lapsus efusi pleura ec sirosis

54
TINJAUAN PUSTAKA EFUSI PLEURA A. DEFINISI Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa cairan transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya mengandung cairan sebanyak 10-20 ml. B. ETIOLOGI Kalau seorang pasien ditemukan menderita efusi pleura, kita harus berupaya untuk menemukan penyebabnya. Ada banyak macam penyebab terjadinya pengumpulan cairan pleura. Tahap yang pertama adalah menentukan apakah pasien menderita efusi pleura jenis transudat atau eksudat. Efusi pleura transudatif terjadi jika faktor sistemik yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan, pleura. Efusi pleura eksudatif 1

Upload: choirul-wiza

Post on 15-Dec-2015

128 views

Category:

Documents


23 download

DESCRIPTION

efusi pleyra

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

TINJAUAN PUSTAKAEFUSI PLEURA

A.DEFINISI

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari

dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa

cairan transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya

mengandung cairan sebanyak 10-20 ml.

B. ETIOLOGI

Kalau seorang pasien ditemukan menderita efusi pleura, kita harus berupaya

untuk menemukan penyebabnya. Ada banyak macam penyebab terjadinya

pengumpulan cairan pleura. Tahap yang pertama adalah menentukan apakah

pasien menderita efusi pleura jenis transudat atau eksudat.

Efusi pleura transudatif terjadi jika faktor sistemik yang mempengaruhi

pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura

eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan

penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura tipe transudatif

dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar Laktat Dehidrogenase

(LDH) dan protein di dalam cairan, pleura. Efusi pleura eksudatif memenuhi

paling tidak salah satu dari tiga kriteria berikut ini, sementara efusi pleura

transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga kriteria ini :

1.   Protein cairan pleura / protein serum > 0,5

2.   LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6

3.   LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang

normal di dalam serum.

1

Page 2: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

Tabel 1. Perbedaan Cairan Transudat-Eksudat Pada Efusi Pleura

Efusi pleura berupa:

a) Eksudat,

Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang

permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan

protein transudat. Terjadinya perubahan permeabilitas membrane adalah karena

adanya peradangan pada pleura. Protein yang terdapat dalam cairan pleura

kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah

bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan

konsentrasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat. Efusi pleura

eksudat dapat disebabkan oleh :

1.   Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus coxsackie, Rickettsia,

Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-

6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala, demam, malaise,

mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis. Diagnosa dapat dilakukan

dengan cara mendeteksi antibodi terhadap virus dalam cairan efusi.

2.   Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh

bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara

hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob maupun

anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas,

2

Page 3: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan lain-

lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika ampicillin dan

metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari

rongga pleura.

3.   Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus,

Kriptococcus, dll. Efusi timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat

terhadap organisme fungi.

4.   Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi

melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat

juga secara hematogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya

cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan nekrosis

perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk ke rongga

pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang

disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan jarang

yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris,

penurunan berat badan, dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.

5.   Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru,

mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral dengan

ukuran jantung yang tidak membesar. Keluhan yang paling banyak ditemukan

adalah sesak dan nyeri dada. Gejala lain adalah akumulasi cairannya kembali

dengan cepat walaupun dilakukan torakosintesis berkali-kali. Patofisiologi

terjadinya efusi ini diduga karena :

Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi

kebocoran kapiler.

Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,

bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan

aliran balik sirkulasi.

Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif

intra pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang

ditemukan berupa eksudat dan kadar glukosa dalam cairan pleura

tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam cairan pleura cukup

3

Page 4: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan sitologik cairan pleura

dan tindakan blopsi pleura yang menggunakan jarum (needle biopsy).

6.   Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri,

abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai

predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita cairannya berwarna

purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus efusi parapneumonik ini

dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage kadang diperlukan pada

empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4

indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan efusi

parapneumonik:

Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura

Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura

Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl

Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah

daripada nilai pH bakteri

Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik

yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam saja.

7.   Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid,

Skleroderma

8.   Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi parapneumonik.

b). Transudat,

Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik

dan koloid osmotic menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu

sisi pleura akan melebihi reabsorpsi oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi

pada: (1). Meningkatnya tekanan kapiler sistemik, (2). Meningkatnya tekanan

kapiler pulmoner, (3) Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura, (4)

Menurunnya tekanan intra pleura. Efusi plura transudat dapat terjadi pada :

1.   Gangguan kardiovaskular

Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab

lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior.

Patogenesisnya adalah akibat terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik

4

Page 5: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

dan tekanan kapiler dinding dada sehingga terjadi peningkatan filtrasi pada

pleura parietalis. Di samping itu peningkatan tekanan kapiler pulmonal akan

menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah

bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongg pleura

dan paru-paru meningkat. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh

rongga dada dapat juga menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang

agak sulit menerangkan adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi

pada sisi kanan. Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan

jantungnya teratasi dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga

segera menghilang. Kadang-kadang torakosentesis diperlukan juga bila

penderita amat sesak.

