstitusionalitas sebagai sebuah

negara hukum. Menurut A. Salman Maggalatung dalam bukunya yang

berjudul Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945

menyatakan dalam praktik ketatanegaraan yang ada di dunia memang

tidak ada keseragaman mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi

tergantung kebutuhan dan sejarah bangsa yang bersangkutan.

B. Kerangka Teori

1. Negara Hukum

Hukum menjadi sangat urgen dalam menata kehidupan bernegara,

karena hukum mengatur suatu negara menjadi lebih baik. Konsepsi

terhadap negara hukum berkiblat kepada dua tradisi hukum yaitu common

law system dan civil law system, kedua sistem tersebut menggunakan

istilah yang berbeda pula, yaitu rechtsstaat dan the rule of law. Dalam

catatan historis ketatanegaraan Indonesia, konsep negara hukum selalu

ditegaskan dalam konstitusi,29 Konstitusi Indonesia adalah Undang-

Undang Dasar Tahun 1945 yang dimana telah mengalami beberap kali

amandemen. Disebutkan bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum

28 Ni’matul Huda & M. Imam Nasef, Penataan Demokrasi & Pemilu, (Jakarta: Kencana,

2017), h. 215

29 Haposan Siallagan, Penerapan Prinsip Negara Hukum Di Indonesia, (Sosiohumaniora,

Volume 18 No. 2 Juli 2016 : 131 – 137). h. 13

Page 30: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

21

(rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Dengan

adanya penegasan demikian, maka pemaknaan konsep negara hukum

Indonesia ketika itu tidak menimbulkan pemaknaan ambigu, sebab

ditemukan adanya penegasan tentang konsepsi negara hukum yang dianut,

yaitu rechtsstaat.30 Di dalam khazanah ilmu hukum ada dua istilah yang

diterjemahkan secara sama ke dalam bahasa Indonesia menjadi negara

hukum yakni Rechtsstaat dan the Rule of Law, sebagaimana diidentifikasi

oleh Roscoe Pound, Rechtsstaat memiliki karakter administratif,

sedangkan the Rule of Law berkarakter yudisial.31 Rechtsstaat bersumber

dari tradisi hukum negara-negara Eropa Kontinental yang bersandar pada

civil law dan legisme yang menganggap hukum adalah hukum tertulis.

Kebenaran hukum dan keadilan di dalam Rechtsstaat terletak pada

ketentuan bahkan pembuktian tertulis. Hakim yang bagus menurut paham

civil law adalah yang dapat menerapkan atau membuat putusan sesuai

dengan undang-undang, pada paham legisme ini didasari oleh penekanan

pada kepastian hukum. Begitu pun dengan The Rule of Law dikembangkan

negara-negara Anglo Saxon atau Common Law (hukum tidak tertulis),

disini hakim dituntut untuk membuat hukum-hukum sendiri melalui

yurisprudensi tanpa harus terikat ketat kepada hukum tertulis.32

Negara hukum adalah negara yang didirikan di atas landasan hukum

yang kuat, yang dapat memberi jaminan hak asasi manusia dan keadilan

kepada warga negaranya supaya mereka dapat hidup bahagia dan

sejahtera. Terdapat 3 (tiga) unsur pokok negara hukum, yaitu supremacy of

law, equality before law, dan human rights.33 Konsep Supremacy of law

30 Haposan Siallagan, Penerapan Prinsip Negara Hukum Di Indonesia … h. 133

31 Roscoe Pound dalam buku ( Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi,

Mahfud MD ), h. 24

32 Moh Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2012), h. 24

33 Valina Singka Subekti, Dinamika Konsolidasi Demokrasi (Dari Ide Pembaharuan

Sistem Politik hingga ke Praktik Pemerintahan Demokratis), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia,2015), h. 120

Page 31: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

22

(supremasi hukum) mengandung arti bahwa hukum mrmpunyai

kedudukan tertinggi yang tidak dapat dikalahkan oleh kekuasaan

sekalipun. Implikasinya, kekuasaan harus tunduk kepada hukum.

Kemudian konsep equality before the law (persamaan dimuka hukum)

mengandung arti bahwa baik penguasa (pemerintah) maupun rakyat

memiliki kedudukan yang sama dimuka hukum. Pemerintah yang dipilih

rakyat melalui pemilu yang demokratis bekerja dengan landasann hukum

yang berlaku, yaitu peraturan perundang-undangan. Tidak lain tujuannya

agar penguasa tidak semena-mena menggunakan kekuasaanya dan agar

kepentingan rakyat terlindungi, dan yang ketiga adalah konsep human

rights (hak asasi manusia) mengacu kepada hak-hak dasar yang dimiliki

manusia sejak lahir yang tidak dapat dihilangkan oleh siapapun. Ketiga

unsur pokok hukum tersebut diadakan untuk menciptakan negara hukum,

yakni negara yang melindungi secara kuat hak-hak warga negaranya untuk

mencapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera.

Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara

hukum, maka dari pernyataan tersebut menyatakan bahwa Indonesia

adalah negara hukum. Indonesia sebagai sebuah negara sudah menentukan

arah ideologi dan karakteristik bangsa sebagai negara yang berpancasila,

dimana Pancasila merupakan sebuah dasar yang terdiri dari 5 sila yaitu

pertama, berisikan tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua, yang

menyatakan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, ketiga Persatuan

Indonesia, Keempat yaitu Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat

Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan kelima

mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, maka dari

itu dalam kehidupan berbangsa di Negara Indonesia harusnya

menggunakan prinsip-prinsip yang ada dalam Pancasila tersebut,34

34 I Made Hendra Wijaya, Menentukan Konsep Negara Hukum di Indonesia, (Fakultas

Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar), h. 202

Page 32: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

23

sehingga dapat dikatakan bahwasanya Indonesia adalah negara hukum

karena tercantum dalam konstitusi, sebagai negara hukum yang bertujuan

untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera,

aman, tentram, serta tertib yang menjamin persamaan kedudukan warga

masyarakat dalam hukum, dan menjamin terpeliharanya hubungan yang

serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur dibidang tata usaha negara

dengan warga masyarakat.35

2. Teori Demokrasi

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata

“demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratos”

yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demokrasi

adalah keaadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya

kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam

keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintah rakyat oleh rakyat

dan dari rakyat. Adapun menurut Joseph A. Schemer demokrasi

merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan

politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk

memutusakan perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Berdasarkan tafsir

R.Kranenburg di dalam bukunya Inleading in de vergelijkende

staatsrechtwetenschap menyatakan demokrasi yang terbentuk dari dua

kata pokok diatas maknanya adalah cara memerintah oleh rakyat.

Sistem Demokrasi yang terdapat di negara kota (city state) Yunani

Kuno abad ke-6 sampai abad ke-3 SM merupakan demokrasi langsung

(direct democracy), yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk

membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh

seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas.36

Menurut Miriam Budiardjo menyatakan bahwasanya dalam negara

35 Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka & Kebijakan Asasi, (STIH IBLAM

Jakarta : 2004) h. 25

36 Ni’matul Huda & M. Imam Nasef, Penataan Demokrasi & Pemilu, (Jakarta: Kencana,

2017), h. 1

Page 33: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

24

modern demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi bersifat demokrasi

berdasarkan perwakilan (representative democracy). Istilah demokrasi

terbagi menjadi beberapa, yaitu demokrasi konstitusional, demokrasi

parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet,

dan demokrasi nasional. Diantara aliran kelompok diatas yang paling

penting adalah demokrasi kontitusional, dan satu kelompok aliran

menamakan dirinya sebagai komunisme, perbedaan fundamental di antar

kedua aliran itu ialah bahwa demokrasi konstitusional mencita-citakan

pemerintah yang terbatas kekuasaanya, suatau negara hukum

(rechtsstaat), yang tunduk pada rule of law.

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Penelitian dan pengkajian tentang pembubaran partai politik telah

dilakukan oleh beberapa penulis, yakni sebagai berikut:

1. Tinjauan Yuridis atas Legal Standing Pembubaran Partai Politik di

Mahkamah Konstitusi

Skripsi ditulis oleh Rafli Fadhilah Achmad, Fakultas Hukum,

Universitas Indonesia, Tahun 2016.37 Skripsi ini membahas tentang

hubungan dan akibat hukum dari pembubaran partai politik terhadap hak

konstitusional warga negara dalam berserikat. Kemudian penelitian ini

membahas Legal Standing yang hanya dimiliki Pemerintah dalam

pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi apakah melanggar hak

konstitusional warga negara ataukah tidak. Hal ini relevan dengan

penelitian yang dilakukan, namun yang membedakan dengan penelitian

saya adalah penelitian yang saya lakukan adalah mengenai legal standing

pemohon dan dikomparasikan dengan negara Jerman dalam pembubaran

partai politik sesuai dengan prinsip demokrasi.

37https://www.academia.edu/21713787/Skripsi_Hukum_Universitas_Indonesia_TINJAUA

N_YURIDIS_ATAS_LEGAL_STANDING_PEMBUBARAN_PARTAI_POLITIK_DI_MAHKAMAH

_KONSTITUSI diakses pada 26 Januari 2019, pukul 2 : 44 pm

Page 34: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

25

2. Kajian Yuridis Permohonan Pembubaran Partai Politik oleh

Perorangan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-

IX/2011)

Skripsi ini ditulis oleh M. Afif Khoirul Wafa, Fakultas Hukum,

Universitas Jember.38 Skripsi ini membahas tentang pertimbangan hukum

(Ratio Decidendi) putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-IX/2011

telah menjamin pengakuan terhadap hak-hak konstitusional warga negara

dan untuk memahami apakah pengaturan perundang-undangan tentang

akibat (implikasi) hukum pembubaran partai politik telah menjamin

adanya kepastian hukum. Penelitian yang ditulis oleh M. Afif ini relevan

dengan penelitian saya dikarenakan adanya persamaan mengenai kajian

yuridis dari permohonan pembubaran partai politik di Indonesia, adapun

perbedaanya adalah penelitian saya terfokus pada prinsip demokrasi yang

dianut oleh Indonesia serta di bandingkan dengan negara demokrasi

lainnya yang sama-sama mengatur tentang pembubarn partai politik.

3. Risalah Hukum Partai Politik di Indonesia

Buku“Risalah Hukum Partai Politik di Indonesia” ditulis oleh

Mustafa Lutfi & M. Iwan Satriawan, yang diterbitkan oleh PKK-PUU

Fakultas Hukum Universitas Lampung, Tahun 2015.39 Buku ini membahas

tentang dinamika perkembangan partai politik di Indonesia yang dimana

mengalami pasang surut, sebagaimana pada masa reformasi partai politik

menjamur dengan demikian, partai politik yang semakin berkembang ini

di sinyalir tidak sesuai dengan tujuan negara dikarenakan dengan banyak

nya partai politik yang anggotanya terkena kasus korupsi, buku ini pun

membahas tentang pembubaran partai politik itu sendiri dimulai dengan

mekanisme pembubaran partai politik era orde lama, orde baru, dan era

reformasi. Hal ini tentu relevansi dengan penelitian yang saya lakukan

38https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58547/M.%20AFIF%20KHOI

RUL%20WAFA%20-%20100710101259_1.pdf?sequence=1, diakses pada 26 Januari 2019, pukul

2:56 pm

39 Mustafa Lutfi & M. Iwan Satriawan, Risalah Hukum Partai Politik di Indonesia, (PKK-

PUU Fakultas Hukum Universitas Lampung), 2015

Page 35: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

26

mengingat adanya persamaan tentang pembubaran partai politik,

mekanisme dan pengaturan nya akan tetapi dalam perbedaanya dalam

penelitian ini membahas legal standing pemohon yang ada dalam

pengaturan pembubaran partai politik, serta dibedakan dengan adanya

perbedaan mengenai penelitian saya dengan negara demokratis lainnya

yakni negara Jerman.

4. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan

Mahkamah Konstitusi

Buku “Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan

Mahkamah Konstitusi”, ditulis oleh Jimly Asshiddiqie yang diterbitkan

oleh Konstitusi Press, Tahun 2005.40 Buku ini secara sistematis

menguraikan kebebasan berserikat, partai politik diberbagai negara dan

kasus-kasus pembubaran partai politik di Indonesia sejak zaman Belanda

sampai era reformasi. Serta membahas mekanisme kerja peradilan

konstitusional yang berhubungan dengan pembubaran partai politik di

Indonesia dengan berdasarkan kewenangan Mahkamah Konstitusi, buku

ini serta merta membahas kasus-kasus pembubaran partai politik. Buku ini

tentu relevansi dengan penelitian saya dikarenakan adanya persamaan

dalam membahas mekanisme pembubaran partai politik, yang menjadi

pembedanya adalah landasan Indonesia menerapkan legal standing dan di

perbandingkan dengan negara Jerman yang menganut sistem hukum yang

sama, yakni civil law.

5. Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum

dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004

Buku ini ditulis oleh Muchamad Ali Safa’at, Fakultas Hukum,

Universitas Indonesia. Buku ini membahas tentang pembubaran partai

politik di Indonesia pada tahun 1959-2004, membahas dari segala sisi

pengaturan hukum maupun praktek pelaksanaanya dan juga prospek

pengaturan dimasa yang akan datang. Buku yang ditulis oleh Muhammad

40 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan

Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005)

Page 36: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

27

Ali Safa’at ini mempunyai kesamaan dengan penelitian yang saya tulis

karena berkaitan dengan pengaturan pembubaran partai politik akan tetapi

dalam perbedaanya buku ini membahas pembubaran partai politik secara

historis dan yuridis, dan cakupan mengenai pembubaran partai politik

lebih luas, sedangkan penelitian saya mengenai legal standing yang ada di

perkara pembubaran partai politik yang dikaji secara komparatif dengan

negara Jerman, serta dilandaskan berdasarkan prinsip negara Demokrasi.

