laporan ant ekologi ciptagelar 2011

Upload: putri-sesilia-kadrie

Post on 09-Jul-2015

131 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

I. PendahuluanSuatu pagi diawal bulan Mei 2011, kelas Antropologi Ekologi dan Antropologi Pariwisata mengadakan perjalanan ke kaki Gunung Halimun untuk melakukan latihan penelitian. Dengan menggunakan sebuah bus yang diisi oleh 60 orang mahasiswa beserta 3 orang dosen, perjalanan pagi itu dimulai dengan sarapan sebelum hampir semuanya tertidur lelap meski jalan yang dilalui cukup berliku dan membuat mual sebagian mahasiswa. Untuk berjaga-jaga beberapa mahasiswa memaksa diri mereka tidur dengan meminum obat anti mabuk perjalanan. Sementara sebagian tertidur, sebagian lagi asyik bermain gitar dan bernyanyi mengiringi tidur pulas kawan yang lain. Tengah hari bus berhenti di pinggir pantai Pelabuhan Ratu, sambil menunggu truk yang akan mengangkut kami menuju Kasepuhan Ciptagelar, beberapa mahasiswa menikmati buah kelapa di bawah pohon rindang di tepi pantai. Bagi kami yang belum pernah datang ke Kasepuhan perjalanan ini sangat mendebarkan dan membuat rasa penasaran kami semakin melonjak-lonjak. Meski begitu kami datang tidak dengan tangan kosong. Sebelum berangkat kami sudah mengumpulkan data-data sekunder mengenai Kasepuhan sebagai bahan dasar untuk kami melakukan penelitian. Kasepuhan sendiri berasal dari kata sepuh yang artinya orang yang sudah tua atau dituakan jadi kasepuhan adalah tempat tinggal para leluhur atau nenek moyang. Namun kami melihat bahwa kasepuhan adalah suatu kelompok masyarakat yang hidup dengan nilai-nilai nenek moyang. Selain mengumpulkan data sekunder, selama setengah semester kami juga sudah dibekali dengan konsep dan teori antropologi ekologi yang akan kami gunakan untuk menganalisa temuantemuan di lapangan. Salah satunya adalah teori adaptasi (e.g. Alland) yang digunakan oleh kelompok kami. Lewat tengah hari, truk yang ditunggu akhirnya datang, para mahasiswapun mengantri untuk naik ke dalam truk. Sebelumnya, tas bawaan kami dititipkan di mobil dosen dan mobil Kasepuhan. Saat injakan gas pertama, para mahasiswa berteriak dengan kegirangan. Perjalanan dengan menggunakan truk ini memakan waktu lebih dari 3 jam. Kami terombang-ambing dalam truk seperti kapal yang sedang menghadapi badai. Keceriaan kami luntur perlahan, berganti dengan wajah tegang penuh rasa takut dan lelehan keringat disekujur tubuh yang ingin segera sampai. Pemandangan di kiri-kanan kami sebetulnya cukup menarik untuk dinikmati, gunung dan lembah mengiringi sela-sela teriakan kami yang terhimpit satu sama lain karena terkadang truk melakukan manuver dadakan. Badan kami yang sudah cukup sakit karena terbentur-bentur

