laporan1
DESCRIPTION
lap1TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lebih kurang 12 juta anak di dunia meninggal setiap tahun sebelum mencapai
umur 5 tahun, dan lebih dari 70% kematian tersebut disebabkan karena pneumonia, diare,
malaria, campak dan gizi buruk. Hal ini terjadi karena rendahnya kualitas pelayanan
kesehatan. Pelayanan kesehatan di Indonesia masih rendah dalam hal ketrampilan
pelayanan kesehatan, sistem kesehatan, dan praktek di keluarga dan komunitas. Perlu
integrasi dari ketiga faktor untuk meningkakan derajat kesehatan anak (Soenarto, 2009).
WHO dan UNICEF pada tahun 1994 bekerja sama membentuk suatu program yang
memadukan pelayanan terhadap balita sakit. Program tersebut diberi nama Integrated
Management of Childhood Illness (IMCI). Kemudian pada tahun 1997, Indonesia
mengadopsi IMCI ke dalam suatu program yang disebut Manajemen Terpadu balita Sakit
(MTBS) (WHO, 2009).
MTBS merupakan manajemen balita sakit untuk 2 kelompok sasaran yaitu usia 1
hari sampai 2 bulan dan kelompok usia 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI, 2008). MTBS
mengutamakan pendekatan secara terpadu tatalaksana balita sakit yang datang ke
pelayanan kesehatan. Pendekatan tersebut meliputi klasifikasi penyakit, status imunisasi,
status gizi, penanganan balita sakit, dan pemberian konseling (Wijaya, 2009).
Dalam penerapan MTBS, pelayanan kesehatan balita dilaksanakan mulai dari
tahapan preventif, promotif hingga kuratif dan rehabilitatif. Tenaga kesehatan diajarkan
untuk memperhatikan secara cepat semua gejala anak sakit, sehingga ia dapat menentukan
apakah anak sakit berat dan perlu dirujuk. Jika penyakitnya tidak parah, selanjutnya tenaga
kesehatan bisa memberikan pengobatan sesuai pedoman MTBS (Depkes RI, 2004).
Pedoman MTBS berisi penanganan terhadap penyakit pneumonia, diare, demam, masalah
telinga, malaria, DBD, anemia, batuk dan keluhan susah bernapas (Depkes RI, 2008).
Program MTBS di Puskesmas Ampel 1 Boyolali sendiri sudah dilaksanakan oleh
petugas kesehatan yang terdiri dari dokter, bidan, perawat serta petugas kesehatan lainnya.
Pada tahun 2012, jumlah sasaran MTBS di Puskesmas Ampel 1 Boyolali sebanyak 44.773
anak.Sedangkan untuk cakupan MTBSnya terdiri dari jumlah kunjungan sebanyak 506
anak dan jumlah balita sakit sebanyak 224 anak yang mencakup 13 desa di kawasan
Puskesmas Ampel 1 Boyolali.
1
Penerapan MTBS di Puskesmas Ampel 1 Boyolali dilaksanakan di poli KIA dan
posyandu balita di tiap-tiap desa. Apabila penyakit yang diderita balita masuk dalam
klasifikasi hijau pada bagan MTBS, maka yang diperlukan hanyalah perawatan di rumah,
sedangkan klasifikasi kuning menandakan perlunya pengobatan spesifik di pelayanan
kesehatan. Sementara klasifikasi merah menandakan penanganan segera atau perlu dirujuk.
Dalam penerapan MTBS diperlukan ketrampilan petugas kesehatan dan sikap
orang tua balita yang kooperatif untuk keberhasilan pelaksanaan MTBS. Untuk itu
mahasiswa kedokteran sebagai calon pelaksana program kesehatan pemerintah, perlu
memahami pelaksanaan MTBS secara lansung melalui kegiatan Field Lab.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari pelaksanaan Field Lab antara lain:
1. Mampu melaksanakan penilaian balita sakit dengan menggunakan pedoman
MTBS.
