laporan penelitian kebijakan hukum pemisahan … · masyarakat adat memiliki pengakuan atas...

100
LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN HUTAN ADAT DARI HUTAN NEGARA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (PUTUSAN NOMOR 35/PUU-X/2012) Tim Penyusun: Bisariyadi; Winda Wijayanti; Ananthia Ayu D.; Intan P. Putri Pusat Penelitian, Pengkajian Perkara, dan Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (Pusat P4TIK) 2015 i

Upload: lethien

Post on 02-Mar-2019

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

LAPORAN PENELITIAN

KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN HUTAN ADAT DARI HUTAN NEGARA

PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (PUTUSAN NOMOR 35/PUU-X/2012)

Tim Penyusun: Bisariyadi; Winda Wijayanti; Ananthia Ayu D.; Intan P. Putri

Pusat Penelitian, Pengkajian Perkara, dan Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi

(Pusat P4TIK) 2015

i

Page 2: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

DAFTAR ISI Daftar Isi Kata Pengantar Ringkasan Eksekutif Daftar Tabel dan Gambar BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan dan Manfaat D. Metode Penelitian E. Sistematika

BAB II KERANGKA KONSEP

A. Azas Domeinverklaring B. Pengakuan (Recognition) Masyarakat Hukum Adat C. Hutan Adat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

BAB III KEBIJAKAN HUKUM NASIONAL PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Kebijakan Hukum pada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2012-2014)

B. Kebijakan Hukum pada Pemerintahan Joko Widodo (2014 – sekarang)

C. Inventarisasi Peraturan Perundang-undangan Pasca Putusan 35/PUU-X/2012

BAB IV STUDI KASUS PEMISAHAN HUTAN NEGARA DAN HUTAN ADAT DI KABUPATEN LEBAK (MASYARAKAT KASEPUHAN)

A. Asal Usul Masyarakat Kasepuhan B. Masyarakat Kasepuhan dan Hutan C. Konflik Tenurial di Kabupaten Lebak (Masyarakat Kasepuhan

dengan Taman Nasional Gunung Halimun) D. Upaya Penyusunan Raperda Pengakuan Masyarakat Adat dan

Pemisahan Hutan Adat dan Hutan Negara

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan B. Saran

Daftar Pustaka Lampiran

Lampiran I Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak tentang Kasepuhan

ii

Page 3: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Kata Pengantar Sebagai sebuah penelitian yang menjadi program tahunan di Pusat P4TIK, laporan ini

merupakan bagian dari asah terampil kami, peneliti di Pusat P4TIK, dalam merangkai

argumen, menyusun deskripsi, mengolah data dan informasi. Tentu, bayangan ini

merupakan wujud ideal yang terkadang jauh dari kesesuaian dengan realita. Terdapat

banyak kendala yang sifatnya bukan persoalan substansial dalam kegiatan penelitian,

namun justru persoalan administratif dan teknis penyelenggaraan kegiatan penelitian yang

menjadi faktor terkendalanya kegiatan penelitian. Seiring dengan serangkaian kewajiban

kami selaku peneliti yang memiliki tugas dan fungsi lain yang menjadi pekerjaan sehari-hari,

acap kali proses penyusunan dan kegiatan penelitian terpinggirkan untuk beberapa saat.

Tentunya pernyataan diatas tidak menjadi dasar legitimasi dan argumentasi kami bilamana

laporan penelitian ini tidaklah cukup layak untuk disebut laporan penelitian. Pernyataan

tersebut diatas diungkapkan murni dalam rangka refleksi atas penyelenggaraan kegiatan

penelitian selama ini yang telah menjadi kegiatan rutin di Pusat P4TIK.

Adapun dalam hal laporan penelitian yang kami susun ini merupakan buah karya terbaik

yang bisa kami sajikan ditengah kendala yang dihadapi. Secara ideal, penelitian mengenai

masyarakat adat, terlebih bagi kami yang memfokuskan diri pada persoalan pengelolaan

hutan adat di masyarakat kasepuhan, baiknya dilakukan melalui pendekatan metode empiris

yaitu menggali data dan informasi secara langsung ke lapangan. Namun dengan segala

keterbatasan yang ada kami menyajikan laporan ini dengan pendekatan normatif. Harapan

kami adalah bahwa semoga hal ini tidak mengurangi nilai kontribusi kami sebagai bagian

dari kajian-kajian akademik yang akan dilakukan nantinya.

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Achmad Sodiki, SH, yang

berkenan menjadi pembimbing kami selama penyusunan laporan penelitian ini, disela-sela

kepadatan agenda beliau sehari-hari. Selainitu, kami juga berterima kasih kepada rekan-

rekan di bagian Tata Usaha Pusat P4TIK yang memberikan dukungan teknis-administratif

demi tersusunnya laporan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga layak kami sampaikan

kepada rekan-rekan peneliti lain yang menjadi kawan seperjuangan dan kompetitor dalam

upaya penyelesaian penyusunan laporan penelitian.

Tim Penyusun.

iii

Page 4: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Ringkasan Eksekutif

Judul Penelitian : Kebijakan Hukum Pemisahan Hutan Adat Dari Hutan Negara

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan Nomor 35/PUU-

X/2012)

Tim Penyusun : Bisariyadi; Winda Wijayanti; Ananthia Ayu D.; Intan P. Putri

Kondisi pengelolaan hutan bisa dikatakan carut marut dan diwarnai tarik-menarik

kepentingan. Paling tidak carut marutnya kondisi pengelolan hutan ini dapat dilihat

dariperspektif kebijakan desentralisasi yang melibatkan pelimpahan kewenangan

pemerintah pusat kepada daerah. Tata kelola hutan dalam perspektif kebijkan desentralisasi

diartikan dengan pemerintah lokal mendapatkan kapasitas teknis dan atau otoritas formal

dari pemerintah pusat untuk mengelola hutan yang masuk dalam batas administrasi

pemerintah lokal. Pelimpahan kewenangan kepada pemerintah lokal tidak selalu menjadikan

hutan dikelola lebih baik. Pelimpahan kewenangan seringkali dipergunakan secara keliru

dengan mengeluarkan lebih banyak izin pemanfaatan secara tidak terkendali, seperti terjadi

di Indonesia sekarang ini. Dari perspektif kebijakan desentralisasi, Peraturan Daerah (perda)

digunakan sebagai instrumen pengakuan hutan adat.

Salah satu peristiwa penting terkait dengan pengakuan dan penguatan masyarakat hukum

adat dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan adalah adanya Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 yang mendefinisikan “kawasan hutan” adalah wilayah

tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan

keberadaannya sebagai hutan tetap sebagai hal yang bertentangan dengan konstitusi.

Mahkamah secara tegas menyatakan bahwa penunjukan suatu kawasan dijadikan hutan

tanpa proses yang melibatkan stake holder seperti masyarakat adat bertentangan dengan

konstitusi. Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian

dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen hukum pidana untuk mengatur

pemanfaatan hutan tanpa izin oleh masyarakat adat tidak sesuai dengan pengakuan dan

implementasi mengenai hak-hak masyarakat adat yang tidak terpisahkan.

Lebih lanjut lagi dalam Putusan 35/PUU-X/2012, MK memisahkan antara hutan negara

dengan hutan adat yang dirumuskan bahwa“terhadap hutan negara, negara mempunyai

wewenang penuh untuk mengatur dan memutuskan persediaan, peruntukan, pemanfaatan,

pengurusan serta hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara.

Kewenangan pengelolaan oleh negara di bidang kehutanan seharusnya diberikan kepada

kementerian yang bidangnya meliputi urusan kehutanan.Terhadap hutan adat, wewenang

negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat.”

iv

Page 5: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Mengingat Putusan MK membawa dampak luas dalam berbagai hal termasuk penataan

ruang dan otonomi daerah, maka perlu pula dilakukan sebuah proses harmonisasi dan

sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait. Dari sisi perundang-undangan, langkah-

langkah yang diperlukan untuk menindaklanjuti putusan tersebut, yaitu menerbitkan atau

menginisiasi dikeluarkannya peraturan yang dapat mewadahi berbagai isu hukum terkait

hutan adat seperti tata cara mengidentifikasi hutan adat, mekanisme pengakuan dan

perlindungannya, perlindungan atas hak/izin yang sudah diberikan berdasarkan peraturan

yang berlaku, mekanisme dan kelembagaan penyelesaian konflik, aturan untuk mencegah

dan membatasi penyalahgunaan pengakuan atas hutan adat untuk kepentingan pribadi,

serta mandat memetakan wilayah adat.

Oleh karena itu, pokok persoalan yang diangkat dalam penelitian ini adalah

1. Kebijakan hukum apa yang telah diterbitkan dalam rangka menindaklanjuti putusan MK

yang memisahkan antara hutan Negara dan hutan adat (Pustuan Nomor 35/PUU-

X/2012)?

2. Bagaimanakah pola implementasi riil di lapangan terkait dengan kebijakan pemisahan

hutan Negara dan hutan adat?

Dalam Bab pembahasan penelitian ini (Bab III) membahas mengenai kebijakan hukum yang

telah diterbitkan oleh pembuat kebijakan (policy makers) dalam rangka menyesuaikan

dengan Putusan 35/PUU-X/2012). Dikarenakan ada perubahan rezim maka pada bab

pembahasan ini, dibagi berdasarkan jangka waktu pemerintahan yang dipegang oleh masa

kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. Pada intinya, pada bagian ini

tim peneliti melakukan inventarisasi kebijakan-kebijakan hokum dalam rangka

menindaklanjuti putusan MK nomor 35/PUU-X/2012 yang memisahkan hutan Negara dan

hutanadat.

Sedangkan pada bab pembahasan selanjutnya (Bab IV) difokuskan pada studi kasus yang

khusus menyorot mengenai implementasi kebijakan yang memisahkan hutan Negara dan

hutan adat dalam level daerah melalui penerbitan peraturan daerah. Sayangnya, belum ada

satupun daerah yang hingga penelitian ini disusun telah menerbitkan peraturan daerah yang

mengatur pemisahan hutan adat dan hutan negara. Satu daerah yang paling mendekati

upaya untuk penerbitan peraturan daerah mengenai pemisahan hutan adat dan hutan

Negara adalah Kabupaten Lebak. Alasan kami memilih studi kasus yang menitikberatkan

padakasus di kabupaten lebak adalah pertama, di Kabupaten Lebak terdapat sejumlah

beberapa komunitas masyarakat adat, yaitu masyarakat Baduy (Kanekes) dan masyarakat

kasepuhan. Kedua, Kabupaten Lebak termasuk daerah yang aktif dalam upaya pengakuan

keberadaan masyarakat adat melalui penerbitan kebijakan-kebijakan pemerintah baik

v

Page 6: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

berupa peraturan daerah maupun melalui surat keputusan bahkan sebelum adanya

putusan-putusan MK, misalnya (i) Perda nomor 32 tahun 2001 tentang Perlindungan Hak

Ulayat Masyarakat Adat Baduy; (ii) SK Bupati Lebak nomor 430/Kep.298/Disdikbud/2013

tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat di Wilayah Kesatuan Adat Banten Kidul di

KabupatenLebak Ketiga, Kabupaten Lebak, terutama masyarakat adat kasepuhan, memiliki

sejarah panjang dalam hal konflik tenurial untuk pengelolaan hutan dan tanah terlebih

dengan adanya penetapan Taman Nasional Gunung Halimun. Terakhir, Kabupaten Lebak

merupakan daerah yang berada dalam garis depan dalam upaya pemisahan hutan negara

dan hutan adat melalui penerbitan peraturan daerah, meskipun dalam proses penelitian ini,

rancangan peraturan daerah tersebut belum disahkan namun naskah akademis dan

rancangan peraturan daerah telah disusun.

vi

Page 7: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Daftar Tabel dan Gambar

Tabel : Tabel 1. Perbandingan fungsi dan status hutan

Tabel 2. Produk hukum daerah mengenai pengakuan keberadaan masyarakat hukum

adat berdasarkan daerah provinsi, kabupaten/kota

Tabel 3. Pembagian Ruang Adat Kasepuhan

Tabel 4. Bentuk aturan adat masyarakat kasepuhan

Diagram : Diagram 1. Rekapitulasi Perkembangan Produk Hukum Daerah

Diagram 2. Alur pendaftaran wilayah adat

Gambar : Gambar 1. Batas antara hutan titipan dengan wilayah bukaan

Gambar 2. Batas antara hutan titipan dengan pemukiman

Gambar 3. Batas antara hutan dengan lahan garapan warga

Gambar 4. Pohon Hanjuang sebagai batas pemukiman

Gambar 5. Pohon Hanjuang sebagai batas wilayah garapan

Gambar 6. Peta Lokasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

vii

Page 8: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam terpenting di Indonesia. Indonesia

merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki hutan terluas dan merupakan

hutan tropika basah terbesar ketiga di dunia, setelah Brazil dan Zaire. Hutan dalam

fungsinya sebagai penyedia pangan (forest for food production) diperoleh melalui

pemanfaatan langsung plasma nutfah flora dan fauna untuk pemenuhan kebutuhan

pangan. Selain itu, secara tidak langsung kawasan hutan juga dimanfaatkan untuk

memproduksi sumber pangan. Hutan adalah wilayah dimana pernyataan

kebudayaan dari sebuah komunitas ditemukan. Dengan memahami bahwa

hutan merupakan alamat kebudayaan, maka ikatan antara komunitasnya

terhadap hutan sangat kuat. Terdapat rasionalitas yang sering tidak mudah

ditransfer ke dalam logika positivistik untuk menyatakan bagaimana

pertimbangan mempertahankan identitas kebudayaan menjadi dasar terkuat

untuk mempertahankan hutan bagi komunitas tersebut.1 Oleh karenanya, hutan

adalah konsep yang kompleks, yang meliputi aspek ekologis, sosial,

administratif dan hukum.

Negara adalah aktor yang paling utama dalam mengelola hutan. Ini tidak hanya

berlaku di negara-negara maju tetapi juga di negara-negara yang sedang

berkembang atau tidak hanya berlaku di negara-negara sosialis yang menerapkan

sentralisasi kekuasaan, tetapi juga di negara-negara yang menerapkan demokrasi

liberal. Kepemilikan dan peran negara diperlukan untuk mencegah terjadinya

tragedy of the commons2 yang bersumber pada tindakan masing-masing pihak —

baik individu, entitas negara dan bisnis— yang mengeksploitasi kekayaan alam milik

bersama untuk kepentingan pribadi atau kelompok sehingga merugikan kepentingan

1 Myrna A. Safitri, “Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Konflik Kehutanan dan Keadilan Tenurial: Peluang dan Limitasi”, Makalah disampaikan dalam Semiloka Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian Hukum dan Berkeadilan, diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta 13 Desember 2012

2 Garrett Hardin, “The Tragedy of the Commons”, Science 13 December 1968: Vol. 162 no. 3859 pp. 1243-1248

1

Page 9: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

publik. Karenanya, negara perlu mengatur kepemilikan dan akses terhadap

sumberdaya alam termasuk hutan. Jika tidak, semua hutan akan jatuh ke tangan

swasta yang lebih berorientasi personal profit gain. Pada masa kolonial maupun

pasca kolonial, negaranegara penganut paham kapitalis atau sosialis telah terbukti

gagal sebagai manager hutan yang kapabel. Para pengelola negara telah

melakukan eksploitasi hutan yang melampaui daya dukungnya dengan memberikan

izin kepada perusahaan swasta dan publik tanpa mekanisme pengawasan dan

evaluasi yang efektif dan para pengelola hutan tidak berfungsi sebagai pengelola

hutan yang kredibel. Ini menyebabkan laju kerusakan hutan cukup tinggi dan

dinyakinin sebagai peyumbang gas rumah kaca pasca revolusi industri terjadi di

negara-negara Barat.

Kondisi demikian menimbulkan berbagai konflik, perlawanan, dan memunculkan

beragam tuntuntan yang disuarakan oleh berbagai pihak. Organisasi masyarakat

sipil berpaham konservasi menuntut lebih banyak kawasan hutan dikonservasi agar

tetap terlindungi dan terjaga. Organsasi lingkungan hidup berpaham konservasi ini

cukup mewarnai gerakan lingkungan hidup. Pada sisi yang lain, gerakan masyarakat

akar rumput juga menuntut kepastian hak atas wilayah hutan yang dikelola oleh

masyarakat. Situasi seperti ini mengilhami gerakan-gerakan lingkungan hidup yang

berpaham eco populism, atau beberapa varian dari pandangan ekologi hijau.

Sebaliknya, organisasi internasional dan multinasional, seperti WWF, the Nature

Conservancy, dan UNEP mendorong setiap negara yang memiliki hutan agar

menjalankan konsep pembangunan hutan yang berkelanjutan. Sementara itu,

masing-masing negara yang memiliki hutan baik tropis dan non tropis terus-menerus

memperlakukan hutan beserta isinya sebagai sumber pendapatan ekonomi yang

penting sehingga tidak bisa dimoratorium begitu saja.

Berkaitan dengan kedudukan dan fungsi hutan yang sangat penting, negara telah

membuat tertib hukum pengaturan hutan melalui Undang-Undang No. 41 tahun

1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) dan Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mendefinisikan hutan sebagai

2

Page 10: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

suatu “kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam

hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang

satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan” (Pasal 1 angka 2).

Selain itu, tujuan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN

Nasional) Tahun 2005 – 2025 yang telah ditetapkan tanggal 5 Februari 2007 dengan

disahkan dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025 adalah

untuk: (a) mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan dalam pencapaian

tujuan nasional; (b) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik

antara pusat dan daerah; (c) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara

perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; (d) menjamin

tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan

berkelanjutan; dan (e) mengoptimalkan partisipasi masyarakat.3 Dengan demikian,

perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat dalam hak penguasaan

hutan adat perlu dilakukan bertujuan agar pembangunan hukum dilaksanakan

mellaui pembaruan materi hukum dengan tetap memperhatikan kemajemukan

tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi yang berintikan keadilan dan

kebenaran, ketertiban, dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara

yang tertib, teratur, lancar, serta berdaya saing global.4

Laju deforestasi dan degradasi hutan justru meningkat pada saat kewenangan

pemberian izin diberikan kepada pemerintah daerah. Bahkan pemberian izin

seringkali mengabaikan prinsip-prinsip tata kelola hutan yang baik dan

keberlanjutan. Sedangakn perskpektif kedua dalam tata kelola hutan adalah

pengelolaan hutan secara partisipatif, dimana masyarakat lokal atau pemerintah

lokal atau secara bersama-sama mengelola hutan. Pengelolaan hutan dapat lebih

efektif dan efisien jika dikelola secara bersama-sama oleh masyarakat dan

pemangku kepentingan lainnya, dan tidak dikelola oleh pemerintah secara

sentralistis. Meskipun terlihat ideal, pengelolaan hutan secara partisipatif seringkali

3 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI, Panduan Pengharmonisasian, Pembulatan dan Pemantapan Rancangan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Tim Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI, 2010, h. 155-156. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025.

4 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Op.Cit., h. 158.

3

Page 11: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

lebih banyak dilakukan oleh pemerintah lokal dan ketika dikelola bersama,

keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pemerintah lokal dibandingkan dengan

masyarakat.

Akan tetapi, kondisi pengelolaan hutan bisa dikatakan carut marut dan diwarnai

tarik-menarik kepentingan. Paling tidak carut marutnya kondisi pengelolan hutan ini

dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu pertama mengenai kebijakan desentralisasi

yang melibatkan pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah. Tata

kelola hutan dalam perspektif kebijkan desentralisasi diartikan dengan pemerintah

lokal mendapatkan kapasitas teknis dan atau otoritas formal dari pemerintah pusat

untuk mengelola hutan yang masuk dalam batas administrasi pemerintah lokal.

Pelimpahan kewenangan kepada pemerintah lokal tidak selalu menjadikan hutan

dikelola lebih baik. Pelimpahan kewenangan seringkali dipergunakan secara keliru

dengan mengeluarkan lebih banyak izin pemanfaatan secara tidak terkendali, seperti

terjadi di Indonesia sekarang ini. Dari perspektif kebijakan desentralisasi, Peraturan

Daerah (perda) digunakan sebagai instrumen pengakuan hutan adat. Kebijakan

penjabaran Undang-Undang Kehutanan itu diperkirakan tidak akan menyelesaikan

persoalan hutan adat dalam hutan negara, karena sejak Undang-Undang itu ada

hingga saat ini, perkembangan Peraturan Daerah tidak seperti yang

diharapkan.Kepentingan politik di daerah juga serupa dengan di pusat, lebih

mementingkan pelayanan perizinan perusahaan besar daripada memastikan ruang

hidup masyarakat. Paling tidak ada bebrapa perda ditingkat provinsi maupun

kabupaten/kota yang mengatur mengenai hutan adat, misalnya di tingkat Provinsi :

1. Perda Provinsi Maluku No 14 Tahun 2005 dan Perda No 3 Tahun 2008;

2. Perda Provinsi Sumatera Barat No 16 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat Dan

Pemanfaatannya (tidak dilampiri peta);

3. Perda Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat

Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat

Atas Tanah (tidak dilampiri peta);

4. Perda Provinsi Riau No 1 Tahun 2012 Tentang Lembaga Adat Melayu Riau

(tidak dilampiri peta).

Beberapa Perda Kabupaten yang mengatur mengenai hutan adat, adalah

1. Perda Kab. Kampar No 12 Tahun 1999 Tentang Hak Tanah Ulayat (tidak

dilampiri peta);

4

Page 12: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

2. Perda Kab. Lebak No 65 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat

Masyarakat Baduy (tidak dilampiri peta namun terdapat batas-batas wilayah);

3. Perda Kabupaten Maluku Tenggara No 03 Tahun 2009 Tentang Ratshap dan

Ohoi (tidak dilampiri peta);

4. Perda Kabupaten Nunukan No 03 Tahun 2004 Tentang Hak Ulayat Masyarakat

Hukum Adat Kabupaten Nunukan (tidak dilampiri peta).

Sebagai pelaksana konstitusi, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

pokok-pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang memberikan

penafsiran otentik terhadap konsep hak menguasai negara yang terdapat pada

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. UUPA memberikan posisi terhadap hak masyarakat

hukum adat atas hak ulayat. Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa hak ulayat dan hak-

hak serupa itu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada diakui. UUPA

merupakan produk hukum negara pertama yang mengakui adanya hak ulayat

masyarakat hukum adat. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa

(PP Nomor 72 Tahun 2005) menegaskan bahwa pemerintah desa (nagari)

mempunyai beberapa kewenangan yang memberi peluang untuk menguatkan

teritorial adat. Kemudian, salah satu peristiwa penting terkait dengan pengakuan dan

penguatan masyarakat hokum adat dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan

adalah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 yang

mendefinisikan “kawasan hutan” adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau

ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan

tetap sebagai hal yang bertentangan dengan konstitusi. Mahkamah secara tegas

menyatakan bahwa penunjukan suatu kawasan dijadikan hutan tanpa proses yang

melibatkan stake holder seperti masyarakat adat bertentangan dengan konstitusi.

Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan

pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen hukum pidana untuk mengatur

pemanfaatan hutan tanpa izin oleh masyarakat adat tidak sesuai dengan pengakuan

dan implementasi mengenai hak-hak masyarakat adat yang tidak terpisahkan.

Pemakaian instrumen pemidanaan harus benar-benar dimaknai sebagai ultimum

remidium atau upaya terakhir bukan sebaliknya.

Lebih lanjut lagi dalam Putusan 35/PUU-X/2012, MK memisahkan antara hutan

negara dengan hutan adat yang dirumuskan bahwa

5

Page 13: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

“Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur dan memutuskan persediaan, peruntukan, pemanfaatan, pengurusan serta hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara. Kewenangan pengelolaan oleh negara di bidang kehutanan seharusnya diberikan kepada kementerian yang bidangnya meliputi urusan kehutanan.Terhadap hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hutan adat (yang disebut pula hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya) berada dalam cakupan hak ulayat karena berada dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat, yang peragaannya didasarkan atas leluri (traditio) yang hidup dalam suasana rakyat (in de volksfeer) dan mempunyai suatu badan perurusan pusat yang berwibawa dalam seluruh lingkungan wilayahnya.” [paragraf 3.13.1]

Mengingat Putusan MK membawa dampak luas dalam berbagai hal termasuk

penataan ruang dan otonomi daerah, maka perlu pula dilakukan sebuah proses

harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait. Dari sisi

perundang-undangan, langkah-langkah yang diperlukan untuk menindaklanjuti

putusan tersebut, yaitu menerbitkan atau menginisiasi dikeluarkannya peraturan

yang dapat mewadahi berbagai isu hukum terkait hutan adat seperti tata cara

mengidentifikasi hutan adat, mekanisme pengakuan dan perlindungannya,

perlindungan atas hak/izin yang sudah diberikan berdasarkan peraturan yang

berlaku, mekanisme dan kelembagaan penyelesaian konflik, aturan untuk mencegah

dan membatasi penyalahgunaan pengakuan atas hutan adat untuk kepentingan

pribadi, serta mandat memetakan wilayah adat.

Salah satu persoalan mendasar yang berkaitan dengan tata kelola hutan adalah

dalam hal adanya kawasan atau tanah wilayah adat ada di dalam kawasan konsesi

suatu persusahaan tertentu atau dalam kawasan konsesi taman nasional. Lisensi-

lisensi yang berkenaan dengan wilayah adat sangat besar. Hampir wilayah-wilayah

anggota komunitas masyarakat adat itu dalam situasi konflik pertambangan,

kehutanan, konservasi. Masalahnya adalah bagaimana wilayah adat yang telah

terfragmentasi untuk dikembalikan dalam situasi yang utuh. Hal ini memerlukan

penyelesaian konflik dengan pemegang konsesi-konsesi. Konflik yang terjadi bukan

sesuatu yang berlangsung sesekali tapi sudah kronis dan meluas. Sifat kronis dan

meluas ini sudah berlangsung bertahun-tahun, bukan hanya konflik antara

masyarakat hukum adat dengan pemegang lisensi dan pemerintah yang

memberikan lisensi. Akan tetapi meluas hingga ke akar rumput yaitu konflik antara

6

Page 14: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

masyarakat hukum adat dengan para pekerja perusahaan. Masyarakat adat yang

terlibat dalam konflik, sebagian besar menghadapi persoalan pidana atau

dikriminalisasi.

Dengan adanya putusan MK, masyarakat adat merasa telah diakui hak-haknya

secara konstitusional. Disisi lain, pengakuan ini dikesankan sebagai suatu

kemenangan sehingga ada bentuk perayaan atas kemenangan tersebut dengan

melakukan “plangisasi”. Plangisasi adalah gerakan dimana masyarakat hukum adat

memberikan tanda mengenai wilayah adat mereka. Masalahnya, wilayah itu masih

dalam wilayah konsesi.