2.   Hipoalbuminemia

Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura

dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan

bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan adalah dengan memberikan

diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi pengobatan yang terbaik adalah

dengan memberikan infus albumin.

3.   Hidrothoraks hepatik

Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui lubang

kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi biasanya di sisi

kanan dan biasanya cukup besar untuk menimbulkan dyspneu berat. Apabila

penatalaksanaan medis tidak dapat mengontrol asites dan efusi, tidak ada

alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan yang dapat dilakukan adalah

pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous shunt, torakotomi)

dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau torakotomi pipa

dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.

4.   Meig’s Syndrom

Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita

dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan

sindrom serupa : tumor ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor

ovarium ganas yang berderajat rendah tanpa adanya metastasis. Asites timbul

5

Page 6: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

karena sekresi cairan yang banyak oleh tumornya dimana efusi pleuranya

terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus di diafragma.

Klinisnya merupakan penyakit kronis.

5.   Dialisis Peritoneal

Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi

unilateral ataupun bilateral. Perpindahan cairan dialisa dari rongga peritoneal

ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal ini terbukti dengan

samanya komposisi antara cairan pleura dengan cairan dialisa.

Tabel 2. Penyebab Efusi Pleura Transudat-Eksudat

6

Page 7: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

c). Darah

Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb

pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah

hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini mungkin

karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh

permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka biasanya darah

tersebut berasal dari trauma dinding dada.

C. PATOFISIOLOGI

Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura

berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis yang

saling bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu terjadi

filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis dan

diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura parietalis dengan kecepatan yang

seimbang dengan kecepatan pembentukannya.

Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya kecepatan

proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan cairan secara

patologik di dalam rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan dengan

terjadinya efusi pleura yaitu;

1). Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi

kapiler

2). Penurunan tekanan kavum pleura

3). Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga

pleura.

7

Page 8: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

Gambar 1. Patofisiologi efusi pleura

Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh

peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah,

sehingga empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar

pleura dapat menyebabkan hemothoraks. Proses terjadinya pneumothoraks karena

pecahnya alveoli dekat parietalis sehingga udara akan masuk ke dalam rongga

pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada daerah

tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru.

Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan

primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis

peritoneum. Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan. Perikarditis konstriktiva,

keganasan, atelektasis paru dan pneumothoraks.

8

Page 9: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan

permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial

berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam

rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena

mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa

tuberkulosa .Penting untuk menggolongkan efusi pleura sebagai transudatif atau

eksudatif.

D. MANIFESTASI KLINIS

a. Gejala dan Tanda.

Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika

paru terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, berupa rasa

penuh dalam dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang

banyak, berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-

gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada

pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi),

banyak keringat, batuk, banyak riak. Berat badan menurun pada

neoplasma, ascites pada sirosis hepatis. Deviasi trachea menjauhi tempat

yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang

signifikan

b. Pemeriksaan Fisik.

Inspeksi. Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih

cembung

Palpasi. Gerakan dada yang tertinggal dan penurunan fremitus vocal

atau taktil pada sisi yang sakit

Perkusi. Pekak pada perkusi

Auskultasi. Penurunan bunyi napas

Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi

atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas

bronkus. Nyeri dada pada pleuritis : Simptom yang dominan adalah sakit

yang tiba-tiba seperti ditikam dan diperberat oleh bernafas dalam atau batuk.

9

Page 10: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

Pleura visceralis tidak sensitif, nyeri dihasilkan dari pleura parietalis yang

inflamasi dan mendapat persarafan dari nervus intercostal. Nyeri biasanya

dirasakan pada tempat-tempat terjadinya pleuritis, tapi bisa menjalar ke

daerah lain :

1.   Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh G.

Nervuis intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada dan

abdomen.

2.   Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus phrenicus

menyebabkan nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.

Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan,

karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak

dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati

daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis

melengkung (garis Ellis Damoiseu).

Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani

dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah

pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi

daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki. Pada permulaan dan

akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.

c. Pemeriksaan Penunjang

1. Foto thoraks

Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang terdapat

dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan

permukaan daerah lateral lebih tinggi dari pada bagian medial, tampak

sudut kostrofrenikus menumpul. Pada pemeriksaan foto dada posisi lateral

dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi.

2. Torakosentesis.

Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik maupun

terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk. Aspirasi

dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan

jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya

10

Page 11: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi. Untuk diagnosis cairan

pleura dilakukan pemeriksaan:

a. Warna cairan. Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (serous-

santrokom).Bila agak kemerahan-merahan, dapat terjadi trauma, infark

paru, keganasan dan adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kunig

kehijauan dan agak purulen, ini menunjukkan empiema. Bila merah coklat

menunjukkan abses karena amuba.

b. Biokimia. Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat. Perbedaannya

dapat dilihat pada tabel :

Tabel 3. Perbedaan Biokimia Efusi Pleura

3. Sitologi.

Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel

patologis atau dominasi sel-sel tertentu.

