laporan penelitian 2014 3
DESCRIPTION
Laporan Hasil Kajian Kementerian Koperasi dan UKM RI guna pengembangan UKM sebagai sektor strategis di Indonesia sekaligus mendukung program NAWACITA Bapak Presiden Jokowi DodoTRANSCRIPT
-
Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung 2014 I Bagian Pengkajian dan Pengembangan Kemenkop UKM Republik Indonesia
1
Bab 1
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Pelaksanaan pembangunan di Indonesia pada hakekatnya bertujuan untuk
mencapai suatu wujud masyarakat yang adil dan makmur, sejahtera, maju, berdaya saing,
berkeadilan, damai dan demokrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk
mencapai tujuan tersebut harus didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri,
beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan,
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi dan
berdisiplin (Bappenas, 2006). Berdasarkan tujuan ini maka hasil akhir dari pembangunan
nasional pada satu sisi harus dinikmati oleh masyarakat yakni masyarakat harus lebih baik
hidupnya dan lebih sejahtera, dan pada sisi lain pembangunan harus menciptakan manusia
pelaku atau subyek pembangunan yang mandiri dan tangguh. Apakah pembangunan yang
telah berlangsung mampu menghasilkan manusia yang tangguh atau belum, namun dalam
keberlanjutan proses pembangunan hingga saat ini, kebutuhan akan manusia tangguh baik
kualitas maupun kuantitasnya itu tetap mendesak dan utama di dalam proses
pembangunan itu sendiri.
Melihat fakta, Wurdjinem (2001) mengatakan bahwa pembangunan nasional
umumnya dan pembangunan ekonomi khususnya mengalami perkembangan dan kemajuan
yang cukup menggembirakan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya pendapatan perkapita
penduduk yang pada awal pembangunan sekitar US $ 100 menjadi sekitar US $ 530 pada
tahun 1989, dan pada tahun 1993 menjadi US $ 700 kemudian mengalami kenaikan pada
tahun 1996 menjadi US $ 884. Peningkatan pendapatan per kapital ini terus berlanjut yakni
pada tahun 2005 mencapai US $ 1.256, tahun 2006 US $ 1.662, tahun 2007 US $ 1.947
dan tahun 2008 US $ 2.250 (angka sementara). Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan
dikatakan dapat mencapai keberhasilan. Namun jika dilihat, keberhasilan pembangunan di
atas barulah bersifat makro.
Dari sisi pemerataan dan perimbangan hasil-hasil pembangunan, masih terdapat
ketimpangan-ketimpangan pada sektoral dan regional. Akibat ini muncul dari penerapan
model pembangunan seperti model kota-desa yang pada dasarnya lebih menitikberatkan
pada sektor industri dan investasi dalam skala besar. Hasilnya, kota dijadikan sebagai pusat
perdagangan, pusat ekonomi, pusat pemerintahan, pusat pendidikan dan pusat sosial
-
Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung 2014 I Bagian Pengkajian dan Pengembangan Kemenkop UKM Republik Indonesia
2
budaya serta memiliki fasilitas-fasilitas lebih baik dari pedesaan. Kota juga dijadikan fokus
utama dalam penanaman modal dan investasi dimana sebagai pusat berdirinya pabrik-
pabrik yang membuat penduduk desa tergiur untuk datang dan hidup di kota. Dalam
perkembangannya kota akan dipadati kaum urban dari pedesaan untuk mencari peluang
kerja tanpa berbekal keterampilan dan keahlian serta mempunyai tingkat pendidikan yang
relatif rendah. Semua akibat ini muncul dari suatu konsep pembangunan yang bias urban
dan mengabaikan kaum tertinggal di pedesaan. Dampak lanjutannya adalah kini muncul
masalah diperkotaan seperti yang disebut dengan pemulungan dan kemiskinan.
Suatu fenomena yang juga muncul di wilayah perkotaan adalah kaum migran di
kota umumnya menginginkan peluang kerja di sektor formal. Sementara peluang kerja
formal yang tersedia di kota masih terbatas, sehingga ini menimbulkan permasalahan
keterbatasan penampungan tenaga kerja atau pengangguran. Pengangguran kini terus
bertambah dan oleh karena itu harus dicarikan alternatif pemecahannya yaitu melalui
peluang kerja di sektor informal. Data BPS (2007) menunjukkan total angkatan kerja
109.941.359 orang dengan perincian di sektor formal 104.796.103 orang dan di sektor
informal 5.145.256 orang. Tahun 2008, menurut data sementara BPS, angkatan kerja
mencapai 111.477.447 orang, pada sektor formal 106.260.302 orang dan sektor informal
sebanyak 5.217.144 orang. Jumlah pekerja yang masuk ke sektor informal diperkirakkan
kemungkinan terus bertambah melihat lapangan kerja di sektor formal yang masih terbatas.
Menurut Manning dan Tadjudin (1996) faktor lain yang menjadi daya tarik orang
bekerja di sektor informal antara lain : (a) sektor ini pada umumnya merupakan pekerjaan
yang tidak mengikat, dan merupakan bidang kerja yang sangat mudah dimasuki tanpa
memenuhi persyaratan seperti syarat akademik. Sektor informal yang merupakan usaha
mandiri di antaranya adalah pedagang kaki lima, pengemudi becak, porter, pemulung dan
sebagainya. Pemulung menurut Yakob Rebong dan Yoto Widodo (1996), adalah bentuk
aktivitas dalam pengumpulan bahan-bahan bekas yang masih bisa dimanfaatkan (didaur
ulang). Aktivitas tersebut terbagi kedalam 3 klasifikasi di antaranya agen, pengepul dan
pemulung.
Pemulungan atau pengumpulan bahan-bahan bekas (limbah) yang masih bisa
dimanfaatkan merupakan kegiatan usaha yang relatif sulit untuk diidentifikasi atau
dikelompokkan sebagai kegiatan ekonomi karena usaha ini kelihatannya sangat sederhana.
Jika diteliti lebih jauh ternyata kegiatan tersebut tidak berbeda dengan kegiatan eksploitasi
sumberdaya alam renewable lainnya seperti nelayan, petani garam dan lain-lain yang
menghasilkan produk bernilai ekonomi. Kegiatan mengumpulkan bahan-bahan bekas
-
Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung 2014 I Bagian Pengkajian dan Pengembangan Kemenkop UKM Republik Indonesia
3
diantaranya kertas, kardus, besi, plastik dan lain-lain, kemudian dijual kepada para lapak.
Bahan-bahan yang dikumpulkan selanjutnya didaur ulang menjadi barang-barang yang
dapat dimanfaatkan manusia dan benilai ekonomis. Dalam kegiatan tersebut pemulung
bahkan mampu menghasilkan nilai tambah yang relatif tinggi karena biaya produksi yang
diperlukan mereka sangat rendah bahkan mendekati nol. Demikian juga peralatan yang
digunakan sangat sederhana sehingga nilainya sebagai aset produksi juga sangat rendah
sehingga hampir tidak dapat diperhitungkan.
Pada dasarnya pengembangan terhadap sebuah usaha atau kegiatan ekonomi
sehingga dapat mencapai tingkat keberhasilan tertentu, secara internal membutuhkan
kemampuan baik teknis maupun finansial dari pelakunya. Pelaku usaha dituntut memiliki
kemampuan secara teknis yaitu keahlian dalam mengelola usaha, menggunakan dan
mengembangkan teknik produksi (teknologi) yang lebih baik sehingga mampu mencapai
produksi yang lebih tinggi, serta memiliki kemampuan mendanai usahanya. Pada kegiatan
ekonomi dan usaha bisnis yang sudah maju, kemampuan di atas telah terbentuk meskipun
dalam tingkatan beragam menurut karakteristik, tingkat atau skala usaha tertentu
bersangkutan.
Meskipun telah maju, kegiatan ekonomi atau usaha bisnis dimaksud seringkali masih
membutuhkan dukungan dan bantuan pihak luar (eksternal) sehingga lebih maju dan
berhasil. Bantuan secara eksternal dapat berupa pendanaan (dalam bentuk berbagai
bantuan dan kredit), pembinaan untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia
pelaku usaha berupa pelatihan dan kursus keterampilan, bantuan pengembangan teknologi,
kerjasama untuk mencapai pasar serta berbagai bantuan lainnya. Sering kali berbagai
bantuan di atas dikemas dalam paket-paket program pemberdayaan yang bertujuan
meningkatkan kemampuan pelaku dan produktivitas usaha yang dijalankan sehingga
menghasilkan output dan pengembalian yang lebih tinggi.
Pada kelompok masyarakat pemulung yang kegiatan usahanya sangat rendah
tingkatannya, kemampuan internal yang melekat pada pelaku usaha (pemulung) pada
dasarnya belum terbentuk. Dalam lingkungan usaha seperti ini, peningkatan kemampuan
pengelolaan usaha sangat utama harus mengalir dari pihak luar dalam berbagai bentuk
pembinaan dan pemberdayaan. Suatu kondisi keterbatasan yang turut mengikat kemajuan
usaha di kalangan pemulung adalah kehidupan keluarga dengan tingkatan sosial dan
ekonomi yang sangat rendah. Kondisi ini membentuk perilaku pemulung yang dapat saja
menjadi kendala ketika mereka dihadapkan dengan kondisi-kondisi dinamis yaitu aspek-
aspek kelayakan yang dibutuhkan pada sebuah usaha yang maju. Dalam situasi seperti ini
-
Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung 2014 I Bagian Pengkajian dan Pengembangan Kemenkop UKM Republik Indonesia
4
peranan pihak dan atau lembaga pemberdayaan kepada masyarakat baik dari lembaga
pemerintah maupun swasta menjadi sentral.
Sekarang ini di jumlah TPA di Indonesia sebanyak 352 unit dengan jumlah
pemulung diperkirakan mencapai 1.256.804 orang. Umumnya pemulung terkonsentrasi
pada beberapa kota besar seperti Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya,
Makasar dan Manado. Besarnya jumlah pemulung telah menimbulkan permasalahan baik
dikalangan mereka sendiri maupun lingkungannya. Untuk mengatasi dampak dari
keberadaan mereka terhadap lingkungan dan memberdayakan mereka sebagai bagian dari
warga masyarakat, Pemerintah Daerah dan LSM pada beberapa daerah seperti di Jakarta,
Bandung dan Manado telah melaksanakan berbagai bentuk pendidikan, pelatihan dan
penyuluhan yang diarahkan agar usaha pemulung menjadi kegiatan ekonomi produktif yang
akan dapat mengangkat harkat hidup mereka dan berdampak positif bagi lingkungannya.
Namun demikian usaha tersebut belum sepenuhnya dapat terlaksana dengan baik karena
banyaknya permasalahan yang bersifat struktural terkait dengan karakter, produktifitas dan
legalitas usaha ini.
