legal standing pemohon dalam perkara …
TRANSCRIPT
LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA PEMBUBARAN
PARTAI POLITIK BERDASARKAN PRINSIP NEGARA DEMOKRASI
(KAJIAN PERBANDINGAN INDONESIA DENGAN JERMAN)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
RAHMAH NURLAILY
NIM : 11150480000173
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020 M
ii
v
ABSTRAK
Rahmah Nurlaily, Nim 11150480000173. LEGAL STANDING PEMOHON
DALAM PERKARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK BERDASARKAN
NEGARA DEMOKRASI (KAJIAN PERBANDINGAN INDONESIA DENGAN
JERMAN). Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,1441 H/2020 M.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai legal standing pembubaran
partai politik berdasarkan prinsip negara demokrasi, kajian perbandingan Indonesia
dengan negara Jerman. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif. Dalam
penelitian ini metode pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi kepustakaan
(Library Research) yaitu dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan
pengundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, serta tulisan tulisan para sarjana
yang berkaitan dengan skripsi ini.. Data yang telah dihimpun dan dianalisis
menggunakan metode normatif yuridis atau metode kualitatif, yakni penelitian yang
mengkhusus pada kajian berdasarkan teori-teori hukum yang kemudian dikaitkan
dengan perundang-undangan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan perundang-undangan serta pendekatan analistis.
Hasil Penelitian ini menunjukan perbandingan legal standing pemohon
perkara pembubaran partai politik di Indonesia dengan Jerman, yang dimana
Indonesia mempunyai persamaan dengan negara Jerman yakni sama-sama memiliki
sistem multi partai serta kewenangan pembubaran partai politik kewenangannya
dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, namun dalam penerapan legal standing pemohon
pembubaran partai politik yang berbeda, yang mana Jerman menetapkan Parlemen
Federal, Majelis Federal dan Pemerintahan Federal sebagai pemohon pembubaran
partai politik, penerapan tersebut sudah berdasarkan prinsip negara demokrasi,
berbeda dengan Indonesia yang legal standing pemohon hanya pemerintah saja, tentu
hal ini belum berdasarkan prinsip negara demokrasi apabila bercermin kepada negara
Jerman. Bahwa seharusnya terdapat pihak lain yang menjadi pemohon dalam perkara
pembubaran partai politik di Indonesia, pihak tersebut yakni DPR dan DPD, hal itu
mencerminkan kehidupan bernegara yang demokratis serta menjadikan pengawasan
terhadap partai politik dan pemerintah yang menjadi pihak dalam melakukan
pengajuan permohonan pembubaran partai politik, untuk itu perlu adanya kajian
dalam memperluas kewenangan pemohon dalam perkara pembubaran partai politik
agar terwujudnya prinsip negara demokrasi di Indonesia.
Kata Kunci : Legal Standing, Pemohon, Negara Demokrasi, Pemerintah,
Pembubaran, Partai Politik.
Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Moh. Ali Wafa, S.H, S.Ag, M.Ag.
2. Irfan Khairul Umam, L.L.M.
Daftar Pustaka : Tahun 1975 Sampai Tahun 2019.
vi
KATA PENGANTAR
حِيْمِ حْمَنِ الرَّ بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّ
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan inayat-Nya akhirnya
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat beserta salam tak luput
dihaturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah berjasa bagi kita semua dalam
membuka gerbang ilmu pengetahuan.
Skripsi yang berjudul “Legal Standing Pemohon dalam Perkara
Pembubaran Partai Politik Berdasarkan Prinsip Negara Demokrasi (Kajian
Perbandingan Indonesia dengan Jerman)” penulis susun dalam rangka memenuhi
dan melengkapi peryaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program
Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara Fakultas Syarian dan
Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan
mengatasi berbagai macam hambatan, rintangan, ujian, dan tantangan yang menjadi
kendali dalam proses penyelesaian skripsi ini, Penulis banyak mendapatkan
bimbingan, arahan, serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah Dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
berkontribusi dalam pembuatan skripsi ini.
3. Dr. Moh. Ali Wafa, S.H., M.Ag dan Irfan Khairul Umam, L.L.M. Pembimbing
Skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi, serta memberikan arahan,
dukungan, saran sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.
vii
4. Fathudin, S.H.I.,S.H., M.A.Hum. Pembimbing Akademik yang telah membimbing
dan memberi dukungan kepada peneliti.
5. Kepala dan Staff Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti mengadakan
studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
6. Kepala dan Staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu peneliti dalam menyediakan fasilitas
yang memadai dalam segi kepustakaan.
7. Kepala Subag Fakultas Syariah dan Hukum beserta jajarannya yang telah
membantu proses administrasi peneliti dari awal perkuliahan hingga saat ini.
8. Ayahanda dan Ibunda tercinta, Bapak Atang Mukhtar dan Umi Maesarah yang
selalu mendoakan dengan tulus dan tanpa henti, selalu memberikan arahan dan
nasihat, motivasi, dukungan dan ridho yang tiada hentinya. Terimakasih atas kasih
sayang yang selama ini telah diberikan. Terimakasih atas perjuangan dan kerja
keras untuk mendidik dan membesarkan peneliti sampai sekarang. Sehingga
peneliti dapat bertahan dan menyelesaikan pendidikan dalam jenjang Perguruan
Tinggi. Terimakasih telah menjadi Bapak dan Ummi yang terbaik dan terhebat.
Semoga Allah SWT membalas segala apa yang telah Bapak dan Ummi berikan
kepada peneliti.
9. Pihak-pihak lain yang telah memberikan kontribusi serta motivasi kepada peneliti
dalam penyelesaian skripsi ini.
Peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan pembaca serta
piha-pihak yang memerlukannya. Sekian dan terimakasih
Jakarta, 29 November 2019
Rahmah Nurlaily
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .............. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.............................. ................. 5
D. Metode Penelitian .................................................................. 6
E. Sistematika Pembahasan ....................................................... 8
BAB II LEGAL STANDING PEMOHON PEMBUBARAN PARTAI
POLITIK DALAM TINJAUAN HUKUM .............................. 10
A. Kerangka Konseptual ............................................................ 10
1. Legal Standing ............................................................... 10
2. Pemohon ........................................................................ 11
3. Partai Politik ................................................................... 12
4. Pemilihan Umum ........................................................... 16
5. Konstitusi ....................................................................... 16
6. Mahkamah Konstitusi …………………………………. 19
B. Kerangka Teoritis .................................................................. 20
1. Teori Negara Hukum ..................................................... 20
2. Teori Demokrasi ............................................................ 23
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .................................... 24
x
BAB III SEJARAH DAN KEWENANGAN PEMBUBARAN PARTAI
POLITIK DALAM NEGARA DEMOKRASI ........................ ... 29
A. Pembubaran Partai Politik dalam Negara Demokrasi ……… 29
B. Pembubaran Partai Politik di Negara Federal Jerman ........... 31
1. Sejarah Pembubaran Partai Politik Jerman ……………. . 31
2. Kewenangan Perkara Pembubaran Partai Politik Jerman… 37
C. Pembubaran Partai Politik di Indonesia ................................. .. 37
1. Masa Penjajahan Indonesia……………. ......................... 37
2. Masa Orde Lama ............................................................. 41
3. Masa Orde Baru ………………………………………… 45
4. Pasca Reformasi ………………………………………... 47
BAB IV LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA
PEMBUBARAN PARTAI POLITIK ...................................... 54
A. Pengaturan Legal Standing Pemohon dalam Perkara Pembubaran
Partai Politik Berdasarkan Demokrasi Jerman ...................... 54
B. Legal Standing Pemohon Pembubaran Partai Politik dalam Prinsip
Negara Demokrasi ................................................................ 65
BAB V PENUTUP ................................................................................... 73
A. Kesimpulan ........................................................................... 73
B. Rekomendasi ......................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia memasuki demokratisasi setelah Presiden Soeharto dijatuhkan
melalui gerakan reformasi di pelopori mahasiswa, tepatnya tahun 1998. B.J
Habibie sebagai Presiden kemudian memberikan komitmen terhadap
kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berkumpul, dan kebebasan
mendirikan partai.1 Demokrasi tidak hanya sebagai bentuk negara ataupun
sistem pemerintahan, tetapi sebagai gaya hidup serta tata masyarakat yang
mengandung unsur-unsur moril, sehingga dikatakan bahwa demokrasi didasari
dengan nilai (value). Menurut Henry B. Mayo salah satu nilai demokrasi yakni
menyelenggarakan pengantian pemimpin secara teratur (orderly succesion of
rules). Penggantian pemimpin dalam suatu demokrasi satu-satunya cara adalah
dengan melalui proses pemilihan umum, yang dimana penyelenggaraan
Pemilu ini partai politik memiliki pengaruh dan peran yang sangat vital karena
partai politik adalah media dalam pelaksanaan pemilu bagi rakyat untuk
memilih wakil-wakil rakyatnya yang akan duduk dalam lembaga negara.2
Menurut Jimly Asshiddiqie, partai politik adalah pilar utama demokrasi.
Oleh karena itu, sebuah partai politik harus kuat dan kokoh agar demokrasi
yang ditopangnya menjadi kokoh pula. Itulah sebabnya diperlukan rambu-
rambu hukum yang adil untuk mengatur tatacara pendirian dan pembubaran
partai politik. Banyak orang berlomba mendirikan partai politik dengan tujuan
untuk mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan.3 Berdasarkan sejarah dan
perkembangan partai politik, pertama-tama lahir di negara-negara eropa barat.
Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu
1 Subekti & Valina Singka, Dinamika Konsolidasi Demokrasi (Dari Ide Pembaharuan
Sistem Politik hingga ke Praktik Pemerintahan Demokratis), (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor
Indonesia,2015), h. 119
2 Henry Arianto, Peranan Partai Politik Dalam Demokrasi di Indonesia, Lex Jurnalica
/Vol. 1 /No.2 /April 2004, h. 80
3Muhammad Sukroni, Gagasan Perluasaan Legal Standing Dalam Permohonan
Pembubaran Partai Politik di Indonesia, JOM Fakultas Hukum Volume II nomor 1 Februari
2015, h. 2
2
diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik.4 Partai politik
kemudian disebut juga alat untuk mencapai kedaulatan rakyat, yang dimana
dengan adanya partai politik maka lahirlah wakil-wakil rakyat yang dapat
mewakili di lembaga negara tentu dengan pemilihan umum. Wakil-wakil
rakyat inilah yang menjadi penyambung suara rakyat dalam kehidupan
bernegara, maka dari itu partai politik sebagai wadah untuk mendukung
negara berdemokrasi haruslah menunaikan amanah yang telah dituliskan
dalam konstitusi yakni memperjuangkan dan membela kepentingan rakyat,
sehingga nilai-nilai kedaulatan tertanam dengan seutuhnya. Namun,
implementasinya wakil-wakil rakyat yang terlahir dari partai politik kadang-
kadang lalai terhadap fungsinya, yang terkadang partai politik digunakan
sebagai kendaraan politik bagi pengurus partai menuju puncak kekuasaan,
yang tidak mengindahkan pilar utama demokrasi.
Partai politik yang telah didirikan dan tidak memenuhi nilai-nilai tugas dan
fungsinya sebagai kendaraan untuk kepentingan rakyat haruslah dibubarkan,
hal itu sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Walaupun
dalam hal ini undang-undang tidak menegaskan alasan pembubaran partai
politik, akan tetapi dalam Pasal 40 ayat (5) menyatakan bahwasanya partai
dilarang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan
peraturan perundang-undangan, kemudian selain itu partai juga tidak
diperkenankan menggelar kegiatan yang membahayakan keutuhan dan
keselamatan NKRI, serta dilarang menganut, mengembangkan, dan
menyebarkan paham komunisme/marxisme-leninisme.5 Implementasi legal
standing atau kedudukan hukum dalam pembubaran partai politik menuai
polemik yang dimana dalam Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pemohon
4 M. Iwan Satriawan, Risalah Hukum dan Teori Partai Politik Di Indonesia, (Bandar
Lampung: PKKPUU, 2015), h. 19
5https://nasional.kompas.com/read/2017/03/20/16472621/pembubaran.partai, di kutip
pada tanggal 28/01/2019, pukul 9:32
3
adalah pemerintah, maka dalam hal ini terdapat batasan terhadap legal
standing pemohon dalam pembubaran partai politik, dengan adanya batasan
tersebut, maka yang berhak memohonkan pembubaran politik tersebut
hanyalah pemerintah dengan demikian rakyat tidak dapat mengawasi
berjalannya suatu partai politik dikarenakan adanya batasan yang hanya
dimiliki oleh pemerintah. Selain itu pemerintah adalah bagian dari pada
kontestasi politik yang dimana kepentingan dalam politik sangat kental, hal ini
perlu adanya kajian perbandingan terhadap legal standing pemohon dalam
perkara pembubaran partai politik dengan negara demokratis lainya.
Pemberian legal standing ini dilakukan dalam rangka untuk melakukan
pengawasan terhadap partai politik.6 Sebagaimana di negara demokrasi
lainnya, salah satunya adalah negara Jerman yang dimana tidak hanya
pemerintah yang berhak mengajukan pembubaran partai politik.7 Jerman
sendiri merupakan negara yang menganut demokrasi bebas serta beroperasi di
bawah sistem multi-partai, hal ini menyinggung bahwasanya adanya
persamaan dengan negara Indonesia yang menganut prinsip negara demokratis
walaupun Indonesia menganut demokrasi Pancasila, serta Mahkamah
Konstitusi mempunyai kewenangan dalam membubarkan partai politik di
masing-masing negara, akan tetapi, dalam perbedaanya legal standing pada
negara Jerman dalam perkara pembubaran partai politik tidak hanya
pemerintah dalam inisiatif permohonan pembubaran partai politik. Pemberian
legal standing yang tidak hanya pemerintah sebagai pemohon perkara
pembubaran partai politik adalah dalam rangka menerjemahkan pelaksanaan
negara demokrasi dan prinsip negara hukum.
Berdasarkan latar belakang maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul: Legal Standing Pemohon Dalam Perkara
6 Allan FGW. & Harry S, Pemberian Legal Standing kepada Perseorangan atau
Kelompok Masyarakat dalam Usul Pembubaran Partai Politik, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum
No. 4 Vol. 20 Oktober 2013, h. 537
4
Pembubaran Partai Politik Berdasarkan Prinsip Negara Demokrasi (Kajian
Perbandingan Indonesia dengan Jerman)
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, peneliti
mengidentifikasi beberapa permasalahan yakni sebagai berikut:
a. Analisa legal standing pemohon dalam perkara pembubaran partai
politik sebagai negara demokrasi.
b. Adanya urgensi perluasaan legal standing dalam pembubaran partai
politik di Indonesia.
c. Pengajuan permohonan dalam pembubaran partai politik di
Indonesia dan Jerman.
d. Inisiasi pemohon dalam mengajukan pembubaran partai politik.
e. Lembaga negara dalam mengajukan permohonan pembubaran partai
politik
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan identifikasi masalah diatas, untuk
membatasi permasalahan maka peneliti membatasi pada aspek analisa
hukum dan kajian komparatif dalam pembahasan tentang legal standing
pemohon dalam perkara pembubaran partai politik antara Indonesia
dengan Jerman.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan dari masalah utama yang telah diuraikan
oleh peneliti di atas, maka yang menjadi persoalan utama penelitian
skripsi ini adalah terkait “pengaturan legal standing pemohon dalam
perkara pembubaran partai politik di Indonesia apakah sesuai dengan
nilai dan prinsip negara demokrasi (Kajian perbandingan Indonesia &
Jerman)” Persoalan ini memunculkan beberapa pertanyaan berikut:
a. Bagaimana pengaturan legal standing Pemohon Dalam perkara
pembubaran partai politik di negara demokrasi Jerman?
5
b. Apakah legal standing pemohon mengenai pembubaran partai politik
di Indonesia sesuai dengan prinsip negara demokrasi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian legal standing pemohon dalam perkara pembubaran
partai politik berdasarkan prinsip negara demokrasi (Kajian perbandingan
Indonesia dengan Jerman) memiliki tujuan yaitu:
a. Untuk menjelaskan pengaturan legal standing pemohon dalam
perkara pembubaran partai politik di negara demokrasi Jerman.
b. Untuk menjelaskan kedudukan hukum pemohon (legal Standing)
pembubaran partai politik di Indonesia sudah sesuai dengan prinsip-
prinsip demokrasi.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman terhadap
hukum kelembagaan negara, serta secara khusus dapat memberikan
manfaat kontruksi ideal dalam pengaturan legal standing pemohon
dalam pembubaran partai politik di Indonesia.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para peminat
hukum kelembagaan Negara dan praktisi ketatanegaraan dalam
menganalisis hukum legal standing dalam pembubaran partai politik
di Indonesia.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan didalam penelitian hukum
adalah pendekatan undang-undang (Statue Approach) yang dimaksud
dengan pendekatan undang-undang adalah melakukan penelitian
berdasarkan pada undang-undang yang berkaitan dengan penelitian ini,
dan yang kedua adalah pendekatan analistis (Analyctical Approach),
6
maksud utama analisis terhadap bahan hukum adalah mengetahui makna
yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan
perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui
penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum.8
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam
jenis penelitian hukum normatif yuridis. Dipilihnya jenis penelitian
normatif yuridis dikarenakan penelitian ini menguraikan permasalahan-
permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian yang
berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam praktik hukum. Penelitian
hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan meneliti
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
3. Sumber Hukum
Sumber penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Dalam penelitian hukum, data sekunder mencakupi:
a. Sumber Bahan Hukum Primer
Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang
mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan aturan yang berkaitan
yang bersifat mengikat. Sumber bahan hukum primer yang digunakan
dalam penelitian ini adalah; Undang-Undang Dasar 1945, Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Atas Perubahan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Atas Perubahan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, Basic
Law for the Federal Republic of Germany atau dalam bahasa Jerman
disebut dengan Grundgesetz (Undang-Undang Dasar Jerman),
Constiutional Court of Federal Germany
8 Jhonny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum, (Malang: Bayumedia, 2007),
h. 310
7
Bundesverfassungsgerichtsgesetz (Undang-undang Mahkamah
Konstitusi Federal Jerman.
b. Sumber Bahan Hukum Sekunder
Sumber bahan sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti hasil penelitian, hasil karya
dari praktisi hukum, dan pendapat pakar hukum.
c. Sumber Bahan Hukum Tersier
Sumber bahan hukum tersier adalah bahan penelitian yang diambil
seperti dari kamus hukum, ensiklopedia hukum dan lain sebagainya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah hukum
normatif yuridis yang dimana mengenal data sekunder saja, yang terdiri
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier. Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan berdasarkan
studi kepustakaan (Library Reasearch). Dalam studi kepustakaan
peneliti mengkaji pembahasan penelitian berdasar pada kepustakaan.