Persoalan lain adalah mengenai pihak yang layak disebut sebagai “masyarakat

adat”. Terhadap masyarakat adat, Mahkamah membuat penafsiran dalam Putusan

35/PUU-X/2012 sebagai berikut:

“Di samping itu, berkenaan dengan syarat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dalam kenyataannya status dan fungsi hutan dalam masyarakat hukum adat bergantung kepada status keberadaan masyarakat hukum adat. Kemungkinan yang terjadi adalah: (1) kenyataannya masih ada tetapi tidak diakui keberadaannya; (2) kenyataannya tidak ada tetapi diakui keberadaannya. Jika kenyataannya masih ada tetapi tidak diakui keberadaannya, maka hal ini dapat menimbulkan kerugian pada masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, tanah/hutan adat mereka digunakan untuk kepentingan lain tanpa seizin mereka melalui cara-cara penggusuran-penggusuran. Masyarakat hukum adat tidak lagi dapat mengambil manfaat dari hutan adat yang mereka kuasai.Sebaliknya dapat terjadi masyarakat hukum adat kenyataannya tidak ada tetapi objek hak-hak adatnya masih diakui.Artinya, berdasarkan sejarah keberadaan mereka pernah diakui oleh negara, padahal kenyataannya sesuai dengan perkembangan zaman sudah tidak terdapat lagi tanda-tanda atau sifat yang melekat pada masyarakat hukum adat.Tanda-tanda dan sifat masyarakat hukum adat yang demikian tidak boleh dihidup-hidupkan lagi keberadaannya, termasuk wewenang masyarakat atas tanah dan hutan yang pernah mereka kuasai.“ [paragraf 3.13.2]

Pembuat undang-undang dan penegak hukum harus memahami makna dari

masyarakat adat dan mampu mengidentifikasi pihak yang secara sesuai dengan

substansi masyarakat adat dan menjadikan aturan pemidanaan sebagai instrumen

hukum adalah tidak sesuai.

Yang menjadi perhatian oleh berbagai kalangan pecinta lingkungan hidup bahwa

putusan yang monumental dalam perhatian pengelolaan kawasan hutan tersebut

7

Page 15: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

memiliki tantangan yang tidak sedikit dalam implementasinya. Terbukti hingga

pertengahan tahun 2015 ini belum ada masyarakat adat yang berhasil mengklaim

wilayah hutan adatnya.

B. Rumusan Masalah 3. Kebijakan hukum apa yang telah diterbitkan dalam rangka menindak lanjuti

putusan MK yang memisahkan antara hutan Negara dan hutan adat

(35/PUU-X/2012)?

4. Bagaimanakah pola implementasi riil di lapangan terkait dengan kebijakan

pemisahan hutan negara dan hutan adat di Kabupaten Lebak?

C. Tujuan dan Manfaat Tujuan Penelitian

1. Menginvetarisasi kebijakan-kebijakan yang terkait dengan implementasi

putusan nomor 35/PUU-X/2012 dalam pemisahan antara hutan negara dan

hutan adat

2. Menelaah kebijakan mengenai pemisahan hutan negara dan hutan adat

dalam tingkat peraturan daerah (Kabupaten Lebak)

Manfaat Penelitian

Mengetahui perkembangan kebijakan-kebijakan hukum dalam rangka

implementasi putusan nomor 35/PUU-X/2012

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif atau doctrinal research yang

meneliti bahan hukum sehingga disebut sebagai library based, focusing on reading

and analysis of the primary and secondary materials.5 Hasil dari penelitian hukum

sekalipun bukan teori hukum baru paling tidak adalah argumentasi baru.6 Penelitian

yang dilakukan adalah yuridis normative dengan mengkaji pokok permasalahan

sebagaimana yang telah diuraikan dalam rumusan masalah. Selain itu, peneliti juga

akan melengkapinya dari aspek-aspek lain yang relevan berdasarkan ruang lingkup

dan identifikasi rumusan masalah.

5 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia, 2005, h. 45-46.

6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Surabaya: Kencana Prenada Media Group, 2005, h. 207.

8

Page 16: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach),

pendekatan historis atau sejarah (historical approach), pendekatan perbandingan

(comparative approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), dan

pendekatan kasus (case approach).7 Pendekatan perundang-undangan dilakukan

dengan menelaah berbagai peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya8

yang mengatur tentang perlindungan hak konstitusional penguasaan hutan adat oleh

masyarakat hukum adat. Pendekatan konsep dilakukan mulai dari mendalami teori

negara hukum, teori perlindungan hukum, teori penguasaan hutan adat, dan teori

masyarakat hukum adat. Sedangkan pendekatan historis dilakukan dengan cara

meneliti latar belakang dan argumentasi hukum UUD 1945, UU MK, dan beberapa

Putusan MK. Penelitian normatif yang menggunakan pendekatan sejarah

memungkinkan untuk memahami hukum secara lebih mendalam tentang

perlindungan hak konstitusional penguasaan hutan adat oleh masyarakat hukum

adat. Hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau merupakan suatu

kesatuan yang berhubungan erat dan tidak putus sehingga pemahaman hukum

pada masa kini melalui pembelajaran sejarah untuk membentuk tata hukum pada

masa yang akan datang.9 Pendekatan perbandingan yakni meneliti dan

membandingkan suasana dan sejarah terkait hutan hukum adat masing-masing-

masing daerah di Indonesia dengan menarik kesimpulan menurut Sunaryati Hartono

bahwa kebutuhan-kebutuhan yang universal (sama) akan menimbulkan cara-cara

pengaturan yang sama pula dan kebutuhan-kebutuhan khusus berdasarkan

perbedaan suasana dan sejarah itu menimbulkan cara-cara yang berbeda pula.10

Pendekatan filsafat yaitu penelitian untuk memperoleh pemahaman yang lebih

mendalam terhadap implikasi sosial dan efek penerapan suatu aturan perundang-

undangan terhadap masyarakat atau kelompok masyarakat yang melibatkan

penelitian terhadap sejarah, filsafat, implikasi sosial dan politik terhadap

7 Ibrahim, Ibid., h. 302.

8 Ibid.

9 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986, h. 332. Dalam Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2008, h. 318-319.

10 Sunaryati Hartono, Kapita Selecta Perbandingan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, h. 1-2.Dalam Ibrahim, Ibid., h. 313.

9

Page 17: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

pemberlakuan suatu aturan hukum,11 dan pendekatan kasus yang bertujuan untuk

mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam

praktik hukum12 terutama mengenai Putusan MK dan kasus-kasus hutan hukum

adat.

3. Bahan Hukum yang Digunakan

Penelitian hukum ini menggunakan bahan hukum primer (primary sources or

authorities) dan bahan hukum sekunder (secondary sources or authorities).13 Bahan

hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat yang dalam hal ini

berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian hukum ini terdiri dari

sekumpulan peraturan perundang-undangan mulai dari UUD 1945, Undang-Undang,

Putusan MK, Peraturan Pemerintah dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan, bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami

bahan hukum primer yang berupa buku-buku pegangan, majalah hukum, jurnal

hukum dan surat kabar, serta hasil karya ilmiah penelitian yang ditulis.14

4. Cara Mencari Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum normatif ini, metode yang digunakan dalam pengumpulan

bahan hukum adalah studi kepustakaan atau studi dokumen (documentary study)15

yang bertujuan menginventarisasi peraturan hukum positif, mengetahui konsistensi

peraturan perundang-undangan berdasarkan hierarkinya, mengetahui apakah suatu

peraturan perundangan berbenturan dengan pertauran perundangan lain,

memahami falsafah yang mendasar suatu peraturan perundang-undangan atau

pasal-pasalnya, sistem hukum, asas-asas hukum dan kerangka berpikir tentang

hukum yang permasalahannya berkaitan dengan tema penelitian.16 Pengumpulan

11 Ibrahim, Ibid., h. 320-321.

12 Ibrahim, Ibid., h. 321.

13 C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Bandung: Alumni, 1994, h. 134.

14 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta: Rajawali Press, 2003, h. 29.

15 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, h. 18-19.

16 Sulistyowati Irianto dan Shidarta (ed.), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, h. 308-309.

10

Page 18: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder tersebut diinventarisir dan

diklasifikasi dengan menyesuaikan dengan masalah yang dibahas. Bahan hukum

yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dipaparkan, disistematisasi, dan

dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku.17 Selain itu, dalam

penelitian ini menggunakan teknik wawancara dalam mencari data-data dan sumber

hukum yang digunakan dalam analisis penelitian ini.

5. Cara Menganalisis Bahan Hukum

Pada penelitian hukum normatif terdapat proses penelitian dengan cara

menganalisis dan mengkonstruksi terhadap bahan hukum yang telah dikumpulkan

dan diolah.18 Pengolahan data pada hakikatnya merupakan kegiatan untuk

mensistematisasi bahan hukum. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap

bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan

konstruksi.19Bahan hukum yang didapatkan ditelaah untuk memperoleh relevansi

dengan topik penelitian, baik berupa ide, usul, dan argumentasi ketentuan-ketentuan

hukum yang dikaji.

Analisis bahan hukum dilakukan melalui tiga tahapan. Pertama, bahan hukum atau

fakta yang dikumpulkan disistematisir yakni ditata dan disesuaikan dengan obyek

yang diteliti. Kedua, bahan yang telah disistematisir, dieksplikasi atau diuraikan dan

dijelaskan sesuai obyek yang diteliti berdasarkan teori. Ketiga, bahan yang telah

dieksplikasi dilakukan evaluasi, dinilai dengan menggunakan ukuran ketentuan

hukum yang berlaku sehingga ditemukan ada yang sesuai dan ada tidak sesuai

(bertentangan) dengan hukum yang berlaku. Ketentuan hukum yang sesuai akan

dikembangkan sementara yang tidak sesuai ditinggalkan.20

E. Sistematika Penelitian ini akan dibagi dalam lima bab. Bagian pertama sebagaimana telah

disusun berisikan mengenai latar belakang penulisan dengan merumuskan pokok-

pokok permasalahan yang juga menunjukkan maksud dan tujuan penelitian ini.

17 Ibrahim, Ibid., h. 296.

18 H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, h. 17.

19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, h. 251-252.

20 Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Yogyakarta: Total Media,2007, h. 61.

11

Page 19: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Pokok permasalaha yang dibahas dalam penelitian ini terbagi dalam dua pokok

besaran persoalan yang akan menjadi topik utama untuk dibahas pada bab ketiga

dan keempat.

Pada bab kedua berisikan mengenai kerangka konsep yang menjadi landasan

teoritis penelitian ini. Paling tidak ada tiga konsep yang aiangkat dalam penelitian ini,

yaitu mengenai asas domeinverklaring dalam pengakuan hak atas pengelolaan

tanah. Selain itu, diangkat pula konsep pengakuan (recognition) masyarakat hukum

adat. Terakhir, sebagai kerangka konsep adalah mengenai konsep pemisahan hutan

negara dan hutan adat dalam putusan Mahkamah Konstitusi.

Bab ketiga penelitian ini menjawab pokok persoalan pertama yang diangkat dalam

penelitian ini mengani kebijakan-kebijakan hukum apa saja yang diterbitkan dalam

rangka menyesuaikan dengan putusan MK yang memisahkan hutan adat dengan

hutan negara. Dalam bab ini, akan diinventarisasi kebijakan-kebijakan hukum yang

pernah diterbitkan baik pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono

maupun pada masa pemerintahan Joko Widodo.

Pada bab keempat akan dibahas mengenai persoalan kedua yang menjadi

permasalahan dalam penelitian, yaitu mengenai implementasi pemisahan hutan adat

dan hutan negara di lapangan, terutama dengan melihat pada penyusunan

rancangan peraturan daerah di Kabupaten Lebak. Hal yang akan dibahas adaalah

mengenai keberadaan masyarakat kasepuhan yang dikategorikan sebagai

masyarakat hukum adat. Setelah itu, akan dibahas mengenai upaya pemisahan

hutan adat dan hutan negara terutama bahwa di wiliayah tersebut terdapat wilayah

taman nasional yang terkategorikan sebagai hutan negara. Terakhir adalah bab

penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.

12

Page 20: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

BAB II

KERANGKA KONSEP

A. Azas Domeinverklaring Asas domeinverklaring (deklarasi kawasan)21 pada intinya mengatur bahwa semua

tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya adalah domein (milik) negara.22

Asas ini muncul seiring terbitnya Agrarische Wet 1870 (AW 1870) oleh Pemerintah

Hindia Belanda. Tujuan terbitnya aturan ini adalah untuk membuka kemungkinan

dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pengusaha swasta agar

membuka hutan dan menjadikannya perkebunan besar. Pemerintah selaku

perwakilan negara memiliki landasan hukum dan pembuktian kepemilikan untuk

memberikan tanah-tanah tersebut.23 AW 1870 yang berasaskan domeinverklaring

juga dianggap mengandung ketentuan pengakuan atas keberadaan hak-hak

masyarakat adat.24 Hal ini menciptakan kebingungan dan penafsiran berbeda

21 Lynch, O.J. dan E. Harwell. 2006. “Sumberdaya Milik Siapa? Siapa Penguasa Barang Publik” (Terjemahan: Studio Kendil). Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Dalam Gamma Galudra, Memahami Konflik Tenurial melalui Pendekatan Sejarah: Studi Kasus di Lebak, Banten, Makalah yang disampaikan dan dipublikasikan untuk Warta Tenure dan merupakan bagian dari Program Studi Bersama di Halimun-Salak antara RMI, HUMA, ICRAF, WG-T dan masyarakat Halimun-Salak, http://www.worldagroforestry.org/downloads/Publications/PDFS/PP06152.pdf, diakses 5 November 2015.

22 Tanah-tanah yang termasuk pada domein Negara adalah tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya baik secara individu atau bersama oleh penduduk desa dan mencakup tanah-tanah yang sedang tidak digarap atau yang sudah dibiarkan bero/ puso selama lebih dari tiga tahun. Berdasarkan definisi ini, maka hak kepemilikan masyarakat hanya diakui pada tanah-tanah yang dibudidayakan terus-menerus. Peluso, N.L. 2006. “Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa” (Terjemahan: Landung Simatupang). Jakarta: Konphalindo. Dalam Gamma Galudra, Memahami Konflik Tenurial melalui Pendekatan Sejarah: Studi Kasus di Lebak, Banten, Makalah yang disampaikan dan dipublikasikan untuk Warta Tenure dan merupakan bagian dari Program Studi Bersama di Halimun-Salak antara RMI, HUMA, ICRAF, WG-T dan masyarakat Halimun-Salak, http://www.worldagroforestry.org/downloads/Publications/PDFS/PP06152.pdf, diakses 5 November 2015.

23 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2003). Dalam Galudra, Ibid.

24 Muhammad, B. 2003. Asas-Asas Hukum Adat: Suatu Pengantar. Jakarta: Pradnya Paramita. Dalam Galudra, Ibid.

13

Page 21: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

diantara para ahli-ahli hukum di masa itu akibat kegagalan mereka untuk memahami

hukum tanah masyarakat adat atas hutan.25

Nolst Trenite, seorang guru besar dari Universitas Uthrect sekaligus pula Pejabat

Tinggi Departemen Pemerintahan berpendapat bahwa berdasarkan penafsiran asas

domeinverklaring, tanah yang menurut hukum dikecualikan dari milik negara adalah

hanya tanah yang menurut kenyataan dan biasanya digunakan oleh penduduk.

Pendapat ini selanjutnya ditentang oleh sarjana lain, antara lain Van Vollenhoven

dari Universitas Leiden, serta Logemann dan ter Haar dari Sekolah Hukum Hindia

Belanda. Menurut mereka, tujuan sebenarnya dari pembuat AW 1870 ini adalah

untuk tidak mengecualikan tanah apapun juga. Semua tanah hutan, jika perlu

sampai ke puncak gunung, jika penduduk mempunyai hak yang secara diam-diam

diakui, tanah itu bukan tanah negara. Pada tahun 1874, suatu peraturan diterbitkan

untuk memberikan penafsiran yang pasti apa yang dimaksud dengan wilayah

kekuasaan desa untuk Jawa dan Madura. Tanah milik desa adalah padang rumput

penggembalaan milik bersama, tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli untuk

penggunaan mereka sendiri, baik yang dihuni maupun digarap, dan yang oleh

mereka tidak telah ditelantarkan26 .

Sayangnya, peraturan ini tidak mampu menjawab batasan-batasan hak-hak

masyarakat desa atas wilayah hutan. Dalam buku De Indonesier en Zijn Grond,

karangan Van Vollenhoven, disebutkan bahwa menurut hukum adat, desa

mempunyai hak untuk menguasai tanah di luar perbatasan desa, termasuk hutan.

Penduduk desa mempunyai hak untuk menggarap atau mencari nafkah dari hutan

dengan ijin kepala desa. Beliau menafsirkan azas domeinverklaring bahwa tanah

domein negara adalah yang bukan hak milik, hak milik adat dan bukan pula tanah

milik rakyat di bawah naungan hak ulayat atau pertuanan.27 Peraturan 1874

menyatakan bahwa hutan, walaupun tidak digarap, termasuk pada batasan wilayah

kekuasaan desa dan bukan sebagai tanah negara. Namun dalam jawabannya, Nolst

25 Van den Bosch, A. 1944. The Dutch East Indies: Its Government, Problems, and Politics. Berkeley: University of California Press. Dalam Galudra, Ibid.

26 Rajagukguk, E. 1995. Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup. Jakarta: Chandra Pratama.

27 Van Vollenhoven, C. 1932. De Indonesier en Zijn Grond. Leiden: Boekhandel en Drukkerij.

14

Page 22: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Trenite tetap bersikukuh bahwa tanah-tanah tersebut milik Negara.28 Kebingungan

dalam menafsirkan hukum masyarakat adat terhadap wilayah hutan terus berlanjut

dan para penentang domeinverklaring memandang bahwa pemerintah sebaiknya

mengakui hak-hak masyarakat adat (hak ulayat atau hak pertuanan) tersebut

sebagai solusi atas kebingungan menafsirkan hukum tanah masyarakat adat29.

Hukum agraria kolonial terbagi dalam 2 (dua) kelompok yaitu hukum agraria

keperdataan dan hukum agraria administratif. Hukum agraria perdata terdapat dalam

Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) mengatur hak-hak atas

tanah, namun tidak ada hak atas masyarakat hukum adat, khususnya hak ulayat.

Sedangkan hak milik atas tanah dari kelompok dan individu dalam masyarakat

hukum adat tetap diakui dan dilindungi sebagai hak kepemilikan. Pernyataan domein

verklaring menjadi ketakutan bagi hak-hak keperdataan anggota masyarakat hukum

adat atas tanah, karena rakyat Indonesia memiliki tanah tidak berdasarkan bukti

tertulis seperti persyaratan oleh domein verklaring.30

Pada zaman Belanda, hak-hak atas tanah masyarakat hukum adat diakui secara

yuridis dalam sumber hukum agraria administratif yakni Pasal 62 Regering

Reglement (RR) 1854 sampai Agrarische Wet 1870 tidak menyebutkan istilah hak

ulayat dan telah eksplisit menyatakan perlindungan hak-hak masyarakat berupa

pembukaan hutan, lapangan pengembalaan umum, tanah milik persekutuan (desa)

dan sejenisnya. Pemberian hak erfpacht dan hak sewa oleh Gubernur Jendral

kepada pengusaha-pengusaha terutama investor Eropa tidak boleh dilakukan di atas

tanah yang yang terdapat hak-hak masyarakat hukum adat31 termasuk hutan adat

sehingga pada saat itu hukum memberikan perlindungan bagi masyarakat hukum

adat untuk menggunakan hutan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.

28 Trenite, N. 1920a. Van Vollenhoven’s Jongste Agrarisch Geschrift. Koloniale Studien. Trenite, N. 1920b. Inleiding Agrarische Wetgeving van het Rechtstreeks Bestuurd Gebied van Nederlandsch-Indie. Weltevreden: Landsdrukkerij.

29 Van den Bosch, A. 1944. The Dutch East Indies: Its Government, Problems, and Politics. Berkeley: University of California Press.

30 Kurnia Warman (ed.), Nasib Tenurial Adat Kawasan Hutan: Tumpang Tindih Klaim Adat dan Negara pada Aras Lokal di Sumatera Barat, (Jakarta: HuMa Perkumpulan Qbar, 2007),h. 4 dan 6.

31 Ibid, h. 6.

15

Page 23: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Ketika Indonesia merdeka dalam konstitusi terdapat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat. Konsep “hak menguasai negara” menggantikan konsep domein verklaring

yang diterapkan oleh Pemerintahan Kolonial. UUD 1945 memberikan apresiasi dan

kedudukan istimewa terhadap masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschappen)

yang terdapat hak ulayat. Setelah Amandemen Kedua UUD 1945 terdapat

pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya

yakni pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam

undang-undang. Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa identitas

budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan

zaman dan peradaban sehingga Pemerintah dan Pemda tidak dapat menegasikan

eksistensi masyarakat hukum adat dan hak tenurial adat atas sumber daya agraria

dalam setiap kebijakan.

Sebagai pelaksana konstitusi, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

pokok-pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang memberikan

penafsiran otentik terhadap konsep hak menguasai negara yang terdapat pada

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. UUPA memberikan posisi terhadap hak masyarakat

hukum adat atas hak ulayat. Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa hak ulayat dan hak-

hak serupa itu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada diakui. UUPA

merupakan produk hukum negara pertama yang mengakui adanya hak ulayat

masyarakat hukum adat. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa

(PP Nomor 72 Tahun 2005) menegaskan bahwa pemerintah desa (nagari)

mempunyai beberapa kewenangan yang memberi peluang untuk menguatkan

tenurial adat. Pasal 7 PP Nomor 72 Tahun 2005 menyatakan bahwa urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:

a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;

b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang

diserahkan pengaturannya kepada desa;

c. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah

kabupaten/kota; dan

16

Page 24: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan

diserahkan kepada desa.

Dalam Penjelasan Pasal 7 huruf a dan b bahwa hak asal usul desa (nagari) yaitu

hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai

dengan asal-usul, adat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan. Pemda mengidentifikasi jenis kewenangan

berdasarkan hak asal-usul dan mengembalikan kewenangan tersebut, yang

ditetapkan dalam Perda kabupaten/kota yang melakukan identifikasi, pembahasan

dan penetapan jenis-jenis kewenangan yang diserahkan pengaturannya kepada

desa, seperti kewenangan di bidang pertanian, pertambangan dan energi,

kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian,

ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum,

perhubungan, lingkungan hidup, perikanan, politik dalam negeri dan administrasi

publik, otonomi desa, perimbangan keuangan, tugas pembantuan, pariwisata,

pertanahan, kependudukan, kesatuan bangsa dan perlindungan masyarakat,

perencanaan, penerangan/informasi dan komunikasi. Berdasarkan PP Nomor 72

Tahun 2005, penguatan tenurial masyarakat hukum adat tergantung kepada

pemerintah desa sendiri dan Pemda. Pemerintah desa harus bekerjasama dengan

lembaga adat dalam mengidentifikasi dan menguatkan hak asal usul berdasarkan

adat istiadat setempat.32 Selanjutnya terbit Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala

Badan Pertanahan Nasional (Permenag) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman

Penyelesaian Masalah Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang berisi: (1)

pengakuan yuridis terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat; (2) penegasan

kriteria yang menjadi tolak ukur dalam menentukan masih ada atau tidaknya hak

ulayat; (3) warga masyarakat hukum adat diberikan kewenangan penguasaan tanah

ulayat; (4) kewenangan penuh dari Pemda melalui Perda untuk menentukan ada

atau tidaknya hak ulayat di daerah masing-masing, yang pada intinya Permenag itu

merupakan pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat dan pemberian

kewenangan kepada masing-masing daerah melalui Peraturan Daerah (Perda)

untuk mengatur hak ulayat masyarakat hukum adat sesuai dengan nilai-nilai lokal

(hukum adat).33

32 Ibid., h. 14.

33 Ibid., h. 10-11.

17

Page 25: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Tujuan pembentukan negara adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh

tumpah darah Indonesia. Terkait dengan hak menguasai negara oleh UUPA

terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA memberikan wewenang untuk:

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan

perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.34

Paradigma dalam penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam

Indonesia oleh negara sebagai otoritas tercermin di dalam rumusan Pasal 33 ayat

(3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebsar-

besarnya kemakmuran rakyat.” sehingga memperlihatkan prinsip dasar hubungan

antara negara dengan masyarakat terkait tanah. Konstitusi untuk menghapus prinsip

dasar pada masa Hindia Belanda bahwa peran negara sebagai pemilik dalam

prinsip domeinverklaring bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat bahwa

negara merupakan pemilik tanah.35 Dengan demikian, pengurusan hutan yang

berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan

peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang

berdasarkan pada norma hukum nasional.36 Selain itu, pemanfaatan hutan adat

dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan

fungsinya. Pemanfaatan hutan adat berfungsi lindung dan konservasi dapat

dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya (Pasal 37 UU Kehutanan).

B. Pengakuan (Politics of Recognition) Masyarakat Hukum Adat 1. Politik Pengakuan (Politics of Recognition) Masyarakat Hukum Adat

34 Wahyu Nugroho, Konsistensi Negara Atas Doktrin Welfare State Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan Oleh Masyarakat Adat, Indonesian Center for Environment Law, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol. 1 Issue 2 Desember 2014, h. 36.

35 Anang Husni, Hukum, Birokrasi dan Budaya, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, h. 84. Dalam Wahyu Nugroho, Konsistensi Negara Atas Doktrin Welfare State Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan Oleh Masyarakat Adat, Indonesian Center for Environment Law, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol. 1 Issue 2 Desember 2014, h. 34-35.

36 Kurnia Warman (ed.), Op.cit ,h. 46.

18

Page 26: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Makna negara dalam definisi “hutan adat” menurut UU Kehutanan bahwa Hutan

adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat

(Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).

Hutan adat adalah hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada

masyarakat hukum adat (rechtgemeenschaap) sehingga eksistensi hutan adat tidak

dapat dipisahkan dengan masyarakat adat. UU Kehutanan mendukung hak-hak

yang berkaitan dengan hukum adat dan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan

antara lain:

1. penentuan wilayah hutan harus memperhitungkan budaya, ekonomi, dan

institusi setempat (termasuk institusi adat).

2. pengawasan adalah tanggung jawab pemerintah, individu dan masyarakat.

3. masyarakat berhak untuk mengetahui tentang pengelolaan hutan dan

mengawasi.

4. jika masyarakat menderita akibat polusi atau kerusakan hutan yang dapat

mempengaruhi kehidupan mereka, lembaga pemerintah yang membawahi

bidang kehutanan bertanggungjawab melakukan tindakan untuk kepentingan

masyarakat.

5. organisasi non pemerintah dapat mendukung usaha masyarakat setempat

dalam reboisasi atau rehabilitasi hutan (bukan dalam pengelolaan hutan).

6. forum pemerhati hutan yang terdiri atas mitra pemerintah pusat dan pemerintah

daerah dapat bekerja untuk merumuskan dan mengelola persepsi, aspirasi,

dan inovasi masyarakat sebagai bahan masukan kebijakan hutan.

