laporan kunjungan kerja spesifik komisi vi dpr ri ke pt ... · pertamina pada aspek crude...

71
1 LAPORAN KUNJUNGAN KERJA SPESIFIK KOMISI VI DPR RI KE PT PERTAMINA (PERSERO) DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Pada Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2018 – 2019 Tanggal 25 – 27 Maret 2019 I PENDAHULUAN 1.1 DASAR UU No. 2/2018 j.o UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasal 98 ayat (4) huruf f tentang pelaksanaan tugas Komisi melalui kunjungan kerja khususnya untuk menjalankan fungsi pengawasan. Keputusan Rapat Intern Komisi VI DPR RI tanggal 4 Maret 2019 mengenai sasaran dan obyek Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VI DPR RI dalam Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2018 – 2019. 1.2 MAKSUD DAN TUJUAN Kunjungan Kerja Spesifik ini dimaksudkan untuk mengetahui kinerja, pokok-pokok kebijakan, tantangan dan permasalahan yang dihadapi oleh PT Pertamina (Persero) khususnya tentang kinerja operasional dan keuangan, aset perusahaan, jumlah anak perusahaan serta kondisi aktual yang tengah dihadapi perusahaan khususnya di Provinsi Kalimantan Timur dengan tujuan untuk menjadi bahan masukan kepada Pemerintah guna ditindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku. 1.3 SASARAN DAN OBYEK KUNJUNGAN KERJA A. Sasaran Kunjungan Kerja Spesifik dititikberatkan pada aspek: 1. Pengawasan Pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan, khususnya yang berkaitan dengan bidang tugas mitra kerja Komisi VI DPR RI. 2. Pengawasan, monitoring dan evaluasi kinerja, pokok-pokok kebijakan, tantangan dan permasalahan yang dihadapi PT Pertamina (Persero) di Provinsi Kalimantan Timur khususnya tentang kinerja operasional dan keuangan, aset perusahaan, jumlah anak perusahaan, kondisi aktual yang tengah dihadapi perusahaan. 3. Menampung aspirasi yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat sekitar, pengembangan industri, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. B. Objek yang dikunjungi dan dibahas meliputi: 1. PT Pertamina (Persero) RU V & MOR VI Balikpapan, Kalimantan Timur 1.4 WAKTU DAN ACARA KUNJUNGAN KERJA (Terlampir) 1.5 ANGGOTA TIM KUNJUNGAN KERJA (Terlampir)

Upload: others

Post on 08-May-2020

9 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

LAPORAN KUNJUNGAN KERJA SPESIFIK KOMISI VI DPR RI

KE PT PERTAMINA (PERSERO) DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Pada Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2018 – 2019 Tanggal 25 – 27 Maret 2019

I PENDAHULUAN

1.1 DASAR

UU No. 2/2018 j.o UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasal 98 ayat (4) huruf f tentang pelaksanaan tugas Komisi melalui kunjungan kerja khususnya untuk menjalankan fungsi pengawasan.

Keputusan Rapat Intern Komisi VI DPR RI tanggal 4 Maret 2019 mengenai sasaran dan obyek Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VI DPR RI dalam Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2018 – 2019.

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN

Kunjungan Kerja Spesifik ini dimaksudkan untuk mengetahui kinerja, pokok-pokok kebijakan, tantangan dan permasalahan yang dihadapi oleh PT Pertamina (Persero) khususnya tentang kinerja operasional dan keuangan, aset perusahaan, jumlah anak perusahaan serta kondisi aktual yang tengah dihadapi perusahaan khususnya di Provinsi Kalimantan Timur dengan tujuan untuk menjadi bahan masukan kepada Pemerintah guna ditindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku.

1.3 SASARAN DAN OBYEK KUNJUNGAN KERJA

A. Sasaran Kunjungan Kerja Spesifik dititikberatkan pada aspek: 1. Pengawasan Pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan, khususnya yang berkaitan

dengan bidang tugas mitra kerja Komisi VI DPR RI. 2. Pengawasan, monitoring dan evaluasi kinerja, pokok-pokok kebijakan, tantangan dan

permasalahan yang dihadapi PT Pertamina (Persero) di Provinsi Kalimantan Timur khususnya tentang kinerja operasional dan keuangan, aset perusahaan, jumlah anak perusahaan, kondisi aktual yang tengah dihadapi perusahaan.

3. Menampung aspirasi yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat sekitar, pengembangan industri, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.

B. Objek yang dikunjungi dan dibahas meliputi: 1. PT Pertamina (Persero) RU V & MOR VI Balikpapan, Kalimantan Timur

1.4 WAKTU DAN ACARA KUNJUNGAN KERJA (Terlampir)

1.5 ANGGOTA TIM KUNJUNGAN KERJA

(Terlampir)

2

II. PERTANYAAN SPESIFIK

2.1 Kepada PT Pertamina (Persero)

1. Harap dijelaskan secara lengkap kinerja PT Pertamina (Persero) khususnya di Provinsi Kalimantan Timur selama 5 (lima) tahun terakhir berikut target dan realisasinya, kontribusi pajak, serta dividen kepada negara dan kontribusinya kepada daerah di Provinsi Kalimantan Timur, apa saja kendala yang dihadapi, apakah ada kebijakan dari Pemerintah maupun Pemerintah Daerah yang menghambat, selanjutnya dukungan apa saja yang dibutuhkan?

2. Harap dijelaskan secara lengkap rencana pengembangan usaha Pertamina beserta anak-anak perusahaanya khususnya untuk menunjang kinerja hulu Pertamina di Daerah Operasi Hulu (DOH) Kalimantan khususnya di Kaliamantan Timur dan sekitarnya, maupun kinerja hilir Pertamina yang mencakup : a. Blok migas strategis yang dikelola anak usaha Pertamina, apa saja yang diintegrasikan ke

fasilitas yang telah ada dan lokasinya berdekatan terutama mengenai integrasi produksi dan optimalisasi aset, serta korelasi antara pengembalian biaya operasi migas (cost recovery) dengan upaya-upaya yang dilakukan sebagai kontribusi Pertamina dalam meningkatkan lifting migas sesuai target APBN.

b. Kinerja Refinery Unit Pengolahan V Balikpapan dan rencana pengembangannya pada program refinery development master plan (RDMP) yang mentransformasikan kilang Pertamina pada aspek crude flexybility, profitability, energy security, dan product quality dengan merujuk pada Peraturan Presiden No. 146 Tahun 2015 tentang Pengembangan dan Pembangunan Kilang Dalam Negeri yang mengatur tentang skema pendanaan, pengadaan lahan, off taker product, dan tax holiday

3. Harap dijelaskan secara lengkap aksi korporasi PT Pertamina (Persero) dalam rencana pelepasan aset melalui spin-off di Refinery Unit Pengolahan V Balikpapan, serta akuisisi saham PT Japan Indonesia LNG Co., Ltd (JILCO) khususnya mengenai sumber dana dan komposisinya, target dan tujuan dalam menaikan pangsa pasar, portofolio produk, efisiensi usaha, pertumbuhan aset dan profitabilitas, serta korelasinya dengan proses konsolidasi BUMN.

4. Mohon dijelaskan secara lengkap perkembangan penggunaan dan ketersediaan serta pola distribusi BBM (termasuk penyalur BBM Satu Harga), gas elpiji, dan avtur khususnya di Provinsi Kalimantan Timur, yang mencakup : a. Data mengenai potential lost BBM dan gas elpiji bersubsidi di Kalimantan Timur. Apa yang

dilakukan untuk mengawasi tata niaga dan distribusinya, serta upaya yang dilakukan untuk mencegah atau menanggulangi hal ini?

b. upaya yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) dalam menyikapi keputusan DPR RI untuk membenahi tata niaga dan penyimpangan penyaluran Elpiji 3 kg, khususnya mengenai perijinan bagi distributor sehingga menghambat penyalurannya. Harap dijelaskan juga Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE) dan Stasiun Pengisian dan Pengangkutan Bulk Elpiji (SPPBE) yang beroperasi dan akan beroperasi ?

5. Harap dijelaskan mengenai Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan (PKBL) yang telah dilaksanakan selama 5 (lima) tahun terakhir khususnya di Provinsi Kalimantan Timur, mencakup: a. Bentuk-bentuk program dan mekanisme kemitraan yang telah dikembangkan. b. Data terkait penerima Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan (PKBL), serta dasar

atau alasan pemilihan penerima program tersebut. c. Perkembangan nilai yang disalurkan untuk Program Kemitraan dan Program Bina

Lingkungan (PKBL) yang telah dikembangkan.

3

III. KONDISI OBJEKTIF & PERMASALAHAN SPESIFIK

3.1 Kondisi Objektif Unit Operasi PT Pertamina (Persero) di RU V dan MOR VI Balikpapan

1. Kilang RU V Balikpapan memiliki kapasitas 260 MBSD dengan komposisi Crude Distillation Unit (260 MBSD), High Vacuum Unit (105 MBSD), Hydrocracking Unit (55 MBSD), NHT - Platforming (20 MBSD), LPG Recovery (242 TON/D), Utilities & Offsite Facilities.

2. Proses Penerimaan Crude Oil dan Distribusi Produk Kilang: a. Proses penerimaan crude oil di Refinerry Unit V Balikpapan dimulai dari Tanjung Crude

Pipeline ± 170 MB/bln dan Local Crude Tanker ± 2400 MB/bln yang diproses di Kilang BPP I yang dibangun pada Tahun 1997 dengan Kapasitas 60 MBSD, sedangkan dari Sepinggan Crude Pipeline ± 360 MB/bln di proses di Kilang BPP II yang dibangun pada Tahun 1984 dengan Kapasitas 200 MBSD.

b. Produk yang diproses di RU V Balikpapan berupa LPG, Premium, Pertalite, Pertamax, Kerosene, Avtur, IDO (Solar), ADO, Pertadex, SF-05, LAWS-05, MGO, NBF, dan LSWR selanjutnya didistribusikan melalui Marketing Operation Region (MOR) VI Kalimantan

c. Adapun crude oil di RU V Balikpapan yang berasal dari Local/Imported Crude Tanker ± 6000 MB/bln diproses melalui SPM dengan kapasitas 150.000 DWT

3. Realisasi Pengolahan Minyak Mentah Domestik RU V Balikpapan Tahun 2018 a. Pengolahan minyak mentah pada Kilang BPP I yang dibangun pada tahun 1995 dengan

kapasistas 60 MBSD berasal dari crude Attaka 25%, Duri 25%, SLC 33%, dan Arun Cond 17%, sedangkan pada Kilang BPP I yang dibangun pada tahun 2018 dengan kapasitas 60 MBSD berasal dari Banyu Urip 24%, Mudi 12%, Widuri 12%, Banyu 11%, Arjuna 10%, SLC 8%, Sanga-Sanga 7%, dan dari sumber domestik lainnya yaitu dari Mamburungan, Sangatta, Tarakan, Tangguh, Tanjung, BD Karapan, Warukin sebesar 11%, sedangkan sisanya impor dari Asia yaitu Azeri, Kikeh, Seria, Miri, dan Coco sebesar 4%.

b. Pengolahan minyak mentah pada Kilang BPP 2 yang dibangun pada tahun 1980 dengan kapasitas 200 MBSD berasal dari crude domestik yaitu dari Handil 60% dan Bekapai 40%, sedangkan Kilang BPP 2 yang dibangun pada tahun 2018 dengan kapasitas 200 MBSD berasal dari crude domestik sebesar 43% yang didominasi oleh crude dari Banyu Urip dan sisanya dari Anoa, Arjuna, Senipah Cond, Bekapai, Belanak, Belida, Sepinggan, Handil, Jatibarang, Katapa, Kerapu, Langsa, Madura. Adapun sisanya yaitu 24% berasal dari impor Asia yaitu dari Azeri, Kikeh, Seria, Miri, Coco, sedangkan 33% lainnya dari impor Afrika yaitu Escravos, Bonny Light, Saharan, Qua Iboe, Girasol, Elsharara.

4. Wilayah operasi Marketing Operation Region (MOR) VI Kalimantan mencakup 5 Provinsi, 56 Kabupaten/Kota, 617 Kecamatan, seluas 544.150 km2 dengan jumlah penduduk 14.944.742 Jiwa Penduduk. a. Fasilitas dan Infrastruktur di MOR VI Kalimantan terdiri dari 10 Terminal BBM, 9 Depot

Pengisian Pesawat Udara (DPPU), 3 Depot LPG, 3 Jobber, dan 2 SP(P)BE Non PSO sebagai supply point.

b. Lembaga penyalur BBM terdiri dari 388 SPBU Reguler, 42 SPBN/DN, 54 AMT, 210 APMS/SPBU Kompak. Sedangkan untuk penyalur BBG terdiri dari 26 SP(P)BE PSO, 7 SP(P)BE Non PSO, 228 Agen PSO, 63 Agen Non PSO, 7318 Pangkalan.

c. Sebaran Outlet BBM terdiri dari Premium 483, Pertamax 305, Pertalite 516, Pmax turbo 16, Solar PSO 464, Solar Non PSO 8, dan P-Dex 61.

d. Sales per Tahun di 2018 terdiri dari Premium 1.134.711 KL, Kerosene 4.338 KL, Solar (PSO) 928.747 KL, Pertamax 296.188 KL, Kerosene Non PSO 24.072 KL, Dex 4.374 KL, Dexlite + Solar Non PSO 158.812 KL, Pertalite 1.042.255 KL. Adapun untuk LPG 3 Kg 352.685 MT, LPG 12 Kg 42.065 MT, LPG 50 Kg 7.839 MT, BG 12 Kg 17.533 MT, dan BG 5.5 Kg sebanyak 3.442 MT.

4

5. Kondisi RDMP Balikpapan.

a. Dengan kilang yang sudah ada, Pertamina akan kesulitan menemukan sumber crude untuk produksi, memberikan margin rendah, dan mencatat kinerja keuangan yang lemah. Adapun beberapa tantangan strategis yang dihadapi adalah:

Pasokan feedstock. Masalah yang dihadapi adalah Produksi minyak domestik turun 50% dalam 7 tahun mendatang, Sebagian besar crude (impor & domestik) akan menjadi sour, dan Kilang Pertamina dirancang untuk mengolah sweet crude. Beragam permalahan tersebut mengakibatkan Kilang tidak mampu mengolah sour crude, Sweet crude sulit didapat dan harganya mahal, dan Margin akan terus menurun. Untuk itu dibutuhkan modifikasi kilang agar bisa mengolah sour crude.

Impor bahan bakar dan petrokimia. Masalah yang dihadapi adalah Indonesia pengimpor bahan bakar terbesar di Asia, Bahan bakar 50% impor & Pertrokimia 40% impor, Asia Tenggara akan defisit bahan bakar pada 2030. Beragam permasalahan tersebut mengakibatkan Ketahanan energi nasional terancam dan Importir bahan bakar memiliki posisi tawar dalam harga dan ketersediaan. Untuk itu perlu meningkatkan kapasitas produksi domestik untuk bahan bakar dan produk petrokimia.

Daya saing kilang. Masalah yang dihadapi adalah Sebagian besar kilang sudah tua dengan teknologi lama, Kompleksitas lebih rendah dibanding pesaing internasional, Tingkat konversi lebih rendah mengakibatkan profit buruk. Beragam permasalahn tersebut mengakibatkan Kinerja finansial lemah dalam periode 2012-2016. Untuk itu perlu menggunakan teknologi terkini dengan kompleksitas tinggi untuk menaikkan profit.

Spesifikasi bahan bakar. Masalah yang dihadapi adalah Kualitas produk kilang di bawah Euro 2 sedangkan Bahan bakar domestik dituntut berstandar Euro 4. Permasalahan ini mengakibatkan Pertamina berpotensi mendapatkan sanksi/teguran dari Pemerintah jika belum memenuhi standar Euro 4. Untuk itu perlu meningkatkan spesifikasi bahan bakar dari Euro 2 menjadi Euro 4.

b. Proyek RDMP RU V Balikpapan (Tahap 1+2) 1) Profil Proyek

Lokasi di kawasan RU V Balikpapan, ditargetkan selesai pada tahun 2026 dengan Capex Investment sebesar $6.5 Billion

Capacity di tahun 2014-2016 sebesar 260 KBPD dan desain RDMP sebesar 360 KBPD

Complexity di tahun 2014-2016 sebesar 4 NCI dan desain RDMP sebesar ~9 NCI

High value product for Stage 1+2 includes Gasoline, Avtur, Diesel and Propylene di tahun 2014-2016 sebesar 75% adapun desain RDMP sebesar 96%.

2) Lingkup RDMP expansion

Distillation capacity upgrade: Revamp CDU IV sebesar 200-300 KBPD dan Revamp HVU II

Conversion upgrade: New RFCC: 90 KBPD, New CCR: 33 KBPD, New Alkylation: 7 KBPD, New Isom: 29 KBPD, New NHT: 62 KBPD, Revamp HCU: 60 KBPD, New VRHDS: 104 KBPD

Petrochemical addition: Propylene

5

3) Material balance

Crude intake selama tahun 2014-2016 sebesar 260 KBPD berasal dari Azeri 60 KBPD, Banyu Urip 90 KBPD, Minas 5 KBPD, dari domestik lainnya sebesar 15 KBPD dan dari impor 90 KBPD. Sedangkan untuk RDMP diproyeksikan sebesar 360 KBPD yang berasal dari Arab light.

Key fuel end product selama tahun 2014-2016 sebesar 260 KBPD terdiri dari Gasoline 40 KBPD, diesel 130 KBPD, avtur 15 KBPD, kerosene 15 KBPD. Sedangkan untuk RDMP diproyeksikan sebesar 360 KBPD yang terdiri dari Diesel 160 KBPD, avtur 40 KBPD, Gasoline 140 KBPD, LPG 18 KBPD.

Key speciaty end product untuk RDMP diproyeksikan sebesar 575 KTPA yang terdiri dari sulfur 330 KTPA dan propylene 245 KTPA.

c. Status Proyek RDMP Balikpapan (Maret 2019) 1) Progress EPC

Kick Off Meeting EPC ISBL dan OSBL telah dilakukan di 25 Feb ‘19 dengan Joint operations (JO) team yang terdiri dari SK, Hyundai, Rekayasa Industri, PT Pembangunan Perumahan (Persero).

Pekerjaan early work yang merupakan Pertamina Scope yang sudah selesai antara lain Pembangunan Apartemen, Relokasi Flare BPP-1, dan New Jetty Konstruksi & LLP. Pertamina Scope tahap berikutnya pengerjaan di lapangan telah berjalan.

2) Skema Bisnis & Partership

Skema bisnis RDMP RU V Balikpapan tidak dilakukan dengan skema spin off (aset existing tetap milik Pertamina), melainkan dilakukan dengan pembentukan Cucu Perusahaan (afiliasi) Pertamina (PT Kilang Pertamina Balikpapan) dengan skema tolling fee dan Operation & Maintenance (O&M), dimana kajian lebih detail terkait skema bisnis dari sisi Operator Pelaksana terhadap unit existing dan unit baru sedang dilakukan sebelum diputuskan oleh Direksi.

Kepemilikan Cucu perusahan tersebut, dimungkinkan kepemilikan bersama dengan calon partner dimana kepemilikan mayoritas dimiliki pertamina.

Proses seleksi partner sedang berjalan dan sudah mendapatkan beberapa calon yang menjadi shortlist. Investasi equity dari Partner (s) ditargetkan dapat direalisasikan pada Agustus 2019

3) Progress Pendanaan

Skema pendanaan Proyek RDMP Balikpapan melalui Project Financing. Suatu Special Purpose Vehicle (SPV) diperlukan sebagai pengelola proyek dan untuk memisahkan baik stream revenue maupun risiko proyek antara Proyek dengan Pertamina. Saat ini dilakukan penyiapan kick off dengan Lender/ECA untuk proses Lender due diligent dan negosiasi dengan Pertamina. Target kick off pada awal April 2019

Telah dilakukan penandatanganan MoU dengan lembaga keuangan K-Sure yang berasal dari Korea Selatan pada tanggal 15 Maret 2019 untuk membantu pendanaan proyek

d. Rencana Tindak Lanjut 1) Progress EPC

Menyelesaikan pekerjaan early work tahap 1 dan 2

Proses penyusunan prosedur engineering, surat menyurat, procurement antara PMC dengan Joint Operation (JO) EPC.

Engineering drawing untuk 3 buah Tanki Feed RFCC.

Persiapan penyerahan Lahan tahap 1 ke JO.

6

2) Skema Bisnis & Partership

Menyelesaikan kajian detail skema bisnis untuk pengambilan keputusan Direksi.

Mengirimkan Investment Memo dan Request For Information (RFI) kepada calon mitra.

3) Progress Pendanaan

Percepatan pembentukan SPV Proyek (PT KPB) termasuk proses pengalihan anggaran proyek RDMP Balikpapan dari ABI menjadi penyertaan modal ke SPV yang akan dibentuk.

Penyelesaian kepastian pasokan gas untuk Kilang RDMP Balikpapan.

Menindaklanjuti MoU yang telah ditandatangani dengan detail rencana pendanaan.

e. Program RDMP (Refinery Development Master Plan) dan GRR (Grass Root Refinery) Pertamina menjadi solusi untuk meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi nasional, mendukung pertumbuhan industri petrokimia dan memperkuat bisnis hilir Pertamina. Program RDMP diagendakan di Kilang Balikpapan, Cilacap, Balongan, dan Dumai, sedangkan GRR di Bontang dan Tuban yang merupakan kilang baru.

Kapasitas pemrosesan minyak mentah meningkat dari sebelumnya ~1 juta menjadi 2.0 juta barrel per hari

Kualitas minyak mentah meningkat dari sebelumnya 0.2% Sulfur (Sweet) menjadi ~2% Sulfur

Yield produk bernilai tinggi dari ~75% vol menjadi ~95% vol. sehingga meningkatkan daya saing

Produksi bahan bakar dari 600 kbpd menjadi 1700 kbpd (barrel/hari)

Kualitas produk bahan bakar lebih ramah lingkungan adri sebelumnya Euro 2 menjadi Euro 5

Produksi petrokimia dari 600 ktpa menjadi 6600 ktpa (kilo Ton/tahun) jika RDMP RU VI dengan konfigurasi Refinery dan Petrokimia

f. Program RDMP Refinery Unit V direncanakan untuk meningkatkan produksi BBM dan non BBM, meningkatkan kualitas produk (Euro 2 menjadi Euro 5) dan menaikkan nilai ekonomi kilang.

Nilai investasi ~$6.5 Milyar, direncanakan akan dikerjakan selama ~53 Bulan dan akan memberikan tambahan produksi Gasoline Euro V ~100 kpbd (setara ~30% impor 2017), tambahan produksi Solar Euro V ~30 kbpd (setara ~40% impor 2017), tambahan produksi LPG ~930 tpd (setara ~6% impor 2017), dan produksi Propylene ~230 ktpa (setara ~30% impor 2017)

Diproyeksikan dapat menaikkan yield valuable produk dari ~75% ke ~95%, menaikkan gross margin dari ~1.2 USD/bbl ke ~7.0 USD/bbl, memberikan kontribusi TKDN ~30% setara ~1.5 Milyar USD, meningkatkan GDP ~$1,6 Milyar, dan memberi tambahan lapangan pekerjaan 15.000 orang saat konstruksi proyek dan 2.500 saat kilang dioperasikan.

3.2 Permasalahan Spesifik

1. Kemampuan jenis kilang dengan teknologi lama hanya menghasilkan BBM sekitar 75%–90% dari kapasitas terpasangnya.

Rata-rata produksi BBM yang mampu dihasilkan kilang domestik maksimal 900.000 barel per hari. Itupun jika tingkat utilitas kilang 100% dan dioperasikan terus-menerus selama 365 hari. Ditinjau dari perspektif ketahanan nasional, penambahan kapasitas kilang dalam negeri mendesak dilakukan.

Terbatasnya kapasitas kilang menjadi penyebab defisit pada neraca BBM. Sejak lama, neraca BBM Indonesia dalam kondisi defisit. Data menunjukkan, total impor produk BBM

7

pada 2000 adalah sekitar 240.000 barel per hari. Pada 2017, impor BBM tercatat telah meningkat menjadi sekitar 490.000 barel per hari. Dalam perkembangannya, peningkatan impor BBM menjadi kontributor utama yang menyebabkan neraca pembayaran Indonesia berada pada kondisi defisit.

Pada kuartal II/2018 misalnya, neraca migas Indonesia mengalami defisit sebesar US$2,7 miliar. Defisit tersebut tercatat lebih besar dibandingkan dengan defisit pada kuartal sebelumnya ataupun kuartal II/2017. Berdasarkan jenis komoditasnya, peningkatan defisit neraca migas tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya defisit neraca minyak, khususnya neraca BBM.

2. Pengolahan adalah kegiatan utama dalam kegiatan industri hilir minyak dan gas bumi.

Pengolahan bertujuan untuk memurnikan minyak mentah (crude oil) menjadi produk-produk Bahan Bakar BBM (BBM) dan Non Bahan Bakar Minyak (Non BBM) bernilai tinggi yang sangat dibutuhkan masyaraka. Pengolahan Minyak Bumi dilakukan di kilang-kilang baik yang di operasikan Oleh Pertamina, Pemerintah dan swasta yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia bertujuan untuk memenuhi pasokan BBM Nasional. Hampir 99% kebutuhan BBM Nasional yang diolah di dalam negeri diolah di kilang (Refinery Unit) yang dioperasikan oleh PT Pertamina (Persero) sementara sisanya di kilang Pemerintah dan Swasta.

Kilang pengolahan minyak bumi adalah proses awal dari kegiatan pengadaan BBM, dari kilang pengolahan inilah nanti terjadi proses pembuatan bahan bakar minyak (BBM) seperti LPG, Gasoline (Bensin), Kerosine (Minyak tanah) Gasoil (Minyak solar) dan turunannya seperti aspal pelumas dan lain-lain.

Selama ini produksi bahan bakar minyak Indonesia hanya dilakukan oleh PT Pertamina sementara untuk kilang selain pertamina sangat kecil proporsinya. Produksi bahan bakar dalam negeri, secara total hanya mampu memenuhi 53% kebutuhan BBM dalam negeri, sisanya dipenuhi dari impor. Tingkat produksi BBM yang dihasilkan dari kilang dalam negeri Indonesia semakin lama cenderung semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan BBM yang semakin meningkat, selain karena teknologi pengolahan kilang yang semakin tidak efisien, biaya memproduksi BBM di dalam negeri justru menjadi lebih mahal jika dibandingkan dengan harga BBM impor dari Singapura. Untuk memproduksi BBM dengan menggunakan kilang di dalam negeri diperkirakan dibutuhkan biaya berkisar antara 2%-5% lebih besar dari harga Mean of Platts Singapore (MOPS). Oleh karena itu fungsi kilang sangat vital untuk ketersediaan konsumsi BBM nasional.

