laporan praktikum mp3 ke-1
DESCRIPTION
mp3TRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM
MESIN PERALATAN PENGOLAHAN PANGAN
(KINETIKA BAHAN PANGAN SELAMA PENGGORENGAN)
Oleh:
Nama : Fia Noviyanti
NPM : 240110100053
Hari, Tgl Praktikum : Rabu, 20 Maret 2013
Co.Ass : Hendina Pratiwi
Rizky Patria Dewaner
LABORATORIUM PASCA PANEN DAN TEKNOLOGI PROSES
JURUSAN TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggorengan merupakan salah satu proses memasak bahan pangan secara
cepat dan praktis, dengan menggunakan media minyak atau lemak panas (Rossell,
2001). Penggorengan dengan proses pencelupan bahan pangan ke dalam minyak
panas (deep frying) sangat penting dan banyak dilakukan dalam industri makanan
(Krokida, et al., 2000).
Tujuan utama dari penggorengan bahan pangan adalah untuk membuat
bahan pangan menjadi masak dan siap dikonsumsi. Selain itu juga bertujuan untuk
memberi warna yang lebih merata dan tekstur bahan pangan yang menarik serta
mengembangkan citarasa dan aroma pada bahan pangan (Perkins and Erickson,
1996).
Tekstur merupakan salah satu parameter mutu makanan yang dapat
dirasakan oleh tangan, jari, lidah, dan gigi. Sifat tekstural suatu produk tergantung
pada macam bahan, faktor lingkungan, suhu dan kandungan air. Selama ini belum
ada pengukuran yang tepat sebagai standar nilai tekstur karena uji
indrawi/organoleptik tidak dapat digantikan dengan uji mekanis, namun dapat
dilakukan pendekatan nilai tekstur melalui pengujian kuat tekan.
Nilai tekstur ditentukan oleh gaya tekan yang diperlukan untuk
memecahkan atau merusak struktur sel bahan. Akibat serapan minyak selama
penggorengan, bahan yang digoreng pasti memiliki kadar minyak yang lebih
tinggi dari bahan dasarnya. Meski minyak sangat diperlukan untuk memberikan
sifat organoleptik tertentu, tetapi
dari segi gizi, konsumsi minyak yang berlebihan dapat mengakibatkan berbagai
gangguan kesehatan.
1.2 Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dari dilaksanakannya praktikum kali ini adalah sebagai
berikut:
1. Mahasiswa dapat menganalisa pengaruh suhu dan waktu penggorengan
terhadap kematangan bahan pangan.
2. Mahasiswa mampu mengamati dan menganalisa tingkat kematangan
bahan pangan dari perubahan warna, tingkat kematangan, serta
kekerasannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 French Fries
French fries adalah irisan kentang berbentuk stick (biasanya berukuran
sekitar 1 × 1 × 6-7 cm yang digoreng dengan metode deep frying pada suhu 180-
200 ºC sampai matang (Burton, 1989). Dalam dunia perdagangan, french
friesbiasanya dijual dalam bentuk beku (frozen french fries) ataupun sebagai
makanan siap saji (fast food). French fries merupakan produk olahan yang
menunjukkan kecenderungan semakin populer dalam pola konsumsi masyarakat
Indonesia. Kendala ketersediaan bahan mentah (varietas) yang cocok untuk
pembuatan french fries menyebabkan sebagian besar produk tersebut masih
diimpor dalam bentuk frozen french fries (Adiyoga et al., 1999).
Varietas kentang yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah Granola.
Wibowo et al. (2006) menyatakan bahwa bahan kering kentang varietas Granola
berkisar antara 14-17,5 persen sehingga termasuk dalam kategori rendah. Kadar
bahan kering kentang yang kurang dari 20 persen sebaiknya digunakan untuk
sayuran atau salad dan kurang sesuai untuk bahan dasar industri (potato chips dan
french fries). Dalam perkembangannya, munculah varietas-varietas baru yang
lebih unggul dan memberikan harapan besar terhadap peningkatan produksi
kentang di Indonesia. Diantara beberapa varietas yang baru ini antara lain varietas
Krespo dan Tenggo.
French fries merupakan makanan ringan yang lebih mengutamakan
kenampakan, kerenyahan dan warna. Sehubungan dengan hal tersebut maka
diperlukan peningkatan kualitas french fries terutama dari segi warnanya. Masalah
utama yang biasa dihadapi pada kentang olahan adalah sangat mudah mengalami
perubahan warna terutama terjadinya pencoklatan atau browning enzimatis.
Pencoklatan dapat mengakibatkan perubahan-perubahan yang tidak diinginkan,
karena menyebabkan kenampakan produk yang tidak baik dan timbulnya citarasa
lain sehingga dapat menurunkan mutu (Susanto dan Saneto, 1994). Menurut
Wahyuningsih (2005), proses pencoklatan yang terjadi akan mengurangi kualitas
produk dan menurunkan minat konsumen.
