laporan amilo

13
Isolasi Kapang dan Bakteri Amilolitik asal Tanah Rhizosfer dan Non Rhizosfer oleh Restu Nugraha 105090100111007 JURUSAN BIOLOGI

Upload: restu-nugraha

Post on 25-Oct-2015

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Laporan Amilo

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Amilo

Isolasi Kapang dan Bakteri Amilolitik asal Tanah Rhizosfer dan Non Rhizosfer

oleh Restu Nugraha

105090100111007

JURUSAN BIOLOGIFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG

2013

Page 2: Laporan Amilo

Bab IPendahuluan

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan MasalahRumusan masalah yang dapat diambil dari praktikum ini

adalah :

1.3 TujuanTujuan dari praktikum ini adalah :

1.4 ManfaatManfaat yang didapat setelah melakukan praktikum ini

adalah

Bab IITinjauan Pustaka

2.1 SelulosaSelulosa merupakan senyawa polimer glukosa yang paling

melimpah di dunia. Senyawaa ini merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1,4-glikosidik (Kim et al., 2004). Selulosa adalah polisakarida linear residu glukosa dengan β-1,4-glikosidik. Selulosa pertama kali ditemukan pada tahun 1838 oleh kimiawan Perancis Anselme Payen, yang mengisolasi dari materi tanaman dan menentukan rumus kimianya (Crawford, 1981; Young, 1986). Selulosa pertama yang digunakan adalah penghasil polimer termoplastik, seluloid, oleh Hyatt, Perusahaan Manufaktur pada tahun 1870. Hermann Staudinger kemudian menentukan struktur

Page 3: Laporan Amilo

polimer selulosa pada tahun 1920. Senyawa ini pertama kali disintesis secara kimia (tanpa menggunakan enzim biologis) pada tahun 1992, oleh Kobayashi dan Shoda (Kobayashi et al., 1992).

Ketersediaan selulosa yang berlimpah, membuat bahan baku ini sangat potensial untuk memproduksi berbagai produk komoditas industri penting. Sayangnya, banyak limbah selulosa sering dibuang akibat pembakaran biomassa, yang tidak terbatas hanya pada negara-negara berkembang saja, tetapi sudah dianggap sebagai fenomena global. Selulosa dapat dikonversi menjadi glukosa yang yang merupakan produk serbaguna, dengan harga yang jauh lebih murah dan proses biologis yang menguntungkan (Gupta, 2011). Selulosa tersusun dalam bentuk fibril yang terdiri atas beberapa molekul selulosa yang tersusun dalam ikatan hidrogen di dalam tumbuhan. Bentuk fibril tersebut membentuk kristal parsial yang merupakan ciri pembeda dari senyawa pati. Hidrolisis selulosa dapat dilakukan secara kimiawi maupun secara enzimatik menggunakan selulase (Haki dan Rakshit, 2003). Semua selulosa diproduksi secara biosintetis, sementara selulosa produksi fotosintesis dari tanaman dan ganggang dianggap yang paling penting dalam siklus karbon. Produksi selulosa oleh organisme nonphotosinthetic (golongan bakteri tertentu, invertebrata laut, fungi, jamur lender, dan amoeba) juga telah didokumentasikan (Coughlan, 1985; Jarvis, 2003; Lynd et al., 2002;. Tomme et al., 1995). Karena sifat unik ini, sehingga selulosa telah banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang sepert industri kertas, tekstil, industri makanan, dan sebagai biomaterial dalam kosmetik, dan obat-obatan.

Aplikasi yang lebih luas dari selulosa merupakan objek yang menarik dikarenakan membutuhkan biaya yang relatif murah dan suplai yang melimpah di dunia. Seperti telah dsebutkan sebelumnya, selulosa merupakan material yang stabil di alam dan membutuhkan biodegradasi yang kompleks sebelum dapat digunakan oleh mikroorganisme, tumbuhan, atau manusia. Dekomposisi selulosa dapat dilakukan secara proses kimia atau biologis (menggunakan agen mikroorganisme). Mikroorganisme merupakan agen yang potensial untuk dekomposisi selulosa. Beberapa mikroorganisme, misalnya fungi, yeast, bakteri, dan kelompok Actinomycetes memiliki kemampuan selulolitik dan mampu mengubahnya menjadi gula yang sederhana (glukosa). Proses dekomposisi selulosa memerlukan suatu enzim kompleks yang disebut selulase (Lynd, 2002).

