laporan klinik.docx

49
BAB 1 LATAR BELAKANG 1.1 Latar Belakang Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya. Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan bagian atas. Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat dan bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara drastis setelah penggunaan vaksin difteri secara meluas. Insiden tergantung kekebalan individu, lingkungan, dan akses pelayanan kesehatan. Serangan difteri sering terjadi dikalangan penduduk miskin yang tinggal di tempat berdesakan,memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas, dan mempunyai pengetahuan serta pendidikan rendah. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapat imunisasi. Obstruksi saluran nafas atas karena difteri adalah suatu keadaan darurat yang harus segera diatasi untuk mencegah kematian. Gejala obstruksi jalan nafas yang tampak adalah sesak nafas, disfoni sampai afoni, stridor inspirasi, retraksi otot di suprasternal, supraklavikula, epigastrial, dan interkostal, dan apabila tidak mendapat terapi yang adekuat pasien akan gelisah dan sianosis karena hipoksia. (Guilfoile, 2009).

Upload: titisauliyana

Post on 22-Apr-2017

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: laporan klinik.docx

BAB 1LATAR BELAKANG

1.1 Latar Belakang Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya. Penyakit ini

mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan bagian atas.

Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman

ke orang lain yang sehat dan bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang

terkontaminasi. Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun

secara drastis setelah penggunaan vaksin difteri secara meluas. Insiden tergantung

kekebalan individu, lingkungan, dan akses pelayanan kesehatan. Serangan difteri

sering terjadi dikalangan penduduk miskin yang tinggal di tempat

berdesakan,memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas, dan mempunyai

pengetahuan serta pendidikan rendah. Kematian umumnya terjadi pada individu

yang belum mendapat imunisasi. Obstruksi saluran nafas atas karena difteri adalah

suatu keadaan darurat yang harus segera diatasi untuk mencegah kematian. Gejala

obstruksi jalan nafas yang tampak adalah sesak nafas, disfoni sampai afoni, stridor

inspirasi, retraksi otot di suprasternal, supraklavikula, epigastrial, dan interkostal, dan

apabila tidak mendapat terapi yang adekuat pasien akan gelisah dan sianosis

karena hipoksia. (Guilfoile, 2009).

Gejala pada difteri hampir mirip dengan gejala yang terjadi pada orang yang

terkena faringitis, dimana faringitis adalah suatu peradangan pada tenggorokan

(faring) yang biasanya disebabkan oleh infeksi akut. Biasanya disebabkan oleh

bakteri streptokokus grup A. Namun bakteri lain seperti n. gonorrhoeae, c.

diphtheria, h. influenza juga dapat menyebabkan faringitis. Apabila disebabkan oleh

infeksi virus biasanya oleh rhinovirus, adenovirus, parainfluenza virus dan coxsackie

virus. Yang sering muncul pada faringitis adalah nyeri tenggorokan dan nyeri

menelan, Tonsil (amandel) yang membesar Selaput lendir yang melapisi faring

mengalami peradangan berat atau ringan dan tertutup oleh selaput yang berwarna

keputihan atau mengeluarkan nanah Demam, Pembesaran kelenjar, getah bening

di leher, Peningkatan jumlah sel darah putih. Gejala tersebut bisa ditemukan pada

Page 2: laporan klinik.docx

infeksi karena virus maupun bakteri, tetapi lebihmerupakan gejala khas untuk infeksi

karena bakteri (kazzi et. all, 2006).

Diet merupakan hal penting dalam proses penyembuhan penyakit karena

makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderitaakan

semakin turun sehingga proses penyembuhan akan semakin lama. Diet pada pasien

ini berfungsi untuk memenuhi kebutuuhan makan penderita dan mencegah

kekambuhan (inawati,2008)

Berdasarkan latar belakang di atas, terapi gizi sangat diperlukan untuk

pengelolaan penyakit yang dimiliki pasien, yaitu suspect difteri + faringitis.

Diharapkan terapi diet dan terapi edukasi dapat meningkatkan derajat kesehatan

pasien dan mencegah timbulnya komplikasi.

Page 3: laporan klinik.docx

BAB IINUTRITIONAL CARE PROCESS (NCP)

2.1 IDENTITAS PASIENNama : An. Z

Umur : 14 Bulan

Jenis kelamin : Laki – Laki

Agama : Islam

Pekerjaan Orang tua : Ibu rumah tangga

Status Pasien : keluarga TNI

Diagnosa Medis Awal : suspect difteri

Diagnosa medis Akhir : Faringitis

No. Rekam Medis : 178594

Dokter : dr.Zainudin, Sp. A

Tanggal MRS : 22 maret 2014

Alamat : Yon Arhanudri 2 kostrad

2.2 ASSESSMENT2.2.1 Antropometri BB = 10 kg

TL = 73 cm

BBI = 2n + 8 = 2 (1) + 8 = 10kg

Status gizi = Status gizi berdasarkan CDC

Weight for age (BB/U) Normal

Stature for age (TB/U) Normal

BMI for age (BBI/U) Normal

Page 4: laporan klinik.docx

2.2.2 BiokimiaTabel 2.1 Pemeriksaan Biokimia

Data Laboratorium Nilai Nilai Normal Interpretasi

Hemoglobin 11,1 12 – 17 mg/dl Normal

Leukosit 9.900 4000 – 10.000/cmm Normal

Trombosit 208.000 150.000 – 450.000 Normal

PCV 34,2 40 – 50 % ↓

SWAB

Difteri Tidak ditemukan kuman difteri -

leko 1-2 -

epitel + -

Bakteri lain Coccus 3+ -

2.2.3 Fisik KlinisTabel 2.2 Pemeriksaan fisik klinis

Jenis Pemerikasaan Hasil Analisa Data

Kesadaran CM Compos mentis : sadar

sepenuhnya

Nafsu makan Menurun Terjadinya penurunan

nafsu makan

dikarenakan terjadi

kesulitan menelan

Jenis Pemerikasaan Hasil Nilai Normal

Nadi 110x/menit 80-120/menit

Suhu 37,60 C 37,5 0 C

RR 22x/menit 20-30x/menit

Page 5: laporan klinik.docx

2.2.4 Dietary AssessmentRiwayat Gizi Dahulu:

Pola makan pasien , yaitu 2 – 3 kali sehari

Pasien mengonsumsi makanan pokok berupa nasi 2 – 3 sehari (±50

gram),

Lauk hewani yang dikonsumsi adalah ceker ayam 3 kali/minggu (50

gram), bakso 5x seminggu (100 gram), ayam 3 kali seminggu (50

gram)

Lauk nabati yang sering dikonsumsi adalah tahu dan tempe 1kali sehari

(±25 gram)

Pengolahan lauk hewani dan nabati paling sering adalah digoreng Sayur yang sering dikonsumsi adalah wortel, kubis, kentang, buncis

(±30 gram) yang dimasak sop 3 kali/minggu, bayam 3 kali seminggu

( 25gram).

