laporan kasus dermatitis atopik

48
LAPORAN KASUS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN Pembimbing : dr. Irma Yasmin. Sp.KK Oleh: Ismayanti 111170037 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI 1

Upload: maya-jou-san-ismayanti

Post on 12-Apr-2016

281 views

Category:

Documents


31 download

DESCRIPTION

dermatitis atopik pada pasien balita

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUSILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing :

dr. Irma Yasmin. Sp.KK

Oleh:

Ismayanti

111170037

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

CIREBON

2015

1

I. IDENTITAS A. IDENTITAS PENDERITA

Nama : An. N

Usia : 10 bulan

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Semarang

Agama : Islam

Suku : Jawa

Tanggal Masuk RS : 18-09-2015

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 18 September 2015

pukul 10.20 WIB

A. Keluhan utama : Gatal

B. Riwayat Penyakit Sekarang :

Penderita datang ke RSUD Tugurejo dengan keluhan timbulnya

kemerahan di tubuh anaknya disertai gatal. Keluhan timbul sejak 3 hari

sebelum masuk RS. Kemerahan muncul tiba-tiba, awalnya hanya pada kaki

kanan pasien dan kemudian pagi hari sebelum ke RS muncul dibagian

belakang telinga kanan dan kiri pasien.

Riwayat Pengobatan : Keluhan penderita sudah pernah diobati dengan

minyak kayu putih di oles ke bagian yang merah yang dibeli sendiri oleh

penderita di apotik pada hari ke 2 gejala, dan keluhan tidak mereda.

C. Riwayat Penyakit Dahulu

Keluhan serupa : Penderita pernah merasakan keluhan seperti ini

sebelumnya pada usia 6 bulan, pernah diobati namun ibu pasien lupa

salep yang digunakan.

Alergi : Ada. Alergi makanan, udang

Asma : Disangkal

2

Diabetes Melitus : Disangkal

Jantung : Disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluhan serupa : Disangkal

Alergi : Ada. Alergi makanan, udang

Asma : Ada. Nenek pasien.

Diabetes mellitus : riwayat DM disangkal

Hipertensi : Disangkal

Jantung : Disangkal

E. Riwayat Pribadi dan Sosial

Penderita tinggal dengan 4 orang anggota keluarga dalam 1 rumah.

Anggota keluarga yang sakit serupa di sangkal.

Pemakaian handuk atau pakaian secara bersamaan (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 25 September 2014 pukul 10.35

WIB

STATUS GENERALIS

a. Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

b. Kesadaran : Kompos mentis

GCS : 15 (E4, V5, M6)

c. Vital Sign : TD : -

N : 120 x/m, irama reguler, isi cukup

R : 32 x/m

S : 36,70C (aksila)

d. Status gizi : Kesan gizi cukup

e. Kulit

Warna : Sawo matang

Sianosis : Tidak ada

Ptekie : tidak ada

f. Kepala : bentuk normocepal, rambut warna hitam, lebat, distribusi

merata, tidak mudah dicabut.

3

g. Mata : CA -/-, SI -/-, isokor 3mm/3mm

h. Telinga : Bentuk normal, simetris, inflamasi (-), sekret minimal.

i. Hidung : Simetris, deviasi (-), sekret (-)

j. Mulut : Bentuk normal, mukosa tidak hiperemis

k. Lidah : Tidak pucat, tidak kotor, warna merah muda

l. Tonsil : Tidak ada pembesaran

m. Faring : Tidak hiperemis

n. Leher : Tidak ada pembesaran KGB

o. Thorak

Paru-paru : Inspeksi : Bentuk : Simetris

Retraksi : tidak ada

Gerakan napas: Simetris

Palpasi : Ekspansi napas : Simetris

Fremitus taktil : simetris

Perkusi : Sonor disemua lapang paru

Batas paru-hepar : ICS 5 linea

midclavicula dextra

Peranjakan hepar : ICS 6 linea

midclavicula dextra

Auskultasi : Vesikuler kanan = kiri, Rh -/-, Wh -/-

Jantung : Inspeksi : Ictus cordis terlihat di ICS 5 linea midclavicula

sinistra

Palpasi : Nyeri tekan (-), Thrill (-)

Perkusi :

Batas jantung kanan : ICS 4 linea midclavicula

dextra

Batas jantung kiri : ICS 5 linea midclavicula

sinistra

Batas pinggang jantung :

ICS 3 linea parasternalis sinistra

Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-),

4

gallop (-)

p. Abdomen :

Inspeksi : Bentuk : Datar

Umbilicus : Ditengah, inflamasi (-)

Massa (-),

Auskultasi : Bising usus (+) 11x/m

Perkusi : Timpani seluruh lapang perut

Hepar: 1 jari bawah arcus costa

Lien : tidak ada pembesaran

Palpasi : Nyeri tekan (-), distensi (-), masa tidak teraba,

Hepar : teraba 1 jari bac,

Lien : tidak ada pembesaran,

Ginjal : tidak teraba.

q. Ekstremitas

Akral : hangat

CRT : <2 dtk

Sianosis : tidak ada

Edema : (-/-)

STATUS VENEROLOGI :Tidak dilakukan

STATUS DERMATOLOGI

5

Inspeksi :

a. Lokasi : Kaki kanan dan belakang telinga kanan

b. Efloresensi : makula eritem.

c. Diameter : makula eritem ± 3 cm, soliter, universalis, skuama.

Palpasi :

a. Suhu : sama dengan kulit sekitar

b. Permukaan : tidak rata

c. Nyeri (+)

IV. RESUME

ANAMNESIS

Orang tua pasien datang ke RSUD Tugurejo dengan keluhan timbul ruam

di kedua kaki anaknya semenjak 3 hari SMRS, disertai nyeri (-), gatal (+).

Riwayat Pengobatan : Keluhan penderita sudah pernah diobati dengan

minyak kayu putih di oles ke bagian yang ruam yang dibeli sendiri oleh

penderita di apotik pada hari ke 2 gejala, dan keluhan tidak mereda.