Page 4: Laporan Amilo

2.2 Bakteri SelulolitikTanah merupakan habitat yang didominasi oleh

mikroorganisme seperti bakteri, fungi, alga, dan protozoa (Subba, 1995). Selulolisis adalah proses pemecahan selulosa menjadi polisakarida yang lebih kecil disebut cellodextrins atau benar-benar menjadi unit-unit glukosa, yang termasuk dalam rekasi hidrolisis. Karena molekul selulosa mempunyai ikatan yang sangat kuat satu dengan yang lain, selulolisis relatif sulit dibandingkan dengan pemecahan polisakarida lainnya (David dan Roy, 2008). Kebanyakan mamalia memiliki kemampuan yang sangat terbatas dalam mencerna makanan berserat seperti selulosa. Beberapa ruminansia seperti sapi dan domba mengandung bakteri anaerob yang menghasilkan simbiosis tertentu (seperti Cellulomonas) pada flora rumen, dan bakteri ini menghasilkan enzim yang disebut selulase yang membantu mikroorganisme untuk memecah selulosa, hasil pecahan kemudian digunakan oleh bakteri untuk proliferasi. Massa bakteri kemudian dicerna oleh ruminansia dalam sistem pencernaan (lambung dan usus kecil). Beberapa jenis rayap juga mampu menghasilkan enzim selulase sendiri (Tokuda dan Watanabe, 2007).

Kelompok jamur, yang di alam berperan dalam daur ulang nutrisi, juga dapat memecah selulosa. Enzim-enzim yang digunakan untuk memecah ikatan glikosidik pada hidrolisis selulosa termasuk reaksi endo-acting cellulase dan exo-acting glucosidase (Bras et al., 2008). Beberapa dekomposer seperti bakteri dan cendawan mampu menghasilkan selulase. Bakteri selulolitik merupakan bakteri yang mampu menghidrolisis senyawa selulosa menjadi oligosakarida yang lebih sederhana dan akhirnya menjadi glukosa yang digunakan sebagai sumber nutrisi untuk organisme ini. Bakteri ini mampu mendegradasi selulosa, yaitu polimer glukosa dengan ikatan β-1,4-glikosidik (Kim et al., 2004). Bakteri selulolitik mampu mensintesis beberapa enzim terkait yang mampu menghidrolisis selulosa. Enzim yang dimaksud adalah kompleks selulase. Enzim ini disintesis oleh mikroorganisme selama tumbuh dalam media selulosa (Hartanti, 2010; Ibrahim dan Eldiwany, 2007). Menurut Shimada et al., 1994, mikroorganisme yang mampu mendegradasi selulosa kristal dapat mensekresikan kompleks selulase. Kompleks ini dihasilkan sebagai respon terhadap adanya selulosa di lingkungannya. Proses ini dapat berlangsung jika terjadi hubungan langsung antara sel bakteri dan permukaan selulosa (Hartanti, 2010). Kemampuan biosintesis

Page 5: Laporan Amilo

selulase dimiliki oleh banyak mikroorganisme, misalnya mikroorganisme penghasil selulase secara ekstraseluler pada kapang dan bakteri (Raza & shafiq-Ur-Rehman 2008).

Secara alami, bakteri dapat menghidrolisis selulosa baik secara aerob maupun anaerob, tetapi tidak dapat secara kedua-duanya (Lynd et al. 2002). Bakteri selulolitik anaerob hanya tumbuh pada sumber selulosa dan produk hidrolitiknya. Bakteri ini tidak dapat tumbuh pada monosakarida, oligosakarida, dan polisakarida yang berasal dari gula lain selain glukosa (Lynd et al. 2002). Bakteri selulolitik aerob dapat menggunakan sumber karbon lain di samping glukosa. Mikroorganisme selulolitik dari kelompok bakteri memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat sehingga waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi selulase menjadi lebih pendek. Selain itu, tingkat variasi genetik kelompok bakteri sangat beragam sehingga memungkinkan dilakukan rekayasa genetik untuk optimasi produksi maupun aktivitas selulasenya (Alam et al. 2004). Setiap bakteri selulolitik menghasilkan kompleks enzim yang berdeda-beda, tergantung dari gen yang dimiliki dan sumber karbon yang digunakan. Selain itu, jumlah dan komponen selulase yang dihasilkan dipengaruhi oleh jenis substrat, konsentrasi substrat, dan suhu (Aguiar 2001). Enzim hasil produksi mikrobia, seperti dari bakteri selulolitik memiliki banyak keuntungan dengan produksi dalam kuantitas besar mengunakan teknik metode fermentasi yang telah ditetapkan.2.3 Perkebunan Organik

Pertanian organik adalah sistem budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis (Anonim, 2002). Beberapa tanaman Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan dengan teknik tersebut adalah padi, hortikultura sayuran dan buah (contohnya: brokoli, kubis merah, dan, jeruk), tanaman perkebunan (kopi, teh, dan kelapa), dan rempah-rempah (Anonim, 2002). Pengolahan pertanian organik didasarkan pada prinsip kesehatan, ekologi, keadilan, dan perlindungan (Anonim, 2010). Prinsip kesehatan dalam pertanian organik adalah kegiatan pertanian harus memperhatikan kelestarian dan peningkatan kesehatan tanah, tanaman, hewan, bumi, dan manusia sebagai satu kesatuan karena semua komponen tersebut saling berhubungan dan tidak terpisahkan. Pertanian organik juga harus didasarkan pada siklus dan sistem ekologi kehidupan. Pertanian organik juga harus

Page 6: Laporan Amilo

memperhatikan keadilan baik antarmanusia maupun dengan makhluk hidup lain di lingkungan.