Kilang Wonokromo di Jawa Timur adalah kilang minyak yang pertama kali beroperasi di Indonesia yaitu di tahun 1890 yang hampir berbarengan dengan Kilang Pangkalan Brandan di Sumatera Utara yang beroperasi sejak tahun 1891. Sejak saat itu, beberapa kilang dibangun pada masa pra kemerdekaan yaitu Kilang Cepu (1894),Kilang Plaju (1904), dan Kilang Sungai Gerong (1926).Dari kilang-kilang tersebut yang masih beroperasi adalah Kilang Cepu dan Kilang Plaju. Sedangkan kilang yang beroperasi pada masa setelah kemerdekaan yaitu Kilang Balikpapan I (1950), Dumai(1971), Kilang Cilacap I (1976),Kilang Cilacap II (1981), Kilang Balikpapan II (1983), Kilang Balongan (1994), dan Kilang Kasim (1997). Keseluruhan kilang ini dimiliki oleh Pertamina, adapun kilang yang dimiliki oleh pihak swasta yaitu Kilang TPPI dan Kilang TWU.

Total kapasitas terpasang kilang minyak Indonesia adalah1,157 juta bph dimana 90% dimiliki oleh Pertamina.Kilang pengolahan minyak bumi PT Pertamina (Persero) dalam hal ini disebut Dengan Refinery Unit (RU). Kilang dengan kapasitas terpasang terbesar adalah Refinery Unit IV Cilacap dan terkecil RU I Pangkalan Brandan. Kondisi sekarang RU I pangkalan brandan sudah non aktif.

Fasilitas operasi kilang minyak Indonesia cukup bervariasi. Selain beberapa kilang lama yang hanya mempunyai unit distilasi atmosfer (Pangkalan Brandan, Sungai Pakning dan Cepu), pada kilang-kilang lainnya dilengkapi dengan proses sekunder untuk mendapatkan yield BBM yang lebih tinggi dan kualitas yang lebih baik. Proses sekunder yang mula-mula adalah

8

perengkahan termis (Thermal Cracking) di Plaju/Musi, dan kemudian dibangun di kilang Dumai (Delayed Cooking) serta di Cilacap (Visbreaking). Dengan kemajuan tekonologi proses kemudian proses perengkahan katalis (Catalytic Cracking) mulai digunakan di Plaju/Musi (Fluid Catalytic Cracking) dan di Kilang Unit Pengolahan VI di Balongan yang diresmikan pada tanggal 24 Mei 1995 dilengkapi dengan unit RCC (Residual Catalytic Cracking) yang dapat menghasilkan komponen mogas beroktana tinggi (High Octane Mogas Component) guna memproduksi bensin premium dengan angka oktana tinggi seperti Pertamax 92 dan 95. Proses sekunder lainnya adalah Catalytic Reforming di Dumai, Cilacap, Balikpapan dan Kasim Irian Jaya. Selain itu proses Polymerization dan Alkylation digunakan di Plaju/Musi.

Beberapa kilang minyak di Indonesia juga dilengkapi dengan unit penghasil aspal (Cilacap), kokas (Dumai), lilin (Balikpapan dan Cepu), polypropylene (Musi) sedangkan kilang Balongan dapat menghasilkan propylene dan sulphur. Selain menghasilkan BBM, kilang minyak juga menghasilkan non BBM untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Untuk mengolah crude oil / minyak mentah menjadi produk BBM dan non BBM diperlukan proses secara fisika dan kimia agar minyak mentah bisa bisa dimurnikan menjadi produk BBM yang dibutuhkan oleh konsumen. Adapun produk BBM yang dihasilkan kilang nasional adalah bensin (RON 88, RON 92, dan RON 95), IDO, ADO, Fuel Oil, Avtur, Avgas, dan Kerosene. Total produksi produk BBM sekitar 53% merupakan kelompok minyak diesel, 30% kelompok bensin 11,5% kelompok kerosene, dan 5,5% Fuel Oil.

Minyak mentah merupakan campuran yang amat kompleks yang tersusun dari berbagai senyawa hidrokarbon. Di dalam kilang minyak tersebut, minyak mentah akan mengalami sejumlah proses yang akan memurnikan dan mengubah struktur dan komposisinya sehingga diperoleh produk yang bermanfaat.

Secara garis besar, proses yang berlangsung di dalam kilang minyak dapat digolongkan menjadi 5 bagian, yaitu: i) Proses Distilasi, yaitu proses penyulingan berdasarkan perbedaan titik didih; Proses ini

berlangsung di kolom distilasi atmosferik dan Kolom Destilasi Vakum. ii) Proses Konversi, yaitu proses untuk mengubah ukuran dan struktur senyawa

hidrokarbon. Termasuk dalam proses ini adalah dekomposisi dengan cara perengkahan termal dan katalis (thermal and catalytic cracking), unifikasi melalui proses alkilasi dan polimerisasi, alterasi melalui proses isomerisasi dan catalytic reforming.

iii) Proses Pengolahan (treatment). Proses ini dimaksudkan untuk menyiapkan fraksi-fraksi hidrokarbon untuk diolah lebih lanjut, juga untuk diolah menjadi produk akhir.

iv) Formulasi dan Pencampuran (Blending), yaitu proses pencampuran fraksi-fraksi hidrokarbon dan penambahan bahan aditif untuk mendapatkan produk akhir dengan spesikasi tertentu.

v) Proses-proses lainnya, antara lain meliputi: pengolahan limbah, proses penghilangan air asin (sour-water stripping), proses pemerolehan kembali sulfur (sulphur recovery), proses pemanasan, proses pendinginan, proses pembuatan hidrogen, dan proses-proses pendukung lainnya.

Proses Primer: a) Distilasi Atmosferis (Crude Distillation Unit), beroperasi dengan prinsip dasar pemisahan

berdasarkan titik didih komponen penyusunnya. Kolom CDU memproduksi produk LPG, naphtha, kerosene, dan diesel sebesar 50-60% volume feed, sedangkan produk lainnya sebesar 40-50% volume feed berupa atmospheric residue. Distilasi Atmosferik berfungsi memisahkan minyak mentah (crude oil) atas fraksi-fraksinya berdasarkan perbedaan titik didih masing-masing pada keadaan Atmosferik. Atmospheric residue pada kilang lama, yang tidak memiliki Vacum Distillation Unit/VDU, biasanya hanya dijadikan fuel oil yang value-nya sangat rendah atau dijual ke kilang lain untuk dioleh lebih lanjut di VDU. Sedangkan pada kilang modern, atmospheric residue dikirim sebagai feed Vacuum

9

Distillation Unit atau sebagai feed Residuel Catalytic Cracking (setelah sebagiannya di-treating di Atmospheric Residue Hydro Demetalization Unit untuk menghilangkan kandungan metal atmospheric residue). Jenis umpan CDU dapat berupa ”sour” crude (impurities tinggi) atau “sweet” crude (impurities rendah) tergantung dari desainnya.

b) Aliran Proses Crude Distillation Unit (Distilasi Atmosferik) adalah minyak mentah umpan yang masih mengandung kotoran garam dan pasir perlu dibersihkan terlebih dahulu karena kehadiran zat-zat ini dapat mempercepat laju korosi bahan konstruksi unit pengolahan, menyebabkan pengendapan kerak serta penyumbatan pada peralatan kilang. Pengolahan awal yang dilakukan adalah desalting atau pemisahan garam. Minyak bumi mentah dipompa dan dipanaskan lalu dicampur dengan air sebanyak 3-10% volume minyak mentah pada temperatur 90-150°C. Garam-garam akan larut dan fasa air dan minyak akan memisah dalam tangki desalter. Minyak mentah yang tidak mengandung garam dan padatan tersebut dipanaskan lagi dengan minyak residu panas lalu heater sebelum diumpankan ke kolom distilasi atmosferik. Produk atas kolom distilasi utama (gas kilang dan straight run gasoline) ini umumnya masih perlu distabilkan agar tidak terlalu banyak mengandung hidrokarbon-hidrokarbon yang sangat mudah menguap seperti butana di dalam kolom distilasi lain yang disebut kolom stabilisasi. Produk samping dan bawah yang berupa cairan dilucuti oleh kukus dan diuapkan lagi untuk menyempitkan rentang titik didihnya. Pelucutan ini diselenggarakan dalam kolom-kolom pelucut kecil yang disusun setelah kolom distilasi utama.

Proses Sekunder, dilakukan untuk mengubah fraksi yang satu ke fraksi yang diinginkan. Perubahan fraksi dapat dilakukan dengan beberapa proses, yaitu: (a) CRACKING, molekul dipecah menjadi molekul – molekul kecil. Contoh: perubahan fraksi minyak pelumas menjadi fraksi bensin; (b) POLIMERISASI, perubahan rantai lurus menjadi rantai cabang. Contoh: perubahan n-oktana menjadi isooktana; (c) ALKILASI, perubahan molekul kecil menjadi molekul besar. Contoh: perubahan propena +butena menjadi heptane; (d) REFORMING, perubahan angka oktan dari rendah ke tinggi a) Perekahan (cracking). Kebutuhan akan bahan bakar memiliki peningkatan yang sangat

signifikan setiap tahunnya, sehingga proses pengolahan minyak bumi menggunakan beberapa metode untuk menghasilkan jenis bahan bakar tertentu agar memenuhi kebutuhan pada konsumen, salah satunya ialah bensin. Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk menghasilkan fraksi bensin, salah satunya ialah proses cracking. Cracking adalah proses penguraian molekul senyawa hidrokarbon yang besar menjadi hidrokarbon yang memiliki struktur molekul yang kecil. Salah satu contoh proses cracking yaitu pengurain struktur hidrokarbon pada fraksi minyak tanah menjadi struktur molekul kecil fraksi bensin ataupun pengurain fraksi solar menjadi bensin. terdapat berbagai macam proses cracking yaitu thermal cracking, catalytic cracking dan hidrocracking. Proses pengurain dari tiga metode tersebut menggunakan cara-cara yang berbeda, berikut penjelasannya: (i) Thermal Cracking. Proses penguraian ini menggunakan suhu yang tinggi serta

tekanan yang rendah, suhu yang digunakan dapat mencapai temperature 800°C dan tekanan 700 kpa. Partikel ringan yang memiliki hydrogen dalam jumlah banyak akan terbentuk pada penguraian molekul berat yang terkondensasi. Reaksi yang terjadi pada proses ini disebut dengan homolitik fision dan memproduksi alkena yang menjadi bahan dasar untuk memproduksi polimer secara ekonomis. Panas yang digunakan dalam proses ini menggunakan steam cracking yaitu uap yang memiliki suhu yang tinggi. Salah satu contoh proses thermal cracking.

(ii) Catalytic. Proses ini menggunakan katalis sebagai media yang dapat mempercepat laju reaksi, proses penguraian molekul besar menjadi molekul kecil dilakukan dengan suhu tinggi. Jenis katalis yang sering digunakan adalah silica, alumunia, zeloit dan beberapa jenis lainnya seperti clay, umumnya reaksi dari proses perengkahan katalitik

10

menggunakan mekanisme perengkahan ion karbonium. Awalnya katalis yang memiliki sifat asam akan menambahkan proton ke dalam molekul olevin ataupun menarik ion hidrida dari alkana sehingga menyebabkan terbentuknya ion karbonium.

(iii) Hydrocracking. Proses Hydricracking merupakan kombinasi antara perengkahan dan hidrogenasi untuk menghasilkan senyawa yang jenuh. Proses pereaksian dilakukan dengan tekanan tinggi, produk utama yang dihasilkan ialah bahan bakar jet, bensin, diesel yang mempuyai bilangan oktan yang tinggi. Hydrocracking memiliki kelebihan lain, yaitu kandungan sulfur yang terdapat pada fraksi yang akan diurai, senyawa sulfurnya akan diubah menjadi hydrogen sulfida sehingga proses pelepasan sulfur akan lebih mudah dilakukan.

b) Polimerisasi. Penggabungan dua atau lebih molekul-molekul kecil untuk membentuk kelompok molekul kompleks disebut polimerisasi. Istilah ini berasal dari kata poly yang berarti banyak dan meric (meros) yang berarti bagian. Dengan demikian polimeric berarti suatu bagian yang berulang-ulang. Didalam proses ini sebagai ganti dari penambahan molekul-molekul yang berbeda atau sama (suatu molekul sederhana ditambahkan ke suatu molekul yang lain). Hidrokarbon seperti alkene (olefin) yang mengalami reaksi penggabungan dirinya sendiri dinyatakan sebagai reaksi polimerisasi. Sebagai contoh, molekul-molekul ethylene dapat saling menggabung dan penggabungannya dapat berulang-ulang tergantung pada produk akhir yang dikehendaki.

c) Alkilasi. Reaksi penambahan gugus alkil ke suatu senyawa tertentu. Tetapi di dalam industry pengolahan minyak bumi istilah tersebut mengacu pada reaksi antara olefin dan isoparaffin yang rantainya lebih panjang. Reaksi alkilasi tersebut dapat terjadi tanpa menggunakan katalis, tetapi memerlukan suhu dan tekanan tinggi, disamping itu peralatan yang digunakan cukup mahal. Karena alasan tersebut, maka sekarang banyak dikembangkan proses alkilasi yang menggunakan bantuan katalis. Katalis yang digunakan untuk proses ini biasanya sulfuric acid dan hydrogen fluoride jika feed-nya berupa isobutane dengan propene dan butene. Aluminum chloride juga digunakan sebagai katalis dalam proses alkilasi jika feed-nya berupa isobutane dan ethylene

d) Reforming. Proses untuk memperlakukan sraight-run gasoline atau naphtha yang mempunyai angka oktan rendah sehingga menjadi gasoline yang mempunyai angka oktan tinggi dengan maksud untuk memperbaiki kwalitas pembakarannya (ignation performance). Didalam memperbaiki kwalitas gasoline tidak hanya dari segi angka oktan saja, tetapi juga menaikkan daya penguapannya (volatility),karena melalui proses ini normalparaffin dikonversikan menjadi isoparaffin,aromatic dan olefin, disamping itu juga naphthene dikonversi menjadi aromatik. Berbagai reaksi akan terjadi dalam proses reforming seperti Isomerisasi: yaitu mengkonversikan normal-paraffin menjadi iso-paraffin. Siklisasi: yaitu pembentukan senyawa siklis (cincin) dari senyawa alifatik. Proses reforming dapat dilakukan secara thermal ataupun secara catalytic yang sering disebut Thermal Reforming dan Catalytic Reforming. Di dalam proses pengolahan minyak, upaya untuk meningkatkan jumlah gasoline dilakukan dengan perengkahan (cracking), sedangkan untuk peningkatan mutu pembakaran bahan bakar (angka oktan) gasoline adalah merupakan sasaran utama dari proses reforming. Paraffin dengan rantai panjang akan direngkah menjadi paraffin dengan rantai lebih pendek dan olefin yang titik didihnya lebih rendah dari pada sebelumnya. Bahkan bisa juga reaksi yang terjadi tidak hanya perengkahan saja tetapi juga dibarengi dengan reaksi dehidrogenasi sehingga hasil reaksinya berupa molekul-molekul olefin pendek yang lebih reaktif untuk berpolimerisasi. Sebagai contoh heptane (C7H16) dipanaskan pada suhu tekanan yang cukup tinggi akan dikonversi menjadi amylene (C5H10) yang mempunyai angka oktan 92, ethylene (C2H4) dengan angka oktan 81 dan hydrogen (H2) yang banyak digunakan di dalam proses treating.

3. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 146 Tahun 2015 tentang Pengembangan dan Pembangunan Kilang Dalam Negeri dinyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan ketahanan

11

energi nasional dan menjamin ketersediaan Bahan Bakar Minyak nasional serta mengurangi ketergantungan pada impor, pemerintah memandang perlu melakukan pembangunan dan pengembangan kilang minyak di dalam negeri.

Indonesia perlu membangun kilang minyak untuk mengurangi impor BBM. Manfaat lain atas keberadaan kilang adalah menghemat devisa negara, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, memacu pertumbuhan industri domestik dan pasar tenaga kerja. Kilang minyak yang akan dibangun adalah 2 kilang minyak baru (GRR) di Tuban, Jawa Timur dan Bontang, Kalimantan Timur serta 4 proyek RDMP yaitu Kilang Cilacap, Balikpapan, Dumai dan Balongan. a. Dalam Perpres itu disebutkan, Pembangunan Kilang Minyak dan Pengembangan Kilang

Minyak diselenggarakan secara efektif, efisien, tranparan, adil dan akuntabel, dan dilakukan berdasarkan Izin Usaha Pengolahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, Pembangunan Kilang Minyak dan Pengembangan Kilang Minyak harus menggunakan teknologi yang memenuhi ketentuan pengelolaan dan perlindungan lingkungan, dan mengutamakan produk dalam negeri.

b. Dalam rangka meningkatkan kelayakan perekonomian, menurut Perpres ini, pelaksanaan Pembangunan Kilang Minyak dan Pengembangan Kilang Minyak dapat dilakukan dengan memberikan insentif fiskal maupun non fiskal; dan/atau mengintegrasikan pemroduksian petrokimia.

c. Pembangunan Kilang Minyak dapat dilakukan oleh Pemerintah atau Badan Usaha yang dilakukan melalui kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau Penugasan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2). Penugasan sebagaimana dimaksud dilakukan melalui pembiayaan Pemerintah atau pembiayaan korporasi.

d. Dalam rangka pelaksanaan Pembangunan Kilang Minyak dan Pengembangan Kilang Minyak, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi dengan berkoordinasi dengan menteri terkait menetapkan lokasi, kapasitas kilang, jenis dan jumlah produk kilang.

e. Mengenai Pembangunan Kilang Minyak yang dilakukan berdasarkan Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), menurut Perpres ini, Menteri menunjuk PT Pertamina (Persero) sebagai Penanggung Jawab Proyek Kerja sama (PPJK).

f. Dalam rangka mendukung upaya percepatan Pembangunan Kilang Minyak melalui KPBU itu, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara menyediakan fasilitas penyiapan Pembangunan Kilang Minyak dan/atau pendampingan transkasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

g. Dalam rangka pelaksanaan fasilitas dimaksud, PT Pertaminan (Persero) dapat dibantu oleh lembaga internasional dengan persetujuan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, dengan memberikan penggantian atas biaya terkait dengan penyiapan Pembangunan Kilang Minyak dan/atau pendampingan transaksi sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).

h. Dalam melaksanakan KPBU sebagaimana dimaksud, PT Pertamina (Persero) sebagai PPJK melakukan perencanaan, penyiapan transaksi, dan penandatangan transaksi, serta melaksanakan pengawasan proyek KPBU. Dalam melaksanakan perencanaan sebagaimana dimaksud, PT Pertamina (Persero) sebagai PPJK melakukan: (i) Pengadaan badan usaha pelaksana; (ii) Penandatanganan perjanjian KPBU dengan Badan Usaha Pelaksana; dan (iii) Memastikan pemenuhan pembiayaan oleh Badan Usaha Pelaksana.

i. Badan Usaha Pelaksana wajib memperoleh pembiayaan atas KPBU paling lama 12 bulan setelah penandatanganan perjanjian KPBU, dan dapat diberikan perpanjang kembali untuk 1 kali paling lama 12 bulan oleh PPJK sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2). Dalam hal Badan Usaha Pelaksana tidak mendapatkan pembiayaan atas KPBU setelah jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud, perjanjian KPBU dinyatakan berakhir dan jaminan pelaksanaan dicairkan oleh PPJK dan disetorkan langsung ke kas negara.

12

j. Badan Usaha Pelaksanaan diberikan Izin Usaha Pengolahan selama 30 tahun dan dapat diperpanjang 1 kali paling lama 20 tahun sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 ayat 1.

k. Selain memberikan jaminan, pemerintah juga memberikan dukungan terhadap Pembangunan Kilang Minyak melalui KPBU. Jaminan diberikan atas risiko infrastruktur sesuai dengan alokasi risiko sebagaimana disepakati dalam perjanjian KPBU. Adapun dukungan sebagaimana dimaksud berupa: (i) Pembebasan pajak dan/atau pembebasan bea masuk terhadap barang impor; dan (ii) Insentif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

l. Dalam melaksanakan penugasan melalui pembiayaan korporasi, PT Pertamina (Persero) dapat melakukan Pembangunan Kilang Minyak melalui pembiayaan sendiri atau bekerja sama dengan Badan Usaha lain, dengan membentuk perusahaan patungan.

m. Dalam melaksanakan penugasan dengan pembiayaan korporasi, PT Pertaminan (Persero) diberikan fasilitas pendanaan berupa: (i) Penyertaan modal negara; (ii) Laba yang ditahan; (iii) Pinjaman PT Pertamina (Persero); (iv) Pinjaman Pemerintah yang berasal dari luar negeri termasuk lembaga keuangan multilateral; dan (v) Penerbitan obligasi oleh PT Pertamina (Persero).

n. Pelaksanaan proses pembiayaan Pembangunan Kilang Minyak sebagaimana dimaksud dikecualikan dari ketentuan Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 21.

4. Untuk mempercepat pembangunan kilang minyak baru (Grass Root Refinery) dan pengembangan kilang minyak (Refinery Development Master Plan/RDMP), Pemerintah merevisi Peraturan Presiden Nomor 146 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pengembangan dan Pembangunan Kilang Minyak di Dalam Negeri. Pemerintah memfasilitasi Pertamina yang mendapat penugasan untuk membangun kilang minyak baru dan RDMP. Dengan adanya revisi ini, diharapkan pembangunan kilang dapat berjalan lancar. Dalam Perpres No.146/2015 hal-hal tersebut juga telah diatur, namun dalam pelaksanaannya ternyata masih belum cukup untuk mempercepat pembangunan kilang minyak. a. Mempermudah pembebasan lahan untuk kepentingan umum agar pembangunan kilang bisa

menjadi lebih mudah. Hal itu dilakukan agar kejadian seperti pembebasan lahan bagi kilang GRR Tuban tidak perlu terulang. Sebelumnya, pembangunan Kilang Tuban sempat terhambat pembebasan lahan lantaran ada penolakan dari warga.

b. Peluang memberikan insentif tambahan bagi Pertamina dalam membangun kilang. Sejatinya, hal ini sudah diatur di dalam pasal 5 beleid tersebut, di mana pemerintah bisa memberikan fasilitas insentif fiskal maupun non fiskal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c. sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35 Tahun 2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan, kilang menjadi salah satu industri penerima insentif penghapusan atau pembebasan sebagian Pajak Penghasilan (PPh), atau biasa disebut tax holiday.

5. Peran Pertamina dalam industri kilang dalam negeri cukup signifikan. Data menunjukkan dari total kapasitas kilang minyak dalam negeri sekitar 1 juta barel per hari, sekitar 90 % di antaranya merupakan kilang milik Pertamina. Signifikansi peran Pertamina dipertegas kembali melalui pelaksanaan megaproyek perusahaan yang di dalamnya, meliputi proyek refinery development masterplan (RDMP) Kilang Dumai, Kilang Balongan, Kilang Cilacap, dan Kilang Balikpapan. Selain itu, Pertamina juga tercatat akan melaksanakan grass root refinery (GRR) untuk Kilang Bontang dan Kilang Tuban.

RDMP merupakan proyek modifikasi kilang untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja kilang. Adapun, GRR adalah proyek pembangunan kilang baru untuk menambah kapasitas kilang yang telah ada. Dengan RDMP dan GRR tersebut, Pertamina menargetkan kapasitas kilang yang dimiliki perusahaan pada 2025 mendatang meningkat menjadi 2 juta barel per hari.

13

Berdasarkan informasi, pada 2020 kapasitas kilang Pertamina ditargetkan bertambah sebesar 100.000 barel per hari dari RDMP Kilang Balikpapan tahap pertama. Satu tahun kemudian, atau pada 2021, ditargetkan terdapat tambahan kapasitas sebesar 200.000 barel dari RPMP Kilang Balikpapan dan Kilang Balongan. Tiga tahun kemudian, yaitu pada 2024, kapasitas kilang perusahaan ditargetkan bertambah sebesar 400.000 barel per hari dari RDMP Kilang Cilacap dan GRR Kilang Tuban. Sementara itu, RDMP Kilang Dumai dan GRR Kilang Bontang diproyeksikan akan menambah kapasitas kilang milik perusahaan sebesar 400.000 barel pada 2025 mendatang.

Berdasarkan perkembangannya, pelaksanaan RDMP dan GRR kilang-kilang Pertamina tidak berjalan sesuai dengan rencana semula. RDMP Kilang Cilacap, Balongan, dan Balikpapan mundur antara 1 sampai dengan 2 tahun dari rencana semula. Sementara itu, GRR Kilang Tuban mundur sekitar 3 tahun dari rencana semula. Pertamina menjadwal ulang pelaksanaan proyek kilang karena adanya keterbatasan anggaran. Dari informasi yang dihimpun kebutuhan anggaran investasi untuk proyek RDMP dan GRR yang dilakukan Pertamina tersebut sekitar US$37 miliar atau setara dengan Rp555 triliun dengan menggunakan nilai tukar saat ini. Jika melihat besaran investasi tersebut, dapat dipahami jika kemudian Pertamina memilih untuk tidak melaksanakan proyek kilang secara bersamaan. Penjadwalan ulang kemungkinan dilakukan agar tidak memberatkan kondisi keuangan perusahaan.

Dari beberapa hal yang diuraikan tersebut, cukup jelas bahwa Pertamina memiliki peran penting dalam pembangunan dan pengembangan kilang di dalam negeri. Peran penting Pertamina dipertegas dari disebutnya Pertamina sebanyak 27 kali di dalam Perpres No. 146/2015. Berdasarkan konstruksi regulasi yang ada ataupun kondisi yang ada saat ini, dapat dikatakan Indonesia memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap Pertamina di dalam pembangunan dan pengembangan kilang. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi kita semua untuk menjaga dan memperhatikan kesehatan keuangan Pertamina. Hal ini mengingat jika keuangan Pertamina tidak sehat, hal itu akan menyulitkan perusahaan di dalam mencari mitra, termasuk mitra untuk membangun dan mengembangkan kapasitas kilang di dalam negeri.

6. Pemerintah telah menerbitkan sejumlah regulasi untuk mendorong pembangunan dan pengembangan kilang dalam negeri, yaitu:

Perpres No. 146/2005 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri;

Permen ESDM No. 22/2016 tentang Pelaksanaan Pembangunan Kilang Minyak Skala Kecil di Dalam Negeri;

Permen ESDM No. 35/2016 tentang Pelaksanaan Pembangunan Kilang Minyak di Dalam Negeri oleh Badan Usaha Swasta;

Kepmen ESDM No. 7935 K/10/MEM/2016 tentang Penugasan Kepada PT Pertamina (Persero) dalam Pembangunan dan Pengoperasian Kilang Minyak di Kota Bontang, Provinsi Kalimantan Timur.

Akan tetapi, meskipun sejumlah regulasi telah diterbitkan, pembangungan dan pengembangan kilang di dalam negeri masih relatif stagnan. Hal itu kemungkinan karena industri kilang tidak cukup menarik dibandingkan dengan usaha hulu migas. Jika berdiri sebagai industri terpisah, perolehan margin industri kilang secara relatif lebih rendah dari margin dalam kegiatan usaha hulu migas. Oleh karena itu, tidak semua pelaku usaha hulu migas masuk pada industri pengolahan (kilang).

7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 146 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Pembangunan Dan Pengembangan Kilang Minyak Di Dalam Negeri merujuk pada a. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;

14

c. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

8. Khusus mengenai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi saat ini sedang dilakukan revisi. Berdasarkan catatan dalam pembahasan RUU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bahwa RUU Migas masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) sejak 2015 yang diharapkan dapat menjadi momentum dalam melakukan reformasi tata kelola migas di Indonesia agar lebih efisien, transparan, dan berkelanjutan guna mendorong peningkatan produksi migas juga memperkuat ketahanan dan kemandirian energi nasional. a. Terdapat sejumlah poin yang tercantum dalam RUU Migas tersebut:

1) Pemerintah Pusat sebagai pemegang kuasa pertambangan migas memberikan kuasa usaha pertambangan kepada Badan Usaha Khusus (BUK) Migas. Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi dapat dilaksanakan oleh BUK Migas, BUMN, BUMD, perusahaan swasta nasional, badan usaha swasta asing, dan koperasi.