Riwayat Penyakit Dahulu

Keluhan serupa : Penderita pernah merasakan keluhan seperti ini

sebelumnya yaitu ketika pasien berusia 6 bulan, saat itu penderita di

berikan salep oleh dokter dan sembuh, namun orang tua pasien lupa

nama salep yang digunakan.

Alergi : pasien memiliki riwayat alergi di dalam keluarga.

6

V. DIAGNOSIS BANDING

Skabies

Contact dermatitis

VI. USULAN PEMERIKSAAN

- Biakan jaringan

- Imunofluoresensi

- Apusan tzanck

VII. DIAGNOSIS KERJA

Dermatitis Atopik bentuk Infantil

VIII. PENATALAKSANAAN

1. Hindari semua faktor luar yang mungkin menimbulkan manifestasi klinis

2. Menjauhi alergen pemicu

3. Hindari pemakaian bahan yang merangsang seperti sabun keras dan bahan

pakaian dari wol

Sistemik

4. Antihistamin golongan H1 untuk mengurangi gatal dan sebagai penenang

5. Kortikosteroid jika gajala klinis berat dan sering mengalami kekambuhan

6. Jika ada infeksi sekunder diberi antibiotik seperti eritromisin, tetrasikin.

Topikal

7. Pada bentuk bayi diberi kortikosteroid ringan dengan efek samping sedikit,

misalnya krim hidrokortison 1-1,5%

8. Pada bentuk anak dan dewasa dengan likenifikasi dapat diberi

kortikosteroid kuat seperti betamethason dipropionat 0,05% atau

desoksimetason 0,25%. Untuk efek yang lebih kuat, dapat dikombinasikan

dengan asam salisilat 1-3% dalam salep. Gunakan Moisturizer krim steroid

topikal, atau obat-obatan lainnya

IX. PROGNOSIS

7

Umumnya baik jika faktor pencetus dihindari

Quo ad vitam : ad bonam

Quo ad fungsionam : ad bonam

Quo ad sanationam : ad bonam

8

PEMBAHASAN

1.1 Definisi

Dermatitis atopik (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan

residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-

anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat

atopi pada keluarga atau penderita (dermatitis atopi, rhinitis alergika, asma

bronkhiale, dan konjungtivitis alergika).

Kata “atopi” pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah

yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai

kepekaan dalam keluarganya. Misalnya : asma bronchial, rhinitis alergika,

dermatitis atopi, dan konjungtivitis alergika. (Djuanda, 2011)

1.2 SINONIM

Banyak istilah dermatitis atopik lain yang digunakan, misalnya : ekzema

konstitusional, fleksural eczema, disseminated neurodermatitis, prurigo basiler1.

1.3 EPIDEMIOLOGI

Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat maka untuk

menginterpretasikan hasil penelitian epidemiologi harus berhati-hati. Berbagai

penelitian menyatakan bahwa prevalensi DA makin meningkat sehingga

merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia

dan Negara industri lain, prevalensi DA pada anak mencapai 10-20%, sedangkan

1-3 % terjadi di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah,

prevalensi DA jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak m enderita DA daripada

pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap

prevalensi DA misalnya jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu makin tinggi,

penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya

penggunakan antibiotik, berpotensi menaikan jumlah penderita DA.

9

Sedangkan rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga,

urutan lahir makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil, akan

melindungi kemungkinan timbul DA pada kemudian hari.

DA cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu

yang menderita atopi akan mengalami DA pada masa kehidupan tiga bula

pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari seperuh jumlah anak

akna mengalami gejala alergi sampai usia dua tahun, dan meningkat sampai 79%

bila kedua orang tua menderita atopi. Resiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu

yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila DA yang dialami

berlanjut hingga masa dewasa, ,maka resiko untuk mewariskan untuk anaknya

sama saja yaitukira-kira 50%. (Djuanda, 2011)

1.4 ETIOPATOGENESIS

Respons Imun Pada Kulit

Sitokin TH2 dan TH1 berperan dalam patogenesis peradangan kulit

pada DA. Jumlah TH2 lebih banyak pada penderita atopi, sebaliknya TH1

menurun. Pada kulit 'normal' (tidak ada kelainan kulitnya) penderita DA.

bila dibandingkan dengan kulit normal orang yang bukan penderita DA.,

ditemukan lebih banyak sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan

IL-13, tetapi bukan IL-5, IL-12, atau IFN-y. Pada lesi akut dan kronis bila

dibandingkan dengan kulit normal atau kulit yang tidak ada lesinya

penderita DA., menunjukkan jumlah yang lebih besar sel-sel yang

mengekspresikan mRNA IL-4, IL-5, dan IL-13. Tetapi pada lesi akut tidak

banyak mengandung sel yang mengekspresikan mRA IFN-y atau IL-12.

Lesi kronis DA. mengandung sangat sedikit sel yang mengekspresikan

mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi jumlah sel yang mengekpresikan mRNA IL-

5, GM-CSF,IL-12, dan IFN-y, meningkat bila dibandingkan dengan yang

akut. Peningkatan IL-12 pada lesi kronis DA. berperan dalam

perkembangan TH1.

Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis

keratinosit, sehingga terjadi spongiosis. Proses ini diperantarai oleh IFN-y

yang dilepaskan sel T teraktivasi dan meningkatkan Fas dalam keratinosit.

10

Berbagai kemokin ditemukan pada lesi kulit DA. yang dapat

menarik sel-sel, misalnya eosinofil, limfosit T, dan monosit, masuk ke

dalam kulit.

Pada DA. kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil

hidup lebih lama dan menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan

ekspresi GM-SCF mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel

Langerhans, dan eosinofil. Produksi TNF-a dan IFN-y pada DA. memicu

kronisitas dan keparahan dermatitis. Stimulasi TNF-a dan IFN-y pada

keritinosit epidermal akan meningkatkan jumlah RANTES (regulated on

activation, normal T cell expressed and secreted). Garukan kronis dapat

menginduksi terlepasnya TNF-a dan sitokin proinflamasi yang lain dari

epidermis, sehingga mempercepat timbulnya peradangan di kulit DA.