2.2 Nugget
Nugget adalah suatu bentuk produk olahan daging yang terbuat dari
daging giling yang dicetak dalam bentuk potongan empat persegi dan dilapisi
dengan tepung berbumbu (battered dan braded). Nugget dikonsumsi setelah
proses penggorengan rendam (deep fat frying). Nugget dibuat dari daging giling
yang diberi bumbu, dicampur bahan pengikat, kemudian dicetak membentuk
tertentu, dikukus, dipotong dan dilumuri perekat tepung (batter) dan diselimuti
tepung roti (breading). Nugget digoreng setengah matang dan dibekukan untuk
mempertahankan mutunya selama penyimpanan .
Nugget adalah salah satu bentuk produk makanan beku siap saji, yaitu
produk yang telah mengalami pemanasan sampai setengah matang (precooked),
kemudian dibekukan. Produk beku siap saji ini hanya memerlukan waktu
penggorengan selama 1 menit pada suhu 150º C. Tekstur nugget tergantung dari
bahan asalnya. Nugget merupakan suatu bentuk produk olahan daging yang
terbuat dari daging giling yang dicetak dalam bentuk potongan empat persegi.
Potongan ini kemudian dilapisi tepung berbumbu (battered dan breaded). Nugget
dikonsumsi setelah proses penggorengan rendam (deep frying).
Produk nugget dapat dibuat dari daging sapi, ayam, ikan dan lain-lain,
tetapi yang populer di masyarakat adalah nugget ayam. Bahan baku daging untuk
nugget, dapat menggunakan bagian daging dari karkas. Jenis daging ini bernilai
ekonomis rendah (misalnya karena cacat, bukan karena telah rusak atau tidak
segar) jika dijual dalam bentuk utuh. Dengan dibuat ke dalam bentuk nugget maka
nilai ekonomisnya menjadi jauh lebih tinggi.
2.3 Teknik Penggorengan Bahan Pangan
Penggorengan adalah proses perpindahan panas dan uap air secara
simultan yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air bahan
yang dipindahkan dari permukaan bahan yang digoreng dengan minyak sebagai
media panghantar panas. Tujuan penggorengan adalah mengurangi kadar air
bahan akibat dari penguapan karena pemanasan.
Sedangkan menurut Azkenazi et al (1984), menyatakan bahwa
penggorengan adalah suatu teknik pemasakan dan pengeringan melalui kontak
dengan minyak atau lemak panas yang melibatkan pindah panas dan massa secara
simultan. Pada proses penggorengan pemanasan bahan berlangsung secara cepat
dengan penetrasi jauh kedalam, sehingga penurunan nilai gizi dan kualitas
sensorisnya lebih kecil. Menurut Lawson (1995), proses penggorengan dapat
dibedakan menjadi 3 metode yaitu: griddling, pan frying, dan deep fat frying. Metode
griddling dan pan frying banyak digunakan dalam pengolahan pangan skala rumah
tangga.
Metoda griddling adalah proses penggorengan dengan menggunakan griddle
(alat penggoreng dengan permukaan datar) dan minyak goreng yang sangat sedikit,
sehingga membentuk lapisan film minyak pada permukaan griddle. Sedangkan
goreng gangsa (pan frying/contact frying) adalah teknik menggoreng dimana bahan
bersentuhan langsung dengan pemanas dan hanya dibatasi oleh selapis tipis
minyak/lemak. Secara tradisional umumnya proses ini hanya berlangsung pada satu
permukaan dari bahan yang digoreng, sehingga bahan perlu dibolak-balik agar
matang secara merata.
Metode deep fat frying yaitu proses menggoreng dengan menggunakan pindah
panas yang langsung dari minyak yang panas kemakanan yang dingin (Lawson,
1995). Dimana metode ini biasa digunakan dalam industri-industri makanan.
Pengertian menggoreng cenderung mengarah ke pengertian “deep fat frying”, dimana
seluruh bagian bahan pangan terendam dalam banyak minyak dan seluruh bagian
permukaannya mendapat perlakuan panas yang sama sehingga berwarna seragam.
Proses penggorengan ini terdiri dari 4 tahap. Tahap pertama disebut tahap pemanasan
awal. Pada tahap ini pindah panas yang terjadi antara minyak dan bahan adalah
konveksi dan belum terjadi penguapan air dari bahan. Sedangkan pada tahap kedua
lapisan luar bahan pangan mulai mendidih, dan penguapan air bahan mulai terjadi
sehingga terbentuk renyahan. Tahap ketiga (falling rate) ditandai dengan banyaknya
keluar air dari bahan pangan dengan suhu permukaan bahan diatas 100oC, temperatur
lapisan core mulai mencapai titik didih dan lapisan renyahan terus terbentuk.
Sedangkan pada tahap keempat yang disebut dengan bubble end point, proses yang
terjadi yaitu laju penguapan air berkurang dan tidak ada gelembung terlihat dilapisan
permukaan bahan.
Perpindahan massa yang terjadi dalam proses penggorengan ada dua, yaitu
penguapan air dan penyerapan minyak. Bahan makanan mengalami penurunan kadar
air selama proses penggorengan dalam dua cara, pertama transfer massa air terjadi
dari dalam ke permukaan bahan kemudian menguap kelingkungan, dan kedua
perubahan massa air menjadi uap terjadi di dalam bahan.
