laporan penelitian kebijakan hukum pemisahan … · masyarakat adat memiliki pengakuan atas...
TRANSCRIPT
LAPORAN PENELITIAN
KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN HUTAN ADAT DARI HUTAN NEGARA
PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (PUTUSAN NOMOR 35/PUU-X/2012)
Tim Penyusun: Bisariyadi; Winda Wijayanti; Ananthia Ayu D.; Intan P. Putri
Pusat Penelitian, Pengkajian Perkara, dan Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi
(Pusat P4TIK) 2015
i
DAFTAR ISI Daftar Isi Kata Pengantar Ringkasan Eksekutif Daftar Tabel dan Gambar BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan dan Manfaat D. Metode Penelitian E. Sistematika
BAB II KERANGKA KONSEP
A. Azas Domeinverklaring B. Pengakuan (Recognition) Masyarakat Hukum Adat C. Hutan Adat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
BAB III KEBIJAKAN HUKUM NASIONAL PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Kebijakan Hukum pada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2012-2014)
B. Kebijakan Hukum pada Pemerintahan Joko Widodo (2014 – sekarang)
C. Inventarisasi Peraturan Perundang-undangan Pasca Putusan 35/PUU-X/2012
BAB IV STUDI KASUS PEMISAHAN HUTAN NEGARA DAN HUTAN ADAT DI KABUPATEN LEBAK (MASYARAKAT KASEPUHAN)
A. Asal Usul Masyarakat Kasepuhan B. Masyarakat Kasepuhan dan Hutan C. Konflik Tenurial di Kabupaten Lebak (Masyarakat Kasepuhan
dengan Taman Nasional Gunung Halimun) D. Upaya Penyusunan Raperda Pengakuan Masyarakat Adat dan
Pemisahan Hutan Adat dan Hutan Negara
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan B. Saran
Daftar Pustaka Lampiran
Lampiran I Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak tentang Kasepuhan
ii
Kata Pengantar Sebagai sebuah penelitian yang menjadi program tahunan di Pusat P4TIK, laporan ini
merupakan bagian dari asah terampil kami, peneliti di Pusat P4TIK, dalam merangkai
argumen, menyusun deskripsi, mengolah data dan informasi. Tentu, bayangan ini
merupakan wujud ideal yang terkadang jauh dari kesesuaian dengan realita. Terdapat
banyak kendala yang sifatnya bukan persoalan substansial dalam kegiatan penelitian,
namun justru persoalan administratif dan teknis penyelenggaraan kegiatan penelitian yang
menjadi faktor terkendalanya kegiatan penelitian. Seiring dengan serangkaian kewajiban
kami selaku peneliti yang memiliki tugas dan fungsi lain yang menjadi pekerjaan sehari-hari,
acap kali proses penyusunan dan kegiatan penelitian terpinggirkan untuk beberapa saat.
Tentunya pernyataan diatas tidak menjadi dasar legitimasi dan argumentasi kami bilamana
laporan penelitian ini tidaklah cukup layak untuk disebut laporan penelitian. Pernyataan
tersebut diatas diungkapkan murni dalam rangka refleksi atas penyelenggaraan kegiatan
penelitian selama ini yang telah menjadi kegiatan rutin di Pusat P4TIK.
Adapun dalam hal laporan penelitian yang kami susun ini merupakan buah karya terbaik
yang bisa kami sajikan ditengah kendala yang dihadapi. Secara ideal, penelitian mengenai
masyarakat adat, terlebih bagi kami yang memfokuskan diri pada persoalan pengelolaan
hutan adat di masyarakat kasepuhan, baiknya dilakukan melalui pendekatan metode empiris
yaitu menggali data dan informasi secara langsung ke lapangan. Namun dengan segala
keterbatasan yang ada kami menyajikan laporan ini dengan pendekatan normatif. Harapan
kami adalah bahwa semoga hal ini tidak mengurangi nilai kontribusi kami sebagai bagian
dari kajian-kajian akademik yang akan dilakukan nantinya.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Achmad Sodiki, SH, yang
berkenan menjadi pembimbing kami selama penyusunan laporan penelitian ini, disela-sela
kepadatan agenda beliau sehari-hari. Selainitu, kami juga berterima kasih kepada rekan-
rekan di bagian Tata Usaha Pusat P4TIK yang memberikan dukungan teknis-administratif
demi tersusunnya laporan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga layak kami sampaikan
kepada rekan-rekan peneliti lain yang menjadi kawan seperjuangan dan kompetitor dalam
upaya penyelesaian penyusunan laporan penelitian.
Tim Penyusun.
iii
Ringkasan Eksekutif
Judul Penelitian : Kebijakan Hukum Pemisahan Hutan Adat Dari Hutan Negara
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan Nomor 35/PUU-
X/2012)
Tim Penyusun : Bisariyadi; Winda Wijayanti; Ananthia Ayu D.; Intan P. Putri
Kondisi pengelolaan hutan bisa dikatakan carut marut dan diwarnai tarik-menarik
kepentingan. Paling tidak carut marutnya kondisi pengelolan hutan ini dapat dilihat
dariperspektif kebijakan desentralisasi yang melibatkan pelimpahan kewenangan
pemerintah pusat kepada daerah. Tata kelola hutan dalam perspektif kebijkan desentralisasi
diartikan dengan pemerintah lokal mendapatkan kapasitas teknis dan atau otoritas formal
dari pemerintah pusat untuk mengelola hutan yang masuk dalam batas administrasi
pemerintah lokal. Pelimpahan kewenangan kepada pemerintah lokal tidak selalu menjadikan
hutan dikelola lebih baik. Pelimpahan kewenangan seringkali dipergunakan secara keliru
dengan mengeluarkan lebih banyak izin pemanfaatan secara tidak terkendali, seperti terjadi
di Indonesia sekarang ini. Dari perspektif kebijakan desentralisasi, Peraturan Daerah (perda)
digunakan sebagai instrumen pengakuan hutan adat.
Salah satu peristiwa penting terkait dengan pengakuan dan penguatan masyarakat hukum
adat dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan adalah adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 yang mendefinisikan “kawasan hutan” adalah wilayah
tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap sebagai hal yang bertentangan dengan konstitusi.
Mahkamah secara tegas menyatakan bahwa penunjukan suatu kawasan dijadikan hutan
tanpa proses yang melibatkan stake holder seperti masyarakat adat bertentangan dengan
konstitusi. Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian
dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen hukum pidana untuk mengatur
pemanfaatan hutan tanpa izin oleh masyarakat adat tidak sesuai dengan pengakuan dan
implementasi mengenai hak-hak masyarakat adat yang tidak terpisahkan.
Lebih lanjut lagi dalam Putusan 35/PUU-X/2012, MK memisahkan antara hutan negara
dengan hutan adat yang dirumuskan bahwa“terhadap hutan negara, negara mempunyai
wewenang penuh untuk mengatur dan memutuskan persediaan, peruntukan, pemanfaatan,
pengurusan serta hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara.
Kewenangan pengelolaan oleh negara di bidang kehutanan seharusnya diberikan kepada
kementerian yang bidangnya meliputi urusan kehutanan.Terhadap hutan adat, wewenang
negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat.”
iv
Mengingat Putusan MK membawa dampak luas dalam berbagai hal termasuk penataan
ruang dan otonomi daerah, maka perlu pula dilakukan sebuah proses harmonisasi dan
sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait. Dari sisi perundang-undangan, langkah-
langkah yang diperlukan untuk menindaklanjuti putusan tersebut, yaitu menerbitkan atau
menginisiasi dikeluarkannya peraturan yang dapat mewadahi berbagai isu hukum terkait
hutan adat seperti tata cara mengidentifikasi hutan adat, mekanisme pengakuan dan
perlindungannya, perlindungan atas hak/izin yang sudah diberikan berdasarkan peraturan
yang berlaku, mekanisme dan kelembagaan penyelesaian konflik, aturan untuk mencegah
dan membatasi penyalahgunaan pengakuan atas hutan adat untuk kepentingan pribadi,
serta mandat memetakan wilayah adat.
Oleh karena itu, pokok persoalan yang diangkat dalam penelitian ini adalah
1. Kebijakan hukum apa yang telah diterbitkan dalam rangka menindaklanjuti putusan MK
yang memisahkan antara hutan Negara dan hutan adat (Pustuan Nomor 35/PUU-
X/2012)?
2. Bagaimanakah pola implementasi riil di lapangan terkait dengan kebijakan pemisahan
hutan Negara dan hutan adat?
Dalam Bab pembahasan penelitian ini (Bab III) membahas mengenai kebijakan hukum yang
telah diterbitkan oleh pembuat kebijakan (policy makers) dalam rangka menyesuaikan
dengan Putusan 35/PUU-X/2012). Dikarenakan ada perubahan rezim maka pada bab
pembahasan ini, dibagi berdasarkan jangka waktu pemerintahan yang dipegang oleh masa
kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. Pada intinya, pada bagian ini
tim peneliti melakukan inventarisasi kebijakan-kebijakan hokum dalam rangka
menindaklanjuti putusan MK nomor 35/PUU-X/2012 yang memisahkan hutan Negara dan
hutanadat.
Sedangkan pada bab pembahasan selanjutnya (Bab IV) difokuskan pada studi kasus yang
khusus menyorot mengenai implementasi kebijakan yang memisahkan hutan Negara dan
hutan adat dalam level daerah melalui penerbitan peraturan daerah. Sayangnya, belum ada
satupun daerah yang hingga penelitian ini disusun telah menerbitkan peraturan daerah yang
mengatur pemisahan hutan adat dan hutan negara. Satu daerah yang paling mendekati
upaya untuk penerbitan peraturan daerah mengenai pemisahan hutan adat dan hutan
Negara adalah Kabupaten Lebak. Alasan kami memilih studi kasus yang menitikberatkan
padakasus di kabupaten lebak adalah pertama, di Kabupaten Lebak terdapat sejumlah
beberapa komunitas masyarakat adat, yaitu masyarakat Baduy (Kanekes) dan masyarakat
kasepuhan. Kedua, Kabupaten Lebak termasuk daerah yang aktif dalam upaya pengakuan
keberadaan masyarakat adat melalui penerbitan kebijakan-kebijakan pemerintah baik
v
berupa peraturan daerah maupun melalui surat keputusan bahkan sebelum adanya
putusan-putusan MK, misalnya (i) Perda nomor 32 tahun 2001 tentang Perlindungan Hak
Ulayat Masyarakat Adat Baduy; (ii) SK Bupati Lebak nomor 430/Kep.298/Disdikbud/2013
tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat di Wilayah Kesatuan Adat Banten Kidul di
KabupatenLebak Ketiga, Kabupaten Lebak, terutama masyarakat adat kasepuhan, memiliki
sejarah panjang dalam hal konflik tenurial untuk pengelolaan hutan dan tanah terlebih
dengan adanya penetapan Taman Nasional Gunung Halimun. Terakhir, Kabupaten Lebak
merupakan daerah yang berada dalam garis depan dalam upaya pemisahan hutan negara
dan hutan adat melalui penerbitan peraturan daerah, meskipun dalam proses penelitian ini,
rancangan peraturan daerah tersebut belum disahkan namun naskah akademis dan
rancangan peraturan daerah telah disusun.
vi
Daftar Tabel dan Gambar
Tabel : Tabel 1. Perbandingan fungsi dan status hutan
Tabel 2. Produk hukum daerah mengenai pengakuan keberadaan masyarakat hukum
adat berdasarkan daerah provinsi, kabupaten/kota
Tabel 3. Pembagian Ruang Adat Kasepuhan
Tabel 4. Bentuk aturan adat masyarakat kasepuhan
Diagram : Diagram 1. Rekapitulasi Perkembangan Produk Hukum Daerah
Diagram 2. Alur pendaftaran wilayah adat
Gambar : Gambar 1. Batas antara hutan titipan dengan wilayah bukaan
Gambar 2. Batas antara hutan titipan dengan pemukiman
Gambar 3. Batas antara hutan dengan lahan garapan warga
Gambar 4. Pohon Hanjuang sebagai batas pemukiman
Gambar 5. Pohon Hanjuang sebagai batas wilayah garapan
Gambar 6. Peta Lokasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam terpenting di Indonesia. Indonesia
merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki hutan terluas dan merupakan
hutan tropika basah terbesar ketiga di dunia, setelah Brazil dan Zaire. Hutan dalam
fungsinya sebagai penyedia pangan (forest for food production) diperoleh melalui
pemanfaatan langsung plasma nutfah flora dan fauna untuk pemenuhan kebutuhan
pangan. Selain itu, secara tidak langsung kawasan hutan juga dimanfaatkan untuk
memproduksi sumber pangan. Hutan adalah wilayah dimana pernyataan
kebudayaan dari sebuah komunitas ditemukan. Dengan memahami bahwa
hutan merupakan alamat kebudayaan, maka ikatan antara komunitasnya
terhadap hutan sangat kuat. Terdapat rasionalitas yang sering tidak mudah
ditransfer ke dalam logika positivistik untuk menyatakan bagaimana
pertimbangan mempertahankan identitas kebudayaan menjadi dasar terkuat
untuk mempertahankan hutan bagi komunitas tersebut.1 Oleh karenanya, hutan
adalah konsep yang kompleks, yang meliputi aspek ekologis, sosial,
administratif dan hukum.
Negara adalah aktor yang paling utama dalam mengelola hutan. Ini tidak hanya
berlaku di negara-negara maju tetapi juga di negara-negara yang sedang
berkembang atau tidak hanya berlaku di negara-negara sosialis yang menerapkan
sentralisasi kekuasaan, tetapi juga di negara-negara yang menerapkan demokrasi
liberal. Kepemilikan dan peran negara diperlukan untuk mencegah terjadinya
tragedy of the commons2 yang bersumber pada tindakan masing-masing pihak —
baik individu, entitas negara dan bisnis— yang mengeksploitasi kekayaan alam milik
bersama untuk kepentingan pribadi atau kelompok sehingga merugikan kepentingan
1 Myrna A. Safitri, “Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Konflik Kehutanan dan Keadilan Tenurial: Peluang dan Limitasi”, Makalah disampaikan dalam Semiloka Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian Hukum dan Berkeadilan, diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta 13 Desember 2012
2 Garrett Hardin, “The Tragedy of the Commons”, Science 13 December 1968: Vol. 162 no. 3859 pp. 1243-1248
1
publik. Karenanya, negara perlu mengatur kepemilikan dan akses terhadap
sumberdaya alam termasuk hutan. Jika tidak, semua hutan akan jatuh ke tangan
swasta yang lebih berorientasi personal profit gain. Pada masa kolonial maupun
pasca kolonial, negaranegara penganut paham kapitalis atau sosialis telah terbukti
gagal sebagai manager hutan yang kapabel. Para pengelola negara telah
melakukan eksploitasi hutan yang melampaui daya dukungnya dengan memberikan
izin kepada perusahaan swasta dan publik tanpa mekanisme pengawasan dan
evaluasi yang efektif dan para pengelola hutan tidak berfungsi sebagai pengelola
hutan yang kredibel. Ini menyebabkan laju kerusakan hutan cukup tinggi dan
dinyakinin sebagai peyumbang gas rumah kaca pasca revolusi industri terjadi di
negara-negara Barat.
Kondisi demikian menimbulkan berbagai konflik, perlawanan, dan memunculkan
beragam tuntuntan yang disuarakan oleh berbagai pihak. Organisasi masyarakat
sipil berpaham konservasi menuntut lebih banyak kawasan hutan dikonservasi agar
tetap terlindungi dan terjaga. Organsasi lingkungan hidup berpaham konservasi ini
cukup mewarnai gerakan lingkungan hidup. Pada sisi yang lain, gerakan masyarakat
akar rumput juga menuntut kepastian hak atas wilayah hutan yang dikelola oleh
masyarakat. Situasi seperti ini mengilhami gerakan-gerakan lingkungan hidup yang
berpaham eco populism, atau beberapa varian dari pandangan ekologi hijau.
Sebaliknya, organisasi internasional dan multinasional, seperti WWF, the Nature
Conservancy, dan UNEP mendorong setiap negara yang memiliki hutan agar
menjalankan konsep pembangunan hutan yang berkelanjutan. Sementara itu,
masing-masing negara yang memiliki hutan baik tropis dan non tropis terus-menerus
memperlakukan hutan beserta isinya sebagai sumber pendapatan ekonomi yang
penting sehingga tidak bisa dimoratorium begitu saja.
Berkaitan dengan kedudukan dan fungsi hutan yang sangat penting, negara telah
membuat tertib hukum pengaturan hutan melalui Undang-Undang No. 41 tahun
1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) dan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mendefinisikan hutan sebagai
2
suatu “kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang
satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan” (Pasal 1 angka 2).
Selain itu, tujuan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN
Nasional) Tahun 2005 – 2025 yang telah ditetapkan tanggal 5 Februari 2007 dengan
disahkan dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025 adalah
untuk: (a) mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan dalam pencapaian
tujuan nasional; (b) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik
antara pusat dan daerah; (c) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; (d) menjamin
tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan
berkelanjutan; dan (e) mengoptimalkan partisipasi masyarakat.3 Dengan demikian,
perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat dalam hak penguasaan
hutan adat perlu dilakukan bertujuan agar pembangunan hukum dilaksanakan
mellaui pembaruan materi hukum dengan tetap memperhatikan kemajemukan
tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi yang berintikan keadilan dan
kebenaran, ketertiban, dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara
yang tertib, teratur, lancar, serta berdaya saing global.4
Laju deforestasi dan degradasi hutan justru meningkat pada saat kewenangan
pemberian izin diberikan kepada pemerintah daerah. Bahkan pemberian izin
seringkali mengabaikan prinsip-prinsip tata kelola hutan yang baik dan
keberlanjutan. Sedangakn perskpektif kedua dalam tata kelola hutan adalah
pengelolaan hutan secara partisipatif, dimana masyarakat lokal atau pemerintah
lokal atau secara bersama-sama mengelola hutan. Pengelolaan hutan dapat lebih
efektif dan efisien jika dikelola secara bersama-sama oleh masyarakat dan
pemangku kepentingan lainnya, dan tidak dikelola oleh pemerintah secara
sentralistis. Meskipun terlihat ideal, pengelolaan hutan secara partisipatif seringkali
3 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI, Panduan Pengharmonisasian, Pembulatan dan Pemantapan Rancangan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Tim Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI, 2010, h. 155-156. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025.
4 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Op.Cit., h. 158.
3
lebih banyak dilakukan oleh pemerintah lokal dan ketika dikelola bersama,
keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pemerintah lokal dibandingkan dengan
masyarakat.
Akan tetapi, kondisi pengelolaan hutan bisa dikatakan carut marut dan diwarnai
tarik-menarik kepentingan. Paling tidak carut marutnya kondisi pengelolan hutan ini
dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu pertama mengenai kebijakan desentralisasi
yang melibatkan pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah. Tata
kelola hutan dalam perspektif kebijkan desentralisasi diartikan dengan pemerintah
lokal mendapatkan kapasitas teknis dan atau otoritas formal dari pemerintah pusat
untuk mengelola hutan yang masuk dalam batas administrasi pemerintah lokal.
Pelimpahan kewenangan kepada pemerintah lokal tidak selalu menjadikan hutan
dikelola lebih baik. Pelimpahan kewenangan seringkali dipergunakan secara keliru
dengan mengeluarkan lebih banyak izin pemanfaatan secara tidak terkendali, seperti
terjadi di Indonesia sekarang ini. Dari perspektif kebijakan desentralisasi, Peraturan
Daerah (perda) digunakan sebagai instrumen pengakuan hutan adat. Kebijakan
penjabaran Undang-Undang Kehutanan itu diperkirakan tidak akan menyelesaikan
persoalan hutan adat dalam hutan negara, karena sejak Undang-Undang itu ada
hingga saat ini, perkembangan Peraturan Daerah tidak seperti yang
diharapkan.Kepentingan politik di daerah juga serupa dengan di pusat, lebih
mementingkan pelayanan perizinan perusahaan besar daripada memastikan ruang
hidup masyarakat. Paling tidak ada bebrapa perda ditingkat provinsi maupun
kabupaten/kota yang mengatur mengenai hutan adat, misalnya di tingkat Provinsi :
1. Perda Provinsi Maluku No 14 Tahun 2005 dan Perda No 3 Tahun 2008;
2. Perda Provinsi Sumatera Barat No 16 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat Dan
Pemanfaatannya (tidak dilampiri peta);
3. Perda Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat
Atas Tanah (tidak dilampiri peta);
4. Perda Provinsi Riau No 1 Tahun 2012 Tentang Lembaga Adat Melayu Riau
(tidak dilampiri peta).
Beberapa Perda Kabupaten yang mengatur mengenai hutan adat, adalah
1. Perda Kab. Kampar No 12 Tahun 1999 Tentang Hak Tanah Ulayat (tidak
dilampiri peta);
4
2. Perda Kab. Lebak No 65 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat
Masyarakat Baduy (tidak dilampiri peta namun terdapat batas-batas wilayah);
3. Perda Kabupaten Maluku Tenggara No 03 Tahun 2009 Tentang Ratshap dan
Ohoi (tidak dilampiri peta);
4. Perda Kabupaten Nunukan No 03 Tahun 2004 Tentang Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat Kabupaten Nunukan (tidak dilampiri peta).
Sebagai pelaksana konstitusi, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
pokok-pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang memberikan
penafsiran otentik terhadap konsep hak menguasai negara yang terdapat pada
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. UUPA memberikan posisi terhadap hak masyarakat
hukum adat atas hak ulayat. Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa hak ulayat dan hak-
hak serupa itu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada diakui. UUPA
merupakan produk hukum negara pertama yang mengakui adanya hak ulayat
masyarakat hukum adat. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa
(PP Nomor 72 Tahun 2005) menegaskan bahwa pemerintah desa (nagari)
mempunyai beberapa kewenangan yang memberi peluang untuk menguatkan
teritorial adat. Kemudian, salah satu peristiwa penting terkait dengan pengakuan dan
penguatan masyarakat hokum adat dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan
adalah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 yang
mendefinisikan “kawasan hutan” adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau
ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan
tetap sebagai hal yang bertentangan dengan konstitusi. Mahkamah secara tegas
menyatakan bahwa penunjukan suatu kawasan dijadikan hutan tanpa proses yang
melibatkan stake holder seperti masyarakat adat bertentangan dengan konstitusi.
Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan
pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen hukum pidana untuk mengatur
pemanfaatan hutan tanpa izin oleh masyarakat adat tidak sesuai dengan pengakuan
dan implementasi mengenai hak-hak masyarakat adat yang tidak terpisahkan.
Pemakaian instrumen pemidanaan harus benar-benar dimaknai sebagai ultimum
remidium atau upaya terakhir bukan sebaliknya.
Lebih lanjut lagi dalam Putusan 35/PUU-X/2012, MK memisahkan antara hutan
negara dengan hutan adat yang dirumuskan bahwa
5
“Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur dan memutuskan persediaan, peruntukan, pemanfaatan, pengurusan serta hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara. Kewenangan pengelolaan oleh negara di bidang kehutanan seharusnya diberikan kepada kementerian yang bidangnya meliputi urusan kehutanan.Terhadap hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hutan adat (yang disebut pula hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya) berada dalam cakupan hak ulayat karena berada dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat, yang peragaannya didasarkan atas leluri (traditio) yang hidup dalam suasana rakyat (in de volksfeer) dan mempunyai suatu badan perurusan pusat yang berwibawa dalam seluruh lingkungan wilayahnya.” [paragraf 3.13.1]
Mengingat Putusan MK membawa dampak luas dalam berbagai hal termasuk
penataan ruang dan otonomi daerah, maka perlu pula dilakukan sebuah proses
harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait. Dari sisi
perundang-undangan, langkah-langkah yang diperlukan untuk menindaklanjuti
putusan tersebut, yaitu menerbitkan atau menginisiasi dikeluarkannya peraturan
yang dapat mewadahi berbagai isu hukum terkait hutan adat seperti tata cara
mengidentifikasi hutan adat, mekanisme pengakuan dan perlindungannya,
perlindungan atas hak/izin yang sudah diberikan berdasarkan peraturan yang
berlaku, mekanisme dan kelembagaan penyelesaian konflik, aturan untuk mencegah
dan membatasi penyalahgunaan pengakuan atas hutan adat untuk kepentingan
pribadi, serta mandat memetakan wilayah adat.
Salah satu persoalan mendasar yang berkaitan dengan tata kelola hutan adalah
dalam hal adanya kawasan atau tanah wilayah adat ada di dalam kawasan konsesi
suatu persusahaan tertentu atau dalam kawasan konsesi taman nasional. Lisensi-
lisensi yang berkenaan dengan wilayah adat sangat besar. Hampir wilayah-wilayah
anggota komunitas masyarakat adat itu dalam situasi konflik pertambangan,
kehutanan, konservasi. Masalahnya adalah bagaimana wilayah adat yang telah
terfragmentasi untuk dikembalikan dalam situasi yang utuh. Hal ini memerlukan
penyelesaian konflik dengan pemegang konsesi-konsesi. Konflik yang terjadi bukan
sesuatu yang berlangsung sesekali tapi sudah kronis dan meluas. Sifat kronis dan
meluas ini sudah berlangsung bertahun-tahun, bukan hanya konflik antara
masyarakat hukum adat dengan pemegang lisensi dan pemerintah yang
memberikan lisensi. Akan tetapi meluas hingga ke akar rumput yaitu konflik antara
6
masyarakat hukum adat dengan para pekerja perusahaan. Masyarakat adat yang
terlibat dalam konflik, sebagian besar menghadapi persoalan pidana atau
dikriminalisasi.
Dengan adanya putusan MK, masyarakat adat merasa telah diakui hak-haknya
secara konstitusional. Disisi lain, pengakuan ini dikesankan sebagai suatu
kemenangan sehingga ada bentuk perayaan atas kemenangan tersebut dengan
melakukan “plangisasi”. Plangisasi adalah gerakan dimana masyarakat hukum adat
memberikan tanda mengenai wilayah adat mereka. Masalahnya, wilayah itu masih
dalam wilayah konsesi.