IL-4 meningkatkan perkembangan TH2, sedangkan IL-12 yang

diproduksi oleh makrofag, sel berdendrit,atau eosinofil, menginduksi TH1.

Subunit reseptor IL-12RP2 diekpresi pada TH1 tidak pada TH2.

Sedangkan ekspresi IL-12RP2 dihambat oleh IL-4, tetapi sebaliknya

diinduksi oleh IL-12, IFN-a, dan IFN-y. IL-4 juga menghambat produksi

IFN-y dan menekan deferensiasi sel TH1. Sel mas dan basofil juga

merupakan sumber sitokin tipe TH2, sehingga ekspresi IL-4 oleh sel T, sel

mas/basofilpada DA. akan merangsang perkembangan sel TH2.

Sel mononuklear penderita DA. meningkatkan aktivitas enzim

cyclic-adenosine monophosphate (CAMP) – phosphodiesterase (PDE),

yang akan meningkatkan sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel

T. Produksi IgE dan IL-4 secara in vitro dapat diturunkan oleh penghambat

PDE (PDEinhibitor). Sekresi IL-10 dan PGE2 dari monosit juga

meningkat; kedua produk ini menghambat IFN-y yang dihasilkan oleh sel

T.

Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita DA. adalah abnormal,

dapat secara langsung menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen; secara

selektif dapat mengaktivasi sel TH menjadi fenotip TH2. SL yang

mengandung IgE meningkat;sel ini mampu mempresentasikan alergen

tungau debu rumah (D. pteronyssinus) kepada sel T. SL yang mengandung

11

IgE setelah menangkap allergen akan mengaktifkan sel TH2 memori di

kulit atopi, juga bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat untuk

menstimulasi sel T nai've sehingga jumlah sel TH2 bertambah banyak.

SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE,

yaitu FceRII, FceRII (CD23), dan IgE-binding protein. Reseptor FceRI

mempunyai afinitas kuat untuk mengikat IgE. IgE terikat pada SL melalui

reseptor spesifik FceRI pada permukaan SL. Pada orang normal dan

penderita alergi saluran napas kadar ekpresi FceRI di permukaan SLnya

rendah, sedangkan di lesi ekzematosa DA. tinggi. Ada korelasi antara

ekspresi permukaan FceRI dan kadar IgE dalam serum. Selain pada SL,

reseptor IgE dengan afinitas tinggi (FceRI) juga ditemukan pada

permukaan sel mas dan monosit.

Kadar seramid pada kulit penderita DA. berkurang sehingga

kehilangan air (transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis

dipermudah. Hal ini mempercepat absorbsi antigen ke dalam kulit.

Sebagaimana diketahui bahwa sensitisasi epikutan terhadap alergen

menimbulkan respons TH2 yang lebih tinggi daripada melalui sistemik

atau jalan udara, maka kulit yang terganggu fungsi sawarnya merupakan

tempat yang sensitif. (Djuanda, 2011)

Respons Sistemik

Jumlah IFN-y yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi

penderita DA. menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum me-

ningkat. IFN-y menghambat sintesis IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi

reseptor IL-4 pada sel T. Sel T spesifik untuk alergen di darah tepi

meningkat dan memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-y. IL-4 dan

IL-13 merupakan sitokin yang menginduksi transkripsi pada ekson Cε

sehingga terjadi pembentukan IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi

ekspresi molekul adesi permukaan pembuluh darah, misalnya VCAM-1

(vascular cell adhesion molecular-1), infiltrasi eosinofil, dan menurunkan

fungsi sel TH1.

12

Sel monosit di darah tepi penderita DA. diaktivasi, mempunyai

insidens apoptosis spontan rendah, tidak responsif terhadap induksi

apoptosis IL-4. Hambatan apoptosis ini disebabkan oleh meningkatnya

produksi GM-CSF oleh monosit yang beredar pada DA.

Perubahan sistemik pada DA. adalah sebagai berikut:

- Sintesis IgE meningkat.

- IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat, termasuk terhadap

makanan, aeroalergen, mikroorganisme, toksin bakteri, dan auto-

alergen.

- Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pada sel B dan

monosit meningkat.

- Pelepasan histamin dari basofil meningkat.

- Respons hipersensitivitas lambat terganggu.

- Eosinofilia.

- Sekresi IL-4, IL-5, dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat.

- Sekresi IFN-y oleh sel TH1 menurun.

- Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.

- Kadar CAMP-phosphodiesterase monosit meningkat, disertai

peningkatan IL-10 dan PGE21.

Berbagai Faktor Pemicu

Dermatitis atopik dibagi menjadi 2 tipe: (1) bentuk murni - tidak

disertai keterlibatan saluran pernafasan, dan (2) bentuk campuran - disertai

gejala pada saluran pernafasan dan terdapatnya sensitisasi IgE polivalen

terhadap alergen hirup dan alergen makanan.

Bentuk murni dibagi atas 2 tipe, yaitu (a) tipe intrinsik – tidak

tedeteksi adanya sensitasi IgE spesifik dan tidak terdapatya peningkatan IgE

total serum, dan (b) tipe ekstrinsik – terdapat bukti sensitisasi terhadap alergen

hirup dan alergen makanan pada uji kulit atau pada serum.

Dermatitis atopik merupakan sindrom multifaktorial; berbagai faktor

berkaitan dengan fenotip penyakit sehingga perlu dicermati berbagai fakto

risiko, yaitu:

13

1. Genetik: diketahui bahwa kecenderungan mendapat penyakit atopi

diturunkan secara autosomal dominan; 75% anak akan mengalami

alergi bila kedua orang tua mempunyai riwayat alergi, dibandingkan

dengan 50% anak bila hanya 1 orang tua mempunyai yang riwayat

alergi, meskipun demikian faktor lain (lingkungan) sangat pula

berpengaruh atas berkembangnya penyakit.