UU Kehutanan menyatakan bahwa hutan harus dikelola sesuai dengan prinsip

keadilan sosial (social equity), pemberdayaan masyarakat adat, keadilan (fairness),

kemakmuran (prosperity), dan berkelanjutan (sustainability) sehingga UU Kehutanan

berpotensi menguatkan hak masyarakat adat atas lahan hutan dengan menciptakan

hak yang sah bagi masyarakat pada hutan adat. Masyarakat adat berhak untuk

memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan mengelola hutan

sesuai dengan hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional.37

Dalam pemerintahan Belanda terdapat 3 (tiga) macam hukum tanah diantaranya

yaitu hukum tanah adat berdasarkan pada hak ulayat desa mempunyai 2 (dua)

aspek. Pertama, hak rakyat desa yang memuat bahwa semua tanah yang terletak

37 Ibid., h. 67.

19

Page 27: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

dan termasuk dalam lingkungan desa atau masuk dalam batas-batas desa (baik

tanah kosong yang tidak terdapat hak-hak perseorangan dan tidak ada larangan

desa untuk mengusahakan, larangan penebangan kayu atau perburuan (hutan

larangan) yang dipunyai bersama-sama sebagai hak milik umum oleh penduduk-

penduduk desa untuk mengambil kayu dari hutan-hutan dan mengumpulkan hasil

hutan.38

Dalam UU Kehutanan terdapat penguatan dan perluasan sebagian hak masyarakat

adat, namun ada hambatan pengalihan wewenang kepada masyarakat antara lain

kepemilikan prioritas hak pengusahaan atas hutan adat. Menurut Eva Wollenberg

dan Hariadi Kartodiharjo terkait penggunaan hutan adat, jika hutan adat digunakan

untuk perladangan gilir balik sebagai mata pencaharian, sedangkan pembakaran

hutan dilarang oleh UU sehingga bagaimana masyarakat adat akan memenuhi

kebutuhan hidupnya sehingga dapat terjadi asumsi masyarakat tersebut tidak

melaksanakan perladangan gilir balik apabila merupakan bagian terpadu dari

kegiatan ekonomi dan kebudayaan. Sejauh fungsi dan pemanfataan yang diijinkan

pada hutan adat mencerminkan fungsi dan pemanfaatan yang dibutuhkan

masyarakat hukum adat, maka akan semakin memenuhi kebutuhan masyarakat dan

memberi instensif bagi pengelolaan yang baik. Namun pemanduan pemerintah

tentang fungsi dan pemanfaatan mencerminkan pendekatan pengelolaan yang

sangat berbeda dalam gaya dan tujuan dari pendekatan masyarakat adat.39

2. Self-determination

Kesatuan masyarakat merupakan bagian dari ekosistem alam yang perlu

mendapatkan hak untuk mengelola dan memanfaatkan hutan adat yang memiliki

karakter lokal dan tradisional terdapat nilai-nilai sakral, budaya, spiritual dan

peraturan bersama (tidak tertulis) yang disepakati oleh komunitasnya sehingga

masyarakat (hukum) adat disebut sebagai hukum yang hidup (the living law).

Menurut Northop sebagaimana dikutip oleh Bodenheimer bahwa hukum itu memang

38 Hazairin, Suatu Ulasan Tentang Hukum Adat Indonesia Pada Masa Sekarang. Dalam Himpunan Karya Ilmiah Guru-guru Besar Hukum di Indonesia, Lima Puluh Tahun Pendidikan Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas indonesia, 1974), h. 145.

39 Ade Saptomo, Kajian Kritis Eksistensi Hutan Adat Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Dalam Kurnia Warman (ed.), Nasib Tenurial Adat Kawasan Hutan: Tumpang Tindih Klaim Adat dan Negara pada Aras Lokal di Sumatera Barat, (Jakarta: HuMa Perkumpulan Qbar, 2007), h. 70.

20

Page 28: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

tidak dapat dimengerti secara baik jika ia terpisah dari norma-norma sosial sebagai

hukum yang hidup.40 Perjuangan untuk perlindungan, pengakuan, dan

penghormatan terhadap masyarakat hukum adat ini tidak hanya berlangsung pada

tataran nasional, tetapi juga pada tataran internasional. Upaya tersebut sulit, bukan

saja karena setiap negara masih tetap bertumpu pada asas kedaulatan negara

(state souvereignty) yang tidak akan menolerir setiap sanggahan dan penyebalan

terhadap kedaulatan negara, tetapi juga oleh karena masih belum berkembangnya

doktrin mengenai hak asasi manusia yang bersifat kolektif (collective rights). Selain

itu, sampai tahun 1993 pada tataran konseptual negara-negara di dunia masih

terbagi atas dua kubu, yaitu negara-negara demokrasi liberal yang memusatkan

perhatian pada hal sipil dan politik yang member prioritas pada hakhak

perseorangan, dan kubu negara-negara sosialis dan komunis yang memusatkan

perhatian pada hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam suasana konflik ideologi

tersebut, adalah jelas bahwa wacana tentang hak masyarakat hukum adat tidak

akan memeperhatian yang memadai. Baru pada tahun 1993, pasca runtuhnya kubu

negara-negara sosialis dan komunis, telah dapat dimasuki babak baru pada

Konferensi Wina yang selain mengintegrasikan kedua ‘sayap’ hak asasi manusia

tersebut, juga sudah mengidentifikasi pentingnya pengakuan terhadap hak

masyarakat hukum adat.

Walaupun demikian, ada suatu langkah yang secara diam-diam terus

memperjuangkan hak masyarakat hukum adat (indigenous peoples dan tribal

groups) yang dilakukan oleh The International Labour Organization (ILO). Berturut-

turut pada tahun 1957 dan tahun 1989 lembaga khusus Perserikatan Bangsa

Bangsa ini berhasil mengesahkan konvensi tentang perlindungan dan pengakuan

terhadap hak masyarakat hukum adat. Sudah barang tentu, daya ikat berlakunya

konvensi ILO tersebut bergantung pada apakah konvensi tersebut diratifikasi oleh

negara-negara anggota PBB atau tidak. Selain itu, dalam dasawarsa 1980-an dalam

lingkungan PBB telah dapat dibentuk The U.N Permament Forum for Indigenous

Issues, yang mengkaji masalah-masalah yang berkenaan dengan hak masyarakat

hukum adat ini. Dengan kegigihan dan ketabahan yang mengagumkan, bersama

40 Edgar Bodenheimer, Yurisprudence: The Philosophy and Method of The Law, (Cambridge, Massachessets, 1962, p. 106). Dalam Wahyu Nugroho, Konsistensi Negara Atas Doktrin Welfare State Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan Oleh Masyarakat Adat, Indonesian Center for Environment Law, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol. 1 Issue 2 Desember 2014, h. 35.

21

Page 29: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

dengan The U.N High Commissioner of Human Rights serta UNDP, personil forum

ini mengadakan advokasi tentang hak masyarakat hukum adat. Pada tahun 2004-

2007 secara proaktif kantor regional UNDP di Bangkok mengadakan kerjasama

dengan dan memberikan dukungan kepada Komnas HAM serta Departemen Sosial

untuk memajukan hak masyarakat hukum adat ini. Suatu terobosan historis terhadap

kebuntuan yang dialami selama berpuluh dalam perjuangan melindungi, mengakui,

dan menghormati hak masyarakat hukum adat ini tercapai sewaktu Sidang Umum

PBB mensahkan U.N. Declaration on the Rights of the Indigenous Peoples, 13

September 2007. Sebagai dokumen non-legally binding, deklarasi tersebut tidak

memerlukan ratifikasi, namun norma-norma yang terkandung didalamnya

bermanfaat sebagai salah satu rujukan hukum internasional yang dapat

dipergunakan untuk membentuk sebuah rancangan undang-undang tentang hak

masyarakat hukum adat.41

Pengakuan negara terhadap masyarakat adat dan hutan adat menurut peraturan

perundang-undangan diantaranya Pasal 41 Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan

“Identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi,

selaras dengan perkembangan zaman.”, UU HAM, UU Kehutanan, dan UU MK.

Dalam sejarahnya, pembahasan UUD 1945 pada sidang-sidang BPUPKI dan PPKI,

hanya Soepomo dan Moehammad Yamin yang mengemukakan pendapat tentang

perlunya mengakui keberadaan hukum adat dalam konstitusi yang akan dibentuk.

Sementara anggota sidang lainnya tidak terlihat secara tegas ada yang memberikan

pemikiran konseptual berkaitan dengan posisi hukum adat dalam negara republik

yang sedang dirancang. Moehammad Yamin menyampaikan kesanggupan dan

kecakapan bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah

sudah muncul beribu-ribu tahun yang lalu. Beliau tidak menjelaskan lebih jauh

konsepsi hak atas tanah yang disinggungnya, melainkan menyatakan bahwa adanya

berbagai macam susunan persekutuan hukum adat itu dapat ditarik beberapa

persamaannya tentang ide perwakilan dalam pemerintahan. Sehingga Moehammad

Yamin menyimpulkan bahwa persekutuan hukum adat itu menjadi basis perwakilan

41 N Siregar, Pengakuan Terhadap Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat Di Indonesia, http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/41551/3/Chapter%20II.pdf, diakses pada 5 November 2015.

22

Page 30: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

dalam pemerintahan republik. Sedangkan Seopomo dengan paham negara

integralistik menyampaikan bahwa

“…Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasarkan atas aliran pikiran (staatsidee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun”.

Lebih lanjut dalam menjelaskan susunan pemerintahan, Soepomo menyampaikan

bahwa:

“hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa harus diperingati juga. Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu ialah pertama daerah kerajaan (kooti), baik di Jawa maupun di luar Jawa, yang dalam bahasa Belanda dinamakan zelfbesturendelanschapen. Kedua, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli, ialah dorfgemeinschaften, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta dan kuria di Tapanuli, gampong di Aceh…. Dihormati dengan menghormati dan memperbaiki susunan asli.”

UUD 1945 tidak memberikan definisi masyarakat hukum adat secara langsung.

Namun demikian, terdapat pasal yang mengakui eksistensi dari masyarakat hukum

adat. Hal ini muncul sejak amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000, yakni

penambahan pada Pasal 18 dan pemunculan bab khusus mengenai Hak Asasi

Manusia. Pengaturan mengenai keberadaan masyarakat hukum adat pada Pasal

18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3). Pasal 18B ayat (2) berada dalam Bab

Pemerintahan Daerah, sedangkan Pasal 28I ayat (3) berada dalam Bab Hak Asasi

Manusia. Berikut bunyi lengkap kedua pasal tersebut: Pasal 18 B ayat (2): Negara

mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta

hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

undang-undang. Pasal 28 I ayat (3): Identitas budaya dan hak masyarakat

tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Dengan

demikian, negara ‘mengakui’ serta ‘menghormati’ eksistensi masyarakat hukum adat

namun dengan catatan 4 (empat) persyaratan yuridis yakni : a) sepanjang masih

ada, b) sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban, c) sesuai dengan

prinsip negara kesatuan republik Indonesia, dan d) diatur dalam undang-undang.

Oleh karena keempat syarat tersebut diatur dalam Undang-Undang Dasar, maka

23

Page 31: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

keempatnya bisa disebut sebagai syarat konstitusional.49 2) Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria (UUPA) Tidak dapat dipungkiri bahwa

UUPA adalah salah satu peletak dasar konsep dan materi pengaturan mengenai

pengakuaan masyarakat hukum adat. Lahirnya UUPA ini disebabkan adanya

dualisme hukum dalam pengaturan hukum tanah nasional, yaitu adanya tanah-tanah

yang tunduk pada hukum Barat dan terdapatnya tanah-tanah yang tunduk pada

hukum adat. Untuk menghilangkan dualisme dalam hukum tanah di Indonesia

tersebut, maka berlaku UUPA sehingga tercipta hukum tanah nasional. Secara

substansial, UUPA dibuat dalam rangka melaksanakan lebih lanjut pasal 33 ayat (3)

UUD 1945. UUPA tidak dihadirkan untuk mengatur mengenai keberadaan

masyarakat hukum adat. Penyebutan masyarakat hukum adat dalam UUPA

berkenaan dengan kedudukannya sebagai subjek yang berhak menerima kuasa dari

Negara dalam rangka melaksanakan hak menguasai negara dan memiliki hak

ulayat. Ketentuan mengenai hal ini akan diatur lebih lanjut dalam sebuah peraturan

pemerintah. Pakar hukum Agraria Universitas Sumatera Utara, Zaidar merumuskan

pengertian Hak ulayat sebagai hak bersama yang sifatnya abadi dan dalam

kedudukannya sebagai “hak penguasaan atas tanah” memberikan kewenangan

kepada anggota-anggotanya untuk berbuat sesuatu atas tanah ulayat yang

bersangkutan. Kewenanangan dalam hal ini juga sekaligus berarti sebagai “tugas”

dari setiap anggota masyarakat hukum adat yang melekat pada hak ulayat , yaitu

untuk mengupayakan agar “tanah ulayat” tersebut dapat berfungsi secara lestari dan

menjadi pendukung kehidupan kelompok masyarakat hukum adat dan para

anggotanya sepanjang zaman. UUPA memegang kuat konsep bahwa pemilik hak

ulayat adalah masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 3 UUPA yang menyebutkan

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”

Dengan demikian, hak ulayat adalah milik masyarakat hukum adat. Pemahaman

serupa juga dianut oleh UUPA dengan mengatakan bahwa masyarakat hukum adat

yang memiliki hak ulayat dilarang untuk menghalang-halangi pemberian hak guna

usaha (HGU) atau menolak pembukaan hutan untuk keperluan penambahan bahan

24

Page 32: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

makanan dan pemindahan penduduk (Penjelasan Umum II angka 3). Dengan

menggunakan konsep tersebut, UUPA sekaligus mengakui keberadaan masyarakat

hukum adat selaku subyek yang memiliki hak ulayat (obyek). Hak ulayat sebagai

obyek tidak mungkin ada tanpa keberadaan masyarakat hukum adat sebagai

subyek. Masih dalam payung hukum UUPA, pengertian masyarakat adat secara

konkrit dituangkan dalam Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 1999

tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat yang

diterbitkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional diatur

bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan

hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena

kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 Tentang Kehutanan Undang-undang Kehutanan juga mengatur

keberadaan masyarakat hukum adat yang tertuang di dalam Pasal 67 ayat (1) yang

menyatakan keberadaan masyarakat hukum adat menurut kenyataannya memenuhi

unsur: a) Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemenschaap); b)

Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasaan adatnya; c) Ada wilayah

hukum adat yang jelas; d) Ada pranata dan perangkat hukum yang khususnya

peradilan adat yang masih ditaati; e) Mengadakan pemungutan hasil hutan di

wilayah hutan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Terdapat

dua hal utama dalam undang-undang ini mengenai masyarakat hukum adat, yakni.

Pertama, bahwa sumber daya hutan dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh ngeara bukan

merupakan kepemilikan, namun negara memberi sejumlah kewenangan kepada

pemerintah, termasuk kewenangan untuk memberikan izin dan hak kepada pihak

lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Hak menguasai negara

membawa konsekuensi dimasukkannya hutan yang dikuasai oleh masyarakat

hukum adat ke dalam hutan negara. Dengan demikian, cakupan hutan negara bukan

hanya hutan yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut UUPA, tetapi juga

mencakup hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat atau yang biasa

disebut dengan hutan adat. Kedua, dimasukkannya hutan negara tidak lantas

meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada

dan diakui keberadaannya, untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hutan.

Namun, masyarakat hukum adat harus terlebih dahulu harus dikukuhkan

keberadaannya lewat peraturan daerah. Pengukuhan tersebut hanya bisa dilakukan

25

Page 33: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

apabila masyarakat hukum adat itu memenuhi 5 (lima) syarat, yakni: a)

masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemeenschap); b) ada

kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c) ada wilayah hukum

adat yang jelas; d) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat,

yang masih ditaati; dan e) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah

hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. 4) Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 Mahkamah Konstitusi sebagai

pemegang kekuasaan kehakiman yang bertugas mengawal konstitusi secara

langsung turut serta dalam penegakan hakhak asasi manusia. Hal ini merupakan

hakikat pengertian dari konstitusi sebagai dokumen politik dan dokumen ekonomi

yang melindungi hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap warga negara

maupun orang yang hidup dalam negara tersebut. Oleh karena fungsi konstitusi

pada essensinya adalah untuk membatasi kekuasaan yang ada dalam skema

ketatanegaraan suatu bangsa dan memformulasikan perlindungan hak-hak dasar

warga negara atau hak-hak asasi manusia secara menyeluruh, maka peran

Mahkamah Konstitusi berkorelasi langsung sebagai aparatur penegak hak asasi

manusia secara menyeluruh. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012

memutuskan perkara konstitusi dalam pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

(AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan

Masyarakat Hukum Adat Kesepuhan Cisitu.42 Selain itu, pengakuan terhadap

masyarakat hukum adat terdapat legal standing dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b UU

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan

UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) berbunyi:

“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu... b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;”.

42 Ibid.

26

Page 34: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Dalam UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kekutanan

terdapat perencanaan kehutanan secara utuh dengan mencantumkan ke dalamnya

pengukuhan kawasan hutan. Namun dalam pelaksanaannya tidak konsisten.

Pembentukan kawasan hutan di beberapa tempat yakni pulau Jawa da Madura serta

beberapa wilayah pulau Sumatera adalah warisan kebijakan kolonial Belanda.

Wilayah lain di luar pulau Jawa dan Madura, kawasan hutan muncul sebagai hasil

dari terbitnya konsensi kehutanan di penghujung tahun 1960-an dan tahun 1970-an.

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 291/Kpts/Um/5/1970 tentang Penetapan Areal

Kerja Pengusahaan Hutan sebagai Kawasan Hutan Produksi menyatakan bahwa

areal konsensi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) langsung ditetapkan sebagai

kawasan hutan produksi, tanpa melalui proses pengukuhan kawasan hutan.43

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan

Kehutanan bahwa menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan, Menteri

kehutanan menetapkan kriteria dan standar pengukuhan kawasan hutan,

selanjutnya gubernur menetapkan pedoman penyelenggaraan penataan batas, lalu

Bupati/Walikota menetapkan pedoman penyelenggaraan penataan batas di

wilayahnya yang diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 32/Kpts-II/2001

tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan. Dalam

perkembangannya, Keputusan Menteri tersebut dicabut dan diganti dengan

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.50/Menhut-II/2011 tentang Pengukuhan

Kawasan Hutan. Selanjutnya Peraturan Menteri itu diganti dengan Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan pada

tanggal 11 Desember 2012.44

Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.32/Menhut-II/2013 tentang

Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan menyebutkan bahwa luas kawasan

hutan yang terdapat di daratan ataupun perairan adalah 130,68 juta hektar atau 68,4

dari luas wilayah daratan Indonesia yang terbagi dalam berbagai macam fungsi

yakni hutan konservasi seluas 26,82 juta hektar, hutan lindung seluas 28,86 juta

43 Myrna A. Safitri, “Hak Menguasai Negara Di Kawasan Hutan: Beberapa Indikator Menilai Pelaksanaannya”, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol. 1 Issue 2 Desember 2014, h. 4.

44 Wahyu Nugroho, “Konsistensi Negara Atas Doktrin Welfare State Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan Oleh Masyarakat Adat”, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 1 Issue 2 Desember 2014, h. 36 dan 37.

27

Page 35: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

hektar, hutan produksi dengan luas 32,6 juta hektar, hutan produksi terbatas dengan

luas 24,46 juta hektar, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 17,94 juta

hektar. Meskipun kawasan hutan yang ditunjuk meliputi areal yang luar, namun pada

kenyataannya hingga tahun 2009, kawasan hutan yang telah ditetapkan hanya

mencapai 11,29% yang menunjukkan hampir 90% kawasan hutan Indonesia pada

saat itu belum berkepastian hukum bahwa kejelasan status kawasan hutan negara

atuakah hutan hak yang didalamnya termasuk pula hutan yang dikuasai oleh

masyarakat hukum adat (hutan adat).45

Ketidakpastian hukum kawasan hutan menimbulkan berbagai persoalan yaitu

lemahnya pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak warga negara

serta kerawanan penyalahgunaan wewenang yang berimplikasi terjadinya korupsi.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa

penunjukan kawasan hutan yang tidak diikuti dengan proses selanjutnya merupakan

tindakan pemerintah yang otoriter. Selain itu, ada ketidakadilan dalam penguasaan

dan pemanfaatan kawasan hutan sehingga terjadi ketimpangan yang memberikan

izin pemanfaatan sumber daya dan kawasan hutan hanya 3% sedangkan 97%

selebihnya diberikan kepada korporasi.46 Dengan demikian, perlunya proses

penataan batas dan pemetaan dikarenakan tumpang-tindih antara kawasan hutan

negara dengan tanah yang terdapat hak-hak masyarakat hukum adat atau hak pihak

ketiga lainnya.

3. Hutan Adat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Terdapat hubungan sejarah yang saling mempengaruhi antara masyarakat setempat

(masyarakat adat) dengan hutan sekelilingnya sebagai salah satu unsur sumber

daya hutan yakni hutan adat secara teratur dan mapan. Masyarakat adat menguasai

hampir seluruh hutan-hutan melalui lembaga-lembaga adat. Pada masa

pemerintahan kolonial Belanda, adat pada daerah-daerah yang tidak dikuasai oleh

Pemerintah Belanda dianggap sah. Setelah kemerdekaan, UUPA mengakui sejarah

adat dengan menghormati wilayah adat sebagai lahan milik. Namun ketika masa

Orde Baru, industri meningkat yang menguntungkan pulau-pulau luar Jawa, negara

45 Myrna A. Safitri, Op. Cit, h. 4 dan 5.

46 Ibid., h. 5 dan 6.

28

Page 36: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

mengklaim hutan adalah miliknya dan praktik adat kehilangan keabsahan

(legitimasi). Sejak berlakunya UU Kehutanan, pemerintah mengakui masyarakat

hukum adat sebagai salah satu unsur eksistensi hutan adat dengan syarat bahwa

masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban, ada institusi lokal yang menangani

hukum adatnya, ada wilayah yang diatur oleh hukum adat, ada pranata dan

perangkat hukum yang keputusannya dipatuhi.47

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya

hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang

satu dengan lainnya tidak dipisahkan (Pasal 1 angka 2 UU Kehutanan). Terkait

hutan, Menteri Kehutanan melalui Penetapan Pemerintah menempatkan kedudukan

yuridis hutan menjadi kuat yakni: (1) setiap orang menjadi hati-hati dan tidak

melakukan tindakan pembabatan, pendudukan, dan atau pengerjaan di kawasan

hutan secara sewenang-wenang; (2) mewajibkan pemerintah yaitu Menteri

Kehutanan untuk melakukan perencanaan, penyediaan, dan pemanfaatan hutan

sesuai dengan fungsi hutan.48 Selain itu, UU Kehutanan menentukan 4 (empat) jenis

hutan yaitu berdasarkan status, fungsi, tujuan khusus, dan pengaturan iklim mikro,

estetika, dan resapan air yang secara komprehensif dapat dilihat pada matrik status

hutan berikut.49 Tabel 1. Perbandingan fungsi dan status hutan

Status Hutan Fungsi Hutan

Hutan Negara Hutan Adat Hutan Hak Hutan Bukan Adat Hutan Konservasi

Hutan dimanfaatkan untuk perlindungan keragaman hayati. Penggunaan lain dimungkinkan kecuali pada cagar alam, zona inti, dan zona rimba pada taman nasional (Pasal 24)

Masyarakat adat dapat memanfaatkan hutan adat yang tujuannya untuk perlindungan dan konservasi sepanjang tidak mengganggu fungsinya dan hukum (Pasal 37)

Pemilik dapat memanfaatkan hutan yang tujuannya untuk perlindungan dan konservasi sepanjang tidak bertentangan dengan fungsi yang sudah ditentukan (Pasal 36)

Hutan Lindung

Hutan lindung dimanfaatkan untuk jasa

Jika diubah menjadi hutan

47 Kurnia Warman (ed). Op. Cit. h. 71.

48 Ibid. h. 64 dan 65.

49 Kurnia Warman (ed.), Nasib Tenurial Adat Kawasan Hutan: Tumpang Tindih Klaim Adat dan Negara pada Aras Lokal di Sumatera Barat, (Jakarta: HuMa Perkumpulan Qbar, 2007), h. h. 68 dan 69.

29

Page 37: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

lingkungan dan hasil pemungutan hasil hutan non kayu (Pasal 28)

negara pemerintah akan memberi kompensasi kepada pemilik (Pasal 36)

Hutan Produksi

Hutan produksi dapat dimanfaatkan untuk jasa lingkungan, pemungutan hasil kayu dan non kayu (Pasal 28)

Masyarakat adat dapat memanfaatkan hutan adat untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (Pasal 67) Masyarakat adat dapat melakukan pemanfaatan yang lain sepanjang tidak bertentangan dengan fungsinya dan hukum (Pasal 37). Jika berhasil hutan diperdagangkan, masyarakat adat diharuskan membayar pajak hutan (Pasal 37).

Pemanfaatan hutan dikelola oleh pemiliknya

Hutan dengan Tujuan Khusus

Hutan dengan tujuan khusus, dapat dimanfaatkan untuk penelitian, pengembangan pendidikan, pelatihan, fungsi keagamaan atau fungsi budaya (Pasal 8)

Hutan dengan tujuan khusus tidak harus merupakan hutan adat tetapi masyarakat adat dapat mengelola hutan dengan tujuan khusus (Pasal 34)

Tidak ditentukan

Hutan Kota Hutan ini termasuk kawasan publik dalam kota yang ditentukan oleh pemerintah (Pasal 9)

Tidak relevan Tidak relevan

Terdapat kesamaan antara bentuk-bentuk pemanfaatan pada hutan adat maupun

pada hutan di luar hutan adat. Hutan adat maupun hutan di luar hutan adat (hutan

non adat) memiliki fungsi yang sama yaitu perlindungan, konservasi, dan produksi

artinya status hutan adat dalam UU Kehutanan memberikan sedikit hak-hak baru

yang perlu dikukuhkan lagi setidaknya dalam peraturan di bawah UU Kehutanan.

Kawasan hutan dengan tujuan khusus (keagamaan, kebudayaan, pendidikan,

maupun penelitian).

Hutan adat lebih mungkin untuk memiliki campuran tanaman (yang ditanam oleh

masyarakat adat) yang lebih banyak dan populasi kehidupan liar yang dimodifikasi

dan dikelola untuk produksi yang lebih beraneka ragam. Jika hutan adat

dipertahankan sebagai hutan negara perlu dilakukan adaptasi besar-besaran

30

Page 38: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

terhadap rezim pengelolaan di masa lalu untuk mengakomodasi kedua sistim yang

sangat berbeda tersebut.50

Dalam Pendapat Mahkamah melalui Putusan MK Nomor 34/PUU-IX/2011 perihal

Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang

diputuskan dalam sidang yang terbuka untuk umum tanggal 16 Juli 2012 terdapat

beberapa pemikiran antara lain.

1. Kewenangan pemerintah untuk menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b UU Kehutanan adalah salah satu bentuk penguasaan negara atas bumi dan air yang dimungkinkan berdasarkan konstitusi dengan ketentuan penetapan kawasan tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dengan memperhatikan hak-hak masyarakat yang terlebih dahulu ada di wilayah tersebut. Apabila dalam wilayah tersebut terdapat hak-hak masyarakat, termasuk hak masyarakat tradisional, hak milik, atau hak-hak lainnya, maka pemerintah berkewajiban untuk melakukan penyelesaian terlebih dahulu secara adil dengan para pemegang hak.

2. Dalam wilayah tertentu dapat saja terdapat hak yang telah dilekatkan atas tanah, seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak-hak lainnya atas tanah yang harus mendapat perlindungan konstitusional berdasarkan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, penguasaan hutan oleh negara harus juga memperhatikan hak-hak yang demikian selain hak masyarakat hukum adat yang telah dimuat dalam Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan.

3. Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan memang belum mencakup norma tentang hak atas tanah yang lainnya yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak memuat pula hak atas tanah yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Sejalan dengan Putusan Mahkamah Nomor 32/PUU-VIII/2010, bertanggal 4 Juni 2012, kata “memperhatikan” dalam Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan haruslah pula dimaknai secara imperatif berupa penegasan bahwa Pemerintah, saat menetapkan wilayah kawasan hutan, berkewajiban menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi kontrol terhadap Pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun [vide Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945]. Oleh karena itu, Pasal 4 ayat (3) UU

50 Ibid., h. 70.

31

Page 39: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”.

Dalam Pendapat Mahkamah melalui Putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2011 perihal

Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi

Undang-Undang, tanggal 21 Februari 2012 menyampaikan pendapat hukumnya

sebagai berikut.

1. Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan menyatakan, “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap” bahwa dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta tindakan berdasarkan freies Ermessen (discretionary powers). Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies Ermessen (discretionary powers). Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan.

2. Tahap-tahap proses penetapan suatu kawasan hutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan sejalan dengan asas negara hukum yang antara lain bahwa pemerintah atau pejabat administrasi negara taat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 15 ayat (2) UU Kehutanan yang menentukan, “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah” menurut Mahkamah ketentuan tersebut antara lain memperhatikan kemungkinan adanya hak-hak perseorangan atau hak pertuanan (ulayat) pada kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut, sehingga jika terjadi keadaan seperti itu maka penataan batas dan pemetaan batas kawasan hutan harus mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain, misalnya masyarakat yang berkepentingan dengan kawasan yang akan ditetapkan sebagai kawasan

32

Page 40: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

hutan tersebut. Karena penetapan kawasan hutan adalah proses akhir dari rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan, maka frasa, “ditunjuk dan atau” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan asas negara hukum, seperti tersebut dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Selain itu frasa “ditunjuk dan atau” tidak sinkron dengan Pasal 15 UU Kehutanan. Dengan demikian ketidaksinkronan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menentukan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Dalam Pendapat Mahkamah melalui Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 perihal

Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tanggal 16

Mei 2013 antara lain.

1. Dalam ketentuan konstitusional sebagai dasar-dasar pengaturan dalam rangka pengalokasian sumber-sumber kehidupan bangsa untuk kesejahteraan, termasuk di dalamnya sumber daya alam, seperti hutan, terdapat hal penting dan fundamental. Pertama, penguasaan negara terhadap cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Kedua, penguasaan negara terhadap bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ketiga, penguasaan negara terhadap sumber daya tersebut, termasuk di dalamnya sumber daya alam, dimaksudkan supaya negara dapat mengatur dalam rangka pengelolaan terhadap sumber daya kehidupan tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik rakyat secara individual maupun rakyat sebagai anggota masyarakat hukum adat;

2. UU Kehutanan memperlakukan masyarakat hukum adat yang secara konstitusional sebagai subjek hukum terkait dengan hutan berbeda dengan subjek hukum yang lain, dalam hal ini terkait dengan kategorisasi hutan yang di dalamnya terdapat hubungan hukum antara subjek hukum dengan hutan. Ada tiga subjek hukum yang diatur dalam UU Kehutanan, yakni negara, masyarakat hukum adat, dan pemegang hak atas tanah yang di atasnya terdapat hutan. Negara menguasai baik atas tanah maupun atas hutan. Pemegang hak atas tanah dimaksud juga memegang hak atas hutan, tetapi masyarakat hukum adat tidak secara jelas pengaturan tentang haknya atas tanah maupun hutan;

3. Dengan perlakuan berbeda tersebut masyarakat hukum adat secara potensial, atau bahkan dalam kasus-kasus tertentu secara faktual, kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam untuk kehidupannya, termasuk hak tradisionalnya, sehingga masyarakat hukum adat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari hutan sebagai sumbernya. Bahkan acapkali hilangnya hak-hak masyarakat hukum adat dimaksud dengan cara sewenangwenang, sehingga tidak jarang menyebabkan terjadinya konflik yang melibatkan masyarakat dan pemegang hak;

4. Masyarakat hukum adat berada dalam posisi yang lemah karena tidak diakuinya hak-hak mereka secara jelas dan tegas ketika berhadapan dengan negara

33

Page 41: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

dengan hak menguasai yang sangat kuat. Seharusnya penguasaan negara atas hutan dipergunakan untuk mengalokasikan sumber daya alam secara adil demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

5. Keberadaan hutan adat dalam kesatuannya dengan wilayah hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat adalah konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai (living law). Hal tersebut berlangsung setidak-tidaknya sejak zaman Hindia Belanda hingga sekarang. Selain termaktub di dalam UUD 1945, pengakuan terhadap 171 kesatuan masyarakat hukum adat pasca-perubahan UUD 1945 [vide Pasal 18B ayat (2)] juga tersebar diberbagai Undang-Undang selain UU Kehutanan.

6. Penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus juga memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak masyarakat adat serta hak-hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan dijamin oleh konstitusi, misalnya hak akses untuk melintas, hak atas lingkungan yang sehat dan lain-lain (vide Putusan Mahkamah Nomor 3/PUUVIII/2010 bertanggal 16 Juni 2011, paragraf [3.14.4]).

7. Baik hutan negara maupun hutan hak menurut konstruksi yang diderivasi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dikuasai oleh negara. Hak menguasai dari negara meliputi semua tanah tanpa ada yang terkecuali; Hutan adat dalam kenyataannya berada dalam wilayah hak ulayat. Dalam wilayah hak ulayat terdapat bagian-bagian tanah yang bukan hutan yang dapat berupa ladang penggembalaan, kuburan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan umum, dan tanah-tanah yang dimiliki secara perseorangan yang berfungsi memenuhi kebutuhan perseorangan. Keberadaan hak perseorangan tidak bersifat mutlak, sewaktu-waktu haknya dapat menipis dan menebal. Jika semakin menipis dan lenyap akhirnya kembali menjadi kepunyaan bersama. Hubungan antara hak perseorangan dengan hak ulayat bersifat lentur. Hak pengelolaan hutan adat berada pada masyarakat hukum adat, namun jika dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat jatuh kepada Pemerintah [vide Pasal 5 ayat (4) UU Kehutanan]. Wewenang hak ulayat dibatasi seberapa jauh isi dari wewenang hak perseorangan, sedangkan wewenang negara dibatasi sejauh isi dan wewenang hak ulayat. Dengan cara demikian, tidak ada tumpang tindih (kejumbuhan) antara wewenang negara dan wewenang hak masyarakat hukum adat yang berkenaan dengan hutan. Negara hanya mempunyai wewenang secara tidak langsung terhadap hutan adat;

8. Tidak dimungkinkan hak yang dipunyai oleh warga masyarakat hukum adat tersebut ditiadakan atau dibekukan sepanjang memenuhi syarat dalam cakupan pengertian kesatuan masyarakat hukum adat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

9. Hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi dua yaitu hutan negara dan hutan hak. Adapun hutan hak dibedakan antara hutan adat dan hutan

34

Page 42: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

perseorangan/badan hukum. Ketiga status hutan tersebut pada tingkatan yang tertinggi seluruhnya dikuasai oleh Negara.

10. Menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum adat.

11. penguasaan hutan oleh negara harus juga memperhatikan hak-hak selain hak masyarakat hukum adat yang telah dimuat dalam norma UU Kehutanan.

12. Sejalan dengan maksud Putusan Mahkamah Nomor 32/PUUVIII/2010, bertanggal 4 Juni 2012, kata “memperhatikan” dalam Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan haruslah pula dimaknai secara imperatif berupa penegasan bahwa Pemerintah, saat menetapkan wilayah kawasan hutan, berkewajiban menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi kontrol terhadap Pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun [vide Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945]. Oleh karena itu, Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Penguasaan hutan oleh negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUUIX/2011 paragraf [3.16.2]);

13. Berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 34/PUUIX/2011 menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, penguasaan hutan oleh negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-IX/2011 bertanggal 16 Juli 2012, paragraf [3.16.2]);

14. karena pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat hukum adat cepat atau lambat juga akan mengalami perubahan, bahkan lenyap sifat dan tanda-tandanya. Perubahan tersebut dapat berdampak positif maupun negatif bagi masyarakat yang bersangkutan. Untuk mencegah terjadinya dampak negatif, UUD 1945 memerintahkan keberadaan dan perlindungan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat supaya diatur dalam Undang-Undang, agar dengan demikian menjamin adanya kepastian hukum yang berkeadilan.

15. Keberadaan masyarakat hukum adat demikian tidak sesuai dengan prinsip tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jikapun ada kebebasan, hal tersebut telah diatur pembatasannya dalam Undang-Undang tentang otonomi daerah serta Undang-Undang lainnya dan masih dalam bingkai dan cakupan Negara Kesatuan

35

Page 43: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Republik Indonesia. Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

16. Terhadap hutan negara, sebagai konsekuensi penguasaan negara terhadap hutan, negara dapat memberikan pengelolaan kepada desa untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat desa, dan hutan negara dapat juga dimanfaatkan bagi pemberdayaan masyarakat.

17. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan. Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa. Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat disebut hutan kemasyarakatan. Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat;”

18. hutan hak harus dimaknai bahwa hutan hak terdiri dari hutan adat dan hutan perseorangan/badan hukum. Dengan demikian, hutan adat termasuk dalam kategori hutan hak, bukan hutan negara;

19. Terkait pengujian konstitusionalitas Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan mengenai frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional” bahwa apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi maka hak pengelolaan hutan adat adalah tepat untuk dikembalikan kepada Pemerintah, dan status hutan adat pun beralih menjadi hutan negara.

20. Keberadaan masyarakat hukum adat, fungsi dan status hutan (adat), penguasaan hutan, mensyaratkan sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya. Pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah, merupakan delegasi wewenang yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang diatur dalam undang-undang.

21. Dalam rangka mengisi kekosongan hukum guna menjamin adanya kepastian hukum, pengaturan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat dibenarkan sepanjang peraturan tersebut menjamin kepastian hukum yang berkeadilan. Dalam menetapkan batas wilayah hutan negara dan hutan adat tidak dapat ditetapkan secara sepihak oleh negara tetapi berdasarkan Putusan Mahkamah Nomor 34/PUU-IX/2011 tanggal 16 Juli 2012 yang harus melibatkan pemangku kepentingan (stake holders) di wilayah yang bersangkutan.

Dengan demikian, nampak untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bahwa

konsep hutan mengalami perubahan karena dinamika dalam masyarakat bahwa

keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya diantaranya hak atas

36

Page 44: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

hutan adat ada sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

37

Page 45: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

BAB III KEBIJAKAN HUKUM NASIONAL

PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Masyarakat adat yang meliputi 70 juta penduduk Indonesia mendiami berbagai

wilayah di Indonesia termasuk hutan-hutan adat yang berjumlah mencapai 40 juta

hektar. Masyarakat adat merupakan potensi nasional yang besar dalam menjaga

hutan-hutan Indonesia dari deforestasi dan pemberdayaan ekonomi berbasis

masyarakat yang ramah lingkungan yaitu yang biasa disebut green

economy dan blue economy. Terkait dengan hak masyarakat adat untuk mengelola

hutan adat, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan MK Nomor 35/PUU-

X/2012.

Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 merupakan salah satu putusan monumental

yang tidak hanya sekedar mengubah konsep penguasaan tanah di Indonesia.

Sebelum putusan tersebut, ada pemisahan administrasi pertanahan antara yang ada

didalam kawasan hutan dan yang diluar kawasan hutan. Didalam hutan sepenuhnya

kekuasaan negara sehingga tidak mungkin hak masyarakat didalamnya. Putusan

MK menghapus garis demarkasi anatara apa yang ada didalam dan diluat kawasan

hutan. Sehingga yang didalam kawasan hutan pun terdapat hak penguasaan baik

hak ulayat maupun hak atas tanah. Hal tersebut merupakan capaian penting

terhadap konsep penguasaan tanah di Indonesia. Pada bab ketiga penelitian ini,

kami hendak menelaah bagaimana implementasinya setelah hampir tiga tahun

putusan ini dibuat. Bab ini terbagi atas tiga sub bab yang mengkaji mengenai

bagaimana kebijakan hukum pada periode pemerintahan Susilo Bambang

Yudhoyono (2012-2014), kebijakan hukum pada periode pemerintahan Joko WIdodo

(2014-sekarang), dan identifikasi Persoalan dalam Penyusunan Kebijakan Hukum

dalam Pemisahan Hutan Adat dari Hutan Negara

A. Kebijakan Hukum pada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2012-2014)

38

Page 46: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebulan setelah putusan MK 35

menyatakan dalam lokakarya internasional mengenai hutan hujan tropis

menyatakan bahwa hal yang bisa dilaksanakan dalam putusan MK ini adalah

dengan mendaftar kan hak hak masyarakat adat. Pidato Presiden pada pembukaan

International Workshop on Tropical Forest Alliance 2020, 20 Juni 2013

menyatakan:51

“…recently the Indonesian Constitutional Court has decided that customary forest, or hutan adat, is not part of the state forest zone. This decision marks an important step towards a full recognition of land and resources rights of adat community and forest--‐dependent communities. This will also enable Indonesia’s shift toward sustainable growth with equity in its forests and peatlands sector.I am personally committed to initiating a process that registers and recognizes the collective ownership of adat territories in Indonesia. This is a critical first step in the implementation process of the Constitutional Court’s decision.”

Pernyataan Presiden SBY ini mengesankan sebuah respon positif, meskipun

demikian dalam kenyataannya komitmen mendukung pendaftaran dan pengakuan

hak masyarakat hukum adat itu belum terwujud. Presiden, misalnya, tidak

mengeluarkan instruksi apapun kepada Kementeria/Lembaga terkait untuk

menjalankan pendaftaran dan pengakuan tersebut.

Sebulan sebelum berakhirnya pemerintahan SBY, Wakil Presiden meluncurkan

program nasional pemerintah pengakuan pemerintah terhadap masyarakat adat,

program tersebut ditandai deklarasi 8 menteri dan Lembaga Negara.Program

nasional ini diluncurkan secara resmi oleh Wakil Presiden RI, Boediono, dan

deklarasi ditandatangani beberapa menteri dan kepala badan antara lain, Agung

Laksono, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat; Amir Syamsuddin, Menteri

Hukum dan HAM. Lalu Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan; Bahltasar Kambuaya,

Menteri Lingkungan Hidup; Hendarman Supandji selaku kepala BPN, dan Heru

51 Myrna A. Safitri, “Kembali ke Daerah: Sebuah Pendekatan Realistik untuk Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU‐X/2012”, Makalah disampaikan pada Diskusi memperingati setahun Putusan MK No. 35/PUUX/2012, diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantar (AMAN) dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Jakarta, 13 Mei 2014.

39

Page 47: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Prasetyo, kepala Badan Pengelola REDD+. Abdon Nababan, sekretaris jenderal

AMAN, dan beberapa tokoh adat ikut menyaksikan penandatanganan deklarasi ini.52

Deklarasi peluncuran program nasional pengukuhan dan perlindungan hak

masyarakat adat yang ditandatangani pimpinan sembilan lembaga nasional,

menyepakati hal-hal berikut:53

1. Mengembangkan kapasitas dan membuka ruang partisipasi masyarakat hukum adat dalam pelaksanaan berbagai program dan kegiatan pemerintahan termasuk namun tidak terbatas dalam program REDD+2. Mendukung percepatan terwujudnya sinkronisasi dan harmonisasi perundang-undangan terkait perlindungan dan pengakuan masyarakat hukum adat

2. Mendorong terwujudnya peraturan perundang‐undangan yang menjadi landasan hukum bagi pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat (MHA), namun tidak terbatas pada RUU PPMHA dan RUU Pertanahan melalui peran aktif pemerintah dalam proses penyusunan

3. Mendorong penetapan peraturan daerah untuk pendataan keberadaan MHA beserta wilayahnya

4. Mengupayakan penyelesaian konflik terkait dengan keberadaan MHA 5. Melaksanakan pemetaan dan penataan terhadap penguasaan, kepemilikan,

penggunaan dan pemanfaatan tanah yang terintegrasi dan berkeadilan serta memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat termasuk MHA

6. Memperkuat kapasitas kelembagaan dan kewenangan berbagai pihak dalam mendukung pengakuan dan perlindungan MHA di pusat dan daerah

7. Mendukung pelaksanaan program REDD+ sebagai salah satu upaya mengembangkan partisipasi MHA secara hakiki dalam kerangka negara Indonesia.

Produk hukum yang dibuat oleh pemerintah SBY pertama kali setelah Putusan MK

35 adalah Surat Edaran Menteri Kehutanan No. SE.1/Menhut--‐II/2013. Surat

Edaran Menteri Kehutanan tersebut diterbitkan tepat dua bulan setelah Putusan MK

35, Surat Edaran ini ditujukan kepada Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepada Dinas

yang membidangan urusan kehutanan. Surat Edaran ini menjelaskan kembali amar

putusan dan pendapat MK dalam perkara pengujian konstitusionalitas pasal--‐pasal

dalam UU No. 41 Tahun 1999 terkait hutan adat dan masyarakat hukum adat.

Namun, secara eksplisit Surat Edaran ini menegaskan bahwa: “hutan adat itu harus

52 “Jalan Panjang dan Berliku RUU PPMHA”, diunduh melalui http://www.aman.or.id/2014/09/03/jalan-panjang-dan-berliku-ruu-ppmha/ pada tanggal 21 Agustus 2015

53Ibid.

40

Page 48: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, dengan syarat keberadaan masyarakat hukum

adat terlebih dahulu ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.

Pada tahun 2004, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Edaran No. S.75/Menhut-

-‐II/2004 tentang Masalah Hukum Adat dan Tuntutan Kompensasi/Ganti rugi oleh

Masyarakat Hukum Adat. Surat Edaran ini menyebutkan Peraturan Daerah yang

dimaksud adalah Peraturan Daerah Provinsi. Surat Edaran ini belum dicabut meski

telah menimbulkan berbagai kritik, terutama ketika menjadikan Perda Provinsi

sebagai basis pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat. Surat Edaran ini

bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri/Kepala Badan Pertanahan

Nasional (BPN) No. 5 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa Perda pengakuan hak

ulayat adalah Perda Kabupaten.

Dengan menjelaskan sejumlah kelemahan dari Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999,

saya ingin menegaskan bahwa pernyataan Menteri Kehutanan dalam Surat Edaran

No. SE.1/Menhut--‐II/2013 untuk menjadikan Pasal 67 ini sebagai rujukan hanyalah

melestarikan kekeliruan berpikir yang juga bertentangan dengan UUD 1945.

Peraturan berikutnya yang diterbitkan pada masa pemerintahan SBY adalah

Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 62/Menhut--‐II/2013 tentang Perubahan Atas

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut--‐ Ii/2012 tentang Pengukuhan

Kawasan Hutan. Peraturan ini secara eksplisit menyatakan tujuannya untuk

menjalankan Putusan MK 35. Masyarakat hukum adat didefinisikan oleh Peraturan

Menteri Kehutanan (Permenhut) ini sebagai sekelompok orang yang terikat oleh

tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena

kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

Sedangkan Wilayah Masyarakat hukum adat adalah tempat berlangsungnya hidup

dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang

letak dan batasnya jelas serta dikukuhkan dengan Peraturan Daerah.Hal

kontroversial dari Permenhut ini adalah Pasal 24A yang menyatakan:54

1. Keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota.

2. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat letak dan batas wilayah masyarakat hukum adat yang dinyatakan secara jelas dalam peta wilayah masyarakat hukum adat.

54Myrna Safitri, Op. Cit.

41

Page 49: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

3. Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah masyarakat hukum adat berada dalam kawasan hutan, dikeluarkan dari kawasan hutan.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengeluarkan wilayah masyarakat hukum adat dari Kawasan Hutan, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Kemudian Peraturan ini juga menyatakan “Terhadap wilayah masyarakat hukum

adat yang berada dalam kawasan hutan sesuai Peraturan Daerah Provinsi atau

Kabupaten/Kota, maka wilayah masyarakat hukum adat dikeluarkan keberadaannya

dari kawasan hutan” (Pasal 57 Ayat (2)).Dengan menyebutkan bahwa wilayah adat

yang berada dalam kawasan hutan dikeluarkan dari kawasan hutan maka Peraturan

Menteri ini telah bertentangan dengan Putusan MK 35. Putusan MK tidak

menyatakan bahwa kawasan hutan hanya berupa hutan negara. Di dalamnya

terdapat hutan hak yang terdiri dari hutan adat dan hutan perorangan/badan hukum.

Persoalan lain dari Permenhut ini adalah sebagaimana disampaikan oleh AMAN

yakni pengingkaran terhadap status masyarakat hukum adat sebagaisubjek hukum

dengan membuat definisi mengenai hak-hak phak ketiga dan inventarisasi dan

identifikasi hak‐hak pihak ketiga tanpa menyebutkan hak masyarakat hukum adat.

Selain Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri juga mengeluarkan Surat Edaran

Menteri Dalam Negeri No. 522/8900/SJ tanggal 20 Desember 2013 tentang

Pemetaan Sosial Masyarakat Hukum Adat. Surat Edaran ini menyatakan diri

sebagai pelaksana Putusan MK 35. Menariknya, dengan Surat ini Menteri Dalam

Negeri mengusulkan definisi baru mengenai tanah ulayat.

Tanah adat -yang dipersamakan oleh surat ini dengan tanah ulayat- disebutkan sebagai bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu; tanah ulayat termasuk tanah kerajaan, kraton maupun kesultanan (Sultan Ground).

Dimasukkannya tanah kerajaan ke dalam kategori tanah ulayat mempunyai implikasi

serius terhadap cara pandang Mendagri mengenai masyarakat hukum adat. SE ini

secara tidak langsung menyatakan bahwa kesultanan, kerajaan dan sebagainya itu

termasuk ke dalam kategori masyarakat hukum adat yang memegang hak atas

tanah ulayat. Tentu saja hal ini meresahkan karena penjelasan Pasal 18 UUD 1945

sebelum amandemen, secara tegas menyebutkan adanya dua kategori berbeda

mengenai pemerintahan asli di Republik Indonesia. Keduanya adalah

"Zelfbesturende landschappen" dan “Volksgemeenschappen”.55 Masyarakat hukum

55 Ibid.

42

Page 50: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

adat termasuk ke dalam kategori yang kedua. Penjelasan Pasal 18 UUD 1945

menyebutkan contoh volksgemeenschappen itu adalah nagari di Minangkabau,

dusun dan marga di Palembang. Sementara zelfbesturende landschappen adalah

pemerintahan swapraja yaitu suatu pemerintahan pribumi yang memperoleh

otonominya karena sejumlah perjanjian dengan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Di tengah upaya memperjuangkan pengakuan dan perlindungan terhadap

masyarakat hukum adat dan wilayah adat, dimana tanah--‐tanah komunal yang

disebut tanah ulayat itu berada, maka SE Mendagri ini jelas suatu langkah mundur.

Surat ini bersifat kontradiktif dengan misi UUPA untuk membentuk hukum agraria

yang bersih dari anasir feodalisme.

Pada penghujung kekuasaannya, pemerintahan SBY menerbitkan Undang-Undang

No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang--‐undang ini mengatur secara khusus

mengenai desa adat. Perdebatan yang muncul terkait UU ini adalah: apakah

lahirnya UU ini akan mendistraksi atau menguatkan pengauan masyarajat hukum

adat? Pertanyaan ini agak sulit dijawab karena rumusan pasal--‐pasal dalam UU No.

6 Tahun 2014 ini serta penjelasannya menimbulkan banyak tafsir. Sebagai contoh

adalah Pasal 97 Ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa penetapan desa adat

dilakukan jika memenuhii salah satu kriteria yakni:56

“kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional”. Di sini kita bisa melihat bahwa kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat territorial, genealogis, dan fungsional dapat menjadi desa adat. Namun, dalam penjelasan umum UU No. 6 Tahun 2014 disebutkan bahwa Desa Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul. UU No. 6 Tahun 2014 menyatakan tidak mengatur seluruh tipologi masyarakat hukum adat. UU ini hanya mengatur kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara genealogis dan teritorial.

Desa adat pada prinsipnya sebuah pilihan. Masyarakat hukum adat dapat memilih

apakah bentuk pemerintahannya akan dijadikan desa adat atau tidak. Menekankan

pada pilihan di sini penting karena Pasal 106 Ayat (1) UU No. 6 Tahun 2014

menyatakan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan

56 Lihat Pasal 97 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

43

Page 51: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

penugasan kepada Desa Adat untuk penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat,

pelaksanaan Pembangunan Desa Adat, pembinaan kemasyarakatan Desa Adat,

dan pemberdayaan masyarakat Desa Adat. Meskipun disebutkan ada biaya pada

penugasan yang diberikan ini tetapi penugasan ini sejatinya penambahan beban

kerja bagi desa adat karena selain mengurus adat, desa adat juga menjalankan

tugas-tugas pemerintahan desa pada umumnya.

Peraturan terakhir yang dibuat dalam kepemimpinan SBY terkait dengan hutan adat

adalah Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri

Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 79 Tahun 2014

tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada Di Dalam

Kawasan Hutan. Peraturan tersebut mengatakan bahwa dalam rangka penyelesaian

hak ulayat dan penguasaan tanah yang berada di dalam kawasan hutan di daerah,

Bupati/Walikota membentuk Tim IP4T yang terdiri dari Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota, Unsur Dinas Kabupaten/Kota yang menangani urusan di bidang

kehutanan, Unsur Balai Pemantapan Kawasan Hutan, Unsur Dinas/Badan

Kabupaten/Kota yang menangani urusan di bidang tata ruang, Camat dan Lurah

setempat.57

Tim ini yang nantinya akan melakukan penerimaan dan verifikasi permohonan

kemudian melakukan analisa data yuridis serta data fisik bidang-bidang tanah yang

berada dalam kawasan hutan. Hasil dari analisis tersebut, Tim IP4T menerbitkan

rekomendasi dengan melampirkan Peta IP4T non kadastral dan surat pernyataan

penguasaaan fisik bidang tanah yang ditandatangani oleh masing-masing pemohon

serta salinan bukti penguasaan tanah lainnya.58

B. Kebijakan Hukum pada Pemerintahan Joko Widodo (2014 – sekarang)

Setelah bergantinya pemerintahan dari pemerintahan SBY kepada Jokowi, Presiden

Joko Widodo menemui Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) membahas

57 Lihat Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 79 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada Di Dalam Kawasan Hutan.

58 Lihat Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 79 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada Di Dalam Kawasan Hutan.