5. Teknik Pengolaan Data
Data yang didapat dari penelitian studi dokumen ini disusun secara
sistematika untuk memperoleh deskripsi tentang suatu pembahasan
penelitian.
6. Teknik Analisa Data
Untuk analisis data menggunakan metode penelitian kualitatif.
Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data dan informasi data
yakni Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Atas
Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik, Basic Law for the Federal Republic of Germany atau dalam
bahasa Jerman disebut dengan Grundgesetz (Undang-Undang Dasar
Jerman), dan Constitutional Court of Federal Germany
8
Bundesverfassungsgerichtsgesetz (Undang-undang Mahkamah
Konstitusi Federal Jerman).
7. Teknik Penulisan Data
Teknik penulisan penelitian ini mengacu pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017”
E. Sistematika Pembahasan
Sesuai dengan buku pedoman, untuk menjelaskan isi skripsi secara
menyeluruh dan sistematis, maka skripsi ini disusun dengan sistematika
penulisan yang terdiri dari lima bab adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : LEGAL STANDING PEMOHON PEMBUBARAN PARTAI
POLITIK DALAM TINJAUAN HUKUM
Bab ini membahas landasan teori dan kerangka konsep yang
digunakan dalam penelitian tentang Legal Standing Pemohon
Dalam Perkara Pembubaran Partai Politik Di Indonesia dan
Jerman Berdasarkan Kerangka Negara Demokrasi.
BAB III : SEJARAH DAN KEWENANGAN PEMBUBARAN
PARTAI POLITIK DALAM NEGARA DEMOKRASI
Bab ini membahas tentang sejarah perkembangan pembubaran
partai politik di kedua negara (Indonesia dan Jerman) serta
membahas kewenangan pembubaran partai politik terhadap dua
negara.
BAB IV : LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA
PEMBUBARAN PARTAI POLITIK INDONESIA &
JERMAN
9
Bab ini membahas mengenai analisis pengaturan legal standing
pemohon dalam perkara pembubaran partai politik di Indonesia
dan Jerman berdasarkan prinsip negara demokratis.
BAB V : PENUTUP
Bab ini peneliti akan menarik beberapa kesimpulan dari hasil
penelitian dan memberikan beberapa rekomendasi.
10
BAB II
LEGAL STANDING PEMOHON PEMBUBARAN
PARTAI POLITIK DALAM TINJAUAN HUKUM
A. Kerangka Konseptual
Dalam penelitian ini diuraikan konsep terkait istilah yang sering
digunakan, sehingga dalam hal ini penulis memberikan berbagai kerangka
konseptual untuk menyederhanakan pemahaman terhadap penelitian ini
berupa
1. Legal Standing
Legal standing atau yang sering disebut dengan kedudukan hukum
adalah suatu hak untuk mengajukan sebuah gugatan dalam suatu perkara.
Legal standing adalah dimana seseorang atau suatu pihak ditentukan
memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan
permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan
Mahkamah Konstitusi.1 Menurut Maruarar dalam buku yang berjudul
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengatakan
bahwa legal standing adalah satu konsep yang digunakan untuk
menentukan apakah pemohon terkena dampak dengan cukup sehingga satu
perselisihan diajukan kedepan pengadilan.2 Standing atau personae standi
in judicion adalah hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan
atau permohonan di depan pengadilan standing to sue. Doktrin yang
dikenal di Amerika tentang standing to sue diartikan bahwa pihak tersebut
mempunyai kepentingan yang cukup dalam satu perselisihan yang dapat
dituntut untuk mendapatkan keputusan pengadilan atas perselisihan
tersebut. Standing adalah satu konsep yang digunakan untuk menentukan
1 Harjono dalam jurnal Ramdan Ajie, Problematika Legal Standing Putusan Mahkamah
Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 4, Desember 2014, h. 740
2 Maruarr Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta:
Sekertariat Jendral dan Kepaniteran Mahkamah Konstitusi RI 2006), h. 96
11
apakah satu pihak terkena dampak secara cukup sehingga satu perselisihan
diajukan ke depan pengadilan.3
Kedudukan Hukum Legal Standing mencakup syarat formal
sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, dan syarat materiil yang
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya
undang-undang yang dimohonkan pengujiannya, sebagaimana diatur
dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.4
2. Pemohon
Pemohon adalah subyek hukum yang memenuhi persyaratan
berdasarkan undang-undang untuk mengajukan permohonan perkara
konstitusi.5 Dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Pemohon adalah
pihak yang menanggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya Undang-undang, yaitu; Perseorangan warga
negara Indonesia, Kesatuan Masyarakat hukum adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masayarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang, Badan
hukum publik atau privat; atau lembaga negara.
Pengaturan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lebih lanjut dengan ketentuan yang
sama dalam Pasal 3 PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Jimly Asshiddiqie
mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya kedudukan
3 Ajie Ramdan, Problematika Legal Standing Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal
Konstitusi, Volume 11, Nomor 4, Desember 2014, h. 739
4 Ajie Ramdan, Problematika Legal Standing Putusan Mahkamah Konstitusi… h. 740
5 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteran Mahkamah Konstitusi RI, 2006, h. 68
12
hukum (legal standing) pemohon dalam perkara pengujian undang-undang
terhadap UUD di Mahkamah Konstitusi. Pemohon harus menguraikan
dalam permohonan hak dan kewenanangan konstitusionalnya yang
dirugikan.
3. Partai Politik
Partai politik berasal dari dua suku kata yaitu partai dan politik. Kata
partai sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu “Partie” yang berarti
membagi.6 Menurut Miriam Budiarjo, partai politik adalah suatu
kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai
orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah
untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik,
biasanya dengan cara konstitusional, untuk melaksanakan kebijaksanaan-
kebijaksanaan mereka.7 Sigmund Neuman dalam buku Miriam Budiardjo
mengemukakan a political party is the articulate organization of society’s
active political agent; those who are concerned with the control of
govermental policy power, and who complete for popular support with
other group or groups holding divergent view, partai politik adalah
organisasi dari aktifitas-aktifitas politik yang berusaha untuk menguasai
kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui
persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang
mempunyai pandangan yang berbeda.8 Undang-undang Nomor 2 Tahun
2011 tentang Partai Politik Pasal 1 ayat (1), partai politik didefinisikan
sebagai organisasi yg bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok
warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan
cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentigan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta mempelihara keutuhan Negara
6 Lutfi, Mustafa & M. Iwan Satriawan, Risalah Hukum Partai Politik di Indonesia,
(Malang: UB Press, 2016), h. 6
7 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003),
h. 160 8 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik… h. 403
13
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, maka dapat
dikatakan bahwasanya partai politik adalah organisasi yang berisi
kumpulan orang-orang yang mempunyai kesamaan tujuan untuk
mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan dengan tujuan untuk negara
dan bangsa.
Robert M. Mac Iver dalam bukunya Modern State menyatakan
bahwasanya partai politik adalah suatu perkumpulan yang di organisasi
untuk mendukung suatu asas atau kebijaksanaan, yang oleh perkumpulan
itu diusahakan dengan sarana konstitusional agar menjadi dasar penentu
bagi pemerintahan.9 Miriam Budiardjo mendefinisikan partai politik
sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok
ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan
politik dengan cara konstitutional untuk melaksanakan kebijaksanaan-
kebijaksaan mereka.10 Menurut Ranney dan Kedall dalam buku yang
ditulis oleh Irwan menyatakan “autonomous groups that make
nominations and contest elections in the hope of eventually gaining and
exercise control of the personnel and policies of government.” Yang
berarti partai politik adalah kelompok otonomi yang membuat suatu
nominasi dan pemilihan dengan harapan pada akhirnya mengatur dan
melatih kontrol atas personal dan kebijakan pemerintah.11
Menurut pasal 1 Angka 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 Tentang Partai Politik yang menyatakan bahwa “Partai Politik
adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok
9 Amin Suptrahtini, Partai Politik di Indonesia, ( Klaten : Penerbit Cempaka Putih, 2018),
h. 2
10 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik… h. 22
11 Widayati, Pembubaran Partai Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal
Hukum Vol XXVI, No. 2, Agustus 2011, h. 613
14
warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak
dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik
anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Partai
politik adalah alat untuk memperjuangkan kedaulatan rakyat itu sendiri,
memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat,
bangsa dan negara. Partai politik sebagai suatu istilah yang mengacu
kepada serangkaian upaya atau kegiatan untuk menciptakan suatu tatanan
masyarakat yang teratur dan baik, memajukan masyarakat dengan
membuat keputusan yang mengikat semua warga negara.12 Keberadaan
partai politik dalam negara-negara demokrasi merupakan suatu
kemutlakan, akan tetapi jumlah partai politik dalam setiap negara belum
tentu sama, hal tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan dari
masing-masing, penggolongan partai tersebut terbagi menjadi tiga
bagian,13 yakni:
a. Sistem Partai Tunggal (One Party System)
Sistem ini disebut juga dengan sistem satu partai, yang dimana
suatu negara hanya terdapat satu partai yang dominan diantara
beberapa partai politik kecil lainnya yang berada dalam satu negara
tersebut, apabila dikaitkan dengan negara demokrasi sistem partai
tunggal ini tidak dapat tepat dalam negara demokrasi.
b. Sistem dua partai atau dwi partai
Sistem dua partai ini apabila dalam suatu negara hanya ada dua
partai besar yang berhak bertarung dalam setiap pemilihan, dewasa ini
hanya ada beberapa negara yang memiliki ciri-ciri sistem dwi partai
yaitu Amerika Serikat antara partai Republik dan Demokrat, Inggris,
12 Siti Aminah, Kuasa Negara Pada Ranah Politik Lokal, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia group, 2014), h. 1
13 Suptrahtini, Amin, Partai Politik di Indonesia, (Klaten : Penerbit Cempaka Putih,
2018), h. 4
15
Filipina, Kanada, dan Selandia Baru. Sistem dwi partai ini disebut juga
sebagai a convenient system for contented people yang berarti sebuah
sistem yang tepat bagi orang puas, kenyataanya sistem dwi partai
berjalan baik apabila memenuuhi tiga syarat yaitu: (a) komposisi
masyarakatnya bersifat homogen, (b) adanya konsesus yang kuat
dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial dan politik; (c)
adanya kontinuitas sejarah.
c. Sistem Multi Partai
Sistem multi partai adalah sistem yang banyak partai dalam setiap
pelaksanaan pemilu, fenomena ini terjadi karena adanya pluralitas
budaya. Sistem multi partai ini cocok digunakan dalam negara seperti
Indonesia, Polandia, dan negara pluralitas lainnya, Indonesia terdiri
banyak partai semenjak reformasi 1998.14
Keberadaan partai politik adalah salah satu wujud dari pelaksanaan
hak asasi manusia tersebut untuk berkumpul, berserikat dan
mengemukakan pendapat selain itu juga demi berjalannya demokrasi
yang baik dalam suatu negara. Konsekuensi dari penerapan demokrasi
perwakilan adalah munculnya jarak antara rakyat disatu sisi dengan
pemerintahan di sisi lain, padahal tujuan utama dari sistem perwakilan
dalam suatu negara demokrasi adalah memberikan suatu sarana bagi
warga negara untuk melaksanakan beberapa pengendalian terhadap
pengambilan keputusan politik untuk diri mereka sendiri. Partai politik
merupakan bagian terpenting dari pilar-pilar demokrasi, untuk
mencapai hal tersebut dibutuhkan fungsi-fungsi dan tujuan partai
politik yang kemudian diatur dalam aturan perundang-undangan, yakni
pada Pasal 11 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana
yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011
Tentang Partai Politik.
14 Satriawan, M. Iwan, Risalah Hukum dan Partai Politik, ( Lampung : PKK-PUU
Fakultas Hukum, 2015), h. 61
16
4. Pemilihan Umum
Menurut Sri Soemantri M, landasan berpijak mengenai pemilihan
umum yang mendasar adalah demokrasi Pancasila yang secara tersirat dan
tersurat ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945 yakni “Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan.” Ketentuan-ketentuan konstitusional dalam Pancasila,
Pembukaan, dan Pasal-Pasal UUD 1945 memberikan isyarat adanya
proses atau mekanisme kegiatan nasional 5 (lima) tahunan.15 Berkenaan
dengan sistem pemilihan, negara-negara konstitusional dibagi menjadi
dua; negara dengan pemilih dewasa dan negara dengan pemilih dewasa
bersyarat.16
5. Konstitusi
Dalam bahasa latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari dua
kata, yaitu cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti
“bersama dengan…” sedangkan statuere berasal dari kata sta yang
membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu,
kata statuere mempunyai arti “membuat” sesuatu agar berdiri atau
mendirikan/ menetapkan”. Dengan demikian bentuk tunggal (constitutio)
berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak
(constitusines) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan.17 K.C Whare
mengartikan konstitusi sebagai keseluruhan sistem ketatanegaraan dari
suatu negara berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk,
mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu negara.
Konstitusi dipergunakan dalam dua pengertian yaitu dipergunakan
dalam arti luas dan arti sempit, pengertian secara luas berarti sistem dari
pemerintahan dari suatu negara dan merupakan himpunan peraturan yang
15 Ni’matul Huda & M. Imam Nasef, Penataan Demokrasi & Pemilu, (Jakarta: Kencana,
2017), h. 42
16 C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, (Bandung:Penerbit Nusa
Media,2008), h. 95
17 K.C Wheare, Modern Constitutions, London Oxford University Press, 1975, h. 1
17
mendasari serta mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-
tugasnya, sedangkan dalam pengertian sempit, yakni sekumpulan
peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang
dimuat dalam “suatu dokumen”atau “beberapa dokumen” yang terkait
satu sama lain.18 Pada masa Yunani purba konstitusi masih diartikan
materiil karena belum diletakan dalam bentuk yang tertulis, hal ini
kemudian dikuatkan dengan pendapat Aristoteles yang membedakan
istilah Politea dan nomoi, Politea diartikan sebagai konstitusi dan nomoi
diartikan sebagai undang-undang biasa. Abad modern ini, banyak negara-
negara mengakui bahwa kedaulatan adalah milik rakyat maka dengan
demikian konstitusi ditempatkan sebagai sumber hokum tertinggi karena
dipandang merupakan hasil perjanjian seluruh rakyat sebagai pemegang
kedaulatan, sehingga landasan berlakunya konstitusi sebagai hokum
tertinggi adalah kedaulatan rakyat itu sendiri.19
Dalam bukunya C.F Strong menyatakan “Modern Political
Constitutionals, an Introduction The Comparative Studi Of their History
and Exiting Form.” Dalam definisi tersebut C.F Strong menyatakan
beberapa berikut :
a. Menjelaskan kekuasaan pemerintah kepada siapa penyelenggaraan
negara diserahkan dan kepada siapa kekuasaan penyelenggaraan
negara diserahkan.
b. Mengenai hak-hak warga negara yang dimana semua hak dimiliki
individu yang menjadi bagian integral dari fungsi kemanusiaan
setiap orang.
c. Meletakan hak dan kewajiban warganegara dengan pemerintah.
Sedangkan KC.Wheare menyatakan, bahwa terdapat dua dimensi
pemahaman, yaitu:
18 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, ( Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 14
19 Venatius,Hadiyono, Hukum Tata Negara, (Surabya: CV. Garuda Mas Sejahtera, 2018),
h. 63
18
a. Konstitusi sebagai gambaran keseluruhan sistem pemerintahan
negara, yang menggambarkan bentuk negara dan sistem
pemerintahan suatu negara.
b. Konstitusi merupakan seperangkat aturan tentang bagaimana
pelakasana keseluruhan sistem pemerintahan suatu negara.
Dua pemahaman tersebut merupakan pengertian konstitusi secara
sempit.20 Adapun konstitusi dalam artian luas adalah segala hal yang
berkaitan dengan organisasi negara, baik yang terdapat dalam Undang-
Undang Dasar, Undang-undang, maupun peraturan perundang-undangan
lainnya. James Bryce mendefinisikan konstitusi sebagai suatu kerangka
masyarakat politik (negara) yang terorganisir dengan hokum, dengan kata
lain hokum menetapkan adanya lembaga-lembaga permanen dengan
fungsi yang telah diakui dan hak-hak yang telah ditetapkan.21 Konstitusi
seringkali dibedakan menjadi konstitusi yang tertulis dan tidak tertulis,
konstitusi tertulis adalah konstitusi berbentuk dokumen yang memiliki
kesakralan khusus, sedangkan konstitusi tidak tertulis adalah konstitusi
yang lebih berkembang atas dasar adat istiadat custom. Dari bentuk
lainnya konstitusi juga dibedakan menjadi dua yaitu konstitusi fleksibel
dan konstitusi kaku. Konstitusi yang dapat dirubah atau diamandemen
tanpa adanya prosedur khusus dinyatakan sebagai konstitusi fleksibel,
sedangkan konstitusi kaku adalah konstitusi yang mempersyaratkan
prosedur khusus untuk perubahan atau amandemenya.22
Berdasarkan pandangan Ferdinand Laselle bahwasanya konstitusi
merupakan aturan yang berbentuk tertulis maupun tidak tertulis yang
mengatur tentang pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan.
Sedangkan menurut Soemantri Martosoewignjo menyatakan bahwa
20 Venatius,Hadiyono, Hukum Tata Negara, (Surabya: CV. Garuda Mas Sejahtera, 2018),
h. 65 21 C.F. Strong, 2004, Konstitusi Modern, Terjemahan Oleh SPA. Teamwork, Bandung,
Nuansa dan Nusamedia, dalam Hukum Tata Negara, Hadiyono, 2018, h. 67
22 C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Konstitusi Modern, Terjemahan Oleh
SPA. Teamwork, Bandung, Nuansa dan Nusamedia, dalam Hukum Tata Negara, Hadiyono, 2018,
h. 67
19
konstitusi berasal dari constitution yang dalam bahasa Indonesia dikenal
dengan istilah undang-undang dasar.23 Negara Republik Indonesia
mempunyai konstitusi yakni Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang
juga sebagai konstitusi yang tertulis dituangkan dalam sebuah dokumen
formal yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945.24 Sistem
ketatanegaraan Indonesia senantiasa berubah, saat ini Indonesia
memberlakukan konstitusi pertama, yaitu Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) hasil amandemen.25
6. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga negara
yang melakukan kekuasaan kehakiman atau peradilan konstitusi yang
merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakan hukum
dan keadilan.26 Mahkamah Kontitusi lahir pada amandemen ketiga sebagai
UUD NRI Tahun 1945 pada Tahun 2001 sebagai salah satu lembaga baru
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia di bidang kekuasaan kehakiman, di
dunia Internasional pun dapat dikatakan lembaga baru, terutama
dilingkungan negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian
menjadi demokrasi pada penempatan terakhir abad ke-20.27
Berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945, MK diberikan (empat)
kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk; menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
23 Yana Suryana, Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, (Surakarta : PT.
Aksara Sinergi Media, 2018), h. 3
24 Sri Soemantri Marthosoewignjo, Konstitusi Indonesia Prosedur dan Sistem
Perubahannya Sebelum dan Sesudah UUD 1945 Perubahan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2016), h. 2
25 Yana Suryana, Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia…h. 11
26 Marwan Mas, Hukum Konstitusi dan Kelembagaan Negara,(Depok: PT RajaGrafindo
Persada,2018), h. 141
27 A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
( Bekasi : Gramata Publishing, 2016), h. 120
20
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; memutus
pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Selain empat kewenangan itu, MK mempunyai
kewajiban untuk memberikan putusan atass pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Ketentuan ini ditegaskan dalam
Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945.28
Kelahiran Mahkamah Konstitusi di Indonesia merupakan
perwujudan dan/atau realisasi dianutnya paham negara hukum, Indonesia
sebagai negara hukum memerlukan Mahkamah Konstitusi sebagai benteng
yang senantiasa menjaga prinsip-prinsip konstitusionalitas sebagai sebuah
negara hukum. Menurut A. Salman Maggalatung dalam bukunya yang
berjudul Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945
menyatakan dalam praktik ketatanegaraan yang ada di dunia memang
tidak ada keseragaman mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi
tergantung kebutuhan dan sejarah bangsa yang bersangkutan.