Pasien suka mengonsumsi buah berupa pisang, pepaya dan pisang 3

kali/minggu (±25 gram)

Pasien mengonsumsi susu bebelac 3-4 botol perhari (150cc perbotol)

Pengolahan makanan pasien menggunakan penyedap rasa setiap

sayur yang di konsumsi Pasien sering membeli makanan warung seperti chiki dan wafer setiap

hari (50gram)

Pasien sudah tidak diberi ASI oleh ibu sejak umur 6 bulan

Tabel 2.3 Semi-quantitative Food Frequency Questionnaire

Bahan makanan

Frekuensi Jumlah (g)

Bahan makanan

Frekuensi Jumlah (g)TP J S TP J S

Nasi √ 75 Sayuran A √ 30Roti √ 25 Sayuran B √ 30Mie √ 80 Pisang √ 75Umbi √ 50 Pepaya √ 75Tempe √ 25 Santan √ 10Tahu √ 25 Minyak √ 10D. sapi √ 35 Kecap √ 5

Page 6: laporan klinik.docx

D. ayam √ 50 Susu √ 400Telur ayam √ 50 -

Keterangan:

TP : Tidak pernah

J : Jarang (1-2 kali seminggu)

S : Sering ( lebih dari 2 kali seminggu)

Riwayat Gizi Sekarang :

Berdasarkan 24-h recall pada tanggal 22 april 2014 didapatkan jumlah

asupan sebagai berikut

Tabel 2.4 Recall Intake (22 april 2014)

Zat Gizi Intake Kebutuhan % KategoriEnergi (kkal) 151 1000 15.1 % Defisit beratProtein (gram) 3,2 20 14,4 % Defisit beratLemak (gram) 6,2 22 31 % Defisit beratKarbohidrat (gram)

20,9 18011,6 %

Defisit berat

Keterangan:

Diatas Kebutuhan : ≥120%

Normal : 90 – 119%

Defisit ringan : 80-89%

Defisit sedang : 70-79%

Defisit berat : <70%

Perhitungan kebutuhan Zat Gizi PasienEnergi untuk umur snsk 1-3 tahun adalah 100kkal/kg BB

100 x BBA

100 x 10 = 1000 kkal

Perhitungan kebutuhan protein

Protein= 2 x BBA

= 2 x 10

= 20 gram

Page 7: laporan klinik.docx

Perhitungan kebutuhan lemak

Lemak = 20% x energi

= 20% x 1000

= 200 :9

= 22,2 gram

Perhitungan kebutuhan karbohidrat

KH = sisa dari Protein dan lemak

= 1000 ( 80kkal+ 200kkal)

= 720 kkal : 4

= 180 gram

- Perhitungan kebutuhan Cairan

= 100 ml x BB

= 100x 10 =1000 ml

2.2.5 Obat yang Digunakan

Tabel 2.5 Interaksi Obat dan Makanan

Nama Obat Indikasi Efek Samping Interaksi dengan MakananInjeksi ranitidine Obat golongan H2

antagonis, diberikan untuk mengurangi sekresi asam lambung.

Konstipasi, diare, pusing, mual, muntah, sulit tidur

Tidak ada interaksi dengan makanan

Azitromisin Golongan obat tetrasiklin

Mual dan muntah - Hindari makanan yang mengandung kalsium, seperti susu , yogurt, vitamin atau mineral yang mengandung zat besi dan antasida karena akan menurunkan kadar obat dalam tubuh secara bermakna- minum obat dalam keadaan perut kosong 1 jam sebelum atau 2 jam setelah makan.

Page 8: laporan klinik.docx

Cefotaxime Antibiotik golongan cephalosporin yang membunuh bakteri dengan menghancurkan dinding sel. Menangani infeksi yang disebabkan bakteri, mencegah infeksi bakteri sebelum, saat dan setelah operasi.

Efek samping ringan yang ditimbulkan adalah mual, muntah dan diare

Konsumsi saat perut kosong, 1 jam sebelum atau 2 jam setelah makan. Apabila terjadi upset stomach, konsumsi obat bersama makanan. Konsumsi 1 jam setelah obat antasida.

2.2.6 Sosial Ekonomi

Ayah pasien adalah TNI dan ibu pasien adalah ibu rumah tangga

Pasien diasuh oleh ibu kandungnya.

Pasien 2 bersaudara dan memiliki kakak

Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit tertentu, hanya demam biasa

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien demam sejak 3 hari yang lalu, demam naik turun, pasien juga ada

pilek, nafsu makan turun,tidak mau minum, BAK berkurang dan BAB

sedikit.

2.3 DIAGNOSA2.3.1 Daftar Masalah

Berdasarkan assessment antropometri, biokimia, fisik/klinis dan

dietary, didapatkan beberapa masalah gizi, perilaku dan klinis sebagai

berikut

Masalah Gizi:

Asupan oral kurang, yaitu intake energi defisit berat (15,1 %), intake

protein defisit berat (14,4%), intake lemak defisit berat (31 %), intake

karbohidrat defisit berat (11,6 %)

Pasien mengalami nafsu makan yang menurun sejak sakit

Sering mengkonsumsi chiki, wafer dan membeli makanan diluar

Page 9: laporan klinik.docx

Pasien sudah tidak diberi ASI

Masalah Klinis:

Pasien didiagnosis suspect difteri

Kadar PCV atau hematokrit rendah (34,2%) menandakan pasien

mengalami anemia akibat adanya perdarahan

Masalah Behavior:

Masalah dari pola asuh pasien yang kurang tepat yaitu pasien sering

dengan bebas memilih jajanan dari luar yang di sukai yaitu berbagai chiki

dan wafer, dan ibu pasien sering membeli makanan dari luar untuk makanan

sehari hari misalnya bakso dan rawon.