Persoalan lain adalah mengenai pihak yang layak disebut sebagai “masyarakat
adat”. Terhadap masyarakat adat, Mahkamah membuat penafsiran dalam Putusan
35/PUU-X/2012 sebagai berikut:
“Di samping itu, berkenaan dengan syarat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dalam kenyataannya status dan fungsi hutan dalam masyarakat hukum adat bergantung kepada status keberadaan masyarakat hukum adat. Kemungkinan yang terjadi adalah: (1) kenyataannya masih ada tetapi tidak diakui keberadaannya; (2) kenyataannya tidak ada tetapi diakui keberadaannya. Jika kenyataannya masih ada tetapi tidak diakui keberadaannya, maka hal ini dapat menimbulkan kerugian pada masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, tanah/hutan adat mereka digunakan untuk kepentingan lain tanpa seizin mereka melalui cara-cara penggusuran-penggusuran. Masyarakat hukum adat tidak lagi dapat mengambil manfaat dari hutan adat yang mereka kuasai.Sebaliknya dapat terjadi masyarakat hukum adat kenyataannya tidak ada tetapi objek hak-hak adatnya masih diakui.Artinya, berdasarkan sejarah keberadaan mereka pernah diakui oleh negara, padahal kenyataannya sesuai dengan perkembangan zaman sudah tidak terdapat lagi tanda-tanda atau sifat yang melekat pada masyarakat hukum adat.Tanda-tanda dan sifat masyarakat hukum adat yang demikian tidak boleh dihidup-hidupkan lagi keberadaannya, termasuk wewenang masyarakat atas tanah dan hutan yang pernah mereka kuasai.“ [paragraf 3.13.2]
Pembuat undang-undang dan penegak hukum harus memahami makna dari
masyarakat adat dan mampu mengidentifikasi pihak yang secara sesuai dengan
substansi masyarakat adat dan menjadikan aturan pemidanaan sebagai instrumen
hukum adalah tidak sesuai.
Yang menjadi perhatian oleh berbagai kalangan pecinta lingkungan hidup bahwa
putusan yang monumental dalam perhatian pengelolaan kawasan hutan tersebut
7
memiliki tantangan yang tidak sedikit dalam implementasinya. Terbukti hingga
pertengahan tahun 2015 ini belum ada masyarakat adat yang berhasil mengklaim
wilayah hutan adatnya.
B. Rumusan Masalah 3. Kebijakan hukum apa yang telah diterbitkan dalam rangka menindak lanjuti
putusan MK yang memisahkan antara hutan Negara dan hutan adat
(35/PUU-X/2012)?
4. Bagaimanakah pola implementasi riil di lapangan terkait dengan kebijakan
pemisahan hutan negara dan hutan adat di Kabupaten Lebak?
C. Tujuan dan Manfaat Tujuan Penelitian
1. Menginvetarisasi kebijakan-kebijakan yang terkait dengan implementasi
putusan nomor 35/PUU-X/2012 dalam pemisahan antara hutan negara dan
hutan adat
2. Menelaah kebijakan mengenai pemisahan hutan negara dan hutan adat
dalam tingkat peraturan daerah (Kabupaten Lebak)
Manfaat Penelitian
Mengetahui perkembangan kebijakan-kebijakan hukum dalam rangka
implementasi putusan nomor 35/PUU-X/2012
D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif atau doctrinal research yang
meneliti bahan hukum sehingga disebut sebagai library based, focusing on reading
and analysis of the primary and secondary materials.5 Hasil dari penelitian hukum
sekalipun bukan teori hukum baru paling tidak adalah argumentasi baru.6 Penelitian
yang dilakukan adalah yuridis normative dengan mengkaji pokok permasalahan
sebagaimana yang telah diuraikan dalam rumusan masalah. Selain itu, peneliti juga
akan melengkapinya dari aspek-aspek lain yang relevan berdasarkan ruang lingkup
dan identifikasi rumusan masalah.
5 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia, 2005, h. 45-46.
6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Surabaya: Kencana Prenada Media Group, 2005, h. 207.
8
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach),
pendekatan historis atau sejarah (historical approach), pendekatan perbandingan
(comparative approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), dan
pendekatan kasus (case approach).7 Pendekatan perundang-undangan dilakukan
dengan menelaah berbagai peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya8
yang mengatur tentang perlindungan hak konstitusional penguasaan hutan adat oleh
masyarakat hukum adat. Pendekatan konsep dilakukan mulai dari mendalami teori
negara hukum, teori perlindungan hukum, teori penguasaan hutan adat, dan teori
masyarakat hukum adat. Sedangkan pendekatan historis dilakukan dengan cara
meneliti latar belakang dan argumentasi hukum UUD 1945, UU MK, dan beberapa
Putusan MK. Penelitian normatif yang menggunakan pendekatan sejarah
memungkinkan untuk memahami hukum secara lebih mendalam tentang
perlindungan hak konstitusional penguasaan hutan adat oleh masyarakat hukum
adat. Hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau merupakan suatu
kesatuan yang berhubungan erat dan tidak putus sehingga pemahaman hukum
pada masa kini melalui pembelajaran sejarah untuk membentuk tata hukum pada
masa yang akan datang.9 Pendekatan perbandingan yakni meneliti dan
membandingkan suasana dan sejarah terkait hutan hukum adat masing-masing-
masing daerah di Indonesia dengan menarik kesimpulan menurut Sunaryati Hartono
bahwa kebutuhan-kebutuhan yang universal (sama) akan menimbulkan cara-cara
pengaturan yang sama pula dan kebutuhan-kebutuhan khusus berdasarkan
perbedaan suasana dan sejarah itu menimbulkan cara-cara yang berbeda pula.10
Pendekatan filsafat yaitu penelitian untuk memperoleh pemahaman yang lebih
mendalam terhadap implikasi sosial dan efek penerapan suatu aturan perundang-
undangan terhadap masyarakat atau kelompok masyarakat yang melibatkan
penelitian terhadap sejarah, filsafat, implikasi sosial dan politik terhadap
7 Ibrahim, Ibid., h. 302.
8 Ibid.
9 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986, h. 332. Dalam Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2008, h. 318-319.
10 Sunaryati Hartono, Kapita Selecta Perbandingan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, h. 1-2.Dalam Ibrahim, Ibid., h. 313.
9
pemberlakuan suatu aturan hukum,11 dan pendekatan kasus yang bertujuan untuk
mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam
praktik hukum12 terutama mengenai Putusan MK dan kasus-kasus hutan hukum
adat.
3. Bahan Hukum yang Digunakan
Penelitian hukum ini menggunakan bahan hukum primer (primary sources or
authorities) dan bahan hukum sekunder (secondary sources or authorities).13 Bahan
hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat yang dalam hal ini
berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian hukum ini terdiri dari
sekumpulan peraturan perundang-undangan mulai dari UUD 1945, Undang-Undang,
Putusan MK, Peraturan Pemerintah dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan, bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami
bahan hukum primer yang berupa buku-buku pegangan, majalah hukum, jurnal
hukum dan surat kabar, serta hasil karya ilmiah penelitian yang ditulis.14
4. Cara Mencari Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum normatif ini, metode yang digunakan dalam pengumpulan
bahan hukum adalah studi kepustakaan atau studi dokumen (documentary study)15
yang bertujuan menginventarisasi peraturan hukum positif, mengetahui konsistensi
peraturan perundang-undangan berdasarkan hierarkinya, mengetahui apakah suatu
peraturan perundangan berbenturan dengan pertauran perundangan lain,
memahami falsafah yang mendasar suatu peraturan perundang-undangan atau
pasal-pasalnya, sistem hukum, asas-asas hukum dan kerangka berpikir tentang
hukum yang permasalahannya berkaitan dengan tema penelitian.16 Pengumpulan
11 Ibrahim, Ibid., h. 320-321.
12 Ibrahim, Ibid., h. 321.
13 C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Bandung: Alumni, 1994, h. 134.
14 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta: Rajawali Press, 2003, h. 29.
15 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, h. 18-19.
16 Sulistyowati Irianto dan Shidarta (ed.), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, h. 308-309.
10
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder tersebut diinventarisir dan
diklasifikasi dengan menyesuaikan dengan masalah yang dibahas. Bahan hukum
yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dipaparkan, disistematisasi, dan
dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku.17 Selain itu, dalam
penelitian ini menggunakan teknik wawancara dalam mencari data-data dan sumber
hukum yang digunakan dalam analisis penelitian ini.
5. Cara Menganalisis Bahan Hukum
Pada penelitian hukum normatif terdapat proses penelitian dengan cara
menganalisis dan mengkonstruksi terhadap bahan hukum yang telah dikumpulkan
dan diolah.18 Pengolahan data pada hakikatnya merupakan kegiatan untuk
mensistematisasi bahan hukum. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap
bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan
konstruksi.19Bahan hukum yang didapatkan ditelaah untuk memperoleh relevansi
dengan topik penelitian, baik berupa ide, usul, dan argumentasi ketentuan-ketentuan
hukum yang dikaji.
Analisis bahan hukum dilakukan melalui tiga tahapan. Pertama, bahan hukum atau
fakta yang dikumpulkan disistematisir yakni ditata dan disesuaikan dengan obyek
yang diteliti. Kedua, bahan yang telah disistematisir, dieksplikasi atau diuraikan dan
dijelaskan sesuai obyek yang diteliti berdasarkan teori. Ketiga, bahan yang telah
dieksplikasi dilakukan evaluasi, dinilai dengan menggunakan ukuran ketentuan
hukum yang berlaku sehingga ditemukan ada yang sesuai dan ada tidak sesuai
(bertentangan) dengan hukum yang berlaku. Ketentuan hukum yang sesuai akan
dikembangkan sementara yang tidak sesuai ditinggalkan.20
E. Sistematika Penelitian ini akan dibagi dalam lima bab. Bagian pertama sebagaimana telah
disusun berisikan mengenai latar belakang penulisan dengan merumuskan pokok-
pokok permasalahan yang juga menunjukkan maksud dan tujuan penelitian ini.
17 Ibrahim, Ibid., h. 296.
18 H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, h. 17.
19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, h. 251-252.
20 Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Yogyakarta: Total Media,2007, h. 61.
11
Pokok permasalaha yang dibahas dalam penelitian ini terbagi dalam dua pokok
besaran persoalan yang akan menjadi topik utama untuk dibahas pada bab ketiga
dan keempat.
Pada bab kedua berisikan mengenai kerangka konsep yang menjadi landasan
teoritis penelitian ini. Paling tidak ada tiga konsep yang aiangkat dalam penelitian ini,
yaitu mengenai asas domeinverklaring dalam pengakuan hak atas pengelolaan
tanah. Selain itu, diangkat pula konsep pengakuan (recognition) masyarakat hukum
adat. Terakhir, sebagai kerangka konsep adalah mengenai konsep pemisahan hutan
negara dan hutan adat dalam putusan Mahkamah Konstitusi.
Bab ketiga penelitian ini menjawab pokok persoalan pertama yang diangkat dalam
penelitian ini mengani kebijakan-kebijakan hukum apa saja yang diterbitkan dalam
rangka menyesuaikan dengan putusan MK yang memisahkan hutan adat dengan
hutan negara. Dalam bab ini, akan diinventarisasi kebijakan-kebijakan hukum yang
pernah diterbitkan baik pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
maupun pada masa pemerintahan Joko Widodo.
Pada bab keempat akan dibahas mengenai persoalan kedua yang menjadi
permasalahan dalam penelitian, yaitu mengenai implementasi pemisahan hutan adat
dan hutan negara di lapangan, terutama dengan melihat pada penyusunan
rancangan peraturan daerah di Kabupaten Lebak. Hal yang akan dibahas adaalah
mengenai keberadaan masyarakat kasepuhan yang dikategorikan sebagai
masyarakat hukum adat. Setelah itu, akan dibahas mengenai upaya pemisahan
hutan adat dan hutan negara terutama bahwa di wiliayah tersebut terdapat wilayah
taman nasional yang terkategorikan sebagai hutan negara. Terakhir adalah bab
penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.
12
BAB II
KERANGKA KONSEP
A. Azas Domeinverklaring Asas domeinverklaring (deklarasi kawasan)21 pada intinya mengatur bahwa semua
tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya adalah domein (milik) negara.22
Asas ini muncul seiring terbitnya Agrarische Wet 1870 (AW 1870) oleh Pemerintah
Hindia Belanda. Tujuan terbitnya aturan ini adalah untuk membuka kemungkinan
dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pengusaha swasta agar
membuka hutan dan menjadikannya perkebunan besar. Pemerintah selaku
perwakilan negara memiliki landasan hukum dan pembuktian kepemilikan untuk
memberikan tanah-tanah tersebut.23 AW 1870 yang berasaskan domeinverklaring
juga dianggap mengandung ketentuan pengakuan atas keberadaan hak-hak
masyarakat adat.24 Hal ini menciptakan kebingungan dan penafsiran berbeda
21 Lynch, O.J. dan E. Harwell. 2006. “Sumberdaya Milik Siapa? Siapa Penguasa Barang Publik” (Terjemahan: Studio Kendil). Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Dalam Gamma Galudra, Memahami Konflik Tenurial melalui Pendekatan Sejarah: Studi Kasus di Lebak, Banten, Makalah yang disampaikan dan dipublikasikan untuk Warta Tenure dan merupakan bagian dari Program Studi Bersama di Halimun-Salak antara RMI, HUMA, ICRAF, WG-T dan masyarakat Halimun-Salak, http://www.worldagroforestry.org/downloads/Publications/PDFS/PP06152.pdf, diakses 5 November 2015.
22 Tanah-tanah yang termasuk pada domein Negara adalah tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya baik secara individu atau bersama oleh penduduk desa dan mencakup tanah-tanah yang sedang tidak digarap atau yang sudah dibiarkan bero/ puso selama lebih dari tiga tahun. Berdasarkan definisi ini, maka hak kepemilikan masyarakat hanya diakui pada tanah-tanah yang dibudidayakan terus-menerus. Peluso, N.L. 2006. “Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa” (Terjemahan: Landung Simatupang). Jakarta: Konphalindo. Dalam Gamma Galudra, Memahami Konflik Tenurial melalui Pendekatan Sejarah: Studi Kasus di Lebak, Banten, Makalah yang disampaikan dan dipublikasikan untuk Warta Tenure dan merupakan bagian dari Program Studi Bersama di Halimun-Salak antara RMI, HUMA, ICRAF, WG-T dan masyarakat Halimun-Salak, http://www.worldagroforestry.org/downloads/Publications/PDFS/PP06152.pdf, diakses 5 November 2015.
23 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2003). Dalam Galudra, Ibid.
24 Muhammad, B. 2003. Asas-Asas Hukum Adat: Suatu Pengantar. Jakarta: Pradnya Paramita. Dalam Galudra, Ibid.
13
diantara para ahli-ahli hukum di masa itu akibat kegagalan mereka untuk memahami
hukum tanah masyarakat adat atas hutan.25
Nolst Trenite, seorang guru besar dari Universitas Uthrect sekaligus pula Pejabat
Tinggi Departemen Pemerintahan berpendapat bahwa berdasarkan penafsiran asas
domeinverklaring, tanah yang menurut hukum dikecualikan dari milik negara adalah
hanya tanah yang menurut kenyataan dan biasanya digunakan oleh penduduk.
Pendapat ini selanjutnya ditentang oleh sarjana lain, antara lain Van Vollenhoven
dari Universitas Leiden, serta Logemann dan ter Haar dari Sekolah Hukum Hindia
Belanda. Menurut mereka, tujuan sebenarnya dari pembuat AW 1870 ini adalah
untuk tidak mengecualikan tanah apapun juga. Semua tanah hutan, jika perlu
sampai ke puncak gunung, jika penduduk mempunyai hak yang secara diam-diam
diakui, tanah itu bukan tanah negara. Pada tahun 1874, suatu peraturan diterbitkan
untuk memberikan penafsiran yang pasti apa yang dimaksud dengan wilayah
kekuasaan desa untuk Jawa dan Madura. Tanah milik desa adalah padang rumput
penggembalaan milik bersama, tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli untuk
penggunaan mereka sendiri, baik yang dihuni maupun digarap, dan yang oleh
mereka tidak telah ditelantarkan26 .
Sayangnya, peraturan ini tidak mampu menjawab batasan-batasan hak-hak
masyarakat desa atas wilayah hutan. Dalam buku De Indonesier en Zijn Grond,
karangan Van Vollenhoven, disebutkan bahwa menurut hukum adat, desa
mempunyai hak untuk menguasai tanah di luar perbatasan desa, termasuk hutan.
Penduduk desa mempunyai hak untuk menggarap atau mencari nafkah dari hutan
dengan ijin kepala desa. Beliau menafsirkan azas domeinverklaring bahwa tanah
domein negara adalah yang bukan hak milik, hak milik adat dan bukan pula tanah
milik rakyat di bawah naungan hak ulayat atau pertuanan.27 Peraturan 1874
menyatakan bahwa hutan, walaupun tidak digarap, termasuk pada batasan wilayah
kekuasaan desa dan bukan sebagai tanah negara. Namun dalam jawabannya, Nolst
25 Van den Bosch, A. 1944. The Dutch East Indies: Its Government, Problems, and Politics. Berkeley: University of California Press. Dalam Galudra, Ibid.
26 Rajagukguk, E. 1995. Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup. Jakarta: Chandra Pratama.
27 Van Vollenhoven, C. 1932. De Indonesier en Zijn Grond. Leiden: Boekhandel en Drukkerij.
14
Trenite tetap bersikukuh bahwa tanah-tanah tersebut milik Negara.28 Kebingungan
dalam menafsirkan hukum masyarakat adat terhadap wilayah hutan terus berlanjut
dan para penentang domeinverklaring memandang bahwa pemerintah sebaiknya
mengakui hak-hak masyarakat adat (hak ulayat atau hak pertuanan) tersebut
sebagai solusi atas kebingungan menafsirkan hukum tanah masyarakat adat29.
Hukum agraria kolonial terbagi dalam 2 (dua) kelompok yaitu hukum agraria
keperdataan dan hukum agraria administratif. Hukum agraria perdata terdapat dalam
Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) mengatur hak-hak atas
tanah, namun tidak ada hak atas masyarakat hukum adat, khususnya hak ulayat.
Sedangkan hak milik atas tanah dari kelompok dan individu dalam masyarakat
hukum adat tetap diakui dan dilindungi sebagai hak kepemilikan. Pernyataan domein
verklaring menjadi ketakutan bagi hak-hak keperdataan anggota masyarakat hukum
adat atas tanah, karena rakyat Indonesia memiliki tanah tidak berdasarkan bukti
tertulis seperti persyaratan oleh domein verklaring.30
Pada zaman Belanda, hak-hak atas tanah masyarakat hukum adat diakui secara
yuridis dalam sumber hukum agraria administratif yakni Pasal 62 Regering
Reglement (RR) 1854 sampai Agrarische Wet 1870 tidak menyebutkan istilah hak
ulayat dan telah eksplisit menyatakan perlindungan hak-hak masyarakat berupa
pembukaan hutan, lapangan pengembalaan umum, tanah milik persekutuan (desa)
dan sejenisnya. Pemberian hak erfpacht dan hak sewa oleh Gubernur Jendral
kepada pengusaha-pengusaha terutama investor Eropa tidak boleh dilakukan di atas
tanah yang yang terdapat hak-hak masyarakat hukum adat31 termasuk hutan adat
sehingga pada saat itu hukum memberikan perlindungan bagi masyarakat hukum
adat untuk menggunakan hutan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.
28 Trenite, N. 1920a. Van Vollenhoven’s Jongste Agrarisch Geschrift. Koloniale Studien. Trenite, N. 1920b. Inleiding Agrarische Wetgeving van het Rechtstreeks Bestuurd Gebied van Nederlandsch-Indie. Weltevreden: Landsdrukkerij.
29 Van den Bosch, A. 1944. The Dutch East Indies: Its Government, Problems, and Politics. Berkeley: University of California Press.
30 Kurnia Warman (ed.), Nasib Tenurial Adat Kawasan Hutan: Tumpang Tindih Klaim Adat dan Negara pada Aras Lokal di Sumatera Barat, (Jakarta: HuMa Perkumpulan Qbar, 2007),h. 4 dan 6.
31 Ibid, h. 6.
15
Ketika Indonesia merdeka dalam konstitusi terdapat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Konsep “hak menguasai negara” menggantikan konsep domein verklaring
yang diterapkan oleh Pemerintahan Kolonial. UUD 1945 memberikan apresiasi dan
kedudukan istimewa terhadap masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschappen)
yang terdapat hak ulayat. Setelah Amandemen Kedua UUD 1945 terdapat
pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya
yakni pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang. Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban sehingga Pemerintah dan Pemda tidak dapat menegasikan
eksistensi masyarakat hukum adat dan hak tenurial adat atas sumber daya agraria
dalam setiap kebijakan.
Sebagai pelaksana konstitusi, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
pokok-pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang memberikan
penafsiran otentik terhadap konsep hak menguasai negara yang terdapat pada
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. UUPA memberikan posisi terhadap hak masyarakat
hukum adat atas hak ulayat. Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa hak ulayat dan hak-
hak serupa itu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada diakui. UUPA
merupakan produk hukum negara pertama yang mengakui adanya hak ulayat
masyarakat hukum adat. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa
(PP Nomor 72 Tahun 2005) menegaskan bahwa pemerintah desa (nagari)
mempunyai beberapa kewenangan yang memberi peluang untuk menguatkan
tenurial adat. Pasal 7 PP Nomor 72 Tahun 2005 menyatakan bahwa urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:
a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;
b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang
diserahkan pengaturannya kepada desa;
c. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota; dan
16
d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan
diserahkan kepada desa.
Dalam Penjelasan Pasal 7 huruf a dan b bahwa hak asal usul desa (nagari) yaitu
hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan asal-usul, adat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan. Pemda mengidentifikasi jenis kewenangan
berdasarkan hak asal-usul dan mengembalikan kewenangan tersebut, yang
ditetapkan dalam Perda kabupaten/kota yang melakukan identifikasi, pembahasan
dan penetapan jenis-jenis kewenangan yang diserahkan pengaturannya kepada
desa, seperti kewenangan di bidang pertanian, pertambangan dan energi,
kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian,
ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum,
perhubungan, lingkungan hidup, perikanan, politik dalam negeri dan administrasi
publik, otonomi desa, perimbangan keuangan, tugas pembantuan, pariwisata,
pertanahan, kependudukan, kesatuan bangsa dan perlindungan masyarakat,
perencanaan, penerangan/informasi dan komunikasi. Berdasarkan PP Nomor 72
Tahun 2005, penguatan tenurial masyarakat hukum adat tergantung kepada
pemerintah desa sendiri dan Pemda. Pemerintah desa harus bekerjasama dengan
lembaga adat dalam mengidentifikasi dan menguatkan hak asal usul berdasarkan
adat istiadat setempat.32 Selanjutnya terbit Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional (Permenag) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang berisi: (1)
pengakuan yuridis terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat; (2) penegasan
kriteria yang menjadi tolak ukur dalam menentukan masih ada atau tidaknya hak
ulayat; (3) warga masyarakat hukum adat diberikan kewenangan penguasaan tanah
ulayat; (4) kewenangan penuh dari Pemda melalui Perda untuk menentukan ada
atau tidaknya hak ulayat di daerah masing-masing, yang pada intinya Permenag itu
merupakan pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat dan pemberian
kewenangan kepada masing-masing daerah melalui Peraturan Daerah (Perda)
untuk mengatur hak ulayat masyarakat hukum adat sesuai dengan nilai-nilai lokal
(hukum adat).33
32 Ibid., h. 14.
33 Ibid., h. 10-11.
17
Tujuan pembentukan negara adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia. Terkait dengan hak menguasai negara oleh UUPA
terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA memberikan wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.34
Paradigma dalam penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam
Indonesia oleh negara sebagai otoritas tercermin di dalam rumusan Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebsar-
besarnya kemakmuran rakyat.” sehingga memperlihatkan prinsip dasar hubungan
antara negara dengan masyarakat terkait tanah. Konstitusi untuk menghapus prinsip
dasar pada masa Hindia Belanda bahwa peran negara sebagai pemilik dalam
prinsip domeinverklaring bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat bahwa
negara merupakan pemilik tanah.35 Dengan demikian, pengurusan hutan yang
berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan
peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang
berdasarkan pada norma hukum nasional.36 Selain itu, pemanfaatan hutan adat
dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan
fungsinya. Pemanfaatan hutan adat berfungsi lindung dan konservasi dapat
dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya (Pasal 37 UU Kehutanan).
B. Pengakuan (Politics of Recognition) Masyarakat Hukum Adat 1. Politik Pengakuan (Politics of Recognition) Masyarakat Hukum Adat
34 Wahyu Nugroho, Konsistensi Negara Atas Doktrin Welfare State Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan Oleh Masyarakat Adat, Indonesian Center for Environment Law, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol. 1 Issue 2 Desember 2014, h. 36.
35 Anang Husni, Hukum, Birokrasi dan Budaya, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, h. 84. Dalam Wahyu Nugroho, Konsistensi Negara Atas Doktrin Welfare State Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan Oleh Masyarakat Adat, Indonesian Center for Environment Law, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol. 1 Issue 2 Desember 2014, h. 34-35.
36 Kurnia Warman (ed.), Op.cit ,h. 46.
18
Makna negara dalam definisi “hutan adat” menurut UU Kehutanan bahwa Hutan
adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat
(Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).
Hutan adat adalah hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada
masyarakat hukum adat (rechtgemeenschaap) sehingga eksistensi hutan adat tidak
dapat dipisahkan dengan masyarakat adat. UU Kehutanan mendukung hak-hak
yang berkaitan dengan hukum adat dan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan
antara lain:
1. penentuan wilayah hutan harus memperhitungkan budaya, ekonomi, dan
institusi setempat (termasuk institusi adat).
2. pengawasan adalah tanggung jawab pemerintah, individu dan masyarakat.
3. masyarakat berhak untuk mengetahui tentang pengelolaan hutan dan
mengawasi.
4. jika masyarakat menderita akibat polusi atau kerusakan hutan yang dapat
mempengaruhi kehidupan mereka, lembaga pemerintah yang membawahi
bidang kehutanan bertanggungjawab melakukan tindakan untuk kepentingan
masyarakat.
5. organisasi non pemerintah dapat mendukung usaha masyarakat setempat
dalam reboisasi atau rehabilitasi hutan (bukan dalam pengelolaan hutan).
6. forum pemerhati hutan yang terdiri atas mitra pemerintah pusat dan pemerintah
daerah dapat bekerja untuk merumuskan dan mengelola persepsi, aspirasi,
dan inovasi masyarakat sebagai bahan masukan kebijakan hutan.
