laporan

121
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya laporan tutorial Skenario B Blok 13 ini dapat diselesaikan dengan baik. Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagiandari sistem pembelajaran PBL di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Kami menyadari bahwa laporan ini masih memiliki banyak kekurangan ataukelemahan. Oleh karena itu, sumbangan pemikiran dan masukan dari semua pihaksangat kami harapkan agar di lain kesempatan laporan tutorial ini akan menjadi lebih baik. Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Alfian Hasbi selaku tutor kelompok B10 yang telah membimbing kami semua dalam pelaksanaan tutorial kali ini. Selain itu, kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu tersusunnya laporan tutorial ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi proses pembelajaran selanjutnya dan bagi semua pihak yang membutuhkan. Palembang, 18 November 2014 Penyusun 1 | Page

Upload: bayuardianto

Post on 14-Dec-2015

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

Page 1: laporan

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya

laporan tutorial Skenario B Blok 13 ini dapat diselesaikan dengan baik.

Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan

bagiandari sistem pembelajaran PBL di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Kami menyadari bahwa laporan ini masih memiliki banyak kekurangan

ataukelemahan. Oleh karena itu, sumbangan pemikiran dan masukan dari semua

pihaksangat kami harapkan agar di lain kesempatan laporan tutorial ini akan menjadi

lebih baik.

Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Alfian Hasbi selaku tutor kelompok

B10 yang telah membimbing kami semua dalam pelaksanaan tutorial kali ini. Selain itu,

kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

tersusunnya laporan tutorial ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi proses

pembelajaran selanjutnya dan bagi semua pihak yang membutuhkan.

Palembang, 18 November 2014

Penyusun

1 | P a g e

Page 2: laporan

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…… ………………………………………………….......…………. i

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………… 1

DAFTAR ISI…..…………………………………………………………………………. 2

Skenario…………………………....……………………………………………………… 3

I. Klarifikasi Istilah..…………………… …………....…………………………………… 4

II. Identifikasi Masalah………………… …………....…………………………………… 4

III. Analisis Masalah…………………… …………....…………………………………… 6

IV. Kerangka Konsep…………………… …………....……………………………………46

V. Learning Issues……………………… …………....…………………………………… 48

VII. Kesimpulan…………………… …………............……………………………………79

Daftar Pustaka…………………… …………....………………...........……………………80

2 | P a g e

Page 3: laporan

Skenario B Blok 12 2014

Adi, anak laki-laki, berusia 5 tahun, merupakan anak keempat dari enam bersaudara.

Ayah Adi bekerja sebagai tukang becak dan ibunya adalah buruh cuci pakaian. Selagi ibnya

bekerja, Adi dibiarkan berman di sekitar rumah. Karena tidak ada yang mengawasi, Adi

sering bermain tanpa menggunakan alas kaki. Sehari-hari Adi sekeluarga hanya makan

dengan nasi dan kecap, sesekali dengan tambahan telur dan tempe.

Adi dibawa ibunya ke puskesmas karena wajahnya terlihat pucat sejak sebulan yang

lalu. Adi juga tampak lesu dan mudah terengah-engah saat bermain. Dokter kemudian

melakukan beberapa pemeriksaan.

Pemeriksaanfisik:

Keadaanumum : pucat, lemah.

HR : 90 x/menit. RR: 22 x/menit, Temp: 36,6 C, TD: 12080 mHg

Konjungtiva palpebral: anemis (+/+)

Cheilitis : positif,

Lidah : atropipapil

Koilonychia : positif

Abdomen : hepardan lien tidak teraba

Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening

Laboratorium:

Hb: 7,6 g/dL. Ht: 22 vol%, RBC: 3.055.000/mm3, WBC: 7.400/mm3, Trombosit:

386.000/mm3, Diff.count: 0/8/5/55/28/4, MCV: 72 fL, MCH 25 pg, MCHC: 34%, LED

40mm/jam. Besi serum 30 µg/L, TIBC 560 µg/dL, Feritin 5ng/mL

Gambaran apusan darah tepi

Eritrosit : mikroskopik hipokrom, anisopoikilositosis, cigar-shaped cell, pencil cell

Leukosit : jumlah cukup, eosinofilia, morfologi normal

Trombosit: jumlah cukup, penyebaran merata, morfologi normal

Kesan : anemia mikrositik hipokrom disertai eosinofilia suspek defisiensi besi

Feses :

Darah samar : positif

Telur cacing tambang : positif

3 | P a g e

Page 4: laporan

I. KLARIFIKASI ISTILAH

1. Cheilitis : peradangan pada bibir

2. TIBC : Total iron binding capacity pemeriksaan yang mengukur jumlah besi yang

terikat oleh transferin dan secara tidak langsung menggambarkan jumlah transferin

dalam darah

3. Koilonychia : distrofi (setiap ganguan akibat nutrisi yang salah atau tidak sempurna)

kuku jari dengan kuku menjadi tipis dan cekung dan tepinya meninggi

4. Feritin : kompleks besi apoferitin yang merupakan bentuk utama penyimpanan besi

dalam tubuh

5. Anisopoikilositosis : eritrosit yang ukurannya berbeda-beda dan bentuknya abnormal

di dalam darah

6. Cigar-shaped cell: sel darah merah dengan bentuk eliptosis terjadi akibat anemia

defisiensi besi dan talesimia

7. Anemia mikrositik hipokrom : keadaan dimana ditemukan sel darah merah yang

berukuran kecil dan kurang hemoglobin

8. Eosinophilia : peningkatan abnormal eusinofil dalam darah

II. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Adi (5 tahun) dibiarkan bermain di sekitar rumah tanpa menggunakan alas kaki

2. Sehari-hari Adi sekeluarga hanya makan dengan nasi dan kecap, sesekali dengan

tambahan telur dan tempe

3. Adi dibawa ibunya ke puskesmas karena wajahnya terlihat pucat sejak sebulan

yang lalu. Adi juga tampak lesu dan mudah terengah-engah saat bermain

4. Pemeriksaan fisik

Keadaanumum : pucat, lemah.

HR : 90 x/menit. RR: 22 x/menit, Temp: 36,6 C, TD: 12080 mHg

Konjungtiva palpebral: anemis (+/+)

Cheilitis : positif,

Lidah : atropipapil

Koilonychia : positif

Abdomen : hepardan lien tidak teraba

Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening

5. Pemeriksaan darah

4 | P a g e

Page 5: laporan

Hb: 7,6 g/dL. Ht: 22 vol%, RBC: 3.055.000/mm3, WBC: 7.400/mm3, Trombosit:

386.000/mm3, Diff.count: 0/8/5/55/28/4, MCV: 72 fL, MCH 25 pg, MCHC: 34%,

LED 40mm/jam. Besi serum 30 µg/L, TIBC 560 µg/dL, Feritin 5ng/mL

6. Gambarapusan darah tepi

Eritrosit : mikroskopik hipokrom, anisopoikilositosis, cigar-shaped cell, pencil

cell

Leukosit : jumlah cukup, eosinofilia, morfologi normal

Trombosit : jumlah cukup, penyebaran merata, morfologi normal

Kesan : anemia mikrositik hipokrom disertai eosinofilia suspek defisiensi besi

7. Feses

Darah samar : positif

Telur cacing tambang : positif

III. ANALISIS MASALAH

1. Adi 5 tahun dibiarkan bermain di sekitar rumah tanpa menggunakan alas kaki

a. Parasite apa yang dapat menembus kulit?

Soil transmitted helminths adalah sekelompok cacing parasit (kelas nematoda)

yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak dengan telur

ataupun larva parasit itu sendiri yang berkembang di tanah yang lembab yang

terdapat di negara yang beriklim tropis maupun subtropis.

Jenis-jenis Soil transmitted helminths

1. Ascaris lumbricoides

Cacing betina mempunyai ukuran tubuh lebih besar daripada cacing

jantan.Cacing betina berukuran 22-35 cm sedangkan yang jantan berukuran

10-30 cm. Pada cacing betina bagian posteriornya membulat dan lurus.

Tubuhnya berwarna putih hingga kuning kecoklatan dan diselubungi oleh

lapisan kutikula yang bergaris halus. Pada cacing jantan ujung posteriornya

lancip dan melengkung ke arah ventral dilengkapi pepil kecil dan dua buah

spekulum berukuran 2 mm. Tubuh cacing jantan ini berwarna putih

kemerahan.

2. Trichuris trichiura

Cacing betina memiliki panjang ±5 cm, sedangkan cacing jantan ±4 cm.

Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari

panjang seluruh tubuh. Bagian posterior lebih gemuk. Pada cacing betina

5 | P a g e

Page 6: laporan

bentuknya membulat tumpul sedangkan pada cacing jantan melingkar dan

terdapat satu spekulum.

3. Cacing tambang

Terdapat dua spesies hookworm yang sangat sering menginfeksi manusia

yaitu: “The Old World Hookworm” yaitu Ancylostoma duodenale dan “The

New World Hookworm” yaitu Necator americanus. Hospes parasit ini adalah

manusia. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus, dengan mulut yang besar

melekat pada mukosa dinding usus. Cacing ini berbentuk silindris dan

berwarna putih keabuan. Cacing dewasa jantan berukuran 8 sampai 11 mm

sedangkan betina berukuran 10 sampai 13 mm. Cacing N.americanus betina

dapat bertelur ±9000 butir/hari sedangkan cacing A.duodenale betina dapat

bertelur ±10.000 butir/hari. Bentuk badan N.americanus biasanya menyerupai

huruf S sedangkan A.duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua

jenis cacing ini besar. N.americanus mempunyai benda kitin, sedangkan pada

A.duodenale terdapat dua pasang gigi. Cacing jantan kedua spesies ini

mempunyai bursa kopulatrik pada bagian ekornya dan cacing betina memiliki

ekor yang runcing.

b. Bagaimana mekanisme infeksi parasite menembus kulit?

Cara penularan penyakit cacing tambang adalah melalui larva cacing yang

terdapat di tanah yang menembus kulit (biasanya diantara jari-jari kaki), cacing ini

akan berpindah ke paru kemudian ke tenggorokan dan akan tertelan masuk saluran

cerna.

c. Bagamana mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi parasite?

Beberapa mekanisme pertahanan tubuh dalam mengatasi agen yang berbahaya di

lingkungannya yaitu:

1. Pertahanan fisik dan kimiawi: kulit, sekresi asam lemak dan asam laktat

melalui kelenjar keringat dan sebasea (kelenjar berbentuk kantong kecil yang

terletak di dermis), sekresi lendir, pergerakan silia, sekresi air mata, air liur,

urin, asam lambung serta lisozim dalam air mata.

2. Simbiosis dengan bakteri flora normal yang memproduksi zat yang dapat

mencegah invasi mikroorganisme seperti laktobasilus pada epitel organ.

3. Innate immunity

4. Imunitas spesifik yang didapat.

6 | P a g e

Page 7: laporan

Respon Imune Innate

Respon ini merupakan mekanisme pertahanan tubuh non-spesifik yang mencegah

masuk dan menyebarnya mikroorganisme dalam tubuh serta mencegah terjadinya

kerusakan jaringan. Ada beberapa komponen innate immunity, yaitu :

1. Pemusnahan bakteri intraselular oleh sel poli-morfonuklear (PMN) dan

makrofag.

2. Aktivasi komplemen melalui jalur alternatif.

3. Degranulasi sel mast yang melepaskan mediator inflamasi.

4. Protein fase akut: C-reactive protein (CRP) yang mengikat mikroorganisme,

selanjutnya terjadi aktivasi komplemen melalui jalur klasik yang

menyebabkan lisis mikroorganisme.

5. Produksi interferon alfa (IFN-α) oleh leukosit dan interferon beta (IFN-β) oleh

fibroblast yang mempunyai efek antivirus.

6. Pemusnahan mikroorganisme ekstraselular oleh sel natural killer (sel NK)

melalui pelepasan granula yang mengandung perforin.

7. Pelepasan mediator eosinofil seperti major basic protein (MBP) dan protein

kationik yang dapat merusak membran parasit.

Respon Imunitas Spesifik

Bila mikroorganisme dapat melewati pertahanan nonspesifik/innate immunity,

maka tubuh akan membentuk mekanisme pertahanan yang lebih kompleks dan

spesifik. Mekanisme imunitas ini memerlukan pengenalan terhadap antigen lebih

dulu. Mekanisme imunitas spesifik ini terdiri dari imunitas humoral, yaitu

produksi antibodi spesifik oleh sel limfosit B (T dependent dan non T dependent)

dan mekanisme Cell mediated immunity (CMI). Sel limfosit T berperan pada

mekanisme imunitas ini melalui produksi sitokin serta jaringan interaksinya dan

sel sitotoksik matang di bawah pengaruh interleukin 2 (IL-2) dan interleukin 6

(IL-6).

Berbagai Protozoa dan cacing berbeda dalam ukuran, struktur, sifat biokimiawi,

siklus hidup dan patogenitasnya. Hal ini menimbulkan respons imun spesifik yang

berbeda pula. Infeksi cacing biasanya kronis dan menimbulkan rangsangan

antigen persisten yang akan meningkatkan kadar

imunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks imun. Antigen yang

dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen poliklonal sel B yang T

independen. Hipersensitifitas yang diperantarai IgE merupakan mekanisme imun

utama dalam mengatasi infeksi cacing.

7 | P a g e

Page 8: laporan

Pertahanan terhadap kebanyakan infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2.

Cacing merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5, IL-4

selanjutnya merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan

aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat eosinofil.

Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang

menghancurkan parasit. Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain oleh karena

eosinofil mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim proteolitik dan

ROI (reactive oxygen intermediate) yang diproduksi neutrofil dan makrofag.

Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik.

Reaksi imunologi yang ditimbulkannya diduga dapat mencegah menempelnya

cacing pada mukosa saluran cerna

Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel mast/basofil yang

IgE dependen menghasilkan produksi histamine yang menimbulkan spasme usus

tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan

melepaskan protein kationik, MBP (myelin basic protein) dan neurotoksin. PMN

dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida, oksida nitrit,

dan enzim yang membunuh cacing. Infeksi parasit secara khusus merangsang

sejumlah mekanisme pertahanan, baik yang diperantarai antibodi maupun yang

diperantarai sel, dan respons yang paling efektif tergantung jenis parasit dan

stadium infeksi. Antibodi dan sitokin yang diproduksi sebagai respons terhadap

antigen parasit memperkuat aktifitas antiparasit dari makrofag, neutrofil, dan

eosinofil.

8 | P a g e

Page 9: laporan

Eosinofil diduga berkembang sebagai pertahanan terhadap parasit di jaringan yang

terlalu besar untuk difagositosis, dan reaksi sel mast yang tergantung IgE untuk

melokalisir eosinofil dekat parasit dan memperkuat fungsi antiparasit. IgE pada

infeksi cacing bisa menimbulkan efek berat pada pejamu akibat pelepasan

mediator dari sel mast.

Ketahanan hidup STH pada infeksi kronis dimungkinkan dengan adanya

mekanisme imunoregulasi, termasuk sel T regulatori (T reg) yang mampu

mensekresi sitokin imunosupressan seperti IL-10 dan/atau TGF-β, menghasilkan

suasana antiinflamasi. Respons antibodi terhadap berbagai stadium A.

lumbricoides tidak berpengaruh besar baik pada derajat infeksi yang baru terjadi

maupun pada intensitas infeksi ulangan. Regulasi imunitas pejamu oleh infeksi

kronis STH tidak hanya mempengaruhi respons terhadap antigen parasit tetapi

juga terhadap antigen eksogenus lainnya seperti antigen vaksin dan alergen udara,

efek tersebut dapat menjelaskan terjadinya gangguan imunogenitas vaksin dan

penurunan prevalensi penyakit alergi di daerah pedesaan negara tropis.