2. Sosioekonomi: lebih banyak ditemukam pada status sosial yang lebih

tinggi dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah. Hal

tersebut dapat diterangkan dengan teori higiene.

3. Jumlah anggota keluarga: kejadian dermatitis atopik berbanding

terbalik dengan banyaknya jumlah anggota keluarga. Hal tersebut dapat

pula diterangkan dengan teori higiene, yaitu terjadi infeksi pada anggota

muda keluarga yang ditularkan oleh anggota keluaraga yang lebih tua

4. Laktasi: makin lama mendapat air susu ibu makin kecil kemungkinan

untuk mendapat dermatitis atopik. Hal tersebut perlu dicermati karena

perkembangan penyakit berhubungan dengan alergen lingkunagan dan

status ibu (misanya perokok)

5. Pengenalan makanan padat terlalu dini (sebelum 4 bulan), akan

meningkatkan angka kejadian dermatitis atopik sebesar 1,6 kali.

Sensitisasi umumnya terjadi terhadap alergen makanan, terutama susu

sapi, telur, kacang-kacangan dan gandum

6. Polusi lingkungan, antara lain daerah industri dengan peningkatan

polusi udara, pemakaian pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan

suhu dan penurunan kelembaban udara, water hardeness, asap roklok,

penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada kelemban,

penggunanan shampo dan sabun yang berlebihan, dan detergen yang

tidak dibilas dengan sempurna2.

1.5 GAMBARAN KLINIS

Kulit penderita DA. umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di

epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari

tangan teraba dingin. Penderita DA. cenderung tipe astenik, dengan

14

inteligensia di atas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustrasi, agresif,

atau merasa tertekan.

Gejala utama DA. Jalah (pruritus), dapat hilang timbul sepanjang

hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita

akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit

berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta.

DA. dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: DA. infantil (terjadi

pada usia 2 bulan sampai 2 tahun; DA. anak (2 sampai 10 tahun); dan DA.

pada remaja dan dewasa1.

DA. infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun)

DA. paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan, biasanya

setelah usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema,

papulo-vesikel yang halus, karena gatal digosok, pecah, eksudatif, dan

akhirnya terbentuk krusta. Lesi kemudian meluas ke tempat lain yaitu ke

skalp, leher, pergelangan tangan, lengan dan tungkai. Bila anak mulai

merangkak, lesi ditemukan di lutut. Biasanya anak mulai menggaruk

setelah berumur 2 bulan. Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu

sehingga anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya

lesi DA. infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat

mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan, walaupun

jarang, dapat terjadi eritroderma. Lambat laun lesi menjadi kronis dan

residif.

Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. Pada sebagian

besar penderita sembuh setelah usia 2 tahun, mungkin juga sebelumnya,

sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak. Pada saat itu penderita tidak

lagi mengalami eksaserbasi, bila makan makanan yang sebelumnya

menyebabkan kambuh penyakitnya.

Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada

bayi masih ada silang pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelainan

secara dramatis membaik setelah makanan tersebut dihentikan, sebaliknya

ada pula yang mendapatkan tidak ada perbedaan. (Djuanda, 2011)

15

DA. pada anak (usia 2 sampai 10 tahun)

Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil, atau timbul sendiri

(de novo). Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul,

likenifikasi, dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit di lipat siku, lipat

lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang di

muka. Rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk; dapat terjadi

erosi, likenifikasi, mungkin juga mengalami infeksi sekunder. Akibat

garukan, kulit menebal dan perubahan lainnya yang menyebabkan gatal,

sehingga terjadi lingkaran setan “siklus gatal-garuk”. Rangsangan

menggaruk sering di luar kendali. Penderita sensitif terhadap, wol, bulu

kucing dan anjing, juga bulu ayam, burung dan sejenisnya.

DA. berat yang melebihi 50% permukaan tubuh dapat

memperlambat pertumbuhan. (Djuanda, 2011)

DA. pada remaja dan dewasa

Lesi kulit DA. pada bentuk ini dapat berupa plak papular-

eritematosa dan berskuama, atau plak likenifikasi yang gatal. Pada DA.

remaja lokalisasi lesi di lipat siku, lipat lutut, dan samping leher, dahi, dan

sekitar mata. Pada DA. dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik, sering

mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat,

misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu, atau skalp.

Kadang erupsi meluas, dan paling parah di lipatan, mengalami likenifikasi.

Lesi kering, agak menimbul, papul datar dan cenderung bergabung

menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama, dan sering tejadi

eksoriasi dan eksudasi karena garukan. Lambat laun terjadi

hiperpigmentasi.

Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat.

Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila

mengalami stres. Mungkin karena stres dapat menurunkan ambang

rangsang gatal. Penderita atopik memang sulit mengeluarkan keringat,

16

sehingga rasa gatal timbul bila mengadakan latihan fisik. Pada umumnya

DA. remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung menurun

dan membaik (sembuh) setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia

pertengahan; hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Kulit

penderita DA. yang telah sembuh mudah gatal dan cepat meradang bila

terpajan oleh bahan iritan eksogen.

Penderita atopik berisiko tinggi menderita dermatitis tangan, kira-

kira 70% suatu saat dapat mengalaminya. DA. pada tangan dapat

mengenai punggung maupun telapak tangan, sulit dibedakan dengan

dermatitis kontak. DA. di tangan biasa timbul pada wanita muda setelah

melahirkan anak pertama, ketika sering terpajan sabun dan air sebagai

pemicunya.