44

Page 52: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

putusan Mahkamah Konstitusi yang mengakui hutan adat untuk dikelola masyarakat

yang menempatinya.59

Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menegaskan komitmennya untuk

melindungi Masyarakat Adat ketika menyampaikan Pidato perdana Kenegaraan

Presiden RI dalam rangka HUT ke-70 Proklamasi Kemerdekaan. Ini kali pertama

Presiden RI menegaskan pernyataan melindungi Masyarakat Adat dalam sidang

bersama DPD dan DPR RI.60

“Pemerintah juga berkomitmen untuk melindungi masyarakat adat yang menghadapi konflik agraria, menurunkan emisi karbon dengan menghentikan kebakaran hutan, mengelola hutan secara lestari,”

Sebelumnya Presiden telah melakukan audiensi dengan AMAN untuk memulai

rekonsiliasi antara negara dan masyarakat adat pada Kamis, 25 Juni 2015, di Istana

Merdeka, Jakarta. Hal Ini dilakukan karena selama bertahun-tahun masyarakat adat

menjadi korban dalam konflik-konflik agraria, diusir dari wilayah-wilayah mereka

yang dijadikan kawasan-kawasan usaha. Ketika anggota-anggota masyarakat adat

berusaha menuntut haknya, mereka mengalami kriminalisasi. AMAN mencatat

setidaknya ada 150 anggota masyarakat adat yang dikriminalisasi dengan diajukan

ke pengadilan, dipenjara.

Saat acara audensi tersebut Presiden menyatakan mengetahui dan mengakui

adanya berbagai konflik agraria yang ada dan kriminalisasi terhadap masyarakat

adat. Presiden telah menyetujui usulan-usulan AMAN yaitu perlunya percepatan

Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat

Adat (RUU PPHMA) dan pembentukan Satgas Masyarakat.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya saat menyampaikan

pidato sambutan mewakili Presiden Jokowi di perayaan Hari Internasional

Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) minggu 9 Agustus, mengatakan jangan ada

59 “Presiden-Aliansi Masyarakat Adat Nusantara bahas hutan adat”, diunduh melalui http://www.antaranews.com/berita/503552/presiden-aliansi-masyarakat-adat-nusantara-bahas-hutan-adat

60 “Tanggapan terhadap Pidato Kenegaraan Presiden: Presiden Jokowi Tegaskan Komitmen Lindungi Masyarakat Adat”, diunduh melalui http://www.aman.or.id/2015/08/17/tanggapan-terhadap-pidato-kenegaraan-presiden-presiden-jokowi-tegaskan-komitmen-lindungi-masyarakat-adat/

45

Page 53: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

sedikit pun yang meragukan political will Presiden Jokowi terhadap Masyarakat

Adat. Saat ini pemerintahan Jokowi sedang mencari formulasi yang tepat untuk

pembentukan Satgas. Sejak diterbitkan putusan MK 35 sudah ada 124 produk

hukum daerah mengenai masyarakat adat yang ditetapkan oleh daerah namun yang

telah legal menjadi hutan adat baru 15.577 hektare. Hutan adat yang telah kuat

dasar hukumnya adalah hutan adat yang terletak di daerah Jambi dan memang

telah diproses pengakuan keberadaan hutan adat tersebut justru sebelum adanya

Putusan MK No. 35.

Pada 26 Agustus 2015, Epistema Institute mengeluarkan policy brief bertajuk

“Analisis Tren Produk Hukum Daerah Mengenai Masyarakat Adat”. Epistema

Institute mendata produk hukum daerah yang dikeluarkan sejak tahun 1979 hingga

Mei 2015, di mana ada 124 aturan mengenai masyarakat adat.Sebanyak 28 di

antaranya merupakan produk hukum daerah pada tingkat provinsi dan 96 berada

pada level kabupaten/kota. Di Kalimantan ada 40 produk hukum, di Maluku-Papua

ada 12, Sulawesi ada 9, dan di Jawa-Bali-Nusa Tenggara ada 7 produk hukum

daerah.61

Provinsi yang paling banyak mengeluarkan produk hukum daerah mengenai

masyarakat adat adalah Aceh sebanyak 12, kemudian Papua 4, Sumatera Barat 3,

serta Kalimantan Tengah dan Maluku masing-masing mengeluarkan 2 produk

hukum. Adapun pada tingkat kabupaten/kota tersebar di 44 kabupaten/kota, dengan

kabupaten/kota yang paling banyak mengeluarkan produk hukum daerah mengenai

masyarakat adat adalah Kabupaten Kerinci (8), Kabupaten Bungo (5), Kabupaten

Merangin (5), Kabupaten Sarolangun (5), dan Kabupaten Bulungan (5).

Dari sisi materi muatan atau isi produk hukum daerah, ada lima klasifikasi. Pertama,

kelembagaan adat, peradilan adat, dan hukum adat; kedua, wilayah, tanah, hutan

adat, dan sumber daya alam lainnya; ketiga, keberadaan masyarakat hukum adat;

keempat, desa adat; kelima, kelembagaan pelaksanaan produk hukum daerah

mengenai adat.

Dari lima klasifikasi tersebut, klasifikasi pertama (kelembagaan adat, peradilan adat,

dan hukum adat) paling banyak dikeluarkan, yaitu 51 produk hukum dengan 43 di

antaranya mengenai kelembagaan adat. Lalu ada tujuh produk hukum daerah

61 Malik, Yance Arizona, dan Mumu Muhajir, “Analisis tren produk hukum daerah mengenai Masyarakat Adat”, Policy Brief Epistema Institute Vol. 01/2015, hal. 2

46

Page 54: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

mengenai peradilan adat, seperti yang dijumpai di Provinsi Sulawesi Tengah, Aceh,

Kalimantan Tengah, dan Papua.

Pemerintah daerah memainkan peranan penting untuk mengakui keberadaan dan

hak tradisional masyarakat adat. Jauh sebelum Mahkamah Konstitusi mengeluarkan

Putusannya No. 35/PUU-X/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara dan

memperkuat tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengakui

masyarakat adat, sejumlah pemerintah daerah telah mengeluarkan produk hukum

daerah mengenai pengakuan masyarakat adat. Di bawah ini adalah tabel produk

hukum daerah berdasarkan provinsi/kabupaten dan kota.62 Tabel 2. Produk hukum daerah mengenai pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat

berdasarkan daerah provinsi, kabupaten/kota63

No. Nama Provinsi Tingkat Provinsi/Kabupaten Jumlah

1. NAD Provinsi NAD (12) 12

2. Sumatera Utara Toba Samosir (1) 1

3. Sumatera Barat Provinsi Sumbar (3), Lima puluh Kota (1) Agam (1) dan Solok Selatan (1) 6

4. Jambi Provinsi Jambi (1), Bungo (5) Kerinci (8), Sarolangun (5) dan Merangin (2) 21

5. Riau Provinsi Riau (1), Kampar (1) 2

6. Bangka Belitung Provinsi Bangka Belitung (1), Belitung (1) 2

7. Sumatera Selatan Muara Enim (2) 2

8. Bengkulu Rejang Lebong (2) 2

9. Lampung Way Kanan (1), Lampung Barat (4), Lampung Utara (1), Lampung Timur (1) dan Lampung Tengah (1)

8

10. Banten Lebak (4) 4

11. Jawa Timur Mojokerto (1), Bangkalan (1) 2

12. Bali Provinsi Bali (1) 1

13. Kaltim & Kaltara Malinau (13), Nunukan (3), Pasir (1), 24

62 Ibid., hal, 2

63 Database produk hukum daerah, Epistema Institute 2015.

47

Page 55: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Bulungan (5) dan Kutai Barat (2)

14. Kalimantan Selatan Kota Baru (1), Hulu sungai selatan (1) dan Hulu Sungai Utara (1) 3

15. Kalimantan Barat Kapuas Hulu (3), Sambas (1), Melawi (1) dan Sanggau (1) 6

16. Kalimantan Tengah Provinsi Kalteng (2), Barito Selatan (3), Barito Utara (1), Seruyan (1) 7

17. Sulawesi Tengah Provinsi Sulteng (1), Morowali (1) Donggala (1) dan Sigi (2) 5

18. Sulawesi Selatan Luwu Utara (2), Maros (1) dan Jeneponto (1) 4

19. Papua Provinsi Papua (4) Jayapura (5), Mimka (1) 8

20. Maluku dan Maluku Utara

Provinsi Maluku (2), Maluku Tenggara (1) dan halmahera Utara (1) 4

TOTAL 124

Di bawah ini adalah grafik perkembangan produk hukum daerah berdasarkan tahun

dan bentuk hukum dari berbagai provinsi di Indonesia.64

Diagram 1. Rekapitulasi Perkembangan Produk Hukum Daerah

Berdasarkan periode keberlakuan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan UU No.

23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (2014-Juni 2015) baru terdapat 11

produk hukum daerah. Meskipun jumlahnya belum signifikan, namun periode ini

secara intensitas cukup produktif karena dalam kurun waktu 1,5 tahun telah

menghasilkan 11 produk hukum daerah, tahun 2014 terdapat 6 dan Juni 2015

64Ibid.,hal. 3

48

Page 56: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

terdapat 5 produk hukum daerah. Sementara itu juga banyak daerah sedang

mempersiapkan produk hukum daerah untuk merespons keberlakuan dua undang-

undang tersebut.

Daerah yang paling banyak mengeluarkan penetapan mengenai hutan adat adalah

kabupaten di Provinsi Jambi dengan jumlah 10.475,15 hektar. Lebih rinci antara lain

Kabupaten Kerinci dengan delapan SK Bupati untuk 1.820,56 hektar hutan adat,

Kabupaten Sarolangun dengan lima SK Bupati untuk 3.292,90 hektar hutan adat,

Kabupaten Merangin dengan empat SK Bupati untuk 2.021,00 hektar hutan adat,

dan Kabupaten Bungo dengan tiga SK Bupati untuk 3.340,69 hektar hutan adat.

Namun Perda ini dibuat sebelum Putusan MK Nomor 35 diputus oleh Mahkamah

Kostitusi.

Selain Peraturan Daerah tersebut, Pemerintah Pusat juga membuat Peraturan

Menteri Agrari dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun

2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum

Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu (Permen ATR).

Dengan dicabutnya Permenag 5/1999 oleh Permen ATR 9/2015, maka pengaturan

yang ada dalam Permanag 5/1999 tidak berlaku lagi. Namun secara substansi,

Permenag 9/2015 masih menggunakan kriteria-kriteria keberadaan masyarakat

hukum adat, prosedur penetapan masyarakat hukum adat sebagai subjek hak dan

penetapan haknya. Prosedur penetapan masyarakat hukum adat sebagai subjek

hak tidak lagi menggunakan penelitian oleh Pemerintah Daerah, namun melalui

lembaga kepanitiaan adhoc, yaitu; Iventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan

dan Pemanfaatan Tanah (IP4T).

IP4T dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten/kota dan atau Provinsi yang terdiri dari

unsur BPN, Dinas Kehutanan, Akademisi, LSM dan Perwakilan Masyarakat Hukum

Adat bersangkutan. IP4T bertugas untuk melaksanakan identifikasi, verifikasi dan

pemeriksaan lapangan yang bertujuan untuk menghasilkan laporan tentang

keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subjek hak, data fisik dan yuridis

penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat, termasuk batas-batas wilayahnya.

Selanjutnya, Bupati/Walikota dan atau Gubernur menetapkan hak komunal

masyarakat hukum adat tersebut, yang selanjutnya disampaikan kepada kantor BPN

setempat untuk didaftarkan hak atas tanahnya.

Namun terdapat beberapa permasalahan dalam Permen ini. Seharusnya, dalam

kesatuan masyarakat hukum adat maka otomatis ada melekat hak ulakyat,

49

Page 57: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

sementara di permen hanya mengatur soal hak komunal. Dalam konteks hak ulayat

konsepsinya lebih jelas karena memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial

dan kepentingan umum itu melekat. Yang jadi soal di hak komunal adalah soal

kewenangan pengelolaan yang tidak dijelaskan di dalam permenag Nomor 9 Tahun

2015. Permen No.9/2015 dapat memiliki peluang ketika ada hak-hak komunal yang

non masyarakat adat yang berada di wilayah kawasan hutan mau wilayahnya

menjadi penetapan tanah komunal.

Permen ATR 9/15 mengatur subjek hak komunal bukan hanya untuk masyarakat

hukum adat, namun juga berlaku bagi masyarakat lain, yang dalam Permen ATR

9/15 mengistilahkannya dengan masyarakat pada kawasan tertentu, yaitu

masyarakat yang berada di kawasan hutan atau perkebunan. Masyarakat hukum

adat sendiri dijabarkan sebagai masyarakat yang terikat dengan hukum adat, baik

secara geneologis (persamaan garis keturunan) maupun teritorial (kesamaan tempat

tinggal).65

Dengan kata lain, masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang mempunyai

ikatan sosial-kultural dengan tanah dan sumber daya alamnya sejak lama.

Sedangkan masyarakat pada kawasan tertentu adalah masyarakat yang menguasai

tanah selama 10 tahun yang bergantung pada hasil hutan dan sumber daya alam

serta ada kegiatan sosial-ekonomi yang terintegrasi dalam kehidupan masyarakat

tersebut. Disparitas subjek hak komunal dalam Permen ATR 9/15 ini kontroversial,

karena menyamakan basis lahirnya hak komunal yang sosial-kultural (geneologis

dan atau teritorial) dengan basis penguasaan tanah pada kurun waktu tertentu.

Akibatnya, Permen ATR 9/15 potensial memunculkan persoalan hukum, yaitu saling

tumpang tindih antara masyarakat hukum adat dengan masyarakat yang berada

pada kawasan tertentu pada objek yang sama.

C. Identifikasi Persoalan dalam Penyusunan Kebijakan Hukum dalam Pemisahan Hutan Adat dari Hutan Negara

Sejak adanya putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, belum banyak pemerintah

daerah yang mengimplementasikannya di lapangan. Bahkan kriminalisasi terhadap

65 Nurul Firmansyah, “Menyoal Subjek Hak Komunal” diunduh melalui http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5600f0bbb9b64/menyoal-subjek-hak-komunal-broleh--nurul-firmansyah- padatanggal 2 September 2015

50

Page 58: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

masyarakat adat bahkan masih kerap terjadi. Dalam nawacita jokowi, pemerintah

menyatakan penting untuk memasukkan dalam peraturan perundang undangan

mengacu pada Putusan MK no 35 tersebut. Dengan begitu sebenarnya pemerintah

terlah berkomitmen untuk melaksanakan putusan no 35 tersebut. Namun dari 40 juta

hektar kawasan hutan adat hanya 5000 hektar tanah adat dari suku Badui dan 10

ribu hektar dari Jambi. Kedua wilayah adat tersebut justru diakui sebelum adanya

putusan MK.

Wilayah adat suku Baduy ditetapkan jauh sebelum putusan MK dengan dorongan

dari Menteri Witoelar dan Presiden Abdurrahman Wahid, melalui sejumlah proses

perancangan, konsultasi dan perundingan, pada tanggal 13 Agustus 2001 DPRD

Kabupaten menyetujui Perda No. 32 Tahun 2001 tentang perlindungan Hak Ulayat

Masyarakat Baduy. Perda ini dengan demikian menjadi yang pertama di dalam

jenisnya di Indonesia.

Implementasi dari Putusan MK Nomor 35 terhambat di lapangan karena banyak

dipengaruhi oleh dalam regulasi pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Desa

mensyaratkan pengakuan keberadaan masyarakat adat harus dengan Paraturan

daerah, namun didalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014

Tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat,

pengakuan keberadaan masyarakat adat hanya dengan keputusan kepala daerah.66

Sebagian kepala daerah lebih memilih keputusan kepala daerah. namun ketika

mereka memilih menggunakan keputusan kepala daerah tidak diterima oleh

Kementerian Kehutanan.67

Selain pada Permendagri dan Peraturan Menteri Kehutanan, alas hukum pengenai

penetapan hutan adat juga diatur dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN

Nomor 9 Tahun 2015. Penetapan hak komunal oleh Gubernur dan Bupati/Walikota

dalam Permenag 9/2015 tidak dijelaskan secara tertulis menggunakan Perda dan

atau Surat Keputusan Kepala Daerah. Namun dalam praktek hukum, penetapan

objek tertentu oleh Kepala Daerah melalui Surat Keputusan Kepala Daerah, maka

66 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Pasal 6 ayat (2) Bupati/walikota melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan Kepala Daerah.

67 Hasil Wawancara dengan Myrna Safitri Phd, Direktur Eksekutif Epistema Institute

51

Page 59: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

bisa ditafsir bahwa penetapan hak komunal tersebut dilaksanakan melalui Surat

Keputusan Kepala Daerah. Artinya, penetapan masyarakat hukum adat oleh Perda

dan atau Surat Keputusan Kepala Daerah dalam pelbagai peraturan perundang-

undangan yang ada tidak lagi menjadi prasyarat untuk penetapan hak masyarakat

hukum adat dalam konteks hak komunal, sehingga Penetapan hak komunal

sekaligus penetapan masyarakat hukum adat sebagai subjek haknya secara

bersamaan.

Dalam situasi ini seharusnya terdapat ketegasan, dimana ketika memang tidak

dapat dengen keputusan kepala daerah menggunakan pemerintah harus mencabut

Permendagri. Pemerintah pusat juga dapat membuat keputusan yang dapat di ikuti

oleh seluruh instansi pemerintah atau dari kementerian kehutanan tidak

mempermasalahkan bentuk dari peraturan yang diberikan oleh masyarakat adat

dalam melakukan klaim wilayahnya. Namun menurut Direktur Eksekutif Epistema

Institute tidak ada upaya untuk menyelesaikan persoalan ini. Kementerian

Kehutanan berjalan dengen peraturannya dan Kemendagri berjalan dengan

peraturannya.

Menurut Myrna Safitri dalam konteks hutan adat di Jambi, Pemerintah Daerah tidak

mempermasalahkan siapa yang menjadi masyarakat adat di dalamnya karena

masyarakat adat di Jambi cukup berbaur dengan suku yang lain. Namun kebijakan

nasional mensyaratkan bentuk asli masyarakat adat. Namun konsep kebijakan

nasional mengenai bentuk masyarakat adat yang meliputi beberapa syarat yang

bersifat kumulatifdan banyak sebenarnya masyarakat adat asli yang tidak memenuhi

persyaratan inikarena secara faktual bentuk masyarakat adat sudah tidak sama lagi

dengan masyarakat adat jaman kolonial. Kecuali yang merupakan program

pemerintah guna melestarikan masyarakat adat seperti yang terjadi di Kalimantan.68

Prosedur penetapan masyarakat hukum adat sebagai subjek hak, baik itu dalam

bentuk desa adat maupun masyarakat hukum adat melalui Peraturan Daerah dan

atau Surat Keputusan Kepala Daerah menggunakan mekanisme yang beragam.

Aturan peralihan Permenag 9/2015 mengakomodasi keberagaman mekanisme

penetapan tersebut, dengan memastikan penetapan masyarakat hukum adat dan

hak-haknya yang sudah ada maupun yang sedang berproses diakui, sehingga hak-

68Ibid.

52

Page 60: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

hak masyarakat adat tersebut dapat ditetapkan sebagai hak komunal. Dengan

pembatasan penetapan hak masyarakat hukum adat hanya pada hak komunal yang

bersifat privat tersebut, maka hak ulayat, seperti halnya ulayat nagari yang ada

dalam Perda Tanah Ulayat di Sumatera Barat mengalami ketidakpastian hukum.

Sehingga yang paling memungkinkan adalah merubah status nagari sebagai desa

adat yang memasukkan ulayat nagari sebagai aset nagari sebagai desa adat.

Permasalahan yang lebih mendasar lagi selain dari tumpang tindih peraturan

dibawah undang-undang adalah ketidaksamaan penafsiran konsep mengenai

masyarakat adat yang tertera secara kumulatif dalam Pasal 67 Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Legalitas keberadaan masyarakat hukum

adat masih memerlukan perangkat hukum di tingkat daerah, yaitu Peraturan Daerah

dan Surat Keputusan Kepala Daerah. Sehingga peran pemda untuk menetapkan

masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum melalui Perda dan atau Surat

Keputusan Kepala Daerah menjadi elemen utama untuk penetapan hutan adat.

Keberatan yang lain adalah terkait dengan pandangan stereotip bahwa masyarakat

hukum adat hanya menjalankan aktivitas pemanfaatan sumber daya guna

memenuhi kebutuhan subsistennya. Dengan menggunakan kriteria ini maka UU No.

41 Tahun 1999 menampakan dukungan pada upaya konservasi masyarakat hukum

adat. Dalam hal ini, Penjelasan Pasal 67 Ayat(1) bertentangan dengan Pasal 28C

Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan hak setiap orang untuk memajukan dirinya

dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,

bangsa, dan negaranya.

Pasal 67 Ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 kemudian menyebutkan bahwa

pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan

Peraturan Daerah. Dalam Penjelasan Pasal 67 Ayat (2) disebutkan bahwa Peraturan

Daerah tersebut disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar

hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di

daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.

Sejak pemerintahan SBY sampai dengan Jokowi, pusat membuat konsep tim yang

mengkaji mengenai keberadaan masyarakat adat. Namun seperti apapun bentuk

timnya tidak akan berjalan efektif ketika tidak bekerja dengan konsep yang jelas

mengenai masyarakat adat. Sebelum ini juga terdapat Peraturan Menteri mengenai

pendataan hak ulayat yang berujung dengan dibentuknya tim khusus, namun dalam

53

Page 61: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

melakukan tugasnya tim yang terdiri dari akademisi tersebut dalam penelitiannya

dapat dengan mudah mengatakan tidak ada masyarakat adat didalam daerah Banyu

Biru.69 Sebab peneliti tersebut mempunyai background hukum dimana memandang

masyarakat adat yang ada berdasarkan hukum positif. Hal ini memiliki kontradiksi

layaknya masyarakat asing yang mendatangi suatu daerah dengan kadar

keilmuannya dalam waktu singkat menyatakan bahwa ada atau tidaknya suatu

komunitas. Pembentukan suatu tim memang penting, namun harus bekerja dengan

suatu konsep baku yang jelas untuk mendefinisikan masyarakat adat.

Dalam konsep masyarakat adat yang ada lahan dan sumber daya, ada masyarakat

yang memiliki konsep wilayah yang jelas misal masyarakat jawa dan konsep

masyarakat ladang berpindah. Masing-masing konsep masyarakat adat memiliki

konsep klaim tanah yang berbeda, namun pada intinya tetap memiliki batasan

wilayah dengan masyarakat daerah lainnya. Dan ketika mereka melanggar batas

tersebut juga akan dipandang melanggar batasan daerah lainnya. Pada masyarakat

berburu dan meramu atau masyarakat rimba tidak konsep batasan wilayahnya tidak

dapat dengan jelas. Yang penting bagi mereka adalah menemukan sumber daya

untuk melanjutkan hidup.

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat adat tersebut memiliki beberapa

konsep penguasaan yakni: penguasaan individu, penguasaan komunal dan pada

konsep masyarakat adat ketiga tersebut belum dipetakan secara jelas konsep

kewilayahan. Belumada upaya serius yang dilakukan untuk mendapatkan

pemecahan persoalan ini. Namun harus segera diputuskan apakah mereka

diberikan hak penguasaan, ketika diberikan apakah hak tersebut diserahkan kepada

individu, komunitas, ataupun keluarga. Ataupun bisa jadi negara menganggap dalam

konsep untuk wilayah seperti ini masyarakat adat tidak memiliki konsep

penguasaan, namun sekaligus negara menjamin konsep keamanan mereka dengan

menyediaaknan mereka tempat untuk hidup.

Beberapa inisiatif penyusunan Perda tengah dilakukan. Sejumlah Perda telah terbit

sebelum Putusan MK 35. Namun keberadaan Perda-perda itu belum secara sigifikan

menghasilkan perubahan. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan hal ini terjadi.

Pertama, sifat Perda sebagian besar adalah Perda yang mengatur mengenai

69 Ibid.

54

Page 62: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

masyarakat hukum adat, hak atau wilayahnya. Kedua, sangat jarang ditemukan

Perda yang berisikan pengukuhan atau penetapan keberadaan masyarakat hukum

adat dan wilayahnya dengan disertai peta yang jelas. Ketiga, kelembagaan

pelaksana Perda di daerah bukan lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi yang

relevan.70

Beberapa hal yang perlu disiapkan oleh pemerintah daerah. Pertama adalah jenis

Perda yang perlu disiapkan. Pemerintah Daerah Kabupaten atau Provinsi perlu

memiliki Peraturan Daerah yang bersifat pengaturan dan penetapan untuk

pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, hak dan wilayahnya. Ada tiga opsi

yang dapat dipilih:71

1. Penyusunan Perda Provinsi untuk tata cara pengakuan masyarakat hukum adat

sebagai panduan bagi penyusunan Perda Kabupaten untuk penetapan

masyarakat hukum adat dan wilayahnya; atau

2. Penyusunan Perda Kabupaten untuk pengaturan dan Perda Kabupaten untuk

penetapan; atau

3. Penyusunan Perda pengaturan dan penetapan sekaligus dalam satu Perda

Kabupaten.

Kedua, terkait dengan pemetaan wilayah adat, maka terdapat empat opsi

pengaturan:

1. Pemetaan seluruh wilayah adat secara serentak di tingkat Kabupaten kemudian

membuat Perda Kabupaten tentang penetapan seluruh masyarakat hukum adat

dan wilayahnya dengan lampiran peta yang sudah ada; atau

2. Pemetaan wilayah adat secara parsial di tingkat Kabupaten kemudian membuat

Perda Kabupaten tentang penetapan satu atau beberapa masyarakat hukum

adat dan wilayahnya dengan lampiran peta yang sudah ada; atau

3. Pemetaan dilakukan bersamaan dengan penyusunan naskah akademis

Ranperda Kabupaten; atau

70 Myrna Safitri, Op.Cit., Hal. 5

71 Myrna Safitri, M. A. 2013. “Hukum Adat dan Konflik Pertanahan: Pengakuan Hak, bukan manipulasi Hukum Adat”. Makalah pada Lokakarya Penyelesaian Konflik Pertanahan Masyarakat Hukum Adat, dari Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Konflik dan Sengketa Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, 3 September 2013.

55

Page 63: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

4. Pemetaan dilakukan setelah Perda penetapan disahkan, dengan syarat

disebutkan dalam Perda bahwa pemetaan akan dilakukan dalam jangka waktu

tertentu dan disahkan dengan Keputusan Bupati/Walikota.

Ketiga, terkait dengan perlindungan terhadap wilayah adat, ada dua opsi

pengaturan:

1. Perda hanya menyatakan bahwa wilayah adat menjadi rujukan penataan ruang;

atau

2. Perda menyebutkan fungsi ruang bagi wilayah adat dalam Rencana Tata Ruang

Wilayah Kabupaten (RTRWK), misalnya sebagai kawasan perdesaan atau

kawasan strategis sosial‐budaya.

Keempat, terkait dengan pengaturan hutan adat, ada dua opsi pengaturan:

1. Perda hanya menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan dalam wilayah adat;

atau

2. Perda menyatakan bahwa hutan adat dapat berada di dalam atau di luar

kawasan hutan

Kelima, terkait dengan kelembagaan yang mengurus masyarakat hukum adat di

daerah, ada tiga opsi:

1. Perda menyerahkan pengurusan pada Satuan Kerja Pemerintahan Daerah

(SKPD) yang ada, dengan tugas dan fungsi pada umumnya;

2. Perda membentuk lembaga baru bersifat multipihak;

3. Perda membentuk lembaga khusus di bawah Bupati yang berisikan pihak-pihak

independen.