2) Pemerintah pusat menyiapkan wilayah kerja yang akan diusahakan BUK Migas. Batas dan syarat ditetapkan Presiden atas usul Menteri. Menteri sebelum menyampaikan usulan kepada Presiden melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

3) Kegiatan usaha hilir minyak bumi dilaksanakan BUMN di bidang hilir Minyak Bumi, BUMD, badan usaha swasta nasional dan asing, dan/atau koperasi. Jaringan distribusi minyak bumi dikuasai negara dan dikelola Pemerintah Pusat melalui BUMN di bidang hilir minyak bumi untuk pelaksanaannya.

4) Kegiatan usaha hilir gas bumi mencakup pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, distribusi, dan niaga. Kegiatan ini dilaksanakan BUMN di bidang hilir gas bumi, BUMD, badan usaha swasta nasional, dan/atau koperasi. Jaringan distribusi gas bumi dikuasai negara dan dikelola Pemerintah Pusat melalui BUMN untuk penyelenggaraannya.

5) BUMN, BUMD, badan usaha swasta nasional dan asing, dan koperasi dalam melakukan kegiatan usaha penunjang minyak dan gas bumi wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.

6) BUK Migas berfungsi untuk menyelenggarakan dan mengendalikan kegiatan usaha hulu dan hilir migas.

7) BPH Migas berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian BBM dan pengangkutan gas bumi melalui pipa.

8) Negara menjamin pemenuhan kebutuhan migas dalam negeri berdasarkan Kebijakan Energi Nasional. Jaminan pemenuhan kebutuhan migas dalam negeri dilaksanakan oleh Pemerintah melalui BUK Migas.

9) BUK Migas dan kontraktor kontrak kerja sama yang sudah menghasilkan produksi minyak bumi dan/atau gas bumi wajib membayar pajak dan penerimaan negara bukan pajak.

10) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, dan BUK Migas wajib mengelola dana migas secara bersama-sama dalam sebuah rekening bersama secara transparan dan akuntabel.

11) Dalam hal BUK Migas dan kontraktor kontrak kerja sama akan menggunakan bidang tanah milik negara mereka wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemegang hak atas tanah negara. Ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

12) Pemerintah Pusat melalui menteri melakukan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan penguasaan dan pengusahaan migas, baik hulu, hilir, dan kegiatan usaha penunjang. Ini juga sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan undang-undang lain.

13) Setiap orang dilarang tanpa hak memiliki, menggunakan, memanfaatkan membuka rahasia, dan/atau menginformasikan kepada pihak ketiga data survei umum.

15

14) SKK Migas tetap melaksanakan fungsi dan tugas sampai dengan terbentuknya BUK Migas. Semua bentuk Kontrak Kerja Sama yang ada sebelum Undang-Undang ini mulai berlaku dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa kontrak dan dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang.

9. Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi dilandasi adanya berbagai permasalahan dalam pengelolaan minyak dan gas bumi di Indonesia, yaitu: a. Revisi Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi didasari oleh

salah satu keputusan yang dikeluarkan Panitia Khusus Hak Angket Bahan Bakar Minyak Dewan Perwakilan Rakyat.

b. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 pada tanggal 21 Desember 2004, telah membatalkan Pasal 12 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), serta Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945), sehingga pasal-pasal yang dibatalkan tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

c. Mahkamah Konstitusi juga mengeluarkan putusan terhadap uji materiel UU Nomor 2 Tahun 2001 tentang Migas, yakni Melalui Putusan No. 36/PUU-X/2012. MK antara lain membatalkan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, Pasal 63 UU Migas.

d. Mahkamah Konstitusi juga membatalkan frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana” dan dalam Pasal 21 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana” dan dalam Pasal 49 dari UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

10. Pertimbangan Hukum Putusan MK No.36/PUU-X/2012 a. Menimbang bahwa setelah Mahkamah mendengar dan membaca dengan saksama

keterangan para Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan ahli dan saksi dari para Pemohon, keterangan ahli dari Pemerintah, serta memeriksa bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon dan Pemerintah, Mahkamah menemukan beberapa permasalahan konstitusional yang diajukan dalam permohonan a quo, yaitu: 1) Kedudukan dan wewenang Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi, selanjutnya disebut

BP Migas; 2) Kontrak kerja sama Migas; 3) Frasa “yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat,

dan transparan”; 4) Posisi BUMN yang tidak bisa lagi monopoli; 5) Larangan penyatuan usaha hulu dan hilir; 6) Pemberitahuan KKS kepada DPR;

b. Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan permasalahan konstitusional tersebut, Mahkamah terlebih dahulu mengemukakan bahwa Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut Migas) adalah termasuk cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan merupakan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air Indonesia yang harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Mahkamah telah memberi makna mengenai penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD 1945, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004 mengenai pengujian UU Migas, yang menyatakan bahwa: “...penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan

16

prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah hukum negara padam hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dalam putusan tersebut dipertimbangkan pula bahwa makna “dikuasai oleh negara” tidak dapat diartikan hanya sebagai hak untuk mengatur, karena hal demikian sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam Undang-Undang Dasar. Sekiranya pun Pasal 33 tidak tercantum dalam UUD 1945, kewenangan negara untuk mengatur tetap ada pada negara, bahkan dalam negara yang menganut paham ekonomi liberal sekalipun. Oleh karena itu, dalam putusan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa, “...pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan,yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Di dalam pengertian penguasaan itu tercakup pula pengertian kepemilikan perdata sebagai instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam pengelolaan cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi dimaksud. Dengan demikian, konsepsi kepemilikan privat oleh negara atas saham dalam badan-badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara

17

dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak tidak dapat didikotomikan atau dialternatifkan dengan konsepsi pengaturan oleh negara. Keduanya bersifat kumulatif dan tercakup dalam pengertian penguasaan oleh negara. Oleh sebab itu, negara tidak berwenang mengatur atau menentukan aturan yang melarang dirinya sendiri untuk memiliki saham dalam suatu badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak sebagai instrumen atau cara negara mempertahankan penguasaan atas sumber-sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

c. Menimbang bahwa pengertian “penguasaan negara” sebagaimana dipertimbangkan dalam putusan Mahkamah Nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004 tersebut, perlu diberikan makna yang lebih dalam agar lebih mencerminkan makna Pasal 33 UUD 1945. Dalam putusan Mahkamah tersebut, penguasaan negara dimaknai, rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh Negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Kelima bentuk penguasaan negara dalam putusan tersebut yaitu fungsi kebijakan dan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan ditempatkan dalam posisi yang sama. Dalam hal Pemerintah melakukan salah satu dari empat fungsi penguasaan negara, misalnya hanya melaksanakan fungsi mengatur, dapat diartikan bahwa negara telah menjalankan penguasaannya atas sumber daya alam. Padahal, fungsi mengatur adalah fungsi negara yang umum di negara mana pun tanpa perlu ada Pasal 33 UUD 1945. Jika dimaknai demikian, makna penguasaan negara tidak mencapai tujuan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat sebagaimana maksud Pasal 33 UUD 1945. Menurut Mahkamah, Pasal 33 UUD 1945, menghendaki bahwa penguasaan Negara itu harus berdampak pada sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, “pengertian dikuasai oleh negara” tidak dapat dipisahkan dengan makna untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang menjadi tujuan Pasal 33 UUD 1945. Hal ini memperoleh landasannya yang lebih kuat dari Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam Pasal 33 ayat (3) menyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dalam putusan Mahkamah Nomor 3/PUU-VIII/2010, tanggal 16 Juni 2011, Mahkamah mempertimbangkan bahwa, “...dengan adanya anak kalimat “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” maka sebesar-besar kemakmuran rakyat itulah yang menjadi ukuran bagi negara dalam menentukan tindakan pengurusan, pengaturan, atau pengelolaan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya...” (vide paragraf [3.15.4] hal. 158 putusan Mahkamah Nomor 3/PUU-VIII/2010). Apabila penguasaan negara tidak dikaitkan secara langsung dan satu kesatuan dengan sebesar-besar kemakmuran rakyat maka dapat memberikan makna konstitusional yang tidak

18

tepat. Artinya, Negara sangat mungkin melakukan penguasaan terhadap sumber daya alam secara penuh tetapi tidak memberikan manfaat sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di satu sisi negara dapat menunjukkan kedaulatan pada sumber daya alam, namun di sisi lain rakyat tidak serta merta mendapatkan sebesar-besar kemakmuran atas sumber daya alam. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, kriteria konstitusional untuk mengukur makna konstitusional dari penguasaan negara justru terdapat pada frasa “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”;

d. Menimbang bahwa dalam rangka mencapai tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat, kelima peranan negara/pemerintah dalam pengertian penguasaan negara sebagaimana telah diuraikan di atas, jika tidak dimaknai sebagai satu kesatuan tindakan, harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektifitasnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Mahkamah, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, dalam hal ini Migas, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Penguasaan negara pada peringkat kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan, dan fungsi Negara dalam peringkat ketiga adalah fungsi pengaturan dan pengawasan. Sepanjang negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi, dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat. Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara. Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain di luar negara, keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga akan berkurang. Pengelolaan secara langsung inilah yang menjadi maksud dari Pasal 33 UUD 1945 seperti diungkapkan oleh Muhammad Hatta salah satu founding leaders Indonesia yang mengemukakan, “... Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman dari luar. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanam modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan Pemerintah... Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, kita pinjam tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka untuk menanam modalnya di Tanah Air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri. Syarat-syarat yang ditentukan itu terutama menjamin kekayaan alam kita, seperti hutan kita dan kesuburan tanah, harus tetap terpelihara. Bahwa dalam pembangunan negara dan masyarakat bagian pekerja dan kapital nasional makin lama makin besar, bantuan tenaga dan kapital asing, sesudah sampai pada satu tingkat makin lama makin berkurang”... (Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, hal. 202 s.d. 203, PT. Toko Gunung Agung Tbk. Jakarta 2002). Dalam pendapat Muhammad Hatta tersebut tersirat bahwa pemberian kesempatan kepada asing karena kondisi negara/pemerintah belum mampu dan hal tersebut bersifat sementara. Idealnya, negara yang sepenuhnya mengelola sumber daya alam;

e. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah selanjutnya memberi penilaian konstitusionalitas atas isu-isu konstitusional yang dipersoalkan dalam permohonan a quo;

Mengenai BP Migas

19

BP Migas adalah badan hukum milik negara yang secara khusus berdasarkan undang-undang dibentuk oleh Pemerintah selaku pemegang Kuasa Pertambangan untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi [vide Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3) UU Migas]. Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi, dilaksanakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana [vide Pasal 11 ayat (1) UU Migas]. BP Migas berfungsi melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat [vide Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU Migas]. Untuk melaksanakan fungsi tersebut BP Migas bertugas: a. Memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan

dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama; b. Melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; c. Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan

diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan;

d. Memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf c;

e. Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; f. Melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan

Kontrak Kerja Sama; g. Menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat

memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. [vide Pasal 44 ayat (3) UU Migas].

Memperhatikan konsepsi BP Migas menurut Undang-Undang a quo, dikaitkan dengan pengelolaan sumber daya alam Migas, BP Migas merupakan organ pemerintah yang khusus, berbentuk Badan Hukum Milik Negara (selanjutnya disebut BHMN) memiliki posisi strategis bertindak atas nama Pemerintah melakukan fungsi penguasaan negara atas Migas khususnya kegiatan hulu (ekplorasi dan eksploitasi), yaitu fungsi pengendalian dan pengawasan yang dimulai dari perencanaan, penandatangan kontrak dengan badan usaha, pengembangan wilayah kerja, persetujuan atas rencana kerja dan anggaran badan usaha, monitoring pelaksanaan kontrak kerja serta menunjuk penjual Migas bagian negara kepada badan hukum lain.

Oleh karena BP Migas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam Migas maka negara dalam hal ini Pemerintah tidak dapat melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam Migas pada kegiatan hulu. Pihak yang secara langsung dapat mengelola sumber daya alam Migas menurut UU Migas hanya Badan Usaha (yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Koperasi serta badan usaha swasta) dan Bentuk Usaha Tetap. Dengan demikian konstruksi hubungan antara negara dan sumber daya alam Migas menurut UU Migas dilakukan oleh Pemerintah selaku pemegang Kuasa Pertambangan yang dilaksanakan oleh BP Migas. Dalam hal ini, BP Migas melakukan fungsi penguasaan negara berupa tindakan pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan Migas yang dilakukan oleh Badan Hukum yang dapat berupa BUMN, BUMD, Koperasi, usaha kecil atau badan hukum swasta maupun Bentuk Usaha Tetap. Hubungan antara BP Migas dan Badan Hukum atau Bentuk Usaha Tetap yang mengelola Migas dilakukan dalam bentuk Kontrak Kerja Sama (selanjutnya disebut KKS) atau kontrak kerja sama lainnya dengan syarat minimal, yaitu: (i) kepemilikan sumber daya alam di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan, (ii) pengendalian manajemen operasi berada

20

pada BP Migas, dan (iii) modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap (vide Pasal 6 UU Migas). Dari konstruksi hubungan yang demikian terdapat dua aspek penting yang harus diperhatikan. Pertama, Penguasaan negara atas Migas diselenggarakan oleh Pemerintah melalui BP Migas. Kedua, bentuk penguasaan negara terhadap Migas oleh BP Migas hanya sebatas tindakan pengendalian dan pengawasan.

Menimbang bahwa pembentukan BP Migas dilatarbelakangi oleh kehendak untuk memisahkan antara badan yang melakukan regulasi atau badan yang membuat kebijakan dengan badan yang melakukan bisnis Migas yang kedua fungsi tersebut sebelumnya dilaksanakan oleh Pertamina. BP Migas diharapkan dapat fokus melaksanakan tujuan pengendalian kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi tanpa dibebani kewajiban untuk mencari keuntungan untuk diri sendiri, tetapi lebih fokus untuk kepentingan negara serta menghindari terjadinya pembebanan terhadap keuangan negara melalui APBN. Oleh karena itu, fungsi pengendalian dan pengawasan dalam kegiatan hulu Migas yang sebelumnya dilakukan oleh Pertamina dialihkan menjadi fungsi BP Migas selaku representasi Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan yang menyelenggarakan penguasaan negara atas sumber daya alam Migas. BP Migas adalah Badan Hukum Milik Negara yang tidak merupakan institusi bisnis, melainkan institusi yang mengendalikan dan mengawasi bisnis Migas di sektor hulu. BP Migas oleh Pemerintah dimaksudkan sebagai ujung tombak bagi pemerintah agar secara langsung tidak terlibat bisnis Migas, sehingga Pemerintah tidak dihadapkan secara langsung dengan pelaku usaha;

Menimbang bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan pada paragraph [3.11] dan paragraf [3.12], bentuk penguasaan tingkat pertama dan utama yang harus dilakukan oleh negara adalah Pemerintah melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam dalam hal ini Migas. Dari konstruksi hubungan sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.13.1], BP Migas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan Migas, dan tidak melakukan pengelolaan secara langsung, karena pengelolaan Migas pada sector hulu baik eksplorasi maupun eksploitasi dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara maupun badan usaha bukan milik negara berdasarkan prinsip persaingan usaha yang sehat, efisien, dan transparan. Menurut Mahkamah model hubungan antara BP Migas sebagai representasi negara dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam pengelolaan Migas mendegradasi makna penguasaan negara atas sumber daya alam Migas yang bertentangan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Walaupun UU Migas, menentukan tiga syarat minimal dalam KKS, yakni (i) kepemilikan sumber daya alam di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan, (ii) pengendalian manajemen operasi berada pada BP Migas, dan (iii) modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, tetapi ketiga syarat minimal tersebut tidak serta merta berarti bahwa penguasaan negara dapat dilakukan dengan efektif untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Paling tidak hal itu terjadi, karena tiga hal, yaitu: Pertama, Pemerintah tidak dapat secara langsung melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung badan usaha milik negara untuk mengelola seluruh wilayah kerja Migas dalam kegiatan usaha hulu; Kedua, setelah BP Migas menandatangani KKS, maka seketika itu pula negara terikat pada seluruh isi KKS, yang berarti, negara kehilangan kebebasannya untuk melakukan regulasi atau kebijakan yang bertentangan dengan isi KKS; Ketiga, tidak maksimalnya keuntungan negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, karena adanya potensi penguasaan Migas keuntungan besar oleh Bentuk Hukum Tetap atau Badan Hukum Swasta yang dilakukan berdasarkan prinsip persaingan usaha yang sehat, wajar dan transparan. Dalam hal ini, dengan konstruksi penguasaan Migas melalui BP Migas, negara kehilangan kewenangannya untuk melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung Badan Usaha Milik Negara untuk mengelola sumber daya alam Migas, padahal fungsi pengelolaan adalah bentuk penguasaan negara

21

pada peringkat pertama dan paling utama untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena konstruksi hubungan yang demikian maka menurut Mahkamah keberadaan BP Migas menurut Undang-Undang a quo, bertentangan dengan konstitusi yang menghendaki penguasaan negara yang membawa manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat, yang seharusnya mengutamakan penguasaan negara pada peringkat pertama yaitu melakukan pengelolaan terhadap sumber daya alam Migas yang membawa kuntungan lebih besar bagi rakyat. Menurut Mahkamah, pengelolaan secara langsung oleh negara atau oleh badan usaha yang dimiliki oleh negara adalah yang dikehendaki oleh Pasal 33 UUD 1945. Hanya dalam batas-batas negara tidak memiliki kemampuan atau kekurangan kemampuan baik dalam modal, teknologi dan manajemen untuk mengelola sumber daya alam Migas, maka pengelolaan sumber daya alam dapat diserahkan kepada badan swasta. Bahwa untuk mengembalikan posisi negara dalam hubungannya dengan sumber daya alam Migas, negara/pemerintah tidak dapat dibatasi tugas dan kewenangannya pada fungsi pengendalian dan pengawasan semata tetapi juga mempunyai fungsi pengelolaan. Menurut Mahkamah, pemisahan antara badan yang melakukan fungsi regulasi dan pembuatan kebijakan dengan lembaga yang melakukan pengelolaan dan bisnis Migas secara langsung, mengakibatkan terdegradasinya penguasaan negara atas sumber daya alam Migas. Walaupun terdapat prioritas pengelolaan Migas diserahkan kepada BUMN sebagaimana telah menjadi pendirian Mahkamah dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003 tanggal 21 Desember 2004, efektivitas penguasaan negara justru menjadi nyata apabila Pemerintah secara langsung memegang fungsi regulasi dan kebijakan (policy) tanpa ditambahi dengan birokrasi dengan pembentukan BP Migas. Dalam posisi demikian, Pemerintah memiliki keleluasaan membuat regulasi, kebijakan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan atas sumber daya alam Migas. Dalam menjalankan penguasan negara atas sumber daya alam Migas, Pemerintah melakukan tindakan pengurusan atas sumber daya alam Migas dengan memberikan konsesi kepada satu atau beberapa Badan Usaha Milik Negara untuk mengelola kegiatan usaha Migas pada sektor hulu. Badan Usaha Milik Negara itulah yang akan melakukan KKS dengan Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Usaha Kecil, badan hukum swasta, atau Bentuk Usaha Tetap. Dengan model seperti itu, seluruh aspek penguasaan negara yang menjadi amanat Pasal 33 UUD 1945 terlaksana dengan nyata.

Menimbang bahwa tujuan utama dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 adalah pengelolaan sumber daya alam “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” sehingga implementasinya ke dalam pengorganisasian negara dan pemerintahan pun harus menuju ke arah tercapainya tujuan tersebut. Oleh sebab itu setiap pembentukan organisasi negara dan semua unitnya harus disusun berdasar rasionalitas birokrasi yang efisien dan tidak menimbulkan peluang inefisiensi dan penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena keberadaan BP Migas sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga, dalam praktiknya, telah membuka peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan maka menurut Mahkamah keberadaan BP Migas tersebut tidak konstitusional, bertentangan dengan tujuan negara tentang pengelolaan sumber daya alam dalam pengorganisasian pemerintahan. Sekiranya pun dikatakan bahwa belum ada bukti bahwa BP Migas telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan, maka cukuplah alasan untuk menyatakan bahwa keberadaan BP Migas inkonstitusional karena berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, sesuatu yang berpotensi melanggar konstitusi pun bisa diputus oleh Mahkamah sebagai perkara konstitusionalitas. Jikalau diasumsikan kewenangan BP Migas dikembalikan ke unit pemerintahan atau kementerian yang terkait tetapi juga masih potensial terjadi inefisiensi, maka hal itu tidak mengurangi keyakinan Mahkamah untuk memutuskan pengembalian pengelolaan sumber daya alam ke

22

Pemerintah karena dengan adanya putusan Mahkamah ini, justru harus menjadi momentum bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan penataan kembali dengan mengedepankan efisiensi yang berkeadilan dan mengurangi proliferasi organisasi pemerintahan. Dengan putusan Mahkamah yang demikian maka Pemerintah dapat segera memulai penataan ulang pengelolaan sumber daya alam berupa Migas dengan berpijak pada “penguasaan oleh negara” yang berorientasi penuh pada upaya “manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat” dengan organisasi yang efisien dan di bawah kendali langsung Pemerintah. Berdasarkan hal-hal tersebut maka dalil para Pemohon sepanjang mengenai BP Migas beralasan hukum;

Menimbang bahwa meskipun para Pemohon hanya memohon pengujian Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), dan Pasal 44 UU Migas tetapi oleh karena putusan Mahkamah ini menyangkut eksistensi BP Migas yang dalam Undang-Undang a quo diatur juga dalam berbagai pasal yang lain maka Mahkamah tidak bisa lain kecuali harus juga menyatakan pasal-pasal yang mengatur tentang “Badan Pelaksana” dalam pasal-pasal, yaitu frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), Pasal 41 ayat (2), Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49, Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63, serta seluruh frasa Badan Pelaksana dalam Penjelasan adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Kontrak Kerja Sama

Menimbang bahwa Undang-Undang a quo, mengkonstruksikan hubungan antar negara dengan badan usaha yang melakukan pengelolaan Migas dengan hubungan keperdataan dalam bentuk KKS. Menurut UU Migas, KKS adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (vide Pasal 1 angka 19 UU Migas). Dalam KKS, BP Migas bertindak mewakili Pemerintah sebagai pihak dalam KKS dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang mengelola Migas. Dalam posisi yang demikian, hubungan antara BP Migas (negara) dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap adalah hubungan yang bersifat keperdataan yaitu menempatkan posisi negara dan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang mengelola Migas dalam posisi yang sederajat. Dalam hal ini ketika kontrak telah ditandatangani, negara menjadi terikat pada isi KKS. Akibatnya, negara kehilangan diskresi untuk membuat regulasi bagi kepentingan rakyat yang bertentangan dengan isi KKS, sehingga negara kehilangan kedaulatannya dalam penguasaan sumber daya alam yaitu kedaulatan untuk mengatur Migas yang bertentangan dengan isi KKS. Padahal negara, sebagai representasi rakyat dalam penguasaan sumber daya alam harus memiliki keleluasaan membuat aturan yang membawa manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Mahkamah hubungan antara negara dengan swasta dalam pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dilakukan dengan hubungan keperdataan, akan tetapi harus merupakan hubungan yang bersifat publik yaitu berupa pemberian konsesi atau perizinan yang sepenuhnya di bawah kontrol dan kekuasaan negara. Kontrak keperdataan akan mendegradasi kedaulatan negara atas sumber daya alam, dalam hal ini Migas. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, hubungan antara negara dan sumber daya alam Migas sepanjang dikonstruksi dalam bentuk KKS antara BP Migas selaku Badan Hukum Milik Negara sebagai pihak Pemerintah atau yang mewakili Pemerintah dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sebagaimana diatur dalam Undang-Undang a quo adalah bertentangan dengan prinsip penguasaan negara yang dimaksud oleh konstitusi.

23

Untuk menghindari hubungan yang demikian negara dapat membentuk atau menunjuk BUMN yang diberikan konsensi untuk mengelola Migas di Wilayah hukum Pertambangan Indonesia atau di Wilayah Kerja, sehingga BUMN tersebut yang melakukan KKS dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, sehingga hubungannya tidak lagi antara negara dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, tetapi antara Badan Usaha dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah Pasal 6 UU Migas, merupakan pengaturan yang bersifat umum yang apabila tidak dikaitkan dengan BP Migas selaku Pemerintah adalah tidak bertentangan dengan konstitusi.

Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 19 UU Migas sepanjang frasa “atau bentuk kontrak kerjasama lain” bertentangan dengan konstitusi dengan alasan yang pada pokoknya bahwa frasa tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan multitafsir karena memposisikan Negara sederajat dengan badan usaha sehingga berakibat melemahkan posisi negara. Menurut Mahkamah frasa “atau bentuk kontrak kerjasama lain” dalam Pasal 1 angka 19 UU Migas merupakan bentuk kontrak yang sengaja dibuat oleh pembentuk Undang-Undang agar selain KKS dalam bentuk kontrak bagi hasil, juga dimungkinkan KKS dalam bentuk yang lain, asalkan menguntungkan bagi negara, misalnya yang sekarang ini dikenal yaitu KKS dalam bentuk kontrak jasa. Bentuk KKS selain kontrak bagi hasil adalah tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan tidak melanggar prinsip penguasaan negara yang dimaksud dalam konstitusi. Dengan demikian sepanjang frasa “atau bentuk kontrak kerjasama lain “ dalam Pasal 1 angka 19 UU Migas tidak bertentangan dengan UUD 1945;

Persaingan Usaha yang Wajar, Sehat, dan Transparan

Menimbang bahwa salah satu tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha Migas menurut Pasal 3 huruf b UU Migas adalah, “Untuk menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga secara akuntabel yang diselenggarakanmelalui persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan”. Menurut Mahkamah Pasal 3 huruf b tersebut sangat berbeda dengan ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU Migas. Pasal 28 ayat (2) a quo yang menentukan bahwa penetapan harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan kepada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah dalam putusan Mahkamah Nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004. Frasa “penyelenggaraan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan” dalam Pasal 3 huruf b UU Migas merupakan penjabaran dari pelaksanaan keterbukaan dalam kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi. Kegiatan usaha hilir di bidang minyak dan gas bumi dilaksanakan dengan mekanisme pemberian Izin Usaha kepada Badan Usaha Swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Koperasi, dan juga usaha kecil yang bergerak di bidang pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga minyak dan gas bumi. Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UU Migas kegiatan usaha hilir tidak dimungkinkan bagi Bentuk Usaha Tetap. Hal ini berarti membuka peluang bisnis kepada perusahaan-perusahaan nasional atau perusahaan yang berbadan hukum Indonesia, dalam kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi di seluruh wilayah Indonesia, sehingga dengan adanya frasa “melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b UU Migas, menjamin tidak adanya monopoli oleh suatu badan usaha tertentu dalam penyelenggaraan kegiatan usaha hilir di bidang minyak dan gas bumi. Dengan demikian, hal itu sudah sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Yang Tidak Sehat. Pasal 3 huruf b berkait dengan Pasal 23 ayat (2) UU Migas yang menyatakan “Izin usaha yang diperlukan untuk kegiatan usaha Minyak Bumi dan/atau kegiatan usaha Gas Bumi

24

sebagaimana dimaksud dalam \ayat (1) dibedakan atas: . Izin Usaha Pengolahan; b. Izin Usaha Pengangkutan; c. Izin Usaha Penyimpanan; d. Izin Usaha Niaga”. Dengan demikian, Pasal 3 huruf b Undang-Undang a quo membuka peluang usaha kepada siapa saja yang ingin berkecimpung dalam usaha minyak dan gas bumi, apakah akan melakukan usaha secara keseluruhan atau melakukan usaha hanya pengolahan, atau pengangkutan, atau penyimpanan, atau usaha niaga, kesemuanya terpulang kepada kemampuan modal dari para pelaku usaha itu sendiri. Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;

Posisi BUMN

Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 9 UU Migas sepanjang kata “dapat” bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Menurut Para Pemohon, ketentuan tersebut menunjukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan Migas, dan BUMN harus bersaing di negaranya sendiri untuk dapat mengelola Migas. Menurut Mahkamah Pasal 9 UU Migas a quo dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional baik Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, usaha kecil, badan usaha swasta untuk berpartispasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Mahkamah dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004 telah mempertimbangkan, antara lain, “.... harus mendahulukan (voorrecht) Badan Usaha Milik Negara. Karena itu, Mahkamah menyarankan agar jaminan hak mendahulukan dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana mestinya”. Lagi pula dengan dinyatakan bahwa semua ketentuan mengenai BP Migas dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan konstitusi sebagaimana dipertimbangan dalam paragraf [3.13.1] sampai dengan paragraf [3.13.5], maka posisi BUMN menjadi sangat strategis karena akan mendapatkan hak pengelolaan dari Pemerintah dalam bentuk izin pengelolaan atau bentuk lainnya dalam usaha hulu Migas. Dengan demikian, anggapan para Pemohon bahwa BUMN harus bersaing di negaranya sendiri merupakan dalil yang tidak tepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum;

Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 10 dan Pasal 13 UU Migas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya bahwa norma dalam pasal-pasal tersebut mengurangi kedaulatan negara atas penguasaan sumber daya alam (Migas) karena pemecahan organisasi secara vertikal dan horizontal (unbundling) akan menciptakan manajemen baru yang akan menentukan cost dan profit masing-masing. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004 telah mempertimbangan mengenai pemisahan (unbundling) kegiatan usaha, yaitu “... ketentuan pasal dimaksud harus ditafsirkan tidak berlaku terhadap badan usaha yang telah dimiliki oleh negara yang justru harus diberdayakan agar penguasaan negara menjadi semakin kuat. Pasal 61 yang termasuk dalam Ketentuan Peralihan harus ditafsirkan bahwa peralihan dimaksud terbatas pada status Pertamina untuk menjadi persero dan tidak menghapuskan keberadaannya sebagai Badan Usaha yang masih tetap melakukan kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir, meskipun untuk usaha hilir dan hulu tersebut harus dilakukan oleh dua Badan Usaha “Pertamina Hulu” dan “Pertamina Hilir” yang keduanya tetap dikuasai oleh negara”. Meskipun Pasal 13 UU Migas tidak termasuk dalam putusan Mahkamah tersebut, namun oleh karena substansinya sama dengan Pasal 10 UU Migas yaitu mengenai unbundling secara horizontal maka pertimbangan Mahkamah tersebut mutatis mutandis berlaku untuk pengujian Pasal 13 UU Migas. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, pemisahan dalam kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir dalam kegiatan minyak dan gas bumi sudah tepat. Adapun alasan kemungkinan hal itu akan menciptakan manajemen baru yang akan menentukan cost dan

25

profit masingmasing, menurut Mahkamah, hal tersebut tidak terkait dengan permasalahan konstitusionalitas. Dengan demikian, dalil para Pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum;

Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 11 ayat (2) UU Migas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya bahwa KKS tergolong dalam perjanjian internasional, sehingga pemberitahuan KKS secara tertulis kepada DPR telah mengingkari kedaulatan rakyat dan mengingkari keikutsertaan rakyat sebagai pemilik kolektif sumber daya alam. Menurut Mahkamah, KKS dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi merupakan kontrak yang bersifat keperdataan dan tunduk pada hukum keperdataan. Hal ini jelas berbeda dengan perjanjian internasional yang dimaksud Pasal 11 ayat (2) UUD 1945. Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang merupakan penjabaran dari Pasal 11 ayat (3) UUD 1945, telah memberikan definisi tentang perjanjian internasional, yaitu “Perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.” Kemudian dalam Pasal 1 huruf a dan Pasal 4 ayat (1) UU 24/2000, menyebutkan elemen-elemen dari perjanjian internasional yaitu: a) dalam bentuk dan nama tertentu; b) diatur dalam hukum internasional; c) dibuat secara tertulis; d) dibuat oleh negara, organisasi internasional, dan subyek hukum internasional lainnya; e) menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Di samping itu, Article 1 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional menyatakan, “The present Convention applies to treaties between states”. Kemudian dalam Article 2 (a) treaty diartikan “treaty” means an international agreement concluded between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation. Selain itu, dalam Article 1 Konvensi Wina Tahun 1986 dinyatakan “The present Convention applies to: (a) treaties between one or more States and one or more international organizations, and (b) treaties between international organizations.” Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, KKS Migas tidak memenuhi kriteria untuk dapat disebut sebagai perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, sehingga tidak memerlukan persetujuan DPR. Bahwa selain itu, Mahkamah dalam putusan Nomor 20/PUU-V/2007, tanggal 17 Desember 2007, yang antara lain mempertimbangkan, “...karena dengan dinyatakannya Pasal 11 Ayat (2) UU Migas tidak mempunyai kekuatan hokum mengikat, justru tidak akan ada lagi ketentuan yang mengharuskan adanya pemberitahuan secara tertulis kepada DPR. Hal ini berarti akan lebih merugikan DPR sebagai lembaga ...”; Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Mengingat posisi minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (vide konsiderans huruf b UU Migas) maka pemberitahuan kontrak-kontrak tertulis kepada DPR adalah dalam rangka fungsi pengawasan DPR sebagai mekanisme yang melibatkan peran serta rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR apabila terdapat kontrak yang merugikan bangsa dan negara Indonesia. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;

Menimbang bahwa oleh karena putusan ini menyangkut status hukum BP Migas yang oleh Undang-Undang a quo diposisikan sangat penting dan strategis, maka Mahkamah perlu

26

menentukan akibat hukum yang timbul setelah putusan ini diucapkan dengan pertimbangan bahwa putusan yang diambil oleh Mahkamah jangan sampai menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat mengakibatkan kekacauan dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi; Apabila keberadaan BP Migas secara serta merta dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan pada saat yang sama juga dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat karena kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat menyebabkan kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki oleh UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah harus mempertimbangkan perlunya kepastian hukum organ negara yang melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru;

Menimbang bahwa sesuai dengan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah memandang perlu untuk menegaskan akibat hukum dari putusan ini. Bahwa berdasar Pasal 47 UU MK yang menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum” maka putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan berlaku secara prospektif. Dengan demikian segala KKS yang telah ditandatangani antara BP Migas dan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, harus tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir atau pada masa yang lain sesuai dengan kesepakatan;

Menimbang bahwa untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak adanya lagi BP Migas maka Mahkamah perlu menegaskan organ negara yang akan melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru. Menurut Mahkamah, fungsi dan tugas tersebut harus dilaksanakan oleh Pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan dalam hal ini Kementerian yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang Migas. Segala hak serta kewenangan BP Migas dalam KKS setelah putusan ini, dilaksanakan oleh Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara yang ditetapkan oleh Pemerintah;

11. Pertimbangan Hukum Putusan MK No. 002/PUU-I/2003 a. Menimbang bahwa oleh karena Para Pemohon memohon agar Mahkamah melakukan

pengujian terhadap undang-undang a quo baik yang bersifat formil, dengan dalil bahwa prosedur persetujuan RUU Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 33 ayat (2) huruf a dan ayat (5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD jo. Keputusan DPR RI Nomor 03A/DPR RI/2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR, maupun secara materiil, dengan dalil bahwa materi muatan undang-undang a quo bertentangan dengan UUD 1945, maka Mahkamah terlebih dahulu akan memeriksa dan mempertimbangkan dalil-dalil Pemohon yang berkenaan dengan prosedur pembentukan undang-undang a quo (pengujian formil);

Pengujian Formil b. Menimbang bahwa pada intinya Pemohon mendalilkan, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD 1945 karena prosedur persetujuannya bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Kesimpulan tersebut didasarkan atas konstruksi pemikiran Para Pemohon bahwa DPR dalam melaksanakan kekuasaannya membentuk undang-undang, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, terikat oleh ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 20 UUD 1945, serta Peraturan Tata Tertib DPR, sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPR RI Nomor: 03A/DPR RI/I/2001-2002, yang merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (5) undang-undang yang bersangkutan;

27

c. Menimbang bahwa, menurut Para Pemohon, tindakan Pimpinan Rapat Paripurna DPR yang memaksakan pengambilan putusan dengan cara mufakat pada saat persetujuan RUU Minyak dan Gas Bumi menjadi undang-undang adalah bertentangan dengan Pasal 192 dan 193 Peraturan Tata Tertib DPR. Pasal 192 Peraturan Tata Tertib DPR menyatakan, “Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah apabila diambil dalam rapat yang dihadiri oleh Anggota dan unsur Fraksi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (1), dan disetujui oleh semua yang hadir”. Sedangkan Pasal 193 menentukan, “Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak terpenuhi karena adanya pendirian sebagian anggota rapat yang tidak dapat dipertemukan lagi dengan pendirian anggota rapat yang lain”. Pemohon mendalilkan, dalam rapat paripurna dimaksud, terdapat sejumlah anggota DPR yang tidak setuju terhadap RUU tentang Minyak dan Gas Bumi tersebut, yang bahkan sampai melakukan walk out, sehingga menurut Pemohon seharusnya putusan diambil dengan suara terbanyak;

d. Menimbang bahwa guna membuktikan kebenaran dalil Pemohon tersebut Mahkamah telah memeriksa Risalah Rapat Paripurna Ke-17 DPR Masa Persidangan I Tahun Sidang 2001-2002, bertanggal 23 Oktober 2001, yakni rapat paripurna yang mengesahkan RUU Minyak dan Gas Bumi menjadi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam risalah dimaksud, dalil Pemohon yang menyebutkan ada 12 (dua belas) anggota DPR yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap RUU Minyak dan Gas Bumi dengan mengajukan minderheidsnota terbukti benar (vide Risalah hal. 70-74). Namun, dalam risalah yang sama, Mahkamah juga menemukan fakta bahwa pada bagian akhir rapat paripurna dimaksud, tatkala seluruh fraksi telah menyampaikan Pendapat Akhirnya dan pimpinan rapat (A.M. Fatwa) menanyakan apakah RUU a quo dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang, risalah mencatat bahwa seluruh anggota DPR setuju tanpa ada lagi pernyataan keberatan atau tidak setuju, sehingga pimpinan rapat kemudian mempersilahkan wakil pemerintah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk menyampaikan sambutannya (vide Risalah hal. 158);

e. Menimbang bahwa guna lebih meyakinkan Mahkamah akan kebenaran dalil-dalil Para Pemohon, Mahkamah selain mendengar keterangan lisan pihak Dewan Perwakilan Rakyat telah pula membaca keterangan tertulis dari yang bersangkutan (Dewan Perwakilan Rakyat) bertanggal 10 Februari 2004 yang pada intinya menerangkan sebagai berikut: a) bahwa setiap Rancangan Undang-undang (RUU) yang dibahas oleh DPR bersama dengan

Pemerintah didasarkan pada mekanisme sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR. RUU tentang MIGAS, yang sekarang menjadi UU Nomor 22 Tahun 2001, pembahasannya dilakukan berdasarkan mekanisme yang lama atau sebelum diadakan perubahan tingkat pembahasan RUU di DPR dari empat tahap menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama keterangan pemerintah, tahap kedua pandangan fraksi-fraksi, tahap ketiga pembahasan dalam Komisi VIII, dan tahap keempat putusan dalam rapat paripurna;

b) bahwa berdasarkan prosedur yang telah diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR, pembahasan atas RUU MIGAS tidak terdapat kekurangan atau penyimpangan. Setiap pengambilan keputusan, baik dalam Rapat Komisi VIII yang merupakan pembahasan tingkat III, berdasarkan data absensi, kuorum rapat selalu terpenuhi. Demikian juga pada saat pengambilan keputusan atas persetujuan DPR terhadap RUU tentang MIGAS pada Rapat Paripurna tanggal 23 Oktober 2001 telah sesuai dengan kuorum rapat, yaitu dihadiri oleh 348 orang dari 483 orang anggota DPR. Dengan demikian, kuorum rapat dan pengambilan keputusan atas RUU tentang Minyak dan Gas Bumi telah terpenuhi dan keputusan yang diambil adalah sah sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR No. 03A/DPR RI/2001-2002 serta tidak terdapat pertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 33 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

c) bahwa terdapat sebanyak 12 orang anggota yang menyatakan keberatan atau lazim dikenal minderheidsnota pada saat pengambilan keputusan atas RUU tentang MIGAS dalam Rapat

28

Paripurna DPR tanggal 23 Oktober 2001 dapat diterangkan bahwa sikap seperti itu merupakan suatu bentuk dan praktik demokrasi dalam pengambilan keputusan di DPR. Selain minderheidsnota, seorang atau beberapa orang atau fraksi dalam pengambilan keputusan dapat menyatakan persetujuan, penolakan/tidak setuju, atau abstain atas sebagian atau keseluruhan hal yang dimintakan persetujuan rapat untuk diambil keputusan. Minderheidsnota bukan merupakan penolakan/tidak setuju secara penuh, tetapi memperkenankan dilaksanakan pengambilan keputusan di mana dalam keputusan diberikan catatan dari anggota yang menyatakan minderheidsnota tersebut. Oleh karena itu, dalam pengambilan keputusan atas RUU tentang MIGAS, pernyataan 12 orang anggota Dewan dijadikan catatan “nota” dan itu dibacakan sebagai minderheidsnota. Dengan demikian, minderheidsnota, kendati dihargai sebagai sikap dan praktik dalam pengambilan keputusan, tidak mempunyai sifat menghambat atau membatalkan suatu persetujuan;

d) bahwa berdasarkan uraian tadi, tidak terdapat alasan untuk menyatakan pembahasan RUU tentang MIGAS bertentangan dengan atau menyimpang dari prosedur formil;

Berdasarkan Risalah Sidang Paripurna tanggal 23 Oktober 2001 yang mengesahkan Rancangan Undang-undang Minyak dan Gas Bumi menjadi undang-undang, keterangan tertulis DPR maupun keterangan lisan yang disampaikan dalam persidangan, ternyata Para Pemohon tidak dapat meyakinkan Mahkamah dalam membuktikan kebenaran dalil permohonannya, sehingga dengan demikian permohonan pengujian formil Pemohon terhadap undang-undang a quo harus ditolak;

Pengujian Materiil a. Menimbang bahwa yang dimohonkan oleh Para Pemohon untuk dilakukan pengujian secara

materiil adalah Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 secara keseluruhan, dengan dalil bahwa pasal-pasal dalam undang-undang a quo tidak dapat dipisahkan oleh karena filosofi diadakannya undang-undang tersebut adalah untuk meliberalisasi sector minyak dan gas bumi di Indonesia sehingga menurut Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 (vide Permohonan hal. 16), yang perinciannya lebih lanjut oleh Pemohon dijelaskan dalam bagan dengan membandingkan antara Undang-undang Nomor 44 Tahun 1960, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 (vide Permohonan hal. 37-41);

b. Menimbang bahwa sebelum memeriksa dalil Para Pemohon, Mahkamah harus menjelaskan beberapa pengertian penting yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yang menyatakan: - Ayat (2) : “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat

hidup orang banyak dikuasai oleh negara”; - Ayat (3) : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”; c. Menimbang bahwa titik pusat dari permasalahan yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945,

khususnya sebagaimana tertuang dalam ayat (2) dan (3) yang dijadikan dasar permohonan Para Pemohon, adalah terletak pada kata-kata “dikuasai oleh negara”, maka Mahkamah terlebih dahulu harus menjelaskan pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) tersebut;

d. Menimbang bahwa berkenaan dengan pengertian “dikuasai oleh negara” sebagaimana dimaksud Pasal 33 UUD 1945, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Rabu, 16 Desember 2004 sebagai berikut: - Bahwa dalam menemukan pengertian dan/atau maksud dari suatu ketentuan yang terdapat

dalam pasal-pasal UUD 1945 tidaklah cukup apabila hanya berpegang pada bunyi teks pasal yang bersangkutan dan hanya dengan menggunakan satu metode interpretasi tertentu. UUD 1945, sebagaimana halnya setiap undang-undang dasar atau konstitusi, adalah sebuah sistem norma dasar yang memberikan landasan konstitusional bagi pencapaian tujuan hidup

29

berbangsa dan bernegara sebagaimana digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Sebagai suatu sistem, UUD 1945 adalah susunan kaidah-kaidah konstitusional yang menjabarkan Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945, alinea keempat: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Oleh karena itu, setiap interpretasi terhadap suatu ketentuan dalam Pasal-pasal UUD 1945 harus selalu mengacu kepada tujuan hidup berbangsa dan bernegara sebagaimana yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut;

- Bahwa dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem sebagaimana dimaksud, maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

- Bahwa jika pengertian “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang dengan demikian berarti amanat untuk “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam Pembukaan UUD 1945 tidak mungkin diwujudkan. Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Pengertian “dikuasai oleh Negara” juga tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal demikian sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi Negara tanpa harus disebut secara khusus dalam Undang-Undang Dasar. Sekiranyapun Pasal 33 tidak tercantum dalam UUD 1945, sebagaimana lazimnya di banyak negara yang menganut paham ekonomi liberal yang tidak mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam konstitusinya, sudah dengan sendirinya negara berwenang melakukan fungsi pengaturan. Karena itu, pengertian “dikuasai oleh negara” tidak mungkin direduksi menjadi hanya kewenangan Negara untuk mengatur perekonomian. Dengan demikian, baik pandangan yang mengartikan penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh negara, keduanya ditolak oleh Mahkamah.

30

- Bahwa berdasarkan uraian tersebut, pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh Negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh Negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.

- Bahwa dalam kerangka pengertian yang demikian, penguasaan dalam arti kepemilikan perdata (privat) yang bersumber dari konsepsi kepemilikan publik berkenaan dengan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang menurut ketentuan Pasal 33 ayat (2) dikuasai oleh negara, tergantung pada dinamika perkembangan kondisi kekayaan masing-masing cabang produksi. Yang harus dikuasai oleh negara adalah jika: (i) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; atau (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Namun, terpulang kepada pemerintah bersama lembaga perwakilan rakyat untuk menilai apa dan kapan suatu cabang produksi itu dinilai penting bagi Negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain dapat berubah menjadi tidak penting bagi Negara dan/atau tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak;

e. Menimbang bahwa atas dasar kerangka pemikiran demikian, jikalau cabang produksi minyak dan gas bumi, yang adalah juga kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, oleh Pemerintah dan DPR dinilai telah tidak lagi penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka dapat saja cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi itu diserahkan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasannya kepada pasar. Namun, jikalau cabang-cabang produksi dimaksud oleh Pemerintah dan DPR dinilai masih penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka Negara, c.q. Pemerintah, tetap diharuskan menguasai cabang produksi yang bersangkutan dengan cara mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasinya agar sungguh-sungguh dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di dalam pengertian penguasaan itu tercakup pula pengertian kepemilikan perdata sebagai instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam pengelolaan cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi dimaksud. Dengan demikian, konsepsi kepemilikan privat oleh negara atas saham dalam badan-badan usaha yang menyangkut

31

cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak tidak dapat didikotomikan atau dialternatifkan dengan konsepsi pengaturan oleh negara. Keduanya bersifat kumulatif dan tercakup dalam pengertian penguasaan oleh negara. Oleh sebab itu, negara tidak berwenang mengatur atau menentukan aturan yang melarang dirinya sendiri untuk memiliki saham dalam suatu badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak sebagai instrumen atau cara Negara mempertahankan penguasaan atas sumber-sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

f. Menimbang bahwa di samping itu untuk menjamin prinsip efisiensi yang berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional”, maka penguasaan dalam arti kepemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif, dalam arti tidak mutlak harus 100 persen, asalkan penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan atas penentuan kebijakan badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan Negara, c.q. Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, asalkan kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

g. Menimbang bahwa konsiderans “Menimbang” huruf b Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 menyatakan, “bahwa minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat”. Dengan demikian, Mahkamah berkesimpulan, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, selaku lembaga negara yang oleh undang-undang dasar diberi kewenangan membentuk undang-undang, berpendirian bahwa minyak dan gas bumi adalah cabang produksi yang penting dan sekaligus menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga oleh karenanya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

h. Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 9 Desember 2003 Mahkamah telah mendengar keterangan Pemerintah, yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, yang telah pula menyerahkan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada bulan Januari 2004 dan tanggal 29 Juli 2004, serta keterangan tertulis Menteri Negara BUMN, yang uraian selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara putusan ini. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia menerangkan hal-hal antara lain sebagai berikut: - Secara konstitusional, pengelolaan sumber daya alam harus tetap mengacu kepada tujuan

dan cita-cita bangsa dan negara sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) dan (3), bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, demikian pula bumi, air, dan

32

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di samping itu, hal tersebut dilakukan dalam kerangka upaya untuk membangun perekonomian nasional yang diselenggarakan atas dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi nasional;

- Selama kurun waktu empat dasawarsa ternyata tujuan dan cita-cita bangsa dan negara di atas, yang diterjemahkan melalui Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, dirasakan belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Hal ini dikarenakan adanya kelemahan dan kendala pada kedua peraturan perundang-undangan tadi yaitu antara lain: (1) ruang lingkup pengaturannya lebih terfokus pada kegiatan dalam negeri sehingga kurang memberikan dorongan berusaha di luar negeri; (2) mempunyai sifat usaha yang monopolistis (hanya Perusahaan Negara/BUMN) dan sarat misi sosial (penugasan Pemerintah); (3) tidak mendukung kemandirian, pemupukan dana, dan kemampuan bersaing dalam era keterbukaan; (4) terdapat ketentuan khusus (perpajakan dan kepabeanan) yang sering menimbulkan kesulitan dalam penerapannya;

- Di samping kelemahan dan kendala tadi, perangkat perundang-undangan yang ada juga mempunyai kerancuan/tumpang tindih antara pengaturan sektor dan pengaturan perusahaan yang mengakibatkan tugas Pemerintah dan tugas perusahaan menjadi tidak jelas. Peran perusahaan terhadap pengaturan sector sangat besar dan sebaliknya peran Pemerintah terhadap pengaturan operasional perusahaan juga cukup besar, meskipun Pemerintah selama ini telah melakukan upaya dan langkah-langkah kebijaksanaan baik melalui deregulasi maupun debirokratisasi, namun disadari bahwa untuk mewujudkan kondisi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat tidak cukup dicapai dengan kebijakan tersebut;

- Ruang lingkup, maksud dan tujuan secara lebih menyeluruh filosofi dan konsepsi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 adalah: 1) Minyak dan gas bumi sebagai kekayaan alam yang terkandung dalam wilayah hukum

pertambangan Indonesia dikuasai Negara dan diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan. Sesuai dengan semangat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, Kuasa Pertambangan tetap dipegang oleh Pemerintah dengan maksud agar Pemerintah dapat mengatur, memelihara, dan menggunakan kekayaan nasional tersebut bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya Pemerintah membentuk Badan Pelaksana;

2) Menghilangkan usaha yang bersifat monopolistik baik di sektor hulu maupun hilir. Dalam bidang usaha hulu yang terdiri atas eksplorasi dan eksploitasi yang merupakan kegiatan yang berkaitan dengan pengurasan kekayaan alam berupa bahan galian minyak dan gas bumi, pihak swasta hanya dapat melakukan kegiatan secara tidak langsung yaitu sebagai kontraktor melalui kerjasama dengan Badan Pelaksana. Sedangkan di bidang usaha hilir yang terdiri atas pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga, dapat dilaksanakan oleh perusahaan berdasarkan izin usaha yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Khusus untuk bidang pengangkutan dan niaga gas bumi melalui pipa diberlakukan pengaturan prinsip usaha terpisah (unbundling) untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada konsumen, baik dalam segi harga maupun kualitas. Selanjutnya untuk mengawasi kegiatan sektor hilir tersebut, Pemerintah membentuk Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi melalui Pipa yang selanjutnya disebut BPH Migas;

3) Menciptakan dan menjamin penerimaan Pusat dan penerimaan Daerah yang lebih nyata dari hasil produksi, sehingga penerimaan Negara dari sector minyak dan gas bumi dapat dinikmati secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Untuk maksud tersebut, Perusahaan atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan bagian Negara,

33

pungutan Negara, membayar bonus, pajak-pajak, pajak daerah dan retribusi daerah, serta kewajiban kepabeanan yang berlaku. Atas pungutan Negara, bagian Negara dan bonus diperuntukkan sebagai penerimaan Pusat dan Daerah;

4) Menumbuhkembangkan perusahaan nasional minyak dan gas bumi baik di dalam maupun di luar negeri serta dapat mengakomodir perkembangan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang akan datang. Di samping memberikan apresiasi yang lebih besar terhadap pemanfaatan barang, jasa, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;

5) Memberikan ketentuan yang lebih jelas mengenai jaminan kelangsungan atas penyediaan dan pelayanan Bahan Bakar Minyak (BBM) sekaligus pengaturan yang berkaitan dengan mekanisme subsidi BBM;

6) Menjamin penyediaan data yang cukup, tenaga kerja profesional, peningkatan fungsi penelitian dan pengembangan serta menggiatkan investasi melalui penciptaan iklim investasi yang kondusif;

7) Terdapatnya pengaturan mengenai pengelolaan wilayah kerja oleh Pemerintah yang akan diusahakan oleh Perusahaan atau Bentuk Usaha Tetap. Selanjutnya, dalam rangka penyediaan lahan guna menunjang penetapan Wilayah Kerja, Pemerintah dapat melakukan Survei Umum sebagai upaya peningkatan nilai lahan yang ditawarkan kepada peminat;

8) Adanya jaminan kepastian hukum yang lebih mantap (pengaturan yang sederhana, tegas, dan konsisten) serta menghilangkan campur tangan Pemerintah yang terlalu besar, sehingga iklim usaha diharapkan dapat lebih sehat dan kompetitif. Untuk itu, Pemerintah dalam waktu secepat-cepatnya akan menyelesaikan peraturan pelaksanaan dari undang-undang ini;

9) Terwujudnya antisipasi pencegahan dan penanggulangan meningkatnya tindak pidana dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi, baik secara kuantitas maupun kualitas, melalui pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS);

- Secara umum Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 memuat 8 (delapan) bagian pengaturan: 1) Pola penguasaan dan pengaturan kegiatan usaha minyak dan gas bumi; 2) Pola pengaturan kegiatan usaha sektor hulu; 3) Pola pengaturan kegiatan usaha sektor hilir; 4) Pola pengaturan usaha pengangkutan dan niaga minyak dan gas bumi; 5) Pengaturan penerimaan Negara; 6) Hubungan minyak dan gas bumi dengan hak atas tanah; 7) Status hukum Pertamina; 8) Pembinaan dan pengawasan;

Sementara itu, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara telah menerangkan hal-hal antara lain sebagai berikut:

- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas (dan juga Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan) lahir sebagai kebutuhan karena adanya perubahan lingkungan strategis di dalam maupun di luar negeri, yang apabila hal itu tidak dilakukan maka berbagai perubahan lingkungan strategis dimaksud cenderung akan menimbulkan benturan-benturan karena terdapat perbedaan materi substansial pada tataran implementasi yang tidak mungkin dilaksanakan secara bersamaan;

- Maksud diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 adalah memberikan landasan hukum bagi terselenggaranya kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tujuannya adalah mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam migas untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui: (1) tersedianya dan terdistribusikannya energi migas dalam negeri dalam jumlah cukup, berkualitas baik, dan dengan harga yang wajar;

34

- “Penguasaan oleh negara” terhadap sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak mengandung pengertian : (1) pemilikan, (2) pengaturan, pembinaan, dan pengawasan, dan (3) penyelenggaraan kegiatan usaha dilakukan di bidang energi (energi migas dan energi listrik) oleh Pemerintah. Filosofi “penguasaan oleh negara” adalah terciptanya ketahanan nasional (national security) di bidang energi di Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan sasaran utama penyediaan dan pendistribusian energi ke seluruh wilayahnya;

- Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tetap tunduk pada Pasal 33 UUD 1945, yang dinyatakan sebagai: 1. Kegiatan Usaha Hulu

a) Penguasaan migas di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia oleh negara dan diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan;

b) Kegiatan Usaha Hulu eksplorasi dan eksploitasi dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama yang paling sedikit memuat persyaratan: kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan; pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; dan modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha (BU) atau Bentuk Usaha Tetap (BUT);

c) Badan Pelaksana adalah badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi.

