laporan1

26
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lebih kurang 12 juta anak di dunia meninggal setiap tahun sebelum mencapai umur 5 tahun, dan lebih dari 70% kematian tersebut disebabkan karena pneumonia, diare, malaria, campak dan gizi buruk. Hal ini terjadi karena rendahnya kualitas pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan di Indonesia masih rendah dalam hal ketrampilan pelayanan kesehatan, sistem kesehatan, dan praktek di keluarga dan komunitas. Perlu integrasi dari ketiga faktor untuk meningkakan derajat kesehatan anak (Soenarto, 2009). WHO dan UNICEF pada tahun 1994 bekerja sama membentuk suatu program yang memadukan pelayanan terhadap balita sakit. Program tersebut diberi nama Integrated Management of Childhood Illness (IMCI). Kemudian pada tahun 1997, Indonesia mengadopsi IMCI ke dalam suatu program yang disebut Manajemen Terpadu balita Sakit (MTBS) (WHO, 2009). MTBS merupakan manajemen balita sakit untuk 2 kelompok sasaran yaitu usia 1 hari sampai 2 bulan dan kelompok usia 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI, 2008). MTBS mengutamakan pendekatan secara terpadu tatalaksana balita sakit yang datang ke pelayanan kesehatan. Pendekatan tersebut meliputi klasifikasi penyakit, status imunisasi, status gizi, penanganan balita sakit, dan pemberian konseling (Wijaya, 2009). 1

Upload: wahyu-wirawan

Post on 14-Aug-2015

21 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

lap1

TRANSCRIPT

Page 1: laporan1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lebih kurang 12 juta anak di dunia meninggal setiap tahun sebelum mencapai

umur 5 tahun, dan lebih dari 70% kematian tersebut disebabkan karena pneumonia, diare,

malaria, campak dan gizi buruk. Hal ini terjadi karena rendahnya kualitas pelayanan

kesehatan. Pelayanan kesehatan di Indonesia masih rendah dalam hal ketrampilan

pelayanan kesehatan, sistem kesehatan, dan praktek di keluarga dan komunitas. Perlu

integrasi dari ketiga faktor untuk meningkakan derajat kesehatan anak (Soenarto, 2009).

WHO dan UNICEF pada tahun 1994 bekerja sama membentuk suatu program yang

memadukan pelayanan terhadap balita sakit. Program tersebut diberi nama Integrated

Management of Childhood Illness (IMCI). Kemudian pada tahun 1997, Indonesia

mengadopsi IMCI ke dalam suatu program yang disebut Manajemen Terpadu balita Sakit

(MTBS) (WHO, 2009).

 MTBS merupakan manajemen balita sakit untuk 2 kelompok sasaran yaitu usia 1

hari sampai 2 bulan dan kelompok usia 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI, 2008). MTBS

mengutamakan pendekatan secara terpadu tatalaksana balita sakit yang datang ke

pelayanan kesehatan. Pendekatan tersebut meliputi klasifikasi penyakit, status imunisasi,

status gizi, penanganan balita sakit, dan pemberian konseling (Wijaya, 2009).

Dalam penerapan MTBS, pelayanan kesehatan balita dilaksanakan mulai dari

tahapan preventif, promotif hingga kuratif dan rehabilitatif. Tenaga kesehatan diajarkan

untuk memperhatikan secara cepat semua gejala anak sakit, sehingga ia dapat menentukan

apakah anak sakit berat dan perlu dirujuk. Jika penyakitnya tidak parah, selanjutnya tenaga

kesehatan bisa memberikan pengobatan sesuai pedoman MTBS (Depkes RI, 2004).

Pedoman MTBS berisi penanganan terhadap penyakit pneumonia, diare, demam, masalah

telinga, malaria, DBD, anemia, batuk dan keluhan susah bernapas (Depkes RI, 2008).

Program MTBS di Puskesmas Ampel 1 Boyolali sendiri sudah dilaksanakan oleh

petugas kesehatan yang terdiri dari dokter, bidan, perawat serta petugas kesehatan lainnya.