2.4 Proses Penggorengan
Proses menggoreng adalah salah satu cara memasak bahan makanan
mentah (raw food) menjadi makanan matang menggunakan minyak goreng
(Sartika, 2009). Sedangkan menurut Muchtadi (2008) penggorengan adalah suatu
proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai
penghantar panas. Minyak berfungsi sebagai medium penghantar panas,
menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan kalori dalam bahan pangan
(Ketaren, 1986). Sedangkan menggoreng hampa adalah menggoreng berbagai
macam produk dengan kondisi hampa udara.
Pada umumnya proses penggorengan dibedakan menjadi dua macam yaitu
pan frying dan deep frying. Ciri dari pan frying adalah bahan pangan yang
digoreng tidak sampai terendam di dalam minyak, sedangkan pada sistem deep
frying dibutuhkan banyak minyak karena bahan pangan yang digoreng harus
terendam seluruhnya. Deep fat frying didefinisikan sebagai proses dimana
makanan dimasak dengan cara direndam dalam minyak nabati atau lemak
dipanaskan di atas titik didih air. Proses ini dilakukan secara tradisional dalam
kondisi atmosfer dan suhu penggorengan biasanya mendekati 1800C
(Dobraszczyk, Ainsworth, Ibanoglu, & Bouchon, 2006 dalam Mariscal M 2008).
Menurut Djatmiko (1985) penggorengan adalah proses untuk
mempersiapkan makanan dengan jalan memanaskan makanan dalam ketel yang
berisi minyak. Selama proses penggorengan minyak akan mengalami pemanasan
pada suhu tinggi. Pemanasan akan mengakibatkan terjadinya perubahan-
perubahan alam sifat fisiko kimia minyak sehingga akan berpengaruh terhadap
mutu bahan makanan yang digoreng. Prinsip penggorengan menurut Robertson
(1967) dalam Djatmiko (1985) dapat dilihat pada gambar 1. Di sini yang menjadi
input dari ketel penggorengan adalah minyak, bahan makanan yang digoreng dan
panas, sedangkan yang menjadi output adalah makan yang telah digoreng, uap
panas, minyak “by-products” berminyak dan potongan-potongan bahan makanan
yang dapat disaring.
Gambar 1. Proses penggorengan secara “deep-fat frying” (Robertson, 1967)
Selama penggorengan bahan pangan dapat terjadi perubahan-perubahan
fisikokimiawi baik pada bahan pangan yang digoreng, maupun minyak
gorengnya. Apabila suhu penggorengannya lebih tinggi dari suhu normal (168-
196˚C) maka akan menyebabkan degradasi minyak goreng berlangsung dengan
cepat (antara lain titik asap menurun). Titik asap minyak goreng tergantung pada
kadar gliserol bebas. Titik asap adalah saat terbentuknya akrolein yang tidak
diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan.
Penggorengan dengan suhu tinggi sehingga makanan menjadi sangat
matang memicu terjadinya reaksi browning (pencoklatan) dan akhirnya muncul
senyawa amina-amina heterosiklis penyebab kanker. Selain itu penggorengan juga
mengakibatkan penurunan kandungan zat-zat gizi karena rusak. Kesalahan teknik
menggoreng juga bisa berdampak buruk lainnya. Apabila minyak belum siap
untuk menggoreng, kadang-kadang bahan makanan akan menyerap minyak lebih
banyak. Penting diketahui bahwa meski sebagian zat gizi akan rusak selama
penggorengan, makanan yang digoreng rasanya lebih gurih dan mengandung
kalori lebih banyak. Cita rasa makanan gorengan ini sering lebih enak
dibandingkan dengan makanan rebusan.
Menurut Muchtadi (2008), Pada penggorengan deep frying (Gambar 2)
saat bahan makanan dimasukkan ke dalam minyak suhu permukaan bahan akan
segera meningkat dan air menguap, permukaan bahan pangan akan mengering,
terjadi penguapan lebih lanjut dan berbentuk kerak (crust). Suhu permukaan
bahan akan meningkat hingga suhu minyak panas, sedangkan suhu bagian dalam
bahan pangan akan meningkat secara perlahan hingga suhu 1000C. Suhu proses
penggorengan pada tekanan atmosfer terjadi pada suhu titik didih minyak sekitar
1800C-2000C. Pada saat bahan pangan digoreng, akan terjadi pindah panas dari
sumber panas penggoreng ke bahan pangan, melalui media pindah panas minyak
goreng. Akibat proses pemanasan tersebut, bahan pangan akan melepaskan uap air
yang dikandungnya.
Permukaan bahan pangan memiliki struktur yang porous, yang memiliki
kapiler-kapiler dengan berbagai ukuran. Selama penggorengan, air dan uap air
akan dikeluarkan melalui kapiler-kapiler yang lebih besar dahulu, dan digantikan
oleh minyak panas. Uap air yang keluar dari bahan pangan pada saat
penggorengan akan dilepaskan ke udara bebas. Penguapan air menyebabkan kadar
air pada permukaan bahan pangan yang digoreng menjadi rendah, yang
menyebabkan tekstur yang renyah. Minyak juga akan melepaskan hasil degradasi
minyak yang bersifat volatil ke udara. Bahan pangan sendiri akan melepaskan
remah-remah hasil penggorengan ke dalam minyak, demikian juga berbagai
komponen yang terlarut minyak akan berada pada minyak goreng.