semakin lemas karena belum terisi makanan. Akhirnya kami berhenti pada sebuah pos dan mengatur barisan serta strategi untuk menghadapi medan yang cukup berat dan sangat menantang. Bahkan sebagian dari kami ada yang berniat untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, namun dilarang oleh supir truk karena perjalanan tersebut masih cukup jauh. Setelah selesai mengatur barisan dan strategi, perjalanan kemudian dilanjutkan. Banyak dari kami yang masih bingung, dimanakah kita akan berhenti, Ciptarasa atau Ciptagelar? Pertanyaan tersebut akhirnya terjawab setelah truk melewati desa Ciptarasa. Kami kelaparan dan haus, tak bertenaga. Janji makan siang yang lezatpun keluar dari mulut beberapa panitia untuk memompa semangat para penumpang truk. Beberapa teman dibarisan depan memberikan informasi jalan yang akan dihadapi, apakah berbelok ke kanan atau kiri, apakah turunan atau tanjakan, agar teman-teman yang lain bersiap untuk menghadapinya. Sempat juga ban truk terjebak pada tanah basah dan lembek yang cukup dalam. Karena sudah biasa menghadapi kejadian tersebut, sang supir menyebarkan serbuk gabah untuk memudahkan ban untuk berputar dan kembali ke jalur. Kami juga sempat mengucapkan sumpah serapah kepada sang sopir karena sudah tidak sanggup lagi melakukan perjalanan tersebut, ini terjadi karena otak kami sudah tidak dapat berpikir jernih. Setelah menanti-nanti kehadiran desa Ciptagelar selama beberapa jam, akhirnya kami sampai dengan selamat meski beberapa tas kami ada yang berjatuhan karena pintu mobil dari Kasepuhan tidak cukup kuat menopang beban yang terlalu berat. Setelah sampai, kami beristirahat sebentar untuk mengembalikan semangat dan tenaga. Menghirup dalam-dalam wangi alam yang masih cukup perawan dan hanya sedikit tercemar limbah. Wajah-wajah yang murung kembali tersenyum karena ternyata perjalanan yang kami lakukan sepadan dengan pemandangan dan makanan yang kami nikmati di Ciptagelar. Cukup beristirahat sejenak, dosen pembimbing kami memberikan pengarahan dan dilakukan juga pembagian kamar untuk tiap-tiap kelompok. Malam itu kami beristirahat setelah sebelumnya berdiskusi sejenak sehabis makan malam. Diskusi yang kami lakukan adalah diskusi untuk menentukan penelitian mengenai apa yang akan diangkat oleh masing-masing kelompok. Setelah diskusi panjang, kelompok kami memilih untuk meneliti Mikrohidro sebagai bentuk adaptasi masyarakat Ciptagelar. Kami juga menggunakan teori Leslie A. White untuk menjelaskan mengenai perubahan dan evolusi budaya. Meski penelitian secara efektif hanya dapat dilakukan selama 2 hari, namun kami berhasil menghimpun data dari hasil observasi dan wawancara kepada warga, para sesepuh dan juga Abah yang memimpin Kasepuhan. Hasil penelitian ini akan kami uraikan pada bagian selanjutnya.

II. MetodeMetode wawancara. penelitian Kelompok yang kami kami gunakan adalah observasi serta dan

mengamati

lingkungan

perilaku

masyarakat Kasepuhan. Wawancara dilakukan pada beberapa informan kunci, selain itu kami juga melakukan wawancara kepada warga lain untuk mendapatkan data sesuai dengan yang kami inginkan.

III. Perkembangan Kasepuhan

lingkungan

disekitar

Masyarakat adat Ciptagelar adalah masyarakat yang berada di wilayah Jawa Barat dan secara administratif pusat pemerintahan kasepuhan Ciptagelar berada di dusun Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Lokasi ini berjarak kurang lebih 14 Km dari Desa Sirnaresmi, 27 Km dari Kota Kecamatan, 103 Km dari Kabupaten Sukabumi. Jika diukur dari Kota Bandung berjarak kurang lebih 203 Km ke arah Barat. Titik Koordinat S 06 47 10,4 . Keberadaan masyarakat adat Ciptagelar sudah ada sejak tahun 1932 dan sekarang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Masyarakat adat Ciptagelar dalam kesehariannya erat kaitannya dengan lingkungan. Kondisi geografis mereka di pegunungan membuat hutan menjadi aset penting yang mereka jaga. Bagi mereka hutan tidak hanya sekedar sumber pangan ataupun kebutuhan seharihari. Fungsi spritualitas pun ada dalam pemaknaan hutan itu sendiri. Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang mereka jaga dan pergunakan sesuai kebutuhan. Dari zaman leluhur masyarakat adat Ciptagelar hingga sekarang terdapat istilah catur rangga leluhur. Catur rangga adalah semacam petuah yang diturunkan oleh leluhur masyarakat adat Ciptagelar kepada anak cucucnya kelak agar tetap menjaga hutan.

Catur rangga leluhur tersebut berbunyi Jaga raksa jeung Riksa leuweung urang, ulah ruksak digalaksak anu ahirna balangsak. gunung kayuan, lamping gawir awian, kebun talun, datar sawahan, legok balongan . Menunjukkan betapa pentingnya fungsi hutan sehingga leluhur mewantiwanti agar hutan tetap dilestarikan. Dalam budaya kasepuhan secara umum (termasuk Kasepuhan Ciptagelar), wilayah adat dibagi berdasarkan fungsinya masing-masing. Dalam bahasa lokal wilayah adat tersebut terbagi kedalam;

Gunung Kayuan (hutan), Lamping Gawit Awian (Lereng yang curam ditanami dengan bambu), Kebun Talun (daerah untuk pertanian / agroforestry), Datar Sawahan (daerah datar untuk tanaman sawah / padi), Legok Balongan (daerah yang digunakan untuk memelihara ikan). membagi hutan sesuai fungsi, kebutuhan