Pada tahun 2012, jumlah sasaran MTBS di Puskesmas Ampel 1 Boyolali sebanyak 44.773

anak.Sedangkan untuk cakupan MTBSnya terdiri dari jumlah kunjungan sebanyak 506

anak dan jumlah balita sakit sebanyak 224 anak yang mencakup 13 desa di kawasan

Puskesmas Ampel 1 Boyolali.

1

Page 2: laporan1

Penerapan MTBS di Puskesmas Ampel 1 Boyolali dilaksanakan di poli KIA dan

posyandu balita di tiap-tiap desa. Apabila penyakit yang diderita balita masuk dalam

klasifikasi hijau pada bagan MTBS, maka yang diperlukan hanyalah perawatan di rumah,

sedangkan klasifikasi kuning menandakan perlunya pengobatan spesifik di pelayanan

kesehatan. Sementara klasifikasi merah menandakan penanganan segera atau perlu dirujuk.

Dalam penerapan MTBS diperlukan ketrampilan petugas kesehatan dan sikap

orang tua balita yang kooperatif untuk keberhasilan pelaksanaan MTBS. Untuk itu

mahasiswa kedokteran sebagai calon pelaksana program kesehatan pemerintah, perlu

memahami pelaksanaan MTBS secara lansung melalui kegiatan Field Lab.

B. Tujuan

Adapun tujuan dari pelaksanaan Field Lab antara lain:

1. Mampu melaksanakan penilaian balita sakit dengan menggunakan pedoman

MTBS.

2. Mampu menentukan klasifiaksi masalah balita sakit dengan menggunakan

pedoman MTBS.

3. Mampu menilai status gizi balita (klinis dan antropometris) menurut aturan

WHO (2005) dan memeriksa adanya penyakit penyerta.

4. Mampu melakukan dan menyarankan tindakan berdasarkan klasifikasi balita

sakt pada pedoman MTBS (Moelyo, 2013).

2

Page 3: laporan1

BAB II

KEGIATAN YANG DILAKUKAN

A. Kegiatan hari pertama (Rabu, 13 Maret 2013)

Kelompok A8 tiba di Puskesmas Ampel 1 Boyolali sekitar pukul 07.30

WIB. Sebelum melakukan kegiatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di

Posyandu daerah Ampel 1, kami melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan dr.

Nur Indah Ekowati selaku Kepala Puskesmas Ampel 1 dan Bu Dwi selaku

instruktur kegiatan filed lab MTBS ini. Sehingga diperoleh keputusan, bahwa kami

akan mengunjungi 2 Posyandu yaitu Posyandu Mawar 1 dan Mawar 2 yang

keduanya berlokasi di Desa Seboto. Adapun alat dan bahan yang kami persiapkan

untuk menunjang pelaksanaan kegiatan MTBS ini antara lain metline, timbangan

berat badan, timer/jam tangan stetoskop, termometer, bagan MTBS, dan leaflet

tentang MTBS.

Posyandu yang pertama kami kunjungi adalah Posyandu Mawar 1. Kami

langsung menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan agar pelaksanaan MTBS ini

dapat berjalan lancar. Kami yang terdiri dari 9 orang, terbagi dalam beberapa

kelompok kecil untuk pelaksanaan MTBS ini, yaitu di pos pengukuran panjang

badan, pos pengukuran berat badan, pos penilaian, klasifikasi, pengobatan/tindakan

dan konseling sesuai bagan MTBS, dan pos penyuluhan. Kami pun tidak lupa

untuk mendokumentasikan kegiatan tersebut. Di Posyandu Mawar 1, kami

mendapatkan 2 kasus balita sakit, yaitu batuk pilek dan demam.

Posyandu kedua yang kami kunjungi adalah Posyandu Mawar 2. Pada

Posyandu ini, kami hanya melakukan penyuluhan tentang MTBS karena

keterbatasan waktu yang ada.

Pada pelaksanaan kegiatan, kendala yang kami temukan adalah sulitnya

menenangkan bayi/anak yang menangis sehingga kondisi ruangan menjadi lebih

ramai. Untuk mengatasi hal ini, kami harus bertindak cepat dalam melakukan

pemeriksaan terhadap bayi/anak tersebut karena sebagian besar, bayi/anak

menangis saat dilakukan pengukuran panjang badan.

