laporan kasus hipertiroid
DESCRIPTION
Makalah hipertiroidTRANSCRIPT
Pendahuluan
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena
pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau
gambaran morfologinya.1 Istilah struma toksik dan struma non toksik dipakai karena adanya
perubahan dari segi fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotiroid.
Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan menjadi eutiroidisme,
hipotiroidisme, dan hipertiroidisme.1 Hipotiroidisme dapat disebabkan oleh proses patologis
yang merusak kelenjar tiroid, defisiensi sekresi TSH hifofisis, dan hipotiroid kongenital
akibat kekurangan hormon tiroid sebelum atau segera sesudah lahir. Terdapat pula keadaan
yang dikenal sebagai hipotiroidisme iatrogenik yang terjadi pascatiroidektomi atau
pascapengobatan iodium radioaktif.2 Hipertiroidisme dapat didefinisikan sebagai respons
jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan.2 Hipertiroidisme
adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif. Tirotoksikosis
ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar dalam sirkulasi. Dapat pula
karena pasien mengkonsumsi hormon tiroid berlebihan dimana penyebab ini digolongkan
tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme yang biasanya self-limiting disease. Penggolongan sebab
tirotoksikosis hipertiroidisme primer 70% karena penyakit grave’s, dan sisanya karena
gondok multinodular toksik. Pada sebab tirotoksikosis hipertiroidisme sekunder bisa karena
tirotoksikosis gestrasi (trimester pertama).3
Berdasarkan morfologinya, Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma difus
toksik dan struma nodusa toksik. Istilah difus dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan
bentuk anatomi dimana struma difus toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Sementara
struma nodusa toksik akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih
benjolan (struma multinoduler toksik). Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik
yang dibagi menjadi struma difus nontoksik dan struma nodusa nontoksik. Struma nontoksik
disebabkan oleh kekurangan iodium yang kronik. Struma ini disebut sebagai simple goiter,
struma endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya
kurang sekali mengandung iodium atau terpapar goitrogen yang bisa menghambat sintesa
hormon.1,4
Struma diffusa toksik adalah penyebab tersering hipertiroidisme. Struma Diffusa
toksik/grave’s disease adalah penyakit autoimun dengan terjadi peningkatan pelepasan
hormon tiroid, yaitu thyroid stimulating immunoglobulin (TSI), suatu IgG yang sepertinya
“mirip” reseptor TSH dimana terdapat trias pada struma diffusa toksik ini yaitu tirotoksikosis
1 | P a g e
akibat pembesaran difus tiroid yang hiperfungsional, oftamolpati infiltratif yang
menyebabkan eksopthalmus, dan dermopati infiltratif lokal pada sebagian kecil pasien.5 Di
negara Amerika Serikat, struma difusa toksik adalah bentuk yang paling umum dari
hipertiroid. Sekitar 60-80% kasus tirotoksikosis akibat struma diffusa toksik. Kejadian
tahunan struma diffusa toksik ditemukan menjadi 0,5 kasus per 1000 orang selama periode
20-tahun, dengan terjadinya puncak pada orang berusia 20-40 tahun. Gondok multinodular
(15-20% dari tirotoksikosis) lebih banyak terjadi di daerah defisiensi yodium. Kebanyakan
orang di Amerika Serikat menerima yodium cukup, dan kejadian gondok multinodular
kurang dari kejadian di wilayah dunia dengan defisiensi yodium. Prevalensi hipertiroid
berdasarkan umur dengan angka kejadian lebih kurang 10 per 100.000 wanita dibawah umur
40 tahun dan 19 per 100.000 wanita yang berusia di atas 60 tahun. Prevalensi kasus
hipertiroid di Amerika terdapat pada wanita sebesar (1 ,9%) dan pria (0,9%). Di Eropa
ditemukan bahwa prevalensi hipertiroid adalah berkisar (1-2%). Di negara lnggris kasus
hipertiroid terdapat pada 0.8 per 1000 wanita pertahun.6
Laporan ini dibuat antara lain untuk meningkatkan pemahaman secara garis besar
tentang struma diffusa toksik sehingga diharapkan kita dapat lebih waspada terhadap keluhan
dan gejala yang diutarakan dan dengan demikian dapat memberikan penanganan yang tepat
sesegera mungkin guna mencegah dan mengurangi terjadinya komplikasi yang berpotensi
mengancam nyawa. Pembuatan ini ditujukan dalam rangka pemenuhan tugas laporan kasus
dalam proses pembelajaran kami di bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Mardi Rahayu,
Kudus.