2.3.2 Analisa Masalah

Berdasarkan data kelainan tersebut, dapat ditarik masalah gizi,

behavior dan klinis sebagai berikut:

Masalah intake:

Intake makanan oral yang tidak adekuat

Dari hasil 24-h recall diketahui bahwa intake energi, protein, lemak dan

karbohidrat pasien mengalami defisit berat. ini disebabkan pasien tidak

nafsu makan karena kondisi tidak enak badan dan susah untuk menlan

makanan karena tiap makanan yang diberikan selalu dimuntahkan

kembali

Peningkatan kebutuhan zat gizi tertentu (protein)

Dari data biokimia didapatkan bahwa pasien mengalami infeksi,

sehingga protein yang tinggi diperlukan untuk meningkatkan sistem

imun tubuh., kadar PCV atau hematokrit rendah (34,8%) menandakan

pasien mengalami anemia akibat adanya perdarahan

Masalah behavior:

Kurangnya pengetahuan terkait gizi, ditandai dengan pasien dan

keluarga pasien belum pernah mendapat edukasi tentang gizi, dan

kebiasaan makan pasien yang tidak teratur (2 – 3 kali/hari), sering

Page 10: laporan klinik.docx

mengonsumsi makanan yang digoreng, menggunakan penyedap rasa

dan kecap.

Masalah Klinis

Terjadi perubahan nilai laboratorium terkait gizi, yaitu, kadar PCV atau

hematokrit rendah (34,8%) menandakan pasien mengalami anemia

akibat adanya perdarahan

2.3.3 Diagnosa Gizi

NI-2.1 Ketidakcukupan intake oral, dihubungkan dengan nafsu makan pada pasien

menurun akibat susah menelan dan muntah yang di derita , ditandai dengan

recall intake energi defisit berat (15,1%), intake protein defisit berat (14,1%),

intake lemak defisit berat (31 %), intake karbohidrat defisit berat (11,6%)

NI-5.1 Peningkatan kebutuhan zat gizi tertentu (energi dan protein), dihubungkan

dengan pasien mengalami perdarahan, ditandai dengan kadar PCV atau

hematokrit rendah (34,2%) menandakan pasien mengalami anemia akibat

adanya perdarahan

NB-1.1 Kurangnya pengetahuan terkait gizi dan makanan, dihubungkan dengan

kurangnya informasi terkait gizi, ditandai dengan pasien belum pernah

mendapat edukasi, sering mengonsumsi makanan yang digoreng,

menggunakan penyedap rasa dan membeli makanan di luar serta sering

memberikan jajanan chiki dan wafer yang tidak sehat.

2.4 RENCANA INTERVENSI2.4.1 Terapi Diet

a. Tujuan Diet

Mempertahankan status gizi pasien

Memberikan makanan sesuai kebutuhan pasien

b. Prinsip Diet

Tinggi Energi Tinggi protein

Porsi kecil tapi sering (3 kali makan utama dan 2 kali selingan)

Bentuk makanan lunak

c. Syarat Diet

Page 11: laporan klinik.docx

NI – 1.1 Pemberian Diet yang Seimbang

NI – 1.2 Modifikasi bentuk, jenis dan jumlah makanan

Energi tinggi yaitu 1000 kkal. Energi diberikan cukup karena pasien

mengalami infeksi. Energi juga diperlukan untuk memenuhi

kebutuhan basal dan untuk membantu mencapai berat badan normal.

Protein tinggi yaitu 2 gram/kg BB atau 20 gram. Protein diperlukan

untuk menjaga dan meregenerasi jaringan tubuh, memperbaiki fungsi

paru-paru serta meningkatkan sistem imun karena ada infeksi dan

perdarahan.

Lemak 35% dari total energi yaitu 68,7 gram. Lemak diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan basal tubuh. Kombinasi diet tinggi lemak dan

rendah karbohidrat dapat mengurangi sesak nafas pada penderita

gangguan paru kronis.

Karbohidrat rendah, 50% kebutuhan energi yaitu 217,5 gram.

Karbohidrat diberikan rendah untuk mengurangi sesak yang diderita

pasien. Karbohidrat yang rendah diharapkan tidak meningkatkan

repiratory quotient dan produksi karbon dioksida.

Cairan diberikan cukup, 100 ml/kg BB yaitu 1000 ml per hari.

Vitamin dan mineral antioksidan diberikan tinggi.

Makanan tidak boleh mengandung bahan yang merangsang,

menimbulkan gas, bersifat asam, mengandung minyak/ lemak secara

berlebihan, dan yang bersifat melekat. Selain itu, makanan tidak

boleh terlalu panas atau dingin. Makanan yang dihindari antara lain

garam, alkohol, rokok, kafein yang dapat ditemukan dalam kopi, teh

hitam, teh hijau, beberapa minuman ringan (soft drinks), dan coklat.

Bentuk makanan adalah lunak, yaitu nasi tim dengan lauk cincang,

untuk memperingan kerja lambung.

2.4.2 Terapi Edukasi

NE – 1 Edukasi gizi singkat

a. Tujuan Edukasi

Memberikan informasi terkait tatalaksana dan diet untuk anak

dengan suspect difteri + faringitis

Page 12: laporan klinik.docx

Menambah pengetahuan mengenai pemilihan jajanan sehat untuk

anak seusia pasien

Menambah pengetahuan tentang makanan sehat untuk anak seusia

pasien

b. Materi Edukasi

Penyebab suspect difteri + faringitis

Contoh makanan sehat untuk anak usai 1 tahun 2 bulan

Contoh menu sehari

Penecegahan suspect difteri + faringitis terkait kebersihan dan saniasi

makanan

c. Waktu edukasi

1 x 30 menit

d. Sasaran edukasi

Keluarga pasien

e. Tempat edukasi

Ruang Nusa Indah Rumah Sakit Militer Malang

f. Media edukasi

Leaflet diet anak, leaflet makanan seimbang dan sehat

g. Evaluasi

Menanyakan kembali kepada pasien tentang hal-hal yang telah

dijelaskan

Melakukan analisis terhadap intake makanan dengan 24-h recall

2.5 RENCANA MONITORING EVALUASI

Page 13: laporan klinik.docx

Indikator Target WaktuFI-1.1.1 Asupan energi totalFI-5.1.1 Asupan lemak totalFI-5.2.1 Asupan protein

totalFI-5.3.1 Asupan karbohidrat

total

BE-1.2 Pengetahuan terkait gizi

S-3.1.3 Fungsi gastrointestinal (mual, muntah, fungsi saluran pencernaan)

S-3.1.7 Tanda vital ( suhu)S-1.1.1 BMI (kg/m2)

Normal (75% kebutuhan)Normal (75% kebutuhan)Normal (75% kebutuhan)

Normal (75% kebutuhan)

Terjadi peningkatan

Muntah (-)

Suhu normal (36-37,50 )Status gizi normal

Setiap hariSetiap hariSetiap hari

Setiap hari

Setiap hari

Setiap hariSetiap hariSetiap hari

Setiap hariSetiap hari

BAB III

Page 14: laporan klinik.docx

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Difteri3.1.1 Pengertian

Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman

Corybecterium diptheria. Mudah menular dan menyerang tertama saluran napas

bagian atas dengan tanda khas berupa pseudomebran dan dilepaskannya

eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala dan lokal. Penularan umumnya melalui

udara. Berupa infeksi droplet, selain itu dapat melalu benda atau makanan yang

terkontaminasi masa tuna 2-7 hari ( Acang,2007).

3.1.2 Gejala Gejala obstruksi jalan nafas yang tampak adalah sesak nafas, disfoni sampai

afoni, stridor inspirasi, retraksi otot di suprasternal, supraklavikula, epigastrial, dan

interkostal, dan apabila tidak mendapat terapi yang adekuat pasien akan gelisah dan

sianosis karena hipoksia Pada 1400 kasus difteri di Kalifornia, fokus infeksi primer

sekitar 94% adalah tonsil atau faring, sedangkan hidung dan laring merupakan dua

tempat berikutnya yang angka kejadiannya lebih jarang daripada tonsil dan faring.

Penyumbatan mekanik karena difteri laring atau difteri Bullneck dan miokarditis

menyebabkan kematian paling besar. Angka kematian kasus difteri saluran nafas

hampir 10%.

3.1.3 Faktor Risiko Kerentanan terhadap infeksi tergantung pernah terpapar difteri sebelumnya dan

kekebalan tubuh. Beberapa faktor lain yang mempermudah terinfeksi difteri :

1. Cakupan imunisasi kurang, yaitu pada bayi yang tidak mendapat imunisasi DPT

secara lengkap. Berdasarkan penelitian bahwa anak dengan status imunisasi

DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46 kali lebih besar dari

pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap.

2. Kualitas vaksin tidak bagus, artinya pada saat proses pemberian vaksinasi kurang

menjaga Coldcain secara sempurna sehingga mempengaruhi kualitas vaksin.

Page 15: laporan klinik.docx

3. Faktor Lingkungan tidak sehat, artinya lingkungan yang buruk dengan sanitasi

yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit difteri. Letak rumah yang

berdekatan sangat mudah menyebarkan penyakit difteri bila ada sumber penular.

4. Tingkat pengetahuan ibu rendah, dimana pengetahuan akan pentingnya imunisasi

rendah dan kurang bisa mengenali secara dini gejala penyakit difteri.

5. Akses pelayanan kesehatan kurang, dimana hal ini dapat dilihat dari rendahnya

cakupan imunisasi di beberapa daerah tertentu (Nasal,2005)

3.1.4 Patofisiologi Sumber penularan penyakit difteri adalah manusia, baik sebagai penderita

maupun sebagai carier. Cara penularan melalui kontak dengan penderita pada masa

inkubasi, dan kontak dengan carier melalui pernafasan atau droplet infection Selain

7 itu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang

terkontaminasi.1,4 Corynebacterium difteri adalah organisme yang minimal

melakukan invasif, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang

lokal pada membran mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan

eksotoksin paten yang tersebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem

limfatik (Sing, 2005).

Kuman masuk melalui mukosa atau kulit melekat serta berbiak pada

permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang

selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini

mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B

(carboksiterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfida (gambar 5). Fragmen B

diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel

pejamu yang sensitif. Perlekatan fragmen B pada reseptor supaya fragmen A dapat

melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan

efek toksik pada sel (Mizhusima,2011).

Reseptor toksin difteri pada membran sel terkumpul dalam suatu coated pit

dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini

memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel, dan selanjutnya endosom yang

mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan

toksin untuk melalui membran endosom ke sitosol. Efek toksik pada jaringan tubuh

manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel (Mizhusima,2011).

Page 16: laporan klinik.docx

Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino

yang telah diikat 2 transfer RNA yang menempati kedudukan P dan A dari ribosom.

Bila rangkaian asam amino ini ditambah asam amino lain untuk membentuk

polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi.

Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari

kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase

(Elongation faktor-2) yang aktif (Deterding,2007).

Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan

fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi

enzim translokase melalui proses : NAD+ + EF2 (aktif) ---toksin---> ADP-ribosil-EF2

(inaktif) + H2 + Nicotinamide ADP-ribosil-EF2 yang inaktif (Sing,2005).

Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak

terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, yang akan mengakibatkan sel mati.

Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman yang terjadi sebagai respon

terjadi inflamasi lokal dan bersama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak

eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah

infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuknya membran yang

melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang

terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit dan sel-

sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya

membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan (Sing,2005).

Secara garis besar patogenisitas Corynebacterium difteri mencakup dua

fenomena yang berbeda, yaitu :

1. Invasi dari jaringan lokal tenggorok, kemudian terjadi kolonisasi dan proliferasi

bakteri.

2. Toksin difteri menyebabkan kematian sel dan jaringan eukaryotic karena terjadi

hambatan sintesa protein dalam sel.

Meskipun toksin bertanggungjawab untuk gejala penyakit, namun virulensi kuman

tidak dapat dikaitkan dengan toksigenitas saja. Pada saat bakteri berkembang biak,

toksin merusak jaringan lokal yang menyebabkan kematian dan kerusakan jaringan.

Ciri khas dari penyakit ini ialah pembengkakan di daerah tenggorokan, yang berupa

reaksi radang lokal, dimana pembuluh darah melebar mengeluarkan leukosit dan sel

epitel yang rusak bercampur, kemudian terbentuklah membran putih keabuabuan

Page 17: laporan klinik.docx

(psedomembran). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah

membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan

eksotoksin. Warna membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau

abu-abu, dan ini sering disebut dengan “simple tonsilar exudate”. Kerusakan

jaringan mengakibatkan udim dan pembengkakan daerah sekitar membran, dan

apabila difteri menyerang daerah laring, maka akan menyebabkan obstruksi jalan

nafas pada tracheo-bronchial atau laringeal (Mizhusima,2011).

Penyakit ini dibagi menjadi 3 berdasar derajat berat ringannya, yaitu:

1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan

gejala hanya nyeri menelan.

2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring dan

menimbulkan bengkak pada laring.

3. Infeksi berat bila terjadi obstruksi nafas yang berat disertai dengan gejala

komplikasi seperti miokarditis, neuritis, dan nefritis.

3.1.4 KomplikasiKomplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah

toksin, waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.

Komplikasi difteri terdiri dari :

1. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus yang akan

memperberat gejala Difteri

2. Infeksi lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau udim jalan nafas

3. Infeksi sistemik karena efek eksotoksin4

Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut

menjadi gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf

menyebabkan gerakan tak terkoordinasi, bahkan bisa berakibat kelumpuhan.

Komplikasi berat lainnya yang bisa segera menimbulkan kematian adalah obstruksi

jalan nafas (Sing,2005).

Page 18: laporan klinik.docx

3.1.5 Penatalaksanaan Difteri1. Tujuan

a. Mencegah terjadinya komplikasi

b. mempertahankan / memperbaiki keadaan umum

c. Mengatasi gejala / akibat yang timbul

2. Jenis Tindakan

a. Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi

b. Jamin intake cairan dan makanan

c. Bentuk makanan lunak, saring / cair, bila perlu sonde lambung jika ada

kesulitan menelan.

3.2 Faringitis Faringitis adalah infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau bakteri,

yang ditandai oleh adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan hiperemis, demam,

pembesaran limfonodi leher dan malaise (Vincent,2004).

3.2.1. Anatomi Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang

besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar

tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi servikal ke-6. Ke atas faring

berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan

rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah

berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan esofagus.panjang

dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini

merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari

dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian

fasia bukofaringeal.

Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-

unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot. Bentuk mukosa

faring bervariasi, tergantung letaknya. Pada nasofaring karena fungsinya untuk

respirasi, maka mukosanya bersilia, sedangkan epitelnya torak berlapis yang

mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring,

karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.

Page 19: laporan klinik.docx

Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam

rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena

itu faring dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan. (Rusmarjono,et.al.,

2001)

Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di

bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak atas silia dan bergerak

sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini berfungsi untuk

menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap. Palut ini

mengandungenzim Lyzozyme yang penting untuk proteksi. (Rusmarjono,et.al.,

2001).

3.2.2 Etiologi

1. Arcanobacterium Chlamydia pneumoniae (5%), gejala mirip dengan M

pneumoniae. Faringitis biasanya mendahului terjadinya peradangan pada

paru.

2. Corynebacterium diphtheria

Bakteri yang jarang namun dapat dijumpai pada faringitis yaitu Borrelia

species, Francisella tularensis, Yersinia species, and Corynebacterium

ulcerans.

3. Corynebacterium haemolyticus (5%) banyak terjadi pada dewasa

muda,gejalanya mirip dengan infeksi GABHS, berupa ruam scarlatiniform.

Pasien sering mengeluh batuk.

4. Mycoplasma pneumoniae, pada dewasa muda dengan headache, faringitis,

and nfeksi pernafasan bawah. Kira-kira 75% pasien disertai batuk.

5. Viral pharyngitis

o Adenovirus (5%):

o Herpes simplex (< 5%):

o Coxsackieviruses A and B (< 5%):

o Epstein-Barr virus (EBV):

o CMV.

o HIV-1

Page 20: laporan klinik.docx

6. Penyebab lain

o Candida sp. Pada pasien-pasien dengan riwayat pengbatan penekan sistem

imun. Banyak terjadi pada anak dengan gambaran plak putih pada orofaring.

o Udara kering, alergi (postnasal tetes), trauma kimia, merokok, neoplasia

(Kazzi,et.al.,2006).

3.2.3 Patofisiologi  Pada infeksi faringitis, virus atau bakteri secara langsung menginvasi mucosa

pada rongga tenggorokan, menyebabkan suatu respon inflamasi lokal. berbeda

halnya dengan virus, seperti rhinovirus,dapat mengiritasi mukosa rongga

tenggorokan. Streptococcal infeksi/peradangan ditandai oleh pelepasan dan

invasi toksin ekstra seluler lokal dan proteases (Kazzi, et.al.,2006).

.

3.2.4 Tanda dan GejalaGejala dan tanda faringitis akut adalah nyeri tenggorok, sulit menelan

demam, mual dan kelenjar limfe leher membengkak. Pada pemeriksaan tampak

hiperemis, udem dan dinding posterior faring bergranular. Streptococcus group A

merupakan bakteri penyebab faringitis akut yang paling sering, kira-kira 15

sampai 30 % kasus pada anak-anak, dan 5 sampai 10 % pada oang dewasa.

Biasanya terdapat riwayat infeksi tenggorokan oleh bakteri Streptococcus

sebelumnya. Insidensi faringitis yang disebabkan oleh streptococcus meningkat

pada musim dingin. Gejala dapat berupa rasa sakit pada tenggorokan, nyeri saat

menelan, demam, pusing, nyeri perut, mual dan muntah. Sedangkan tanda-

tanda yang dapat dilihat yaitu adanya eritema faring dan tonsil, eksudat pada

faring dan tonsil, petechiae palatine, edema uvula, limfadenopati servikalis

anterior. Tidak semua pasien didapati dengan semua gejala tersebut, banyak

pasien datang dengan gejala yang ringan dan tanpa eksudatif. Anak-anak

dibawah tiga tahun dapat disertai coryza dan krusta hidung. Faringitis dengan

eksudat jarang terjadi pada umur ini.(Alan,et.al.,2001)

.Pada infeksi virus, gejala disertai dengan konjungtivitis, coryza, malaise,

fatigue, serak, dan demam yang tidak tidak terlalu tinggi (low-grade fever).

Page 21: laporan klinik.docx

Faringitis pada anak dapat disertai dengan diare, nyeri perut, dan muntah

(Vincent, et.al., 2006).

3.2.5 PenatalaksanaanApabila penyebabnya diduga infeksi firus, pasien cukup diberikan analgetik

dan tablet isap saja. Antibiotika diberikan untuk faringitis yang disebabkan oleh

bakteri Gram positif disamping analgetika dan kumur dengan air hangat. Penisilin

dapat diberikan untuk penyebab bakteri GABHS, karena penisilin lebih

kemanjurannya telah terbukti, spektrum sempit,aman dan murah harganya. Dapat

diberikan secara sistemik dengan dosis 250 mg, 2 atau 3 kali sehari untuk anak-

anak, dan 250 mg 4 kali sehari atau 500 mg 2 kali sehari selama 10 hari. Apabila

pasien alergi dengan penisilin, dapat diganti dengan eritromisin.(Alan,at.al.,2001).

3.2.6 KomplikasiKomplikasi infeksi GABHS dapat berupa demam reumatik, dan abses peritonsiler.

Abses peritonsiler terjadi :

Komplikasi umum faringitis terutama tampak pada faringitis karena bakteri

yaitu : sinusitis, otitis media, epiglotitis, mastoiditis, dan pneumonia.

Kekambuhan biasanya terjadi pada pasaien dengan pengobatan yang tidak

tuntas pada pengobatan dengan antibiotik, atau adanya paparan baru.

Demam rheumatic akut(3-5 minggu setelah infeksi), poststreptococcal

glomerulonephritis, dan toxic shock syndrome, peritonsiler abses.

Komplikasi infeks mononukleus meliputi: ruptur lien, hepatitis, Guillain Barré

syndrome, encephalitis, anemia hemolitik, myocarditis, B-cell lymphoma, dan

karsinoma nasofaring (Kazzi,at.al.,2006).

3.2. 7.    Penatalaksanaana.  Untuk Faringitis Akut

Jika di duga atau ditunjukkan adanya penyebab bakterial, pengobatan dapat

mencakup pemberian Agens antimicrobial untuk streptokukus group A, penisilin

merupakan obat pilihan. Untuk pasien alergi terhadap penisilin atau yang

mempunyai organisme resisten terhadap eritromisin digunakan sefalosporin.

Page 22: laporan klinik.docx

Antibiotik di berikan selama sedikitnya 10 hari untuk menghilangkan streptokokus

group A dari orofaring.

Diet cair atau lunak diberikan selama tahap akut penyakit, tergantung pada nafsu

makan pasien dan tingkat rasa tidak nyaman yang terjadi bersama proses menelan.

Kadang tenggorok sakit sehingga cairan tidak dapat di minum dalam jumlah yang

cukup dengan mulut. Pada kondisi yang parah, cairan diberikan secara intravena.

Sebaliknya, pasien didorong untuk memperbanyak minum sedapat yang ia lakukan

dengan minimal 2 sampai 3 liter sehari.

b. Untuk Faringitis Kronik

Didasarkan pada penghitungan gejala, menghindari pemajanan terhadap iritan,

dan memperbaiki setiap gangguan saluran napas atas, paru atau jantung yang

mungkin mengakibatkan terhadap batuk kronik. Kongesti nasal dapat dihilangkan

dengan sprei nasal / obat-obatan yang mengandung epinefrin sulfat (Afrin) atau

fenilefrin hidroklorida (Neo-Synphrine). Jika terdapat riwayat alergi, salah satu

medikasi dekongestan antihistamin seperti Drixarol/ Dimentapp, diminum setiap

4-6 jam. Malaise secara efektif dapat dikontrol dengan aspirin / asetaminofen.

c. Pada Anak-anak

Bila anak menjadi gelisah, rewel, sulit tidur, lemah atau lesu karena gejala radang

tenggorokan ini, kita dapat membantu meredakan gejalanya. Tidak harus selalu

dengan obat, mungkin dengan tindakan yang mudah dan sederhana bisa

membantu menenangkan anak.

1). Nyeri menelan :

Banyak minum air hangat, obat kumur, lozenges, paracetamol untuk

meredakan nyeri.

2). Demam

Banyak minum, paracetamol, kompres hangat atau seka tubuh dengan air

hangat.

3). Hidung tersumbat dan berair (meler)

Banyak minum hangat, anak diuap dengan baskom air hangat, tetes hidung

NaCl. Dalam beberapa kasus, radang tenggorokan karena virus baru sembuh

setelah 2 minggu. Yang diperlukan adalah kesabaran dan pengawasan orang

tua terhadap gejala anak. Bawa anak ke dokter bila gejala terlihat makin berat;

anak tampak sulit bernapas, kebiruan pada bibir atau kuku, anak tampak

Page 23: laporan klinik.docx

gelisah atau justru sangat mengantuk, atau anak batuk/demam

berkepanjangan. Karena hampir seluruh kasus disebabkan oleh virus, maka

antibiotik biasanya tidak dipergunakan. Infeksi oleh virus (misalnya batuk-pilek,

radang tenggorokan) sama sekali tidak bisa disembuhkan dengan antibiotik.

Infeksi virus akan sembuh dengan sendirinya, tubuh akan melawan dengan

sistem kekebalan tubuh. Penggunaan antibiotik yang berlebihan justru akan

merugikan karena akan membuat menjadi resisten dan antibiotik menjadi tidak

mempan untuk melawan infeksi saat dibutuhkan, terutama pada anak-anak.

.

Page 24: laporan klinik.docx

BAB 4HASIL

4.1 Monitoring dan Evaluasi Konsumsi Energi dan Zat Gizi4.1.1 Tingkat Konsumsi Energi dan Zat Gizi

Monitoring dan evaluasi intake dilakukan dengan 24-h recall sehari

sebelum pasien MRS (21 April 2014) dan dilanjutkan hingga 3 hari saat pasien

di RS (22-24 April 2014).Jumlah asupan didiapat dengan melakukan interview

kepada ibu pasien dan juga terkadang melakukan pengalaman langsung pada

plate waste. Hasil yang didapat kemudian dianalisa dengan menggunakan

nutrisurvey. Hasil yang didapat dibandingkan dengan kebutuhan pasien sehari

untuk mendapatkan tingkat konsumsi pasien. Berdasarkan Widya Karya Pangan

dan Gizi (2004), terdapat beberapa kategori persentase kebutuhan individu,

yaitu :

% Konsumsi Zat Gizi Kategori

>120% kebutuhan Berlebih

90 – 119 % Normal

80-90% Defisit Ringan

70- 79% Defisit Sedang

< 70% Defisit Berat

Page 25: laporan klinik.docx

Tingkat konsumsi energi dan zat gizi pasien dapat dilihat di tabel 4.1.