Penguasaan (kepemilikan) migas dari kegiatan hulu di wilayah hukum pertambangan Indonesia tetap berada dalam penguasaan Negara yang diselenggarakan dan diawasi oleh Pemerintah c.q. Badan Pelaksana Migas sampai pada titik penyerahan (penjualan), di dalam atau di luar negeri. Pelaksanaan pengusahaan kegiatan hulu dapat dilakukan oleh BUMN/BUMD, swasta Nasional dan/atau Asing melalui Kontrak Kerjasama dengan BP Migas. Dalam hal pengusahaan kegiatan hulu dikerjasamakan dengan swasta Nasional dan/atau Asing, Pemerintah bertindak sebagai regulator, namun memegang kendali penuh atas keberhasilan mitra kerja samanya, dan Pemerintah tidak berfungsi sebagai operator. Sedangkan dalam hal pengusahaan kegiatan hulu diselenggarakan oleh BUMN/BUMD, Pemerintah bertindak sebagai regulator dan sebagai operator, termasuk memegang kendali penuh atas keberhasilan BUMN/BUMD-nya melalui mekanisme RUPS dan pengawasan BP Migas.

2. Kegiatan Usaha Hilir

a) Kegiatan Usaha Hilir mencakup: Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga;

b) Kegiatan Usaha Hilir dilakukan dengan Izin Usaha dan diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan;

c) Izin Usaha diberikan kepada BU untuk melaksanakan Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba;

d) Badan Pengatur adalah badan yang dibentuk untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi pada Kegiatan Usaha Hilir;

Kegiatan Usaha Hilir diselenggarakan segera setelah titik penyerahan (penjualan, delivery point) kegiatan hulu. Migas setelah titik penyerahan bukan milik negara, di samping dapat pula berasal dari pembelian minyak impor. Penguasaan oleh negara dalam kegiatan usaha hilir adalah pada cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah sebagai regulator mengeluarkan Izin Usaha dan diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.

35

Dalam hal pengusahaan kegiatan hilir diselenggarakan oleh BUMN/BUMD, Pemerintah bertindak sebagai regulator, juga sebagai operator, termasuk memegang kendali atas keberhasilan BUMN/BUMD-nya melalui mekanisme RUPS. Badan Pengatur berperan dalam melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian BBM dan Gas Bumi pada Kegiatan Usaha Hilir. Sedangkan dalam hal pengusahaan kegiatan hilir dikerjasamakan dengan swasta Nasional dan/atau Asing, Pemerintah hanya bertindak sebagai regulator dengan menerbitkan Izin Usaha dan diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan, namun tidak melaksanakan fungsinya sebagai operator. Pelaksanaan Public Service Obligation (PSO) untuk menyediakan dan mendistribusikan BBM di daerah-daerah terpencil (remote) cenderung harus ditangani oleh Pemerintah, baik sebagai regulator maupun sebagai operator, meskipun tidak tertutup kemungkinan dapat dikerjasamakan dengan swasta Nasional/Asing.

i. Menimbang bahwa Mahkamah telah pula mendengar keterangan Dewan Perwakilan Rakyat, yang telah pula menyerahkan keterangan tertulis dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 Februari 2004, yang selengkapnya telah pula dikemukakan dalam bagian Duduk Perkara putusan ini dan pada pokoknya menerangkan hal-hal antara lain sebagai berikut: - Secara substantif, filosofi suatu undang-undang dapat dilihat dalam konsideran bagian

Menimbang dan batang tubuh undang-undang yang bersangkutan. Asas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, sebagaimana dicantumkan dalam Bab II-nya, adalah ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, kemakmuran bersama, dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, kepastian hukum serta berwawasan lingkungan;

- Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 membagi tugas dan peran negara kepada badan-badan lain serta memberikan peran kepada masyarakat berdasarkan asas-asas diatas;

- Hak menguasai negara dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 bukan berarti memiliki, tetapi negara sebagai organisasi diberi kewenangan yang darinya dimungkinkan timbulnya hak, seperti hak pengelolaan, hak pengusahaan. Hak menguasai Negara dalam hubungan dengan minyak dan gas bumi mencakup hak untuk mengatur dan menentukan status hokum pengelolaan dan pengusahaan atas minyak dan gas bumi. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, penguasaan Negara diatur berkaitan dengan penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang terdiri atas kegiatan usaha hulu dan usaha hilir. Sebagian kewenangan Negara dalam pengelolaan dan pengusahaan minyak dan gas bumi dapat diserahkan kepada badan usaha dan bentuk usaha tetap, sedangkan pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha minyak dan gas bumi tetap ada pada pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan atas minyak dan gas bumi;

- Penyerahan harga bahan bakar minyak dan gas bumi pada mekanisme pasar didasarkan pada pertimbangan ekonomi dan sosial. Secara ekonomi, penyerahan harga kepada mekanisme pasar akan menguntungkan negara karena negara tidak lagi menanggung beban dalam bentuk subsidi harga yang nyata-nyata lebih menguntungkan pengguna minyak dan gas secara langsung melalui subsidi harga. Secara sosiologis, kebijakan dengan mensubsidi harga justru tidak akan dapat dinikmati masyarakat yang memerlukan subsidi langsung. Namun, negara tetap tidak menghilangkan tanggung jawab sosialnya pada golongan masyarakat tertentu yaitu pelanggan rumah tangga dan pelanggan kecil;

j. Menimbang bahwa dalam memeriksa permohonan ini Mahkamah telah pula mendengar keterangan para ahli sebagaimana tersebut dalam duduk perkara a quo;

k. Menimbang bahwa berdasarkan pengertian “penguasaan oleh negara” yang telah menjadi pendirian Mahkamah dalam hubungannya dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagaimana diuraikan di atas, ditambah dengan keterangan lisan dan tertulis Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat serta pendapat para ahli, telah nyata bagi Mahkamah bahwa dalil-dalil yang diajukan oleh Para Pemohon tidak cukup beralasan, sehingga tidak terbukti pula undang-undang a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945. Karena substansi penguasaan oleh

36

Negara tampak cukup jelas dalam alur pikiran undang-undang a quo baik pada sektor hulu maupun hilir, kendatipun menurut Mahkamah masih ada hal-hal yang harus dipastikan jaminan penguasaan oleh negara tersebut sebagaimana nanti akan tampak dalam butir-butir pertimbangan Mahkamah atas pasal-pasal yang didalilkan Para Pemohon. Hal tersebut berbeda dengan Undang-undang Ketenagalistrikan yang telah diuji oleh Mahkamah dengan Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang dibacakan pada tanggal 15 Desember 2004, yang alur pikir tentang prinsip penguasaan negara dimaksud tidak tampak dengan jelas penjabarannya dalam pasal-pasal Undang-undang Ketenagalistrikan tersebut yang seharusnya menjadi acuan pertama dan utama sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Perbedaan alur pikir dimaksud tercermin dalam konsiderans “Menimbang” kedua undang-undang yang bersangkutan, yang kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal kedua undang-undang a quo;

l. Menimbang bahwa meskipun demikian, dengan pendirian Mahkamah sebagaimana tersebut di atas, tidak dengan sendirinya mengakibatkan seluruh dalil Para Pemohon menjadi tidak beralasan, sehingga oleh karenanya Mahkamah selanjutnya harus memeriksa seluruh butir dalil Para Pemohon satu demi satu dengan mengujinya terhadap UUD 1945;

m. Menimbang bahwa oleh karena Para Pemohon mendasarkan seluruh butir atau perincian permohonannya yang mendalilkan sejumlah substansi undang-undang a quo bertentangan UUD 1945 dengan bertumpu pada Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, dan telah ternyata bahwa baik Pemerintah, DPR, maupun para ahli memandang minyak dan gas bumi adalah cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, maka dalam mempertimbangkan permohonan dimaksud Mahkamah akan menilainya berdasarkan pengertian penguasaan oleh negara sebagaimana diuraikan di atas dan keharusan tujuan penguasaan oleh negara itu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat: 1) Para Pemohon mendalilkan, Pasal 12 ayat (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001

bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dengan argumentasi bahwa perusahaan asing akan menguasai industri minyak dan gas nasional, di samping mengurangi wewenang Presiden dan menumpukkan kekuasaan atas sumber daya minyak dan gas bumi di tangan Menteri ESDM. Pasal 12 ayat (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 menyatakan, “Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)”. Terhadap hal ini Mahkamah tidak sependapat dengan Para Pemohon yang menganggap ketentuan tersebut menyebabkan terjadinya penumpukan kekuasaan yang sangat besar pada Menteri ESDM, karena hal itu merupakan masalah internal Pemerintah yang tidak relevan dalam perkara a quo. Namun, Mahkamah menilai ketentuan dimaksud tidak sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) undang-undang a quo yang menyatakan bahwa penguasaan oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan. Secara yuridis, wewenang penguasaan oleh negara hanya ada pada Pemerintah, yang tidak dapat diberikan kepada badan usaha sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 5 undang-undang a quo. Sementara, Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap hanya melaksanakan kegiatan tersebut berdasarkan kontrak kerjasama dengan hak ekonomi terbatas, yaitu pembagian atas sebagian manfaat minyak dan gas bumi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2). Dalam lapangan hukum administrasi negara, pengertian pemberian wewenang (delegation of authority) adalah pelimpahan kekuasaan dari pemberi wewenang, yaitu negara, sehingga dengan pencantuman kata “diberi wewenang kepada Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap” maka penguasaan negara menjadi hilang. Oleh karena itu, kata-kata “diberi wewenang” tidak sejalan dengan makna Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dimana wilayah kerja sector hulu adalah mencakup bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang salah satunya adalah minyak dan gas bumi, yang merupakan hak Negara untuk menguasai melalui pelaksanaan fungsi mengatur (regelen), mengurus (bestuuren),

37

mengelola (beheeren), dan mengawasi (toezichthouden). Oleh karena itu, adanya kata-kata “diberi wewenang” dalam Pasal 12 ayat (3) dimaksud adalah bertentangan dengan UUD 1945;

2) Para Pemohon mendalilkan bahwa pengertian Kuasa Pertambangan dalam Pasal 1 angka 5 undang-undang a quo yang hanya mencakup kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, sementara kegiatan pemurnian/pengilangan, pengangkutan, dan penjualan bahan bakar minyak tidak termasuk di dalamnya, bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Menurut Para Pemohon, ketentuan Pasal 1 angka 5 tersebut telah meniadakan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Terhadap dalil Para Pemohon ini, Mahkamah berpendapat, untuk menilai ada tidaknya penguasaan oleh negara, pasal dimaksud tidak dapat dinilai secara berdiri sendiri melainkan harus dihubungkan dengan pasal-pasal lain secara sistematis. Pasal 1 angka 5 undang-undang a quo yang berbunyi, “Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi”, hanyalah memberikan pengertian tentang Kuasa Pertambangan dan sama sekali belum menggambarkan implementasi pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945. Lagipula, dalam hubungannya dengan minyak dan gas bumi, yang juga harus dinilai adalah bahwa tujuan penguasaan oleh negara itu, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bukanlah untuk penguasaan an sich melainkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, dalam memeriksa dalil Pemohon ini, Mahkamah harus mempertimbangkan secara sistematis konteks pengertian Kuasa Pertambangan dimaksud tatkala diimplementasikan dalam pasal-pasal lain dari undang-undang a quo. Jika pengertian Kuasa Pertambangan dimaksud dihubungkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1), (2), (3), Pasal 6 ayat (1), (2), dan Pasal 7 ayat (1) tampak jelas hal-hal sebagai berikut: - bahwa minyak dan gas bumi dikuasai oleh negara; - penyelenggara penguasaan oleh negara dimaksud adalah Pemerintah sebagai

pemegang Kuasa Pertambangan; - Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana,

yaitu suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang minyak dan gas bumi (Pasal 1 angka 23);

- Pelaksanaan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi (Kegiatan Usaha Hulu) dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama, yaitu Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 1 angka 19);

- Kontrak Kerja Sama dimaksud, paling sedikit harus memuat persyaratan: (a) kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan (yaitu titik penjualan minyak atau gas bumi); (b) pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; (c) modal dan risiko ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Yang dimaksud “pengendalian manajemen operasi” menurut Penjelasan Pasal 6 ayat (2) adalah pemberian persetujuan atas rencana kerja dan anggaran, rencana pengembangan lapangan, serta pengawasan terhadap realisasi dari rencana tersebut;

- Pelaksanaan kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga (Kegiatan Usaha Hilir) dilaksanakan dengan Izin Usaha;

Uraian di atas menunjukkan bahwa semua unsur yang terkandung dalam pengertian “penguasaan oleh negara”, yaitu mengatur (regelen), mengurus (bestuuren), mengelola (beheeren), dan mengawasi (toezichthouden) masih tetap berada di tangan Pemerintah, sebagai penyelenggara “penguasaan oleh negara” dimaksud, atau badan-badan yang dibentuk untuk tujuan itu. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, dalil Para Pemohon harus dinyatakan tidak beralasan dan karenanya harus ditolak;

38

3) Para Pemohon mendalilkan, pola industri minyak dan gas nasional yang memisahkah antara kegiatan hulu dan hilir (unbundling), sebagaimana diatur dalam Pasal 10 undang-undang a quo, akan berakibat lebih mahalnya biaya/harga produk bahan bakar minyak dan non-bahan bakar minyak karena setiap sector kegiatan mempunyai biaya dan profit tersendiri. Hal ini, oleh Para Pemohon, juga dinilai bertentangan dengan trend industry minyak dan gas dunia. Pasal 10 dimaksud menyatakan, “(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir. (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu”. Adanya Pasal 10 haruslah dipahami agar supaya tidak terjadi pemusatan penguasaan minyak dan gas bumi di satu tangan sehingga mengarah kepada monopoli yang merugikan kepentingan masyarakat. Namun, ketentuan pasal dimaksud harus ditafsirkan tidak berlaku terhadap badan usaha yang telah dimiliki oleh Negara yang justru harus diberdayakan agar penguasaan Negara menjadi semakin kuat. Pasal 61 yang termasuk dalam Ketentuan Peralihan harus ditafsirkan bahwa peralihan dimaksud terbatas pada status Pertamina untuk menjadi persero dan tidak menghapuskan keberadaannya sebagai Badan Usaha yang masih tetap melakukan kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir, meskipun untuk usaha hilir dan hulu tersebut harus dilakukan oleh dua Badan Usaha “Pertamina Hulu” dan “Pertamina Hilir” yang keduanya tetap dikuasai oleh negara. Dengan alur piker demikian, kekhawatiran Para Pemohon menjadi tidak beralasan;

4) Para Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 60 undang-undang a quo yang mengubah fungsi perusahaan negara minyak dan gas mengakibatkan negara tidak lagi menyelenggarakan pengusahaan minyak dan gas bumi karena wewenang melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi diserahkan Pemerintah langsung kepada swasta (asing/nasional), sedangkan pada sektor hilir, kegiatan dilakukan berdasarkan mekanisme pasar. Pasal 60 dimaksud menyatakan, “Pada saat undang-undang ini berlaku: a. dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, Pertamina dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dengan Peraturan Pemerintah; b. selama Persero sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum terbentuk, Pertamina yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2971) wajib melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi serta mengatur dan mengelola kekayaan, pegawai dan hal penting lainnya yang diperlukan; c. saat terbentuknya Persero yang baru, kewajiban Pertamina sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dialihkan kepada Persero yang bersangkutan”. Dengan memperhatikan bunyi Pasal 60 undang-undang a quo dan penjelasannya serta pertimbangan Mahkamah yang diuraikan pada angka 2 dan 3 di atas, maka permohonan Para Pemohon tidak cukup beralasan karena ketentuan peralihan tersebut diperlukan untuk mencegah kekosongan hukum (rechtsvacuum) dan menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid);

5) Para Pemohon mendalilkan, Pasal 44 ayat (3) huruf g undang-undang a quo, dalam hal ini yang berkait dengan diberikannya tugas kepada Badan Pelaksana (BHMN) untuk menunjuk penjual minyak dan/atau gas bumi bagian negara kepada pihak lain yang bukan BUMN, menurut Para Pemohon, di satu sisi akan merugikan negara karena fee penjualan akan diperoleh swasta dan membuka peluang korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan di lain pihak akan membuka persaingan antar sesama LNG Indonesia di pasar internasional. Terhadap dalil Para Pemohon ini, Mahkamah berpendapat bahwa masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme memang harus diberantas dalam rangka mewujudkan prinsip good corporate governance dalam BUMN, namun hal tersebut bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Sementara itu, 2 (dua) Hakim Konstitusi berpendapat bahwa terlepas dari masalah tersebut di atas, Pasal 44 ayat (3) huruf g undang-undang a quo tidak menggambarkan adanya penguasaan oleh Negara sebagaimana diperintahkan Pasal 33 UUD 1945, karena memberikan kewenangan diskresioner untuk menunjuk penjual selain

39

Badan Usaha Milik Negara yang seharusnya diberdayakan oleh negara sendiri sebagai instrumen penguasaan oleh negara dalam kegiatan penjualan Migas. Namun demikian, Mahkamah berpendirian bahwa ketentuan pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945, tetapi harus ditafsirkan dalam penunjukan penjual oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud, harus mendahulukan (voorrecht) Badan Usaha Milik Negara. Karena itu, Mahkamah menyarankan agar jaminan hak mendahulukan dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana mestinya;

6) Para Pemohon mendalilkan, sebagai akibat diserahkannya harga minyak dan gas bumi kepada mekanisme persaingan usaha, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (2) undang-undang a quo, di samping akan menimbulkan perbedaan harga antar daerah/pulau yang, menurut Para Pemohon, dapat memicu disintegrasi bangsa dan kecemburuan sosial, juga bertentangan dengan praktik kebijaksanaan harga BBM di setiap negara di mana Pemerintah ikut mengatur harga BBM sesuai dengan kebijaksanaan energi dan ekonomi nasional setiap negara, karena komoditas BBM tidak termasuk dalam agenda WTO. Terhadap dalil Para Pemohon dimaksud, Mahkamah berpendapat bahwa campur tangan Pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah dapat mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan kebijakan harga tersebut termasuk harga yang ditawarkan oleh mekanisme pasar. Pasal 28 ayat (2) dan (3) undang-undang a quo mengutamakan mekanisme persaingan dan baru kemudian campur tangan Pemerintah sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu, sehingga tidak menjamin makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, guna mencegah timbulnya praktik yang kuat memakan yang lemah. Menurut Mahkamah, seharusnya harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi dalam negeri ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu dan mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Oleh karena itu Pasal 28 ayat (2) dan (3) tersebut harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;

7) Pemohon mendalilkan bahwa pembebanan kewajiban bagi Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap yang melakukan kegiatan usaha hulu (eksplorasi dan eksploitasi) untuk membayar berbagai penerimaan negara yang berupa pajak dan penerimaan negara bukan pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 undang-undang a quo, akan merusak iklim usaha, antara lain, membuat investor tidak tertarik untuk menanamkan modalnya di bidang eksplorasi dan eksploitasi. Terhadap dalil Pemohon ini Mahkamah dapat membenarkan sepanjang menyangkut usaha eksplorasi karena masih berupa pencarian sumber migas yang belum pasti menghasilkan, sehingga secara konstitusional tidak adil bagi Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan untuk dikenakan pajak sehingga dapat mengurangi minat investor untuk menanamkan modalnya dalam kegiatan eksplorasi yang pada gilirannya akan berdampak mengurangi kesempatan untuk mencapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Akan tetapi terhadap usaha eksploitasi tidak terdapat alasan untuk menyatakan ketentuan dimaksud bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, karena kegiatan usaha hulu di bidang eksploitasi sudah menghasilkan migas. Dengan pertimbangan demikian, meskipun Mahkamah sependapat dengan sebagian dalil Para Pemohon, akan tetapi Mahkamah tidak mungkin mengabulkan permohonan Para Pemohon, karena ketentuan pengenaan pajak dalam pasal a quo mencakup kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi. Oleh karena Mahkamah tidak berwenang melakukan perubahan atau perbaikan rumusan pasal dalam undang-undang, maka Mahkamah menganjurkan pada pembentuk undang-undang untuk melakukan amandemen terhadap pasal undang-undang a quo (legislativereview). Berdasarkan pertimbangan tersebut permohonan Para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 31 ayat (1) undang-undang a quo tidak mungkin dikabulkan;

40

8) Para Pemohon mendalilkan, undang-undang a quo, melalui ketentuan Pasal 23 ayat (2), telah meliberalisasi sektor hilir pengusahaan minyak dan gas bumi. Para Pemohon menilai, dengan cara itu berarti undang-undang a quo mendahulukan kepentingan pengusaha yang berorientasi pada laba maksimum serta mengabaikan kepentingan hajat hidup orang banyak. Padahal sebelumnya, kegiatan demikian dilakukan oleh Pemerintah melalui BUMN sehingga Pemerintah senantiasa dapat menyediakan bahan bakar minyak di mana saja di seluruh Indonesia dengan harga yang seragam dan terjangkau karena hal itu merupakan misi Badan Usaha Milik Negara. Karenanya Para Pemohon berpendapat bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (2) tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 23 ayat (2) dimaksud menyatakan, “Izin usaha yang diperlukan untuk kegiatan usaha Minyak Bumi dan/atau kegiatan usaha Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan atas: a. Izin Usaha Pengolahan; b. Izin Usaha Pengangkutan; c. Izin Usaha Penyimpanan; d. Izin Usaha Niaga”. Dalil permohonan Para Pemohon tersebut tidak beralasan, karena Pasal 23 ayat (2) dimaksud meskipun memang mengatur unbundling, namun ketentuan unbundling tersebut tidak merugikan BUMN (Pertamina) karena haknya telah dijamin berdasarkan Pasal 61 huruf b sebagaimana telah diuraikan pada pertimbangan nomor 3 di atas. Pasal 61 huruf b tersebut berbunyi, “Pada saat terbentuknya Persero sebagai pengganti Pertamina, badan usaha milik negara tersebut wajib mengadakan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana untuk melanjutkan Eksplorasi dan Eksploitasi pada bekas Wilayah Kuasa Pertambangan Pertamina dan dianggap telah mendapatkan Izin Usaha yang diperlukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 untuk usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga”. Dengan demikian, kekhawatiran Para Pemohon terhadap berlakunya Pasal 23 ayat (2) dimaksud tidak beralasan;

9) Para Pemohon, meskipun tidak secara jelas mendalilkan dalam permohonannya akan tetapi di depan persidangan tanggal 16 Februari 2004 telah mempermasalahkan Pasal 22 ayat (1) undang-undang a quo yang berbunyi “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri” sebagai bertentangan dengan UUD 1945. Dari bunyi pasal tersebut bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi migas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dapat mengakibatkan pihak Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tidak melaksanakan tanggung jawabnya untuk turut memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri sebagaimana diamanatkan Pasal 1 angka 19 dalam rangka penjabaran Pasal 33 ayat (3) yaitu prinsip sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri. Mahkamah menilai bahwa prinsip sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam cabang produksi migas mengandung pengertian bukan hanya harga murah maupun mutu yang baik, tetapi juga adanya jaminan ketersediaan BBM dan pasokan bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) undang-undang a quo yang mencantumkan kata-kata “paling banyak” maka hanya ada pagu atas (patokan persentase tertinggi) tanpa memberikan batasan pagu terendah, hal ini dapat saja digunakan oleh pelaku usaha sebagai alasan yuridis untuk hanya menyerahkan bagiannya dengan persentase serendah-rendahnya (misalnya hingga 0,1%). Oleh karena itu, Mahkamah menganggap kata-kata “paling banyak” dalam anak kalimat “.... wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) ...” harus dihapuskan karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Selanjutnya, pengaturan mengenai pelaksanaan penyerahan 25% bagiannya yang dimaksud, dituangkan dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (2) undang-undang a quo;

n. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan dan saran-saran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertimbangan untuk amar putusan ini, yang ditujukan baik kepada

41

pembentuk undang-undang maupun pelaksana undang-undang, maka permohonan Para Pemohon tentang pengujian formil harus dinyatakan ditolak sedangkan permohonan pengujian materiil harus dikabulkan untuk sebagian sebagaimana akan disebut dalam amar putusan di bawah, sementara bagian-bagian lainnya harus dinyatakan ditolak karena tidak cukup beralasan, dan bagian-bagian selebihnya dari permohonan a quo yang tidak berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas tidak dipertimbangkan lebih lanjut;

12. Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

Tentang Minyak dan Gas Bumi dilandasi oleh pertimbangan, tinjauan aspek filosofis, sosilogis, dan yuridis yaitu : a. Geopolitik Minyak Dan Gas Bumi

Sejak minyak menjadi suatu kebutuhan yang sangat vital bagi penduduk dunia untuk menggerakkan sektor industri, transportasi dan pertahanan, minyak menjadi faktor yang dapat ‘diperlakukan‘ sebagai strategi (senjata) dalam politik. Minyak sebagai faktor politik mulai terasa sejak pecahnya Perang Dunia I (Juli 1914 sampai November 1918), ketika bangsa-bangsa yang sedang berperang mengandalkan energi minyak untuk menggerakkan industri, militer, teknologi, komunikasi, dan transportasi mereka.