Masyarakat adat Ciptagelar melakukan pembagian ini sebagai salah satu upaya dalam masyarakatnya serta untuk pelestarian hutan. Pembagian ini semuanya diatur dalam tata adat yang berlaku di sana. Istilah Gunung Kayuan ( hutan ) mengandung makna yang dalam. Menurut pandangan masyarakat adat Ciptagelar, hutan merupakan bagian dari kehidupan mereka. Kondisi lingkungan yang erat dengan hutan itu mereka sadari sehingga mereka berupaya menjaga hutan tidak hanya untuk sekarang tapi juga generasi yang akan datang. Tata pembagian hutan turut andil dalam upaya penjagaan hutan.Menjaga hutan merupakan kewajiban adat selain itu bila hutan tidak dijaga mereka tidak mempunyai sumber untuk mengairi sawah dan turbin untuk Pembangkit Listrik Mikro Hidro (PLMH) Ciptagelar, hutan terbagi dalam tiga kategori yaitu :

yang merupakan

bagian dari penghidupan mereka. Dalam pandangan masyarakat adat

an Leuweng Titipan ( hutan larangan) yaitu hutan yang dilindungi dan tidak boleh sama sekali dieksploitasi. Wilayah hutan ini tidak

boleh

dimasuki

dan

atau

tidak

boleh

mengambil

apapun

sumberdaya alam yang ada di dalamnya tanpa ijin terlebih dahulu dari ketua adat (Kolot / Abah). Untuk memasuki hutan ini terdapat syarat dan mantra khusus. Leuweng Titipan dijaga dan dilindungi untuk keberlanjutan hidup warga Kasepuhan. Selain melindungi mata air untuk pertanian, daerah hutan ini biasanya juga di sakralkan. Hutan ini mempunyai luas sekitar 60%.

Leuweng Tutupan ( hutan tutupan)yaitu hutan yang berfungsi sebagai sistem penyangga dan juga untuk melindungi perkampungan. Warga diperbolehkan mengambil sumber daya alam dari hutan bila tujuannya untuk kesehariannya Warga hanya boleh mengambil hasil hutan non-kayu di daerah ini.. mempunyai luas sekitar 20%. Hutan ini

Leuweng Bukaan ( hutan garapan) yaitu hutan yang dibuka dan digunakan untuk pertanian baik untuk sawah ataupun ladang, agroforestry, perumahan, jalan, masjid, dan kebutuhan ekonomi lainnya . Hutan ini mempunyai luas sekitar 20 % .

Perumahan penduduk termasuk imah gede yang biasanya dijadikan pusat untuk berkumpul berada di leuweung bukaan. Pembagian hutan tersebut agar penggunaan hutan dipakai sesuai fungsinya dan tetap menjaga ekosistem yang ada. Berada di tengah kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ternyata membawa permasalahan tersendiri. Hal ini disebabkan pihak TNGHS melarang masyarakat adat Ciptagelar untuk menggarap kembali leuweung garapan. Padahal lewat leuweung garapan itulah masyarakat adat Ciptagelar melakukan aktivitas kesehariannya seperti bersawah dan berladang. Hal ini mendapat respon negatif dari warga karena mreka tidak mempunyai sumber untuk melangsungkan kehidupan sehari-hari lagi.

Sungai Cisono merupakan sumber mata air untuk menghidupkan turbin Cipulus. Oleh karena itu, PLMH dibangun di daerah leuweung titipan ( hutan larangan) karena di sana terdapat mata air untuk turbin. Sedangkan turbin kecil di daerah Ciptagelar sumber air berasal dari sungai Cibareno dan letaknya berada di persawahan dekat dengan imah gede. Turbin kecil tersebut masuk ke dalam leuweung bukaan ( hutan garapan). MIKRO HIDRO Arus informasi global ternyata telah mempengaruhi pandangan masyarakat adat Ciptagelar. Mereka mewujudkannya dalam bentuk Pembangkit Listrik Mikro Hidro (PLMH). Masyarakat adat Ciptagelar turut serta dalam arus global walaupun jarak Ciptagelar jauh di pegunungan. Salah satu upaya mereka mendekatkan diri dengan dunia luar dengan dibangunnya PLMH tidak hanya berfungsi untuk penerangan namun juga lewat PLMH warga dapat mendirikan radio komunitas dan membuat blog internet. Sebelum adanya PLMH, masyarakat memakai cempor sebagai alat penerangan. Turbin PLMH yang dibangun pada tahun 1996 di Cipulus dan merupakan bantuan dari Jepang. Turbin tersebut berdaya 80 kw dan daerah pendistribusiannya mencakup Ciptagelar dan sekitarnya. Di Ciptagelar sendiri sebenarnya telah dibuat mikro hidro skala kecil dari kincir kayu atas inisiatif ketua adat terdahulu sejak tahun 1985. Namun mikro hidro berdaya 25 kw tersebut mengalami kerusakan total sembilan tahun kemudian. Hingga saat ini di Ciptagelar sendiri terdapat delapan pikohidro, mikro hidro dengan daya yang paling kecil.. Piko hidro ini berdaya 500 watt dan penggunannya dari sore sampai pagi hari. Bagi warga kebanyakan yang beraktivitas pada pagi sampai sore di luar rumah seperti bersawah penerangan yang dimulai pada sore hari tidak menggangu keseharian. Kecuali untuk imah gede yang merupakan pusat masyarakat untuk berkumpul, penerangan dipakai selama 24 jam. Sungai Cisono merupakan sumber mata air untuk menghidupkan turbin Cipulus dan turbin ini dijaga oleh seseorang yang bernama aki