2. Mampu menentukan klasifiaksi masalah balita sakit dengan menggunakan
pedoman MTBS.
3. Mampu menilai status gizi balita (klinis dan antropometris) menurut aturan
WHO (2005) dan memeriksa adanya penyakit penyerta.
4. Mampu melakukan dan menyarankan tindakan berdasarkan klasifikasi balita
sakt pada pedoman MTBS (Moelyo, 2013).
2
BAB II
KEGIATAN YANG DILAKUKAN
A. Kegiatan hari pertama (Rabu, 13 Maret 2013)
Kelompok A8 tiba di Puskesmas Ampel 1 Boyolali sekitar pukul 07.30
WIB. Sebelum melakukan kegiatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di
Posyandu daerah Ampel 1, kami melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan dr.
Nur Indah Ekowati selaku Kepala Puskesmas Ampel 1 dan Bu Dwi selaku
instruktur kegiatan filed lab MTBS ini. Sehingga diperoleh keputusan, bahwa kami
akan mengunjungi 2 Posyandu yaitu Posyandu Mawar 1 dan Mawar 2 yang
keduanya berlokasi di Desa Seboto. Adapun alat dan bahan yang kami persiapkan
untuk menunjang pelaksanaan kegiatan MTBS ini antara lain metline, timbangan
berat badan, timer/jam tangan stetoskop, termometer, bagan MTBS, dan leaflet
tentang MTBS.
Posyandu yang pertama kami kunjungi adalah Posyandu Mawar 1. Kami
langsung menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan agar pelaksanaan MTBS ini
dapat berjalan lancar. Kami yang terdiri dari 9 orang, terbagi dalam beberapa
kelompok kecil untuk pelaksanaan MTBS ini, yaitu di pos pengukuran panjang
badan, pos pengukuran berat badan, pos penilaian, klasifikasi, pengobatan/tindakan
dan konseling sesuai bagan MTBS, dan pos penyuluhan. Kami pun tidak lupa
untuk mendokumentasikan kegiatan tersebut. Di Posyandu Mawar 1, kami
mendapatkan 2 kasus balita sakit, yaitu batuk pilek dan demam.
Posyandu kedua yang kami kunjungi adalah Posyandu Mawar 2. Pada
Posyandu ini, kami hanya melakukan penyuluhan tentang MTBS karena
keterbatasan waktu yang ada.
Pada pelaksanaan kegiatan, kendala yang kami temukan adalah sulitnya
menenangkan bayi/anak yang menangis sehingga kondisi ruangan menjadi lebih
ramai. Untuk mengatasi hal ini, kami harus bertindak cepat dalam melakukan
pemeriksaan terhadap bayi/anak tersebut karena sebagian besar, bayi/anak
menangis saat dilakukan pengukuran panjang badan.
Kendala lainnya adalah karena kami harus cepat dalam melakukan
pengukuran panjang badan, sehingga dalam proses pengukurannya kurang valid.
Ada beberapa anak yang sandal/sepatunya tidak dilepas saat pengukuran panjang
badan dan ada juga beberapa anak yang posisinya kurang terfiksasi sehingga posisi
3
tubuhnya tidak lurus. Sehingga solusi untuk masalah ini adalah, lebih
mengkondusifkan keadaan dimana bayi/anak harus dalam keadaan tenang dan
nyaman saat pengukuran, misalnya diberikan mainan untuk mengalihkan
perhatiannya.
B. Kegiatan hari kedua (Rabu, 20 Maret 2013)
Kegiatan hari kedua yaitu berupa presentasi dan penyerahan laporan kepada
Puskesmas Ampel 1, Boyolali.
