laporan penelitian · 2014-11-18 · laporan penelitian “studi dasar precarious workers di sektor...
TRANSCRIPT
BAB 1
LAPORAN PENELITIAN
STUDI DASAR PRECARIOUS WORKERS DI SEKTOR
LAYANAN KESEHATAN DAN TRANSPORTASI UDARA DI
INDONESIA
(Studi pada Precarious Workers di Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta
di Wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat serta Precarious Workers di
Bandar Udara yang Beroperasi di Wilayah Angkasa Pura I)
Disusun oleh:
Getar Hati, M.Kesos
Dina Ardiyanti, MA
JAKARTA
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Globalisasi semakin membuka kesempatan bagi negara-negara berkembang
termasuk Indonesia untuk meningkatkan peluang di pasar internasional. Terbukti
bahwa dengan peningkatan peluang ini juga memungkinkan industri Indonesia
untuk kembali menggeliat dan bersaing pada taraf global. BPS (2014) melaporkan
data yang menunjukkan bahwa pertumbuhan Indonesia pada triwulan I tahun 2014
mengalami pertumbuhan sebesar 5, 21 persen yang didukung oleh hampir semua
sektor dengan pertumbuhan tertinggi yang dicapai oleh sektor pengangkutan dan
komunikasi sebesar 10, 23 persen.
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang beriringan dengan pertumbuhan pasar
industri juga mendorong adanya tuntutan akan peningkatan pemenuhan sektor
layanan publik yang berkualitas. Tekanan-tekanan globalisasi ini pada akhirnya
mendorong penyedia layanan (provider) untuk meningkatkan permintaan tenaga
kerja guna mengoptimalisasi kesempatan pasar. Namun lagi-lagi dalam
pelaksanaannya, sering timbul permasalahan yang mendasar yaitu keinginan dari
pengusaha (employer) untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dan
mengeluarkan biaya (cost) serendah-rendahnya. Seperti yang diungkapkan oleh
Chossudovsky (2003) bahwa ‘penyakit’ dari adanya globalisasi ini adalah upaya
perusahaan untuk menekan biaya tenaga kerja serendah mungkin.
Permasalahan lain yang sering muncul dalam ketenagakerjaan adalah adanya
ketidakseimbangan penawaran tenaga kerja (supply of labor) dan permintaan akan
tenaga kerja (demand for labor) pada tingkat upah tertentu yang dapat menimbulkan
exess supply of labor, yaitu apabila penawaran lebih besar daripada permintaan akan
tenaga kerja, atau terjadi exess demand for labor ketika terjadi kondisi permintaan
akan tenaga kerja lebih besar daripada penawaran akan tenaga kerja (Knapp, 1984).
Sedangkan yang seringkali terjadi di Indonesia adalah kondisi exess supply of labor.
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 2
Banyaknya penawaran tenaga kerja menciptakan strategi baru seperti praktek alih
daya (outsourcing), pekerja kontrak, pekerja magang, dan sebagainya yang
cenderung mampu memberikan ruang bagi terjadinya pelanggaran pemenuhan
hak-hak yang mendasar bagi pekerja itu sendiri.
Di Indonesia sebenarnya telah diatur undang-undang tentang pekerja tidak
tetap/kontrak. Menurut ketentuan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya
dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Namun pada prakteknya pelanggaran terhadap aturan ini banyak sekali terjadi.
Banyak pekerjaan yang jenisnya tidak memenuhi ketentuan di atas, namun
mempekerjakan pekerja kontrak. Selain itu, ketentuan tentang jangka waktu
kontrak juga banyak dilanggar oleh pengusaha. Status tenaga kerja yang tidak tetap
ini dapat diistilahkan sebagai precarious worker, yang mana menggambarkan bahwa
kelompok ini berada pada kondisi kurang menguntungkan. Seperti yang dinyatakan
oleh Harris sebagai berikut:
“It consists of people who have minimal trust relationships with capital or the state,
making it quite unlike the salariat. And it has none of the social contract relationships
of the proletariat, whereby labour securities were provided in exchange for
subordination and contingent loyalty, the unwritten deal underpinning welfare states.
Without a bargain of trust or security in exchange for subordination, the precariat is
distinctive in class terms” (Hariss, 2011)
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 3
Kondisi precarious workers dirasa mengkhawatirkan karena adanya ketidakpastian
keja. Selain itu, International Labor Rights Forum juga mendeskripsikan precarious
workers sebagai kelompok pekerja yang mengisi posisi jenis kebutuhan pekerjaan
permanen, tetapi tidak mendapatkan hak sebagai pekerja permanen. Selain itu,
secara umumnya precarious workers juga merupakan subjek yang dikondisikan
dalam pekerjaan yang tidak stabil, upah lebih rendah, dan kondisi pekerjaan yang
lebih membahayakan serta jarang mendapatkan jaminan sosial dan seringkali tidak
diberi kebebasan berserikat (ILRF, 2014). Keterbatasan precarious workers untuk
berserikat dan memperjuangkan hak-haknya ini juga didasari dengan adanya
ketakutan mereka akan mudahnya kehilangan pekerjaan dengan adanya status
yang tidak jelas.
Sektor kesehatan dan transportasi merupakan sektor yang sangat penting dan
mendasar bagi masyarakat. Kesehatan sebagai kebutuhan dasar seharusnya
menjadi sektor yang diprioritaskan oleh pemerintah. Selama ini, rumah sakit
sebagai pelaksana pelayanan kesehatan, masih kurang dalam memperhatikan
sumber daya manusianya, dalam hal ini pekerja rumah sakit. Hal ini dapat
berpengaruh kepada kualitas pelayanan kesehatan. Salah aspek penting dalam
kualitas pelayanan kesehatan adalah pekerja kesehatan.
Demikian pula transportasi, dalam hal ini transportasi udara. Bandara yang
merupakan pintu masuk sebuah Negara. Sangat penting untuk memastikan bahwa
bandara memiliki sistem keamanan yang baik, dimana salah satu unsur yang harus
diperhatikan adalah pekerja yang menjalankan sistem keamanan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, maka sektor kesehatan dan transportasi (udara), penting
untuk memperhatikan aspek keamanan pekerjaan (job security) para pekerjanya.
Sampai saat ini kedua sektor itu masih banyak mempekerjakan pekerja outsourcing
dan kontrak. Kondisi pekerja yang seperti ini dikhawatirkan dapat berpengaruh
pada kualitas pelayanan kesehatan dan tingkat keamanan bandara. Untuk itu,
baseline study tentang pekerja precarious dalam sektor kesehatan dan transportasi
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 4
perlu dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi precarious workers
pada kedua sektor tersebut dan menganalisa sejauh mana potensi dampak negatif
yang ditimbulkan.
1.2. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan yang telah dipaparkan pada latar belakang, maka
penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kondisi dan pemenuhan hak serta
potensi kerentanan yang dihadapi oleh precarious workers (PW) yang bekerja di
sektor kesehatan dan transportasi udara dan dampak pada kualitas layanan yang
diberikan.
1.3. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini mencakup pada kondisi PW di dua sektor utama yang
berkaitan dengan layanan publik yaitu sektor kesehatan dan transportasi (Bandar
udara). Di sektor kesehatan akan difokuskan pada pekerja yang berafiliasi dengan
Serikat Pekerja Farkes yang berlokasikan di Jakarta dan Jawa Barat, mencakup
pekerja di rumah sakit pemerintah dan swasta. Adapun rumah sakit yang dijadikan
sampel dalam penelitian ini adalah 4 rumah sakit pemerintah dan 3 rumah sakit
swasta. Sedangkan di sektor transportasi akan difokuskan pada layanan bandara
yang berada di bawah koordinasi Angkasa Pura 1, dimana dari ketiga belas
bandara yang ada diambil sampel 3 lokasi menurut jenjang kelas area
pelayanannya.
1.4. Metode Pengumpulan Data dan Informan Penelitian
Pengumpulan data di dalam penelitian ini menerapkan beberapa metode, baik
melalui data sekunder maupun data primer. Pengumpulan data sekunder
menggunakan studi literatur dari berbagai referensi. Bryman (2008) menyebutkan
perlunya preferensi untuk meneliti suatu kajian sebagai sesuatu yang perlu
ditekankan untuk menganalisis data yang diperoleh. Untuk itu, dalam penelitian ini
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 5
digunakan studi kepustakaan yang diperoleh melalui cara mempelajari berbagai
literatur seperti buku, artikel ilmiah serta jurnal yang berkaitan dengan masalah
hukum perburuhan dan hak serta kesejahteraan pekerja, serta melalui pengkajian
dari laporan-laporan yang dimiliki serikat pekerja maupun perusahaan terkait
dengan precarious workers.
Sedangkan pengumpulan data primer dilakukan melalui survey interview, dimana
di dalam pertanyaan yang telah disusun dalam survey akan diperdalam melalui
wawancara terbuka-terstruktur. Wawancara dalam penelitian ini diperlukan untuk
mendukung penggalian informasi yang diperoleh melalui pertanyaan-pertanyaan
yang telah tersusun dalam kuesioner. Hal ini juga senada dengan yang dinyatakan
oleh Rubin & Babbie (2008, hal. 373) yang menjelaskan bahwa teknik ini memiliki
keunggulan untuk meminimalisir jawaban ‘tidak tahu’ dan ‘tidak menjawab’
karena pewawancara dapat menggali jawaban. Selain itu digunakan pula teknik
diskusi kelompok (group discussion) untuk menggali dan melakukan triangulasi
pada informasi yang telah disampaikan.
Adapun detil informan yang merupakan Precarious Workers di sektor kesehatan
dapat dilihat pada tabel 1.1. sebagai berikut:
Tabel 1.1.
Informan pada Survey Interview
Sektor Jumlah Informan
Rumah Sakit Pemerintah 8
Rumah Sakit Swasta 15
Total 23 informan
Sedangkan detil informan Precarious Workers yang bekerja di sektor pelayanan
transportasi udara dapat dilihat pada tabel 1.2. Sebagai berikut.
Nama Bandar Udara Jumlah Informan
Pekerja outsourcing pada maskapai 5
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 6
penerbangan
Pekerja outsourcing pada bandara 5
Pekerja Outsourcing layananan transportasi
udara
5
Total 15 informan
Selain melalui survey interview, penelitian ini juga menggunakan metode
pengumpulan data melalui wawancara yang berasal dari pengurus serikat pekerja
dan Pimpinan Unit Kerja (PUK) yang bersangkutan serta beberapa PW yang
memiliki kasus-kasus menarik untuk diperdalam informasinya. Tabel informan
dapat dilihat pada tabel 1.3. sebagai berikut:
Tabel 1.3.