UU Kehutanan menyatakan bahwa hutan harus dikelola sesuai dengan prinsip
keadilan sosial (social equity), pemberdayaan masyarakat adat, keadilan (fairness),
kemakmuran (prosperity), dan berkelanjutan (sustainability) sehingga UU Kehutanan
berpotensi menguatkan hak masyarakat adat atas lahan hutan dengan menciptakan
hak yang sah bagi masyarakat pada hutan adat. Masyarakat adat berhak untuk
memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan mengelola hutan
sesuai dengan hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional.37
Dalam pemerintahan Belanda terdapat 3 (tiga) macam hukum tanah diantaranya
yaitu hukum tanah adat berdasarkan pada hak ulayat desa mempunyai 2 (dua)
aspek. Pertama, hak rakyat desa yang memuat bahwa semua tanah yang terletak
37 Ibid., h. 67.
19
dan termasuk dalam lingkungan desa atau masuk dalam batas-batas desa (baik
tanah kosong yang tidak terdapat hak-hak perseorangan dan tidak ada larangan
desa untuk mengusahakan, larangan penebangan kayu atau perburuan (hutan
larangan) yang dipunyai bersama-sama sebagai hak milik umum oleh penduduk-
penduduk desa untuk mengambil kayu dari hutan-hutan dan mengumpulkan hasil
hutan.38
Dalam UU Kehutanan terdapat penguatan dan perluasan sebagian hak masyarakat
adat, namun ada hambatan pengalihan wewenang kepada masyarakat antara lain
kepemilikan prioritas hak pengusahaan atas hutan adat. Menurut Eva Wollenberg
dan Hariadi Kartodiharjo terkait penggunaan hutan adat, jika hutan adat digunakan
untuk perladangan gilir balik sebagai mata pencaharian, sedangkan pembakaran
hutan dilarang oleh UU sehingga bagaimana masyarakat adat akan memenuhi
kebutuhan hidupnya sehingga dapat terjadi asumsi masyarakat tersebut tidak
melaksanakan perladangan gilir balik apabila merupakan bagian terpadu dari
kegiatan ekonomi dan kebudayaan. Sejauh fungsi dan pemanfataan yang diijinkan
pada hutan adat mencerminkan fungsi dan pemanfaatan yang dibutuhkan
masyarakat hukum adat, maka akan semakin memenuhi kebutuhan masyarakat dan
memberi instensif bagi pengelolaan yang baik. Namun pemanduan pemerintah
tentang fungsi dan pemanfaatan mencerminkan pendekatan pengelolaan yang
sangat berbeda dalam gaya dan tujuan dari pendekatan masyarakat adat.39
2. Self-determination
Kesatuan masyarakat merupakan bagian dari ekosistem alam yang perlu
mendapatkan hak untuk mengelola dan memanfaatkan hutan adat yang memiliki
karakter lokal dan tradisional terdapat nilai-nilai sakral, budaya, spiritual dan
peraturan bersama (tidak tertulis) yang disepakati oleh komunitasnya sehingga
masyarakat (hukum) adat disebut sebagai hukum yang hidup (the living law).
Menurut Northop sebagaimana dikutip oleh Bodenheimer bahwa hukum itu memang
38 Hazairin, Suatu Ulasan Tentang Hukum Adat Indonesia Pada Masa Sekarang. Dalam Himpunan Karya Ilmiah Guru-guru Besar Hukum di Indonesia, Lima Puluh Tahun Pendidikan Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas indonesia, 1974), h. 145.
39 Ade Saptomo, Kajian Kritis Eksistensi Hutan Adat Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Dalam Kurnia Warman (ed.), Nasib Tenurial Adat Kawasan Hutan: Tumpang Tindih Klaim Adat dan Negara pada Aras Lokal di Sumatera Barat, (Jakarta: HuMa Perkumpulan Qbar, 2007), h. 70.
20
tidak dapat dimengerti secara baik jika ia terpisah dari norma-norma sosial sebagai
hukum yang hidup.40 Perjuangan untuk perlindungan, pengakuan, dan
penghormatan terhadap masyarakat hukum adat ini tidak hanya berlangsung pada
tataran nasional, tetapi juga pada tataran internasional. Upaya tersebut sulit, bukan
saja karena setiap negara masih tetap bertumpu pada asas kedaulatan negara
(state souvereignty) yang tidak akan menolerir setiap sanggahan dan penyebalan
terhadap kedaulatan negara, tetapi juga oleh karena masih belum berkembangnya
doktrin mengenai hak asasi manusia yang bersifat kolektif (collective rights). Selain
itu, sampai tahun 1993 pada tataran konseptual negara-negara di dunia masih
terbagi atas dua kubu, yaitu negara-negara demokrasi liberal yang memusatkan
perhatian pada hal sipil dan politik yang member prioritas pada hakhak
perseorangan, dan kubu negara-negara sosialis dan komunis yang memusatkan
perhatian pada hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam suasana konflik ideologi
tersebut, adalah jelas bahwa wacana tentang hak masyarakat hukum adat tidak
akan memeperhatian yang memadai. Baru pada tahun 1993, pasca runtuhnya kubu
negara-negara sosialis dan komunis, telah dapat dimasuki babak baru pada
Konferensi Wina yang selain mengintegrasikan kedua ‘sayap’ hak asasi manusia
tersebut, juga sudah mengidentifikasi pentingnya pengakuan terhadap hak
masyarakat hukum adat.
Walaupun demikian, ada suatu langkah yang secara diam-diam terus
memperjuangkan hak masyarakat hukum adat (indigenous peoples dan tribal
groups) yang dilakukan oleh The International Labour Organization (ILO). Berturut-
turut pada tahun 1957 dan tahun 1989 lembaga khusus Perserikatan Bangsa
Bangsa ini berhasil mengesahkan konvensi tentang perlindungan dan pengakuan
terhadap hak masyarakat hukum adat. Sudah barang tentu, daya ikat berlakunya
konvensi ILO tersebut bergantung pada apakah konvensi tersebut diratifikasi oleh
negara-negara anggota PBB atau tidak. Selain itu, dalam dasawarsa 1980-an dalam
lingkungan PBB telah dapat dibentuk The U.N Permament Forum for Indigenous
Issues, yang mengkaji masalah-masalah yang berkenaan dengan hak masyarakat
hukum adat ini. Dengan kegigihan dan ketabahan yang mengagumkan, bersama
40 Edgar Bodenheimer, Yurisprudence: The Philosophy and Method of The Law, (Cambridge, Massachessets, 1962, p. 106). Dalam Wahyu Nugroho, Konsistensi Negara Atas Doktrin Welfare State Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan Oleh Masyarakat Adat, Indonesian Center for Environment Law, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol. 1 Issue 2 Desember 2014, h. 35.
21
dengan The U.N High Commissioner of Human Rights serta UNDP, personil forum
ini mengadakan advokasi tentang hak masyarakat hukum adat. Pada tahun 2004-
2007 secara proaktif kantor regional UNDP di Bangkok mengadakan kerjasama
dengan dan memberikan dukungan kepada Komnas HAM serta Departemen Sosial
untuk memajukan hak masyarakat hukum adat ini. Suatu terobosan historis terhadap
kebuntuan yang dialami selama berpuluh dalam perjuangan melindungi, mengakui,
dan menghormati hak masyarakat hukum adat ini tercapai sewaktu Sidang Umum
PBB mensahkan U.N. Declaration on the Rights of the Indigenous Peoples, 13
September 2007. Sebagai dokumen non-legally binding, deklarasi tersebut tidak
memerlukan ratifikasi, namun norma-norma yang terkandung didalamnya
bermanfaat sebagai salah satu rujukan hukum internasional yang dapat
dipergunakan untuk membentuk sebuah rancangan undang-undang tentang hak
masyarakat hukum adat.41
Pengakuan negara terhadap masyarakat adat dan hutan adat menurut peraturan
perundang-undangan diantaranya Pasal 41 Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan
“Identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi,
selaras dengan perkembangan zaman.”, UU HAM, UU Kehutanan, dan UU MK.
Dalam sejarahnya, pembahasan UUD 1945 pada sidang-sidang BPUPKI dan PPKI,
hanya Soepomo dan Moehammad Yamin yang mengemukakan pendapat tentang
perlunya mengakui keberadaan hukum adat dalam konstitusi yang akan dibentuk.
Sementara anggota sidang lainnya tidak terlihat secara tegas ada yang memberikan
pemikiran konseptual berkaitan dengan posisi hukum adat dalam negara republik
yang sedang dirancang. Moehammad Yamin menyampaikan kesanggupan dan
kecakapan bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah
sudah muncul beribu-ribu tahun yang lalu. Beliau tidak menjelaskan lebih jauh
konsepsi hak atas tanah yang disinggungnya, melainkan menyatakan bahwa adanya
berbagai macam susunan persekutuan hukum adat itu dapat ditarik beberapa
persamaannya tentang ide perwakilan dalam pemerintahan. Sehingga Moehammad
Yamin menyimpulkan bahwa persekutuan hukum adat itu menjadi basis perwakilan
41 N Siregar, Pengakuan Terhadap Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat Di Indonesia, http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/41551/3/Chapter%20II.pdf, diakses pada 5 November 2015.
22
dalam pemerintahan republik. Sedangkan Seopomo dengan paham negara
integralistik menyampaikan bahwa
“…Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasarkan atas aliran pikiran (staatsidee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun”.
Lebih lanjut dalam menjelaskan susunan pemerintahan, Soepomo menyampaikan
bahwa:
“hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa harus diperingati juga. Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu ialah pertama daerah kerajaan (kooti), baik di Jawa maupun di luar Jawa, yang dalam bahasa Belanda dinamakan zelfbesturendelanschapen. Kedua, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli, ialah dorfgemeinschaften, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta dan kuria di Tapanuli, gampong di Aceh…. Dihormati dengan menghormati dan memperbaiki susunan asli.”
UUD 1945 tidak memberikan definisi masyarakat hukum adat secara langsung.
Namun demikian, terdapat pasal yang mengakui eksistensi dari masyarakat hukum
adat. Hal ini muncul sejak amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000, yakni
penambahan pada Pasal 18 dan pemunculan bab khusus mengenai Hak Asasi
Manusia. Pengaturan mengenai keberadaan masyarakat hukum adat pada Pasal
18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3). Pasal 18B ayat (2) berada dalam Bab
Pemerintahan Daerah, sedangkan Pasal 28I ayat (3) berada dalam Bab Hak Asasi
Manusia. Berikut bunyi lengkap kedua pasal tersebut: Pasal 18 B ayat (2): Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang. Pasal 28 I ayat (3): Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Dengan
demikian, negara ‘mengakui’ serta ‘menghormati’ eksistensi masyarakat hukum adat
namun dengan catatan 4 (empat) persyaratan yuridis yakni : a) sepanjang masih
ada, b) sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban, c) sesuai dengan
prinsip negara kesatuan republik Indonesia, dan d) diatur dalam undang-undang.
Oleh karena keempat syarat tersebut diatur dalam Undang-Undang Dasar, maka
23
keempatnya bisa disebut sebagai syarat konstitusional.49 2) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria (UUPA) Tidak dapat dipungkiri bahwa
UUPA adalah salah satu peletak dasar konsep dan materi pengaturan mengenai
pengakuaan masyarakat hukum adat. Lahirnya UUPA ini disebabkan adanya
dualisme hukum dalam pengaturan hukum tanah nasional, yaitu adanya tanah-tanah
yang tunduk pada hukum Barat dan terdapatnya tanah-tanah yang tunduk pada
hukum adat. Untuk menghilangkan dualisme dalam hukum tanah di Indonesia
tersebut, maka berlaku UUPA sehingga tercipta hukum tanah nasional. Secara
substansial, UUPA dibuat dalam rangka melaksanakan lebih lanjut pasal 33 ayat (3)
UUD 1945. UUPA tidak dihadirkan untuk mengatur mengenai keberadaan
masyarakat hukum adat. Penyebutan masyarakat hukum adat dalam UUPA
berkenaan dengan kedudukannya sebagai subjek yang berhak menerima kuasa dari
Negara dalam rangka melaksanakan hak menguasai negara dan memiliki hak
ulayat. Ketentuan mengenai hal ini akan diatur lebih lanjut dalam sebuah peraturan
pemerintah. Pakar hukum Agraria Universitas Sumatera Utara, Zaidar merumuskan
pengertian Hak ulayat sebagai hak bersama yang sifatnya abadi dan dalam
kedudukannya sebagai “hak penguasaan atas tanah” memberikan kewenangan
kepada anggota-anggotanya untuk berbuat sesuatu atas tanah ulayat yang
bersangkutan. Kewenanangan dalam hal ini juga sekaligus berarti sebagai “tugas”
dari setiap anggota masyarakat hukum adat yang melekat pada hak ulayat , yaitu
untuk mengupayakan agar “tanah ulayat” tersebut dapat berfungsi secara lestari dan
menjadi pendukung kehidupan kelompok masyarakat hukum adat dan para
anggotanya sepanjang zaman. UUPA memegang kuat konsep bahwa pemilik hak
ulayat adalah masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 3 UUPA yang menyebutkan
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Dengan demikian, hak ulayat adalah milik masyarakat hukum adat. Pemahaman
serupa juga dianut oleh UUPA dengan mengatakan bahwa masyarakat hukum adat
yang memiliki hak ulayat dilarang untuk menghalang-halangi pemberian hak guna
usaha (HGU) atau menolak pembukaan hutan untuk keperluan penambahan bahan
24
makanan dan pemindahan penduduk (Penjelasan Umum II angka 3). Dengan
menggunakan konsep tersebut, UUPA sekaligus mengakui keberadaan masyarakat
hukum adat selaku subyek yang memiliki hak ulayat (obyek). Hak ulayat sebagai
obyek tidak mungkin ada tanpa keberadaan masyarakat hukum adat sebagai
subyek. Masih dalam payung hukum UUPA, pengertian masyarakat adat secara
konkrit dituangkan dalam Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 1999
tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat yang
diterbitkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional diatur
bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan Undang-undang Kehutanan juga mengatur
keberadaan masyarakat hukum adat yang tertuang di dalam Pasal 67 ayat (1) yang
menyatakan keberadaan masyarakat hukum adat menurut kenyataannya memenuhi
unsur: a) Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemenschaap); b)
Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasaan adatnya; c) Ada wilayah
hukum adat yang jelas; d) Ada pranata dan perangkat hukum yang khususnya
peradilan adat yang masih ditaati; e) Mengadakan pemungutan hasil hutan di
wilayah hutan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Terdapat
dua hal utama dalam undang-undang ini mengenai masyarakat hukum adat, yakni.
Pertama, bahwa sumber daya hutan dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh ngeara bukan
merupakan kepemilikan, namun negara memberi sejumlah kewenangan kepada
pemerintah, termasuk kewenangan untuk memberikan izin dan hak kepada pihak
lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Hak menguasai negara
membawa konsekuensi dimasukkannya hutan yang dikuasai oleh masyarakat
hukum adat ke dalam hutan negara. Dengan demikian, cakupan hutan negara bukan
hanya hutan yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut UUPA, tetapi juga
mencakup hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat atau yang biasa
disebut dengan hutan adat. Kedua, dimasukkannya hutan negara tidak lantas
meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada
dan diakui keberadaannya, untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hutan.
Namun, masyarakat hukum adat harus terlebih dahulu harus dikukuhkan
keberadaannya lewat peraturan daerah. Pengukuhan tersebut hanya bisa dilakukan
25
apabila masyarakat hukum adat itu memenuhi 5 (lima) syarat, yakni: a)
masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemeenschap); b) ada
kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c) ada wilayah hukum
adat yang jelas; d) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat,
yang masih ditaati; dan e) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah
hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. 4) Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 Mahkamah Konstitusi sebagai
pemegang kekuasaan kehakiman yang bertugas mengawal konstitusi secara
langsung turut serta dalam penegakan hakhak asasi manusia. Hal ini merupakan
hakikat pengertian dari konstitusi sebagai dokumen politik dan dokumen ekonomi
yang melindungi hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap warga negara
maupun orang yang hidup dalam negara tersebut. Oleh karena fungsi konstitusi
pada essensinya adalah untuk membatasi kekuasaan yang ada dalam skema
ketatanegaraan suatu bangsa dan memformulasikan perlindungan hak-hak dasar
warga negara atau hak-hak asasi manusia secara menyeluruh, maka peran
Mahkamah Konstitusi berkorelasi langsung sebagai aparatur penegak hak asasi
manusia secara menyeluruh. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012
memutuskan perkara konstitusi dalam pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat Kesepuhan Cisitu.42 Selain itu, pengakuan terhadap
masyarakat hukum adat terdapat legal standing dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan
UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) berbunyi:
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu... b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;”.
42 Ibid.
26
Dalam UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kekutanan
terdapat perencanaan kehutanan secara utuh dengan mencantumkan ke dalamnya
pengukuhan kawasan hutan. Namun dalam pelaksanaannya tidak konsisten.
Pembentukan kawasan hutan di beberapa tempat yakni pulau Jawa da Madura serta
beberapa wilayah pulau Sumatera adalah warisan kebijakan kolonial Belanda.
Wilayah lain di luar pulau Jawa dan Madura, kawasan hutan muncul sebagai hasil
dari terbitnya konsensi kehutanan di penghujung tahun 1960-an dan tahun 1970-an.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 291/Kpts/Um/5/1970 tentang Penetapan Areal
Kerja Pengusahaan Hutan sebagai Kawasan Hutan Produksi menyatakan bahwa
areal konsensi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) langsung ditetapkan sebagai
kawasan hutan produksi, tanpa melalui proses pengukuhan kawasan hutan.43
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Kehutanan bahwa menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan, Menteri
kehutanan menetapkan kriteria dan standar pengukuhan kawasan hutan,
selanjutnya gubernur menetapkan pedoman penyelenggaraan penataan batas, lalu
Bupati/Walikota menetapkan pedoman penyelenggaraan penataan batas di
wilayahnya yang diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 32/Kpts-II/2001
tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan. Dalam
perkembangannya, Keputusan Menteri tersebut dicabut dan diganti dengan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.50/Menhut-II/2011 tentang Pengukuhan
Kawasan Hutan. Selanjutnya Peraturan Menteri itu diganti dengan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan pada
tanggal 11 Desember 2012.44
Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.32/Menhut-II/2013 tentang
Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan menyebutkan bahwa luas kawasan
hutan yang terdapat di daratan ataupun perairan adalah 130,68 juta hektar atau 68,4
dari luas wilayah daratan Indonesia yang terbagi dalam berbagai macam fungsi
yakni hutan konservasi seluas 26,82 juta hektar, hutan lindung seluas 28,86 juta
43 Myrna A. Safitri, “Hak Menguasai Negara Di Kawasan Hutan: Beberapa Indikator Menilai Pelaksanaannya”, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol. 1 Issue 2 Desember 2014, h. 4.
44 Wahyu Nugroho, “Konsistensi Negara Atas Doktrin Welfare State Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan Oleh Masyarakat Adat”, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 1 Issue 2 Desember 2014, h. 36 dan 37.
27
hektar, hutan produksi dengan luas 32,6 juta hektar, hutan produksi terbatas dengan
luas 24,46 juta hektar, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 17,94 juta
hektar. Meskipun kawasan hutan yang ditunjuk meliputi areal yang luar, namun pada
kenyataannya hingga tahun 2009, kawasan hutan yang telah ditetapkan hanya
mencapai 11,29% yang menunjukkan hampir 90% kawasan hutan Indonesia pada
saat itu belum berkepastian hukum bahwa kejelasan status kawasan hutan negara
atuakah hutan hak yang didalamnya termasuk pula hutan yang dikuasai oleh
masyarakat hukum adat (hutan adat).45
Ketidakpastian hukum kawasan hutan menimbulkan berbagai persoalan yaitu
lemahnya pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak warga negara
serta kerawanan penyalahgunaan wewenang yang berimplikasi terjadinya korupsi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa
penunjukan kawasan hutan yang tidak diikuti dengan proses selanjutnya merupakan
tindakan pemerintah yang otoriter. Selain itu, ada ketidakadilan dalam penguasaan
dan pemanfaatan kawasan hutan sehingga terjadi ketimpangan yang memberikan
izin pemanfaatan sumber daya dan kawasan hutan hanya 3% sedangkan 97%
selebihnya diberikan kepada korporasi.46 Dengan demikian, perlunya proses
penataan batas dan pemetaan dikarenakan tumpang-tindih antara kawasan hutan
negara dengan tanah yang terdapat hak-hak masyarakat hukum adat atau hak pihak
ketiga lainnya.
3. Hutan Adat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Terdapat hubungan sejarah yang saling mempengaruhi antara masyarakat setempat
(masyarakat adat) dengan hutan sekelilingnya sebagai salah satu unsur sumber
daya hutan yakni hutan adat secara teratur dan mapan. Masyarakat adat menguasai
hampir seluruh hutan-hutan melalui lembaga-lembaga adat. Pada masa
pemerintahan kolonial Belanda, adat pada daerah-daerah yang tidak dikuasai oleh
Pemerintah Belanda dianggap sah. Setelah kemerdekaan, UUPA mengakui sejarah
adat dengan menghormati wilayah adat sebagai lahan milik. Namun ketika masa
Orde Baru, industri meningkat yang menguntungkan pulau-pulau luar Jawa, negara
45 Myrna A. Safitri, Op. Cit, h. 4 dan 5.
46 Ibid., h. 5 dan 6.
28
mengklaim hutan adalah miliknya dan praktik adat kehilangan keabsahan
(legitimasi). Sejak berlakunya UU Kehutanan, pemerintah mengakui masyarakat
hukum adat sebagai salah satu unsur eksistensi hutan adat dengan syarat bahwa
masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban, ada institusi lokal yang menangani
hukum adatnya, ada wilayah yang diatur oleh hukum adat, ada pranata dan
perangkat hukum yang keputusannya dipatuhi.47
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang
satu dengan lainnya tidak dipisahkan (Pasal 1 angka 2 UU Kehutanan). Terkait
hutan, Menteri Kehutanan melalui Penetapan Pemerintah menempatkan kedudukan
yuridis hutan menjadi kuat yakni: (1) setiap orang menjadi hati-hati dan tidak
melakukan tindakan pembabatan, pendudukan, dan atau pengerjaan di kawasan
hutan secara sewenang-wenang; (2) mewajibkan pemerintah yaitu Menteri
Kehutanan untuk melakukan perencanaan, penyediaan, dan pemanfaatan hutan
sesuai dengan fungsi hutan.48 Selain itu, UU Kehutanan menentukan 4 (empat) jenis
hutan yaitu berdasarkan status, fungsi, tujuan khusus, dan pengaturan iklim mikro,
estetika, dan resapan air yang secara komprehensif dapat dilihat pada matrik status
hutan berikut.49 Tabel 1. Perbandingan fungsi dan status hutan
Status Hutan Fungsi Hutan
Hutan Negara Hutan Adat Hutan Hak Hutan Bukan Adat Hutan Konservasi
Hutan dimanfaatkan untuk perlindungan keragaman hayati. Penggunaan lain dimungkinkan kecuali pada cagar alam, zona inti, dan zona rimba pada taman nasional (Pasal 24)
Masyarakat adat dapat memanfaatkan hutan adat yang tujuannya untuk perlindungan dan konservasi sepanjang tidak mengganggu fungsinya dan hukum (Pasal 37)
Pemilik dapat memanfaatkan hutan yang tujuannya untuk perlindungan dan konservasi sepanjang tidak bertentangan dengan fungsi yang sudah ditentukan (Pasal 36)
Hutan Lindung
Hutan lindung dimanfaatkan untuk jasa
Jika diubah menjadi hutan
47 Kurnia Warman (ed). Op. Cit. h. 71.
48 Ibid. h. 64 dan 65.
49 Kurnia Warman (ed.), Nasib Tenurial Adat Kawasan Hutan: Tumpang Tindih Klaim Adat dan Negara pada Aras Lokal di Sumatera Barat, (Jakarta: HuMa Perkumpulan Qbar, 2007), h. h. 68 dan 69.
29
lingkungan dan hasil pemungutan hasil hutan non kayu (Pasal 28)
negara pemerintah akan memberi kompensasi kepada pemilik (Pasal 36)
Hutan Produksi
Hutan produksi dapat dimanfaatkan untuk jasa lingkungan, pemungutan hasil kayu dan non kayu (Pasal 28)
Masyarakat adat dapat memanfaatkan hutan adat untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (Pasal 67) Masyarakat adat dapat melakukan pemanfaatan yang lain sepanjang tidak bertentangan dengan fungsinya dan hukum (Pasal 37). Jika berhasil hutan diperdagangkan, masyarakat adat diharuskan membayar pajak hutan (Pasal 37).
Pemanfaatan hutan dikelola oleh pemiliknya
Hutan dengan Tujuan Khusus
Hutan dengan tujuan khusus, dapat dimanfaatkan untuk penelitian, pengembangan pendidikan, pelatihan, fungsi keagamaan atau fungsi budaya (Pasal 8)
Hutan dengan tujuan khusus tidak harus merupakan hutan adat tetapi masyarakat adat dapat mengelola hutan dengan tujuan khusus (Pasal 34)
Tidak ditentukan
Hutan Kota Hutan ini termasuk kawasan publik dalam kota yang ditentukan oleh pemerintah (Pasal 9)
Tidak relevan Tidak relevan
Terdapat kesamaan antara bentuk-bentuk pemanfaatan pada hutan adat maupun
pada hutan di luar hutan adat. Hutan adat maupun hutan di luar hutan adat (hutan
non adat) memiliki fungsi yang sama yaitu perlindungan, konservasi, dan produksi
artinya status hutan adat dalam UU Kehutanan memberikan sedikit hak-hak baru
yang perlu dikukuhkan lagi setidaknya dalam peraturan di bawah UU Kehutanan.
Kawasan hutan dengan tujuan khusus (keagamaan, kebudayaan, pendidikan,
maupun penelitian).
Hutan adat lebih mungkin untuk memiliki campuran tanaman (yang ditanam oleh
masyarakat adat) yang lebih banyak dan populasi kehidupan liar yang dimodifikasi
dan dikelola untuk produksi yang lebih beraneka ragam. Jika hutan adat
dipertahankan sebagai hutan negara perlu dilakukan adaptasi besar-besaran
30
terhadap rezim pengelolaan di masa lalu untuk mengakomodasi kedua sistim yang
sangat berbeda tersebut.50
Dalam Pendapat Mahkamah melalui Putusan MK Nomor 34/PUU-IX/2011 perihal
Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang
diputuskan dalam sidang yang terbuka untuk umum tanggal 16 Juli 2012 terdapat
beberapa pemikiran antara lain.
1. Kewenangan pemerintah untuk menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b UU Kehutanan adalah salah satu bentuk penguasaan negara atas bumi dan air yang dimungkinkan berdasarkan konstitusi dengan ketentuan penetapan kawasan tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dengan memperhatikan hak-hak masyarakat yang terlebih dahulu ada di wilayah tersebut. Apabila dalam wilayah tersebut terdapat hak-hak masyarakat, termasuk hak masyarakat tradisional, hak milik, atau hak-hak lainnya, maka pemerintah berkewajiban untuk melakukan penyelesaian terlebih dahulu secara adil dengan para pemegang hak.
2. Dalam wilayah tertentu dapat saja terdapat hak yang telah dilekatkan atas tanah, seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak-hak lainnya atas tanah yang harus mendapat perlindungan konstitusional berdasarkan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, penguasaan hutan oleh negara harus juga memperhatikan hak-hak yang demikian selain hak masyarakat hukum adat yang telah dimuat dalam Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan.
3. Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan memang belum mencakup norma tentang hak atas tanah yang lainnya yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak memuat pula hak atas tanah yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Sejalan dengan Putusan Mahkamah Nomor 32/PUU-VIII/2010, bertanggal 4 Juni 2012, kata “memperhatikan” dalam Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan haruslah pula dimaknai secara imperatif berupa penegasan bahwa Pemerintah, saat menetapkan wilayah kawasan hutan, berkewajiban menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi kontrol terhadap Pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun [vide Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945]. Oleh karena itu, Pasal 4 ayat (3) UU
50 Ibid., h. 70.
31
Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”.