Peran minyak sebagai senjata politik tampak nyata menyusul pecahnya Perang Arab-Israel 1973. dalam konflik itu, pemihakan Amerika Serikat terhadap Israel membuat minyak untuk pertama kali menjadi senjata politik negara-negara Arab. Bangsa Arab yang dipimpin negara Arab Saudi bersatu padu menjatuhkan sanksi embargo minyak kepada pihak-pihak yang memihak Israel dalam perang Yon Kippur.

Keputusan embargo minyak negara-negara Arab tersebut mengakibatkan harga minyak dunia melambung tingi dari US$ 2,5 per barel menjadi US$ 12 per barel. Saat ini terdapat kecenderungan negara-negara industri maju bahkan termasuk China mulai masuk ke dalam industri migas di berbagai negara penghasil minyak dunia, termasuk Indonesia. Minyak bumi menjadi salah satu senjata penting dalam diplomasi politik dunia. China, kandidat raksasa ekonomi dunia yang membutuhkan jaminan suplai minyak dalam jumlah besar kini terlibat persaingan dalam mendapatkan akses minyak.China bersaing dengan Jepang dalam proyek pipanisasi gas alam dari Siberia—daerah cadangan minyak bumi terbesar di Rusia. Yukos, perusahaan minyak bumi terbesar Rusia akan memasok 718 miliar ton minyak ke Chinese National Petroleum Company (CNPC) selama 25 tahun sejak 2005.

Lima negara produsen minyak terbesar di Teluk Persia, yaitu Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait dan Uni Emirat Arab (UEA) adalah negar dengan sistem politik dan ekonomi tidak selalu kompatibel dengan kepentingan AS. Suka tidak suka, ekonomi politik AS dipertaruhkan di negeri-negeri minyak yang penuh gejolak itu. Selagi AS bergantung pada cadangan minyak dari Teluk Persia, Laut Kaspia dan Negara-negara Afrika yang labil, sejauh itu pula AS akan terlibat dalam gejolak politik, konfik, dan terorisme. Ketergantungan demikian menempatkan AS pada posisi rentan terhadap konflik geopolitik minyak internasional.

Kini dan di masa datang, minyak akan menjadi sebuah ‘produk‘ yang diperebutkan, baik secara politik bahkan militer oleh berbagai negara di dunia, khususnya negara-negara konsumen dalam jumlah besar dan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumber alam minyak dan gas bumi (AS, Jepang, Uni Eropa, China dan India). Karena diketahui dan disadari bahwa minyak dan gas bumi, merupakan salah satu sumber energi yang tidak dapat diperbarui dan berkurang dalam kuantitas (unrenewable and depletion of energy).

Maka dalam kaitan dengan geopolitik minyak tersebut di atas, ada suatu pepatah yang menyebutkan: “If you want to rule the world you need to control the oil. All the oil.Anywhere." Artinya apabila suatu Negara ingin menguasai dunia, maka terlebih dahulu Negara tersebut harus dapat menguasai sumber-sumber energi minyak dan gas bumi di manapun.

b. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada, Serta Permasalahan Yang Dihadapi Masyarakat

42

Di Indonesia, energi migas masih menjadi andalan utama perekonomian Indonesia baik sebagai penghasil devisa maupun pemasok kebutuhan energi dalam negeri, sehingga pengelolaan migas untuk pendapataan negara dan kesejahteraan masyarakat merupakan hal pokok dan menjadi dasar perumusan kebijakan pengelolaan migas. Politik pengelolaan migas juga harus dapat mendorong kemajuan dan perkembangan industri migas dan industri lainnya. Sebab Indonesia masih memiliki potensi migas yang relatif cukup besar.

Kebijakan pengelolan migas juga harus mampu mendorong peningkatan investasi dan produksi migas setiap tahun. Regulasi yang ada cenderung menjadi salah satu hambatan karena pengaturan industri migas tidak komprehensif, cenderung sangat general, dan belum memberikan kepastian hukum yang jelas sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda dan salah. Seharusnya dan sudah saatnya pemeirntah memberikan kejelasan dan kepastian hukum dalam setiap perumusan kebijakan/regulasi di sektor industri, termasuk industry migas baik industri hulu migas maupun industri hilir migas.

Hasil survey dari Global Petroleum 2010, Fraser Institute Canada menyatakan bahwa Iklim Investasi Migas di Indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia, lebih buruk dari PNG, Thailand, Vietnam, Kamboja, Philipina, Brunei, Malaysia, China, India, Pakistan, Argentina, Brazil, dan sebagainya. Hal ini terjadi salah satunya karena UU Migas yang ada saat ini tidak menarik bagi pihak investor.

Permasalahan lain terkait migas adalah adanya inefisiensi cost recovery yang terjadi karena selama ini belum pernah ada audit tentang harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan biaya pokok produksi minyak mentah, baik terhadap perusahaan minyak nasional Indonesia (Pertamina) maupun korporasi asing seperti Exxon Mobile, Chevron, Shell, British Petroleum, dan lain-lain. Hingga kini yang diketahui hanyalah harga pembanding BBM domestik dengan harga minyak dunia, khususnya Singapura. Disamping itu, Ketertutupan dalam penentuan dan perincian cost recovery selama ini ditengarai memberi peluang terjadinya praktik kolusi dan korupsi sebagaimana terafirmasi dalam temuan pemeriksaan BPK pada tahun 2013 dimana ditemukan biaya penyimpangan pembayaran cost recovery sebesar USD 221,5 juta atau Rp. 2,25 triliun pada periode 2010-2012.

Penerapan transparansi merupakan kunci untuk meningkatkan akuntabilitas perhitungan cost recovery yang dibayarkan kepada kontraktor KKS. Sejumlah daerah seperti Aceh dan Palembang, merupakan daerah yang memiliki sumber daya energi cukup berlimpah, sehingga diperlukan perhatian lebih dalam hal pengelolaan migas untuk daerah-daerah tersebut, sedangkan Cilacap merupakan daerah terbesar untuk sector penyimpanan, pengolahan minyak bumi dan distribusi bahan bakar minyak. Pemerintah Daerah beserta elemen-elemen lainya harus berupaya meningkatkan produksi energi dan bahan baku untuk memproduksi energi final, karena itulah investasi baik oleh pemerintah maupun pelaku usaha sangat diperlukan untuk mengembangkan sumber daya energi baik dalam lingkup hulu maupun hilir.

c. Konsepsi yng menjadi pertimbangan dalam pengaturan minyak dan gas bumi antara lain adalah: 1) Penguasaan Atas Sumber Daya Alam (Property Right)

Penguasaan atas sumber daya alam (Property right) sering diterjemahkan penguasaan atau hak menguasai sumber daya alam. Hak menguasai sumber daya alam tersebut oleh para ekonom sumber daya alam (resources economist) disadari sebagai the right of bundle, karena sebenarnya dalam satu kata penguasaan itu mengandung empat pengertian. Berikut ini adalah pengertian penguasaan tersebut yang disusun secara berjenjang mulai dari tingkatan yang terendah sampai dengan yang paling tinggi: a) Hak untuk menggunakan (Use Right).

Hak atau penguasaan untuk menggunakan sumber daya alam. Hak untuk menggunakan berarti sebatas kepada hak untuk memanfaatkan lahan tersebut sesuai dengan peruntukan yang telah disepakati bersama.

b) Hak untuk mengelola (Management Right);

43

Lebih tinggi derajatnya dari sekedar memiliki hak untuk menggunakan adalah hak untuk mengelola. Tidak sekedar dapat menggunaakan, pemegang kuasa juga memiliki hak untuk melakukan pengelolaan. Pengelolaan yang dimaksud adalah hak untuk melakukan mengorganisasikan dan hak untuk memutuskan hak tersebut akan diwujudkan untuk kegiatan apa. Misalnya saja, hak atas lahan, maka tidak sekedar menggunakan lahan namun memiliki hak untuk memutuskan lahan tersebut dipergunakan untuk apa.

c) Hak untu mengalihkan (Transfer Right) Lebih tinggi lagi dari sekedar mengelola, hak yang dimiliki dapat dipindahtangankan. Pengalihan hak tersebut dapat dilakukan untuk sebagaian atau seluruh hak tergantung kepada perjanjian dengan pemberi hak kuasa.

d) Hak untuk memiliki (Ownership) Hak tertinggi dari penguasaan sumber daya alam adalah hak untuk memiliki. Jika sumber daya alam tersebut dimiliki, maka pemilik dapat menggunakan, mengelola dan juga sudah pasti memindahtangankan hak tersebut.

Jadi jelas bahwa penguasaan sumber daya alam memiliki beberapa pengertian. Oleh sebab itu ketika membahas, atau mendiskusikan pengertian penguasaan atas sumber daya alam migas hendaknya semua pihak memilki pemahaman dan kesepakatan definisi nama yang digunakan.

2) Penguasaan Negara Atas Minyak dan Gas Bumi Dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa: (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Migas termasuk cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan merupakan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air Indonesia yang harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi telah memberi makna mengenai penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD 1945, yaitu bahwa penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum public yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.

Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah hokum negara pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Berdasarkan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tersebut pengertian ‖dikuasai oleh negara‖ haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas sumber kekayaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk pula didalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan

44

pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menurut Mahkamah Konstitusi, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah Negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, dalam hal ini migas, sehingga Negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Penguasaan Negara pada peringkat kedua adalah Negara membuat kebijakan dan pengurusan, dan fungsi Negara dalam peringkat ketiga adalah fungsi pengaturan dan pengawasan. Sepanjang Negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi, dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam maka Negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan Negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat.

Fungsi pengurusan oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan, lisensi, dan konsesi. Fungsi pengaturan oleh Negara dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan pemerintah, dan regulasi oleh eksekutif. Fungsi pengelolaan dilakukan oleh mekanisme pemilikan saham dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen badan usaha milik negara atau badan hukum milik negara sebagai instrumen kelembagaan melalui makna negara c.q. pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumbersumber kekayaan itu untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengawasan oleh negara dilakukan oleh negara c.q. pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Dari 5 konsep frasa dikuasai negara seperti yang terbangun dalam putusan MK, yaitu kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan hanya konsep pengaturan yang secara tegas menyebutkan keterlibatan institusi perwakilan rakyat seperti DPR. Hal ini bisa jadi semata karena DPR hanya dipandang sebagai pranata legislasi belaka, padahal di sampingnya juga melekat pranata anggaran dan pranata pengawasan.

Konsepsi konstitusional yang berlaku saat ini tentang dikuasai negara seperti yang ditafsirkan MK dalam putusannya, ada 2 konsep. Frasa dikuasai negara yang tidak serta-merta hal tersebut menjadi otoritas otonom pemerintah atau setidak-tidaknya dibenarkan secara konstitusional. Kedua konsepsi tersebut adalah pertama fungsi pengelolaan dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen badan usaha milik negara atau badan hukum milik negara sebagai instrument kelembagaan melalui mana negara pemerintah harus melakukan relasi kelembagaan dengan institusi perwakilan rakyat baik DPR, DPD, dan/atau DPRD provinsi kabupaten/kota dalam mendayagunakan kepenguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Konsep kedua adalah fungsi pengawasan oleh negara dilakukan oleh negara c.q. pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

3) Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)

Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan berkepentingan untuk melaksanakan amanah UUD 1945 Pasal 33. Sebab pengelolaan sumber daya alam migas yang baik akan memberikan dua manfaat sekaligus yaitu, pertama menambah penerimaan negara dan yang kedua, memberikan dampak berganda terhadap perekonomian. Bisnis hulu migas dapat dilakukan oleh Pemerintah dengan memenuhi

45

persyaratan sebagai berikut: (a) Penguasaan sumber daya alam migas tetap berada di pemerintah; (b) Pemerintah tidak menanggung risiko atas tidak ditemukannya cadangan migas; (c) Pemerintah tidak menghadapi kesulitan dana, dana selalu tersedia kapan saja dan dalam jumlah yang tiddak terbatas karena operasi perminyakan menghadapi banyak ketidakpastian.

Kontrak bagi hasil merupakan terjemahan dari istilah Production Sharing Contract (PSC). Istilah ini ditemukan di dalam Pasal 12 ayat (2) UU No.8 Tahun 1971 tentang Pertamina jo UU No. 10 Tahun 1974 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina. Pertamina sendiri menjadi pemegang hak kuasa pertambangan atas seluruh wilayah hukum pertambangan di Indonesia, sepanjang mengenai pertambangan migas. Dalam pelaksanaannya, Pertamina yang kurang modal dan teknologi dimungkinkan untuk bekerjasama dengan pihak lain dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan migas dalam bentuk kontrak bagi hasil.

Pengertian kontrak bagi hasil berdasarkan Pasal 1 angka 1 PP No. 35 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Migas, adalah kerjasama antara Pertamina dan Kontraktor untuk melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi.

Sementara Pasal 1 angka 19 UU Migas, kontrak kerja sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Salah satu bagian penting dari kegiatan usaha migas adalah penetapan model dan kontrak kerja pengusahaan migas. Hal ini dikarenakan, industri migas bersifat padat modal dan beresiko tinggi. Pengertian kontrak bagi hasil adalah bentuk kerjasama dengan pihak asing di bidang migas yang harus menjabarkan prinsip-prinsip pengusahaan minyak dan gas bumi sesuai dengan penggarisan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Perjanjian kontrak bagi hasil sebagai kerjasama dengan sistem bagi hasil antara perusahaan Negara dengan perusahaan asing yang sifatnya kontrak. Apabila kontraknya habis, maka mesin-mesin akan dibawa oleh pihak asing akan tetap berada di Indonesia. Kerjasama dalam bentuk ini merupakan suatu kredit luar negri di mana pembayarannya dilakukan dengan cara bagi hasil terhadap produksi yang telah dihasilkan oleh perusahaan tersebut.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa prinsip bagi hasil merupakan prinsip-prinsip yang mengatur pembagian hasil yang diperoleh dari kegiatan eksploitasi dan eksplorasi migas antara badan pelaksana dengan badan usaha tetap. Pembagian hasil ini kemudian dirundingkan antara kedua belah pihak dan dituangkan di dalam PSC.

4) Kegiatan Sektor Hulu Migas

Dalam Pasal 1 angka 7 diberikan batasan pengertian bahwa kegiatan usaha hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan.

Sedangkan eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.

Kegiatan hulu migas (eksplorasi dan eksploitasi) merupakan kegiatan investasi berdimensi jangka panjang (10 sampai dengan 30 tahun), mengandung risiko finansial, teknikal, operasional yang besar, menuntut profesionalisme dan sumber daya manusia yang handal, serta modal yang besar. Mitra Investor migas adalah lintas yurisdiksi negara.

46

Industri hulu secara alami akan menyaring para pelaku bisnis yang dapat menggelutinya. Untuk itu mutlak diperlukan kehadiran Negara melalui kebijakannya untuk mengatur sehingga ada keseimbangan antara tujuan komersial, sustainabilitas penyediaan cadangan pengganti, kontribusi makro ke perekonomian nasional, dan penguatan kapasitas nasional untuk berpartisipasi.

Terdapat empat faktor yang membuat industri hulu migas berbeda dengan industri lainnya, antara lain: pertama, lamanya waktu antara saat terjadinya pengeluaran (expenditure) dengan pendapatan (revenue); kedua, keputusan yang dibuat berdasarkan risiko dan ketidakpastian tinggi serta melibatkan teknologi canggih; ketiga, sektor ini memerlukan investasi biaya kapital yang relatif besar; keempat, dibalik semua risiko tersebut, industri migas juga menjanjikan keuntungan yang sangat besar. Risiko tinggi, penggunaan teknologi canggih, dan sumber daya manusia terlatih serta besarnya kapital yang diperlukan, membuat negara, khususnya negara berkembang, merasa perlu mengundang investor asing untuk melakukan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi tersebut.

Minyak dan gas bumi adalah barang publik yang di Indonesia termasuk dalam kategori sumber daya alam milik masyarakat (common property resources). Untuk mengusahakannya, suatu badan usaha perlu mendapatkan hak pengusahaan dari pemerintah. Badan usaha tersebut terlebih dahulu harus mendaftarkan diri pada institusi yang diberi wewenang untuk itu (Ditjen Migas), lalu mengikuti lelang guna mendapatkan hak kontrak wilayah kerja. Badan usaha/kontraktor diwajibkan membayar untuk mendapatkan formulir dan informasi yang tersedia. Kemudian, kontraktor tersebut mengajukan proposal tentang kegiatan yang akan dilakukan pada wilayah tersebut serta berapa banyak modal yang akan ditanamkan. Kontraktor juga diminta memperkirakan produksi, pendapatan, dan keuntungan yang akan diperoleh, untuk kemudian mempersentasikan proposalnya kepada institusi terkait. Pemenang lelang ditentukan berdasarkan proposal yang diajukan, besarnya investasi yang akan ditanam, serta bonafiditas perusahaan tersebut (menyangkut nama baik dan pengalaman dalam bidang terkait). Bila berhasil memenangkan lelang, kontraktor harus membayar signature bonus untuk mendapatkan hak mengeksplorasi dan memproduksikan migas di wilayah kerjanya.

Pencarian migas dimulai dengan survey geologi (pemetaan) dan geofisika, survey seismic dan gravitasi untuk mencari cebakan. Untuk memastikan apakah cebakan tersebut berisi migas atau tidak, perlu dilakukan pemboran “wild-cat”. Bila eksplorasi berhasil maka dapat diketahui adanya hidrokarbon (minyak dan/atau gas bumi), sifat batuan (porositas dan permeabilitas), serta kandungan (saturasi) migas. Porositas dapat diketahui dengan cara loging sonic (suara) maupun loging radioaktif (neutron, density). Loging sonic bekerja berdasarkan prinsip bahwa suara bergerak lebih cepat pada benda yang lebih padat. Sedangkan saturasi migas diketahui dari hasil loging listrik karena minyak bersifat isolator sedangkan air asin adalah konduktor. Dengan data-data tersebut dapat diperkirakan cadangan migas secara kasar. Bila migas berhasil ditemukan, maka dilakukanlah produksi migas.

Untuk memproduksikan migas dari tebakan prospek, dilakukan pengembangan di lapangan dengan membor banyak sumur produksi. Dalam waktu tertentu (misal kontrak 25 tahun), suatu sumur produksi hanya dapat menguras migas sebesar volume tertentu yang sering disebut cadangan per sumur. Akibatnya untuk memproduksi cadangan terbukti mengandung migas selama waktu kontrak diperlukan sejumlah tertentu sumur produksi. Tidak semua sumur pengembangan mengandung migas. Cadangan per sumur adalah fungsi dari produksi awal, produksi pada economic limit (dimana biaya produksi sama dengan pendapatan), dan waktu produksi. Dari sumur produksi yang dibor dapat diperkirakan biaya sumur dan biaya bukan sumur (peralatan-peralatan produksi,

47

infrastruktur pendukung, transportasi migas, dan biaya pengelolaan) untuk pengembangan lapangan tersebut.

Proses produksi dibagi atas primary recovery, secondary recovery, dan tertiary recovery. Proses produksi Primary Recovery adalah cara memproduksikan sumur secara alamiah dengan tekanan reservoir yang ada menggunakan pompa (baik pompa angguk maupun pompa submersible) atau dengan gas lift (tujuannya, supaya kolom fluidanya lebih ringan sehingga minyak bisa mengalir). Secondary recovery dilakukan dengan pendorongan air (water flood) atau pendorongan gas (gas flood). Tertiary recovery dilakukan dengan cara menginjeksikan air yang sudah ditambhkan zat kimia (polimer, surfaktan), menginjeksikan gas yang miscible (larut) dalam minyak, menginjeksikan uap air (untuk menurunkan viskositas), in situ combustion (membakar sebagian minyak), atau menginjeksikan mikroba. Secondary dan tertiary recovery biasa disebut Enhanced Oil Recovery (EOR).

Sumur memerlukan perawatan maupun perangsangan (stimulasi) untuk menjaga produksinya. Pekerjaan ini dikenal sebagai work over (kerja ulang), bertujuan untuk memindahkan produksi ke lapisan lain, membersihkan sumur dari endapan (scaling), melakukan acidizing (pengasaman), dan melakukan fracturing (perekahan) supaya fluida lebih mudah mengalir.

5) Kegiatan Sektor Hilir Migas

Kegiatan hilir migas merupakan lanjutan dari kegiatan pengolahan migas. Minyak mentah yang sudah diolah di kilang minyak kemudian diperdagangkan atau didistribusikan di pasar untuk siap untuk dipergunakan atau dikomsumsi. Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2001, kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi terdiri dari kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga (perdagangan). Semua kegiatan usaha hilir tersebut didasarkan pada sistem ijin usaha (sistem perijinan). Dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 di atas, terdapat beberapa ijin usaha hilir minyak dan gas bumi, yakni: a) ijin usaha pengolahan; b) ijin usaha pengangkutan; c) ijin usaha penyimpanan; d) ijin usaha niaga (perdagangan) terdiri dari ijin usaha umum (wholesale) dan ijin usaha

niaga terbatas (trading retail).

Kegiatan usaha pengolahan (refining) adalah meliputi kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu dan mempertinggi nilai tambah Minyak dan Gas Bumi yang menghasilkan bahan Bakar Minyak, dan Bahan bakar Gas, hasil olahan lainnya, LPG dan/atau LNG tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan.

Kegiatan usaha pengangkutan (transportating) adalah meliputi kegiatan pemindahan Minyak Bumi, Gas Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, dan /atau Hasil olahan baik melalui darat, air, dan/atau udara termasuk pengangkutan gas bumi melalui pipa dari suatu tempat ke tempat lain untuk tujuan komersial.

Kegiatan usaha penyimpanan (storing) adalah meliputi kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan dan pengeluaran minyak bumi, Bahan Bakar Minyak (BBM), Bahan Bakar Gas (BBG), dan/atau hasil olahan pada lokasi di atas dan/atau di bawah permukaan tanah dan/atau permukaan air untuk tujuan komersial.

Kegitan usaha niaga adalah meliputi kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor minyak bumi, Bahan Bakar Minyak (BBM) Bahan Bakar Gas (BBG) dan/atau hasil olahan,termasuk gas bumi melalui pipa.

Kegiatan Usaha Niaga Umum adalah kegiatan usaha penjualan, pembelian, ekspor, dan impor Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar lain dan/atau Hasil olahan dalam skala besar yang menguasai atau mempunyai fasilitas dan sarana penyimpanan dan berhak menyalurkannya kepada semua pengguna akhir dengan menggunakan merek dagang tertentu.

48

Kegiatan Usaha Niaga Terbatas adalah kegitan usaha penjualan, pembelian, ekspor dan impor, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar lain dan/atau Hasil olahan dalam skala besar yang tidak dapat menyalurkannya kepada pengguna yang mempunyai/menguasai fasilitas dan sarana pelabuhan dan/atau terminal penerima (receiving terminal).

Dalam hal perijinan di sektor hilir migas, Kementerian ESDM telah menerbitkan ijin usaha bagi 189 (seratus delapan puluh sembilan) badan usaha pada kegaitan usaha hilir Migas sejak tahun 2008. Dari angka itu sebanyak 101 (seratus satu) badan usaha memperoleh ijin usaha tetap dan 88 (delapan puluh delapan) badan usaha lainnya memperoleh ijin sementara. ‖ijin usaha yang diberikan meliputi kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, serta niaga,‖

Dari 101 (seratus satu) ijin usaha tetap yang diterbitkan Kementerian ESDM pada 2008 masing-masing diberikan bagi 6 (enam) badan usaha pada kegiatan usaha pengolahan. Hal ini terdiri dari 1 (satu) ijin pengolahan migas, 1 (satu) ijin pengolahan minyak bumi, 1 (satu) ijin pengolahan hasil olahan, dan 3 (tiga) ijin pengolahan gas bumi.

Sementara itu sebanyak 46 (empat puluh enam) ijin tetap diberikan bagi usaha pengangkutan. Dari jumlah itu terbagi atas 41 (empat puluh satu) ijin pengangkutan BBM, 3 (tiga) ijin pengangkutan LPG, 1 (satu) pengangkutan CNG, dan 1 (satu) ijin pengangkutan gas bumi melalui pipa. Pada sisi lain sebanyak 11 (sebelas) ijin tetap kegitan usaha penyimpanan terdiri dari 9 (sembilan) ijin penyimpanan BBM, dan 2 (dua) ijin penyimpanan LPG.

Menyoal kegitan usaha niaga diberikan 38 (tiga puluh delapan) ijin tetap. Hal ini terdiri dari 2 (dua) ijin niaga gas bumi dengan fasilitas jaringan berdistribusi, 3 (tiga) ijin niaga gas bumi tanpa fasilitas jaringan distribusi satu ijin niaga LPG, 1 (satu) ijin niaga terbatas minyak bumi, 1 (satu) ijin niaga terbatas hasil olahan minyak bumi, 8 (delapan) ijin niaga umum BBM, 14 (empat belas) ijin niaga terbatas BBM, 4 (empat) ijin niaga CNG/BBG, 1 (satu) ijin niaga umum hasil olahan gas bumi, dan 3 (tiga) ijin niaga terbatas hasil olahan gas bumi.

Sementara ijin itu usaha sementara diterbitkan sebanyak 10 (sepuluh) ijin usaha kegiatan usaha pengolahan. 6 (enam) ijin pengolahan minyak bumi, 2 (dua) ijin pengolahan hasil olahan, dan 2 (dua) ijin pengolahan gas bumi. Sebanyak 25 (dua puluh lima) kegiatan usaha pengangkutan juga memperoleh ijin usaha sementara. Ijin ini terdiri dari 13 (tiga belas) usaha pengangkutan BBM, 2 (dua) usaha pengangkutan LPG, 2 (dua) usaha pengangkutan CNG, dan 8 (delapan) usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa.

Kemudian ijin usaha sementara diperoleh 16 (enam belas) kegiatan usaha penyimpanan yang terdiri dari 12 (dua belas) ijin penyimpanan BBM, 2 (dua) ijin penyimpanan LPG, 2 (dua) ijin penyimpanan LNG, dan 37 (tiga puluh tujuh) kegiatan usaha. Kegiatan ini terdiri dari 13 (tiga belas) niaga gas bumi dengan fasilitas jaringan distribusi, empat niaga LPG, 11 (sebelas) niaga umum BBM, 9 (sembilan) niaga CNG/BBG.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa kegiatan hulu migas menganut sistem kontrak dan kegiatan hilir migas menganut system perijinan. Sistem kontrak mengandung prinsip bahwa kedua pihak mempunyai hak dan kewajiban sama, sedangkan dalam system perijinan, pemberian ijin memiliki kekuasaan penuh dan dapat mencabut ijin apabila tidak melakukan persyaratan yang di keluarkan oleh pemberi ijin yakni Pemerintah.

6) Tata Kelola Industri Migas di Beberapa Negara

Industri migas suatu negara berbeda satu sama lain dalam hal bagaimana pengaturan peran dan tanggung jawab tiga fungsi, yaitu: kebijakan (policy), regulasi, dan fungsi komersial (bisnis). Beberapa negara memisahkan secara tegas fungsi tersebut, seperti: Norwegia dan Brazil. Di Norwegia fungsi kebijakan ditangani oleh Kementerian Perminyakan dan Energi, fungsi regulasi dibawahi oleh Direktorat Perminyakan dan

49

fungsi komersial dilakukan oleh perusahaan minyak nasional (NOC) bersama dengan IOC. Begitu pula di Brazil, ketiga fungsi tersebut dipisahkan secara tegas.