Kendala lainnya adalah karena kami harus cepat dalam melakukan

pengukuran panjang badan, sehingga dalam proses pengukurannya kurang valid.

Ada beberapa anak yang sandal/sepatunya tidak dilepas saat pengukuran panjang

badan dan ada juga beberapa anak yang posisinya kurang terfiksasi sehingga posisi

3

Page 4: laporan1

tubuhnya tidak lurus. Sehingga solusi untuk masalah ini adalah, lebih

mengkondusifkan keadaan dimana bayi/anak harus dalam keadaan tenang dan

nyaman saat pengukuran, misalnya diberikan mainan untuk mengalihkan

perhatiannya.

B. Kegiatan hari kedua (Rabu, 20 Maret 2013)

Kegiatan hari kedua yaitu berupa presentasi dan penyerahan laporan kepada

Puskesmas Ampel 1, Boyolali.

4

Page 5: laporan1

BAB III

PEMBAHASAN

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) adalah suatu manajemen melalui

pendekatan terintegrasi/terpadu dalam tatalaksana balita sakit yang datang di

pelayanan kesehatan. Menurut buku pedoman MTBS, tindakan yang dilakukan

meliputi anamnesis, mengklasifikasikan penyakit balita tersebut, untuk kemudian

menentukan tindakan yang sesuai untuk penyakit balita yang bersangkutan.

Penggunaan program MTBS mampu menghemat pembelian obat,

menurunkan tingkat kesalahan pemeriksaan dan berfungsi sebagai tempat

penggabungan sumber daya pelayanan kesehatan anak balita sakit di puskesmas,

hal ini menandakan MTBS merupakan pilihan terbaik dalam penanganan bayi sakit

(Moelyo et al., 2013). Namun pada praktiknya, program ini mempunyai kendala.

Pelaksanaan MTBS harus sesuai tabel yang ada pada buku panduan, serta mengisi

secara rinci form MTBS yang tersedia. Karena banyaknya pertanyaan, klasifikasi,

serta tindakan yang ada pada buku panduan MTBS, pelaksanaan MTBS secara

sempurna membutuhkan waktu yang sangat lama. Hal ini menjadi kendala

tersendiri bagi para petugas kesehatan di puskesmas maupun praktek swasta.

Karena kenyataannya, pasien balita begitu banyak, sehingga jika MTBS dilakukan

kepada setiap pasien, maka akan banyak balita sakit yang tidak sempat tertangani.

Padahal bisa saja balita yang belum tertangani tersebut juga membutuhkan

penanganan yang cepat.

Maka, meskipun program MTBS ini merupakan program yang baik, namun

perlu evaluasi lagi untuk pelaksanaannya agar dapat lebih efektif terutama dalam

hal bisa dilaksanakan dengan baik oleh tenanga medis dan tidak mengabaikan

balita sakit lain yang tidak sempat tertangani.

Pelaksanaan MTBS terdiri dari langkah penilaian dan klasifikasi anak sakit,

identifikasi tindakan/pengobatan, konseling bagi ibu, dan pelayanan tindak lanjut

(Depkes RI, 2008). Petugas kesehatan wajib melakukan setiap langkah sesuai

dengan algoritma pada bagan MTBS (Moelyo et al., 2013). Ketika anak sakit

datang ke ruang pemeriksaan, petugas kesehatan akan menyanyakan kepada orang

tua/wali identitas pasien, lalu memeriksa tanda bahaya umum:

5

Page 6: laporan1

Apakah anak bisa minum atau menyusu?

Apakah anak selalu memuntahkan semuanya?

Apakah anak menderita kejang?