Dalam Pendapat Mahkamah melalui Putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2011 perihal
Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi
Undang-Undang, tanggal 21 Februari 2012 menyampaikan pendapat hukumnya
sebagai berikut.
1. Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan menyatakan, “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap” bahwa dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta tindakan berdasarkan freies Ermessen (discretionary powers). Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies Ermessen (discretionary powers). Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan.
2. Tahap-tahap proses penetapan suatu kawasan hutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan sejalan dengan asas negara hukum yang antara lain bahwa pemerintah atau pejabat administrasi negara taat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 15 ayat (2) UU Kehutanan yang menentukan, “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah” menurut Mahkamah ketentuan tersebut antara lain memperhatikan kemungkinan adanya hak-hak perseorangan atau hak pertuanan (ulayat) pada kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut, sehingga jika terjadi keadaan seperti itu maka penataan batas dan pemetaan batas kawasan hutan harus mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain, misalnya masyarakat yang berkepentingan dengan kawasan yang akan ditetapkan sebagai kawasan
32
hutan tersebut. Karena penetapan kawasan hutan adalah proses akhir dari rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan, maka frasa, “ditunjuk dan atau” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan asas negara hukum, seperti tersebut dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Selain itu frasa “ditunjuk dan atau” tidak sinkron dengan Pasal 15 UU Kehutanan. Dengan demikian ketidaksinkronan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menentukan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Dalam Pendapat Mahkamah melalui Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 perihal
Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tanggal 16
Mei 2013 antara lain.
1. Dalam ketentuan konstitusional sebagai dasar-dasar pengaturan dalam rangka pengalokasian sumber-sumber kehidupan bangsa untuk kesejahteraan, termasuk di dalamnya sumber daya alam, seperti hutan, terdapat hal penting dan fundamental. Pertama, penguasaan negara terhadap cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Kedua, penguasaan negara terhadap bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ketiga, penguasaan negara terhadap sumber daya tersebut, termasuk di dalamnya sumber daya alam, dimaksudkan supaya negara dapat mengatur dalam rangka pengelolaan terhadap sumber daya kehidupan tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik rakyat secara individual maupun rakyat sebagai anggota masyarakat hukum adat;
2. UU Kehutanan memperlakukan masyarakat hukum adat yang secara konstitusional sebagai subjek hukum terkait dengan hutan berbeda dengan subjek hukum yang lain, dalam hal ini terkait dengan kategorisasi hutan yang di dalamnya terdapat hubungan hukum antara subjek hukum dengan hutan. Ada tiga subjek hukum yang diatur dalam UU Kehutanan, yakni negara, masyarakat hukum adat, dan pemegang hak atas tanah yang di atasnya terdapat hutan. Negara menguasai baik atas tanah maupun atas hutan. Pemegang hak atas tanah dimaksud juga memegang hak atas hutan, tetapi masyarakat hukum adat tidak secara jelas pengaturan tentang haknya atas tanah maupun hutan;
3. Dengan perlakuan berbeda tersebut masyarakat hukum adat secara potensial, atau bahkan dalam kasus-kasus tertentu secara faktual, kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam untuk kehidupannya, termasuk hak tradisionalnya, sehingga masyarakat hukum adat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari hutan sebagai sumbernya. Bahkan acapkali hilangnya hak-hak masyarakat hukum adat dimaksud dengan cara sewenangwenang, sehingga tidak jarang menyebabkan terjadinya konflik yang melibatkan masyarakat dan pemegang hak;
4. Masyarakat hukum adat berada dalam posisi yang lemah karena tidak diakuinya hak-hak mereka secara jelas dan tegas ketika berhadapan dengan negara
33
dengan hak menguasai yang sangat kuat. Seharusnya penguasaan negara atas hutan dipergunakan untuk mengalokasikan sumber daya alam secara adil demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
5. Keberadaan hutan adat dalam kesatuannya dengan wilayah hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat adalah konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai (living law). Hal tersebut berlangsung setidak-tidaknya sejak zaman Hindia Belanda hingga sekarang. Selain termaktub di dalam UUD 1945, pengakuan terhadap 171 kesatuan masyarakat hukum adat pasca-perubahan UUD 1945 [vide Pasal 18B ayat (2)] juga tersebar diberbagai Undang-Undang selain UU Kehutanan.
6. Penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus juga memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak masyarakat adat serta hak-hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan dijamin oleh konstitusi, misalnya hak akses untuk melintas, hak atas lingkungan yang sehat dan lain-lain (vide Putusan Mahkamah Nomor 3/PUUVIII/2010 bertanggal 16 Juni 2011, paragraf [3.14.4]).
7. Baik hutan negara maupun hutan hak menurut konstruksi yang diderivasi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dikuasai oleh negara. Hak menguasai dari negara meliputi semua tanah tanpa ada yang terkecuali; Hutan adat dalam kenyataannya berada dalam wilayah hak ulayat. Dalam wilayah hak ulayat terdapat bagian-bagian tanah yang bukan hutan yang dapat berupa ladang penggembalaan, kuburan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan umum, dan tanah-tanah yang dimiliki secara perseorangan yang berfungsi memenuhi kebutuhan perseorangan. Keberadaan hak perseorangan tidak bersifat mutlak, sewaktu-waktu haknya dapat menipis dan menebal. Jika semakin menipis dan lenyap akhirnya kembali menjadi kepunyaan bersama. Hubungan antara hak perseorangan dengan hak ulayat bersifat lentur. Hak pengelolaan hutan adat berada pada masyarakat hukum adat, namun jika dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat jatuh kepada Pemerintah [vide Pasal 5 ayat (4) UU Kehutanan]. Wewenang hak ulayat dibatasi seberapa jauh isi dari wewenang hak perseorangan, sedangkan wewenang negara dibatasi sejauh isi dan wewenang hak ulayat. Dengan cara demikian, tidak ada tumpang tindih (kejumbuhan) antara wewenang negara dan wewenang hak masyarakat hukum adat yang berkenaan dengan hutan. Negara hanya mempunyai wewenang secara tidak langsung terhadap hutan adat;
8. Tidak dimungkinkan hak yang dipunyai oleh warga masyarakat hukum adat tersebut ditiadakan atau dibekukan sepanjang memenuhi syarat dalam cakupan pengertian kesatuan masyarakat hukum adat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
9. Hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi dua yaitu hutan negara dan hutan hak. Adapun hutan hak dibedakan antara hutan adat dan hutan
34
perseorangan/badan hukum. Ketiga status hutan tersebut pada tingkatan yang tertinggi seluruhnya dikuasai oleh Negara.
10. Menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum adat.
11. penguasaan hutan oleh negara harus juga memperhatikan hak-hak selain hak masyarakat hukum adat yang telah dimuat dalam norma UU Kehutanan.
12. Sejalan dengan maksud Putusan Mahkamah Nomor 32/PUUVIII/2010, bertanggal 4 Juni 2012, kata “memperhatikan” dalam Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan haruslah pula dimaknai secara imperatif berupa penegasan bahwa Pemerintah, saat menetapkan wilayah kawasan hutan, berkewajiban menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi kontrol terhadap Pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun [vide Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945]. Oleh karena itu, Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Penguasaan hutan oleh negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUUIX/2011 paragraf [3.16.2]);
13. Berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 34/PUUIX/2011 menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, penguasaan hutan oleh negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-IX/2011 bertanggal 16 Juli 2012, paragraf [3.16.2]);
14. karena pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat hukum adat cepat atau lambat juga akan mengalami perubahan, bahkan lenyap sifat dan tanda-tandanya. Perubahan tersebut dapat berdampak positif maupun negatif bagi masyarakat yang bersangkutan. Untuk mencegah terjadinya dampak negatif, UUD 1945 memerintahkan keberadaan dan perlindungan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat supaya diatur dalam Undang-Undang, agar dengan demikian menjamin adanya kepastian hukum yang berkeadilan.
15. Keberadaan masyarakat hukum adat demikian tidak sesuai dengan prinsip tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jikapun ada kebebasan, hal tersebut telah diatur pembatasannya dalam Undang-Undang tentang otonomi daerah serta Undang-Undang lainnya dan masih dalam bingkai dan cakupan Negara Kesatuan
35
Republik Indonesia. Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
16. Terhadap hutan negara, sebagai konsekuensi penguasaan negara terhadap hutan, negara dapat memberikan pengelolaan kepada desa untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat desa, dan hutan negara dapat juga dimanfaatkan bagi pemberdayaan masyarakat.
17. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan. Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa. Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat disebut hutan kemasyarakatan. Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat;”
18. hutan hak harus dimaknai bahwa hutan hak terdiri dari hutan adat dan hutan perseorangan/badan hukum. Dengan demikian, hutan adat termasuk dalam kategori hutan hak, bukan hutan negara;
19. Terkait pengujian konstitusionalitas Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan mengenai frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional” bahwa apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi maka hak pengelolaan hutan adat adalah tepat untuk dikembalikan kepada Pemerintah, dan status hutan adat pun beralih menjadi hutan negara.
20. Keberadaan masyarakat hukum adat, fungsi dan status hutan (adat), penguasaan hutan, mensyaratkan sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya. Pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah, merupakan delegasi wewenang yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang diatur dalam undang-undang.
21. Dalam rangka mengisi kekosongan hukum guna menjamin adanya kepastian hukum, pengaturan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat dibenarkan sepanjang peraturan tersebut menjamin kepastian hukum yang berkeadilan. Dalam menetapkan batas wilayah hutan negara dan hutan adat tidak dapat ditetapkan secara sepihak oleh negara tetapi berdasarkan Putusan Mahkamah Nomor 34/PUU-IX/2011 tanggal 16 Juli 2012 yang harus melibatkan pemangku kepentingan (stake holders) di wilayah yang bersangkutan.
Dengan demikian, nampak untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bahwa
konsep hutan mengalami perubahan karena dinamika dalam masyarakat bahwa
keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya diantaranya hak atas
36
hutan adat ada sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
37
BAB III KEBIJAKAN HUKUM NASIONAL
PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Masyarakat adat yang meliputi 70 juta penduduk Indonesia mendiami berbagai
wilayah di Indonesia termasuk hutan-hutan adat yang berjumlah mencapai 40 juta
hektar. Masyarakat adat merupakan potensi nasional yang besar dalam menjaga
hutan-hutan Indonesia dari deforestasi dan pemberdayaan ekonomi berbasis
masyarakat yang ramah lingkungan yaitu yang biasa disebut green
economy dan blue economy. Terkait dengan hak masyarakat adat untuk mengelola
hutan adat, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan MK Nomor 35/PUU-
X/2012.
Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 merupakan salah satu putusan monumental
yang tidak hanya sekedar mengubah konsep penguasaan tanah di Indonesia.
Sebelum putusan tersebut, ada pemisahan administrasi pertanahan antara yang ada
didalam kawasan hutan dan yang diluar kawasan hutan. Didalam hutan sepenuhnya
kekuasaan negara sehingga tidak mungkin hak masyarakat didalamnya. Putusan
MK menghapus garis demarkasi anatara apa yang ada didalam dan diluat kawasan
hutan. Sehingga yang didalam kawasan hutan pun terdapat hak penguasaan baik
hak ulayat maupun hak atas tanah. Hal tersebut merupakan capaian penting
terhadap konsep penguasaan tanah di Indonesia. Pada bab ketiga penelitian ini,
kami hendak menelaah bagaimana implementasinya setelah hampir tiga tahun
putusan ini dibuat. Bab ini terbagi atas tiga sub bab yang mengkaji mengenai
bagaimana kebijakan hukum pada periode pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono (2012-2014), kebijakan hukum pada periode pemerintahan Joko WIdodo
(2014-sekarang), dan identifikasi Persoalan dalam Penyusunan Kebijakan Hukum
dalam Pemisahan Hutan Adat dari Hutan Negara
A. Kebijakan Hukum pada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2012-2014)
38
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebulan setelah putusan MK 35
menyatakan dalam lokakarya internasional mengenai hutan hujan tropis
menyatakan bahwa hal yang bisa dilaksanakan dalam putusan MK ini adalah
dengan mendaftar kan hak hak masyarakat adat. Pidato Presiden pada pembukaan
International Workshop on Tropical Forest Alliance 2020, 20 Juni 2013
menyatakan:51
“…recently the Indonesian Constitutional Court has decided that customary forest, or hutan adat, is not part of the state forest zone. This decision marks an important step towards a full recognition of land and resources rights of adat community and forest--‐dependent communities. This will also enable Indonesia’s shift toward sustainable growth with equity in its forests and peatlands sector.I am personally committed to initiating a process that registers and recognizes the collective ownership of adat territories in Indonesia. This is a critical first step in the implementation process of the Constitutional Court’s decision.”
Pernyataan Presiden SBY ini mengesankan sebuah respon positif, meskipun
demikian dalam kenyataannya komitmen mendukung pendaftaran dan pengakuan
hak masyarakat hukum adat itu belum terwujud. Presiden, misalnya, tidak
mengeluarkan instruksi apapun kepada Kementeria/Lembaga terkait untuk
menjalankan pendaftaran dan pengakuan tersebut.
Sebulan sebelum berakhirnya pemerintahan SBY, Wakil Presiden meluncurkan
program nasional pemerintah pengakuan pemerintah terhadap masyarakat adat,
program tersebut ditandai deklarasi 8 menteri dan Lembaga Negara.Program
nasional ini diluncurkan secara resmi oleh Wakil Presiden RI, Boediono, dan
deklarasi ditandatangani beberapa menteri dan kepala badan antara lain, Agung
Laksono, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat; Amir Syamsuddin, Menteri
Hukum dan HAM. Lalu Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan; Bahltasar Kambuaya,
Menteri Lingkungan Hidup; Hendarman Supandji selaku kepala BPN, dan Heru
51 Myrna A. Safitri, “Kembali ke Daerah: Sebuah Pendekatan Realistik untuk Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU‐X/2012”, Makalah disampaikan pada Diskusi memperingati setahun Putusan MK No. 35/PUUX/2012, diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantar (AMAN) dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Jakarta, 13 Mei 2014.
39
Prasetyo, kepala Badan Pengelola REDD+. Abdon Nababan, sekretaris jenderal
AMAN, dan beberapa tokoh adat ikut menyaksikan penandatanganan deklarasi ini.52
Deklarasi peluncuran program nasional pengukuhan dan perlindungan hak
masyarakat adat yang ditandatangani pimpinan sembilan lembaga nasional,
menyepakati hal-hal berikut:53
1. Mengembangkan kapasitas dan membuka ruang partisipasi masyarakat hukum adat dalam pelaksanaan berbagai program dan kegiatan pemerintahan termasuk namun tidak terbatas dalam program REDD+2. Mendukung percepatan terwujudnya sinkronisasi dan harmonisasi perundang-undangan terkait perlindungan dan pengakuan masyarakat hukum adat
2. Mendorong terwujudnya peraturan perundang‐undangan yang menjadi landasan hukum bagi pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat (MHA), namun tidak terbatas pada RUU PPMHA dan RUU Pertanahan melalui peran aktif pemerintah dalam proses penyusunan
3. Mendorong penetapan peraturan daerah untuk pendataan keberadaan MHA beserta wilayahnya
4. Mengupayakan penyelesaian konflik terkait dengan keberadaan MHA 5. Melaksanakan pemetaan dan penataan terhadap penguasaan, kepemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang terintegrasi dan berkeadilan serta memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat termasuk MHA
6. Memperkuat kapasitas kelembagaan dan kewenangan berbagai pihak dalam mendukung pengakuan dan perlindungan MHA di pusat dan daerah
7. Mendukung pelaksanaan program REDD+ sebagai salah satu upaya mengembangkan partisipasi MHA secara hakiki dalam kerangka negara Indonesia.
Produk hukum yang dibuat oleh pemerintah SBY pertama kali setelah Putusan MK
35 adalah Surat Edaran Menteri Kehutanan No. SE.1/Menhut--‐II/2013. Surat
Edaran Menteri Kehutanan tersebut diterbitkan tepat dua bulan setelah Putusan MK
35, Surat Edaran ini ditujukan kepada Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepada Dinas
yang membidangan urusan kehutanan. Surat Edaran ini menjelaskan kembali amar
putusan dan pendapat MK dalam perkara pengujian konstitusionalitas pasal--‐pasal
dalam UU No. 41 Tahun 1999 terkait hutan adat dan masyarakat hukum adat.
Namun, secara eksplisit Surat Edaran ini menegaskan bahwa: “hutan adat itu harus
52 “Jalan Panjang dan Berliku RUU PPMHA”, diunduh melalui http://www.aman.or.id/2014/09/03/jalan-panjang-dan-berliku-ruu-ppmha/ pada tanggal 21 Agustus 2015
53Ibid.
40
ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, dengan syarat keberadaan masyarakat hukum
adat terlebih dahulu ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.
Pada tahun 2004, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Edaran No. S.75/Menhut-
-‐II/2004 tentang Masalah Hukum Adat dan Tuntutan Kompensasi/Ganti rugi oleh
Masyarakat Hukum Adat. Surat Edaran ini menyebutkan Peraturan Daerah yang
dimaksud adalah Peraturan Daerah Provinsi. Surat Edaran ini belum dicabut meski
telah menimbulkan berbagai kritik, terutama ketika menjadikan Perda Provinsi
sebagai basis pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat. Surat Edaran ini
bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri/Kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN) No. 5 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa Perda pengakuan hak
ulayat adalah Perda Kabupaten.
Dengan menjelaskan sejumlah kelemahan dari Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999,
saya ingin menegaskan bahwa pernyataan Menteri Kehutanan dalam Surat Edaran
No. SE.1/Menhut--‐II/2013 untuk menjadikan Pasal 67 ini sebagai rujukan hanyalah
melestarikan kekeliruan berpikir yang juga bertentangan dengan UUD 1945.
Peraturan berikutnya yang diterbitkan pada masa pemerintahan SBY adalah
Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 62/Menhut--‐II/2013 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut--‐ Ii/2012 tentang Pengukuhan
Kawasan Hutan. Peraturan ini secara eksplisit menyatakan tujuannya untuk
menjalankan Putusan MK 35. Masyarakat hukum adat didefinisikan oleh Peraturan
Menteri Kehutanan (Permenhut) ini sebagai sekelompok orang yang terikat oleh
tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Sedangkan Wilayah Masyarakat hukum adat adalah tempat berlangsungnya hidup
dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang
letak dan batasnya jelas serta dikukuhkan dengan Peraturan Daerah.Hal
kontroversial dari Permenhut ini adalah Pasal 24A yang menyatakan:54
1. Keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota.
2. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat letak dan batas wilayah masyarakat hukum adat yang dinyatakan secara jelas dalam peta wilayah masyarakat hukum adat.
54Myrna Safitri, Op. Cit.
41
3. Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah masyarakat hukum adat berada dalam kawasan hutan, dikeluarkan dari kawasan hutan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengeluarkan wilayah masyarakat hukum adat dari Kawasan Hutan, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Kemudian Peraturan ini juga menyatakan “Terhadap wilayah masyarakat hukum
adat yang berada dalam kawasan hutan sesuai Peraturan Daerah Provinsi atau
Kabupaten/Kota, maka wilayah masyarakat hukum adat dikeluarkan keberadaannya
dari kawasan hutan” (Pasal 57 Ayat (2)).Dengan menyebutkan bahwa wilayah adat
yang berada dalam kawasan hutan dikeluarkan dari kawasan hutan maka Peraturan
Menteri ini telah bertentangan dengan Putusan MK 35. Putusan MK tidak
menyatakan bahwa kawasan hutan hanya berupa hutan negara. Di dalamnya
terdapat hutan hak yang terdiri dari hutan adat dan hutan perorangan/badan hukum.
Persoalan lain dari Permenhut ini adalah sebagaimana disampaikan oleh AMAN
yakni pengingkaran terhadap status masyarakat hukum adat sebagaisubjek hukum
dengan membuat definisi mengenai hak-hak phak ketiga dan inventarisasi dan
identifikasi hak‐hak pihak ketiga tanpa menyebutkan hak masyarakat hukum adat.
Selain Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri juga mengeluarkan Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri No. 522/8900/SJ tanggal 20 Desember 2013 tentang
Pemetaan Sosial Masyarakat Hukum Adat. Surat Edaran ini menyatakan diri
sebagai pelaksana Putusan MK 35. Menariknya, dengan Surat ini Menteri Dalam
Negeri mengusulkan definisi baru mengenai tanah ulayat.
Tanah adat -yang dipersamakan oleh surat ini dengan tanah ulayat- disebutkan sebagai bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu; tanah ulayat termasuk tanah kerajaan, kraton maupun kesultanan (Sultan Ground).
Dimasukkannya tanah kerajaan ke dalam kategori tanah ulayat mempunyai implikasi
serius terhadap cara pandang Mendagri mengenai masyarakat hukum adat. SE ini
secara tidak langsung menyatakan bahwa kesultanan, kerajaan dan sebagainya itu
termasuk ke dalam kategori masyarakat hukum adat yang memegang hak atas
tanah ulayat. Tentu saja hal ini meresahkan karena penjelasan Pasal 18 UUD 1945
sebelum amandemen, secara tegas menyebutkan adanya dua kategori berbeda
mengenai pemerintahan asli di Republik Indonesia. Keduanya adalah
"Zelfbesturende landschappen" dan “Volksgemeenschappen”.55 Masyarakat hukum
55 Ibid.
42
adat termasuk ke dalam kategori yang kedua. Penjelasan Pasal 18 UUD 1945
menyebutkan contoh volksgemeenschappen itu adalah nagari di Minangkabau,
dusun dan marga di Palembang. Sementara zelfbesturende landschappen adalah
pemerintahan swapraja yaitu suatu pemerintahan pribumi yang memperoleh
otonominya karena sejumlah perjanjian dengan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Di tengah upaya memperjuangkan pengakuan dan perlindungan terhadap
masyarakat hukum adat dan wilayah adat, dimana tanah--‐tanah komunal yang
disebut tanah ulayat itu berada, maka SE Mendagri ini jelas suatu langkah mundur.
Surat ini bersifat kontradiktif dengan misi UUPA untuk membentuk hukum agraria
yang bersih dari anasir feodalisme.
Pada penghujung kekuasaannya, pemerintahan SBY menerbitkan Undang-Undang
No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang--‐undang ini mengatur secara khusus
mengenai desa adat. Perdebatan yang muncul terkait UU ini adalah: apakah
lahirnya UU ini akan mendistraksi atau menguatkan pengauan masyarajat hukum
adat? Pertanyaan ini agak sulit dijawab karena rumusan pasal--‐pasal dalam UU No.
6 Tahun 2014 ini serta penjelasannya menimbulkan banyak tafsir. Sebagai contoh
adalah Pasal 97 Ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa penetapan desa adat
dilakukan jika memenuhii salah satu kriteria yakni:56
“kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional”. Di sini kita bisa melihat bahwa kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat territorial, genealogis, dan fungsional dapat menjadi desa adat. Namun, dalam penjelasan umum UU No. 6 Tahun 2014 disebutkan bahwa Desa Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul. UU No. 6 Tahun 2014 menyatakan tidak mengatur seluruh tipologi masyarakat hukum adat. UU ini hanya mengatur kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara genealogis dan teritorial.
Desa adat pada prinsipnya sebuah pilihan. Masyarakat hukum adat dapat memilih
apakah bentuk pemerintahannya akan dijadikan desa adat atau tidak. Menekankan
pada pilihan di sini penting karena Pasal 106 Ayat (1) UU No. 6 Tahun 2014
menyatakan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan
56 Lihat Pasal 97 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
43
penugasan kepada Desa Adat untuk penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat,
pelaksanaan Pembangunan Desa Adat, pembinaan kemasyarakatan Desa Adat,
dan pemberdayaan masyarakat Desa Adat. Meskipun disebutkan ada biaya pada
penugasan yang diberikan ini tetapi penugasan ini sejatinya penambahan beban
kerja bagi desa adat karena selain mengurus adat, desa adat juga menjalankan
tugas-tugas pemerintahan desa pada umumnya.
Peraturan terakhir yang dibuat dalam kepemimpinan SBY terkait dengan hutan adat
adalah Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri
Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 79 Tahun 2014
tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada Di Dalam
Kawasan Hutan. Peraturan tersebut mengatakan bahwa dalam rangka penyelesaian
hak ulayat dan penguasaan tanah yang berada di dalam kawasan hutan di daerah,
Bupati/Walikota membentuk Tim IP4T yang terdiri dari Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota, Unsur Dinas Kabupaten/Kota yang menangani urusan di bidang
kehutanan, Unsur Balai Pemantapan Kawasan Hutan, Unsur Dinas/Badan
Kabupaten/Kota yang menangani urusan di bidang tata ruang, Camat dan Lurah
setempat.57
Tim ini yang nantinya akan melakukan penerimaan dan verifikasi permohonan
kemudian melakukan analisa data yuridis serta data fisik bidang-bidang tanah yang
berada dalam kawasan hutan. Hasil dari analisis tersebut, Tim IP4T menerbitkan
rekomendasi dengan melampirkan Peta IP4T non kadastral dan surat pernyataan
penguasaaan fisik bidang tanah yang ditandatangani oleh masing-masing pemohon
serta salinan bukti penguasaan tanah lainnya.58
B. Kebijakan Hukum pada Pemerintahan Joko Widodo (2014 – sekarang)
Setelah bergantinya pemerintahan dari pemerintahan SBY kepada Jokowi, Presiden
Joko Widodo menemui Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) membahas
57 Lihat Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 79 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada Di Dalam Kawasan Hutan.
58 Lihat Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 79 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada Di Dalam Kawasan Hutan.
44
putusan Mahkamah Konstitusi yang mengakui hutan adat untuk dikelola masyarakat
yang menempatinya.59
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menegaskan komitmennya untuk
melindungi Masyarakat Adat ketika menyampaikan Pidato perdana Kenegaraan
Presiden RI dalam rangka HUT ke-70 Proklamasi Kemerdekaan. Ini kali pertama
Presiden RI menegaskan pernyataan melindungi Masyarakat Adat dalam sidang
bersama DPD dan DPR RI.60
“Pemerintah juga berkomitmen untuk melindungi masyarakat adat yang menghadapi konflik agraria, menurunkan emisi karbon dengan menghentikan kebakaran hutan, mengelola hutan secara lestari,”
Sebelumnya Presiden telah melakukan audiensi dengan AMAN untuk memulai
rekonsiliasi antara negara dan masyarakat adat pada Kamis, 25 Juni 2015, di Istana
Merdeka, Jakarta. Hal Ini dilakukan karena selama bertahun-tahun masyarakat adat
menjadi korban dalam konflik-konflik agraria, diusir dari wilayah-wilayah mereka
yang dijadikan kawasan-kawasan usaha. Ketika anggota-anggota masyarakat adat
berusaha menuntut haknya, mereka mengalami kriminalisasi. AMAN mencatat
setidaknya ada 150 anggota masyarakat adat yang dikriminalisasi dengan diajukan
ke pengadilan, dipenjara.