1.2. Perumusan Masalah
Konsep pembangunan telah meletakkan manusia di posisi sentral sebagai subyek
yang menggerakkan pembangunan itu sendiri. Manusia subyek pembangunan itu harus
tangguh dan mandiri dalam menjalankan proses pembangunan. Di sisi lain hasil-hasil
pembangunan yang dicapai juga harus mensejahterakan rakyat banyak. Akan tetapi
disadari bahwa pembangunan telah menyisahkan banyak ketimpangan sebagai akibat
pelaksanaan konsepsi pembangunan "bias urban". Ketimpangan memunculkan masalah
ketidaktersediaan lapangan kerja yang mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan.
Kepadatan penduduk di perkotaan sering tinggi dimana kepadatan terjadi sebagai akibat
migrasi masyarakat mencari lapangan pekerjaan dan peluang yang lebih baik di kota.
Secara spesifik, masalah "pemulungan" yang kini muncul diperkotaan dan menimbulkan
masalah sosial dan juga keamanan adalah sebagai salah satu akibat ketimpangan
pembangunan di atas. Masalah pemulungan kemudian meluas dan identik dengan masalah
kemiskinan, masalah kelompok masyarakat marjinal, masalah kebersihan lingkungan, dan
upaya-upaya penciptaan lapangan kerja dan lapangan usaha di kalangan kaum miskin.
Fakta, "pemulungan" telah terjadi, tetapi bagaimana pemecahannya?
Tujuan pembangunan yang memiliki landasan idiil dan konstitusional telah
menetapkan suatu dasar bahwa masyarakat harus disejahterakan. Oleh karena itu
-
Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung 2014 I Bagian Pengkajian dan Pengembangan Kemenkop UKM Republik Indonesia
5
pemulung adalah bagian dari masyarakat yang memiliki hak hidup dan turut menikmati
hasil-hasil pembangunan yang dicapai. Konsepsi pembangunan juga meletakkan manusia
Indonesia sebagai subyek pembangunan yang harus diperankan secara utama di dalam
proses pembangunan. Berdasarkan konsep ini, kaum pemulung yang sesuai fakta adalah
"kelompok tanpa kemampuan sumberdaya" atau "marjinal" harus diperankan di dalam
proses pembangunan. Untuk memberikan peran, kaum pemulung harus diberdayakan,
dibina dan dilatih sesuai bidang penghidupannya sehingga mereka bangkit, mampu dan
mandiri untuk berperan di dalam pembangunan itu.
Landasan hukum UUD 1945 pasal 27 menyatakan bahwa setiap warga Negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dasar hukum ini dapat
digunakan sebagai dasar bahwa kaum pemulung adalah juga warga negara yang memiliki
harkat dan martabat yang sama di hadapan setiap warga Negara lainnya. Olah kerana itu
mereka memiliki hak untuk hidup dan mendapat pekerjaan yang layak atau dipekerjakan
dengan layak bagi penghidupannya.
Sebagai kelompok marjinal, pemulung dianggap sebagai golongan sosial rendah yang
sering terisolasi dari pergaulan dan interaksi sosial masyakat. Mereka sering terpinggirkan
dan terlepas dari perhatian kelompok masyarakat yang maju. Di dalam konsep psikologi
sosial, manusia adalah individu yang memiliki jiwa, cita-cita dan harapan, memiliki ide-ide,
ingin mencapai sesuatu yang baik. Manusia adalah makhluk sosial yang harus hidup
berdampingan, saling tolong menolong dan membutuhkan satu sama lainnya serta
berinteraksi dengan lingkungan (Dwi Susilo, 2008). Konsepsi ini menunjukkan kaum
pemulung adalah juga individu manusia yang memiliki jiwa, cita-cita dan harapan, memiliki
ide-ide untuk mencapai hidup yang lebih baik. Karena itu kaum pemulung harus dirangkul
dan diberikan tempat di dalam interaksi sosial, dipahami jiwa, ide dan cita-citanya, dibantu,
dan diperankan dalam lingkungan masyarakat. Terhadap lingkungan, kehadiran pemulung
disebut sebagai pahlawan kebersihan.
Dari aspek ekonomi, pemulung adalah sumberdaya yang harus dianfaatkan. Mereka
adalah tenaga-tenaga produktif dan mampu menghasilkan produksi dan nilai tambah bagi
perekonomian. Oleh karena itu adalah tidak baik jika tenaga-tenaga produktif tersebut
dibiarkan menganggur dan menjadi beban pembangunan. Karena sebagai faktor produksi
yang memiliki ciri berbeda dengan faktor produksi lainnya, tenaga kerja pemulung adalah
sumberdaya yang jika diabaikan penggunaannya atau menganggur, akan menimbulkan
masalah-masalah sosial dan masalah lainnya.
Secara teknis di dalam aktivitas pemulung, usaha pemulungan merupakan usaha
-
Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung 2014 I Bagian Pengkajian dan Pengembangan Kemenkop UKM Republik Indonesia
6
yang sangat sederhana sehingga memungkinkan kelompok yang paling marjinal dalam
masyarakat (para gelandangan) sekalipun masih dapat memasuki kegiatan usaha tersebut.
Usaha pemulungan tersebut terbagi kedalam 3 klasifikasi diantaranya agen, pengepul
(lapak) dan pemulung. Sesuai dengan karakter usaha dan pelaku usahanya, para pemulung
sama sekali tidak memiliki bargaining untuk berhadapan dengan mitra usahanya yaitu para
lapak yang umumnya bertindak sebagai patron. Akibatnya, muncul suatu pola hubungan
kerja di antara mereka yang disebut Patron-Client Leadership. Pola ini telah menjadi salah
satu ciri khas dalam lapangan usaha tersebut.
Dalam kondisi pola hubungan patron-client ini pemulung harus menerima kenyataan
bahwa mereka hanyalah kelompok yang lemah yang hanya difungsikan sebagai penerima
harga (price taker). Sedangkan pemilik lapak akan bertindak sebagai price maker. Sesuai
konsepsi ekonomi, posisi pelaku price maker lebih kuat. Mereka akan mengambil
keputusan-keputusan yang menguntungkan dirinya dan memaksimumkan keuntungan
bisnisnya. Keputusan-keputusan yang diambil dapat sepihak tanpa mempertimbangkan
keadaan pelaku yang dikuasainya. Di lain pihak, pemulung sebagai price taker hanya
pengikut di dalam pasar dan secara individu mereka tidak mampu dan tidak memiliki
bargaining dalam menentukan harga maupun keputusan-keputusan dasar di pasar yang
bisa membuka peluang keuntungan bagi mereka. Dalam kondisi seperti ini cukup kuat
diduga bahwa para pemulung tidak akan mampu untuk meningkatkan taraf hidupnya,
karena sebagian besar nilai tambah dari kegiatan usaha mereka akan menjadi bagian dari
keuntungan para pemilik modal.
Pola hubungan pemulung dan lapak yang Patron-Client Leadership ini makin tumbuh
menjadi mapan. Kemapanan pola hubungan ini sebenarnya terjadi dipengaruhi oleh dua
faktor utama yaitu: (1) kondisi dan potensi pemulung yang sangat marjinal yaitu tidak
memiliki keahlian, tidak memiliki modal bahkan tidak memiliki tempat tinggal serta; (2)
penguasaan pasar dan teknologi produksi oleh para pemilik lapak. Jika kondisi ini terus
terjadi, para pemulung akan selamanya menjadi kelompok masyarakat yang tetap miskin,
terpinggirkan dan termajinalkan. Keadaan ini tentu dari berbagai sisi pandang seperti yang
dikemukakan di atas tidak relevan. Karena itu bagaimana memberdayakan kelompok ini
agar keluar dari kondisi mereka sekarang ? Model pengembangan usaha pemulungan
seperti apakah yang dapat mengubah pola usaha yang ada sehingga mereka dapat bekerja
layaknya manusia yang memiliki harkat dan martabat ?
Disisi lain ada kebijakan baru tentang persampahan melalui Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan dengan paradigma baru
-
Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung 2014 I Bagian Pengkajian dan Pengembangan Kemenkop UKM Republik Indonesia
7
produsen sampah (rumah tangga, industri, pasar, dll) ikut bertanggung jawab untuk
memilah sampah menjadi golongan sampah organik, anorganik dan bahan limbah
berbahaya (B3). Sementara TPA kelak hanya menerima residu sampah (sisa sampah yang
tidak dapat diolah lagi), karena itu sampah terlebih dahulu harus diolah kembali sesuai azas
3R (Reuse, Reduce, Recycle) oleh badan usaha. Dengan demikian ke depan pola aktivitas
pemulung akan berkurang.
Adanya permasalahan-permasalahan mendasar dalam kelompok pemulung sebagai
kelompok masyarakat yang paling marjinal, menuntut adanya model pembangunan yang
spesifik dari kelompok tersebut. Model pembangunan spesifik dimaksud diharapkan dapat
menginternalisasi berbagai kendala eksternal yang selama ini menghambat pembangunan
kelompok, yang kemudian akan menjadi cikal bakal pembangunan koperasi. Terdapat
begitu banyak faktor-faktor yang perlu dianalisis dalam proses penyusunan format model
tersebut, maka diperlukan adanya suatu kajian yang komprehensif dengan memperhatikan
semua potensi, peluang, masalah dan kendala pemberdayaan kelompok marjinal tersebut.
Secara umum, model tersebut mengemukakan pemberdayaan pemulung dalam
mengembangkan koperasi sehingga turut memperoleh nilai tambah dari daur ulang serta
mampu menyediakan fasilitas kesehatan dan fasilitas pendidikan luar sekolah.
1.3. Tujuan dan Manfaat
Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang di atas, maka tujuan dan
manfaat dari kajian ini adalah sebagai berikut :
1.3.1. Tujuan Kegiatan
Merumuskan model pengembangan pemulung baik dari aspek usaha maupun
aspek kelembagaan yang memungkinkan pemulung meningkatkan akses
terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan serta pendidikan, sehingga
dapat meningkatkan potensi ketertiban dan keamanan dalam masyarakat.
1.3.2. Manfaat Kegiatan
Sebagai bahan acuan pemberdayaan pemulung yang dapat dimanfaatkan oleh
Pemerintah serta stakeholder lainnya.
-
Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung 2014 I Bagian Pengkajian dan Pengembangan Kemenkop UKM Republik Indonesia
8
1.4. Ruang Lingkup
1.4.1. Lingkup Kegiatan
Mengumpulkan dan mengklasifikasikan data dan informasi yang berkaitan dengan:
1. Analisis usaha pemulung dan usaha daur ulang.
2. Rumusan model spesifik pengembangan pemulung.
3. Identifikasi potensi usaha pemulung.
4. Identifikasi sebaran pemulung.
5. Identifikasi potensi dan karakteristik pemulung.
6. Identifikasi peraturan perundang-undangan.
7. Identifikasi potensi dan pengembangan wilayah.
8. Identifikasi teknologi yang dapat diterapkan dalam daur ulang.
9. Simulasi kelompok.
10. Rumusan pola pengembangan pemulung dari aspek usaha dan kelembagaan.
1.4.2. Lingkup Lokasi
Kajian ini memiliki lingkup lokasi nasional dengan mengambil beberapa sample di 5
(lima) propinsi yaitu DKI Jakarta (TPA Bantar Gebang), Jawa Barat (Sarimukti), Jawa
Tengah (Jatibarang), Banten (Rawa Kucing) dan Sumatera Utara (Terjun dan Namo
Bintang).