Informan Wawancara
Informan Jumlah
Pengurus Serikat Pekerja Farmasi Kesehatan (SP Farkes) 1
Pengurus Serikat Pekerja Angkasa Pura I 1
PUK Rumah Sakit Swasta 1
Pengurus Serikat Pekerja Outsourcing di bandara 1
Precarious Workers di RS Swasta 1
Precarious Workers di RS Pemerintah 1
Precarious Workers di Bandar Udara wilayah operasi
Angkasa Pura I
1
Total 8
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 7
BAB 2
KERANGKA TEORI
2.1. Hubungan Kerja dalam Precarious Work
Kebijakan terkait dengan hubungan kerja telah tercantum pada undang-undang no.
13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Pada pasal 50 menyatakan bahwa
“hubungan kerja terjadi karena ada perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh”. Dalam hal ini perjanjian kerja mencakup pada perjanjian tertulis
maupun lisan. Pasal 57 menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan perjanjian
kerja waktu tertentu (PKWT) harus dibuat secara tertulis sehingga ketika terdapat
hubungan kerja dengan perjanjian tidak tertulis, maka demi hukum status pekerja
tersebut beralih menjadi perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT) atau
bisa dikatakan sebagai pekerja tetap. Dalam kondisi lain, dimana pengusaha atau
pemberi kerja mempekerjakan seseorang dengan status PKWTT namun
disampaikan secara lisan maka pengusaha atau pemberi kerja wajib membuat surat
pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan yang memuat keterangan:
nama dan alamat pekerja/buruh; tanggal mulai bekerja; jenis pekerjaan; dan
besarnya upah seperti yang tertuang pada pasal 63.
Tjandraningsih, Herawati, & Suhadmadi mengaitkan adanya hubungan kerja
dengan perjanjian waktu tertentu dengan munculnya pekerja/buruh kontrak, yaitu
buruh kontrak didefinisikan sebagai buruh yang pejanjian kerjanya langsung
dengan perusahaan tempatnya bekerja dan perjanjian kerjanya dibuat untuk waktu
tertentu (2010). Secara prinsip, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak dapat
diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap dengan rincian yang dijelaskan pada
pasal 59 UU Ketenagakerjaan dimana hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu:
a) pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 8
b) pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c) pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d) pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk
e) tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
ILO (2011) juga mengkategorikan dua bentuk karakteristik perjanjian kontrak yaitu
adanya durasi atau masa kontrak kerja yang terbatas dan sifat hubungan kerja
(seperti hubungan kerja segitiga dan menyamar, palsu, sub-kontrak dan lembaga
kontrak). Dengan adanya perjanjian kontrak tersebut pada akhirnya memunculkan
beberapa kondisi kerentanan pada pekerja (precarious worker) diantaranya upah
murah, kurangnya perlindungan atas pemutusan hubungan kerja, kurangnya akses
pada perlindungan sosial dan manfaat yang biasanya berkaitan dengan standar
minimum pekerja penuh waktu, serta adanya keterbatasan akses pekerja untuk
menggunakan hak mereka di tempat kerja. Hal tersebut ditekankan bahwa
precarious work ditandai dengan adanya ketidakamanan dan ketidakpastian kerja
seperti yang dinyatakan sebagai berikut:
“Precarious work is a means for employers to shift risks and responsibilities on to
workers. It is work performed in the formal and informal economy and is characterized
by variable levels and degrees of objective (legal status) and subjective (feeling)
characteristics of uncertainty and insecurity. Although a precarious job can have many
faces, it is usually defined by uncertainty as to the duration of employment, multiple
possible employers or a disguised or ambiguous employment relationship, a lack of
access to social protection and benefits usually associated with employment, low pay,
and substantial legal and practical obstacles to joining a trade union and bargaining
collectively. (ILO, 2011).
Tjandraningsih, Herawati, & Suhadmadi (2010) mengemukakan precarious work
adalah sebuah kondisi kerja yang merupakan implikasi langsung dari sistem kerja
fleksibel dalam berbagai bentuknya: kerja kontrak, paruh waktu, outsourcing, dan
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 9
sebagainya. Berbagai bentuk sistem kerja fleksibel merupakan implikasi seragam
yang merugikan bagi buruh: upah murah, tunjangan minim, pembatasan
perwakilan kolektif dan keberlangsungan kerja yang rendah.
Precarious work di Indonesia mulai terlihat dengan berbagai bentuk pekerjaan
seperti yang terjadi pada pekerja/buruh outsourcing, pekerja/buruh harian lepas,
dan pekerja magang. Tjandraningsih, Herawati, & Suhadmadi (2010)
mendefinisikan buruh outsourcing adalah buruh yang direkrut melalui penyedia
penyalur tenaga kerja dan perjanjiannya tidak dengan perusahaan tempatnya
bekerja tetapi dengan perusahaan penyalurnya. Untuk itu, secara jelas pada
undang-undang ketenagakerjaan menyertakan bahwa pekerjaan yang dapat
diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; dilakukan dengan perintah langsung
atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; merupakan kegiatan penunjang
perusahaan secara keseluruhan; dan tidak menghambat proses produksi secara
langsung (UU Ketenagakerjaan pasal 65 ayat 2).
2.2. Hak-Hak Normatif Pekerja
Secara mendasar, pekerja memiliki kepentingan atas adanya hubungan kerja.
Simanjuntak (2011) mengemukakan bahwa setiap pekerja memiliki beberapa
kepentingan atas kesempatan kerja yang mencakup pada upaya pemenuhan
kebutuhan psikologis dan harga diri; penghasilan tetap dan cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya; kesempatan melatih diri; memperkaya pengalaman dan
meningkatkan keahlian dan keterampilan kerja; kesempatan untuk
mengembangkan karir; serta untuk mengaktualisasi keberhasilan diri. Untuk itu
secara kebijakan di Indonesia, dalam hubungan ketenagakerjaan telah diatur
beberapa hak normatif pekerja diantaranya adalah melalui UU Ketenagakerjaan
diantaranya mencakup: hak atas upah dan tunjangan (pasal 1 ayat 30) dimana upah
minimum sektoral jasa rumah sakit di Propinsi DKI Jakarta pada tahun 2014
adalah berdasarkan Peraturan Gubernur DKI No 54 tahun 2014 sebesar Rp.
2.636.280,00; hak atas waktu istirahat dan cuti (pasal 79), hak atas kesempatan
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 10
beribadah (pasal 80), hak atas hari libur (pasal 85), hak atas dispensasi sakit haid,
melahirkan, dan menyusui bagi pekerja perempuan (pasal 81, 82, dan 83), hak atas
jaminan sosial tenaga kerja (pasal 99), hak atas kesempatan untuk meningkatkan
dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya melalui pelatihan kerja (pasal 11), dan hak atas kesempatan
berorganisasi yang mencakup menjadi anggota dan membentuk serikat (pasal 104).
Pemenuhan hak-hak normatif ini berlaku pada setiap pekerja. Bahkan hak atas
pekerja magang juga diatur melalui pasal 22 yang antara lain hak atas perolehan
uang saku dan memperoleh jaminan sosial tenaga kerja, memperoleh sertifikat
apabila lulus di akhir program. Namun pada prakteknya, hubungan kerja yang
terkait dengan precarious work seperti ini mengarah pada kondisi yang tidak
menguntungkan. Pada kajian yang dilakukan oleh Tjandraningsih, Indrasari., R.
Herawati., & Suhadmadi. (2010), pada praktek hubungan kerja kontrak dan
outsourcing membawa setidaknya 3 bentuk diskriminasi terhadap buruh: usia dan
status perkawinan, upah dan hak berorganisasi. Bentuk lain yang memunculkan
adanya pelanggaran hak-hak normatif juga terjadi pada sistem pemagangan,
dimana pemagangan sebenarnya merupakan bagian dari bentuk pelatihan kerja,
dimana harus dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta
dengan pengusaha yang dibuat secara tertulis (pasal 22 UU Ketenagakerjaan). Hak
peserta pemagangan antara lain memperoleh uang saku dan/atau uang transpor,
memperoleh jaminan sosial tenaga kerja, memperoleh sertifikat apabila lulus di
akhir program.
2.3. Pekerja sebagai Sumber Daya Manusia dalam Sistem Kesehatan
Nasional dan transportasi di Indonesia
Sistem kesehatan nasional sebagai payung penyelenggaran kesehatan di Indonesia
menekankan pada peningkatan perilaku dan kemandirian masyarakat,
profesionalisme sumber daya manusia kesehatan, serta upaya promotif dan
preventif tanpa mengesampingkan upaya kuratif dan rehabilitatif (pasal 6 Peraturan
Presiden No 72 Tahun 2012). Dari landasan kebijakan tersebut sistem kesehatan
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 11
nasional mengarahkan pada upaya bagaimana kualitas pelayanan kesehatan dapat
dicapai salah satunya melalui kualitas sumber daya manusia kesehatannya sebagai
unsure pengelolaan kesehatan. Sumber daya manusia kesehatan yang dimaksud
dalam peraturan ini adalah termasuk kelompok tenaga kesehatan yang mencakup
pada tenaga kesehatan strategis dan tenaga pendukung/penunjang dalam upaya
dan manajemen kesehatan.
Sedangkan kategorisasi tenaga kesehatan menurut The Association of National
Health Occupational Physicians (ANHOPS, 2013), tenaga kesehatan dibagi
menjadi tiga kategori yaitu tenaga klinis dan staf lainnya, tenaga laboratorium dan
staf lainnya, dan tenaga non-klinis seperti yang memiliki kontak langsung dengan
pasien seperti yang dinyatakan sebagai berikut:
(1) Clinical and other staff, including those in primary care, who have regular, clinical
contact with patients. This includes staff such as doctors, dentists and nurses,
paramedical professionals such as occupational therapists, physiotherapists,
radiographers, ambulance workers and porters, and students in these disciplines;
(2) Laboratory and other staff (including mortuary staff) who have direct contact with
potentially infectious clinical specimens and may additionally be exposed to pathogens
in the laboratory. This includes those in academic (or commercial research)
laboratories who handle clinical specimens. They do not normally have direct contact
with patients;
(3) Non-clinical ancillary staff who may have social contact with patients, but not usually
of a prolonged or close nature. This group includes receptionists, ward clerks and other
administrative staff working in hospitals and primary care settings and maintenance
staff such as engineers, gardeners, cleaners, etc. These staff may be exposed to other
specific occupational risks which require their own surveillance programmes.