Saat acara audensi tersebut Presiden menyatakan mengetahui dan mengakui
adanya berbagai konflik agraria yang ada dan kriminalisasi terhadap masyarakat
adat. Presiden telah menyetujui usulan-usulan AMAN yaitu perlunya percepatan
Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat
Adat (RUU PPHMA) dan pembentukan Satgas Masyarakat.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya saat menyampaikan
pidato sambutan mewakili Presiden Jokowi di perayaan Hari Internasional
Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) minggu 9 Agustus, mengatakan jangan ada
59 “Presiden-Aliansi Masyarakat Adat Nusantara bahas hutan adat”, diunduh melalui http://www.antaranews.com/berita/503552/presiden-aliansi-masyarakat-adat-nusantara-bahas-hutan-adat
60 “Tanggapan terhadap Pidato Kenegaraan Presiden: Presiden Jokowi Tegaskan Komitmen Lindungi Masyarakat Adat”, diunduh melalui http://www.aman.or.id/2015/08/17/tanggapan-terhadap-pidato-kenegaraan-presiden-presiden-jokowi-tegaskan-komitmen-lindungi-masyarakat-adat/
45
sedikit pun yang meragukan political will Presiden Jokowi terhadap Masyarakat
Adat. Saat ini pemerintahan Jokowi sedang mencari formulasi yang tepat untuk
pembentukan Satgas. Sejak diterbitkan putusan MK 35 sudah ada 124 produk
hukum daerah mengenai masyarakat adat yang ditetapkan oleh daerah namun yang
telah legal menjadi hutan adat baru 15.577 hektare. Hutan adat yang telah kuat
dasar hukumnya adalah hutan adat yang terletak di daerah Jambi dan memang
telah diproses pengakuan keberadaan hutan adat tersebut justru sebelum adanya
Putusan MK No. 35.
Pada 26 Agustus 2015, Epistema Institute mengeluarkan policy brief bertajuk
“Analisis Tren Produk Hukum Daerah Mengenai Masyarakat Adat”. Epistema
Institute mendata produk hukum daerah yang dikeluarkan sejak tahun 1979 hingga
Mei 2015, di mana ada 124 aturan mengenai masyarakat adat.Sebanyak 28 di
antaranya merupakan produk hukum daerah pada tingkat provinsi dan 96 berada
pada level kabupaten/kota. Di Kalimantan ada 40 produk hukum, di Maluku-Papua
ada 12, Sulawesi ada 9, dan di Jawa-Bali-Nusa Tenggara ada 7 produk hukum
daerah.61
Provinsi yang paling banyak mengeluarkan produk hukum daerah mengenai
masyarakat adat adalah Aceh sebanyak 12, kemudian Papua 4, Sumatera Barat 3,
serta Kalimantan Tengah dan Maluku masing-masing mengeluarkan 2 produk
hukum. Adapun pada tingkat kabupaten/kota tersebar di 44 kabupaten/kota, dengan
kabupaten/kota yang paling banyak mengeluarkan produk hukum daerah mengenai
masyarakat adat adalah Kabupaten Kerinci (8), Kabupaten Bungo (5), Kabupaten
Merangin (5), Kabupaten Sarolangun (5), dan Kabupaten Bulungan (5).
Dari sisi materi muatan atau isi produk hukum daerah, ada lima klasifikasi. Pertama,
kelembagaan adat, peradilan adat, dan hukum adat; kedua, wilayah, tanah, hutan
adat, dan sumber daya alam lainnya; ketiga, keberadaan masyarakat hukum adat;
keempat, desa adat; kelima, kelembagaan pelaksanaan produk hukum daerah
mengenai adat.
Dari lima klasifikasi tersebut, klasifikasi pertama (kelembagaan adat, peradilan adat,
dan hukum adat) paling banyak dikeluarkan, yaitu 51 produk hukum dengan 43 di
antaranya mengenai kelembagaan adat. Lalu ada tujuh produk hukum daerah
61 Malik, Yance Arizona, dan Mumu Muhajir, “Analisis tren produk hukum daerah mengenai Masyarakat Adat”, Policy Brief Epistema Institute Vol. 01/2015, hal. 2
46
mengenai peradilan adat, seperti yang dijumpai di Provinsi Sulawesi Tengah, Aceh,
Kalimantan Tengah, dan Papua.
Pemerintah daerah memainkan peranan penting untuk mengakui keberadaan dan
hak tradisional masyarakat adat. Jauh sebelum Mahkamah Konstitusi mengeluarkan
Putusannya No. 35/PUU-X/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara dan
memperkuat tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengakui
masyarakat adat, sejumlah pemerintah daerah telah mengeluarkan produk hukum
daerah mengenai pengakuan masyarakat adat. Di bawah ini adalah tabel produk
hukum daerah berdasarkan provinsi/kabupaten dan kota.62 Tabel 2. Produk hukum daerah mengenai pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat
berdasarkan daerah provinsi, kabupaten/kota63
No. Nama Provinsi Tingkat Provinsi/Kabupaten Jumlah
1. NAD Provinsi NAD (12) 12
2. Sumatera Utara Toba Samosir (1) 1
3. Sumatera Barat Provinsi Sumbar (3), Lima puluh Kota (1) Agam (1) dan Solok Selatan (1) 6
4. Jambi Provinsi Jambi (1), Bungo (5) Kerinci (8), Sarolangun (5) dan Merangin (2) 21
5. Riau Provinsi Riau (1), Kampar (1) 2
6. Bangka Belitung Provinsi Bangka Belitung (1), Belitung (1) 2
7. Sumatera Selatan Muara Enim (2) 2
8. Bengkulu Rejang Lebong (2) 2
9. Lampung Way Kanan (1), Lampung Barat (4), Lampung Utara (1), Lampung Timur (1) dan Lampung Tengah (1)
8
10. Banten Lebak (4) 4
11. Jawa Timur Mojokerto (1), Bangkalan (1) 2
12. Bali Provinsi Bali (1) 1
13. Kaltim & Kaltara Malinau (13), Nunukan (3), Pasir (1), 24
62 Ibid., hal, 2
63 Database produk hukum daerah, Epistema Institute 2015.
47
Bulungan (5) dan Kutai Barat (2)
14. Kalimantan Selatan Kota Baru (1), Hulu sungai selatan (1) dan Hulu Sungai Utara (1) 3
15. Kalimantan Barat Kapuas Hulu (3), Sambas (1), Melawi (1) dan Sanggau (1) 6
16. Kalimantan Tengah Provinsi Kalteng (2), Barito Selatan (3), Barito Utara (1), Seruyan (1) 7
17. Sulawesi Tengah Provinsi Sulteng (1), Morowali (1) Donggala (1) dan Sigi (2) 5
18. Sulawesi Selatan Luwu Utara (2), Maros (1) dan Jeneponto (1) 4
19. Papua Provinsi Papua (4) Jayapura (5), Mimka (1) 8
20. Maluku dan Maluku Utara
Provinsi Maluku (2), Maluku Tenggara (1) dan halmahera Utara (1) 4
TOTAL 124
Di bawah ini adalah grafik perkembangan produk hukum daerah berdasarkan tahun
dan bentuk hukum dari berbagai provinsi di Indonesia.64
Diagram 1. Rekapitulasi Perkembangan Produk Hukum Daerah
Berdasarkan periode keberlakuan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (2014-Juni 2015) baru terdapat 11
produk hukum daerah. Meskipun jumlahnya belum signifikan, namun periode ini
secara intensitas cukup produktif karena dalam kurun waktu 1,5 tahun telah
menghasilkan 11 produk hukum daerah, tahun 2014 terdapat 6 dan Juni 2015
64Ibid.,hal. 3
48
terdapat 5 produk hukum daerah. Sementara itu juga banyak daerah sedang
mempersiapkan produk hukum daerah untuk merespons keberlakuan dua undang-
undang tersebut.
Daerah yang paling banyak mengeluarkan penetapan mengenai hutan adat adalah
kabupaten di Provinsi Jambi dengan jumlah 10.475,15 hektar. Lebih rinci antara lain
Kabupaten Kerinci dengan delapan SK Bupati untuk 1.820,56 hektar hutan adat,
Kabupaten Sarolangun dengan lima SK Bupati untuk 3.292,90 hektar hutan adat,
Kabupaten Merangin dengan empat SK Bupati untuk 2.021,00 hektar hutan adat,
dan Kabupaten Bungo dengan tiga SK Bupati untuk 3.340,69 hektar hutan adat.
Namun Perda ini dibuat sebelum Putusan MK Nomor 35 diputus oleh Mahkamah
Kostitusi.
Selain Peraturan Daerah tersebut, Pemerintah Pusat juga membuat Peraturan
Menteri Agrari dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun
2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum
Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu (Permen ATR).
Dengan dicabutnya Permenag 5/1999 oleh Permen ATR 9/2015, maka pengaturan
yang ada dalam Permanag 5/1999 tidak berlaku lagi. Namun secara substansi,
Permenag 9/2015 masih menggunakan kriteria-kriteria keberadaan masyarakat
hukum adat, prosedur penetapan masyarakat hukum adat sebagai subjek hak dan
penetapan haknya. Prosedur penetapan masyarakat hukum adat sebagai subjek
hak tidak lagi menggunakan penelitian oleh Pemerintah Daerah, namun melalui
lembaga kepanitiaan adhoc, yaitu; Iventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan
dan Pemanfaatan Tanah (IP4T).
IP4T dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten/kota dan atau Provinsi yang terdiri dari
unsur BPN, Dinas Kehutanan, Akademisi, LSM dan Perwakilan Masyarakat Hukum
Adat bersangkutan. IP4T bertugas untuk melaksanakan identifikasi, verifikasi dan
pemeriksaan lapangan yang bertujuan untuk menghasilkan laporan tentang
keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subjek hak, data fisik dan yuridis
penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat, termasuk batas-batas wilayahnya.
Selanjutnya, Bupati/Walikota dan atau Gubernur menetapkan hak komunal
masyarakat hukum adat tersebut, yang selanjutnya disampaikan kepada kantor BPN
setempat untuk didaftarkan hak atas tanahnya.
Namun terdapat beberapa permasalahan dalam Permen ini. Seharusnya, dalam
kesatuan masyarakat hukum adat maka otomatis ada melekat hak ulakyat,
49
sementara di permen hanya mengatur soal hak komunal. Dalam konteks hak ulayat
konsepsinya lebih jelas karena memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial
dan kepentingan umum itu melekat. Yang jadi soal di hak komunal adalah soal
kewenangan pengelolaan yang tidak dijelaskan di dalam permenag Nomor 9 Tahun
2015. Permen No.9/2015 dapat memiliki peluang ketika ada hak-hak komunal yang
non masyarakat adat yang berada di wilayah kawasan hutan mau wilayahnya
menjadi penetapan tanah komunal.
Permen ATR 9/15 mengatur subjek hak komunal bukan hanya untuk masyarakat
hukum adat, namun juga berlaku bagi masyarakat lain, yang dalam Permen ATR
9/15 mengistilahkannya dengan masyarakat pada kawasan tertentu, yaitu
masyarakat yang berada di kawasan hutan atau perkebunan. Masyarakat hukum
adat sendiri dijabarkan sebagai masyarakat yang terikat dengan hukum adat, baik
secara geneologis (persamaan garis keturunan) maupun teritorial (kesamaan tempat
tinggal).65
Dengan kata lain, masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang mempunyai
ikatan sosial-kultural dengan tanah dan sumber daya alamnya sejak lama.
Sedangkan masyarakat pada kawasan tertentu adalah masyarakat yang menguasai
tanah selama 10 tahun yang bergantung pada hasil hutan dan sumber daya alam
serta ada kegiatan sosial-ekonomi yang terintegrasi dalam kehidupan masyarakat
tersebut. Disparitas subjek hak komunal dalam Permen ATR 9/15 ini kontroversial,
karena menyamakan basis lahirnya hak komunal yang sosial-kultural (geneologis
dan atau teritorial) dengan basis penguasaan tanah pada kurun waktu tertentu.
Akibatnya, Permen ATR 9/15 potensial memunculkan persoalan hukum, yaitu saling
tumpang tindih antara masyarakat hukum adat dengan masyarakat yang berada
pada kawasan tertentu pada objek yang sama.
C. Identifikasi Persoalan dalam Penyusunan Kebijakan Hukum dalam Pemisahan Hutan Adat dari Hutan Negara
Sejak adanya putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, belum banyak pemerintah
daerah yang mengimplementasikannya di lapangan. Bahkan kriminalisasi terhadap
65 Nurul Firmansyah, “Menyoal Subjek Hak Komunal” diunduh melalui http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5600f0bbb9b64/menyoal-subjek-hak-komunal-broleh--nurul-firmansyah- padatanggal 2 September 2015
50
masyarakat adat bahkan masih kerap terjadi. Dalam nawacita jokowi, pemerintah
menyatakan penting untuk memasukkan dalam peraturan perundang undangan
mengacu pada Putusan MK no 35 tersebut. Dengan begitu sebenarnya pemerintah
terlah berkomitmen untuk melaksanakan putusan no 35 tersebut. Namun dari 40 juta
hektar kawasan hutan adat hanya 5000 hektar tanah adat dari suku Badui dan 10
ribu hektar dari Jambi. Kedua wilayah adat tersebut justru diakui sebelum adanya
putusan MK.
Wilayah adat suku Baduy ditetapkan jauh sebelum putusan MK dengan dorongan
dari Menteri Witoelar dan Presiden Abdurrahman Wahid, melalui sejumlah proses
perancangan, konsultasi dan perundingan, pada tanggal 13 Agustus 2001 DPRD
Kabupaten menyetujui Perda No. 32 Tahun 2001 tentang perlindungan Hak Ulayat
Masyarakat Baduy. Perda ini dengan demikian menjadi yang pertama di dalam
jenisnya di Indonesia.
Implementasi dari Putusan MK Nomor 35 terhambat di lapangan karena banyak
dipengaruhi oleh dalam regulasi pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Desa
mensyaratkan pengakuan keberadaan masyarakat adat harus dengan Paraturan
daerah, namun didalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014
Tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat,
pengakuan keberadaan masyarakat adat hanya dengan keputusan kepala daerah.66
Sebagian kepala daerah lebih memilih keputusan kepala daerah. namun ketika
mereka memilih menggunakan keputusan kepala daerah tidak diterima oleh
Kementerian Kehutanan.67
Selain pada Permendagri dan Peraturan Menteri Kehutanan, alas hukum pengenai
penetapan hutan adat juga diatur dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN
Nomor 9 Tahun 2015. Penetapan hak komunal oleh Gubernur dan Bupati/Walikota
dalam Permenag 9/2015 tidak dijelaskan secara tertulis menggunakan Perda dan
atau Surat Keputusan Kepala Daerah. Namun dalam praktek hukum, penetapan
objek tertentu oleh Kepala Daerah melalui Surat Keputusan Kepala Daerah, maka
66 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Pasal 6 ayat (2) Bupati/walikota melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan Kepala Daerah.
67 Hasil Wawancara dengan Myrna Safitri Phd, Direktur Eksekutif Epistema Institute
51
bisa ditafsir bahwa penetapan hak komunal tersebut dilaksanakan melalui Surat
Keputusan Kepala Daerah. Artinya, penetapan masyarakat hukum adat oleh Perda
dan atau Surat Keputusan Kepala Daerah dalam pelbagai peraturan perundang-
undangan yang ada tidak lagi menjadi prasyarat untuk penetapan hak masyarakat
hukum adat dalam konteks hak komunal, sehingga Penetapan hak komunal
sekaligus penetapan masyarakat hukum adat sebagai subjek haknya secara
bersamaan.
Dalam situasi ini seharusnya terdapat ketegasan, dimana ketika memang tidak
dapat dengen keputusan kepala daerah menggunakan pemerintah harus mencabut
Permendagri. Pemerintah pusat juga dapat membuat keputusan yang dapat di ikuti
oleh seluruh instansi pemerintah atau dari kementerian kehutanan tidak
mempermasalahkan bentuk dari peraturan yang diberikan oleh masyarakat adat
dalam melakukan klaim wilayahnya. Namun menurut Direktur Eksekutif Epistema
Institute tidak ada upaya untuk menyelesaikan persoalan ini. Kementerian
Kehutanan berjalan dengen peraturannya dan Kemendagri berjalan dengan
peraturannya.
Menurut Myrna Safitri dalam konteks hutan adat di Jambi, Pemerintah Daerah tidak
mempermasalahkan siapa yang menjadi masyarakat adat di dalamnya karena
masyarakat adat di Jambi cukup berbaur dengan suku yang lain. Namun kebijakan
nasional mensyaratkan bentuk asli masyarakat adat. Namun konsep kebijakan
nasional mengenai bentuk masyarakat adat yang meliputi beberapa syarat yang
bersifat kumulatifdan banyak sebenarnya masyarakat adat asli yang tidak memenuhi
persyaratan inikarena secara faktual bentuk masyarakat adat sudah tidak sama lagi
dengan masyarakat adat jaman kolonial. Kecuali yang merupakan program
pemerintah guna melestarikan masyarakat adat seperti yang terjadi di Kalimantan.68
Prosedur penetapan masyarakat hukum adat sebagai subjek hak, baik itu dalam
bentuk desa adat maupun masyarakat hukum adat melalui Peraturan Daerah dan
atau Surat Keputusan Kepala Daerah menggunakan mekanisme yang beragam.
Aturan peralihan Permenag 9/2015 mengakomodasi keberagaman mekanisme
penetapan tersebut, dengan memastikan penetapan masyarakat hukum adat dan
hak-haknya yang sudah ada maupun yang sedang berproses diakui, sehingga hak-
68Ibid.
52
hak masyarakat adat tersebut dapat ditetapkan sebagai hak komunal. Dengan
pembatasan penetapan hak masyarakat hukum adat hanya pada hak komunal yang
bersifat privat tersebut, maka hak ulayat, seperti halnya ulayat nagari yang ada
dalam Perda Tanah Ulayat di Sumatera Barat mengalami ketidakpastian hukum.
Sehingga yang paling memungkinkan adalah merubah status nagari sebagai desa
adat yang memasukkan ulayat nagari sebagai aset nagari sebagai desa adat.
Permasalahan yang lebih mendasar lagi selain dari tumpang tindih peraturan
dibawah undang-undang adalah ketidaksamaan penafsiran konsep mengenai
masyarakat adat yang tertera secara kumulatif dalam Pasal 67 Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Legalitas keberadaan masyarakat hukum
adat masih memerlukan perangkat hukum di tingkat daerah, yaitu Peraturan Daerah
dan Surat Keputusan Kepala Daerah. Sehingga peran pemda untuk menetapkan
masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum melalui Perda dan atau Surat
Keputusan Kepala Daerah menjadi elemen utama untuk penetapan hutan adat.
Keberatan yang lain adalah terkait dengan pandangan stereotip bahwa masyarakat
hukum adat hanya menjalankan aktivitas pemanfaatan sumber daya guna
memenuhi kebutuhan subsistennya. Dengan menggunakan kriteria ini maka UU No.
41 Tahun 1999 menampakan dukungan pada upaya konservasi masyarakat hukum
adat. Dalam hal ini, Penjelasan Pasal 67 Ayat(1) bertentangan dengan Pasal 28C
Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan hak setiap orang untuk memajukan dirinya
dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,
bangsa, dan negaranya.
Pasal 67 Ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 kemudian menyebutkan bahwa
pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan
Peraturan Daerah. Dalam Penjelasan Pasal 67 Ayat (2) disebutkan bahwa Peraturan
Daerah tersebut disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar
hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di
daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.
Sejak pemerintahan SBY sampai dengan Jokowi, pusat membuat konsep tim yang
mengkaji mengenai keberadaan masyarakat adat. Namun seperti apapun bentuk
timnya tidak akan berjalan efektif ketika tidak bekerja dengan konsep yang jelas
mengenai masyarakat adat. Sebelum ini juga terdapat Peraturan Menteri mengenai
pendataan hak ulayat yang berujung dengan dibentuknya tim khusus, namun dalam
53
melakukan tugasnya tim yang terdiri dari akademisi tersebut dalam penelitiannya
dapat dengan mudah mengatakan tidak ada masyarakat adat didalam daerah Banyu
Biru.69 Sebab peneliti tersebut mempunyai background hukum dimana memandang
masyarakat adat yang ada berdasarkan hukum positif. Hal ini memiliki kontradiksi
layaknya masyarakat asing yang mendatangi suatu daerah dengan kadar
keilmuannya dalam waktu singkat menyatakan bahwa ada atau tidaknya suatu
komunitas. Pembentukan suatu tim memang penting, namun harus bekerja dengan
suatu konsep baku yang jelas untuk mendefinisikan masyarakat adat.
Dalam konsep masyarakat adat yang ada lahan dan sumber daya, ada masyarakat
yang memiliki konsep wilayah yang jelas misal masyarakat jawa dan konsep
masyarakat ladang berpindah. Masing-masing konsep masyarakat adat memiliki
konsep klaim tanah yang berbeda, namun pada intinya tetap memiliki batasan
wilayah dengan masyarakat daerah lainnya. Dan ketika mereka melanggar batas
tersebut juga akan dipandang melanggar batasan daerah lainnya. Pada masyarakat
berburu dan meramu atau masyarakat rimba tidak konsep batasan wilayahnya tidak
dapat dengan jelas. Yang penting bagi mereka adalah menemukan sumber daya
untuk melanjutkan hidup.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat adat tersebut memiliki beberapa
konsep penguasaan yakni: penguasaan individu, penguasaan komunal dan pada
konsep masyarakat adat ketiga tersebut belum dipetakan secara jelas konsep
kewilayahan. Belumada upaya serius yang dilakukan untuk mendapatkan
pemecahan persoalan ini. Namun harus segera diputuskan apakah mereka
diberikan hak penguasaan, ketika diberikan apakah hak tersebut diserahkan kepada
individu, komunitas, ataupun keluarga. Ataupun bisa jadi negara menganggap dalam
konsep untuk wilayah seperti ini masyarakat adat tidak memiliki konsep
penguasaan, namun sekaligus negara menjamin konsep keamanan mereka dengan
menyediaaknan mereka tempat untuk hidup.
Beberapa inisiatif penyusunan Perda tengah dilakukan. Sejumlah Perda telah terbit
sebelum Putusan MK 35. Namun keberadaan Perda-perda itu belum secara sigifikan
menghasilkan perubahan. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan hal ini terjadi.
Pertama, sifat Perda sebagian besar adalah Perda yang mengatur mengenai
69 Ibid.
54
masyarakat hukum adat, hak atau wilayahnya. Kedua, sangat jarang ditemukan
Perda yang berisikan pengukuhan atau penetapan keberadaan masyarakat hukum
adat dan wilayahnya dengan disertai peta yang jelas. Ketiga, kelembagaan
pelaksana Perda di daerah bukan lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi yang
relevan.70
Beberapa hal yang perlu disiapkan oleh pemerintah daerah. Pertama adalah jenis
Perda yang perlu disiapkan. Pemerintah Daerah Kabupaten atau Provinsi perlu
memiliki Peraturan Daerah yang bersifat pengaturan dan penetapan untuk
pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, hak dan wilayahnya. Ada tiga opsi
yang dapat dipilih:71
1. Penyusunan Perda Provinsi untuk tata cara pengakuan masyarakat hukum adat
sebagai panduan bagi penyusunan Perda Kabupaten untuk penetapan
masyarakat hukum adat dan wilayahnya; atau
2. Penyusunan Perda Kabupaten untuk pengaturan dan Perda Kabupaten untuk
penetapan; atau
3. Penyusunan Perda pengaturan dan penetapan sekaligus dalam satu Perda
Kabupaten.
Kedua, terkait dengan pemetaan wilayah adat, maka terdapat empat opsi
pengaturan:
1. Pemetaan seluruh wilayah adat secara serentak di tingkat Kabupaten kemudian
membuat Perda Kabupaten tentang penetapan seluruh masyarakat hukum adat
dan wilayahnya dengan lampiran peta yang sudah ada; atau
2. Pemetaan wilayah adat secara parsial di tingkat Kabupaten kemudian membuat
Perda Kabupaten tentang penetapan satu atau beberapa masyarakat hukum
adat dan wilayahnya dengan lampiran peta yang sudah ada; atau
3. Pemetaan dilakukan bersamaan dengan penyusunan naskah akademis
Ranperda Kabupaten; atau
70 Myrna Safitri, Op.Cit., Hal. 5
71 Myrna Safitri, M. A. 2013. “Hukum Adat dan Konflik Pertanahan: Pengakuan Hak, bukan manipulasi Hukum Adat”. Makalah pada Lokakarya Penyelesaian Konflik Pertanahan Masyarakat Hukum Adat, dari Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Konflik dan Sengketa Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, 3 September 2013.
55
4. Pemetaan dilakukan setelah Perda penetapan disahkan, dengan syarat
disebutkan dalam Perda bahwa pemetaan akan dilakukan dalam jangka waktu
tertentu dan disahkan dengan Keputusan Bupati/Walikota.
Ketiga, terkait dengan perlindungan terhadap wilayah adat, ada dua opsi
pengaturan:
1. Perda hanya menyatakan bahwa wilayah adat menjadi rujukan penataan ruang;
atau
2. Perda menyebutkan fungsi ruang bagi wilayah adat dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten (RTRWK), misalnya sebagai kawasan perdesaan atau
kawasan strategis sosial‐budaya.
Keempat, terkait dengan pengaturan hutan adat, ada dua opsi pengaturan:
1. Perda hanya menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan dalam wilayah adat;
atau
2. Perda menyatakan bahwa hutan adat dapat berada di dalam atau di luar
kawasan hutan
Kelima, terkait dengan kelembagaan yang mengurus masyarakat hukum adat di
daerah, ada tiga opsi:
1. Perda menyerahkan pengurusan pada Satuan Kerja Pemerintahan Daerah
(SKPD) yang ada, dengan tugas dan fungsi pada umumnya;
2. Perda membentuk lembaga baru bersifat multipihak;
3. Perda membentuk lembaga khusus di bawah Bupati yang berisikan pihak-pihak
independen.