1.5. Kerangka Pikir
Hakikat pembangunan nasional telah menetapkan bahwa pembangunan nasional
diarahkan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur di mana dihasilkan masyarakat
Indonesia yang mampu, kuat, memiliki kapasitas sumberdaya manusia lebih tinggi,
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja tinggi, berdisiplin, sehat,
mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, dan berkesadaran hukum dan
lingkungan. Manusia Indonesia sebagai hasil pembangunan yang berciri-ciri seperti di atas
disebut sebagai manusia Indonesia ideal. Manusia Indonesia ideal tersebut dilindungi
hukum dan didorong untuk berpartisipasi maksimal dalam pembangunan nasional.
Pemulung adalah warga negara dimana sesuai hahikat pembangunan mereka harus
menjadi manusia Indonesia ideal. Karena itu pemulung harus diikutsertakan di dalam
pembangunan sehingga proses pembangunan yang berlangsung dapat mendewasakan dan
menciptakan mereka sebagai manusia ideal. Lebih dari itu, pemulung ideal akan mampu
-
Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung 2014 I Bagian Pengkajian dan Pengembangan Kemenkop UKM Republik Indonesia
9
memberikan kontribusi positif dalam pembangunan pada umumnya dan khususnya pada
bidang/sektor ekonomi yang dimasukinya.
Fakta manunjukkan bahwa pemulung adalah para pekerja yang pekerjaannya
mengumpulkan barang-barang bekas yang masih dapat dimanfaatkan (didaur ulang).
Pemulung dikatagorikan sebagai kelompok masyarakat yang majinal, miskin, golongan
ekonomi lemah, bagian dari masyarakat penganggur, dan tidak memiliki kemampuan dan
kontribusi dalam pembangunan. Dalam keadaan seperti ini, untuk menciptakan mereka
sebagai manusia Indonesia ideal yang kemudian dapat berpartisipasi dalam pembangunan,
maka pemulung perlu diberdayakan. Pemberdayaan terhadap pemulung meliputi
pemberdayaan sumberdaya manusianya, dan pemberian kesempatan kepada mereka untuk
melakukan usaha-usaha produktif sesuai bidang pekerjaan yang digeluti.
Untuk dapat melakukan pemberdayaan tersebut, diperlukan suatu potret kondisi
eksisting pemulung yang sebenarnya. Kehidupan pemulung adalah sebuah kehidupan yang
kompleks, penuh dengan persoalan baik dilihat dari sisi individu atau pribadi seseorang
maupun secara bermasyarakat, pada satu sisi dapat diterima masyarakat dan pada sisi lain
ditolak, kehidupan yang diliputi eksploitasi dan persaingan tetapi menghasilkan nilai tambah
ekonomi, kehidupan yang dicekam stress dan beban, dan kehidupan yang keras dan
berlatar-belakang sosial budaya yang berbeda-beda antar satu daerah dengan daerah
lainnya.
Berdasarkan kompleksitas kehidupan pemulung tersebut maka pemotretan kondisi
eksisting dalam kajian ini mencakup : kondisi fisik pemulung, kesehatan fisik dan mental,
pendidikan, aktivitas keseharian, kondisi ekonomi dan usaha, kondisi psikologis dan sosial
kelembagaan, kondisi hukum, kebijakan-kebijakan yang terkait, kondisi fisik TPA dan
kelembagaannya serta berbagai aspek lain yang terkait dengannya. Kondisi-kondisi ini
secara luas perlu dijabarkan untuk menjelaskan secara mendalam apa yang dialami
masyarakat pemulung saat ini dan aspek atau faktor potensi dan kedala apa saja yang
dapat dijadikan dasar dalam rangka merumuskan model pemberdayaan yang layak bagi
mereka. Dalam kajian ini yang dimaksud dengan model pemberdayaan pemulung adalah
pola-pola pemberdayaan pemulung yang dilihat dari aspek ekonomi, hukum, sosial/
kelembagaan, psikologi, dan teknologi.
Setelah ditemukan kondisi eksisting maka langkah selanjutnya dilakukan analisis dan
assessment terhadap pemulung di masing-masing TPA sesuai aspek-aspek tersebut di atas,
untuk menentukan pola pemberdayaan dan langkah-langkah pemberdayaan SDM, yang
mencakup pembinaan dan peningkatan kualitas SDM, pendidikan, kesehatan dan pencitraan
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
pemulung serta aspek-aspek lainnya. Juga pola pemberdayaan dan langkah-langkah
pengembangan di atas mencakup pemilihan jenis-jenis usaha yang layak dilakukan oleh
pemulung dimana pada hakekatnya kesemuanya itu ditujukan untuk mencapai Manusia
Pemulung Indonesia yang disebut ideal. Konsep berpikir seperti yang diuraikan di atas
secara jelas dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut.
Gambar 1.1. Kerangka Pikir Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung
Existing Condition
10
PEMULUNG IDEAL
Sebagai warga : Hidup layak
Memiliki Bargaining position Mandiri/tangguh Mampu melakukan aktivitas usaha
Identifikasi :
Data demografis (deskripsi umum):
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
11
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
12
Bab 2
Deskripsi Umum
2.1. Hakekat dan Makna Pembangunan dan Implikasi terhadap
Pemulung
Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara
untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan pembangunan nasional tersebut antara
lain melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi, dan keadilan sosial
(Propenas 2004 - 2009).
Sebagai penjiwaan dalam pelaksanaan pembangunan dimaksud, keseluruhan
semangat, arah, dan gerak pembangunan dilaksanakan sebagai pengamalan semua sila
Pancasila secara serasi dan sebagai kesatuan utuh, yang meliputi :
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mencakup tanggung jawab bersama dari semua
golongan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk secara
terus-menerus dan bersama-sama meletakkan landasan spiritual, moral, dan etika
yang kokoh bagi pembangunan nasional.
2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, mencakup peningkatan martabat serta
hak dan kewajiban asasi warga negara serta penghapusan penjajahan,
kesengsaraan, dan ketidakadilan dari muka bumi.
3. Sila Persatuan Indonesia, mencakup peningkatan pembinaan bangsa di semua
bidang kehidupan manusia, masyarakat, bangsa dan negara sehingga rasa
kesetiakawanan semakin kuat dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan
bangsa.
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
13
4. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, mencakup upaya makin menumbuhkan dan
mengembangkan sistem politik Demokrasi Pancasila yang makin mampu
memelihara stabilitas nasional yang dinamis, mengembangkan kesadaran dan
tanggung jawab politik warga negara serta menggairahkan rakyat dalam proses
politik.
5. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, mencakup upaya
mengembangkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yang dikaitkan dengan
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya
kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam sistem ekonomi
yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Berdasarkan pokok pikiran di atas, maka hakikat pembangunan nasional adalah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat
Indonesia, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan dan pedoman pembangunan nasional.
Pembangunan nasional dilaksanakan merata di seluruh tanah air dan tidak hanya untuk
suatu golongan atau sebagian dari masyarakat, tetapi untuk seluruh masyarakat, serta
harus benar-benar dapat dirasakan seluruh rakyat sebagai perbaikan tingkat hidup yang
berkeadilan sosial, yang menjadi tujuan dan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pembangunan nasional dilaksanakan secara berencana, menyeluruh, terpadu, terarah,
bertahap, dan berlanjut untuk memacu peningkatan kemampuan nasional dalam rangka
mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajad dengan bangsa lain yang telah maju.
Pembangunan nasional memiliki arti pembangunan dari, oleh, dan untuk rakyat,
dilaksanakan di semua aspek kehidupan bangsa yang meliputi aspek politik, ekonomi,
sosial budaya, dan pertahanan keamanan, dengan senantiasa harus merupakan
perwujudan Wawasan Nusantara serta memperkukuh Ketahanan Nasional, yang
diselenggarakan dengan membangun bidang-bidang pembangunan, yang diselaraskan
dengan sasaran jangka panjang yang ingin diwujudkan. Pembangunan nasional
merupakan pencerminan kehendak untuk terus-menerus meningkatkan kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta mengembangkan
kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis
berdasarkan Pancasila. Pembangunan nasional diarahkan untuk mencapai kemajuan dan
kesejahteraan lahir batin, termasuk terpenuhinya rasa aman, rasa tenteram, dan rasa
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
14
keadilan serta terjaminnya kebebasan mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab
bagi seluruh rakyat. Pembangunan nasional menghendaki keselarasan hubungan antara
manusia dengan Tuhannya, antara sesama manusia dan antara manusia dengan
lingkungan alam sekitarnya.
Pembangunan nasional dilaksanakan bersama oleh masyarakat dan pemerintah.
Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk
mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang. Kegiatan
masyarakat dan kegiatan pemerintah saling menunjang, saling mengisi dan saling
melengkapi dalam satu kesatuan menuju tercapainya tujuan pembangunan nasional.
Pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat terdiri dari tingkat mikro individu atau
pribadi rakyat; tingkat agregat-nasional dimulai di tingkat kelompok masyarakat, desa-
kelurahan, kecamatan, kabupaten-kota, propinsi sampai nasional; dan tingkat global-
internasional mencakup pembangunan antar negara dan bangsa.
Pada suatu negara demokrasi, pembangunan berlangsung sendiri berdasarkan
kemauan, kebutuhan, dan kemampuan rakyat, kemudian dilakukan mandiri oleh rakyat,
serta selanjutnya dimanfaatkan sendiri hasil dan dampaknya untuk rakyat. Dalam tahap
dan pemahaman ini disebut: (1) secara politik: demokrasi telah berjalan; (2) secara sosial
terjadi peranserta aktif masyarakat; (3) secara ekonomi mekanisme pasar berperan
(market work-mechanism); (4) secara hukum proses pembangunan berjalan sesuai
hukum dan peraturan (law and order); dan (5) secara administrasi publik pembangunan
dikelola secara baik (good governed, terjadi good governance dan good government).
Sementara itu pada negara yang sedang dalam masa transisi menuju negara
demokrasi, maka pembangunan belum dapat sepenuhnya berlangsung sesuai harapan
tersebut di atas. Pemerintah sebagai penggerak pembangunan berfungsi membantu
rakyat untuk melaksanakan pembangunannya sendiri. Dalam hal ini pemberdayakan
masyarakat berarti memihak, mempersiapkan dan melindungi (empowerment) rakyat.