Laporan Kasus
Seorang wanita A berusia 53 tahun, masuk unit gawat darurat RS Mardi Rahayu pada
tanggal 21 November 2015 dengan keluhan dada berdebar-debar. Dada berdebar-debar
dirasakan sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit yang dialami terus menerus sepanjang
hari. Keluhan tersebut tidak disertai dengan sakit dada dan sesak nafas, namun pasien
mengeluh tangan sering gemetaran, sering kepanasan, mudah berkeringat banyak, dan
menjadi lebih mudah marah. Selain itu, pasien mengeluh berat badannya dirasakan terus
menurun sejak 2 bulan ini padahal nafsu makan meningkat. Frekuensi buang air besar pasien
meningkat (3-4x/hari) tanpa disertai perubahan jumlah maupun konsistensi fesesnya. Riwayat
memiliki penyakit yang sama sebelumnya diakui 2 bulan yang lalu. Riwayat batuk-batuk
dalam waktu yang lama disangkal. Riwayat DM disangkal. Riwayat Jantung disangkal. Tidak
2 | P a g e
ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama. Pasien tidak merokok dan minum
alkohol.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak lemah dengan kesadaran compos
mentis. Tinggi badan 150 cm, berat badan 52 kg. Tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi
nadi 84 kali/menit, irregular, dan kuat angkat, frekuensi nafas 18 kali/menit , suhu aksilla
36,50C. Pada pemeriksaan kepala dalam batas normal. Pada pemeriksaan mata didapatkan
eksoftalmus. Pada pemeriksaan telinga, hidung, mulut dalam batas normal. Pada pemeriksaan
leher tekanan vena jugularis dalam batas normal, lingkar leher 36 cm, terdapat pembesaran
kelenjar tiroid dengan batas tidak jelas , konsistensi kenyal, tidak ada nyeri tekan, dan tidak
terdengar bruit disekitar kelenjar tiroid yang membesar. Dada simetris , tidak ada retraksi sela
iga , tidak terdapat lesi , tidak nyeri tekan, tidak teraba masa, perkusi sonor, suara nafas
vesikuler , tidak ada wheezing , tidak ada ronki. Bunyi jantung I-II murni regular, tidak ada
gallop, tidak ada murmur. Abdomen dalam batas normal. Pada pemeriksaan ekstremitas atas
terdapat tremor halus.
Selain itu dalam menegakkan diagnosis, penggunaan Indeks Wayne dapat digunakan
dengan gejala-gejala berikut seperti yang terdapat pada kasus dengan skor tersendiri untuk
masing-masing gejala7 : berdebar-debar (+2) , suka udara dingin (+5) , keringat berlebih
(+3) , nafsu makan naik(+3) , berat badan turun(+3) dan tanda berikut : thyroid teraba (+3) ,
Exopthalmus(+2), Tremor jari(+1). Seorang pasien didiagnosis menderita hipertiroid apabila
skor Indeks Wayne lebih dari 20 maka pada kasus ini pasien didiagnosis hipertiroid karena
total indeks wayne +22. Berdasarkan indeks New Castle didapatkan tanda-tanda usia saat
onset 53 tahun (+12) , goiter(+3), fine finger tremor(+7) , Exopthalmus (+9) dengan total
skor +31 dimana dikategorikan probability hypertiroid dengan range (+24 – (-39)).
Berdasarkan interpretasi dari anamnesis pasien, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan indeks
Wayne maupun New Castle, maka diduga pasien menderita hypertiroid et causa Struma
Diffusa Toksik/Grave’s Disease. Adapun untuk memastikan harus dilakukan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut : pada pemeriksaan laboratorium: FT4 meningkat :66.01pmol/L
(normal :9 - 20 ), TsHS menurun:0.013uIU/mL (normal : 0.25-5 ) sehingga diagnosis kerja
adalah struma diffusa toksik.