Sel neutrofil: pada infeksi akut

Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau

limfoma maligna).

Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru

Sel mesotel maligna: pada mesotelioma

Sel giant: pada arthritis rheumatoid

Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik

Sel maligna: pada paru/metastase.

4. Bakteriologi.

Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung

mikroorganisme berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering

Pneumokokus, E.coli, klebsiela, pseudomonas, enterobacter.

11

Page 12: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

5. Biopsi Pleura.

Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan

tumor pleura. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks,

penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.

E. DIAGNOSA

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan fisik

yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi dan

analisa cairan pleura.

F. PENATALAKSANAAN

1. Terapi penyakit dasarnya (Antibiotika).

2. Terapi Paliatif (Efusi pleura haemorhagic).

3. Torakosentesis.

Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis,

aspirasi juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis dapat

dilakukan sebagai berikut:

a. Penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau

diletakkan diatas bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat

dilakukan pada penderita dalam posisi tidur terlentang.

b. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di

daerah sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di

bawah batas suara sonor dan redup.

c. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan

jarum berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya

disebabkan karena penusukan jarum terlampaui rendah sehingga mengenai

diafragma atau terlalu dalam sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum

tidak mencapai rongga pleura oleh karena jaringan subkutis atau pleura

parietalis tebal.

12

Page 13: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

Gambar 2. Metode torakosentesis

d. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada

setiap aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang dari pada

satu kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock

(hipotensi) atau edema paru akut. Edema paru dapat terjadi karena paru-

paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme sebenarnya belum diketahui

betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan intra pleura yang tinggi

dapat menyebabkan peningkatan aliran darah melalui permeabilitas kapiler

yang abnormal. Selain itu pengambilan cairan dalam jumlah besar secara

mendadak menimbulkan reflex vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi

yang berat, dan hipotensi.. Komplikasi torakosintesis adalah:

pneumotoraks, hemotoraks, emboli udara, dan laserasi pleura viseralis.

4. Pemasangan WSD.

Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks

dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara

lambat dan aman. Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut:

a. Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9

linea aksilaris media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea

medioklavikuralis.

b. Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal

selebar kurang lebih 2 cm sampai subkutis.

13

Page 14: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

c. dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.

d. Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai

mendapatkan pleura parietalis.

e. Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian

trokar ditarik. Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi

selang toraks.

f. Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat

dengan kasa dan plester.

g. Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung

selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung

selang diletakkan dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar

udara dari luar tidak dapat masuk ke dalam rongga pleura.

Gambar 3. Pemasangan jarum WSD

h. WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada

selang, kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang.

Untuk memastikan dilakukan foto toraks.

i. Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan

paru telah mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.

14

Page 15: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

5. Pleurodesis.

Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, merupakan

penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang digunakan adalah

sitostatika seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil, adramisin,

dan doksorubisin. Setelah cairan efusi dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya,

obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg) diberikan selang waktu 7-10 hari;

pemberian obat tidak perlu pemasangan WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil, akan

terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga pleura, sehingga mencegah

penimbunan kembali cairan dalam rongga tersebut.

Obat lain adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini WSD harus dipasang

dan paru dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan dalam 3050

ml larutan garam faal, kemudian dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui

selang toraks, ditambah dengan larutan garam faal 1030 ml larutan garam faal

untuk membilas selang, serta 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi rasa nyeri

yang ditimbulkan obat ini. Analgetik narkotik diberikan 11,5 jam sebelum

pemberian tetrasiklin juga berguna mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang toraks

diklem selama 6 jam dan posisi penderita diubah-ubah agar penyebaran tetrasiklin

merata di seluruh bagian rongga pleura. Apabila dalam waktu 24 jam -48 jam

cairan tidak keluar, selang toraks dapat dicabut. Komplikasi tindakan pleurodesis

adalah sedikit sekali dan biasanya berupa nyeri pleuritik atau demam.

15

Page 16: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

TINJAUAN PUSTAKA

ASITES

I. Definisi

Asites adalah keadaan patologis berupa terkumpulnya cairan dalam rongga

peritoneal abdomen. Asites biasanya merupakan tanda dari proses penyakit

kronis yang mungkin sebelumnya bersifat subklinis.

II. Pengelompokan

Berdasarkan jumlahnya ada tingkatan:

Grade 1: Sedang, hanya tampak pada pemeriksaan USG

Grade 2: dapat terdeteksi dengan pemeriksaan puddle sign dan shifting

dullness

Grade 3: tampak dari pemeriksaan inspeksi, dapat dikonfirmasi dengan tes

undulasi

Secara klinis dikelompokkan menjadi eksudat dan transudat:

Asites eksudatif:

Biasanya terjadi pada proses peradangan (biasanya infektif, misalnya

pada tuberculosis) dan proses keganasan. Eksudat merupakan cairan tinggi

protein, tinggi LDH, ph rendah (<7,3), rendah kadar gula, disertai

peningkatan sel darah putih.