B. Kerangka Teori
1. Negara Hukum
Hukum menjadi sangat urgen dalam menata kehidupan bernegara,
karena hukum mengatur suatu negara menjadi lebih baik. Konsepsi
terhadap negara hukum berkiblat kepada dua tradisi hukum yaitu common
law system dan civil law system, kedua sistem tersebut menggunakan
istilah yang berbeda pula, yaitu rechtsstaat dan the rule of law. Dalam
catatan historis ketatanegaraan Indonesia, konsep negara hukum selalu
ditegaskan dalam konstitusi,29 Konstitusi Indonesia adalah Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 yang dimana telah mengalami beberap kali
amandemen. Disebutkan bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum
28 Ni’matul Huda & M. Imam Nasef, Penataan Demokrasi & Pemilu, (Jakarta: Kencana,
2017), h. 215
29 Haposan Siallagan, Penerapan Prinsip Negara Hukum Di Indonesia, (Sosiohumaniora,
Volume 18 No. 2 Juli 2016 : 131 – 137). h. 13
21
(rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Dengan
adanya penegasan demikian, maka pemaknaan konsep negara hukum
Indonesia ketika itu tidak menimbulkan pemaknaan ambigu, sebab
ditemukan adanya penegasan tentang konsepsi negara hukum yang dianut,
yaitu rechtsstaat.30 Di dalam khazanah ilmu hukum ada dua istilah yang
diterjemahkan secara sama ke dalam bahasa Indonesia menjadi negara
hukum yakni Rechtsstaat dan the Rule of Law, sebagaimana diidentifikasi
oleh Roscoe Pound, Rechtsstaat memiliki karakter administratif,
sedangkan the Rule of Law berkarakter yudisial.31 Rechtsstaat bersumber
dari tradisi hukum negara-negara Eropa Kontinental yang bersandar pada
civil law dan legisme yang menganggap hukum adalah hukum tertulis.
Kebenaran hukum dan keadilan di dalam Rechtsstaat terletak pada
ketentuan bahkan pembuktian tertulis. Hakim yang bagus menurut paham
civil law adalah yang dapat menerapkan atau membuat putusan sesuai
dengan undang-undang, pada paham legisme ini didasari oleh penekanan
pada kepastian hukum. Begitu pun dengan The Rule of Law dikembangkan
negara-negara Anglo Saxon atau Common Law (hukum tidak tertulis),
disini hakim dituntut untuk membuat hukum-hukum sendiri melalui
yurisprudensi tanpa harus terikat ketat kepada hukum tertulis.32
Negara hukum adalah negara yang didirikan di atas landasan hukum
yang kuat, yang dapat memberi jaminan hak asasi manusia dan keadilan
kepada warga negaranya supaya mereka dapat hidup bahagia dan
sejahtera. Terdapat 3 (tiga) unsur pokok negara hukum, yaitu supremacy of
law, equality before law, dan human rights.33 Konsep Supremacy of law
30 Haposan Siallagan, Penerapan Prinsip Negara Hukum Di Indonesia … h. 133
31 Roscoe Pound dalam buku ( Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi,
Mahfud MD ), h. 24
32 Moh Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012), h. 24
33 Valina Singka Subekti, Dinamika Konsolidasi Demokrasi (Dari Ide Pembaharuan
Sistem Politik hingga ke Praktik Pemerintahan Demokratis), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia,2015), h. 120
22
(supremasi hukum) mengandung arti bahwa hukum mrmpunyai
kedudukan tertinggi yang tidak dapat dikalahkan oleh kekuasaan
sekalipun. Implikasinya, kekuasaan harus tunduk kepada hukum.
Kemudian konsep equality before the law (persamaan dimuka hukum)
mengandung arti bahwa baik penguasa (pemerintah) maupun rakyat
memiliki kedudukan yang sama dimuka hukum. Pemerintah yang dipilih
rakyat melalui pemilu yang demokratis bekerja dengan landasann hukum
yang berlaku, yaitu peraturan perundang-undangan. Tidak lain tujuannya
agar penguasa tidak semena-mena menggunakan kekuasaanya dan agar
kepentingan rakyat terlindungi, dan yang ketiga adalah konsep human
rights (hak asasi manusia) mengacu kepada hak-hak dasar yang dimiliki
manusia sejak lahir yang tidak dapat dihilangkan oleh siapapun. Ketiga
unsur pokok hukum tersebut diadakan untuk menciptakan negara hukum,
yakni negara yang melindungi secara kuat hak-hak warga negaranya untuk
mencapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera.
Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum, maka dari pernyataan tersebut menyatakan bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Indonesia sebagai sebuah negara sudah menentukan
arah ideologi dan karakteristik bangsa sebagai negara yang berpancasila,
dimana Pancasila merupakan sebuah dasar yang terdiri dari 5 sila yaitu
pertama, berisikan tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua, yang
menyatakan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, ketiga Persatuan
Indonesia, Keempat yaitu Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan kelima
mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, maka dari
itu dalam kehidupan berbangsa di Negara Indonesia harusnya
menggunakan prinsip-prinsip yang ada dalam Pancasila tersebut,34
34 I Made Hendra Wijaya, Menentukan Konsep Negara Hukum di Indonesia, (Fakultas
Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar), h. 202
23
sehingga dapat dikatakan bahwasanya Indonesia adalah negara hukum
karena tercantum dalam konstitusi, sebagai negara hukum yang bertujuan
untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera,
aman, tentram, serta tertib yang menjamin persamaan kedudukan warga
masyarakat dalam hukum, dan menjamin terpeliharanya hubungan yang
serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur dibidang tata usaha negara
dengan warga masyarakat.35
2. Teori Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata
“demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratos”
yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demokrasi
adalah keaadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya
kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam
keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintah rakyat oleh rakyat
dan dari rakyat. Adapun menurut Joseph A. Schemer demokrasi
merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan
politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk
memutusakan perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Berdasarkan tafsir
R.Kranenburg di dalam bukunya Inleading in de vergelijkende
staatsrechtwetenschap menyatakan demokrasi yang terbentuk dari dua
kata pokok diatas maknanya adalah cara memerintah oleh rakyat.
Sistem Demokrasi yang terdapat di negara kota (city state) Yunani
Kuno abad ke-6 sampai abad ke-3 SM merupakan demokrasi langsung
(direct democracy), yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk
membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh
seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas.36
Menurut Miriam Budiardjo menyatakan bahwasanya dalam negara
35 Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka & Kebijakan Asasi, (STIH IBLAM
Jakarta : 2004) h. 25
36 Ni’matul Huda & M. Imam Nasef, Penataan Demokrasi & Pemilu, (Jakarta: Kencana,
2017), h. 1
24
modern demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi bersifat demokrasi
berdasarkan perwakilan (representative democracy). Istilah demokrasi
terbagi menjadi beberapa, yaitu demokrasi konstitusional, demokrasi
parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet,
dan demokrasi nasional. Diantara aliran kelompok diatas yang paling
penting adalah demokrasi kontitusional, dan satu kelompok aliran
menamakan dirinya sebagai komunisme, perbedaan fundamental di antar
kedua aliran itu ialah bahwa demokrasi konstitusional mencita-citakan
pemerintah yang terbatas kekuasaanya, suatau negara hukum
(rechtsstaat), yang tunduk pada rule of law.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Penelitian dan pengkajian tentang pembubaran partai politik telah
dilakukan oleh beberapa penulis, yakni sebagai berikut:
1. Tinjauan Yuridis atas Legal Standing Pembubaran Partai Politik di
Mahkamah Konstitusi
Skripsi ditulis oleh Rafli Fadhilah Achmad, Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia, Tahun 2016.37 Skripsi ini membahas tentang
hubungan dan akibat hukum dari pembubaran partai politik terhadap hak
konstitusional warga negara dalam berserikat. Kemudian penelitian ini
membahas Legal Standing yang hanya dimiliki Pemerintah dalam
pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi apakah melanggar hak
konstitusional warga negara ataukah tidak. Hal ini relevan dengan
penelitian yang dilakukan, namun yang membedakan dengan penelitian
saya adalah penelitian yang saya lakukan adalah mengenai legal standing
pemohon dan dikomparasikan dengan negara Jerman dalam pembubaran
partai politik sesuai dengan prinsip demokrasi.
37https://www.academia.edu/21713787/Skripsi_Hukum_Universitas_Indonesia_TINJAUA
N_YURIDIS_ATAS_LEGAL_STANDING_PEMBUBARAN_PARTAI_POLITIK_DI_MAHKAMAH
_KONSTITUSI diakses pada 26 Januari 2019, pukul 2 : 44 pm
25
2. Kajian Yuridis Permohonan Pembubaran Partai Politik oleh
Perorangan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-
IX/2011)
Skripsi ini ditulis oleh M. Afif Khoirul Wafa, Fakultas Hukum,
Universitas Jember.38 Skripsi ini membahas tentang pertimbangan hukum
(Ratio Decidendi) putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-IX/2011
telah menjamin pengakuan terhadap hak-hak konstitusional warga negara
dan untuk memahami apakah pengaturan perundang-undangan tentang
akibat (implikasi) hukum pembubaran partai politik telah menjamin
adanya kepastian hukum. Penelitian yang ditulis oleh M. Afif ini relevan
dengan penelitian saya dikarenakan adanya persamaan mengenai kajian
yuridis dari permohonan pembubaran partai politik di Indonesia, adapun
perbedaanya adalah penelitian saya terfokus pada prinsip demokrasi yang
dianut oleh Indonesia serta di bandingkan dengan negara demokrasi
lainnya yang sama-sama mengatur tentang pembubarn partai politik.
3. Risalah Hukum Partai Politik di Indonesia
Buku“Risalah Hukum Partai Politik di Indonesia” ditulis oleh
Mustafa Lutfi & M. Iwan Satriawan, yang diterbitkan oleh PKK-PUU
Fakultas Hukum Universitas Lampung, Tahun 2015.39 Buku ini membahas
tentang dinamika perkembangan partai politik di Indonesia yang dimana
mengalami pasang surut, sebagaimana pada masa reformasi partai politik
menjamur dengan demikian, partai politik yang semakin berkembang ini
di sinyalir tidak sesuai dengan tujuan negara dikarenakan dengan banyak
nya partai politik yang anggotanya terkena kasus korupsi, buku ini pun
membahas tentang pembubaran partai politik itu sendiri dimulai dengan
mekanisme pembubaran partai politik era orde lama, orde baru, dan era
reformasi. Hal ini tentu relevansi dengan penelitian yang saya lakukan
38https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58547/M.%20AFIF%20KHOI
RUL%20WAFA%20-%20100710101259_1.pdf?sequence=1, diakses pada 26 Januari 2019, pukul
2:56 pm
39 Mustafa Lutfi & M. Iwan Satriawan, Risalah Hukum Partai Politik di Indonesia, (PKK-
PUU Fakultas Hukum Universitas Lampung), 2015
26
mengingat adanya persamaan tentang pembubaran partai politik,
mekanisme dan pengaturan nya akan tetapi dalam perbedaanya dalam
penelitian ini membahas legal standing pemohon yang ada dalam
pengaturan pembubaran partai politik, serta dibedakan dengan adanya
perbedaan mengenai penelitian saya dengan negara demokratis lainnya
yakni negara Jerman.
4. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan
Mahkamah Konstitusi
Buku “Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan
Mahkamah Konstitusi”, ditulis oleh Jimly Asshiddiqie yang diterbitkan
oleh Konstitusi Press, Tahun 2005.40 Buku ini secara sistematis
menguraikan kebebasan berserikat, partai politik diberbagai negara dan
kasus-kasus pembubaran partai politik di Indonesia sejak zaman Belanda
sampai era reformasi. Serta membahas mekanisme kerja peradilan
konstitusional yang berhubungan dengan pembubaran partai politik di
Indonesia dengan berdasarkan kewenangan Mahkamah Konstitusi, buku
ini serta merta membahas kasus-kasus pembubaran partai politik. Buku ini
tentu relevansi dengan penelitian saya dikarenakan adanya persamaan
dalam membahas mekanisme pembubaran partai politik, yang menjadi
pembedanya adalah landasan Indonesia menerapkan legal standing dan di
perbandingkan dengan negara Jerman yang menganut sistem hukum yang
sama, yakni civil law.
5. Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum
dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004
Buku ini ditulis oleh Muchamad Ali Safa’at, Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia. Buku ini membahas tentang pembubaran partai
politik di Indonesia pada tahun 1959-2004, membahas dari segala sisi
pengaturan hukum maupun praktek pelaksanaanya dan juga prospek
pengaturan dimasa yang akan datang. Buku yang ditulis oleh Muhammad
40 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005)
27
Ali Safa’at ini mempunyai kesamaan dengan penelitian yang saya tulis
karena berkaitan dengan pengaturan pembubaran partai politik akan tetapi
dalam perbedaanya buku ini membahas pembubaran partai politik secara
historis dan yuridis, dan cakupan mengenai pembubaran partai politik
lebih luas, sedangkan penelitian saya mengenai legal standing yang ada di
perkara pembubaran partai politik yang dikaji secara komparatif dengan
negara Jerman, serta dilandaskan berdasarkan prinsip negara Demokrasi.
6. Pemberian Legal Standing Kepada Perseorangan atau Kelompok
Masyarakat dalam Usul Pembubaran Partai Politik
Jurnal ini merupakan hasil karya dari Allan Fatchan Ghani
Wardhana & Harry Setya Nugraha (Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 20
Oktober 2013) Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia.41 Jurnal ini
membahas tentang revitalisasi peran warga negara, atau perorangan
ataupun kelompok masyarakat dalam mengawasi partai politik, hal ini
mengenai pentingnya kelompok masyarakat atau perseorang diberikan
legal standing dalam perkara pembubaran partai politik, yang selanjutnya
dibahas tentang relevansi diberikannya legal standing kepada kelompok
masyarakat atau perorangan dengan revitalisasi peran warga negara
sebagai pengawas partai politik. Jurnal ini tentu mempunyai relevansi
dengan penelitian ini dikarenakan adanya bahasan tentang langkah solutif
untuk legal standing dalam perkara pembubaran partai politik di negara
demokrasi terkhusus di Indonesia sendiri, namun memang perbedaanya
dengan penelitian ini, jurnal ini terfokus membahas adanya relevansi
antara warga negara dengan peran nya sebagai pengawas partai politik,
sedangkan dalam penelitian yang saya tulis mengenai kedudukan hukum
pemohon yang dimiliki oleh negara Indonesia dengan kajian perbandingan
negara Jerman, serta adanya ulasan untuk pemohon legal standing
Indonesia agar adanya pihak lain dalam permohonan pembubaran partai
politik.
41 Allan Fatchan Ghani Wardhana & Harry Setya Nugraha, Pemberian Legal Standing
kepada Perseorangan atau Kelompok Masyarakat dalam Usul Pembubaran Partai Politik, (Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 20 Oktober 2013)
28
7. Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik:
Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman
Jurnal ini ditulis oleh Oly Viana Agustine, Pusat Penelitian dan
Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi.42 Jurnal ini membahas tentang
desain ulang mekanisme pembubaran partai politik di Indonesia dengan
kajian sosiologis dan psikologis secara empiris agar memenuhi kriteria
“clear and present danger”. Jurnal ini mempunyai persamaan dengan
penelitian penulis saat ini, yang mana persamaanya adalah negara Jerman
yang dijadikan sebagai obyek dalam perbandingan, walaupun begitu jurnal
ini dengan penelitian yang saya tulis memiliki perbedaan yang dimana
jurnal yang ditulis oleh Oly Viana Agustine membahas mekanisme
pembubaran partai politik secara konstitusional, dan aspek sosiologis dan
empiris serta psikologis untuk mendesain ulang pengaturan tentang
pembubaran partai politik yang salah satunya mengenai pemohon perkara
pembubaran partai politik, berbeda dengan penelitian saya yang obyek
kajiannya adalah legal standing antara kedua negara, serta legal standing
yang ada di Indonesia. Dan memberlakukan prinsip Demokrasi dalam
penerapan legal standing tersebut.
42 Oly Viana Agustine, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik:
Kajian Perbandingan Indonesia dengan Jerman, (Jurnal Konstitusi Vol. 9, No.2, November 2018)
29
BAB III
SEJARAH DAN KEWENANGAN PEMBUBARAN PARTAI POLITIK
DALAM NEGARA DEMOKRASI
A. Pembubaran Partai Politik dalam Negara Demokrasi
Sistem kepartaian yang dikembangkan dalam negara demokrasi terdapat
beberapa sistem yakni sistem dua partai, sistem multi partai, ataupun satu partai,
namun hal itu terbentuk tanpa adanya aturan yang melarang pembentukan partai
politik baru ataupun aturan yang memberikan keistimewaan pada partai tertentu.
Pengaturan masalah partai politik merupakan salah satu upaya konstitusionalisasi
demokrasi politik.1 Demokrasi modern merupakan sesuatu sistem yang dipandang
dapat merealisasikan beberapa tujuan, diantaranya adalah menciptakan stabilitas
politik dan mengekspresikan status persamaan bagi semua warga negara dengan
membuat kebijakan yang responsif. Sistem multipartai merupakan sistem yang
banyak diterapkan dalam negara demokrasi, termasuk Indonesia dan Jerman, hal
ini terjadi karena adanya pluralitas budaya dan sosial dalam kehidupan masing-
masing negara, sistem multipartai ini adalah sistem yang dalam pelaksanaanya
melibatkan banyak partai dalam pemilihan umum.
Fenomena sistem multipartai dimulai dengan beragam bentuk ideologi, baik
itu berbentuk ideologi personal maupun kelompok atau organisasi lainnya, namun
demikian, upaya untuk membatasi jumlah partai politik tetap dilakukan antara lain
dengan diberlakukannya electroral threshold yang diberlakukan pada tahun
2004.2 Menurut Sam Issacharoff dalam disertasi yang ditulis oleh Muhammad Ali
1 Muhammad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan
Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004), Fakultas Hukum : Universitas Indonesia,
h. 77
2 Josef M Monteiro, Ketidakpastian Pengaturan Pembubaran Partai Politik,Universitas Nusa
Cendana Kupang, Jurnal Hukum Pro Justitia, April 2010, Vol. 28 No 1
30
Safa’at menyatakan bahwasanya salah satu bentuk pembatasan yang dapat
dibenarkan dan dibutuhkan dalam negara demokrasi adalah pembatasan terhadap
kelompok yang mengancam demokrasi, kebebasan, serta masyarakat secara
keseluruhan. Negara dapat melarang atau membubarkan organisasi termasuk
partai politik yang bertentangan dengan tujuan dasar dan tatanan konstitusional.
Pandangan Janusz Symonides Human Right: concept and standart yang ditulis
oleh Muhammad Ali Safaat menyatakan bahwa negara demokrasi tidak hanya
memiliki hak akan tetapi juga memiliki tugas untuk menjamin dan melindungi
prinsip-prinsip demokrasi konstitusional. Menurut Ali bahwa dalam pengaturan
pembubaran partai politik di setiap negara berbeda-beda, hal itu tergantung
bagaimana partai politik diposisikan serta kepentingan nasional yang harus
dilindungi.
Pengaturan partai politik disuatu negara dipengaruhi oleh kecenderungan
hukum nasional yang menempatkan partai politik bersifat privat maupun publik,
hal tersebut terkait dengan paradigma pengaturan partai politik yang dianut.3
Paradigma tersebut yaitu pertama adalah managerial, progresif, pluralist yang
cenderung menempatkan partai politik sebagai organisasi politik sebagai
organisasi yang publik yang perlu diatur oleh negara, sedangkan paradigma
Libertarian, political market paradigma tersebut lebih memposisikan partai
politik sebagai organisasi privat, sehingga hukum negara tidak terlalu banyak
mengatur. Dengan demikian ada beberapa negara yang mengatur tentang
pembubaran partai politik, salah satunya adalah Indonesia dan Jerman yang sama
sama negara demokrasi dan berlandaskan hukum mengatur tentang bagaimana
mekanisme pembubaran partai politik dalam masing-masing negara. Negara yang
mengatur menyebutkan keberadaan partai politik hanya 72 negara, dan dari ke 72
negara tersebut hanya 23 negara yang mengatur tentang pembubaran partai
3 Muhammad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan
Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004), Fakultas Hukum : Universitas Indonesia,
h. 84
31
politik, dari ke 23 negara tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok
yang dimana negara yang mengatur tentang pembubaran partai politik
berdasarkan dengan aturan hukum, ada pula diputuskan oleh pengadilan atau
dalam bahasa lain di proses melalui sistem yudisial, dan ada negara yang
mengatur pembubaran partai politik diatur berdasarkan wewenang Mahkamah
Konstitusi (constitutional court).4 Konstitusi negara yang menyatakan
pembubaran partai politik oleh aturan hukum adalah konstitusi Kongo,
Mauritania, dan Moldova. Selain dengan aturan hukum, negara yang mengatur
pembubaran partai politik melalui putusan pengadilan atau melalui prosedur
yudisial adalah Afganistan, Paraguay, Andora, Cape Verde, Islandia, Spanyol,
dan Ukraina. Dan negara yang mengatur pembubaran partai politik melalui
Mahkamah Konstitusi adalah Albania, Azerbaijan, Chile, Ceko, Armenia,
Georgia, Jerman, Macedonia, Korea Selatan, Polandia, Rumania, Slovenia,
Turki.5 Dan salah satunya adalah Indonesia yang mana kewenangan permohonan
pembubaran partai politik di Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia. Sebagaimana demikian Indonesia menjadi bagian dari wewenang
Mahkamah Konstitusi dalam pembubaran partai politik begitu pula dengan negara
Jerman yang pengaturan pembubaran partai politik dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi Jerman. Pengaturan pembubaran partai politik diatur dalam Undang-
Undang No 2 Tahun 2008 jo Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang
Partai Politik.
B. Pembubaran Partai Politik di Negara Federal Jerman
1. Sejarah Pembubaran Partai Politik Jerman
Jerman merupakan negara republik parlementer federal yang
demokratis Federal Republic Of Germany yang dimana bentuk negara Jerman
4 Muhammad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan
Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004), Fakultas Hukum : Universitas Indonesia,
h. 84 5Muhammad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan
Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004)...h. 93
32
adalah republik federasi dengan sistem pemerintahannya adalah demokrasi
parlementer, demokratis parlementer yang dimaksud adalah anggota parlemen
dipilih langsung setiap empat tahun oleh warga negara Jerman, Parlemen
Jerman mempunyai tugas yang penting ialah membuat Undang-undang serta
pengawasan terhadap pekerjaan pemerintahan. Dengan demikian sistem
pemerintahan negara demokrasi tertuang dalam konstitusi negara Jerman
yakni Undang-Undang Dasar Jerman yang disebut (Grundgesetz) Tahun 1949
disebut juga dengan Basic Law. Pada tahun 2017 Jerman mengadopsi sistem
multi partai yang saat ini memiliki 14 partai nasional.6 Ke-14 Partai Nasional
ini telah berhasil menduduki lembaga legislatif Jerman, Christlich
Demokratische Union Deutschlands (Uni Demokratik Kristen Jerman)
misalnya mendapatkan suara mayoritas pemilihan umum pada tahun 2013,
selain partai Uni Demokratik Kristen Jerman juga terdapat partai nasional
lainnya yang berideologi Pirate politics dan Social liberalism, partai ini
tergolong cukup unik dengan membawa nama Piratenpartei Deutschland atau
disebut dengan Partai Bajak Laut Jerman.
Negara Jerman memiliki penggolongan partai politik berdasarkan
basis territorial yang mana pada tahun 1933 Jerman mempunyai partai
konservatif dan partai nasional dan partai nasional mempunyai pengikut di
daerah-daerah agraris, Partai Katolik berpusatkan di daerah Jerman Selatan
dan Jerman Barat, Partai Liberal berada di provinsi Rhein dan Baden yang
dekat dengan negara Prancis, Partai Buruh terdapat didaerah industri Jerman
seperti daerah Sachen, Thuaringen, Hamburg atau Ruhr, Partai Uni Social
Kristen Jerman ChristlichSoziale Union in Bayern (CSU) misalnya disebut
sebagai partai regional yang beroperasi hanya di negara bagian Bavaria, akan
tetapi partai tersebut disebut sebagai ‘keluarga’ partai Uni Demokratis Kristen
6 Muhammad Siddiq Armia, Hubungan Ideal Partai Politik Nasional dengan Partai Politik
Lokal dalam Pengisian Jabatan Publik, Jurnal Review Politik Vol. 07, No. 01, Juni 2017, h. 140
33
Jerman Christlich Demokratische Union Deutschlands (CDU), maka partai
CSU ini berpengaruh secara nasional.7 Selain memiliki partai nasional,
Jerman memiliki partai politik lokal yang tersebar di beberapa negara bagian.
Akan tetapi dari hasil pemilihan umum atau pemilu, partai politik lokal tidak
pernah memenangi pemilu di negara bagiannya seperti Südschleswigscher
Wählerverband di negara bagian Schleswig-Holstein, Bürger in Wut di negara
bagian Bremen, Brandenburger Vereinigte Bürgerbewegungen / Freie Wähler
di negara bagian Brandenburg.8 Sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad
Siddiq menyatakan bahwa jumlah kursi yang dimilikinya sangat minim,
berkisar antara satu sampai tiga kursi. Hal tersebut dikarenakan masyarakat
dari negara bagian di Jerman memilih partai nasional yang mendominasi
seperti Christlich Demokratische Union Deutschlands (CDU),
Sozialdemokratische Partei Deutschlands (SPD), dan ChristlichSoziale Union
in Bayern (CSU). Dengan demikian tidak menutup kemungkinan untuk partai
politik lokal mengambil hati pemilih pada negara bagian, dan menyulitkan
untuk mendapatkan kursi di negara bagian itu sendiri.
Parlemen Jerman (Bundestag) sendiri terdapat 598 kursi, 299 kursi
diperebutkan melalui sistem pemilihan langsung, selebihnya melalui sistem
pemilihan proporsional berdasarkan daftar kandidat, pemilihan tersebut
dilakukan dua kali dalam hal ini pemilih dapat memilih satu nama calon
perwakilan di parlemen, dan yang kedua pemilih dapat memilih satu nama
partai. Hal tersebut menentukan perwakilan kandidat untuk masuk parlemen
dan juga partai politik yang memiliki suara terbanyak menetukan jumlah kursi
yang didapat di parlemen. Dalam sistem pemilihan umum Jerman dapat
7 Pipit R Kartawidjaja & M. Faisal Aminuddin, Demokrasi Elektoral (Bagian 1)
Perbandingan Sistem dan Metode dalam Kepartaian dan Pemilu, (Surabaya : Penerbit Sindikasi
Indonesia, 2014), h. 19
8 Muhammad Siddiq Armia, Hubungan Ideal Partai Politik Nasional dengan Partai Politik
Lokal dalam Pengisian Jabatan Publik, Jurnal Review Politik Vol. 07, No. 01, Juni 2017, h. 140
34
diklasifikasikan sebagai sistem proporsional yang dipersonalisasi atau disebut
dengan Personalisierte Verhältniswahl yang pada hakikatnya sistem ini
adalah cara menggabungkan suara personal di distrik dengan prinsip
proposional.9 Partai politik Jerman yang ikut serta dalam pemilihan umum
Jerman banyak jumlahnya, akan tetapi tidak semua berhasil masuk tingkat
nasional, karena Jerman memberlakukan syarat ambang batas lima persen,
saat ini terdapat partai besar yang menduduki parlemen di Jerman
(bundestag), Partai besar tersebut yakni Christlich Demokratische Union
(CDU), Christlich Soziale Union (CSU), Sozialdemokratische Partai
Deutschland (SPD), Freie Demokratische Partei (FPD) dan Aliansi 90/ Partai
Hijau Bündnis 90/Die Grünen serta Partai Demokratische Sozialismus
(POS).10
Konstitusi Jerman memberikan perlindungan bagi setiap warga negara
negaranya sendiri dalam mendirikan suatu partai politik akan tetapi pendirian
partai politik di Jerman tidak boleh bertentangan dengan nilai demokrasi dan
ideologi negara Jerman sendiri, hal itu dinyatakan dalam aturan konstitusi
yakni Chapter II Article 21 tentang Partai Politik yang berbunyi : The
Political Parties participate in the forming of the political will of the people.
They may be freely established. Their internal organization must conform to
democratic principles. They have to publicly account for the sources and use
of their funds and for their assets. Negara Jerman membebaskan warga negara
untuk mendirikan partai politik dengan berdasarkan prinsip demokrasi negara
Jerman itu sendiri, dikarena kan keberadaan partai politik merupakan suatu
keharusan dalam negara demokrasi karena menjadi wadah menyampaikan
aspirasi rakyat dalam kebijakan-kebijakan politik negara, untuk itulah dalam
9 http://aceproject.org/ace-en/topics/es/esy/esy_de. Dikutip pada tanggal 4 September 2019,
Pukul 14 : 40
10 Oly Viana Agustine, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik :
Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman, Negara Hukum: Vol. 9, No. 2, November 2018, h. 126
35
pendirian dan pembubaran partai politik perlu diawasi oleh konstitusi.
Pembubaran partai politik Jerman merupakan kewenangan Mahkamah
Konstitusi hal ini diatur dalam konstitusi Jerman yaitu basic law.
Basic law merupakan konstitusi terbaru di Jerman atau disebut dengan
Undang-Undang Dasar Jerman yang dimana dulu berlaku konstitusi
Weimar.11 Basic law mengatur dan memberikan jaminan kepada warga negara
Jerman untuk bebas berkumpul dan berserikat dalam bentuk apapun
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 basic law tak terkecuali dengan
partai politik itu sendiri. Selain itu basic law juga mengatur pembatasan dan
pembubaran suatu partai politik, yang dalam pembubaran dan pembatasan
suatu partai politik dimonopoli oleh Mahkamah Konstitusi Federal Jerman
(Bundesverfassunggericht). Mahkamah Konstitusi Jerman telah memeriksa
dan dan memutus permohonan pembubaran partai politik. Menurut Abdul
Bari dan Makmur Amir dalam buku yang berjudul Pemilu dan partai politik di
Indonesia menyatakan bahwasanya tindakan pembubaran partai politik
haruslah diputuskan melalui Mahkamah Konstitusi atau badan peradilan lain
yang berwenang melalui prosedur peradilan yang benar-benar memberikan
segala jaminan akan “due process of law”.12
Jerman dalam melakukan mekanisme pembubaran partai politik
kewenangannya dimiliki oleh Mahkamah Kontistusi Jerman atau disebut
dengan Bundesverfassunggericht. Terdapat beberapa permohonan
pembubaran partai politik yang di periksa dan diputus oleh Mahkamah
Konstitusi, terdapat dua permohonan pembubaran partai politik yang
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi Jerman pada tahun 1952 yakni
terhadap partai politik Sozialistische Reichspartei atau Sosialust Reich Party
11 Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik :
Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman…h. 122
12 Abdul Bari Azed & Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005, h. 36
36
(SRP) dan pada tahun 1956 terhadap permohonan pembubaran partai politik
Kommunistsche Partei Deutschlands atau Communist Party of Germany
(KPD), selain itu Mahkamah Konstitusi Jerman menolak permohonan
pembubaran partai politik yakni pada partai politik The Free German Workers
Party atau Freiheitliche Deutsche Arbeiterpartei (FAP), The National List
(NL) pada tahun 1994, dan permohonan pembubaran National demokratische
Partei Deutschlands atau National Democratic Party of Germany (NPD) pada
tahun 2017, dan satu permohonan pembubaran partai politik yang tidak
dilanjutkan perkara permohonan pembubaran partai politiknya yakni partai
politik National Democratic Party Of Germany (NPD) pada tahun 2003.13
Pengaturan pembubaran partai politik di Jerman diatur secara rigid,
detail dan dinamis dalam menjamin dan mengatur pembubaran partai politik.
Penganut partai politik tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip
demokrasi hal tersebut telah tercantum dalam basic law chapter 21 yang mana
tidak boleh bertentangan, merusak, dan menghapuskan tatanan dasar
demokrasi serta membahayakan keberadaan Republik Federal Jerman (to
endanger the existence of the federal Republic of Germany)14. Selain dari
basic law peraturan perundang-undangan lain juga mengatur tentang
pembubaran partai politik di Jerman, yakni Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi Federal Jerman atau yang disebut dengan
(Bundesverfassungsgerichtsgesetz), Dalam Pasal 13 ayat (2) BverfGG
menyatakan sebagai berikut : Das Bundesverfassungsgericht entscheidet
(Article 13 Federal Constitutional Court Act shall decide) : über die
Verfassungswidrigkeit von Parteien (Artikel 21 Abs. 2 des Grundgesetzes) on
13 Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik:
Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman…. h. 123
14 Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik:
Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerma … h. 128
37
the unconstitutionality of political parties (Article 21(2) of the Basic Law),15
Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan
inkonstitusional partai politik yang tentu diatur oleh Undang-Undang Dasar
Federal Jerman Pasal 21 ayat (2), apabila partai politik Federal Jerman
bertentangan maka partai politik tersebut haruslah dibubarkan.
2. Kewenangan Perkara Pembubaran Partai Politik Jerman
Kewenangan pembubaran partai politik dimonopoli oleh Mahkamah
Konstitusi Bundesverfassungsgericht berbeda dengan pembubaran asosiasi
atau organisasi masyarakat lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan
peradilan umum, partai politik hanya dapat dibubarkan oleh Mahkamah
Konstitusi.16 Mahkamah Konstitusi Federal Jerman telah menerima lebih dari
sembilan permohonan pembubaran partai politik akan tetapi hanya terdapat 5
putusan 2 putusan dikabulkan untuk dibubarkan, yakni pada partai
Sozialistische Reichspartei atau Sosialust Reich Party (SR) pada tahun 1952,
dan partai Kommunistsche Partei Deutschlands atau Communist Party of
Germany (KPD) pada tahun 1956. Tiga permohonan pembubaran partai
politik yang ditolak Mahkamah Konstitusi Bundesverfassunggericht yakni
terhadap partai The Free German Workers Party atau Freiheitliche Deutsche
Arbeiterpartei (FAP) the National List (NL) pada tahun 1994, dan
permohonan pembubaran Nationaldemokratische Partei Deutschlands atau
National Democratic Party of Germany (NPD) pada tahun 2017, serta satu
permohonan pembubaran partai politik yang tidak dilanjutkan (dismissal),
yaitu permohonan pembubaran NPD pada tahun 2003.17
15 Bundesverfassungsgerichtsgesetz, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Federal Jerman 16 Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik :
Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman… h. 130
17 Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik :
Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman… h. 123
38
C. Pembubaran Partai Politik di Indonesia
Perkembangan partai politik di Indonesia dapat dilihat berdasarkan dinamika
ketatanegaraan dan politik yang terus berubah, hal tersebut berdampak pada
politik hukum dalam bidang kepartaian juga terus mengalami perubahan.18
Bangsa Indonesia mengenal partai politik sejak masa pra-kemerdekaan, hal
tersebut tidak terlepas dari adanya gejala moderenisasi yang muncul di Eropa.19
Pembubaran partai politik dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, dimulai dari
masa demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang dianut
di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pasca Dekrit Presiden 5
Juli 1959 sampai kejatuhannya pada tahun 1966 seiring muculnya Orde Baru.20
Berdasarkan hal tersebut, partai politik Indonesia dilihat berdasarkan sistem
pemerintahannya, yang sebagaimana sebagai berikut:
a. Pembubaran Partai Politik Pada Masa Penjajahan
Munculnya partai politik di Indonesia dapat dikatakan sebagai dampak
dari perubahan sosial, politik dan ekonomi di negeri Belanda maupun Hindia
Belanda pada waktu itu, titik tolak yang paling relevan dalam hal ini adalah
adanya kebijakan politik etis yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial
Belanda.21 Semenjak diberlakukanya kebijakan politik etis tercatat beberapa
partai politik dengan peranan cukup menonjol antara lain Partai Sarekat
Islam Indonesia (PSII), Insulinde Partij (IP), Partai Komunis Indonesia
(PKI), Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Bangsa Indonesia (PBI) dan
18 M.Iwan Satriawan & Mustafa Lutfi, Risalah Hukum dan Teori Partai Politik di Indonesia,
PKK-PUU Fakultas Hukum : Universitas Lampung 2015, h. 95
19 Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah
Konstitusi, (Konstitusi Press, Jakarta 2006), h. 159
20 Widayati, Pembubaran Partai Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Jurnal
Hukum, Vol. XXVI, No.2 Agustus 2011), h. 630
21 Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah
Konstitusi, (Konstitusi Press, Jakarta 2006), h. 159
39
Partai Indonesia (Partindo).22 Pada masa penjajahan Belanda terdapat tiga
partai yang dibubarkan yakni, IP, PKI, dan PNI.