Berbagai kelainan dapat menyertai DA, misalnya: hipedinearis

palmaris, xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, pitiriasis alba, keratosis pilaris,

lipatan Dennie Morgan, penipisan alis bagian luar (tanda Hertoghe),

keilitis, katarak subkapsular anterior, lidah geografik, liken spinulosus, dan

keratokonus (bentuk kornea yang abnormal). Selain itu penderita DA.

cenderung mudah mengalami kontak urtikaria, reaksi anafilaksis terhadap

obat, gigitan atau sengatan serangga. (Djuanda, 2011)

1.7 DIAGNOSIS

Diagnosis DA. didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan

Rajka yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris yang dikoordinasi

oleh Williams (1994). (Djuanda, 2011)

Kriteria mayor

- Pruritus

- Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak

- Dermatitis di fleksura pada dewasa

- Dermatitis kronis atau residif

- Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya

17

Gambar 1. Dermatitis pada muka dan fleksura

Kriteria minor

Gambar 1. Kriteria Minor

- Xerosis

- Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)

- Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki

- lktiosis/hipediniar palmads/keratosis pilaris

- Pitiriasis alba

- Dermatitis di papila mame

- White dermographism dan delayed blanch response

18

- Keilitis

- Lipatan infra orbital Dennie-Morgan

- Konjungtivitis berulang

- Keratokonus

- Katarak subkapsular anterior

- Orbita menjadi gelap

- Muka pucat atau eritem

- Gatal bila berkeringat

- Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak

- Aksentuasi perifolikular

- Hipersensitif terhadap makanan

- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi

- Tes kulit alergi tipe dadakan positif

- Kadar IgE di dalam serum meningkat

- Awitan pada usia dini1.

Diagnosis DA. harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor.

Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:

Tiga kriteria mayor berupa:

- riwayat atopi pada keluarga,

- dermatitis di muka atau ekstensor,

- pruritus,

ditambah tiga kriteria minor

- xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris, aksentuasi perifolikular,

- fisura belakang telinga,

- skuama di skalp kronis.

Kriteria major dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka

didasarkan pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian

berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat

dipakai pada penelitian berbasis populasi, karena kriteria minor umumnya

ditemukan pula pada kelompok kontrol, di samping juga belum divalidasi

19

terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk pengulangan (repeatability). Oleh

karena itu kelompok kerja Inggris (UK working party) yang dikoordinasi oleh

William memperbaiki dan meyederhanakan kriteria Hanifin dan Rajka menjadi

satu set kriteria untuk pedoman diagnosis DA. yang dapat diulang dan divalidasi.

Pedoman ini sahih untuk orang dewasa, anak, berbagai ras, dan sudah divalidasi

dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter Puskesmas membuat diagnosis1.

Pedoman diagnosis DA. yang diusulkan oleh kelompok tersebut yaitu:

- Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang

tuanya bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok.

- Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut:

1. Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut,

bagian depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak

usia di bawah 10 tahun).

2. Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat

penyakit atopi pada keluarga tingkat pertama dari anak di bawah 4 tahun).

3. Riwayat kulit kedng secara umum pada tahun terakhir.

4. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada pipi/dahi

dan anggota badan bagian luar anak di bawah 4 tahun).

5. Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di bawah 4

tahun).

20

Gambar 1. Tempat Predileksi Dermatitis Atopik

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium

Tidak ada hasil laboratorium yang spesifik yang dapat dipergunakan untuk

menegakkan diagnosis dermatitis atopik. Hasil yang dapat ditemukan pada

dermatitis atopik, misalnya kenaikkan kadar IgE dalam serum, mengurangnya

jumlah sel-T ( terutama T-supresor) dan imunitas seluler, jumlah eosinofil

dalah darah relatif meningkat. (Davey, 2006)

2. Dermatografisme putih

Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respon yakni berturut-

turut akan terlihat: Garis merah ditempat penggoresan selama 15 detik, warna

merah disekitarnya selama beberapa detik, edema timbul setelah beberapa

menit. Penggoresan pada penderita yang atopi akan bereaksi belainan. Garis

merah tidak disusul warna kemerahan, tetapi kepucatan selama 2 detik sampai

5 menit, sedangkan edema tidak timbul. Keadaan ini disebut dermatografisme

putih. (Davey, 2006)

3. Percobaan asetil kolin

Suntikan secara intra kutan solusio asetilkolin 1/5000 akan menyebabkan

hyperemia pada orang normal. Pada orang dengan dermatitis atopi akan

timbul vasokonstriksi terlihat kepucatan selama satu jam. (Davey, 2006)

4. Percobaan histamin

21

Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita dermatitis atopi eritema

akan berkurang dibandingkan orang lain sebagai kontrol. Kalau obat tersebut

disuntikkan parenteral, tampak eritema bertambah pada kulit orang normal.

(Wolff, 2008)

1.8 DIAGNOSIS BANDING (Wollf, 2008)

Penyakit Gambaran klinisSeboroik dermatitis Berminyak, squama, riwayat keluarga tidak adaPsoriasis Plak pada daerah ekstensor, skalp, gluteus, pitted nailNeurodermatitis Gatal, soliter, riwayat keluarga tidak adaContact dermatitis Riwayat kontak, ruam di tempat kontak, riwayat keluarga

tidak adaSkabies Papul, sela jari, positif ditemukan tungauSistemik Riwayat, pemeriksaan fisik. Pemeriksaan banyak sesuai

dengan penyakitDermatitis herpetiforme Vesikel berkelompok di daerah lipataDermatofita Plak dengan sentral healing, KOH negatifImmmunodefisiensi disorder

Riwayat infeksi berulang

22

1.9 PENATALAKSANAAN

Kulit penderita DA. cenderung lebih rentan terhadap bahan iritan, oleh

karena itu penting untuk mengidentifikasi kemudian menyingkirkan faktor yang

memperberat dan memicu siklus “gatal-garuk”, misalnya sabun dan deterjen;

kontak dengan bahan kimia, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau dingin

yang ekstrim. Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal

terhadap lemak dan mempunyai pH netral. Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih

dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan formaldehid atau bahan kimia

tambahan. Mencuci pakaian dengan deterjen harus dibilas dengan baik, sebab sisa

deterjen dapat bersifat iritan. Kalau selesai berenang harus segera mandi untuk

membilas klorin yang biasanya digunakan pada kolam renang. Stres psikik juga

dapat menyebabkan eksaserbasi DA. (Djuanda, 2011)