Kemudian petugas memeriksa keadaan umum anak, dengan cara melihat

apakah anak tampak letargis atau tidak sadar. Jika ada seorang anak dengan tanda

bahaya umum maka ia memerlukan penanganan SEGERA, anak di klasifikasikan

ke dalam kotak merah dan segera beri tindakan pra-rujukan lalu dirujuk (Depkes

RI, 2008). Setelah itu petugas akan menanyakan keluhan utama berupa:

1. Apakah anak menderita batuk atau sukar bernapas

2. Apakah anak menderita diare

3. Apakah anak demam

4. Apakah anak mempunyai masalah telinga

5. Memeriksa status Gizi

6. Memeriksa anemia

7. Memeriksa imunisasi dan vitamin A

8. Menilai masalah/keluhan Lain

Dari setiap masalah atau keluhan, petugas kesehatan akan mengikuti alur

sesuai algoritma MTBS dengan arah horizontal, sebagai contoh:

Jika keluhan utama anak batuk atau sukar bernapas, maka petugas akan melihat dan

mendengar:

1. Apakah ada stridor

2. Apakah ada tarikan dinding dada ke dalam

3. Menghitung nafas selama 1 menit. Nafas cepat apabila lebih dari atau sama dengan

50 kali per menit untuk anak berumur 2 bulan sampai <12 bulan. Sedangkan untuk

anak berumur 12 bulan sampai 5 tahun lebih dari atau sama dengan 40 kali per

menit.

Lalu anak diklasifikasikan sesuai tabel:

6

Page 7: laporan1

Gejala Klasifikasi Tindakan/ Pengobatan

Ada tanda bahaya umum.

ATAU Tarikan dinding dada

ke dalam. ATAU Stridor.

PNEUMONIA BERAT Atau

PENYAKIT SANGAT

BERAT

Beri dosis pertama antibiotik

yang sesuai. RUJUK

SEGERA

Napas cepat. PNEUMONIA

Beri antibiotik yang sesuai.

· Beri pelega tenggorokan

dan pereda batuk yang aman.

· Jika batuk >3 minggu,

rujuk untuk pemeriksaan

lanjutan

· Nasihati kapan kembali

segera.

· Kunjungan ulang 2 hari.

Tidak ada tanda tanda

pneumonia atau penyakit

sangat berat.

BATUK :

BUKAN PNEUMONIA

Beri pelega tenggorokan &

pereda batuk yang aman.

· Jika batuk >3 minggu,

rujuk untuk pemeriksaan

lanjutan

· Nasihati kapan kembali

segera.

· Kunjungan ulang 5 hari

jika tidak ada perbaikan.

Tabel 1. Penilaian, Klasifikasi dan Tindakan/Pengobatan

Sumber : Buku Bagan MTBS, DEPKES RI, 2008

7

Page 8: laporan1

Setelah diklasifikasikan, petugas akan memberikan tindakan pengobatan

sesuai warna pada tabel MTBS. Untuk warna merah, diberikan tindakan pra-

rujukan antibiotik yang sesuai yaitu: kotrimoksazol sebagai pilihan pertama dan

amoksisilin sebagai pilihan kedua dengan dosis sesuai tabel pada algoritma MTBS

halaman 9, lalu kemudian di rujuk.

Untuk warna kuning, petugas akan memberikan antibiotik sama seperti

keadaan warna merah, dan memberikan pelega tenggorokan yang aman, yaitu: ASI

Eksklusif untuk bayi sampai umur 6 bulan, kecap manis atau madu dicampur

dengan air jeruk nipis. ( Madu tidak dianjurkan untuk anak umur < 1 tahun ) dan

menasihati untuk kembali pemeriksaan ulang setelah 2 hari.

Untuk warna hijau, tidak perlu diberikan antibiotik, cukup berikan pelega

tenggorokan dan pereda batuk yang aman, lalu kunjungan ulang 5 hari jika tidak

ada perbaikan.

Pada pelaksanaan Field Lab, kami menemukan dua kasus balita sakit, yaitu

Alya Nadifah dan Muhammad Fuqron. Kegiatan MTBS yang kami lakukan adalah

sebagai berikut:

1. Melakukan penilaian anak balita sakit berdasarkan keluhan dan pemeriksaan

sesuai bagan MTBS.