1) Pembubaran Indische Partij (IP)
Sikap politik IP yang dengan jelas mengakui legalitas
pemerintahan kolonial dan menolak program yang diletakkan oleh
pembuat politik etis masa itu, membuat partai IP tidak berumur
panjang. Pada tahun 1913, Gubernur Jendral Idenburg membubarkan
IP. Bahkan E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangunkoesoeno dan
Soewardi Soerjaningrat yang dikenal sebagai tiga serangkai atau
trumvirat pimpinan IP diasingkan ke negeri Belanda. Alasan
dilakukannya pembuangan adalah karena sejumlah artikel tokoh-tokoh
IP dianggap merusak ketenangan dan ketertiban umum.23
2) Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI)
Ideologi komunis masuk ke Indonesia pada tahun 1914, pada
tanggal 9 Mei 1914 pemerintah kolonial Belanda mengizinkan tokoh-
tokoh marxis Belanda seperti HW Dekker, HJEM Sneevlit, P Bergsma
dan A Baar mendirikan organisasi yang diberi nama Persatuan Sosial
Demokrat Indonesia (Indische Social Demokratshe Vereeniging) untuk
membesarkan organisasinya, tokoh terkemuka ISDV Sneevlit
membangun jaringan kerja dengan beberapa organisasi lain seperti
Sarekat Islam (SI), Insulinde dan VERSUSTP. Masuknya ideologi
komunis kedalam SI menyebabkan organisasi ini terpecah menjadi dua
aliran yang biasa dibedakan dengan istilah SI Merah dan SI Putih. SI
Merah berideologi komunis dan berbasis di Semarang, sedangkan SI
Putih berideologi Islam dan berbasis di Yogyakarta. Perpecahan ini
22 Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah
Konstitusi… h. 160
23 Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah
Konstitusi… h. 163
40
mencapai puncaknya dengan tidak diakuinya Semarang sebagai
cabang SI, dalam kongres SI yang berlangsung pada Oktober 1921.
Perpecahan ini menjadi awal keruntuhan SI karena massa di tingkat
bawah lebih banyak terpengaruh pada propaganda SI Merah. Yang
pada akhirnya SI Putih menghimpun diri menjadi Partai Sarekat Islam
(PSI).
Pada tahun 1924 nama Perserikatan Komunis Hindia Belanda
diganti menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah memperoleh
basis baik di perkotaan maupun pedesaan mereka menyebarkan
propaganda yang menjanjikan persamaan hak, persamaan untuk
memperoleh kebutuhan material, dengan begitu banyak diterima oleh
masyarakat terutama dari kalangan buruh, petani dan nelayan yang
rata-rata hidup dala kemiskinan. Dengan modal dukungan dari mereka
pada November 1926 PKI melakukan pemberontakan di beberapa
bagian Pulau Jawa dan pada Januari 1927 di pantai barat Sumatera.
Pemberontakan tersebut dapat digagalkan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Kegagalan ini mengakibatkan bencana bagi PKI. Partai ini
dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang selama masa
penjajahan Belanda. Para pemimpinnya melarikan diri ke luar negeri.
Sementara yang tertinggal sebagian dieksekusi mati dan sebagian
lainnya dipenjarakan atau dibuang ke kampong tahanan di Digul,
Papua.24
3) Pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI)
Pendekatan radikal Soekarno dalam memimpin PNI
mengundang kecemasan baik dari kalangan PNI sendiri maupun pihak
luar yang bersimpati pada PNI. Seiringnya dengan meningkatnya
24 Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah
Konstitusi, (Konstitusi Press, Jakarta 2006), h. 167
41
agitasi Soekarno, pemerintah kolonial semakin bertindak represif
terhadap PNI. Pada Oktober 1929 pemerintah kolonial melarang
seluruh anggota militer berikut keluarga dan pembantunya untuk
menjadi anggota PNI. Selanjutnya pada tanggal 29 Desember 1929,
terjadi penangkapan besar-besaran terhadap anggota PNI, Soekarno
sendiri tertangkap di Yogyakarta, dalam maklumat pengurus besar
PNI yang ditandatangani oleh Mr. Soejoedi dan Ir. Anwari tanggal 9
Januri 1930 dinyatakan bahwa seluruh pengurus PNI cabang
Pekalongan dan hamper semua pengurus cabang Bandung ditahan oleh
aparat keamanan. Peritiwa penangkapan tersebut berdampak besar
terhadap kemerosotan gerakan perjuangan kemerdekaan. PNI sendiri
pada akhirnya dibubarkan oleh ketuanya Mr. Sartono pada 11
November 1930.25
b. Masa Orde Lama
Menurut Abdul Mukhti Fajar dalam buku Hukum Konstitusi dan
Mahkamah Konstitusi salah satu kebijakan politik Presiden Soekarno adalah
menyederhanakan partai politik-partai politik yang begitu banyak di Indonesia
yang merupakan warisan dari kebijakan politik kepartaian sebelumnya yang
tercantum dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 yang
ditanda tangani oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta. Maklumat pemerintah
tanggal 3 November 1945 merupakan regulasi pertama dibidang kepartaian di
Indonesia sesudah kemerdekaan yang telah melahirkan sistem multi partai
dengan multi ideologi.26 Partai politik lahir pada masa penjajahan yang
dimana sebagai bukti bangkitnya kesadaran nasional, pada masa orde lama
partai politik menganut sistem multi partai, dengan beragam azas, ada yang
25 Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah
Konstitusi… h. 171
26 Widayati, Pembubaran Partai Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Jurnal
Hukum, Vol. XXVI, No.2 Agustus 2011), h. 631
42
menganut azas politik agama seperti Sarikat Islam dan partai Katolik, ada
yang berazas sosial seperti Budi Utomo, dan Muhammadiyah, dan pula ada
yang berazas politik sekuler seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), dan
Partai Komunis Indonesia (PKI).27 Sistem pemerintahan dan sistem politik
pada masa pasca dekrit presiden disebut dengan demokrasi terpimpin untuk
menggantikan sistem demokrasi liberal parlementer dibawah UUD 1950
dengan sistem multi partai dengan multi asas atau ideologi yang ditandai
dengan jatuh bangunnya kabinet akibat tidak adanya partai mayoritas absolut
dari hasil pemilu 1955. Masa Republik Indonesia I (1945-1959), yaitu masa
demokrasi (konstitusional) yang menonjolkan peranan parlemen serta
partaipartai dan yang karena itu dapat dinamakan Demokrasi Parlementer,
kemudian Republik Indonesia pada tahun 1959-1965 memakai sistem
demokrasi terpemimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang
konstitusional yang secara formal merupakan landasannya, dan menunjukkan
beberapa aspek demokrasi rakyat.28
Pembubaran partai politik di masa orde lama didahului dengan keluarnya
Penpres No 7 Tahun 1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan
kepartaian, dalam pasal 9 disebutkan mengenai pembubaran partai politik
yang berbunyi “Sedang melakukan pemberontakan karena pemimpin-
pemimpinanya turut serta dalam pemberontakan-pemberontakan atau jelas
memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi menyalahkan
perbuatan anggota-anggotanya”. Kemudian dilanjutkan dengan keluarnya
peraturan presdien atau Perpres No 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan,
Pengawasan, dan Pembubaran Partai Politik, yang mana dalam Pasal 6-9 yang
pada pokoknya memuat sebagaimana berikut :
27 Henry Arianto, Peranan Partai Politik dalam Demokrasi di Indonesia, Lex Jurnalica /Vol. 1
/No.2 /April 2004, h. 78
28 Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008),
h. 128
43
1. Institusi yang berwenang melarang dan/atau membubarkan partai politik
adalah Presiden setelah mendengar pertimbangan dari Mahkamah Agung.
2. Alasan pelarangan dan/atau pembubaran partai politik sebagai berikut :
1) Asas dan Tujuannya bertentangan dengan asas dan tujuan negara
2) Programnya bermaksud untuk merombak asas dan tujuan negara
3) Sedang melakukan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinanya
turut serta dalam pemberontakan-pemberontakan atau telah jelas
memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi
menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya itu;
4) Tidak memenuhi syarat-syarat lain yang ditentukan dalam Penetapan
Presiden (Penpres) yang tercantum dalam Bab II Pasal 2 – 7 Tahun
1959.
Dikeluarkannya Keppres No 128 tahun 1961 yang menyatakan bahwa
terdapat 8 (delapan) partai politik yakni: PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai
Indonesia (Partindo), Partai Murba, PSII Arudji, dan IPKI. Selain itu adapula
Keppres No 129 Tahun 1961 yang menolak 4 (empat) partai politik yakni
PSII Abikusno, PRN Bebasa, PRI dan PRN Djody. Pada tanggal 27 Juli 1961
juga dikeluarkan Keppres No 440 Tahun 1961 yang mengakui Parkindo dan
Persatuan Tarbiyah Islam (Perti).29 Terhadap keputusan Presiden yang tidak
mengakui beberapa partai politik tersebut tidak terdapat upaya hukum yang
diajukan ke pengadilan. Kondisi ini dapat dipahami karena kekuasaan
Presiden Soekarno pada saat itu sangat besar, bahkan Ketua MA ditempatkan
sebagai Menteri Koordinator Hukum dan Dalam Negeri, sehingga
kedudukannya berada dibawah Presiden. Setelah terjadinya peristiwa 30
September 1969 dan terdapat bukti-bukti bahwa PKI berada dibelakang
peristiwa tersebut, Soeharto selaku staff Koti membekukan PKI dan ormas-
29 M.Iwan Satriawan & Mustafa Lutfi, Risalah Hukum dan Teori Partai Politik di Indonesia,
PKK-PUU Fakultas Hukum : Universitas Lampung 2015, h. 99
44
ormasnya. Pertimbangan adanya keputusan pembubaran PKI sebagaimana
tertuang dalam konsideran Keppres Nomor 1/3 1996 adalah karena
munculnya kembali aksi-aksi gelap yang dilakukan oleh “Gerakan 30
September” dalam konsideran “Memperhatikan” keputusan itu juga
disebutkan putusan Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh
gerakan 30 September. Keputusan pembubaran PKI dikukuhkan dengan
ketetapan MPRS Nomor XXVV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai
Komunis Indonesia, yang menyatakan bahwa sebagai organisasi terlarang
diseluruh wilayah Indonesia bagi partai komunis Indonesia dan larangan
setiap kegiatan atau menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran
komunisme/marxisme/leninisme. Ketetapaan tersebut diputuskan pada 5 Juli
1966.30
Selain PKI juga dilakukan pembubaran dan pembekuan terhadap partai
Partindo, Partindo memiliki kedekatan terhadap partai PKI, hal tersebut
terbukti dengan dukungan partai Partindo terhadap agenda PKI, yang mana
dalam kongres Partindo Januari 1964. Sebelum dibekukan, Partindo memiliki
satu wakil di DPRGR berdasarkan Keppres Nomor 156 Tahun 1960, namun
terbukti memiliki kedekatan dengan PKI, anggota DPRGR dari Pertindo
diberhentikan dengan Keppres Nomor 57 Tahun 1968.31 Mekanisme
pelarangan dan/ atau pembubaran partai politik terdapat didalam Pasal 6
sampai Pasal 8 Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan,
Pengawasan, dan Pembubaran Partai Partai. Mekanismenya adalah sebagai
berikut:
1) Presiden menyerahkan surat-surat dan alat bukti yang lain kepada
Mahkamah Agung sebagai alat pembuktian terhadap suatu partai
30 Muhammad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan
Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004) … h. 194
31 Mochtar Pakpahan dalam Buku yang ditulis oleh M. Ali Safaat… h.196
45
politik apabila presiden merasa bahwa terdapat suatu partai politik
yang dianggap berada dalam kondisi sebagaimana yang dijelaskan
dalam Pasal 9 ayat (1) Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959.
2) Mahkamah Agung memeriksa persoalan yang diajukan oleh Presiden
secara yuridis dan obyektif dengan mengadakan pemeriksaan dengan
acara bebas.
3) Dalam pemeriksaan Mahkamah Agung dapat mendengar keterangan
saksi-saksi dan ahli-ahli dibawah sumpah.
4) Hasil pemeriksaan Mahkamah Agung diberitahukan kepada Presiden.
5) Setelah menerima pertimbangan Mahkamah Agung, Presiden
mengeluarkan Keputusan Presiden yang menyatakan pembubaran
suatu partai yang secepat mungkin diberitahukan kepada pimpinan
partai tersebut.
c. Masa Orde Baru
Pembubaran partai politik terjadi pula pada awal masa Orde Baru diawali
dibubarkannya Partai Komunis Indonesia (PKl) yang dinilai bertentangan
dengan ideologi Pancasila. Selain itu pada fase Orde Baru terdapat
pembatasan jumlah partai politik yang mulai dilakukan sejak lanuari 1973,
dengan mengebiri sistem multipartai melalui kebijakan fusi partai partai
politik sejenis ke dalam beberapa partai politik. Partai Islam (baik itu modern
is ataupun tradisionalis), seperti Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin
Indonesia (Parmusi), Partai Persatuan Tarbyiah Indonesia (Perti), dan Partai
Serikat Islam Indonesia (PSSI) digabungkan ke dalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Sedangkan partai-partai politik yang mengusung
ideologi nasionalis dan non-Islam, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI),
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indoneisa (PKI), Partai M urba, Partai Katol
ik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo), digabungkan ke dalam Partai
Demokrasi Indonesia (PDl). Lain halnya dengan Golongan Karya (Golkar)
46
tetap dibiarkan sebagai partai politik semu yang mengandalkan massa
mengambang (floating mass).32
Masa orde baru ditandai dengan munculnya kekuatan politik baru yang
menggantikan posisi partai-partai politik. Kekuatan politik tersebut adalah
Golongan Karya yang mendapat dukungan sepenuhnya dari pemerintah dan
TNI AD sebagai kekuatan utama.33 Yang mana dengan berakhirnya
pemerintahan Soekarno atau masa orde lama menumbuhkan suasana baru, hal
ini dimaksud dengan orde baru yang dimana dapat dikatakan era demokrasi
pancasila (1966-1998).34 Sistem kepartaian masa orde baru hanya mengenal
beberapa partai politik, selain Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang mana
merupakan hasil fusi yang dipaksakan oleh rezim orde baru. Pada masa orde
baru masyarakat tidak bisa menyalurkan aspirasi kepada selain ketiga partai
politik hal itu dikarenakan sistem kepartaian yang tidak dikembangkan,
pelaksanaan pemilu yang hanya ritual politik, kemudian kekuatan eksekutif
sangat besar.35
Penyederhanaan partai politik, menurut Juwono Sudarsono dimulai
dengan dilakukan dengan pengkelompokan anggota DPR berdasarkan
Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966. Pengkelompokan tersebut
dinamakan dengan fraksi-fraksi DPR yang meliputi kelompok Demokrasi
Pembangunan yang terdiri atas anggota DPR dari Partai Katolik, Parkindo,
32 Josef M Monteiro, Implikasi Pembatasan Yuridis Pembubaran Partai Politik Terhadap
Prinsip Demokrasi, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-40 No.4 Oktober-Desember 2010, h.
490
33 Muhammad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan
Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004)… h. 186
34 M.Iwan Satriawan & Mustafa Lutfi, Risalah Hukum dan Teori Partai Politik di Indonesia…
h. 100
35 Henry Arianto, Peranan Partai Politik dalam Demokrasi di Indonesia, Lex Jurnalica /Vol. 1
/No.2 /April 2004, h. 78
47
dan PNI, kedua merupakan kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri
atas anggota DPR dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti, yang ketiga kelompok
Karya Pembangunan yang terdiri atas anggota DPR dari Golongan karya
melalui pemilihan umum, pengangkatan dari wilayah Irian Jaya, dan
pengangkatan dari golongan karya non ABRI, dan yang terakhir adalah
kelompok ABRI yang terdiri atas anggota-anggota DPR yang diangkat dari
unsur ABRI meliputi AD, AL, AU dan kepolisian. 36
d. Masa Reformasi
Sebelum Reformasi terdapat beberapa peraturan mengenai pembubaran
partai politik, di antaranya Penetepan Presiden Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian, Peraturan
Presiden Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan dan
Pembubaran Partai-Partai, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, UndangUndang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.37
Sejak reformasi fenomena sistem multipartai dimulai lagi dengan beragam
bentuk ideologi baik itu berbentuk ideologi personal, kelompok atau
organisasional. Namun demikian upaya untuk membatasi jumlah partai politik
tetap dilakukanan antara lain dengan ketentuan electoral threshold dan hal ini
dilakukan sejak pemilihan umum 2004. Adapun ketentuan electoral threshold
yaitu batas perolehan suara bagi partai politik untuk bisa ikut pemilihan
umum selanjutnya. Dalam perkembangan selanjutnya yakni pada pemilihan
umum 2009, selain ditetapkan ketentuan electoral threshold juga
diberlakukan ketentuan parliamentary threshold yakni batas peroleh kursi
36 Juwono Sudarsono dalam Buku yang ditulis oleh Muhammad Ali Safaat… h. 19
37 Finradost Yufan Madakarah, Fifiana Wisnaeni & Ratna Herawati, Perkembangan
Pengaturan Pembubaran Partai Politik dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,
Diponegoro Law Journal, Volume 6, Nomor 2, Tahun 2017, h. 6
48
bagi partai politik untuk bisa mengirimkan wakil di OPR Rl. Gagasan
parliamentary threshold digunakan sebagai upaya untuk mengurangi
fragmentasi politik di parlemen sehingga menyerdehanakan sistem
kepartaian.38 Namun dalam hal ini setiap penyelenggaraan pemilihan umum
pada tahun 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019 tidak terdapat adanya partai
yang dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi yang apabila partai politik
melanggar konstitusi. Tumbangnya rezim orde baru bergulir pada tahun 1998
yang menggugurkan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12
Mei 1988 yang mana reformasi terhadap sistem politik.
Dalam perubahan terhadap sistem politik adalah undang-undang yang
lama diganti dengan undang-undang politik yang baru. Dari segi jumlah
organisasi peserta Pemilu, Pemilu 1999 diikuti 48 partai, sedangkan Pemilu
2004 diikuti 24 partai. Selain itu, kini rakyat dapat memilih langsung
presiden, wakil presiden, dan wakil rakyatnya yang akan duduk di lembaga
DPR, DPRD dan DPD.39 Perubahan dari bentuk pemerintahan yang otoriter
kepada pemerintahan yang demokratis membawa perubahan dan juga
perubahan partai politik di Indonesia. Semenjak bergulirnya reformasi 1998,
maka mekanisme pembubaran partai politik tidak dapat serta merta menjadi
wewenang pemerintah, namun terlebih dahulu harus mendapat kekuatan
hukum tetap dari lembaga peradilan, yang mana sebelum adanya Mahkamah
Konstitusi kewenangan tersebut dipegang oleh Mahkamah Agung.40 Undang-
Undang No 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik telah memberikan wewenang
pembubaran partai politik kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung
38 Monteiro, Josef M, Implikasi Pembatasan Yuridis Pembubaran Partai Politik Terhadap
Prinsip Demokrasi, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-40 No.4 Oktober-Desember 2010, h.