56
BAB IV
STUDI KASUS PEMISAHAN HUTAN NEGARA DAN HUTAN ADAT DI KABUPATEN LEBAK (MASYARAKAT KASEPUHAN)
Kabupaten Lebak memiliki profil yang menarik dalam meneliti mengenai
perkembangan mengenai pemisahan hutan negara dan hutan adat seiring
diterbitkannya putusan 35/PUU-X/2012. Pertama, di Kabupaten Lebak terdapat
sejumlah beberapa komunitas masyarakat adat, yaitu masyarakat Baduy (Kanekes)
dan masyarakat kasepuhan. Kedua, Kabupaten Lebak termasuk daerah yang aktif
dalam upaya pengakuan keberadaan masyarakat adat melalui penerbitan kebijakan-
kebijakan pemerintah baik berupa peraturan daerah maupun melalui surat
keputusan bahkan sebelum adanya putusan-putusan MK, misalnya (i) Perda nomor
32 tahun 2001 tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Adat Baduy; (ii) SK
Bupati Lebak nomor 430/Kep.298/Disdikbud/2013 tentang Pengakuan Keberadaan
Masyarakat Adat di Wilayah Kesatuan Adat Banten Kidul di Kabupaten Lebak.
Ketiga, Kabupaten Lebak, terutama masyarakat adat kasepuhan, memiliki sejarah
panjang dalam hal konflik tenurial untuk pengelolaan hutan dan tanahterlebih
dengan adanya penetapan Taman Nasional Gunung Halimun. Terakhir, Kabupaten
Lebak merupakan daerah yang berada dalam garis depan dalam upaya pemisahan
hutan negara dan hutan adat melalui penerbitan peraturan daerah, meskipun dalam
proses penelitian ini, rancangan peraturan daerah tersebut belum disahkan namun
naskah akademis dan rancangan peraturan daerah telah disusun.
A. Asal Usul Masyarakat Kasepuhan
Nama kasepuhan yang diberikan kepada kelompok sosial ini relatif baru, dan juga
hanya nama sebutan dari orang luar terhadap kelompok sosial ini. Sebutan
kasepuhan bagi masyarakat sunda adalah universal, berasal dari kata sepuh (tua),
dari kata tersebut muncul pengertian sesepuh, yaitu orang yang di-tua-kan. Dalam
bahasa Sunda, kata sepuh berarti 'kolot' atau 'tua' dalam bahasa Indonesia.
Berdasarkan pengertian ini, muncullah istilah kasepuhan, yaitu tempat tinggal para
sesepuh. Sebutan kasepuhan ini pun menunjukkan model sistem kepemimpinan
dari suatu komunitas atau masyarakat yang berasaskan adat kebiasaan para orang
tua (sepuh atau kolot). Kasepuhan berarti 'adat kebiasaan tua' atau 'adat
57
kebiasaan nenek moyang'.72 Nama kasepuhan hanya merupakan istilah atau
sebutan orang luar terhadap kelompok sosial ini yang pada masa lalu kelompok ini
menamakan dirinya dengan istilah keturunan Pancer Pangawinan. Pancer berarti
lulugu atau asal usul, sementara pangawinan berarti ngawin yaitu membawa
tombak dalam upacara perkawinan.73 Pancer memiliki arti akar utama yang yang
tumbuh sedangkan pangawinan adalah mengawinkan antara bumi dengan
langit/semesta, manusia dengan kemanusiaannya, dan mengawinkan raga dengan
hati, yang ghaib dengan lahir, ucap dan lampah atau tingkah laku. Keselarasan ini
merupakan sebuah cerminan relasi langit dan bumi karena menurut kepercayaan
mereka. Upacara perkawinan pun dipandang sebagai menyatunya manusia
dengan tanah yang menghidupinya. Sekalipun ada keterikatan terhadap tanah,
namun masyarakat Kasepuhan tidak bersikeras untuk menjadikan tanah sebagai
kepemilikan. Bagi mereka pengakuan atas tanah adalah adanya akses untuk
mengolah tanah tersebut.74
Kisah mengenai sejarah masyarakat kasepuhan bukanlah hal yang mudah
ditelusuri. Masyarakat kasepuhan telah berkembang sehingga terdiri dari beberapa
kasepuhan yang mendiami beberapa desa. Bila merujuk pada catatan resmi yang
dilakukan oleh Rimbawan Muda Indonesia (RMI) pada tahun 2015, terdapat 65
kasepuhan anggota Kesatuan Banten Kidul (SABAKI) yang hidupnya bergantung
pada sumberdaya alam, dimana 57 kasepuhan diantaranya terdapat di Kabupaten
Lebak, 6 kasepuhan di Kabupaten Bogor dan 3 kasepuhan di Kabupaten Sukabumi.
Selain itu, masyarakat kasepuhan lekat dengan tradisi lisan yang menyiratkan kisah-
kisah leluhur dan asal mula mereka. Para pimpinan kasepuhan, terutama, memiliki
kemahiran dalam mengutip pantun, syair dan pepatah yang memberikan keindahan
bentuk narasi dan argumentasi. Kemahiran ini menjadi sangat berguna ketika
mereka berpidato atau menyampaikan pokok-pokok pikiran berkait dengan nilai-nilai
72 Danasasmita, Saleh & Djatisunda, Anis, 1986, Kehidupan Masyarakat Kenekes, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Depdikbud, Bandung.
73 Ibid
74Adimihardja, K. 1989. Manusia Sunda dan Lingkungannya: Suatu Kajian Mengenai Kehidupan Sosiobudaya dan Ekologi Komuniti Kasepuhan Desa Sirnarasa Jawa Barat Indonesia. Thesis Ph.D. Tidak dipublikasikan. Fakulti Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan. University Kebangsaan Malaysia. Bangi.
58
kearifan dan filosofi masyarakat kasepuhan, dan termasuk juga kutipan-kutipan
tentang warisan nenek-moyang berkait dengan aturan-aturan adat yang didalamnya
termasuk tentang bagaimana menentukan batas-batas diantara kasepuhan yang
tinggal di wilayah Gunung Halimun.Masing-masing kasepuhan memiliki cerita
sejarah sendiri-sendiri yang menjelaskan bagaimana parapemukim awal membentuk
komunitas tempat mereka tinggal sekarang. Uraian sejarah tentang bagaimana asal-
usul tersebut dalam kaitan ini telahdisampaikan dalam nilai budaya setempat dalam
konstruksi tatali paranti karuhun atau kesetiaan mengikuti arahan nenek-moyang.
Prinsip seperti ini yang menjadi dasar bagaimana bangunan konstruksi makna
mengenai asal-usul nenek-moyang mereka dibentuk dan penafsiran sejarah
dikaitkan dengan organisasi sosial bagaimana masyarakat kasepuhan yang tinggal
di wilayah Halimun. Penduduk masing-masing kasepuhan umumnya tidak mampu
mengingat dan menjelaskan kembali bagaimana rangkaian silsilah mereka dengan
leluhur-leluhur pertama yang menetap di wilayah tersebut.
Soal bagaimana masyarakat kasepuhan sampai tinggal dan menetap di wilayah
Halimun, terdapat tiga ragam tafsiran yang memberi penjelasan tentang asal-usul
dan riwayat sejarahnya. Tafsiran pertama menyebutkan bahwa masyarakat ini
kemungkinan berasal dari sisa-sisa pasukan atau laskar kerajaan Sunda Pajajaran
dalam era akhir kekuasaan Sri Baduga Maharaja (1482-1521) setelah kekalahan
mereka menghadapi serangan kesultanan Banten. Para pelarian tersebut kemudian
bermukim di wilayah bagian selatan Halimun yang dalam waktu tersebut merupakan
kawasan yang sulit dijangkau dan memberi perlindungan alamiah bagi para
pemukim baru tersebut. Kedua adalah penafsiran yang menyebutkan bahwa mereka
adalah sisa-sisa keturunan dari pasukan Mataram yang setelah serangan mereka
yang gagal terhadap kekuasaan VOC di Batavia pada tahun 1684. Setelah upaya
serangan yang gagal, laskar pasukan tersebut tidak kembali lagi ke wilayah asal
mereka dan memilih untuk menetap di tempat-tempat dalam wilayah Jawa Barat.
Kisah seperti ini memiliki kaitan dengan penjelasan tentang berkembangnya
pertanian sawah irigasi yang merupakan adaptasi dari sistem pertanian yang telah
berkembang di wilayah Jawa Tengah. Penafsiran ketiga menyebutkan bahwa
59
mereka adalah keturunan dari pelarian faksi keluarga kerajaan kesultanan Banten
sebagai akibat dinamika konflik internal di dalam tubuh kerajaan.75
Pada dasarnya, masyarakat kasepuhan merupakan adalah kelompok pendatang
dari wilayah dan masyarakat yang menjadi pusat kerajaan pra-kolonial di wilayah
Jawa Barat. Hal ini juga didukung dengan aturan tempat tinggal dan
bangunanrumah tinggal penduduk kasepuhan mendapatkan kaitan kesejarahannya
terhadap obilitas penduduk yang terus bergerak mencari lahan pertanian dan
pemukiman baru dan juga kewaspadaan menghadapi kemungkinan serangan.
Mengutip dokumentasi sebuah pantun Bogor berjudul ‘Dadap Malang Sisi Cimandiri’
yang disampaikan juru pantun Ki Baju Rembeng pada tahun 1908, Adimiharja
memberikan penghargaan terhadap bentuk pantun tersebut yang memberikan
penjelasan tentang asal-usul masyarakat yang melarikan diri:76 Urang kucapkeun bae:
Anu tiluan narindak deui
Unggah gunung, turun gunung,
unggahna lempeng ka kidul
Nya anjog ka puncek nu luhur!
Nyi Putri:
Gunung Naon ieu teh
Mana panjang-panjang teuing
Ti kulon ngebat ka wetan
Teu pegat-pegat nyambung ngaruntuy
Ceuk Rakean:
Gunung Kendeng,
Dikisahkan:
Ketiga orang itu berjalan terus
Naik gunung, turun gunung
Naik terus menuju ke arah selatan
Hingga sampailah ke puncak tertinggi!
Nyi Putri bertanya:
Gunung apakah ini
Begitu panjang,
Dari barat sampai ke timur
Beruntun tidak terputus
Kata Rakean:
Gunung Kendeng
75 Hanafi, I. Ramdhaniaty, N., Nurjaman, B, 2004. Nyoreang Alam Ka Tukang, Nyawang Anu Bakal Datang. Penelusuran Pergulatan di Kawasan Halimun, Jawa Barat-Banten. Cetakan Pertama. Publikasi RMI. Bogor, h. 38-40
76 Adimihardja, 1992 sebagaimana dikutip dalam Andi Achdian, Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo: Kajian Terhadap Siasat dan Politik Budaya Masyarakat Kasepuhan dalam Pertarungan Sumberdaya di Kawasan Konservasi Halimun Salak, Jawa Barat & Banten, Tesis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011, h. 48
60
Sabab ngendengan sapanjang jagat!
Ari bagian-bagianna
Nu raruhur jaradi gunung,
Sewang-sewang baroga ngaran.
Tuh, anu di kulon awun-awunan,
Eta teh Gunung Halimun
Anu di wetan lapat-lapat
Gunung Salak jeung Pangrango
Tapi
Naeun di ditu teh
Jiga urung pangrereban,
Laju ku iyana diilikan.
Takean atoh jasa,
Sabab tetela:
Urut ngarereb batur-batur nu ti heula
Nu marundur nuturkeun Raja...
Ceuk inyana:
Hayu Guewat!
Urang susul
Laju nyarusul
Sebab memanjang sepanjang jagat!
Dan bagian-bagiannya
Di antara gunung-gunung itu
Memiliki masing-masing nama
Nah, itu di sebelah barat
Bernama gunung Halimun
Itu yang disebelah selatan
Gunung Salak dan Pangrango
Tapi,
Apakah itu
Seperti bekas pengistirahatan
Lalu dilihat olehnya
Rakean sangat gembira
Sebab sangat jelas:
Bekas pengistirahatan kawan terdahulu
Yang mundur mengikuti Raja...
Kata Rakean:
Ayo segera,
Mari kita susul
Kemudian mereka menyusul
Salah satu contoh versi penelusuran asal usul sejarah yang “resmi” adalah untuk
masyarakat kasepuhan Cisitu. Yang dimaksudkan dengan “resmi” adalah dengan
merujuk pada penetapan narasi sejarah tersebut dalam pengakuan formal melalui
SK Bupati Lebak nomor 430/Kep.298/Disdikbud/2013 yang memberi status
kasepuhan tersebut sebagai masyarakat adat. Dalam runutan sejarah resmi itu
dikisahkan bahwa asal-usulpenduduk kasepuhan cisitu berasal dari keturunan Mbah
Eyang Maharaja Ratu Hajiyang bersama para pengikutnya membangun pemukiman
awal di wilayah ekosistem Halimun-Salak. Disini tidak ada penjelasan tentang kapan
periode Ratu Haji dan para pengikutnya mulai menetap di wilayah yang sekarang
bernama Desa Cisungsang (yang juga merupakan satu kesatuan adat kasepuhan
Cisungsang disebelah selatan kasepuhan Cisitu). Selain itu, juga sulit untuk
61
menentukanapakah Ratu Haji adalah sosok historis atau sebuah rekaan
kontemporer terhadapleluhur yang pernah adat. Tetapi arti terpenting dari sosok
Ratu Haji ini dalamnarasi sejarah yang dibentuk adalah ia menjadi sosok
penghubung komunitas kasepuhan tersebut dengan garis keturunan keluarga-
keluarga kerajaan Pakuan diJawa Barat pada abad 16 dan 17. Ratu Haji diceritakan
memiliki delapan orang putra yang dalam perkembangan waktu masing-masing
membangun wilayah kasepuhan tersendiri seperti CiptaGelar, Cisungsang, Cisitu,
Citorek, Bayah, Cicarucub dan Ciherang. Dari keterangan ini terdapat sebuah
paralelisme sejarah dalam analisis tentang pemecahan kasepuhan Sirna Resmi di
Cisolok yang kemudian menjadi tiga kasepuhan berbeda di Cisolok, Sukabumi. Ratu
Haji sendiri dalam suatu waktu memutuskanuntuk berpindah membuka pemukiman
baru, yang menjadi kasepuhan Cisitusekarang ini, dan menyerahkan kepemimpinan
di kasepuhan Cisungsang kepadasalah satu putranya, uyut Sailun. Berdasarkan
cerita seperti ini kasepuhan Cisitumemiliki klaim sebagai keturunan langsung pendiri
pertama masyarakat kasepuhan yang berada di wilayah kecamatan Cibeber,
kabupaten Lebak. Setelah Ratu Haji meninggal, ia mewariskan kepemimpinan
kasepuhan di Cisitu kepada Olot Harumanjaya yang lebih dikenal dengan sebutan
Uyut Janggot. Dalam kaitan ini, para pemimpin di kasepuhan Cisitu sekarang adalah
keturunan langsung Ratu Haji dan diteruskan oleh Uyut Jenggot. Sebagai keturunan
langsung Ratu Haji, maka kasepuhan Cisitu menyandang sebutan sebagai
kelompok kasepuhan yang termasuk sebagai Pangawinan Guru Cucuk Pangutas
Jalan, yang bermakna sebagai orang tua pembuka jalan dan perintis ke depan.
Konsekuensi dari garis keturunan sejarah ini menjadikan kasepuhan Cisitu sebagai
yang dituakan di antara kasepuhan lainnya, dan menjadi kelompok kasepuhan yang
memberi restu dan ijin terhadap kegiatan-kegiatan ritual adat dari kasepuhan
lainnya.
Contoh versi sejarah “resmi” mengenai asal usul kasepuhan adalah yang dimuat
dalam naskah akademis raperda tentang Kasepuhan yang menceritakan asal usul
kasepuhan. Dikisahkan bahwa di Banten Kidul pada terbagi kedalam tujuh garis
keturunan, diantaranya Somang, Bongbang, Sajira, Parungkujang, Parahyang,
Menes dan Binuangeun. Dan disebutkan bahwa keturunan yang kedelapan
merupakan keturunan yang disebut ”sang membuat”, yakni Pangawinan. Sedangkan
pancer Mandiri memiliki garis keturunan langsung dari Jasinga. Secara khusus
62
mengenai sejarah Pancer Pangawinan ini akan dibahas secara singkat dibawah ini.
Pada waktu jayanya kerajaan Pajajaran Tengah (Bogor), yang diperintah oleh raja
Kandahyang atau Galuh Wening Brama Sakti atau yang sering disebut Prabu
Siliwangi. Dalam struktur organisasi pemerintahan kerajaan tersebut, terdapat suatu
kelompok yang bertugas mengawal raja (pameger raja) yang disebut Bareusan
Pangawinan. Yang menjadi anggota kelompok ini terdiri dari orang-orang yang
mempunyai jabatan tinggi, seperti bupati, camat, patih, puun, guru alas. Yang
kesemua anggota harus mempunyai kriteria antara lain punya pengaruh, kesaktian
dan punya banyak pengalaman. Dalam kelompok tersebut terdapat 3 orang tokoh
yaitu Demang Haur Tangtu, Guru Alas Lutang Kendengan dan Puun Buluh
Penunjang. Dari folklore yang pernah berkembang, diceritakan bahwa mereka
ditugaskan oleh rajanya untuk membawa suatu pohon ajimat. Pada saat itu, di
kerajaan Pajajaran sedang diserang oleh kerajaan Banten. Pohon ajimat itu
diselamatkan oleh ketiga tokoh tersebut. Ketiga tokoh tersebut ikut mundur dari
Pakuan (ibu kota Pajajaran) dengan rombongan raja sampai ke pesisir selatan
Sukabumi, di daerah yang disebut Tegal Buled. Setelah itu raja membagi-bagi
rombongan yang ingin menentukan nasibnya masing-masing, tetapi ketiga orang itu
ingin kembali ke kaler (utara), atau ke dayeuh (kota) yang digambarkan dalam
folklore ungkapan Prabu Siliwangi77
Duwuh Eyang Prabu
Geura ieu darengekeun
Nu tetep milu jeung ngaing
misah ka belah kidul
Nu hayang baralik deui
ka dayeuh nu ditinggalkeun
Geura marisah ka belah kaler
Ari nu rek kumawula
ka nu keur jaya geura marisah
parindah ka belah wetan
Nu mawa karep sorangan
Perintah eyang Prabu
Coba dengarkan ini
Yang tetap ikut denganku
Memisahkan diri kesebelah selatan
Yang ingin kembali lagi
Kekota yang ditinggalkan
Coba berpisah ke utara
Siapa yang mau setia
Kepada yang (mau) jaya (coba) pisah
pindah kesebelah timur
Yang (ingin) membawa diri sendiri
77Ibid, h. 36
63
Marisah ka belah kulon Berpisah kesebelah barat
Dengan membawa pohon tersebut, lalu ditanam dan mereka mengambil bibitnya
masing-masing. Ketiga orang tersebut berpisah, salah seorang diantaranya, yaitu Ki
Demang Haur Tangtu ke daerah Guradog, yang sekarang ini lokasinya terletak
diantara Jasinga dan Rangkasbitung. Dan turunan Ki Demang ini beranak-cucu yang
ada di Citorek, Bayah. Menurut dugaan cikal-bakal berkembangannya kelompok
sosial kasepuhan ini di daerah ini.Nama Pancer Pangawinan yang disebut sebagai
nama keturunan dari kelompok kasepuhan ini, merupakan suatu bentuk penggantian
nama untuk menghormati leluhur mereka yang asli dari pengertian Barisan
Pangawinan.Kelompok sosial kasepuhan yang masih ada hingga kini tersebar di
daerah Bogor Selatan, Sukabumi Selatan dan Banten Selatan. Di daerah Banten
Selatan terdapat kasepuhan Bayahdan Cibedug yang menjadi keturunan Pancer
Mandiri. Barisan Pangawinan membagi kedalam fungsi-fungsi tertentu, diantaranya
sebagai pangutas jalan atau disebut sebagai Guru Cucuk yang tersebar di daerah
Selatan. Kelompok sosial yang termasuk dalam Pancer Pangawinan yang berada di
daerah Bogor Selatan adalah kasepuhan Urug. Di daerah Banten Selatan
Kasepuhan Citorek, Ciherang, Cicarucub, Cisungsang dan Cisitu. Cisungsang dan
Cisitu merupakan kasepuhan yang berfungsi sebagai Guru Cucuk. Di Sukabumi
kasepuhan Cipatagelar, Sirnaresmi dan Ciptamulya.
B. Masyarakat Kasepuhan dan Hutan Masyarakat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan.
Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Masyarakat kasepuhan memanfaatkan kawasan hutan sesuai dengan
pola kegiatan memenuhi kebutuhan hidup dengan apa yang disebut sekarang
sebagai pertanian ladang berpindah, atau dalam bahasa setempat disebut sebagai
pertanian huma. Dalam praktek pertanian huma ini, masyarakat membuka hutan dan
menjadikannya areal tanaman dalam periode waktu tertentu dengan tanaman padi
ageung, palawija dan tanaman keras lainnya seperti kopi, cengkeh, teh, buah-
buahan dan tanaman kayu yang ditanam secara tumpang sari dengan sistem gilir-
64
balik yang merupakan adaptasi dari proses suksesi hutan alam dengan masa
istirahat lahan pertanian untuk kemudian menjadi semak-belukar atau reuma.78
Model pertanian lahan kering ini dalam catatan penelitian itu menunjukan sebuah
manifestasi tatali paranti karuhun yang secara harfiah berarti ‘mengikuti, menaati,
dan mematuhi tuntutan rahasia hidup yang sudah digariskan Tuhan.’ Salah satu tata
nilai dalam ‘tatali paranti karuhun’ adalah: “tilu sapamulu, dua sakarupa, hiji eta-eta
keneh”, yang secara harfiah artinya ‘tiga se wajah, dua se rupa, satu yang itu juga”.
Tata nilai ini mengandung pengertian bahwa hidup hanya dapat berlangsung
dengan baik dan tenteram bila dipenuhi tiga syarat, yaitu (1) tekad, ucap dan
lampah, (niat atau pemikiran, ucapan dan tindakan) harus selaras dan
dapat dipertanggung jawabkan kepada incu-putu (keturunan warga kasepuhan)
dan sesepuh (para orang tua dan nenek moyang); (2) jiwa, raga dan
perilaku, harus selaras dan berahlak; (3) kepercayaan adat, negara dan
agama, harus selaras, harmonis dan tidak bertentangan satu dengan lainnya.79
Konsepsi tilu sapamulu itu menjelaskan bahwa tiga aspek penting dalam kehidupan
masyarakat harus selalu diperhatikan bagi wargakasepuhan tersebut dan menjadi
pandangan dan sikap hidup masyarakatkasepuhan yang ada di Halimun. Makna
tekad, ucap dan lampah mengacupada cerminan ucapan dan tingkah laku yang
harus berlandaskan niat yang dapatdipertangungjawabkan yang terdiri dari unsur
pokok manusia terdiri dari jiwa,raga dan prilaku yang selaras. Sedangkan Mahluk
hidup berpakaian mengandungmakna bahwa masyarakat memiliki kebudayaan
tersendiri yang mencerminkanmental dan ahlak yang sesuai dengan kehidupan
bermasyarakat.
Pergaulan, pengetahuan, imajinasi, dan pemahamannya tentang hakekat alam
semesta melahirkan kosmologi kasepuhan. Dikalangan warga kasepuhan,
terdapat pandangan bahwa alam semesta itu sebagai suatu sistem yang teratur
78 Saptariani, Nani. 2005. Menepis Kabut Halimun: Rangkaian Bunga Rampai Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jakarta: Yayasan Obor.
79 Gamma Galudra, “Memahami Konflik Tenurial melalui Pendekatan Sejarah: Studi Kasus di Lebak, Banten,” Makalah disampaikan dan dipublikasikan untuk Warta Tenure dan merupakan bagian dari Program Studi Bersama di Halimun-Salak antara RMI, HUMA, ICRAF, WG-T dan masyarakat Halimun-Salak, http://www.worldagroforestry.org/downloads/Publications/PDFS/PP06152.pdf
65
dan seimbang. Alam semesta akan tetap ada selama elemen-elemennya masih
terlihat dan terkontrol oleh hukum keteraturan dan keseimbangan yang
dikendalikan oleh pusat kosmiknya.80 Kosmologi itu terangkum dalam pancer
pangawinan yaitu melaksanakan sara, nagara, dan mokaha. Sara adalah
agama, nagara adalah pemerintahan dan mokaha adalah keselamatan atau
kasepuhan. Sara, nagara dan mokaha harus bersatu. Setiap keputusan yang
diambil oleh kasepuhan harus mengacu pada prinsip ‘kudu nyang hulu ka
hukum,nunjangka nagara, mufakat jeung bala rea’ (harus mengacu kepada
hukum, mendukung negara, mufakat dengan orang banyak). Dalam hal
memahami keberadaan Tuhan, konsep kasepuhan mengajarkan ‘pur kuntu pur
kurungan, nganti jeung gusti ge urang ara ga jeung nukawasa, sara nagara
mokaha, ngajina kudu ngajirim’ (jika melakukan kesalahan dari aturan adat
maka akan terjadi matak/kualat atau istilahnya kabendon).81 Sekalipun arus
modernisasi sangat deras menerpa kehidupan masyarakat kasepuhan, namun
kesetiaan terhadap tradisi masih terus dijaga, seperti hanya menanam jenis padi
tertentu, pantang menjual beras, hingga perintah untuk berpindah tempat masih
terus ketat dijalankan. Semua tradisi tersebut selalu dikaitkan dengan
keberadaan perintah dari leluhur (wangsit), yang terus dipelihara oleh abah dan
pengikutnya. Pengingkaran terhadap wangsit akan berdampak pada hukuman
leluhur berupa ”kabendon”. Dipercaya oleh masyarakat kasepuhan, bahwa
apabila melanggar hukum adat akan kena sanksi adat yang disebut kabendon,
yang berupa terkena penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis.
Karena kena kabendon, seseorang misalnya dapat tersesat dihutan hingga
meninggal. Orang bisa terbebas/terlepas dari kabendon apabila ingat akan
kesalahan dan pelanggaran yang diperbuat dan segera mohon ampun dan
minta maaf pada abah dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.
Dalam tata hukum dan aturan adat di Kasepuhan, terdapat klasifikasi dari
penguasaan tanah adat yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu wilayah olahan
(cultivation area) serta wilayah non-olahan (non-cultivation area). Wilayah non-
80 Adimihardja, K. Op. Cit., h. 81
81 Rita Rahmawati et. al. “Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan: Adaptasi, Konflik dan Dinamika Sosio-Ekologis”, Sodality: Jurnal Trans disiplin Sosiologi,Komunikasi,dan Ekologi Manusia, vol. 2 Agustus 2008, h. 162
66
olahan terdiri dari daerah-daerah yang sama sekali tidak boleh digarap dan
ditempati oleh masyarakat dan pihak adat (daerah pamali) serta wilayah hutan diluar
tanah adat Kasepuhan. Daerah pamali tersebut diantaranya adalah pamatang
(gundukan tanah), sirah cai (sumber mata air), lemah gunting (pertemuan dua
sungai kecil) dan tempat-tempat yang menjadi pamali (larangan) serta angker.
Pembagian tata ruang adat pada Kasepuhan antara lain adalah wilayah hutan
(leuweung), reuma, lahan garapan dan lembur (pemukiman), sebagaimana terlihat
dalam tabel dibawah ini.