Beberapa penyebab dari asites eksudatif: keganasan (primer maupun

metastasis), infeksi (tuberkulosis maupun peritonitis bakterial spontan),

pankretitis, serositis, dan sindroma nefrotik.

Asites transudatif:

Terjadi pada sirosis akibat hipertensi portal dan perubahan bersihan

(clearance) natrium ginjal, juga bisa terdapat pada konstriksi perikardium

dan sindroma nefrotik. Transudat merupakan cairan dengan kadar protein

rendah (<30g/L), rendah LDH, pH tinggi, kadar gula normal, dan sel darah

putih kurang dari 1 sel per 1000 mm³.

16

Page 17: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

Beberapa penyebab dari asites transudatif: sirosis hepatis, gagal

jantung, penyakit vena oklusif, perikarditis konstruktiva, dan kwasiokor.

III. Patofisiologi

Ada 3 kondisi yang memungkinkan terjadinya asites, yaitu:

Hipoalbumin

Retensi natrium dan air

ada tiga teori yang menyebabkan, yaitu underfill, overflow, dan vasodilatasi

perifer

Sintesis dan aliran limfe yang meningkat

IV. Gambaran Klinis

Pada asites derajat sedang sulit untuk dideteksi, tapi pada derajat yang

lebih berat bisa menimbulkan distensi abdomen. Pasien dengan asites biasanya

akan mengeluh perutnya yang bertambah berat dan tekanan yang meningkat,

yang berakibat terjadinya napas pendek (shortness of breath) karena

keterbatasan gerak dari diafragma.

Dari pemeriksaan fisik, ada tiga pemeriksaan yang dapat dilakukan

berdasar jumlah cairan asites. Pada asites yang minimal dapat dilakukan

pemeriksaan puddle sign, untuk derajat yang lebih berat dapat dilakukan

pemeriksaan shifting dullness dan tes undulasi (pada asites yang berjumlah 1,5

sampai 2 liter).

V. Pemeriksaan Penunjang

Analisa cairan asites

Untuk memeriksa warna, kadar protein, hitung sel bakteri, dan

keganasan. Asites biasanya berwarna kekuningan pada sirosis, kemerahan

pada keganasan, dan keruh pada infeksi. Hitung leukosit adalah >250

PMN/mL pada peritonitis bakterialis. Pemeriksaan sitologi bisa

menegakkan diagnosis keganasan. Pada pankreatitis juga bisa terjadi asites,

jadi amilase harus diukur.

17

Page 18: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

USG abdomen

Digunakan untuk mengukur ukuran hati (kecil pada sirosis), tanda-

tanda hipertensi portal (splenomegali), dan lebamya vena portal dan vena

hepatika (untuk menyingkirkan dugaan trombosis vena hepatika dan

sindrom Budd-Chiari). Juga bermanfaat untuk menemukan kelainan fokal

(mengarahkan dugaan ke keganasan diseminata) dan untuk diagnosis tumor

intraabdomen (misalnya tumor ovarium).

Tes darah

Tes biokimia dan tes fungsi hati untuk mencari penanda sirosis hepatis

(kadar albumin rendah, hiperbilirubinemia, kenaikan enzim hati,

trombositopenia, dan lain-lain). Pemeriksaan penanda tumor jika ada

dugaan keganasan (terutama α-fetoprotein untuk hepatoma, CA 125 untuk

kanker ovarium)

VI. Tatalaksana

Asites eksudatif: obati penyakit yang mendasari

Peritonitis bakterialis: diberikan antibiotik. Pada asites dengan

kadar protein rendah bisa diberikan antibiotik

profilaksis.

Pada keganasan: obati keganasan yang menjadi penyebab (paling

sering kanker ovarium). Umumnya harus dilakukan

parasentesis terapeutik untuk mengurangi gejala. Pintasan

peritovena dengan pembedahan (shunt LeVeen) jarang

dilakukan.

Asites transudatif

Diberikan pengobatan untuk penyakit dasar, dan dapat dipertimbangkan

untuk melakukan:

- restriksi cairan dan garam,biasanya cukup dengan restriksi cairan sampai

l-I,5/hari dan diet tanpa tambahan garam

- pemberian diuretik, umumnya digunakan spironolakton dengan atau

tanpa furosemid

18

Page 19: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

- parasentesis terapeutik untuk asites refrakter (yaitu asites yang tidak

merespons terhadap terapi diuretik atau mengalami efek samping yang

tak bisa dihindari, hiponatremia, ensefalopati, dan lain-lain). Indikasi

parasentesis: asites permagna, ada edema tungkai, derajat Child B (pada

sirosis hepatis), protombin >40%, bilirubin serum <10, trombosit

>40.000, serum kreatinin <3.