Upat. Oleh karena itu, PLMH dibangun di daerah leuweung titipan ( hutan larangan) karena di sana terdapat mata air untuk turbin. Sedangkan turbin kecil di daerah Ciptagelar sumber air berasal dari sungai Cibareno dan letaknya berada di persawahan dekat dengan imah gede. Turbin kecil tersebut masuk ke dalam leuweung bukaan ( hutan garapan).

IV. Perkembangan masyarakat kasepuhanMikrohidro mulai difungsikan pada tahun 1996 guna menerangi kampung Ciptagelar. Alatnya untuk pertama kali didatangkan dari Bandung. Kebutuhan energi terutama di Ciptagelar dipasok dengan pembangkit listrik tenaga mikro hidro. Wilayah ini memiliki empat turbin yang dapat menghasilkan energi listrik hingga 353.000 watt. Keempat turbin tersebut merupakan bantuan dari lembaga JICA, UNDP, Pemprov Jabar, dan hasil tabungan Yayasan IBK Jakarta. Meskipun PLN telah masuk ke daerah tersebut, Abah Ugi tetap memiliki kebijakan untuk tidak melakukan interkoneksi dengan PLN. Alasannya adalah keinginan beliau untuk meratakan penggunaan listrik bagi seluruh masyarakat, tidak ada yang lebih banyak ataupun lebih sedikit. Ini juga untuk melatih warga untuk dapat memanfaatkan teknologi seperlunya. Tapi eksistensi PLN juga tidak dapat dipandang sebelah mata. Karena itu, Abah berencana untuk membangun satu mikrohidro lagi yang dikhususkan bagi interkoneksi dengan PLN dengan harapan bahwa nantinya interkoneksi ini dapat memberikan pemasukan tambahan bagi Kasepuhan Ciptagelar untuk kegiatan perekonomiannya. Abah Ugi Sugriana Rakasiwi ini dikenal warga sebagai orang yang menyukai teknologi seperti alm ayahnya asalkan tidak berbenturan dengan adat kasepuhan Ciptagelar. Selain itu ia pun sangat mempriotitaskan program penghijauan hutan. Penghijauan juga guna menjaga daerah resapan air yang besar manfaatnya untuk kepentingan warga adat. Pentingnya menjaga dan melestrarikan hutan lindung ini, memang telah dirasakan sangat besar manfaatnya untuk kehidupan dan

kesejahteraan mereka. Buktinya, pemakaian energi listrik di kampung adat ini memanfaatkan aliran air sungai melalui teknologi mikrohidro. Mengenai keberlanjutan mikrohidro tersebut, Abah mengatakan bahwa akses listrik ini sangat penting bagi warga, karena itu instalasi mikrohidro sebisa mungkin diperbanyak di pemukiman warga yang cukup jauh dari pusat kasepuhan. Saya sempat berdiskusi dengan Ki Aja (warga Cipulus) di saung kecil yang lokasinya di depan turbin saat beliau sedang berteduh setelah memanen padi cuaca sedang hujan. Menurut beliau, turbin tersebut dibangun pada saat kepemimpinan abah Anom. Awal pemanfaatan turbin tersebut hanya digunakan sebagai sumber penerangan lampu untuk rumah-rumah warga di ciptagelar. Kian lama fungsinya pun kian bertambah setelah sempat mengalami pergantian dengan turbin yang baru karena turbin sebelumnya sudah memasuki masa tua. Karena daya watt nya bertambah juga, kini turbin tersebut tidak hanya sebagai alat untuk lampu saja tetapi digunakan juga pada mesin bubut, alat elektronik dan aliran air dari turbin dapat digunakan untuk mengairi sawah para petani yang jaraknya ada disekitar turbin berada.