56

Page 64: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

BAB IV

STUDI KASUS PEMISAHAN HUTAN NEGARA DAN HUTAN ADAT DI KABUPATEN LEBAK (MASYARAKAT KASEPUHAN)

Kabupaten Lebak memiliki profil yang menarik dalam meneliti mengenai

perkembangan mengenai pemisahan hutan negara dan hutan adat seiring

diterbitkannya putusan 35/PUU-X/2012. Pertama, di Kabupaten Lebak terdapat

sejumlah beberapa komunitas masyarakat adat, yaitu masyarakat Baduy (Kanekes)

dan masyarakat kasepuhan. Kedua, Kabupaten Lebak termasuk daerah yang aktif

dalam upaya pengakuan keberadaan masyarakat adat melalui penerbitan kebijakan-

kebijakan pemerintah baik berupa peraturan daerah maupun melalui surat

keputusan bahkan sebelum adanya putusan-putusan MK, misalnya (i) Perda nomor

32 tahun 2001 tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Adat Baduy; (ii) SK

Bupati Lebak nomor 430/Kep.298/Disdikbud/2013 tentang Pengakuan Keberadaan

Masyarakat Adat di Wilayah Kesatuan Adat Banten Kidul di Kabupaten Lebak.

Ketiga, Kabupaten Lebak, terutama masyarakat adat kasepuhan, memiliki sejarah

panjang dalam hal konflik tenurial untuk pengelolaan hutan dan tanahterlebih

dengan adanya penetapan Taman Nasional Gunung Halimun. Terakhir, Kabupaten

Lebak merupakan daerah yang berada dalam garis depan dalam upaya pemisahan

hutan negara dan hutan adat melalui penerbitan peraturan daerah, meskipun dalam

proses penelitian ini, rancangan peraturan daerah tersebut belum disahkan namun

naskah akademis dan rancangan peraturan daerah telah disusun.

A. Asal Usul Masyarakat Kasepuhan

Nama kasepuhan yang diberikan kepada kelompok sosial ini relatif baru, dan juga

hanya nama sebutan dari orang luar terhadap kelompok sosial ini. Sebutan

kasepuhan bagi masyarakat sunda adalah universal, berasal dari kata sepuh (tua),

dari kata tersebut muncul pengertian sesepuh, yaitu orang yang di-tua-kan. Dalam

bahasa Sunda, kata sepuh berarti 'kolot' atau 'tua' dalam bahasa Indonesia.

Berdasarkan pengertian ini, muncullah istilah kasepuhan, yaitu tempat tinggal para

sesepuh. Sebutan kasepuhan ini pun menunjukkan model sistem kepemimpinan

dari suatu komunitas atau masyarakat yang berasaskan adat kebiasaan para orang

tua (sepuh atau kolot). Kasepuhan berarti 'adat kebiasaan tua' atau 'adat

57

Page 65: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

kebiasaan nenek moyang'.72 Nama kasepuhan hanya merupakan istilah atau

sebutan orang luar terhadap kelompok sosial ini yang pada masa lalu kelompok ini

menamakan dirinya dengan istilah keturunan Pancer Pangawinan. Pancer berarti

lulugu atau asal usul, sementara pangawinan berarti ngawin yaitu membawa

tombak dalam upacara perkawinan.73 Pancer memiliki arti akar utama yang yang

tumbuh sedangkan pangawinan adalah mengawinkan antara bumi dengan

langit/semesta, manusia dengan kemanusiaannya, dan mengawinkan raga dengan

hati, yang ghaib dengan lahir, ucap dan lampah atau tingkah laku. Keselarasan ini

merupakan sebuah cerminan relasi langit dan bumi karena menurut kepercayaan

mereka. Upacara perkawinan pun dipandang sebagai menyatunya manusia

dengan tanah yang menghidupinya. Sekalipun ada keterikatan terhadap tanah,

namun masyarakat Kasepuhan tidak bersikeras untuk menjadikan tanah sebagai

kepemilikan. Bagi mereka pengakuan atas tanah adalah adanya akses untuk

mengolah tanah tersebut.74

Kisah mengenai sejarah masyarakat kasepuhan bukanlah hal yang mudah

ditelusuri. Masyarakat kasepuhan telah berkembang sehingga terdiri dari beberapa

kasepuhan yang mendiami beberapa desa. Bila merujuk pada catatan resmi yang

dilakukan oleh Rimbawan Muda Indonesia (RMI) pada tahun 2015, terdapat 65

kasepuhan anggota Kesatuan Banten Kidul (SABAKI) yang hidupnya bergantung

pada sumberdaya alam, dimana 57 kasepuhan diantaranya terdapat di Kabupaten

Lebak, 6 kasepuhan di Kabupaten Bogor dan 3 kasepuhan di Kabupaten Sukabumi.

Selain itu, masyarakat kasepuhan lekat dengan tradisi lisan yang menyiratkan kisah-

kisah leluhur dan asal mula mereka. Para pimpinan kasepuhan, terutama, memiliki

kemahiran dalam mengutip pantun, syair dan pepatah yang memberikan keindahan

bentuk narasi dan argumentasi. Kemahiran ini menjadi sangat berguna ketika

mereka berpidato atau menyampaikan pokok-pokok pikiran berkait dengan nilai-nilai

72 Danasasmita, Saleh & Djatisunda, Anis, 1986, Kehidupan Masyarakat Kenekes, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Depdikbud, Bandung.

73 Ibid

74Adimihardja, K. 1989. Manusia Sunda dan Lingkungannya: Suatu Kajian Mengenai Kehidupan Sosiobudaya dan Ekologi Komuniti Kasepuhan Desa Sirnarasa Jawa Barat Indonesia. Thesis Ph.D. Tidak dipublikasikan. Fakulti Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan. University Kebangsaan Malaysia. Bangi.

58

Page 66: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

kearifan dan filosofi masyarakat kasepuhan, dan termasuk juga kutipan-kutipan

tentang warisan nenek-moyang berkait dengan aturan-aturan adat yang didalamnya

termasuk tentang bagaimana menentukan batas-batas diantara kasepuhan yang

tinggal di wilayah Gunung Halimun.Masing-masing kasepuhan memiliki cerita

sejarah sendiri-sendiri yang menjelaskan bagaimana parapemukim awal membentuk

komunitas tempat mereka tinggal sekarang. Uraian sejarah tentang bagaimana asal-

usul tersebut dalam kaitan ini telahdisampaikan dalam nilai budaya setempat dalam

konstruksi tatali paranti karuhun atau kesetiaan mengikuti arahan nenek-moyang.

Prinsip seperti ini yang menjadi dasar bagaimana bangunan konstruksi makna

mengenai asal-usul nenek-moyang mereka dibentuk dan penafsiran sejarah

dikaitkan dengan organisasi sosial bagaimana masyarakat kasepuhan yang tinggal

di wilayah Halimun. Penduduk masing-masing kasepuhan umumnya tidak mampu

mengingat dan menjelaskan kembali bagaimana rangkaian silsilah mereka dengan

leluhur-leluhur pertama yang menetap di wilayah tersebut.

Soal bagaimana masyarakat kasepuhan sampai tinggal dan menetap di wilayah

Halimun, terdapat tiga ragam tafsiran yang memberi penjelasan tentang asal-usul

dan riwayat sejarahnya. Tafsiran pertama menyebutkan bahwa masyarakat ini

kemungkinan berasal dari sisa-sisa pasukan atau laskar kerajaan Sunda Pajajaran

dalam era akhir kekuasaan Sri Baduga Maharaja (1482-1521) setelah kekalahan

mereka menghadapi serangan kesultanan Banten. Para pelarian tersebut kemudian

bermukim di wilayah bagian selatan Halimun yang dalam waktu tersebut merupakan

kawasan yang sulit dijangkau dan memberi perlindungan alamiah bagi para

pemukim baru tersebut. Kedua adalah penafsiran yang menyebutkan bahwa mereka

adalah sisa-sisa keturunan dari pasukan Mataram yang setelah serangan mereka

yang gagal terhadap kekuasaan VOC di Batavia pada tahun 1684. Setelah upaya

serangan yang gagal, laskar pasukan tersebut tidak kembali lagi ke wilayah asal

mereka dan memilih untuk menetap di tempat-tempat dalam wilayah Jawa Barat.

Kisah seperti ini memiliki kaitan dengan penjelasan tentang berkembangnya

pertanian sawah irigasi yang merupakan adaptasi dari sistem pertanian yang telah

berkembang di wilayah Jawa Tengah. Penafsiran ketiga menyebutkan bahwa

59

Page 67: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

mereka adalah keturunan dari pelarian faksi keluarga kerajaan kesultanan Banten

sebagai akibat dinamika konflik internal di dalam tubuh kerajaan.75

Pada dasarnya, masyarakat kasepuhan merupakan adalah kelompok pendatang

dari wilayah dan masyarakat yang menjadi pusat kerajaan pra-kolonial di wilayah

Jawa Barat. Hal ini juga didukung dengan aturan tempat tinggal dan

bangunanrumah tinggal penduduk kasepuhan mendapatkan kaitan kesejarahannya

terhadap obilitas penduduk yang terus bergerak mencari lahan pertanian dan

pemukiman baru dan juga kewaspadaan menghadapi kemungkinan serangan.

Mengutip dokumentasi sebuah pantun Bogor berjudul ‘Dadap Malang Sisi Cimandiri’

yang disampaikan juru pantun Ki Baju Rembeng pada tahun 1908, Adimiharja

memberikan penghargaan terhadap bentuk pantun tersebut yang memberikan

penjelasan tentang asal-usul masyarakat yang melarikan diri:76 Urang kucapkeun bae:

Anu tiluan narindak deui

Unggah gunung, turun gunung,

unggahna lempeng ka kidul

Nya anjog ka puncek nu luhur!

Nyi Putri:

Gunung Naon ieu teh

Mana panjang-panjang teuing

Ti kulon ngebat ka wetan

Teu pegat-pegat nyambung ngaruntuy

Ceuk Rakean:

Gunung Kendeng,

Dikisahkan:

Ketiga orang itu berjalan terus

Naik gunung, turun gunung

Naik terus menuju ke arah selatan

Hingga sampailah ke puncak tertinggi!

Nyi Putri bertanya:

Gunung apakah ini

Begitu panjang,

Dari barat sampai ke timur

Beruntun tidak terputus

Kata Rakean:

Gunung Kendeng

75 Hanafi, I. Ramdhaniaty, N., Nurjaman, B, 2004. Nyoreang Alam Ka Tukang, Nyawang Anu Bakal Datang. Penelusuran Pergulatan di Kawasan Halimun, Jawa Barat-Banten. Cetakan Pertama. Publikasi RMI. Bogor, h. 38-40

76 Adimihardja, 1992 sebagaimana dikutip dalam Andi Achdian, Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo: Kajian Terhadap Siasat dan Politik Budaya Masyarakat Kasepuhan dalam Pertarungan Sumberdaya di Kawasan Konservasi Halimun Salak, Jawa Barat & Banten, Tesis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011, h. 48

60

Page 68: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Sabab ngendengan sapanjang jagat!

Ari bagian-bagianna

Nu raruhur jaradi gunung,

Sewang-sewang baroga ngaran.

Tuh, anu di kulon awun-awunan,

Eta teh Gunung Halimun

Anu di wetan lapat-lapat

Gunung Salak jeung Pangrango

Tapi

Naeun di ditu teh

Jiga urung pangrereban,

Laju ku iyana diilikan.

Takean atoh jasa,

Sabab tetela:

Urut ngarereb batur-batur nu ti heula

Nu marundur nuturkeun Raja...

Ceuk inyana:

Hayu Guewat!

Urang susul

Laju nyarusul

Sebab memanjang sepanjang jagat!

Dan bagian-bagiannya

Di antara gunung-gunung itu

Memiliki masing-masing nama

Nah, itu di sebelah barat

Bernama gunung Halimun

Itu yang disebelah selatan

Gunung Salak dan Pangrango

Tapi,

Apakah itu

Seperti bekas pengistirahatan

Lalu dilihat olehnya

Rakean sangat gembira

Sebab sangat jelas:

Bekas pengistirahatan kawan terdahulu

Yang mundur mengikuti Raja...

Kata Rakean:

Ayo segera,

Mari kita susul

Kemudian mereka menyusul

Salah satu contoh versi penelusuran asal usul sejarah yang “resmi” adalah untuk

masyarakat kasepuhan Cisitu. Yang dimaksudkan dengan “resmi” adalah dengan

merujuk pada penetapan narasi sejarah tersebut dalam pengakuan formal melalui

SK Bupati Lebak nomor 430/Kep.298/Disdikbud/2013 yang memberi status

kasepuhan tersebut sebagai masyarakat adat. Dalam runutan sejarah resmi itu

dikisahkan bahwa asal-usulpenduduk kasepuhan cisitu berasal dari keturunan Mbah

Eyang Maharaja Ratu Hajiyang bersama para pengikutnya membangun pemukiman

awal di wilayah ekosistem Halimun-Salak. Disini tidak ada penjelasan tentang kapan

periode Ratu Haji dan para pengikutnya mulai menetap di wilayah yang sekarang

bernama Desa Cisungsang (yang juga merupakan satu kesatuan adat kasepuhan

Cisungsang disebelah selatan kasepuhan Cisitu). Selain itu, juga sulit untuk

61

Page 69: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

menentukanapakah Ratu Haji adalah sosok historis atau sebuah rekaan

kontemporer terhadapleluhur yang pernah adat. Tetapi arti terpenting dari sosok

Ratu Haji ini dalamnarasi sejarah yang dibentuk adalah ia menjadi sosok

penghubung komunitas kasepuhan tersebut dengan garis keturunan keluarga-

keluarga kerajaan Pakuan diJawa Barat pada abad 16 dan 17. Ratu Haji diceritakan

memiliki delapan orang putra yang dalam perkembangan waktu masing-masing

membangun wilayah kasepuhan tersendiri seperti CiptaGelar, Cisungsang, Cisitu,

Citorek, Bayah, Cicarucub dan Ciherang. Dari keterangan ini terdapat sebuah

paralelisme sejarah dalam analisis tentang pemecahan kasepuhan Sirna Resmi di

Cisolok yang kemudian menjadi tiga kasepuhan berbeda di Cisolok, Sukabumi. Ratu

Haji sendiri dalam suatu waktu memutuskanuntuk berpindah membuka pemukiman

baru, yang menjadi kasepuhan Cisitusekarang ini, dan menyerahkan kepemimpinan

di kasepuhan Cisungsang kepadasalah satu putranya, uyut Sailun. Berdasarkan

cerita seperti ini kasepuhan Cisitumemiliki klaim sebagai keturunan langsung pendiri

pertama masyarakat kasepuhan yang berada di wilayah kecamatan Cibeber,

kabupaten Lebak. Setelah Ratu Haji meninggal, ia mewariskan kepemimpinan

kasepuhan di Cisitu kepada Olot Harumanjaya yang lebih dikenal dengan sebutan

Uyut Janggot. Dalam kaitan ini, para pemimpin di kasepuhan Cisitu sekarang adalah

keturunan langsung Ratu Haji dan diteruskan oleh Uyut Jenggot. Sebagai keturunan

langsung Ratu Haji, maka kasepuhan Cisitu menyandang sebutan sebagai

kelompok kasepuhan yang termasuk sebagai Pangawinan Guru Cucuk Pangutas

Jalan, yang bermakna sebagai orang tua pembuka jalan dan perintis ke depan.

Konsekuensi dari garis keturunan sejarah ini menjadikan kasepuhan Cisitu sebagai

yang dituakan di antara kasepuhan lainnya, dan menjadi kelompok kasepuhan yang

memberi restu dan ijin terhadap kegiatan-kegiatan ritual adat dari kasepuhan

lainnya.

Contoh versi sejarah “resmi” mengenai asal usul kasepuhan adalah yang dimuat

dalam naskah akademis raperda tentang Kasepuhan yang menceritakan asal usul

kasepuhan. Dikisahkan bahwa di Banten Kidul pada terbagi kedalam tujuh garis

keturunan, diantaranya Somang, Bongbang, Sajira, Parungkujang, Parahyang,

Menes dan Binuangeun. Dan disebutkan bahwa keturunan yang kedelapan

merupakan keturunan yang disebut ”sang membuat”, yakni Pangawinan. Sedangkan

pancer Mandiri memiliki garis keturunan langsung dari Jasinga. Secara khusus

62

Page 70: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

mengenai sejarah Pancer Pangawinan ini akan dibahas secara singkat dibawah ini.

Pada waktu jayanya kerajaan Pajajaran Tengah (Bogor), yang diperintah oleh raja

Kandahyang atau Galuh Wening Brama Sakti atau yang sering disebut Prabu

Siliwangi. Dalam struktur organisasi pemerintahan kerajaan tersebut, terdapat suatu

kelompok yang bertugas mengawal raja (pameger raja) yang disebut Bareusan

Pangawinan. Yang menjadi anggota kelompok ini terdiri dari orang-orang yang

mempunyai jabatan tinggi, seperti bupati, camat, patih, puun, guru alas. Yang

kesemua anggota harus mempunyai kriteria antara lain punya pengaruh, kesaktian

dan punya banyak pengalaman. Dalam kelompok tersebut terdapat 3 orang tokoh

yaitu Demang Haur Tangtu, Guru Alas Lutang Kendengan dan Puun Buluh

Penunjang. Dari folklore yang pernah berkembang, diceritakan bahwa mereka

ditugaskan oleh rajanya untuk membawa suatu pohon ajimat. Pada saat itu, di

kerajaan Pajajaran sedang diserang oleh kerajaan Banten. Pohon ajimat itu

diselamatkan oleh ketiga tokoh tersebut. Ketiga tokoh tersebut ikut mundur dari

Pakuan (ibu kota Pajajaran) dengan rombongan raja sampai ke pesisir selatan

Sukabumi, di daerah yang disebut Tegal Buled. Setelah itu raja membagi-bagi

rombongan yang ingin menentukan nasibnya masing-masing, tetapi ketiga orang itu

ingin kembali ke kaler (utara), atau ke dayeuh (kota) yang digambarkan dalam

folklore ungkapan Prabu Siliwangi77

Duwuh Eyang Prabu

Geura ieu darengekeun

Nu tetep milu jeung ngaing

misah ka belah kidul

Nu hayang baralik deui

ka dayeuh nu ditinggalkeun

Geura marisah ka belah kaler

Ari nu rek kumawula

ka nu keur jaya geura marisah

parindah ka belah wetan

Nu mawa karep sorangan

Perintah eyang Prabu

Coba dengarkan ini

Yang tetap ikut denganku

Memisahkan diri kesebelah selatan

Yang ingin kembali lagi

Kekota yang ditinggalkan

Coba berpisah ke utara

Siapa yang mau setia

Kepada yang (mau) jaya (coba) pisah

pindah kesebelah timur

Yang (ingin) membawa diri sendiri

77Ibid, h. 36

63

Page 71: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Marisah ka belah kulon Berpisah kesebelah barat

Dengan membawa pohon tersebut, lalu ditanam dan mereka mengambil bibitnya

masing-masing. Ketiga orang tersebut berpisah, salah seorang diantaranya, yaitu Ki

Demang Haur Tangtu ke daerah Guradog, yang sekarang ini lokasinya terletak

diantara Jasinga dan Rangkasbitung. Dan turunan Ki Demang ini beranak-cucu yang

ada di Citorek, Bayah. Menurut dugaan cikal-bakal berkembangannya kelompok

sosial kasepuhan ini di daerah ini.Nama Pancer Pangawinan yang disebut sebagai

nama keturunan dari kelompok kasepuhan ini, merupakan suatu bentuk penggantian

nama untuk menghormati leluhur mereka yang asli dari pengertian Barisan

Pangawinan.Kelompok sosial kasepuhan yang masih ada hingga kini tersebar di

daerah Bogor Selatan, Sukabumi Selatan dan Banten Selatan. Di daerah Banten

Selatan terdapat kasepuhan Bayahdan Cibedug yang menjadi keturunan Pancer

Mandiri. Barisan Pangawinan membagi kedalam fungsi-fungsi tertentu, diantaranya

sebagai pangutas jalan atau disebut sebagai Guru Cucuk yang tersebar di daerah

Selatan. Kelompok sosial yang termasuk dalam Pancer Pangawinan yang berada di

daerah Bogor Selatan adalah kasepuhan Urug. Di daerah Banten Selatan

Kasepuhan Citorek, Ciherang, Cicarucub, Cisungsang dan Cisitu. Cisungsang dan

Cisitu merupakan kasepuhan yang berfungsi sebagai Guru Cucuk. Di Sukabumi

kasepuhan Cipatagelar, Sirnaresmi dan Ciptamulya.

B. Masyarakat Kasepuhan dan Hutan Masyarakat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan.

Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari. Masyarakat kasepuhan memanfaatkan kawasan hutan sesuai dengan

pola kegiatan memenuhi kebutuhan hidup dengan apa yang disebut sekarang

sebagai pertanian ladang berpindah, atau dalam bahasa setempat disebut sebagai

pertanian huma. Dalam praktek pertanian huma ini, masyarakat membuka hutan dan

menjadikannya areal tanaman dalam periode waktu tertentu dengan tanaman padi

ageung, palawija dan tanaman keras lainnya seperti kopi, cengkeh, teh, buah-

buahan dan tanaman kayu yang ditanam secara tumpang sari dengan sistem gilir-

64

Page 72: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

balik yang merupakan adaptasi dari proses suksesi hutan alam dengan masa

istirahat lahan pertanian untuk kemudian menjadi semak-belukar atau reuma.78

Model pertanian lahan kering ini dalam catatan penelitian itu menunjukan sebuah

manifestasi tatali paranti karuhun yang secara harfiah berarti ‘mengikuti, menaati,

dan mematuhi tuntutan rahasia hidup yang sudah digariskan Tuhan.’ Salah satu tata

nilai dalam ‘tatali paranti karuhun’ adalah: “tilu sapamulu, dua sakarupa, hiji eta-eta

keneh”, yang secara harfiah artinya ‘tiga se wajah, dua se rupa, satu yang itu juga”.

Tata nilai ini mengandung pengertian bahwa hidup hanya dapat berlangsung

dengan baik dan tenteram bila dipenuhi tiga syarat, yaitu (1) tekad, ucap dan

lampah, (niat atau pemikiran, ucapan dan tindakan) harus selaras dan

dapat dipertanggung jawabkan kepada incu-putu (keturunan warga kasepuhan)

dan sesepuh (para orang tua dan nenek moyang); (2) jiwa, raga dan

perilaku, harus selaras dan berahlak; (3) kepercayaan adat, negara dan

agama, harus selaras, harmonis dan tidak bertentangan satu dengan lainnya.79

Konsepsi tilu sapamulu itu menjelaskan bahwa tiga aspek penting dalam kehidupan

masyarakat harus selalu diperhatikan bagi wargakasepuhan tersebut dan menjadi

pandangan dan sikap hidup masyarakatkasepuhan yang ada di Halimun. Makna

tekad, ucap dan lampah mengacupada cerminan ucapan dan tingkah laku yang

harus berlandaskan niat yang dapatdipertangungjawabkan yang terdiri dari unsur

pokok manusia terdiri dari jiwa,raga dan prilaku yang selaras. Sedangkan Mahluk

hidup berpakaian mengandungmakna bahwa masyarakat memiliki kebudayaan

tersendiri yang mencerminkanmental dan ahlak yang sesuai dengan kehidupan

bermasyarakat.

Pergaulan, pengetahuan, imajinasi, dan pemahamannya tentang hakekat alam

semesta melahirkan kosmologi kasepuhan. Dikalangan warga kasepuhan,

terdapat pandangan bahwa alam semesta itu sebagai suatu sistem yang teratur

78 Saptariani, Nani. 2005. Menepis Kabut Halimun: Rangkaian Bunga Rampai Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jakarta: Yayasan Obor.

79 Gamma Galudra, “Memahami Konflik Tenurial melalui Pendekatan Sejarah: Studi Kasus di Lebak, Banten,” Makalah disampaikan dan dipublikasikan untuk Warta Tenure dan merupakan bagian dari Program Studi Bersama di Halimun-Salak antara RMI, HUMA, ICRAF, WG-T dan masyarakat Halimun-Salak, http://www.worldagroforestry.org/downloads/Publications/PDFS/PP06152.pdf

65

Page 73: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

dan seimbang. Alam semesta akan tetap ada selama elemen-elemennya masih

terlihat dan terkontrol oleh hukum keteraturan dan keseimbangan yang

dikendalikan oleh pusat kosmiknya.80 Kosmologi itu terangkum dalam pancer

pangawinan yaitu melaksanakan sara, nagara, dan mokaha. Sara adalah

agama, nagara adalah pemerintahan dan mokaha adalah keselamatan atau

kasepuhan. Sara, nagara dan mokaha harus bersatu. Setiap keputusan yang

diambil oleh kasepuhan harus mengacu pada prinsip ‘kudu nyang hulu ka

hukum,nunjangka nagara, mufakat jeung bala rea’ (harus mengacu kepada

hukum, mendukung negara, mufakat dengan orang banyak). Dalam hal

memahami keberadaan Tuhan, konsep kasepuhan mengajarkan ‘pur kuntu pur

kurungan, nganti jeung gusti ge urang ara ga jeung nukawasa, sara nagara

mokaha, ngajina kudu ngajirim’ (jika melakukan kesalahan dari aturan adat

maka akan terjadi matak/kualat atau istilahnya kabendon).81 Sekalipun arus

modernisasi sangat deras menerpa kehidupan masyarakat kasepuhan, namun

kesetiaan terhadap tradisi masih terus dijaga, seperti hanya menanam jenis padi

tertentu, pantang menjual beras, hingga perintah untuk berpindah tempat masih

terus ketat dijalankan. Semua tradisi tersebut selalu dikaitkan dengan

keberadaan perintah dari leluhur (wangsit), yang terus dipelihara oleh abah dan

pengikutnya. Pengingkaran terhadap wangsit akan berdampak pada hukuman

leluhur berupa ”kabendon”. Dipercaya oleh masyarakat kasepuhan, bahwa

apabila melanggar hukum adat akan kena sanksi adat yang disebut kabendon,

yang berupa terkena penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis.

Karena kena kabendon, seseorang misalnya dapat tersesat dihutan hingga

meninggal. Orang bisa terbebas/terlepas dari kabendon apabila ingat akan

kesalahan dan pelanggaran yang diperbuat dan segera mohon ampun dan

minta maaf pada abah dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.

Dalam tata hukum dan aturan adat di Kasepuhan, terdapat klasifikasi dari

penguasaan tanah adat yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu wilayah olahan

(cultivation area) serta wilayah non-olahan (non-cultivation area). Wilayah non-

80 Adimihardja, K. Op. Cit., h. 81

81 Rita Rahmawati et. al. “Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan: Adaptasi, Konflik dan Dinamika Sosio-Ekologis”, Sodality: Jurnal Trans disiplin Sosiologi,Komunikasi,dan Ekologi Manusia, vol. 2 Agustus 2008, h. 162

66

Page 74: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

olahan terdiri dari daerah-daerah yang sama sekali tidak boleh digarap dan

ditempati oleh masyarakat dan pihak adat (daerah pamali) serta wilayah hutan diluar

tanah adat Kasepuhan. Daerah pamali tersebut diantaranya adalah pamatang

(gundukan tanah), sirah cai (sumber mata air), lemah gunting (pertemuan dua

sungai kecil) dan tempat-tempat yang menjadi pamali (larangan) serta angker.