Acapkali serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari

luar, misalnya terlalu sering dimandikan; menggosok terlalu kuat; pakaian terlalu

tebal, ketat atau kotor; kebersihan kurang terutama di daerah popok; infeksi lokal;

iritasi oleh kencing atau feses; bahkan juga medicated baby oil. Pada bayi penting

diperhatikan kebersihan daerah bokong dan genitalia; popok segera diganti, bila

basah atau kotor. Upaya pertama adalah melindungi daerah yang terkena terhadap

garukan agar tidak memperparah penyakitnya. Usahakan tidak memakai pakaian

yang bersifat iritan (misalnya wol, atau sintetik), bahan katun lebih baik. Kulit

anak/bayi dijaga tetap tertutup pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau

trauma garukan. (Djuanda, 2011)

Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembab; hindari pembersih

antibakterial karena berisiko menginduksi resistensi. (Djuanda, 2011)

Menurut Kim dalam jurnalnya (Kim, 2015), penatalaksanaan DA meliputi:

a. Farmakologi

Pelembab: Petrolatum, Aquaphor, atau agen yang lebih baru seperti

Atopiclair dan Mimyx (unggul tetapi lebih mahal dan

membutuhkan evaluasi lebih lanjut)

Steroid topikal (andalan saat pengobatan; umumnya digunakan

dalam hubungannya dengan pelembab): Hidrokortison,

23

triamsinolon, atau betametason; basis salep umumnya lebih

disukai, khususnya di lingkungan kering

Imunomodulator: Tacrolimus dan pimecrolimus (inhibitor

kalsineurin; dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua dan

digunakan hanya sebagai indikasi); omalizumab (antibodi

monoklonal yang berfungsi menghalangi imunoglobulin E [IgE])

PENGOBATAN TOPIKAL

Hidrasi kulit. Kulit penderita DA. kering dan fungsi sawarnya berkurang,

mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan

iritan dan alergen. Pada kulit yang demikian perlu diberikan pelembab, misalnya

krim hidrofilik urea 10%; dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% di dalamnya.

Bila memakai pelembab yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan

lebih dari 5%, karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif. Setelah

mandi kulit dilap, kemudian memakai emolien agar kulit tetap lembab. Emolien

dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja maksimum 6 jam. (Djuanda, 2011)

Pasien disarankan Mandi yang sering dengan menambahkan minyak

pengemulsi (1L ditambahkan ke air mandi hangat) selama 5-10 menit dapat

melembabkan kulit. Minyak akan mempertahankan air pada kulit dan mencegah

penguapan. Dokter juga menyarankan pasien untuk memakai emolien seperti

petrolatum atau Aquaphor ke seluruh tubuh saat kulit masih basah, untuk

menyegel kelembaban dan memungkinkan air untuk diserap melalui stratum

korneum. Salep menyebar dengan baik pada kulit yang basah. Bahan aktif harus

diterapkan sebelum emolien. Emolien yang lebih baru seperti Atopiclair dan

Mimyx telah dianjurkan karena memiliki hasil yang lebih unggul, tetapi bahan

tersebut mahal dan perlu evaluasi lebih lanjut.(Kim, 2015)

Kortikosteroid topikal. Pengobatan DA. dengan kortikosteroid topikal

adalah yang paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun

demikian harus waspada karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan.

Pada bayi digunakan salap steroid berpotensi rendah, misalnya

hidrokortison 1 %-1,5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi

menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka digunakan steroid

24

berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid berpotensi rendah juga dipakai di daerah

genitalia dan intertriginosa, jangan digunakan yang berpotensi kuat, misalnya

fluorinated glucocorticoid. Bila aktivitas penyakit telah terkontrol, dipakai secara

intermiten, umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh;

sebaiknya dengan kortikosteroid yang potensinya paling rendah.

Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan steroid,

misalnya dengan larutan Burowi, atau dengan larutan permanganas kalikus

1:5000. (Djuanda, 2011)

Hasil studi dari Belanda oleh Haeck dkk. menunjukkan bahwa penggunaan

kortikosteroid topikal untuk dermatitis atopik pada kelopak mata dan daerah

periorbital aman, namun masih dalam pengawasan karena dapat menginduksi

glaukoma atau katarak. (Kim, 2015)

Sebagai rejimen perawatan, bubuk hidrokortison 1,25% dalam Asam

Mantle digunakan sebagai emolien berbasis steroid terbukti efektif dan aman

untuk waktu yang lebih lama (misalnya bulan) untuk mencegah kemerahan akut

dengan penambahan steroid-kelas yang lebih tinggi untuk mengobati kemerahan

akut secara cepat. (Kim, 2015)

Imunomodulator topikal

Takrolimus. Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat

diberikan dalam bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun; untuk dewasa

0,03% dan 0,1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam DA.

yaitu: sel Langerhans, sel T, sel mas, dan keratinosit. Pada pengobatan jangka

panjang dengan salep takrolimus, koloni S. aureus menurun. Tidak ditemukan

efek samping kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi

kulit seperti pada pemakaian kortikosteroid; dapat digunakan di muka dan kelopak

mata. (Djuanda, 2011)

Pimekrolimus. Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin

yaitu imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil

fermentasi Streptomyces hygroscopicus var. ascomyceticus. Cara kerja sangat

mirip siklosporin dan takrolimus yang dihasilkan dari Streptomyces tsuku-baensis,

walaupun ketiganya berbeda dalam struktur kimianya, yaitu bekerja sebagai pro-

25

drug, yang baru menjadi aktif bila terikat pada reseptor sitosolik imunofilin.

Reseptor imunofilin untuk askomisin ialah makrofilin-12. Ikatan askomisin pada

makrofilin-12 dalam sitoplasma sel T, akan menghambat calcineurin (suatu

molekul yang dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga

produksi sitokin TH1 ( IFN-y dan IL-2) dan TH2 ( IL-4 dan IL-10) dihambat.