Suhu tinggi akan menyebabkan waktu penggorengan lebih singkat. Namun
suhu tinggi juga dapat mempercepat terjadinya kerusakan minyak akibat
pembentukan asam lemak bebas, yang mengakibatkan perubahan kekentalan,
flavor, dan warna minyak goreng. Pemanasan yang berlebihan pada bahan pangan
mengakibatkan minyak lebih banyak terperangkap dalam produk gorengan.
Produk yang diibginkan memiliki kerak yang kering dengan bagian dalam basah ,
harus digoreng pada suhu tinggi. Terbentuknya kerak pada permukaan bahan
pangan akan menghambat laju pindah panas ke bagian dalam bahan pangan.
Pemanasan pada tekanan atmosfer memungkinkan terjadinya kontak antara
minyak goreng dengan udara yang memungkinkan terjadinya oksidasi pada
minyak.
Gambar 2. Skema penggorengan deep frying pada tekanan atmosfer
Menurut Muchtadi (2008) berdasarkan kondisi prosesnya, penggorengan
juga dapat dilakukan pada kondisi tekanan atmosferik, bertekanan lebih tingggi
dari tekanan atmosfer, dan pada kondisi vakum. Penggorengan pada kondisi
tekanan atmosfer terjadi pada penggorengan konvensional dimana proses
penggorengan dilakukan secara terbuka pada tekanan normal atmosfer. Suhu
proses penggorengan pada tekanan atmosfer terjadi pada suhu titik didih minyak
yaitu sekitar 180-200˚C. Uap air yang keluar dari bahan pangan akan
dilepaskan ke udara bebas. Proses penggorengan pada kondisi bertekanan,
dilakukan pada tekanan yang lebih tinggi dari tekanan atmosfer. Untuk keperluan
tersebut dibutuhkan peralatan penggorengan khusus dengan sistem tertutup yang
mampu menahan tekanan tinggi. Wajan penggorengan berupa wadah tertutup
yang diberi tekanan tinggi yang akan mengakibatkan proses penggorengan terjadi
pada suhu yang juga lebih tinggi. Proses penggorengan pada kondisi vakum
adalah proses yang terjadi pada tekanan lebih rendah dari tekanan atmosfer,
hingga tekanan lebih kecil dari 0 atau kondisi hampa udara.
Proses penggorengan pada tekanan yang lebih rendah akan menyebabkan
titik didih minyak goreng juga lebih rendah, misalnya dapat mencapai 900C.
Proses penggorengan yang terjadi pada suhu yang rendah ini menyebabkan proses
ini sangat sesuai digunakan untuk menggoreng bahan tidak banyak melepaskan air
yang dikandungnya. Sedangkan bila digoreng dengan kondisi vakum, suhu
penggorengan akan lebih rendah sehingga dapat dihasilkan warna hasil gorengan
yang baik, serta tekstur yang renyah.
2.5 Uji Organoleptik
Pengujian organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses
pengindraan.Pengindraan diartikan sebagai suatu proses fisio-psikologis, yaitu
kesadaran atau pengenalan alat indra akan sifat-sifat benda karena adanya
rangsangan yang diterima alat indra yang berasal dari benda tersebut. Pengindraan
dapat juga berarti reaksi mental (sensation) jika alat indra mendapat rangsangan
(stimulus). Reaksi atau kesan yang ditimbulkan karena adanya rangsangan dapat
berupa sikap untuk mendekati atau menjauhi, menyukai atau tidak menyukai akan
benda penyebab rangsangan.
Kesadaran, kesan dan sikap terhadap rangsangan adalah reaksi psikologis
atau reaksi subyektif. Pengukuran terhadap nilai/tingkat kesan, kesadaran dan
sikap disebut pengukuran subyektif atau penilaian subyektif. Disebut penilaian
subyektif karena hasil penilaian atau pengukuran sangat ditentukan oleh pelaku
atau yang melakukan pengukuran. Jenis penilaian atau pengukuran yang lain
adalah pengukuran atau penilaian suatu dengan menggunakan alat ukur dan
disebut penilaian atau pengukuran instrumental atau pengukuran obyektif.
Pengukuran obyektif hasilnya sangat ditentukan oleh kondisi obyek atau
sesuatu yang diukur. Demikian pula karena pengukuran atau penilaian dilakukan
dengan memberikan rangsangan atau benda rangsang pada alat atau organ tubuh
(indra), maka pengukuran ini disebut juga pengukuran atau penilaian subyketif
atau penilaian organoleptik atau penilaian indrawi. Yang diukur atau dinilai
sebenarnya adalah reaksi psikologis (reaksi mental) berupa kesadaran seseorang
setelah diberi rangsangan, maka disebut juga penilaian sensorik.