Di sisi lain, perlu adanya perhatian bahwa terdapat pengaruh secara langsung
kualitas pengelolaan sumber daya kesehatan terhadap kualitas layanan pada
pekerja yang berperan dalam pemberian layanan kesehatan. Hal ini sejalan dengan
yang dinyatakan oleh World Bank (2006) bahwa untuk meningkatkan kualitas
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 12
layanan sumber daya kesehatan adalah melalui berbagai strategi seperti melalui
peningkatan penghasilan serta pemberian insentif non-finansial seperti pelatihan
dan kesempatan promosi.
“Health professionals who remain the countries use a range of strategies to cope with
low-paying jobs and poor conditions. Other efforts have included increasing salaries by
linking pay to performance, direct payments are linked to the numbers of services
provided or the achievement of performance targets. Nonfinancial incentives can be as
effective as financial incentives in altering staff behavior, such giving productive
workers access to special training and promotion opportunities” (World Bank, 2006).
Sedangkan berdasarkan Undang-undang penerbangan, Dalam ketentuan Undang -
undang No.1 Tahun 2009,Bab I pasal 1 dinyatakan bahwa : Bandar Udara adalah
kawasan di daratan dan atau diperairan dengan batas - batas tertentu yang
digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun
penumpang, bongkar muat barang dan tempat pemindahan intra dan antar moda
transportasi yang dilengkapi fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan serta
fasilitas pokok dan fasilitas penunjung lainnya.Mencermati pengertian tersebut
makan Bandar Udara, terutama Bandar Udara Internasional merupakan objek vital
nasional yang memiliki nilai strategis, karena segala aspek kegiatan dan
permasalahannya baik yang positif maupun negatif akan membawa implikasi yang
luas terhadap kredibilitas masyarakat,bangsa dan kondisi suatu Negara.Bandar
Udara merupakan salah satu etalase Negara yang memberikan cermin peradaban
dan budaya serta kemajuan berbagai aspek kehidupan masyarakat bangsa dan
Negara tersebut.Oleh karena itu situasi dan kondisi Bandar Udara suatu Negara
sering kali menjadi salah satu barometer penilaian citra bangsa negara
tersebut.Bandar Udara sebagai objek vital nasional apabila ditinjau dari aspek sosial
ekonomi, merupakan sarana vital bagi kelancaran lalu lintas manusia dan barang,
sehingga kalau mengganggu akan berdampak langsung pada stabilitas
perekonomian negara.
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 13
Untuk itu sangat penting, untuk memastikan bahwa keamanan bandara
dilaksanakan oleh Sumber daya yang baik. Sumber daya yang baik sangat erat
kaitannya dengan kualitas pemenuhan hak-hak pekerjanya.
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 14
BAB 3
HASIL TEMUAN LAPANGAN
a.1. Identitas Responden
3.1.1. Precarious Workers di Sektor Pelayanan Kesehatan
a. Distribusi Precarious Workers di Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta
Diagram 3.1. Distribusi Informan di sector rumah sakit pemerintah dan swasta
Sumber: Olahan Penelitian
Dari data diagram di atas menunjukkan bahwa penelitian ini melibatkan informan
precarious workers yang sebagian besar berasal dari sektor rumah sakit swasta
dengan total populasi 68% sedangkan 32% lainnya berasal dari sektor rumah sakit
pemerintah. Adapun pembagian jenis pekerjaan informan yang merupakan kategori
pekerjaan tenaga kesehatan inti dan tenaga penunjang kesehatan adalah sebagai
berikut:
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 15
Diagram 3.2. Jenis Pekerjaan
Sumber: Olahan Penelitian
Kategori yang terkait dengan jenis pekerjaan tenaga kesehatan inti adalah
merupakan perawat, dokter magang, apoteker, konsultan gizi yang langsung
menangani proses pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Sedangkan jenis
pekerjaan yang merupakan tenaga penunjang kesehatan yang dilibatkan dalam
penelitian ini adalah seperti halnya tenaga administrasi pelayanan konsumen
(customer service), pekerja di laboratorium, kurir rekam medis, kurir bank darah,
tenaga administrasi di bagian fisioterapi, pramusaji, pelaksana kesehatan
lingkungan, serta cleaning service di beberapa area vital rumah sakit seperti Unit
Gawat Darurat.
b. Gender Distribution
Sedangkan jika dilihat dari distribusi jenis kelamin, keseluruhan informan yang
merupakan tenaga kesehatan inti di sektor rumah sakit pemerintah adalah
perempuan dan tenaga penunjang kesehatannya sebagian besar adalah laki-laki
yaitu 67%. Sedangkan di sektor rumah sakit swasta, mayoritas tenaga kesehatan
intinya adalah perempuan dan hanya 33% lainnya adalah laki-laki, dengan tenaga
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 16
penunjang kesehatan mayoritas didominasi oleh laki-laki. Hal tersebut dapat
digambarkan melalui tabel 3.1. sebagai berikut:
Tabel 3.1. Gender Distribution
Tenaga Kesehatan Inti Tenaga Penunjang
Kesehatan
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
RS Pemerintah 13% 87% 67% 33%
RS Swasta 33% 67% 80% 20%
Sumber: Olahan Penelitian
c. Lama Bekerja
Diagram 3.3. Lama Bekerja Precarious Workers di RS Pemerintah
Sumber: Olahan Penelitian
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 17
Diagram 3.4. Lama Bekerja Precarious Workers di RS Swasta
Sumber: Olahan Penelitian
Diagram 3.3. dan 3.4. menunjukkan lama bekerja informan menjadi precarious
workers di sektor kesehatan. Di sektor rumah sakit pemerintah (diagram 3.3)
memperlihatkan bahwa mayoritas informan telah bekerjcva selama lebih dari 2
tahun. Bahkan hal ini juga ditunjukkan pada tenaga penunjang kesehatan yang
mana keseluruhan informannya telah bekerja lebih dari 2 tahun. Sedangkan di
sektor rumah sakit swasta (diagram 3.4) menunjukkan bahwa keseluruhan (100%)
informan yang merupakan tenaga kesehatan inti telah bekerja selama kurun waktu
6-12 bulan. Pada tenaga penunjang kesehatan ditunjukkan bahwa sebagian kecilnya
(8%) saja yang telah bekerja lebih dari 2 tahun.
d. Educational Background
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 18
Diagram 3.5. Educational Background
Sumber: Olahan Penelitian
Latar belakang pendidikan informan yang ditunjukkan melalui diagram 3.5.
menggambarkan bahwa baik di sektor rumah sakit pemerintah maupun swasta,
tenaga kesehatan inti yang merupakan dokter, perawat, apoteker dan konsultan gizi
merupakan lulusan dari sekolah tinggi (college dan postgraduate). Beberapa
perawat diantaranya merupakan lulusan Diploma 3 keperawatan dan sebagian
lainnya merupakan perawat lulusan program profesi (postgraduate level).
Sedangkan tenaga penunjang kesehatan di sektor pemerintah keseluruhannya
merupakan lulusan sekolah tinggi dan di sektor swasta mencakup 67%. 25%
pekerja yang merupakan tenaga penunjang kesehatan di sektor swasta memiliki
latar belakang pendidikan tamatan SMP yang mana keseluruhan dari mereka
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 19
berprofesi sebagai tenaga kebersihan (cleaning service) di area-area vital rumah
sakit seperti di unit gawat darurat.
e. Marital Status
Diagram 3.6. Marital Status
Sumber: Olahan Penelitian
Status pernikahan informan yang ditunjukkan pada diagram 3.6 menggambarkan
bahwa sebagian besar precarious workers yang bekerja di sektor rumah sakit
pemerintah adalah menikah tetapi tidak memiliki anak (43%) dan belum menikah
(43%). Sedangkan di sektor rumah sakit swasta didominasi pekerja yang belum
menikah (60%).
e.1. Riwayat Pekerjaan
3.2.1. Precarious Workers di Sektor Pelayanan Kesehatan
a. Cara Bekerja di Tempat Bekerja Saat Ini
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 20
Diagram 3.7. Bagaimana Menjadi PW di Tempat Bekerja Saat Ini
Sumber: Olahan Penelitian
Untuk bekerja sebagai tenaga kesehatan inti, 60% precarious workers di rumah
sakit pemerintah melakukan prosedur melamar pekerjaan yang ditetapkan oleh
pihak rumah sakit seperti seleksi administrasi, tertulis dan wawancara dan 40%
yang merupakan perawat dan dokter magang ditempatkan dari pihak sekolah.
Seperti misalnya dokter magang, mereka bekerja di rumah sakit pemerintah karena
dalam profesi kedokteran menjadi suatu keharusan. Penempatannya pun harus
mendapat rekomendasi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sedangkan di rumah
sakit swasta, keseluruhan informan mengungkapkan bahwa mereka direkrut oleh
rumah sakit melalui perantara sekolah melalui penempatan. Untuk tenaga
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 21
penunjang kesehatan, sebagian besar pekerja (75%) di sektor pemerintah melamar
pekerja dan mengikuti prosedur tahapan rekrutmen seperti seleksi administratif
maupun wawancara. Sedangkan di sektor swasta, sebagian besar dari informan
(75%) mengungkapkan bahwa mereka dapat bekerja karena mendapat bantuan
atau direkomendasikan oleh kerabat yang sebelumnya telah bekerja di rumah sakit
tersebut. Namun beberapa informan juga menginformasikan bahwa bantuan atau
rekomendasi yang diperolehnya dari kerabat juga ternyata mengharuskan mereka
untuk mengikuti seleksi sesuai prosedur yang ditetapkan pihak rumah sakit.
b. Pengalaman Pergantian Posisi Kerja
Diagram 3.7. Pengalaman Pergantian Posisi Kerja
Sumber: Olahan Penelitian
60% tenaga kesehatan inti di rumah sakit pemerintah pernah melakukan pergantian
posisi kerja. Dalam hal ini seperti perawat mereka mengalami pergantian posisi
kerja di bidang penanganan pasien sebagai contoh pergantian posisi dari perawat
anak menjadi perawat di bagian penyakit dalam dan sebagainya. Pada dokter
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 22
magang, biasanya pergantian posisi dilakukan selama 3 bulan sekali. Sedangkan
keseluruhan tenaga kesehatan inti di rumah sakit swasta telah memiliki
pengalaman pergantian posisi kerja.
c. Alasan Pergantian Posisi
Dari 60% tenaga kesehatan inti yang bekerja di rumah sakit pemerintah, 33%nya
berganti posisi dikarenakan alasan mutasi dan 67% lainnya adalah karena di
berdasarkan kontrak atau kesepakatan kerja dari awal telah diatur mengenai
pergantian posisi secara rutin. Sedangkan dari tenaga kesehatan inti di rumah sakit
swasta, keseluruhannya mengungkapkan bahwa mereka berganti posisi karena
terdapat aturan tersebut. Sedangkan bagi precarious workers yang merupakan
tenaga penunjang di rumah sakit pemerintah yang pernah mengalami pergantian
posisi kerja menyatakan bahwa alasan pergantian tersebut dikarenakan adanya
aturan. Sedangkan bagi sebagian besar (75% dari precarious workers yang berganti
posisi kerja) menyatakan alasannya adalah karena adanya mutasi. Hal tersebut
dapat digambarkan pada diagaram 3.8. sebagai berikut.