Tindakan : Propiltiourasil (PTU) 3 x 100mg/hari
3 | P a g e
Pembahasan
Pada pengaturan faal kelenjar tiroid, TRH(Thyrotrophin Releasing Hormone)
melewati median eminence, tempat ia disimpan dan dikeluarkan lewat sistem
hipotalamohipofiseal ke sel tirotrop hipofisis. TSH(Thyroid Stimulating Hormone) disintesis
oleh sel tirotrop hipofisis anterior. Akibatnya TSH meningkat. TSH(Thyroid Stimulating
Hormone) adalah stimulus untuk sekresi hormon tiroid. Hormon tiroid tampak bekerja
dengan cara umpan balik negatif pada hipotalamus untuk menurunkan pelepasan TRH lebih
lanjut.2
Gambar 1 : Negative Feedback8
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penggunaan indeks Wayne, dapat
dipikirkan kemungkinan struma diffusa toksik sebagai diagnosis kerja, dengan diagnosis
banding berdasarkan keluhan utama berdebar-debar adalah struma nodular toksik dan
berdasarkan pembesaran leher adalah struma diffusa non toksik. Untuk lebih menguatkan
penegakkan diagnosis, dapat diusulkan pemeriksaan laboratorium FT4 dan TSHs sebagai
gold standar diagnosis, Foto Thorax, EKG, dan USG tiroid.2.3 Menurut Bayer MF, pada
kondisi yang meragukan kombinasi hasil pemeriksaan laboratorium Thyroid Stimulating
Hormone sensitif (TSHs) yang tak terukur atau jelas subnormal dan free T4 (FT4) meningkat,
jelas menunjukan hipertiroidisme.
4 | P a g e
Secara klinis pada hipertiroid dapat ditemukan dua kelompok gambaran utama, yaitu
tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya dapat juga tidak tampak. Tiroidal dapat berupa
goiter karena hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akhibat sekresi hormon tiroid
yang berlebihan. Gejala hipertiroidisme dapat berupa hipermetabolisme dan aktivitas simpatis
yang meningkat seperti pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat berlebih,
berat badan menurun sementara nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, dan diare.
Manifestasi ekstratiroidal dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik yang akan dibahas lebih
lanjut.
Berdasarkan teori, keluhan berdebar-debar, disebabkan peningkatan kadar
tiriodotironin(T3) sebagai salah satu hormon tiroid yang dapat merangsang saraf simpatis
yang berkaitan dengan hormon-hormon yang dibentuk medulla suprarenal, yaitu epinephrin
dan norepinephrin. Kedua hormon tersebut dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung
dengan cara menstimulasi α dan β reseptor, terutama β reseptor yang berada di membran
plasma otot jantung.9
Peningkatan frekuensi buang air besar dengan konsistensi normal disebabkan hormon
tiroid berperan dalam meningkatkan kecepatan sekresi getah pencernaan dan pergerakan
saluran cerna, sehingga hipertiroidisme seringkali menyebabkan diare.
Nafsu makan meningkat, tetapi berat badan turun juga disebabkan tingginya kadar
hormon tiroid yang menyebabkan terjadinya peningkatan metabolisme pada tubuh aehingga
tubuh memerlukan asupan makanan yang lebih banyak untuk megimbanginya.
Berat badan turun, peningkatan metabolisme yang terjadi karena banyaknya hormon
tiroid membuat tubuh menggunakan senyawa-senyawa glukagonik yang ada di dalam otot
untuk membentuk glukosa melalui proses glukoneogenesis. Karena diambil dari otot, maka
pemakaian senyawa glukogenik secara terus-menerus dapat mengurangi massa otot sehingga
berat badan pun bisa mengalami penurunan9..
Anamnesis riwayat keluarga dan penyakit turunan, pada hipertiroid perlu juga
mengonfirmasi apakah ada riwayat keluarga yang memiliki penyakit yang sama atau
memiliki penyakit yang berhubungan dengan autoimun.3
.Pada kasus ini, dimana pada anamnesis ditemukan manifestasi tirotoksikosis dengan
keluhan dada berdebar-debar. Pasien juga mengeluh tangan sering gemetaran, sering
kepanasan, mudah berkeringat banyak, dan menjadi lebih mudah marah, berat badan pasien
turun dan nafsu makan meningkat, frekuensi buang air besar pasien meningkat (3-4x/hari)
tanpa disertai perubahan jumlah maupun konsistensi fesesnya akibat dari peningkatan saraf
simpatis dan hipertabolisme karena peningkatan hormon tiroid tersebut.