V. Kebudayaan dengan teknologi mikrohidroJauh ke selatan, di pedalaman Sukabumi, terdapat desa adat Kasepuhan Ciptagelar terletak di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Desa ini terletak di lereng bukit selatan Taman Nasional Gunung Halimun. Kampung Ciptagelar memiliki luas sekitar empat hektar, berjarak sekitar 44 kilometer dari Pelabuhan Ratu ke arah Cisolok. Dengan ketinggian 1.050meter di atas permukaan laut dengan topografi yang berbukit, letak kampung dekat dengan Sungai Cisono dan Sungai Cibareno. Desa adat Kasepuhan Ciptagelar ini termasuk sebagai desa yang mandiri dalam menciptakan Energi Berbasis Mikrohidro. Sebelum tahun

1996

para

penduduk

Kasepuhan

Ciptagelar

masih

menggunakan

Cempor1 sebagai alat penerangan dalam kehidupannya. Tetapi pada saat tahun 1996 muncul ide dari Abah Encup Sucipta atau yang lebih dikenal sebagai Abah Anom yang merupakan ketua Adat di Kasepuhan Ciptagelar untuk membangkitkan tenaga listrik menggunakan mikrohidro (yang pada waktu itu menggunakan mikrohidro tradisional dari kincir dan bambu). Namun dengan dengan kearifan lokal masyarakat adat Sunda yang sangat kental, Abah Anom harus memerintah sesuai dengan kekuatan wangsit dan bebendon2 yang berasal dari nenek moyang. Namun, tradisi dan peradaban yang ada tidak menyurutkan keinginannya untuk memajukan warganya seiring dengan kemajuan jaman. Modernisasi dimulai dari kegiatan listrik masuk desa dengan memanfaatkan sumber air yang berada di sekitar desa dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro atau yang disingkat dengan PLMTH. Keberadaan PLTMH memungkinkan hampir seluruh rumah incu buyut3 di kawasan Ciptarasa mendapatkan penerangan. Setelah 15 tahun berdiam di Ciptarasa, mereka pun hijrah ke bagian utara sejauh 15 kilometer dari Ciptarasa. Tempat baru tersebut dinamakan Kasepuhan Ciptagelar yang kini dipimpin oleh Abah Ugi Sugriwa, anak tertua dari Abah Anom. Seperti halnya di Ciptarasa, di kawasan Ciptagelar yang baru dibuka ini, Abah Anom pun melaksanakan kembali program Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro di desa Ciptagelar. Teknologi Pembakit Listrik Tenaga Mikrohidro adalah teknologi berskala kecil yang dapat diterapkan pada sumber daya air untuk mengubah potensi tenaga air yang ada menjadi daya listrik dan atau pemutar peralatan lainnya antara lain pompa air, mesin giling padi dll, yang secara tidak langsung akan bermanfaat untuk menunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat di pedesaan. Pengembangan mikrohidro dipandang sebagai pilihan yang tepat untuk penyediaan energi listrik bagi daerah yang dekat dengan sungai sebagai potensi utama terciptanya PLMTH. Oleh karena itu dengan adanya PLMTH sekarang masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, Ciptarasa, Cicemet, dan warga Kasepuhan

disekitar Imah Gede dapat menggunakan listrik bagi kebutuhan mereka. Tetapi akses kebutuhan listrik lebih banyak dimanfaatkan oleh warga Kasepuhan Ciptagelar, karena di daerah Kasepuhan Ciptagelar sendiri telah memiliki 9 buah pembangkit mikrohidro dan pikohidro. Walaupun demikian tetap saja tidak memungkinan bagi para warga untuk menikmati listrik selama 24 jam penuh karena keterbatasan daya dari 9 pembangkit tersebut,namun hanya satu yang memiliki kapasitas sebesar 80 kW dimana aliran listrik utamanya dialirkan Imah Gede selama24 jam. Sedangkan bagi warga Kasepuhan yang jauh dari Imah Gede (Rumah Besar yang merupakan tempat tinggal Abah yang berada di Ciptagelar), ____________________________________________________________________1 Cempor merupakan alat penerangan yang menggunakan minyak tanah di dalam botol, lalu bagian atas botol diberi sabut. Bagian botol ditutupi oleh dedaunan atau alat pemegang agar tidak panas 2 Bebendon adalah kalau tidak dilaksanakan akan menjadi musibah besar bagi seluruh anggota masyarakat kasepuhan adat. 3 Incu buyut adalah anggota kesatuan adat.