a. Anak bernama Alya Nadifah

Umur anak ini adalah 2,5 tahun, jenis kelamin perempuan, berat

badan 13 kg, panjang badan 87 cm. Keluhan batuk pilek sudah 3 hari,

suhu badan 37,50C. Tanda bahaya umum (-), frekuensi napas

24x/menit, tarikan dinding dada ke dalam (-), stridor (-). Anak tidak

diare namun demam. Keadaan demam diperoleh melalui anamnesis

maupun pengukuran suhu menggunakan termometer. Daerah Boyolali

merupakan daerah tanpa risiko malaria. Maka ditanyakan pada orang

tua apakah anak berkunjung keluar daerah dalam 2 minggu terakhir,

dan diperoleh informasi bahwa anak ini tidak bepergian keluar daerah

dalam 2 minggu terakhir. Anak juga tidak pernah mendapat obat anti

malaria dalam 2 minggu terakhir serta tidak menderita campak dalam 3

bulan terakhir. Tidak ada tanda kaku kuduk dan tidak ada ruam

kemerahan di kulit yang menyeluruh, namun ada batuk pilek. Karena

8

Page 9: laporan1

demam lebih dari 2 hari, maka dilanjutkan klasifikasi DBD pada anak

ini dan hasilnya (-). Untuk uji torniket sendiri tidak dapat dilakukan

karena keterbatasan alat. Pada anak ini tidak ada masalah telinga. Hasil

pemeriksaan status gizinya berdasarkan BB/PB diperoleh Z-score

diantara (-)2SD – (+)2SD, berarti status gizi baik. Pemeriksaan anemia

pada telapak tangan tidak pucat. Status imunisasi anak sudah lengkap

dan tidak diberikan vitamin A.

Berdasarkan penilaian dari gejala batuk di atas, maka tidak ada

tanda-tanda pneumonia atau penyakit sangat berat pada anak ini.

Berdasarkan penilaian dari gejala demam pada daerah tanpa risiko

malaria, ditemukan tidak ada tanda bahaya umum, dan tidak ada kaku

kuduk.

b. Anak bernama Muhammad Furqon

Umur anak ini adalah 7 bulan, jenis kelamin laki-laki, berat

badan 7,7 kg, panjang badan 65 cm. Keluhan demam sudah 2 hari, suhu

badan37,70C. Tanda bahaya umum (-), tidak batuk maupun sukar

bernapas. Anak tidak diare. Keadaan demam diperoleh melalui

anamnesis maupun pengukuran suhu menggunakan termometer dan

diperoleh suhu badan 37,70C. Boyolali merupakan daerah tanpa risiko

malaria. Maka ditanyakan pada orang tua apakah anak berkunjung

keluar daerah dalam 2 minggu terakhir, dan diperoleh informasi bahwa

anak ini tidak bepergian keluar daerah dalam 2 minggu terakhir. Anak

juga tidak pernah mendapat obat anti malaria dalam 2 minggu terakhir

serta tidak menderita campak dalam 3 bulan terakhir. Tidak ada tanda

kaku kuduk. Untuk tanda-tanda campak diperoleh ruam kemerahan di

kulit tetapi tidak menyeluruh dan tidak ada batuk, pilek, mata merah.

Karena demam sudah 2 hari, maka dilanjutkan klasifikasi DBD pada

anak ini dan hasilnya (-). Untuk uji torniket sendiri tidak dapat

dilakukan karena keterbatasan alat. Pada anak ini tidak ada masalah

telinga. Hasil pemeriksaan status gizinya berdasarkan BB/PB diperoleh

Z-score diantara (-)2SD – (+)2SD, berarti status gizi baik. Pemeriksaan

anemia pada telapak tangan tidak pucat. Status imunisasi anak kurang

imunisasi campak karena usia anak belum 9 bulan, sedangkan jadwal

pemberian imunisasi campak saat anak berusia 9 bulan. Pada anak ini

9

Page 10: laporan1

tidak diberikan vitamin A. Berdasarkan penilaian dari gejala demam

pada daerah tanpa risiko malaria, ditemukan tidak ada tanda bahaya

umum, dan tidak ada kaku kuduk.

2. Menentukan klasifikasi penyakit sesuai bagan MTBS.

a. Klasifikasi anak bernama Alya nadifah adalah :

1) Warna hijau yaitu batuk bukan pneumonia.

2) Warna hijau yaitu demam bukan malaria.