4
BAB III
PEMBAHASAN
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) adalah suatu manajemen melalui
pendekatan terintegrasi/terpadu dalam tatalaksana balita sakit yang datang di
pelayanan kesehatan. Menurut buku pedoman MTBS, tindakan yang dilakukan
meliputi anamnesis, mengklasifikasikan penyakit balita tersebut, untuk kemudian
menentukan tindakan yang sesuai untuk penyakit balita yang bersangkutan.
Penggunaan program MTBS mampu menghemat pembelian obat,
menurunkan tingkat kesalahan pemeriksaan dan berfungsi sebagai tempat
penggabungan sumber daya pelayanan kesehatan anak balita sakit di puskesmas,
hal ini menandakan MTBS merupakan pilihan terbaik dalam penanganan bayi sakit
(Moelyo et al., 2013). Namun pada praktiknya, program ini mempunyai kendala.
Pelaksanaan MTBS harus sesuai tabel yang ada pada buku panduan, serta mengisi
secara rinci form MTBS yang tersedia. Karena banyaknya pertanyaan, klasifikasi,
serta tindakan yang ada pada buku panduan MTBS, pelaksanaan MTBS secara
sempurna membutuhkan waktu yang sangat lama. Hal ini menjadi kendala
tersendiri bagi para petugas kesehatan di puskesmas maupun praktek swasta.
Karena kenyataannya, pasien balita begitu banyak, sehingga jika MTBS dilakukan
kepada setiap pasien, maka akan banyak balita sakit yang tidak sempat tertangani.
Padahal bisa saja balita yang belum tertangani tersebut juga membutuhkan
penanganan yang cepat.
Maka, meskipun program MTBS ini merupakan program yang baik, namun
perlu evaluasi lagi untuk pelaksanaannya agar dapat lebih efektif terutama dalam
hal bisa dilaksanakan dengan baik oleh tenanga medis dan tidak mengabaikan
balita sakit lain yang tidak sempat tertangani.
Pelaksanaan MTBS terdiri dari langkah penilaian dan klasifikasi anak sakit,
identifikasi tindakan/pengobatan, konseling bagi ibu, dan pelayanan tindak lanjut
(Depkes RI, 2008). Petugas kesehatan wajib melakukan setiap langkah sesuai
dengan algoritma pada bagan MTBS (Moelyo et al., 2013). Ketika anak sakit
datang ke ruang pemeriksaan, petugas kesehatan akan menyanyakan kepada orang
tua/wali identitas pasien, lalu memeriksa tanda bahaya umum:
5
Apakah anak bisa minum atau menyusu?
Apakah anak selalu memuntahkan semuanya?
Apakah anak menderita kejang?
Kemudian petugas memeriksa keadaan umum anak, dengan cara melihat
apakah anak tampak letargis atau tidak sadar. Jika ada seorang anak dengan tanda
bahaya umum maka ia memerlukan penanganan SEGERA, anak di klasifikasikan
ke dalam kotak merah dan segera beri tindakan pra-rujukan lalu dirujuk (Depkes
RI, 2008). Setelah itu petugas akan menanyakan keluhan utama berupa:
1. Apakah anak menderita batuk atau sukar bernapas
2. Apakah anak menderita diare
3. Apakah anak demam
4. Apakah anak mempunyai masalah telinga
5. Memeriksa status Gizi
6. Memeriksa anemia
7. Memeriksa imunisasi dan vitamin A
8. Menilai masalah/keluhan Lain
Dari setiap masalah atau keluhan, petugas kesehatan akan mengikuti alur
sesuai algoritma MTBS dengan arah horizontal, sebagai contoh:
Jika keluhan utama anak batuk atau sukar bernapas, maka petugas akan melihat dan
mendengar:
1. Apakah ada stridor
2. Apakah ada tarikan dinding dada ke dalam
3. Menghitung nafas selama 1 menit. Nafas cepat apabila lebih dari atau sama dengan
50 kali per menit untuk anak berumur 2 bulan sampai <12 bulan. Sedangkan untuk
anak berumur 12 bulan sampai 5 tahun lebih dari atau sama dengan 40 kali per
menit.