Rangsangan yang dapat diindra dapat bersifat mekanis (tekanan, tusukan),
bersifat fisis (dingin, panas, sinar, warna), sifat kimia (bau, aroma, rasa). Pada
waktu alat indra menerima rangsangan, sebelum terjadi kesadaran prosesnya
adalah fisiologis, yaitu dimulai di reseptor dan diteruskan pada susunan syaraf
sensori atau syaraf penerimaan. Mekanisme pengindraan
secara singkat adalah :
1. Penerimaan rangsangan (stimulus) oleh sel-sel peka khusus pada indra
2. Terjadi reaksi dalam sel-sel peka membentuk energi kimia
3. Perubahan energi kimia menjadi energi listrik (impulse) pada sel syaraf
4. Penghantaran energi listrik (impulse) melalui urat syaraf menuju ke syaraf
pusat otak atau sumsum belakang.
5. Terjadi interpretasi psikologis dalam syaraf pusat
6. Hasilnya berupa kesadaran atau kesan psikologis.
BAB III
METODOLOGI PENGAMATAN DAN PANGUKURAN
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
a. Deep Fryer (panci penggoreng rendam)
b. Termokopel
c. Kertas untuk meletakkan sampel
d. Penggaris
e. Pisau
f. Penetrometer
3.1.2 Bahan
a. Kentang
b. Nugget
c. Minyak goreng
3.2 Prosedur Percobaan
3.2.1 Pengukuran perubahan kekerasan sampel selama perebusan
a. Menyiapkan sampel bahan pangan berupa kentang sebanyak 2 (ulangan
suhu) x 7 (waktu) x 14 sampel (setiap menggoreng). 12 sampel digoreng
dan 2 sampel tidak digoreng sebagai t sama dengan nol.
b. Menyiapkan penggorengan berisi minyak dan memanaskannya hingga
mencapai suhu konstan (180˚C). Mengukur suhu pemanas dengan
thermometer. Suhu cairan pemanas harus selalu dimonitor.
c. Menyiapkan 12 sampel dalam saringan kawat dan kemudian
mencelupkannya dalam minyak yang telah panas secukupnya. Variasi
lama pemanasan 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 menit.
d. Mengambil 1 buah sampel untuk mengukur kekerasan dengan
penetrometer. Sisa sampel yang lain digunakan untuk uji kematangan.
Menyiapkan sampel dari setiap lama penggorengan untuk uji kematangan
dalam kertas yang disediakan. Memberi masing-masing kertas tanda sesuai
dengan lama penggorengan.
3.2.2 Pengukuran pengaruh suhu pada laju perubahan
a. Mengerjakan cara A dengan minya pada suhu 180 dan 160˚C .
b. Melakukan pengamatan seperti A dengan lama penggorengan yang sama.
3.2.3 Uji sensori kematangan sampel
a. Menyiapkan meja terbuka. Kemudian menyiapkan sampel hasil
penggorengan dari setiap lama penggorengan. Mengambil satu sampel
oleh salah satu praktikan dari salah satu perlakuan, kemudian mencicipi
sampel untuk menentukan kematangannya, cukup dikunyah tidak perlu
ditelan. Dari pengalaman mencicipi masakan, menentukan warna sampel,
tingat kematangan dan kekerasan sampel berdasarkan skor berikut:
Perubahan Warna: Tingkat Kematanga: Kekerasan:
1. Putih
2. Putih agak kuning
3. Kuning
4. Cokelat muda
5. Cokelat tua
1. Mentah
2. Agak mentah
3. Sedang
4. Agak matang
5. Matang
1. Sangat keras
2. Agak keras
3. Sedang
4. Agak lunak
5. Lunak
b. Tingkat skor kematangan dan kekerasan hasil cicip dengan hasil
pengukuran penetrometer kerucut dihubungkan.