2. Sehari-hari Adi sekeluarga hanya makan dengan nasi dan kecap, sesekali dengan

tambahan telur dan tempe

a. Kandungan gizi dari makanan yang dikonsmsi sehari-hari

1. Tempe

9 | P a g e

Page 10: laporan

2. Nasi

NASI

Nilai nurtrisi per 100g (3.5oz)

Energi 1.527kJ (365kcal)

Karbohidrat 79 g

Gula 0.12 g

Serat pangan 1.3 g

Lemak 0.66 g

Protein 7.13 g

Air 11.62 g

Thiamine (Vit. B1) 0.070 mg (5%)

Riboflavin (Vit. B2) 0.049 mg (3%)

Niacin (Vit. B3) 1.6 mg (11%)

Pantothenic acid(B5) 1.014 mg (20%)

Vitamin B6 0.164 mg (13%)

Folate(Vit. B9) 8 g (2%)

Calcium 28 mg (3%)

Iron 0.80 mg (6%)

Magnesium 25 mg (7%)

Manganese 1.088 mg (54%)

Phosphorus 115 mg (16%)

Potassium 115 mg (2%)

Zinc 1.09 mg (11%)

3. Tempe

TEMPE

Nilai nurtrisi per 100g

Energi 201 kal

Serat 1.4 g

Lemak 8.8 g

Protein 20.8 g

Air 55.3 g

Thiamine (Vit. B1) 0.19 mg

Calcium 155 mg

Iron 4 mg

Phosphorus 326 mg

Karotin 34 mkg

Abu 1.6 mg

10 | P a g e

Page 11: laporan

4. Kecap

KECAP

Nilai nurtrisi per 100g

Energi 81 kal

Karbohidrat 19 g

Lemak 0.5 g

Protein 2.7 g

Air 63 g

5. Sayur

SAYURNilai Nutrisi per 100g

Jenis SayuranKalori Protein Lemak Karbohidrat Serat Kasar

(kkal) (gram) (gram) (gram) (gram)Kangkung 50 3.3 0.7 10.0 2.0

Bayam 23 2.9 0.4 3.6 2.2Wortel 41 0.9 0.2 9.6 2.8Seledri 16 0.7 0.2 3.4 1.6

Labu siam 19 0.8 0.1 4.5 1.7

Labu kuning 16 1.2 0.2 3.3 1.1

Lobak 16 0.7 0.1 3.5 1.6

b. Bagaimana hubungan dari kandungan gizi anak denga mekanisme pertahanan

tubuh dari penyakit?

11 | P a g e

Bahan Makanan Nilai Fe Bahan Makanan Nilai Fe Tempe Kacang Kedelai Murni 10,0 Biskuit 2,7 Kacang kedelai,kering 8,0 Jagung kuning,pipil

lama 2,4

Kacang hijau 6,7 Roti putih 1,5 Kacang merah 5,0 Beras setengah

giling 1,2

Kelapa tua,daging 2,0 Kentang 0,7 Udang segar 8,0 Daun kacang

panjang 6,2

Hati Sapi 6,6 Bayam 3,9 Daging Sapi 2,8 Sawi 2,9 Telur Bebek 2,8 Daun katuk 2,7 Telur Ayam 2,7 Kangkung 2,5 Ikan segar 2,0 Daun singkong 2,0 Ayam 1,5 Pisang ambon 0,5 Gula Kepala 2,8 Keju 1,5

Page 12: laporan

Infeksi parasit biasanya terjadi kronik dan kematian pejamu akan merugikan

parasit sendiri. Infeksi yang kronik akan meningkatkan kadar imunoglobulin

dalam sirkulasi, menimbulkan rangsangan antigen yang persisten dan

pembentukan kompleks imun. Parasit dapat menimbulkan imunosupresi dan efek

imunopatologik pada pejamu. Pada umumnya respon selular lebih efektif terhadap

protozoa intraseluler, sedang antibodi lebih efektif terhadap parasit ekstraselular

seperti dalam darah dan cairan jaringan. Sel T terutama sel Tc, dapat

menghancurkan parasit intraseluler, misalnya T.cruzi. Limfokin yang dilepas oleh

sel T yang disensitisasi dapat mengaktifkan makrofag untuk lebih banyak

membentuk reseptor untuk Fc dan C3, berbagai enzim dan faktor lain yang dapat

meninggikan sitotoksisitas.

Cacing dalam lumen saluran cerna dapat dikeluarkan oleh sekresi selaput lendir

usus. Dalam hal ini baik sel B maupun sel T ikut berperan. Se Th merangsang sel

untuk membentuk antibodi spesifik, terutama IgE selama terjadi infeksi parasit.

Antigen-antigen yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen poliklonal

yang T independen untuk sel B. Peranan antibodi dan imunitas selular bervariasi

dan bergantung pada jenis infeksi. Eosinofil diduga mempunyai tiga efek terhadap

infeksi cacing yaitu fagositosis kompleks antigen-antibodi, modulasi

hipersensitivitas melalui inaktivasi mediator dan membunuh cacing tertentu

melalui perantaraan IgG. Pengerahan eosinofil dipengaruhi mediator yang dilepas

sel mastosit dan sel T. Di samping itu sel T berpengaruh pula atas pengeluaran

eosinofil dari sumsum tulang.

Kekurangan zat besi dalam sistem imun berdampak mengurangi pembentukan dan

kegiatan hormon timik; penurunan jumlah CD4, membahayakan fungsi CD4, sel

pembunuh alami dan neutrofil; peningkatan kematian sel; merusak kemampuan

sel untuk membunuh organisme infeksi; dan mengganggu pembentukan sitokin.

Sel T terganggu karena berkurangnya pembentukan sel-sel tersebut di atas, yang

kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya sintesis DNA. Berkurangnya sintesis

DNA disebabkan oleh gangguan enzim reduktase ribonukleotida yang

membutuhkan besi untuk dapat berfungsi. Disamping itu sel darah putih yang

menghancurkan bakteri tidak dapat bekerja secara efektif dalam keadaan tubuh

kekurangan besi.

Infeksi cacing tambang berpengaruh terhadap pemasukan, pencernaan,

penyerapan, serta metabolisme makanan, yang dapat berakibat hilangnya protein,

karbohidrat lemak vitamin dan darah dalam jumlah yang besar. Juga dapat

12 | P a g e

Page 13: laporan

menimbulkan ganguan respon imun, menurunnya plasma insulin like growth

factor (IGF)- 1, kadar serum tumor necrosis factor a (TNF) meningkat,

konsentrasi rerata hemoglobin rendah, sintesis kolagen menurun. Disamping itu,

juga menimbulkan berbagai gejala penyakit seperti anemi, diare, sindroma disentri

dan defisiensi besi

Jadi pada kaus ini, dimana terjadi kekurangan zat besi sehingga sistem imun tidak

bisa melakukan perlawanan terhadap infeksi cacing tambang, dan infeksi cacing

tambang ini juga akan mempengaruhi penurunan zat besi sehingga akan terjadi

infeksi yang lebih parah.

c. Apa pengaruh social ekonomi keluarga adi dengan gizi?

Keadaan ekonomi dari keluarga adi yang kurang baik sehingga memaksa mereka

mengkonsumsi makanan yang seadanya sehinggga keadaan gizi adi menjadi tidak

terpenuhi

3. Adi di bawa ke puskesmas karena wajahnya pucat sejak sebulan yang lalu. Adi

juga tampak lesu serta terengah-engah saat bermain. (main problem)

a. Apa interpretasi dari gejala yang dialami Adi?

Interpretasi dari keadaan tersebut yaitu anemia. Anemia adalah berkurangnya

jumlah SDM, kuantitas hemoglobin dan hematokrit. Hal tersebut menyebabkan

pengangkutan oksigen ke jaringan berkurang. Pucat, lesu dan terengah-engah saat

bermain dapat mencerminkan berkurangnya oksigenasi pada system saraf pusat

dan organ perifer.

Ada tiga faktor penting yang menyebabkan orang menjadi anemia yaitu :

a. Kehilangan darah karena perdarahan

b. Pengrusakan sel darah merah

c. Produksi sel darah merah tidak cukup banyak.

b. Apa hubungan kelainan yang dialami adi dengan status gizinya?

13 | P a g e

Page 14: laporan

Ada dua jenis zat besi yang terdapat di dalam makanan yaitu : zat besi yang

berasal dari hem dan bukan hem. Zat besi yang berasal dari hem merupakan

penyusun hemoglobin dan myoglobin, zat besi jenis ini terkandung didalam

daging, ikan dan unggas, serta hasil olahan darah. Zat besi dari hem ini terhitung

sebagai fraksi yang relatif kecil dari seluruh masukan zat besi. Dibanyak Negara

sedang berkembang, masukan zat besi yang berasal dari hem lebih rendah atau

sarna sekalidapat di abaikan.

Zat besi yang bukan berasal dari hem, merupakan sumber yang lebih penting dan

ditemukan dalam tingkat yang berbeda-beda pada seluruh makanan yang berasal

dari tumbuh- tumbuhan seperti sayur -sayuran, buah-buahan, biji-bijian dan

kacang-kacangan serta serealia, dalam jumlah yang sedikit terdapat di dalam

daging, telur, dan ikan.

Zat besi selain diperoleh dari bahan makanan, juga bisa dari makanan

mengandung zat besi eksogen, yang berasal dari tanah, debu dan air atau panic

tempat memasak. Keadaan ini lebih sering terjadi di negara yang sedang

berkembang. Jumlah zat besi cemaran di dalam makanan mungkin beberapa kali

lebih besar dibandingkan dengan jumlah zat besi dalam makanannya sendiri.

Memasak makanan di dalam panci besi bisa meningkatkan kandungan zat besi

beberapa kali lipat, terutama sup yang mngandung sayuran yang mempunyai pH

rendah dan dididihkan terlalu lama. Menggoreng dengan kuali besi biasanya tidak

meningkatkan kandungan zat besi dalam makanan. Zat besi yang dilepas selama

memasak akan berikatan dengan kelompok zat besi bukan hem, dam siap untuk

14 | P a g e

Page 15: laporan

diserap. Bentuk lain zat besi eksogen terdapat dalam makanan seperti gandum,

guladan garam yang telah diperkaya dengan zat besi atau garam besi .

Pada kasus ini Adi hanya mengkonsumsi nasi dengan kecap dan kadang-

kadang disertai telur.Kebutuhan supplay globin dan zat besi kurang. Hal inilah

yang menyebabkan pembentukan hemoglobin terkendala yang menyebabkan

anemia.

c. Hubungan kelainan yang dialami adi dengan infeksi parasite?

Berdasarkan gejala yang dialami adi maka dapat disimpulkan kalau adi

mengalami anemia. Anemia yang dialami adi berhubungan dengan penyakit

infeksi yang dideritanya yang mana pada kasus ini disebabkan oleh cacing

tambang. Pada masa dewasa cacing tambang membutuhkan Hb sebagai sumber

makanannya. Cacing ini mencerna Hb dengan bantuan Enzim proteolitik

chatepsin D pada cacing tambang memainkan peranan dalam

mendigestihemoglobin (Loukas, 2002). Tiap cacing N. americanus menyebabkan

kehilangan darah sebanyak 0,005-0,1 cc/hari, sedangkan A. duodenale 0,08-0,34

cc/ hari. Anemia akan terjadi 10-20 minggu setelah infestasi cacing

(Gandahusada, 2000). Kedua cacing tambang ini dapat menyebabkan anemia

hipokrom mikrositik. Anemia ini umumnya berupa anemia defisiensi besi. Gejala

lain yang bisa ditemukan ialah gejala umum seperti lemah atau lesu, pusing, dan

nafsu makan berkurang. Pada keadaan yang berat dan lama, dapat terjadi retardasi

fisis maupun mental. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya telur

cacing tambang dalam tinja pasien. Eosinofilia akan terlihat jelas pada bulan

pertama infeksi cacing ini (Gandahusada, 2000).

4. Pemeriksaanfisik

a. Bagamana interpretasi dari pemeriksaan fisik? (mekanisme abnormal)?

Hasil Pemeriksaan Fisik Nilai Normal Interpretasi Mekanisme

Pucat dan lemah Sehat Tanda anemia,

anemia aliran darah

perifer

berkurang,oksigenisasi

15 | P a g e

Page 16: laporan

jaringan menurun

pucat,lemah

HR 90x/menit 80-140x/m Normal

RR 22x/m 22-34x/m Normal

T: 36,60C 36,6-37,50C Normal

TD: 120/80 mmHg 120/80 mmHg Normal

KGB tidak membesar - Normal

Hepar dan lien tidak

teraba

Tidak teraba Cacing tambang tidak

menyerang melalui darah

dan tidak masuk ke hati

maupun limpa. Cacing

tambang hanya menyerang

pada mukosa usus untuk

mendapatkan makanan

berupa darah.

Chelitis(+) - Radang mukosa bibir pada

defisiensi Fe karena

berkurangnya enzim yang

mengandung Fe, dimana

fungsinya melindungi

mukosa mulut dan bibir dari

peradangan.

Lidah : atropi papil - Papil di glottis beregenerasi

setiap 2 minggu sekali.

Karena defisiensi besi,

regenenasi papil terganggu

Koilonychia (+) - Defisiensi Fe

Epitel keratin pada

permukaan kuku

kekurangan Fe epitel

keratin tak terbentuk

sempurna rapuh,cekung

Konjungtiva palpebra

anemis (+/+)

(-/-) Tanda anemia

16 | P a g e

Page 17: laporan

Dapat disimpulkan bahwa TN. T menderita anemia yang ditunjukkan dengan

pucat, lemah, konjungtiva yang anemis dan lidah yang papilnya atrofi. Sedangkan

adanya cheilitis dan koilonychia menunjukkan adanya defisiensi besi. Hepar dan

lien yang tidak teraba menandakan bahwa anemia Tn. T bukanlah anemia yang

disebabkan oleh pecahnya sel darah (anemia hemolitik).

KGB berfungsi menyaring antigen. Jika ada antigen asing, kerja kelenjar getah

bening akan lebih berat sehingga menyebabkan terjadinya pembesaran.Tidak

terjadinya pembesaran pada KGB menunjukkan bahwa tidak adanya infeksi,

radang ataupun keganasan.

b. Mengapa dilakukan pemeriksaan hepar, lien dan kgb?

Sebagai salah satu penunjang untuk menetapkan diagnosis pada kasus ini. Seperti

menentukan jenis anemia dan menentukan adanya infeksi, radang, atau keganasan

5. Pemeriksaan darah

a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan darah?

17 | P a g e

Page 18: laporan

Indikasi Nilai Normal Hasil Pemeriksaan

Interpretasi

Hb (g/dl) Laki-laki: 13,5-18,0Perempuan: 12-16

7,6 g/dl Menurun

Ht Laki-laki: 40-48%Perempuan: 37-43%

22 % Menurun

RBC 4.500.000-5.000.000/mm3 3.055.000 /mm3 MenurunWBC 5.000-10.000 /mm3 7.400 /mm3 NormalTrombosit 150.000-450.000/mm3 386.000 /mm3 NormalDiff. count 0-1/1-3/2-6/50-70/20-40/2-

80/8/5/55/28/4 Eosinofil

meningkatMCV 82-92 femtoliter 72 femtoliter MenurunMCH 27-31 pikogram 25 pikogram MenurunMCHC 32-37 % 34 % Normal

LED(mm/jam)

Pria : 0-10Wanita : 0-15

(westergreen) atau 0-20 (wintrobe)

40 mm/jam Cepat (meningkat)

Besi serum 60-170 mikrogram/dl 30 mikrogram/dl MenurunTIBC 240-450 mikrogram/dl 560 mikogram/dl MeningkatFerritin 30-300 ng/mL untuk pria

dan 15-200 ng/mL untuk wanita.