Lalu anak diklasifikasikan sesuai tabel:
6
Gejala Klasifikasi Tindakan/ Pengobatan
Ada tanda bahaya umum.
ATAU Tarikan dinding dada
ke dalam. ATAU Stridor.
PNEUMONIA BERAT Atau
PENYAKIT SANGAT
BERAT
Beri dosis pertama antibiotik
yang sesuai. RUJUK
SEGERA
Napas cepat. PNEUMONIA
Beri antibiotik yang sesuai.
· Beri pelega tenggorokan
dan pereda batuk yang aman.
· Jika batuk >3 minggu,
rujuk untuk pemeriksaan
lanjutan
· Nasihati kapan kembali
segera.
· Kunjungan ulang 2 hari.
Tidak ada tanda tanda
pneumonia atau penyakit
sangat berat.
BATUK :
BUKAN PNEUMONIA
Beri pelega tenggorokan &
pereda batuk yang aman.
· Jika batuk >3 minggu,
rujuk untuk pemeriksaan
lanjutan
· Nasihati kapan kembali
segera.
· Kunjungan ulang 5 hari
jika tidak ada perbaikan.
Tabel 1. Penilaian, Klasifikasi dan Tindakan/Pengobatan
Sumber : Buku Bagan MTBS, DEPKES RI, 2008
7
Setelah diklasifikasikan, petugas akan memberikan tindakan pengobatan
sesuai warna pada tabel MTBS. Untuk warna merah, diberikan tindakan pra-
rujukan antibiotik yang sesuai yaitu: kotrimoksazol sebagai pilihan pertama dan
amoksisilin sebagai pilihan kedua dengan dosis sesuai tabel pada algoritma MTBS
halaman 9, lalu kemudian di rujuk.
Untuk warna kuning, petugas akan memberikan antibiotik sama seperti
keadaan warna merah, dan memberikan pelega tenggorokan yang aman, yaitu: ASI
Eksklusif untuk bayi sampai umur 6 bulan, kecap manis atau madu dicampur
dengan air jeruk nipis. ( Madu tidak dianjurkan untuk anak umur < 1 tahun ) dan
menasihati untuk kembali pemeriksaan ulang setelah 2 hari.
Untuk warna hijau, tidak perlu diberikan antibiotik, cukup berikan pelega
tenggorokan dan pereda batuk yang aman, lalu kunjungan ulang 5 hari jika tidak
ada perbaikan.
Pada pelaksanaan Field Lab, kami menemukan dua kasus balita sakit, yaitu
Alya Nadifah dan Muhammad Fuqron. Kegiatan MTBS yang kami lakukan adalah
sebagai berikut:
1. Melakukan penilaian anak balita sakit berdasarkan keluhan dan pemeriksaan
sesuai bagan MTBS.
a. Anak bernama Alya Nadifah
Umur anak ini adalah 2,5 tahun, jenis kelamin perempuan, berat
badan 13 kg, panjang badan 87 cm. Keluhan batuk pilek sudah 3 hari,
suhu badan 37,50C. Tanda bahaya umum (-), frekuensi napas
24x/menit, tarikan dinding dada ke dalam (-), stridor (-). Anak tidak
diare namun demam. Keadaan demam diperoleh melalui anamnesis
maupun pengukuran suhu menggunakan termometer. Daerah Boyolali
merupakan daerah tanpa risiko malaria. Maka ditanyakan pada orang
tua apakah anak berkunjung keluar daerah dalam 2 minggu terakhir,
dan diperoleh informasi bahwa anak ini tidak bepergian keluar daerah
dalam 2 minggu terakhir. Anak juga tidak pernah mendapat obat anti
malaria dalam 2 minggu terakhir serta tidak menderita campak dalam 3
bulan terakhir. Tidak ada tanda kaku kuduk dan tidak ada ruam
kemerahan di kulit yang menyeluruh, namun ada batuk pilek. Karena
8
demam lebih dari 2 hari, maka dilanjutkan klasifikasi DBD pada anak
ini dan hasilnya (-). Untuk uji torniket sendiri tidak dapat dilakukan
karena keterbatasan alat. Pada anak ini tidak ada masalah telinga. Hasil
pemeriksaan status gizinya berdasarkan BB/PB diperoleh Z-score
diantara (-)2SD – (+)2SD, berarti status gizi baik. Pemeriksaan anemia
pada telapak tangan tidak pucat. Status imunisasi anak sudah lengkap
dan tidak diberikan vitamin A.