6. Pemberian Legal Standing Kepada Perseorangan atau Kelompok

Masyarakat dalam Usul Pembubaran Partai Politik

Jurnal ini merupakan hasil karya dari Allan Fatchan Ghani

Wardhana & Harry Setya Nugraha (Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 20

Oktober 2013) Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia.41 Jurnal ini

membahas tentang revitalisasi peran warga negara, atau perorangan

ataupun kelompok masyarakat dalam mengawasi partai politik, hal ini

mengenai pentingnya kelompok masyarakat atau perseorang diberikan

legal standing dalam perkara pembubaran partai politik, yang selanjutnya

dibahas tentang relevansi diberikannya legal standing kepada kelompok

masyarakat atau perorangan dengan revitalisasi peran warga negara

sebagai pengawas partai politik. Jurnal ini tentu mempunyai relevansi

dengan penelitian ini dikarenakan adanya bahasan tentang langkah solutif

untuk legal standing dalam perkara pembubaran partai politik di negara

demokrasi terkhusus di Indonesia sendiri, namun memang perbedaanya

dengan penelitian ini, jurnal ini terfokus membahas adanya relevansi

antara warga negara dengan peran nya sebagai pengawas partai politik,

sedangkan dalam penelitian yang saya tulis mengenai kedudukan hukum

pemohon yang dimiliki oleh negara Indonesia dengan kajian perbandingan

negara Jerman, serta adanya ulasan untuk pemohon legal standing

Indonesia agar adanya pihak lain dalam permohonan pembubaran partai

politik.

41 Allan Fatchan Ghani Wardhana & Harry Setya Nugraha, Pemberian Legal Standing

kepada Perseorangan atau Kelompok Masyarakat dalam Usul Pembubaran Partai Politik, (Jurnal

Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 20 Oktober 2013)

Page 37: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

28

7. Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik:

Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman

Jurnal ini ditulis oleh Oly Viana Agustine, Pusat Penelitian dan

Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi.42 Jurnal ini membahas tentang

desain ulang mekanisme pembubaran partai politik di Indonesia dengan

kajian sosiologis dan psikologis secara empiris agar memenuhi kriteria

“clear and present danger”. Jurnal ini mempunyai persamaan dengan

penelitian penulis saat ini, yang mana persamaanya adalah negara Jerman

yang dijadikan sebagai obyek dalam perbandingan, walaupun begitu jurnal

ini dengan penelitian yang saya tulis memiliki perbedaan yang dimana

jurnal yang ditulis oleh Oly Viana Agustine membahas mekanisme

pembubaran partai politik secara konstitusional, dan aspek sosiologis dan

empiris serta psikologis untuk mendesain ulang pengaturan tentang

pembubaran partai politik yang salah satunya mengenai pemohon perkara

pembubaran partai politik, berbeda dengan penelitian saya yang obyek

kajiannya adalah legal standing antara kedua negara, serta legal standing

yang ada di Indonesia. Dan memberlakukan prinsip Demokrasi dalam

penerapan legal standing tersebut.

42 Oly Viana Agustine, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik:

Kajian Perbandingan Indonesia dengan Jerman, (Jurnal Konstitusi Vol. 9, No.2, November 2018)

Page 38: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

29

BAB III

SEJARAH DAN KEWENANGAN PEMBUBARAN PARTAI POLITIK

DALAM NEGARA DEMOKRASI

A. Pembubaran Partai Politik dalam Negara Demokrasi

Sistem kepartaian yang dikembangkan dalam negara demokrasi terdapat

beberapa sistem yakni sistem dua partai, sistem multi partai, ataupun satu partai,

namun hal itu terbentuk tanpa adanya aturan yang melarang pembentukan partai

politik baru ataupun aturan yang memberikan keistimewaan pada partai tertentu.

Pengaturan masalah partai politik merupakan salah satu upaya konstitusionalisasi

demokrasi politik.1 Demokrasi modern merupakan sesuatu sistem yang dipandang

dapat merealisasikan beberapa tujuan, diantaranya adalah menciptakan stabilitas

politik dan mengekspresikan status persamaan bagi semua warga negara dengan

membuat kebijakan yang responsif. Sistem multipartai merupakan sistem yang

banyak diterapkan dalam negara demokrasi, termasuk Indonesia dan Jerman, hal

ini terjadi karena adanya pluralitas budaya dan sosial dalam kehidupan masing-

masing negara, sistem multipartai ini adalah sistem yang dalam pelaksanaanya

melibatkan banyak partai dalam pemilihan umum.

Fenomena sistem multipartai dimulai dengan beragam bentuk ideologi, baik

itu berbentuk ideologi personal maupun kelompok atau organisasi lainnya, namun

demikian, upaya untuk membatasi jumlah partai politik tetap dilakukan antara lain

dengan diberlakukannya electroral threshold yang diberlakukan pada tahun

2004.2 Menurut Sam Issacharoff dalam disertasi yang ditulis oleh Muhammad Ali

1 Muhammad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan

Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004), Fakultas Hukum : Universitas Indonesia,

h. 77

2 Josef M Monteiro, Ketidakpastian Pengaturan Pembubaran Partai Politik,Universitas Nusa

Cendana Kupang, Jurnal Hukum Pro Justitia, April 2010, Vol. 28 No 1

Page 39: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

30

Safa’at menyatakan bahwasanya salah satu bentuk pembatasan yang dapat

dibenarkan dan dibutuhkan dalam negara demokrasi adalah pembatasan terhadap

kelompok yang mengancam demokrasi, kebebasan, serta masyarakat secara

keseluruhan. Negara dapat melarang atau membubarkan organisasi termasuk

partai politik yang bertentangan dengan tujuan dasar dan tatanan konstitusional.

Pandangan Janusz Symonides Human Right: concept and standart yang ditulis

oleh Muhammad Ali Safaat menyatakan bahwa negara demokrasi tidak hanya

memiliki hak akan tetapi juga memiliki tugas untuk menjamin dan melindungi

prinsip-prinsip demokrasi konstitusional. Menurut Ali bahwa dalam pengaturan

pembubaran partai politik di setiap negara berbeda-beda, hal itu tergantung

bagaimana partai politik diposisikan serta kepentingan nasional yang harus

dilindungi.

Pengaturan partai politik disuatu negara dipengaruhi oleh kecenderungan

hukum nasional yang menempatkan partai politik bersifat privat maupun publik,

hal tersebut terkait dengan paradigma pengaturan partai politik yang dianut.3

Paradigma tersebut yaitu pertama adalah managerial, progresif, pluralist yang

cenderung menempatkan partai politik sebagai organisasi politik sebagai

organisasi yang publik yang perlu diatur oleh negara, sedangkan paradigma

Libertarian, political market paradigma tersebut lebih memposisikan partai

politik sebagai organisasi privat, sehingga hukum negara tidak terlalu banyak

mengatur. Dengan demikian ada beberapa negara yang mengatur tentang

pembubaran partai politik, salah satunya adalah Indonesia dan Jerman yang sama

sama negara demokrasi dan berlandaskan hukum mengatur tentang bagaimana

mekanisme pembubaran partai politik dalam masing-masing negara. Negara yang

mengatur menyebutkan keberadaan partai politik hanya 72 negara, dan dari ke 72

negara tersebut hanya 23 negara yang mengatur tentang pembubaran partai

3 Muhammad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan

Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004), Fakultas Hukum : Universitas Indonesia,

h. 84

Page 40: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

31

politik, dari ke 23 negara tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok

yang dimana negara yang mengatur tentang pembubaran partai politik

berdasarkan dengan aturan hukum, ada pula diputuskan oleh pengadilan atau

dalam bahasa lain di proses melalui sistem yudisial, dan ada negara yang

mengatur pembubaran partai politik diatur berdasarkan wewenang Mahkamah

Konstitusi (constitutional court).4 Konstitusi negara yang menyatakan

pembubaran partai politik oleh aturan hukum adalah konstitusi Kongo,

Mauritania, dan Moldova. Selain dengan aturan hukum, negara yang mengatur

pembubaran partai politik melalui putusan pengadilan atau melalui prosedur

yudisial adalah Afganistan, Paraguay, Andora, Cape Verde, Islandia, Spanyol,

dan Ukraina. Dan negara yang mengatur pembubaran partai politik melalui

Mahkamah Konstitusi adalah Albania, Azerbaijan, Chile, Ceko, Armenia,

Georgia, Jerman, Macedonia, Korea Selatan, Polandia, Rumania, Slovenia,

Turki.5 Dan salah satunya adalah Indonesia yang mana kewenangan permohonan

pembubaran partai politik di Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia. Sebagaimana demikian Indonesia menjadi bagian dari wewenang

Mahkamah Konstitusi dalam pembubaran partai politik begitu pula dengan negara

Jerman yang pengaturan pembubaran partai politik dimiliki oleh Mahkamah

Konstitusi Jerman. Pengaturan pembubaran partai politik diatur dalam Undang-

Undang No 2 Tahun 2008 jo Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang

Partai Politik.

B. Pembubaran Partai Politik di Negara Federal Jerman

1. Sejarah Pembubaran Partai Politik Jerman

Jerman merupakan negara republik parlementer federal yang

demokratis Federal Republic Of Germany yang dimana bentuk negara Jerman

4 Muhammad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan

Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004), Fakultas Hukum : Universitas Indonesia,

h. 84 5Muhammad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan

Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004)...h. 93

Page 41: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

32

adalah republik federasi dengan sistem pemerintahannya adalah demokrasi

parlementer, demokratis parlementer yang dimaksud adalah anggota parlemen

dipilih langsung setiap empat tahun oleh warga negara Jerman, Parlemen

Jerman mempunyai tugas yang penting ialah membuat Undang-undang serta

pengawasan terhadap pekerjaan pemerintahan. Dengan demikian sistem

pemerintahan negara demokrasi tertuang dalam konstitusi negara Jerman

yakni Undang-Undang Dasar Jerman yang disebut (Grundgesetz) Tahun 1949

disebut juga dengan Basic Law. Pada tahun 2017 Jerman mengadopsi sistem

multi partai yang saat ini memiliki 14 partai nasional.6 Ke-14 Partai Nasional

ini telah berhasil menduduki lembaga legislatif Jerman, Christlich

Demokratische Union Deutschlands (Uni Demokratik Kristen Jerman)

misalnya mendapatkan suara mayoritas pemilihan umum pada tahun 2013,

selain partai Uni Demokratik Kristen Jerman juga terdapat partai nasional

lainnya yang berideologi Pirate politics dan Social liberalism, partai ini

tergolong cukup unik dengan membawa nama Piratenpartei Deutschland atau

disebut dengan Partai Bajak Laut Jerman.

Negara Jerman memiliki penggolongan partai politik berdasarkan

basis territorial yang mana pada tahun 1933 Jerman mempunyai partai

konservatif dan partai nasional dan partai nasional mempunyai pengikut di

daerah-daerah agraris, Partai Katolik berpusatkan di daerah Jerman Selatan

dan Jerman Barat, Partai Liberal berada di provinsi Rhein dan Baden yang

dekat dengan negara Prancis, Partai Buruh terdapat didaerah industri Jerman

seperti daerah Sachen, Thuaringen, Hamburg atau Ruhr, Partai Uni Social

Kristen Jerman ChristlichSoziale Union in Bayern (CSU) misalnya disebut

sebagai partai regional yang beroperasi hanya di negara bagian Bavaria, akan

tetapi partai tersebut disebut sebagai ‘keluarga’ partai Uni Demokratis Kristen

6 Muhammad Siddiq Armia, Hubungan Ideal Partai Politik Nasional dengan Partai Politik

Lokal dalam Pengisian Jabatan Publik, Jurnal Review Politik Vol. 07, No. 01, Juni 2017, h. 140

Page 42: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

33

Jerman Christlich Demokratische Union Deutschlands (CDU), maka partai

CSU ini berpengaruh secara nasional.7 Selain memiliki partai nasional,

Jerman memiliki partai politik lokal yang tersebar di beberapa negara bagian.

Akan tetapi dari hasil pemilihan umum atau pemilu, partai politik lokal tidak

pernah memenangi pemilu di negara bagiannya seperti Südschleswigscher

Wählerverband di negara bagian Schleswig-Holstein, Bürger in Wut di negara

bagian Bremen, Brandenburger Vereinigte Bürgerbewegungen / Freie Wähler

di negara bagian Brandenburg.8 Sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad

Siddiq menyatakan bahwa jumlah kursi yang dimilikinya sangat minim,

berkisar antara satu sampai tiga kursi. Hal tersebut dikarenakan masyarakat

dari negara bagian di Jerman memilih partai nasional yang mendominasi

seperti Christlich Demokratische Union Deutschlands (CDU),

Sozialdemokratische Partei Deutschlands (SPD), dan ChristlichSoziale Union

in Bayern (CSU). Dengan demikian tidak menutup kemungkinan untuk partai

politik lokal mengambil hati pemilih pada negara bagian, dan menyulitkan

untuk mendapatkan kursi di negara bagian itu sendiri.

Parlemen Jerman (Bundestag) sendiri terdapat 598 kursi, 299 kursi

diperebutkan melalui sistem pemilihan langsung, selebihnya melalui sistem

pemilihan proporsional berdasarkan daftar kandidat, pemilihan tersebut

dilakukan dua kali dalam hal ini pemilih dapat memilih satu nama calon

perwakilan di parlemen, dan yang kedua pemilih dapat memilih satu nama

partai. Hal tersebut menentukan perwakilan kandidat untuk masuk parlemen

dan juga partai politik yang memiliki suara terbanyak menetukan jumlah kursi

yang didapat di parlemen. Dalam sistem pemilihan umum Jerman dapat

7 Pipit R Kartawidjaja & M. Faisal Aminuddin, Demokrasi Elektoral (Bagian 1)

Perbandingan Sistem dan Metode dalam Kepartaian dan Pemilu, (Surabaya : Penerbit Sindikasi

Indonesia, 2014), h. 19

8 Muhammad Siddiq Armia, Hubungan Ideal Partai Politik Nasional dengan Partai Politik

Lokal dalam Pengisian Jabatan Publik, Jurnal Review Politik Vol. 07, No. 01, Juni 2017, h. 140

Page 43: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

34

diklasifikasikan sebagai sistem proporsional yang dipersonalisasi atau disebut

dengan Personalisierte Verhältniswahl yang pada hakikatnya sistem ini

adalah cara menggabungkan suara personal di distrik dengan prinsip

proposional.9 Partai politik Jerman yang ikut serta dalam pemilihan umum

Jerman banyak jumlahnya, akan tetapi tidak semua berhasil masuk tingkat

nasional, karena Jerman memberlakukan syarat ambang batas lima persen,

saat ini terdapat partai besar yang menduduki parlemen di Jerman

(bundestag), Partai besar tersebut yakni Christlich Demokratische Union

(CDU), Christlich Soziale Union (CSU), Sozialdemokratische Partai

Deutschland (SPD), Freie Demokratische Partei (FPD) dan Aliansi 90/ Partai

Hijau Bündnis 90/Die Grünen serta Partai Demokratische Sozialismus

(POS).10

Konstitusi Jerman memberikan perlindungan bagi setiap warga negara

negaranya sendiri dalam mendirikan suatu partai politik akan tetapi pendirian

partai politik di Jerman tidak boleh bertentangan dengan nilai demokrasi dan

ideologi negara Jerman sendiri, hal itu dinyatakan dalam aturan konstitusi

yakni Chapter II Article 21 tentang Partai Politik yang berbunyi : The

Political Parties participate in the forming of the political will of the people.