3) Warna hijau yaitu demam mungkin bukan DBD

b. Klasifikasi anak bernama Muhammad Furqon adalah :

1) Warna hijau yaitu demam bukan malaria.

2) Warna hijau yaitu demam mungkin bukan DBD

3. Menentukan tindakan/pengobatan sesuai bagan MTBS

a. Tindakan/pengobatan Alya Nadifah adalah :

1) Memberi pelega tenggorokan dan pereda batuk yang aman, jika batuk

> 3minggu maka rujuk untuk pemeriksaan lanjutan, menasihati ibu

kapan kembali segera, dan kunjungan ulang 5 hari jika tidak ada

perbaikan.

2) Memberi dosis pertama parasetamol jika demam tinggi, mengobati

penyebab lain dari demam (DBD, pneumonia, ISK, infeksi telinga,

luka dengan infeksi), jika demam tiap hari selama > 7 hari rujuk untuk

pemeriksaan lanjutan, menasihati ibu kapan kembali segera sesuai

tabel dalam MTBS, dan kunjungan ulang 2 hari jika tetap demam.

10

Page 11: laporan1

Tabel 2. Kapan Kembali Segera

Sumber : Buku Bagan MTBS, DEPKES RI, 2008

b. Tindakan/pengobatan Muhammad Furqon :

1) Memberi dosis pertama parasetamol jika demam tinggi, mengobati

penyebab lain dari demam (DBD, pneumonia, ISK, infeksi telinga,

luka dengan infeksi), jika demam tiap hari selama > 7 hari rujuk untuk

pemeriksaan lanjutan, menasihati ibu kapan kembali segera sesuai

tabel dalam MTBS, dan kunjungan ulang 2 hari jika tetap demam.

Selain itu, anak juga diberi bedak salicyl.

4. Memberikan konseling bagi ibu

Konseling yang dapat diberikan untuk ibu misalnya mengenai makanan.

a. Menilai cara pemberian makan anak

11

Nasihati ibu agar kembali segera bila

ditemukan tanda-tanda sebagai berikut

Setiap anak sakit

1. Tidak bisa minum atau

menyusu

2. Bertambah parah

3. Timbul demam

Anak dengan batuk : bukan pneumonia,

juga kembali jika

1. Napas cepat

2. Sukar bernapas

Jika anak diare, kembali jika1. Berak campur darah

2. Malas minum

Jika anak : Mungkin DBD atau demam-

mungkin bukan DBD, kembali jika

1. Ada tanda-tanda perdarahan

2. Ujung ekstremitas dingin

3. Nyeri ulu hati atau gelisah

4. Sering muntah

5. Pada hari ke 3-5 saat suhu

turun dan anak tampak lemas

Page 12: laporan1

Petugas kesehatan menanyakan kepada ibu mengenai cara pemberian

makan anak lalu jawaban ibu dibandingkan dengan “anjuran makan untuk

anak sehat maupun sakit” sesuai bagan MTBS. Hal-hal yang perlu

ditanyakan antara lain :

1) Apakah ibu menyusui anak ini? Berapa kali sehari?apakah menyusui

juga pada malam hari?

2) Apakah anak mendapat makanan atau minuman lain? Makanan atau

minuman apa? Berapa kali sehari? Alat apa yang digunakan untuk

memberi makan/minum anak? Jika anak kurus, berapa banyak

makanan/minuman yang diberikan kepada anak? Apakah anak

mendapat porsi tersendiri? Siapa yang memberi makan anak dan

bagaimana caranya?

3) Selama anak sakit apakah pemberian makan diubah? Bila ya,

bagaimana?

b. Menasihati ibu tentang masalah pemberian makan (Depkes RI, 2008)

1) Jika pemberian makan anak tidak sesuai dengan “anjuran makan untuk

anak sehat maupun sakit”

a) Nasihati ibu cara pemberian makan sesuai kelompok umur anak

2) Jika ibu mengeluhkan kesulitan pemberian ASI, maka dilakukan

konseling menyusui.