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 23
Diagram 3.8. Alasan Pergantian Posisi Kerja
Sumber: Olahan Penelitian
d. Kesepakatan Pergantian Posisi
Dari precarious workers yang merupakan tenaga kesehatan inti di sektor rumah
sakit pemerintah, 50% menyatakan bahwa pergantian posisi tersebut disepakati
kedua belah pihak sedangkan 50% lainnya tidak ada kesepakatan. Sedangkan, di
sektor rumah sakit swasta yang pernah mengalami pergantian posisi kerja,
100%nya menyatakan bahwa tidak ada kesepakatan antara pekerja dan perusahaan
tempatnya bekerja untuk melakukan pergantian posisi tersebut. Precarious workers
yang bekerja sebagai tenaga penunjang di sektor rumah sakit pemerintah, 100%
menyatakan pergantian posisi tersebut tidak terdapat kesepakatan kedua belah
pihak namun hanya 25% tenaga penunjang di sektor swasta yang tidak terdapat
kesepakatan, yang dapat dilihat pada tabel 3.2. sebagai berikut:
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 24
Tabel 3.2.
Kesepakatan Pergantian Posisi Kerja
Tenaga Kesehatan Inti Tenaga Penunjang
Ada
Kesepakatan
Tidak Ada
Kesepakatan
Ada
Kesepakatan
Tidak Ada
Kesepakatan
RS
Pemerintah
50% 50% 0% 100%
RS Swasta 0% 100% 75% 25%
Sumber: Olahan Penelitian
e. Persepsi Jenis Pekerjaan
Aspek ini mencakup pada pandangan informan apakah pekerjaan tersebut
merupakan pekerjaan inti atau tidak. Pada pertanyaan wawancara yang
disampaikan menggali informasi apakah jika posisi pekerjaan yang menjadi
tanggung jawab informan tidak ada atau dihilangkan akan mengganggu
keseluruhan sistem dari pekerjaan atau tidak. Dari hasil survey wawancara
diperoleh data sebagai berikut:
Diagram 3.9. Persepsi Posisi Pekerjaan yang Menjadi Tanggung Jawab Informan
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 25
Sumber: Olahan Penelitian
Keseluruhan tenaga kesehatan inti, baik di sektor rumah sakit pemerintah maupun
swasta memiliki persepsi bahwa jika pekerja di bagiannya tidak ada atau
dihilangkan maka keseluruhan sistem pelayanan yang ada di rumah sakit. Beberapa
persepsi yang dimiliki oleh informan menilai bahwa pekerjaan tersebut
memerlukan keilmuan tertentu yang perlu dipelajari sebelumnya sehingga tidak
bisa digantikan dengan sembarang orang. Selain itu, persepsi mereka adalah
mereka merasa memiliki tanggung jawab atas pasien yang mana dalam pembagian
tugas pelayanannya tidak bisa digantikan oleh orang lain. Begitu juga dengan
tenaga penunjang kesehatan di sektor rumah sakit seperti customer service dan
pramusaji juga memiliki persepsi yang tidak jauh berbeda dengan tenaga kesehatan
inti. Sedangkan bagi tenaga penunjang yang memiliki persepsi bahwa mereka tidak
menjadi inti dalam sistem pelayanan kesehatan (sebesar 33% yang berasal dari
rumah sakit swasta) adalah merupakan beberapa pekerja seperti cleaning service di
Unit Gawat Darurat dan kurir bank darah. Persepsi ini dimunculkan karena
mereka menganggap bahwa pekerjaan tersebut dapat digantikan oleh siapapun
tanpa perlu keterampilan dan keilmuan khusus.
f. Status Pekerja Tetap di Posisi yang Setara
Ketika informan ditanyakan pertanyaan apakah di posisinya bekerja saat ini
terdapat rekan kerja yang memiliki posisi setara dengan status pekerja tetap,
keseluruhan precarious workers yang merupakan tenaga kesehatan inti di sektor
rumah sakit pemerintah dan swasta menyatakan di posisi yang sama atau setara
terdapat pekerja yang berstatus tetap. Begitu juga dengan tenaga penunjang yang
bekerja di rumah sakit pemerintah. Sedangkan tenaga penunjang yang bekerja di
RS swasta, 58%nya menyatakan bahwa di posisi tersebut tidak ada yang berstatus
tetap.
Tabel 3.3.
Status Pekerja Tetap di Posisi yang Setara
Tenaga Kesehatan Inti Tenaga Penunjang
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 26
Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada
RS
Pemerintah
100% 0% 100% 0%
RS Swasta 100% 0% 42% 58%
Sumber: Olahan Penelitian
e.2. Kontrak Kerja
3.3.1. Precarious Workers di Sektor Pelayanan Kesehatan
a. Status Kontrak Kerja
Diagram 3.10. Status Kontrak Kerja
Sumber: Olahan Penelitian
80% Tenaga kesehatan inti di rumah sakit pemerintah dan 100% tenaga kesehatan
inti di rumah sakit swasta serta tenaga penunjang di rumah sakit pemerintah,
keseluruhannya berstatus pekerja kontrak dengan status kontrak langsung dengan
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 27
pihak rumah sakit. 20% tenaga kesehatan inti rumah sakit pemerintah yang
merupakan dokter magang menyatakan bahwa statusnya sebagai dokter magang
dimana dalam melaksanakan tugas magang tersebut juga tidak pernah ada
perjanjian tertulis dengan pihak rumah sakit. Sedangkan pada tenaga penunjang di
rumah sakit swasta, pada diagaram 3.10 menunjukkan bahwa 25% informan
berstatus kontrak dengan kesepakatan tertulis antara pekerja dengan pihak ketiga
(outsourcing).
75% informan lainnya bahkan tidak pernah melakukan kesepakatan kontrak tertulis
baik dengan pihak rumah sakit maupun pihak ketiga. Mereka hanya melakukan
kesepakatan lisan dengan pihak ketiga untuk menjadi pekerja di rumah sakit yang
merupakan mitra kerjasamanya. Beberapa jenis pekerjaan yang diungkapkan oleh
informan yang tidak memiliki status kontrak kerja ini adalah seperti cleaning
service di bagian vital rumah sakit (unit gawat darurat), kuris rekam medis, kurir
laboratorium dan kurir bank darah. Pada kesepakatan lisan antara pekerja dengan
pihak ketiga, informan mengungkapkan bahwa status mereka adalah pekerja harian
(untuk mekanisme perhitungan gaji) serta tidak memperoleh hak cuti tahunan atau
sakit.
b. Salinan Kontrak
Dari 100% pekerja tenaga kesehatan inti yang berstatus pekerja kontrak dengan
pihak rumahs sakit pemerintah langsung, ternyata hanya 50% yang menyatakan
bahwa mereka mendapatkan salinan kontraknya. Sedangkan pada keseluruhan
tenaga kesehatan inti di rumah sakit swasta mendapatkan salinan kontrak, begitu
juga dengan tenaga penunjang di rumah sakit pemerintah. Namun dari 25% tenaga
penunjang di rumah sakit swasta ternyata keseluruhannya tidak ada yang
mendapatkan salinan kontrak dengan pihak ketiga (outsourcing). Hal tersebut dapat
digambarkan melalui diagram sebagai berikut:
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 28
Diagram 3.11. Salinan Kontrak Kerja
Sumber: Olahan Penelitian
c. Pola Jangka Waktu Kontrak Kerja
Dari PW yang berstatus kontrak, menyatakan bahwa pola jangka waktu
kontraknya dapat dilihat pada tabel 3.3. sebagai berikut:
Tabel 3.3. Pola Jangka Waktu Kontrak
6 bulan 1 tahun
RS Pemerintah
Tenaga Kesehatan Inti 0% 100%
Tenaga Penunjang 0% 100%
RS Swasta
Tenaga Kesehatan Inti 100% 0%
Tenaga Penunjang 100% 0%
Sumber: Olahan Penelitian
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 29
Dari tabel di atas terlihat bahwa di rumah sakit pemerintah baik diperuntukkan
bagi tenaga kesehatan inti maupun tenaga penunjang, keseluruhan pekerja
kontraknya diberlakukan pola jangka waktu 1 tahun sekali sedangkan di rumah
sakit swasta, tenaga kesehatan inti yang merupakan pekerja kontrak memiliki
jangka waktu 6 bulan. Hal ini juga seperti yang dilakukan pihak ketiga (outsourcing)
yang mempekerjakan tenaga penunjang untuk rumah sakit swasta.
Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi kelompok dengan informan yang
merupakan tenaga kesehatan inti (perawat) di salah satu rumah sakit swasta, pada
saat awal perekrutan atau kesepakatan kontrak kerja pertama rumah sakit
menuliskan dalam butir masa kontraknya adalah selama 3 tahun. Namun
kesepakatan kontrak 3 tahun ini harus selalu diperbarui dalam waktu 6 bulan
sekali.
d. Pengalaman Perpanjangan Kontrak Kerja
Dari PW yang berstatus kontrak, menyatakan bahwa mereka telah mengalami
perpanjangan kontraknya adalah sebagai berikut
Diagram 3.12. Pengalaman Perpanjangan Kontrak
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 30
Sumber: Olahan Penelitian
Dari diagram 3.12 terlihat bahwa di sektor rumah sakit, 25% tenaga kesehatan inti
dan Sedangkan 67% tenaga penunjang yang telah melakukan perpanjangan kontrak
lebih dari dua kali, mereka memiliki masa kerja lebih dari 3 tahun.