Berdasarkan hakikat dan makna pembangunan di atas maka sesuai tujuan kajian
ini, beberapa aspek penting yang perlu mendapat perhatian utama dari pelaksanaan
pembangunan adalah (1) pencapaian tujuan masyarakat adil dan makmur, (2)
pembangunan yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat, (3) seluruh masyarakat
benar-benar menikmati tujuan pembangunan dalam wujud perbaikan tingkat hidup yang
berkeadilan sosial, (4) pembangunan didukung oleh manusia Indonesia sebagai subjek
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
15
pembangunan yang mampu dan berdaya, dan (5) pembangunan dilaksanakan secara
bersama oleh masyarakat dan pemerintah dimana pemerintah berkewajiban
mengarahkan, membimbing, dan menciptakan suasana yang menunjang, sedangkan
masyarakat terlibat secara individu dan berkelompok secara berjenjang dari tingkat desa
hingga nasional dan global dalam pembangunan bangsa.
Dari aspek-aspek di atas, aspek manusia sebagai subyek pembangunan
merupakan dasar untuk menggerakan dan mendorong terciptanya tujuan pembangunan
yang diinginkan. Dengan demikian kapasitas sumberdaya manusia yang lebih tinggi,
mampu secara fisik dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja
tinggi, berdisiplin, sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air,
dan berkesadaran hukum dan lingkungan merupakan pelaku ideal yang diharapkan dalam
pembangunan (Bappenas, 2006). Pentingnya aspek sumberdaya manusia ini sesuai
dengan modal dasar pembangunan nasional bahwa penduduk Indonesia yang berjumlah
besar adalah sumberdaya manusia yang potensial dan produktif bagi pembangunan
nasional. Demikian juga modal dasar sumberdaya alam yang beraneka ragam dan dapat
didayagunakan secara bertanggung jawab demi kemakmuran rakyat, dapat dikelola oleh
sumberdaya manusia yang berdaya untuk tujuan pencapaian kemakmuran.
Jika makna dan hakikat pembangunan yang dirumuskan di atas begitu ideal, maka
keberadaan tenaga-tenaga produktif pemulung merupakan sumberdaya manusia dan
tenagakerja produktif yang potensial untuk diberdayakan dalam bidangnya guna
mencapai tujuan masyarakat sejahtera dengan tingkat hidup yang bebih baik.
Pemberdayaan terhadap pemulung dilihat sebagai proses menuju pengambilan peran dari
setiap warga negara dalam pembangunan, dan pemerintah sebagai penyelenggara
negara mengambil fungsi yaitu membantu masyarakat golongan rendah untuk
melaksanakan pembangunannya sendiri. Pelaksanaan pemberdayaan ini merupakan
wujud dari fungsi memihak, mempersiapkan dan melindungi pemulung dan menciptakan
sumberdaya mereka yang berkapasitas tangguh untuk terjun di dalam pembangunan.
2.2. Dinamika Pembangunan di Berbagai Bidang
2.2.1. Bidang Ekonomi
Perkembangan Ekonomi Sebelum Krisis
Kartasasmita (1997) menyatakan, perkembangan perekonomian nasional pada
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
16
masa ORBA di awali dengan income per kapita penduduk yang sangat rendah hanya
sekitar US$ 70 sehingga saat itu Indonesia termasuk salah satu negara termiskin di dunia.
Laju pertumbuhan penduduk cukup tinggi yaitu antara 2 - 3 persen sedangkan laju
pertumbuhan ekonomi semakin menurun. Jumlah penduduk miskin cukup besar mencapai
70 juta orang atau 60 persen dari seluruh penduduk. Namun setelah pembangunan
berlangsung beberapa tahun, laju pertumbuhan ekonomi mulai meningkat dan mencapai
rata-rata 6,8 persen dengan laju pertumbuhan penduduk telah dapat ditekan rata-rata di
bawah 2 persen per tahun, sehingga pendapatan per kapita meningkat lebih dari 11 kali
(dinyatakan dalam US$ pada harga yang berlaku) menjadi di atas US$ 800. Sejalan
dengan kenaikan pendapatan per kapita ini, jumlah penduduk miskin telah berkurang
menjadi 25,9 juta orang atau 13,7 persen dari seluruh penduduk. Upaya penanggulangan
kemiskinan ini telah dilanjutkan dan ditingkatkan antara lain dengan tambahan program
khusus seperti IDT dan dengan program Takesra/Kukesra.
Pada tahun 1994, laju pertumbuhan ekonomi mencapai 7,5 persen dan tahun
1995 mencapai 8,1 persen. Pertumbuhan itu telah melampaui sasaran yang ditargetkan
yaitu sebesar 7,1 persen. Dengan pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 1,6 persen
per tahun dan pertumbuhan ekonomi seperti di atas, pendapatan nasional nominal per
kapita telah mencapai US$ 920 pada tahun 1994 dan US$ 1.023 pada tahun 1995.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup cepat seperti tersebut di atas diperoleh terutama atas
dukungan dari pertumbuhan sektor industri pengolahan.
Pertumbuhan ekonomi disertai dengan perubahan struktur ekonomi yang makin
seimbang dan kukuh, tercermin pada struktur produksi, struktur penerimaan devisa,
struktur penerimaan negara, dan struktur ketenagakerjaan. Di awal pembangunan masa
ORBA, struktur produksi masih rentan dan didominasi oleh sektor pertanian. Pangsa
sektor pertanian terhadap PDB hampir mencapai 50 persen sedangkan industri
pengolahan di bawah 10 persen. Namun dalam tahun 1995, keseimbangan kedua sektor
itu telah berubah yaitu pangsa sektor pertanian telah menurun menjadi 17,2 persen
sedangkan pangsa sektor industri pengolahan meningkat menjadi 24,3 persen, sehingga
tatanan perekonomian menjadi lebih kukuh.
Struktur tenaga kerja juga telah mengalami perubahan dan menuju ke arah yang
makin seimbang. Pada tahun 1971, pekerja yang bekerja di sektor pertanian, industri
pengolahan, dan sektor lainnya adalah masing-masing 66,3 persen, 6,8 persen, dan 26,9
persen. Dalam tahun 1995, pekerja yang bekerja di sektor pertanian, industri, dan sektor
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
17
lainnya telah berubah menjadi masing-masing 47,3 persen, 10,7 persen, dan 42,0 persen.
(Angkatan kerja pada tahun 1971 berdadarkan usia penduduk di atas 10 tahun, dan pada
tahun 1995 berdasarkan usia penduduk di atas 15 tahun). Ini memunjukkan terjadi
perubahan struktur menjadi semakin kuat dan seimbang antar sektor ekonomi.
Perkembangan Ekonomi Setelah Krisis
Bappenas (2006) menyajikan data perkembangan pertumbuhan ekonomi
beberapa tahun terakhir setelah krisis sebagaimana terlihat pada Tabel 2.1. Pertumbuhan
ekonomi tahun 2004 sebesar 5,1 persen terutama didorong oleh konsumsi masyarakat
dan pembentukan modal tetap bruto yang meningkat masing-masing sebesar 4,9 persen
dan 15,7 persen. Sedangkan dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi dalam tahun 2004
didorong oleh sektor pertanian dan industri yang masing-masing tumbuh sebesar 4,1
persen dan 6,2 persen; sedangkan sektor lainnya tumbuh sebesar 4,9 persen.
Tabel 2.1. Ringkasan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2001 - 2006.
PDB/Sektor Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006
PDB 3.8 4.4 4.9 5.1 5.8 5.5 PDB Migas -5.3 -1.3 -2.9 -4.4 -4.5 -1.3
PDB Non-Migas 5.1 5.1 5.8 6.2 6.8 6.1
1. Pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan 4.1 3.2 4.3 4.1 1.7 3.0 2. Pertambangan dan penggalian 0.3 1.0 -0.9 -4.6 -0.8 2.2
3. Industri pengolahan 3.3 5.3 5.3 6.2 5.8 4.6
4. Listrik, gas, dan air bersih 7.9 8.9 5.9 5.9 8.8 5.9 5. Bangunan 4.6 5.5 6.7 8.2 7.2 9.0
6. Perdagangan, hitel dan restoran 4.4 3.9 5.3 5.8 9.2 6.1
7. Pengangkutan dan komunikasi 8.1 8.4 11.6 12.7 13.3 13.6 8. Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 6.6 6.4 7.0 7.7 8.4 5.6
9. Jasa-jasa 3.2 3.8 3.9 4.9 4.9 6.2
1. Konsumsi Rumahtangga 3.5 3.8 3.9 4.9 3.7 3.2 2. Konsumsi Pemerintah 7.6 13.0 10.0 1.9 0.6 9.6
3. Pembentukan Modal Tetap Bruto 6.5 4.7 1.0 15.7 12.4 2.9
4. Ekspor barang dan jasa 0.6 -1.2 8.2 8.2 9.5 9.2
5. Impor barang dan jasa 4.2 -4.2 2.7 24.9 14.1 7.6
Sumber : Bappenas, 2006
Pertumbuhan ekonomi tahun 2005 sebesar 5,8 persen adalah relatif tinggi, namun
cenderung melambat. Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh
sektor industri pengolahan terutama non-migas yang tumbuh sebesar 6,8 persen serta
sektor tersier terutama pengangkutan dan komunikasi; perdagangan, hotel, dan
restauran; serta keuangan dan jasa perusahaan yang masing-masing tumbuh sebesar
13,3 persen; 9,2 persen, dan 8,4 persen. Sementara itu sektor pertanian hanya tumbuh
1,7 persen antara lain karena berkurangnya luas lahan pertanian.
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
18
Pada perkembangan Sisi Pengeluaran, lemahnya daya dorong konsumsi rumah
tangga antara lain tercermin menurunnya indeks keyakinan konsumen dan perdagangan
eceran (retail). Dalam bulan Oktober 2005, Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK), yang
dikumpulkan oleh Danareksa Research Institute mencapai 89,5; menurun dari 107,5 yang
dicapai pada akhir Desember 2004. Indeks yang sama yang dikumpulkan oleh Bank
Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan kecenderungan yang
sama. Indeks Keyakinan Konsumen yang dikumpulkan oleh Bank Indonesia pada bulan
September 2005 turun menjadi 90,1 dari 119,1 pada Desember 2004. Bahkan dalam
bulan Oktober 2005 turun lagi menjadi 76,9.
Pada tahun 2006, perekonomian tumbuh makin baik dengan prioritas tetap
diberikan pada upaya untuk mendorong investasi. Secara keseluruhan tahun 2006,
ekonomi tumbuh 5,5 persen; sedikit lebih rendah dibandingkan tahun 2005 (5,7 persen).
Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi didorong oleh sektor pertanian, pertambangan
dan penggalian, industri pengolahan, dan sektor-sektor lainnya yang meningkat 3,0
persen, 2,2 persen, 4,6 persen, dan 6,5 persen. Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan
ekonomi didorong oleh ekspor barang dan jasa serta pengeluaran pemerintah yang
tumbuh tinggi yaitu sebesar 9,2 persen dan 9,6 persen, pertumbuhan konsumsi rumah
tangga yang terjaga sebesar 3,2 persen; dan investasi yang meningkat 2,9 persen.