Pembagian tata ruang adat pada Kasepuhan antara lain adalah wilayah hutan

(leuweung), reuma, lahan garapan dan lembur (pemukiman), sebagaimana terlihat

dalam tabel dibawah ini.

Tabel 3. Pembagian Ruang Adat Kasepuhan Pembagian Ruang Adat Keterangan

Leuweung Leuweung tutupan Wilayah hutan di Kasepuhan yang sama sekali tidak boleh dimasuki dan diganggu oleh manusia.

Leuweung Titipan

Wilayah hutan di Kasepuhan yang tidak boleh dimasuki oleh penduduk adat dan tidak boleh dipakai kayunya kecuali untuk keperluan adat. Di dalam hutan ini, hanya para pemangku adat yang boleh masuk dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada didalamnya, itupun untuk keperluan adat.

Leuweung garapan

Wilayah hutan di Kasepuhan yang terbuka untuk aktivitas masyarakat dan keperluan adat serta boleh dimanfaatkan hasil hutannya untuk keperluan apapun.

Reuma Reuma Ngora Lahan bekas garapan warga yang kemudian ditinggalkan kurang lebih 2-3 tahun kemudian lahan tersebut bisa dibuka kembali untuk dijadikan lahan garapan.

Reuma Kolot Lahan bekas garapan yang kemudian ditinggalkan warga lebih dari 3 tahun dan pada tahap selanjutnya bisa menjadi leuweung cadangan.

Sampalan Lahan bekas garapan yang kemudian menjadi reuma lalu oleh warga dimanfaatkan untuk menggembalakan ternak seperti kerbau atau istilahnya disebut ngaping

Lahan

Garapan

Sawah Lahan pertanian yang oleh warga ditanam komoditi tanaman pangan yaitu padi sebagai bahan makanan pokok warga dan terkadang diselingi oleh tanaman palawija dan budidaya ikan

Huma Lahan pertanian dengan kondisi tanpa irigasi atau yang disebut ladang, komoditi pangan yang ditanam selain palawija juga ditanam padi huma

Kebun/Dudukuhan Lahan pertanian yang dimanfaatkan oleh warga untuk menanam sayuran, buah-buahan dan

67

Page 75: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

tanaman kayu yang bisa dimanfaatkan buahnya ataupun kayunya.

Lembur

(Pemukiman)

Kampung Satu kawasan tempat dimana warga tinggal dengan rumahnya masing-masing

Imah Gede Merupakan rumah yang relatif besar dibandingkan dengan rumah lainnya dan menjadi tempat tinggal Kepala Adat (Kasepuhan)

Buruan Gede Halaman atau lahan yang cukup luas terdapat didepan Imah Gede dan biasanya digunakan untuk acara-acara yang sifatnya menyangkut dengan upacara adat.

Tamplan Merupakan tempat pemandian umum warga, biasanya yang dimanfaatkan adalah aliran air sungai yang masih bersih dan tidak terlalu deras

Masyarakat Kasepuhan melakukan pengelolaan hutan sesuai dengan peraturan

adat. Masyarakat adat mengelola hutan berdasarkan dengan jenis-jenis hutan yang

telah dikategorikan oleh adat. Terdapat tiga jenis hutan yang dikategorikan oleh

adat, yaitu Leuweung tutupan (hutan tutupan), Leuweung titipan (hutan titipan), dan

Leuweung bukaan (hutan bukaan). Pengelolaan ketiga jenis hutan ini diatur oleh

adat, yang diwakilkan oleh ketua adat (Abah).

1. Leuweung tutupan (Hutan tutupan) merupakan wilayah hutan yang dijaga dan

dilindungi baik oleh manusia maupun oleh roh pelindung hutan. Masyarakat

dilarang keras memasuki hutan titipan (tanpa seijin Sesepuh adat) dan

mengambil sesuatu dari dalam hutan. Dengan kata lain wilayah hutan ini

merupakan wilayah yang sengaja dilindungi dan dilestarikan untuk kepentingan

keseimbangan kehidupan masyarakat. Seluruh warga kasepuhan dan

pemangku adat kasepuhan tidak boleh memasuki hutan ini. Bagi masyarakat

kasepuhan, leuweung tutupan bukan hanya sebagai hutan lindung, tetapi juga

merupakan hutan perlindungan alam mutlak yang tidak boleh diganggu gugat

dari awal sampai akhir. Leuweung tutupan menunjukkan keanekaragaman hayati

yang tinggi, berfungsi sebagai daerah resapan air (leuweung sirah cai) dan

sebagai pusat keseimbangan ekosistem. Keberadaan leuweung tutupan ini

ditandai dengan adanya “larangan untuk masuk ke dalamnya” secara adat.82

82 Nani Saptariani, “Pengelolaan Sumberdaya Hutan oleh Msyarakat Adat dan Lokal di kawasan Ekosistem Halimun”, Makalah disampaikan pada seminar sehari tentang hutan desa: Alternatif Model Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Yayasan Damar, Gedung University Center UGM, 23 April 2003.

68

Page 76: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

2. Leuweung titipan (Hutan titipan) Merupakan hutan penyangga tetapi juga

mempunyai fungsi lindung. Masyarakat boleh mengambil hasil hutan non kayu

saja. Dalam keadaan sangat mendesak dan memaksa maka pembukaan hutan

di wilayah ini harus didasarkan untuk kepentingan seluruh masyarakat adat

Kasepuhan dan bukan untuk kepentingan pribadi. Leuweung titipan juga

merupakan kawasan hutan yang dicadangkan untuk daerah pemukiman

masyarakat adat Kasepuhan dimasa mendatang (awisan) dan alokasi lahan

garapan (untuk huma dan kebun). Di dalam hutan ini, hanya para pemangku

adat yang boleh masuk dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada

didalamnya, itupun untuk keperluan adat. Aturan adat mengharuskan dalam

setiap penebangan satu batang pohon, harus diganti dengan pohon yang baru.

Penebangan pohon dan penggunaan sumber daya alam hutan titipan

tersebut pun dapat dilakukan setelah mendapatkan ijin dari ketua adat dan

hanya untuk keperluan pembuatan rumah adat serta keperluan adat lainnya.83 3. Leuweung garapan (Hutan bukaan/garapan) adalah wilayah hutan di Kasepuhan

yang terbuka untuk aktivitas masyarakat dan keperluan adat serta boleh

dimanfaatkan hasil hutannya untuk keperluan apapun. Konsep reboisasi seperti

hutan titipan, diterapkan disini. Aturan adat mengharuskan dalam setiap

penebangan satu batang pohon, harus diganti dengan pohon yang baru.

Manusia hanya boleh beraktivitas di hutan garapan (bersawah, berladang,

berkebun, membangun rumah, membuat jalan, tempat ibadah, pemakaman,

penggembalaan, dan lain-lain). Masyarakat kasepuhan memiliki aturan-aturan yang berlaku dalam rangka

pemanfaatan kayu dan hutan, baik bagi internal masyarakat kasepuhan maupun

bagi orang luar. Dalam aturan yang berlaku internal, masyarakat kasepuhan hanya

diperbolehkan mengambil kayu sebanyak satu kali selama setahun misalnya untuk

membangun rumah atau keperluan lainnya. Kayu yang dimanfaatkan oleh mereka

diperoleh dari kayu-kayu yang sudah tumbang dan dari satu pohon kayunya bisa

digunakan untuk membuat satu atau dua rumah. Jenis kayu yang dimanfaatkan pun

tidak bisa semua dimanfaatkan, hanya jenis-jenis kayu diluar Rasamala (Altingia

83 Ibid

69

Page 77: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

excelsa) yang bisa diambil seperti puspa, ki huru dan sengon.84 Kayu sengon

biasanya dimanfaatkan masyarakat ada yang menanam di sekitar pekarangan

rumah mereka. Selain kayu, masyarakat juga memanfaatkan bambu dan biasanya

digunakan untuk dibuat alat-alat di rumah tangga. Jasa lingkungan dari hutan seperti

aliran sungai yang ada juga dimanfaatkan masyarakat Kasepuhan untuk mencuci

baju. Masyarakat kasepuhan juga memanfaatkan potongan dari ranting-ranting kayu

kering untuk dijadikan bahan bakar untuk memasak. Sebelum masuk ke dalam

hutan untuk mengambil kayu, masyarakat biasanya meminta izin kepada makhluk

yang ada di hutan dengan menggunakan cara membakar panglay dan tenjo.85 Kayu

yang diambil oleh masyarakat hanya kayu-kayu yang mereka temukan sudah dalam

keadaan tumbang. Selain memanfaatkan kayu, masyarakat juga mengambil buah-

buahan juga yang ada di hutan. Jenis buah-buahan yang diambil adalah limus, kupa

dan duren. Sedangkan aturan pemanfaatan hutan untuk pihak luar lebih ketat

dibandingkan aturan internal bagi masyarakat kasepuhan. Pihak luar yang ingin

memanfaatkan sumberdaya hutan harus mengantongi surat-surat dari desa asalnya

misalnya seperti surat kelakuan baik atau semacamnya lalu harus datang ke pihak

kasepuhan dan memaparkan maksud dan tujuannya dalam memanfaatkan

sumberdaya hutan tersebut. Setelah bertemu dengan pihak kasepuhan maka pihak

luar ini harus berperilaku dan mengikuti semua aturan yang berlaku didalam

kasepuhan. Apabila pihak luar ini sanggup menjalankan itu semua, maka baru

diberikan izin dari pihak kasepuhan untuk bisa memanfaatkan sumberdaya hutan.86

Tabel 4. Bentuk aturan adat masyarakat kasepuhan87

No Hal

Aturan Perintah Larangan

84Agung Kurniawan, Analisis Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan: Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Skripsi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, 2012, h. 62

85 Ibid.

86 Ibid.

87 Afif Aprianto, Komparasi Kearifan Tradisional Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug dengan Aturan Formal Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Skripsi, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, 2008, h. 43

70

Page 78: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

1 Pedoman Umum

”Ieu tentang hukum adat nyaetahukumkami.Hukum kaminya eta: Gunung kayuan,lampi ngawian, lebak sawahan, legok balongan jeung datar imahan Kaca ija di saleuwika darat ja disalebak Sing runtut raut sauyunan sabobot sapihanean. Mipit kudu amit ngala kudumenta. Sing kacuk cruk walungan ana sing kapapay wahanganana. Nete taraje nincak hambalan”

Gunung teu beunang dilebur lebak teubeunang diruksak

2 Leuweung Kolot Dan Leuweung Titipan

Hanya diperbolehkan mengambil hasil hutan yang bukan kayu seperti buah, biji, daun, serta akar baik untuk dipakai sendiri maupun untuk keperluan ekonomi.

Tidak boleh diganggu baik untuk kepentingan Lahan Garapan, Lembur,ataupun mengambil pohonnya.

3 Leuweung Cadangan

Pemanfaatan Leuweung Cadangan harus melalui musyawarah Masyarakat Adat Kasepuhan

Tidak boleh memanfaatkan hasil hutan kayu kecuali untuk membuat rumah dan pembangunan sarana kepentingan umum

Pemanfaatan bisa untuk Lembur,sawah, huma, kebon/dudukuhan. Melindungi mata air yang terdapat dalam kawasan

4 Lahan Garapan Pemanfaatan Lahan Garapan berdasarkan hasil musyawarah masyarakat Adat Kasepuhan

Tidak boleh menggarap pada lahan yang terdapat sumber mata air.

Dilarang menanam tanaman yang tidak bermanfaat dan dilarang olehagama maupun pemerintah

5 Lembur/ Pemukiman

Rumah harus terbentuk dari kayu, Tetapi tidak boleh menggunakan kayu rasamala, teureup dan kayu getah lainnya.

Tidak boleh menempati lahan dan membangun fasilitas rumah atau fasilitas umum lainnya tanpa ada ciri (tukuh)

Letak Lembur tidak boleh lebih timur dari area Karamat termasuk fasilitas umum lainnya.

Konstruksi rumah tidak boleh berbentuk Tutup Sangku, akan tetapi bentuk rumah harus berbentuk Babalean, Gado Bangkong.

Atap rumah tidak boleh menggunakan genting, tetapi menggunakan daun patat, ijuk, kirey,dan daun tepus.

71

Page 79: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Rumah tidak boleh terbentukdari Tembok kecuali pondasi, dan tidak boleh ditingkatkan.

6 Kependudukan Yang dimaksud Anggota Masyarakat Adat Kasepuhan

1. Incu-Putu atau turunan dari Adat KasepuhanCibedug

2. Masyarakat yang diangkat dari luar Adat Kasepuhan Cibedug

3 Masyarakat luar

Harus mentaati aturan adat yang Berlaku di Kasepuhan Cibedug Pihak luar yang datang harus mendapat ijin dari baris kolot / Kolot Lembur/Kasepuhan

Pihak luar menunjukan alamat dan Asal yang jelas.

7 Kepemilikan Lahan

Kepemilikan Lahan diatur melalui Mekanisme musyawarah

Dilarang memanfaatkan lahan yang akan merusak lingkungan

Diperbolehkan jual beli lahan dengan sesama masyarakat Adat Kasepuhan.

Penggunaan lahan bukan untuk budidaya Dilarang menjual tanah (hak pemanfaatan) yang ada di Wewengkon Adat Kasepuhan kepada orang luar.

8 Aturan Lainnya Harus Ijin kepada kokolot/sesepuh kalau akan pergi ke Leuweung Kolot / Leuweung Titipan

Pantangan Pergi Ke Sawah, Ke Huma dan Ke Kebun hari minggu dan Jumat, tanggal 15 dan 30 tiap bulannya.

”Dijekatan” jumlahnya 10 % atau seikhlasnya untuk fakir-miskin, kokolot dan amil

Padi yang disimpan di “leuit” tidak boleh diambil sebelum 40 hari.

Batas Wilayah Menurut Masyarakat Kasepuhan

Biasanya, letak k asepuhan dikelilingi oleh hutan titipan, tutupan dan garapan.

Dalam konsep adat, ketiga hutan ini merupakan batas wilayah adat. Batas tersebut

merupakan batas umum (general boundary) dimana bentuk p e m batasan

d i l a k u k a n melalui pendekatan yang tidak presisi. Contohnya adalah batas yang

didefinisikan dalam objek natural seperti hutan atau pepohonan.

72

Page 80: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Batas antara hutan dengan wilayah bukaan masyarakat biasanya ditandai dengan

adanya jalan setapak atau langsung berbatasan antara tepi hutan dengan tepi

wilayah garapan dan pemukiman.88

Gambar 1. Batas antara hutan titipan dengan wilayah bukaan

Gambar 2. Batas antara hutan titipan dengan pemukiman

Sedangkan batas antara wilayah garapan warga dengan hutan ditandai dengan

adanya pamatang atau timbunan tanah disisi terluar lahan garapan. Secara fisik,

antara hutan yang satu dengan hutan lainnya dibatasi oleh objek batas yang

berupa pohon tertentu, arca, batu ataupun situs. Objek batas pohon yang biasa

dipakai oleh penduduk berupa pohon Hanjuang (Cordylinesp) dan pohon Botol

(Mascarenalagenicaulis). Pohon tersebut dijadikan batas dengan cara ditanam

pada batas yang telah ditentukan. Alasan digunakannya pohon tersebut karena

selain batangnya tegak, juga karena pohon tersebut jika sudah ditebang sampai

88 Andi Achdian, Op Cit.

73

Page 81: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

habis, suatu saat pasti akan tumbuh kembali, sehingga batas tersebut tidak akan

hilang.

Gambar 3. Batas antara hutan dengan lahan garapan warga

Selain sebagai objek yang sering dipakai untuk mewakili salah satu titik batas,

pohon hanjuang dan pohon botol juga biasanya dipergunakan penduduk adat untuk

menolak bala. Pohon tersebut ditanam di sekeliling rumah warga, walaupun tidak

semua warga menanamnya. Secara tidak langsung, pohon tersebut membatasi

wilayah garapannya.

Gambar 4. Pohon Hanjuang sebagai batas pemukiman

74

Page 82: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Gambar 5. Pohon Hanjuang sebagai batas wilayah garapan

C. Konflik Tenurial di Kabupaten Lebak (Masyarakat Kasepuhan dengan

Taman Nasional Gunung Halimun)

Masyarakat kasepuhan secara internal memiliki potensi konflik yang kompleks,

yaitu konflik antar kasepuhan, konflik antara kasepuhan dengan desa, konflik

antara kasepuhan, struktur jabatan dan incuputu-nya. Potensi konflik ini bersifat

laten,dan akan mencuat kepermukaan mana kala desakan pengetahuan

modern akibat globalisasi dan pembangunan terus-menerus menerpa

masyarakat adat kasepuhan.89Selain potensi konflik tersebut, konflik besar dan

sudah mulai terbuka sedang terjadi antara warga masyarakat kasepuhan dengan

Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH).

Pada tahun 1992, Pemerintah mengeluarkan SK Menteri Kehutanan No. 282 tahun

1992 yang mengacu pada UU pokok Kehutanan No.5/1967 dan UU Konservasi dan

Sumberdaya Hayati No.5/1990 yang menetapkan kawasan Gunung Halimun seluas

40.000 hektar sebagai kawasan taman nasional di bawah pengelolaan sementara

Balai Taman Nasional (BTN) Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman

Nasional Gunung Halimun. Sejak berlakunya surat keputusan tersebut, pihak balai

taman nasional mulai membatasi segala kegiatan pendayagunaan oleh manusia,

termasuk di dalamnya pelarangan pengambilan kayu bakar, tanaman untuk obat-

obatan, dan hasil hutan lainnya oleh masyarakat sekitar kawasan. Selain itu,

89 Rita Rahmawati et. al. “Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan: Adaptasi, Konflik dan Dinamika Sosio-Ekologis,” Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, vol. 2 Agustus 2008, h. 178

75

Page 83: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

pengusiran secara halus pun dilakukan kepada masyarakat yang wilayah

pemukimannya masuk dalam zona-zona taman nasional.

Kemudian, pemerintah menerbitkan SK Menteri Kehutanan No. 175/2003 tentang

perluasan taman nasional dari 40.000 ha menjadi 113.357 ha dan dinamakan

sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Banyak lahan garapan maupun

pemukiman masyarakat, baik masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang

akhirnya masuk dalam kawasan konservasi sehingga kegiatan pertanian pun

menjadi terbatas. Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dilakukan

dengan sistem zonasi, sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.56 Tahun

2006, mengenai Pedoman Zonasi Taman Nasional. Zonasizonasi tersebut adalah

zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai kebutuhan.

Masyarakat kasepuhan memandang kawasan Gunung Halimun sebagai wilayah

adat mereka. Untuk itu mereka secara turun-temurun membagi wilayah adat itu

dengan wewengkon (Zonasi). Zonasi menurut konsep kasepuhan adalah sebagai

berikut (1) Hutan titipan, (2) Hutan tutupan, dan (3) Hutan garapan. Masyarakat

menggarap lahan pertanian pada lahan yang menurut mereka termasuk hutan

garapan. Apabila lahan garapan sudah dianggap tidak subur lagi, maka masyarakat

boleh menggarap lahan di hutan titipan (awisan) yaitu hutan leluhur yang dijadikan

cadangan persediaan lahan. Namun tentu saja harus seizin abah yang berlandaskan

pada adanya wangsit.

Perbedaan konsep ini menyebabkan perbedaan sikap dan perlakuan terhadap

hutan. Hal ini mengangkat kembali konflik tenurial antara masyarakat kasepuhan

dengan pemerintah. Pemerintah berkeyakinan bahwa status tanahtanah tersebut

merupakan kawasan hutan negara dan telah dikuasai serta diselesaikan penataan

batasnya sejak tahun 1923. Di lain pihak, masyarakat adat mengaku bahwa mereka

telah menggarap tanah-tanah tersebut secara turun-temurun sejak tahun 1910

sebagai tanah-tanah huma. Konflik ini pada dasarnya merupakan perjuangan hak

akses masyarakat atas tanah yang diklaim sebagai Taman Nasional sejak

diterbitkannya SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 ditahun 2003

tentang perluasan Taman Nasional, sehingga yang tadinya lahan Perhutani

sekarang menjadi taman nasional. Untuk mendapatkan gambaran lengkap

76

Page 84: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

mengenai konflik ini perlu diketengahkan terlebih dahulu perspektif

historisnya.

Pemerintah Belanda menerbitkan Agrarische Wet 1870 (AW 1870) yang bertujuan

untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada

para pengusaha swasta agar membuka hutan dan menjadikannya perkebunan

besar. Azas yang dikandung UU tersebut adalah domeinverklaring (deklarasi

kawasan), dimana semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya adalah

domain (milik) negara, maka pemerintah selaku perwakilan negara memiliki

landasan hukum dan pembuktian kepemilikan untuk memberikan tanah-tanah

tersebut kepada perkebunan-perkebunan swasta. Namun, azas ini juga mengandung

ketentuan pengakuan atas keberadaan hak-hak masyarakat adat. Kondisi ini

menciptakan kebingungan dan penafsiran berbeda diantara para ahli-ahli hukum

dimasa itu akibat kegagalan mereka untuk memahami hukum tanah masyarakat adat

atas hutan.90

Di satu sisi, rumusan mengenai aturan agrariakolonial yang memastikan keberadaan

tanah bagi para pengusaha swasta dalam membuka kebun-kebun tanaman keras

telah menyebabkan adopsi keliru mengenai prinsip kewenangan raja dalam bentuk

domein-verklaring. Onghokham telah menegaskan bahwa dalam prinsip pra-kolonial,

klaim raja-raja tradisional terhadap tanah lemah saja sifatnya dibanding kontrol

mereka terhadap penduduk.91 Problem yang muncul dengan penerapan undang-

undang tersebut adalah pertama, sifat pengakuan yang lemah terhadap bentuk

penguasan individu petani dan tanah-tanah garapan di dalam lingkungan

masyarakat perdesaan. Kedua adalah penerapan prinsip domain verklaring yang

menegaskan sebuah kedaulatan hukum negara atas lahan-lahan yang tidak digarap

secara langsung oleh penduduknya, khususnya berkait dengan sumberdaya hutan

yang luas.

90 Berdasarkan penafsiran Nolst Trenite, mengklaim tanah-tanah yang tidak dibudidayakan tersebut sebagai tanah negara. Namun, berdasarkan penafsiran Van Vollenhoven, tanah- tanah tersebut walaupun tidak dibudidayakan masih berada dibawah wilayah kekuasaan desa. Lihat Gamma Galudra, Op.cit

91 Onghokham, 1980, Rakyat dan Negara, Sinar Harapan, Jakarta: LP3ES

77

Page 85: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Pada tanggal 30 Juli 1896, pemerintah Keresidenan Banten menerbitkan Peraturan

Huma. Peraturan ini berusaha membatasi pertanian huma terhadap beberapa desa

dengan memberikan batas-batas yang jelas mana tanah-tanah hutan yang

diperuntukkan bagi pertanian huma dan mana yang tidak. Tanah-tanah baik sengaja

maupun tidak yang ditinggalkan termasuk ke dalam wilayah kekuasaan desa.

Nampak dengan tegas peraturan ini mengesahkan sistem huma dan memasukkan

tanah-tanah hutan sebagai wilayah kekuasaan desa dan bukan sebagai tanah

negara. Namun, desakan-desakan dari Pemerintah Hindia Belanda untuk

menghapuskan pertanian huma memaksa Pemerintah Keresidenan Banten

mengubah peraturan huma tersebut. Dalam Peraturan Huma Kedua,disebutkan

bahwa tanah-tanah huma tersebut digolongkan sebagai tanah negara bebas dan

residen berhak melepaskan tanah-tanah tersebut dalam bentuk hak sewa. Peraturan

ini diperkuat oleh Keputusan Pemerintah (Gouvernement Besluit) No.6 tanggal 11

April1900.92

Perubahan besar kemudian terjadi atas status hukum tanah huma tersebut.

Penyelidikan yang dilakukan oleh Inspektur Urusan Agraria pada tahun 1909

membuktikan bahwa penduduk tidak memiliki hak atas tanah. Atas dasar

penyelidikan ini, pemerintah mengeluarkan keputusannya (Gouvernement Besluit 9

November 1909) untuk mencabut perizinan huma ditanah-tanah hutan. Namun,

Residen Banten menolak keputusan ini dan akibat penolakan tersebut, pemerintah

mempertimbangkan dan meninjau keputusannya kembali. Selain berpedoman bahwa

tanah-tanah huma berada di wilayah hukum kekuasaan desa, Residen Banten juga

khawatir seandainya keputusan penghapusan huma diterapkan, maka timbul

pergolakan dan perlawanan dari masyarakat.

Pada tanggal 22 Juni 1933, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Komisi Huma

yang diberi tugas untuk mempelajari kemungkinan penghapusan huma.

Sebelumnya, Jawatan Kehutanan telah menata batas dan memetakan tanah-tanah

hutan sebagai kawasan hutan negara.Sejak tahun 1914 hingga tahun 1935, sekitar

137.837 ha tanah-tanah hutan telah ditata batas dan disahkan oleh Gubernur

Jenderal sebagai kawasan hutan negara. Proses penataan batas dan pengesahan

ini dipersoalkan oleh Residen Banten karena ada sekitar 79.154 ha tanah-tanah

92 Ibid.

78

Page 86: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

hutan yang disahkan tersebut tumpang-tindih dengan huma-huma penduduk.93

Residen Banten menilai bahwa proses penataan batas dan pengesahan kawasan

hutan negara seluas 79.154 ha tersebut adalah cacat hukum. Perdebatan tentang

status hukum tanah-tanah huma dan kawasan hutan negara dicoba diselesaikan

oleh Gubernur Jawa Barat. Gubernur memutuskan agar kedua belah pihak

memetakan kembali mana tanah-tanah hutan yang diperuntukkan bagi huma dan

mana tanah-tanah hutan yang diperuntukkan bagi kawasan hutan negara.

Sayangnya, hingga akhir penjajahan Belanda tahun 1942, perdebatan atas status

hukum tanah-tanah huma di dalam hutan negara masih belum jelas.