VII. Komplikasi

Peritonitis bakterial spontan:

Adalah suatu bentuk peritonitis yang timbul pada pasien dengan sirosis

dan pada anak-anak dengan sindroma nefrotik. Sering terjadi pada 10-30%

penderita asites yang dirawat di rumah sakit. Gejala yang dikeluhkan pasien

meliputi demam, menggigil, mual, muntah, kaku pada dinding perut, dan

lemah badan. Pada pemeriksaan fisik bisa didapat nyeri tekan dan nyeri tekan

lepas, redup hepar yang menghilang, dan penurunan status mental. Gejala

lanjutan dapat berupa nyeri perut dan asites yang membesar. Seluruh

penderita peritonitis bakterial spontan harus menjalani parasentesis untuk

menegakkan diagnosisnya. Secara epidemiologi, 70% dari analisis cairan

asites penderita peritonitis bakterial spontan merupakan gram negatif,

sedangkan 30% merupakan golongan kokus gram positif. Dari analisis cairan

asites, dikatakan terjadi peritonitis bakterial spontan apabila jumlah PMN

>250 mm2. Tatalaksana pada peritonitis bakterial spontan yang

monomikrobial dapat diberikan cefalosforin generasi III, dan apabila

polimikrobial dapat diberikan cefalosforin generasi III yang dikombinasi

dengan metronidazol.

19

Page 20: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

TINJAUAN PUSTAKA

SIROSIS HEPATIS

DEFINISI

Sirosis hepatis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan

stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan

distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini

terjadi akibat nekrosis hepatoseluler. Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai

deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskuler, dan regenerasi nodularis

parenkim hati.

ETIOLOGI

1. Virus hepatitis (B,C,dan D)

2. Alkohol

3. Kelainan metabolik

4. Kolestasis

5. Sumbatan saluran vena hepatica

6. Payah jantung

7. Toksin dan obat-obatan (misalnya : metotetrexat, amiodaron,INH, dan lain-

lain)

8. Kryptogenik/tidak diketahui

PATOFISIOLOGI

Hati dapat terlukai oleh berbagai macam sebab, kejadian tersebut dapat

terjadi dalam waktu yang singkat atau dalam keadaan yang kronis atau perlukaan

hati yang terus menerus yang terjadi pada peminum alkohol aktif. Hati kemudian

merespon kerusakan sel tersebut dengan membentuk ekstraselular matriks yang

mengandung kolagen, glikoprotein, dan proteoglikans. Sel stellata berperan dalam

membentuk ekstraselular matriks ini. Pada cedera yang akut sel stellata

membentuk kembali ekstraselular matriks ini sehingga ditemukan pembengkakan

pada hati. Namun, ada beberapa parakrine faktor yang menyebabkan sel stellata

20

Page 21: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

menjadi sel penghasil kolagen. Faktor parakrine ini mungkin dilepaskan oleh

hepatocytes, sel Kupffer, dan endotel sinusoid sebagai respon terhadap cedera

berkepanjangan. Sebagai contoh peningkatan kadar sitokin transforming growth

facto beta 1 (TGF-beta1) ditemukan pada pasien dengan Hepatitis C kronis dan

pasien sirosis. TGF-beta1 kemudian mengaktivasi sel stellata untuk memproduksi

kolagen tipe 1 dan pada akhirnya ukuran hati menyusut.

Peningkatan deposisi kolagen pada perisinusoidal dan berkurangnya

ukuran dari fenestra endotel hepatic menyebabkan kapilerisasi (ukuran pori seperti

endotel kapiler) dari sinusoid. Sel stellata dalam memproduksi kolagen

mengalami kontraksi yang cukup besar untuk menekan daerah perisinusoidal

Adanya kapilarisasi dan kontraktilitas sel stellata inilah yang menyebabkan

penekanan pada banyak vena di hati sehingga mengganggu proses aliran darah ke

sel hati dan pada akhirnya sel hati mati, kematian hepatocytes dalam jumlah yang

besar akan menyebabkan banyaknya fungsi hati yang rusak sehingga

menyebabkan banyak gejala klinis. Kompresi dari vena pada hati akan dapat

menyebabkan hipertensi portal yang merupakan keadaan utama penyebab

terjadinya manifestasi klinis.

MANIFESTASI KLINIS

Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada

waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan

penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah

dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung , mual, berat badan

menurun, pada laki-laki timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar,

hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-

gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan

hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam

tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah,

perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih

berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena.

21

Page 22: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

Temuan klinis

Spider angioma-spiderangiomata: lesi vascular yang dikelilingi beberapa vena-

vena kecil. Tanda ini seringditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Tanda ini

juga bisa ditemukan selama hamil, malnutrisi berat bahkan ditemukan pula pada

orang sehat, walau umumnya ukurannya kecil.

Eritema Palmaris: warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan.

Berkaitan dengan perubahan metabolisme hormone estrogen. Tanda ini tidak

spesifik pada sirosis.

Ginekomastia  secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan glandula

mammae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstedion.