dapat menggunakan listrik dari 8 pembangkit listrik pikohidro dengan kapasitas masing-masing 500 watt, yang hanya dapat digunakan sejak sore hingga pagi hari. Kegunaan listrik yang dihasilkan dari PLTMH dapat digunakan untuk penerangan di malam hari, dan dapat membuat beberapa usaha lainnya yang dicetuskan oleh almarhum Abah Anom, seperti penggalian emas dan membuat radio siaran swasta yang digunakan sebagai media komunikasi dan informasi untuk warga Kasepuhan di berbagai daerah sekitarnya. Dan pada tahun 2008 penggunaan listrik pun berkembang juga hingga membuat siaran televisi buatan sendiri yang juga digunakan sebagai media informasi yang khusus menanyangkan kegiatan-kegiatan yang direkam, seperti upacara-upacara adat saat memulai musim tanam, kegitan menanam padi, kegiatan Mipit, kegiatan Seni, Seren Taun, hingga kegiatan sehari-hari warga untuk dapat untuk memberi informasi dan contoh yang baik kepada generasi muda. Pada tahun 2010 pemanfaatan tenaga listrik itu dikembangkan dengan diadakannya akses internet menlalui nirkabel dan wi-fi yang diberikan dari bantuan Negara Jepang kepada penduduk Kasepuhan

Ciptagelar. Yang awal fungsinya diciptakan untuk media komunikasi antar warga Kasepuhan yang berada di luar daerah memlalui website resmi Kasepuhan Ciptagelar yaitu www.ciptagelar.org. Namun pemanfaatan internet lebih dikembangkan pengetahuan teknologi lagi bagi yang sebagai warga lebih media canggih, informasi untuk bagi dapat perkembangan Kasepuhan

mengembangkan

contohnyanya

pengetahuan dalam membuat alat turbin sendiri, dan perkembangan teknologi mikrohidro dengan menggunakan mesin seperti yang mereka miliki saat ini. Tetapi mereka selau mengingat kata-kata Abah Anom, Kudu bisa ngigeulan jaman,tapi ulah kabawa ku jaman. Jadi, radio dan internetnya hanya untuk yang baik-baiksaja menurut Kang David, yang merupakan salah satu pengelola blog Kasepuhan Ciptagelar. Prinsip itu tetap dijalankan Abah Ugi sampai sekarang.

VI. AnalisisAdaptasi merupakan strategi yang dilakukan oleh manusia, selama dia hidup untuk merespon perubahan lingkungan dan perubahan sosial. Sama hal nya dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan, sebagai sebuah masyarakat yang kompleks dan selalu berkaitan dengan kehidupan sosial dan lingkungan. Masyarakat kasepuhan juga mengalami proses adaptasi. Proses adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat kasepuhan juga merupakan suatu strategi yang dilakukan masyarakat dalam menghadapi perubahan sosial budaya dan lingkungan yang terkait dengan masyarakat kasepuhan, atau dalam bahasa lokalnya adalah perubahan zaman, karena di dalam perubahan zaman terkait dengan perubahan sosial, budaya dan lingkungan. Untuk menjelaskan hal ini fenomena yang dapat kita amati adalah munculnya pembangkit tenaga listrik mikrohydro di masyarakat Kasepuhan, yang sampai saat ini peranannya menjadi sangat penting terkait dengan perubahan sosial dan lingkungan Kasepuhan saat ini.

Sebelum berbicara lebih jauh mengenai adaptasi tersebut, Konsep kebudayaan menjadi sangat penting dalam menjelaskan hal ini. Karena kebudayaan menjadi kunci terkait dengan adaptasi. Secara umum, definisi mengenai kebudayaan sangatlah banyak, namun kebudayaan menjadi sangat terkait dengan adaptasi, karena kebudayaan juga dapat diarikan sebagai sebuah sistem adaptif manusia. Karena manusia melakukan proses adaptasi melalui suatu budaya yang mereka bentuk melalui suatu tindakan-tindakan yang kontinuitas terhadap perubahan lingkungan dan sosialnya. Jadi dapat diartikan juga bahwa kebudayaan merupakan hasil dan alat yang dipakai oleh manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Terkait dengan keberadaan mikrohydro di kasepuhan, kita dapat mengatakan bahwa kemunculan mikrohydro merupakan alat dan hasil yang menjadi suatu bukti adanya budaya baru yang dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Mikrohydro sebagai hasil bisa kita lihat pada saat sebelum adanya mikro mikrohydro sampai saat munculnya mikrohydro. Dalam rentang waktu tersebut kita bisa mengamati dari kondisi masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan mikro hydro sebagai suatu alat adaptasi bisa kita lihat pada saat masyarakat telah menggunakan teknologi mikrohydro sampai sekarang. Untuk melihat budayanya lebih jelas, kita dapat melihat dari perubahan sosial masyarakat Kasepuhan dan perubahan lingkungannya. Masyarakat Kasepuhan sebagai suatu masyarakat yang dinamis, dan peka terhadap perubahan lingkungan dan sosial budayanya, merupakan suatu langkah dalam melihat proses adaptasi dari masyarakat itu sendiri. Maka untuk melihat hal tersebut, pertama kita harus melihat perubahan yang terjadi. Salah satu caranya bisa dilakukan adalah dengan melihat evolusi budaya yang dikemukakan oleh Leslie Alvin White, LAW melihat budaya sebagai seperangkat fenomena (bendawi maupun kejadian) yang tergantung pada kemampuan mental khas species manusia yang disebut simboling. Proses simboling ini merupakan mekanisme kompleks, suatu organisasi cara dan alat exosomatic yang digunakan homo sapiens untuk kelangsungan hidupnya. Untuk melihat

