laporan kasus pseudokista
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS 1
PSEUDOKISTA AURIKULA DEXTRA
OLEH:
BAIQ TRISNA SATRIANA
H1A008042
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT UMUM PROPINSI NTB
2013
BAB 1
PENDAHULUAN
Pseudokista daun telinga pertama kali dilaporkan oleh Hartmann pada tahun 1846 dan
pertama kali dijelaskan dalam literatur Inggris pada tahun 1966 oleh Engel. Dalam perjalanannya,
pseudokista daun telinga memiliki banyak istilah, termasuk Pseudokista Endochondral, Kista
Intracartilaginous, Chondromalacia Kistik, dan Benign Idiopathic Cystic Chondromalacia.
Karena kondisi ini jarang terjadi, kemungkinan bisa terjadi kesalahan dari diagnosis atau terdapat
kasus yang tidak dilaporkan.1,2,3
Pseudokista daun telinga adalah suatu kondisi yang jarang dan jinak dari telinga yang
disebabkan oleh kumpulan cairan serora di intra kartilaginosa di bagian anterior daun telinga.
Pseudokista daun telinga memiliki rongga yang tidak dibatasi oleh epitel. Kondisi ini terjadi
terutama pada pria dibandingkan pada wanita seperti dicatat oleh Grossman dan Cohen.
Kebanyakan kasus juga terlihat unilateral pada satu telinga, namun kasus bilateral pun juga
bisa terjadi. Etiologinya tidak jelas, namun trauma ringan berulang dicurigai menjadi faktor
pemicu terjadinya kondisi ini. Secara klinis, tampak benjolan/pembengkakan menonjol pada
permukaan anterior atas daun telinga, tidak nyeri. (Karabulut Hayriye)
Pada laporan kasus ini penulis akan menjabarkan mengenai kasus pseudokista Daun
telinga yang ditemukan di Poliklinik THT RSU NTB pada tanggal .
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pseudokista daun telinga adalah benjolan di daun telinga yang disebabkan oleh adanya
kumpulan cairan kekuningan di antara lapisan perikondrium dari tulang rawan telinga
bermanifestasi sebagai suatu pembengkakan, dan tanpa rasa sakit pada telinga luar.
(Soepardi, buku ijo THT).
2.2 Epidemiologi
According to one study, auricular pseudocysts predominantlyaffect young men (93%) and is mostlyunilateral (87%).6 Men of Chinese and Europeanancestry have been reported most often. Bilateralcases, cases involving children, and a history ofantecedent trauma are rare.1
Frekuensi :
Tan dan Hsu melaporkan gambaran epidemiologi, karakteristik klinikopatologi, dan keberhasilan pengobatan bedah pada 40 pasien dari kelompok Asia yang berbeda yang menderita Pseudokista daun telinga. Hasil penelitian menunjukkan dominasi Cina (90%), diikuti oleh orang Melayu (5%), dan Eurasia (5%). Sebagian besar (55%) menunjukkan pembengkakan telinga dalam waktu 2 minggu. Hanya sedikit (10%) memiliki riwayat trauma.1 Mortalitas / Morbiditas :
Tanpa dilakukan pengobatan pada Pseudokista daun telinga, dapat terjadi cacat permanen pada daun telinga yang terkena.1 Ras :
Kebanyakan laporan dari Pseudokista daun telinga telah melibatkan pasien Cina atau berkulit putih, namun orang-orang dari semua kelompok ras bisa terkena.1 Jenis kelamin :
Pseudokista daun telinga menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi pada pria daripada pada wanita.1 Usia :
Sebagian besar Pseudokista daun telinga terjadi pada pria berusia 30-40 tahun, tetapi hasil pendataan lesi dapat terjadi pada pasien mulai usia 15-85 tahun.1
2.3 Etiologi
Etiologi untuk Pseudokista daun telinga tidak diketahui, tetapi beberapa mekanisme patogenik telah dilaporkan, termasuk trauma ringan kronis. Beberapa pendapat menyatakan bahwa sebuah kecacatan kecil dalam embriogenesis aurikularis dapat juga berkontribusi terhadap pembentukan pseudokista. Kecacatan ini dapat menyebabkan pembentukan suatu
3
bidang jaringan sisa di dalam tulang rawan aurikularis. Ketika mengalami trauma minor berulang atau stres mekanik, bidang ini dapat membuka jaringan, membentuk pseudokista. Tulang rawan aurikularis khususnya mungkin lebih rentan terhadap trauma karena kurangnya jaringan ikat yang melapisi tulang rawan pada kulit.7
Sesuai dengan mekanisme yang dilaporkan, dermatitis atopik yang menyertai keterlibatan daerah wajah dan telinga mungkin merupakan kondisi predisposisi untuk pembentukan pseudokista. Meskipun kejadian pseudokista pada pasien dengan dermatitis atopik tampaknya rendah. Pasien ini memiliki insidensi yang lebih besar untuk terjadi lesi bilateral dibandingkan dengan populasi umum.5 Pseudokista juga telah dilaporkan pada pasien dengan pruritus yang hebat yang kemudian didiagnosis dengan limfoma. Setelah kemoterapi untuk limfoma, pruritus membaik dengan pengurangan spontan dari volume pseudokista tersebut. Para penulis mengusulkan bahwa trauma saat menggaruk dan menggosok telinga adalah penyebab utama yang dapat memperburuk pseudokista tersebut.1,5
Various hypotheses have been suggested for theetiology of this cystic swelling, but the exact causeremains unclear. In 1966, Engel8 proposed that lysosomalenzymes were released from chondrocytes,leading to damage of auricular cartilage and subsequentfluid accumulation. However, analysis of pseudoauricularfluid by Harder and Zachary9 revealedfluid rich in albumin, proteoglycans, and cytokines,but no lysosomal enzymes. Another theory proposedthat a defect in auricular embryogenesis results inthis condition. The developmental defect producesresidual tissue planes within the auricular cartilageand subsequent minor trauma leads to shearing ofthe tissue planes and their filling with fluid.10 Mostreports, however, suggest that auricular pseudocystsare likely the result of 2 factors. First, the appositionof the hyaline cartilage of the ear to the skull causesincreased production of glycosaminoglycans andsubsequent ischemic necrosis of the cartilage.11 Second,repeated minor trauma to the ear leads to separationof the perichondrium from the cartilage andsubsequent development of an intracartilaginouscavity that becomes filled with serosanguineousfluid.12 It has been observed that rubbing, ear pulling,sleeping on one side, wearing a motorcycle helmet, orusing earphones has led to the development of a pseudocyst.2,3 The trauma theory is supported by the factthat elevated levels of lactate dehydrogenase 4 and 5,the predominant subtypes in the ear, were found inaspirated fluid. It is postulated that the disruption ofauricular cartilage leads to lactate dehydrogenasebeing released from the degenerated cartilage.2
2.4 Patofisiologi
Etiologi dari Pseudokista daun telinga tidak diketahui, tetapi beberapa mekanisme patogenik telah dikemukakan. Awalnya, Engel menyatakan bahwa enzim lisosomal mungkin akan dilepaskan dari kondrosit dan menyebabkan kerusakan pada tulang rawan aurikularis.
4
Namun, analisis isi dari pseudokista mengungkapkan bahwa cairan kaya akan albumin dan asam proteoglikan, dengan kaya sitokin tetapi sedikit mengandung enzim lisosomal.1,5 Analisis sitokin dari cairan menunjukkan terdapatnya peningkatan interleukin (IL) -6, yang diyakini untuk merangsang proliferasi kondrosit. IL-1, mediator penting untuk terjadinya peradangan dan kerusakan tulang rawan, menginduksi IL-6. IL-1 juga merangsang kondrosit mensintesis protease dan prostaglandin E2 sementara menghambat pembentukan komponen matriks ekstraseluler.1,5,6 Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa Pseudokista aurikularis sering terjadi setelah
trauma ringan yang berulang. Untuk mendukung etiologi trauma ini, telah dilaporkan nilai
dehidrogenase laktat serum (LDH) terdapat dalam cairan pseudokista. Dua dari isoenzim
tinggi, LDH-4 dan LDH-5, yang dinyatakan sebagai komponen utama dari tulang rawan
aurikularis manusia. Enzim ini mungkin dapat dilepaskan dari cartilago aurikularis yang
mendapatkan trauma minor berulang. Suatu artikel melaporkan bahwa pseudocysts dapat
dianggap sebagai variasi dari othematoma atau otoseroma.1,5,6
2.5 Manifestasi klinis
Pseudokista bermanifestasi sebagai pembengkakan tanpa rasa sakit pada permukaan lateral atau anterior pinna, yang terus berkembang selama 4-12 minggu. Riwayat trauma mungkin menyertai perjalanan klinis, termasuk menggosok, menarik telinga, tidur di bantal keras, atau memakai helm sepeda motor atau earphone. Ini juga telah dikaitkan dengan kasus kulit gatal atau penyakit sistemik termasuk dermatitis atopik dan limfoma.1,5 Pseudokista bukanlah suatu peradangan, terjadi pembengkakan yang asimptomatik pada
permukaan lateral atau anterior dari pinna, biasanya pada fossa skafoid atau fosa triangular.
Ukuran mulai dari diameter 1-5 cm, dan mengandung cairan kental bening atau kekuningan,
dengan konsistensi yang sama dengan minyak zaitun.1,5
2.6 Penegakan diagnosis
The diagnosis of auricularpseudocyst is usually based on a combination ofclinical history and physical examination, aspirationof cystic fluid, and/or histologic examination of abiopsy specimen.
Histologically, there isan intracartilaginous cavity lacking an epithelial liningbecause of cartilaginous degeneration. Fibrous tissuereplacement of the cartilaginous tissue also isnoted. Some cases show mucinous material that iscontinuous with the cartilage
2.7 Tatalaksana
2.8 Prognosis
2.9 Komplikasi
5
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama pasien : An. YN
Umur : 6 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Dasan agung, Kota Mataram
Pekerjaan : -
No. RM : 077546
Tanggal Pemeriksaan : 9 Maret 2013
3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan utama
Sakit di telinga kiri.
3.2.2 Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poliklinik THT RSU Provinsi NTB dengan keluhan sakit pada
telinga kiri sejak 2 hari yang lalu. Menurut orang tuanya, pasien tampak sering memegang
telinganya dan rewel. Keluar cairan dari telinga dan penurunan pendengaran disangkal orang
tua pasien. Pasien juga mengalami demam sejak 4 hari yang lalu, disertai pilek dan batuk
berdahak dengan dahak kental berwarna kekuningan. Saat pemeriksaan, keluhan batuk dan
pilek disangkal oleh pasien. Hidung tersumbat (-).
Pasien tidak mengeluhkan kelainan pada telinga kanan.
3.2.3 Riwayat penyakit dahulu
Pasien belum pernah menderita keluhan yang sama seperti ini sebelumnya. Tidak ada
riwayat keluar cairan dari dalam telinga kiri maupun kanan.
3.2.4 Riwayat penyakit keluarga/sosial
Tidak ada keluarga dengan keluhan serupa. Riwayat batuk dan pilek di keluarga juga
disangkal.
3.2.5 Riwayat pengobatan: (-)
6
Serumen
3.2.6 Riwayat alergi:
Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat-obatan, tidak pernah meler dan
bersin-bersin saat terkena debu atau dingin.
3.3 Pemeriksaan Fisik
3.3.1 Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
Tekanan darah: (-)
Nadi: 90 x/menit
Respirasi: 22 x/menit
Suhu : 37⁰C
BB: 18 kg
3.3.2 Status Lokalis
Pemeriksaan telinga
No. Pemeriksaan
Telinga
Telinga kanan Telinga kiri
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam batas
normal, hematoma (-), nyeri
tarik aurikula (-)
Bentuk dan ukuran dalam batas
normal, hematoma (-), nyeri
tarik aurikula (-)
3. Liang telinga Serumen (+), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-), otorhea
(-)
Serumen (-), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-), otorhea
(-)
7
Hiperemis
Bulging
4. Membran timpani Sulit dievaluasi Retraksi (-), bulging (+),
hiperemi (+), edema (-),
perforasi (-), cone of light (-)
Pemeriksaan hidung
Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri
Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-)
Bentuk (normal), hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-)
Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)
Cavum nasi Bentuk (normal), mukosa pucat
(+), hiperemia (-)
Bentuk (normal), mukosa pucat
(+), hiperemia (-)
Meatus nasi media Mukosa normal, sekret (+), massa
berwara putih mengkilat (-).
Mukosa normal, sekret (+),
massa berwarna putih mengkilat
(-).
Konka nasi inferior Edema (-), mukosa hiperemi (-) Edema (-), mukosa hiperemi (-)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus
(-)
Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus
(-)
8
Pemeriksaan Tenggorokan
Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)
Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi Normal
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)
Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran (-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-),
sekret (-)
Tonsila palatine Kanan Kiri
T1 T1
Fossa Tonsillaris
dan Arkus Faringeus
hiperemi (-) hiperemi (-)
3.4 Diagnosis
‒ Otitis media akut stadium supurasi sinistra e.c rinitis akut
‒ Serumen obturan dekstra.
3.5 Diagnosis Banding : (-)
3.6 Pemeriksaan Penunjang : (-)
3.7 Rencana Terapi
3.7.1 Medikamentosa
Antibiotik sistemik :
Amoxicillin 40 mg/kgBB/hari (20-50 mg/kgBB/hari) dibagi dalam 3 dosis.
9
BB pasien 18 kg, maka dosis pemberiannya: 720 mg/hari (360-900 mg/hari),
240 mg (120-300 mg) per pemberian.
Jadi diberikan Amoxicilin syrup 3 x 2 cth (selama 7 hari).
Analgetik-antipiretik :
Parasetamol 10-15 mg/kgBB/pemberian.
BB pasien 18 kg, maka dosisnya 180-270 mg/pemberian. Boleh diulang hingga
4 - 6 kali perhari.
Jadi diberikan Parasetamol syrup 3 x 1½ cth.
Dekongestan:
Pseudoefedrin syrup 3 x 1 cth
Untuk telinga kanan:
Pembersihan serumen telinga kanan dengan kapas yang dililitkan di pelilit kapas
dan irigasi tidak berhasil.
Maka diberikan dulu pelunak serumen: Forumen tetes telinga 4 x 4 gtt AD
(selama 3 hari).
3.7.2 KIE pasien
Pasien dianjurkan untuk tetap menjaga kebersihan telinga dan tidak mengorek-
ngorek liang telinga.
Antibiotik harus diminum sampai habis walaupun gejala sudah hilang, agar
penyembuhan berlangsung baik dan tidak terjadi komplikasi.
Menjaga higiene agar tidak terjadi ISPA.
Datang kembali untuk kontrol setelah 3 hari untuk evaluasi dan membersihkan
serumen serta memantau perkembangan stadium OMA.
3.8 Prognosis
Dubia ad bonam.
10
BAB 4
PEMBAHASAN
Diagnosis otitis media akut stadium supurasi didapatkan melalui hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik telinga yang dilakukan. Pada anamnesis, tergambar jelas mengenai etiologi
dan perjalanan penyakit pasien. Anamnesis adanya riwayat batuk-pilek dengan sekret kuning
sebelum keluhan telinga muncul menunjukkan penyebab terjadinya infeksi pada telinga
tengah. Infeksi saluran napas atas dapat menyebabkan gangguan tuba auditiva yang
selanjutnya menyebabkan tekanan negatif pada telinga tengah, bermanifestasi sebagai rasa
penuh pada telinga yang dirasakan pasien. Sumbatan tuba yang terus berlanjut menyebabkan
hipersekresi sel goblet pada mukosa telinga tengah. Sekret merupakan media pertumbuhan
bakteri yang baik, sehingga kemudian timbul proses infeksi pada telinga tengah. Hipersekresi
dan infeksi telinga tengah bermanifestasi sebagai rasa nyeri pada telinga. Pada anak hal ini
menyebabkan anak menjadi rewel. Pada anamnesis pasien menunjukkan gejala yang sesuai
dengan OMA stadium supurasi.
Pemeriksaan fisik telinga mengkonfirmasi hasil anamnesis. Tidak tampak sekret pada
liang telinga, membran timpani intak, tampak hiperemis dan menonjol. Hal ini disebabkan
karena banyak sekret di dalam telinga tengah.
Pada pemeriksaan telinga kanan didapatkan penumpukan serumen. Namun pasien tidak
mengeluhkan kelainan, seperti rasa penuh atau rasa tertekan di telinga kanan. Hal ini
dimungkinkan oleh karena efek masking nyeri pada telinga kiri.
Penanganan pasien OMA ditujukan pada eradikasi infeksi dan simtomatis untuk
mengurangi gejala yang dirasakan pasien. Eradikasi infeksi pada OMA harus adekuat
sehingga infeksi tidak menetap, tidak terjadi perforasi membran timpani, dan selanjutnya
berubah menjadi OMSK. Terapi lini pertama diberikan pada pasien ini berupa antibiotik
spektrum luas Amoxicillin syrup selama 7 hari, dan parasetamol syrup sebagai analgetik-
antipiretik. Sebaiknya dilakukan juga miringotomi agar gejala klinis lebih cepat hilang dan
mencegah terjadinya ruptur membran timpani.
Penanganan serumen obturan dilakukan dengan membersihkan telinga, baik dengan
kapas yang dililitkan pada pelilit kapas atau dengan pengait atau dengan irigasi. Jika dengan
cara ini serumen tidak berhasil dikeluarkan, maka serumen harus dilunakkan terlebih dahulu.
Pada pasien telah dilakukan usaha pembersihan dengan irigasi dan kapas yang dililitkan pada
pelilit kapas, namun serumen tidak berhasil dibersihkan. Maka pasien diberikan obat tetes
telinga untuk melunakkan serumen.
11
Pasien diminta kembali lagi untuk kontrol setelah 3 hari untuk melihat
perkembangannya, untuk membersihkan serumen, mengevaluasi perkembangan stadium
OMA, apakah terjadi perbaikan atau perburukan yaitu perforasi membran timpani. Kontrol
juga diperlukan untuk menilai terapi telah adekuat atau belum, agar dapat mencegah
perburukan penyakit. Antibiotik oral diberikan pada pasien ini untuk menjamin adekuasi
terapi.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Zainul A. Djaafar, Helmi, dan Ratna D.R. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Efiaty
A.Soepardi, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher, edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007. hlm 65-69
2. Michael, M. Paparella, George, L.A., dan Samuel C.L. Penyakit Telinga Tengah dan
Mastoid. Dalam: George, L.A., dkk (editor). Boies Buku Ajar Penyakit THT, edisi 6.
Jakarta: EGC. 1994. hlm 96-97
3. Paola Marchisio, et al. Burden of Acute Otitis Media in Primary Care Pediatrics in
Italy: A Secondary Data Analysis from the Pedianet Database. BioMed Central
Pediatrics. 2012. Diakses dari http://www.biomedcentral.com/1471-2431/12/185
4. John D. Donaldson. Acute Otitis Media. Medscape Reference. 2013. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/859316-overview#a0156
5. Anonim. Otitis Media Akut. Universitas Sumatera Utara. Diakses dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31376/5/Chapter%20I.pdf
6. Van De Graaff. Human Anatomy, 6th edition. New York: The McGraw-Hill
Companies. 2001. pg 516-519
7. Indro Soetirto, Hendarto H., dan Jennt B. Gangguan Pendengaran (Tuli). Dalam:
Efiaty A.Soepardi, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher, edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. hlm 10 – 13
8. Hellstorm. Tympanic membrane vessel revisited: a study in an animal model.
Department of Clinical Science, Otorhinolaryngology, University Hospital of Umeå,
Sweden. 2012. Diakses dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12806306
9. Seeley, Stephens, Tate. Anatomy and Physiology, 6th Ed. New York: The
McGraw−Hill Companies. 2004. chapter 15
10. Lawrence R. Boeis, Jr. Penyakit Telinga Luar. Dalam: George, L.A., dkk (editor).
Boies Buku Ajar Penyakit THT, edisi 6. Jakarta: EGC. 1994. hlm 76-77
11. Sosialisman, Alfian F.H., dan Helmi. Kelainan Telinga Luar. Dalam: Efiaty
A.Soepardi, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher, edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007. hlm 57-58
13
12. Timothy T.K. Jung dan Tae H. Jinn. Disease of External Ear. Dalam: James B Snow
Jr. dan John J. Ballenger. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery,
16th ed. Spain: BC Deker Inc. 2003. pg 233-234
14