Tabel 3. Pembagian Ruang Adat Kasepuhan Pembagian Ruang Adat Keterangan
Leuweung Leuweung tutupan Wilayah hutan di Kasepuhan yang sama sekali tidak boleh dimasuki dan diganggu oleh manusia.
Leuweung Titipan
Wilayah hutan di Kasepuhan yang tidak boleh dimasuki oleh penduduk adat dan tidak boleh dipakai kayunya kecuali untuk keperluan adat. Di dalam hutan ini, hanya para pemangku adat yang boleh masuk dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada didalamnya, itupun untuk keperluan adat.
Leuweung garapan
Wilayah hutan di Kasepuhan yang terbuka untuk aktivitas masyarakat dan keperluan adat serta boleh dimanfaatkan hasil hutannya untuk keperluan apapun.
Reuma Reuma Ngora Lahan bekas garapan warga yang kemudian ditinggalkan kurang lebih 2-3 tahun kemudian lahan tersebut bisa dibuka kembali untuk dijadikan lahan garapan.
Reuma Kolot Lahan bekas garapan yang kemudian ditinggalkan warga lebih dari 3 tahun dan pada tahap selanjutnya bisa menjadi leuweung cadangan.
Sampalan Lahan bekas garapan yang kemudian menjadi reuma lalu oleh warga dimanfaatkan untuk menggembalakan ternak seperti kerbau atau istilahnya disebut ngaping
Lahan
Garapan
Sawah Lahan pertanian yang oleh warga ditanam komoditi tanaman pangan yaitu padi sebagai bahan makanan pokok warga dan terkadang diselingi oleh tanaman palawija dan budidaya ikan
Huma Lahan pertanian dengan kondisi tanpa irigasi atau yang disebut ladang, komoditi pangan yang ditanam selain palawija juga ditanam padi huma
Kebun/Dudukuhan Lahan pertanian yang dimanfaatkan oleh warga untuk menanam sayuran, buah-buahan dan
67
tanaman kayu yang bisa dimanfaatkan buahnya ataupun kayunya.
Lembur
(Pemukiman)
Kampung Satu kawasan tempat dimana warga tinggal dengan rumahnya masing-masing
Imah Gede Merupakan rumah yang relatif besar dibandingkan dengan rumah lainnya dan menjadi tempat tinggal Kepala Adat (Kasepuhan)
Buruan Gede Halaman atau lahan yang cukup luas terdapat didepan Imah Gede dan biasanya digunakan untuk acara-acara yang sifatnya menyangkut dengan upacara adat.
Tamplan Merupakan tempat pemandian umum warga, biasanya yang dimanfaatkan adalah aliran air sungai yang masih bersih dan tidak terlalu deras
Masyarakat Kasepuhan melakukan pengelolaan hutan sesuai dengan peraturan
adat. Masyarakat adat mengelola hutan berdasarkan dengan jenis-jenis hutan yang
telah dikategorikan oleh adat. Terdapat tiga jenis hutan yang dikategorikan oleh
adat, yaitu Leuweung tutupan (hutan tutupan), Leuweung titipan (hutan titipan), dan
Leuweung bukaan (hutan bukaan). Pengelolaan ketiga jenis hutan ini diatur oleh
adat, yang diwakilkan oleh ketua adat (Abah).
1. Leuweung tutupan (Hutan tutupan) merupakan wilayah hutan yang dijaga dan
dilindungi baik oleh manusia maupun oleh roh pelindung hutan. Masyarakat
dilarang keras memasuki hutan titipan (tanpa seijin Sesepuh adat) dan
mengambil sesuatu dari dalam hutan. Dengan kata lain wilayah hutan ini
merupakan wilayah yang sengaja dilindungi dan dilestarikan untuk kepentingan
keseimbangan kehidupan masyarakat. Seluruh warga kasepuhan dan
pemangku adat kasepuhan tidak boleh memasuki hutan ini. Bagi masyarakat
kasepuhan, leuweung tutupan bukan hanya sebagai hutan lindung, tetapi juga
merupakan hutan perlindungan alam mutlak yang tidak boleh diganggu gugat
dari awal sampai akhir. Leuweung tutupan menunjukkan keanekaragaman hayati
yang tinggi, berfungsi sebagai daerah resapan air (leuweung sirah cai) dan
sebagai pusat keseimbangan ekosistem. Keberadaan leuweung tutupan ini
ditandai dengan adanya “larangan untuk masuk ke dalamnya” secara adat.82
82 Nani Saptariani, “Pengelolaan Sumberdaya Hutan oleh Msyarakat Adat dan Lokal di kawasan Ekosistem Halimun”, Makalah disampaikan pada seminar sehari tentang hutan desa: Alternatif Model Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Yayasan Damar, Gedung University Center UGM, 23 April 2003.
68
2. Leuweung titipan (Hutan titipan) Merupakan hutan penyangga tetapi juga
mempunyai fungsi lindung. Masyarakat boleh mengambil hasil hutan non kayu
saja. Dalam keadaan sangat mendesak dan memaksa maka pembukaan hutan
di wilayah ini harus didasarkan untuk kepentingan seluruh masyarakat adat
Kasepuhan dan bukan untuk kepentingan pribadi. Leuweung titipan juga
merupakan kawasan hutan yang dicadangkan untuk daerah pemukiman
masyarakat adat Kasepuhan dimasa mendatang (awisan) dan alokasi lahan
garapan (untuk huma dan kebun). Di dalam hutan ini, hanya para pemangku
adat yang boleh masuk dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada
didalamnya, itupun untuk keperluan adat. Aturan adat mengharuskan dalam
setiap penebangan satu batang pohon, harus diganti dengan pohon yang baru.
Penebangan pohon dan penggunaan sumber daya alam hutan titipan
tersebut pun dapat dilakukan setelah mendapatkan ijin dari ketua adat dan
hanya untuk keperluan pembuatan rumah adat serta keperluan adat lainnya.83 3. Leuweung garapan (Hutan bukaan/garapan) adalah wilayah hutan di Kasepuhan
yang terbuka untuk aktivitas masyarakat dan keperluan adat serta boleh
dimanfaatkan hasil hutannya untuk keperluan apapun. Konsep reboisasi seperti
hutan titipan, diterapkan disini. Aturan adat mengharuskan dalam setiap
penebangan satu batang pohon, harus diganti dengan pohon yang baru.
Manusia hanya boleh beraktivitas di hutan garapan (bersawah, berladang,
berkebun, membangun rumah, membuat jalan, tempat ibadah, pemakaman,
penggembalaan, dan lain-lain). Masyarakat kasepuhan memiliki aturan-aturan yang berlaku dalam rangka
pemanfaatan kayu dan hutan, baik bagi internal masyarakat kasepuhan maupun
bagi orang luar. Dalam aturan yang berlaku internal, masyarakat kasepuhan hanya
diperbolehkan mengambil kayu sebanyak satu kali selama setahun misalnya untuk
membangun rumah atau keperluan lainnya. Kayu yang dimanfaatkan oleh mereka
diperoleh dari kayu-kayu yang sudah tumbang dan dari satu pohon kayunya bisa
digunakan untuk membuat satu atau dua rumah. Jenis kayu yang dimanfaatkan pun
tidak bisa semua dimanfaatkan, hanya jenis-jenis kayu diluar Rasamala (Altingia
83 Ibid
69
excelsa) yang bisa diambil seperti puspa, ki huru dan sengon.84 Kayu sengon
biasanya dimanfaatkan masyarakat ada yang menanam di sekitar pekarangan
rumah mereka. Selain kayu, masyarakat juga memanfaatkan bambu dan biasanya
digunakan untuk dibuat alat-alat di rumah tangga. Jasa lingkungan dari hutan seperti
aliran sungai yang ada juga dimanfaatkan masyarakat Kasepuhan untuk mencuci
baju. Masyarakat kasepuhan juga memanfaatkan potongan dari ranting-ranting kayu
kering untuk dijadikan bahan bakar untuk memasak. Sebelum masuk ke dalam
hutan untuk mengambil kayu, masyarakat biasanya meminta izin kepada makhluk
yang ada di hutan dengan menggunakan cara membakar panglay dan tenjo.85 Kayu
yang diambil oleh masyarakat hanya kayu-kayu yang mereka temukan sudah dalam
keadaan tumbang. Selain memanfaatkan kayu, masyarakat juga mengambil buah-
buahan juga yang ada di hutan. Jenis buah-buahan yang diambil adalah limus, kupa
dan duren. Sedangkan aturan pemanfaatan hutan untuk pihak luar lebih ketat
dibandingkan aturan internal bagi masyarakat kasepuhan. Pihak luar yang ingin
memanfaatkan sumberdaya hutan harus mengantongi surat-surat dari desa asalnya
misalnya seperti surat kelakuan baik atau semacamnya lalu harus datang ke pihak
kasepuhan dan memaparkan maksud dan tujuannya dalam memanfaatkan
sumberdaya hutan tersebut. Setelah bertemu dengan pihak kasepuhan maka pihak
luar ini harus berperilaku dan mengikuti semua aturan yang berlaku didalam
kasepuhan. Apabila pihak luar ini sanggup menjalankan itu semua, maka baru
diberikan izin dari pihak kasepuhan untuk bisa memanfaatkan sumberdaya hutan.86
Tabel 4. Bentuk aturan adat masyarakat kasepuhan87
No Hal
Aturan Perintah Larangan
84Agung Kurniawan, Analisis Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan: Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Skripsi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, 2012, h. 62
85 Ibid.
86 Ibid.
87 Afif Aprianto, Komparasi Kearifan Tradisional Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug dengan Aturan Formal Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Skripsi, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, 2008, h. 43
70
1 Pedoman Umum
”Ieu tentang hukum adat nyaetahukumkami.Hukum kaminya eta: Gunung kayuan,lampi ngawian, lebak sawahan, legok balongan jeung datar imahan Kaca ija di saleuwika darat ja disalebak Sing runtut raut sauyunan sabobot sapihanean. Mipit kudu amit ngala kudumenta. Sing kacuk cruk walungan ana sing kapapay wahanganana. Nete taraje nincak hambalan”
Gunung teu beunang dilebur lebak teubeunang diruksak
2 Leuweung Kolot Dan Leuweung Titipan
Hanya diperbolehkan mengambil hasil hutan yang bukan kayu seperti buah, biji, daun, serta akar baik untuk dipakai sendiri maupun untuk keperluan ekonomi.
Tidak boleh diganggu baik untuk kepentingan Lahan Garapan, Lembur,ataupun mengambil pohonnya.
3 Leuweung Cadangan
Pemanfaatan Leuweung Cadangan harus melalui musyawarah Masyarakat Adat Kasepuhan
Tidak boleh memanfaatkan hasil hutan kayu kecuali untuk membuat rumah dan pembangunan sarana kepentingan umum
Pemanfaatan bisa untuk Lembur,sawah, huma, kebon/dudukuhan. Melindungi mata air yang terdapat dalam kawasan
4 Lahan Garapan Pemanfaatan Lahan Garapan berdasarkan hasil musyawarah masyarakat Adat Kasepuhan
Tidak boleh menggarap pada lahan yang terdapat sumber mata air.
Dilarang menanam tanaman yang tidak bermanfaat dan dilarang olehagama maupun pemerintah
5 Lembur/ Pemukiman
Rumah harus terbentuk dari kayu, Tetapi tidak boleh menggunakan kayu rasamala, teureup dan kayu getah lainnya.
Tidak boleh menempati lahan dan membangun fasilitas rumah atau fasilitas umum lainnya tanpa ada ciri (tukuh)
Letak Lembur tidak boleh lebih timur dari area Karamat termasuk fasilitas umum lainnya.
Konstruksi rumah tidak boleh berbentuk Tutup Sangku, akan tetapi bentuk rumah harus berbentuk Babalean, Gado Bangkong.
Atap rumah tidak boleh menggunakan genting, tetapi menggunakan daun patat, ijuk, kirey,dan daun tepus.
71
Rumah tidak boleh terbentukdari Tembok kecuali pondasi, dan tidak boleh ditingkatkan.
6 Kependudukan Yang dimaksud Anggota Masyarakat Adat Kasepuhan
1. Incu-Putu atau turunan dari Adat KasepuhanCibedug
2. Masyarakat yang diangkat dari luar Adat Kasepuhan Cibedug
3 Masyarakat luar
Harus mentaati aturan adat yang Berlaku di Kasepuhan Cibedug Pihak luar yang datang harus mendapat ijin dari baris kolot / Kolot Lembur/Kasepuhan
Pihak luar menunjukan alamat dan Asal yang jelas.
7 Kepemilikan Lahan
Kepemilikan Lahan diatur melalui Mekanisme musyawarah
Dilarang memanfaatkan lahan yang akan merusak lingkungan
Diperbolehkan jual beli lahan dengan sesama masyarakat Adat Kasepuhan.
Penggunaan lahan bukan untuk budidaya Dilarang menjual tanah (hak pemanfaatan) yang ada di Wewengkon Adat Kasepuhan kepada orang luar.
8 Aturan Lainnya Harus Ijin kepada kokolot/sesepuh kalau akan pergi ke Leuweung Kolot / Leuweung Titipan
Pantangan Pergi Ke Sawah, Ke Huma dan Ke Kebun hari minggu dan Jumat, tanggal 15 dan 30 tiap bulannya.
”Dijekatan” jumlahnya 10 % atau seikhlasnya untuk fakir-miskin, kokolot dan amil
Padi yang disimpan di “leuit” tidak boleh diambil sebelum 40 hari.
Batas Wilayah Menurut Masyarakat Kasepuhan
Biasanya, letak k asepuhan dikelilingi oleh hutan titipan, tutupan dan garapan.
Dalam konsep adat, ketiga hutan ini merupakan batas wilayah adat. Batas tersebut
merupakan batas umum (general boundary) dimana bentuk p e m batasan
d i l a k u k a n melalui pendekatan yang tidak presisi. Contohnya adalah batas yang
didefinisikan dalam objek natural seperti hutan atau pepohonan.
72
Batas antara hutan dengan wilayah bukaan masyarakat biasanya ditandai dengan
adanya jalan setapak atau langsung berbatasan antara tepi hutan dengan tepi
wilayah garapan dan pemukiman.88
Gambar 1. Batas antara hutan titipan dengan wilayah bukaan
Gambar 2. Batas antara hutan titipan dengan pemukiman
Sedangkan batas antara wilayah garapan warga dengan hutan ditandai dengan
adanya pamatang atau timbunan tanah disisi terluar lahan garapan. Secara fisik,
antara hutan yang satu dengan hutan lainnya dibatasi oleh objek batas yang
berupa pohon tertentu, arca, batu ataupun situs. Objek batas pohon yang biasa
dipakai oleh penduduk berupa pohon Hanjuang (Cordylinesp) dan pohon Botol
(Mascarenalagenicaulis). Pohon tersebut dijadikan batas dengan cara ditanam
pada batas yang telah ditentukan. Alasan digunakannya pohon tersebut karena
selain batangnya tegak, juga karena pohon tersebut jika sudah ditebang sampai
88 Andi Achdian, Op Cit.
73
habis, suatu saat pasti akan tumbuh kembali, sehingga batas tersebut tidak akan
hilang.
Gambar 3. Batas antara hutan dengan lahan garapan warga
Selain sebagai objek yang sering dipakai untuk mewakili salah satu titik batas,
pohon hanjuang dan pohon botol juga biasanya dipergunakan penduduk adat untuk
menolak bala. Pohon tersebut ditanam di sekeliling rumah warga, walaupun tidak
semua warga menanamnya. Secara tidak langsung, pohon tersebut membatasi
wilayah garapannya.
Gambar 4. Pohon Hanjuang sebagai batas pemukiman
74
Gambar 5. Pohon Hanjuang sebagai batas wilayah garapan
C. Konflik Tenurial di Kabupaten Lebak (Masyarakat Kasepuhan dengan
Taman Nasional Gunung Halimun)
Masyarakat kasepuhan secara internal memiliki potensi konflik yang kompleks,
yaitu konflik antar kasepuhan, konflik antara kasepuhan dengan desa, konflik
antara kasepuhan, struktur jabatan dan incuputu-nya. Potensi konflik ini bersifat
laten,dan akan mencuat kepermukaan mana kala desakan pengetahuan
modern akibat globalisasi dan pembangunan terus-menerus menerpa
masyarakat adat kasepuhan.89Selain potensi konflik tersebut, konflik besar dan
sudah mulai terbuka sedang terjadi antara warga masyarakat kasepuhan dengan
Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH).
Pada tahun 1992, Pemerintah mengeluarkan SK Menteri Kehutanan No. 282 tahun
1992 yang mengacu pada UU pokok Kehutanan No.5/1967 dan UU Konservasi dan
Sumberdaya Hayati No.5/1990 yang menetapkan kawasan Gunung Halimun seluas
40.000 hektar sebagai kawasan taman nasional di bawah pengelolaan sementara
Balai Taman Nasional (BTN) Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman
Nasional Gunung Halimun. Sejak berlakunya surat keputusan tersebut, pihak balai
taman nasional mulai membatasi segala kegiatan pendayagunaan oleh manusia,
termasuk di dalamnya pelarangan pengambilan kayu bakar, tanaman untuk obat-
obatan, dan hasil hutan lainnya oleh masyarakat sekitar kawasan. Selain itu,
89 Rita Rahmawati et. al. “Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan: Adaptasi, Konflik dan Dinamika Sosio-Ekologis,” Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, vol. 2 Agustus 2008, h. 178
75
pengusiran secara halus pun dilakukan kepada masyarakat yang wilayah
pemukimannya masuk dalam zona-zona taman nasional.
Kemudian, pemerintah menerbitkan SK Menteri Kehutanan No. 175/2003 tentang
perluasan taman nasional dari 40.000 ha menjadi 113.357 ha dan dinamakan
sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Banyak lahan garapan maupun
pemukiman masyarakat, baik masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang
akhirnya masuk dalam kawasan konservasi sehingga kegiatan pertanian pun
menjadi terbatas. Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dilakukan
dengan sistem zonasi, sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.56 Tahun
2006, mengenai Pedoman Zonasi Taman Nasional. Zonasizonasi tersebut adalah
zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai kebutuhan.
Masyarakat kasepuhan memandang kawasan Gunung Halimun sebagai wilayah
adat mereka. Untuk itu mereka secara turun-temurun membagi wilayah adat itu
dengan wewengkon (Zonasi). Zonasi menurut konsep kasepuhan adalah sebagai
berikut (1) Hutan titipan, (2) Hutan tutupan, dan (3) Hutan garapan. Masyarakat
menggarap lahan pertanian pada lahan yang menurut mereka termasuk hutan
garapan. Apabila lahan garapan sudah dianggap tidak subur lagi, maka masyarakat
boleh menggarap lahan di hutan titipan (awisan) yaitu hutan leluhur yang dijadikan
cadangan persediaan lahan. Namun tentu saja harus seizin abah yang berlandaskan
pada adanya wangsit.
Perbedaan konsep ini menyebabkan perbedaan sikap dan perlakuan terhadap
hutan. Hal ini mengangkat kembali konflik tenurial antara masyarakat kasepuhan
dengan pemerintah. Pemerintah berkeyakinan bahwa status tanahtanah tersebut
merupakan kawasan hutan negara dan telah dikuasai serta diselesaikan penataan
batasnya sejak tahun 1923. Di lain pihak, masyarakat adat mengaku bahwa mereka
telah menggarap tanah-tanah tersebut secara turun-temurun sejak tahun 1910
sebagai tanah-tanah huma. Konflik ini pada dasarnya merupakan perjuangan hak
akses masyarakat atas tanah yang diklaim sebagai Taman Nasional sejak
diterbitkannya SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 ditahun 2003
tentang perluasan Taman Nasional, sehingga yang tadinya lahan Perhutani
sekarang menjadi taman nasional. Untuk mendapatkan gambaran lengkap
76
mengenai konflik ini perlu diketengahkan terlebih dahulu perspektif
historisnya.
Pemerintah Belanda menerbitkan Agrarische Wet 1870 (AW 1870) yang bertujuan
untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada
para pengusaha swasta agar membuka hutan dan menjadikannya perkebunan
besar. Azas yang dikandung UU tersebut adalah domeinverklaring (deklarasi
kawasan), dimana semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya adalah
domain (milik) negara, maka pemerintah selaku perwakilan negara memiliki
landasan hukum dan pembuktian kepemilikan untuk memberikan tanah-tanah
tersebut kepada perkebunan-perkebunan swasta. Namun, azas ini juga mengandung
ketentuan pengakuan atas keberadaan hak-hak masyarakat adat. Kondisi ini
menciptakan kebingungan dan penafsiran berbeda diantara para ahli-ahli hukum
dimasa itu akibat kegagalan mereka untuk memahami hukum tanah masyarakat adat
atas hutan.90
Di satu sisi, rumusan mengenai aturan agrariakolonial yang memastikan keberadaan
tanah bagi para pengusaha swasta dalam membuka kebun-kebun tanaman keras
telah menyebabkan adopsi keliru mengenai prinsip kewenangan raja dalam bentuk
domein-verklaring. Onghokham telah menegaskan bahwa dalam prinsip pra-kolonial,
klaim raja-raja tradisional terhadap tanah lemah saja sifatnya dibanding kontrol
mereka terhadap penduduk.91 Problem yang muncul dengan penerapan undang-
undang tersebut adalah pertama, sifat pengakuan yang lemah terhadap bentuk
penguasan individu petani dan tanah-tanah garapan di dalam lingkungan
masyarakat perdesaan. Kedua adalah penerapan prinsip domain verklaring yang
menegaskan sebuah kedaulatan hukum negara atas lahan-lahan yang tidak digarap
secara langsung oleh penduduknya, khususnya berkait dengan sumberdaya hutan
yang luas.
90 Berdasarkan penafsiran Nolst Trenite, mengklaim tanah-tanah yang tidak dibudidayakan tersebut sebagai tanah negara. Namun, berdasarkan penafsiran Van Vollenhoven, tanah- tanah tersebut walaupun tidak dibudidayakan masih berada dibawah wilayah kekuasaan desa. Lihat Gamma Galudra, Op.cit
91 Onghokham, 1980, Rakyat dan Negara, Sinar Harapan, Jakarta: LP3ES
77
Pada tanggal 30 Juli 1896, pemerintah Keresidenan Banten menerbitkan Peraturan
Huma. Peraturan ini berusaha membatasi pertanian huma terhadap beberapa desa
dengan memberikan batas-batas yang jelas mana tanah-tanah hutan yang
diperuntukkan bagi pertanian huma dan mana yang tidak. Tanah-tanah baik sengaja
maupun tidak yang ditinggalkan termasuk ke dalam wilayah kekuasaan desa.
Nampak dengan tegas peraturan ini mengesahkan sistem huma dan memasukkan
tanah-tanah hutan sebagai wilayah kekuasaan desa dan bukan sebagai tanah
negara. Namun, desakan-desakan dari Pemerintah Hindia Belanda untuk
menghapuskan pertanian huma memaksa Pemerintah Keresidenan Banten
mengubah peraturan huma tersebut. Dalam Peraturan Huma Kedua,disebutkan
bahwa tanah-tanah huma tersebut digolongkan sebagai tanah negara bebas dan
residen berhak melepaskan tanah-tanah tersebut dalam bentuk hak sewa. Peraturan
ini diperkuat oleh Keputusan Pemerintah (Gouvernement Besluit) No.6 tanggal 11
April1900.92
Perubahan besar kemudian terjadi atas status hukum tanah huma tersebut.
Penyelidikan yang dilakukan oleh Inspektur Urusan Agraria pada tahun 1909
membuktikan bahwa penduduk tidak memiliki hak atas tanah. Atas dasar
penyelidikan ini, pemerintah mengeluarkan keputusannya (Gouvernement Besluit 9
November 1909) untuk mencabut perizinan huma ditanah-tanah hutan. Namun,
Residen Banten menolak keputusan ini dan akibat penolakan tersebut, pemerintah
mempertimbangkan dan meninjau keputusannya kembali. Selain berpedoman bahwa
tanah-tanah huma berada di wilayah hukum kekuasaan desa, Residen Banten juga
khawatir seandainya keputusan penghapusan huma diterapkan, maka timbul
pergolakan dan perlawanan dari masyarakat.
Pada tanggal 22 Juni 1933, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Komisi Huma
yang diberi tugas untuk mempelajari kemungkinan penghapusan huma.
Sebelumnya, Jawatan Kehutanan telah menata batas dan memetakan tanah-tanah
hutan sebagai kawasan hutan negara.Sejak tahun 1914 hingga tahun 1935, sekitar
137.837 ha tanah-tanah hutan telah ditata batas dan disahkan oleh Gubernur
Jenderal sebagai kawasan hutan negara. Proses penataan batas dan pengesahan
ini dipersoalkan oleh Residen Banten karena ada sekitar 79.154 ha tanah-tanah
92 Ibid.
78
hutan yang disahkan tersebut tumpang-tindih dengan huma-huma penduduk.93
Residen Banten menilai bahwa proses penataan batas dan pengesahan kawasan
hutan negara seluas 79.154 ha tersebut adalah cacat hukum. Perdebatan tentang
status hukum tanah-tanah huma dan kawasan hutan negara dicoba diselesaikan
oleh Gubernur Jawa Barat. Gubernur memutuskan agar kedua belah pihak
memetakan kembali mana tanah-tanah hutan yang diperuntukkan bagi huma dan
mana tanah-tanah hutan yang diperuntukkan bagi kawasan hutan negara.
Sayangnya, hingga akhir penjajahan Belanda tahun 1942, perdebatan atas status
hukum tanah-tanah huma di dalam hutan negara masih belum jelas.