5 ng/mL Menurun

b. Cara melakukan pemeriksaan darah (celci, alif, klara)

1. Hb

Hb rendah (<10 gram/dL) biasanya dikaitkan dengan anemia defisiensi besi.

Dalam kasus ini Hb rendah akibat infeksi cacing tambang yang menganggu

pembentukan Hb dengan adanya defisiensi besi. Ambang bahaya adalah Hb <

5 gram/dL. Hemoglobin merupakan komponen sel darah merah yang bertugas

mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Komponen penting dari

hemoglobin adalah zat besi. Karena itu ketika infeksi cacing tambang

mengakibatkan defisiensi besi pada tubuh dan mempengaruhi pembentukan

Hb mengakibatkan rendahnya kadar hemoglobin.

2. Ht

Hematokrit merupakan persentase konsentrasi eritrosit dalam plasma darah.

Secara kasar, hematokrit biasanya sama dengan tiga kali hemoglobin. Dalam

kasus ini, Tn. T mengalami penurunan kadar Hb, sehingga Ht un juuga

menurun

3. LED

18 | P a g e

Page 19: laporan

nilai meningkat terjadi pada: kondisi infeksi akut dan kronis, misalnya

tuberkulosis, arthritis reumatoid, infark miokard akut, kanker, penyakit

Hodkin’s, gout, Systemic Lupus Erythematosus (SLE), penyakit tiroid, luka

bakar, kehamilan trimester II dan III. Peningkatan nilai LED > 50mm/ jam

harus diinvestigasi lebih lanjut dengan melakukan pemeriksaan terkait infeksi

akut maupun kronis, yaitu: kadar protein dalam serum dan protein,

immunoglobulin, Anti Nuclear Antibody (ANA) Tes, reumatoid factor.

Sedangkan peningkatan nilai LED >100mm/jam selalu dihubungkan dengan

kondisi serius, misalnya: infeksi, malignansi, paraproteinemia, primary

macroglobulinaemia, hiperfi brinogenaemia, necrotizing vaskulitis,

polymyalgia rheumatic.

nilai menurun terjadi pada: polisitemia, gagal jantung kongesti, anemia sel

sabit, Hipofi brinogenemia, serum protein rendah Interaksi obat dengan hasil

laboratorium: etambutol, kuinin, aspirin, dan kortison.

4. MCV

MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila

kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang.

Enzim penentu kecepatan yaitu enzim ferokelatase memerlukan besi untuk

menghentikan sintesis heme. Padahal besi pada anemia defisiensi besi tidak

tersedia sehingga pembelahan sel tetap berlanjut selama beberapa siklus

tambahan namun menghasilkan sel yang lebih kecil (mikrositik). Hal ini

ditandai dengan menurunnya MCV (mean corpuscular volume).

5. MCH

MCH mengindikasikan bobot hemoglobin di dalam eritrosit tanpa

memperhatikan ukurannya. Jadi ketika Hemoglobin dalam tubuh berkurang

maka nilai MCH pun akan menurun.

6. MCHC

Pada anemia defisiensi besi, besi yang dibutuhkan tidak tersedia sehingga

heme yang terbentuk hanya sedikit dan pada akhirnya jumlah hemoglobin

yang dibentuk juga berkurang. Dengan berkurangnya Hb yang terbentuk,

eritrosit pun mengalami hipokromia (pucat). Hal ini ditandai dengan

menurunnya MCHC (mean corpuscular Hemoglobin Concentration)

7. Besi serum

Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah

cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi

19 | P a g e

Page 20: laporan

serum karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi

serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada

kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi.

Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran

mutlak status besi yang spesifik.

8. TIBC

TIBC atau kapasitas mengikat besi total merupakan suatu pengukuran untuk

mengukur kapasitas transferin serum mengikat besi. TIBC meningkat pada

defisiensi besi.

9. Ferritin

Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk

menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai

dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat

spesifik untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan

besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi.

Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi,

tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya

sangat tinggi

Untuk pembentukan hemoglobin dibutuhkan antara lain besi, asam folat dan

vit. B12. Besi merupakan unsur yang terbanyak didapatkan di darah dalam

bentuk hemoglobin, serum iron (SI), total iron binding capacity(TIBC) dan

ferritin.

Pemeriksaan SI bertujuan mengetahui banyaknya besi yang ada di dalam

serum yang terikat dengan transferin, berfungsi mengangkut besi ke sumsum

tulang. Serum iron diangkut oleh protein yang disebut transferin, banyaknya

besi yang dapat diangkut oleh transferin disebut total iron binding capacity

(TIBC). Saturasi transferin mengukur rasio antara kadar SI terhadap kadar

TIBC yang dinyatakan dalam persen. Ferritin adalah cadangan besi tubuh

yang sensitif, kadarnya menurun sebelum terjadi anemia. Pada anemia tidak

selalu terjadi perubahan pada SI, TIBC dan ferritin tergantung pada penyebab

anemia. Pada anemia defisiensi besi, kadar SI dan saturasi transferin menurun

sedangkan TIBC akan meningkat/normal dan cadangan besi tubuh menurun.

Pengukuran asam folat dan vitamin B12 bertujuan untuk mengetahui

penyebab anemia.

20 | P a g e

Page 21: laporan

Untuk penegakan diagnosis ADB terdapat 3 tahapan, dan secara laboratoris

penegakan ADB dipakai diagnosis anemia hipokromik mikrositer pada

hapusan darah tepi atau MCV <78 fl dan MCHC <31% dengan salah satu dari

kriteria berikut :

a. Dua dari tiga parameter di bawah ini :

1. Besi serum <50 mg/dl

2. TIBC >350 mg/dl

3. Saturasi transferin <15%

b. Feritin serum <20 mg/l

c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s Stain) pada

makrofag sumsum tulang, menunjukkan cadangan besi negative

d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200 mg/hari selama 4 minggu disertai

kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.

b. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan darah?

1. Pemeriksaan Diff. Count:

Prosedur

a. Seleksi area yangg paling baik untuk evaluasi pada sediaan darah

b. Dengan lensa objektif 10 x perhatikan bagian yang cukup tipis dan rata

susunan eritrositnya, penyebaran leukosit memenuhi syaratàjadikan

counting area

c. Dengan lensa objektif emersi (100 x), menilai morfologi trombosit,

eritrosit, leukosit

d. Mulai menghitung pada pinggir atas sediaan è pinggir bawah è kekanan è

pinggir atas lagi è dst

e. Lakukan terus sampai 100 sel leukosit, dihitung menurut jenisnya

f. Catat juga kelainan morfologi pada leukosit

g. Jumlah setiap jenis sel dinyatakan dalam persen

h. Laporkan jika terdapat eritrosit berinti per 100 leukosit

i. hitung jenis dilakukan dengan mengelompokkan tiap 10 sel yang dihitung,

sampai terdapat 100 sel ke dalam Schilling Hemogram.

Melaporkan Hitung Jenis

Mulai dengan sel basofil, eosinofil, neutrofil batang, neutrofil segmen, limfosit

dan monosit (bisa ditulis dari kiri ke kanan)

Nilai normal hitung jenis pada dewasa

21 | P a g e

Page 22: laporan

- Basofil : 0 - 1 %

- Eosinofil : 1 – 3 %

- Neutrofil batang : 2 – 6 %

- Neutrofil segmen : 50 – 70 %

- Limfosit : 20 – 40 %

- Monosit : 2 – 8 %

` Hasil :

Basofilia: leukemia granulositik kronik

Eosinofilia: asma bronkial, askariasis

Neutrofilia: inf bakteri, intoksikasi

Limfositosis: inf virus

Monositosis: malaria

2. Pemeriksaan LED

a. Metode Westergren

PRINSIP : darah dengan anticoagulan, bila didiamkan dalam suhu kamar

maka eritrosit akan mengendap pada dasar tabung, bagian atas tertinggal

plasma

Alat : Tabung westergren, Pipet ukur, Rak LED dan Timer

Bahan : darah dan Na Sitrat 3,8 %

Prosedur :

Buat pengenceran :

• Darah vena 1,6 ml ( 2 ml ) + Na Citrat 3,8% 0,4 ml ( 0,5 ml ),Campur

rata

• Isap campuran darah dg Na Citrat dg pipet westergren sampai garis 0

• Letakkan dlm rak LED posisi tegak lurus, diamkan 1 jam

• Periksa tinggi plasma dan buffy coat pd jam 1 dan ke 2

Range normal :

• Laki – laki : < 10 mm/jam

• Wanita : < 20 mm/jam

b. Metode Wintrobe

Prinsip : darah dengan anticoagulan, bila didiamkan dalam suhu kamar

maka eritrosit akan mengendap pada dasar tabung bagian atas tertinggal

plasma

Alat : Tabung westergren, Pipet ukur, Rak LED dan Timer

Bahan : darah dan Na Sitrat 3,8 %

22 | P a g e

Page 23: laporan

Prosedure :

• Sampel yang digunakan berupa darah EDTA atau darah Amoniumkalium

oksalat. Homogenisasi sampel sebelum diperiksa.

• Sampel dimasukkan ke dalam tabung Wintrobe menggunakan pipet

Pasteur sampai tanda 0. Jagalah sampai ada gelembung atau busa.

• Letakkan tabung dengan posisi tegak lurus.

• Biarkan tepat 1 jam dan catatlah berapa mm menurunnya eritrosit.

3. Pemeriksaan hemoglobin metode sahli

Prinsip: Darah ditambah asam (HCL 0,1 N) akan membentuk asam hematin

yang berwarna coklat. Warna coklat yang terbentuk dibandingkan dengan

warna standar.

Bahan pemeriksaan:

Darah kapiler atau darah vena dengan antikoagulan EDTA.

Alat dan reagen

1. Hemoglobinometer Sahli

2. HCL 0,1 N

3. aquadest.

Cara pengambilan darah kapiler (perifer):

• Ujung jari atau lateral tumit (untuk bayi) didesinfeksi dengan kapas

alkohol 70%

• Biarkan kering

• Tusuk dengan lanset ± 3 mm, penusukan tegak lurus dengan garis kulit

• Darah yang pertama keluar (tanpa ditekan) dibersihkan dengan kapas

kering steril

Cara kerja:

• Masukkan 5 tetesHCl 0,1 N ke dalam tabung Sahli

• Isap 20 ml darah dengan pipet Sahli, bersihkan darah yang menempel

pada bagian luar pipet.

• Masukkan darah tersebut dengan hati-hati ke dalam tabung Sahli yang

sudah berisikan HCl 0,1 N.

• Bilas darah dalam pipet dengan cara menghisap dan mengeluarkan HCl

0,1 N beberapa kali.

• Biarkan 4 menit agar hemoglobin berubah menjadi asam hematin.

23 | P a g e

Page 24: laporan

• Encerkan larutan dengan aquadest tetes demi tetes, sambil dikocok tiap

kali menembahkan aquadest, sampai warna larutan sama dengan warna

standar (pembanding).

• Hasil harus dibaca dalam waktu 5 menit

• Tinggi bagian bawah meniskus menunjukkan kadar hemoglobin (g/dl)

4. Menghitung Jumlah WBC (Leukosit)

Cara:

1. Isap darah kapiler dengan pipet leukosit sampai tanda 0.5, hapuslah

kelebihan darah yang melekat di ujung luar pipet.

2. Isap ke dalam pipet (1) cairan Turk sampai tanda 11, sambil memutar-

mutar pipetnya, lepaskan karetnya.

3. Kocok pipet 10-15 detik dalam posisi horizontal sambil diputar-putar.

4. Kocok lagi selama 3 menit, buanglah 4 tetesan yang pertama lalu

diisikan ke dalam kamar hitung yang bersih, biarkan 2-3 menit.

5. Hitung di bawah mikroskop dengan:

Kamar hitung Improved Neubauer:

Leukosit : dengan HPF dalam 64 kotak kecil atau dalam 4 x 16

kotak kecil dan hasilnya dikalikan dengan 50

5. Menghitung Jumlah Trombosit

Cara:

1. Isap cairan Rees-Ecker ke dalam pipet eritosit sampai garis tanda 1 dan

buanglah lagi cairan itu

2. Isap darah kapiler dengan pipet eritrosit sampai garis tanda 0.5 dan

cairan Rees-Ecker sampai tanda 101, segera kocok selama 3 menit.

3. Teruskan tindakan-tindakan seperti untuk menghitung eritrosit dalam

kamar hitung

4. Biarkan kamar hitung yang telah diisi dengan sikap datar dalam cawan

petri yang tertutup selama 10 menit agar trombosit mengendap.

5. Hitunglah semua trombosit dalam seluruh bidang besar di tengah-

tengah memakai lensa objektif besar.

6. Jumlah itu dikali 2.000 menghasilkan jumlah trombosit per ul darah

Mekanisme abnormal

24 | P a g e

Page 25: laporan

Adanya infeksi kronis atau inflamasi menyebabkan respon sumsum tulang untuk

meningkatkan produksi leukosit, dan terjadi peningkatan LED. Diff count nya shif

to the right berarti terjadi infeksi kronis

Menghitung indeks eritrosit

1) Mean corpuscular volume (MCV) atau volume eritrosit rerata (VER)

nilai rujukan: 82-92 femtoLiter (FL)

MVC = nilai hematokrit x 10 fL

jumlah eritrosit

2) Mean corpuscular hemoglobin (MCH) atau hemoglobin eritrosit rerata (HER)

nilai rujukan: 27-31 pikogram (pg)

MCH = kadar hemoglobin x 10 pg

jumlah eritrosit

3) Mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) atau konsentrasi

hemoglobin reitrosit rerata (KHER)

nilai rujukan 31-36 g/dL

MCHC = kadar hemoglobin x 100 g/dL

nilai hematokrit

Hematokrit

Makrometode menurut Wintrobe

1. Tabung Wintrobe yang sudah dipakai pada (b) diputar selama 10 menit dengan

kecepatan 3000 rpm

2. Perhatikan: - berapa hematokrit

- buffy coat

- plasma untuk icterus index

6. Gambaranapusandarahtepi

a. Bagaiman interpretasi dari gambaran apusan darah tepi (mekanisme abnormal)

1. Eritrosit

a. Mikrositik

Tidak normal.Mikrositik merupakan keadaan dimana ukuran eritrosit lebih

kecil dari normalnya dan pada apusan darah sering tampak hipokrom serta

MCV yang dibawah normal (<83fl).Hal yang paling sering menyebabkan

keadaan mikrositik ini adalah defisiensi besi.Kurangnya atau tidak adanya

perbekalan besi di sumsum tulang, dapat membantu mendiagnosis

25 | P a g e

Page 26: laporan

penyakit selain mikrositik.Pengukuran serum feritin, konsentrasi besi,

kelarutan transferrin, kapasitas pengikat besi, dan, reseptor transferin

serum dapat menghindari terjadinya kekurangan pada sumsum tulang.

Tubuh akan mengompensasi kekurangan besi dengan cara mendaur ulang

dari perbekalannya atau gudangnya. Namun, walaupun kapasitas absorbs

besi dapat meningkatkan perbekalan besi tubuh atau aktivitas eritropoiesis,

respon ini tidak berdampak besar atau dapat dikatakan minimal. Pada

keadaan kekurangan besi yang signifikan memerlukan pergantian oleh

suplemen besi.

b. Hipokrom

Tidak normal.Hipokrom merupakan keadaan eritrosit yang tampak

pucat.Hal ini dapat disebabkan oleh konsentrasi Hb yang turun akibat

kegagalan pembentukan heme pada keadaan defisiensi besi atau dapat

disebabkan kegagalan pembentukan globin yang disebabkan oleh

thalassemia.Namun pada kasus ini kemungkinan besar diakibatkan oleh

kegagalan pembentukan heme.

c. Anisopoikilositosis

Tidak normal.Ini menandakan adanya variasi ukuran dan bentuk pada

eritrosit. Perubahan bentuk tiap sel darah merah dapat disebabkan berbagai

hal yang secara lengkap akan dibahas di Learning Issue – Eritropoiesis dan

kelainannya.

d. Cigar-shaped cell

Tidak normal.Merupakan salah satu morfologi abnormal dari ertitrosit

yang berbentuk elips atau lonjong, maka bentuk ini juga siebut sebagai

elliptocyte dan ovalocyte.Hal ini disebabkan oleh defisiensi besi.

e. Pencil cell

Tidak normal.Pencil cell juga keadaan bentuk abnormal dari eritrosit,

dimana bentuk ini merupakan subtype dari cigar-shape cell yang memiliki

bentuk elips dan oval juga.

