laporan kampungnaga

11
KATA PENGANTAR Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan kesempatan yang Allah SWT berikan, kami dapat menyelesaikan laporan tugas besar sistem basis data ini dengan baik. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa kami merupakan manusia biasa yang tidak akan lepas dari takdir manusia itu sendiri, yaitu kekhilafan. Oleh karena itu, kami memohon kesediaan Bapak/Ibu dosen untuk mengoreksi bilamana ada kesalahan yang terdapat pada laporan ini. Semoga laporan tugas Ilmu Budaya Sunda tentang “Kampung Naga, Kampung Yang Memegang Trradisi Leluhur” ini bisa bapak terima. Dalam penyusunan laporan ini tentu banyak kekurangan dan kesalahan, oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan saran dari Bapak/Ibu demi sempurnanya laporan ini. Bandung, 17 Januari 2012

Upload: ardi-wiranata

Post on 16-Nov-2015

222 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

task

TRANSCRIPT

KATA PENGANTARPuji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan kesempatan yang Allah SWT berikan, kami dapat menyelesaikan laporan tugas besar sistem basis data ini dengan baik. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa kami merupakan manusia biasa yang tidak akan lepas dari takdir manusia itu sendiri, yaitu kekhilafan. Oleh karena itu, kami memohon kesediaan Bapak/Ibu dosen untuk mengoreksi bilamana ada kesalahan yang terdapat pada laporan ini. Semoga laporan tugas Ilmu Budaya Sunda tentang Kampung Naga, Kampung Yang Memegang Trradisi Leluhur ini bisa bapak terima. Dalam penyusunan laporan ini tentu banyak kekurangan dan kesalahan, oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan saran dari Bapak/Ibu demi sempurnanya laporan ini.

Bandung, 17 Januari 2012

Kampung Naga,Kampung Yang Masih Memegang Tradisi Leluhur

Kampung Naga merupakan salah satu dari kampung yang masih memegang tradisi dan adat istiadat leluhur, namun bisa hidup berdampingan dengan kehidupan masyarakat lain yang lebih modern. Mengunjungi Kampung Naga memang memiliki keunikan tersendiri. Melihat dari dekat kehidupan sederhana dan bersahaja yang masih tetap lestari di tengah peradaban modern. Hari Selasa, Rabu, dan Sabtu adalah hari pantangan bagi masyarakat Kampung Naga untuk membicarakan berbagai hal tentang tradisi mereka. Selain pada hari pantangan tersebut, kita bisa berinteraksi dengan mereka dengan lebih leluasa.Kampung Naga secara administratif terletak di kampung Legok Dage, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Terletak persis di samping jalan raya Tasikmalaya-Garut dari rute Tasikmalaya-Bandung, membuat kampung ini mudah dicapai. Untuk menuju ke sini bisa ditempuh dari 2 arah, dari Garut atau dari Tasikmalaya, karena kampung ini terletak di tengah-tengah perbatasan kedua kota, sekitar 30 km dari Tasikmalaya dan 26 km dari Garut.

Gerbang Kampung Naga

Seorang penduduk memanggul batu kali untuk dijualUntuk menuju ke Kampung Naga, cukup sulit. Kami harus menuruni anak tangga dengan sudut yang curam, mencapai sekitar 45. Walau anak tangga ini terbuat dari semen yang cukup bagus, bila tidak berhati-hati kita bisa saja terjatuh. Apalagi tidak ada pagar yang bisa dipakai untuk pegangan, membuat pengunjung harus lebih berhati-hati.Beberapa penduduk Kampung Naga tampak sedang mendaki naik untuk keluar dari Kampung Naga dan melakukan aktivitas di luar. Seorang bapak yang kami sapa bahkan sedang memanggul batu kali untuk dijual. Separo perjalanan, dari jauh sudah terlihat deretan rumah berwarna putih beratap hitam menyembul dari kaki bukit dan sawah. Sungai Ciwulan dengan air deras berwarna kecoklatan yang mata airnya berasal dari Gunung Cikuray, Garut, mengapit desa.Masyarakat Kampung Naga memang menggantungkan hidup dari pertanian dan sungai. Kami jadi teringat sejarah bahwa peradaban manusia lahir di lembah sungai.Sebuah jalan semen nampak jelas menjadi jalan utama menuju gerbang masuk Kampung Naga.