They may be freely established. Their internal organization must conform to

democratic principles. They have to publicly account for the sources and use

of their funds and for their assets. Negara Jerman membebaskan warga negara

untuk mendirikan partai politik dengan berdasarkan prinsip demokrasi negara

Jerman itu sendiri, dikarena kan keberadaan partai politik merupakan suatu

keharusan dalam negara demokrasi karena menjadi wadah menyampaikan

aspirasi rakyat dalam kebijakan-kebijakan politik negara, untuk itulah dalam

9 http://aceproject.org/ace-en/topics/es/esy/esy_de. Dikutip pada tanggal 4 September 2019,

Pukul 14 : 40

10 Oly Viana Agustine, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik :

Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman, Negara Hukum: Vol. 9, No. 2, November 2018, h. 126

Page 44: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

35

pendirian dan pembubaran partai politik perlu diawasi oleh konstitusi.

Pembubaran partai politik Jerman merupakan kewenangan Mahkamah

Konstitusi hal ini diatur dalam konstitusi Jerman yaitu basic law.

Basic law merupakan konstitusi terbaru di Jerman atau disebut dengan

Undang-Undang Dasar Jerman yang dimana dulu berlaku konstitusi

Weimar.11 Basic law mengatur dan memberikan jaminan kepada warga negara

Jerman untuk bebas berkumpul dan berserikat dalam bentuk apapun

sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 basic law tak terkecuali dengan

partai politik itu sendiri. Selain itu basic law juga mengatur pembatasan dan

pembubaran suatu partai politik, yang dalam pembubaran dan pembatasan

suatu partai politik dimonopoli oleh Mahkamah Konstitusi Federal Jerman

(Bundesverfassunggericht). Mahkamah Konstitusi Jerman telah memeriksa

dan dan memutus permohonan pembubaran partai politik. Menurut Abdul

Bari dan Makmur Amir dalam buku yang berjudul Pemilu dan partai politik di

Indonesia menyatakan bahwasanya tindakan pembubaran partai politik

haruslah diputuskan melalui Mahkamah Konstitusi atau badan peradilan lain

yang berwenang melalui prosedur peradilan yang benar-benar memberikan

segala jaminan akan “due process of law”.12

Jerman dalam melakukan mekanisme pembubaran partai politik

kewenangannya dimiliki oleh Mahkamah Kontistusi Jerman atau disebut

dengan Bundesverfassunggericht. Terdapat beberapa permohonan

pembubaran partai politik yang di periksa dan diputus oleh Mahkamah

Konstitusi, terdapat dua permohonan pembubaran partai politik yang

dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi Jerman pada tahun 1952 yakni

terhadap partai politik Sozialistische Reichspartei atau Sosialust Reich Party

11 Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik :

Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman…h. 122

12 Abdul Bari Azed & Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat

Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005, h. 36

Page 45: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

36

(SRP) dan pada tahun 1956 terhadap permohonan pembubaran partai politik

Kommunistsche Partei Deutschlands atau Communist Party of Germany

(KPD), selain itu Mahkamah Konstitusi Jerman menolak permohonan

pembubaran partai politik yakni pada partai politik The Free German Workers

Party atau Freiheitliche Deutsche Arbeiterpartei (FAP), The National List

(NL) pada tahun 1994, dan permohonan pembubaran National demokratische

Partei Deutschlands atau National Democratic Party of Germany (NPD) pada

tahun 2017, dan satu permohonan pembubaran partai politik yang tidak

dilanjutkan perkara permohonan pembubaran partai politiknya yakni partai

politik National Democratic Party Of Germany (NPD) pada tahun 2003.13

Pengaturan pembubaran partai politik di Jerman diatur secara rigid,

detail dan dinamis dalam menjamin dan mengatur pembubaran partai politik.

Penganut partai politik tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip

demokrasi hal tersebut telah tercantum dalam basic law chapter 21 yang mana

tidak boleh bertentangan, merusak, dan menghapuskan tatanan dasar

demokrasi serta membahayakan keberadaan Republik Federal Jerman (to

endanger the existence of the federal Republic of Germany)14. Selain dari

basic law peraturan perundang-undangan lain juga mengatur tentang

pembubaran partai politik di Jerman, yakni Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi Federal Jerman atau yang disebut dengan

(Bundesverfassungsgerichtsgesetz), Dalam Pasal 13 ayat (2) BverfGG

menyatakan sebagai berikut : Das Bundesverfassungsgericht entscheidet

(Article 13 Federal Constitutional Court Act shall decide) : über die

Verfassungswidrigkeit von Parteien (Artikel 21 Abs. 2 des Grundgesetzes) on

13 Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik:

Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman…. h. 123

14 Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik:

Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerma … h. 128

Page 46: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

37

the unconstitutionality of political parties (Article 21(2) of the Basic Law),15

Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan

inkonstitusional partai politik yang tentu diatur oleh Undang-Undang Dasar

Federal Jerman Pasal 21 ayat (2), apabila partai politik Federal Jerman

bertentangan maka partai politik tersebut haruslah dibubarkan.

2. Kewenangan Perkara Pembubaran Partai Politik Jerman

Kewenangan pembubaran partai politik dimonopoli oleh Mahkamah

Konstitusi Bundesverfassungsgericht berbeda dengan pembubaran asosiasi

atau organisasi masyarakat lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan

peradilan umum, partai politik hanya dapat dibubarkan oleh Mahkamah

Konstitusi.16 Mahkamah Konstitusi Federal Jerman telah menerima lebih dari

sembilan permohonan pembubaran partai politik akan tetapi hanya terdapat 5

putusan 2 putusan dikabulkan untuk dibubarkan, yakni pada partai

Sozialistische Reichspartei atau Sosialust Reich Party (SR) pada tahun 1952,

dan partai Kommunistsche Partei Deutschlands atau Communist Party of

Germany (KPD) pada tahun 1956. Tiga permohonan pembubaran partai

politik yang ditolak Mahkamah Konstitusi Bundesverfassunggericht yakni

terhadap partai The Free German Workers Party atau Freiheitliche Deutsche

Arbeiterpartei (FAP) the National List (NL) pada tahun 1994, dan

permohonan pembubaran Nationaldemokratische Partei Deutschlands atau

National Democratic Party of Germany (NPD) pada tahun 2017, serta satu

permohonan pembubaran partai politik yang tidak dilanjutkan (dismissal),

yaitu permohonan pembubaran NPD pada tahun 2003.17

15 Bundesverfassungsgerichtsgesetz, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Federal Jerman 16 Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik :

Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman… h. 130

17 Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik :

Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman… h. 123

Page 47: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

38

C. Pembubaran Partai Politik di Indonesia

Perkembangan partai politik di Indonesia dapat dilihat berdasarkan dinamika

ketatanegaraan dan politik yang terus berubah, hal tersebut berdampak pada

politik hukum dalam bidang kepartaian juga terus mengalami perubahan.18

Bangsa Indonesia mengenal partai politik sejak masa pra-kemerdekaan, hal

tersebut tidak terlepas dari adanya gejala moderenisasi yang muncul di Eropa.19

Pembubaran partai politik dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, dimulai dari

masa demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang dianut

di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pasca Dekrit Presiden 5

Juli 1959 sampai kejatuhannya pada tahun 1966 seiring muculnya Orde Baru.20

Berdasarkan hal tersebut, partai politik Indonesia dilihat berdasarkan sistem

pemerintahannya, yang sebagaimana sebagai berikut:

a. Pembubaran Partai Politik Pada Masa Penjajahan

Munculnya partai politik di Indonesia dapat dikatakan sebagai dampak

dari perubahan sosial, politik dan ekonomi di negeri Belanda maupun Hindia

Belanda pada waktu itu, titik tolak yang paling relevan dalam hal ini adalah

adanya kebijakan politik etis yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial

Belanda.21 Semenjak diberlakukanya kebijakan politik etis tercatat beberapa

partai politik dengan peranan cukup menonjol antara lain Partai Sarekat

Islam Indonesia (PSII), Insulinde Partij (IP), Partai Komunis Indonesia

(PKI), Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Bangsa Indonesia (PBI) dan

18 M.Iwan Satriawan & Mustafa Lutfi, Risalah Hukum dan Teori Partai Politik di Indonesia,

PKK-PUU Fakultas Hukum : Universitas Lampung 2015, h. 95

19 Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah

Konstitusi, (Konstitusi Press, Jakarta 2006), h. 159

20 Widayati, Pembubaran Partai Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Jurnal

Hukum, Vol. XXVI, No.2 Agustus 2011), h. 630

21 Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah

Konstitusi, (Konstitusi Press, Jakarta 2006), h. 159

Page 48: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

39

Partai Indonesia (Partindo).22 Pada masa penjajahan Belanda terdapat tiga

partai yang dibubarkan yakni, IP, PKI, dan PNI.

1) Pembubaran Indische Partij (IP)

Sikap politik IP yang dengan jelas mengakui legalitas

pemerintahan kolonial dan menolak program yang diletakkan oleh

pembuat politik etis masa itu, membuat partai IP tidak berumur

panjang. Pada tahun 1913, Gubernur Jendral Idenburg membubarkan

IP. Bahkan E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangunkoesoeno dan

Soewardi Soerjaningrat yang dikenal sebagai tiga serangkai atau

trumvirat pimpinan IP diasingkan ke negeri Belanda. Alasan

dilakukannya pembuangan adalah karena sejumlah artikel tokoh-tokoh

IP dianggap merusak ketenangan dan ketertiban umum.23

2) Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI)

Ideologi komunis masuk ke Indonesia pada tahun 1914, pada

tanggal 9 Mei 1914 pemerintah kolonial Belanda mengizinkan tokoh-

tokoh marxis Belanda seperti HW Dekker, HJEM Sneevlit, P Bergsma

dan A Baar mendirikan organisasi yang diberi nama Persatuan Sosial

Demokrat Indonesia (Indische Social Demokratshe Vereeniging) untuk

membesarkan organisasinya, tokoh terkemuka ISDV Sneevlit

membangun jaringan kerja dengan beberapa organisasi lain seperti

Sarekat Islam (SI), Insulinde dan VERSUSTP. Masuknya ideologi

komunis kedalam SI menyebabkan organisasi ini terpecah menjadi dua

aliran yang biasa dibedakan dengan istilah SI Merah dan SI Putih. SI

Merah berideologi komunis dan berbasis di Semarang, sedangkan SI

Putih berideologi Islam dan berbasis di Yogyakarta. Perpecahan ini

22 Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah

Konstitusi… h. 160

23 Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah

Konstitusi… h. 163

Page 49: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

40

mencapai puncaknya dengan tidak diakuinya Semarang sebagai

cabang SI, dalam kongres SI yang berlangsung pada Oktober 1921.

Perpecahan ini menjadi awal keruntuhan SI karena massa di tingkat

bawah lebih banyak terpengaruh pada propaganda SI Merah. Yang

pada akhirnya SI Putih menghimpun diri menjadi Partai Sarekat Islam

(PSI).

Pada tahun 1924 nama Perserikatan Komunis Hindia Belanda

diganti menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah memperoleh

basis baik di perkotaan maupun pedesaan mereka menyebarkan

propaganda yang menjanjikan persamaan hak, persamaan untuk

memperoleh kebutuhan material, dengan begitu banyak diterima oleh

masyarakat terutama dari kalangan buruh, petani dan nelayan yang

rata-rata hidup dala kemiskinan. Dengan modal dukungan dari mereka

pada November 1926 PKI melakukan pemberontakan di beberapa

bagian Pulau Jawa dan pada Januari 1927 di pantai barat Sumatera.

Pemberontakan tersebut dapat digagalkan oleh pemerintah kolonial

Belanda. Kegagalan ini mengakibatkan bencana bagi PKI. Partai ini

dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang selama masa

penjajahan Belanda. Para pemimpinnya melarikan diri ke luar negeri.