mekanisme kompleks tersebut LAW membagi budaya dalam tiga subsistem yang mencakup sub-sistem teknologi, sub-sistem sosiologis dan sub-sistem ideology. Untuk melihat mikrohydro sebagai hasil dari suatu kebudayaan kita bisa melihat perubahan sosial dan lingkungan yang terjadi pada saat seblum adanya mikro hidro. Secara umum masyarakat kasepuhan adalah masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada pertanian, hidup di tengah pedalaman hutan Taman Nasional Gunung Salak-Halimun, serta hidup berpindah-pindah, sehingga akses menuju kota menjadi sangat terbatasi. Terkait dengan teori LAW, pertama, Sub-sistem teknologi terdiri dari aspek material, fisik, dan kimiawi termasuk juga berbagai teknik yang digunakan manusia untuk berinterkasi dengan habitat alamiahnya. Pada sub-sistem ini kita bisa menemukan perkakas untuk produksi, sumber dan alat bertahan hidup, alat dan bahan untuk tempat tinggal, dan alat untuk perlindungan diri sekaligus alat untuk menyerang. Pada masyarakat Kasepuhan secara teknologi kita ketahui bahwa alat transportasi menuju lingkungan luar sangatlah terbatas, untuk pertanian mereka masih berladang dan menggunakan peralatan seadanya, seperti cangkul, etem dan arit, selain itu ada juga yang sudah mulai bersawah. Untuk rumah, mereka juga masih menggunakan rumah yang berdinding bilik, namun ada juga yang sudah mulai menggunakan semen, sedangkan dari penerangan pada saat itu masyarakat masih menggunakan lampu minyak (dalam bahasa loka yaitu cempor/patromak). Kedua, sub-sistem sosiologis mencakup seluruh relasi interpersonal yang berwujud pola perilaku, baik individual maupun kolektif. Dalam kategori ini kita bisa temukan kategori sistem sosial, kekerabatan, ekonomi, etik, politik, militer, struktur dan hirarki religius, kedudukan dan peran, rekreasi, dan yang lainnya. Terkait dengan masyarakat kasepuhan, masyarakat ini secara ekonomi bergantung pada hasil pertaniannya dalam berladang dan bersawah. Selain itu untuk pengaturan kelompoknya mereka memiliki sistem sendiri dengan meliki ketua adat dan jajaranjarannya sebagai suatu struktur pemerintahan yang bersifat feodal. Kemudian secara kekerabatan masyarakat Kasepuhan juga percaya

bahwa mereka merupakan keturunan dari para Penjaga Raja Padjadjaran yang dulu mengasingkan diri. Lalu secara interaksi dengan lingkungan luar sekitar Kasepuhan, mereka tidak terlalu membatasi dirinya terhadap dunia luar, jika memang ada yang mau keluar lingkungan kasepuhan mereka sangat terbuka dan untuk pertukaran informasi dari dunia luar juga mereka sangat terbuka namun tetap dengan filter dari ideologis sebagai masyarakat Kasepuhan yang menjungjung tinggi leluhurnya. Selain itu, sub-budaya yang ketiga adalah sub-sitem ideologis, yaitu mencakup ide, kepercayaan, pengetahuan, dan lain-lain, yang terartikulasi dalam ucapan atau bentuk simbol lain. Pada masyarakat Kasepuhan sendiri, memiliki kearifan lokal yang berlandaskan leluhurnya. Mereka akan sangat patuh pada leluhurnya dan menjaga adat sebagai suatu ajaran yang diberikan oleh leluhurnya selama turun temurun. Namun mereka tidaklah tertutup dengan dunia luar. Sehingga ada prinsif yang isinya mengatakan bahwa masyarakat Kasepuhan berjalan harus bisa mengikuti perkembangan zaman. Tapi tidak boleh terbawa zaman. Dalam artian, mereka memiliki visi untuk bisa terus mengikuti perkembangan zaman saat ini namun tetap memegang teguh adat istiadatnya sebagai masyarakat Kasepuhan.