490 39 Arianto, Henry, Peranan Partai Politik dalam Demokrasi di Indonesia, Lex Jurnalica /Vol. 1
/No.2 /April 2004, h. 78
40 M.Iwan Satriawan & Mustafa Lutfi, Risalah Hukum dan Teori Partai Politik di Indonesia,
PKK-PUU Fakultas Hukum : Universitas Lampung 2015, h. 101
49
memiliki wewenang mengawasi dan membubarkan partai politik,
sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-undang Nomor
2 Tahun 1999 berbunyi sebagai berikut; Pasal 2 Dengan kewenangan yang
ada padanya, Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat membekukan atau
membubarkan suatu Partai Politik jika nyata-nyata melanggar Pasal 2, Pasal
3, Pasal 5, Pasal 9 dan Pasal 16 undang-undang ini, Pasal 3 Pelaksanaan
kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan dengan terlebih
dahulu mendengar dan mempertimbangkan keterangan dari Pengurus Pusat
Partai Politik yang bersangkutan dan setelah melalui proses peradilan; Pasal
4 Pelaksanaan pembekuan atau pembubaran Partai Politik dilakukan setelah
adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dengan mengumumkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh
Menteri Kehakiman Republik Indonesia.”
Pembubaran partai politik menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2002 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, yang mana menurut Pasal
20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 terdapat cara mengenai
pembubaran partai politik yaitu membubarkan diri atas keputusan sendiri,
menggabungkan diri dengan partai politik lain, dan dibubarkan oleh
Mahkamah Konstitusi, membubarkan diri dilakukan berdasarkan keputusan
partai yang tata caranya diatur dalam aturan partai, terutama anggaran dasar
dan anggaran rumah tangga. Demikian juga dengan penggabungan dengan
partai lain, yang merupakan masalah internal partai politik. Pada pasal 21 ayat
(1) UU No 31 tahun 2002 hanya mengatur bahwa bergabungnya suatu partai
politik dengan partai politik lain dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu:
(1) bergabung dan membentuk partai politik baru;(2) bergabung dengan
menggunakan identitas partai politik yang telah ada.41 Dan yang terakhir
41 M.Iwan Satriawan & Mustafa Lutfi, Risalah Hukum dan Teori Partai Politik di Indonesia….
h. 104
50
pembubaran partai politik melalui Mahkamah Konstitusi, pembubaran melalui
Mahkamah Konstitusi dinamakan dengan force dissolution karena
pelanggaran “tertentu” yang dilakukan oleh suatu partai politik. Menurut
Muhammad Ali Syafaat menyatakan bahwa terdapat dua cara pembubaran
partai politik di era reformasi, yaitu melalui mekanisme yang telah menjadi
kewenangan Mahkamah Konstitusi dan melalui pembatalan keabsahan badan
hukum partai politik oleh Menteri Hukum dan HAM. Pembubaran oleh
Mahkamah Konstitusi terkait dengan pelanggaran ideologi, asas, tujuan,
progam dan kegiatan partai politik. Sedangkan pembubaran dalam bentuk
pembatalan keabsahan badan hukum oleh Menteri Hukum dan HAM terkait
dengan kondisi partai politik yang sudah tidak memenuhi syarat untuk diakui
sebagai badan hukum berdasarkan ketentuan undang-undang yang baru.42
Pembentukan lembaga peradilan lain diluar Mahkamah Agung yang
selanjutnya disebut dengan Mahkamah Konstitusi yang merupakan salah satu
perkembangan pemikiran hukum ketatanegaraan modern yang muncul pada
abad 20. Gagasan ini merupakan pengembangan dari asas-asas demokrasi
dimana hak-hak politik rakyat dan hak- hak asasi merupakan tema dasar
dalam pemikiran politik ketatanegaraan. Berdirinya Mahkamah Konstitusi di
Indonesia ditandai dengan pengangkatan 9 (Sembilan) hakim konstitusi pada
tanggal 16 Agustus 2003 melalui Kepres No 147/M Tahun 2003 menjadikan
Indonesia sebagai Negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi,
sekaligus Negara pertama pada abad ke-21 yang membentuk lembaga
tersebut. Ketika awal-awal gerakan reformasi, gemuruh suara untuk
memberantas segala bentuk penyelewengan, ternyata tidak disertai dengan
langkah kongkrit oleh pemerintah dan aparat penegak hukum. Sebelum
reformasi, UUD 1945 mengandung banyak kelemahan, antara lain tidak
tersedianya mekanisme checks and balances, sehingga kontrol yudisial
42 Muhammad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan
Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004)… h. 283
51
terhadap pelaksanaan kekuasaan tidak berdaya, yang pada akhirnya
sentralistik dan otoriter dalam penyelenggaraan kekuasaan mewarnai
kehidupan masyarakat.43 Selain itu kehadiran Mahkamah Konstitusi dinilai
cukup popular di beberapa negara seperti : Korea Selatan, Lithuania, Ceko,
dan sebagainya. Negara-negara demokrasi tersebut memiliki lembaga
Mahkamah Konstitusi, demikian juga negara Jerman yang memiliki Federal
Constitutional Court yang tersendiri. Karena itu sebagian besar negara
demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi
yang berdiri sendiri, hingga dewasa ini sekitar 78 negara yang membentuk
Mahkamah Konstitusi secara mandiri.44
Pasal 24C hasil amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan sebagaimana berikut:
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim
konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan oleh masing-
masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
43 A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
(Bekasi: Gramata Publishing, 2016), h. 119
44 Jimly Assiddiqie dalam Buku A. Salman Manggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca
Amandemen UUD 1945… h. 119
52
4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
sendiri.
5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan, yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,
serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta
ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-
undang.
Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru dalam dunia
ketatanegaraan, bukan hanya baru di Indonesia tetapi juga di beberapa negara
di dunia, terutama di lingkungan negara-negara yang mengalami perubahan
dari otoritarian menjadi demokrasi. Kelahiran Mahkamah Konstitusi di
Indonesia merupakan perwujudan dan/ atau realisasi dianutnya paham negara
hukum sebagaimana yang termaktub dalam UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, karena itu harus senantiasa memperhatikan, menghormati,
menjaga, dan memlihara UUD NRI Tahun 1945 itu menerapkan puncak
tertinggi dalam struktur dan tata urutan peraturan perundang-undangan yang
ada di Indonesia.45 Hasil amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan beberapa kewenangan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana berikut:
1) Melakukan pengujian atass konstitusionalitas undang-undang.
2) Mengambil putusan atas sengketa kewenangan antar lembaga negara yang
ditentukan menurut Undang-Undang Dasar.
3) Mengambil putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden yang atas dasar putusan itu, kesalahan
Presiden dan/atau Wakil Presiden menjadi terbukti dan karena itu dapat
45 A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
(Bekasi: Gramata Publishing, 2016), h. 123
53
dijadikan alasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk
memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden dari jabatannya.
4) Memutus perkara perselisihan mengenai hasil-hasil pemilihan umum, dan
5) Memutus perkara berkenaan dengan pembubaran partai politik.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka keberadaan Mahkamah Konsitusi
di Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam membangun dan
menegakkan demokrasi yang substansial. Salah satu bentuk pembangunan
demokrasi substansial tersebut adalah mengenai kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik. Tujuan daripada
pemberian kewenangan pembubaran partai politik kepada Mahkamah
Konstitusi adalah salah satunya agar keputusan pembubaran partai politik
mempunyai dasar atau pijakan hukum yang jelas, tidak hanya alasan politik
sepihak dari penguasa.
54
BAB IV
LEGAL STANDING PEMOHON DALAM PERKARA PEMBUBARAN
PARTAI POLITIK INDONESIA & JERMAN
A. Pengaturan Legal Standing Pemohon Pembubaran Partai Politik
Berdasarkan Demokrasi Jerman
Republik Jerman adalah negara federal yang bersifat demokratis dan
sosial, hal ini tercantum pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Jerman
(Basic Law) yang menyatakan “The Federal Republic of Germany is a
democratic and social federal state”1 kemudian dilanjut pada Pasal 20 ayat (2)
yang menyatakan “All state authority is derived from the people. It shall be
exercised by the people through elections and other votes and through specific
legislative, executive and judicial bodies” dalam ayat ini diartikan bahwa
kewenangan negara berasal dari rakyat dan dilaksanakan oleh perwakilan
rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum dan melalui badan legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Legislatif terikat oleh tatanan konstitusional, eksekutif
dan kekuasaan kehakiman oleh hukum dan keadilan yang tercantum dalam
Pasal 20 ayat (3) yang berbunyi “The legislature shall be bound by the
constitutional order, the executive and the judiciary by law and justice”
Menurut Tobias Angenent, sebagai perwakilan Department of Social
Science (International Politic, Human Rights, Social Science) Kedutaan Besar
Jerman menyatakan Jerman merupakan negara demokrasi parlementer yang
berbentuk federal yang dimana terdapat kekuasaan dan kewenangan yang
dimiliki oleh negara federal, Federal Jerman membagi kekuasaan antara
cabang eksekutif, cabang legislatif dan cabang yudikatif.2 Tiga kekuasaan
tersebut yakni sebagai berikut:
1 Article 20 (1)&(2), Grundgesetz für die Bundesrepublik Deutschlan, (Basic Law for the
Federal Republic of Germany)
2 https://researchguides.library.wisc.edu/germany, Germany Legal Reasearch Guide :
Government and Political Structure, dikutip pada pukul 14:20, tanggal 16 Oktober 2019
55
1. Lembaga Legislatif
a. Parlemen Federal (Bundestag)
Organ konstitusi negara Jerman adalah Parlemen Federal
(Bundestag), yang dimana anggotanya dipilih langsung setiap empat
tahun oleh warga negara yang mempunyai hak pilih mulai usia 18
tahun. Separuhnya dari sedikitnya 598 kursi di Bundestag diperoleh
melalui daftar calon yang disusun oleh partai pada tingkat negara
bagian (suara kedua), separuhnya diperoleh melalui perorangan yang
dicalonkan di salah satu dari 299 distrik pemilihan (suara pertama).3
Sistem pemilihan umum Jerman membuat sulit bagi pemerintahan,
umumnya terjadi persekutuan antar partai. Seperti yang diketahui
Jerman adalah negara demokrasi berbasis partai, dalam Bundestag ke-
19 terwakili tujuh partai –CDU, CSU, SPD, AFD, FDP, Partai Kiri,
dan Partai Hijau. Selain itu terdapat sekitar 25 partai kecil yang tidak
berpengaruh terhadap politik di tingkat Federasi karena adanya klausal
penghalang setinggi lima persen.4 Bundestag memilih kanselir federal
(Bundeskanzlerin) yang akan memimpin pemerintah federal selama
masa legislasinya. Kanselir merupakan kepala pemerintahan Jerman
yang mempunyai kewenangan dalam menentukan garis besar
kebijakan politik yang bersifat mengikat, yang juga berwenang dalam
mengangkat para menteri federal serta wakil kanselir yang dipilihnya
diantara para menteri.5 Sifat parlemen negara Jerman adalah sistem
pemilihan proporsional yang dimodifikasi, berkat sistem tersebut partai
kecil dapat terwakili juga di parlemen secara proporsional dengan
jumlah suara yang diperoleh. Dengan satu kali pengecualian,
Pemerintah Jerman selalu dibentuk melalui persekutuan antara
3 Wawancara di Kedutaan Besar Jerman bersama Tobias Angenent, pada 14 Oktober 2019
4 Fact about Germany, Politik Luar Negeri, Masyarakat, Ilmu Pengetahuan, Perekonomian,
Kebudayaan,(Edisi Diaktualisasi 2018), h. 25
5 https://www.tatsachen-ueber-deutschland.de/id, dikutip pada tanggal 15 Oktober, Pukul
19 :58 pm
56
berbagai partai yang sebelumnya bersaing dalam kampanye pemilihan.
Sejak pemilihan parlemen pertama di tahun 1949 terbentuk 24
pemerintahan koalisi, untuk menghindari adanya fragmentasi parlemen
dan untuk memudahkan pembentukan pemerintahan, setiap partai
harus mencapai minimal 5% dari jumlah suara yang sah atau tiga
mandat langsung untuk dapat masuk dalam Bundestag.6
b. Majelis Federal (Bundesrat)
Majelis Federal (Bundesrat) yaitu utusan dari pemerintah negara
bagian yang terdiri dari 69 anggota yang sesuai dengan jumlah
penduduk, Majelis Federal turut serta dalam pembuatan undang-
undang dan administrasi negara federal. Selain turut serta dalam
pembuatan undang-undang bundesrat juga menjadi perwakilan dari
pemerintah bagian dalam menentukan undang-undang untuk negara
masing-masing. Setiap negara mendahulukan kepentingan negara
bagiannya masing-masing tanpa dengan pertimbangan partai politik
yang berkuasa.
c. Badan Pemusyawaratan (Bundesversammlung)
Badan pemusyawaratan ini dibentuk pada tahun 1951 yang
mempunyai tugas untuk mengawasi ketentuan peraturan perundang-
undangan terhadap Undang-undang Dasar, serta mengawasi suatu
partai politik agar tidak bertentangan dengan konstitusi dan demokrasi.
2. Lembaga Eksekutif
a. Presiden Federal (Bundespresident)
Menurut protokol kenegaraan, presiden federal adalah wakil
tertinggi Jerman diwakili oleh ketua majelis federal, yang kemudian
ketua parlemen federal berada dalam tingkatan kedua setelah presiden
federal. Jabatan dengan otoritas pembuatan kebijakan politik tertinggi
berada ditangan kanselir federal, pun ketua Mahkamah Konstitusi
termasuk kedalam wakil negara tingkat tinggi. Presiden federal
6 Fact about Germany, Politik Luar Negeri, Masyarakat, Ilmu Pengetahuan, Perekonomian,
Kebudayaan… h. 26
57
merupakan kepala negara yang tidak dipilih oleh rakyat, melainkan
oleh Dewan Federal yang dibentuk khusus. Dewan federal terdiri dari
setengah anggota Bundestag, setengahnya lagi terdiri dari utusan yang
dipilih oleh parlemen negara bagian secara proporsional dengan
jumlah kursi dari masing-masing fraksi di parlemen yang
bersangkutan. Presiden dipilih untuk periode lima tahun, dan dapat
dipilih kembali untuk masa jabatan kedua saja. Hal ini diatur dalam
bagian V Pasal 54 hingga 61 Grundgesetz tentang Presiden Federal,
presiden federal haruslah menjadi perwakilan dari rakyat.7 Oleh karena
itu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Federal 10 Juni 2014,
menyatakan bahwa presiden federal harus independen dan bertanggung
jawab kepada parlemen federal. Presiden federal mempunyai tugas
pokok yakni sebagai beriku;
1) Representasi Republik Federal Jerman baik secara internal maupun
eksternal, secara kenegaraan, sosial dan budaya; seperti melalui
pidato, melalui kunjungan ke negara dan masyarakat baik
kunjungan ke luar negeri maupun penerimaan tamu negara dari luar.
2) Menjadi perwakilan internasional Republik Federal Jerman ( Hal ini
tercantum dalam Pasal 59 ayat (1) kalimat 1 GG), Melakukan
perjanjian dengan negara asing (tercantum dalam Pasal 59 Ayat (1)
kalimat 2), sertifikasi (penunjukan) perwakilan diplomatik Jerman
dan tanda terima (tanda terima kredensial) diplomat asing
(tercantum dalam Pasal 59 ayat (1) kalimat 3,GG). Selain itu,
Presiden Federal Jerman mempunyai kewenangan lain, yakni
sebagai berikut;
1) Proposal untuk pemilihan Kanselir Federal (tercantum dalam
Pasal 63 GG)
2) Penunjukan dan pemberhentian Kanselir Federal (Pasal 63, 67
GG) dan Menteri Federal (Pasal 64 GG)
7 Bundespraesident.de, vgl. Susterhenn, in:Parlamentarischer Rat, 2. Sitzung, Sten. Bericht,
S.25;ferner Herzog, in:Maunz/Durig, GG, Art.54 Rn 28, Januar 2009; Fink, in:von
Mangoldt/Klein/Starck, GG, Bd. 2,6. Aufl. 2010, Art. 54 Rn 2)
58
3) Pembubaran Bundestag (tercantum dalam Pasal 63 Ayat 4
Kalimat 3, Pasal 68 GG)
4) Pengesahan Undang-undang (menandatangani) dan
diundangkannya hukum (Pasal 82 GG)
5) Penunjukan dan pemberhentian hakim federal, pejabat federal,
petugas dan NCO (Pasal 60 Ayat (1) GG)
6) Hak pengampunan untuk konfederasi (Pasal 60 Ayat (2) GG)
7) Tatanan Keagamaan federasi.8
b. Pemerintah Federal (Bundeskanzler)
Selain Parlemen dan lembaga kepresidenan, negara Jerman juga
terdapat Pemerintah Federal yang terdapat Kanselir federal dan para
menteri federal. Menurut Tobias kewenangan Kanselir yaitu
menetapkan garis haluan negara, selain itu juga memberlakukan
“prinsip resor”, yang dimana para menteri masing-masing memimpin
resornya secara mandiri dalam kerangka garis kebijakan tersebut.
Selain itu, berlaku prinsip kolegialitas yang mana pemerintah federal
mengambil keputusan dengan suara mayoritas. Menurutnya kabinet
federal terdiri atas 14 menteri dan kepala kantor kanselir federal.