Status tanah-tanah huma diangkat kembali paska kemerdekaan. Pada tahun 1979,

pemerintah menerbitkan SK Menteri Pertanian No .40/Kpts/Um/1/1979 dimana

beberapa kelompok-kelompok hutan negara, yaitu Gunung Halimun, Gunung

Kendang Kulon, Gunung Sanggabuana, Gunung Nanggung, Jasinga dan Ciampea

ditunjuk sebagai Cagar Alam Halimun seluas 40.000 ha. Pada tahun 1982,

pemerintah membentuk tim tata batas, seluruhnya terdiri dari pegawai kehutanan,

untuk merekonstruksi tata batas hutan-hutan di Lebak yang ditunjuk sebagai cagar

alam tersebut. Tim ini melaporkan bahwa tidak ditemukan sama sekali tanah-tanah

garapan dan pemukiman masyarakat sepanjang 70,626 km panjang tata batas cagar

alam tersebut.94

Pada tahun 1992, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.282/II/1992, cagar alam

ini kemudian beralih menjadi Taman Nasional Gunung Halimun. Selama kawasan

hutan tersebut berada dibawah pengelolaan taman nasional, tidak ada satupun

bentuk penyelesaian tanah-tanah huma tersebut ke dalam bagian dari pengelolaan

taman nasional. Kemudian, ditahun 2003 pemerintah,berdasarkan SK Menteri

Kehutanan No. 175/II/2003, menggabungkan taman nasional ini dengan kawasan

hutan di Gunung Salak seluas 113,357 ha menjadi Taman Nasional Gunung Halimun

Salak. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan tersebut maka kawasan hutan negara

seluas 73.357 hektar yang merupakan kawasan hutan lindung dan hutan produksi

pada Kelompok Hutan Gunung Halimun serta Kelompok Hutan Gunung Salak yang

93 Ibid.

94 Ibid.

79

Page 87: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani, berubah fungsi menjadi Taman Nasional

Gunung Halimun Salak dibawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung

Halimun. Perubahan fungsi hutan negara bekas Perhutani menjadi TNGHS di

Kabupaten Sukabumi adalah seluas 16.785,22 ha, di Kabupaten Bogor seluas

18.378,68 ha dan di Kabupaten Lebak seluas 27.049,04 ha. Kawasan TNGHS tetap

sebagai hutan negara dengan tidak memasukkan tanah hak.95

Gambar 6. Peta Lokasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

D. Upaya Penyusunan Raperda Pengakuan Masyarakat Adat dan Pemisahan Hutan Adat dan Hutan Negara

Sampai pada saat penelitian ini disusun, belum ada daerah yang mengesahkan

peraturan daerah yang mengatur mengenai pemisahan hutan adat dengan hutan

Negara. Kabupaten Lebak termasuk salah satu daerah yang terdepan dalam upaya

menyusun dan mengesahkan pearturan daerah mengenai hal ini. Bahkan, dapat

dikatakan bahwa proses ini tinggal sedikit lagi selesai dimana rancangan peraturan

daerah telah selesai disusun dan telah ada proses uji publik sehingga yang

dibutuhkan adalah political will dari DPRD Kabupaten Lebak untuk mengesahkan

rancangan peraturan daerah.

95 Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa-Madura Tahun 2006.

80

Page 88: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Secara garis besar materi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini menyangkut

beberapa hal, yakni: (1) Keberadaan dan kedudukan Kasepuhan sebagai

masyarakat hukum adat; (2) Hak-hak masyarakat kasepuhan; (3) Wilayah adat; (4)

Lembaga adat; (5) Hukum adat; (6) Pemberdayaan masyarakat kasepuhan. Dari

beragam pengaturan itu, ada dua hal yang penting untuk diperhatikan yaitu

mengenai pengakuan masyarakat adat serta pemetaan wilayah adat.

Pengukuhan keberadaan msyarakat kasepuhan sebagai masyarakat adat dalam

raperda ini adalah atas pertimbangan sebagai perwujudan dari amanat

konstitusional yang harus dilaksanakan demi penghormatan atas hak-hak

masyarakat kasepuhan. Dalam hal pengakuan masyarakat adat, raperda ini

mengambil pendekatan melalui 5 kriteria yang umumnya hadir di dalam masyarakat

yang disebut masyarakat hukum adat, serta merupakan penafsiran pada Pasal 18B

dan beberapa UU yang mengatur masyarakat hukum adat. Kritera yang disebutkan

di bawah ini kumulatif yaitu:

1. Terdiri dari masyarakat yang warganya memiliki perasaan sebagai satu

kelompok karena adanya nilai-nilai yang dirawat secara bersama-sama;

2. Memiliki lembaga adat yang tumbuh secara tradisional;

3. Memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;

4. Memiliki norma hukum adat yang masih berlaku; dan

5. Memiliki wilayah adat tertentu.

Kasepuhan mememenuhi hampir semua kriteria yang ditetapkan di atas. Walaupun

tersebar dan terpecah-pecah dalam berbagai desa/komunitas, tetapi semua

Kasepuhan memiliki akar sejarah, kepercayaan atas Yang Maha Kuasa dan

perannya di semesta yang sama, masing-masing memerankan peran tertentu yang

saling melengkapi (ada Kasepuhan yang menjadi pembuka jalan, pertanian dan

pangan, urusan gaib, penghubung dengn masyarakat luar, dan lainnya), lembaga

adat yang sama (mereka menyebut nama yang sama untuk ketua adat dan barisan

penasehat adatnya sebagai Olot dan barisan kolot), memiliki benda-benda adat

(misalnya, situs Cibedug yang ada di Kasepuhan Cibedug), memiliki norma hukum

adat yang masih berlaku dan ditaati oleh masyarakatnya dan tentu saja masing-

masing Kasepuhan punya batas-batas wilayah adatnya.

Upaya Pemetaan Wilayah Adat

81

Page 89: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Penegasan subyek hukum Kasepuhan sebagai Masyarakat Hukum Adat tidak dapat

dilepaskan dari pengakuan atas wilayah tertentu sebagai wilayah

adatnya.Kasepuhan sendiri punya karakteristik tersendiri dalam mengatur lahan

yang ada di dalam wilayah adatnya dan disekitarnya. Kasepuhan memiliki

pengaturan penggunaan lahan yang ada di wilayah adatnya.Umumnya Kasepuhan

membagi wilayah menjadi wilayah pemukiman, wilayah pertanian dan wilayah

hutan.Wilayah hutan ini dimiliki secara komunal dan terdiri dari 3 jenis, yakni

leuweung kolot, leuweung titipan dan leuweung sampalan. Pengaturan atas

penggunaan lahan ini diatur oleh hukum adat yang berlaku di masing-masing

Kasepuhan, termasuk di dalamnya siapa dan dengan cara apa lahan bisa

dimanfaatkan. Wilayah adat Kasepuhan sudah memiliki batas-batasnya, baik antar

Kasepuhan maupun dengan masyarakat luar. Batas-batas tersebut berupa batas

alam dan batas persetujuan dengan pihak lain. Penentuan batas ini sendiri menjadi

fokus dalam pengaturan wilayah adat di dalam Perda ini.

Persoalan wilayah adat ini sendiri merupakan persoalan yang cukup pelik karena

berhubungan dengan pengaturan pertanahan dan sumber daya alam yang sarat

konflik. Penetapan wilayah adat yang dilakukan sekarang akan berhadapan dengan

kawasan hutan, berbagai hak atas tanah dan ijin pemanfaatan lahan dan sumber

daya alam yang berlaku dan dilindungi secara hukum dengan peraturan perundang-

undangan di Indonesia. Namun, bagaimanapun proses untuk menjernihkan

persoalan wilayah adat ini harus tetap dilakukan, sebagai ikhtiar untuk

menyelesaikan tumpang tindih tersebut. Perda ini hadir dengan mengatur soal

kelembagaan dalam pendaftaran wilayah adat.Hal yang diatur dalam pendaftaran

wilayah adat adalah jenis pendaftaran, lembaga penerima pendaftaran, tugas

lembaga penerima pendaftaran, tahapan pendaftaran, pembiayaan serta perubahan

administrasi hukum atas pendaftaran wilayah adat.

Pendaftaran wilayah adat Pendaftaran wilayah adat dapat dibagi dalam dua jenis pendaftaran, yakni

pendaftaran yang berasal dari prakarsa masyarakat adat sendiri dan pendaftaran

yang dilakukan bersama pemerintah dan masyarakat.Perbedaan ini dihadirkan

sebagai respon atas perbedaan kondisi di dalam Kasepuhan dalam hal penentuan

batas wilayah adatnya. Misalnya dalam hal sudah atau belum dilakukan pemetaan

wilayah adat. Mengingat banyaknya jumlah Kasepuhan dan luasnya wilayah adat,

82

Page 90: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

membuat tidak semua Kasepuhan sudah dipetakan dan memiliki peta wilayah

adatnya. Bagi Kasepuhan yang sudah ada peta wilayah adatnya, maka

masyarakatnya dapat mendaftarkan wilayah adatnya ke Tim Inventarisasi dan

Verifikasi Wilayah Adat yang dibentuk dengan Perda ini yang ada di tingkat

Pemerintah Kabupaten.Sedangkan bagi Kasepuhan yang belum sempat dipetakan

(walaupun secara internal punya klaim batas wilayahnya) dapat mengajukan diri

untuk dipetakan wilayah adatnya bersama dengan pemerintah.Dalam batas tertentu,

penentuan bersama wilayah adat antara pemerintah dan masyarakat ini diharapkan

sedini mungkin bisa menjernihkan perbedaan pemahaman soal batas wilayah adat.

Tahapan pendaftaran mengikuti jenis pendaftaran wilayah adatnya atau ada dua

jenis tahapan pendaftaran wilayah adat, yakni tahapan pendaftaran wilayah adat

yang berasal dari inisiatif masyarakat dan tahapan yang berasal dari inisiatif

bersama pemerintah dan masyarakat. Perbedaannya lebih pada proses awalnya

saja, dimana dalam tahap pendaftaran yang berasal dari inisiatif bersama

pemerintah dan masyarakat tidak ada tahapan penerimaan permohonan

pendaftaran. Secara garis besar, tahapan pendaftaran ini memiliki 4 kegiatan

penting:

a. Proses permohonan dan penerimaan pendaftaran

b. Proses analisa dokumen, verifikasi lapangan

c. Proses pengumuman hasil (selama 2 bulan berturut-turut)

d. Proses penerimaan keberatan

e. Pemberian rekomendasi

Diagram 2. Alur pendaftaran wilayah adat

83

Page 91: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Ketentuan ini sebagai transisi dalam proses penguasaan lahan di dalam wilayah

adat Kasepuhan. Setidaknya tiga kondisi akan diperhatikan:

1. Adanya hak milik tanah. Terhadap pemilik hak milik tanah, maka ia wajib

perlindungan, baik dari Kasepuhan maupun dari negara. Ia harus diberikan

pemberitahuan jika tanahnya berada di dalam wilayah adat. Ia juga berhak

mendapatkan kompensasi jika tidak menginginkan tanahnya ada di dalam

wilayah adat, entah dengan bentuk ganti rugi atau digantikan tanahnya seluas

dan sejauh mungkin kondisinya sama di luar wilayah Kasepuhan.

2. Izin atau hak atas tanah dan air yang berjangka waktu yang terdapat di dalam

wilayah adat yang telah ada sebelum Peraturan Daerah ini berlaku, dinyatakan

tetap berlaku sampai berakhirnya masa izin atau hak tersebut. Ini merupakan

penghormatan pada prinsip ijin yang sudah dijalankan dengan niat baik.

Memang Kasepuhan bisa meminta pemendekan masa berlaku atau bahkan

mungkin pencabutan ijin jika dirasa ijin tersebut mengganggu keutuhan dan

menghalangi Kasepuhan menjalankan hak-hak tradisionalnya. Hanya saja

proses ini jangan sampai merugikan kedua belah pihak. Pada titik ini,

pendampingan dan fasilitasi mediasi dari pemerintah dibutuhkan adanya.

3. Adanya kawasan hutan (negara), maka ada dua kondisi, jika wilayah itu masih

berfungsi hutan, maka bisa ditetapkan menjadi hutan adat.

84

Page 92: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Sementara jika sudah difungsikan sebagai pemukiman dll, maka

direkomendasikan dikeluarkan dari kawasan hutan. Dua opsi ini dirasakan lebih

baik baik dari segi perlindungan hak dan perlindungan lingkungan hidup.

Sehingga bagi kawasan yang rentan secara ekologi, perpindahan hak itu (dari

sebelumnya dikuasai oleh negara menjadi oleh masyarakat Adat) diharapkan

tidak mengganggu fungsi lingkungan hidup baik bagi lingkungan sekitarnya

maupun bagi lingkungan yang jauh dan tergantung pada keberadaannya.

85

Page 93: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan 1. Putusan MK nomor 35/PUU-X/2012 membawa dampak luas dalam berbagai

hal termasuk penataan ruang dan otonomi daerah, maka perlu pula dilakukan

sebuah proses harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan

terkait. Dari sisi perundang-undangan, langkah-langkah yang diperlukan untuk

menindaklanjuti putusan tersebut, yaitu menerbitkan atau menginisiasi

dikeluarkannya peraturan yang dapat mewadahi berbagai isu hukum terkait

hutan adat seperti tata cara mengidentifikasi hutan adat, mekanisme

pengakuan dan perlindungannya, perlindungan atas hak/izin yang sudah

diberikan berdasarkan peraturan yang berlaku, mekanisme dan kelembagaan

penyelesaian konflik, aturan untuk mencegah dan membatasi penyalahgunaan

pengakuan atas hutan adat untuk kepentingan pribadi, serta mandat

memetakan wilayah adat.

a. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ada respon positif,

meskipun demikian dalam kenyataannya komitmen mendukung

pendaftaran dan pengakuan hak masyarakat hukum adat itu belum

terwujud. Presiden, misalnya, tidak mengeluarkan instruksi apapun

kepada Kementeria/Lembaga terkait untuk menjalankan pendaftaran dan

pengakuan tersebut. Produk hukum yang dibuat oleh pemerintah SBY

setelah Putusan MK 35 adalah

- Surat Edaran Menteri Kehutanan No. SE.1/Menhut-II/2013 yang

menjelaskan kembali amar putusan dan pendapat MK dalam perkara

pengujian konstitusionalitas pasal‐pasal dalam UU No. 41 Tahun 1999

terkait hutan adat dan masyarakat hukum adat. Namun, secara

eksplisit Surat Edaran ini menegaskan bahwa: “hutan adat itu harus

ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, dengan syarat keberadaan

masyarakat hukum adat terlebih dahulu ditetapkan dengan Peraturan

Daerah”.

- Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 62/Menhut‐II/2013 tentang

Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-

86

Page 94: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Peraturan ini secara

eksplisit menyatakan tujuannya untuk menjalankan Putusan MK.

- Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 522/8900/SJ tanggal 20

Desember 2013 tentang Pemetaan Sosial Masyarakat Hukum Adat.

Surat Edaran ini mengusulkan definisi baru mengenai tanah ulayat

yaitu “Tanah adat -yang dipersamakan oleh surat ini dengan tanah

ulayat- disebutkan sebagai bidang tanah yang di atasnya terdapat hak

ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu; tanah ulayat

termasuk tanah kerajaan, kraton maupun kesultanan (Sultan Ground).”

- Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dimana Undang-

Undang ini mengatur secara khusus mengenai desa adat.

- Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri

Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 79

Tahun 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang

Berada Di Dalam Kawasan Hutan. Peraturan tersebut mengatakan

bahwa dalam rangka penyelesaian hak ulayat dan penguasaan tanah

yang berada di dalam kawasan hutan di daerah, Bupati/Walikota

membentuk Tim IP4T yang terdiri dari Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota, Unsur Dinas Kabupaten/Kota yang menangani

urusan di bidang kehutanan, Unsur Balai Pemantapan Kawasan

Hutan, Unsur Dinas/Badan Kabupaten/Kota yang menangani urusan di

bidang tata ruang, Camat dan Lurah setempat.

b. Kemudian, pemerintahan Joko Widodo menegaskan komitmennya untuk

melindungi Masyarakat Adat. Kebijakan yang dikeluarkan pada masa

pemerintahan Joko Widodo adalah

- Peraturan Menteri Agrari dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak

Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang

Berada Dalam Kawasan Tertentu. Permen ini potensial memunculkan

persoalan hukum, yaitu saling tumpang tindih antara masyarakat

hukum adat dengan masyarakat yang berada pada kawasan tertentu

pada objek yang sama.

87

Page 95: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

2. Implementasi Putusan MK Nomor 35 terhambat di lapangan karena banyak

dipengaruhi oleh UU yang mensyaratkan pengakuan keberadaan masyarakat

adat harus dengan Paraturan Daerah. Namun, Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan Dan

Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, pengakuan keberadaan masyarakat

adat bisa hanya dengan keputusan kepala daerah. Sebagian kepala daerah

lebih memilih untuk menggunaka keputusan kepala daerah tetapi justru

terkendala dengan tidak diterima oleh Kementerian Kehutanan.

Beberapa inisiatif penyusunan Perda tengah dilakukan. Sejumlah Perda telah

terbit sebelum Putusan MK 35. Namun keberadaan Perda-perda itu belum

secara sigifikan menghasilkan perubahan. Terdapat tiga faktor yang

menyebabkan hal ini terjadi. Pertama, sifat Perda sebagian besar adalah Perda

yang mengatur mengenai masyarakat hukum adat, hak atau wilayahnya.

Kedua, sangat jarang ditemukan Perda yang berisikan pengukuhan atau

penetapan keberadaan masyarakat hukum adat dan wilayahnya dengan

disertai peta yang jelas. Ketiga, kelembagaan pelaksana Perda di daerah

bukan lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi yang relevan

3. Sampai pada saat penelitian ini disusun, belum ada daerah yang mengesahkan

peraturan daerah yang mengatur mengenai pemisahan hutan adat dengan

hutan Negara. Kabupaten Lebak termasuk salah satu daerah yang terdepan

dalam upaya menyusun dan mengesahkan pearturan daerah mengenai hal ini.

Bahkan, dapat dikatakan bahwa proses ini tinggal sedikit lagi selesai dimana

rancangan peraturan daerah telah selesai disusun dan telah ada proses uji

publik sehingga yang dibutuhkan adalah political will dari DPRD Kabupaten

Lebak untuk mengesahkan rancangan peraturan daerah.

Secara garis besar materi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini menyangkut

beberapa hal, yakni: (1) Keberadaan dan kedudukan Kasepuhan sebagai

masyarakat hukum adat; (2) Hak-hak masyarakat kasepuhan; (3) Wilayah adat;

(4) Lembaga adat; (5) Hukum adat; (6) Pemberdayaan masyarakat kasepuhan.

Dari beragam pengaturan itu, ada dua hal yang penting untuk diperhatikan

yaitu mengenai pengakuan masyarakat adat serta pemetaan wilayah adat.

Pengukuhan keberadaan masyarakat kasepuhan sebagai masyarakat adat

dalam raperda ini adalah atas pertimbangan sebagai perwujudan dari amanat

88

Page 96: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

konstitusional yang harus dilaksanakan demi penghormatan atas hak-hak

masyarakat kasepuhan.

B. Saran 1. Pemerintah pusat perlu dapat membuat keputusan yang dapat di ikuti oleh

seluruh instansi pemerintah atau dari kementerian kehutanan tidak

mempermasalahkan bentuk dari peraturan yang diberikan oleh masyarakat

adat dalam melakukan klaim wilayahnya.

2. Prosedur penetapan masyarakat hukum adat sebagai subjek hak, baik itu

dalam bentuk desa adat maupun masyarakat hukum adat melalui Peraturan

Daerah dan atau Surat Keputusan Kepala Daerah menggunakan mekanisme

yang beragam. Oleh karena itu, penetapan masyarakat hukum adat oleh Perda

dan atau Surat Keputusan Kepala Daerah dalam pelbagai peraturan

perundang-undangan yang ada tidak lagi menjadi prasyarat untuk penetapan

hak masyarakat hukum adat dalam konteks hak komunal, sehingga Penetapan

hak komunal sekaligus penetapan masyarakat hukum adat sebagai subjek

haknya secara bersamaan.

3. Pemerintah daerah perlu didorong untuk:

a. Berinisiatif melakukan penyusunan peraturan daerah yang mengakui

keberadaan hak penguasaan bersama atas tanah adat, dengan

memperhatikan karakteristik masyarakat hukum adat setempat untuk

menentukan perbedaan tingkat pengakuan penguasaan bersama atas

tanah adat tersebut.

b. Mewujudkan pemetaan dan pendaftaran tanah sistematis secara berkala,

dengan melakukan kerjasama operasional dan pendanaan pendaftaran

tanah.

c. Melakukan penguatan keberadaan kelompok masyarakat hukum adat,

dengan melestarikan nilai-nilai adat di dalam kehidupan masyarakat

melalui berbagai upaya kelembagaan dan pelembagaan, bersamaan

dengan upaya menerbitkan pengakuan hukum bagi masyarakat hukum

adat.

89

Page 97: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Artikel Jurnal:

Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Yogyakarta: Total Media,2007.

Ade Saptomo, Kajian Kritis Eksistensi Hutan Adat Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Dalam Kurnia Warman (ed.), Nasib Tenurial Adat Kawasan Hutan: Tumpang Tindih Klaim Adat dan Negara pada Aras Lokal di Sumatera Barat, (Jakarta: HuMa Perkumpulan Qbar, 2007).

Adimihardja, K. 1989. Manusia Sunda dan Lingkungannya: Suatu Kajian Mengenai Kehidupan Sosiobudaya dan Ekologi Komuniti Kasepuhan Desa Sirnarasa Jawa Barat Indonesia. Thesis Ph.D. Tidak dipublikasikan. Fakulti Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan. University Kebangsaan Malaysia. Bangi.

Afif Aprianto, Komparasi Kearifan Tradisional Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug dengan Aturan Formal Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Skripsi, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, 2008.

Agung Kurniawan, Analisis Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan: Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Skripsi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, 2012.

Anang Husni, Hukum, Birokrasi dan Budaya, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.

Andi Achdian, Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo: Kajian Terhadap Siasat dan Politik Budaya Masyarakat Kasepuhan dalam Pertarungan Sumberdaya di Kawasan Konservasi Halimun Salak, Jawa Barat & Banten, Tesis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011.

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2003).

Danasasmita, Saleh & Djatisunda, Anis, 1986, Kehidupan Masyarakat Kenekes, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Depdikbud, Bandung.

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI, Panduan Pengharmonisasian, Pembulatan dan Pemantapan Rancangan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Tim Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI, 2010.

Edgar Bodenheimer, Yurisprudence: The Philosophy and Method of The Law, (Cambridge, Massachessets, 1962).

viii

Page 98: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Gamma Galudra, “Memahami Konflik Tenurial melalui Pendekatan Sejarah: Studi Kasus di Lebak, Banten,” Makalah disampaikan dan dipublikasikan untuk Warta Tenure dan merupakan bagian dari Program Studi Bersama di Halimun-Salak antara RMI, HUMA, ICRAF, WG-T dan masyarakat Halimun-Salak, http://www.worldagroforestry.org/downloads/Publications/PDFS/ PP06152.pdf

Garrett Hardin, “The Tragedy of the Commons”, Science 13 December 1968: Vol. 162 no. 3859 pp. 1243-1248

Hanafi, I. Ramdhaniaty, N., Nurjaman, B, 2004. Nyoreang Alam Ka Tukang, Nyawang Anu Bakal Datang. Penelusuran Pergulatan di Kawasan Halimun, Jawa Barat-Banten. Cetakan Pertama. Publikasi RMI. Bogor.

Hazairin, Suatu Ulasan Tentang Hukum Adat Indonesia Pada Masa Sekarang. Dalam Himpunan Karya Ilmiah Guru-guru Besar Hukum di Indonesia, Lima Puluh Tahun Pendidikan Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas indonesia, 1974).

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia, 2005.

Kurnia Warman (ed.), Nasib Tenurial Adat Kawasan Hutan: Tumpang Tindih Klaim Adat dan Negara pada Aras Lokal di Sumatera Barat, (Jakarta: HuMa Perkumpulan Qbar, 2007).

Lynch, O.J. dan E. Harwell. 2006. “Sumberdaya Milik Siapa? Siapa Penguasa Barang Publik” (Terjemahan: Studio Kendil). Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

Malik, Yance Arizona, dan Mumu Muhajir, “Analisis tren produk hukum daerah mengenai Masyarakat Adat”, Policy Brief Epistema Institute Vol. 01/2015.

Muhammad, B. 2003. Asas-Asas Hukum Adat: Suatu Pengantar. Jakarta: Pradnya Paramita.

Myrna A. Safitri, “Hak Menguasai Negara Di Kawasan Hutan: Beberapa Indikator Menilai Pelaksanaannya”, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol. 1 Issue 2 Desember 2014.

-------------------------, “Kembali ke Daerah: Sebuah Pendekatan Realistik untuk Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU‐X/2012”, Makalah disampaikan pada Diskusi memperingati setahun Putusan MK No. 35/PUUX/2012, diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantar (AMAN) dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Jakarta, 13 Mei 2014.

-------------------------, “Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Konflik Kehutanan dan Keadilan Tenurial: Peluang dan Limitasi”, Makalah disampaikan dalam Semiloka Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian Hukum dan Berkeadilan, diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta 13 Desember 2012

ix

Page 99: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

-------------------------. 2013. “Hukum Adat dan Konflik Pertanahan: Pengakuan Hak, bukan manipulasi Hukum Adat”. Makalah pada Lokakarya Penyelesaian Konflik Pertanahan Masyarakat Hukum Adat, dari Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Konflik dan Sengketa Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, 3 September 2013.

Nani Saptariani. 2005. Menepis Kabut Halimun: Rangkaian Bunga Rampai Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jakarta: Yayasan Obor.

-------------------------, “Pengelolaan Sumberdaya Hutan oleh Msyarakat Adat dan Lokal di kawasan Ekosistem Halimun”, Makalah disampaikan pada seminar sehari tentang hutan desa: Alternatif Model Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Yayasan Damar, Gedung University Center UGM, 23 April 2003.

Onghokham, 1980, Rakyat dan Negara, Sinar Harapan, Jakarta: LP3ES

Peluso, N.L. 2006. “Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa” (Terjemahan: Landung Simatupang). Jakarta: Konphalindo.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Surabaya: Kencana Prenada Media Group, 2005.

Rajagukguk, E. 1995. Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup. Jakarta: Chandra Pratama.

Rita Rahmawati et. al. “Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan: Adaptasi, Konflik dan Dinamika Sosio-Ekologis”, Sodality: Jurnal Trans disiplin Sosiologi,Komunikasi,dan Ekologi Manusia, vol. 2 Agustus 2008.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986, h. 332. Dalam Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2008.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta: Rajawali Press, 2003.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

Sulistyowati Irianto dan Shidarta (ed.), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009.

Sunaryati Hartono, Kapita Selecta Perbandingan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.

-------------------------, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Bandung: Alumni, 1994.

Wahyu Nugroho, Konsistensi Negara Atas Doktrin Welfare State Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan Oleh Masyarakat Adat, Indonesian Center for

x

Page 100: LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN HUKUM PEMISAHAN … · Masyarakat adat memiliki pengakuan atas kedudukan penting dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan sehingga pemakaian instrumen

Environment Law, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol. 1 Issue 2 Desember 2014.

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Artikel website :

Nurul Firmansyah, “Menyoal Subjek Hak Komunal” diunduh melalui http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5600f0bbb9b64/menyoal-subjek-hak-komunal-broleh--nurul-firmansyah- padatanggal 2 September 2015

N. Siregar, Pengakuan Terhadap Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat Di Indonesia, http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/41551/3/Chapter%20II.pdf, diakses pada 5 November 2015.

“Jalan Panjang dan Berliku RUU PPMHA”, diunduh melalui http://www.aman.or.id/2014/09/03/jalan-panjang-dan-berliku-ruu-ppmha/ pada tanggal 21 Agustus 2015

“Presiden-Aliansi Masyarakat Adat Nusantara bahas hutan adat”, diunduh melalui http://www.antaranews.com/berita/503552/presiden-aliansi-masyarakat-adat-nusantara-bahas-hutan-adat

“Tanggapan terhadap Pidato Kenegaraan Presiden: Presiden Jokowi Tegaskan Komitmen Lindungi Masyarakat Adat”, diunduh melalui http://www.aman.or.id/2015/08/17/tanggapan-terhadap-pidato-kenegaraan-presiden-presiden-jokowi-tegaskan-komitmen-lindungi-masyarakat-adat/

xi