2. Leukosit

Jumlah cukup (Normal)

Eosinophilia

Tidak normal.Normalnya jumlah dari eosinophil adalah kurang dari 7% dari

total leukosit yang beredar. Yang paling sering menyebabkan eosinophilia

adalah alergi atau parasitosis.Pada kasus ini, eosinophilia diakibatkan oleh

26 | P a g e

Page 27: laporan

parasite yang masuk ke dalam tubuh dan memang secara umum di dunia yang

berkembambang ini parasite menjadi penyebab eosinofilia. IgE memediasi

produk eosinophil yang diinduksi oleh senyawa yang dilepaskan oleh basophil

dan mast cell, dan termasuk factor eosinophil kemotaktik dan anafilaksis,

leukotriene B4, melengkapi kompleks (C5-C6-C7), interleukin 5, dan histamin.

c. Trombosit

Jumlah cukup (Normal)

Penyebaran merata (Normal)

Morfologi normal (Normal)

b. Bagaimana cara pemeriksaan gambaran apusan darah tepi

a. Eritrosit

- Hisap darah kapiler, darah EDTA atau darah oksalat sampai tanda 0,5

- Hapus kelebihan darah di ujung pipet

- Masukkan ujung pipet ke dalam laurat hayem dengan sudut 45, tahan agar

tetap di tanda 0,5. Isap larutan hayem hinga mencapai tanda 101. Jangan

sampai ada gelembung udara.

- Tutup ujung pipet dengan ujung jari lalu lepaskan karet penghisap

- Kocok selama 15-30 detik

- Letakkan di dalam kamar hitung dengan penutup terpasang secara

horizontal di atas meja

- Kocok pipet selama 3 menit, jaga agar cairan tak terbuang dari pipet

- Buang semua cairan di batang kapiler (3-4 tetes) dan cepat sentuhkan ujung

pipetke kamar hitung dengan menyinggung pinggir kaca penutup dengan

sudut 30. Biarkan kamar hitung terisi cairan dengan daya kapilaritas.

- Biarkan 2-3 menit supaya eritrosit mengendap

- Gunakan lensa obyektif mikroskop dengan perbesaran 40x, focus diarahkan

ke garis-garis bagi dalam bidang besar yang tengah.

- Hitunglah eritrosit di 5 bidang sedang yang masing-masing tersusun atas 16

bidang kecil, dari kiri atas ke kanan, ke bawah lalu ke kiri, ke bawah lalu ke

kiri dan seterusnya. Untuk sel-sel pada garis, yang dihitung adalah garis kiri

dan atas.

- Jumlah eritrosit adalah jumlah sel x 10000

b. Leukosit

27 | P a g e

Page 28: laporan

- Kamar hitung dipersiapkan, gelas penutup diletakkan diatas kamar hitung

sehingga menutupi kedua daerah penghitung

- Darah dengan antikoagulansia diisap dengan pipet leukosit sampai tanda

0,5. Bila melampaui batas darah dikeluarkan dengan menyentuh-nyentuh

ujung pipet dengan ujung jari. Bagian luar pipet dihapus dengan kertas

tissue.

- Segera larutan pengencer diisap sampai tanda 111. Selama penghisapan

pipet harus diputar-putar melalui sumbu panjangnya supaya daerah dengan

larutan hayem tercampur dengan baik.

- Kedua ujung pipet ditutup dengan ibu jari dan jari tangah lalu dikocok

dengan gerakan tegak lurus pada sumbu panjangnya selama 2 menit.

- Larutan pengencer yang terdapat dibagian dalam kapiler dan yang

tidakmengandung darah dibuang dengan meneteskan sebanyak 3 tetes.

- Larutan darah dimasukkan kedalam kamar hitung dengan

menempatkanujung pipet pada tepi gelas penutup. Karena daya kapiler

maka larutandarah akan mengalir masuk antara gelas penutup dengan

kamar hitung.Larutan darah tidak boleh terlalu banyak.

- Kamar hitung yang sudah berisi larutan darah diletakkan

dibawahmikroskop dan penghitungan dilakukan dengan obyektif 10x

- Dilakukan penghitungan sebagai berikut :Dihitung jumlah sel darah yang

terdapat pada 16 kotak kecilSel yang menyinggung garis batas sebelah kiri

dan sebelah bawah tidakdihitung. Cara menhitung sistematik dengan

dilakukan kalkulasi sebagai berikut : jumlah leukosit pada 16 kotak kecil x

4 x 50

c. Trombosit

- Hisap darah EDTA dng pipet lekosit → sampai tanda 0,5

- Hapus kelebihan darah dng kertas tisu

- Hisap lar. Rees Ecker sampai tanda 101

- Kocok darah dan larutan ± 2-3 menit

- Buang lar 3-4 tetes → masukan kedalam kamar hitung

- Hitung trombosit dengan mikroscop → lap 1,3,7,9 → hasil x 500

- Nilai Normal: 150.000-450.000 / mm

c. Jenis-jenis anemia

1. Anemia normositik normokrom

28 | P a g e

Page 29: laporan

SDM memiliki ukuran dan bentuk yang normal serta mengandung jumlah

hemoglobin hemoglobin normal mean corpuscular volume (MCV) dan mean

corpuscular hemoglobin concentration normal (MCHC) normal atau normal

rendah. Penyebab-penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut,

hemolysis, penyakit kronis yang meliputi infeksi, gangguan endokrin,

gangguan ginjal, kegagalan sumsum tulang, dan penyakit-penyakit infiltaratif

metastatic pada sumsung tulang.

2. Anemia makrositik normokrom

SDM lebih besar dar normal tetapi normokromatik karena konsentrasi

hemoglobin normal (MCV meningkat; MCHC normal).Keadaan ini

disebabkan oleh terganggunya atau terhentinya sintesis asam

deoksiribonukleat (DNA) seperti yang ditemukan pada defisiensi B12 atau

asam folat atau keduanya.Anemia makrositik normokrom dapat juga terjadi

pada kemoterapi kanker karena agen-agen mengganggu sintesis DNA.

3. Anemia mikrositik hipokrom

Mikrositik berarti sel kecil, dan hipokromatik berarti pewarnaan yang

berkurang.Karena warna berasal dari hemoglobin, sel-sel ini mengandung

hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal (penurunan MCV dan

MCHC).Keadaan ini umumnya mencerminkan insufisiensi sintesis heme atau

kekurangan zat besai, seperti pada anemia defisiensi zat besi, keadaan

sideroblastik, dan kehilangan darah kronis, atau gangguan sintesis globin,

seperti pada thalassemia.

4. Apa hubungan infeksi parasite dengan keadaan eritrosit?

Infeksi parasite berupa cacing tambang kurang berhubungan dengan keadaan

eritrosit yang abnormal. Keadaan eritrosit yang abnormal seperti mikrositik

hipokrom, anisopoikilositosis, cigar-shaped cell, pencil cell lebih berhubungan

dengan keadaan gizi dari Adi.

Enzim penentu kecepatan yaitu enzim ferokelatase memerlukan besi untuk

menghentikan sintesis heme.Padahal besi pada anemia defisiensi besi tidak

tersedia sehingga pembelahan sel tetap berlanjut selama beberapa siklus tambahan

namun menghasilkan sel yang lebih kecil (mikrositik).Hal ini ditandai dengan

menurunnya MCV (mean corpuscular volume).Jika terjadi hipokrom dan

mikrositosis ekstrim, maka sel tampak sebagai sebuah cincin sehingga disebut sel

29 | P a g e

Page 30: laporan

cincin (ring cell), atau memanjang seperti elips, disebut sebagai sel pencil (pencil

cell atau cigar cell).Kadang-kadang dijumpai sel target.

5. Bagaimana eritropoiesis?

Pembentukan eritrosit (eritropoiesis) merupakan suatu mekanisme umpan balik. Ia

dihambat oleh peningkatan kadar eritrosir bersirkulasi dan dirangsang oleh

anemia. Ia juga dirangsang oleh hipoksia dan peningkan aklimatisasi ke tempat

tinggi. Eritropoiesis dikendalikan oleh suatu hormon glikoprotein bersirkulasi

yang dinamai eritropoietin yang terutama disekresikan oleh ginjal.

30 | P a g e

Page 31: laporan

6. Bagaimana hubungan infeksi parasite dengan defisiensi besi

Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat dengan giginya pada

dinding usus dan menghisap darah. Pendarahan terjadi akibat proses penghisapan

aktif oleh cacing dan juga akibat perembesan darah dari sekitar tempat hisapan.

Faifng berpindah tempat menghisap sekitar 6 jam, pendarahan ditempat yang

ditinggalkan segera berhenti dan luka menutup kembali dengan cepat karena turn

over sel epitel usus sangat cepat. Kehilangan darah juga dapat terjadi akibat

adanya lesi pada usus halus karena penghisapan darah oleh cacing. Kejadian ini

akan bermanifestasi pada pemeriksaan besi dalam darah, dimana jumlahnya akan

menurun sebagai akibat terjadinya pendarahan terus menerus.

7. Bagaimana metabolisme besi dalam tubuh?

Besi hanya dapat masuk ke dalam mukosa apabila ia dapat bersenyawa dengan

apoferritin. Jumlah apoferritin yang ada dalam mukosa usus tergantung pada

kadar besi tubuh. Bila besi dalam tubuh sudah cukup maka semua apoferritin yang

ada dalam mukosa usus terikat oleh Fe menjadi Ferritin.Dengan demikian tidak

ada lagi apoferitin yang bebas sehingga tidak ada besi yang dapat masuk ke dalam

mukosa. Besi yang ada dalam mukosa usus hanya dapat masuk ke dalam darah

bila ia berikatan dengan β-globulin yang ada dalam plasma. Gabungan Fe dengan

β-globulin disebut ferritin.

31 | P a g e

Page 32: laporan

Apabila semua β-globulin dalam plasma sudah terikat Fe” (menjadi feritin) maka

Fe++ yang terdapat dalam mukosa usus tidak dapat masuk ke dalam plasma dan

turut lepas ke dalam lumen usus sel mukosa usus lepas dan diganti dengan sel

baru.Hanya Fe++ yang terdapat dalam transferrin dapat digunakan dalam

eritropoesis, karena sel eritoblas dalam sum-sum tulang hanya memiliki reseptor

untuk ferritin.

Kelebihan besi yang tidak digunakan disimpan dalam stroma sum-sum tulang

sebagai ferritin.Besi yang terikat pada β-globulin selain berasal dari mukosa usus

juga berasal dari limpa, tempat eritrosit yang sudah tua masuk ke dalam jaringan

limpa untuk kemudian terikat pada β-globulin (menjadi transferin) dan kemudian

ikut aliran darah ke sum-sum tulang untuk digunakan eritoblas membentuk

hemoglobin.Hemoglobin berfungsi sebagai pengangkut oksigen ke seluruh

jaringan tubuh, oleh karena itu apabila terjadi kekurangan hemoglobin

mengakibatkan anemia.

7. Feses

a. Interpretasi dari pemeriksaan feses?

Diagnosa dibuat dengan menemukan telur cacing pada contoh tinja. Tinja harus

diperiksa dalam waktu beberapa jam setelah buang air besar. Jika dalam beberapa

jam tinja dibiarkan dahulu, maka telur akan menetas menjadi larva.

32 | P a g e

Page 33: laporan

Darah samar (Hema Test) positif

Normal berwarna hijau

Positif berwarna hijau hingga biru

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi adanya pendarahan saluran cerna,

pendarahan yang besar (>150ml) dapat langsung diketahui secara makroskopik,

tapi bila pendarahan <100ml/hari maka feses akan terlihat normal. Dengan

pemeriksaan in lesi yang masih asimtomatis atau ringan atau lokal dapat dideteksi

lebih cepat. Dalam kasus ini terjadi perdarahan pada pasien. Hasil yang positif

menunjukkan adanya pendarahan yang terjadi di traktus gastrointestinal

b. Indikasi dari pemeriksaan feses?

Adanya diare dan konstipasi

Adanya darah dalam tinja

Adanya lendir dalam tinja

Adanya ikterus

Adanya gangguan pencernaan

Suspect penyakit GI

c. Cara melakukan pemeriksaan feses?

A. Pemeriksaan makroskopis

Macam pemeriksaan

Pemeriksaan makroskopis tinja meliputi : warna, bau, konsistensi, lendir, darah,

nanah, parasit, serta makanan yang tidak tercerna.

• Warna.

Warna tinja yang dibiarkan pada udara menjadi lebih tua karena terbentuknya

lebih banyak urobilin. Selain urobilin yang normal ada, warna tinja dipengaruhi

juga oleh jenis makanan, kelainan dalam saluran usus dan juga oleh obat-obatan

yang diberikan. Darah terutama yang berasal dari usus bagian bawah akan

33 | P a g e

Page 34: laporan

menyebabkan tinja berwarna merah, juga diet yang mengandung bit. Perdarahan

dari traktus GI atas akan menyebabkan tinja berwarna hitam dan konsistensinya

seperti ter. Bismut, besi juga dapat menyebabkan tinja berwarna hitam. Tinja

berwarna hijau disebabkan karena makan bayam atau sayur-sayuran hijau yang

lain, calomel atau mungkin disebabkan adanya bilirubin dalam tinja pada

penderita dengan antibiotika per oral. Warna abu-abu mungkin disebabkan karena

tidak adanya urobilin dalam saluran makanan dan hal ini didapat pada ikterus

obstruktif (tinja akholis) dan juga setelah pemakaian garam barium pada

pemeriksaan radiologi.

• Bau.

Bau normal tinja disebabkan oleh indol, sekatol dan asam butirat. Bau yang busuk

terjadi bila di dalam usus terjadi pembusuakan lainnya, yaitu protein yang tidak

dicerna dan dirombak oleh kuman-kuman, pada keadaan tinja akan menjadi lindi.

Bau tinja dapat berbau asam dan tengik, keadaan ini disebabkan peragian

(fermentasi) zat-zat gula yang tidak tercerna oleh karena diare misalnya. Disini

tinja akan bereaksi asam.

• Konsistensi.

Tinja normal agak lunak dengan memiliki bentuk. Bila terjadi diare tinja menjadi

encer. Tinja yang seperti bubur, berbau busuk, berwarna abu-abu dan

mengambang di air karakteristik untuk steatorrhoe.Pada konstipasi kadang

dibarengi dengan tinja yang kecil dan keras (skibala). Konstipasi paling sering

diakibatkan oleh ‘irritable colon syndrome’ dari pasien dengan anxietas atau

pemakaian laxantia yang berlebihan. Tinja yang berbentuk seperti pita

kemungkinan disebabkan oleh spastik usus, penyempitan rektal atau striktur.

• Lendir.

Normal tidak terdapat lendir pada tinja, adanya lendir berarti abnormal dan harus

dilaporkan. Lendir yang transparan (tembus cahaya), lengket pada permukaan

tinja terdapat pada spastik kolitis atau mukous kolitis. Hal ini kita dapatkan pada

penderita dengan kelainan emosional dan mungkin disebabkan karena ketegangan

yang berlebihan. Lendir yang bercampur darah pada tinja menunjukkan adanya

keganasan (neoplasma) atau proses peradangan pada rektal canal. Adanya lendir

yang bercampur nanah dan darah, kita jumpai pada penderita dengan : ulcerative

colitis, disentri basiler, diverticulitis ulcerativa dan intestinal TBC. Pada penderita

dengan vilous adenoma dari colon dalam tinjanya terdapat lendir yang sangat

banyak, mengental bisa mencapai 3-4 L/ 24 jam.