Membaiknya konsumsi rumah tangga antara lain tercermin dari meningkatnya
indeks keyakinan konsumen dan perdagangan eceran (retail). Pada bulan November
2006, Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK), yang dikumpulkan oleh Danareksa Research
Institute mencapai 91,6; meningkat 15,1 persen dibandingkan Desember 2005. Indeks
yang sama yang dikumpulkan oleh Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS)
juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Indeks Keyakinan Konsumen yang
dikumpulkan oleh Bank Indonesia pada bulan November 2006 meningkat menjadi 101,5
atau naik 17,3 persen dibandingkan bulan Desember 2005.
Catatan akhir tahun yang dikeluarkan oleh Kadin (2007) menyebutkan bahwa
pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2007 diperkirakan mencapai atau setidaknya
mendekati target yang ditetapkan pemerintah di dalam APBN 2007. Momentum
percepatan pertumbuhan sudah kembali hadir, sebagaimana ditandai oleh pertumbuhan
produk domestik bruto (PDB) yang praktis selama enam triwulan berturut-turut
menunjukkan peningkatan terus menerus. Pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
19
Indonesia diperkirakan sekitar 6,2 persen, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan Asean-
5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam) sebesar 5,9 persen.
Kestabilan makro ekonomi cukup terjaga dengan kecenderungan membaik. Hal ini
antara lain tercermin dari nilai tukar Rupiah yang relatif tak bergejolak, kecenderungan
penurunan suku bunga, dan laju inflasi yang jauh lebih rendah dari tahun 2006. Kinerja
neraca pembayaran (balance of payments) juga membaik di segala lini: akun
perdagangan barang (trade account), akun semasa (current account), maupun akun
modal (capital account).
Dari gambaran di atas, bisa disimpulkan bahwa secara umum dan agregat, kinerja
perekonomian Indonesia selama tahun 2007 menunjukkan kemajuan yang cukup baik.
Namun, jika kita telaah lebih mendalam dan rinci, gambarannya tak sebaik "tampak luar".
Jika dilihat pola pertumbuhan sektoral maka selama lima tahun terakhir pola
pertumbuhan sektoral menunjukkan kesenjangan yang masih cenderung lebar antara
sektor tradable dan non-tradable. Sektor tradable tumbuh relatif jauh di bawah
pertumbuhan PDB; sebaliknya sektor non-tradable menunjukkan pertumbuhan yang
selalu lebih tinggi dari PDB.
Dengan pengecualian sektor pertanian pada triwulan III 2007 yang tumbuh
"menakjubkan" (8,9 persen), seluruh unsur sektor tradable (pertanian, pertambangan &
penggalian, dan industri manufaktur) mengalami tekanan. Sementara primadona sektor
non-tradable yaitu subsektor komunikasi tumbuh di atas 20 persen dan subsektor
transportasi udara yang tumbuh rata-rata di atas 10 persen. Subsektor lain dalam sektor
non-tradeble tumbuh di atas PDB dan cukup konsisten. Ini berarti pertumbuhan tinggi di
sektor non-tradable terjadi secara relatif merata.
Bertolak dari pola demikian, maka bisa disimpulkan bahwa ada faktor struktural
yang membuat pola pertumbuhan sektoral semakin kontras: tradable versus non-
tradable. Di Indonesia industrialisasi masih menuju pematangan di tahap industrializing.
Dengan kata lain, peranan sektor industri manufaktur sebetulnya masih bisa dipacu
hingga mencapai sekitar 35 persen dari PDB. Jika peranan sektor industri manufaktur
masih di bawah 30 persen tetapi sudah mandeg, bahkan turun walau sangat tipis, berarti
ada tanda-tanda kita mengalami "deindustrialisasi" dini. Ini menandakan kualitas
pertumbuhan sektoral tidak optimal, sehingga sulit diharapkan memberikan sumbangan
berarti bagi penurunan angka pengangguran dan kemiskinan serta perbaikan
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
20
ketimpangan.
Jika kita telusuri lebih lanjut, ternyata gambaran pembentukan modal tetap kian
kurang menjanjikan bagi terpeliharanya landasan pertumbuhan ekonomi jangka panjang
yang kokoh. Sekitar 76 persen dari pembentukan modal tetap adalah dalam bentuk
konstruksi (bangunan), sedangkan yang dalam bentuk mesin dan alat transport masing-
masing hanya 6,4 persen untuk domestik dan 17,2 persen untuk luar negeri (impor). Agar
investasi memberikan kontribusi yang lebih signifikan bagi penyerapan tenaga kerja,
maka porsi mesin harus lebih didorong.
Pengeluaran pemerintah, baik dalam bentuk konsumsi dan investasi, tampaknya
kurang bisa diharapkan, mengingat pada tahun 2007 dan 2008 APBN harus menanggung
beban subsidi yang sangat berat akibat tingginya harga minyak dan kemerosotan
produksi minyak di dalam negeri. Juga beban yang masih cukup besar untuk pembayaran
bunga utang dalam negeri dan luar negeri. Ditambah lagi dengan kendala birokrasi yang
membuat masih tersendatnya realisasi anggaran investasi pemerintah.
Perekonomian Indonesia 2008 diperkirakan hanya tumbuh sedikit lebih tinggi dari
tahun 2007, namun hampir tertutup kemungkinan bisa mencapai target APBN 2008
sebesar 6,8 persen. Pertumbuhan maksimum diperkirakan hanya sekitar 6,5 persen. Hal
ini juga disebabkan oleh kendala di sisi supply (supply constraints) yang sudah barang
tentu tak bisa diatasi dalam jangka pendek. Keterbatasan infrastruktur akan menjadi
kendala yang kian dirasakan. Volume dan kualitas pasokan listrik praktis tak akan
bertambah, sementara tarif listrik untuk industri akan terus dinaikkan. Sama halnya
dengan kapasitas pelabuhan dan jalan yang juga tak akan beranjak dari kondisi sekarang.
Sementara itu, peluang pemompaan dana APBN akan terkendala oleh rendahnya
efektivitas pengeluaran pemerintah pusat maupun daerah.
Beberapa rekomendasi KADIN untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi pada
tahun 2008 adalah mengimplementasikan program revitalisasi pertanian dan pedesaan.
Mengintegrasikan kebijakan pertanian, industri, dan energi nasional, sehingga tercipta
suatu sinergi dalam mengoptimalkan segala potensi yang kita miliki, guna menjamin
terwujudnya food and energy security. Menghilangkan segala hambatan yang membuat
produksi dalam negeri kian tersisih di pasar domestik. Mengamankan target lifting minyak
mentah agar tekanan defisit APBN bisa diminimalisasikan; seraya mendorong diversifikasi
energi, terutama meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Meningkatkan dan
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
21
mempercepat pembangunan serta perbaikan kondisi infrastruktur di luar Jawa.
Menetapkan regulasi ruang lingkup dan koordinasi pemerintah tentang logistik (siapa
yang mengkoordinir) agar mampu mendukung supply chain dari sektor-sektor yang
berorientasi ekspor dan agar dapat terintegrasi dengan sistem produksi global.
Memperdalam fixed capital formation dengan meningkatkan secara signifikan porsi
investasi dalam bentuk permesinan. Menempatkan posisi UMKM sebagai pelaku ekonomi
dalam pembangunan nasional untuk menciptakan industri pendukung/penunjang
pertumbuhan industri nasional. Pada waktu bersamaan, pemerintah dituntut untuk
meningkatkan akses UMKM terhadap kredit dan instrumen pembiayaan lainnya.
2.2.2. Bidang Sosial
Perkembangan yang penting pada bidang sosial di Indonesia tahun 1998 dimulai
dengan reformasi yang membawa perubahan terhadap tantanan kehidupan. Reformasi
merupakan suatu proses perbaikan dengan melakukan koreksi terhadap unsur-unsur yang
rusak, dengan tetap mempertahankan elemen budaya dasar yang masih fungsional,
tanpa merubah bentuk masyarakat dan budaya secara total dan mendasar. Transformasi
adalah perubahan yang sifatnya lebih cepat, total, mendasar dan menyeluruh. Sedangkan
deformasi merupakan kerusakan pada keteraturan sosial tersebut.
Perubahan yang cepat tersebut harus mampu mempertahankan "cultural
continuity", dan disini suatu unsur yang amat perlu dipertahankan adalah kesepakatan-
kesepakatan nilai (commonality of values) yang pernah dicapai selama lebih dari 60 tahun
silam. Akibat gejala sosiologis fundamental, maka terjadi pergeseran-pergeseran yang
diantaranya sebagai berikut :
1. Pergeseran Struktur Kekuasan : Otokrasi menjadi Oligarki, yaitu kekuasaan terpusat
pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat (demos) tetap jauh dari
sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi, dsb).
2. Krisis dalam representative democracy dan civil society : kebencian Sosial yang
Tersembunyi (Socio-Cultural Animosity).
Pola konflik di Indonesia ternyata bukan hanya terjadi antara pendukung fanatik
Orba dengan pendukung Reformasi, tetapi justru meluas antar suku, agama, kelas
sosial, kampung dsb. Sifatnyapun bukan vertikal antara kelas atas dan bawah
tetapi justru lebih sering horizontal, antara rakyat kecil, sehingga konflik yang
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
22
terjadi bukan konflik yang korektif tetapi destruktif (tidak fungsional tetapi
disfungsional). Kita menjadi "self destroying nation".
Konflik sosial yang terjadi di Indonesia bukan hanya konflik terbuka (manifest
conflict) tetapi lebih berbahaya lagi adalah "hidden atau latent conflict" antara
berbagai golongan.
Cultural animosity adalah suatu kebencian budaya yang bersumber dari perbedaan
ciri budaya tetapi juga perbedaan nasib yang diberikan oleh sejarah masa lalu,
sehingga terkandung unsur keinginan balas dendam. Konflik tersembunyi ini
bersifat laten karena terdapat mekanisme sosialisasi kebencian yang berlangsung
dihampir seluruh pranata sosialisasi (agent of socialization) di masyarakat (mulai
dari keluarga, sekolah, kampung, tempat ibadah, media massa, organisasi massa,
organisasi politik dan sebagainya).
Kita belum berhasil menciptakan kesepakatan budaya (civic culture).
Persoalannya adalah proses integrasi bangsa kita yang kurang mengembangkan
kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif (integrasi normatif), tetapi lebih
mengandalkan pendekatan kekuasaan (integrasi koersif).
Mempertimbangkan persoalan diatas, nampaknya suatu "socio-cultural policy" dan
"socio-cultural" planning - yang berdasarkan analisis sosiologis-antropologis yang
mendalam dan metode pemecahan masalah yang dipelajari dari berbagai
pengalaman bangsa yang lain - amat kita perlukan.