3.4. Upah
3.4.1. Precarious Workers di Sektor Pelayanan Kesehatan
a. Wage Range
Diagram 3.13 menunjukkan range atau besaran upah pokok yang diperoleh
informan per bulan. Diagram tersebut juga memperlihatkan bahwa masih terdapat
58% precarious workers yang memperoleh upah kurang dari Rp.2.000.000,00 per
bulan.
Diagram 3.13. Wage Range
Sumber: Olahan Penelitian
b. Persepsi Kecukupan Upah
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 31
Diagram 3.14. Persepsi Kecukupan Upah
Sumber: Olahan Penelitian
c. Komponen Upah yang Diperoleh
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 32
Diagram 3.15. Komponen Upah yang Diperoleh
Sumber: Olahan Penelitian
Pada diagram 3.15 menunjukkan komponen-komponen upah apa saja yang
diterima oleh precarious workers. Bagi tenaga kesehatan inti seperti perawat
kontrak di rumah sakit swasta yang telah bekerja lebih dari 1 tahun atau
perpanjangan kontrak minimal satu kali diberikan uang insentif jasa
(perawat/dokter) dengan range Rp. 300.000,00 – Rp. 500.000,00 per bulan
tergantung dengan masa kerja dan intensitas pelayananannya pada pasien.
Sedangkan di rumah sakit swasta, 100% informan baik yang merupakan tenaga
kesehatan inti maupun tenaga penunjang menyatakan bahwa mereka hanya
memperoleh upah pokok saja, tidak diberikan uang makan, transport, lembur,
maupun uang insentif jasa. Untuk tenaga penunjang di rumah sakit swasta
mengungkapkan bahwa mereka sangat sedikit memiliki kesempatan untuk
mengambil lembur karena biasanya waktu lembur diperkenankan bagi pekerja
tetap. Seperti halnya staf kebersihan (cleaning service) hanya diberikan kesempatan
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 33
untuk lembur pada saat-saat tertentu saja misalnya pada saat hari-hari besar dimana
banyak pekerja yang mengambil cuti tahunan.
d. Mekanisme Pembayaran Upah
Diagram 3.16. Mekanisme Pembayaran Upah
Sumber: Olahan Penelitian
20% tenaga kesehatan inti yang berasal dari rumah sakit pemerintah merupakan
dokter magang yang memperoleh upah yang diakumulasikan untuk dibayarkan
setiap 3 bulan sekali. Sedangkan jika melihat diagram 3.16 menunjukkan bahwa
sebagian besar upah dibayarkan setiap 1 bulan sekali.
e. Pihak yang Mendistribusikan Upah
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 34
Diagram 3.17. Pihak Pendistribusi Upah
Sumber: Olahan Penelitian
f. Ketepatan Pembayaran Upah
Diagram 3.18. Ketepatan Pembayaran Upah
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 35
Sumber: Olahan Penelitian
g. Pengaruh Kenaikan Upah Minimum Provinsi terhadap Kenaikan Upah
Diagram 3.19. Pengaruh Kenaikan Upah Minimum
Sumber: Olahan Penelitian
Pada diagram 3.19 menggambarkan bahwa di sektor rumah sakit pemerintah, 60%
dari tenaga kesehatan inti menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui apakah
kenaikan upah minimum mempengaruhi kenaikan upahnya. Dari hasil wawancara
yang dilakukan beberapa informan menyatakan bahwa mereka terkadang tidak
peduli dengan isu pengupahan. Sementara bagi tenaga penunjang menyatakan
bahwa nilai upah yang diterima tidak dipengaruhi oleh kenaikan upah minimum
karena upahnya hanya berdasarkan dari kontrak yang sudah disepakati sampai
masa berlaku kontrak selesai meskipun pada masa pertengahan kontrak, sesuai
kebijakan upah minimum telah mengalami kenaikan.
3.5. Pemenuhan Hak-Hak Pekerja
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 36
3.5.1. Precarious Workers di Sektor Pelayanan Kesehatan
a. Diskriminasi/Perbedaan Perlakuan terhadap Precarious Workers
Dalam konteks status kerja, dari 100% precarious workers yang merupakan
tenaga kesehatan inti yang berasal dari RS pemerintah yang menyatakan bahwa di
posisi yang sama, mereka mendapat perlakuan yang berbeda/diskriminasi terutama
pada perolehan hak upah dan tunjangan (seperti yang terjadi pada konteks perawat,
perawat yang berstatus kontrak mendapat upah pokok dan uang jasa yang
berbeda). Beberapa informan mengemukakan bahwa dengan beban kerja yang
sama, perawat kontrak biasanya hanya mendapatkan upah pokok dan insentif jasa
lebih rendah sampai dengan Rp.2.000.000,00 per bulan. Namun di sisi yang lain,
mereka juga memiliki persepsi bahwa diskriminasi ini merupakan konsekuensi dari
status kontrak mereka karena mereka beranggapan bahwa seluruh tenaga kesehatan
inti di rumah sakit tempat mereka bekerja pada awalnya berstatus kontrak. Setelah
masa kerja di atas rata-rata 3 tahun mereka dapat mengikuti proses rekrutmen
untuk menjadi pekerja tetap rumah sakit atau PNS. Sedangkan pada 33%
precarious workers yang bekerja di RS swasta, 50%nya menyatakan bahwa mereka
beranggapan diperlakukan berbeda dengan pekerja tetap yang berada di posisi yang
setara. Perbedaan perlakuan yang diperoleh adalah mencakup perbedaan gaji, tidak
adanya hak tunjangan (hari raya, jabatan, uang makan, dan transport) serta tidak
adanya hak cuti tahunan seperti yang diperoleh pekerja tetap yang posisinya sama.
Pada precarious worker di rumah sakit swasta yang tidak memiliki status kontrak
kerja (hanya kesepakatan lisan dengan pihak ketiga yang bekerjasama dengan
rumah sakit) menginformasikan bahwa mereka juga tidak memiliki hak untuk cuti
sakit karena upah yang akan mereka peroleh hanya berdasarkan akumulasi
kehadiran harian mereka.
b. Perolehan Hak-hak Normatif Pekerja
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 37
Diagram 3.20. Perolehan Hak-Hak Normatif Pekerja
Sumber: Olahan Penelitian
Perolehan hak-hak normatif pekerja bagi precarious workers di rumah sakit
pemerintah dan swasta yang digambarkan pada diagram 3.20 mencakup pada
perolehan hak atas jaminan sosial, cuti atau istirahat tahunan yang diatur oleh
pemerintah, cuti sakit serta tunjangan hari raya. Di salah satu rumah sakit swasta,
pekerja kontrak dimasukkan dalam asuransi (perusahaan asuransi milik rumah
sakit) namun untuk membayar iuran asuransi tersebut, upah pekerja dipotong
sekitar 2% sehingga ketika mereka sakit, asuransinya dapat dimanfaatkan untuk
mendapat layanan kesehatan di rumah sakit tersebut. Selain itu, pada diagram
tersebut juga dapat diperjelas melalui tabel 3.4. dimana menunjukkan bahwa tidak
semua hak-hak normatif pekerja tersebut dipenuhi. Bahkan di beberapa precarious
worker yang bekerja sebagai tenaga penunjang di rumah sakit swasta, persentase
pemenuhan hak-hak seperti jaminan sosial, cuti tahunan dan cuti sakit masih
sangat rendah. Hal ini juga terkait dengan status mereka yang tidak memililiki
keterikatan kontrak tertulis sehingga dirasa menyulitkan bagi mereka untuk
mendapatkan hak-hak tersebut.
Tabel 3.4. Pemenuhan Hak-Hak Normatif Pekerja
Jaminan Sosial
Cuti Tahunan
Cuti Sakit
Tunjangan Hari Raya
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 38
(BPJS)
Tenaga Kesehatan Inti (RS Pemerintah) 60% 40% 80% 80%
Tenaga Penunjang (RS Pemerintah) 100% 100% 100% 100%
Tenaga Kesehatan Inti (RS Swasta) 100% 100% 100% 100%
Tenaga Penunjang (RS Swasta) 17% 25% 25% 67%
Sumber: Olahan Penelitian
c. Keterlibatan di Serikat Pekerja
Tidak ada satupun tenaga kesehatan inti dan penunjang baik di RS pemerintah
mauun swasta yang bergabung di Serikat Pekerja. Jika di RS pemerintah,
keseluruhan informan memberikan informasi bahwa di tempat mereka bekerja
tidak ada Serikat Pekerja yang terbentuk. Organisasi yang ada hanyalah organisasi
keprofesian, seperti perawat yang hanya berorganisasi di PPNI (Persatuan Perawat
Nasional Indonesia). Hal ini juga seperti yang terjadi di dalam profesi apoteker,
dokter, dan lainnya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus Serikat Pekerja Farmasi
Kesehatan (SP Farkes) yang seharusnya mampu menjangkau seluruh pekerja di
layanan kesehatan baik tetap maupun tidak tetap terutama di sektor privat
menginformasikan bahwa SP Farkes belum mampu menjangkau pekerja tidak tetap
untuk bergabung menjadi anggota serikat dengan alasan banyak pekerja tidak tetap
ini merasa segan atau takut untuk bergabung terkait dengan kekhawatiran mereka
atas pemutusan hubungan kerja dari pihak perusahaan. Namun dari hasil diskusi
kelompok dengan informan (tenaga kesehatan inti dan penunjang yang bekerja di
rumah sakit swasta) menghasilkan kesimpulan bahwa kekhawatiran tersebut
sebenarnya tidak ada, namun lebih kepada alasan mengapa tidak bergabungnya
mereka di Serikat Pekerja adalah dikarenakan selama ini mereka merasa tidak
pernah diajak untuk bergabung maupun dilibatkan dalam kegiatan Serikat Pekerja.