34 | P a g e

Page 35: laporan

• Darah.

Adanya darah perlu diperhatikan, apakah darah segar (merah muda), coklat, atau

hitam. Bercampur dengan tinja ataukah pada permukaan luar saja. Makin

proksimal terjadinya perdarahan, makin bercampurlah darah dengan tinja dan

makin hitam warnanya. Jumlah darah yang banyak bisa disebabkan oleh ulkus,

varises dlam esofagus, carcinoma, atau hemoroid.

• Nanah.

Pasien dengan kolitis ulseratif kronik dan disentri basiler yang kronis sering kali

tinjanya mengandung pus dalam jumlah yang cukup banyak dan untuk

memastikan penyebabnya perlu melakukan pemeriksaan mikroskopis. Hal yang

serupa akan kita dapati juga pada pasien dengan abses lokal, fistula yang

menghubungkan colon sigmoid dengan rektum atau anus. Pus yang banyak jarang

berhubungan amoebic colitis, justru hal ini dapat dipakai untuk menyingkirkan

diagnosis disentri amoeba. Pada gastroenteritis karena virus tidak ditemukan

adanya eksudat (pus) pada tinja yang encer.

• Parasit.

Parasit yang sering dilihat secara makroskopis ialah ascaris dan segmen-segmen

cacing pita, juga oxyuris vermicularis juga mungkin amoeba.

• Makanan yang tidak tercerna.

Makanan yang tidak tercerna yang sering kita lihat ialah yang berasal dari biji-

bijian dan serabut-serabut. Tetapi hal ini kurang bermakna (kurang memberi arti

diagnostik)

B. Pemeriksaan mikroskopis

Pemeriksaan mikroskopis terutama ditujukan untuk mencari protozoa dan telur

cacing. Sebelum pemeriksaan mikroskopis, lebih dulu dibuat suspensi tinja dari

salin (NaCl 0,9 %) yang dapat direaksikan dengan berbagai reagen untuk

membantu identifikasi. Dalam membuat preparat sebaiknya dibuat setipis

mungkin, sehingga unsur didalamnya jelas terlihat dan mudah dikenal.

Macam pemeriksaan

• Sel epitel.

Dalam keadaan normal dapat ditemukan sel-sel epitel yang berasal dari dinding-

dinding usus bagian distal. Adanya perangsangan dan peradangan dinding usus

menyebabkan sel epitel bertambah banyak.

• Makrofag.

35 | P a g e

Page 36: laporan

Merupakan sel besar berinti satu yang mempunyai daya fagositosis, dalam

plasmanya sering dapat dilihat sel-sel lain seperti leukosit dan eritrosit. Dalam

preparat native tampak menyerupai amoeba tetapi tidak dapat bergerak. Pada

disentri amoeba yang kronis dengan infeksi sekunder ditemukan makrofag

bersama-sama leukosit.

• Eritrosit.

Dalam keadaan normal tidak ditemukan adanya eritrosit dalam tinja.

Ditemukannya eritrosit dalam tinja menunjukkan adanya pengeluaran darah yang

banyak atau adanya lesi yang berlokasi di usus bagian distal (colon, rectum, anus)

misal : pada disentri amoeba dan basiler, colitis ulserosa, hemoroid dan Ca dengan

ulserasi.

• Leukosit.

Leukosit akan lebih jelas dilihat dengan menambah satu tetes asam asetat 10 %

pada 1 tetes emulsi tinja pada obyek glass. Dalam keadaan normal hanya terlihat

dalam jumlah sedikit, jumlah leukosit yang meningkat akan dijumpai pada

disentri basiler, colitis ulserosa.

• Kristal.

Pemeriksaan ini tidak banyak bermakna. Dalam tinja normal sering dijumpai

adanya kristal Ca oxalat, triple phosphat dan asam lemak, tetapi semuanya kurang

berarti. Kristal Charcot Lyeden sering dijumpai pada ulcerative colon terutama

disentri amuba. Kristal hematoidin dijumpai pada post hemorhagi traktus

gastrointestinal, bentuk jarum belah ketupat dengan warna kekuningan.

• Sisa makanan.

Hampir selalu dapat ditemukan, bukanlah adanya melainkan jumlahnya yang

sering dihubungkan dengan sesuatu yang abnormal.

• Sel ragi.

Blastocystis hominis, necator americanus, ankylostoma duodenale, stringiloides

stercoralis, entrobius vermicularis mugkin didapatkan.

• Telur dan jentik cacing.

Ascaris lumbricoides merupakan nematoda yang paling banyak dijumpai di

saluran cerna manusia. Terutama menyerang anak-anak dan hampir selalu

menyebabkan infeksi yang hebat. Diagnosa ditegakkan bila ditemukan adanya

telur cacing di dalam tinja atau bentuk dewasa kadang keluar lewat mulut

(muntah). Diagnosis ascariasis sudah bisa ditegakkan meskipun hanya dijumpai

satu cacing betina pada peparat apus tinja. Satu cacing betina akan menghasilkan

36 | P a g e

Page 37: laporan

200.000 telur per hari dan akan menghasilkan paling sedikit 5 telur dalam satu

preparat apus yang berasal dari 2 mg tinja. Jumlah telur kurang dari 20 berarti

infeksi ringan dan lebih dari 100 berarti infeksi berat. Cacing tambang

merupakan nematoda yang sering menginfeksi usus kecil. Ada 2 tipe : necator

americanus dan ankylostoma duodenale, diagnosis ditegakkan bila ditemukan

telur yang khas dalam tinja dengan ukuran panjang 58-76 mikron dan lebar 36-40

mikron dengan kulit tipis. Enterobius vermicularis terutama hidup di lumen

caecum, diagnosis ditegakkan dengan ditemukan telur yang khas di daerah

perianal. Paling baik dengan ‘scotch tape’ sebab hanya sekitar 5-10 % yang dapat

didiagnosa dengan pemeriksaan tinja rutin. Sampel biasanya diambil pada malam

hari saat penderita tidur atau pagi hari sebelum mandi. Diagnosis perlu ditegakkan

dengan pemeriksaan berulang kali sampai ditemukan telur cacing, pemeriksaan

daerah anal sering ditemui bentuk cacing yang dewasa.

• Protozoa.

Lebih mudah ditegakkan dengan penambahan eosin 1-2 % atau lugol 1-2 %,

untuk identifikasi yang tepat dengan pulasan hematocilin (misal metode Heyden

Hain) atau pulasan trichome, baik untuk bentuk vegetatif maupun kista dapat

dilihat.

Analisis laboratorium

• Prinsip percobaan : untuk melihat elemen-elemen dalam tinja secara

mikroskopis.

• Sampel : tinjaa

• Alat-alat / instrumen : pipet tetes kapiler, obyek glass dan dek glass.

• Tata cara pemeriksaan:

Buat apusan setipis mungkin untuk mencari protozoa, telur cacing dipakai

larutan eosin atau lugol 1-2 % sebagai pengencer.

Untuk melihat leukosit dengan larutan asam asetat.

Untuk melihat unsur-unsur lain dengan larutan NaCl 0,9 %. Perbesaran 400x

untuk melihat eritrosit dan leukosit dan dengan perbesaran 100x untuk melihat

unsur-unsur yang lain.

C. Pemeriksaan kimia

Darah samar

Perdarahan ke dalam traktus gastointestinal dalam jumlah berapapun selalu

membahayakan dan tidak boleh dianggap remeh, meskipun hanya berasal dari lesi

yang kecil. Misal : hemoroid, fisura ani dan lain sebagainya. Obat-obatan

37 | P a g e

Page 38: laporan

terutama salisilat, steroid, derivat rouwolfia, phenylbutason dapat menyebabkan

perdarahan gastrointestinal meski pada orang normal sekalipun. Terlebih pada

penderita kelainan gastrointestinal.

Kehilangan lebih dari 50-75 mL darah dari traktus gastrointestinal bagian

proksimal umumnya akan menyebabkan tinja berwarna merah hitam sampai hitam

dengan konsistensi seperti tir (melena).

Terjadinya melena yang terus menerus selama 2-3 hari sudah memberikan

petunjuk bahwa kehilangan darah paling sedikit 100 mL. Sesudah perdarahan

macam ini, maka pemeriksaan darah samar akan berhasil positif selama 5-12 hari

berturut-turut.

Tes yang paling sering dikerjakan utnuk menentukan adanya darah samar dalam

tinja tergantung dari penentuan aktifitas peroksidase/ oksiperoksidase dari eritrosit

termasuk hemoglobin.

Tes yang memakai indikator ini adalah Guayac test, orthotoluidine,

orthodinisidine serta benzidine test.

Dengan adanya peroksidase/ oksiperoksidase di dalam spesimen tinja dengan

penambahan hidrogen peroksida ke dalam tes tersebut, maka indikator tersebut

akan dioksidasi menjadi gugusan quinone yang berwarna biru (pada guayac test0

atau gugusan lain tergantung reagennya. Intensitas warna pada tes ini tergantung

pada aktifitas enzim dari hemoglobin atau peroksidase yang lain, adanya zat yang

menyebabkan perubahan warna, ada atau tidaknya inhibitor serta sensitifitas dari

serial tes tersebut. Diantara banyak tes yang disebutkan diatas yang paling peka

adalah benzidine test, tapi tes ini kurang disenangi selain sensitifitasnya terlalu

tinggi sehingga bisa mengacaukan hasil (banyak menghasilkan positif palsu) juga

benzidine bersifat carcinogenik. Tes yang kurang sensitif dan banyak dipakai saat

ini adalah Guayac test. Jika kehilangan darah melalui tinja sebanyak 2-2,5 mL

perhari akan menyebabkan tes darah samar positif (normal kehilangan darah lewat

tinja 0,5-2 ml perhari). Tes darah samar yang lebih peka lagi ialah tes ‘colon

albumin’ merupakan pemeriksaan baru untuk mendeteksi albumin serum manusia

dalam tinja berdasarkan prinsip imunologi. Dengan dideteksinya albumin dalam

serum secara tidak langsung berarti mendeteksi adanya darah dalam tinja tersebut.

Albumin serum manusia di tinja merupakan indikator perdarahan kolorektal

seperti pada beberapa penyakit saluran cerna termasuk penyakit keganasan.

Reagen ini menggunakan antibodi monoklonal terhadap albumin serum manusia

38 | P a g e

Page 39: laporan

sehingga spesifitasnya tinggi. Biasanya dipakai untuk mendeteksi awal adanya

keganasan tersebut.

Hal yang perlu diperhatikan : adanya zat-zat yang mengganggu percobaan atau

menyebabkan positif / negatif palsu. Positif palsu disebabkan oleh : leukosit,

formalin, cuprioksida, yodium dan juga asam nitrat. Negatif palsu disebabkan

oleh : vitamin C dosis tinggi, antioksidan (menekan aktifitas peroksidase). Zat

yang mengganggu tes darah samar adalah preparat Fe, klorofil, ekstrak daging dan

senyawa merkuri.

Analisis laboratorium

• Metode : benzidine

• Prinsip percobaan : menggunakan sifat Hb sebagai peroksidase yang akan

menguraikan hidrogen peroksidase dan kemudian mengoksidir benzidine menjadi

oksibenzidine yang berwarna biru.

• Sampel.

• Bahan dan alat-alat yang digunakan :

Serbuk benzidine (kurang lebih sepucuk pisau)

3 mL asam asetat gracial

1 mL H2O2 3 %

Tabung reaksi beserta rak tabungnya

Lampu spiritus

Corong

Tata cara pemeriksaan :

• Buat emulsi tinja dengan NaCl 0,9 % sebanyak kira-kira 10 mL dan panasilah

hingga mendidih.

• Saring emulsi yang panas itu dan biarkan filtrat sampai dingin kembali.

• Masukkan dalam tabung reaksi lain sepucuk pisau benzidine basah

• Tambahkan 3 mL asam asetat grasial, kocok sampai benzidine larut dengan

meninggalkan beberapa kristal.

• Tambahkan 2 mL filtrat tinja dan campur.

• Tambahkan lagi 1 mL larutan H2O2 3 % dan campur.

• Hasil dibaca dalam waktu 5 menit (tidak boleh lebih lama)

Tata cara pembacaan hasil :

• Negatif (-) : tidak terjadiperubahan warna, samar-samar hijau.

• Positif (+) : hijau

• Positif (++) : hijau campur biru

39 | P a g e

Page 40: laporan

• Positif (+++) : biru

• Positif (++++) : biru tua

d. Bagaimana Siklus hidup dari cacing tambang

1. Telur dikeluarkan dalam tinja

2. Dalam kondisi yang menguntungkan (kelembaban , kehangatan, temaram),

larva menetas dalam 1 sampai 2 hari. Larva rhabditiform ini tumbuh dalam

tinja dan/atau tanah,

3. Setelah 5 sampai 10 hari (mengalami dua kali molting) menjadi filariform

larva (L3/tahap ketiga) yang infektif.

4. Infektif larva dapat bertahan 3 sampai 4 minggu dalam kondisi lingkungan

yang menguntungkan. Pada kontak dengan inang manusia, larva menembus

kulit dan dibawa melalui pembuluh darah ke jantung dan kemudian ke paru-

paru. Mereka menembus ke dalam alveoli paru , naik cabang bronkial menuju

faring , dan tertelan.

5. Larva mencapai usus kecil, tinggal dan tumbuh menjadi dewasa. Cacing

dewasa hidup di lumen usus kecil, menempel pada dinding usus. Sebagian

besar cacing dewasa dieliminasi dalam 1 sampai 2 tahun, tapi umur panjang

bisa mencapai beberapa tahun.

Beberapa larva A. duodenale, setelah penetrasi kulit host dapat menjadi dorman

(di usus atau otot). Selain itu, infeksi oleh A. duodenale mungkin juga terjadi

melalui oral dan transmammary route. Untuk N. americanus, bagaimanapun,

memerlukan fase migrasi transpulmonary.

40 | P a g e

Page 41: laporan

6. Bagaimana Prevalensi dari cacing tambang

Menurut WHO diperkirakan bahwa lebih dari 1 miliar orang terinfeksi cacing

yang ditularkan melalui tanah, lebih dari 250 juta oleh Ascaris lumbricoides

(cacing gelang), 46 juta oleh Trichuris trichiura (cacing cambuk) dan 151 juta

oleh Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (cacing tambang).

Di Indonesia jumlah penderita kecacingan cukup tinggi, terutama terjadi pada

penduduk pedesaan dan penduduk dengan tingkat sosioekonomi rendah. Dari

hasil pemeriksaan yang pernah dilakukan pada tahun 2008 di 8 provinsi yang ada

di Indonesia, ditemukan bahwa jumlah penderita kecacingan mempunyai rentang

yang cukup lebar, yaitu antara 2.7% di Sulawesi Utara sampai dengan 60.7% di

Banten. Di Indonesia prevalensi anak terinfeksi cacing pada tahun 2008 sekitar

24.1%, dimana distribusi prevalensi infeksi cacing disebabkan oleh Ascaris

lumbricoides (14.5%), Trichuris trichiura (13.9%), Ancylostoma duodenale dan

Necator americanus (3.6%).

Berdasarkan Survei Seksi P2ML Sub Dinas P2P & PL, Dinas Kesehatan Tingkat I

Sumatera Utara pada anak Sekolah Dasar di tiga belas Kabupaten/Kota tahun

2003 sampai 2006 diperoleh hasil yaitu prevalensi Ascaris lumbricoides 39%,

Trichuris trichiura 24%, Ancylostoma duodenale dan Necator americanus 5%

(90% dari infeksi cacing tambang disebabkan oleh Necator americanus) .