Berdasarkan penilaian dari gejala batuk di atas, maka tidak ada
tanda-tanda pneumonia atau penyakit sangat berat pada anak ini.
Berdasarkan penilaian dari gejala demam pada daerah tanpa risiko
malaria, ditemukan tidak ada tanda bahaya umum, dan tidak ada kaku
kuduk.
b. Anak bernama Muhammad Furqon
Umur anak ini adalah 7 bulan, jenis kelamin laki-laki, berat
badan 7,7 kg, panjang badan 65 cm. Keluhan demam sudah 2 hari, suhu
badan37,70C. Tanda bahaya umum (-), tidak batuk maupun sukar
bernapas. Anak tidak diare. Keadaan demam diperoleh melalui
anamnesis maupun pengukuran suhu menggunakan termometer dan
diperoleh suhu badan 37,70C. Boyolali merupakan daerah tanpa risiko
malaria. Maka ditanyakan pada orang tua apakah anak berkunjung
keluar daerah dalam 2 minggu terakhir, dan diperoleh informasi bahwa
anak ini tidak bepergian keluar daerah dalam 2 minggu terakhir. Anak
juga tidak pernah mendapat obat anti malaria dalam 2 minggu terakhir
serta tidak menderita campak dalam 3 bulan terakhir. Tidak ada tanda
kaku kuduk. Untuk tanda-tanda campak diperoleh ruam kemerahan di
kulit tetapi tidak menyeluruh dan tidak ada batuk, pilek, mata merah.
Karena demam sudah 2 hari, maka dilanjutkan klasifikasi DBD pada
anak ini dan hasilnya (-). Untuk uji torniket sendiri tidak dapat
dilakukan karena keterbatasan alat. Pada anak ini tidak ada masalah
telinga. Hasil pemeriksaan status gizinya berdasarkan BB/PB diperoleh
Z-score diantara (-)2SD – (+)2SD, berarti status gizi baik. Pemeriksaan
anemia pada telapak tangan tidak pucat. Status imunisasi anak kurang
imunisasi campak karena usia anak belum 9 bulan, sedangkan jadwal
pemberian imunisasi campak saat anak berusia 9 bulan. Pada anak ini
9
tidak diberikan vitamin A. Berdasarkan penilaian dari gejala demam
pada daerah tanpa risiko malaria, ditemukan tidak ada tanda bahaya
umum, dan tidak ada kaku kuduk.
2. Menentukan klasifikasi penyakit sesuai bagan MTBS.
a. Klasifikasi anak bernama Alya nadifah adalah :
1) Warna hijau yaitu batuk bukan pneumonia.
2) Warna hijau yaitu demam bukan malaria.
3) Warna hijau yaitu demam mungkin bukan DBD
b. Klasifikasi anak bernama Muhammad Furqon adalah :
1) Warna hijau yaitu demam bukan malaria.
2) Warna hijau yaitu demam mungkin bukan DBD
3. Menentukan tindakan/pengobatan sesuai bagan MTBS
a. Tindakan/pengobatan Alya Nadifah adalah :
1) Memberi pelega tenggorokan dan pereda batuk yang aman, jika batuk
> 3minggu maka rujuk untuk pemeriksaan lanjutan, menasihati ibu
kapan kembali segera, dan kunjungan ulang 5 hari jika tidak ada
perbaikan.