Di beberapa negara, tidak terjadi pemisahan secara tegas ketiga fungsi tersebut, namun salah satu merangkap fungsi yang lain, seperti di Saudi Arabia dan Malaysia, NOC (Saudi Aramco dan Petronas) berperan sangat dominan, sehingga disamping berperan sebagai fungsi komersial, NOC juga memerankan fungsi regulasi. sebaliknya di Venezuela, Kementerian Perminyakan berperan lebih dominan. Sebelum era Chavez, NOC di Venezuela (PDVSA) termasuk kategori NOC yang dominan. Ketika Chavez menjadi Presiden pada tahun 1998, peran NOC yang sudah terlalu kuat dan ikut berpolitik menentang naiknya Chavez. Sejak tahun 1999, dominasi PDVSA mulai dikurangi, fungsi regulasi kemudian dikembalikan ke Kementerian Perminyakan. Sementara, di Iran dominasi antara NOC (National Iranian Oil Company/NIOC) dan Kementerian relatif berimbang.

Di negara berkembang peran komersial umumnya dilakukan oleh NOC, baik sendiri maupun bersama dengan IOC. Sementara di Negara OECD, seperti : USA, UK, Australia dan Kanada, negara tidak terjun langsung ke dalam bisnis migas melalui NOC (tidak ada NOC di Negara-negara tersebut), sehingga fungsi komersial murni dilakukan oleh pihak-pihak swasta. Di Negara Bolivia, melalui UU migas yang baru (UU hidrokarbon, 2005), menetapkan bahwa royalti naik menjadi 18% dan Direct Tax On Hydrocarbon (DTH) sebesar 32%, dengan demikian totalnya menjadi 50% dari total produksi. Khusus untuk lapangan yang besar, ditambah dengan partisipasi pemerintah sebesar 32% sehingga totalnya menjadi 82%. Membandingkan dengan kondisi PSC di Indonesia dimana bagi hasilnya sebesar 85%:15% (minyak) dan 70%:30% (gas), tentu tidak langsung apple to apple karena 85% dan 70% bagian pemerintah Indonesia tersebut adalah keuntungan neto. Apabila dihitung dari pendapatan bruto, tentu presentasinya tidak sebesar itu, masih jauh di bawah Bolivia yang sebesar 82%. Pembagian model Bolivia ini memang luar biasa tinggi bagi negara, namun tetap dilaksanakan karena sudah diketahui persisstruktur biayanya sehingga hanya mengeluarkan biaya untuk produksi dan tidak perlu melakukan investasi kapital. Misalkan biaya produksi sebesar 10% dari pendapatan bruto, maka perusahaan masih memperoleh keuntungan sebesar 8% dari pendapatan bruto. Model 82% di Bolivia ini berlaku untuk lapangan besar yang sedang berproduksi, dengan demikian sudah tidak ada resiko eksplorasi. Apabila ditawarkan konsep ini untuk blok yang baru yang belum pernah di eksplorasi, tentu tidak ada investor yang berminat. Kegiatan eksplorasi penuh resiko, apabila kelak ditemukan cadangan komersial sementara akses terhadap pendapatan bruto dibatasi hanya maksimum 18%. Investor tentu akan berpikir ulang, kapan biaya investasi mereka akan kembali.

Sementara model PSC Indonesia dengan pembagian 85% : 15% (minyak) dan 70% : 30% (gas) adalah untuk aktivitas yang full cycle, mulai dari eksplorasi sampai produksi. Dibandingkan dengan Negara lain, bagi hasil termasuk pajak tersebut sudah sangat baik. Sebenarnya yang terjadi di Bolivia dan beberapa negara Amerika Latin lainnya tidak terlepas dari adanya kontrak yang tidak berimbang (unfair contract) yang dibuat pada masa lalu. Di negara Brazil, terkait pengaturan kerjasama dengan investor dalam rangka aktivitas eksplorasi dan eksploitasi, melalui UU migas tahun 1997, hanya menyebut sistem konsensi. UU tersebut sama sekali tidak menyebut kemungkinan penggunaan sistem lain selain konsensi. Oleh karena itu, sistem PSC belum pernah ada di sana, sehingga pihak berwenang di Brazil mulai memeriksa sistem kontrak yang dipakai oleh negara lain yang memunculkan perdebatan mengenai dua pilihan yaitu tetap menggunakan sistem konsensi dengan modifikasi atau pindah ke sistem PSC. Perdebatan menimbulkan pro dan kontrac di kalangan akademisi, yang tetap menginginkan system konsensi mempunyai argumen bahwa sistem ini telah berhasil selama puluhan tahun, apabila pemerintah merasa perlu memperoleh porsi yang lebih

50

besar, hal itu dapat dilakukan dengan melakukan sedikit modifikasi tanpa harus pindah ke sistem PSC. Sementara pendukung sistem PSC beranggapan bahwa sistem konsensi hanya cocok untuk wilayah kerja yang mempunyai resiko geologi besar, sementara sub-salt basin, karena sudah banyak temuan, resikonya relatif mengecil.

Disamping itu walaupun kedua sistem dapat memberikan bagian penerimaan yang sama besar bagi pemerintah, namun pengaturan pembagiannya akan lebih mudah dengan kerangka PSC, karena ada elemen bagi hasil dari keuntungan (profit oil share). Bulan Juli 2009, pihak berwenang mengumumkan bahwa pemerintah akan pindah ke sistem PSC dengan membentuk perusahaan nasional baru yang secara khusus dibentuk untuk pengembangan subsalt basin. Tidak dijelaskan alasan diperlukan pembentukan perusahaan nasional baru ini, namun hal ini diperkirakan karena status Petrobras. Walaupun dikenal sebagai perusahaan nasional, Petrobras bukanlah 100% milik negara. Porsi pemerintah hanya 48%, sisanya dimiliki oleh investor asing dan swasta nasional. Pembentukan perusahaan baru yang 100% milik Negara dimaksudkan untuk memaksimalkan total bagian pemerintah dari kegiatan hulu di subsalt basin.

Terlihat jelas bahwa yang terjadi di Brazil, bertolak belakang dengan situasi di Indonesia. Pertama, kegiatan eksplorasi migas di Brazil sukses besar, namun situasi sebaliknya terjadi di tanah air. Kedua, Brazil mempertimbangkan PSC, sementara di Indonesia pemerintah sibuk mencari sistem lain selain PSC karena alasan cost recovery. Langkah Brazil sejauh ini sudah tepat, karena tahap pertama bagi mereka adalah bagaimana mengundang investor untuk eksplorasi migas dengan ketentuan dan persyaratan yang menarik. Sebaliknya, di Indonesia terlalu sibuk mencari kontrak yang menguntungkan negara, sementara pada saat yang sama kinerja eksplorasi kurang menggembirakan.

Sementara di Norwegia hanya mengenal sistem konsensi, dari awal untuk memperoleh porsi pemerintah dari industri migas, Norwegia memang hanya mengandalkan sistem perpajakan mereka yang secara administrasi sudah canggih, sehingga penggunaan PSC dianggap tidak diperlukan. walaupun menggunakan konsensi dan bagian pemerintah hanya diperoleh dari pajak, namun total bagian penerimaan pemerintah termasuk besar. Pajak penghasilan sebesar 28%, ditambah pajak lain yaitu pajak khusus perminyakan (Special petroleum tax) sebesar 50% dari laba netto, dengan demikian marginal tax rate 78%. Di tingkat mancanegara, bagian penerimaan pemerintah sebesar ini termasuk kategori tinggi, apalagi dibandingkan dengan blok atau lapangan migas di negara lain yang menggunakan sistem konsensi. Bagi investor, walaupun bagian penerimaan pemerintah cukup tinggi, namun sistem konsensi Norwegia ini dianggap menarik karena elemen penerimaan bagian pemerintah diperoleh dari pajak, tidak seperti royalti yang dikenakan terhadap pendapatan bruto. Pajak dikenakan terhadap keuntungan bersih (net income), sistem seperti ini dikenal dengan back-end loaded, yang cenderung lebih disukai investor.

Kesederhanaan kerangka fiskal untuk industri migas di Norwegia ini dapat berjalan dengan baik, tidak terlepas dari realitas bahwa sistem tata kelola negara yang sudah maju. Tiga faktor yang juga mendukung adalah tradisi lama disana, seperti keterbukaan, integritas, dan transparansi.

Landasan Filosofis

Konsep penguasaan migas oleh negara secara filosofis sejalan dengan semangat Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak serta kekayaan bumi, air, udara, dan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kedua ayat ini menegaskan "penguasaan oleh negara" dan “penggunaannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat terhadap sumber

51

daya alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Penguasaan oleh negara terhadap sumber daya alam bertujuan untuk menciptakan Ketahanan Nasional di bidang energi (National Energy Security) di Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan sasaran utama penyediaan dan pendistribusian energi di dalam negeri. Pemerintah berkewajiban menyediakan dan mendistribusikan energi ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketahanan Nasional di bidang energi menuntut kemampuan Pemerintah untuk melakukan pengelolaan energi, dengan memperhatikan prinsip berkeadilan, kemandirian, berkelanjutan, serta berwawasan lingkungan.

Walaupun negara memiliki kekuasaan mutlak untuk melakukan konsep penguasaan terhadap pengelolaan dan penguasaan minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945, tetapi secara praktikal hal tersebut tidak dapat dijalankan (nonexecutable), sehingga perlu ada pihak yang dikuasakan untuk menjalankan kewenangan tersebut, dalam arti diatur dan diselenggarakan oleh pihak-pihak yang diberi wewenang oleh negara dan bertindak untuk dan atas nama negara berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

Penguasaan Negara sebagaimana dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004, perlu diberikan makna yang lebih dalam agar lebih mencerminkan makna Pasal 33 UUD 1945. Dalam Putusan Mahkamah tersebut, penguasaan Negara dimaknai, rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada Negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menurut Mahkamah Konstitusi, bentuk penguasaan Negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah Negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, dalam hal ini migas, sehingga Negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Penguasaan Negara pada peringkat kedua adalah Negara membuat kebijakan dan pengurusan, dan fungsi Negara dalam peringkat ketiga adalah fungsi pengaturan dan pengawasan. Sepanjang Negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi, dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam maka Negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan Negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat.

Pihak yang diberi kewenangan oleh negara dan bertindak untuk dan atas nama negara dalam menjalankan pengelolaan dan pengusahaan minyak dan gas bumi, melakukan kegiatan yang holistic di bidang Migas, meliputi kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pengolahan, pemurnian, pengangkutan, pendistribusian, penyimpanan dan pemasaran, atau dengan kata lain melakukan kegiatan hulu dan hilir migas. Pemberian kewenangan ini melahirkan konsep kuasa pertambangan.

Konsep kuasa pertambangan ini diharapkan sebagai perpanjangan tangan kekuasaan negara yang diberikan kepada pihak yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan, untuk melakukan kegiatan menyeluruh terhadap migas, yang meliputi diantaranya eksplorasi, eksploitasi, pemurnian/pengilangan, pengangkutan dan penjualan migas, yang bertujuan untuk tercapainya kemakmuran rakyat.

Landasan Sosiologis.

Saat ini, peran pihak nasional dalam pengusahaan minyak dan gas bumi (migas), khususnya di bidang hulu, di Indonesia terus berkembang, dimana peran nasional saat ini telah tumbuh menjadi sekitar 29% (dua puluh sembilan per seratus). Peran ini amat

52

strategis dan penting mengingat pengusahaan migas memiliki ciri padat modal, padat teknologi dan berisiko tinggi. Pengusahaan sumber daya migas memiliki ciri padat modal, padat teknologi dan mengandung risiko investasi yang besar. Untuk itulah pengusahaan migas sejak awal telah membuka ruang bagi investor asing. Kendati demikian, seiring dengan berkembangnya kemampuan nasional, peran perusahaan nasional dalam bidang pengelolaan migas juga senantiasa memperlihatkan kemajuan.

Berdasarkan ciri pengusahaan sumber daya migas di atas dan keinginan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara, sejak tahun 1964 telah diberlakukan pola Production Sharing Contract (PSC). Pola ini menempatkan negara sebagai pemilik dan pemegang hak atas sumber daya migas. Sedang perusahaan sebagai kontraktor. Pada pola PSC, investasi ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan (sebagai kontraktor). Resiko investasi antara lain berupa hilangnya modal karena tidak menemukan migas menjadi beban kontraktor. Namun jika mendapatkan migas, investasi yang telah dikeluarkan kontraktor di-cover oleh hasil produksi atau dikenal dengan cost recovery. Selain itu hasil produksi migas juga dibagi antara Negara dengan kontraktor yang diatur dalam kontrak. Pada saat ini PSC sudah mengalami kemajuan dengan ditetapkan First Tranche Petroleum (FTP) yaitu sebelum investasi dikeluarkan untuk kontraktor dari hasil produksi, dipotong dahulu sekitar 20% untuk negara.

Selain telah memberikan peran bagi pihak nasional, sub sector migas telah membuktikan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi penerimaan/keuangan negara. Bahkan pada tahun 1980-an, peran sub sektor migas terhadap APBN pernah mencapai lebih dari 70 persen. Saat ini peran sub sektor migas terhadap penerimaan/keuangan Negara sebesar sekitar 31,62 persen. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Wood Mackenzie (2007), penerimaan bagian pemerintah (government take) untuk pengusahaan bidang hulu migas di Indonesia mencapai 79% (USD 75/barel dari existing asset) atau di atas rata-rata Negara lain yaitu sebesar 73% (USD 68/barel).

Berdasarkan data kuantitatif yang telah dihimpun oleh Kementerian ESDM pada tahun 2011, penerimaan sektor migas dari keseluruhan penerimaan negara dari sektor energi dan sumber daya mineral menunjukkan penerimaan yang cukup fluktuatif. Investasi di sektor energi dan mineral pada tahun 2010 menunjukkan peningkatan dibanding tahun sebelumnya, hal ini terjadinya kenaikan investasi sektor minyak dan gas dan ketenagalistrikan pada tahun 2010 sekitar 7,4%. Investasi sub-sektor mineral, batubara dan panas bumi meningkat dari 1.853 juta US$ pada tahun 2009 menjadi 3.500 juta US$ pada tahun 2010. Pada sub sektor listrik, investasi mengalami penurunan sebesar 6% dari 5.300 juta US$ pada tahun 2009 menjadi 4.970 juta US$ pada tahun 2010.

Namun demikian, di tengah perkembangan migas yang cukup signifikan bagi penerimaan negara, sektor migas kembali menjadi sorotan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan beberapa penyimpangan terkait dengan penerimaan negara dari sektor migas. BPK menemukan fakta bahwa tidak semua penerimaan migas dicatat dan dilaporkan dalam APBN. Dalam penerimaan negara dari sector migas, BPK menemukan bahwa penerimaan migas lebih dahulu dicatat pada rekening di luar kas negara. Dari pencatatan di luar kas Negara tersebut sebagian disetorkan ke rekening kas negara dengan target APBN. Sebagian lainnya digunakan langsung untuk pengeluaranpengeluaran ang tidak dipertanggungjawabkan dalam APBN. Hal ini dilihat dari catatan LKPP BPK 2007, dimana disebutkan total penerimaan migas yang masuk ke rekening 600 (escrow accountrekening sementara) pada 2007 mencapai Rp 126,207 triliun. Dari pemasukan tersebut, yang masuk ke APBN di antaranya, PPh migas, PPh gas alam, pendapatan minyak bumi, pendapatan gas alam, pendapatan migas lainnya, dan pendapatan bunga penagihan PPh nonmigas yang totalnya Rp 76,299 triliun. Walaupun hal ini menurut Departemen Keuangan, mekanisme penghitungan penerimaan dari sektor migas ini sudah sesuai dengan Standar Akutansi Pemerintahan (SAP).

53

Selanjutnya terkait dengan cost recovery di sektor migas, selama ini transparasi pengelolaan keuangan di migas tergolong sulit dilakukan, apalagi terkait cost recovery. Melihat data yang dipunyai Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas). Jika pada 2004, untuk memproduksi minyak sebesar 1,96 juta barel per hari pemerintah cukup mengeluarkan US$4,99 miliar, tetapi pada 2007 nilai cost recovery yang harus dikeluarkan nyaris menyentuh US$9 miliar. Padahal, produksi minyak tahun lalu turun hingga di bawah 1 juta barel per hari. Itu artinya, biaya produksi minyak di Indonesia pada 2007 cukup mahal. Yaitu, rata-rata US$14,8 per barel. Kontras dengan negara lain yang hanya US$6 per barel. Bahkan data lain, diketahui pada 2008 pemerintah menetapkan plafon USD 9,05 miliar (Rp 107 triliun) dari pengajuan cost recovery USD 10,44 miliar (Rp 124 triliun). Tahun ini, kontraktor migas mengajukan USD 12,9 miliar (153 triliun). Namun, sementara yang disetujui pemerintah USD 11,04 miliar (Rp 130 triliun).

Masih terkait dengan penyimpangan migas, Indonesian Corruption Watch (ICW) merealease informasi bahwa merujuk laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) periode 2000-2008 bahwa total penerimaan negara dari gas Rp 440,447 triliun. Padahal, berdasar jumlah lifting gas per tahun, seharusnya total penerimaan negara 2000-2008 adalah Rp 515,045 triliun. Jadi, ada selisih cukup besar antara data dan fakta di lapangan. Sedangkan laporan ICW berdasarkan laporan audit BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2005 hingga 2009 yang menyebutkan adanya penyelewengan penerimaan migas yang tidak dicatat dan dibelanjakan melalui APBN sebesar Rp120,39 triliun.

Berdasarkan data dimaksud, di tengah meningkatnya industry migas di Indonesia ternyata pemanfaatan migas sebagai komoditas strategis selama ini belum sepenuhnya menjamin tercapainya tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Masih banyak terdapat kebocoran dan penyimpangan sehingga penerimaan negara dari sector migas belum sepenuhnya terserap secara maksimal. Oleh karena itu, perlu adanya pengelolaan yang optimal mulai dari kegiatan usaha hulu hingga kegiatan usaha hilir agar dapat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Kerangka regulasi di bidang (migas) telah menciptakan sejumlah masalah yang tidak hanya menghambat optimalisasi penumpukan kekayaan nasional untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tetapi juga merapuhkan kedaulatan nasional dan ketahanan nasional di bidang energi. Selain itu, regulasi di bidang migas telah menciptakan sistem dan lembaga-lembaga baru yang menambah ruang gelap‖ dalam sistem perminyakan nasional.

Landasan Yuridis.

Sejak diproklamasikan negara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, pengaturan mengenai kegiatan pertambangan migas di Indonesia masih didasarkan atas peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda yakni Indische Mijnwet 1899. Baru pada tahun 1960, pemerintah Presiden RI Sukarno melahirkan UU Nomor Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Undang-undang ini merupakan undang-undang yang pertama yang mengatur kegiatan pertambangan migas di Indonesia sebagai pengganti dari Indische Mijnwet 1899.

Kemudian dengan pergantian pemerintahan dari Presiden Soekarno kepada Soeharto pada tahun 1967, pemerintahan Presiden RI Soeharto menciptakan UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara atau yang lazim disebut dengan UU tentang Pertamina. Kedua undang-undang tersebut di atas tetap dipergunakan sebagai peraturan hukum di bidang pertambangan migas sampai tahun 2000. Dengan bergulirnya reformasi di berbagai bidang tahun 1999 dan disertai dengan pergantian pemerintahan, pada tahun 2001 terbentuk UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi untuk menggantikan UU Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi serta UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan

54

Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi masih tetap dilaksanakan sampai saat ini sebagai landasan yuridis dalam pengaturan kegiatan di sektor minyak dan gas bumi.

Secara yuridis urgensi pembentukan Rancangan UndangUndang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, didasarkan atas Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 pada tanggal 21 Desember 2004. Putusan dimaksud telah membatalkan Pasal 12 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian pasal-pasal tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hokum yang mengikat sehingga mempengaruhi implementasi dari keseluruhan undang-undang tersebut.

Selain Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 002/PUUI/2003 pada tanggal 21 Desember 2004, pada tahun 2012 juga terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012 yang menyatakan beberapa pasal dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

13. Evaluasi dan analisis Peraturan Perundang-Undangan yang terkait dalam rumusan Rancangan

Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, antara lain adalah :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Minyak dan gas bumi merupakan kekayaan alam yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga penguasaanya berada di tangan negara dan penggunaanya harus dilakukan dengan memperhatikan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional, maka pengelolaan sumber daya alam harus diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”.

Sedangkan Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kedua ayat ini menegaskan adanya "penguasaan oleh negara" dan “penggunaannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat‖ terhadap sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak”.

b. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara Keterkaitan pembentukan UU Migas dengan UU BUMN nampak pada pembentukan BUMN Minyak dan Gas Bumi (Migas) di Indonesia.

Dalam Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi, pengaturan mengenai BUMN terdapat dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dan Pasal 64. Dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a UU Migas menyatakan bahwa: “Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh .. a. badan usaha milik negara”.

Sedangkan dalam Pasal 64 UU Migas menyatakan bahwa: Pada saat Undang-undang ini berlaku: a) Badan usaha milik negara, selain Pertamina, yang mempunyai kegiatan usaha minyak

dan gas bumi dianggap telah mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;

55

b) Pelaksanaan pembangunan yang pada saat Undang-Undang ini berlaku sedang dilakukan badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada huruf a tetap dilaksanakan oleh badan usaha milik negara yang bersangkutan;

c) Dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun, badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib membentuk badan usaha yang didirikan untuk kegiatan usahanya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;

d) Kontrak atau perjanjian antara badan usaha milik Negara sebagaimana dimaksud pada huruf a dan pihak lain tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu kontrak atau perjanjian yang bersangkutan.

Terkait dengan pembentukan BUMN Migas terdapat ketentuan yang dapat dikaji dalam UU BUMN. Dalam Pasal 1 UU BUMN, terdapat beberapa konsepsi terkait dengan BUMN. Dalam Pasal 1 angka 1 definisi BUMN adalah “badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”.

Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2, pengertian “perseroan terbatas yang selanjutnya disebut persero adalah BUMN yang bentuknya perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikitnya 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan”.

Selanjutnya definisi lainnya yang diangkap penting untuk diperhatikan adalah pengertian tentang kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam Pasal 1 angka 10 dinyatakan bahwa “Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya”.

Dalam pembentukan BUMN Migas terdapat beberapa pengaturan yang perlu diperhatikan dalam Undang-Undang BUMN,

pertama, permodalan. Dalam Pasal 4 UU BUMN terdapat beberapa substansi yang diatur sebagai berikut:

1) Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. 2) Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN

bersumber dari : a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. Kapitalisasi cadangan; c. Sumber lainnya.

3) Setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau perseroan terbatas yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

4) Setiap perubahan penyertaan modal negara baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atau saham persero atau perseroan terbatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Kedua, pengurus dan pengawas BUMN. Dalam Pasal 5 UU BUMN mengatur mengenai pengurus BUMN, dengan pengaturan sebagai berikut:

1) Pengurusan BUMN dilakukan oleh Direksi. 2) Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan

tujuan BUMN serta mewakili BUMN, baik di dalam maupun di luar pengadilan. 3) Dalam melaksanakan tugasnya, anggota Direksi harus mematuhi anggaran dasar

BUMN dan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalilsme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawab, serta kewajaran.

Sedangkan pengaturan mengenai pengawas BUMN diatur dalam Pasal 6 BUMN, dengan pengaturan sebagai berikut:

1) Pengawasan BUMN dilakukan oleh Komisaris dan Dewan Pengawas.

56

2) Komisaris dan Dewan Pengawas bertanggung jawab penuh atas pengawasan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN.

3) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisaris dan Dewan Pengawas harus mematuhi Anggaran Dasar BUMN dan ketentuan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran.

Ketiga, pendirian BUMN. Dalam UU BUMN, pendirian BUMN dibedakan antara BUMN Persero dan BUMN Perum. Dalam pendirian BUMN Migas, BUMN yang dimungkinkan untuk didirikan adalah BUMN Persero. Dalam Pasal 10 UU BUMN, menyatakan sebagai berikut:

1) Pendirian Persero diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri Teknis dan Menteri Keuangan.

2) Pelaksanaan pendirian Persero dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Mengenai organ BUMN Persero dalam Pasal 13 BUMN menyatakan bahwa Organ Persero adalah RUPS, Direksi dan Komisaris. Untuk pengaturan pengangkatan dan pemberhentian Direksi Persero diatur dalam Pasal 15 dan 16 UU BUMN. Dalam Pasal 15 UU BUMN mengatur substansi sebagai berikut:

1) Pengangkatan dan pemberhentian Direksi dilakukan oleh RUPS. 2) Dalam hal Menteri bertindak selaku RUPS, pengangkatan dan pemberhentian Direksi

ditetapkan oleh Menteri

Pasal 16 UU BUMN mengatur substansi sebagai berikut: 1) Anggota Direksi diangkat berdasarkan pertimbangan keahlian, integritas,

kepemimpinan, pengalaman, jujur, perilaku yang baik, serta dedikasi yang tinggi untuk memajukan dan mengembangkan Persero.

2) Pengangkatan anggota Direksi dilakukan melalui mekanisme uji kelayakan dan kepatutan.

3) Calon anggota Direksi yang telah dinyatakan lulus uji kelayakan dan kepatutan wajib menandatangani kontrak manajemen sebelum ditetapkan pengangkatannya sebagai anggota Direksi.

4) Masa jabatan anggota Direksi ditetapkan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

5) Dalam hal Direksi terdiri atas lebih dari seorang anggota, salah seorang anggota Direksi diangkat sebagai direktur utama.

Untuk pengaturan pengangkatan dan pemberhentian komisaris BUMN Persero diatur dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 UU BUMN. Dalam Pasal 27 dan Pasal 28 UU BUMN mengatur substansi sebagai berikut:

1) Pengangkatan dan pemberhentian Komisaris dilakukan oleh RUPS. 2) Dalam hal Menteri bertindak selaku RUPS, pengangkatan dan pemberhentian

Komisaris ditetapkan oleh Menteri. 3) Anggota Komisaris diangkat berdasarkan pertimbangan integritas, dedikasi, memahami

masalah-masalah manajemen perusahaan yang berkaitan dengan salah satu fungsi manajemen, memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usaha Persero tersebut, serta dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya.

4) Komposisi Komisaris harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengambilan keputusan dapat dilakukan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak secara independen.

5) Masa jabatan anggota Komisaris ditetapkan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

6) Dalam hal Komisaris terdiri atas lebih dari seorang anggota, salah seorang anggota Komisaris diangkat sebagai komisaris utama.

57

7) Pengangkatan anggota Komisaris tidak bersamaan waktunya dengan pengangkatan anggota Direksi, kecuali pengangkatan untuk pertama kalinya pada waktu pendirian.

Dalam Pasal 29 UU BUMN mengatur bahwa Anggota Komisaris sewaktu-waktu dapat diberhentikan berdasarkan keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya.

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terkait dengan wacana pemberian privilege kepada badan usaha atau badan usaha tetap milik negara sebagai bentuk keberpihakan Pemerintah kepada BUMN, dimungkinkan dalam UU Anti Monopoli sepanjang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara.

Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 51 yang menyebutkan: “Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh badan usaha milik negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah”.

d. Undang Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi Dalam rangka sinkronisasi pengertian badan usaha dan badan usaha tetap perlu diperhatikan pengertian badan usaha dan badan usaha tetap dalam UU Energi.

Dalam Pasal 1 angka 12, “Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus, dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Pada angka 13, “Bentuk usaha tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan dan berkedudukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundangundangan Republik Indonesia”.

Yang menarik, UU Energi mewacanakan “adanya cadangan penyangga energi, dalam rangka menjamin ketahanan energi nasional”. (Pasal 5). Ketentuan mengenai jenis, jumlah, waktu, dan lokasi cadangan penyangga energi diatur oleh Pemerintah dan lebih lanjut ditetapkan oleh Dewan Energi Nasional.

UU Energi juga “mewajibkan pengutamaan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan, standardisasi, pengamanan dan keselamatan instalasi, serta keselamatan dan kesehatan kerja”. (Pasal 8).

Pada Pasal 11, “Pemerintah menetapkan kebijakan energi nasional dengan persetujuan DPR. Kebijakan energi nasional meliputi, antara lain: (a) ketersediaan energi untuk kebutuhan nasional; (b) prioritas pengembangan energi; (c) pemanfaatan sumber daya energi nasional; dan (d) cadangan penyangga energi nasional.

e. Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Ketentuan mengenai penanaman modal dalam usaha pengelolaan minyak dan gas bumi dalam RUU tentang minyak dan gas bumi harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam UU Penanaman Modal.

Dalam Pasal 12 ayat (5), terkait penetapan bidang usaha yang terbuka, persyaratan harus didasarkan pada kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.

Khusus bagi penanaman modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, termasuk minyak dan gas bumi, Penanam modal wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan

58

hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 17).

Penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang tinggi menjadi kewenangan Pemerintah di bidang penanaman modal (Pasal 30).

f. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Terkait dengan penyusunan atau evaluasi kebijakan, rencana dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup, Pemerintah wajib melaksanakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), termasuk dalam penyusunan atau evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) (Pasal 15).

Usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi harus memiliki analisa dampak lingkungan (amdal). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU PPLH bahwa “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal”. Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria: a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. luas wilayah penyebaran dampak; c. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; e. sifat kumulatif dampak; f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau kriteria lain sesuai dengan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (Pasal 22 ayat (2)).

Adapun kelengkapan amdal yang dimaksud terdiri atas: (Pasal 23) pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; a. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan; b. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;

c. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan social dan budaya;

d. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian; e. kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya; f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik; g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati; h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara;

dan/atau i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi

lingkungan hidup.

Adapun mengenai perizinan, Pasal 36 ayat (1) menyebutkan bahwa “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan”.

Dalam Ketentuan Pasal 1 angka 35, nomenklatur “Izin lingkungan”‖ didefinisikan sebagai “izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan”.

Izin lingkungan diterbitkan Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL (Pasal 36 ayat (2) dan ayat (4)).

Mengingat izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan, dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan.

59

Sehingga dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan (Pasal 40).

Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup yang meliputi perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; pendanaan lingkungan hidup; dan insentif dan/atau disinsentif (Pasal 42).

Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi meliputi (Pasal 43 ayat (1): a. neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup yakni gambaran mengenai cadangan

sumber daya alam dan perubahannya, baik dalam satuan fisik maupun dalam nilai moneter;

b. penyusunan produk domestik bruto (nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu )dan produk domestik regional bruto (nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu daerah pada periode tertentu )yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup;

c. mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah yang merupakan cara-cara kompensasi/imbal yang dilakukan oleh orang, masyarakat, dan/atau pemerintah daerah sebagai pemanfaat jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup; dan

d. internalisasi biaya lingkungan hidup yakni dengan memasukkan biaya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam perhitungan biaya produksi atau biaya suatu usaha dan/atau kegiatan.

Adapun instrumen pendanaan lingkungan hidup meliputi (Pasal 43 ayat (2): a. dana jaminan pemulihan lingkungan hidup yakni dana yang disiapkan oleh suatu usaha

dan/atau kegiatan untuk pemulihan kualitas lingkungan hidup yang rusak karena kegiatannya;

b. dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup yang timbul akibat suatu usaha dan/atau kegiatan; dan

c. dana amanah/bantuan untuk konservasi yang berasal dari sumber hibah dan donasi untuk kepentingan konservasi lingkungan hidup.

Insentif dan/atau disinsentif antara lain diterapkan dalam bentuk (Pasal 43 ayat (3): a. pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup, yakni yang memprioritaskan

barang dan jasa yang berlabel ramah lingkungan hidup; b. penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup;

- Pajak lingkungan hidup adalah pungutan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah terhadap setiap orang yang memanfaatkan sumber daya alam, seperti pajak pengambilan air bawah tanah, pajak bahan bakar minyak, dan pajak sarang burung walet.

- Adapun yang dimaksud dengan “retribusi lingkungan hidup”‖ adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap setiap orang yang memanfaatkan sarana yang disiapkan pemerintah daerah seperti retribusi pengolahan air limbah.

- Sedangkan “subsidi lingkungan hidup”‖ adalah kemudahan atau pengurangan beban yang diberikan kepada setiap orang yang kegiatannya berdampak memperbaiki fungsi lingkungan hidup.

c. pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup; - Sistem lembaga keuangan ramah lingkungan hidup adalah sistem lembaga keuangan

yang menerapkan persyaratan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam kebijakan pembiayaan dan praktik system lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank.

- Adapun pasar modal ramah lingkungan hidup‖ adalah pasar modal yang menerapkan persyaratan perlindungan dan pengelolaan ingkungan hidup bagi perusahaan yang

60

masuk pasar modal atau perusahaan terbuka, seperti penerapan persyaratan audit lingkungan hidup bagi perusahaan yang akan menjual saham di pasar modal.

d. pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi yakni jual beli kuota limbah dan/atau emisi yang diizinkan untuk dibuang ke media lingkungan hidup antarpenanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

e. pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup yang diberikan oleh pemanfaat jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup;

f. pengembangan asuransi lingkungan hidup, yakni asuransi yang memberikan perlindungan pada saat terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

g. pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup dengan memberikan tanda atau label kepada produk-produk yang ramah lingkungan hidup; dan

h. sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

g. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

RUU tentang Minyak dan Gas Bumi harus memperhatikan ketentuan mengenai tata ruang sebagaimana diatur dalam UU Penataan Ruang. hal ini mengingat Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk juga ruang di dalam bumi (Pasal 15).

Dalam UU ini, Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan (Pasal 4).

Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan sistem internal perkotaan. Penataan ruang berdasarkan sistem wilayah merupakan pendekatan dalam penataan ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah. Penataan ruang berdasarkan sistem internal perkotaan merupakan pendekatan dalam penataan ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan di dalam kawasan perkotaan (Pasal 5 ayat (1)).

Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan merupakan komponen dalam penataan ruang baik yangdilakukan berdasarkan wilayah administratif, kegiatan kawasan, maupun nilai strategis kawasan. Yang termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawasan peruntukan hutan produksi, kawasan peruntukan hutan rakyat, kawasan peruntukan pertanian, kawasan peruntukan perikanan, kawasan peruntukan pertambangan, kawasan peruntukan permukiman, kawasan peruntukan industri, kawasan peruntukan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan, dan kawasan pertahanan keamanan(Pasal 5 ayat (2)).

Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota (Pasal 5 ayat (3)).

Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan (Pasal 5 ayat (4)).

Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan strategis nasional, penataan ruang kawasan strategis provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota (Pasal 5 ayat (5)). - Kawasan strategis merupakan kawasan yang di dalamnya berlangsung kegiatan yang

mempunyai pengaruh besar terhadap: a. tata ruang di wilayah sekitarnya; b. kegiatan lain di bidang yang sejenis dan kegiatan di bidang lainnya; dan/atau c. peningkatan kesejahteraan masyarakat.

- Jenis kawasan strategis, antara lain, adalah kawasan strategis dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan, pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi, serta fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.

61

- Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi, antara lain, adalah kawasan pertambangan minyak dan gas bumi termasuk pertambangan minyak dan gas bumi lepas pantai, serta kawasan yang menjadi lokasi instalasi tenaga nuklir.

- Sedangkan yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, antara lain, adalah kawasan pelindungan dan pelestarian lingkungan hidup, termasuk kawasan yang diakui sebagai warisan dunia seperti Taman Nasional Lorentz, Taman Nasional Ujung Kulon, dan Taman Nasional Komodo.

- Mengingat fungsi strategis masing-masing kawasan, maka dalam hal terjadi benturan dimana suatu wilayah strategis dari sisi kepentingan pendayagunaan sumber daya alam misalnya minyak dan gas bumi merupakan kawasan strategis dari fungsi lingkungan hidup, maka perlu dilakukan analisa kebijakan yang komprehensif untuk memutuskan pilihan.

h. Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana

Terkait dengan resiko yang mungkin ditimbulkan dari kegagalan proses eksplorasi dan eksploitasi yang kemudian menimbulkan bencana, UU Penanggulangan Bencana mendefinisikan “bencana nonalam”‖ sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

Hal yang penting diperhatikan adalah daerah rawan bencana yakni daerah yang memiliki kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. Sehingga dibutuhkan proses pemulihan yakni serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi.

i. Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Masalah tanah dalam UU Migas diatur dalam bab tujuh yaitu mengenai hubungan kegiatan usaha minyak dan gas bumi dengan hak atas tanah.

Hak atas tanah dalam UU Migas terkait dengan penggunaan tanah dalam wilayah kerja dimana dalam Pasal 33 ayat (2) UU Migas disebutkan bahwa hak atas wilayah kerja tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi.

Salah satu aspek penggunaan tanah dalam UU Migas yang terkait dengan UU Nomor 2 Tahun 2012 (selanjutnya UU PTUP) adalah prioritas penggunaan tanah untuk kegiatan sektor migas sebagai sektor yang digolongkan masuk kepentingan umum menurut Pasal 10 huruf e yaitu: “Tanah untuk Kepentingan Umum digunakan untuk pembangunan”: e). infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi”;

Pengertian kepentingan umum dalam Pasal 1 angka 6 UU PTUP adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sektor Migas merupakan sektor yang penting dan strategis serta menguasai hajat hidup orang banyak sehingga dikategorikan termasuk kepentingan umum dalam UU PTUP.

Kemudian dalam Pasal 7 ayat (2) UU PTUP sektor migas disebut kembali yang mengatur bahwa dalam hal pengadaan tanah dilakukan untuk infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi, diselenggarakan berdasarkan rencana strategis dan rencana kerja instansi yang memerlukan tanah.

Sebagai salah satu sektor yang termasuk kategori kepentingan umum, maka segala hal yang terkait dengan pengadaan tanah di sektor migas juga mengikuti proses pengadaan tanah

62

bagi pembangunan kepentingan umum yang diatur dalam UU PTUP. Pihak yang berhak atas tanah wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah pemberian ganti kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 5 UU PTUP) serta pihak yang berhak dan pihak yang menguasai objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum wajib mematuhi seluruh ketentuan dalam UU PTUP (Pasal 8 UU PTUP).

Untuk pembangunan kepentingan umum, pengadaan tanahnya wajib diselenggarakan oleh pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki pemerintah atau pemerintah daerah (Pasal 11 ayat (1) UU PTUP), kecuali dalam hal instansi yang memerlukan pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah badan usaha milik negara, tanahnya menjadi milik badan usaha milik Negara (Pasal 11 ayat (2) UU PTUP).

Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak (Pasal 3 UU PTUP).

Secara garis besar, penggunaan tanah terkait kegiatan usaha migas telah terakomodir dalam UU PTUP. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui tahapan: (Pasal 13 UU PTUP) a. perencanaan; b. persiapan; c. pelaksanaan; dan d. penyerahan hasil.

Tahapan perencanaan sebagai tahap awal merupakan tahapan yang lebih bersifat intern dari instansi yang memerlukan tanah atau bermaksud melakukan pembangunan kepentingan umum. Hasil akhir dari perencanaan berupa dokumen perencanaan yang kemudian diserahkan kepada pemerintah provinsi yang bersama-sama dengan instansi yang memerlukan tanah akan melakukan persiapan pengadaan tanah sebagai tahapan berikutnya.

Dalam tahap persiapan inilah kegiatan sosialisasi rencana pembangunan, pendataan awal lokasi, serta konsultasi publik dilakukan. UU PTUP dalam Pasal 19 ayat (3) telah membatasi hanya pihak yang berhak atau perwakilannya dengan surat kuasa saja yang dapat terlibat dalam konsultasi publik. Jika belum terjadi kesepakatan dapat dilakukan konsultasi publik ulang dengan pihak yang masih keberatan. Jika keberatan ditolak dan dikeluarkan surat keputusan penetapan lokasi oleh gubernur, maka pihak yang keberatan masih dapat melakukan gugatan ke PTUN dan terus kasasi ke MA jika gugatan ditolak di PTUN (Pasal 23 UU PTUP).

Setelah tahapan persiapan dilalui, kemudian masuk ke tahapan pelaksanaan pengadaan tanah itu sendiri yang merupakan inti dari pengadaan tanah. Dalam tahapan ini yang dilakukan antara lain kegiatan: (Pasal 27 ayat (2)) a. inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan

tanah; b. penilaian ganti kerugian; c. musyawarah penetapan ganti kerugian; d. pemberian ganti kerugian; dan e. pelepasan tanah instansi. Tahapan ini dilakukan sepenuhnya oleh lembaga pertanahan atau dimaksud Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hasil penilaian dari penilai kemudian dijadikan dasar dalam musyawarah penetapan ganti kerugian. Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk: (Pasal 36 UU PTUP) a. uang; b. tanah pengganti;

63

c. permukiman kembali; d. kepemilikan saham; atau e. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Bagi yang tidak sepakat dengan bentuk/besaran ganti kerugian yang ditetapkan dalam musyawarah tersebut, mereka dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri (PN) dan lanjut kasasi ke MA jika masih keberatan dengan putusan PN (Pasal 38 UU PTUP).

Sebagai tahap akhir dari proses pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum adalah tahap penyerahan hasil pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah yang akan melakukan pembangunan kepentingan umum dengan terlebih dulu mendaftarkan tanah yang diperolehnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 48 UU PTUP). Untuk menghindari tumpang tindih dan pengulangan dengan UU PTUP maka ke depan pengaturan penggunaan tanah sector migas lebih baik merujuk kepada ketentuan dalam UU PTUP karena mekanisme proses pengadaan tanah bagi kepentingan umum telah diatur dalam UU PTUP.

j. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Dalam UU Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Dalam UU Minyak dan Gas Bumi, pengelolaan Migas merupakan kewenangan Pemerintah. Namun dalam menentukan wilayah kerja dilakukan konsultasi dengan Pemerintah daerah.

Pasal 1 UU Pemerintahan menyebutkan mengenai definisi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. “Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.‖ Sedangkan “Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom”.‖

Terkait dengan kewenangan Pemerintah Daerah dalam migas, secara tegas UU Pemda menyatakan bahwa Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan Pemerintah Pusat (Pasal 14 ayat (3).

Adapun terkait dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam tercantum dalam Pasal 289 ayat (4) huruf c dan huruf d, yaitu penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan minyak dan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan.

k. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah

Jenis dana perimbangan adalah dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Jumlah dana perimbangan ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN (Pasal 10).

Dana bagi hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam termasuk di dalamnya yang berasal dari sektor kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi,pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi (Pasal 11).

Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan 84,5% (delapan puluh empat setengah persen) untuk Pemerintah; dan 15,5% (lima belas setengah persen) untuk Daerah (Pasal 14 ayat (2) huruf e).

64

Sedangkan penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan 69,5% (enam puluh sembilan setengah persen) untuk Pemerintah; dan 30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk daerah (Pasal 14 ayat (2) huruf e).

Penerimaan pertambangan minyak bumi dan gas bumi yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi dan gas bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya (Pasal 19 ayat (1)). Pada ayat (2), (3), dan (4) diatur mengenai besarnya porsi bagi hasil bagi Pemerintahan Daerah dan rincian porsi bagi hasil antara daerah provinsi, kabupaten/kota penghasil dan kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. - Adapun rincian bagian daerah dari minyak bumi sebesar 15% (lima belas persen) dibagi

sebagai berikut: a. 3% (tiga persen) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 6% (enam persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan c. 6% (enam persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan,

dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.

- Sedangkan rincian bagian daerah dari gas bumi sebesar 30% (tiga puluh persen)dibagi sebagai berikut: a. 6% (enam persen) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 12% (dua belas persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan c. 12% (dua belas persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi bersangkutan,

dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.

- Dana bagi hasil dari pertambangan minyak bumi dan gas bumi untuk daerah sebesar 0,5% (setengah persen) dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar, dengan rincian pembagian: a. 0,1% (satu persepuluh persen) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 0,2% (dua persepuluh persen) untuk kabupaten/ kota penghasil; dan c. 0,2% (dua persepuluh persen) untuk kabupaten/ kota lainnya dalam provinsi yang

bersangkutan, yang dibagikan dengan porsi yang sama besar (pasal 20).

Pelanggaran terhadap ketentuan ini dikenakan sanksi administrasi berupa pemotongan atas penyaluran dana bagi hasil sector minyak bumi dan gas bumi (Pasal 25).

Adapun realisasi penyaluran dana bagi hasil yang berasal dari sector minyak bumi dan gas bumi tidak melebihi 130% (seratus tiga puluh persen) dari asumsi dasar harga minyak bumi dan gas bumi dalam APBN tahun berjalan. Dalam hal dana bagi hasil sektor minyak bumi dan gas bumi melebihi 130% (seratus tiga puluh persen), penyaluran dilakukan melalui mekanisme APBN perubahan (Pasal 24).

65

l. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

Terkait dengan pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu, dikenai restribusi perizinan tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan (Pasal 108 dan Pasal 140).

Perizinan tertentu didefinisikan sebagai kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan (Pasal 1 angka 68).

m. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

Dalam Ketentuan Pasal 4A ayat (2) kelompok barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya merupakan jenis barang yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai atau disebut barang tidak kena pajak. Dalam penjelasan pasal tersebut, barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi: a. minyak mentah (crude oil); b. gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh

masyarakat; c. panas bumi; d. asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit,

dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth),tanah diatome, tanah liat, tawas (alum),tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;

e. batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan f. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.

Peraturan Pelaksanaan a. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 Tentang Biaya Operasi Yang Dapat

Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi

PP ini menjelaskan tentang beberapa biaya operasi minyak dan gas bumi di hulu yang dapat dikembalikan (reimburse) kepada kontraktor kontrak kerja sama. Di samping itu, PP ini menjelaskan tentang pungutan pajak penghasilan badan (PPh Badan) terhadap semua kontraktor kontrak kerja sama.

b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Pp Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi (Pp Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi)

PP tentang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi mendefinisikan kontrak bagi hasil sebagai suatu bentuk kontrak kerja sama dalam kegiatan usaha hulu berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi (Pasal 1 angka 4).

Menteri menetapkan badan usaha atau bentuk usaha tetap sebagai kontraktor untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah kerja tertentu (Pasal 6 ayat (1)).

Dalam pelaksanaan penetapan badan usaha atau bentuk usaha tetap tersebut, Menteri melakukan koordinasi dengan badan pelaksana (Pasal 6 ayat (2)).

Untuk setiap badan usaha atau bentuk usaha tetap hanya diberikan satu wilayah kerja (Pasal 6 ayat (3)).

66

c. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak Dan Gas Bumi

PP ini mengatur kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip perizinan. Izin usaha dalam kegiatan hilir minyak dan gas bumi terdiri dari izin usaha pengolahan, izin usaha pengangkutan, izin usaha penyimpanan dan ijin usaha niaga atau pemasaran. Semua izin usaha tersebut di atas, diberikan atau dikeluarkan oleh menteri yang tugas dan fungsinya di bidang energi dan sumber daya mineral.

Di samping itu PP ini juga mengatur tentang pengelolaan cadangan strategis minyak dan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri.

d. Perpres Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi

Peraturan Presiden ini mengatur tentang penyelenggaraan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi setelah dibubarkannya Badan Pelaksana Migas berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 yang membatalkan ketentuan mengenai Badan Pelaksana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Dalam penyelenggaraan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral membina, mengkoordinasikan dan mengawasi penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.

Penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sampai dengan diterbitkannya undang-undang baru di bidang minyak dan gas bumi, dilaksanakan oleh satuan kerja khusus pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi disebut SKK Migas.

Dalam rangka pengendalian, pengawasan, dan evaluasi terhadap pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi oleh SKK Migas, dibentuk Komisi Pengawas terdiri dari: a. Ketua (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral); b. Wakil Ketua (Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal); dan c. Anggota (Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral)

Komisi Pengawas mempunyai tugas: a. memberikan persetujuan terhadap usulan kebijakan strategis dan rencana kerja SKK

Migas dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi;

b. melakukan pengendalian, pengawasan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan operasional SKK Migas dalam penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi;

c. memberikan pendapat, saran, dan tanggapan atas laporan berkala mengenai kinerja SKK Migas;

d. memberikan pertimbangan terhadap usulan pengangkatan dan pemberhentian Kepala SKK Migas; dan

e. memberikan persetujuan dalam pengangkatan dan pemberhentian pimpinan SKK Migas selain Kepala SKK Migas.

Dalam melaksanakan tugas, Komisi Pengawas menyampaikan laporan kepada Presiden secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan. Dalam rangka membina, mengkoordinasikan, dan mengawasi penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, Menteri melakukan penataan terhadap Organisasi SKK Migas; Pegawai SKK Migas; dan Aset SKK Migas;

Adapun Struktur Organisasi SKK Migas terdiri dari: a. Kepala; b. Wakil Kepala; c. Sekretaris; d. Pengawas Internal; dan

67

e. Deputi, paling banyak 5 (lima) orang.

Kepala SKK Migas diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah mendapatkan pertimbangan terlebih dahulu dari Komisi Pengawas dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Kepala SKK Migas wajib menandatangani Pakta Integritas dan Kontrak Kinerja kepada Presiden. - Untuk pertama kali, Kepala SKK Migas ditetapkan langsung oleh Presiden. Sebelum

ditetapkannya Kepala SKK Migas, pelaksanaan penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dilakukan oleh Menteri.

- Wakil Kepala,Sekretaris, Pengawas Internal, dan para Deputi SKK Migas diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atas usul Kepala SKK Migas. Menteri dalam mengangkat dan memberhentikan Wakil Kepala, Sekretaris, Pengawas Internal, dan para Deputi SKK Migas, terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Komisi Pengawas.

- Pegawai SKK Migas diangkat dan diberhentikan oleh Kepala SKK Migas. Pegawai SKK Migas dapat berasal dari pegawai negeri sipil dan non pegawai negeri sipil. Pegawai SKK Migas untuk pertama kali berasal dari pengalihan pegawai eks Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Pegawai SKK Migas wajib menandatangani Pakta Integritas. Pegawai SKK Migas diberikan hak keuangan dan fasilitas.

- Dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, SKK Migas memanfaatkan aset eks Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan prinsip optimalisasi dan efisiensi. Dalam rangka pemanfaatan aset eks Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan pelaksanaan penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi oleh SKK Migas, dilakukan audit sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.

- Biaya operasional dalam rangka pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, berasal dari jumlah tertentu dari bagian negara dari setiap kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Besaran biaya operasional diusulkan oleh Menteri, untuk ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Biaya operasional yang diperlukan dalam pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi untuk tahun 2012, menggunakan sisa anggaran eks Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Tahun 2012.

e. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional

Pengertian energi dalam PP ini adalah daya yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai proses kegiatan meliputi listrik, energi mekanik dan panas (Pasal 1 angka 1) sementara yang dimaksud dengan harga keekonomian adalah biaya produksi per unit energi termasuk biaya lingkungan ditambah biaya margin. (Pasal 1 angka 9)

Pengaturan mengenai kebijakan utama energi nasional meliputi: (Pasal 3 ayat (1)) a. Penyediaan energi melalui :

1) penjaminan ketersediaan pasokan energi dalam negeri; 2) pengoptimalan produksi energi; 3) pelaksanaan konservasi energi.

b. Pemanfaatan energi melalui : 1) efisiensi pemanfaatan energi; 2) diversifikasi energi.

c. Penetapan kebijakan harga energi ke arah harga keekonomian, dengan tetap mempertimbangkan bantuan bagi rumah tangga miskin dalam jangka waktu tertentu.

d. Pelestarian lingkungan dengan menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Sementara kebijakan pendukung meliputi : (Pasal 3 ayat (2)) a. pengembangan infrastruktur energi termasuk peningkatan akses konsumen terhadap

energi; b. kemitraan pemerintah dan dunia usaha; c. pemberdayaan masyarakat; d. pengembangan penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan.

68

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan blueprint pengelolaan energi nasional setelah berkonsultasi dengan Menteri terkait. Blueprint pengelolaan energi nasional memuat sekurang-kurangnya: a. kebijakan mengenai jaminan keamanan pasokan energi dalam negeri. b. kebijakan mengenai kewajiban pelayanan publik (Public Service Obligation). c. pengelolaan sumber daya energi dan pemanfaatannya.

Blueprint tersebut menjadi dasar bagi penyusunan pola pengembangan dan pemanfaatan masing-masing jenis energi. (Pasal 4)

Harga energi disesuaikan secara bertahap sampai batas waktu tertentu menuju harga keekonomiannya dan penahapan dan penyesuaian harga harus memberikan dampak optimum terhadap diversifikasi energi. (Pasal 5)

f. Peraturan Menteri Esdm Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Penetapan Penawaran Wilayah Kerja Minyak Dan Gas Bumi

Menteri menetapkan kebijakan penyiapan, penetapan dan penawaran wilayah kerja minyak dan gas bumi. Penyiapan, penetapan, dan penawaran wilayah kerja tersebut diselenggarakan oleh Direktur Jenderal dengan memperhatikan pertimbangan Badan Pelaksana. Penawaran wilayah kerja sebagaimana dilaksanakan melalui melalui lelang wilayah kerja dan penawaran langsung wilayah kerja. Dalam rangka pelaksanaan penyiapan, penetapan dan penawaran wilayah kerja, Direktur Jenderal membentuk tim penawaran wilayah kerja, yang keanggotaannya terdiri atas wakil dari unit-unit di lingkungan departemen, badan pelaksana dan perguruan tinggi. (Pasal 2)

Selanjutnya dalam Pasal 3 disebutkan bahwa Menteri menetapkan kebijakan penyiapan, penetapan dan penawaran wilayah kerja, berdasarkan pada pertimbangan teknis, ekonomis, tingkat risiko, efisiensi, dan berasaskan keterbukaan, keadilan, akuntabilitas, dan persaingan usaha yang wajar.

g. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/Pmk.011/2007 Tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi Serta Panas Bumi

Ketentuan dalam Pasal 2 PMK ini menyatakan bahwa: ‖Atas impor barang yang dipergunakan untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi diberikan pembebasan bea masuk‖.

Pembebasan bea masuk atas barang tersebut diberikan terhadap barang yang nyata-nyata dipergunakan untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi dengan ketentuan sebagai berikut : a. barang tersebut belum dapat diproduksi di dalam negeri; b. barang tersebut sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi

yang dibutuhkan; atau c. barang tersebut sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya belum mencukupi

kebutuhan industri.

69

Lampiran

70

71