Selain itu, beberapa informan juga menginformasikan bahwa alasan mereka tidak
mengetahui bagaimana cara untuk bergabung di Serikat Pekerja.
f. Persepsi Pemenuhan Fasilitas Penunjang Kinerja
Tabel 3.4. Persepsi Pemenuhan Fasilitas Penunjang Kinerja
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 39
Fasilitas Penunjang Persepsi Penilaian
RS
Pemerintah RS Swasta
kipas angin/AC
Baik 86% 83%
Buruk 14% 0%
tidak tersedia 0% 17%
Toilet
Baik 86% 100%
Buruk 14% 0%
tidak tersedia 0% 0%
tempat beribadah
Baik 71% 100%
Buruk 29% 0%
tidak tersedia 0% 0%
klinik
kesehatan/akses
untuk kesehatan
pekerja
Baik 57% 17%
Buruk 0% 0%
tidak tersedia 43% 83%
Kantin
Baik 71% 92%
Buruk 29% 8%
tidak tersedia 0% 0%
Sumber: Olahan Penelitian
Dari tabel di atas, beberapa fasilitas penunjang kinerja sudah dirasa baik
bagi pekerja. Namun beberapa fasilitas seperti tempat beribadah terutama di rumah
sakit pemerintah dinilai oleh 29% informan masih buruk. Hal ini dikarenakan
beberapa dari mereka menganggap bahwa lokasi tempat beribadah yang disediakan
rumah sakit terlalu jauh sedangkan waktu istirahat yang mereka miliki cukup
singkat yang pada akhirnya mereka terpaksa untuk melakukan ibadah di ruangan
yang kurang nyaman seperti gudang. Sedangkan pada fasilitas klinik kesehatan
atau pemberian akses terhadap pekerja atas kesehatan, masih belum dirasakan oleh
43% pekerja di rumah sakit pemerintah dan 83% pekerja di rumah sakit swasta.
Penilaian ini diberikan oleh tenaga penunjang yang tidak memperoleh hak atas
jaminan sosial maupun akses khusus terhadap pelayanan rumah sakit tempatnya
bekerja ketika sakit sehingga mereka harus menanggung biaya pemeliharaan
kesehatan dan pengobatannya sendiri.
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 40
Fasilitas lain yang diberikan salah satu rumah sakit swasta berupa fasilitas
tempat tinggal/asrama yang dapat dihuni oleh pekerja termasuk pekerja kontrak.
Beberapa informan yang juga memanfaatkan fasilitas tersebut menginformasikan
bahwa untuk dapat tinggal di asrama, mereka harus membayar uang sewa kamar
Rp.500.000,00 per bulan yang pembayarannya langsung dipotong melalui upah
mereka.
f. Kebebasan Memanfaatkan Fasilitas Penunjang Kinerja
Berdasarkan pernyataan informan terkait dengan penyediaan fasilitas dan
penilaiannya terhadap baik atau buruknya, 100% informan baik di sektor rumah
sakit pemerintah dan swasta menyatakan bahwa mereka bebas memanfaatkan
fasilitas tersebut.
3.6. Kerentanan dan Harapan Pekerja
3.6.1. Precarious Workers di Sektor Pelayanan Kesehatan
a. Mekanisme Penyelesaian Masalah di Tempat Kerja
Diagram 3.21. Mekanisme Penyelesaian Masalah di Tempat Kerja
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 41
Sumber: Olahan Penelitian
Selutuh tenaga kesehatan inti baik di sektor rumah sakit pemerintah
maupun swasta menempatkan pentingnya peran atasan langsung (biasanya kepala
ruang) sebagai pihak yang dapat membantu menyelesaikan masalah atau hambatan
di tempat mereka bekerja. Selain itu, pihak lain yang ikut membantu penyelesaian
masalah bagi precarious worker adalah rekan kerja baik yang memiliki profesi yang
sama maupun tidak. Namun ada 25% tenaga penunjang dari sektor rumah sakit
swasta yang tidak memanfaatkan peran orang lain dalam penyelesaian masalah
atau hambatannya dalam bekerja. Satu hal lain yang menjadi catatan adalah ketika
masing-masing informan ditanyakan tentang keberadaan serikat pekerja, tidak ada
satupun informan yang menjawab bahwa serikat pekerja menjadi pihak lain untuk
membantu penyelesaian masalah mereka di tempat kerja.
b. Persepsi terhadap Status Precarious Workers
Diagram 3.22. Persepsi terkait Status Precarious Workers
Sumber: Olahan Penelitian
Pada diagram 3.22 menunjukkan bahwa seluruh tenaga penunjang yang
bekerja di rumah sakit pemerintah dan 75% di rumah sakit swasta memiliki
persepsi bahwa statusnya saat ini dirasa merugikan dengan alasan antara lain
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 42
karena pertimbangan adanya beban kerja yang sama dengan pekerja tetap di posisi
yang setara, mereka memperoleh upah dan tunjangan yang lebih kecil serta tidak
adanya kepastian kerja. Sedangkan bagi tenaga kesehatan inti di rumah sakit
pemerintah dan swasta yang mengungkapkan bahwa persepsi mereka adalah tidak
dirugikan atau biasa saja menjadi precarious workers adalah karena mereka
memiliki keyakinan bahwa suatu saat dengan profesi mereka yang masih
dibutuhkan masyarakat akan menjanjikan bagi mereka dapat memperoleh status
kerja yang lebih baik dan jelas. Alasan lainnya yang dikemukakan adalah mereka
menganggap bahwa saat ini mereka masih dalam tahap belajar dan
mengembangkan diri untuk menjadi tenaga kesehatan yang professional. Berbeda
alasan yang dikemukakan oleh 25% tenaga penunjang di rumah sakit swasta adalah
karena mereka menganggap pekerjaan ini masih menjadi pilihan yang lebih baik
untuk tetap mencukupi kebutuhan hidup daripada tidak bekerja.
c. Kesempatan untuk Menjadi Pekerja Tetap
Ketika ditanyakan mengenai kemungkinan mereka untuk merubah
statusnya menjadi pekerja tetap, keseluruhan tenaga kesehatan inti di sektor rumah
sakit pemerintah dan swasta mengungkapkan bahwa mereka dimungkinkan untuk
menjadi pekerja tetap dengan pertimbangan mereka telah melalui proses masa kerja
2-3 tahun untuk bisa mengikuti proses pengangkatan pegawai tetap rumah sakit.
Sedangkan bagi tenaga penunjang yang bekerja di sector rumah sakit swasta, hanya
17% yang menyatakan bahwa mereka dimungkinkan untuk menjadi pekerja tetap,
75% menyatakan tidak mungkin dan 8% menyatakan tidak tahu.
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 43
Diagram 3.23. Kesempatan untuk Menjadi Pekerja Tetap
Sumber: Olahan Penelitian
d. Harapan Perubahan Status Menjadi Pekerja Tetap
Baik precarious workers yang merupakan tenaga kesehatan inti maupun
penunjang dari sektor rumah sakit pemerintah dan swasta pada umumnya memiliki
keinginan atau harapan untuk menjadi pekerja tetap. Namun, satu informan yang
merupakan tenaga penunjang dari sektor rumah sakit swasta tidak memiliki
harapan untuk menjadi pekerja tetap dengan alasan ia sudah berusia tua dan alasan
ia bekerja saat ini hanya untuk terus menghasilkan uang, bukan lagi statusnya.
e. Alasan yang Mendasari Harapan Menjadi Pekerja Tetap
Dari informan yang memiliki keinginan/harapan untuk menjadi pekerja
tetap menyatakan bahwa alasan yang mendasarinya antara lain adalah karena
menginginkan upah yang lebih tinggi, adanya kepastian kerja, adanya
tunjangan/penghargaan/bonus yang lebih tinggi serta keinginan untuk tidak
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 44
mendapatkan diskriminasi. Hal tersebut dapat digambarkan melalui diagram
sebagai berikut:
Diagram 3.24. Alasan untuk Merubah Status Kerja
Sumber: Olahan Penelitian
f. Kesempatan Pengembangan Kompetensi Pekerja
Dari hasil wawancara dan diskusi kelompok dengan beberapa informan
mengenai perolehan hak atau kesempatan pengembangan kompetensi precarious
workers, kesempatan ini pada umumnya didapat oleh seluruh informan yang
merupakan tenaga kesehatan inti. Seperti misalnya perawat kontrak di sebuah
rumah sakit yang mendapatkan pelatihan terkait dengan Bantuan Hidup Dasar
(BHD) pasien dan terapi cairan untuk penanganan pasien. Namun menurut
informasi dari yang mereka berikan, perawat kontrak tidak memperoleh pelatihan
dengan kesempatan yang sering diperoleh oleh perawat kontrak. Pelatihan atau
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 45
pemberian pengetahuan lebih sering diperoleh dari perawat-perawat senior secara
informal pada saat melaksanakan tugas. Begitu juga bagi tenaga penunjang di
rumah sakit pemerintah yang berprofesi sebagai tenaga administrasi di bagian
pelayanan consumer (customer service) juga memperoleh kesempatan
pengembangan kompetensi dari pihak rumah sakit seperti dan pelatihan
komunikasi. Sedangkan bagi tenaga penunjang lainnya seperti kurir laboratorium,
kasir, pelaksana kesehatan lingkungan, pramusaji, dan cleaning service
mengungkapkan bahwa selama mereka belum pernah mendapatkan kesempatan
untuk meningkatkan kompetensi mereka selama bekerja di rumah sakit.
B. Precarious Workers di Sektor Layanan Transportasi Udara
Identitas responden
Responden untuk penelitian ini adalah mereka yang bekerja di bandara . Untuk
mereka yang bekerja langsung di bandara, dibagi menjadi 2 yaitu yang merupakan
tenaga inti dan tenaga penunjang. Yang bersifat pekerjaan inti : Aviation Security,
Fire fighting dan yang bersifat penunjang adalah: cleaning service.
Sedangkan latar belakang para responden adalah sebagai berikut :
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 46
a. Gender Distribution
Responden dalam penelitian ini yang bekerja dalam pelayanan langsung di bandara
lebih banyak laki-laki, sedangkan untuk pekerjaan penunjang sebagian besar adalah
perempuan.
b. Lama Bekerja
Pekerja yang menjadi responden penelitian ini semua telah bekerja lebih dari 6
bulan dan saat ini sebagian besar telah bekerja selama 1-2 tahun.
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 47
c. Educational Background
Sebagian besar responden merupakan pekerja yang berlatar pendidikan lulus
sekolah menengah atas dan diploma. Mereka yang berlatar belakang pendidikan
SMA ini adalah mereka yang bekerja sebagai pengamanan bandara dan pemadam
kebakaran. Sedangkan untuk cleaning service, ada yang hanya tamat SMP.
d. Status Pernikahan
Dari bagan ini dapat dilihat hahwa sebagian besar responden telah berkeluarga dan
memiliki anak. Hanya sejumlah sedikit responden yang masih berstatus belum
menikah.