41 | P a g e

Page 42: laporan

7. Penatalaksanaan dari kasus

a. Pengobatan Creeping eruption

• Cryotherapi dengan Liquid nitrogen atau Chlorethylenespray

• Thiabendazole oral

• Thiabendazole topikal selama 1 minggu

• Albendazole

Coulaud, dkk ( 1982 ) : dosis Albendazole 400 mgselama 5 hari hasil sangat

memuaskan

b. Pengobatan terhadap cacing dewasa

Gabungan Pyrantel pamoate dg Mebendazole,

cara :

Pagi hari : Pyrantel pamoate 10 mg / kg Bb dö tunggal

1 jam kemudian : Mebendazole 100 mg

Sore hari : Mebendazole 100 mg

Hari II &III : Mebendazole 2 x 100 mg

Hasil sangat memuaskan

Obat-obat lain yang dapat digunakan :

Pyrantel pamoate dö tunggal 10 mg / kg BB

Mebendazole 2 x 100 mg selama 3 hari

Albendazole

Anak usia > 2 th : 2 tablet ( 400 mg ) atau 20 ml suspense

Anak usia < 2 th : 1/2 dosis hasil cukup memuaskan

Konsumsi

Makanan bergizi & preparat besi mencegah anemia

Pencegahan

a. Pemberantasan sumber infeksi pada populasi

b. Perbaikan higiene dan sanitasi

c. Mencegah terjadinya kontak dengan larva

>Terapi

42 | P a g e

Page 43: laporan

a. Terapi Kausal

Terapi terhadap penyebab perdarahan.Misalnya pengobatan cacing tambang.

Tujuan utama dari pengobatan infeksi STH adalah mengeluarkan semua cacing

dewasa dari saluran gastrointestinal.Obat yang banyak digunakan adalan

Mebendazole (dosis tunggal 500 mg)dan albendazole (dosis tunggal 400

mg).Benzimidazole bekerja menghambat polymerase dari microtubule parasit

yang menyebabkan kematian dari cacing dewasa dalam beberapa hari. Walupun

albendazole Idan mebendazole merupakan broad-spectrum terdapat perbedaan

penggunaanya dalam klinik. Kedua obat efektif terhadap ascaris dengan

pemebrian dosisi tunggal. Namun, untuk cacing tambang, mebendazole dosis

tunggal memberikan rate pengobatan rendah dan albendazole lebih efektif.

Sebaliknya albendazole dosis tunggal tidak efektif untuk kasus trichiuriasis.Obat

antihelmentik bensimidazole adalah embriotoksik dan teratogenik pada tikus yang

hamil, sehingga jangan digunakan untuk bayi dan selama kehamilan.Pyrantel

pamoate dan levamisole merupakan pengobatan alternative untuk infeksi Ascaris

dan cacing tambang, walaupun pyrantel pamoate tidak efektif untuk mengobati

trichiuriasis.

Akhir-akhir ini ditemukan resistensi terhadap obat-obat tersebut. Untuk itu

diperlukan cara pengendalian yang baru. Vaksinasi tetap merupakan metode yang

tepat untuk mengendalikan infeksi STH, karena dapat memotong penyebaran

infeksi STH. Vaksin cacing tambang yang mengandung antigen larva

Ancylosoma – secreted protein (ASP)2 efektif pada model hewan (anjing dan

tupai) dan studi epidemiologi menunjukan adanya efek pencegahan. Vaksin

cacing tambang Na ASP-2 saat ini masih dalam tahap pengembangan untuk dapat

digunakan pada manusia.

b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron

replacemen therapy ).

1. Terapi Beis Oral : efektif, lebih aman, dan dari segi ekonomi preparat ini lebih

murah. Preparat yang tersedia berupa

• Ferro Sulfat : merupakan preparat pilihan pertama karena paling murah dan

efektif, dengan dosis 3 x 200 mg, diberikan saat perut kosong [sebelum makan].

Jika hal ini memberikan efek samping misalkan terjadi mual, nyeri perut,

konstipasi maupun diare maka sebaiknya diberikan setelah makan/ bersamaan

dengan makan atau menggantikannya dengan preparat besi lain.

43 | P a g e

Page 44: laporan

• Ferro Glukonat: merupakan preparat dengan kandungan besi lebih rendah

daripada ferro sulfat. Harga lebih mahal tetapi efektifitasnya hampir sama.

• Ferro Fumarat, Ferro Laktat.

Waktu pemberian besi peroral ini harus cukup lama yaitu untuk memulihkan

cadangan besi tubuh kalau tidak, maka anemia sering kambuh lagi. Berhasilnya

terapi besi peroral ini menyebabkan retikulositosis yang cepat dalam waktu kira-

kira satu minggu dan perbaikan kadar hemoglobin yang berarti dalam waktu 2-4

minggu, dimana akan terjadi perbaikan anemia yang sempurna dalam waktu 1-3

bulan. Hal ini bukan berarti terapi dihentikan tetapi terapi harus dilanjutkan

sampai 6 bulan untuk mengisi cadangan besi tubuh.Jika pemberian terapi besi

peroral ini responnya kurang baik, perlu dipikirkan kemungkinan –

kemungkinannya sebelum diganti dengan preparat besi parenteral.Beberapa hal

yang menyebabkan kegagalan respon terhadap pemberian preparat besi peroral

antara lain perdarahan yang masih berkelanjutan (kausanya belum teratasi),

ketidak patuhan pasien dalam minum obat (tidak teratur) dosis yang kurang,

malabsorbsi, salah diagnosis atau anemia multifaktorial.

2. Parenteral

Indikasi pemeberiaan besi parenteral : (1) intoleransi terhadap pemberian besi oral

; (2) kepatuhan terhadap obat yang rendah ; (3) gagngguan pencernaan seperti

colitis ulseratif yang dpat kambuh jika diberikan besi; (4) penyerapan besi

terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi ; (5) kehilangan darah banyak pada

hereditary hemorrhagic teleangiectasia; (6) kebeutuhan besi yang cepat, misalnya

pada ibu kehamilan trisemester ketiga atau sebelum operasi; (7) difisiensi besi

fungsional relative akibat pemberian eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik

atau anemia akibat penyakit krnik.

Ada beberapa contoh preparat besi parenteral: - Besi Sorbitol Sitrat (Jectofer)

Pemberian dilakukan secara intramuscular dalam dan dilakukan berulang. - Ferri

hidroksida-sucrosa (Venofer) Pemberian secara intravena lambat atau infus.

Beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan dari pemberian besi parenteral

meliputi nyeri setempat dan warna coklat pada tempat suntikan, flebitis, sakit

kepala, demam, artralgia, nausea, vomitus, nyeri punggung, flushing, urtikaria,

bronkospasme, dan jarang terjadi anafilaksis dan kematian.

44 | P a g e

Page 45: laporan

c. Pengobatan lain

1. Diet: perbaikan diet sehari-hari yaitu diberikan makanan yang bergizi dengan

tinggi protein dalam hal ini diutamakan protein hewani.

2. Vitamin C: pemberian vitamin C ini sangat diperlukan mengingat vitamin C ini

akan membantu penyerapan besi. Diberikan dengan dosis 3 x 100mg.

3. Transfusi darah: pada anemia defisiensi besi ini jarang memerlukan transfusi

kecuali dengan indikasi tertentu.

PENCEGAHAN

1. Penyuluhan kesehatan masyarakat tentang kebersihan lingkungan tempat

tinggal dan higiene sanitasi masyarakat yang tingkat pendidikan dan faktor sosial

ekonominya yang rendah yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang

pemakaian jamban terutama di daerah pedesaan, atau daerah yang terpencil

2. Menganjurkan supaya memakai alas kaki terutama ketika keluar rumah,

membiasakan cuci tangan pakai sabun sebelum makan.

3. Penyuluhan gizi yaitu penyuluhan yang ditujukan kepada masyarakat pedesaan

mengenai gizi keluarga, yaitu dengan mengkonsumsi makanan yang banyak

mengandung zat besi terutama yang berasal dari protein hewani,yaitu daging dan

penjelasan tentang bahan –bahan makanan apa saja yang dapat membantu

penyerapan zat besi dan yang dapat menghambat penyerapan besi.

4. Untuk anak sekolah dilakukan melalui UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) yang

melibatkan murid, guru dan orang tua dengan cara mensosialisasikan tentang cara

hidup sehat yaitu cuci tangan sebelum makan , makan makanan yang mengandung

zat besi.

5. Pemberian suplementasi besi pada ibu hamil dan anak balita. Pada ibu hamil

diberikan suplementasi besi oral sejak pertama kali pemeriksaan kehamilannya

sampai post partum, sedangkan untuk bayi diberikan ASI dan pemberian sayur,

buah/ jus buah saat usia 6 bulan.

Selain itu dilakukan upaya pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber

perdarahan kronik, yang paling sering terjadi didaerah tropik.

45 | P a g e

Page 46: laporan

IV. KERANGKA KONSEP

46 | P a g e

Page 47: laporan

47 | P a g e

Page 48: laporan

V. SINTESIS MASALAH

1. Cacingtambang

Infeksi cacing usus berpengaruh terhadap pemasukan, pencernaan, penyerapan, serta

metabolisme makanan, yang dapat berakibat hilangnya protein, karbohidrat, lemak,

vitamin dan darah dalam jumlah yang besar. Juga dapat menimbulkan ganguan respon

imun, menurunnya plasma insulin like growth factor (IGF)-1, kadar serum tumor

necrosis factor a (TNF) meningkat, konsentrasi rerata hemoglobin rendah, sintesis

kolagen menurun. Disamping itu, juga menimbulkan berbagai gejala penyakit seperti

anemi, diare, sindroma disentri dan defisiensi besi.

Infeksi cacing tambang adalah penyakit infeksi yang disebabkan Ancylostoma

duodenale/Necator americanus. Kedua spesies di atas dikenal dengan hookworm.

Ancylostoma duodenale ditemukan di Eropa, Afrika Utara, dan Asia utara. Necator

americanus terdapat di kawasan barat dunia dan Afrika tengah. Kedua spesies terdapat

di negara tropis, terutama Asia tenggara. Spesies lain yang dapat menyebabkan

penyakit tetapi jarang adalah Ancylostoma braziliensis, Ancylostoma canum, dan

Ancylostoma malayanum.

Penyakit ini umum terjadi di daerah tropis dan subtropis. Gejala klinis tergantung pada

jumlah cacing yang menyerang usus, diperlukan paling sedikit 500 cacing untuk

menimbulkan gejala klinis dan anemia pada dewasa. Bila jumlah cacing sedikit maka

gejala klinis tidak tampak sehingga disebut infeksi asimtomatik atau infeksi tanpa

gejala klinis. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus menginfeksi kurang

lebih 576-740 juta orang dan menyebabkan anemia pada 10% orang yang terinfeksi.

Pada tahun 2005, WHO memperkirakan 198 juta orang di kawasan Sub Sahara, Afrika

terinfeksi, 149 juta orang terinfeksi di kawasan Asia timur dan Pasifik, 71 juta di

India, 59 juta di Asia selatan, 50 juta di Amerika latin dan Karibia, 39 juta di Cina, dan

10 Juta di Timur Tengah dan Afrika utara. Infeksi berhubungan erat dengan

kemiskinan, sanitasi yang buruk, konstruksi rumah yang buruk, dan kurangnya akses

untuk mendapat pelayanan kesehatan.

GEJALA

Orang dewasa membawa jumlah cacing yang lebih banyak daripada anak-anak

sehingga lebih berisiko terkena penyakit. Wanita muda, terutama wanita hamil, dan

buruh paling rentan terkena anemia. Sekitar 30-54% anemia sedang hingga berat yang

terjadi pada wanita Asia dan Afrika disebabkan infeksi cacing tambang. Anemia berat

pada anak menghambat pertumbuhan dan perkembangan serta mempengaruhi

kecerdasan.

48 | P a g e

Page 49: laporan

Gejala klinis awal berbanding lurus dengan jumlah cacing yang menginfeksi. Gejala

klinis yang dapat terjadi adalah :

• Rasa gatal di kaki (ground itch) atau gatal di kulit tempat masuknya cacing;

• Larva cacing di paru-paru dapat menimbulkan gejala batuk, dahak disertai

darah, kadang-kadang pada infeksi berat dijumpai gejala seperti radang paru-paru,

yaitu disertai demam dan badan lemas;

• Cacing menjadi dewasa pada usus halus sehingga menimbulkan gejala rasa

tidak enak di perut, kembung, sering buang angin, mual, muntah, dan diare. Gejala

pada usus halus ini terjadi 2 minggu setelah cacing masuk melalui kulit;

• Anemia akan terjadi 10-20 minggu setelah infestasi cacing. Gejala anemia

antara lain lemah badan, pusing, atau terasa berdebar-debar, kuku tampak pucat dan

permukaan kuku aga melekuk ke dalam, dan sesak napas.

Komplikasi lain pada penyakit ini adalah radang kulit (dermatitis) yang berat terutama

bila penderita sensitif. Anemia berat dapat mengganggu pertumbuhan, perkembangan

mental, dan gagal jantung.

Diagnosis pasti penyakit ini adalah dengan ditemukannnya telur cacing tambang

dalam tinja pasien. Kadang-kadang didapatkan darah dalam tinja. Selain dalam tinja,

pemeriksaan dahak juga dapat menemukan adanya larva. Peningkatan jenis sel darah

putih eosinofil akan tampak pada bulan pertama infeksi cacing ini.

PENYEBAB

Ancylostoma duodenale dan Necator americanus adalah cacing berbentuk bulat

(roundworms) yang panjangnya berkisar antara 5-13 mm. Cacing betina berukuran

lebih panjang dan lebih besar dari cacing jantan. Cacing jantan mempunyai alat

perkembangbiakan yang menonjol di bagian belakang tubuhnya. Cacing dapat

berwarna abu-abu keputihan atau merah muda dengan kepala agak menekuk ke arah

tubuh. Lekukan inilah yang membentuk seperti kait (hook) maka cacing ini disebut

hookworms. Necator americanus berukuran sedikit lebih kecil daripada Ancylostoma

dan bentuk kait lebih jelas pada Necator americanus.

Cacing betina yang menginfeksi usus mamalia mengeluarkan ribuan telur setiap

harinya dan telur-telur tersebut dikeluarkan melalui tinja. Mamalia yang berperan

sebagai inangnya adalah anjing, kucing, maupun manusia. Telur akan menetas 1-2 hari

pada tanah berpasir lembab lalu menjadi larva (rhabditiform) yang berganti lapisan

kulit dua kali (5-10 hari) sebelum berkembang menjadi larva stadium ketiga

(filariform) yang dapat bertahan hidup di tanah selama 3-4 minggu. Larva stadium

49 | P a g e

Page 50: laporan

ketiga berukuran 500-700 milimeter dan mampu menembus kulit normal dengan

cepat.

Larva biasa menembus kulit telapak kaki ataupun kulit tangan yang kontak dengan

tanah yang mengandung larva. Transmisi larva ke kulit terjadi pada kontak tanah yang

mengandung larva hidup dengan kulit paling sedikit 5 menit. Penetrasi larva pada kulit

menimbulkan rasa gatal.