BAB IV
HASIL PERCOBAAN
4.1 Tabel Hasil Pengamatan dan Grafik
Tabel 1. Kentang suhu 180˚C
No
.t (m) Uji tekan (kg) Kematangan Kelunakan Perubahan warna
Rata-rata uji
sensoris
1. 0 1,38 1 1 1 1
2. 1 1,17 1 1 2 1,33
3. 2 1,32 2 2 2 2
4. 3 1,23 3 3 2 2,67
5. 4 1,26 3 4 2 3
6. 5 1,83 5 5 2 4
7. 6 1,5 5 5 3 4,33
8. 7 1,5 5 5 4 4,67
Grafik 1. Grafik Uji Tekan dan Uji Sensoris Kentang pada Suhu 180˚C
0 1 2 3 4 5 6 70
0.20.40.60.8
11.21.41.61.8
2
00.511.522.533.544.55
Grafik Uji Tekan dan Uji Sensoris Kentang Suhu 180˚C
Uji SensorisUji Tekan
Waktu
Uji T
ekan
Uji
Sens
oris
Tabel 2. Nugget suhu 180˚C
No. t (m)Uji tekan
(kg)Kematangan Kelunakan Perubahan warna
Rata-rata uji
sensoris
1. 0 1,73 1 1 2 1,33
2. 1 0,93 2 2 2 2
3. 2 1,05 3 3 2 2,67
4. 3 1,03 3 4 3 3,33
5. 4 1,23 4 4 3 3,67
6. 5 1,216 4 4 4 4
7. 6 1,15 5 5 4 4,67
8. 7 1,376 5 5 5 5
Grafik 2. Grafik Uji Tekan dan Uji Sensoris Nugget pada Suhu 180˚C
0 1 2 3 4 5 6 70
0.20.40.60.8
11.21.41.61.8
2
0
1
2
3
4
5
6
Grafik Uji Tekan dan Uji Sensoris Nugget Suhu 180˚C
Uji SensorisUji Tekan
Uji T
ekan
Waktu
Uji
Sens
oris
Tabel 3. Kentang suhu 160˚C
No. t (m)Uji tekan
(kg)Kematangan Kelunakan
Perubahan
warna
Rata-rata
uji sensoris
1. 0 1,38 1 2 1 1,33
2. 1 1,02 2 2 1 1,67
3. 2 1,15 3 3 2 2,67
4. 3 1,13 3 4 3 3,33
5. 4 1,36 4 4 3 3,67
6. 5 1,33 4 4 3 3,67
7. 6 1,43 5 5 4 4,67
8. 7 2 5 5 4 4,67
Grafik 3. Grafik Uji Tekan dan Uji Sensoris Kentang pada Suhu 160˚C
0 1 2 3 4 5 6 70
0.5
1
1.5
2
2.5
00.511.522.533.544.55
Grafik Uji Tekan dan Uji Sensoris Kentang Suhu 160˚C
Uji SensoriUji Tekan
Waktu
Uji T
ekan
Uji S
enso
ris
Tabel 4. Nugget suhu 160˚C
No. t (m)Uji tekan
(kg)Kematangan Kelunakan
Perubahan
warna
Rata-rata
uji sensoris
1. 0 1,33 1 2 2 1,67
2. 1 1,13 2 2 3 2,33
3. 2 0,73 2 3 3 2,67
4. 3 0,9 3 3 3 3
5. 4 0,2 3 3 4 3,33
6. 5 0,97 4 4 4 4
7. 6 1,13 4 4 4 4
8. 7 0,97 5 5 5 5
Grafik 3. Grafik Uji Tekan dan Uji Sensoris Nugget pada Suhu 160˚C
0 1 2 3 4 5 6 70
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
0
1
2
3
4
5
6
Uji SensorisUji Tekan
BAB V
PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan mengenai kinetika bahan
pangan selama penggorengan. Bahan pangan yang dipergunakan pada praktikum
kali ini adalah kentang (french fries) dan nugget. Kedua bahan ini digoreng dalam
minyak bersuhu 180˚C dan 160˚C dengan menggunakan deep fryer atau panci
penggoreng rendam.
Menurut Fellows (1990) penggorengan adalah suatu operasi mengubah
eating quality suatu makanan, memberikan efek preservasi akibat destruksi termal
pada mikroorganisme dan enzim, serta mengurangi aktivitas air (aw). Shelf life
makanan goreng hampir semuanya ditentukan oleh kadar air setelah
penggorengan. Proses utama yang terjadi selama penggorengan adalah
perpindahan panas dan masa, dengan minyak yang berfungsi sebagai media
penghantar panas. Panas yang diterima bahan dipergunakan untuk berbagi proses
dalam bahan, antara lain untuk penguapan air, gelatinisasi pati, denaturasi protein,
reaksi pencoklatan dan karamelisasi. Proses yang beragam ini harus dikendalikan
sedemikian rupa sehingga tidak merusak mutu produk. Salah satu
pengendaliannya adalah dengan mengatur waktu dan suhu penggorengan
(Suyitno, 1991).
Dalam percobaan yang dilakukan dalam praktikum, dilakukan percobaan
sebanyak 8 kali, mulai dari penggorengan selama 0 menit (bahan tidak digoreng)
sampai bahan digoreng selama 7 menit dalam 2 perlakuan suhu panas 180˚C dan
160˚C untuk bahan french fries dan nugget. Setelah bahan digoreng, dilakukan uji
organoleptik dengan cara melihat perubahan warna yang terjadi pada bahan,
mengukur tingkat kematangan dengan cara mencicipi bahan, selanjutnya
dilakukan pengukuran kekerasan dengan penetrometer kerucut.
Selama proses penggorengan berlangsung, terjadi modifikasi karakteristik
fisika, kimia dan tanggapan panca indra atau sensorik. Penggorengan bahan juga
mengakibatkan serapan minyak ke dalam produk. Hal ini dipengaruhi oleh faktor
fisika-kimia dari produk dan minyak, dan suhu minyak (Krokida,et al., 2000),
serta waktu penggorengan, perlakuan permukaan bahan, dan ukuran bahan
(Pravisani and Calvelo, 1986).