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 48
Riwayat Pekerjaan
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, sebagian besar menyatakan
bahwa mereka mendapatkan pekerjaaan yang saat ini mereka jalankan melalui
mekanismke melamar pekerjaan kepada perusahaan outsourcing yang merekrut
mereka. Sebagian kecil menyampaikan bahwa untuk mendapatkan pekerjaan
mereka memperoleh rekomendasi dari kerabat . Baik mereka yang merupakan
pelaksana pekerjaan inti maupun pendukung, melalui proses seleksi dan pelatihan.
Para responden semua menyatakan bahwa tidak ada perubahan posisi dari
semenjak mereka masuk bekerja. Sejak pertama masuk bekerja para responden
tidak pernah mendapatkan informasi tentang kemungkinan mereka berpindah
posisi di bagian lain. Mereka berpendapat bahwa mereka memang direkrut untuk
pekerjaan yang bersifat spesifik .
Status kerja precarious workers
Untuk pekerjaan inti, para responden manyatakan bahwa terdapat pekerja lain
yang berstatus pekerja tetap yang melakukan pekerjaan yang sama. Para pekerja
tetap yang bekerja di bagian yang sama dengan para responden rata-rata telah
bekerja sebelum mereka masuk di bagian tersebut. Namun hal ini tidak terjadi pada
pekerjaan penunjang. Semua pekerja cleaning service mengaku bahwa semua
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 49
pekerja cleaning service adalah pekerja outsourcing. Sedangkan para responden
semua mengaku bahwa mereka langsung melakukan kontrak kerja dengan pihak
perusahaan outsourcing. Untuk pekerja security dan pemadam kebakaran
melakukan kontrak kerja dengan anak perusahaan angkasa pura yang memang
khusus menyediakan jasa pekerja bagi bandara.
Terkait dengan kontrak,tidak semua responden mengaku mendapatkan kontrak
secara resmi.
Pekerja cleaning servie mengaku tidak mendapatkan kontrak kerja,dan sebagian
mengaku pernah mendatangani kontrak kerja namun sampai saat ini tidak
mendapatkan copy kontrak tersebut, dimana merupakan hak pekerja. Terkait
dengan status kerja, semua pekerja berharap dapat menjadi pekerja tetap walaupun
mereka merasa untuk mencapai itu amat sulit, apalagi untuk pekerja layanan inti
merupakan pekerja dari anak perusahaan angkasa pura. Sedangkan untuk pekerja
cleaning service, berharap untuk menjadi pekerja tetap setidaknya di perusahaan
outsourcingnya.
Harapan ini didasarkan pada persepsi adanya ketidakadilan karena adanya
pembedaaan upah dan tunjangan yang berbeda, dimana mereka mendapatkan lebih
rendah daripada pekerja tetap padahal melakukan pekerjaan yang sama dan beban
tanggungjawab juga sama.
Upah
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 50
Para responden yang bekerja di pelayanan inti menyakatan bahwa upah mereka di atas
upah minimum di lokasi mereka bekerja. Namun untuk pekerja penunjang, mendapatkan
gaji setara dengan upah minimum dan juga ada yang kurang dari upah minimum.
Untuk itu, bagi pekerja layanan penunjang besaran upah minimum sangat berpengaruh
bagi gaji mereka. Sedangkan untuk pendistribusian gaji, didistribusikan langsung dari
perusahaan outsourcing kepada para pekerja dan dilakukan secara tepat waktu.
Untuk pekerja yang telah berkeluarga dan memiliki anak, upah yang diterima saat ini
masih kurang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Apalagi untuk para pekerja cleaning
service upahnya tidak jauh dari upah minimum.
Pemenuhan hak Precarious workers
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 51
Untuk para pekerja layanan inti telah mendapatkan hak yang relative lebih baik
daripada pekerja layanan penunjang. Jaminan kesehatan telah diberikan kepada
pekerja security dan pemadam kebakaran. Sedangkan untuk cleaning service,
menyatakan bahwa mereka sampai saat ini belum mendapatkan jaminan
kesehatan. Untuk cuti tahunan, masih kurang maksimal dipenuhi. Cuti tahunan
rata-rata tidak diambil oleh pekerja karena terbatasnya backup pekerja lain dan
prosedur pengajuan cuti tahunan yang dirasakan tidak mudah. Sedangkan untuk
penggunaan fasilitas dalam lingkungan kerja, precarious workers dapat
menggunakan sama dengan para pekerja tetap.
Jika terdapat pelanggaan hak-hak pekerja, para pekerja memilih untuk
menyelesaikan langsung dengan atasan, baik lewat rekan kerja atau langsung. Para
responden tidak bergabung dalam serikat pekerja sehingga tidak ada peran serikat
pekerja dalam memperjuangkan pemenuhan hak precarious workers.
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 52
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1. Kedudukan Status Ketenagakerjaan Precarious Workers di Sektor
Layanan Kesehatan
Dari hasil temuan lapangan yang telah dideskripsikan pada bab 3
menggambarkan bahwa sebaran informan dari penelitian ini mencakup pada
tenaga kesehatan inti dan tenaga penunjang seperti yang dikategorikan dalam PP
Sistem Kesehatan Nasional, yaitu tenaga kesehatan inti yang merupakan pekerja
yang memiliki tanggung jawab pelayanan medis langsung kepada pasien seperti
dokter, perawat, apoteker dan konsultan gizi (tenaga gizi) serta tenaga penunjang
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 53
untuk pelayanan kesehatan yang mencakup tenaga administrasi pelayanan
konsumen (customer service), pekerja di laboratorium, kurir rekam medis, kurir
bank darah, tenaga administrasi di bagian fisioterapi, pramusaji, pelaksana
kesehatan lingkungan, serta cleaning service di beberapa area vital rumah sakit
seperti Unit Gawat Darurat. Jika dikaitkan dengan jenis dan pekerjaannya
berdasarkan Undang Undang Ketenagakerjaan yang mensyaratkan bahwa tidak
diperbolehkannya memberi status sebagai pekerja kontrak/waktu tertentu pada 4
(empat) kegiatan (lihat UU Ketenagakerjaan pasal 59) maka menunjukkan bahwa
terdapat pelanggaran atas hubungan kerja terhadap precarious worker di sektor
pelayanan kesehatan. Merujuk pada sifat dan jenis pekerjaan yang dilaksanakan
oleh tenaga kesehatan inti jelas tidak memenuhi satupun unsur untuk dibenarkan
memiliki hubungan kerja dengan perjanjian kontrak/waktu tertentu. Di sektor
rumah sakit pemerintah, justru indikasi pelanggaran status hubungan kerja justru
sangat terlihat, dimana sebagian besar tenaga kesehatan inti memiliki masa kerja
precarious work yang mencapai lebih dari 2 tahun (lihat diagram 3.3.) atau dengan
perpanjangan kontrak—dengan jangka waktu kontrak 1 tahun—sampai lebih dari
dua kali (3.12). Sedangkan pada tenaga kesehatan inti di rumah sakit swasta yang
merupakan perawat ditemukan informasi bahwa masa kontrak yang disebutkan
dalam kesepakatan adalah 3 tahun namun harus diperpanjang dalam waktu 6 bulan
sekali. Hal ini memperlihatkan bahwa pihak perusahaan menempatkan pekerja
seolah-olah pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang sudah diperkirakan
penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga)
tahun (UU Ketenagakerjaan pasal 59), meskipun ketiga unsur yang lain dalam
syarat perjanjian waktu tertentu tidak dapat dipenuhi.
Pada precarious workers yang diposisikan sebagai tenaga penunjang baik di
rumah sakit pemerintah maupun swasta perlu dilihat apakah jenis dan sifat
pekerjaannya memang diperbolehkan untuk berstatus hubungan kerja kontrak atau
tidak. Beberapa jenis pekerjaan seperti kurir rekam medis, customer service, kurir
laboratorium, kurir bank darah, dan tenaga administrasi di bagian fisioterapi juga
tidak dapat memenuhi unsur untuk dibenarkan sebagai pekerja kontrak/waktu
tertentu karena pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang bukan sementara,
bukan pekerjaan yang bersifat musiman karena bagian pekerjaan tersebut harus
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 54
diadakan untuk menunjang proses pelayanan kesehatan, serta pekerjaan tersebut
bukan merupakan pekerjaan percobaan. Terkait dengan hubungan kerja, bahkan di
beberapa jenis pekerjaan ini terutama di rumah sakit swasta, sebagian besar pekerja
yaitu 75% (lihat diagram 3.10) tidak pernah melakukan kesepakatan kontrak
tertulis baik dengan pihak rumah sakit maupun pihak ketiga, dan memposisikan
mereka sebagai pekerja harian dengan maksud bahwa upah mereka dihitung per
hari kerja. Mereka hanya melakukan kesepakatan lisan dengan pihak ketiga untuk
menjadi pekerja di rumah sakit yang merupakan mitra kerjasamanya. Jika mengacu
pada UU Ketenagakerjaan, perjanjian lisan hanya diperuntukkan bagi perjanjian
kerja waktu tidak tertentu dengan didasari pada surat pengangkatan. Namun pada
hasil temuan lapangan, hubungan kerja yang tidak jelas (dari segi kesepakatan
kerjanya) ini telah berlangsung selama bertahun-tahun.
4.2. Pemenuhan Hak-hak Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan
Hak-hak pekerja yang wajib dipenuhi adalah meliputi hak-hak normatif
seperti pemenuhan hak upah tidak kurang dari upah minimum, hak akan tunjangan
yang melekat, hak atas waktu istirahat dan cuti, hak atas kesempatan beribadah,
hak atas hari libur, hak atas dispensasi sakit haid, melahirkan, dan menyusui bagi
pekerja perempuan, hak atas jaminan sosial tenaga kerja, hak atas kesempatan
pelatihan kerja, dan hak atas kesempatan berorganisasi dan berserikat. Jika diurai
dari pengupahan, (lihat diagram 3.13) sebagian besar pekerja baik tenaga kesehatan
inti maupun penunjang di rumah sakit pemerintah dan swasta, terutama di Jakarta
yang memperoleh upah pokok di bawah upah minimum sektoral jasa rumah sakit
di propinsi DKI Jakarta tahun 2014 yaitu Rp. Rp. 2.636.280,00. Pemenuhan hak
atas kenaikan upah sesuai dengan kenaikan upah minimum juga masih menjadi
perhatian karena sebagian upah precarious workers tidak mengalami penyesuaian
dengan kenaikan upah minimum per tahunnya karena nilai upah akan terus
mengikat sampai masa kontrak habis.