Larva menembus kulit dengan membuat lubang kecil dan menembus dinding

pembuluh darah sehingga terbawa melalui peredaran darah ke jantung lalu ke paru-

paru. Migrasi larva pada paru-paru lalu naik ke atas hingga pangkal tenggorokan dapat

menyebabkan refleks batuk dan larva tertelan ke saluran cerna. Di saluran cerna larva

tumbuh menjadi cacing dewasa di usus halus walaupun ada beberapa larva yang tetap

dormant (tidak aktif) dan tidak tumbuh menjadi cacing dewasa. Di usus halus inilah

mereka menempel pada selaput lendir usus dan makan dari pembuluh darah kecil yang

terdapat pada selaput lendir usus. Hal ini menyebabkan anemia bila jumlah cacing

banyak. Cacing betina dewasa menghasilkan telur dalam waktu kurang lebih 5 minggu

setelah cacing menembus kulit. Kebanyakan cacing dewasa hidup 1-2 tahun tetapi ada

juga yang dapat hidup beberapa tahun.

Setiap cacing spesies Necator menghisap 0,03 ml darah per hari sementara

Ancylostoma menghisap 0,2 ml darah per hari. Gejala anemia selain tergantung

jumlah cacing juga dipengaruhi asupan zat besi. Pada orang yang kekurangan asupan

zat besi jumlah cacing sebanyak 40 cacing saja dapat menimbulkan anemia.

Infeksi cacing tambang terjadi pada manusia yang sering kontak dengan tanah di mana

penggunaan pupuk kandang atau tinja manusia dibuang di tanah.

PENGOBATAN

Perawatan umum pada pasien dilakukan dengan memberikan nutrisi yang baik, protein

dan vitamin yang cukup serta suplemen zat besi diberikan bila terdapat anemia.

Pengobatan spesifik adalah memberikan obat cacing. Obat cacing terpilih adalah

Albendazol dan Mebendazol yang dapat memberikan kesembuhan 90-95% terutama

pada infeksi cacing tambang pada anak-anak dan mengurangi jumlah telur hingga

90%. Pada infeksi yang disebabkan Ancylostoma, Tetrakloretilen adalah obat terpilih.

Tetrakloretilen tidak boleh diberikan pada pasien alkoholisme, kelainan pencernaan,

dan konstipasi. Befanium hidroksinaftat adalah obat pilihan untuk infeksi

Ancylostoma dan digunakan untuk pengobatan masal pada anak. Obat ini relatif tidak

beracun dan dapat diberikan juga untuk infeksi Necator tetapi dengan waktu

50 | P a g e

Page 51: laporan

pengobatan lebih lama. Pirantel pamoat dan Heksoresorsinol adalah obat cacing

alternatif lainnya yang dapat digunakan.

Dengan perawatan umum dan pengobatan tetap penyakit ini umumnya dapat

disembuhkan. Kematian bisa terjadi pada kasus di mana jumlah cacing sangat banyak

sehingga terjadi anemia berat dengan segala komplikasinya.

2. Eritropoiesis dan kelainannya

Erythropoietin adalah hormon yang merupakan regulator utama produksi sel darah

merah.Erythropoietin dibuat di ginjal dan sintesis meningkat sebagai respon terhadap

kekurangan oksigen atau hipoksia. Erythropoietin kemudian membuat jalan ke

sumsum tulang di mana ia merangsang produksi sel-sel darah merah. Erythropoietin

diproduksi di fibroblast peritubular seperti sel, terutama di korteks ginjal dan medula

luar ginjal.Ini adalah glikoprotein 165-asam amino dengan 4 sisi rantai karbohidrat

dan fungsinya adalah salah satu anti-apoptosis; yaitu, menghambat kematian sel

Program, sebagian besar dari sel-sel progenitor yang disebut CFU-Es, atau unit

pembentuk koloni dari garis sel erythroid.

Erythropoietin memungkinkan sel-sel ini untuk berkembang, berdiferensiasi menjadi

retikulosit yang kemudian dilepaskan ke dalam sirkulasi untuk pengembangan ke

dalam sel darah merah yang matang. Tingkat Erythropoietin meningkat dengan cara

peningkatan jumlah sel yang membuat erythropoietin, seperti ketika ada penurunan

tingkat hemoglobin di bawah sekitar 12,5 g / dL atau ketika tingkat oksigen dalam

aliran darah, PO2, menurun.

Proses perkembangan sel darah merah dari sel progenitor dewasa ke sel darah merah

yang matang membutuhkan waktu antara 1 sampai 3 minggu rata-rata dalam keadaan

normal. Sekali lagi, erythropoietin adalah anti-apoptosis yang memungkinkan sel-sel

progenitor ini untuk dewasa menjadi erythroblasts maka retikulosit, dan akhirnya

mereka kemudian dilepaskan ke dalam sirkulasi. Proses generasi sel darah merah dan

pembuatannya membutuhkan besi.

51 | P a g e

Page 52: laporan

Erythroprotein ini bekerja dengan cara mengikat ke reseptor pada sel-sel progenitor ini

dan hadir sebagai dimer. Ketika erythropoietin mengikat reseptor itu mengarah ke

perubahan konformasi sehingga reseptor yang terfosforilasi dan ada aktivasi reseptor

serta kinase tertentu yang disebut JAK2 kinase. Proses ini kemudian mengarah ke

kaskade intraseluler peristiwa yang menyebabkan enzim aktivasi. Tidak hanya ada

peningkatan regulasi protein anti-apoptosis yang menyebabkan eritropoiesis, tapi ada

berbagai sitokin pelindung jaringan yang sintesis diregulasi juga.

Besi diserap dalam duodenum dari makanan kita atau besi tambahan melalui protein

transpor spesifik yang berada di membran apikal atau membran luminal sel-sel epitel

duodenum.Besi diserap atau diambil dari saluran pencernaan baik dapat disimpan

kemudian di sel atau dilepaskan ke dalam sirkulasi.Ada transporter spesifik pada

membran basolateral dari sel-sel ini disebut ferroportin yang memungkinkan untuk

pengangkutan besi dari sel-sel dalam duodenum ke dalam sirkulasi.Dalam aliran darah

yang beredar, besi diangkut pada transferrin, kemudian dapat dikirim ke sumsum

tulang untuk eritropoiesis atau ke situs penyimpanan seperti hati yang disimpan dalam

52 | P a g e

Page 53: laporan

bentuk feritin.Ferroportin protein ini juga mengangkut besi dari hati dan dari

makrofag, yang telah mengambil sel-sel darah merah tua.Ferroportin sangat penting

untuk mendapatkan besi ke dalam sirkulasi untuk eritropoiesis dan mendapatkan besi

dari bentuk penyimpanan.

Ada peptida lain yang disebut hepcidin, yang sangat penting dan sesuatu yang kita

baru saja belajar tentang selama beberapa tahun terakhir ini. Hepcidin mengikat

ferroportin menyebabkan degradasi.Ini menghalangi atau memblokir penyerapan zat

besi usus dan pelepasan besi dari sel-sel duodenum ke dalam sirkulasi.Hal ini juga

mengganggu pelepasan besi dari sel-sel hati dan makrofag sehingga tidak tersedia

untuk eritropoiesis. Di hadapan peningkatan kadar hepcidin, kita melihat rendah

tingkat sirkulasi besi dan lebih banyak zat besi penyimpanan daripada apa yang akan

dideteksi secara klinis oleh adanya tingkat feritin serum yang tinggi. Ada juga

penurunan produksi sel darah merah dan anemia. Hepcidin meningkat oleh berbagai

sitokin inflamasi, dan itu proses ini mengarah ke anemia penyakit kronis. Hepcidin

diatur oleh berbagai faktor, dan kekurangan zat besi, hipoksia, dan eritropoiesis sendiri

semua meningkatkan produksi hepcidin.

Morfologi RBC:

Eritrosit yang normal bentuknya menyerupai lensa cekung ganda.Meskipun eritrosit

adalah tanpa inti, mereka dapat menjalani berbagai perubahan morfologi yang terkait

dengan berbagai gangguan kesehatan.Variasi abnormal dalam ukuran yang

mempertahankan bentuk cekung ganda dasar dari eritrosit (anisositosis), dan variasi

abnormal dalam bentuk yang mempertahankan volume asli eritrosit

(poikilocytosis).Poikilocytes berbentuk abnormal sel-sel darah merah seperti yang

terlihat pada film darah pada manusia dan banyak spesies liar dan domestik hewan.

Berikut tipe-tipe poikilositosis:

Membran abnormal

1. Acanthocytes or Spur/Spike cells

2. Codocytes or Target cells

3. Echinocytes and Burr cells

4. Elliptocytes and Ovalocytes

5. Spherocytes

6. Stomatocytes or Mouth cells

7. Drepanocytes or Sickle Cells

8. Degmacytes or "bite cells"

53 | P a g e

Page 54: laporan

Trauma

1. Dacrocytes or Teardrop Cells

2. Keratocytes

3. Microspherocytes and Pyropoikilocytes

4. Schistocytes

5. Semilunar bodies

3. Anemia

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya persediaan

besi untk eritropoiesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) sehngga

pembentukan hemoglobin berkurang.

1. Epidemiologi

Anemia ini merupakan anemia yang paling sering dijumpai di negara berkembang.

Martoatmojo et al memperkirakan prevalensi ADB di Indonesia adalah 16-50% pada

laki-laki, 25-84%pada perempuan tidak hamil, dan 46-92% pada perempuan hamil.

Anemia ini merupakan bentuk anemia yang paling prevalens, termasuk anemia

defisiensi nutrisi. Pada anak-anak usia 1-2 tahun terjadi anemia bentuk ini hingga

47%.

Kriteria Anemia menurut WHO:

Kelompok Kriteria Anemia (Hb)

Laki-laki dewasa < 14 g/dl

Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl

Wanita hamil < 11 g/dl

2. Klasifikasi Derajat Defisiensi Besi

• Deplesi besi : cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi untuk

eritropoiesis belum terganggu.

• Eritropoiesis defisiensi besi: cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk

eritopoiesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik.

• Anemia defisiensi besi: cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi.

3. Etiologi

Keseimbangan besi negative dapat disebabkan karena:

• Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:

54 | P a g e

Page 55: laporan

- Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID,

kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang

- Saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau metrorhagia

- Saluran kemih: hematuria

- Saluran napas: hemoptoe

• Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.

• Faktor nutrisi: kurangnya jumlah besi total dalam makanan atau kualitas besi

yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging)

• Peningkatan kebutuhan

• Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa

pertumbuhan, masa menyusui, dan kehamilan

• Besi yang dibutuhkan laki-laki dewasa sekitar 5-10 mg/hari, sedangkan pada

wanita mencapai7-20 mg/hari. Pada wanita hamil, kebutuhan dapat meningkat hingga

30 mg/hari.

4. Patogenesis

Anemia defisiensi besi melalui beberapa fase patologis yaitu:

• Deplesi Besi

Deplesi besi merupakan tahapan awal dari ADB. Berbagai proses patologis yang

menyebabkan kurangnya besi memacu tubuh untuk menyesuaikan diri yaitu dengan

meningkatkan absorbsi besi dari usus. Pada tahapan ini tanda yang ditemui adalah

penurunan ferritin serum dan besi dalam sumsum tulang berkurang.

• Eritropoesis defisiensi besi

Kekurangan besi yang terus berlangsung menyebabkan besi untuk eritropoiesis

berkurang namun namun secara klinis anemia belum terjadi, kondisi ini dinamakan

eritropoiesis defisiensi besi. Tanda-tanda yang ditemui pada fase ini adalah

peningkatan kadar protoporhyrin dalam eritrosit, penurununan saturasi transferin, dan

peningkatan Total iron binding capacity (TIBC).

• Anemia defisiensi besi

Jika jumlah besi terus menurun maka eritropoiesis akan terus terganggu dan kadar

hemoglobin mulai menurun sehingga terjadi anemia hipokromik mikrositik. Kondisi

ini sudah bisa dikategorikan sebagai anemia defisiensi besi

Anemia defisiensi besi memberikan dampak kesehatan yang cukup banyak kepada

seseorang misalnya gangguan sistem neuromuscular, gangguan kognitif, gangguan

imunitas, dan gangguan terhadap janin.

5. Pengaruh Defisiensi Besi Selain Anemia

55 | P a g e

Page 56: laporan

Sistem nuromuskular yang menimbulkan gangguan kapasitas kerja: defisiensi

besi menimbulkan penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom dan gliserofosfat

oksidase, menyebabkan gangguan glikolisis asam laktat menumpuk kelelahan otot

Gangguan terhadap fungsi mental dan kecerdasan: gangguan pada enzim

aldehid oksidase serotonin menumpuk, enzim monoaminooksidase penumpukan

katekolamin dalam otak.

Gangguan imunitas dan ketahanan infeksi

Gangguan terhadap ibu hamil dan janin yang dikandungnya

6. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis anemia defisiensi besi dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu gejala

langsung anemia (anemic syndrome) dan gejala khas defisiensi besi. Gejala yang

termasuk dalam anemic syndrome terjadi ketika kadar hemoglobin turun dibawah 7-8

mg/dL berupa lemah, cepat lelah, mata berkunang-kunang, dan telinga berdenging.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan konjungtiva pasien pucat.Gejala khas yang

muncul akibat defisiensi besi antara lain koilonychia (kuku sendok), atrofi papil lidah,

cheilosis (Stomatitis angularis), disfagia, atrofi mukosa gaster, dan Pica (Keinginan

untuk memakan tanah).

Selain gejala-gejala tersebut jika anemia disebabkan oleh penyakit tertentu maka

gejala penyakit yang mendasarinya juga akan muncul misalnya infeksi cacing tambang

menyebabkan gejala dyspepsia atau kanker kolon menyebabkan hematoskezia

7. Gejala Umum

Gejala berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga

mendenging. Pada anemia ini, penurunan kadar Hb terjadi secara perlahan-lahan.

Anemia bersifat simtomatik jika kadar Hb turun di bawah 7 g/dL. Pada pemeriksaan

fisik, pasien dijumpai pucat, terutama pada konjungtiva dan daerah bawah kuku

8. Gejala Khas

• Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis

vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok

• Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil

lidah menghilang

• Stomatitis angularis: radang pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak

berwarna pucat keputihan

• Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring

• Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia

56 | P a g e

Page 57: laporan

Pica: keinginan memakan makanan yang tidak lazim, ex: tanah liat, es, lem, dll

9. Gejala Penyakit Dasar

Pada anemia penyakit cacing tambang, dijumpai dyspepsia, parotis membengkak, dan

kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan

kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang air besar atau

gejala lain tergantung lokasi kanker tersebut.

10. Diagnosis

• Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda vital untuk melihat kondisi umum yang

mungkin menjadi penyebab utama yang mempengaruhi kondisi pasien atau efek

anemia terhadap kondisi umum pasien.Pemeriksaan fisik ditujukan untuk menemukan

berbagai kondisi klinis manifestasi kekurangan besi dan sindroma anemic.

• Pemeriksaan laboratorium

57 | P a g e

Page 58: laporan

Jenis Pemeriksaan Nilai

Hemoglobin Kadar Hb biasanya menurun disbanding nilai normal

berdasarkan jenis kelamin pasien

MCV Menurun (anemia mikrositik)

MCH Menurun (anemia hipokrom)

Morfologi Terkadang dapat ditemukan ring cell atau pencil cell

Ferritin Ferritin mengikat Fe bebas dan berkamulasi dalam sistem RE

sehingga kadar Ferritin secara tidak langsung menggambarkan

konsentrasi kadar Fe. Standar kadar normal ferritin pada tiap

center kesehatan berbeda-beda. Kadar ferritin serum normal

tidak menyingkirkan kemungkinan defisiensi besi namun

kadar ferritin >100 mg/L memastikan tidak adanya anemia

defisiensi besi

TIBC Total Iron Binding Capacity biasanya akan meningkat >350

mg/L (normal: 300-360 mg/L )

Saturasi transferin Saturasi transferin bisanya menurun <18% (normal: 25-50%)

Pulasan sel Dapat ditemukan hyperplasia normoblastik ringan sampai

sumsum tulang sedang dengan normoblas kecil. Pulasan besi dapat

menunjukkan butir hemosiderin (cadangan besi) negatif. Sel-

sel sideroblas yang merupakan sel blas dengan granula ferritin

biasanya negatif. Kadar sideroblas ini adalah Gold standar

untuk menentukan anemia defisiensi besi, namun pemeriksaan

kadar ferritin lebih sering digunakan.