Sementara yang tertinggal sebagian dieksekusi mati dan sebagian

lainnya dipenjarakan atau dibuang ke kampong tahanan di Digul,

Papua.24

3) Pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI)

Pendekatan radikal Soekarno dalam memimpin PNI

mengundang kecemasan baik dari kalangan PNI sendiri maupun pihak

luar yang bersimpati pada PNI. Seiringnya dengan meningkatnya

24 Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah

Konstitusi, (Konstitusi Press, Jakarta 2006), h. 167

Page 50: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

41

agitasi Soekarno, pemerintah kolonial semakin bertindak represif

terhadap PNI. Pada Oktober 1929 pemerintah kolonial melarang

seluruh anggota militer berikut keluarga dan pembantunya untuk

menjadi anggota PNI. Selanjutnya pada tanggal 29 Desember 1929,

terjadi penangkapan besar-besaran terhadap anggota PNI, Soekarno

sendiri tertangkap di Yogyakarta, dalam maklumat pengurus besar

PNI yang ditandatangani oleh Mr. Soejoedi dan Ir. Anwari tanggal 9

Januri 1930 dinyatakan bahwa seluruh pengurus PNI cabang

Pekalongan dan hamper semua pengurus cabang Bandung ditahan oleh

aparat keamanan. Peritiwa penangkapan tersebut berdampak besar

terhadap kemerosotan gerakan perjuangan kemerdekaan. PNI sendiri

pada akhirnya dibubarkan oleh ketuanya Mr. Sartono pada 11

November 1930.25

b. Masa Orde Lama

Menurut Abdul Mukhti Fajar dalam buku Hukum Konstitusi dan

Mahkamah Konstitusi salah satu kebijakan politik Presiden Soekarno adalah

menyederhanakan partai politik-partai politik yang begitu banyak di Indonesia

yang merupakan warisan dari kebijakan politik kepartaian sebelumnya yang

tercantum dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 yang

ditanda tangani oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta. Maklumat pemerintah

tanggal 3 November 1945 merupakan regulasi pertama dibidang kepartaian di

Indonesia sesudah kemerdekaan yang telah melahirkan sistem multi partai

dengan multi ideologi.26 Partai politik lahir pada masa penjajahan yang

dimana sebagai bukti bangkitnya kesadaran nasional, pada masa orde lama

partai politik menganut sistem multi partai, dengan beragam azas, ada yang

25 Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah

Konstitusi… h. 171

26 Widayati, Pembubaran Partai Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Jurnal

Hukum, Vol. XXVI, No.2 Agustus 2011), h. 631

Page 51: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

42

menganut azas politik agama seperti Sarikat Islam dan partai Katolik, ada

yang berazas sosial seperti Budi Utomo, dan Muhammadiyah, dan pula ada

yang berazas politik sekuler seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), dan

Partai Komunis Indonesia (PKI).27 Sistem pemerintahan dan sistem politik

pada masa pasca dekrit presiden disebut dengan demokrasi terpimpin untuk

menggantikan sistem demokrasi liberal parlementer dibawah UUD 1950

dengan sistem multi partai dengan multi asas atau ideologi yang ditandai

dengan jatuh bangunnya kabinet akibat tidak adanya partai mayoritas absolut

dari hasil pemilu 1955. Masa Republik Indonesia I (1945-1959), yaitu masa

demokrasi (konstitusional) yang menonjolkan peranan parlemen serta

partaipartai dan yang karena itu dapat dinamakan Demokrasi Parlementer,

kemudian Republik Indonesia pada tahun 1959-1965 memakai sistem

demokrasi terpemimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang

konstitusional yang secara formal merupakan landasannya, dan menunjukkan

beberapa aspek demokrasi rakyat.28

Pembubaran partai politik di masa orde lama didahului dengan keluarnya

Penpres No 7 Tahun 1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan

kepartaian, dalam pasal 9 disebutkan mengenai pembubaran partai politik

yang berbunyi “Sedang melakukan pemberontakan karena pemimpin-

pemimpinanya turut serta dalam pemberontakan-pemberontakan atau jelas

memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi menyalahkan

perbuatan anggota-anggotanya”. Kemudian dilanjutkan dengan keluarnya

peraturan presdien atau Perpres No 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan,

Pengawasan, dan Pembubaran Partai Politik, yang mana dalam Pasal 6-9 yang

pada pokoknya memuat sebagaimana berikut :

27 Henry Arianto, Peranan Partai Politik dalam Demokrasi di Indonesia, Lex Jurnalica /Vol. 1

/No.2 /April 2004, h. 78

28 Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008),

h. 128

Page 52: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

43

1. Institusi yang berwenang melarang dan/atau membubarkan partai politik

adalah Presiden setelah mendengar pertimbangan dari Mahkamah Agung.

2. Alasan pelarangan dan/atau pembubaran partai politik sebagai berikut :

1) Asas dan Tujuannya bertentangan dengan asas dan tujuan negara

2) Programnya bermaksud untuk merombak asas dan tujuan negara

3) Sedang melakukan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinanya

turut serta dalam pemberontakan-pemberontakan atau telah jelas

memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi

menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya itu;

4) Tidak memenuhi syarat-syarat lain yang ditentukan dalam Penetapan

Presiden (Penpres) yang tercantum dalam Bab II Pasal 2 – 7 Tahun

1959.

Dikeluarkannya Keppres No 128 tahun 1961 yang menyatakan bahwa

terdapat 8 (delapan) partai politik yakni: PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai

Indonesia (Partindo), Partai Murba, PSII Arudji, dan IPKI. Selain itu adapula

Keppres No 129 Tahun 1961 yang menolak 4 (empat) partai politik yakni

PSII Abikusno, PRN Bebasa, PRI dan PRN Djody. Pada tanggal 27 Juli 1961

juga dikeluarkan Keppres No 440 Tahun 1961 yang mengakui Parkindo dan

Persatuan Tarbiyah Islam (Perti).29 Terhadap keputusan Presiden yang tidak

mengakui beberapa partai politik tersebut tidak terdapat upaya hukum yang

diajukan ke pengadilan. Kondisi ini dapat dipahami karena kekuasaan

Presiden Soekarno pada saat itu sangat besar, bahkan Ketua MA ditempatkan

sebagai Menteri Koordinator Hukum dan Dalam Negeri, sehingga

kedudukannya berada dibawah Presiden. Setelah terjadinya peristiwa 30

September 1969 dan terdapat bukti-bukti bahwa PKI berada dibelakang

peristiwa tersebut, Soeharto selaku staff Koti membekukan PKI dan ormas-

29 M.Iwan Satriawan & Mustafa Lutfi, Risalah Hukum dan Teori Partai Politik di Indonesia,

PKK-PUU Fakultas Hukum : Universitas Lampung 2015, h. 99

Page 53: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

44

ormasnya. Pertimbangan adanya keputusan pembubaran PKI sebagaimana

tertuang dalam konsideran Keppres Nomor 1/3 1996 adalah karena

munculnya kembali aksi-aksi gelap yang dilakukan oleh “Gerakan 30

September” dalam konsideran “Memperhatikan” keputusan itu juga

disebutkan putusan Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh

gerakan 30 September. Keputusan pembubaran PKI dikukuhkan dengan

ketetapan MPRS Nomor XXVV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai

Komunis Indonesia, yang menyatakan bahwa sebagai organisasi terlarang

diseluruh wilayah Indonesia bagi partai komunis Indonesia dan larangan

setiap kegiatan atau menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran

komunisme/marxisme/leninisme. Ketetapaan tersebut diputuskan pada 5 Juli

1966.30

Selain PKI juga dilakukan pembubaran dan pembekuan terhadap partai

Partindo, Partindo memiliki kedekatan terhadap partai PKI, hal tersebut

terbukti dengan dukungan partai Partindo terhadap agenda PKI, yang mana

dalam kongres Partindo Januari 1964. Sebelum dibekukan, Partindo memiliki

satu wakil di DPRGR berdasarkan Keppres Nomor 156 Tahun 1960, namun

terbukti memiliki kedekatan dengan PKI, anggota DPRGR dari Pertindo

diberhentikan dengan Keppres Nomor 57 Tahun 1968.31 Mekanisme

pelarangan dan/ atau pembubaran partai politik terdapat didalam Pasal 6

sampai Pasal 8 Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan,

Pengawasan, dan Pembubaran Partai Partai. Mekanismenya adalah sebagai

berikut:

1) Presiden menyerahkan surat-surat dan alat bukti yang lain kepada

Mahkamah Agung sebagai alat pembuktian terhadap suatu partai

30 Muhammad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan

Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004) … h. 194

31 Mochtar Pakpahan dalam Buku yang ditulis oleh M. Ali Safaat… h.196

Page 54: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

45

politik apabila presiden merasa bahwa terdapat suatu partai politik

yang dianggap berada dalam kondisi sebagaimana yang dijelaskan

dalam Pasal 9 ayat (1) Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959.

2) Mahkamah Agung memeriksa persoalan yang diajukan oleh Presiden

secara yuridis dan obyektif dengan mengadakan pemeriksaan dengan

acara bebas.

3) Dalam pemeriksaan Mahkamah Agung dapat mendengar keterangan

saksi-saksi dan ahli-ahli dibawah sumpah.

4) Hasil pemeriksaan Mahkamah Agung diberitahukan kepada Presiden.

5) Setelah menerima pertimbangan Mahkamah Agung, Presiden

mengeluarkan Keputusan Presiden yang menyatakan pembubaran

suatu partai yang secepat mungkin diberitahukan kepada pimpinan

partai tersebut.

c. Masa Orde Baru

Pembubaran partai politik terjadi pula pada awal masa Orde Baru diawali

dibubarkannya Partai Komunis Indonesia (PKl) yang dinilai bertentangan

dengan ideologi Pancasila. Selain itu pada fase Orde Baru terdapat

pembatasan jumlah partai politik yang mulai dilakukan sejak lanuari 1973,

dengan mengebiri sistem multipartai melalui kebijakan fusi partai partai

politik sejenis ke dalam beberapa partai politik. Partai Islam (baik itu modern

is ataupun tradisionalis), seperti Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin

Indonesia (Parmusi), Partai Persatuan Tarbyiah Indonesia (Perti), dan Partai

Serikat Islam Indonesia (PSSI) digabungkan ke dalam Partai Persatuan

Pembangunan (PPP). Sedangkan partai-partai politik yang mengusung

ideologi nasionalis dan non-Islam, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI),

Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indoneisa (PKI), Partai M urba, Partai Katol

ik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo), digabungkan ke dalam Partai

Demokrasi Indonesia (PDl). Lain halnya dengan Golongan Karya (Golkar)

Page 55: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

46

tetap dibiarkan sebagai partai politik semu yang mengandalkan massa

mengambang (floating mass).32

Masa orde baru ditandai dengan munculnya kekuatan politik baru yang

menggantikan posisi partai-partai politik. Kekuatan politik tersebut adalah

Golongan Karya yang mendapat dukungan sepenuhnya dari pemerintah dan

TNI AD sebagai kekuatan utama.33 Yang mana dengan berakhirnya

pemerintahan Soekarno atau masa orde lama menumbuhkan suasana baru, hal

ini dimaksud dengan orde baru yang dimana dapat dikatakan era demokrasi

pancasila (1966-1998).34 Sistem kepartaian masa orde baru hanya mengenal

beberapa partai politik, selain Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan

Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang mana

merupakan hasil fusi yang dipaksakan oleh rezim orde baru. Pada masa orde

baru masyarakat tidak bisa menyalurkan aspirasi kepada selain ketiga partai

politik hal itu dikarenakan sistem kepartaian yang tidak dikembangkan,

pelaksanaan pemilu yang hanya ritual politik, kemudian kekuatan eksekutif

sangat besar.35

Penyederhanaan partai politik, menurut Juwono Sudarsono dimulai

dengan dilakukan dengan pengkelompokan anggota DPR berdasarkan

Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966. Pengkelompokan tersebut

dinamakan dengan fraksi-fraksi DPR yang meliputi kelompok Demokrasi

Pembangunan yang terdiri atas anggota DPR dari Partai Katolik, Parkindo,

32 Josef M Monteiro, Implikasi Pembatasan Yuridis Pembubaran Partai Politik Terhadap

Prinsip Demokrasi, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-40 No.4 Oktober-Desember 2010, h.

490

33 Muhammad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan

Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004)… h. 186

34 M.Iwan Satriawan & Mustafa Lutfi, Risalah Hukum dan Teori Partai Politik di Indonesia…

h. 100

35 Henry Arianto, Peranan Partai Politik dalam Demokrasi di Indonesia, Lex Jurnalica /Vol. 1

/No.2 /April 2004, h. 78

Page 56: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

47

dan PNI, kedua merupakan kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri

atas anggota DPR dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti, yang ketiga kelompok

Karya Pembangunan yang terdiri atas anggota DPR dari Golongan karya

melalui pemilihan umum, pengangkatan dari wilayah Irian Jaya, dan

pengangkatan dari golongan karya non ABRI, dan yang terakhir adalah

kelompok ABRI yang terdiri atas anggota-anggota DPR yang diangkat dari

unsur ABRI meliputi AD, AL, AU dan kepolisian. 36

d. Masa Reformasi

Sebelum Reformasi terdapat beberapa peraturan mengenai pembubaran

partai politik, di antaranya Penetepan Presiden Republik Indonesia Nomor 7

Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian, Peraturan

Presiden Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan dan

Pembubaran Partai-Partai, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3

Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, UndangUndang

Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.37

Sejak reformasi fenomena sistem multipartai dimulai lagi dengan beragam

bentuk ideologi baik itu berbentuk ideologi personal, kelompok atau

organisasional. Namun demikian upaya untuk membatasi jumlah partai politik

tetap dilakukanan antara lain dengan ketentuan electoral threshold dan hal ini

dilakukan sejak pemilihan umum 2004. Adapun ketentuan electoral threshold

yaitu batas perolehan suara bagi partai politik untuk bisa ikut pemilihan

umum selanjutnya. Dalam perkembangan selanjutnya yakni pada pemilihan

umum 2009, selain ditetapkan ketentuan electoral threshold juga

diberlakukan ketentuan parliamentary threshold yakni batas peroleh kursi

36 Juwono Sudarsono dalam Buku yang ditulis oleh Muhammad Ali Safaat… h. 19

37 Finradost Yufan Madakarah, Fifiana Wisnaeni & Ratna Herawati, Perkembangan

Pengaturan Pembubaran Partai Politik dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,

Diponegoro Law Journal, Volume 6, Nomor 2, Tahun 2017, h. 6

Page 57: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

48

bagi partai politik untuk bisa mengirimkan wakil di OPR Rl. Gagasan

parliamentary threshold digunakan sebagai upaya untuk mengurangi

fragmentasi politik di parlemen sehingga menyerdehanakan sistem

kepartaian.38 Namun dalam hal ini setiap penyelenggaraan pemilihan umum

pada tahun 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019 tidak terdapat adanya partai

yang dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi yang apabila partai politik

melanggar konstitusi. Tumbangnya rezim orde baru bergulir pada tahun 1998

yang menggugurkan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12

Mei 1988 yang mana reformasi terhadap sistem politik.

Dalam perubahan terhadap sistem politik adalah undang-undang yang

lama diganti dengan undang-undang politik yang baru. Dari segi jumlah

organisasi peserta Pemilu, Pemilu 1999 diikuti 48 partai, sedangkan Pemilu

2004 diikuti 24 partai. Selain itu, kini rakyat dapat memilih langsung

presiden, wakil presiden, dan wakil rakyatnya yang akan duduk di lembaga

DPR, DPRD dan DPD.39 Perubahan dari bentuk pemerintahan yang otoriter

kepada pemerintahan yang demokratis membawa perubahan dan juga

perubahan partai politik di Indonesia. Semenjak bergulirnya reformasi 1998,

maka mekanisme pembubaran partai politik tidak dapat serta merta menjadi

wewenang pemerintah, namun terlebih dahulu harus mendapat kekuatan

hukum tetap dari lembaga peradilan, yang mana sebelum adanya Mahkamah

Konstitusi kewenangan tersebut dipegang oleh Mahkamah Agung.40 Undang-

Undang No 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik telah memberikan wewenang

pembubaran partai politik kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung

38 Monteiro, Josef M, Implikasi Pembatasan Yuridis Pembubaran Partai Politik Terhadap

Prinsip Demokrasi, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-40 No.4 Oktober-Desember 2010, h.