Kanselir federal menetapkan garis haluan politik dan bertanggung
jawab atas hal tersebut.9
3. Lembaga Yudikatif
Sistem peradilan Jerman adalah perlindungan hukum yang
menyeluruh dan spesialisasi pengadilan yang luas. Pengadilan Jerman
terdapat sebagai berikut:
a. Pengadilan umum
Pengadilan umum Jerman menangani kasus-kasus pidana dan
perdata, yang dimana terdapat beberapa tingkatan yakni Pengadilan
8 Der Bundespraesident, Verfassungsrechfliche, Grundlagen, diakses pada tanggal 17
Oktober 2019, pukul 14 : 41 pm
9 https://www.tatsachen-ueber-deutschland.de/id, dikutip pada tanggal 18 Oktober 2019,
pukul 12:23 pm
59
Distrik (amtsgericht), Pengadilan Negeri (Landgericht), Pengadilan
Tinggi (Oberlandesgericht), dan Mahkamah Agung Federal
(Bundergerichtsof).
b. Pengadilan Tenaga Kerja
Pengadilan Tenaga Kerja Jerman menangani sengketa perdata yang
berkaitan dengan hubungan kerja, serta sengketa antara kedua mitra
ketenagakerjaan, yang dimana Pengadilan Tenaga Kerja ini memiliki
tiga instansi yakni pada tingkat wilayah, negara bagian, dan federal.
c. Pengadilan Tata Usaha
Pengadilan Tata Usaha Jerman ini menangani semua perkara yang
terkait dengan perkara publik dibidang hukum administrasi negara,
yang memiliki tiga instansi serupa dengan Pengadilan Tenaga Kerja
yakni Pengadilan Tata Usaha tingkat wilayah, negara bagian, dan
federal.
d. Pengadilan Sosial
Pengadilan Sosial Jerman menangani semua persengketaan yang
berkenaan dengan asuransi wajib jaminan sosial, yang sama memiliki
tiga instansi seperti peradilan lainnya.
e. Pengadilan Urusan Keuangan
Pengadilan ini menangani perkara yang menyangkut perkara pajak
dan retribusi.
Selain itu, negara Jerman mempunyai pengadilan yang tertinggi, yakni
Mahkamah Konstitusi Federal (Bundesverfassungsgericht) Mahkamah
Konstitusi ini berdiri diluar dari kelima bidang peradilan diatas.
Mahkamah Konstitusi Federal ini adalah lembaga negara yang ditetapkan
oleh konstitusi.10 Mahkamah Konstitusi Federal ini memiliki pengaruh
besar yang terletak di Karlsruhe, yang dianggap sebagai “Penjaga Undang-
Undang Dasar” yang memiliki serta menyediakan tafsir baku terhadap teks
konstitusi melalui putusannya. Mahkamah Konstitusi Federal reputasinya
10 https://kemlu.go.id/berlin/en/read/jerman/1294/etc-menu, dikutip pada tanggal 24
Oktober 2019, pukul 20:58 pm
60
tinggi di masyarakat Jerman dan bersifat independen dan tidak dapat di
intervensi oleh lembaga lain, sebagaimana tertulis dalam undang-undang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana berikut “Das
Bundesverfassungsgericht ist ein allen übrigen Verfassungsorganen
gegenüber selbständiger und unabhängiger Gerichtshof des Bundes”
Mahkamah Konstitusi Federal memutuskan persengketaan antara
pemerintah federal dan negara bagian, selain itu, Mahkamah Konstitusi
juga memutus perkara judicial review yakni menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, serta Mahkamah Konstitusi federal
(Bundesverfassungsgericht) memutus perkara pembubaran partai politik.
Mahkamah Konstitusi Federal mempunyai kewenangan yang salah
satunya adalah mengenai pembubaran partai politik, yang dimana perkara
pembubaran partai politik berbeda dengan pembubaran organisasi pada
umumnya, hal ini dikarenakan partai politik memiliki peran dalam
penentuan kebijakan pemerintah yang batasannya diatur secara khusus
dalam konstitusi.
Pengaturan pembubaran partai politik diatur dalam aturan yang begitu
rinci yang terdapat pada Undang-Undang Dasar Jerman (Grundgesetz/
Basic Law), dan undang-undang Mahkamah Konstitusi Jerman
(Bundesverfassungsgerichtgesetz).11 Dalam pengaturan tersebut
menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang dalam menangani
pembubaran partai politik hal tersebut dinyatakan dalam
Grundgesetz/Basic Law Pasal 21 ayat (1-5) sebagaimana berikut :
Article 21 (Political parties)
1) Political parties shall participate in the formation of the political will
of the people. They may be freely established. Their internal
organization must conform to democratic principles. They must
publicly account for their assets and for the sources and use of their
funds.
11 Wawancara di Kedutaan Besar Jerman bersama Tobias Angenent, pada 14 Oktober 2019
61
2) Parties that, by reason of their aims or the behavior of their
adherents, seek to undermine or abolish the free democratic basic
order or to endanger the existence of the Federal Republic of Germany
shall be unconstitutional. The Federal Constitutional Court shall rule
on the question of unconstitutionality.
3) Parties that, by reason of their aims or the behavior of the adherents,
seek to undermine or abolish the free democratic basic order or to
endanger the existence of the Federal Republic of Germany shall be
excluded from state financing. If such exclusion is determined, any
favourable fiscal treatment of the these parties and of payments made
to those parties shall cease.
4) The Federal Constitutional Court shall rule on the question of
unconstitutionality within the meaning of paragraph (2) of this Article
and on exclusion from state financing within the meaning of
paragraph.
5) Details shall be regulated by federal laws.
Selain dari pada Grundgesetz/ Basic Law, pembubaran partai politik
juga diatur dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
Jerman (Bundesverfassungsgerichtgesetz) yang berbunyi sebagai berikut;
“on the unconstitutionality of political parties (Article 21(2) of the Basic
Law), dan Pasal 13 Ayat (2a) on the exclusion of political parties from
state funding (Article 21(3) of the Basic Law).” Pasal 13 ayat (2a)
Kewenangan pembubaran partai politik negara Jerman dimiliki oleh
Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht) hal tersebut
dinyatakan pada Undang-Undang Dasar Jerman Pasal 21 ayat (4) yang
menyatakan sebagai berikut “The Federal Constitutional Court decides on
the issue of unconstitutionality pursuant to paragraph 2 and on the
exclusion of state funding pursuant to paragraph 3.” Perkara pembubaran
partai politik yang dikabulkan permohonan untuk dibubarkan adalah partai
The Socialist Reich Party (SRP) pada tahun 1952, dan pembubaran
terhadap partai The Communist Party of Germany (KPD) pada tahun 1956.
62
Dan permohonan yang ditolak permohonan pembubaran partai politik
adalah terhadap partai FAP dan NL pada tahun 1994 dan permohonan
pembubaran NPD pada tahun 2017, serta 1 permohonan pembubaran
partai politik yang di dismissal atau tidak dilanjutkan yaitu permohonan
pembubaran NPD pada tahun 2003. Permohonan pembubaran partai the
Nation Democratic Party of Germany (NPD) ditolak dikarenakan partai
tersebut dinilai konstitusional yang sebagaimana tertuang dalam Pasal 21
ayat (2) Grundgesetz dan Pasal 93 ayat (1) no. 5 Grundgesetz.
Permohonan pembubaran pada partai the National Democratic Party of
Germany ditolak dikarenakan berdasarkan putusan hakim Mahkamah
Konstitusi partai politik NPD tidak terbukti dan tidak ada indikasi dalam
melawan konstitusi serta tidak terbukti dalam melemahkan azas-azas
demokrasi.
Adapun mekanisme pembubaran partai politik dapat dilakukan oleh
pemohon, yang dimana dalam pengaduan konstitusional umumnya,
pemohon atau yang disebut sebgai subyek pengaduan konstitusional
lainnya tercantum pada Pasal 90 Ayat (1) Undang-Undang Dasar
(Grundgesetz) yang menyatakan setiap orang berhak mengajukan
permohonan, sejauh ia memenuhi hak-hak dasar.12 Namun, dalam perkara
pembubaran partai politik, kewenangan yang menjadi pemohon berbeda
dengan perkara pengaduan konstitusional lainnya. Hal tersebut menurut
Oly Viana Agustine dalam jurnal konstitusi Redesain Mekanisme
Konstitusional Pembubaran Partai Politik: Kajian Perbandingan
Indonesia dan Jerman menyatakan negara Jerman memberikan
pemaknaan lebih tinggi terhadap partai politik dibandingkan dengan
asosiasi atau organisasi lain. Partai politik memiliki kewenangan dalam
menentukan kebijakan dalam pemerintaham. Menurut Tobias Angenent,
mengatakan bahwa yang menjadi kewenangan dalam pengajuan perkara
12 Zulkarnain Ridlwan, Pengaduan Konstitusional Di Negara Federal Jerman, Fiat Justisia
Jurnal Ilmu Hukum Volume 5 No.3, September – Desember 2011, h. 8
63
pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi hanya terdapat pada
Bundestag, Bundesrat, dan Federal Government, Kewenangan tersebut
dinamakan dengan Legal Standing.13
Legal standing pemohon dalam perkara pembubaran partai politik di
Jerman di miliki oleh Bundestag, Bundesrat, da Federal Government.
Pemohon pembubaran partai politik di Jerman mencerminkan kekuasaan
berasal dari eksekutif yang diwakili oleh Federal Government, dan
kekuasaan legislatif diwakili oleh bundestag dan bundesraat. Ketentuan
tersebut dapat menjadi mekanisme check and balances diantara kekuasaan
besar tersebut.14 Saat ditemui di Kedutaan Besar Jerman di Jakarta, Tobias
mengatakan bahwa hanya tiga institusi besar itu yang mendapatkan legal
standing dalam mengajukan permohonan pembubaran partai politik, hal
itu secara yuridis diatur dalam Pasal 43 Ayat (1) Undang-undang
Mahkamah Konstitusi Jerman Bundesverrfasssunggerichtgesetz yang
berbunyi sebagaimana berikut “Der Antrag auf Entscheidung, ob eine
Partei verfassungswidrig (Artikel 21 Absatz 2 des Grundgesetzes) oder
von staatlicher Finanzierung ausgeschlossen ist (Artikel 21 Absatz 3 des
Grundgesetzes), kann von dem Bundestag, dem Bundesrat oder von der
Bundesregierung gestellt werden. Der Antrag auf Entscheidung über den
Ausschluss von staatlicher Finanzierung kann hilfsweise zu einem Antrag
auf Entscheidung, ob eine Partei verfassungswidrig ist, gestellt warden”
Selain itu, Tobias juga menyatakan bahwa landasan yang kuat dalam
penerapan legal standing pemohon dalam perkara pembubaran partai
politik juga dikarenakan sistem pemerintahan Jerman sendiri yang
memiliki sistem demokrasi parlementer dan negara yang berbentuk federal
atau negara bagian yang mempunyai 16 negara bagian, setiap negara
13 Wawancara bersama Tobias Angenent, pada 14 Oktober 2019
14 Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik :
Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman… h. 131
64
bagian mempunyai kewenangannya masing-masing dalam mengatur
kebijakan dalam negerinya sendiri.
Landasan negara Jerman menempatkan Bundestag, Bundesrat dan
Federal Government sebagai pemohon dalam pengajuan pembubaran
partai politik adalah dikarenakan Jerman negara federal dan sistem
pemerintahan yang demokratis parlementer, dimana perwakilan rakyat
merupakan suatu yang krusial dan tiga lembaga besar tersebut dikatakan
sebagai representative dari kedaulatan rakyat itu sendiri. Rakyat memilih
parlemen federal untuk masa legislasi 4 tahun, parlemen federal ini
langsung dipilih oleh kehendak rakyat melalui pemilihan umum.
Bundestag memiliki sedikitnya terdapat 598 anggota, pada tahun 2017
terpilih Bundestag ke-19 yang terdiri dari 709 anggota parlemen. Selain
Bundestag terdapat Bundesrat yang memiliki kewenangan menjadi
pemohon dalam perkara pembubaran partai politik negara Jerman,
Bundesrat atau yang disebut dengan Majelis Federal, yang merupakan
utusan dari pemerintah negara bagian yang dipilih oleh parlemen negara
bagian, parlemen negara bagian sendiri dipilih langsung dalam lima tahun
sekali selama masa legislasinya, dipilih langsung oleh rakyat pada
pemilihan umum. Bundesrat ini terdiri dari 69 anggota yang diutus oleh
negara bagian. Dan yang terakhir yang mempunyai kewenangan dalam
pengajuan pembubaran partai politik adalah Federal Government yang
mana merupakan lembaga eksekutif Jerman, yang terdiri dari Kanselir
Federal dan Menteri Federal, pemerintahan federal ini menetapkan
pedoman kebijakan, dalam parameter ini para menteri menjalankan
kementrian mereka secara independen. Pemerintahan Federal menerapkan
prinsip kolektifitas dalam artian menyelesaikan perselisihan dengan
keputusan mayoritas.15 Pemerintahan Federal menjadi pemohon
pembubaran partai politik dikarenakan pemerintahan diangkat oleh
Presiden Federal yang dimana Presiden dipilih oleh Dewan Federal.
15https://www.tatsachen-ueber-deutschland.de/en/chapter/glance/federal-government,
dikutip pada pukul 14:06 pm, tanggal 31 Agustus 2019
65
Penerapan Legal Standing pemohon di negara Jerman saat ini
mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Menurut Tobias bahwa penerapan
pemohon dalam perkara pembubaran partai politik di negara Jerman sesuai
dengan prinsip-prinsip demokrasi, mengapa dikatakan demikian, karena
negara Jerman menjungjung nilai-nilai demokrasi yang sangat tinggi, dan
dinyatakan dalam konstitusi tertinggi Jerman yakni Undang-Undang Dasar
negara Jerman atau yang disebut dengan Grundgesetz/Basic Law. Selain
diatur dalam konstitusi, prinsip demokrasi juga tercermin dari susunan
pemerintahan yang terbentuk di negara Jerman yang mana terlihat adanya
check and balances. Untuk itulah dikatakan sebagai negara demokrasi
Jerman sangat menjungjung kedaulatan rakyat melalui lembaga
perwakilan. Lembaga perwakilan itulah yang kini menjadi lembaga yang
mempunyai kewenangan dalam pengajuan permohonan dalam perkara
pembubaran partai politik di negara Jerman serta ketiga lembaga ini yakni
Bundesrat, Bundestag, dan Federal Government dinilai sebagai
refresentatif dari hadirnya prinsip demokrasi di negara Jerman.
B. Legal Standing Pemohon Pembubaran Partai Politik dalam Prinsip
Negara Demokrasi Indonesia
Sistem pemilihan umum yang ada di Indonesia sama dengan sistem
pemilihan yang ada di negara Jerman, hanya saja secara mekanisme pemilihan
umum yang ada di negara Jerman berbeda dengan di Indonesia, pemilihan
umum Jerman dilakukan berdasarkan sistem parlementer, yang dimana warga
negara Jerman harus memilih Parlemen Federal dalam waktu 4 tahun sekali,
dan Parlemen negara bagian yang dipilih dalam kurun waktu 5 tahun sekali
dalam masa legislasinya, berbeda dengan Indonesia yang dimana sistem
pemilihan umum dibedakan menjadi dua macam yaitu sistem pemilihan
mekanis dan sistem pemilihan organis.
Dalam sistem pemilihan mekanis, wakil rakyat yang duduk dalam badan
perwakilan langsung dipilih, sedangkan sistem pemilihan organis, wakil wakil
rakyat berdasarkan pengangkatan. Akan tetapi, secara mekanis sistem
pemilihan yang ada di Jerman sama dengan Indonesia yang berbeda adalah
66
sistem pemerintahan yang bersifat presidensil dan parlementer. Selain dari
pada pemilihan umum, keberlangsungan partai politik juga sangatlah penting
dalam membangun sistem berdemokrasi di Indonesia maka dari itu
keberlangsungan suatu partai politik haruslah sesuai dengan konstitusi yang
berlaku di Indonesia, namun terhadap implementasinya partai politik
seringkali tidak sesuai dengan tugas dan fungsinya, dalam peraturan
perundang-undangan partai politik yang tidak sesuai dengan tugas dan
fungsinya harus dibubarkan,16 begitu pun dengan Jerman yang menyatakan
bahwasanya partai politik merupakan suatu hal yang penting dalam
kenegaraan Jerman, sekaligus menjadi salah satu penentu kebijakan negara
Jerman dan partai politik tersebut haruslah sesuai dengan prinsip negara
demokrasi dan tidak betentangan dengan konstitusi. Indonesia sendiri hal
tersebut sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011
Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik. Indonesia dan Jerman sama sama mengatur tentang pembubaran partai
politik yang dimana apabila suatu partai politik tidak dapat menjalankan lagi
tugas dan fungsi sesuai peraturan perundang-undangan maka harus
dibubarkan. Adapun kewenangan pembubaran partai politik dimiliki oleh
Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang
Dasar NRI Tahun 1945. Hal ini sebagaimana dengan negara Jerman,
kewenangan pembubaran partai politik dimonopoli oleh Mahkamah Konstitusi
dan diatur jelas dalam konstitusi tertinggi masing-masing negara. Hadirnya
partai politik dalam sistem kenegaraan Indonesia merupakan bentuk
demokrasi Indonesia.
Demokrasi yang dianut oleh Indonesia adalah demokrasi yang berdasarkan
Pancasila, hal tersebut terlihat dalam pelbagai tafsiran dan pandangan. Tidak
dapat disangkal bahwa beberapa pokok dari demokrasi konstitusional cukup
16 Adam Mulya Bungamayang dkk, Hasyim Asy’ari dkk, Wewenang Pemerintah Dalam
Mengajukan Usulan Pembubaran Partai Politik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Diponegoro Law Review, Vol. 5, No. 2, Tahun 2016, h. 2
67
jelas tersirat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang mana mengenai
sistem pemerintahan negara, yakni sebagai berikut:
a. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat), tidak
berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat)
b. Indonesia menganut sistem Konstitusional yang berarti pemerintahan
Indonesia berdasarkan sistem Kontitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat
absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas).17
Sebagai negara yang menjungjung nilai-nilai prinsip demokrasi maka
partai politik menjadi salah satu alat untuk mencapai demokrasi tersebut,
namun sebaliknya apabila partai politik tidak sesuai dengan konstitusi dan
bersebrangan dengan prinsip demokrasi maka partai yang bersangkutan
dibubarkan. Pembubaran Partai Politik di Indonesia dapat diajukan oleh
pemerintah, hal itu tercantum dalam Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-IX/2011 yang
dimana menegaskan bahwasanya legal standing dalam perkara pembubaran
partai politik hanya dimonopoli oleh pemerintah. Berbeda dengan negara
Jerman yang dimana kewenangan dalam pengajuan pembubaran partai politik
dimiliki oleh Bundesrat, Bundestag, dan Federal Government. Legal standing
dalam perkara pembubaran partai politik adalah pemerintah yang dimana
maskud dari pemerintah ini adalah pemerintah pusat.