Setelah dilakukan penggorengan tersebut, bahan diletakkan berurutan
berdasarkan lamanya waktu penggorengan. Dapat dilihat bahwa terjadi perubahan
warna bahan setelah proses penggorengan, semakin lama bahan digoreng, maka
warna yang dihasilkan menjadi semakin cokelat. Selain itu tingkat kematangannya
pun semakin lama semakin matang. Hal tersebut berbanding lurus dengan
kekerasan bahan, semakin lama bahan digoreng, tingkat kekerasannya semakin
berkurang.
Menurut Marsudi (2008), yang menyatakan bahwa warna kecoklat-
coklatan yang timbul akibat penggorengan tersebut disebabkan oleh adanya reaksi
Maillard, yaitu reaksi antara asam amino pada protein dengan karbohidrat.
Sedangkan utuk rasa juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyatakan
bahwa rasa suatu bahan makanan sebenarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti suhu, konsentrasi satu komponen dan interaksi dari faktor-faktor lainnya.
Berdasarkan percobaan yang dilakukan pada penggorengan dengan suhu
180ºC, tingkat kematangan kentang paling maksimal terjadi pada menit ke-5,
sedangkan nugget pada menit ke-6. Untuk penggorengan pada suhu 160ºC,
tingkat kematangan kentang paling maksimal terjadi pada menit ke-6, sedangkan
nugget pada menit ke-7. Dari hasil ini bisa dilihat bahwa besarnya suhu minyak
saat penggorengan berpengaruh pada lamanya proses pematangan bahan, dimana
semakin tinggi suhu minyak maka semakin cepat proses pematangan. Akan tetapi
perlu diperhatikan bahwa dalam penggorengan, suhu minyak yang terlalu tinggi
dapat menyebabkan terjadinya case hardening pada bahan, dimana dari luar bahan
tampak matang/kering, namun bagian dalamnya belum matang.
Berdasarkan literatur yang didapat, sebenarnya produk nugget hanya
memerlukan waktu penggorengan selama 1 menit pada suhu 150ºC, tetapi dalam
pelaksanannya dalam praktikum diperlukan waktu pematangan sampai 7 menit.
Sedangkan untuk kentang goreng french fries, biasanya dilakukan 2 kali tahap
penggorengan, yaitu penggorengan awal dan penggorengan akhir.
Penggorengan awal dilakukan pada suhu 175 ºC selama 2 menit. Smith
dan Talburt (1987) menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk penggorengan ini
lebih singkat dan pada suhu yang lebih rendah karena karakteristik produk goreng
yang diinginkan hanya setengah matang. Adapun tujuan dari penggorengan awal
ini adalah untuk menghilangkan air yang melekat pada potongan kentang
sehingga bahan tidak lengket satu sama lain selama pembekuan.
Penggorengan akhir dilakukan pada suhu 190ºC selama 3 menit.
Penggorengan akhir memerlukan waktu yang lebih lama yaitu berkisar 2,5 sampai
5 menit tergantung dari suhu minyak goreng, ukuran bahan dan tingkat
kematangan yang diinginkan. Suhu penggorengan akhir biasanya berkisar antara
177 ºC sampai 190ºC. Smith dan Talburt (1987) menganjurkan bahwa suhu
penggorengan akhir tidak melebihi 190ºC karena pada suhu yang tinggi kerusakan
minyak akan lebih cepat terjadi.
Setelah dilakukan pengujian pada saat praktikum, selanjutnya data yang
diperoleh kemudian diplotkan ke dalam grafik. Untuk percobaan pertama, yaitu
pada kentang dan nugget yang digoreng pada suhu 180ºC, titik potong antara uji
sensoris dan uji tekan ada pada menit ke-4. Namun untuk kentang, titik potongnya
tidak benar-benar tepat seperti pada nugget. Hal tersebut dikarenakan pada
pengujian sensoris dan uji tekan tidak benar-benar sama hasilnya sehingga tidak
ditemukan titik potong yang pas. Terakhir untuk percobaan kedua, pada kentang
dan nugget yang digoreng pada suhu 160ºC, titik potong antara uji sensoris dan
uji tekan nugget ada pada menit ke-5. Namun begitu, titik potong antara uji
sensorik dan uji tekannya tidak benar-benar pas. Sedangkan untuk kentang tidak
ditemukan adanya titik potong antara uji tekan dan uji sensoriknya. Hal ini bisa
disebabkan oleh adanya kesalahan yang terjadi selama praktikum seperti
kesalahan saat pembacaan penetrmeter, kerusakan alat, atau kurangnya keakuratan
pengamat pada saat melakukan praktikum, dan bisa juga disebabkan oleh adanya
kesalahan praktikan pada saat memplotkan data.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan
bahwa:
1. Penggorengan adalah suatu operasi mengubah eating quality suatu
makanan, memberikan efek preservasi akibat destruksi termal pada
mikroorganisme dan enzim, serta mengurangi aktivitas air (aw).
2. Proses yang harus dikendalikan sedemikian rupa sehingga tidak merusak
mutu produk adalah dengan mengatur waktu dan suhu penggorengan.
3. Selama proses penggorengan berlangsung, terjadi modifikasi karakteristik
fisika, kimia dan tanggapan panca indra atau sensorik.