3) Jika bayi berumur < 6 bulan mendapat susu formula atau makanan lain,

maka anjurkan ibu untuk relaktasi yaitu :

a) Membangkitkan rasa percaya diri ibu bahwa ibu mampu meproduksi

ASI sesuai kebutuhan anaknya

b) Menyusui bayi lebih sering, lebih lama, pagi, siang, malam

c) Secara bertahap mengurangi pemberian susu formula atau makanan

lain

4) Jika bayi berumur 6 bulan atau lebih dan ibu menggunakan botol untuk

memberikan susu pada anaknya, maka :

a) Minta ibu untuk mengganti botol dengan cangkir/mangkuk/gelas

b) Memperagakan cara memberi susu dengan mangkuk/cangkir/gelas

c) Memberikan MP ASI sesuai kelompok umur

5) Jika anak tidak diberi makan secara aktif, maka nasihati ibu untuk :

12

Page 13: laporan1

a) Duduk didekat anak, membujuk agar mau makan, jika perlu

menyuapi anak

b) Memberi anak porsi makan yang cukup dengan piring/mangkuk

tersendiri sesuai dengan kelompok umur

c) Memberi makanan kaya gizi yang disukai anak

6) Jika ibu merubah pemberian makan selama anak sakit

a) Beritahu ibu untuk tidak merubah pemberian makan selama anak

sakit

b) Nasihati ibu untuk memberi makanan sesuai kelompok umur dan

kondisi anak

Selain membahas tentang penilaian, klasifikasi, pengobatan dan konseling

MTBS, hal yang juga mencakup dalam MTBS yang perlu dibahas adalah mengenai

status gizi. Kurangnya asupan gizi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya

penyakit infeksi pada bayi. Status gizi yang baik dapat meningkatkan sistem

imunitas seluler pada balita (Gatot, 2002). Diketahui bahwa faktor status gizi

memiliki hubungan bermakna dengan angka kejadian ISPA (Irmanto M, 2010) dan

status gizi yang baik dapat mengurangi lama waktu diare (Sudigbia, 1991 dalam

Shinta, 2011). Selain itu, malnutrisi berkontribusi terhadap lima puluh persen

kematian balita di seluruh dunia (Moelyo et al., 2013). Hal ini sangat penting,

karena dengan intervensi tenaga kesehatan (seperti penyuluhan), diharapkan dapat

meningkatkan status gizi sehingga mengurangi angka kesakitan bayi. Pada

pelaksanaan field lab di Puskesmas Ampel, kami tidak menemukan gizi buruk

maupun gizi kurang pada posyandu mawar.

Masalah gizi kurang dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan rumah dan

pertumbuhan anak. Apabila ditemukan masalah kurang gizi, perlu dipertimbangkan

penyebab di lingkungan rumah seperti: kondisi ekonomi keluarga, tidak adanya

orang dewasa yang bertanggung jawab di siang hari, atau kurangny kesadaran ibu

terhadap gizi anak. Petugas Posyandu dapat membantu ibu untuk memahami dan

berpikir untuk mencari jalan keluar. Salah satu haal yang perlu diperhatikan untuk

meningkatkan gizi anak adalah menentukan penyebab timbulnya masalah pada

anak sebelum memberikan konseling. Misalnya, seorang anak kurus karena

keluarganya kekurangan bahan makanan, sehingga tidak akan menolong jika

menasihati ibu untuk memberi makan anak lebih sering. Dalam situasi ini, akan

13

Page 14: laporan1

lebih baik jika keluarga disarankan mendapatkan bantuan dari sumber lain (Moelyo

et al., 2013).

Tabel 3. Status Gizi Balita di Posyandu Mawar 1, Desa Seboto, Ampel, Boyolali

No Nama UmurTinggi

Badan

Berat Badan Status Gizi

(BB/U)