490 39 Arianto, Henry, Peranan Partai Politik dalam Demokrasi di Indonesia, Lex Jurnalica /Vol. 1

/No.2 /April 2004, h. 78

40 M.Iwan Satriawan & Mustafa Lutfi, Risalah Hukum dan Teori Partai Politik di Indonesia,

PKK-PUU Fakultas Hukum : Universitas Lampung 2015, h. 101

Page 58: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

49

memiliki wewenang mengawasi dan membubarkan partai politik,

sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-undang Nomor

2 Tahun 1999 berbunyi sebagai berikut; Pasal 2 Dengan kewenangan yang

ada padanya, Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat membekukan atau

membubarkan suatu Partai Politik jika nyata-nyata melanggar Pasal 2, Pasal

3, Pasal 5, Pasal 9 dan Pasal 16 undang-undang ini, Pasal 3 Pelaksanaan

kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan dengan terlebih

dahulu mendengar dan mempertimbangkan keterangan dari Pengurus Pusat

Partai Politik yang bersangkutan dan setelah melalui proses peradilan; Pasal

4 Pelaksanaan pembekuan atau pembubaran Partai Politik dilakukan setelah

adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

dengan mengumumkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh

Menteri Kehakiman Republik Indonesia.”

Pembubaran partai politik menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2002 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, yang mana menurut Pasal

20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 terdapat cara mengenai

pembubaran partai politik yaitu membubarkan diri atas keputusan sendiri,

menggabungkan diri dengan partai politik lain, dan dibubarkan oleh

Mahkamah Konstitusi, membubarkan diri dilakukan berdasarkan keputusan

partai yang tata caranya diatur dalam aturan partai, terutama anggaran dasar

dan anggaran rumah tangga. Demikian juga dengan penggabungan dengan

partai lain, yang merupakan masalah internal partai politik. Pada pasal 21 ayat

(1) UU No 31 tahun 2002 hanya mengatur bahwa bergabungnya suatu partai

politik dengan partai politik lain dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu:

(1) bergabung dan membentuk partai politik baru;(2) bergabung dengan

menggunakan identitas partai politik yang telah ada.41 Dan yang terakhir

41 M.Iwan Satriawan & Mustafa Lutfi, Risalah Hukum dan Teori Partai Politik di Indonesia….

h. 104

Page 59: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

50

pembubaran partai politik melalui Mahkamah Konstitusi, pembubaran melalui

Mahkamah Konstitusi dinamakan dengan force dissolution karena

pelanggaran “tertentu” yang dilakukan oleh suatu partai politik. Menurut

Muhammad Ali Syafaat menyatakan bahwa terdapat dua cara pembubaran

partai politik di era reformasi, yaitu melalui mekanisme yang telah menjadi

kewenangan Mahkamah Konstitusi dan melalui pembatalan keabsahan badan

hukum partai politik oleh Menteri Hukum dan HAM. Pembubaran oleh

Mahkamah Konstitusi terkait dengan pelanggaran ideologi, asas, tujuan,

progam dan kegiatan partai politik. Sedangkan pembubaran dalam bentuk

pembatalan keabsahan badan hukum oleh Menteri Hukum dan HAM terkait

dengan kondisi partai politik yang sudah tidak memenuhi syarat untuk diakui

sebagai badan hukum berdasarkan ketentuan undang-undang yang baru.42

Pembentukan lembaga peradilan lain diluar Mahkamah Agung yang

selanjutnya disebut dengan Mahkamah Konstitusi yang merupakan salah satu

perkembangan pemikiran hukum ketatanegaraan modern yang muncul pada

abad 20. Gagasan ini merupakan pengembangan dari asas-asas demokrasi

dimana hak-hak politik rakyat dan hak- hak asasi merupakan tema dasar

dalam pemikiran politik ketatanegaraan. Berdirinya Mahkamah Konstitusi di

Indonesia ditandai dengan pengangkatan 9 (Sembilan) hakim konstitusi pada

tanggal 16 Agustus 2003 melalui Kepres No 147/M Tahun 2003 menjadikan

Indonesia sebagai Negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi,

sekaligus Negara pertama pada abad ke-21 yang membentuk lembaga

tersebut. Ketika awal-awal gerakan reformasi, gemuruh suara untuk

memberantas segala bentuk penyelewengan, ternyata tidak disertai dengan

langkah kongkrit oleh pemerintah dan aparat penegak hukum. Sebelum

reformasi, UUD 1945 mengandung banyak kelemahan, antara lain tidak

tersedianya mekanisme checks and balances, sehingga kontrol yudisial

42 Muhammad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan

Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004)… h. 283

Page 60: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

51

terhadap pelaksanaan kekuasaan tidak berdaya, yang pada akhirnya

sentralistik dan otoriter dalam penyelenggaraan kekuasaan mewarnai

kehidupan masyarakat.43 Selain itu kehadiran Mahkamah Konstitusi dinilai

cukup popular di beberapa negara seperti : Korea Selatan, Lithuania, Ceko,

dan sebagainya. Negara-negara demokrasi tersebut memiliki lembaga

Mahkamah Konstitusi, demikian juga negara Jerman yang memiliki Federal

Constitutional Court yang tersendiri. Karena itu sebagian besar negara

demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi

yang berdiri sendiri, hingga dewasa ini sekitar 78 negara yang membentuk

Mahkamah Konstitusi secara mandiri.44

Pasal 24C hasil amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan sebagaimana berikut:

1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga

negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,

memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang

hasil pemilihan umum.

2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau

Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim

konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan oleh masing-

masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan

Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.

43 A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,

(Bekasi: Gramata Publishing, 2016), h. 119

44 Jimly Assiddiqie dalam Buku A. Salman Manggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca

Amandemen UUD 1945… h. 119

Page 61: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

52

4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim

sendiri.

5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak

tercela, adil, negarawan, yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,

serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.

6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta

ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-

undang.

Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru dalam dunia

ketatanegaraan, bukan hanya baru di Indonesia tetapi juga di beberapa negara

di dunia, terutama di lingkungan negara-negara yang mengalami perubahan

dari otoritarian menjadi demokrasi. Kelahiran Mahkamah Konstitusi di

Indonesia merupakan perwujudan dan/ atau realisasi dianutnya paham negara

hukum sebagaimana yang termaktub dalam UUD Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, karena itu harus senantiasa memperhatikan, menghormati,

menjaga, dan memlihara UUD NRI Tahun 1945 itu menerapkan puncak

tertinggi dalam struktur dan tata urutan peraturan perundang-undangan yang

ada di Indonesia.45 Hasil amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan beberapa kewenangan

Mahkamah Konstitusi sebagaimana berikut:

1) Melakukan pengujian atass konstitusionalitas undang-undang.

2) Mengambil putusan atas sengketa kewenangan antar lembaga negara yang

ditentukan menurut Undang-Undang Dasar.

3) Mengambil putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa

Presiden dan/atau Wakil Presiden yang atas dasar putusan itu, kesalahan

Presiden dan/atau Wakil Presiden menjadi terbukti dan karena itu dapat

45 A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,

(Bekasi: Gramata Publishing, 2016), h. 123

Page 62: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

53

dijadikan alasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk

memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden dari jabatannya.

4) Memutus perkara perselisihan mengenai hasil-hasil pemilihan umum, dan

5) Memutus perkara berkenaan dengan pembubaran partai politik.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka keberadaan Mahkamah Konsitusi

di Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam membangun dan

menegakkan demokrasi yang substansial. Salah satu bentuk pembangunan

demokrasi substansial tersebut adalah mengenai kewenangan Mahkamah

Konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik. Tujuan daripada

pemberian kewenangan pembubaran partai politik kepada Mahkamah

Konstitusi adalah salah satunya agar keputusan pembubaran partai politik

mempunyai dasar atau pijakan hukum yang jelas, tidak hanya alasan politik

sepihak dari penguasa.

Page 63: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

54

BAB IV

LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA PEMBUBARAN

PARTAI POLITIK INDONESIA & JERMAN

A. Pengaturan Legal Standing Pemohon Pembubaran Partai Politik

Berdasarkan Demokrasi Jerman

Republik Jerman adalah negara federal yang bersifat demokratis dan

sosial, hal ini tercantum pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Jerman

(Basic Law) yang menyatakan “The Federal Republic of Germany is a

democratic and social federal state”1 kemudian dilanjut pada Pasal 20 ayat (2)

yang menyatakan “All state authority is derived from the people. It shall be

exercised by the people through elections and other votes and through specific

legislative, executive and judicial bodies” dalam ayat ini diartikan bahwa

kewenangan negara berasal dari rakyat dan dilaksanakan oleh perwakilan

rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum dan melalui badan legislatif,

eksekutif dan yudikatif. Legislatif terikat oleh tatanan konstitusional, eksekutif

dan kekuasaan kehakiman oleh hukum dan keadilan yang tercantum dalam

Pasal 20 ayat (3) yang berbunyi “The legislature shall be bound by the

constitutional order, the executive and the judiciary by law and justice”

Menurut Tobias Angenent, sebagai perwakilan Department of Social

Science (International Politic, Human Rights, Social Science) Kedutaan Besar

Jerman menyatakan Jerman merupakan negara demokrasi parlementer yang

berbentuk federal yang dimana terdapat kekuasaan dan kewenangan yang

dimiliki oleh negara federal, Federal Jerman membagi kekuasaan antara

cabang eksekutif, cabang legislatif dan cabang yudikatif.2 Tiga kekuasaan

tersebut yakni sebagai berikut:

1 Article 20 (1)&(2), Grundgesetz für die Bundesrepublik Deutschlan, (Basic Law for the

Federal Republic of Germany)

2 https://researchguides.library.wisc.edu/germany, Germany Legal Reasearch Guide :

Government and Political Structure, dikutip pada pukul 14:20, tanggal 16 Oktober 2019

Page 64: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

55

1. Lembaga Legislatif

a. Parlemen Federal (Bundestag)

Organ konstitusi negara Jerman adalah Parlemen Federal

(Bundestag), yang dimana anggotanya dipilih langsung setiap empat

tahun oleh warga negara yang mempunyai hak pilih mulai usia 18

tahun. Separuhnya dari sedikitnya 598 kursi di Bundestag diperoleh

melalui daftar calon yang disusun oleh partai pada tingkat negara

bagian (suara kedua), separuhnya diperoleh melalui perorangan yang

dicalonkan di salah satu dari 299 distrik pemilihan (suara pertama).3

Sistem pemilihan umum Jerman membuat sulit bagi pemerintahan,

umumnya terjadi persekutuan antar partai. Seperti yang diketahui

Jerman adalah negara demokrasi berbasis partai, dalam Bundestag ke-

19 terwakili tujuh partai –CDU, CSU, SPD, AFD, FDP, Partai Kiri,

dan Partai Hijau. Selain itu terdapat sekitar 25 partai kecil yang tidak

berpengaruh terhadap politik di tingkat Federasi karena adanya klausal

penghalang setinggi lima persen.4 Bundestag memilih kanselir federal

(Bundeskanzlerin) yang akan memimpin pemerintah federal selama

masa legislasinya. Kanselir merupakan kepala pemerintahan Jerman

yang mempunyai kewenangan dalam menentukan garis besar

kebijakan politik yang bersifat mengikat, yang juga berwenang dalam

mengangkat para menteri federal serta wakil kanselir yang dipilihnya

diantara para menteri.5 Sifat parlemen negara Jerman adalah sistem

pemilihan proporsional yang dimodifikasi, berkat sistem tersebut partai

kecil dapat terwakili juga di parlemen secara proporsional dengan

jumlah suara yang diperoleh. Dengan satu kali pengecualian,

Pemerintah Jerman selalu dibentuk melalui persekutuan antara

3 Wawancara di Kedutaan Besar Jerman bersama Tobias Angenent, pada 14 Oktober 2019

4 Fact about Germany, Politik Luar Negeri, Masyarakat, Ilmu Pengetahuan, Perekonomian,

Kebudayaan,(Edisi Diaktualisasi 2018), h. 25

5 https://www.tatsachen-ueber-deutschland.de/id, dikutip pada tanggal 15 Oktober, Pukul

19 :58 pm

Page 65: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

56

berbagai partai yang sebelumnya bersaing dalam kampanye pemilihan.

Sejak pemilihan parlemen pertama di tahun 1949 terbentuk 24

pemerintahan koalisi, untuk menghindari adanya fragmentasi parlemen

dan untuk memudahkan pembentukan pemerintahan, setiap partai

harus mencapai minimal 5% dari jumlah suara yang sah atau tiga

mandat langsung untuk dapat masuk dalam Bundestag.6

b. Majelis Federal (Bundesrat)

Majelis Federal (Bundesrat) yaitu utusan dari pemerintah negara

bagian yang terdiri dari 69 anggota yang sesuai dengan jumlah

penduduk, Majelis Federal turut serta dalam pembuatan undang-

undang dan administrasi negara federal. Selain turut serta dalam

pembuatan undang-undang bundesrat juga menjadi perwakilan dari

pemerintah bagian dalam menentukan undang-undang untuk negara

masing-masing. Setiap negara mendahulukan kepentingan negara

bagiannya masing-masing tanpa dengan pertimbangan partai politik

yang berkuasa.

c. Badan Pemusyawaratan (Bundesversammlung)

Badan pemusyawaratan ini dibentuk pada tahun 1951 yang

mempunyai tugas untuk mengawasi ketentuan peraturan perundang-

undangan terhadap Undang-undang Dasar, serta mengawasi suatu

partai politik agar tidak bertentangan dengan konstitusi dan demokrasi.