Berikut adalah perbandingan mekanisme pembubaran partai politik
di Indonesia dan Jerman
INDONESIA JERMAN
Berdasarkan negara yang bersifat
demokratis (Undang-Undang Dasar
Tahun 1945)
Negara Jerman juga merupakan
negara yang bersifat demokratis
(Grundgesetz)
17 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ( PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta,
2007), h. 106
68
Beroperasi dibawah sistem multi
partai
Beroperasi dibawah sistem multi
partai
Pembubaran partai politik
dilaksanakan berdasarkan Undang-
undang
Pembubaran partai politik di Jerman
pun berdasarkan Undang-undang
Kewenangan pembubaran partai
politik dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia
Kewenangan pembubaran partai
politik dimonopoli oleh Mahkamah
Konstitusi Jerman
Legal standing pemohon dimonopoli
oleh pemerintah
Legal standing dimiliki oleh Parlemen
Federal (Bundestag), Majelis Federal
(Bundesrat), Federal Goverment
Berdasarkan tabel diatas bahwa yang menjadi pembeda adalah legal
standing yang dimiliki oleh kedua negara, menurut Jimly Asshiddiqie
kewenangan pemerintah untuk menjadi pemohon disini terkait dengan
tanggungjawab Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang Dasar dan
segala peraturan perundang-undang lain yang berlaku, serta mengupayakan
tegaknya UUD beserta segala peraturan perundang-undangan itu dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan hukum. Oleh karena itu, jika suatu partai politik
dinilai oleh Pemerintah telah melanggar undang-undang dasar dan atau
peraturan perundang-undangan lainnya maka adalah tanggungjawab
pemerintah untuk mengambil inisiatif untuk pembubaran partai politik yang
bersangkutan menurut prosedur hukum yang berlaku. Jimly menilai memang
jika sewajarnya apabila Pemerintah diberi kewenangan untuk mengajukan
perkara pembubaran partai politik itu kepada Mahkamah Konstitusi.18
Kedudukan Hukum (legal Standing) pemohon dalam perkara pembubaran
partai politik merupakan suatu kedudukan yang mempersoalkan atau
mempermasalahkan keberadaan suatu partai yang dianggap telah melakukan
18 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah
Konstitusi, (Jakarta : Konstitusi Press, 2006), h. 138
69
pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar atau peraturan yang berlaku
lainnya, yang dalam hal ini kewenangan pengajuan permohonan pembubaran
partai politik dimonopoli oleh Pemerintah yang dapat diwakili oleh Jaksa dan
atau Menteri atas mandat dari Presiden. Pemohon dalam hal ini pemerintah
wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang ideologi, asas,
tujuan, program dan kegiatan partai politik yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar yang termaktub dalam Pasal 68 ayat (2) Undang-
undang Mahkamah Konstitusi.19
Penerapan legal standing di negara Jerman mencerminkan nilai-nilai
demokrasi, hal tersebut disampaikan oleh Tobias Angenent saat ditemui di
Kedutaan Besar, menurutnya kedudukan hukum pemohon dalam perkara
pembubaran partai politik itu telah berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi,
karena demokrasi pada hakikatnya dikehendaki oleh rakyat dan oleh sebab itu
tiga instansi besar seperti Bundestag, Bundesrat, dan Federal Government
adalah bentuk refresentative dari rakyat, yang mana secara yuridis telah diatur
dalam konstitusi Jerman yakni salah satunya ada dalam Pasal 21 Undang-
Undang Dasar Jerman Grundgesetz/Basic Law dan Undang-undang
Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassunggerichtgesetz). Berbeda
dengan penerapan legal standing pemohon perkara pembubaran partai politik
di Indonesia yang berdasarkan Pasal 68 ayat (1) yang menyatakan pemohon
adalah pemerintah yang dalam hal ini kewenangan legal standing tersebut
dimonopoli oleh Pemerintah saja.
Penerapan tersebut erat kaitannya dengan negara hukum. Istilah negara
hukum selain dikenal dengan istilah rechsstaat dan rule of law, juga dikenal
istilah monocracy yang artinya sama dengan negara hukum, inti dari rumusan
tersebut adalah bahwa hukum yang berlaku dalam suatu negara hukum
19 Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran Partai Politik :
Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman… h. 134
70
haruslah yang terumus secara demokratis yakni memang kehendak rakyat.20
Menurut Jimly terdapat dua belas prinsip negara hukum, yaitu supremasi
hukum (supremacy of Law), persamaan dalam hukum (equality before the
law), organ pemerintahan yang independen, peradilan yang bebas dan tidak
memihak (independent and impartial judiaciary), Peradilan Tata Usaha
Negara (administrative court), Peradilan Tata Negara (constitutional court),
Perlindungan Hak Asasi Manusia, Bersifat Demokratis (democratische-
rechsstaats), Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare
rechsstaats), serta transparansi dan kontrol sosial.21 Indonesia telah memenuhi
prinsip sebagai negara hukum yang salah satunya adalah bersifat demokrasi,
dan sistem pemerintahan yang di anut oleh Indonesia adalah sistem
pemerintahan demokrasi, menurut Miriam Budiardjo menyatakan bahwa
dalam negara modern, dinyatakan bahwa demokrasi tidak lagi bersifat
langsung, akan tetapi demokrasi berdasarkan perwakilan (representative
democracy).
Dalam sistem perwakilan tersebut, pemerintah termasuk bagian dari
representative democracy dalam perkara pemohon pembubaran partai politik,
akan tetapi apabila suatu partai pemerintah lah yang dinilai tidak sesuai
dengan konstitusi atau tidak sesuai dengan tujuan dan fungsi nya, apakah
pemerintah akan tetap membubarkan partai nya sendiri, yang dinilai akan
menciderai demokrasi yang ada di Indonesia. Dalam hal ini perlu adanya
keterlibatan pihak lain dalam mengawasi keberlangsungan partai politik.
Mengawasi yang dimaksud adalah untuk mewujudkan nilai demokrasi yang
ada di Indonesia. Jadi, sudah sewajarnya apabila pemerintah dinilai belum
memenuhi representatif demokrasi. Keterlibatan pihak lain ini dimaksud
sebagai pengawasan terhadap partai politik secara konstruktif. Maka dari itu,
penulis menyatakan bahwasanya dalam rangka mewujudkan prinsip
20 Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarka Atas Hukum, (Jakarta : Ghalia
Indonrsia, 1986), h. 8
21Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta:
Konstitusi Press, 2005), hal. 162
71
demokrasi yang dinilai sebagai representative demokratis ini perlu adanya
perubahan yang dimana tidak hanya pemerintah saja yang dapat membubarkan
partai politik akan tetapi pihak lain yang menurut penulis berhak dalam
melakukan pengajuan pembubaran partai politik. Pihak lain yang dimaksud
adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah.
Seperti yang kita ketahui bahwasanya Dewan Perwakilan Rakyat dipilih oleh
rakyat melalui pemilihan umum, DPR ini sama halnya dengan Jerman yang
memberikan kewenangan terhadap Bundestag dalam pengajuan pembubaran
partai politik.
Fungsi dan kewenangan DPR yang dilekatkan dan dijamin oleh UUD NRI
Tahun 1945 sebagai konstitusi tertinggi dalam sistem dan hirarki peraturan
perundang-undangan Indonesia menyatakan bahwa DPR sebagai sebuah
lembaga tinggi negara, penyalur aspirasi rakyat. Selain itu, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) memiliki kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan, antara
lain: memegang teguh dan siap mengamalkan Pancasila dan UUD 1945,
mendahulukan kepentingan pribadi dan golongan, berkewajiban untuk
merespon dan menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya.22 Maka dari
menurut penulis DPR patut untuk dijadikan sebagai salah satu pemohon dalam
perkara pembubaran partai politik karena DPR mempunyai fungsi salah
satunya adalah pengawasan yang dijalankan dalam kerangka representasi
rakyat.
Pihak selanjutnya adalah Dewan Perwakilan Daerah, mengingat legal
standing pemohon pembubaran partai politik di Jerman salah satunya adalah
Majelis Federal (Bundesrat) yang menjadi perwakilan dari negara bagian di
Jerman. dikarenakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga
perwakilan berdasarkan aspirasi daerah, karena itu, keberadaan DPD
merupakan upaya untuk menampung aspirasi dan/ atau mengawal pelaksanaan
otonomi daerah, sekaligus menjembatani kepentingan-kepentingan antara
22 A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
(Bekasi: Gramata publishing, 2016), h. 54
72
pusat dan daerah.23 Keterlibatan pihak lain sebagai pemohon dalam perkara
pembubaran partai politik ini menjadi hal yang relevan dalam mewujudkan
prinsip demokratis, dikarenakan prinsip demokrasi adalah salah satunya
keterwakilan yang mana dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi sudah
ada Pemerintah sebagai wakil dalam melakukan permohonan pembubaran
partai politik, akan tetapi dalam hal ini hadirnya DPR dan DPD ini akan
menambah nilai nilai demokrasi di dalamnya sebagaimana yang telah
diterapkan di negara Jerman yang sebagai Pemohon nya adalah DPR,
Pemerintah Federal dan Majelis Federal.
23 A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945…
h. 69
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian dan pembahasan yang telah peneliti analisis
pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Pengaturan pembubaran partai politik di negara Jerman diatur dalam
Konstitusi tertinggi Jerman yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar
Jerman (Grundgesetz/Basic Law) serta diatur Undang-undang Mahkamah
Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgerichtgesetz. Berdasarkan aturan
yang telah disebutkan bahwasanya legal standing pemohon pembubaran
partai politik yang ada di Jerman ada pada Bundestag, Bundesrat, dan
Federal Government. Legal Standing yang ada di Jerman sudah
berdasarkan prinsip negara Demokrasi dikarenakan sudah memenuhi
prinsip demokrasi yakni sistem perwakilan, ketiga lembaga tersebut sudah
mewakili rakyat Jerman dalam melakukan permohonan pembubaran partai
politik yakni melalui Parlemen Federal (Bundestag), Majelis Federal
(Bundesrat), dan Federal Government. Sedangkan di Indonesia
pengaturan mengenai legal standing dalam perkara pembubaran partai
politik diatur dalam Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi, dalam aturan yang telah disebutkan diatas bahwa legal
standing dalam perkara pembubaran Partai Politik tersebut tidak diberikan
kepada perorangan atau lembaga yang tidak tercantum dalam konstitusi,
kewenangan pengajuan pembubaran partai politik di Indonesia hanya
diberikan kepada Pemerintah saja.
2. Dalam negara modern dinyatakan bahwa demokrasi tidak lagi bersifat
langsung akan tetapi demokrasi berdasarkan perwakilan (representative
74
democracy). Berdasarkan hal tersebut maka penerapan legal standing
dalam perkara pembubaran partai politik di Indonesia menurut penulis
belum sepenuhnya memenuhi prinsip demokrasi apabila bercermin
dengan negara Jerman, kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh
Pemerintah yang dimana Pemerintah merupakan bagian daripada
kontestasi politik. Oleh karena itu untuk memenuhi prinsip demokrasi
maka perlu adanya pihak atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan
dalam melakukan permohonan pembubaran partai politik, hal itu
bercermin dengan negara Jerman maka penulis menyetujui apabila ada
pihak lain yang mempunyai kewenangan dalam melakukan permohonan
pembubaran partai politik di Indonesia sehingga diharapkan akan tercipta
check and balances.
B. Rekomendasi
Berdasarkan analisis peneliti tentang legal standing pemohon dalam perkara
pembubaran partai politik, maka peneliti mencoba memberikan rekomendasi yang
ingin disampaikan, yaitu:
1. Peneliti berharap kepada DPR sebagai lembaga legislatif untuk merevisi
Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan kedudukan hukum pemohon hanya dimiliki oleh Pemerintah.
2. Peneliti berharap agar legal standing pemohon dalam perkara pembubaran
partai politik di Indonesia dapat diperluas kembali seperti negara Jerman
yang mana tidak hanya pemerintah yang mempunyai kewenangan
tersebut, peneliti berharap adanya pihak atau lembaga negara lain yang
juga mempunyai kewenangan dalam pengajuan pembubaran partai politik
seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga Dewan Perwakilan
Rakyat (DPD).
75
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Aminah, Siti, Kuasa Negara Pada Ranah Politik Lokal. Jakarta: Kencana
Prenadamedia group, 2014
Asshiddiqie, Jimly. Hukum Acara Pengujian Undang-undang. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteran Mahkamah Konstitusi RI, 2006
________________, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik,
dan Mahkamah Konstitusi,(Jakarta : Konstitusi Press, 2006)
________________, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi
Revisi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005)
Azed, Abdul Bari & Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia.
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2005
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2003
Huda, Ni’matul & M. Imam Nasef, Penataan Demokrasi & Pemilu. Jakarta:
Kencana, 2017
Ibrahim, Jhonny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum. Malang: Bayumedia,
2007
76
Kartawidjaja, R Pipit & M. Faisal Aminuddin, Demokrasi Elektoral (Bagian
1) Perbandingan Sistem dan Metode dalam Kepartaian dan Pemilu.
Surabaya: Penerbit Sindikasi Indonesia, 2014
Maggalatung, A. Salman, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen
UUD 1945. Bekasi : Gramata Publishing, 2016
Mahfud, Moh MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi.
Jakarta: Rajawali Pers, 2012
Marthosoewignjo, Sri Soemantri, Konstitusi Indonesia Prosedur dan Sistem
Perubahannya Sebelum dan Sesudah UUD 1945 Perubahan. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2016
Mas, Marwan, Hukum Konstitusi dan Kelembagaan Negara. Depok: PT
RajaGrafindo Persada,2018
Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka & Kebijakan Asasi. Jakarta
: STIH IBLAM, 2004
Satriawan M. Iwan & Mustafa Lutfi, Risalah Hukum Partai Politik di
Indonesia. Malang: UB Press, 2016
Subekti, Valina Singka, Dinamika Konsolidasi Demokrasi (Dari Ide
Pembaharuan Sistem Politik hingga ke Praktik Pemerintahan
Demokratis). Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015
Suptrahtini, Amin, Partai Politik di Indonesia. Klaten : Penerbit Cempaka
Putih, 2018
77
Suryana, Yana, Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Surakarta :
PT. Aksara Sinergi Media, 2018
Strong, C.F. 2004, Konstitusi Modern, Terjemahan Oleh SPA. Teamwork,
Bandung, Nuansa dan Nusamedia, dalam Hukum Tata Negara,
Hadiyono, 2018
Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda. Teori dan Hukum Konstitusi,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004
Venatius, Hadiyono, Hukum Tata Negara. Surabya: CV. Garuda Mas
Sejahtera, 2018
Wahyono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarka Atas Hukum. Jakarta :
Ghalia Indonrsia, 1986
Wheare, K.C, Modern Constitutions. London : London Oxford University
Press, 1975
B. Jurnal
Agustine, Oly Viana, Redesain Mekanisme Konstitusional Pembubaran
Partai Politik : Kajian Perbandingan Indonesia dan Jerman, Negara
Hukum: Vol. 9, No. 2, November 2018
Ali Safa’at, Muhammad Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis
Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-
2004), Fakultas Hukum : Universitas Indonesia
78
Arianto, Henry, Peranan Partai Politik Dalam Demokrasi di Indonesia, Lex
Jurnalica /Vol. 1 /No.2 /April 2004
Armia, Muhammad Siddiq, Hubungan Ideal Partai Politik Nasional dengan
Partai Politik Lokal dalam Pengisian Jabatan Publik, Jurnal Review
Politik Vol. 07, No. 01, Juni 2017
FGW, Allan & Harry S, Pemberian Legal Standing kepada Perseorangan
atau Kelompok Masyarakat dalam Usul Pembubaran Partai Politik,
Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 20 Oktober 2013
Fitria,Rini, Badan Pengawas Pemilu Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia dalam Persfektif Komunikasi Politik, (Syi’ar Vol. 15 No. 2
Agustus 2015
Hastuti, Pustpitasari Sri & Zayanti Mandasari dkk, (2016) Urgensi Perluasan
Permohonan Pembubaran Partai Politik di Indonesia, Jurnal Hukum :
IUS QUIA IUSTUM No.4 Vol. 23 Oktober 2016
M Arsyad, Maf’ul, Partai Politik Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru,
Supremasi, Volume V Nomor 2, Oktober 2010
Madakarah, Finradost Yufan Fifiana Wisnaeni & Ratna Herawati,
Perkembangan Pengaturan Pembubaran Partai Politik dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Diponegoro Law Journal, Volume
6, Nomor 2, Tahun 2017
79
Monteiro, Josef M, Implikasi Pembatasan Yuridis Pembubaran Partai Politik
Terhadap Prinsip Demokrasi, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun
ke-40 No.4 Oktober-Desember 2010
Muhammad Sukroni, Gagasan Perluasaan Legal Standing Dalam
Permohonan Pembubaran Partai Politik di Indonesia, JOM Fakultas
Hukum Volume II nomor 1 Februari 2015
Mulya, Adam Bungamayang dkk, Hasyim Asy’ari dkk, Wewenang
Pemerintah Dalam Mengajukan Usulan Pembubaran Partai Politik
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi, Diponegoro Law Review, Vol. 5, No. 2, Tahun
2016
Ramdan, Ajie, Problematika Legal Standing Putusan Mahkamah Konstitusi,
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 4, Desember 2014
Siallagan, Haposan, Penerapan Prinsip Negara Hukum Di Indonesia,
Sosiohumaniora, Volume 18 No. 2 Juli 2016.
Widayati, Pembubaran Partai Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia, Jurnal Hukum Vol XXVI, No. 2, Agustus 2011
Zulkarnain Ridlwan, Pengaduan Konstitusional Di Negara Federal Jerman,
Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 5 No.3, September –
Desember 2011
80
C. Perundang-undangan
Bundesverfassungsgerichtsgesetz, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
Federal Jerman
Grundgesetz/Basic Law (Undang-Undang Dasar Negara Republik Jerman
Federal)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Atas Perubahan
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang atas Perubahan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
D. Internet
Article 20 (1)&(2), Grundgesetz für die Bundesrepublik Deutschlan, (Basic
Law for the Federal Republic of Germany)
Der Bundespraesident, Verfassungsrechfliche, Grundlagen, dikutip pada
tanggal 17 Oktober 2019, pukul 14 : 41 pm
Fact about Germany, Politik Luar Negeri, Masyarakat, Ilmu Pengetahuan,
Perekonomian, Kebudayaan,(Edisi Diaktualisasi 2018)
https://researchguides.library.wisc.edu/germany, Germany Legal Reasearch
Guide : Government and Political Structure, dikutip pada pukul 14:20,
tanggal 16 Oktober 2019
https://nasional.kompas.com/read/2017/03/20/16472621/pembubaran.partai,
di kutip pada tanggal 1/28/2019
81
https://www.tatsachen-ueber-deutschland.de/id, dikutip pada tanggal 18
Oktober 2019, pukul 12:23 pm
https://kemlu.go.id/berlin/en/read/jerman/1294/etc-menu, dikutip pada
tanggal 24 Oktober 2019, pukul 20:58 pm
https://www.bundesverfassungsgericht.de/EN/Verfahren/Wichtige
Verfahrensarten/Parteiverbotsverfahren/parteiverbotsverfahren_nod
e.html, dikutip pada tanggal 25 Oktober 2019, pukul 23:18 wib.
https://www.bundesverfassungsgericht.de/EN/Verfahren/Wichtige-
Verfahrensarten/Parteiverbotsverfahren/parteiverbotsverfahren_nod
e.html, dikutip tanggal 30 Oktober, pukul 13:44 pm
Kompas.com, Pembubaran Partai Politik, Edisi 20 Maret 2017 | 16:47 WIB,
dikutip pada tanggal 6 November 2019, pukul 10:23 am
E. Dokumen Wawancara