Diagram di atas sebenarnya masih belum bisa menerangkan adanya suatu evolusi budaya yang dinyatakan LAW, karena selain bertumpu pada tida sub-budaya tersebut, LAM juga mempertimbangkan hal lain yaitu

budaya berkembang/berevolusi sebanding dengan energi yang himpun dan dimanfaatkan atau sebanding dengan efisiensi dan efektivitas teknologi untuk memanfaatkan energi semakin tinggi. Karena ketiganya sub-budaya tersebut saling berkaitan, maka kita bisa melihat kefektifitasannya dalam membangun suatu budaya, yang dapat di ukur melalui energi yang dimanfaatkan suatu masyarakat, efisiensi dan efektivitas teknologi untuk memanfaatkan energi . Jika dikaitkan dengan Diagram di atas, masyarakat kasepuhan yang masih memanfaatkan energi dari kerja fisik/otot manusia, melalui peralatan yang masih sederhana, yang secara nilai efisiensi teknologi ini memiliki nilai efektivitas paling rendah. Selain itu, untuk dapat terus menyesuaikan dengan perubahan sosial dan lingkungan, maka dari ketiga sub-budaya tersebut harus terjadi perubahan yang dinamis. Salah satu fenomena yang terjadi adalah perubahan pada aspek sosiologis dan teknologi, yaitu ketika masyarakat mulai merasa perlu adanya penerangan yang lebih dan tekanan dari luar yang membuat minyak tanah menjadi langka, sehingga membuat masyarakat harus memikirkan cara lebih efektif dan efisien untuk menyesuaikan dirinya terhadap perubahan tersebut. Beruntungnya, dengan adanya bantuan dari Jepang dan lembaga swadaya membantu masyarakat untuk menciptakan mikro hidro sebagai teknologi pembangkit listrik bertenaga air. Beranjak dari perubahan di atas, yang membuat mikro hidro sebagai salah hasil dari suatu proses adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat. Maka kita juga bisa mengamati mikro hidro sebagai suatu alat yang digunakan masyarakat dalam beradaptasi dan membentuk kebudayaan yang baru. Hal ini juga bisa kita amati dengan teori LAW. Berdasarkan sub-teknologi, rumah, penambahan teknologi radio mikro Ciptagelar, hidro, internet, membuat website perkembangan terhadap teknologi lainnya sepeti adanya TV di setiap TV-chanel Ciptagelar, Ciptagelar, dan Wifi. Dari perkembangan teknologi tersebut memberikan pengaruh juga terhadap sub-sosiolgis masyarakat Kasepuhan. Semenjak adanya mikro hidro yang memberikan tenaga listrik lebih, memberikan peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkannya dengan maksimal.

Masyarakat yang tadinya tidak mengenal TV, jadi memilki TV hampir di setiap rumah, selain itu untuk mempermudah komunikasi antar kampung yang berjauhan, mereka membuat inovasi TV chanel dan Radio, dan untuk mempermudah komunikasi mereka dengan dunia luar mereka membuat jaringan internet dan website yang difasilitasi dengan wifi di pusat Ciptagelar. Peningkatan teknologi ini memang sangat berdampak pada kehidupan masyarakat Kasepuhan, baik sosial, ekonomi, politik, dan pengetahuan. Dari penelitian yang kami dapat, sejauh ini masyarakat Kasepuhan mengakui manfaatnya terhadap kehidupan mereka, namun mereka juga mengakui bahwa hal tersebut membawa juga dampak negatif. Namun mereka menekankan bahwa mereka akan mengikuti perkembangan zaman saat ini namun tetap diiringi dengan adat istiadat leluhur yang mereka jaga. Sehingga mereka berkeyakinan, sub-teknologi dan sosiologis mereka berubah tapi sub- ideologis mereka tidak boleh berubah.

Kedua

diagram

diatas

memberikan

gambaran

perubahan

budaya

masyarakat Kasepuhan yang bersifat evolusionis

dalam menyikapi

perubahan sosial dan lingkungannya yang dalam hal ini kemunculan teknologi mikro hidro menjadi titik utama dalam melihat perubahan tersebut. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat Kasepuhan ini merupakan suatu bukti adanya proses adaptasi yang dilakukan masyarakat Kasepuhan yang bertumpu pada saat kemunculan mikro hidro sebagai suatu hasil adaptasi dan representasi dari budaya

masyarakat, lalu pada saat telah adanya mikro hidro dan pemanfaatannya sebagai suatu alat adaptasi yang digunakan masyarakat sebagai pemacu akan munculnya teknologi-teknologi baru yang berkembang di Kasepuhan.