Jalan utama menuju Kampung Naga

Masyarakat Kampung Naga yang berjumlah sekitar 100 kepala keluarga ini begitu kuat menaati aturan dan adat istiadat yang berlaku. Aturan ini mencakup banyak hal, mulai dari waktu dan tata cara kehidupan hingga pola arsitektur serta kebudayaan. Mereka sangat mempercayai hal-hal mistis sehingga ada lokasi-lokasi yang dikeramatkan, antara lain hutan adat yang terletak di sebelah barat di mana di sana terdapat makam para leluhur mereka.Banyak versi yang menceritakan sejarah Kampung Naga, namun tidak ada catatan resmi karena dokumen-dokumen sejarah kampung ini musnah ketika serangan pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Namun versi yang populer adalah pada masa kewalian Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang muridnya yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah barat hingga mencapai daerah Neglasari (Kampung Naga sekarang).Awalnya penduduk di sana memeluk agama Hindu yang berasal dari kerajaan Pajajaran, namun akhirnya memeluk agama Islam yang dibawa oleh Singaparana. Sembah Dalem Singaparana inilah yang kemudian menjadi leluhur dan sosok yang dihormati oleh masyarakat Kampung Naga. Nama Kampung Naga sendiri diduga berasal dari kata Kampung Nagawi, yang kemudian lebih sering disebut dengan Kampung Naga.Meski semua penduduk beragama Islam, namun tata cara peribadatan mereka berbeda dengan umat Islam pada umumnya. Misalnya, mereka melakukan sholat hanya pada hari Jumat. Juga beberapa hari besar agama Islam juga mereka terapkan yang diberi namaHajat Sasih. Pengaruh Hindu masih kuat terasa.

Rumah-rumah di Kampung Naga

Rumah-rumah panggung berderet rapi memanjang dari barat ke timur. Setiap rumah menghadap ke utara atau selatan. Setiap rumah harus terbuat dari kayu, dengan dinding dari anyaman bambu, beratap ijuk atau daun nipah, dan dikapur dengan warna putih. Perabotan rumah tangga semacam kursi dan meja tidak diperkenankan, apalagi peralatan elektronik seperti televisi, radio dan sebagainya. Bahkan mereka menolak pemasangan listrik di kampung mereka.Di depan rumah biasanya terdapat semacam teras atau serambi kecil yang digunakan untuk melakukan aktivitas dan berinteraksi dengan sesama penduduk. Ketika kami datang, kami melihat sekelompok warga sedang memilah-milah semacam tanaman akar (herbal) yang diambil dari kebun. Kami tidak mengetahui secara pasti akar apa yang mereka ambil, karena mereka berbicara dalam bahasa Sunda yang kami sama sekali tidak mengerti. Kami hanya mengira-ira saja apa arti dari jawaban mereka ketika kami tanya.

memilah akar tanaman obat

Tanah liat dengan batu-batu yang disusun sedemikian rupa menjadi jalan dan tangga memberikan pengalaman menyusuri kampung menjadi lebih menarik. Menyelip di antara gang-gang sempit sembari menikmati kesunyian yang ditemani suara tongeret begitu menenangkan. Mereka sepertinya sudah terbiasa dengan para wisatawan, sehingga mereka cenderung cuek dan tetap menjalani kehidupan seperti biasa ketika ada wisatawan yang berlalu-lalang di sekitarnya.Menginap di kampung ini pun bisa, namun kita harus siap dengan segala konsekuensi, misalnya ketiadaan perabotan dan listrik yang biasanya menjadi keseharian kita plus kita harus mematuhi aturan dan pantangan yang berlaku. Di setiap rumah tidak terdapat kamar mandi. Aktivitas MCK dilakukan di pemandian umum yang terdapat di bagian depan kampung yang dekat dengan sungai. Terdapat kolam-kolam di sekitar pemandian yang digunakan untuk beternak ikan. Kandang-kandang kambing dan sapi juga berada di depan sehingga tidak mengganggu perkampungan. Di bagian paling atas terdapat sebuah lapangan dan masjid agung. Terdapat sebuah bedug unik yang terbuat dari sebatang kayu yang dilubangi tengahnya.

Masjid Agung Kampung Naga

Selain dari pertanian, penduduk Kampung Naga juga membuat kerajinan anyam-anyaman dari akar-akar dan bambu untuk dijual. Banyak sekali produknya, antara lain tas, topi, gelang-gelang, kalung, hingga sandal.Suvenir khas ini dijual di beberapa rumah dan bisa ditemukan di kios-kios suvenir di pelataran parkir. Kami tertarik dengan sebuah tas anyam-anyaman dari akar. Kami pun membelinya dengan harga 35 ribu rupiah di sebuah kios di samping masjid. Dengan membeli suvenir ini kami berharap bisa membantu ekonomi masyarakat lokal.

Suvenir kerajinan Kampung Naga

Di beberapa sudut kami melihat anak-anak sedang bermain dengan riang dengan menggunakan bola. Sementara di sudut lain kami melihat beberapa anak sedang belajar di teras rumah. Karena tata letak rumah yang berundak di kaki lembah, kami sering menemukan ayam-ayam peliharaan penduduk sedang asyik nongkrong di atap rumah. Kandang-kandang ayam biasanya diletakkan di bagian bawah rumah.Puas menikmati suasana, kami pun meninggalkan kampung ini. Kami dengan susah payah dan terengah-engah melahap tanjakan curam. Penduduk yang dengan santai menitisengked(anak tangga) terlihat senyum-senyum melihat tampang kami yang kelelahan ketika beristirahat sejenak.

DAFTAR PUSTAKAhttp://jengjeng.matriphe.com/kampung-naga-kampung-yang-masih-memegang-tradisi-leluhur.html