Atrofi testis hipogonadisme  menyebabkan impotensi dan infertile. Menonjol

pada sirosis dan hemokromatosis.

Hepatomegali pada awal sirosis, bila hepar sudah mengkerut maka prognosisnya

buruk.

Splenomegali , Asites, serta Ikterus

Pemeriksaan penunjang

1. Laboratorium darah (DL, SGOT, SGPT, bilirubin direk, indirek,

seromarker : hepatitis/HBsAg), Rasio globulin dan albumin yang terbalik.

2. USG abdomen dapat menilai hepar, asites, splenomegali, thrombosis vena

porta, pelebaran vena porta, dan skrining karsinoma hati pada pasien

sirosis. Biopsi hati, analisis cairan asites

KOMPLIKASI

Hipertensi portal, hematemesis melena, sindroma hepatorenal, gangguan

hemostasis, ensefalopati hepatikum.

22

Page 23: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

TERAPI

Non Farmakologis

1). Bed rest

2). Diet rendah protein (1 g/kg/hari)

3). Tinggi kalori (2000 kalori)

4). Diet rendah garam (200-500 mg/hari)

5). Pembatasan aktivitas

6). Memperbaiki keadaan gizi, bila perlu dengan pemberian asam amino esensial

berantai cabang dan glukosa.

Farmakologis (mengatasi penyulit/komplikasi):

Asites : obat-obat diuretik (spironolakton, furosemid)

Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran

asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian

albumin.

Ensefalopati hepatik : laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan amonia.

Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus

penghasil amonia.

Varises esofagus : sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan

obat penyekat beta propanolol.

PEMANTAUAN

Penilaian kesadaran, pernafasan, suhu badan, derajat ikterus, besar liver,

lien

Gejala perdarahan terutama dari saluran cerna.

Laboratorium

PROGNOSIS

Dubia ad malam

23

Page 24: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

BAB IIIPEMBAHASAN PENYAKIT

3.1 Definisi

Gagal Jantung Kongestif (CHF) adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan

gejala), ditandai oleh sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang

disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.

3.2 Etiologi

3.3 Kriteria

24

Page 25: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan jasmani, EKG/foto

thorax, ekokardiografi-Doppler dan kateterisasi.

Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung

kongestif

Major atau Minor

Penurunan BB ≥4,5 kg dalam 5 hari pengobatan

Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria

minor

3.4 Klasifikasi

1. Klasifikasi Gagal jantung sistolik dan diastolic

a. gagal jantung sistolik

gagal jantung sistolik terjadi akibat terganggunya kemampuan jantung untuk

mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Hal ini disebabkan oleh adanya

penekanan kontraktilitas darah keseluruh miokard. Gagal jantung sistolik

akut terlihat pada miokarditis akibat virus, keracunan alcohol, dan anemia,

sedangkan gagal jantung sistolik kronis dapat terjadi setelah kardiomiopati

atau infark miokard.

b. gagal jantung diastolik

25

Page 26: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

gagal jantung diastolic terjadi akibat dari pengisian jantung yang terganggu.

Hal ini biasa tampak pada wanita lanjut usia. Empat mekanisme patologi

yang dihasilkan pada gagal jantung jenis ii telah diketahui.

- Penyakit struktural

Kerusakan katup jantung

Abnormalitas anatomi seperti hipertropi konsentrik

Efusi pericardial

- Abnormal fisiologis

Peningkatan volume sistolik akhir

Pengurangan waktu pengisisan sebagaimana tampak pada takikardia

- Abnormalitas non-miosit

Peningkatan jaringan ikat

Perikarditis kontriktif

- Abnormalitas miosit

1. Klasifikasi gagal jantung kongestif berdasarkan New York Association (NYHA) :

26

Page 27: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

2. Klasifikasi gagal jantung kongestif berdasarkan American Heart AAssociation (AHA)

3.5 Gejala Klinik

Pada tahap simtomatik di mana sindrom gagal jantung sudah terlihat jelas

seperti cepat capek (fatik), sesak nafas (dyspnea in effort, orthopnea),

kardiomegali, peningkatan tekanan vena jugularis, asites, hepatomegali dan edema

27

Page 28: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

sudah jelas maka diagnosis gagal jantung mudah dibuat. Tetapi bila sindrom

tersebut belum terlihat jelas seperti pada tahap disfungsi ventrikel kiri/LV

dysfunction (tahap asimtomatik), maka keluhan fatik dan keluhan di atas yang

hilang timbul tidak khas, sehingga harus ditopang oleh pemeriksaan foto rontgen,

ekokardiografi dan pemeriksaan Brain Natriuretic Peptide.

3.6 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Dongoes (2000) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan

untuk menegakkan diagnosa CHF yaitu:

1. Elektro kardiogram (EKG)

Hipertropi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia, disritmia,

takikardi, fibrilasi atrial.

2. Scan jantung

Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan dinding .

3. Sonogram (ekocardiogram, ekokardiogram

dopple)

Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam

fungsi/struktur katup, atau area penurunan kontraktili tas ventrikular.

4. Kateterisasi jantung

Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal

jantung kanan dan gagal jantung kiri dan stenosis katup atau insufisiensi.

5. Rongent dada

Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi

atau hipertropi bilik, atau perubahan dalam pembuluh darah abnormal.

6. enzim hepar

Meningkat dalam gagal / kongesti hepar.

7. Elektrolit

Mungkin berubah karena perpindahan cairan / penurunan fungsi ginjal,

terapi diuretik.

28

Page 29: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

8. Oksimetri nadi

Saturasi Oksigen mungkin rendah terutama jika gagal jantung kongestif

akut menjadi kronis.

9. Analisa gas darah (AGD)

Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkaliosis respiratori ringan (dini) atau

hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir).

10. Blood ureum nitrogen (BUN) dan kreatinin

Peningkatan BUN menunjukkan penurunan fungsi ginjal. Kenaikan baik

BUN dan kreatinin merupakan indikasi gagal ginjal.

11. Pemeriksaan tiroid

Peningkatan aktifitas tiroid menunjukkan hiperaktifitas tiroid sebagai pre

pencetus gagal jantung kongestif.

3.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan umum, tanpa obat – obatan :

• Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab dan bagaimana mengenal serta

upaya bila timbul keluhan, dasar pengobatan

• Istirahat, olahraga, aktivitas sehari – hari, edukasi aktivitas seksual, serta

rehabilitasi

• Edukasi pola diet, kontrol asupan garam, air dan kebiasaan alkohol

• Monitor BB, hati – hati dengan kenaikan berat badan yang tiba – tiba

• < BB pada pasien dengan obesitas

• Hentikan kebiasaan merokok

• Pada perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas dan

humiditas memerlukan perhatian khusus

• Konseling mengenai obat, baik efek samping, dan menghindari obat –

obatan tertentu seperti NSAID, antiaritmia klas I, verapamil, diltiazem,

dihidropiridin efek cepat, antidepresan trisiklik, steroid.

Pemakaian Obat - obatan

29

Page 30: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

Diuretic oral maupun parenteral tetap merupakan ujung tombak

pengobatan gagal jantung sampai dengan edema atau asites hilang (tercapai

euvolemik). ACE-inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dosis kecil

dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat beta dosis kecil

sampai optimal dapat dimulai setelah diuretic dan ACE-inhibitor tersebut

diberikan.

Digitalis diberikan bila ada aritmia-supraventrikuler (fibrilasi atrium atau

SVT lainnya) atau ketiga obat di atas belum memberikan hasil yang memuaskan.

Intoksikasi digitalis sangat mudah terjadi bila fungsi ginjal

menurun(ureum/kreatinin meningkat) atau kadar kalium rendah (kurang dari 3,5

m3q/L)

Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada

pasien dengan hipokalemia dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan

angka mortalitas dengan pemberian jenis obat ini.

Pemakaian obat – obatan dengan efek diuretic-vasodilatasi seperti Brain

Natriuretic Peptide (Nesiritide) masih dalam penelitian. Pemakaian alat bantu

seperti Cardiac Resynchronization Therapy (CRT) maupun pembedahan,

pemasangan ICD sebagai alat mencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat

iskemia maupun non-iskemia dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas

hidup, namun mahal. Transplantasi sel dan stimulasi regenerasi miokard masih

terkendala dengan masih minimalnya jumlah miokard yang dapat ditumbuhkan

dengan mengganti miokard yang rusak dan masih penelitian lanjut.

30

Page 31: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

DAFTAR PUSTAKA

1. Jeremy, et al. Efusi Pleura. At a Glance Medicine Edisi kedua. EMS.

Jakarta : 2008.

2. Jeremy, et al. Penyakit Pleura. At a Glance Sistem respirasi Edisi kedua.

EMS. Jakarta : 2008.

3. Halim, Hadi. Penyakit Penyakit Pleura. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

Jilid II. 2007. Balai Penerbit FK UI Jakarta.

4. Prasenohadi. The Pleura. Universitas Indonesia. 2009

5. Maryani. 2008. Efusi Pleura. Diakses dari

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/pleura.pdf pada tanggal 03

Mei 2011

6. Ewingsa. 2009. Efusi Pleura. Diakses dari

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/efusipleura.pdf pada tanggal

03 Mei 2011

7. Nurdjanah S. Sirosis hati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. 2007.

Balai Penerbit FK UI Jakarta.

8. Mansjoer, Arif, Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media

Aesculapis. Jakarta.

9. Guyton & Hall. 1999. buku Ajar Fisiologi Kedokteran disi 9. EGC.

Jakarta.

31

Page 32: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

10. Abdurachman N. 1987. Gagal Jantung dalam : Ilmu Penyakit Dalam.

Balai penerbit FKUI. Jakarta. Hal 193 – 204

11. Fauci, Braunwald, Kasper, et al. Harrison's Principles of Internal

Medicine 17th edition. The McGraw-Hill Companies, Inc : New York.

2008

12. Hanoko S. 2010. Gagal Jantung.

http://annsilva.wordpress.com/2010/03/27/gagal-jantung/

32

Page 33: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

Summary on database Clue and Cue Problem list Initial diagnosis Planing diagnosis Planning Therapy Planning

Monitoring

Planning

Edukasi

Anamnesa

Laki-laki usia 56 tahun

Sesak nafas ± 7 hari

Batuk berdahak/darah

± 7 hari

Dada kanan terasa sakit

Riwayat bengkak pada

kaki

Riwayat penyakit

jantung dan paru ± 5 th

yang lalu.

Sering minum jamu

Merokok

Pemeriksaan fisik

Thorak

Papilla mammae

hitam (+)

Pulmo

Inspeksi : dada kanan

Laki-laki usia 56

tahun

Sesak nafas ± 7 hari

Batuk

berdahak/darah ± 7

hari

Dada kanan terasa

sakit

Pem fisik Thorak

Pulmo

Inspeksi : dada

kanan tertinggal,

Palpasi : gerakan

dada kanan

tertinggal.

Stemfremitus kanan

menurun

Perkusi : dada kanan

pekak

Efusi

Pleura

1) Congestive

Hearth

Failure

2) Sirosis

Hepatis

USG Abdomen

Ro Thorak

EKG

Torakosintesis

Laboratorium

cairan Efusi

DL, Kimia

darah

Oksigen 4

lit/mnt

Infus RL 10

tts/mnt

Torakosintesis

Oxtercid

3x750 mg

TTV

Keluhan sesak

Ro Thorak

Tirah baring

Diet rendah garam

Posisi semi fowler

Berhenti merokok

Olahraga ringan bilaa kondisi klinis sudah membaik

33

Page 34: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

tertinggal

Palpasi : gerakan dada

kanan tertinggal

Stemfremitus kanan

menurun

Perkusi : dada kanan

pekak

Auskultasi : Suara nafas

kanan turun, suara nafas

tambahan (-)

Cor

Inspeksi : ictus cordis

terlihat

Palpasi : ictus cordis

teraba, trill (+)

Perkusi : batas jantung

kiri bergeser

Aukultasi : bising

sitolik (+)

Abdomen

Inspeksi : Perut

Auskultasi : Suara

nafas kanan turun,

suara nafas

tambahan (-)

Pemeriksaan

penunjang :

Ro Thorak : efusi

plura

Torakosintesis :

cairan pleura (+)

Lab cairan efusi :

Kejernihan : jernih

Warna : Kuning

Bekuan : -

BJ : 1005

PMN : 30 %

MN 70 %

Kimia

Protein 2,32 g/dl

Glukosa 122 mg/dl

34

Page 35: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

membuncit, pelebaran

vena (caput medusa)

(+), umbilicus terdorong

kearah kaudal, Hernia

umbilicis

Auskultasi : bising usus

(+)

Palpasi : Undulasi (+)

Perkusi : Shifting

dullness (+)

Ekstremitas (-)

Ekstremitas bengkak (-)

Pemeriksaan Penunjang

Ro Thorak :

Kardiomegali dengan

efusi pleura

Efusi pleura dextra

USG Abdomen

Congestive liver

Asites dan efusi pleura

d/s

LDH 136 U/L

Tes Rivalta : Negatif

Perut terasa ampek

Pem fisik Abdomen

Inspeksi : perut

membuncit,

pelebaran vena

(caput medusa) (+)

Auskultasi : bruit

(+)

Palpasi : Undulasi

(+)

Perkusi : Shifting

dullness (+)

USG

Abdomen : Asites

(+), congestive liver

(+)

Asites

1. Sirosis

Hepatis

2. Congestive

Hearth Failure

USG Abdomen

EKG

Parasintesis

Laboratorium

cairan asites

DL, Kimia

darah

Inj Furosemid 20

mg 1-0-0

Fagoksin tab

0.25mg 1x1

HCT 50 mg 1x1

Aspar-K tab 300

mg 3x1

Parasintesis

TTV

Keluhan sesak

Ro Thorak

Tirah baring

Diet rendah garam

35

Page 36: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

Laboratorium cairan

pleura :

Volume: 5 ml

Kejernihan : jernih

Warna : Kuning

Bekuan : -

BJ : 1005

pH : 7,0

Hitung eritrosit : 0

sel/cm

Hitung leukosit : 64

sel/cm

PMN : 30 %

MN 70 %

Kimia

Protein 2,32 g/dl

Glukosa 122 mg/dl

LDH 136 U/L

Tes Rivalta : Negatif

Protein serum :

36

Page 37: Lapsus EFUSI PLEURA Ec Sirosis

Albumin 3,49

Darah lengkap

Hb 15,6

leukosit 6.470

LED 17

Trombosit 205.000

GDS 88

SGOT 27

SGPT 13

Ureum 64

Kreatinin 0,93

37