1 Nur Soleh 3 th (L) 92 cm 13,4 kg Gizi baik

2 Naswa 2 th (P) 87 cm 10,5 kg Gizi baik

3 Zanuba 2,5 th (L) 88 cm 13 kg Gizi baik

4 Wahyu Dwi 2 th (L) 77 cm 11 kg Gizi baik

5 Falah 4,5 th (L) 94 cm 16,3 kg Gizi baik

6 Aliya N 2 th 5 bln (P) 87 cm 13 kg Gizi baik

7 Hidayati 11 bln (P) 67 cm 8,2 kg Gizi baik

8 Syfa 3 th(P) 80 cm 14 kg Gizi baik

9 Hanafi 2 th 3 bln (L) 85 cm 11,5 kg Gizi baik

10 Riski 4,5 th (L) 109 cm 17 kg Gizi baik

11 Widya 3 th 10 bln (P) 94 cm 14 kg Gizi baik

12 Sherli 4 thn (P) 98 cm 19 kg Gizi baik

13 Syifa A 3,5 th (P) 99 cm 13 kg Gizi baik

14 Keisya 2,5 th (P) 78 cm 12 kg Gizi baik

15 Furqon 7 bln (L) 65 cm 7,7 kg Gizi baik

16 Erma 3,5 th (P) 94 cm 13,3 kg Gizi baik

17 Alwah 21 bln (L) 78 cm 9 kg Gizi kurang

18 Usamah 1 th (P) 72 cm 9,4 kg Gizi baik

19 Akbar 3 th 2 bln (L) 92 cm 12,5 kg Gizi baik

20 Zaskia 2 th (P) 78 cm 13 kg Gizi baik

21 Danang 3 th 3 bln (L) 88 cm 15,5 kg Gizi baik

22 Roykhan 2 tahun (L) 72 cm 10 kg Gizi baik

14

Page 15: laporan1

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pelaksanaan MTBS membutuhkan waktu yang lama sedangkan banyak balita sakit

yang membutuhkan pengobatan.

2. Pelaksanaan MTBS harus sesuai dengan tabel pada buku pedoman MTBS. 

3. Balita Alya Nadifah, menurut buku pedoman MTBS diklasifikasikan dalam warna

hijau batuk bukan pneumonia dan warna hijau demam bukan malaria

4. Balita Furqon,  menurut buku pedoman MTBS diklasifikasikan dalam warna hijau

demam bukan malaria

B. Saran

1. Perlu dilakukan evaluasi MTBS terpusat agar program bisa berjalan lebih efektif.

2. Walaupun membutuhkan waktu yang lama, sebisa mungkin MTBS tetap

diterapkan untuk melatih keterampilan tenaga medis dan edukasi bagi ibu balita

sakit.

3. Mengadakan penyuluhan untuk memberikan edukasi pada ibu untuk memenuhi

gizi anak dan tindakan tepat ketika mendapati anak balitanya sakit.

15

Page 16: laporan1

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI (2008). Buku bagan manajemen terpadu balita sakit (mtbs). Jakarta:

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI (2004). Pedoman penerapan manajemen terpadu balita sakit di puskesmas.

Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Gatot D (2002). Infeksi Jamur Sistemik pada Pasien Immunocompromised. Sari Pediatri, 3

(4): 244 – 248

Irmanto M (2010). Asupan gizi, penyakit infeksi dan status gizi pada anak sekolah dasar

(Studi di Distrik Sentani Kabupaten Jayapura). Thesis. Semarang: Universitas

Diponegoro.

Moelyo AG, Widardo, Herlambang G (2013). Modul field lab ketrampilan manajemen

terpadu balita sakit (mtbs). Surakarta: Field Lab Fakultas Kedokteran UNS.

Shinta, Ken (2011). Pengaruh probiotik pada diare akut : penelitian dengan 3 preparat

probiotik. Thesis, Semarang: Universitas Diponegoro

Soenarto, Yati (2009). Mtbs: Strategi untuk meningkatkan derajat kesehatan anak.

Disampaikan pada Simposium Pediatri Temilnas 2009. Surakarta 2 Agustus 2009.

Sudigbia L (1991). Pengantar diare akut anak. Semarang: BP Undip pp: 1-11

WHO (2009). http://www.who.int/maternal_child_adolescent/topics/child/imci/en/index.

html. Diakses 19 Maret 2013

Wijaya, Awi M (2009). Manajemen terpadu balita sakit (mtbs).

http://www.infodokterku.com/index.php/option=com_content&view=article&id=3

7:manajemen-terpadu-balita-sakit-mtbs&catid=27 :health program&Itemid=44 .

Diakses 19 Maret 2013.

16