2) Memberi dosis pertama parasetamol jika demam tinggi, mengobati
penyebab lain dari demam (DBD, pneumonia, ISK, infeksi telinga,
luka dengan infeksi), jika demam tiap hari selama > 7 hari rujuk untuk
pemeriksaan lanjutan, menasihati ibu kapan kembali segera sesuai
tabel dalam MTBS, dan kunjungan ulang 2 hari jika tetap demam.
10
Tabel 2. Kapan Kembali Segera
Sumber : Buku Bagan MTBS, DEPKES RI, 2008
b. Tindakan/pengobatan Muhammad Furqon :
1) Memberi dosis pertama parasetamol jika demam tinggi, mengobati
penyebab lain dari demam (DBD, pneumonia, ISK, infeksi telinga,
luka dengan infeksi), jika demam tiap hari selama > 7 hari rujuk untuk
pemeriksaan lanjutan, menasihati ibu kapan kembali segera sesuai
tabel dalam MTBS, dan kunjungan ulang 2 hari jika tetap demam.
Selain itu, anak juga diberi bedak salicyl.
4. Memberikan konseling bagi ibu
Konseling yang dapat diberikan untuk ibu misalnya mengenai makanan.
a. Menilai cara pemberian makan anak
11
Nasihati ibu agar kembali segera bila
ditemukan tanda-tanda sebagai berikut
Setiap anak sakit
1. Tidak bisa minum atau
menyusu
2. Bertambah parah
3. Timbul demam
Anak dengan batuk : bukan pneumonia,
juga kembali jika
1. Napas cepat
2. Sukar bernapas
Jika anak diare, kembali jika1. Berak campur darah
2. Malas minum
Jika anak : Mungkin DBD atau demam-
mungkin bukan DBD, kembali jika
1. Ada tanda-tanda perdarahan
2. Ujung ekstremitas dingin
3. Nyeri ulu hati atau gelisah
4. Sering muntah
5. Pada hari ke 3-5 saat suhu
turun dan anak tampak lemas
Petugas kesehatan menanyakan kepada ibu mengenai cara pemberian
makan anak lalu jawaban ibu dibandingkan dengan “anjuran makan untuk
anak sehat maupun sakit” sesuai bagan MTBS. Hal-hal yang perlu
ditanyakan antara lain :
1) Apakah ibu menyusui anak ini? Berapa kali sehari?apakah menyusui
juga pada malam hari?
2) Apakah anak mendapat makanan atau minuman lain? Makanan atau
minuman apa? Berapa kali sehari? Alat apa yang digunakan untuk
memberi makan/minum anak? Jika anak kurus, berapa banyak
makanan/minuman yang diberikan kepada anak? Apakah anak
mendapat porsi tersendiri? Siapa yang memberi makan anak dan
bagaimana caranya?
3) Selama anak sakit apakah pemberian makan diubah? Bila ya,
bagaimana?
b. Menasihati ibu tentang masalah pemberian makan (Depkes RI, 2008)
1) Jika pemberian makan anak tidak sesuai dengan “anjuran makan untuk
anak sehat maupun sakit”
a) Nasihati ibu cara pemberian makan sesuai kelompok umur anak
2) Jika ibu mengeluhkan kesulitan pemberian ASI, maka dilakukan
konseling menyusui.