4. Warna kecoklat-coklatan yang timbul akibat penggorengan tersebut
disebabkan oleh adanya reaksi Maillard, yaitu reaksi antara asam amino
pada protein dengan karbohidrat.
5. Suhu minyak yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya case
hardening pada bahan, dimana dari luar bahan tampak matang/kering,
namun bagian dalamnya belum matang.
6. Suhu penggorengan yang terlalu tinggi dapat mempercepat terjadinya
kerusakan pada minyak goreng.
4.2 Saran
Disarankan kepada praktikan yang akan melakukan praktikum serupa
agar:
1. Memahami terlebih dahulu materi yang akan dipraktikkan agar
memudahkan jalannya praktikum.
2. Melakukan praktikum dengan serius dan teliti untuk meminimalisir
terjadinya kesalahan.
3. Memastikan suhu cairan pemanas pada deep fryer sudah sesuai dengan
suhu yang dikehendaki dan pastikan suhu cairan pemanas selalu
dimonitor.
4. Melakukan perhitungan dengan teliti dan hati-hati sehingga terhindar dari
kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Amertaningtyas, 2003. Peran Bawang Putih (Allium sativum) dalam Meningkatkan Kualitas Daging Ayam Pedaging. Bagian Ilmu Kedokteran Dasar Veteriner , Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga. Surabaya
Blumenthal, M.M. A new look at the chemistry and physics of deep fat frying. Food Tech. 45:68 (1991).
Chang, S.H., Peterson, R. and Ho, C.T. Chemical reactions involved in deep fat frying of foods. J. Am. Oil Chem. Soc. 55:718 (1978).
Croon, L.B., Rogstad, A., Leth, T. and Kiutamo, T. A comparative study of analytical methods for quality evaluation of frying fat. Fette Seifen Anstrichmittel 88:87 (1986).
Hidajati, Nove. 2005. Peran Bawang Putih (Allium sativum) dalam Meningkatkan Kualitas Daging Ayam Pedaging. Bagian Ilmu Kedokteran Dasar Veteriner , Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga. Surabaya
Indra, Denny. 2011. Uji Organoleptik. Tersediahttp://poenyasemua.blogspot.com (Diakses pada tanggal 22 Maret 2013 pukul 20.28 WIB)
Lee, S., Reddy, B.R. and Chang, S. Formation of a potato chip-like flavor from methionine under deep-fat frying conditions. J. Food Sci. 38:788 (1973).
Marsudi. 2011. Artikel Pembuatan Chicken Nugget. Tersedia:http://www.stpp-bogor.ac.id (Diakses pada tanggal 22 Maret 2013 pukul 20.28 WIB)
Pratiwi, Ida Ayu Rina. 2003. Kajian Serapan Minyak dan Kinetika Tekstur pada Kentang Selama Penggorengan. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Perkins, E.G. and Van Akkeren, L.A. Heated fats. IV. Chemical changes in fats subjected to deep fat frying process: Cottonseed oil. J. Am. Oil Chem. Soc. 42:782 (1965).
Pokorny, J. Flavor chemistry of deep fat frying in oil, in Flavor Chemistry of Lipid Foods, Min, D.B. and Smouse, T.H., Eds., American Oil Chemists’ Society, Champaign, IL, 1989, pp. 113–115.
Smith, L.M., Clifford, A.J., Hamblin, C.L. and Creveling, R.K. Changes in physical and chemical properties of shortenings used for commercial deep-fat frying. J. Am. Oil Chem. Soc. 63:1017 (1986).
Stevenson, S.G., Vaisey-Genser, M. and Eskin, N.A.M. Quality control in the use of deep frying oils. J. Am. Oil Chem. Soc. 61:1102 (1984).
Sugitha, 1995 Perubahan Sifat Fisik Daging Ayam Broiler Post Mortem Selama Penyimpanan Temperatur Ruang. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Sumedang
Sutaryo dkk. 2006. Kadar Kolesterol, Keempukan dan Tingkat Kesukaan Chicken Nugget Dari Berbagai Bagian Karkas Broiler. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Kampus Baru UNDIP Tembalang Semarang
Ratu, Ayu Dewi Sartika. Pengaruh Suhu dan Lama Proses Menggoreng (Deep Frying) Terhadap Pembentukan Asam Lemak Trans. Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat: Universitas Indonesia. Makara, Sains, Vol. 13, No. 1, April 2009: 23-28.
Warner, K., Orr, P. and Glynn, M. Effect of frying oil composition on potato chip stability. J. Am. OilChem. Soc. 71:1117 (1994).
White, P.J. Methods for measuring changes in deep-fat frying oils. Food Tech. 45:75 (1991).
LAMPIRAN
Gambar 1. Deep Fryer Gambar 2. Piring sterofoam
Gambar 3. Nugget goreng Gambar 4. Uji tekan kentang
Gambar 5. Proses penggorengan Gambar 6. Sampel kentang & nugget
Gambar 7. Bahan Gambar 8. Termokopel & Deep Fryer
Gambar 9. Penetrometer Gambar 9. Bahan yang akan digoreng