Kemiskinan dan ketidak-adilan sering "jatuh bersamaan" dengan identitas sosial
tertentu. Karena kebencian sosial yang tersembunyi, maka timbul suatu budaya
merebaknya pengangguran. Secara sosiologis, penganggur adalah orang yang tidak
memiliki status sosial yang jelas (statusless), sehingga tidak memiliki standar pola perlaku
yang pantas atau tidak pantas dilakukan, cenderung mudah melepaskan diri dari
tanggungjawab sosial. Dalam kondisi yang ekstrim penganggur tidak peduli terhadap
keteraturan sosial, dan bahkan menginginkan terjadinya "kekacauan sosial" (social
disorder atau bahkan chaos) agar mendapat keutungan dari ketidak-teraturan itu. Saat ini
ada gumpalan massa penganggur yang jumlahnya 9,5 juta (pada tahun 2003). Mereka
banyak dimanfaatkan oleh pelaku politik sebagai alat penekan dan pembenaran aspirasi
politik mereka, sehingga demonstrasi saat ini tidak selalu merupakan ekspresi dari aspirasi
rakyat yang murni.
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
23
2.2.3. Tingkat Kemiskinan Indonesia
Kemiskinan biasanya dikenali dari ketidakmampuan sebuah keluarga untuk
memenuhi kebutuhan dasar dan berbagai kaitan yang mencitrakan orang tersebut
menjadi miskin. Beberapa konsep kemiskinan yang dikenal sekarang adalah :
Garis Kemiskinan. Garis kemiskinan dikaitkan dengan kebutuhan konsumsi
minimum sebuah keluarga atau sering disebut sebagai kemiskinan primer. Indikasi
dari kemiskinan ini adalah 2 per 3 dari pendapatan sebuah keluarga habis digunakan
buat makan.
Kemiskinan absolut. Kemiskinan absolut adalah keluarga yang hidup dibawah
garis kemiskinan.
Kemiskinan relatif adalah keluarga yang hidup di atas garis kemiskinan tetapi
rentan terjerembab ke kubangan garis kemiskinan.
Kemiskinan massal atau kantong kemiskinan adalah kemiskinan yang
melanda satu wilayah, hal ini merupakan masalah yang lebih kompek.
Menurut World bank, keluarga yang berpenghasilan kurang dari $1 maka
dimasukkan dalam katagori miskin.
Chamber (1983) menyatakan bahwa kemiskinan umumnya ditandai oleh isolasi-
lokasi jauh dari pusat-pusat perdagangan, diskusi dan informasi, juga ditandai dengan
ketiadaan sarana bepergian. Kelompok masyarakat miskin amat rentan karena mereka
tidak memiliki penyangga kehidupan yang memadai. Kebutuhan kecil dipenuhi dengan
cara menggunakan uangnya yang sangat terbatas jumlahnya, mengurangi konsumsi,
barter, pinjam dari teman dan pedagang. Mereka juga mengalami ketidakberdayaan
yang ditandai dengan diabaikannya mereka oleh hukum, ketiadaan bantuan hukum bagi
mereka, kalah dalam kompetisi mencari kerja dan merekapun tidak memperoleh
pelayanan publik yang memadai dan optimal. Kemiskinan kemudian lebih ditafsirkan
sebagai suatu kondisi ketiadaan akses pada pilihan-pilihan dan hak-hak yang seharusnya
melekat di bidang sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lingkungan hidup.
Konsep yang amat dekat dengan konsep kemiskinan adalah impoverishment (hal-
hal yang menyebabkan sesorang atau sesuatu menjadi lebih miskin). Proses
impoverishment adalah sebuah proses aktif menghilangkan akses dan hak-hak dasar yang
secara sismtimatik direproduski dan diciptakan oleh sejumlah mekanisme global seperti
kerusakan lingkungan hidup, kehancuran sumberdaya rakyat, inflasi, penggangguran dan
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
24
politik utang luar negeri. Proses inilah yang dikenal sebagai proses pelemahan
(disempowerment) ekonomi, ekologi, sosial, politik dan kebudayaan khususnya bagi
kelompok-kelompok masyarakat minoritas dan terpinggirkan.
2.2.3.1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Indonesia, 1996-2005
Jumlah dan persentase penduduk miskin pada beberapa tahun terakhir yaitu
periode tahun 1996 - 2005 cukup berfluktuasi meskipun terlihat adanya kecenderungan
menurun pada periode tahun 2000 - 2005. Pada Tabel 2.2 disajikan perkembangan data
jumlah penduduk miskin tersebut. Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin
meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada tahun
1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999. Persentase penduduk miskin meningkat dari
17,47 persen menjadi 23,43 persen pada periode yang sama (BPS, 2006).
Pada periode 1999-2002 terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 9,57
juta, yaitu dari 47,97 juta pada tahun 1999 menjadi 38,40 juta pada tahun 2002. Secara
relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 23,43 persen pada tahun
1999 menjadi 18,20 persen pada tahun 2002. Penurunan jumlah penduduk miskin juga
terjadi pada periode 2002-2005 sebesar 3,3 juta, yaitu dari 38,40 juta pada tahun 2002
menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Persentase penduduk miskin turun dari 18,20
persen pada tahun 2002 menjadi 15,97 persen pada tahun 2005.
Tabel 2.2. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia
Menurut Daerah, Tahun 1996 - 2005.
Tahun
Jumlah Penduduk Miskin (Jt org) Persentase Penduduk Miskin
Kota Desa Kota+ Desa
Kota Desa Kota+ Desa
1996 9.42 24.59 34.01 13.39 19.78 17.47
1998 17.60 31.90 49.50 21.92 25.72 24.23
1999 15.64 32.33 47.97 19.41 26.03 23.43
2000 12.30 26.40 38.70 14.60 22.38 19.14
2001 8.60 29.30 37.90 9.76 24.84 18.41
2002 13.30 25.10 38.40 14.46 21.10 18.20
2003 12.20 25.10 37.57 13.57 20.23 17.42
2004 11.40 24.80 36.10 12.13 20.11 16.66
2005 12.40 22.70 35.10 11.37 19.51 15.97
Sumber : BPS, 2006
2.2.3.2. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Februari 2005-Maret 2006
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta
(17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
25
berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar
3,95 juta. Pertambahan penduduk miskin di daerah perdesaan sedikit lebih tinggi dari
pada daerah perkotaan. Selama periode Februari 2005-Maret 2006, penduduk miskin di
daerah perdesaan bertambah 2,06 juta, sementara di daerah perkotaan bertambah 1,89
juta orang (Tabel 2.3). Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan
perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Februari 2005, sebagian besar (64,67
persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan, sementara pada bulan Maret 2006
persentase ini turun sedikit menjadi 63,41 persen.
Tabel 2.3. Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Daerah, Februari 2005 - Maret 2006
Daerah/ Tahun
Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bln) Jumlah
penduduk miskin (juta)
Persentase
penduduk miskin
Makanan Bukan
Makanan Total
Perkotaan Februari 2005 Maret 2006
103 992 126 527
46 807 48 797
150 799 175 324
12.40 14.29
11.37 13.36
Perdesaan Februari 2005
Maret 2006
84 014
103 180
33 245
28 076
117 259
131 256
22.70
24.76
19.51
21.90
Kota+Desa Februari 2005
Maret 2006
91 072
114 619
38 036
38 228
129 108
152 847
35.10
39.05
15.97
17.75
Sumber : BPS, 2006
2.2.3.3. Perubahan Garis Kemiskinan Februari 2005-Maret 2006
Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan,
karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita
per bulan dibawah Garis Kemiskinan. Semakin tinggi Garis Kemiskinan, semakin banyak
penduduk yang tergolong sebagai penduduk miskin. Selama Februari 2005-Maret 2006,
Garis Kemiskinan naik sebesar 18,39 persen, yaitu dari Rp.129.108,- per kapita per bulan
pada Februari 2005 menjadi Rp.152.847,- per kapita per bulan pada Maret 2006. Dengan
memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan
Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM), terlihat bahwa peranan
komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan
(perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada bulan Februari 2005,
sumbangan GKM terhadap GK sebesar 70,54 persen, tetapi pada bulan Maret 2006,
peranannya meningkat sampai 74,99 persen. Meningkatnya peranan GKM terhadap GK ini
sebagian besar akibat naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok yang juga
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
26
digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen selama periode Februari 2005-Maret
2006.
Komoditi yang paling penting bagi penduduk miskin adalah beras. Pada bulan
Maret 2006, persentase pengeluaran beras terhadap total pengeluaran sebulan untuk
penduduk miskin sebesar 23,10 persen, bahkan di daerah perdesaan persentase ini
mencapai 26,08 persen. Sumbangan pengeluaran beras terhadap Garis Kemiskinan
mencapai 34,91 persen di perdesaan dan 25,98 persen di perkotaan. Dengan demikian
kenaikan harga beras akan berpengaruh besar kepada penduduk miskin. Selain beras,
barang-barang kebutuhan pokok lain yang berpengaruh besar terhadap Garis Kemiskinan
adalah gula pasir (4,66 persen di perdesaan, 3,88 persen di perkotaan), minyak kelapa
(2,47 persen di perdesaan, 1,98 persen di perkotaan), telur (1,81 persen di perdesaan,
2,70 persen di perkotaan), dan mie instant (2,01 persen di perdesaan, 2,14 persen di
perkotaan). Untuk komoditi bukan makanan, biaya perumahan mempunyai peranan yang
besar, yaitu 6,27 persen di perdesaan dan 6,54 persen di perkotaan. Biaya untuk listrik,
angkutan dan minyak tanah mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk daerah
perkotaan, yaitu masing-masing sebesar 3,60 persen, 3,20 persen dan 2,46 persen,
sementara untuk daerah perdesaan pengaruhnya relatif kecil (kurang dari 2 persen).
2.2.3.4. Pergeseran Penduduk Miskin Februari 2005-Maret 2006
Terjadi pergeseran posisi penduduk miskin dan hampir miskin selama periode
Februari 2005-Maret 2006 (Tabel 2.4). Sekitar 56,51 persen penduduk miskin pada bulan
Februari 2005 tetap tergolong sebagai penduduk miskin pada Maret 2006, tetapi sisanya
berpindah posisi menjadi hampir miskin (19,37 persen), hampir tidak miskin (17,66
persen) dan tidak miskin (6,45 persen). Hal ini bisa terjadi karena secara umum
penduduk miskin dapat dibedakan menjadi dua yaitu miskin kronis (chronic poor) dan
miskin sementara (transient poor). Miskin kronis adalah penduduk miskin yang
berpenghasilan jauh di bawah garis kemiskinan dan biasanya tidak memiliki akses yang
cukup terhadap sumber daya ekonomi, sedangkan miskin sementara adalah penduduk
miskin yang berada dekat garis kemiskinan. Jika terjadi sedikit saja perbaikan dalam
ekonomi, kondisi penduduk yang termasuk kategori miskin sementara ini bisa meningkat
dan statusnya berubah menjadi penduduk tidak miskin.