2. Lembaga Eksekutif

a. Presiden Federal (Bundespresident)

Menurut protokol kenegaraan, presiden federal adalah wakil

tertinggi Jerman diwakili oleh ketua majelis federal, yang kemudian

ketua parlemen federal berada dalam tingkatan kedua setelah presiden

federal. Jabatan dengan otoritas pembuatan kebijakan politik tertinggi

berada ditangan kanselir federal, pun ketua Mahkamah Konstitusi

termasuk kedalam wakil negara tingkat tinggi. Presiden federal

6 Fact about Germany, Politik Luar Negeri, Masyarakat, Ilmu Pengetahuan, Perekonomian,

Kebudayaan… h. 26

Page 66: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

57

merupakan kepala negara yang tidak dipilih oleh rakyat, melainkan

oleh Dewan Federal yang dibentuk khusus. Dewan federal terdiri dari

setengah anggota Bundestag, setengahnya lagi terdiri dari utusan yang

dipilih oleh parlemen negara bagian secara proporsional dengan

jumlah kursi dari masing-masing fraksi di parlemen yang

bersangkutan. Presiden dipilih untuk periode lima tahun, dan dapat

dipilih kembali untuk masa jabatan kedua saja. Hal ini diatur dalam

bagian V Pasal 54 hingga 61 Grundgesetz tentang Presiden Federal,

presiden federal haruslah menjadi perwakilan dari rakyat.7 Oleh karena

itu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Federal 10 Juni 2014,

menyatakan bahwa presiden federal harus independen dan bertanggung

jawab kepada parlemen federal. Presiden federal mempunyai tugas

pokok yakni sebagai beriku;

1) Representasi Republik Federal Jerman baik secara internal maupun

eksternal, secara kenegaraan, sosial dan budaya; seperti melalui

pidato, melalui kunjungan ke negara dan masyarakat baik

kunjungan ke luar negeri maupun penerimaan tamu negara dari luar.

2) Menjadi perwakilan internasional Republik Federal Jerman ( Hal ini

tercantum dalam Pasal 59 ayat (1) kalimat 1 GG), Melakukan

perjanjian dengan negara asing (tercantum dalam Pasal 59 Ayat (1)

kalimat 2), sertifikasi (penunjukan) perwakilan diplomatik Jerman

dan tanda terima (tanda terima kredensial) diplomat asing

(tercantum dalam Pasal 59 ayat (1) kalimat 3,GG). Selain itu,

Presiden Federal Jerman mempunyai kewenangan lain, yakni

sebagai berikut;

1) Proposal untuk pemilihan Kanselir Federal (tercantum dalam

Pasal 63 GG)

2) Penunjukan dan pemberhentian Kanselir Federal (Pasal 63, 67

GG) dan Menteri Federal (Pasal 64 GG)

7 Bundespraesident.de, vgl. Susterhenn, in:Parlamentarischer Rat, 2. Sitzung, Sten. Bericht,

S.25;ferner Herzog, in:Maunz/Durig, GG, Art.54 Rn 28, Januar 2009; Fink, in:von

Mangoldt/Klein/Starck, GG, Bd. 2,6. Aufl. 2010, Art. 54 Rn 2)

Page 67: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

58

3) Pembubaran Bundestag (tercantum dalam Pasal 63 Ayat 4

Kalimat 3, Pasal 68 GG)

4) Pengesahan Undang-undang (menandatangani) dan

diundangkannya hukum (Pasal 82 GG)

5) Penunjukan dan pemberhentian hakim federal, pejabat federal,

petugas dan NCO (Pasal 60 Ayat (1) GG)

6) Hak pengampunan untuk konfederasi (Pasal 60 Ayat (2) GG)

7) Tatanan Keagamaan federasi.8

b. Pemerintah Federal (Bundeskanzler)

Selain Parlemen dan lembaga kepresidenan, negara Jerman juga

terdapat Pemerintah Federal yang terdapat Kanselir federal dan para

menteri federal. Menurut Tobias kewenangan Kanselir yaitu

menetapkan garis haluan negara, selain itu juga memberlakukan

“prinsip resor”, yang dimana para menteri masing-masing memimpin

resornya secara mandiri dalam kerangka garis kebijakan tersebut.

Selain itu, berlaku prinsip kolegialitas yang mana pemerintah federal

mengambil keputusan dengan suara mayoritas. Menurutnya kabinet

federal terdiri atas 14 menteri dan kepala kantor kanselir federal.

Kanselir federal menetapkan garis haluan politik dan bertanggung

jawab atas hal tersebut.9

3. Lembaga Yudikatif

Sistem peradilan Jerman adalah perlindungan hukum yang

menyeluruh dan spesialisasi pengadilan yang luas. Pengadilan Jerman

terdapat sebagai berikut:

a. Pengadilan umum

Pengadilan umum Jerman menangani kasus-kasus pidana dan

perdata, yang dimana terdapat beberapa tingkatan yakni Pengadilan

8 Der Bundespraesident, Verfassungsrechfliche, Grundlagen, diakses pada tanggal 17

Oktober 2019, pukul 14 : 41 pm

9 https://www.tatsachen-ueber-deutschland.de/id, dikutip pada tanggal 18 Oktober 2019,

pukul 12:23 pm

Page 68: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

59

Distrik (amtsgericht), Pengadilan Negeri (Landgericht), Pengadilan

Tinggi (Oberlandesgericht), dan Mahkamah Agung Federal

(Bundergerichtsof).

b. Pengadilan Tenaga Kerja

Pengadilan Tenaga Kerja Jerman menangani sengketa perdata yang

berkaitan dengan hubungan kerja, serta sengketa antara kedua mitra

ketenagakerjaan, yang dimana Pengadilan Tenaga Kerja ini memiliki

tiga instansi yakni pada tingkat wilayah, negara bagian, dan federal.

c. Pengadilan Tata Usaha

Pengadilan Tata Usaha Jerman ini menangani semua perkara yang

terkait dengan perkara publik dibidang hukum administrasi negara,

yang memiliki tiga instansi serupa dengan Pengadilan Tenaga Kerja

yakni Pengadilan Tata Usaha tingkat wilayah, negara bagian, dan

federal.

d. Pengadilan Sosial

Pengadilan Sosial Jerman menangani semua persengketaan yang

berkenaan dengan asuransi wajib jaminan sosial, yang sama memiliki

tiga instansi seperti peradilan lainnya.

e. Pengadilan Urusan Keuangan

Pengadilan ini menangani perkara yang menyangkut perkara pajak

dan retribusi.

Selain itu, negara Jerman mempunyai pengadilan yang tertinggi, yakni

Mahkamah Konstitusi Federal (Bundesverfassungsgericht) Mahkamah

Konstitusi ini berdiri diluar dari kelima bidang peradilan diatas.

Mahkamah Konstitusi Federal ini adalah lembaga negara yang ditetapkan

oleh konstitusi.10 Mahkamah Konstitusi Federal ini memiliki pengaruh

besar yang terletak di Karlsruhe, yang dianggap sebagai “Penjaga Undang-

Undang Dasar” yang memiliki serta menyediakan tafsir baku terhadap teks

konstitusi melalui putusannya. Mahkamah Konstitusi Federal reputasinya

10 https://kemlu.go.id/berlin/en/read/jerman/1294/etc-menu, dikutip pada tanggal 24

Oktober 2019, pukul 20:58 pm

Page 69: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

60

tinggi di masyarakat Jerman dan bersifat independen dan tidak dapat di

intervensi oleh lembaga lain, sebagaimana tertulis dalam undang-undang

Mahkamah Konstitusi sebagaimana berikut “Das

Bundesverfassungsgericht ist ein allen übrigen Verfassungsorganen

gegenüber selbständiger und unabhängiger Gerichtshof des Bundes”

Mahkamah Konstitusi Federal memutuskan persengketaan antara

pemerintah federal dan negara bagian, selain itu, Mahkamah Konstitusi

juga memutus perkara judicial review yakni menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar, serta Mahkamah Konstitusi federal

(Bundesverfassungsgericht) memutus perkara pembubaran partai politik.

Mahkamah Konstitusi Federal mempunyai kewenangan yang salah

satunya adalah mengenai pembubaran partai politik, yang dimana perkara

pembubaran partai politik berbeda dengan pembubaran organisasi pada

umumnya, hal ini dikarenakan partai politik memiliki peran dalam

penentuan kebijakan pemerintah yang batasannya diatur secara khusus

dalam konstitusi.

Pengaturan pembubaran partai politik diatur dalam aturan yang begitu

rinci yang terdapat pada Undang-Undang Dasar Jerman (Grundgesetz/

Basic Law), dan undang-undang Mahkamah Konstitusi Jerman

(Bundesverfassungsgerichtgesetz).11 Dalam pengaturan tersebut

menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang dalam menangani

pembubaran partai politik hal tersebut dinyatakan dalam

Grundgesetz/Basic Law Pasal 21 ayat (1-5) sebagaimana berikut :

Article 21 (Political parties)

1) Political parties shall participate in the formation of the political will

of the people. They may be freely established. Their internal

organization must conform to democratic principles. They must

publicly account for their assets and for the sources and use of their

funds.

11 Wawancara di Kedutaan Besar Jerman bersama Tobias Angenent, pada 14 Oktober 2019

Page 70: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

61

2) Parties that, by reason of their aims or the behavior of their

adherents, seek to undermine or abolish the free democratic basic

order or to endanger the existence of the Federal Republic of Germany

shall be unconstitutional. The Federal Constitutional Court shall rule

on the question of unconstitutionality.

3) Parties that, by reason of their aims or the behavior of the adherents,

seek to undermine or abolish the free democratic basic order or to

endanger the existence of the Federal Republic of Germany shall be

excluded from state financing. If such exclusion is determined, any

favourable fiscal treatment of the these parties and of payments made

to those parties shall cease.

4) The Federal Constitutional Court shall rule on the question of

unconstitutionality within the meaning of paragraph (2) of this Article

and on exclusion from state financing within the meaning of

paragraph.

5) Details shall be regulated by federal laws.

Selain dari pada Grundgesetz/ Basic Law, pembubaran partai politik

juga diatur dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi

Jerman (Bundesverfassungsgerichtgesetz) yang berbunyi sebagai berikut;

“on the unconstitutionality of political parties (Article 21(2) of the Basic

Law), dan Pasal 13 Ayat (2a) on the exclusion of political parties from

state funding (Article 21(3) of the Basic Law).” Pasal 13 ayat (2a)

Kewenangan pembubaran partai politik negara Jerman dimiliki oleh

Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht) hal tersebut

dinyatakan pada Undang-Undang Dasar Jerman Pasal 21 ayat (4) yang

menyatakan sebagai berikut “The Federal Constitutional Court decides on

the issue of unconstitutionality pursuant to paragraph 2 and on the

exclusion of state funding pursuant to paragraph 3.” Perkara pembubaran

partai politik yang dikabulkan permohonan untuk dibubarkan adalah partai

The Socialist Reich Party (SRP) pada tahun 1952, dan pembubaran

terhadap partai The Communist Party of Germany (KPD) pada tahun 1956.

Page 71: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

62

Dan permohonan yang ditolak permohonan pembubaran partai politik

adalah terhadap partai FAP dan NL pada tahun 1994 dan permohonan

pembubaran NPD pada tahun 2017, serta 1 permohonan pembubaran

partai politik yang di dismissal atau tidak dilanjutkan yaitu permohonan

pembubaran NPD pada tahun 2003. Permohonan pembubaran partai the

Nation Democratic Party of Germany (NPD) ditolak dikarenakan partai

tersebut dinilai konstitusional yang sebagaimana tertuang dalam Pasal 21

ayat (2) Grundgesetz dan Pasal 93 ayat (1) no. 5 Grundgesetz.

Permohonan pembubaran pada partai the National Democratic Party of

Germany ditolak dikarenakan berdasarkan putusan hakim Mahkamah

Konstitusi partai politik NPD tidak terbukti dan tidak ada indikasi dalam

melawan konstitusi serta tidak terbukti dalam melemahkan azas-azas

demokrasi.

Adapun mekanisme pembubaran partai politik dapat dilakukan oleh

pemohon, yang dimana dalam pengaduan konstitusional umumnya,

pemohon atau yang disebut sebgai subyek pengaduan konstitusional

lainnya tercantum pada Pasal 90 Ayat (1) Undang-Undang Dasar

(Grundgesetz) yang menyatakan setiap orang berhak mengajukan

permohonan, sejauh ia memenuhi hak-hak dasar.12 Namun, dalam perkara

pembubaran partai politik, kewenangan yang menjadi pemohon berbeda

dengan perkara pengaduan konstitusional lainnya. Hal tersebut menurut

Oly Viana Agustine dalam jurnal konstitusi Redesain Mekanisme

Konstitusional Pembubaran Partai Politik: Kajian Perbandingan

Indonesia dan Jerman menyatakan negara Jerman memberikan

pemaknaan lebih tinggi terhadap partai politik dibandingkan dengan

asosiasi atau organisasi lain. Partai politik memiliki kewenangan dalam

menentukan kebijakan dalam pemerintaham. Menurut Tobias Angenent,

mengatakan bahwa yang menjadi kewenangan dalam pengajuan perkara

12 Zulkarnain Ridlwan, Pengaduan Konstitusional Di Negara Federal Jerman, Fiat Justisia

Jurnal Ilmu Hukum Volume 5 No.3, September – Desember 2011, h. 8

Page 72: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

63

pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi hanya terdapat pada

Bundestag, Bundesrat, dan Federal Government, Kewenangan tersebut

dinamakan dengan Legal Standing.13

Legal standing pemohon dalam perkara pembubaran partai politik di

Jerman di miliki oleh Bundestag, Bundesrat, da Federal Government.

Pemohon pembubaran partai politik di Jerman mencerminkan kekuasaan

berasal dari eksekutif yang diwakili oleh Federal Government, dan

kekuasaan legislatif diwakili oleh bundestag dan bundesraat. Ketentuan

tersebut dapat menjadi mekanisme check and balances diantara kekuasaan

besar tersebut.14 Saat ditemui di Kedutaan Besar Jerman di Jakarta, Tobias

mengatakan bahwa hanya tiga institusi besar itu yang mendapatkan legal

standing dalam mengajukan permohonan pembubaran partai politik, hal

itu secara yuridis diatur dalam Pasal 43 Ayat (1) Undang-undang

Mahkamah Konstitusi Jerman Bundesverrfasssunggerichtgesetz yang

berbunyi sebagaimana berikut “Der Antrag auf Entscheidung, ob eine

Partei verfassungswidrig (Artikel 21 Absatz 2 des Grundgesetzes) oder

von staatlicher Finanzierung ausgeschlossen ist (Artikel 21 Absatz 3 des

Grundgesetzes), kann von dem Bundestag, dem Bundesrat oder von der

Bundesregierung gestellt werden. Der Antrag auf Entscheidung über den

Ausschluss von staatlicher Finanzierung kann hilfsweise zu einem Antrag

auf Entscheidung, ob eine Partei verfassungswidrig ist, gestellt warden”

Selain itu, Tobias juga menyatakan bahwa landasan yang kuat dalam

penerapan legal standing pemohon dalam perkara pembubaran partai

politik juga dikarenakan sistem pemerintahan Jerman sendiri yang

memiliki sistem demokrasi parlementer dan negara yang berbentuk federal

atau negara bagian yang mempunyai 16 negara bagian, setiap negara

13 Wawancara bersama Tobias Angenent, pada 14 Oktober 2019

14 Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik :

Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman… h. 131

Page 73: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

64

bagian mempunyai kewenangannya masing-masing dalam mengatur

kebijakan dalam negerinya sendiri.