Askomisin juga menghambat aktivasi sel mas. Askomisin menghasilkan efek

imunomodulator lebih selektif dalam menghambat fase elisitasi dermatitis kontak

alergik, tetapi respons imun primer tidak terganggu bila diberikan secara sistemik,

tidak seperti takrolimus dan siklosporin. (Djuanda, 2011)

Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 981 konsentrasi

1%, mempunyai efektivitas sama dengan krim klobetasol-17- propionat 0.05%

(steroid superpoten), tidak menyebabkan atrofi kulit (setidaknya selama 4

minggu), aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif misalnya pada

muka dan lipatan. Cara pemakaian dioleskan 2 kali sehari. (Djuanda, 2011)

Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari

2 tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati

untuk memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut

berpotensi menimbulkan kanker kulit. (Djuanda, 2011)

Sementara klaim ini sedang diselidiki lebih lanjut, obat hanya digunakan

jika terdapat indikasi yaitu untuk dermatitis atopik pada orang yang lebih dari 2 y

dan hanya jika terapi lini pertama gagal. terapi ini jauh lebih mahal daripada

kortikosteroid dan seharusnya hanya digunakan sebagai terapi lini kedua. (Kim,

2015)

Preparat ter. Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi

pada kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk

salap hidrofilik, misainya yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai

10 %, atau crude coal tar 1 % sampai 5%.(Djuanda, 2011)

Antihistamin. Pengobatan DA. dengan antihistamin topikal tidak

dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan

bahwa aplikasi topikal krim doksepin 5% dalam jangka pendek (satu minggu),

dapat mengurangi gatal tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila

26

dipakai pada area yang luas akan menimbulkan efek samping sedatif. (Djuanda,

2011)

PENGOBATAN SISTEMIK

Kortikosteroid. Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk

mengendalikan eksaserbasi akut, dalam jangka pendek, dan dosis rendah,

diberikan berselang-seling (alternate), atau diturunkan bertahap (tapering),

kemudian segera diganti dengan kortikosteroid topikal. Pemakaian jangka panjang

menimbulkan berbagai efek samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih berat

akan muncul kembali. (Djuanda, 2011)

Antihistamin. Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa

gatal yang hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena

itu antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya

hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan

doksepin hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade

reseptor histamih H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam

hari pada orang dewasa. (Djuanda, 2011)

Anti-infeksi. Pada DA. ditemukan peningkatan koloni S. aureus. Untuk

yang belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau, klaritromisin,

sedang untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi

pertama sefalosporin. (Djuanda, 2011)

Bila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks kortikosteroid

dihentikan sementara dan diberikan per oral asiklovir 400 mg 3 kali per hari

selama 10 hari, atau 200 mg 4 kali per hari selama 10 hari. (Djuanda, 2011)

Interferon. IFN-y diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi

dan proliferasi sel TH2. Pengobatan dengan IFN-y rekombinan menghasilkan

perbaikan klinis, karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.

Siklosporin. DA. yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional

dapat diberikan pengobatan dengan siklosporin dalam jangka pendek. Dosis

jangka pendek yang dianjurkan per oral: 5 mg/kg berat badan. Siklosporin adalah

obat imunosupresif kuat yang terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan

cyclophilin (suatu protein intraselular) menjadi satu kompleks yang akan

27

menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Tetapi, bila

pengobatan dengan siklosporin dihentikan umumnya penyakitnya akan segera

kambuh lagi. Efek samping yang mungkin timbal yaitu peningkatan kreatinin

dalam serum, atau bahkan terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi.

(Djuanda, 2011)

TERAPI SINAR (phototherapy)

Untuk DA. yang berat dan luas dapat digunakan PUVA

(photochemotherapy) seperti yang dipakai pada psoriasis. Terapi UVB, atau

Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif. Kombinasi UVB dan UVA lebih

baik daripada hanya UVB. UVA bekerja pada sel Langerhans dan eosinofil,

sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif dengan cara memblokade fungsi

sel Langerhans, dan mengubah produksi sitokin keratinosit.(Djuanda, 2011)

Pengobatan Lainnya untuk Dermatitis Atopik

Probiotik

Probiotik telah direkomendasikan sebagai pilihan terapi untuk pengobatan

dermatitis atopik. Hal ini dikarenakan produk bakteri ini dapat

menyebabkan respon imun dari Th 1 seri bukannya Th 2 dan karena itu

bisa menghambat perkembangan produksi antibodi alergi, IgE. Beberapa

laporan manfaat terbatas dalam peran pencegahan dan terapi. Sebuah

meta-analisis dari 25 uji plasebo acak terkontrol yang melibatkan 4.031

subjek menemukan bahwa pemberian probiotik saat prenatal dan postnatal

mengurangi kadar IgE pada bayi dan dapat melindungi terhadap sensitisasi

untuk alergi tetapi mungkin tidak melindungi terhadap asma.(Hand, 2013)

Pada bulan Januari 2015, Organisasi Alergi Dunia merekomendasikan

penggunaan probiotik oleh ibu hamil dan menyusui untuk mencegah

perkembangan DA. Rekomendasi ini didasarkan pada meta-analisis dari

29 studi yang digunakan probiotik oleh ibu hamil mengurangi kejadian

eksim sebesar 9% selama masa follow up 1-5 tahun dan penggunaan oleh

wanita menyusui dikaitkan dengan 16% pengurangan eksim selama masa

follow up 6 bulan. Konsumsi probiotik oleh menyusui bayi dikaitkan

28

dengan penurunan 5% pada eksim selama 6 bulan sampai 6 tahun masa

tindak lanjut. (Johnson, 2014)

Pada pasien dengan eksim herpeticum, asiklovir efektif.