Pertanian organik adalah sistem pertanian yang sepenuhnya bergantung pada sistem bercocok tanam seperti rotasi tanaman, penggunaan pupuk kandang, kompos, pengendalian hama dan penyakit secara biologi, serta menerapkan sistem bercocok tanam mekanik untuk mengolah tanah dan mengendalikan hama dan penyakit. Dalam sistem bercocok tanam ini, tidak memakai pupuk dan pestisida sintetik dan organisme modifikasi secara genetik (Oktarina et al., 2012). Tanah adalah habitat yang sangat kaya akan keragaman mikroorganisme seperti bakteri, aktinomicetes, fungi, protozoa, alga dan virus. Tanah-tanah pertanian yang subur mengandung lebih dari 100 juta mikroorganisme per gram tanah (Anonim, 2012). Produktivitas dan daya dukung tanah tergantung pada aktivitas mikroorganisme-mikroorganisme tersebut. Sebagian besar mikroorganisme tanah memiliki peranan yang menguntungan bagi pertanian, antara lain berperan dalam mendegradasi limbah-limbah organik pertanian, re-cycling hara tanaman, fiksasi biologis nitrogen dari udara, pelarutan fosfat, merangsang pertumbuhan tanaman, biokontrol patogen tanaman, membantu penyerapan unsur hara tanaman, dan membentuk simbiosis menguntungan. Bioteknologi berbasis mikroorganisme tanah telah banyak dikembangkan dengan memanfaatkan peran penting mikroorganisme tanah tersebut. Tujuan utama perkebunan organik adalah menyediakan produk-produk perkebunan dan pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Gaya hidup yang sehat secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes). Syarat-syarat seperti ini menyebabkan permintaan produk pertanian organik dunia meningkat pesat (Anonim, 2002).

Luas lahan yang tersedia untuk pertanian organik di Indonesia sangat besar. Sekitar 75,5 juta hektar lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian, baru sekitar 25,7 juta hektar yang telah diolah untuk sawah dan perkebunan (BPS, 2000). Pertanian organik menuntut agar lahan yang digunakan tidak atau belum tercemar oleh bahan kimia dan mempunyai aksesibilitas yang baik. Kualitas dan luasan menjadi pertimbangan dalam pemilihan lahan.

Page 7: Laporan Amilo

Lahan yang belum tercemar adalah lahan yang belum diusahakan, tetapi secara umum lahan demikian kurang subur. Lahan yang subur umumnya telah diusahakan secara intensif dengan menggunakan bahan pupuk dan pestisida kimia. Menggunakan lahan seperti ini memerlukan masa konversi cukup lama, yaitu sekitar 2 tahun.

Volume produk pertanian organik mencapai 5-7% dari total produk pertanian yang diperdagangkan di pasar internasional. Sebagian besar disuplay oleh negara-negara maju seperti Australia, Amerika dan Eropa. Di Asia, pasar produk pertanian organik lebih banyak didominasi oleh negara-negara timur jauh seperti Jepang, Taiwan dan Korea (Anonim, 2002).

Salah satu masalah mendasar yang sering ditemui ketika menerapkan pertanian organik adalah kandungan bahan organik tanah dan status hara tanah yang rendah. Petani organik mengatasi masalah tersebut dengan memberikan pupuk hijau atau pupuk kandang. Pupuk hijau dan pupuk kandang sebenarnya adalah limbah-limbah organik yang telah mengalami penghacuran sehingga menjadi lebih tersedia bagi tanaman. Limbah organik seperti sampah dedaunan, seresah, kotoran-kotoran binatang ternak tidak bisa langsung diberikan ke tanaman. Limbah organik harus dihancurkan terlebih dahulu oleh mikroorganisme tanah menjadi unsur-unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman. Secara alami proses pengkomposan ini memakan waktu yang sangat lama, berkisar antara enam bulan hingga setahun sampai bahan organik tersebut benar-benar tersedia bagi tanaman. Proses penghancuran limbah organik dapat dipercepat dengan menggunakan mikroorganisme penghancur (dekomposer) yang memiliki kemampuan tinggi. Penggunaan mikroorganisme penghancur ini dapat mempersingkat proses dekomposisi dari beberapa bulan menjadi beberapa minggu saja (Anonim, 2012). Mikroorganisme yang berlimpah dalam perkebunan organik, salah satunya bakteri selulolitik, dapat membantu dalam usaha penyuburan tanah.

Page 8: Laporan Amilo

Bab IIIMetodologi

3.1 Waktu dan TempatPraktikum dilakukan pada bulan November 2013 bertempat

di Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya.

3.2 Cara Kerja

Page 9: Laporan Amilo

BAB IVHasil dan Pembahasan

Daftar Pustaka