Landasan negara Jerman menempatkan Bundestag, Bundesrat dan

Federal Government sebagai pemohon dalam pengajuan pembubaran

partai politik adalah dikarenakan Jerman negara federal dan sistem

pemerintahan yang demokratis parlementer, dimana perwakilan rakyat

merupakan suatu yang krusial dan tiga lembaga besar tersebut dikatakan

sebagai representative dari kedaulatan rakyat itu sendiri. Rakyat memilih

parlemen federal untuk masa legislasi 4 tahun, parlemen federal ini

langsung dipilih oleh kehendak rakyat melalui pemilihan umum.

Bundestag memiliki sedikitnya terdapat 598 anggota, pada tahun 2017

terpilih Bundestag ke-19 yang terdiri dari 709 anggota parlemen. Selain

Bundestag terdapat Bundesrat yang memiliki kewenangan menjadi

pemohon dalam perkara pembubaran partai politik negara Jerman,

Bundesrat atau yang disebut dengan Majelis Federal, yang merupakan

utusan dari pemerintah negara bagian yang dipilih oleh parlemen negara

bagian, parlemen negara bagian sendiri dipilih langsung dalam lima tahun

sekali selama masa legislasinya, dipilih langsung oleh rakyat pada

pemilihan umum. Bundesrat ini terdiri dari 69 anggota yang diutus oleh

negara bagian. Dan yang terakhir yang mempunyai kewenangan dalam

pengajuan pembubaran partai politik adalah Federal Government yang

mana merupakan lembaga eksekutif Jerman, yang terdiri dari Kanselir

Federal dan Menteri Federal, pemerintahan federal ini menetapkan

pedoman kebijakan, dalam parameter ini para menteri menjalankan

kementrian mereka secara independen. Pemerintahan Federal menerapkan

prinsip kolektifitas dalam artian menyelesaikan perselisihan dengan

keputusan mayoritas.15 Pemerintahan Federal menjadi pemohon

pembubaran partai politik dikarenakan pemerintahan diangkat oleh

Presiden Federal yang dimana Presiden dipilih oleh Dewan Federal.

15https://www.tatsachen-ueber-deutschland.de/en/chapter/glance/federal-government,

dikutip pada pukul 14:06 pm, tanggal 31 Agustus 2019

Page 74: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

65

Penerapan Legal Standing pemohon di negara Jerman saat ini

mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Menurut Tobias bahwa penerapan

pemohon dalam perkara pembubaran partai politik di negara Jerman sesuai

dengan prinsip-prinsip demokrasi, mengapa dikatakan demikian, karena

negara Jerman menjungjung nilai-nilai demokrasi yang sangat tinggi, dan

dinyatakan dalam konstitusi tertinggi Jerman yakni Undang-Undang Dasar

negara Jerman atau yang disebut dengan Grundgesetz/Basic Law. Selain

diatur dalam konstitusi, prinsip demokrasi juga tercermin dari susunan

pemerintahan yang terbentuk di negara Jerman yang mana terlihat adanya

check and balances. Untuk itulah dikatakan sebagai negara demokrasi

Jerman sangat menjungjung kedaulatan rakyat melalui lembaga

perwakilan. Lembaga perwakilan itulah yang kini menjadi lembaga yang

mempunyai kewenangan dalam pengajuan permohonan dalam perkara

pembubaran partai politik di negara Jerman serta ketiga lembaga ini yakni

Bundesrat, Bundestag, dan Federal Government dinilai sebagai

refresentatif dari hadirnya prinsip demokrasi di negara Jerman.

B. Legal Standing Pemohon Pembubaran Partai Politik dalam Prinsip

Negara Demokrasi Indonesia

Sistem pemilihan umum yang ada di Indonesia sama dengan sistem

pemilihan yang ada di negara Jerman, hanya saja secara mekanisme pemilihan

umum yang ada di negara Jerman berbeda dengan di Indonesia, pemilihan

umum Jerman dilakukan berdasarkan sistem parlementer, yang dimana warga

negara Jerman harus memilih Parlemen Federal dalam waktu 4 tahun sekali,

dan Parlemen negara bagian yang dipilih dalam kurun waktu 5 tahun sekali

dalam masa legislasinya, berbeda dengan Indonesia yang dimana sistem

pemilihan umum dibedakan menjadi dua macam yaitu sistem pemilihan

mekanis dan sistem pemilihan organis.

Dalam sistem pemilihan mekanis, wakil rakyat yang duduk dalam badan

perwakilan langsung dipilih, sedangkan sistem pemilihan organis, wakil wakil

rakyat berdasarkan pengangkatan. Akan tetapi, secara mekanis sistem

pemilihan yang ada di Jerman sama dengan Indonesia yang berbeda adalah

Page 75: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

66

sistem pemerintahan yang bersifat presidensil dan parlementer. Selain dari

pada pemilihan umum, keberlangsungan partai politik juga sangatlah penting

dalam membangun sistem berdemokrasi di Indonesia maka dari itu

keberlangsungan suatu partai politik haruslah sesuai dengan konstitusi yang

berlaku di Indonesia, namun terhadap implementasinya partai politik

seringkali tidak sesuai dengan tugas dan fungsinya, dalam peraturan

perundang-undangan partai politik yang tidak sesuai dengan tugas dan

fungsinya harus dibubarkan,16 begitu pun dengan Jerman yang menyatakan

bahwasanya partai politik merupakan suatu hal yang penting dalam

kenegaraan Jerman, sekaligus menjadi salah satu penentu kebijakan negara

Jerman dan partai politik tersebut haruslah sesuai dengan prinsip negara

demokrasi dan tidak betentangan dengan konstitusi. Indonesia sendiri hal

tersebut sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011

Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai

Politik. Indonesia dan Jerman sama sama mengatur tentang pembubaran partai

politik yang dimana apabila suatu partai politik tidak dapat menjalankan lagi

tugas dan fungsi sesuai peraturan perundang-undangan maka harus

dibubarkan. Adapun kewenangan pembubaran partai politik dimiliki oleh

Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang

Dasar NRI Tahun 1945. Hal ini sebagaimana dengan negara Jerman,

kewenangan pembubaran partai politik dimonopoli oleh Mahkamah Konstitusi

dan diatur jelas dalam konstitusi tertinggi masing-masing negara. Hadirnya

partai politik dalam sistem kenegaraan Indonesia merupakan bentuk

demokrasi Indonesia.

Demokrasi yang dianut oleh Indonesia adalah demokrasi yang berdasarkan

Pancasila, hal tersebut terlihat dalam pelbagai tafsiran dan pandangan. Tidak

dapat disangkal bahwa beberapa pokok dari demokrasi konstitusional cukup

16 Adam Mulya Bungamayang dkk, Hasyim Asy’ari dkk, Wewenang Pemerintah Dalam

Mengajukan Usulan Pembubaran Partai Politik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Diponegoro Law Review, Vol. 5, No. 2, Tahun 2016, h. 2

Page 76: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

67

jelas tersirat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang mana mengenai

sistem pemerintahan negara, yakni sebagai berikut:

a. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat), tidak

berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat)

b. Indonesia menganut sistem Konstitusional yang berarti pemerintahan

Indonesia berdasarkan sistem Kontitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat

absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas).17

Sebagai negara yang menjungjung nilai-nilai prinsip demokrasi maka

partai politik menjadi salah satu alat untuk mencapai demokrasi tersebut,

namun sebaliknya apabila partai politik tidak sesuai dengan konstitusi dan

bersebrangan dengan prinsip demokrasi maka partai yang bersangkutan

dibubarkan. Pembubaran Partai Politik di Indonesia dapat diajukan oleh

pemerintah, hal itu tercantum dalam Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah

Konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-IX/2011 yang

dimana menegaskan bahwasanya legal standing dalam perkara pembubaran

partai politik hanya dimonopoli oleh pemerintah. Berbeda dengan negara

Jerman yang dimana kewenangan dalam pengajuan pembubaran partai politik

dimiliki oleh Bundesrat, Bundestag, dan Federal Government. Legal standing

dalam perkara pembubaran partai politik adalah pemerintah yang dimana

maskud dari pemerintah ini adalah pemerintah pusat.

Berikut adalah perbandingan mekanisme pembubaran partai politik

di Indonesia dan Jerman

INDONESIA JERMAN

Berdasarkan negara yang bersifat

demokratis (Undang-Undang Dasar

Tahun 1945)

Negara Jerman juga merupakan

negara yang bersifat demokratis

(Grundgesetz)

17 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ( PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta,

2007), h. 106

Page 77: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

68

Beroperasi dibawah sistem multi

partai

Beroperasi dibawah sistem multi

partai

Pembubaran partai politik

dilaksanakan berdasarkan Undang-

undang

Pembubaran partai politik di Jerman

pun berdasarkan Undang-undang

Kewenangan pembubaran partai

politik dimiliki oleh Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia

Kewenangan pembubaran partai

politik dimonopoli oleh Mahkamah

Konstitusi Jerman

Legal standing pemohon dimonopoli

oleh pemerintah

Legal standing dimiliki oleh Parlemen

Federal (Bundestag), Majelis Federal

(Bundesrat), Federal Goverment

Berdasarkan tabel diatas bahwa yang menjadi pembeda adalah legal

standing yang dimiliki oleh kedua negara, menurut Jimly Asshiddiqie

kewenangan pemerintah untuk menjadi pemohon disini terkait dengan

tanggungjawab Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang Dasar dan

segala peraturan perundang-undang lain yang berlaku, serta mengupayakan

tegaknya UUD beserta segala peraturan perundang-undangan itu dengan

sebaik-baiknya sesuai dengan hukum. Oleh karena itu, jika suatu partai politik

dinilai oleh Pemerintah telah melanggar undang-undang dasar dan atau

peraturan perundang-undangan lainnya maka adalah tanggungjawab

pemerintah untuk mengambil inisiatif untuk pembubaran partai politik yang

bersangkutan menurut prosedur hukum yang berlaku. Jimly menilai memang

jika sewajarnya apabila Pemerintah diberi kewenangan untuk mengajukan

perkara pembubaran partai politik itu kepada Mahkamah Konstitusi.18

Kedudukan Hukum (legal Standing) pemohon dalam perkara pembubaran

partai politik merupakan suatu kedudukan yang mempersoalkan atau

mempermasalahkan keberadaan suatu partai yang dianggap telah melakukan

18 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah

Konstitusi, (Jakarta : Konstitusi Press, 2006), h. 138

Page 78: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

69

pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar atau peraturan yang berlaku

lainnya, yang dalam hal ini kewenangan pengajuan permohonan pembubaran

partai politik dimonopoli oleh Pemerintah yang dapat diwakili oleh Jaksa dan

atau Menteri atas mandat dari Presiden. Pemohon dalam hal ini pemerintah

wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang ideologi, asas,

tujuan, program dan kegiatan partai politik yang bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar yang termaktub dalam Pasal 68 ayat (2) Undang-

undang Mahkamah Konstitusi.19

Penerapan legal standing di negara Jerman mencerminkan nilai-nilai

demokrasi, hal tersebut disampaikan oleh Tobias Angenent saat ditemui di

Kedutaan Besar, menurutnya kedudukan hukum pemohon dalam perkara

pembubaran partai politik itu telah berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi,

karena demokrasi pada hakikatnya dikehendaki oleh rakyat dan oleh sebab itu

tiga instansi besar seperti Bundestag, Bundesrat, dan Federal Government

adalah bentuk refresentative dari rakyat, yang mana secara yuridis telah diatur

dalam konstitusi Jerman yakni salah satunya ada dalam Pasal 21 Undang-

Undang Dasar Jerman Grundgesetz/Basic Law dan Undang-undang

Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassunggerichtgesetz). Berbeda

dengan penerapan legal standing pemohon perkara pembubaran partai politik

di Indonesia yang berdasarkan Pasal 68 ayat (1) yang menyatakan pemohon

adalah pemerintah yang dalam hal ini kewenangan legal standing tersebut

dimonopoli oleh Pemerintah saja.

Penerapan tersebut erat kaitannya dengan negara hukum. Istilah negara

hukum selain dikenal dengan istilah rechsstaat dan rule of law, juga dikenal

istilah monocracy yang artinya sama dengan negara hukum, inti dari rumusan

tersebut adalah bahwa hukum yang berlaku dalam suatu negara hukum

19 Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik :

Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman… h. 134

Page 79: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

70

haruslah yang terumus secara demokratis yakni memang kehendak rakyat.20

Menurut Jimly terdapat dua belas prinsip negara hukum, yaitu supremasi

hukum (supremacy of Law), persamaan dalam hukum (equality before the

law), organ pemerintahan yang independen, peradilan yang bebas dan tidak

memihak (independent and impartial judiaciary), Peradilan Tata Usaha

Negara (administrative court), Peradilan Tata Negara (constitutional court),

Perlindungan Hak Asasi Manusia, Bersifat Demokratis (democratische-

rechsstaats), Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare

rechsstaats), serta transparansi dan kontrol sosial.21 Indonesia telah memenuhi

prinsip sebagai negara hukum yang salah satunya adalah bersifat demokrasi,

dan sistem pemerintahan yang di anut oleh Indonesia adalah sistem

pemerintahan demokrasi, menurut Miriam Budiardjo menyatakan bahwa

dalam negara modern, dinyatakan bahwa demokrasi tidak lagi bersifat

langsung, akan tetapi demokrasi berdasarkan perwakilan (representative

democracy).

Dalam sistem perwakilan tersebut, pemerintah termasuk bagian dari

representative democracy dalam perkara pemohon pembubaran partai politik,

akan tetapi apabila suatu partai pemerintah lah yang dinilai tidak sesuai

dengan konstitusi atau tidak sesuai dengan tujuan dan fungsi nya, apakah

pemerintah akan tetap membubarkan partai nya sendiri, yang dinilai akan

menciderai demokrasi yang ada di Indonesia. Dalam hal ini perlu adanya

keterlibatan pihak lain dalam mengawasi keberlangsungan partai politik.