Pada pasien dengan penyakit berat, dan terutama pada orang dewasa,

fototerapi, methotrexate (MTX), azathioprine, cyclosporine,

mycophenolate mofetil dan telah digunakan dengan sukses. (Kim, 2015)

Kedua hydroxyzine dan diphenhydramine hydrochloride memberikan

tingkat tertentu bantuan dari gatal-gatal tetapi tidak efektif tanpa

pengobatan lain. (Kim, 2015)

Terapi berhasil dengan everolimus, macrolide rapamycin yang diturunkan,

telah dilaporkan pada 2 pasien dengan dermatitis atopik parah. Terapi

kombinasi dengan baik prednisone atau siklosporin A tidak efektif.

Namun, laporan dari ketidakefektifan everolimus telah dipertanyakan.

(Kim, 2015)

Hasil dengan banyak obat lain, seperti thymopentin, gamma interferon,

dan ramuan Cina, telah mengecewakan. Banyak obat yang tidak praktis

untuk digunakan, dan mereka bisa mahal. Beberapa obat herbal Cina

mengandung obat resep, termasuk prednison, dan telah dikaitkan dengan

masalah jantung dan hati. (Kim, 2015)

Antibiotik digunakan untuk pengobatan infeksi klinis yang disebabkan

oleh S aureus atau flare penyakit. Mereka tidak berpengaruh pada penyakit

yang stabil tanpa adanya infeksi. Bukti laboratorium S aureus kolonisasi

tidak bukti infeksi klinis karena organisme staphylococcal umum menjajah

kulit pasien dengan dermatitis atopik. (Kim, 2015)

Sebuah acak, penyidik-buta, percobaan terkontrol plasebo termasuk 31

pasien menunjukkan bahwa salep mupirocin intranasal dan pemutih

diencerkan (sodium hipoklorit) mandi ditingkatkan atopik dermatitis

gejala pada pasien dengan tanda-tanda klinis infeksi bakteri sekunder.

(Kim, 2015)

29

Upaya Nonmedis Untuk Dermatitis Atopik

Pakaian harus lembut di sebelah kulit. Katun nyaman dan dapat berlapis di

musim dingin. Produk wol harus dihindari.

Suhu dingin, terutama pada malam hari, sangat membantu karena

berkeringat menyebabkan iritasi dan gatal.

Sebuah humidifier mencegah kelebihan pengeringan dan harus digunakan

pada musim dingin, ketika pemanasan mengering atmosfer, dan di musim

panas, ketika AC menyerap kelembaban dari udara.

Pakaian harus dicuci dalam deterjen ringan tanpa pemutih atau pelembut

kain.

Menghindari makanan Penyebab

30

Algoritma penatatlaksanaan dermatitis atopik. (Davey, 2006)

KOMPLIKASI

Infeksi sekunder5.

PROGNOSIS

Sulit meramalkan prognosis DA. pada seseorang. Prognosis lebih buruk

bila kedua orang tuanya menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan spontan

pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus

menetap pada usia di atas 30 tahun. Penyembuhan spontan DA. yang diderita

sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun sebesar 40-60%,

terutama kalau penyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada yang melaporkan bahwa

31

Penyakit berat dan refrakter Fototerapi Kortiosteriid topikal poten Siklosporin Metotreksat Kortiosteroid oral Azatioprin -Psikoterapi

Terapi pemeliharaanUntuk penyakit persisen dan atau sering kambuh Pada tanda dini rekurensi gunakan penghambat

kalsineurin topikal untuk mencegah progresivitas penyakit Pimekrolimus mengurangi terjadinya flare

Penggunaan penghambat kalsineurin topikal jangka waktu lama untuk pemeliharaan

kortikosteroid topikal secara intermiten

Terapi ajuvan

Hindari faktor-faktor pencetus

Infeksi bakterial: antibiotik oral dan atau topikal

Infeks viral: terapi antiviral

Intervensi psikologis

antihistamin

Mengatasi prurits dan inflamasi akut

Kortikosteroid topikal atau Penghambat kalsineurin topikal

Pimekrolimus 2 kali sehari atau Takrolimus 2 kali sehari

Remisi penyakit(tidak ada tanda dan

gejala)

Pelembab, edukasi

Penilaian awal riwayat penyakit, luas dan derajat penyakitTermasuk penilaian efek psikologis, pengaruh kepada keluarga

84% DA. anak berlangsung sampai masa remaja. Ada pula laporan, DA. pada

anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang, dan 65 % berkurang

gejalanya. Lebih dari separo DA. remaja yang telah diobati kambuh kembali

setelah dewasa.

Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang balk DA. yaitu:

- DA luas pada anak

- menderita rinitis alergik dan asma bronkial

- riwayat DA. pada orang tua atau saudara kandung

- awitan (onset) DA. pada usia muda

- anak tunggal

- kadar igE serum sangat tinggi.

Diperkirakan 30 hingga 50 persen DA. infantil akan berkembang menjadi

asma bronkial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai risiko menderita

dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan. (Djuanda, 2011)

32

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, S., dan Sri A., 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta:

Balai Penerbit FKUI.

2. Eichenfild et all. 2014. Guidelines of care for the management of atopic

dermatitis. American Academy of Dermatology Journal. 71:116-32

3. Harahap, M., Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates : Jakarta.2007

4. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Diseases of the Skin

Clinical Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.

5. Johnson K. Probiotics in Pregnancy, Lactation Reduce Dermatitis. Medscape Medical News. Nov 25 2014.[Full Text].

6. Kim, B. 2015. Atopic Dermatitis Treatment & Management. Medscape J.

http://emedicine.medscape.com/article/1049085-treatment. Diakses pada:

4 Oktober 2015.

7. National Institute of Occupational Safety Hazards (NIOSH), 2009.

Occupational and Environmental Exposure of Skin to Chemic.

8. Siregar, R. S., Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Ed 2., EGC :

Jakarta, 2008

9. Weekly epidemiological record. World Health Organization 2011; 86:

389-400.

10. [Guideline] Fiocchi A, Pawankar R, Cuello-Garcia C, et al. 2015.World Allergy Organization-McMaster University Guidelines for Allergic Disease Prevention (GLAD-P): Probiotics. World Allergy Organ J. 8 (1):4.[Medline].

33