Begitu juga dengan perolehan hak lain dalam komponen pengupahan seperti
uang makan, transport, lembur (lihat diagram 3.15) dimana di rumah sakit swasta,
tidak ada komponen pengupahan lain karena hanya memperoleh upah pokok
sesuai dengan nilai yang tertera di kontrak. Kerentanan lainnya dalam hal
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 55
pengupahan adalah masalah waktu pembayaran upah yang sering terlambat dan
tidak tentu. Hal ini menjadi suatu catatan yang menunjukkan adanya
ketidakberpihakan perusahaan atau pihak pemberi kerja pada precarious workers.
Hak lain seperti akses dan kesempatan untuk memperoleh pelatihan kerja menjadi
catatan penting karena dari hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa precarious
workers belum menjadi prioritas untuk mendapatkan hak pengembangan
kompetensi kerjanya. Namun, dari hasil temuan lapangan sebagian besar
precarious workers yang masih belum mengetahui bahwa hak-hak tersebut
merupakan hak normative yang wajib diperolehnya.
Diskriminasi terhadap precarious workers yang ditunjukkan dengan adanya
perbedaan yang signifikan dari perolehan upah dan tunjangan di posisi dan beban
pekerjaan yang setara seperti yang banyak terjadi pada tenaga kesehatan inti. Hal
ini Tjandraningsih, Indrasari., R. Herawati., & Suhadmadi (2010) yang
menjelaskan bahwa diskriminasi terhadap pekerja kontrak dan outsourcing salah
satunya adalah pada diskriminasi upah.
Kaitan pengelolaan pekerja, dalam hal ini adalah precarious workers
terhadap kualitas layanan kesehatan pada masyarakat dapat dilihat pada
bagaimana pemenuhan hak-hak pekerja diupayakan serta pemberian akses dan
kesempatan bagi pekerja untuk mengembangkan kompetensinya dalam kaitannya
dengan tanggung jawab pekerja sebagai pemberi layanan kesehatan bagi
masyarakat. Namun, dengan menganalisis kedua hal tersebut masih dinilai belum
tercapai karena dari hasil temuan lapangan diperoleh gambaran yang belum
mencapai porsi ideal sumber daya kesehatan yang merupakan peran utama dalam
penyelenggaraan sistem kesehatan nasional.
4.3 Job security pada precarious worker di sector transportasi udara dan
pengaruhnya pada keamanan penerbangan
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 56
Berdasarkan undang-undang penerbangan dinyatakan bahwa karena penting dan
strategisnya peranan penerbangan untuk hajat hidup orang banyak, penerbangan
dikuasai oleh negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dengan
memperkuat kelembagaan yang bertanggung jawab di bidang penerbangan berupa
penataan struktur kelembagaan, peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya
manusia, peningkatan pengelolaan anggaran yang efektif, efisien, dan fleksibel
berdasarkan skala prioritas, peningkatan kesejahteraan sumber daya manusia,
pengenaan sanksi kepada pejabat dan/atau pegawai atas pelanggaran dalam
pelaksanaan
ketentuan Undang-undang.
Sedangkan menurut data yang dipaparkan dalam bagian sebelumnya, kondisi
pekerja di bandara yang memberikan pelayanan langsung masih belum dalam
keadaan yang baik. Walaupun mereka mendapatkan remunerasi yang lebih baik
daripada pekerja outsourcing di luar bandara, namun masih sangat tertinggal
daripada para pekerja tetap. Dengan mengetahui pembedaaan ini, dapat
menimbulkan potensi tidak efektifnya sumber daya manusia yang bekerja di
bandara dimana hal ini juga dapat menimbulkan pengaruh bagi kualitas layanan
keamanan bandara.
Kementerian Perhubungan sendiri menyatakan seharusnya tidak ada lagi sistem alih daya (outsourcing) bagi pekerja yang terlibat langsung dalam sistem keamanan
penerbangan. ( Kompas,8 Mei 2014). Menurutnya, sistem alih daya pekerja yang
masih diterapkan merupakan salah satu kendala sistem keamanan penerbangan
nasional.
Dualisme kebijakan dalam pengelolaan bandara, dimana dari sisi layanan harusnya
menjadi tanggungjawab kementrian perhubungan, namun saat ini Angkasa Pura
merupakan Badan Usaha Milik Negara yang pengelolaannya dibawah Kementrian BUMN. Kedua lembaga ini memiliki tugas dan fungsi yang berbeda. Kementrian
Perhubungan bertugas salah satunya membuat kebijakan transportasi yang aman.
Hal ini membuat factor keamanan menjadi yang utama. Sedangkan kementrian
BUMN akan lebih focus salah satunya pada pendapatan untuk Negara, dimana dengan ini akan lebih concern pada isu efisiensi anggaran. Dengan adanya efisiensi
anggaran ini maka upaya untuk menekan cost dilaksanakan, salah satunya dengan
mempekerjakan pekerja outsourcing di bandara
Di sisi lain, upaya untuk menegakkan hak-hak pekerja ini tidak mudah mengigat
tidak adanya Serikat Pekerja yang membela hak-hak mereka.
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 57
BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan hasil analisis dari temuan lapangan, maka dapat disimpulkan
bahwa tenaga kesehatan baik tenaga kesehatan dan transportaso inti maupun
penunjang di rumah sakit pemerintah dan swasta serta di bandara menunjukkan
adanya kondisi yang tidak menguntungkan dan menempatkan mereka sebagai
pekerja yang rentan (precarious workers). hal ini digambarkan dengan adanya
kondisi perolehan upah murah, ketidakpastian hubungan kerja, perlindungan
sosial, diskriminasi perolehan hak normatif pekerja serta adanya keterbatasan akses
pekerja dalam mengembangkan kompetensinya.
Untuk itu, perlu diajukan beberapa rekomendasi yang ditujuan untuk
perbaikan kondisi precarious workers di sektor layanan kesehatan dan transportasi
udara dengan mengingat pentingnya peran pekerja di sektor strategis ini.
Rekomendasinya meliputi:
Adanya kondisi bahwa adanya sebagian besar precarious worker yang memiliki
kesadaran dan pengetahuan yang rendah akan hak-hak normatif pekerja, maka
perlu dilakukan pendekatan intervensi untuk membangun konstruksi dan
kesadaran pekerja atas hak-haknya sebagai pekerja.
Serikat Pekerja sebenarnya menjadi pihak yang paling strategis dalam
perbaikan kondisi precarious workers, terutama dalam hal perjuangan
pemenuhan hak-hak pekerja melalui pelibatan aktif dalam pendidikan dan
advokasi perjuangan pemenuhan hak-hak pekerja. Dalam hal ini, Serikat
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 58
Pekerja perlu bergerak aktif dalam menjangkau precarious workers, bahkan jika
perlu menjadikan mereka sebagai anggota serikat agar tanggung jawab serikat
menjadi lebih terikat
Dalam konteks yang lebih luas, serikat pekerja perlu membangun aliansi
bersama elemen terkait seperti serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat,
dan gerakan sosial pro demokrasi lainnya untuk memperjuangkan efektivitas
peran pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan fungsinya dalam
mengawal aturan normatif agar dapat berjalan maksimal
Masih banyaknya precarious workers yang mengisi pos-pos strategis dan inti
dalam penyelenggaraan kesehatan di Indonesia sebenarnya merupakan suatu
bentuk ancaman bagi kualitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, pekerja
tenaga kesehatan yang memang mengisi pos-pos strategis dan inti sudah
selayaknya tidak dibebankan lagi mengenai permasalahan status kerja ataupun
pemenuhan hak normatif lainnya yang dapat mengganggu kinerja tenaga
kesejatan tersebut. Guna memastikan hal tersebut, diperlukan rekomendasi
kebijakan pemerintah atas penegasan undang-undang dan peraturan terkait
dengan hubungan kerja sehingga tidak ada pihak-pihak yang masih bisa
memanfaatkan celah tafsiran kebijakan untuk dapat menempatkan posisi
pekerja dengan status yang tidak semestinya.
- Perlu adanya kebijakan yang lebih mengutamakan keselamatan di atas
pendapatan. Transportasi udara merupakan salah satu sector vital. Saat ini
dimana pengelolaan bandara berada di bawah kementrian BUMN
menjadikan potensi menurunnya kualitas keamanan penerbangan.
DAFTAR REFERENSI
ANHOPS. (23 Agustus 2013). Definition of Health Workers.
http://www.hpa.org.uk/web/HPAweb&HPAwebStandard/HPAweb_C/11
95733758763.
Badan Pusat Statistik. (2014). Berita Resmi Statistik No. 36/05/ Th. XVII, 5 Mei
2014. http://www.bps.go.id/getfile.php?news=1100
Bryman, Alan. (2008). Social Reseacrh Method. New York: Oxford University Press
Laporan Penelitian “Studi Dasar Precarious Workers di Sektor Layanan Kesehatan dan Transportasi Udara di Indonesia”| 59
Chossudovsky, Michel. (2003). The Globalization of Poverty and the New World Order.
Canada: Global Research.
ILO (2011). Policies and Regulations to Combat Precarious Employment.
www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed.../wcms_164286.pdf.
ILRF (2014). Companies Worldwide are Shirking Their Legal Obligations to Workers by
Replacing Permanent Jobs with Contract and Temporary work.
http://www.laborrights.org/issues/precarious-work.
Knapp, Martin (1984). The Economics of Social Care. London: Mac Millan.
Neuman, W.Lawrence. (2006). Social Research Method: Qualitative and Quantitative
Approach. 6th Ed. USA: Pearson.
Rubbin, Allen., & Earl R. Babbie. (2008). Research Methods for Social Work, 6th ed.
California: Thomson.
Simanjuntak, Payaman. (2011). Manajemen Hubungan Industrial (Serikat Pekerja,
Perusahaan & Pemerintah). Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI.
Tjandraningsih, Indrasari., R. Herawati., & Suhadmadi. (2010). Diskriminatif & Eksploitatif (Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing Buruh di Sektor Industri Metal
di Indonesia). Akatiga-FSPMI-FES.
World Bank (2006). Priorities in Health. Editors: Jamison, Dean T, et.al. Washington DC: The World Bank.
Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Presiden No. 72 tahun 2013 tentang Sistem Kesehatan Nasional.
Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.