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
27
Tabel 2.4. Pergeseran Penduduk Miskin, Februari 2005-Maret 2006 (persen)
Kondisi Maret 2006 Kondisi Feb 2005
Miskin Hampir Miskin Hampir Tidak
Miskin Tidak Miskin
TOTAL
Miskin 56.51 19.37 17.66 6.45 100
Hampir Miskin 30.29 26.37 30.76 12.58 100
Hampir Tidak Miskin 11.82 16.22 41.00 30.96 100
Tidak Miskin 2.29 3.60 21.77 72.34 100
TOTAL 17.75 13.02 27.84 41.39 100
Keterangan : Miskin : < GK (Garis Kemiskinan), Hampir Miskin : 1,00-1,25 GK, Hampir Tidak Miskin : 1,25-1,50 GK
Tidak Miskin : >1,50 GK
Sumber : BPS, 2006
Pergeseran posisi penduduk miskin pada periode Februari 2005-Maret 2006 ini
dapat dicermati dari distribusi pengeluaran penduduk pada kelompok 40 persen terendah.
Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dari kelompok penduduk 40 persen terendah
(desil 1- desil 4) menunjukkan peningkatan selama Februari 2005 - Maret 2006. Pada
desil 1, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan naik 44,43 persen (Rp.45.970,-), pada
desil 2 naik 30,87 persen (Rp. 42.115,-), pada desil 3 meningkat 27,45 persen
(Rp. 44.206,-), dan pada desil 4 naik 25,21 persen (Rp. 46.146,-). Adanya peningkatan
pengeluaran yang cukup besar ini menyebabkan status mereka berubah dari miskin
menjadi menjadi tidak miskin. Program PKPSBBM berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT)
yang diberikan kepada rumah tangga miskin dan hampir miskin sebesar Rp. 100.000,- per
bulan (sekitar Rp. 25.000,-/orang/bulan), diduga merupakan salah satu sumber
pendapatan yang diperoleh rumah tangga miskin untuk menutupi peningkatan
pengeluaran akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.
Perubahan besar terjadi pada penduduk hampir miskin dan hampir tidak miskin.
Sekitar 30,29 persen penduduk hampir miskin di bulan Februari 2005 jatuh menjadi
miskin pada bulan Maret 2006. Pada saat yang sama, 11,82 persen penduduk hampir
tidak miskin di bulan Februari 2005 juga jatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006.
Bahkan 2,29 persen penduduk tidak miskin juga terjatuh menjadi miskin di bulan Maret
2006. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2006 yang sebesar
39,1 juta berasal dari penduduk miskin lama (19,8 juta), penduduk hampir miskin (9,9
juta), penduduk hampir tidak miskin (7,3 juta) dan penduduk tidak miskin (2,1 juta) yang
terjatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006. Dengan memperhatikan pergeseran
posisi ini, dapat disimpulkan bahwa penambahan jumlah penduduk miskin selama periode
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
28
Februari 2005 hingga Maret 2006 terjadi karena adanya pergeseran penduduk yang
penghasilannya berada tidak jauh dari garis kemiskinan.
2.3. Pemberdayaan Masyarakat
2.3.1. Pengertian
Lahirnya konsep pemberdayaan sebagai antitesa terhadap model pembangunan
yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logik
sebagai berikut : (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan
kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan
masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan
membangun bangunan atas atau system pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan
sistem ideologi yang manipulatif untuk memperkuat legitimasi; dan (4) pelaksanaan
sistem pengetahuan, system politik, sistem hukum dan ideologi secara sistematik akan
menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat
tunadaya (Prijono dan Pranarka, 1996). Akhirnya yang terjadi ialah dikotomi, yaitu
masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi
menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses
pemberdayaan bagi yang lemah (empowerment of the powerless).
Pemberdayaan diartikan sebagai suatu proses dan suatu mekanisme dimana
individu, organisasi dan masyarakatnya menjadi ahli bagi masalah yang mereka hadapi.
Teori pemberdayaan menyatakan bahwa konsep pemberdayaan berlaku tidak hanya bagi
individu sebagai kelompok, organisasi dan masyarakat, namun juga bagi individu itu
sendiri. Di tingkat individu, pemberdayaan merupakan pengembangan psikologis yang
menggabungkan persepsi kendali personal, pendekatan proaktif pada kehidupan dan
pengetahuan kritis akan lingkungan sosiopolitis. Pada tingkat organisasi, pemberdayaan
mencakup proses dan struktur yang meningkatkan keahlian para anggotanya untuk
mempengaruhi perubahan di tingkat masyarakat (Zimmerman, 1995). Di tingkat
masyarakat, pemberdayaan berarti tindakan kolektif untuk meningkatkan kualitas hidup
suatu masyarakat dan hubungan antara organisasi masyarakat (Perkins dan Zimmerman,
1995 dan Zimmerman, 1995) dalam Randy R. Wrihatnolo (2007).
Menurut Prijono dan Pranarka (1996), dalam konsep pemberdayaan, manusia
adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
29
memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau
memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan
pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada
kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal.
Menurut Sumodiningrat (1999), pemberdayaan masyarakat merupakan upaya
untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka
miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang
saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang
menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Mubyarto (1998) menekankan
bahwa terkait erat dengan pemberdayaan ekonomi rakyat, yakni dalam proses
pemberdayaan masyarakat diarahkan pada pengembangan sumberdaya manusia
(di pedesaan), penciptaan peluang berusaha yang sesuai dengan keinginan masyarakat.
Masyarakat menentukan jenis usaha yang sesuai kondisi wilayah sehingga dapat
menciptakan lembaga dan sistem pelayanan dari, oleh dan untuk masyarakat. Upaya
pemberdayaan masyarakat ini kemudian berlanjut pada pemberdayaan ekonomi rakyat.
Upaya memberdayakan masyarakat pertama-tama haruslah dimulai dengan
menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang.
Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat,
memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, bahwa tidak ada masyarakat yang
sama sekali tanpa daya, karena kalau demikian akan punah. Pemberdayaan adalah upaya
untuk membangun daya itu sendiri, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan
kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Selanjutnya, upaya tersebut diikuti dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki
oleh masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini diperlukan langkah-langkah lebih positif,
selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana yang kondusif. Perkuatan ini meliputi
langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta
pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat
masyarakat menjadi makin berdaya (Kartasasmita, 1997).
Dengan demikian, pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu
anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya
modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban dan lain-lain
yang merupakan bagian pokok dari upaya pemberdayaan itu sendiri. Pemberdayaan yang
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
30
dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemberdayaan sektor informal, khususnya
kelompok pemulung sebagai bagian dari masyarakat yang membutuhkan
penanganan/pengelolaan tersendiri dari pihak pemerintah yang berkaitan dengan upaya
peningkatan kualitas sumberdaya yang mereka miliki.
2.3.2. Kelompok Sosial (Community Development), Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan
Menurut Setiarso (2007) community dalam arti komunitas bermakna sebagai :
1. Kelompok sosial yang bertempat tinggal di lokasi tertentu, memiliki kebudayaan dan
sejarah yang sama.
2. Kesatuan pemukiman yang diatasnya terdapat kota kecil/town, kota atau kota
besar/city.
Sedangkan community development pada garis besarnya dapat ditinjau dalam dua
pengertian yaitu sebagai berikut :
1. Dalam arti luas bermakna sebagai perubahan sosial berencana dengan sasaran
perbaikan dan peningkatan bidang ekonomi dan sosial.
2. Dalam arti sempit adalah perubahan social berencana di lokasi tertentu : dusun,
kampung, desa, kota kecil dan kota besar, dikaitkan dengan proyek yang
berhubungan dengan upaya pemenuhan dari kebutuhan lokal, sepanjang mampu di
kelola sendiri dan dengan bantuan sementara dari pihak luar.
Jadi esensi community development yang kemudian mengilhami model
pembangunan yang berpusat pada rakyat, adalah upaya pemberdayaan (empowerment)
terhadap rakyat berdasarkan integrasi ide-ide kemandirian. Disimpulkan bahwa
masyarakat adalah pelaku yang menentukan tujuan, mengontrol sumberdaya dan
mengarahkan proses pendayagunaan sumberdaya. Titik tekanannya terletak pada
kewenangan komunitas mengelola sumberdaya dalam mewujudkan kepentingannya.
Kegiatan ini dirancang berdasarkan prakarsa dan partisipasi masyarakat dengan orientasi
kebutuhan, potensi dan kemampuan komunitas lokal, namun memperhatikan variasi dan
perbedaan yang ada dalam komunitas.
Menurut Moeljarto (2005) titik berat dari community development terletak pada
pembangunan masyarakatnya, dengan titik tekan pada pembentukan kader
pembangunan yang diharapkan dapat menopang tercapainya masyarakat yang
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
31
berswasembada. Asasnya adalah pembangunan integral, kekuatan sendiri dan
pemufakatan bersama.
1. Asas pembangunan integral adalah pembangunan yang seimbang dari semua segi
masyarakat sehingga menjamin perkembangan yang selaras dan tidak berat sebelah,
tetapi perlu diingat bahwa untuk masa permulaan titik beratnya terutama harus
diletakkan dalam pembangunan ekonomi.
2. Asas kekuatan sendiri bahwa tiap usaha pertama-tama harus didasarkan kepada
kekuatan atau kemampuan sendiri dan tidak hanya menunggu pemberian dari
pemerintah.
3. Asas pemufakatan bersama diartikan bahwa pembangunan harus dilaksanakan di
lapangan yang benar-benar dirasakan sebagai kebutuhan oleh masyarakat yang
bersangkutan, sedangkan keputusan melaksanakan suatu proyek bukan berdasarkan
atas perintah atasan, melainkan merupakan putusan bersama dari anggota-anggota
masyarakat.
Menurut Davidson, Carl dan Voss (2003) community development berarti usaha
yang terorganisir untuk memperbaiki konsisi kehidupan komunitas dan peningkatan
kemampuan berintegrasi dan berkembang secara mandiri, dengan unsurnya: program
berencana, pembangkitan tekad, tidak tergantung pada bantuan pihak luar. Menurut
Nelson dan Ramsay berpendapat bahwa community development adalah proses
pendidikan untuk bertindak, masyarakat disiapkan untuk mewujudkan tujuan komunitas
secara demokratis. Pemimpin berperan sebagai agen untuk membentuk pengalaman
belajar bagi komunitas dari pada sebagai penggerak tercapainya sasaran program.
Menurut Sumitro (2005) community development adalah program yang berusaha
menjangkau masyarakat yang kondisi sosial ekonominya masih dalam keadaan relative
rendah dan sulit untuk berkehidupan memenuhi syarat kelayakan dan kesejahteraan.