Mengawasi yang dimaksud adalah untuk mewujudkan nilai demokrasi yang

ada di Indonesia. Jadi, sudah sewajarnya apabila pemerintah dinilai belum

memenuhi representatif demokrasi. Keterlibatan pihak lain ini dimaksud

sebagai pengawasan terhadap partai politik secara konstruktif. Maka dari itu,

penulis menyatakan bahwasanya dalam rangka mewujudkan prinsip

20 Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarka Atas Hukum, (Jakarta : Ghalia

Indonrsia, 1986), h. 8

21Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta:

Konstitusi Press, 2005), hal. 162

Page 80: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

71

demokrasi yang dinilai sebagai representative demokratis ini perlu adanya

perubahan yang dimana tidak hanya pemerintah saja yang dapat membubarkan

partai politik akan tetapi pihak lain yang menurut penulis berhak dalam

melakukan pengajuan pembubaran partai politik. Pihak lain yang dimaksud

adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah.

Seperti yang kita ketahui bahwasanya Dewan Perwakilan Rakyat dipilih oleh

rakyat melalui pemilihan umum, DPR ini sama halnya dengan Jerman yang

memberikan kewenangan terhadap Bundestag dalam pengajuan pembubaran

partai politik.

Fungsi dan kewenangan DPR yang dilekatkan dan dijamin oleh UUD NRI

Tahun 1945 sebagai konstitusi tertinggi dalam sistem dan hirarki peraturan

perundang-undangan Indonesia menyatakan bahwa DPR sebagai sebuah

lembaga tinggi negara, penyalur aspirasi rakyat. Selain itu, Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) memiliki kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan, antara

lain: memegang teguh dan siap mengamalkan Pancasila dan UUD 1945,

mendahulukan kepentingan pribadi dan golongan, berkewajiban untuk

merespon dan menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya.22 Maka dari

menurut penulis DPR patut untuk dijadikan sebagai salah satu pemohon dalam

perkara pembubaran partai politik karena DPR mempunyai fungsi salah

satunya adalah pengawasan yang dijalankan dalam kerangka representasi

rakyat.

Pihak selanjutnya adalah Dewan Perwakilan Daerah, mengingat legal

standing pemohon pembubaran partai politik di Jerman salah satunya adalah

Majelis Federal (Bundesrat) yang menjadi perwakilan dari negara bagian di

Jerman. dikarenakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga

perwakilan berdasarkan aspirasi daerah, karena itu, keberadaan DPD

merupakan upaya untuk menampung aspirasi dan/ atau mengawal pelaksanaan

otonomi daerah, sekaligus menjembatani kepentingan-kepentingan antara

22 A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,

(Bekasi: Gramata publishing, 2016), h. 54

Page 81: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

72

pusat dan daerah.23 Keterlibatan pihak lain sebagai pemohon dalam perkara

pembubaran partai politik ini menjadi hal yang relevan dalam mewujudkan

prinsip demokratis, dikarenakan prinsip demokrasi adalah salah satunya

keterwakilan yang mana dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi sudah

ada Pemerintah sebagai wakil dalam melakukan permohonan pembubaran

partai politik, akan tetapi dalam hal ini hadirnya DPR dan DPD ini akan

menambah nilai nilai demokrasi di dalamnya sebagaimana yang telah

diterapkan di negara Jerman yang sebagai Pemohon nya adalah DPR,

Pemerintah Federal dan Majelis Federal.

23 A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945…

h. 69

Page 82: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

73

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian dan pembahasan yang telah peneliti analisis

pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan beberapa hal sebagai

berikut:

1. Pengaturan pembubaran partai politik di negara Jerman diatur dalam

Konstitusi tertinggi Jerman yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar

Jerman (Grundgesetz/Basic Law) serta diatur Undang-undang Mahkamah

Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgerichtgesetz. Berdasarkan aturan

yang telah disebutkan bahwasanya legal standing pemohon pembubaran

partai politik yang ada di Jerman ada pada Bundestag, Bundesrat, dan

Federal Government. Legal Standing yang ada di Jerman sudah

berdasarkan prinsip negara Demokrasi dikarenakan sudah memenuhi

prinsip demokrasi yakni sistem perwakilan, ketiga lembaga tersebut sudah

mewakili rakyat Jerman dalam melakukan permohonan pembubaran partai

politik yakni melalui Parlemen Federal (Bundestag), Majelis Federal

(Bundesrat), dan Federal Government. Sedangkan di Indonesia

pengaturan mengenai legal standing dalam perkara pembubaran partai

politik diatur dalam Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah

Konstitusi, dalam aturan yang telah disebutkan diatas bahwa legal

standing dalam perkara pembubaran Partai Politik tersebut tidak diberikan

kepada perorangan atau lembaga yang tidak tercantum dalam konstitusi,

kewenangan pengajuan pembubaran partai politik di Indonesia hanya

diberikan kepada Pemerintah saja.

2. Dalam negara modern dinyatakan bahwa demokrasi tidak lagi bersifat

langsung akan tetapi demokrasi berdasarkan perwakilan (representative

Page 83: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

74

democracy). Berdasarkan hal tersebut maka penerapan legal standing

dalam perkara pembubaran partai politik di Indonesia menurut penulis

belum sepenuhnya memenuhi prinsip demokrasi apabila bercermin

dengan negara Jerman, kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh

Pemerintah yang dimana Pemerintah merupakan bagian daripada

kontestasi politik. Oleh karena itu untuk memenuhi prinsip demokrasi

maka perlu adanya pihak atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan

dalam melakukan permohonan pembubaran partai politik, hal itu

bercermin dengan negara Jerman maka penulis menyetujui apabila ada

pihak lain yang mempunyai kewenangan dalam melakukan permohonan

pembubaran partai politik di Indonesia sehingga diharapkan akan tercipta

check and balances.

B. Rekomendasi

Berdasarkan analisis peneliti tentang legal standing pemohon dalam perkara

pembubaran partai politik, maka peneliti mencoba memberikan rekomendasi yang

ingin disampaikan, yaitu:

1. Peneliti berharap kepada DPR sebagai lembaga legislatif untuk merevisi

Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang

menyatakan kedudukan hukum pemohon hanya dimiliki oleh Pemerintah.

2. Peneliti berharap agar legal standing pemohon dalam perkara pembubaran

partai politik di Indonesia dapat diperluas kembali seperti negara Jerman

yang mana tidak hanya pemerintah yang mempunyai kewenangan

tersebut, peneliti berharap adanya pihak atau lembaga negara lain yang

juga mempunyai kewenangan dalam pengajuan pembubaran partai politik

seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga Dewan Perwakilan

Rakyat (DPD).

Page 84: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

75

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Aminah, Siti, Kuasa Negara Pada Ranah Politik Lokal. Jakarta: Kencana

Prenadamedia group, 2014

Asshiddiqie, Jimly. Hukum Acara Pengujian Undang-undang. Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteran Mahkamah Konstitusi RI, 2006

________________, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik,

dan Mahkamah Konstitusi,(Jakarta : Konstitusi Press, 2006)

________________, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi

Revisi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005)

Azed, Abdul Bari & Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia.

Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, 2005

Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2003

Huda, Ni’matul & M. Imam Nasef, Penataan Demokrasi & Pemilu. Jakarta:

Kencana, 2017

Ibrahim, Jhonny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum. Malang: Bayumedia,

2007

Page 85: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

76

Kartawidjaja, R Pipit & M. Faisal Aminuddin, Demokrasi Elektoral (Bagian

1) Perbandingan Sistem dan Metode dalam Kepartaian dan Pemilu.

Surabaya: Penerbit Sindikasi Indonesia, 2014

Maggalatung, A. Salman, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen

UUD 1945. Bekasi : Gramata Publishing, 2016

Mahfud, Moh MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi.

Jakarta: Rajawali Pers, 2012

Marthosoewignjo, Sri Soemantri, Konstitusi Indonesia Prosedur dan Sistem

Perubahannya Sebelum dan Sesudah UUD 1945 Perubahan. Bandung:

PT Remaja Rosdakarya, 2016

Mas, Marwan, Hukum Konstitusi dan Kelembagaan Negara. Depok: PT

RajaGrafindo Persada,2018

Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka & Kebijakan Asasi. Jakarta

: STIH IBLAM, 2004

Satriawan M. Iwan & Mustafa Lutfi, Risalah Hukum Partai Politik di

Indonesia. Malang: UB Press, 2016

Subekti, Valina Singka, Dinamika Konsolidasi Demokrasi (Dari Ide

Pembaharuan Sistem Politik hingga ke Praktik Pemerintahan

Demokratis). Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015

Suptrahtini, Amin, Partai Politik di Indonesia. Klaten : Penerbit Cempaka

Putih, 2018

Page 86: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

77

Suryana, Yana, Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Surakarta :

PT. Aksara Sinergi Media, 2018

Strong, C.F. 2004, Konstitusi Modern, Terjemahan Oleh SPA. Teamwork,

Bandung, Nuansa dan Nusamedia, dalam Hukum Tata Negara,

Hadiyono, 2018

Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda. Teori dan Hukum Konstitusi,

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004

Venatius, Hadiyono, Hukum Tata Negara. Surabya: CV. Garuda Mas

Sejahtera, 2018

Wahyono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarka Atas Hukum. Jakarta :

Ghalia Indonrsia, 1986

Wheare, K.C, Modern Constitutions. London : London Oxford University

Press, 1975

B. Jurnal

Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran

Partai Politik : Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman, Negara

Hukum: Vol. 9, No. 2, November 2018

Ali Safa’at, Muhammad Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis

Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-

2004), Fakultas Hukum : Universitas Indonesia

Page 87: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

78

Arianto, Henry, Peranan Partai Politik Dalam Demokrasi di Indonesia, Lex

Jurnalica /Vol. 1 /No.2 /April 2004

Armia, Muhammad Siddiq, Hubungan Ideal Partai Politik Nasional dengan

Partai Politik Lokal dalam Pengisian Jabatan Publik, Jurnal Review

Politik Vol. 07, No. 01, Juni 2017

FGW, Allan & Harry S, Pemberian Legal Standing kepada Perseorangan

atau Kelompok Masyarakat dalam Usul Pembubaran Partai Politik,

Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 20 Oktober 2013

Fitria,Rini, Badan Pengawas Pemilu Dalam Sistem Ketatanegaraan

Indonesia dalam Persfektif Komunikasi Politik, (Syi’ar Vol. 15 No. 2

Agustus 2015

Hastuti, Pustpitasari Sri & Zayanti Mandasari dkk, (2016) Urgensi Perluasan

Permohonan Pembubaran Partai Politik di Indonesia, Jurnal Hukum :

IUS QUIA IUSTUM No.4 Vol. 23 Oktober 2016

M Arsyad, Maf’ul, Partai Politik Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru,

Supremasi, Volume V Nomor 2, Oktober 2010

Madakarah, Finradost Yufan Fifiana Wisnaeni & Ratna Herawati,

Perkembangan Pengaturan Pembubaran Partai Politik dalam Sistem

Ketatanegaraan Republik Indonesia, Diponegoro Law Journal, Volume

6, Nomor 2, Tahun 2017

Page 88: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

79

Monteiro, Josef M, Implikasi Pembatasan Yuridis Pembubaran Partai Politik

Terhadap Prinsip Demokrasi, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun

ke-40 No.4 Oktober-Desember 2010

Muhammad Sukroni, Gagasan Perluasaan Legal Standing Dalam

Permohonan Pembubaran Partai Politik di Indonesia, JOM Fakultas

Hukum Volume II nomor 1 Februari 2015

Mulya, Adam Bungamayang dkk, Hasyim Asy’ari dkk, Wewenang

Pemerintah Dalam Mengajukan Usulan Pembubaran Partai Politik

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi, Diponegoro Law Review, Vol. 5, No. 2, Tahun

2016

Ramdan, Ajie, Problematika Legal Standing Putusan Mahkamah Konstitusi,

Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 4, Desember 2014

Siallagan, Haposan, Penerapan Prinsip Negara Hukum Di Indonesia,

Sosiohumaniora, Volume 18 No. 2 Juli 2016.

Widayati, Pembubaran Partai Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan

Indonesia, Jurnal Hukum Vol XXVI, No. 2, Agustus 2011

Zulkarnain Ridlwan, Pengaduan Konstitusional Di Negara Federal Jerman,

Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 5 No.3, September –

Desember 2011

Page 89: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

80

C. Perundang-undangan

Bundesverfassungsgerichtsgesetz, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi

Federal Jerman

Grundgesetz/Basic Law (Undang-Undang Dasar Negara Republik Jerman

Federal)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Atas Perubahan

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang atas Perubahan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik

D. Internet

Article 20 (1)&(2), Grundgesetz für die Bundesrepublik Deutschlan, (Basic

Law for the Federal Republic of Germany)

Der Bundespraesident, Verfassungsrechfliche, Grundlagen, dikutip pada

tanggal 17 Oktober 2019, pukul 14 : 41 pm

Fact about Germany, Politik Luar Negeri, Masyarakat, Ilmu Pengetahuan,

Perekonomian, Kebudayaan,(Edisi Diaktualisasi 2018)

https://researchguides.library.wisc.edu/germany, Germany Legal Reasearch

Guide : Government and Political Structure, dikutip pada pukul 14:20,

tanggal 16 Oktober 2019

https://nasional.kompas.com/read/2017/03/20/16472621/pembubaran.partai,

di kutip pada tanggal 1/28/2019

Page 90: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

81

https://www.tatsachen-ueber-deutschland.de/id, dikutip pada tanggal 18

Oktober 2019, pukul 12:23 pm

https://kemlu.go.id/berlin/en/read/jerman/1294/etc-menu, dikutip pada

tanggal 24 Oktober 2019, pukul 20:58 pm

https://www.bundesverfassungsgericht.de/EN/Verfahren/Wichtige

Verfahrensarten/Parteiverbotsverfahren/parteiverbotsverfahren_nod

e.html, dikutip pada tanggal 25 Oktober 2019, pukul 23:18 wib.

https://www.bundesverfassungsgericht.de/EN/Verfahren/Wichtige-

Verfahrensarten/Parteiverbotsverfahren/parteiverbotsverfahren_nod

e.html, dikutip tanggal 30 Oktober, pukul 13:44 pm

Kompas.com, Pembubaran Partai Politik, Edisi 20 Maret 2017 | 16:47 WIB,

dikutip pada tanggal 6 November 2019, pukul 10:23 am

Page 91: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …

E. Dokumen Wawancara

Page 92: LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA …