laporan kasus roi 2008

20
Laporan Kasus Resusitasi Cairan dan Hipotermia pada Pasien Trauma Multipel di RS Dr. Sutomo Pantja Wibowo , SpAn, Tommy Sunartomo, SpAn KIC Peserta Pendidikan KIC - Jakarta Prioritas pada penatalaksanaan pasien dengan trauma adalah untuk memastikan adekuasi ventilasi dan oksigenasi, mengendalikan perdarahan, dan mengembalikan perfusi ke organ-organ vital. Berbagai cara dilakukan untuk menemukan sumber perdarahan dan mengatasinya sembari melakukan resusitasi untuk menggantikan kehilangan cairan (darah) yang telah terjadi. 1 Dalam rangka melakukan resusitasi cairan, tidak jarang terjadi efek samping yaitu hipotermia. Hipotermia dapat terjadi karena proses kehiangan darah yang cukup banyak dan karena pemberian cairan atau darah yang tidak dihangatkan. 2 Komplikasi syok dan hipotermia bisa menyebabkan berbagai masalah mulai dari depresi sistim kardiorespirasi, gangguan koagulasi, gangguan sistim imun, dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Kami melaporkan satu kasus trauma multipel dengan syok hipovolemik (hemoragik) yang mengalami fase hipotermia pada saat dilakukan resusitasi. Tinjauan Pustaka Syok adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh gangguan hantaran oksigen ke sel tubuh, atau gangguan ambilan dan utilisasi oksigen secara normal. Perdarahan dengan penurunan curah jantung merupakan penyebab tersering syok pada pasien trauma. Namun demikian pada 1

Upload: deairenapusparini

Post on 23-Dec-2015

3 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

artikel syok hipovolemik

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus ROI 2008

Laporan Kasus

Resusitasi Cairan dan Hipotermia pada Pasien Trauma Multipel

di RS Dr. Sutomo

Pantja Wibowo, SpAn, Tommy Sunartomo, SpAn KIC

Peserta Pendidikan KIC - Jakarta

Prioritas pada penatalaksanaan pasien dengan trauma adalah untuk memastikan adekuasi

ventilasi dan oksigenasi, mengendalikan perdarahan, dan mengembalikan perfusi ke organ-

organ vital. Berbagai cara dilakukan untuk menemukan sumber perdarahan dan

mengatasinya sembari melakukan resusitasi untuk menggantikan kehilangan cairan (darah)

yang telah terjadi.1

Dalam rangka melakukan resusitasi cairan, tidak jarang terjadi efek samping yaitu

hipotermia. Hipotermia dapat terjadi karena proses kehiangan darah yang cukup banyak dan

karena pemberian cairan atau darah yang tidak dihangatkan.2

Komplikasi syok dan hipotermia bisa menyebabkan berbagai masalah mulai dari depresi

sistim kardiorespirasi, gangguan koagulasi, gangguan sistim imun, dan bahkan dapat

menyebabkan kematian.

Kami melaporkan satu kasus trauma multipel dengan syok hipovolemik (hemoragik) yang

mengalami fase hipotermia pada saat dilakukan resusitasi.

Tinjauan Pustaka

Syok adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh gangguan hantaran oksigen ke sel tubuh,

atau gangguan ambilan dan utilisasi oksigen secara normal. Perdarahan dengan penurunan

curah jantung merupakan penyebab tersering syok pada pasien trauma. Namun demikian

pada kasus trauma tidak jarang terjadi berbagai keadaan yang secara bersama-sama

menyebabkan hipoperfusi sistemik, seperti pneumotoraks, kontusio jantung, anemia

iatrogenic akibat pemberian cairan yang berlebihan, penggunaan tourniquet, dan pemberian

obat-obatan. Alkohol yang diminum juga dapat menyebabkan gangguan mekanisme

kompensasi normal terhadap hipoperfusi.

ITACS membagi syok menjadi 4 fase berdasarkan jumlah kehilangan darah dan kondisi

tanda vital. Pada syok traumatik terkompensasi, terjadi peningkatan laju nadi dan

vasokonstriksi dan iskemia jaringan non-esensial – toleransi hamparan pembuluh darah

memungkinkan daya tahan lebih lama dan pemulihan yang mudah ketika sudah tercapai

hemostasis dan resusitasi selesai. Syok traumatik tidak terkompensasi, juga dikenal

dengan syok progresif, merupakan fase transisi dimana kehilangan perfusi menyebabkan

1

Page 2: Laporan Kasus ROI 2008

kerusakan sel dan akan menghasilakn efek toksik. Sampai pada fase ini syok masih

reversibel. Pada syok ireversibel subakut, pasien diresusitasi sampai mencapai nilai tanda

vital yang normal namun karena jeda waktu yang diperlukan untuk mencapainya sempat

menyebabkan gagal sistim organ multipel sebagai akibat dari iskemia jaringan dan cedera

reperfusi. Akhirnya, syok ireversibel akut adalah kondisi sedang terjadinya perdarahan,

asidosis, dan koagulopati yang terus terjadi sampai kepada kerusakan yang hebat dan

bahkan kematian. Progresifitas dari syok terkompensasi menjadi tidak terkompensasi

biasanya akibat masih aktifnya perdarahan merupakan kegawatdaruratan bedah dan

metabolik.3

Trauma dan perdarahan dengan hipoperfusi jaringan mengganggu termoregulasi sehingga

menyebabkan hipotermia. Beberapa faktor yang menyebabkan hipotermia pada pasien

trauma adalah paparan yang berkepanjangan terhadap lingkungan dingin dan pemberian

cairan intravena yang dingin. Pasien-pasien trauma yang membutuhkan tindakan

pembedahan memperoleh tambahan suhu dingin dari ruang operasi yang dingin.

Penyebab hipotermia pada pasien trauma adalah:

Kegagalan termoregulasi dan penurunan produksi panas tubuh, diakibatkan oleh:

o Cedera setempat

o Cedera susunan saraf pusat

o Syok (hipoperfusi jaringan)

o Umur yang ekstrim (terlalu tua atau muda)

o Anestesia umum atau blok neuroaksial

o Kondisi pengobatan seperti pada penderita diabetes mellitus dan gagal

jantung

o Pengaruh obat-obatan dan senyawa lain seperti alkohol dan antidepresan

trisiklik.

Meningkatnya kehilangan panas tubuh

o Paparan terhadap lingkungan dingin

o Cairan intravena atau darah transfusi yang dingin

o Luka bakar

o Anestesia umum atau blok neuroaksial

Hipotermia berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas pada pasien,

dengan penurunan harapan hidup yang dramatis pada suhu sentral kurang dari 34oC. Pada

trauma pasien, klasifikasi hipotermia adalah 34 – 36oC hipotermia ringan, 32 – 34oC

hipotermia sedang, dan < 32oC hipotermia berat. Peningkatan morbiditas dan mortalitas

2

Page 3: Laporan Kasus ROI 2008

behubungan dengan gangguan koagulasi, asidosis metabolik akibat gangguan perfusi

jaringan, instabilitas hemodinamik, masalah pada saluran nafas, dan infeksi.

Potensi efek buruk hipotermia pada pasien trauma meliputi hal-hal sebagai berikut:

Gangguan fungsi sistim kardio-respirasi, seperti:

o Depresi jantung

o Iskemia miokard

o Disritmia

o Vasokonstriksi perifer

o Gangguan hantaran oksigen ke jaringan

o Peningkatan konsumsi oksigen ketika terjadi penghangatan kembali

o Penumpulan efek katekolamin

o Peningkatan viskositas darah

o Asidosis metabolik

Gangguan pembekuan darah, karena:

o Penurunan gerakan faktor-faktor koagulan

o Penurunan fungsi trombosit

Penurunan klirens obat, akibat:

o Penurunan aliran darah hati

o Penurunan metabolism obat

o Penurunan aliran darah ginjal

Peningkatan risiko infeksi, karena:

o Penurunan jumlah dan fungsi sel darah putih

o Gangguan respon imun selular

o Infeksi luka

o Vasokonstriksi termoregulasi

o Penurunan tekanan parsial oksigen subkutan

o Gangguan kerja oksidasi neutrofil dalam membunuh kuman

o Penurunan deposisi kolagen

o Pneumonia

o Sepsis

Penurunan suhu tubuh selama tindakan awal dan resusitasi pada pasien trauma tidak jarang

terjadi dan menyebabkan keluaran yang tidak baik pada pasien trauma. Hipotermia dengan

asidosis dan koagulopati sering disebut sebagai komponen dari “trio letal” pada pasien

3

Page 4: Laporan Kasus ROI 2008

trauma. Menggigil yang intensif dapat terjadi pada suhu antara 34oC sampai 36oC dengan

akibat peningkatan kebutuhan oksigen dan laju metabolism. Selama penghangatan kembali,

bisa terjadi pelepasan bekuan darah dingin dan metabolit asam dari pembuluh darah perifer,

dilatasi pembuluh darah sistemik sehingga terjadi instabilitas kardiovaskular. Instabilitas

kardiovaskular akibat penghangatan kembali pada syok ditandai dengan hipotensi, depresi

miokard, dan pelepasan metabolit asam. Hipotermia yang menyebabkan efek inotropik

negatif pada miokard dan depresi kontraktilitas jantung kiri dapat terjadi pada hipotermia

sedang. Hipotermia juga berhubungan dengan disritmia atrium dan ventrikel. Perubahan

EKG awal yang terjadi pada hipotermia adalah sinus takikardia. Ketika suhu semakin turun

maka akan terjadi bradikardia. Respon jantung terhadap katekolamin juga akan menjadi

tumpul ketika terjadi hipotermia, juga jantung akan menjadi tidak toleran terhadap

hipervolemia dan hipovolemia. Hipotermia intraoperatif meningkatkan kejadian gangguan

jantung seperti iskemia, angina unstable, dan takikardia ventrikel. Peningkatan gangguan

jantung dapat lebih hebat dari sekedar vasokonstriksi perifer, peningkatan kadar

norepinefrin, dan perubahan tonus alfa-adrenoseptor akibat reaksi terhadap suhu dingin.

Hipotermia dapat meningkatkan terjadinya infeksi luka operasi akibat vasokonstriksi

termoregulasi, penurunan tekanan oksigen subkutan, gangguan kemampuan membunuh

kuman netrofil, dan penurunan deposisi kolagen.

Konsentrasi gula darah meningkat dengan hipotermia sehingga membutuhkan terapi insulin

intensif untuk menurunkan mortalitas. Hipotermia dapat menyebabkan gangguan

pembekuan darah akibat gangguan fungsi trombosit, penghambatan pergerakan enzim

pembekuan, dan aktivasi kaskade fibrinolisis. Koagulopati yang mengancam nyawa pada

pasien dengan trauma berat yang membutuhkan transfusi massif berhubungan dengan

suhu kurang dari 34oC dan progresivitas asidosis metabolik.4 Hipotermia dan kombinasi

hipotermia-asidosis, namun tidak asidosis saja menyebabkan gangguan koagulasi. Inhibisi

produksi thromboksan B2 menyebabkan penurunan respon trombosit untuk agregasi.

Trombosit selanjutnya akan disimpan di limpa dan hati dan tidak dapat digunakan.

Hipotermia menyebabkan pelepasan senyawa seperti heparin sehingga menyebkan gejala

seperti disseminated intravascular coagulation (DIC). Hal ini ditandai dengan peningkatan

masa protrombin (PT) dan masa parsial tromboplastin (PTT), dan meningkatnya produksi

fibrin. Hipotermia juga mempengaruhi faktor Hageman dan tromboplastin yang diperlukan

untuk membentuk bekuan pada endotel yang cedera.5

Beberapa faktor risiko telah diidentifikasi secara independen berhubungan dengan

penurunan suhu tubuh perioperatif. Hal-hal ini meliputi umur, jenis kelamin, berat badan dan

luas permukaan tubuh, suhu tubuh sebelum operasi, riwayat neuropati diabetes,

pembedahan emergensi, jenis pembedahan dan daerah yang terbukar atau pembuluh darah

besar yang terpapar, tehnik anestesi yang digunakan, cara melakukan penghangatan,

4

Page 5: Laporan Kasus ROI 2008

jumlah cairan infus yang diberikan, suhu cairan infus dan cairan irigasi, lama operasi, suhu

oksigen yang diberikan, dan suhu ruangan operasi. Tidak menggunakan pemantau suhu

tubuh merupakan salah satu penyebab tidak tercegahnya hipotermia yang terjadi selama

pembiusan.6

Hipotermia yang tidak disengaja pada korban trauma merupakan masalah yang sering

terjadi pada awal fase resusitasi dan sering sering terabaikan. Tindakan-tindakan sederhana

sebenarnya dapat mencegah terjadinya hipotermia pada pasien trauma. Metode

menghangatkan pasien trauma yang hipotermia meliputi baik penghangatan eksternal pasif,

penghangatan eksternal aktif, dan penghangatan internal aktif. Penghangatan eksternal

pasif dilakukan dengan memisahkan pasien dari lingkungan yang dingin dan melakukan

penutupan tubuh pasien dari paparan dingin. Penghangatan eksternal aktif dapat dilakukan

dengan pemberian air atau udara hangat disekitar tubuh pasien, juga selimut atau benda

hangat lainnya. Sedangkan penghangatan internal aktif dapat dilakukan dengan

memberikan inhalasi udara panas, pemberian cairan infus yang dihangatkan, bilas lambung

dengan air hangat, irigasi kandung kemih atau mediastinum dengan cairan hangat.

Penatalaksanaan hipotermia pada pasien trauma seharusnya dimulai dengan pencegahan

kehilangan panas tubuh. Resusitasi cairan dapat menyebabkan penurunan suhu tubuh,

sehingga diperlukan alat penghangat cairan sebelum dimasukkan ke dalam tubuh. Dari

berbagai modalitas terapi non-invasif, penghangatan konveksi efektif dalam mengembalikan

suhu inti tubuh, walaupun panas radiasi mungkin lebih mudah diberikan pada pasien dengan

trauma multipel. Tehnik penghangatan suhu aktif seperti CAVR meningkatkan suhu inti

1,5oC sampai 2,5oC/jam, dan dapat mencegah kematian pada pasien trauma yang

mengalami hipotermia.4

Kasus

Pria, 24 tahun, berat badan 60 kg. Mengalami kecelakaan sepeda motor tanpa saksi mata,

tidak sadarkan diri dan diduga meminum minuman keras. Ditangani di rumah sakit awal

dengan pemberian oksigen nasal 3 liter/menit, dipasang infus ringer laktat (RL) sekitar 2500

mL dan dilakukan penjahitan sementara (situasi) pada luka di daerah paha kiri. Pemeriksaan

fisik dan radiologi menunjukkan fraktur femur sinistra 1/3 tengah, sedangkan hasil

pemeriksaan laboratorium adalah sebagai berikut: hemoglobin (Hb) 17,2 g/dL, hematokrit

(Ht) 51%, lekosit (L) 41100/µL, trombosit (T) 263000/µL, SGOT 112 µ/L, SGPT 83 µ/L,

albumin (Alb) 5,8 mg/dL, BUN 25 mg/dL, kreatinin serum 1,54 mg/dL, natrium (Na) 146

mEq/L, kalium (K) 2,8 mEq/L, klorida (Cl) 105 mEq/L, dan gula darah sewaktu (GDS) 235

mg/dL.

5

Page 6: Laporan Kasus ROI 2008

Gambaran hemodinamik dan resusitasi cairan yang terjadi selama penanganan awal adalah

seperti pada tabel berikut:

Jam Tekanan darah (TD), mmHg

Frekwensi nadi (N), /menit

Suhu (T), oC Pemberian cairan

01.45 90/50 128 36,6 500 mL RL02.10 90/70 120 36,6 500 mL RL02.40 100/60 120 36,1 500 mL RL03.55 100/70 120 500 mL RL (pemeliharaan)05.30 100/70 12006.10 100/70 168 500 mL RL 28 tetes/menit07.20 80/60 14007.30 80/60 140Sampai pada waktu ini, pasien belum dipasang kateter urin dan sonde lambung.

Pada jam 07.30 pasien dirujuk ke RSDS dengan menggunakan ambulans, didampingi

perawat. Selama perjalanan mendapatkan infus RL dan oksigen sungkup 6 liter /menit.

Pengantar rujukan tertulis diagnosis Cedera Otak Berat, Intoksikasi Alkohol, dan Fraktur

Terbuka Femur Sinistra.

Jam 8.10, pasien tiba di ruang resusitasi RSDS (RES) dengan kondisi:

(Primary Survey)

A: snoring

B: laju nafas (RR) 24 – 32 /menit, ada retraksi, dan tidak ada kelainan suara nafas

C: akral dingin, kering, pucat, TD 80/50 mmHg, N 166/menit regular, isi kecil

D: GCS 1 – 1 – 2, pupil bulat anisokor 2/3, reflex cahaya +/+

E: fraktur terbuka femur, kontusio paru kiri

Dilakukan tindakan maneuver jalan nafas, posisi syok, oksigenasi dengan 10 liter oksigen

Mapleson-F, fiksasi bantal pasir dan collar brace, dilakukan pemeriksaan darah lengkap,

dan dipasang kateter urin (keluar 200 mL). Jam 8.45 dilakukan intubasi dengan ETT

berdiameter 7,5 mm.

Selanjutnya dilakukan foto toraks dan USG (FAST).

Selama di RES telah masuk cairan infus berupa 2500 mL RL, 1500 mL, NaCl0,9%, 1000 mL

HES, dan 700 mL whole blood (WB).

Kondisi hemodinamik di ruang RES adalah seperti berikut:

Jam TD (mmHg) N (/menit) Lain-lain09.10 95/56 161 Dilakukan CT-scan kepala10.00 74/47 12311.00 84/52 11011.35 110/76 11212.00 110/74 110

6

Page 7: Laporan Kasus ROI 2008

Jam 09.40 (Secondary survey)

B1: A: bebas, terintubasi

B: ventilasi kendali (ventilator), frekwensi 14/menit, TV 480 mL, FiO2 1,0

B2: akral dingin, pucat, kering, TD 90/53 mmHg, N 138/menit

Jantung dalam batas normal

B3: GCS 1–1–2, pupil bulat anisokor (2/3), reflex cahaya +/+, tanda fraktur basis kranium –

B4: terpasang kateter, produksi urin tidak tercatat

B5: dinding perut lemas, bising usus normal

B6: fraktur femur sinistra terbuka

Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb 12,2 g/dL, Ht 35,1%, L 31200/µL, T 290000/µL, BUN 14

mg/dL, Cr 2,3 mg/dL, SGOT 126 µ/L, SGPT 58 µ/L, CRP 0,39 mg/L, PT 30,4 det, aPTT 15,3

det, Na 145,1 mEq/L, K 3,52 mEq/L, Cl 102 mEq/L, pH 7,39, pCO2 33 mmHg, pO2 385

mmHg, HCO3 20 mEq/L, BE – 5, dan SaO2 100%.

Selanjutnya pasien dipersiapkan untuk dilakukan pembedahan mengatasi perdarahan pada

fraktur femur dan pemasangan monitor tekanan intrakranial (ICP monitor).

Jam 13.15, sesaat sebelum masuk kamar operasi:

B1: A: bebas terintubasi

B: nafas kendali secara manual, terdapat cairan berwarna kemerahan (pink frothy

sputum) keluar dari pipa endotrakea, saturasi oksigen 89 – 90%

B2: dingin, pucat, kering, TD 110/70 mmHg, N 110/menit (pada posisi syok)

Suara jantung dalam batas normal

B3: knock out, pupil bulat anisokor (1/3), refleks cahaya menurun pada kedua mata

B4: terpasang kateter, produksi urin tidak tercatat

B5: agak tegang, bising usus normal, terpasang sonde lambung

B6: fraktur femur kiri terbuka

Hasil pemeriksaan laboratorium adalah: Hb 6,4 g/dL, Ht 33%, L 15800/µL, T 117000/µL, PT

29,2 detik, dan aPTT 12,2 detik.

Rencana operasi fiksasi eksternal dan pemasangan ICP monitor.

Operasi berlangsung selama 5 jam 50 menit, dengan pembiusan secara intravena dengan

ketamin, vekuronium, dan oksigen.

Durante operasi karena terjadi distensi abdomen, dilakukan USG FAST ulang dan dilakukan

laparatomi eksplorasi. Laparatomi ditemukan darah intraabdomen sebanyak 300 mL.

Tekanan darah selama anestesia 80 – 110/50 – 70 mmHg, nadi awal 120 per menit namun

menjadi berkisar 80 – 90 /menit selama operasi berlangsung. Suhu saat mulai operasi

32,8oC dan menjadi 29,2oC pada akhir operasi. Perdarahan selama operasi berkisar 3000

7

Page 8: Laporan Kasus ROI 2008

mL, dengan cairan masuk NaCl 0,9% 1500 mL dan whole blood 3150 mL, dan produksi urin

4300 mL. Operasi selesai jam 19.40 (sekitar 6 jam).

Jam 21.30 pasien tiba di ROI dengan kondisi:

B1: A: bebas terintubasi

B: ventilasi kendali: pressure control (PC) 14, frekwensi 16, PEEP 8,

FiO2 1,0 TV 310 – 360 mL; rhonki +/+

B2: akral hangat, kering, pucat, suhu rectal 30oC, TD 90/50 mmHg, N 90/menit

B3: dalam pengaruh obat

B4: terpasang kateter urin

B5: lemas, pasca laparatomi

B6: pasca fiksasi eksternal, tidak ada perdarahan

Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb 15,0 g/dL, Ht 44,3%, L 8200/µL, T 88000/µL, BUN 14

mg/dL, Cr 1,1 mg/dL, SGOT 220 µ/L, SGPT 86 µ/L, albumin 2,9 mg/dL, Na 127 mEq/L, K

3,7 mEq/L, Cl 104 mEq/L, PT 19,4 detik, aPTT >250 detik, GDS 148 mg/dL, pH 7,19, pCO2

54 mmHg, pO2 79 mmHg, HCO3 20,6 mEq/L, BE -7,6, dan SaO2 92%.

Di ROI, pasien masuk dengan T 90/50 mmHg dan mulai 100 – 120/50 – 60 mmHg, dengan

N 90 – 100/menit. Suhu tubuh mulai naik, pada jam 02.00 mencapai 36,5oC dan jam 05.00

37,4oC. Produksi urin selama 8 jam sebanyak 1250 mL (>2 mL/kg/jam). Hasil pemeriksaan

laboratorium sebagai berikut: Hb 12,9 g/dL, Ht 38,4%, L 9800/µL, T 105000/µL, PT 17,4

detik, aPTT 23,5 detik, pH 7,37, pCO2 41mmHg, pO2 48 mmHg, HCO3 23,7 mEq/L, BE -

1,6, SaO2 82% (kemungkinan darah dari vena)

Fungsi vital dan laboratorium pasien selama perawatan tergambar dari tabel di bawah ini:

Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4 Hari ke-5Hb 15 12,6 10,7 9,3 10,6Ht 44,3 38,3 31,4 28 30,8L 8.200 9.800 12.400 12.100 10.600Tr 86.000 105.000 81.000 98.000 129.000pH 7,19 7,37 7,397 7,41pCO2 54 41 41,1 40,2pO2 79 48 245,9 144,3Pa/FiO2 79 ? (vena?) 245,9 288,6HCO3 20,6 22 25,5 25,8BE -7,6 -1,6 1,1 1,7SaO2 92 82 99.8 99.3GDS 148 93 133Na 127 141,8 140,6 139K 3,7 2,72 4,14 3,1Cl 104 110,3 100,5 99,8Alb 2,9 2,3BUN 14 15,1 14,1

8

Page 9: Laporan Kasus ROI 2008

PT 19.4 11.1 17.4 15.6aPTT >250 23 34 12.7Suhu 30-37,4 37,5-39 38-39,6 38,8-39 39,5-40,8 41,2-42,8Sistolik 90-120 110-130 110-140 100-140 120-160 140-160Diastolik 50-60 50-80 50-90 50-100 60-100 70-100Nadi 90-100 90-100 100-130 90-120 80-120 120-150Urin 1250/9 jam 1970/24 jam 1150/24 jam 1300/24 jam 2100/24 jam 1080/15 jam

Pada hari ke-5, TD 140 – 160/70 – 100 mmHg, N 120 – 150/menit, dan suhu tubuh

meningkat dari 41,2oC sampai mencapai 42,8oC sebelum kemudian hemodinamik menjadi

menurun, kondisi pasien memburuk dan meninggal dunia pada 01.00.

Diskusi

Ini kasus trauma multipel, yaitu pada kepala, dada, dan tungkai bawah yang mengalami

syok, ditandai dengan penurunan tekanan darah yang nyata. Banyak hal yang dapat

diperbaiki dalam diagnosis dan penatalaksanaan kasus ini, namun pada diskusi untuk

laporan kasus kali ini, saya mencoba membatasi pembicaraan hanya sekitar resusitasi

cairan dan hipotermia yang terjadi, serta beberapa akibat yang menyertainya.

Setelah mengamankan jalan nafas dan memastikan oksigenasi dan ventilasi yang adekuat,

prioritas tertinggi berikutnya adalah mengendalikan perdarahan. Karena pasien mungkin

saja mengalami perdarahan pada beberapa tempat sekaligus, mungkin perlu beberapa

tindakan secara bersamaan. Sumber perdarahan yang cukup besar adalah luka terbuka

yang keluar tanpa tahanan, perdahan rongga dada, perdarahan di rongga perut, perdarahan

di pelvis dan retroperitoneum, serta perdarahan pada tulang panjang. Metode pengendalian

terhadap perdarahan bisa sangat sederhana seperti dengan melakukan penekanan dengan

tangan (sesuai anjuran ATLS), atau bahkan dengan cara lebih kompleks seperti dengan

embolisasi.7

Resusitasi cairan dalam rangka mengatasi syok hipovolemik (hemoragik) telah dilakukan

sejak dari rumah sakit awal dengan pemberian cairan berupa ringer laktat sebanyak 2500

mL. Sumber perdarahan yang diketahui pada awalnya adalah fraktur terbuka femur sinistra

yang dikatakan mengeluarkan darah sejak ditemukan di tempat kejadian perkara.

Sayangnya belum ada usaha untuk menghentikan perdarahan dari femur ini. Usaha

menjahit “situasi” pada pasien ini yang mungkin dimaksudkan untuk mengurangi perdarahan

keluar dari kulit sehingga diharapkan terjadi hematom untuk penekan sumber perdarahan

tidak terjadi sehingga perdarahan terus terjadi. Sumber perdarahan lain yang mungkin pada

kasus ini adalah dada, pelvis, dan abdomen.

9

Page 10: Laporan Kasus ROI 2008

Usaha melakukan resusitasi sebelum mengirim pasien ke rumah sakit rujukan sesuai

dengan penatalaksanaan trauma, yaitu bahwa pemberian cairan pengganti sebelum pasien

tiba di rumah sakit tidak boleh menyebabkan penundaan perpindahan pasien ke rumah

sakit. Sebelum sumber perdarahan dihentikan, strategi melakukan resusitasi carian harus

digunakan. Dengan demikian risiko iskemia jaringan dapat dikurangi yaitu melakukan

penggantian darah yang hilang dengan cairan infus. Bila perdarahan sudah terkendali,

harus dikembalikan ke kondisi normovolemia dan pemberian cairan disesuaikan dengan

tujuan konvensional, defisit basa, dan kadar laktat dalam plasma. Pada tahap awal, jenis

cairan yang digunakan mungkin tidaklah terlalu penting sepanjang jumlah yang diberikan

sesuai dengan kehilangan dari dalam pembuluh darah telah tergantikan; anemia lebih

mudah diadaptasi oleh tubuh daripada hipovolemia.Koloid yang tersedia memiliki beragam

hasil penelitian farmakokinetik dan farmakodinamik yang berbeda sehingga pemberiannya

tidak dapat dibandingkan.8

Sebenarnya pada kasus ini tindakan yang harus dilakukan sambil melakukan resusitasi

cairan adalah melakukan penghangatan (rewarming). Suhu tubuh yang sangat rendah

sesaat sebelum operasi (32,8oC) merupakan kontraindikasi untuk dilakukan tindakan

operasi, dan sebaliknya seharusnya dilakukan penghangatan segera sampai mencapai suhu

yang normal. Pencarian dan penatalaksanaan terhadap sumber perdarahan akan menjadi

rancu bila dilakukan pada saat hipotermia karena hipotermia sendiri akan menyebabkan

gangguan koagulasi. Selain itu tindakan pembedahan yang dilakukan pada saat hipotermia

akan menyebabkan risiko perdarahan lebih besar oleh karena sedang terjadi koagulopati.

Pada pemeriksaan awal tidak ditemukan adanya kemungkian penyebab perdarahan yang

lain, namun dengan pemerikasaan ultrasound ketika sedang operasi, dicurigai adanya

perdarahan intraabdomen sehingga dilakukan laparatomi eksplorasi untuk mencari sumber

perdarahan dan mengatasinya. Ultrasound adalah uji yang sederhana, mudah dipindahkan,

dan mudah diulang, tanpa radiasi dan dapat dikerjakan disamping tempat tidur dalam waktu

detik sampai menit. Tindakan melakukan pemeriksaan dengan ultrasound yang secara

khusus dikhususkan untuk menemukan adanya cairan bebas intraperitoneal atau

intrapericardial dikenal dengan Focused Assessment with Sonography for Trauma (FAST).

Pada FAST dilakukan pemeriksaan sonografi pada 4 tempat di abdomen, yaitu pada daerah

pericardium (epigastrium), daerah perihepatik (Morrison’s pouch), daerah perispenik, dan

daerah pelvis (Douglas’ pouch).9 Pada kasus ini kemungkinan sumber perdarahan

intraabdomen yang ditemukan sebesar 300 cc tampaknya bukan penyebab syok hemoragik.

Resusitasi cairan yang dilakukan sebelum dan selama operasi sebenarnya cukup adekuat

dari segi jumlahnya, yaitu 4000 mL kristaloid, 1000 mL koloid, dan 700 mL whole blood (WB)

selama di RES dan 1500 mL kristaloid dan 3150 mL whole blood. Jumlah perdarahan

selama operasi sekitar 3000 mL, sedangkan perdarahan sebelum operasi tidak diukur

10

Page 11: Laporan Kasus ROI 2008

namun diperkirakan lebih dari 2000 mL karena adanya fraktur terbuka pada femur. Produksi

urin sebanyak 4300 mL selama 6 jam (> 10 mL/kg/jam) menunjukkan produksi urin yang

sangat banyak.

Dalam rangka melakukan resusitasi cairan seperti pada kasus ini, tidak jarang terjadi efek

samping yaitu hipotermia. Hipotermia dapat terjadi karena proses kehiangan darah yang

cukup banyak dan karena pemberian cairan atau darah yang tidak dihangatkan. Efek

samping hipotermia pada pasien trauma meliputi gangguan koagulasi, vasokonstriksi perifer,

asidosis metabolic, peningkatan kebutuhan oksigen pada saat penghangatan kembali.

Hipotermia mengganggu koagulasi karena perlambaran kecepatan enzim dan penurunan

fungsi trombosit. Hipotermia juga dapat menyebabkan gangguan irama jantung dan bahkan

henti jantung akibat disosiasi elektromekanik, atau fibrilasi, khususnya pada kondisi suhu

tubuh di bawah 30oC. Hipotermia juga mengganggu metabolism sitrat, laktat, dan obat-

obatan; meningkatkan viskositas darah; mengganggu kemampuan merubah bentuk sel

darah merah; dan menyebabkan pergeseran kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri.

Dilaporkan mortalitas sampai dengan 100% pada pasien-pasien trauma dengan suhu tubuh

yang turun sampai di bawah 32oC, tanpa melihat derajat keparahan traumanya. Pemberian

cairan kristaloid sebanyak 4,3 liter per infus dengan udara kamar pada pasien dewasa yang

dilakukan anestesia dapat menyababkan penurunan suhu sentral sebanyak 1,5oC. Hal yang

sama juga terjadi bila dilakukan transfusi darah sebanyak 2,3 liter dapat menurunkan suhu 1

sampai 1,5oC. Oleh karena itu penting untuk menggunakan alat penghangat cairan ketika

melakukan infus cairan pada pasien-pasien trauma.2

Gregory dkk mendapatkan 57% pasien trauma yang menjalani operasi menjadi hipotermia

pada waktu antara terjadinya trauma sampai keluar dari kamar operasi. Pada kasus ini

hipotermia terjadi sebelum dilakukan operasi dan seharusnya merupakan alasan untuk

menunda operasi sampai dilakukan penghangatan dan perbaikan keadaan umum.10

Konsenkuensi lain dari hipotermia perioperatif meliputi iskemia miokard, gangguan irama

jantung, koagulopati, menggigil, peningkatan konsumsi oksigen, gangguan metabolism obat,

dan peningkatan infeksi luka. Pembeian cairan dingin atau yang tidak dihangatkan

menyababkan hipotermia, sedangkan pemberian cairan normotermia menurunkan insiden

dan komplikasi hipotermia. Karena itu menghangatkan cairan adalah hal yang penting untuk

mempertahankan hemostasis normal.11

Selain itu, penyebab lain hipotermia pada kasus ini mungkin juga karena memiliki riwayat

meminum-minuman keras (mengandung etanol?). Hipotermia yang berhubungan dengan

penggunaan etanol terjadi dengan cara depresi termoregulasi sentral, vasodilatasi,

penekanan menggigil, dan efek sedasi yang menyebabkan pasien tidak bisa menghindar

dari lingkungan yang dingin.12 Hipotermia pada pasien ini cukup berat karena suhu turun

menjadi 32oC sesaat sebelum operasi dan pada akhir operasi suhunya menjadi 29oC.

11

Page 12: Laporan Kasus ROI 2008

Pada saat hipotermia beberapa hasil pemeriksaan penunjang menunjukkan kelainan.

Koagulasi terganggu karena efek hipotermia. Pada kasus ini terlihat adanya pemanjangan

masa aPTT. Dari analisis gas darah pada saat terjadi hipotermia terlihat pH yang rendah

dengan BE yang tinggi. Koagulopati yang terjadi selama hipotermia tidak dipengaruhi oleh

kadar faktor-faktor pembekuan.13 Selain itu, koagulopati setelah trauma merupakan hasil

akhir dari kejadian patologis multiple dan tidak sekedar karena dilusi. Tidak ada data yang

mendukung pemberian komponen darah untuk profilaksis terjadinya koagulopati pasca

trauma. 14

Usaha yang dilakukan selain suportif adalah melakukan penghangatan. Pasca

penghangatan yang dilakukan di ROI kondisi pasien membaik dan parameter hemostasis

menunjukkan perbaikan (penurunan PT dan aPTT), demikian pula dengan pH yang kembali

normal.

Sesuai dengan kepustakaan, maka pada penanganan pasien trauma multipel, khususnya

yang memerlukan resusi cairan secara agresif, maka selain jumlah dan jenis cairan yang

diberikan untuk resusitasi, juga sangat perlu diperhatikan suhu tubuh pasien. Pasien trauma

yang memiliki risiko hipotermia harus dilakukan tindakan pencegahan dan terapi hipotermia

dengan penghangatan baik secara pasif maupun secara aktif. Mengurangi waktu paparan

terhadap suhu lingkungan yang dingin, menggunakan penghangat seperti selimut atau alas

hangat, dan pemberian cairan intravena (termasuk darah) yang dihangatkan merupakan

tindakan yang seharusnya dikerjakan terhadap pasien trauma multipel. Dapat juga irigasi

cairan hangat pada tubuh pasien seperti melalui cairan hangat di dalam abdomen yang

terbuka, bila perlu pembedahan dapat dihentikan untuk mencegah semakin berkurangnya

suhu tubuh dan memberikan kesempatan untuk melakukan penghangatan lebih lanjut.

Meninggalnya pasien trauma multipel pada kasus ini memang telah diperkirakan

sebelumnya. Dengan tidak mengabaikan kondisi-kondisi penyulit lainnya, beberapa

penelitian terhahulu mengenai prognosis pasien trauma multipel yang mengalami hipotermi

memperlihatkan prognosis yang buruk. Jurkovich dkk di tahun 1987 menyatakan mortalitas

mencapai 100 persen pada pasien trauma multipel yang mangalami hipotermia sampai di

bawah 32oC. Sedangkan Martin dkk di tahun 2005 menyatakan mortalitas sekitar 39 persen

pada pasien trauma multipel dengan suhu di bawah 32oC.15, 2 Penyebab kematian pada

kasus hipotermia pada multitrauma ini kemungkinan disebabkan karena syok yang telah

terjadi dan adanya hipotermia yang kemudian setelah dilakukan resusitasi terjadi cedera

reperfusi. Peningkatan suhu tubuh, tekanan darah, dan laju nadi menunjukkan adanya

peningkatan reaksi tubuh (inflamasi) yang bisa disebabkan oleh peningkatan katekolamin

yang keluar pada saat cedera sel oleh cedera reperfusi.

12

Page 13: Laporan Kasus ROI 2008

Kesimpulan

Telah dilaporkan kasus multitrauma dengan resusitasi cairan dan terjadinya efek hipotermia

pada pasien di RS Dr. Sutomo, Surabaya.

Resusitasi cairan yang adekuat diperlukan untuk mengatasi syok hipovolemik (hemoragik)

untuk mencegah terjadinya syok yang ireversibel.

Selain dilakukan pengukuran kebutuhan yang akurat, sebaiknya pemberian cairan resusitasi

dilakukan penghangatan terlebih dahulu agar tidak terjadi hipotermia.

Seharusnya tidak dilakukan tindakan pembedahan atau tindakan invasif lain selama

resusitasi dan pengendalian suhu tubuh belum dilakukan. Operasi untuk tujuan “damage

control” baru boleh dilakukan setelah dilakukan penghangatan.

Pasien pada kasus ini meninggal dunia pada hari ke-5 perawatan di ROI.

13

Page 14: Laporan Kasus ROI 2008

Daftar Pustaka

1. Smith CE, Rosenberg AD, Grande CM. Editorial. The International Trauma

Anesthesia and Critical Society Seminar Panels, January 2003

2. Smith CE. Current Practices in Fluid and Blood Component Therapy in Trauma. The

International Trauma Anesthesia and Critical Society Seminar Panels, January 2003

3. Dutton RP. Pathophysiology of Traumatic Shock. International Trauma Care

(ITACCS) Vol. 18, No. 1, 2008

4. Søreide E, Smith CE. Hypothermia in trauma victims – friend or foe? Indian J Crit

Care Med April-June 2004 Vol 8 Issue 2

5. Dirkmann D, Hanke AA, Klaus Gorlinger K, Peters J. Hypothermia and acidosis

synergistically impair coagulation in human whole blood. Anesth Analg

2008;106:1627–32

6. Kongsayreepong S, Chaibundit C, Chadpaibool J et al. Predictor of Core

Hypothermia and the Surgical Intensive Care Unit. Anesth Analg 2003;96:826 –33

7. Plaisier BR. Surgical Perspectives to Control Bleeding in Trauma. The International

Trauma Anesthesia and Critical Society Seminar Panels, January 2003

8. Nolan J. Fluid resuscitation for the trauma patient. Resuscitation, Jan 2001; 48(1): 57

– 69

9. Kirkpatrick AW. Clinician-performed focused sonography for the resuscitation of

trauma. Crit Care Med 2007 Vol. 35, No. 5 (Suppl.)

10. Gregory JS, Flancbaum L, Townsend MC, Cloutier CT, Jonasson O. Incidence and

timing of hypothermia in trauma patients undergoing operations. J. Trauma. 1991

Jun; 31(6): 795-8

11. Smith CE. Principles of fluid warming in Trauma. The International Trauma

Anesthesia and Critical Society Seminar Panels, January 2003

12. Witter LK. Alcohol related illness. www.docstoc.com/docs/476822/HYPOTHERMIA-

Alcohol-Related-Illness

13. Reed RL, Bracey AW, Hudson JD, Miller TA, Fischer RP. Hypothermia and blood

coagulation: dissociation between enzyme activity and clotting factor levels. Circ

Shock. 1990 Oct;32(2):141-52

14. Crosby E. Current Issues in Fluid Resuscitation Following Trauma, Dep of

Anaesthesia, Ottawa Hospital - General Site, University of Ottawa.

www.anesthesia.org/winterlude/wl95/wl95_2.html

14

Page 15: Laporan Kasus ROI 2008

15. Martin et al. Injury-associated hypothermia: an analysis of the 2004 National Trauma

Data Bank. Shock 2005, Aug; 24 (2): 114-8

15