3) Jika bayi berumur < 6 bulan mendapat susu formula atau makanan lain,
maka anjurkan ibu untuk relaktasi yaitu :
a) Membangkitkan rasa percaya diri ibu bahwa ibu mampu meproduksi
ASI sesuai kebutuhan anaknya
b) Menyusui bayi lebih sering, lebih lama, pagi, siang, malam
c) Secara bertahap mengurangi pemberian susu formula atau makanan
lain
4) Jika bayi berumur 6 bulan atau lebih dan ibu menggunakan botol untuk
memberikan susu pada anaknya, maka :
a) Minta ibu untuk mengganti botol dengan cangkir/mangkuk/gelas
b) Memperagakan cara memberi susu dengan mangkuk/cangkir/gelas
c) Memberikan MP ASI sesuai kelompok umur
5) Jika anak tidak diberi makan secara aktif, maka nasihati ibu untuk :
12
a) Duduk didekat anak, membujuk agar mau makan, jika perlu
menyuapi anak
b) Memberi anak porsi makan yang cukup dengan piring/mangkuk
tersendiri sesuai dengan kelompok umur
c) Memberi makanan kaya gizi yang disukai anak
6) Jika ibu merubah pemberian makan selama anak sakit
a) Beritahu ibu untuk tidak merubah pemberian makan selama anak
sakit
b) Nasihati ibu untuk memberi makanan sesuai kelompok umur dan
kondisi anak
Selain membahas tentang penilaian, klasifikasi, pengobatan dan konseling
MTBS, hal yang juga mencakup dalam MTBS yang perlu dibahas adalah mengenai
status gizi. Kurangnya asupan gizi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
penyakit infeksi pada bayi. Status gizi yang baik dapat meningkatkan sistem
imunitas seluler pada balita (Gatot, 2002). Diketahui bahwa faktor status gizi
memiliki hubungan bermakna dengan angka kejadian ISPA (Irmanto M, 2010) dan
status gizi yang baik dapat mengurangi lama waktu diare (Sudigbia, 1991 dalam
Shinta, 2011). Selain itu, malnutrisi berkontribusi terhadap lima puluh persen
kematian balita di seluruh dunia (Moelyo et al., 2013). Hal ini sangat penting,
karena dengan intervensi tenaga kesehatan (seperti penyuluhan), diharapkan dapat
meningkatkan status gizi sehingga mengurangi angka kesakitan bayi. Pada
pelaksanaan field lab di Puskesmas Ampel, kami tidak menemukan gizi buruk
maupun gizi kurang pada posyandu mawar.
Masalah gizi kurang dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan rumah dan
pertumbuhan anak. Apabila ditemukan masalah kurang gizi, perlu dipertimbangkan
penyebab di lingkungan rumah seperti: kondisi ekonomi keluarga, tidak adanya
orang dewasa yang bertanggung jawab di siang hari, atau kurangny kesadaran ibu
terhadap gizi anak. Petugas Posyandu dapat membantu ibu untuk memahami dan
berpikir untuk mencari jalan keluar. Salah satu haal yang perlu diperhatikan untuk
meningkatkan gizi anak adalah menentukan penyebab timbulnya masalah pada
anak sebelum memberikan konseling. Misalnya, seorang anak kurus karena
keluarganya kekurangan bahan makanan, sehingga tidak akan menolong jika
menasihati ibu untuk memberi makan anak lebih sering. Dalam situasi ini, akan
13
lebih baik jika keluarga disarankan mendapatkan bantuan dari sumber lain (Moelyo
et al., 2013).