5 | P a g e
Hipertiroid akibat penyakit struma diffusa toksik disebabkan karena T limfosit yang
mengenali antigen didalam kelenjar tiroid akibat hipersensitivitas, dengan memicu T limfosit
untuk menstimulasi B limfosit untuk menghasilkan antibodi stimulasi hormon tiroid (TSH-
Ab) atau thyroid stimulating immunoglobulin (TSI) ini akan berinteraksi dengan reseptor
tiroid di membran epitel folikel tiroid sehingga merangsang sel-sel folikel tiroid untuk
memproduksi atau mensekresi simpanan hormon tiroid (T3 dan T4), hal ini karena reseptor
tiroid tersebut mengenali TSH-Ab sebagai TSH, yang sebenarnya bukan merupakan TSH
yang dikeluarkan oleh hipofisis anterior.2 Penyakit Graves ini selain mempengaruhi kelenjar
tiroid juga mempengaruhi mata, karena sel T sitotoksik mengenali antigen fibroblast-tiroid di
mata akibat hipersensitivitas sehingga memicu sel T sitotoksik menghasilkan antibodi
sitotoksik, yang mengakibatkan inflamasi fibroblast orbital dan extraokular otot mata yang
berakibat bola mata menjadi terlalu menonjol keluar yang disebut exophtalmus. Selain itu
penyakit graves juga mengakibatkan goiter, sehingga pada struma diffusa toksik/penyakit
graves dikenal adanya “trias graves” yaitu hipertiroid, exophtalmus, dan goiter.7
Gambaran yang khas pada struma diffusa toksik : hiperplasia difus tiroid, oftalmopati,
dan dermopati. Pembesaran difus tiroid terdapat pada semua kasus penyakit graves. Akibat
sekresi produksi atau pengeluaran simpanan hormon tiroid yaitu Triiodotironin (T3) dan
Tetraiodotironin (T4) oleh sel-sel kelenjar tiroid maka sel-sel ini akan mengalami
penambahan jumlah sel atau hyperplasia, sehingga penderita hipertiroid ini sebagian besar
kelenjar tiroidnya menjadi goiter atau pembesaran kelenjar tiroid. Peningkatan aliran darah ke
kelenjar yang hiperaktif kadang menimbulkan bruit yang dapat didengar. Aktivitas berlebihan
saraf simpatis menyebabkan pasien menatap dengan lebar dan melotot serta kelopak mata
membuka. Oftalmopati pada panyakit graves disebabkan oleh kombinasi infiltrasi limfosit,
pengendapan glikosaminoglikan, dan adipogenesis dalam jaringan ikat orbita sehingga terjadi
penonjolan abnormal bola mata (eksoftalmos). Dermopati yang kadang disebut miksedema
pratibia, terdapat pada sebagian kecil kasus. Kelainan ini biasanya bermanifestasi sebagai
penebalan dan hiperpigmentasi kulit lokal di aspek anterior kaki dan tungkai bawah. Tremor
pada struma diffusa toksik merupakan tremor halus, bukan tremor kasar. Tremor halus terjadi
dengan frekuensi 10-15 x/detik, dan dianggap sebagai efek dari bertambahnya kepekaan
sinaps saraf pengatur tonus otot di daerah medulla.5
Pemeriksaan fisik diawali dengan melakukan inspeksi pada kelenjar tiroid pada leher
bagian depan dan samping dengan posisi pasien duduk. Setiap bekas luka, massa, dan distensi
vena yang terlihat haruslah dicatat. Setelah itu, dilakukan palpasi pada kelenjar tiroid dengan
meminta pasien untuk menelan air, untuk menilai adakah kelenjar tiroid akan ikut bergerak
6 | P a g e
seiring dengan pergerakan menelan itu tadi.7 Antara hal yang harus dicatat saat melakukan
palpasi kelenjar tiroid adalah ukuran, konsistensi, nodul, mobilitas dan fiksasi. Pada keadaan
normal, biasanya ukuran tiroid dapat mencapai 12-20g dan hasil dari palpasi dapat
dipindahkan kedalam bentuk gambaran secara kasar. Auskultasi dilakukan dengan tujuan
mencari adanya bunyi bruit disekitar kelenjar tiroid yang membesar dan hal ini menunjukkan
bahwa adanya peningkatan vaskularisasi seperti yang terjadi pada kasus hipertiroidisme.
Apabila batas bawah lobus tiroid tidak dapat teraba dengan jelas, pembesaran yang terjadi
berada pada bagian retrosternal. Pembesaran kelenjar tiroid pada bagian retrosternal dapat
menyebabkan distensi vena sehingga menyebabkan kesukaran bernafas. Selain itu, massa
apapun yang membesar diatas kelenjar tiroid akan mengakibatkan lidah terangkat.
Pemeriksaan limadenopati pada bagian supraklavikular dan servikal di leher harus dilakukan
juga.
Pada pemeriksaan fisik kasus ini, ditemukan tanda khas struma diffusa toksik dimana
pasien tampak eksoftalmus pada pemeriksaan mata. Pada pemeriksaan lingkar leher 36 cm,
terdapat pembesaran dengan batas tidak jelas, konsisntensi kenyal, tidak ada nyeri tekan.
Temuan ini menunjukkan pembesaran difus tiroid. Pada pemeriksaan ekstremitas atas
terdapat tremor halus yang juga merupakan tanda dari struma diffusa toksik. Dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik secara klinis diagnosis kerja struma diffusa toksik dapat diajukan
karena jelas triasnya dimana pada anamnesis ditemukan manifestasi tirotoksikosis, struma
diffusa, dan ekspothalmus dengan manifestasi tirotoksikosis yang dapat ditemukan pada
kasus yaitu keluhan utama dada berdebar-debar. Pasien juga mengeluh tangan sering
gemetaran, sering kepanasan, mudah berkeringat banyak, dan menjadi lebih mudah marah,
berat badan pasien turun dan nafsu makan meningkat, frekuensi buang air besar pasien
meningkat (3-4x/hari) tanpa disertai perubahan jumlah maupun konsistensi fesesnya akibat
dari peningkatan saraf simpatis dan hipertabolisme karena peningkatan hormon tiroid
tersebut. Pada pemeriksaan fisik tampak eksoftalmus pada pemeriksaan mata. Pada
pemeriksaan leher menunjukkan pembesaran difus tiroid.
Berdasarkan interpretasi dari anamnesis pasien, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
indeks Wayne maupun New Castle, maka diduga pasien menderita hypertiroid et causa
Struma Diffusa Toksik/Grave’s Disease. Penggunaan Indeks Wayne dan New Castle dapat
digunakan dengan gejala-gejala pada kasus dengan skor tersendiri untuk masing-masing
gejala:7
7 | P a g e
Tabel 1. Indeks Wayne7
Tabel 2 : Indeks New Castle7
8 | P a g e
Pada kasus ini berikut skor yang didapatkan :berdebar-debar (+2) , suka udara dingin
(+5) , keringat berlebih (+3) , nafsu makan naik(+3) , berat badan turun(+3) dan tanda berikut
: thyroid teraba (+3) , Exopthalmus(+2), Tremor jari(+1). Seorang pasien didiagnosis
menderita hipertiroid apabila skor Indeks Wayne lebih dari 20 maka pada kasus ini pasien
didiagnosis hipertiroid karena total indeks wayne +22. Berdasarkan indeks New Castle
didapatkan tanda-tanda pada kasus yaitu usia saat onset 53 tahun (+12) , goiter(+3), fine
finger tremor(+7) , Exopthalmus (+9) dengan total skor +31 dimana dikategorikan probability
hypertiroid dengan range (+24 – (-39)). Adapun untuk memastikan harus dilakukan
pemeriksaan penunjang sebagai berikut : FT4 meningkat :66.01pmol/L (normal :9 - 20 ),
TsHS menurun:0.013uIU/mL (normal : 0.25-5 ) sehingga diagnosis kerja adalah struma
diffusa toksik.
Penggunaan obat-obatan tertentu, penyakit tertentu serta faktor genetik dapat
mempengaruhi kadar hormon tiroid yang berikatan dengan protein dalam darah. Oleh karena
hanya hormon tiroid yang bebas berikatan terdeteksi normal dalam kondisi-kondisi seperti
diatas, adalah disarankan untuk melakukan pemeriksaan hormone tiroid bebas berikatan
dalam rangka menilai kadar hormone tiroid. Pada penyakit Graves awal dan rekuren, T3
dapat disekresikan pada jumlah berlebih sebelum T4, jadi serum T4 dapat normal sementara
T3 meningkat. Jadi, jika TSH disupresi dan FT4I tidak meningkat, maka T3 harus diukur.
Autoantibodi biasanya ada, terutama imunoglobulin yang menstimulasi TSH-R Ab. Ini
merupakan uji diagnostik yang membantu pada pasien tiorid yang “apatetik" atau pada pasien
yang mengalami eksoftalmus unilateral tanpa tanda-tanda yang jelas.7
Diagnosis banding pertama pada keluhan utama debar-debar yang dikeluhkan pasien
yaitu struma nodural toksik. Struma nodular toksik (Plummer’s Disease) adalah kelenjar
tiroid yang mengandung nodul tiroid yang mempunyai fungsi yang otonomik, yang
menghasilkan suatu keadaan hipertiroid. Struma nodular toksik (Plummer’s disease) pertama
sekali dideskripsikan oleh Henry Plummer pada tahun 1913. Struma nodular toksik
merupakan penyebab hipertiroid terbanyak kedua setelah Graves disease. Pada struma
nodular toksik menampilkan spectrum penyakit nodul hiperfungsi multipel dengan manifetasi
tirotoksikosis yang menunjukkan symptom yang tipikal dengan hipertiroid seperti tidah tahan
terhadap udara panas, palpitasi, tremor, kehilangan berat badan, kelaparan dan peningkatan
frekuensi pergerakan saluran cerna.2
Pada pemeriksaan fisik terdapat takikardia, hiperkinesis, banyak berkeringat, kulit
lembab, tremor, dan kelemahan otot proksimal. Pembesaran kelenjar thyroid bervariasi.
9 | P a g e
Nodul yang dominan ataupun multiple irregular dengan variasi ukuran biasanya dijumpai.
Kelenjar yang kecil dengan multinodul hanya bisa dijumpai dengan USG. Pada pemeriksaan
laboratorium menunjukkan penekanan TSH dan elevasi T3 serum dan sedikit elevasi T4
serum.2
Diagnosis banding plummer’s disease diajukan karena sama seperti pada kasus
terdapat manifetasi tirotoksikosis yang menunjukkan symptom yang tipikal dengan
hipertiroid seperti tidah tahan terhadap udara panas, palpitasi,kehilangan berat badan,
kelaparan dan peningkatan frekuensi pergerakan saluran cerna. Pada pemeriksaan fisik juga
terdapa tremor. Pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan penekanan TSH dan elevasi T3
serum dan sedikit elevasi T4 serum. Diagnosis banding ini disingkirkan karena pada
pemeriksaan fisik didapatkan goiter nodular yang kecil atau cukup besar dan kadang sampai
pada substernal yang tidak ditemukan pada pemeriksaan leher pasien ini dengan diagnosis
kerja struma diffusa toksik. Untuk lebih memastikan ada tidaknya nodul yang mungkin tidak
terdeksi dapat dilakukan USG tiroid.
Diagnosis banding yang kedua adalah struma diffusa non toksik. Strum diffusa non
toksik adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah pembesaran yang tampak tanpa
membentuk nodul. Bentuk ini biasa ditemukan dengan sifat non-toksik (fungsi tiroid normal),
oleh karena itu bentuk ini disebut juga goiter simpel. Pada goiter simpel, terdapat dua fase
evolusinya, yaitu hiperplastik dan involusi koloid. Pada fase hiperplastik, kelenjar tiroid
membesar secara difus dan simetris, walaupun pembesarannya tidak terlalu besar (hingga
100-150 gram). Folikel-folikelnya dilapisi oleh sel kolumner yang banyak dan berdesakan.
Akumulasi sel ini tidak sama di keseluruhan kelenjar. Apabila setelah itu konsumsi iodin
ditingkatkan atau kebutuhan tubuh akan hormon tiroid menurun, terjadi involusi sel epitel
folikel sehingga terbentuk folikel yang besar dan dipenuhi oleh koloid. Biasanya secara
makroskopik tiroid akan terlihat coklat dan translusen, sementara secara histologis akan
terlihat bahwa folikel dipenuhi oleh koloid serta sel epitelnya gepeng dan kuboid. Etiologi
struma difusa nontoksik diantaranya defisiensi iodium dan stimulasi reseptor TSH oleh TSH
dari tumor hipofisis.
Struma diffusa non toksik dimana dipilih sebagai diagnosis banding karena pada
pemeriksaan fisik leher terdapat pembesaran difus tiroid. Diagnosis banding ini disingkirkan
karena pasien mungkin akan mengeluhkan ada pembesaran di leher tanpa disertai gejala-
gejala hipertiroid karena struma diffusa non toksik merupakan struma diffusa tanpa disertai
gejala-gejala hipertiroid. Pada hasil pemeriksaan penunjang juga dapat disingkirkan karena
pada kasus ini, pasien mengalami penurunan TSH, sedangkan pada struma diffusa non toksik
10 | P a g e
mengalami peningkatan TSH karena kapasitas kelenjar tiroid untuk menyekresikan tiroksin
terganggu, dan meningakibatkan peningkatan kadar TSH dan hiperplasia dan hipertrofi
folikel-folikel tiroid.2
Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertiroid adalah fibrilasi atrial. Manifestasi
klinis atrial fibrilasi antara lain : selain palpitasi, sesak napas, nyeri dada, pusing atau
pingsan, dan mudah lelah. Fibrilasi atrial timbul pada tiga keadaan klinis yang berbeda: (1)
primer, tanpa kelainan struktur jantung; (2) sekunder, tanpa kelainan struktur jantung, tapi
terdapat kelainan sistemik yang mempermudah timbulnya aritmia; (3) sekunder terhadap
kelainan jantung yang mempengaruhi atrium.10 Fibrilasi atrial pada tirotoksikosis termasuk
jenis kedua.
Efek hormon tiroid terhadap jantung terjadi secara langsung di tingkat seluler, dan
tidak langsung melalui sistem saraf simpatis. Secara langsung, efek T3 di tingkat seluler
terutama melalui aktivasi mRNA dalam pengkodean protein-protein spesifik melalui ikatan
dengan reseptor-reseptor hormon tiroid pada inti sel . Reseptor hormon tiroid predominan di
jantung adalah jenis 1 yang diketahui mempunyai afinitas yang tinggi terhadap T3. Ikatan
hormon tiroid dengan reseptor tersebut menyebabkan perubahan densitas populasi miosin
dari beta (miosin lambat) ke alfa (miosin cepat), yang berakibat peningkatan kecepatan
kontraksi miokard; pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasmik juga bertambah yang
mempengaruhi kecepatan diastolik.10
Hormon tiroid juga diduga mengubah hubungan sistem saraf simpatis dengan jantung.
Pada keadaan hipertiroid ditemukan adanya peningkatan densitas reseptor adrenergik,
peningkatan respon reseptor adrenergik otot jantung terhadap rangsang adrenergik yang
normal, dan peningkatan daur ulang katekolamin pada sinaps reseptor.11
Atrium lebih sensitif daripada ventrikel terhadap kerja hormon tiroid. Hal ini
disebabkan lebih tingginya densitas reseptor beta adrenergik di atrium dan perbedaan
persarafan otonom antara atrium dan ventrikel. Hormon tiroid meningkatkan pelepasan
impuls nodus sinoatrial, dan menurunkan ambang rangsang depolarisasi atrium. Penurunan
ambang rangsang depolarisasi atrium ini yang diduga merupakan predisposisi terjadinya
fibrilasi atrial pada keadaan hipertiroid. Respon ventrikel pada fibrilasi atrial biasanya cepat
karena adanya peningkatan laju konduksi melalui nodus atrioventrikular.1
Kebanyakan pasien dengan fibrilasi atrial telah mengalami kelainan irama tersebut
sejak 4 sampai 8 minggu sebelum diagnosis tirotoksikosis.11 Karena gangguan irama ini
semata-mata disebabkan perubahan elektrofisiologi akibat berlebihannya hormon tiroid,
maka bila kadar hormon tiroid telah kembali normal, irama jantung seringkali kembali sinus
11 | P a g e
secara spontan. Jika tidak ada tanda-tanda kronisitas kemungkinan kembali ke irama sinus
dalam 8 sampai 12 minggu setelah eutiroid adalah tinggi, seperti Pada pasien usia lanjut,
dengan fibrilasi atrial kronik, kemungkinan kembali ke irama sinus lebih kecil.6 Pasien usia
lanjut dengan tirotoksikosis subklinis memiliki risiko timbulnya fibrilasi atrial persisten tiga
kali lebih tinggi daripada subyek normal.11 Timbulnya fibrilasi atrial pada pasien hipertiroid
akan memperburuk kinerja jantung. Pada pasien usia lanjut, atau dengan riwayat kelainan
jantung sebelumnya, timbulnya fibrilasi atrial seringkali mencetuskan gagal jantung.
Adanya pemeriksaan yang bisa meramalkan kemungkinan timbulnya fibrilasi atrial
pada pasien tirotoksikosis akan sangat menolong. Montereggi dkk dengan menggunakan alat
EKG resolusi tinggi menganalisa gelombang P signal-averaged mendapatkan bahwa pasien
hipertiroid yang kemudian mengalami fibrilasi atrial memiliki durasi gelombang P lebih
besar secara bermakna dibanding pasien hipertiroid yang tidak mengalami fibrilasi atrial.11
Pada pasien kasus ini secara anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak terjadi komplikasi
fibrilasi atrial karena pada anamnesis tidak disertai sesak nafas dan nyeri dada. Pada
pemeriksaan fisik tekanan vena jugular dalam batas normal, tidak ada pergeseran letak ictus
cordis yang menandakan adanya perbesaran ventrikel kiri, dan pada auskultasi bunyi jantung
normal dimana dari temuan-temuan ini tidak mengarah kelainan pada jantung. Untuk lebih
memastikan dapat diusulkan pemeriksaan penunjang EKG dimana didapatkan pola yang
sangat khas fibrilasi atrial pada interval RR yang sangat tidak beraturan.
Ringkasan
Telah dilaporkan seorang wanita berusia 53 tahun datang ke IGD RS Mardi Rahayu
dengan diagnosis struma diffusa toksik. Diagnosis ini dibuat berdasarkan interpretasi dari
anamnesis pasien dimana terdapat manifestasi tirotoksikosis dengan keluhan dada berdebar-
debar. Pasien juga mengeluh tangan sering gemetaran, sering kepanasan, mudah berkeringat
banyak, dan menjadi lebih mudah marah, berat badan pasien turun dan nafsu makan
meningkat. Pada pemeriksaan indeks Wayne didapatkan berdebar-debar (+2) , suka udara
dingin (+5) , keringat berlebih (+3) , nafsu makan naik(+3) , berat badan turun(+3) dan tanda
berikut : thyroid teraba (+3) , Exopthalmus(+2), Tremor jari(+1). Seorang pasien didiagnosis
menderita hipertiroid apabila skor Indeks Wayne lebih dari 20 maka pada kasus ini pasien
didiagnosis hipertiroid karena total indeks wayne +22. Berdasarkan indeks New Castle
didapatkan tanda-tanda usia saat onset 53 tahun (+12) , goiter(+3), fine finger tremor(+7) ,
Exopthalmus (+9) dengan total skor +31 dimana dikategorikan probability hypertiroid
dengan range (+24 – (-39)). Berdasarkan interpretasi dari anamnesis pasien, pemeriksaan
12 | P a g e
fisik, dan pemeriksaan indeks Wayne maupun New Castle, maka diduga pasien menderita
hypertiroid et causa Struma Diffusa Toksik. Adapun untuk memastikan harus dilakukan
pemeriksaan penunjang sebagai berikut : pada pemeriksaan laboratorium: FT4
meningkat :66.01pmol/L (normal :9 - 20 ), TsHS menurun:0.013uIU/mL (normal : 0.25-5 )
sehingga diagnosis kerja adalah struma diffusa toksik. Penatalaksanaan farmakologis lini
pertama dipilih propiltiourasil(PTU) 3 x 100mg karena menghambat sintesis hormon tiroid.
Kepustakaan :
1. Sjamsuhidayat R. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta:EGC.2002.
2. Prince, Sylvia A. Patofisiologi volume 2. Edisi 6. Jakarta :EGC.2006.
3. R. Djokomoeljanto. Hipertiroidisme. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. edisi 5. Jakarta : Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI;2009.
4. Sabiston, David. C. Buku ajar bedah Sabiston, Alih Bahasa Petrus Andrianto, Timan
IS, Editor Jonatan Oswari, Penerbit EGC;Jakarta:2001.
5. Pauline, M. Chamacho., Hossein, Gharib., Glen, W. Sizemore. Evidence-Based
Endocrinology.2007
6. Kumar, dkk. Buku Ajar Patologi, vol 2. Jakarta: EGC.2007.
7. Harrison, Tinsley R. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition. United
States of America: McGraw-Hill Companies;2005.
8. Bowen R. Control of Thyroid Hormone Synthesis and Secretion. USA : The
McGraw-Hill Companies, Inc:2007.
9. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC;2007.
10. Ghanie A. Pengantar Diagnosis Ekokardiografi. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. edisi 5. Jakarta : Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI ;2009.
11. Cooper DS, Greenspan FS, Ladenson PW. The Thyroid Gland. Dalam : Gardner DG,
Shoback D, editor. Greenspan‟s Basic & Clinical Endocrinology. Edisi 8. USA : The
McGraw-Hill Companies, Inc; 2007.
13 | P a g e