Tabel 4.1 Tingkat Konsumsi Energi dan Zat Gizi

Energi danZat Gizi

Kebutuhan

Recall (22/04/14)

Monev 1 (23/04/14)

Monev 2 (24/04/14)

Monev 3 (25/04/14)

Intake

%Intak

e%

Intake

% Intake %

Energi (kkal) 1000 151 521,9 733,0 899,4

Protein (gr) 20 3,2 11,2 15,2 20,2

Lemak (gr) 22,2 6,2 24,5 36,0 43,6

KH (gram) 180 20,9 65,6 90,4 110,5

Cairan (cc) 1000 200 1100 1200 1400

4.1.1.1 Asupan Energi

Hasil recall intake energi pasien sebelum dan setelah intervensi

disajikan pada gambar 4.1 di bawah.

Page 26: laporan klinik.docx

recall monev 1 movev 2 monev 30

200

400

600

800

1000

1200

Chart Title

Axis Title

Gambar 4.1 Grafik monitoring konsumsi energi dibandingkan kebutuhan

4.1.1.2 Asupan Protein

Hasil recall intake protein pasien sebelum dan setelah intervensi

disajikan pada gambar 4.2 di bawah.

Page 27: laporan klinik.docx

recall monev 1 monev 2 monev 30

5

10

15

20

25

Gambar 4.2 Grafik monitoring konsumsi protein dibandingkan kebutuhan

Pada gambar 4.2 dapat dilihat bahwa intake protein pasien terus

mengalami peningkatan meskipun belum mencapai normal. Hal ini

disebabkan pasien mulai mau mengonsumsi lauk yang diberikan rumah

sakit. Selain itu keluarga pasien memberikan susu sebagai tambahan

sumber protein.

4.1.1.3 Asupan Lemak

Hasil recall intake lemak pasien sebelum dan setelah intervensi

disajikan pada gambar 4.3 di bawah.

Page 28: laporan klinik.docx

recall monev 1 m0nev 2 monev 30

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

Gambar 4.3 Grafik monitoring konsumsi lemak dibandingkan kebutuhan

Dari gambar 4.3 dapat dilihat bahwa intake lemak pasien mengalami

peningkatan, meskipun masih jauh dari normal. Hal ini disebabkan pasien

hanya makan sedikit lauk, dan pengolahannya tidak pernah digoreng.

4.1.1.4 Asupan Karbohidrat

Hasil recall intake karbohidrat pasien sebelum dan setelah intervensi

disajikan pada gambar 4.4 di bawah.

Page 29: laporan klinik.docx

recall monev 1 monev 2 monev 30

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

Gambar 4.4 Grafik konsumsi karbohidrat dibandingkan kebutuhan

Dari grafik 4.4 dapat dilihat bahwa intake karbohidrat pasien

mengalami peningkatan, namun belum mencapai normal. Ini disebabkan

pasien hanya mau makan sedikit nasi yang disediakan rumah sakit, dan

sedikit makanan dari luar rumah sakit.

4.1.1.5 Asupan Cairan

Hasil recall intake cairan pasien sebelum dan setelah intervensi

disajikan pada gambar 4.5 di bawah.

Page 30: laporan klinik.docx

recall monev 1 monev 2 monev 30

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

kebutuhanintake

Gambar 4.5 Grafik konsumsi Cairan dibandingkan kebutuhan

Dari gambar 4.5 dapat dilihat bahwa selama di rumah sakit intake

Natrium pasien di bawah ambang batas sehingga tergolong baik. Natrium

yang disajikan pada grafik adalah natrium yang terdapat pada bahan

makanan, dan belum dilakukan perhitungan terhadap penambahan garam

atau kecap pada diet pasien.

4.2 Monitoring dan Evaluasi Antropometri Fisik Berikut merupakan tabel hasil pemeriksaan antropometri sebelum

dan setelah intervensi.

Tabel 4.2 Hasil pengukuran Antropometri

Pasien Masuk Rumah sakit

Pasien Pulang Rumah sakit

BB 10 kg 10 kg

Karena pengamatan dilakukan dalam waktu yang singkat, maka tidak

terjadi perubahan pada hasil pengukuran antropometri pasien.

Page 31: laporan klinik.docx

4.3 Monitoring dan Evaluasi Pemeriksaan Fisik KlinisTabel 4.3 Monev Hasil Pemeriksaan Fisik Klinis

Pemeriksaan Pra-intervensi

Monev 1 Monev 2 Monev 3

Keadaan

Umum

CM CM CM CM

Nadi 110 104 104 108

Suhu 37,6 37,5 36 36

Respiratory

rate

22 22 24 30

Nyeri perut - - - -

demam - - - -

mual + + + -

4.4 Monitoring dan Evaluasi Hasil EdukasiMonitoring dan evaluasi hasil edukasi gizi dilakukan dengan

menggunakan pre-test dan post-test lisan, wawancara dan observasi untuk

mengetahui perubahan pengetahuan dan perilaku pasien.

Tabel 4.4 Monev Hasil Edukasi (24 April 2014)

Materi TargetSebelum

intervensiSetelah

intervensi

Penjelasan mengenai diet

untuk anak yang seimbang

dan sehat

Pasien mengetahui pentingnya

pengaturan diet untuk penyakitnya - √

Page 32: laporan klinik.docx

Bahan makanan yang

dianjurkan, dibatasi dan

dihindari untuk penyakit

pasien

Pasien mengetahui bahan

makanan yang dianjurkan, dibatasi

dan dihindari untuk penyakit

pasien

- √

Pasien membatasi bahan

makanan- √

Pasien membatasi bahan

makanan yang merangsang- √

Pasien makan utama 3 kali

dengan makanan selingan 3 kali

sehari

- √

4.5 Monitoring dan Evaluasi Pemeriksaan Penunjang (jika ada)Tidak ada hasil pemeriksaan penunjang hingga monitoring dan

evaluasi selesai dilakukan.

Page 33: laporan klinik.docx

BAB 5PEMBAHASAN

Pasien membutuhkan zat gizi yang seimbang untuk dikonsumsi. Makanan

dalam upaya penyembuhan penyakit berfungsi sebagai salah satu bentuk terapi,

penunjang pengobatan atau tindakan medis. Pemberian makanan pada orang sakit

harus disesuaikan dengan keadaan penyakitnya dengan memperhatikan konsistensi

makanan dan kandungan gizinya agar orang sakit memperoleh zat gizi sesuai

kebutuhannya. Makanan merupakan suatu bentuk terapi yang bertujuan untuk

memelihara status gizi secara normal atau optimal walaupun terjadi peningkatan

kebutuhan gizi akibat penyakit yang dideritanya. Disamping itu untuk memperbaiki

terjadinya defisiensi zat gizi serta kelebihan dan kekurangan berat badan pasien.

(Rahmadani,2011).

Intake oral yang diterima pasien An. Z setelah masuk rumah sakit pertama

kali diberikan TETP berupa bubur di siang hari. Intake kebutuhan pasien selama 3

hari selalu lebih rendah daripada kaebutuhan dan masuk kategori defisit berat dan

defisit ringan disebabkan oleh kondisi pasien yang mengalami penurunan nafsu

makan. Penurunan nafsu makan pada anak yang mengalami suspect difteri +

faringitis disebabkan karena terjadi nyeri tenggorok, sulit menelan dan mual yang

terjadi pada anak tersebut.

Intake karbohidrat pada pasien mengalami peningkatan terus- menerus,

intake terendah karbohidrat pada pasien pada saat bentuk makanan dalam bentuk

bubur nasi , karena pasien tidak mau mengkonsumsi bubur dan akhirnya di gantikan

dengan bubur sumsum yang mana pasien lebih suka mengkonsumsi bubur

sumsum daripada bubur nasi.

Intake protein pada pasien mengalami peningkatan terus menerus, sebagian

besar disumbang dari susu yang di konsumsi oleh pasien yaitu susu bebelac yang

sudah sering dikonsumsi oleh pasien sebelumnya, dan makanan yang diberikan dari

rumah sakit hanya dikonsumsi bubur sumsum , sonde dan kuah sayurnya saja ,

Page 34: laporan klinik.docx

untuk lauk hewani dan lauk nabati tidak pernah habis dan jarang di konsumsi oleh

pasien.

Intake lemak pada pasein mengalami peningkatan terus, dan bahkan

melebihi kebutuhan dari pasien karena pasien hanya banyak mengkonsumsi susu

yang diberikan ibunya sedangkan makanan dari rumah sakit di muntahkan kembali

oleh pasien.

Intake cairan

5.2 Edukasi

Proses konseling gizi yang dilakukan saat pasien dirawat di rumah sakit, bertujuan

untuk meningkatkan pengetahuan dan penambahan pasien dan keluarga pasien

dalam hal terkait gizi dan makanan yang dibuutuhkan pasien utnuk meningkatkan

intake agar dapat membantu memperbaiki atau memulihkan kondisi pasien.

Edukasi pada keluarga pasien dilakukan bertahab. Pada hari pertama edukasi

materi yang diberikan mengenai pentingnya makanan dalam mempercepat proses

penyembuhan pasien. Pada intervensi yang dilakuikan yaitu dukungan dan motivasi

kepada ibu pasien dan keluarga pasien untuk mau tetap memberikan anak makanan

pelan – pelan dengan sabar, meski si anak tidak berselera makan. Pada hari kedua,

intervensi yang diberikan ditambahkan materi mengenai pentingnya menghabiskan

makanan dalam mempercepat proses penyembuhan Pada hari ketiga materi

Page 35: laporan klinik.docx

edukasi ditambahkan kembali dilakukan dan pada edukasi ini ditambahkan kembali

mengenai peran makanan dalam tumbuh kembang anak.

Pemberian materi mengenai pentingnya pengaturan pemilihan jajanan sehat pada

anak disebabkan peningkatan nafsu makan terjadi pada anak batita, mereka akan

mengingkan makanan yang ada di sekitarnya dan teman sepermainannya

Hasil evaluasi yang dilakukan setelah proses konseling selesai, menunjukan bahwa

tingkat pemahaman keluarga pasien terhadap materi yang disampaikan meningkat.

Hasil yang dicapai ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi pasien

dalam hal gizi dan makanannya, sehingga kondisi pasien lebih cepat membaik.

BAB 6KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan Diagnosa medis pasien adalah efusi pleura dan gastritis akut

Status gizi pasien termasuk gizi kurang

Diagnosa gizi pasien adalah:

NI-2.1 Ketidakcukupan intake oral, dihubungkan dengan kurangnya nafsu makan

akibat sesak nafas dan nyeri perut, ditandai dengan recall intake energi defisit

berat (22%), intake protein defisit berat (19,1%), intake lemak defisit berat

(15,9%), intake karbohidrat defisit berat (27,3%)

NI-5.1 Peningkatan kebutuhan zat gizi tertentu (energi dan protein), dihubungkan

dengan pasien mengalami infeksi dan perdarahan, ditandai dengan

peningkatan kadar leukosit (10.9000) yang menandakan pasien mengalami

infeksi, penurunan kadar trombosit (148.000) yang menandakan bahwa terjadi

perdarahan, kadar PCV atau hematokrit rendah (34,8%) menandakan pasien

Page 36: laporan klinik.docx

mengalami anemia akibat adanya perdarahan

NI-5.2 Penurunan kebutuhan zat gizi tertentu (karbohidrat), dihubungkan dengan

sesak nafas, ditandai dengan respiratory rate tinggi (22 kali/menit) dan adanya

efusi pleura

NI-5.2 Penurunan kebutuhan zat gizi tertentu (natrium), dihubungkan dengan

hipertensi, ditandai dengan tekanan darah pasien 170/110 mmHg (hipertensi

stage 3), adanya riwayat hipertensi pada pasien

NB-1.1 Kurangnya pengetahuan terkait gizi dan makanan, dihubungkan dengan

kurangnya informasi terkait gizi, ditandai dengan pasien belum pernah

mendapat edukasi dan kebiasaan makan pasien yang tidak teratur (2 – 3

kali/hari), sering mengonsumsi makanan yang digoreng, menggunakan

penyedap rasa dan kecap

Monitoring dan Evaluasi yang dilakukan adalah

FI-1.1.1 Asupan energi total

FI-5.1.1 Asupan lemak total

FI-5.2.1 Asupan protein total

FI-5.3.1 Asupan karbohidrat total

FI-6.1 Intake vitamin mineral (natrium)

BE-1.2 Pengetahuan terkait gizi

S-3.1.3 Fungsi gastrointestinal (mual, muntah, fungsi saluran pencernaan)

S-3.1.7 Tanda vital (tekanan darah, respiratory rate)

6.2 Saran Motivasi dan dukungan keluarga perlu tetap diberikan untuk menjaga

keberlanjutan intervensi