Status tanah-tanah huma diangkat kembali paska kemerdekaan. Pada tahun 1979,
pemerintah menerbitkan SK Menteri Pertanian No .40/Kpts/Um/1/1979 dimana
beberapa kelompok-kelompok hutan negara, yaitu Gunung Halimun, Gunung
Kendang Kulon, Gunung Sanggabuana, Gunung Nanggung, Jasinga dan Ciampea
ditunjuk sebagai Cagar Alam Halimun seluas 40.000 ha. Pada tahun 1982,
pemerintah membentuk tim tata batas, seluruhnya terdiri dari pegawai kehutanan,
untuk merekonstruksi tata batas hutan-hutan di Lebak yang ditunjuk sebagai cagar
alam tersebut. Tim ini melaporkan bahwa tidak ditemukan sama sekali tanah-tanah
garapan dan pemukiman masyarakat sepanjang 70,626 km panjang tata batas cagar
alam tersebut.94
Pada tahun 1992, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.282/II/1992, cagar alam
ini kemudian beralih menjadi Taman Nasional Gunung Halimun. Selama kawasan
hutan tersebut berada dibawah pengelolaan taman nasional, tidak ada satupun
bentuk penyelesaian tanah-tanah huma tersebut ke dalam bagian dari pengelolaan
taman nasional. Kemudian, ditahun 2003 pemerintah,berdasarkan SK Menteri
Kehutanan No. 175/II/2003, menggabungkan taman nasional ini dengan kawasan
hutan di Gunung Salak seluas 113,357 ha menjadi Taman Nasional Gunung Halimun
Salak. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan tersebut maka kawasan hutan negara
seluas 73.357 hektar yang merupakan kawasan hutan lindung dan hutan produksi
pada Kelompok Hutan Gunung Halimun serta Kelompok Hutan Gunung Salak yang
93 Ibid.
94 Ibid.
79
sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani, berubah fungsi menjadi Taman Nasional
Gunung Halimun Salak dibawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung
Halimun. Perubahan fungsi hutan negara bekas Perhutani menjadi TNGHS di
Kabupaten Sukabumi adalah seluas 16.785,22 ha, di Kabupaten Bogor seluas
18.378,68 ha dan di Kabupaten Lebak seluas 27.049,04 ha. Kawasan TNGHS tetap
sebagai hutan negara dengan tidak memasukkan tanah hak.95
Gambar 6. Peta Lokasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
D. Upaya Penyusunan Raperda Pengakuan Masyarakat Adat dan Pemisahan Hutan Adat dan Hutan Negara
Sampai pada saat penelitian ini disusun, belum ada daerah yang mengesahkan
peraturan daerah yang mengatur mengenai pemisahan hutan adat dengan hutan
Negara. Kabupaten Lebak termasuk salah satu daerah yang terdepan dalam upaya
menyusun dan mengesahkan pearturan daerah mengenai hal ini. Bahkan, dapat
dikatakan bahwa proses ini tinggal sedikit lagi selesai dimana rancangan peraturan
daerah telah selesai disusun dan telah ada proses uji publik sehingga yang
dibutuhkan adalah political will dari DPRD Kabupaten Lebak untuk mengesahkan
rancangan peraturan daerah.
95 Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa-Madura Tahun 2006.
80
Secara garis besar materi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini menyangkut
beberapa hal, yakni: (1) Keberadaan dan kedudukan Kasepuhan sebagai
masyarakat hukum adat; (2) Hak-hak masyarakat kasepuhan; (3) Wilayah adat; (4)
Lembaga adat; (5) Hukum adat; (6) Pemberdayaan masyarakat kasepuhan. Dari
beragam pengaturan itu, ada dua hal yang penting untuk diperhatikan yaitu
mengenai pengakuan masyarakat adat serta pemetaan wilayah adat.
Pengukuhan keberadaan msyarakat kasepuhan sebagai masyarakat adat dalam
raperda ini adalah atas pertimbangan sebagai perwujudan dari amanat
konstitusional yang harus dilaksanakan demi penghormatan atas hak-hak
masyarakat kasepuhan. Dalam hal pengakuan masyarakat adat, raperda ini
mengambil pendekatan melalui 5 kriteria yang umumnya hadir di dalam masyarakat
yang disebut masyarakat hukum adat, serta merupakan penafsiran pada Pasal 18B
dan beberapa UU yang mengatur masyarakat hukum adat. Kritera yang disebutkan
di bawah ini kumulatif yaitu:
1. Terdiri dari masyarakat yang warganya memiliki perasaan sebagai satu
kelompok karena adanya nilai-nilai yang dirawat secara bersama-sama;
2. Memiliki lembaga adat yang tumbuh secara tradisional;
3. Memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;
4. Memiliki norma hukum adat yang masih berlaku; dan
5. Memiliki wilayah adat tertentu.
Kasepuhan mememenuhi hampir semua kriteria yang ditetapkan di atas. Walaupun
tersebar dan terpecah-pecah dalam berbagai desa/komunitas, tetapi semua
Kasepuhan memiliki akar sejarah, kepercayaan atas Yang Maha Kuasa dan
perannya di semesta yang sama, masing-masing memerankan peran tertentu yang
saling melengkapi (ada Kasepuhan yang menjadi pembuka jalan, pertanian dan
pangan, urusan gaib, penghubung dengn masyarakat luar, dan lainnya), lembaga
adat yang sama (mereka menyebut nama yang sama untuk ketua adat dan barisan
penasehat adatnya sebagai Olot dan barisan kolot), memiliki benda-benda adat
(misalnya, situs Cibedug yang ada di Kasepuhan Cibedug), memiliki norma hukum
adat yang masih berlaku dan ditaati oleh masyarakatnya dan tentu saja masing-
masing Kasepuhan punya batas-batas wilayah adatnya.
Upaya Pemetaan Wilayah Adat
81
Penegasan subyek hukum Kasepuhan sebagai Masyarakat Hukum Adat tidak dapat
dilepaskan dari pengakuan atas wilayah tertentu sebagai wilayah
adatnya.Kasepuhan sendiri punya karakteristik tersendiri dalam mengatur lahan
yang ada di dalam wilayah adatnya dan disekitarnya. Kasepuhan memiliki
pengaturan penggunaan lahan yang ada di wilayah adatnya.Umumnya Kasepuhan
membagi wilayah menjadi wilayah pemukiman, wilayah pertanian dan wilayah
hutan.Wilayah hutan ini dimiliki secara komunal dan terdiri dari 3 jenis, yakni
leuweung kolot, leuweung titipan dan leuweung sampalan. Pengaturan atas
penggunaan lahan ini diatur oleh hukum adat yang berlaku di masing-masing
Kasepuhan, termasuk di dalamnya siapa dan dengan cara apa lahan bisa
dimanfaatkan. Wilayah adat Kasepuhan sudah memiliki batas-batasnya, baik antar
Kasepuhan maupun dengan masyarakat luar. Batas-batas tersebut berupa batas
alam dan batas persetujuan dengan pihak lain. Penentuan batas ini sendiri menjadi
fokus dalam pengaturan wilayah adat di dalam Perda ini.
Persoalan wilayah adat ini sendiri merupakan persoalan yang cukup pelik karena
berhubungan dengan pengaturan pertanahan dan sumber daya alam yang sarat
konflik. Penetapan wilayah adat yang dilakukan sekarang akan berhadapan dengan
kawasan hutan, berbagai hak atas tanah dan ijin pemanfaatan lahan dan sumber
daya alam yang berlaku dan dilindungi secara hukum dengan peraturan perundang-
undangan di Indonesia. Namun, bagaimanapun proses untuk menjernihkan
persoalan wilayah adat ini harus tetap dilakukan, sebagai ikhtiar untuk
menyelesaikan tumpang tindih tersebut. Perda ini hadir dengan mengatur soal
kelembagaan dalam pendaftaran wilayah adat.Hal yang diatur dalam pendaftaran
wilayah adat adalah jenis pendaftaran, lembaga penerima pendaftaran, tugas
lembaga penerima pendaftaran, tahapan pendaftaran, pembiayaan serta perubahan
administrasi hukum atas pendaftaran wilayah adat.
Pendaftaran wilayah adat Pendaftaran wilayah adat dapat dibagi dalam dua jenis pendaftaran, yakni
pendaftaran yang berasal dari prakarsa masyarakat adat sendiri dan pendaftaran
yang dilakukan bersama pemerintah dan masyarakat.Perbedaan ini dihadirkan
sebagai respon atas perbedaan kondisi di dalam Kasepuhan dalam hal penentuan
batas wilayah adatnya. Misalnya dalam hal sudah atau belum dilakukan pemetaan
wilayah adat. Mengingat banyaknya jumlah Kasepuhan dan luasnya wilayah adat,
82
membuat tidak semua Kasepuhan sudah dipetakan dan memiliki peta wilayah
adatnya. Bagi Kasepuhan yang sudah ada peta wilayah adatnya, maka
masyarakatnya dapat mendaftarkan wilayah adatnya ke Tim Inventarisasi dan
Verifikasi Wilayah Adat yang dibentuk dengan Perda ini yang ada di tingkat
Pemerintah Kabupaten.Sedangkan bagi Kasepuhan yang belum sempat dipetakan
(walaupun secara internal punya klaim batas wilayahnya) dapat mengajukan diri
untuk dipetakan wilayah adatnya bersama dengan pemerintah.Dalam batas tertentu,
penentuan bersama wilayah adat antara pemerintah dan masyarakat ini diharapkan
sedini mungkin bisa menjernihkan perbedaan pemahaman soal batas wilayah adat.
Tahapan pendaftaran mengikuti jenis pendaftaran wilayah adatnya atau ada dua
jenis tahapan pendaftaran wilayah adat, yakni tahapan pendaftaran wilayah adat
yang berasal dari inisiatif masyarakat dan tahapan yang berasal dari inisiatif
bersama pemerintah dan masyarakat. Perbedaannya lebih pada proses awalnya
saja, dimana dalam tahap pendaftaran yang berasal dari inisiatif bersama
pemerintah dan masyarakat tidak ada tahapan penerimaan permohonan
pendaftaran. Secara garis besar, tahapan pendaftaran ini memiliki 4 kegiatan
penting:
a. Proses permohonan dan penerimaan pendaftaran
b. Proses analisa dokumen, verifikasi lapangan
c. Proses pengumuman hasil (selama 2 bulan berturut-turut)
d. Proses penerimaan keberatan
e. Pemberian rekomendasi
Diagram 2. Alur pendaftaran wilayah adat
83
Ketentuan ini sebagai transisi dalam proses penguasaan lahan di dalam wilayah
adat Kasepuhan. Setidaknya tiga kondisi akan diperhatikan:
1. Adanya hak milik tanah. Terhadap pemilik hak milik tanah, maka ia wajib
perlindungan, baik dari Kasepuhan maupun dari negara. Ia harus diberikan
pemberitahuan jika tanahnya berada di dalam wilayah adat. Ia juga berhak
mendapatkan kompensasi jika tidak menginginkan tanahnya ada di dalam
wilayah adat, entah dengan bentuk ganti rugi atau digantikan tanahnya seluas
dan sejauh mungkin kondisinya sama di luar wilayah Kasepuhan.
2. Izin atau hak atas tanah dan air yang berjangka waktu yang terdapat di dalam
wilayah adat yang telah ada sebelum Peraturan Daerah ini berlaku, dinyatakan
tetap berlaku sampai berakhirnya masa izin atau hak tersebut. Ini merupakan
penghormatan pada prinsip ijin yang sudah dijalankan dengan niat baik.
Memang Kasepuhan bisa meminta pemendekan masa berlaku atau bahkan
mungkin pencabutan ijin jika dirasa ijin tersebut mengganggu keutuhan dan
menghalangi Kasepuhan menjalankan hak-hak tradisionalnya. Hanya saja
proses ini jangan sampai merugikan kedua belah pihak. Pada titik ini,
pendampingan dan fasilitasi mediasi dari pemerintah dibutuhkan adanya.
3. Adanya kawasan hutan (negara), maka ada dua kondisi, jika wilayah itu masih
berfungsi hutan, maka bisa ditetapkan menjadi hutan adat.
84
Sementara jika sudah difungsikan sebagai pemukiman dll, maka
direkomendasikan dikeluarkan dari kawasan hutan. Dua opsi ini dirasakan lebih
baik baik dari segi perlindungan hak dan perlindungan lingkungan hidup.
Sehingga bagi kawasan yang rentan secara ekologi, perpindahan hak itu (dari
sebelumnya dikuasai oleh negara menjadi oleh masyarakat Adat) diharapkan
tidak mengganggu fungsi lingkungan hidup baik bagi lingkungan sekitarnya
maupun bagi lingkungan yang jauh dan tergantung pada keberadaannya.
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Putusan MK nomor 35/PUU-X/2012 membawa dampak luas dalam berbagai
hal termasuk penataan ruang dan otonomi daerah, maka perlu pula dilakukan
sebuah proses harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan
terkait. Dari sisi perundang-undangan, langkah-langkah yang diperlukan untuk
menindaklanjuti putusan tersebut, yaitu menerbitkan atau menginisiasi
dikeluarkannya peraturan yang dapat mewadahi berbagai isu hukum terkait
hutan adat seperti tata cara mengidentifikasi hutan adat, mekanisme
pengakuan dan perlindungannya, perlindungan atas hak/izin yang sudah
diberikan berdasarkan peraturan yang berlaku, mekanisme dan kelembagaan
penyelesaian konflik, aturan untuk mencegah dan membatasi penyalahgunaan
pengakuan atas hutan adat untuk kepentingan pribadi, serta mandat
memetakan wilayah adat.
a. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ada respon positif,
meskipun demikian dalam kenyataannya komitmen mendukung
pendaftaran dan pengakuan hak masyarakat hukum adat itu belum
terwujud. Presiden, misalnya, tidak mengeluarkan instruksi apapun
kepada Kementeria/Lembaga terkait untuk menjalankan pendaftaran dan
pengakuan tersebut. Produk hukum yang dibuat oleh pemerintah SBY
setelah Putusan MK 35 adalah
- Surat Edaran Menteri Kehutanan No. SE.1/Menhut-II/2013 yang
menjelaskan kembali amar putusan dan pendapat MK dalam perkara
pengujian konstitusionalitas pasal‐pasal dalam UU No. 41 Tahun 1999
terkait hutan adat dan masyarakat hukum adat. Namun, secara
eksplisit Surat Edaran ini menegaskan bahwa: “hutan adat itu harus
ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, dengan syarat keberadaan
masyarakat hukum adat terlebih dahulu ditetapkan dengan Peraturan
Daerah”.
- Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 62/Menhut‐II/2013 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-
86
II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Peraturan ini secara
eksplisit menyatakan tujuannya untuk menjalankan Putusan MK.
- Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 522/8900/SJ tanggal 20
Desember 2013 tentang Pemetaan Sosial Masyarakat Hukum Adat.
Surat Edaran ini mengusulkan definisi baru mengenai tanah ulayat
yaitu “Tanah adat -yang dipersamakan oleh surat ini dengan tanah
ulayat- disebutkan sebagai bidang tanah yang di atasnya terdapat hak
ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu; tanah ulayat
termasuk tanah kerajaan, kraton maupun kesultanan (Sultan Ground).”
- Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dimana Undang-
Undang ini mengatur secara khusus mengenai desa adat.
- Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri
Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 79
Tahun 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang
Berada Di Dalam Kawasan Hutan. Peraturan tersebut mengatakan
bahwa dalam rangka penyelesaian hak ulayat dan penguasaan tanah
yang berada di dalam kawasan hutan di daerah, Bupati/Walikota
membentuk Tim IP4T yang terdiri dari Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota, Unsur Dinas Kabupaten/Kota yang menangani
urusan di bidang kehutanan, Unsur Balai Pemantapan Kawasan
Hutan, Unsur Dinas/Badan Kabupaten/Kota yang menangani urusan di
bidang tata ruang, Camat dan Lurah setempat.
b. Kemudian, pemerintahan Joko Widodo menegaskan komitmennya untuk
melindungi Masyarakat Adat. Kebijakan yang dikeluarkan pada masa
pemerintahan Joko Widodo adalah
- Peraturan Menteri Agrari dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak
Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang
Berada Dalam Kawasan Tertentu. Permen ini potensial memunculkan
persoalan hukum, yaitu saling tumpang tindih antara masyarakat
hukum adat dengan masyarakat yang berada pada kawasan tertentu
pada objek yang sama.
87
2. Implementasi Putusan MK Nomor 35 terhambat di lapangan karena banyak
dipengaruhi oleh UU yang mensyaratkan pengakuan keberadaan masyarakat
adat harus dengan Paraturan Daerah. Namun, Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan Dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, pengakuan keberadaan masyarakat
adat bisa hanya dengan keputusan kepala daerah. Sebagian kepala daerah
lebih memilih untuk menggunaka keputusan kepala daerah tetapi justru
terkendala dengan tidak diterima oleh Kementerian Kehutanan.
Beberapa inisiatif penyusunan Perda tengah dilakukan. Sejumlah Perda telah
terbit sebelum Putusan MK 35. Namun keberadaan Perda-perda itu belum
secara sigifikan menghasilkan perubahan. Terdapat tiga faktor yang
menyebabkan hal ini terjadi. Pertama, sifat Perda sebagian besar adalah Perda
yang mengatur mengenai masyarakat hukum adat, hak atau wilayahnya.
Kedua, sangat jarang ditemukan Perda yang berisikan pengukuhan atau
penetapan keberadaan masyarakat hukum adat dan wilayahnya dengan
disertai peta yang jelas. Ketiga, kelembagaan pelaksana Perda di daerah
bukan lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi yang relevan
3. Sampai pada saat penelitian ini disusun, belum ada daerah yang mengesahkan
peraturan daerah yang mengatur mengenai pemisahan hutan adat dengan
hutan Negara. Kabupaten Lebak termasuk salah satu daerah yang terdepan
dalam upaya menyusun dan mengesahkan pearturan daerah mengenai hal ini.
Bahkan, dapat dikatakan bahwa proses ini tinggal sedikit lagi selesai dimana
rancangan peraturan daerah telah selesai disusun dan telah ada proses uji
publik sehingga yang dibutuhkan adalah political will dari DPRD Kabupaten
Lebak untuk mengesahkan rancangan peraturan daerah.
Secara garis besar materi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini menyangkut
beberapa hal, yakni: (1) Keberadaan dan kedudukan Kasepuhan sebagai
masyarakat hukum adat; (2) Hak-hak masyarakat kasepuhan; (3) Wilayah adat;
(4) Lembaga adat; (5) Hukum adat; (6) Pemberdayaan masyarakat kasepuhan.
Dari beragam pengaturan itu, ada dua hal yang penting untuk diperhatikan
yaitu mengenai pengakuan masyarakat adat serta pemetaan wilayah adat.
Pengukuhan keberadaan masyarakat kasepuhan sebagai masyarakat adat
dalam raperda ini adalah atas pertimbangan sebagai perwujudan dari amanat
88
konstitusional yang harus dilaksanakan demi penghormatan atas hak-hak
masyarakat kasepuhan.
B. Saran 1. Pemerintah pusat perlu dapat membuat keputusan yang dapat di ikuti oleh
seluruh instansi pemerintah atau dari kementerian kehutanan tidak
mempermasalahkan bentuk dari peraturan yang diberikan oleh masyarakat
adat dalam melakukan klaim wilayahnya.
2. Prosedur penetapan masyarakat hukum adat sebagai subjek hak, baik itu
dalam bentuk desa adat maupun masyarakat hukum adat melalui Peraturan
Daerah dan atau Surat Keputusan Kepala Daerah menggunakan mekanisme
yang beragam. Oleh karena itu, penetapan masyarakat hukum adat oleh Perda
dan atau Surat Keputusan Kepala Daerah dalam pelbagai peraturan
perundang-undangan yang ada tidak lagi menjadi prasyarat untuk penetapan
hak masyarakat hukum adat dalam konteks hak komunal, sehingga Penetapan
hak komunal sekaligus penetapan masyarakat hukum adat sebagai subjek
haknya secara bersamaan.
3. Pemerintah daerah perlu didorong untuk:
a. Berinisiatif melakukan penyusunan peraturan daerah yang mengakui
keberadaan hak penguasaan bersama atas tanah adat, dengan
memperhatikan karakteristik masyarakat hukum adat setempat untuk
menentukan perbedaan tingkat pengakuan penguasaan bersama atas
tanah adat tersebut.
b. Mewujudkan pemetaan dan pendaftaran tanah sistematis secara berkala,
dengan melakukan kerjasama operasional dan pendanaan pendaftaran
tanah.
c. Melakukan penguatan keberadaan kelompok masyarakat hukum adat,
dengan melestarikan nilai-nilai adat di dalam kehidupan masyarakat
melalui berbagai upaya kelembagaan dan pelembagaan, bersamaan
dengan upaya menerbitkan pengakuan hukum bagi masyarakat hukum
adat.
89
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Artikel Jurnal:
Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Yogyakarta: Total Media,2007.
Ade Saptomo, Kajian Kritis Eksistensi Hutan Adat Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Dalam Kurnia Warman (ed.), Nasib Tenurial Adat Kawasan Hutan: Tumpang Tindih Klaim Adat dan Negara pada Aras Lokal di Sumatera Barat, (Jakarta: HuMa Perkumpulan Qbar, 2007).
Adimihardja, K. 1989. Manusia Sunda dan Lingkungannya: Suatu Kajian Mengenai Kehidupan Sosiobudaya dan Ekologi Komuniti Kasepuhan Desa Sirnarasa Jawa Barat Indonesia. Thesis Ph.D. Tidak dipublikasikan. Fakulti Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan. University Kebangsaan Malaysia. Bangi.
Afif Aprianto, Komparasi Kearifan Tradisional Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug dengan Aturan Formal Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Skripsi, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, 2008.
Agung Kurniawan, Analisis Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan: Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Skripsi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, 2012.
Anang Husni, Hukum, Birokrasi dan Budaya, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.
Andi Achdian, Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo: Kajian Terhadap Siasat dan Politik Budaya Masyarakat Kasepuhan dalam Pertarungan Sumberdaya di Kawasan Konservasi Halimun Salak, Jawa Barat & Banten, Tesis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011.
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2003).
Danasasmita, Saleh & Djatisunda, Anis, 1986, Kehidupan Masyarakat Kenekes, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Depdikbud, Bandung.
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI, Panduan Pengharmonisasian, Pembulatan dan Pemantapan Rancangan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Tim Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI, 2010.
Edgar Bodenheimer, Yurisprudence: The Philosophy and Method of The Law, (Cambridge, Massachessets, 1962).
viii
Gamma Galudra, “Memahami Konflik Tenurial melalui Pendekatan Sejarah: Studi Kasus di Lebak, Banten,” Makalah disampaikan dan dipublikasikan untuk Warta Tenure dan merupakan bagian dari Program Studi Bersama di Halimun-Salak antara RMI, HUMA, ICRAF, WG-T dan masyarakat Halimun-Salak, http://www.worldagroforestry.org/downloads/Publications/PDFS/ PP06152.pdf
Garrett Hardin, “The Tragedy of the Commons”, Science 13 December 1968: Vol. 162 no. 3859 pp. 1243-1248
Hanafi, I. Ramdhaniaty, N., Nurjaman, B, 2004. Nyoreang Alam Ka Tukang, Nyawang Anu Bakal Datang. Penelusuran Pergulatan di Kawasan Halimun, Jawa Barat-Banten. Cetakan Pertama. Publikasi RMI. Bogor.
Hazairin, Suatu Ulasan Tentang Hukum Adat Indonesia Pada Masa Sekarang. Dalam Himpunan Karya Ilmiah Guru-guru Besar Hukum di Indonesia, Lima Puluh Tahun Pendidikan Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas indonesia, 1974).
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia, 2005.
Kurnia Warman (ed.), Nasib Tenurial Adat Kawasan Hutan: Tumpang Tindih Klaim Adat dan Negara pada Aras Lokal di Sumatera Barat, (Jakarta: HuMa Perkumpulan Qbar, 2007).
Lynch, O.J. dan E. Harwell. 2006. “Sumberdaya Milik Siapa? Siapa Penguasa Barang Publik” (Terjemahan: Studio Kendil). Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
Malik, Yance Arizona, dan Mumu Muhajir, “Analisis tren produk hukum daerah mengenai Masyarakat Adat”, Policy Brief Epistema Institute Vol. 01/2015.
Muhammad, B. 2003. Asas-Asas Hukum Adat: Suatu Pengantar. Jakarta: Pradnya Paramita.
Myrna A. Safitri, “Hak Menguasai Negara Di Kawasan Hutan: Beberapa Indikator Menilai Pelaksanaannya”, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol. 1 Issue 2 Desember 2014.
-------------------------, “Kembali ke Daerah: Sebuah Pendekatan Realistik untuk Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU‐X/2012”, Makalah disampaikan pada Diskusi memperingati setahun Putusan MK No. 35/PUUX/2012, diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantar (AMAN) dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Jakarta, 13 Mei 2014.
-------------------------, “Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Konflik Kehutanan dan Keadilan Tenurial: Peluang dan Limitasi”, Makalah disampaikan dalam Semiloka Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian Hukum dan Berkeadilan, diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta 13 Desember 2012
ix
-------------------------. 2013. “Hukum Adat dan Konflik Pertanahan: Pengakuan Hak, bukan manipulasi Hukum Adat”. Makalah pada Lokakarya Penyelesaian Konflik Pertanahan Masyarakat Hukum Adat, dari Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Konflik dan Sengketa Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, 3 September 2013.
Nani Saptariani. 2005. Menepis Kabut Halimun: Rangkaian Bunga Rampai Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jakarta: Yayasan Obor.
-------------------------, “Pengelolaan Sumberdaya Hutan oleh Msyarakat Adat dan Lokal di kawasan Ekosistem Halimun”, Makalah disampaikan pada seminar sehari tentang hutan desa: Alternatif Model Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Yayasan Damar, Gedung University Center UGM, 23 April 2003.
Onghokham, 1980, Rakyat dan Negara, Sinar Harapan, Jakarta: LP3ES
Peluso, N.L. 2006. “Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa” (Terjemahan: Landung Simatupang). Jakarta: Konphalindo.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Surabaya: Kencana Prenada Media Group, 2005.
Rajagukguk, E. 1995. Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup. Jakarta: Chandra Pratama.
Rita Rahmawati et. al. “Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan: Adaptasi, Konflik dan Dinamika Sosio-Ekologis”, Sodality: Jurnal Trans disiplin Sosiologi,Komunikasi,dan Ekologi Manusia, vol. 2 Agustus 2008.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986, h. 332. Dalam Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2008.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta: Rajawali Press, 2003.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
Sulistyowati Irianto dan Shidarta (ed.), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009.
Sunaryati Hartono, Kapita Selecta Perbandingan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.
-------------------------, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Bandung: Alumni, 1994.
Wahyu Nugroho, Konsistensi Negara Atas Doktrin Welfare State Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan Oleh Masyarakat Adat, Indonesian Center for
x
Environment Law, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol. 1 Issue 2 Desember 2014.
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Artikel website :
Nurul Firmansyah, “Menyoal Subjek Hak Komunal” diunduh melalui http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5600f0bbb9b64/menyoal-subjek-hak-komunal-broleh--nurul-firmansyah- padatanggal 2 September 2015
N. Siregar, Pengakuan Terhadap Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat Di Indonesia, http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/41551/3/Chapter%20II.pdf, diakses pada 5 November 2015.
“Jalan Panjang dan Berliku RUU PPMHA”, diunduh melalui http://www.aman.or.id/2014/09/03/jalan-panjang-dan-berliku-ruu-ppmha/ pada tanggal 21 Agustus 2015
“Presiden-Aliansi Masyarakat Adat Nusantara bahas hutan adat”, diunduh melalui http://www.antaranews.com/berita/503552/presiden-aliansi-masyarakat-adat-nusantara-bahas-hutan-adat
“Tanggapan terhadap Pidato Kenegaraan Presiden: Presiden Jokowi Tegaskan Komitmen Lindungi Masyarakat Adat”, diunduh melalui http://www.aman.or.id/2015/08/17/tanggapan-terhadap-pidato-kenegaraan-presiden-presiden-jokowi-tegaskan-komitmen-lindungi-masyarakat-adat/
xi