Konsep pemberdayaan telah mengubah konsep pembangunan dan sekaligus
strategi bagaimana mengentaskan kemiskinan khususnya di daerah pedesaan,
permukiman kumuh serta daerah urban. Perubahan ini sering disebut sebagai perubahan
paradigma dari mulai tataran konsep, teori, nilai-nilai, metodologi sampai ke tataran
pelaksanaannya. Pemberdayaan menjadi konsep kunci untuk menanggulangi kegagalan
pelaksanaan pembangunan selama ini. Pembangunan sebelumnya, ternyata membuat
orang semakin miskin semakin banyak. Gagasan modernisasi pun rontok karena tidak
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
32
dapat meneteskan hasil-hasil pembangunan kepada kelompok masyarakat miskin, dan
pembangunan ternyata tidak mampu mengentaskan kemiskinan dan pembangunan juga
malah merusak lingkungan hidup.
2.3.3. Pemberdayaan sebagai Strategi dalam Pembangunan Sosial
Berbagai fakta empiris menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi
tidak menjamin dapat terciptanya pemerataan hasil-hasil pembangunan. Pertumbuhan
ekonomi merupakan fakta yang bersifat "tersentralisasi", sedangkan pemerataan
pembangunan sosial lebih bersifat " terdistribusi " untuk semua lapisan masyarakat.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep trickle down effect yang cenderung
bersifat top down dianggap sebagai paradigma konvensional, sebaliknya model-model
pembangunan sosial yang lebih bersifat bottom up dengan strategi pemenuhan
kebutuhan masyarakat bawah, agaknya lebih sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Namun demikian pada kenyataannya konsep top-down juga tidak dapat
menyentuh seluruh kehidupan masyarakat luas, tetapi bottom up juga tidak akan menjadi
kebijakan satu-satunya karena keinginan masyarakat sangat banyak dan bervariasi. Oleh
karena itu konsep terbaik dalam pembangunan mayarakat adalah kemauan dan
kesungguhan untuk mengintegrasikan antara konsep community organization
(pengorganisasian komunitas) dan pengembangan komunitas sebagai satu kesatuan yang
saling komplementer. Dua konsep tersebut dapat digabungkan menjadi konsep baru yang
disebut community building, dimana konsep tersebut menjalankan fungsinya sebagai
pengembangan sekaligus pengorganisasian masyarakat secara bersamaan dan bersinergi.
Isu kegagalan akibat dominasi paradigma pembangunan ekonomi yang kurang
seimbang dengan pembangunan sosial menjadi lebih transparan setelah World Summit
for Social Development pada tahun 1995 di Kopenhagen, Denmark yang diprakarsai oleh
PBB. Konferensi ini menampilkan tiga isu pokok untuk mengatasi kesenjangan terhadap
kesejahteraan manusia global, regional dan nasional. Ketiga isu tersebut meliputi :
Penanggulangan kemiskinan.
Peningkatan produktifitas kerja dan mengurangi penggangguran.
Meningkatkan integrasi sosial.
Dimensi Pembangunan Sosial
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
33
Dimensi pembangunan sosial meliputi peningkatan produktivitas, pelayanan sosial,
pelayanan kesejahteraan sosial dan pembangunan masyarakat. Peningkatan Produktifitas.
Pembangunan ekonomi terkait dengan erat dengan pembangunan sumberdaya (human
resources development), maka dalam pembangunan sosial, sekaligus yang membedakan
dengan konteks pembangunan sosial adalah terutama dalam hal pengorganisasiannya.
Pembangunan sosial lebih mengarah pada pemeliharaan penghasilan yang berprinsip
bahwa manusia sebagai faktor produksi harus tetap sebagai subyek dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat, bukan hanya sebagai obyek dari aktifitas ekonomi, atau obyek
dari segelintir kelompok yang mendominasi aktifitas ekonomi.
Pelayanan Sosial. Pelayanan sosial dalam arti luas mencakup beberapa sektor
pembangunan, yaitu ruang lingkup pembangunan kesejahteraan rakyat yang merupakan
sub sistem pembangunan nasional. Dalam hal ini Kamerman dan Kahn (1979)
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial ini harus mencakup 6
(enam) hal yaitu pendidikan, kesehatan, pemeliharaan penghasilan, pelayanan kerja,
perumahan dan pelayanan sosial. Dengan demikian dalam konteks pembangunan sosial,
pelayanan sosial ditujukan untyuk memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama di sektor
pendidikan, kesehatan, pelayanan kerja dan perumahan, sementara untuk pemeliharaan
penghasilan dan pelayanan sosial personal dapat berupa subsistem tersendiri sebagai
bagian dari dimensi pembangunan sosial.
Pelayanan Kesejahteraan Sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial merupakan
subsistem dari pelayanan sosial yang intinya kepada pelayanan sosial personal dengan
sasaran mencakup : (1) kelompok khusus yang mencakup kelompok usia lanjut, anak
terlantar, korban ketergantungan obat, (2) kelompok marginal dalam konteks ekonomi
ekonomi atau masalah pembangunan, (3) kelompok minoritas, seperti komunitas adat
terpencil, dan (4) kelompok yang mengalami kecacatan.
Pembangunan Masyarakat. Hakekat pembangunan masyarakat adalah community
base development atau pembangunan masyarakat dari bawah. Ditinjau dari sisi
pemerintah pembangunan masyarakat merupakan hasil dari perencanaan yang sitematis
dari atas yang menempatkan masyarakat sebagai pelaksana (subyek pembangunan).
Kendati demikian, keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan sangat sulit
dilaksanakan. Ini berbeda dengan pembangunan masyarakat yang dilakukan oleh
lembaga swadaya masyarakat yang dapat melepaskan diri dari keterikatan struktur
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
34
organisasi pemerintah, baik vertikal maupun horizontal, sehingga LSM lebih leluasa dalam,
membangun masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan aktual masyarakat.
Pembangunan masyarakat antara pemerintah dan LSM harus saling
komplementer, karena pemerintah maupun LSM saling mempunyai keterbatasan-
keterbatasan sumberdaya yang tersedia untuk menjangkau masyarakat luas. Untuk
konteks Indonesia, konsep community development lebih memungkinkan untuk
menerapkan model pendekatan locallity development yang terbatas pada tingkat lokal
secara geografis. Konsep locallity development, diharapkan mampu menggerakkan warga
masyarakat yang memiliki kesamaan kebutuhan dan kepentingan dibandingkan dengan
konsep wilayah yang lebih luas. Namun demikian tidak semua masalah dapat diatasi di
tingkat lokal sehingga perlu diintegrasikan dalam pembangunan masyarakat yang lebih
luas, baik regional maupun nasional.
Pembangunan masyarakat dipandang sangat penting berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan sebagai berikut :
Masyarakat yang sehat merupakan produk dari masyarakat yang aktif
Proses perencanaan yang berasal dan diinginkan oleh masyarakat adalah lebih baik
dibandingkan dengan perencanaan yang berasal dari penguasa.
Proses partisipasi dalam pembangunan masyarakat merupakan pencegahan berbagai
sikap masa bodoh dari individu-individu dalam masyarakat.
Proses pemberdayaan yang kuat dalam upaya-upaya kemasyarakatan merupakan
dasar kekuatan bagi masyarakat yang demokratis.
Permasalahan pertambahan penduduk yang semakain meningkat, industrialisasi,
pemanfaatan teknologi yang semakin tinggi untuk segala aktivitas ekonomi, pembagian
kerja dan kelas sosial yang makin heterogen, semakin banyaknya pekerja asing serta arus
globalisasi dari negara-negara maju, sistem informasi yang menembus ruang dan waktu
akan mengubah wajah Indonesia di masa depan. Kesemuanya itu dapat mengabaikan
masyarakat miskin apalagi dengan semakin kuatnya politisi menentukan perencanaan dan
kebijakan pemerintah dibandingkan dengan ilmuwan akan menyebabkan kebijakan
pemerintah sering berbenturan dengan kebutuhan masyarakat.
Oleh karena itu komitmen dan konsistensi pemerintah dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dengan cara-cara yang adil dan tanpa mengecualikan masyarakat
miskin akan meningkatkan keterpaduan sosial dengan politik yang didasari oleh hak-hak
-
Kajian Model Pengembangan Usaha
di Kalangan Pemulung
35
azasi manusia, nondiskriminasi dan memberikan perlindungan kepada mereka yang
kurang beruntung merupakan hakekat paradigma pembangunan sosial, yang tujuan
akhirnya adalah memperbaiki kualitas hidup seluruh rakyat dengan aspirasi-aspirasi dan
harapan, memberantas kemiskinan absolut serta partisipasi masyarakat secara nyata.
2.3.4. Kebijakan dan Implementasi Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat bertalian erat dengan upaya penanggulangan masalah-
masalah pembangunan, seperti halnya pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan.
Pemerintah dalam menangani masalah di atas telah mengupayakan sejumlah kebijakan
yang diaplikasikan dalam berbagai program untuk menanggulangi masalah yang muncul
sebagai akibat bias pembangunan melalui program-program pemberdayaan.
Pemerintah pada masa ORBA telah menerapkan sejumlah strategi di dalam
pembangunan ekonomi yaitu dalam rangka menghadapi tantangan kesenjangan, yaitu
kesenjangan antarwilayah, kesenjangan antarsektor kegiatan ekonomi, dan kesenjangan
antarmanusia pembangunan. Strategi mana yang tertuang dalam Trilogi Pembangunan,
diterapkan melalui kebijaksanaan pembangunan lintas-daerah, lintas-sektor, dan antara
daerah dan sektor. Dalam perkembangannya untuk mempertahankan pertumbuhan
ekonomi dan menciptakan pemerataan, kebijakan pembangunan makin diarahkan kepada
peranserta aktif masyarakat melalui penyelenggaraan otonomi daerah. Penanggulangan
terhadap masalah kesenjangan dan pemerataan pembangunan telah dilakukan melalui
berbagai arah kebijakan pembangunan yaitu kebijakan pembangunan sektoral melalui
bantuan pembangunan sektoral (DIP), pembangunan regional melalui bantuan
pembangunan daerah (DADPD), dan pembangunan khusus.
Pada masa reformasi, pemerintah meneruskan kebijakan yang telah ada dengan
perubahan-perubahan dan perbaikan. Secara khusus dalam menghadapi krisis ekonomi,
pemerintah mengambil kebijakan khusus yang antara lain dilaksanakan untuk
menanggulangi dampak krisis. Kebijakan penanggulangan dampak krisis disebut dengan
kebijakan Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net). Dalam era reformasi, pemerintah
menunculkan suatu arah baru dalam pembangunan yaitu melalui pemantapan Otonomi
Daerah. Otonomi Daerah menurut UU No. 5 Tahun 1974 adalah hak, wewenang dan