Tabel 3. Status Gizi Balita di Posyandu Mawar 1, Desa Seboto, Ampel, Boyolali
No Nama UmurTinggi
Badan
Berat Badan Status Gizi
(BB/U)
1 Nur Soleh 3 th (L) 92 cm 13,4 kg Gizi baik
2 Naswa 2 th (P) 87 cm 10,5 kg Gizi baik
3 Zanuba 2,5 th (L) 88 cm 13 kg Gizi baik
4 Wahyu Dwi 2 th (L) 77 cm 11 kg Gizi baik
5 Falah 4,5 th (L) 94 cm 16,3 kg Gizi baik
6 Aliya N 2 th 5 bln (P) 87 cm 13 kg Gizi baik
7 Hidayati 11 bln (P) 67 cm 8,2 kg Gizi baik
8 Syfa 3 th(P) 80 cm 14 kg Gizi baik
9 Hanafi 2 th 3 bln (L) 85 cm 11,5 kg Gizi baik
10 Riski 4,5 th (L) 109 cm 17 kg Gizi baik
11 Widya 3 th 10 bln (P) 94 cm 14 kg Gizi baik
12 Sherli 4 thn (P) 98 cm 19 kg Gizi baik
13 Syifa A 3,5 th (P) 99 cm 13 kg Gizi baik
14 Keisya 2,5 th (P) 78 cm 12 kg Gizi baik
15 Furqon 7 bln (L) 65 cm 7,7 kg Gizi baik
16 Erma 3,5 th (P) 94 cm 13,3 kg Gizi baik
17 Alwah 21 bln (L) 78 cm 9 kg Gizi kurang
18 Usamah 1 th (P) 72 cm 9,4 kg Gizi baik
19 Akbar 3 th 2 bln (L) 92 cm 12,5 kg Gizi baik
20 Zaskia 2 th (P) 78 cm 13 kg Gizi baik
21 Danang 3 th 3 bln (L) 88 cm 15,5 kg Gizi baik
22 Roykhan 2 tahun (L) 72 cm 10 kg Gizi baik
14
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pelaksanaan MTBS membutuhkan waktu yang lama sedangkan banyak balita sakit
yang membutuhkan pengobatan.
2. Pelaksanaan MTBS harus sesuai dengan tabel pada buku pedoman MTBS.
3. Balita Alya Nadifah, menurut buku pedoman MTBS diklasifikasikan dalam warna
hijau batuk bukan pneumonia dan warna hijau demam bukan malaria
4. Balita Furqon, menurut buku pedoman MTBS diklasifikasikan dalam warna hijau
demam bukan malaria
B. Saran
1. Perlu dilakukan evaluasi MTBS terpusat agar program bisa berjalan lebih efektif.
2. Walaupun membutuhkan waktu yang lama, sebisa mungkin MTBS tetap
diterapkan untuk melatih keterampilan tenaga medis dan edukasi bagi ibu balita
sakit.
3. Mengadakan penyuluhan untuk memberikan edukasi pada ibu untuk memenuhi
gizi anak dan tindakan tepat ketika mendapati anak balitanya sakit.
15
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI (2008). Buku bagan manajemen terpadu balita sakit (mtbs). Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI (2004). Pedoman penerapan manajemen terpadu balita sakit di puskesmas.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Gatot D (2002). Infeksi Jamur Sistemik pada Pasien Immunocompromised. Sari Pediatri, 3
(4): 244 – 248
Irmanto M (2010). Asupan gizi, penyakit infeksi dan status gizi pada anak sekolah dasar
(Studi di Distrik Sentani Kabupaten Jayapura). Thesis. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Moelyo AG, Widardo, Herlambang G (2013). Modul field lab ketrampilan manajemen
terpadu balita sakit (mtbs). Surakarta: Field Lab Fakultas Kedokteran UNS.
Shinta, Ken (2011). Pengaruh probiotik pada diare akut : penelitian dengan 3 preparat
probiotik. Thesis, Semarang: Universitas Diponegoro
Soenarto, Yati (2009). Mtbs: Strategi untuk meningkatkan derajat kesehatan anak.
Disampaikan pada Simposium Pediatri Temilnas 2009. Surakarta 2 Agustus 2009.
Sudigbia L (1991). Pengantar diare akut anak. Semarang: BP Undip pp: 1-11
WHO (2009). http://www.who.int/maternal_child_adolescent/topics/child/imci/en/index.
html. Diakses 19 Maret 2013
Wijaya, Awi M (2009). Manajemen terpadu balita sakit (mtbs).
http://www.infodokterku.com/index.php/option=com_content&view=article&id=3
7:manajemen-terpadu-balita-sakit-mtbs&catid=27 :health program&Itemid=44 .
Diakses 19 Maret 2013.
16