Diagnosis anemia defisiensi besi meliputi bukti-bukti anemia, bukti defisiensi besi,

dan menentukan penyebabnya.Menentukan adanya anemia dapat dilakukan secara

sederhana dengan pemeriksaan hemoglobin. Untuk pemeriksaan yang lebih seksama

bukti anemia dan bukti defisiensi besi dapat dilakukan kriteria modifikasi Kerlin yaitu:

58 | P a g e

Page 59: laporan

Anemia hipokrom mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV <80 fl dan

MCHC<31% dengan salah satu dari berikut ;

a. Dua dari tiga parameter di bawah ini:

• Besi serum <50 mg/dl

• TIBC >350 mg/dl

• Saturasi transferin <15%

b. Feritin serum <20 mg/l

c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia ( Perl’s stain ) menunjukan

cadangan besi (butir0butir hemosiderin ) negative

d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang

setara) selam 4 minggu disertai keniakn kadar hemoglobin lebih dari 2 g/d

11. Diagnosis Banding

Diagnosis diferensial utama dari anemia defisiensi besi yang mikrostik hipokromik

adalah thallasaemia, penyakit inflamasi kronik, dan sindroma mielodisplastik.

Perbedaan darikondisi-kondisi tersebut antara lain:

Parameter Anemia Thallasaemia Inflamasi kronik Sindroma

defisiensi besi mielodisplastik

Klinis Sindroma Sindroma Sindroma anemia Sindroma anemia

anemia, tanda- anemia, jelas/tidak, gejala

tanda defisiensi hepatomegali, sistemik lain

besi overload besi

Blood Micro/hypo Normal, Micro/hypo, target Micro/hypo

Smear micro/hypo cell

TIBC Meningkat Menurun Normal -

Ferritin Menurun Normal Normal Normal/meningkat

Transferin Menurun Normal Normal/Meningkat -

4. Pemeriksaandarah

a. Metode Pemeriksaan Kadar Hemoglobin (Hb)

59 | P a g e

Page 60: laporan

Diantara metode yang paling sering digunakan di laboratorium dan yang paling

sederhana adalah metode sahli, dan yang lebih canggih adalah metode

cyanmethemoglobin. (Bachyar, 2002).

Pada metode Sahli, hemoglobin dihidrolisi dengan HCl menjadi globin ferroheme.

Ferroheme oleh oksigen yang ada di udara dioksidasi menjadi ferriheme yang akan

segera bereaksi dengan ion Cl membentuk ferrihemechlorid yang juga disebut

hematin atau hemin yang berwarna cokelat. Warna yang terbentuk ini dibandingkan

dengan warna standar (hanya dengan mata telanjang). Untuk memudahkan

perbandingan, warna standar dibuat konstan, yang diubah adalah warna hemin yang

terbentuk. Perubahan warna hemin dibuat dengan cara pengenceran sedemikian

rupa sehingga warnanya sama dengan warna standar. Karena yang membandingkan

adalah dengan mata telanjang, maka subjektivitas sangatberpengaruh. Di samping

faktor mata, faktor lain, misalnya ketajaman, penyinaran dan sebagainya dapat

mempengaruhi hasil pembacaan. Meskipun demikian untuk pemeriksaan di daerah

yang belum mempunyai peralatan canggih atau pemeriksaan di lapangan, metode

sahli ini masih memadai dan bila pemeriksaannya telat terlatih hasilnya dapat

diandalkan.

1. Prosedur pemeriksaan dengan metode sahli

Reagensia : 1. HCl 0,1 N

2. Aquadest

Alat/sarana :

1. Pipet hemoglobin

2. Alat sahli

3. Pipet pastur

4. Pengaduk

Prosedur kerja :

1. Masukkan HCl 0,1 N ke dalam tabung Sahli sampai angka 2

2. Bersihkan ujung jari yang akan diambil darahnya dengan larutan desinfektan

(alcohol 70%, betadin dan sebagainya), kemudian tusuk dengan lancet atau alat

lain

60 | P a g e

Page 61: laporan

3. Isap dengan pipet hemoglobin sampai melewati batas, bersihkan ujung pipet,

kemudian teteskan darah sampai ke tanda batas dengan cara menggeserkan

ujung pipet ke kertas saring/kertas tisu.

4. Masukkan pipet yang berisi darah ke dalam tabung hemoglobin, sampai ujung

pipet menempel pada dasar tabung, kemudian tiup pelan-pelan. Usahakan agar

tidak timbul gelembung udara. Bilas sisa darah yang menempel pada dinding

pipet dengan cara menghisap HCl dan meniupnya lagi sebanyak 3-4 kali.

5. Campur sampai rata dan diamkan selama kurang lebih 10 menit.

6. Masukkan ke dalam alat pembanding, encerkan dengan aquadest tetes demi

tetes sampai warna larutan (setelah diaduk sampai homogen sama dengan

warna gelas dari alat pembanding. Bila sudah sama, baca kadar hemoglobin

pada skala tabung.

2. Hematokrit

Hematokrit adalah persentase volume seluruh SDM yang ada dalam darah

yang diambil dalam volume tertentu. Untuk tujuan ini, darah diambil dengan

semprit dalam suatu volume yang telah ditetapkan dan dipindahkan kedalam suatu

tabung khusus berskala hematokrit. Untuk pengukuran hematokrit ini darah tidak

boleh dibiarkan menggumpal sehingga harus diberi anti koagulan. Setelah tabung

tersebut dipusingkan / sentripus dengan kecepatan dan waktu tertentu, maka SDM

akan mengendap. Dari skala Hematokrit yang tertulis di dinding tabung dapat

dibaca berapa besar bagian volume darah seluruhnya. Nilai hematokrit yang

disepakati normal pada laki – laki dewasa sehat ialah 45% sedangkan untuk wanita

dewasa adalah 41%.

Pada umumnya, penetapan salah satu dari tiga nilai ini sudah memberikan

gambaran umum, apakah konsentrasi SDM seseorang cukup atau tidak. Akan tetapi,

bila terjadi anemia kerap kali juga diperlukan informasi lebih lanjut, bagaimana

konsentrasi rata-rata hemoglobin / SDM. Volume SDM diperoleh dari membagi

hematokrit ( mL/L darah ) dibagi dengan jumlah SDM ( juta/ml darah ). Satuan

yang digunakan adalah fL dan nilainya berkisar antara 80 – 94 fL,rata-rata 87 fL

konsentrasi Hb/SDM diperoleh dengan membagi konsentrasi hemoglobin / SDM.

Hasilnya dinyatakan dengan satuan pg ( pikogram, 1pg = 10-12g ), pada orang

dewasa sehat nilai ini berkisar antara 27 – 32 pg dengan rata-rata sebesar 29,5 pg.

61 | P a g e

Page 62: laporan

Nilai hematokrit adalah volume semua eritrosit dalam 100 ml darah dan disebut

dengan % dari volume darah itu. Biasanya nilai itu ditentukan dengan darah vena /

kapiler.

Prinsip

Darah dengan antikogulan isotonic dalam tabung dipusing selama 30 menit

dengan kecepatan 3000 rpm sehingga eritrosit dipadatkan kecepatan 3000 rpm

sehingga eritrosit dipadatkan membuat kolom dibagian bawah dan tabung

tingginya kolom mencerminkan nilai hematokrit. Intinya Darah dicentrifuge

supaya eritrosit mengendap.

Alat dan Bahan Pemeriksaan

Tabung wintrobe, Tabung mikrokapiler, Sentifuge, Darah

Cara Kerja:

1. Makrometode menurut Wintrobe

a. Isilah tabung wintrobe dengan darah oxalat, heparin atau EDTA sampai

garis tanda 100 diatas.

b. Masukkan tabung itu kedalam sentrifuge yang cukup besar, pusingkan

selama 30 menit pada kecepatan 300 rpm.

c. Bacalah hasil penetapan itu dengan memperhatikan :

Warna plasma diatas : warna kuning, itu dapat dibandingkan dengan

larutan kaliumbichkromat dan intensitasnya disebut dengan satuan.

Satuan – satuan sesuai dengan warna kaliumbichkromat 1 : 10.000

Tebalnya lapisan putih diatas sel – sel merah yang tersusun dari

lekosit dan trombosit.

2. Mikrometode

a. Isilah tabung mikrokapiler yang khusus dibuat untuk penetapan mikrohematokrit dengan darah (3/4 tabung).b. Tutuplah ujung satu dengan nyala api atau dengan bahan penutup khusus.c. Masukkan tabung kapiler itu kedalam centrifuge khusus yang mencapai kecepatan besar, yaitu 11.000-15.000 rpm (centrifuge mikrohematokrit).d. Pusingkan selama 5 menit.e. Bacalah nilai hematokrit dengan menggunakan grafik atau alat khusus.Nilai Normal : Laki – laki : 40 – 48 vol %Wanita : 37 – 43 vol %

62 | P a g e

Page 63: laporan

3. RBC (Eritrosit)

Langkah-langkah untuk menghitung jumlah Eritrosit :

a. Isap darah kapiler dengan pipet eritrosit sampai tanda 0.5, hapuslah kelebihan

darah yang melekat diujung luar pipet.

b. Isap ke dalam pipet (1) cairan Hayem (Gower) sampai tanda 101, sambil memutar-

mutar pipetnya, lepaskan karetnya.

c. Kocok pipet 10-15 detik dalam posisi horizontal sambil diputar-putar.

d. Kocok lagi selama 3 menit, buanglah 4 tetesan yang pertama lalu diisikan ke

dalamkamar hitung yang bersih, biarkan 2-3 menit.

e. Hitung di bawah mikroskop dengan:

Kamar hitumg Improved Neubauer:Eritrosit : dengan HPF dalam 80 kotak kecil atau dalam 5x16 kotak kecil dan hasilnya dikalikan dengan 10.000 (4 angka 0).

4. WBC (Leukosit)

Untuk menghitung leukosit, darah diencerkan dalam pipa leukosit lalu

dimasukkan ke dalam kamar hitung. Pengencer yang digunakan adalah larutan Turk.

Langkah-langkah pemeriksaan yang diterapkan adalah:

a. Hisap darah kapiler, darah EDTA atau darah oksalat sampai tanda 0,5.

b. Hapus kelebihan darah di ujung pipet

c. Masukkan ujung pipet ke dalam larutan Turk dengan sudut 45o, tahan agar tetap di

tanda 0,5. Isap larutan Turk hingga mencapai tanda 11. Jangan sampai ada

gelembung udara

d. Tutup ujung pipet dengan ujung jari lalu lepaskan karet penghisap

e. Kocok selama 15-30 detik

f. Letakkan kamar hitung dengan penutup terpasang secara horisontal di atas meja

g. Kocok pipet selama 3 menit, jaga agar cairan tak terbuang dari pipet

h. Buang semua cairan di batang kapiler (3-4 tetes) dan cepat sentuhkan ujung pipet

ke kamar hitung dengan menyinggung pinggir kaca penutup dengan sudut 30o.

Biarkan kamar hitung terisi cairan dengan daya kapilaritas

i. Biarkan 2-3 menit supaya lekosit mengendap

j. Gunakan lensa obyektif mikroskop dengan pembesaran 10 kali, fokus dirahkan ke

garisgaris bagi.

63 | P a g e

Page 64: laporan

k. Hitunglah leukosit di empat bidang besar dari kiri atas ke kanan, ke bawah lalu ke

kiri, ke bawah lalu ke kiri dan seterusnya. Untuk sel-sel pada garis, yang dihitung

adalah pada garis kiri dan atas.

l. Jumlah lekosit per µL darah adalah : jumlah sel X 50

5. Trombosit

Langkah-langkah untuk menghitung jumlah Trombosit:

a. Isap cairan Rees-Ecker ke dalam pipet eritrosit sampai tanda 1 dan buanglah lagi

cairan itu.

b. Isap darah kapiler dengan pipet eritrosit sampai garis tanda 0.5 dan cairan Rees-

Ecker sampai tanda 101, segera kocok selama 3 menit.

c. Buanglah 4 tetesan yang pertama lalu diisikan ke dalam kamar hitung yang bersih,

biarkan 2-3 menit.

d. Biarkan kamar hitung yang sudah diisi dengan sikap datar dalam cawan petri yang

tertutup selama 10 menit agar trombosit mengendap.

e. Hitunglah semua trombosit dalam seluruh bidang besar ditengah-tengah dengan

memakai lensa objektif besar.

f. Jumlah itu dikalikan 2000 menghasilkan jumlah trombosit per µL darah.

6. Diff. Count

Untuk menghitung differensial count (basofil, eosinofil, neutrofil batang,

neutrofil segmen, limfosit, dan monosit) dibutuhkan sediaan yang telah diwarnai.

Kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Pewarnaan atau pengecatan yang biasa

dilakukan:

1. Pengecatan menurut Giemsa

a. Fiksasi dengan metal alcohol 3-5 menit.

b. Bilas dengan aquades

c. Encerkan Giemsa stain 1 cc menjadi 10 cc dengan aquades.

d. Cat dengan (3) selama 30 menit.

e. Cat dibuang, dibilas dengan aquades lalu dengan air mengalir.

2. Pengecatan menurut Wright

a. Ratakan 10 tetes Wright stain di atas sediaan, biakan 2-3 menit. Kalau akan

mongering tetes lagi cat.

64 | P a g e

Page 65: laporan

b. Tambahkan tetesan sol buffer yang sama jumlahnya dengan tetesan Wright yang

dipakai sampai rata bercampur dengan (1), biarkan 5-20 menit. Warna hijau

mengkilat menunjukkan pengecatan telah cukup.

c. Siram dengan aquades 30 detik lalu siram dengan air mengalir.

d. Keringkan miring di udara pada kertas saring

7. Indeks Eritrosit

Indeks eritrosit adalah batasan untuk ukuran dan isi hemoglobin eritrosit.

Istilah lain untuk indeks eritrosit adalah indeks kospouskuler. Indeks eritrosit terdiri

atas : isi/volume atau ukuran eritrosit (MCV : mean corpuscular volume atau

volume eritrosit rata-rata), berat (MCH : mean corpuscular hemoglobin atau

hemoglobin eritrosit rata-rata), dan konsentrasi (MCHC : mean corpuscular

hemoglobin concentration atau kadar hemoglobin eritrosit rata-rata). Indeks eritrosit

dipergunakan secara luas dalam mengklasifikasi anemia atau sebagai penunjang

dalam membedakan berbagai macam anemia.

Indeks eritrosit dapat ditetapkan dengan dua metode, yaitu manual dan

elektronik (automatik) menggunakan hematology analyzer. Untuk dapat

menghitung indeks eritrosit secara manual diperlukan data kadar hemoglobin,

hematokrit/PCV dan hitung eritrosit.

a. Volume eritrosit rata-rata (VER) atau   mean corpuscular volume   (MCV)

MCV mengindikasikan ukuran eritrosit : mikrositik (ukuran kecil), normositik

(ukuran normal), dan makrositik (ukuran besar). Nilai MCV diperoleh dengan

mengalikan hematokrit 10 kali lalu membaginya dengan hitung eritrosit.

MCV = (hematokrit x 10) : hitung eritrosit

Nilai rujukan :

Dewasa : 80 - 100 fL (baca femtoliter)

Bayi baru lahir : 98 - 122 fL

Anak usia 1-3 tahun : 73 - 101 fL

Anak usia 4-5 tahun : 72 - 88 fL

Anak usia 6-10 tahun : 69 - 93 fL

Masalah klinis :

65 | P a g e

Page 66: laporan

Penurunan nilai : anemia mikrositik, anemia defisiensi besi (ADB),

malignansi, artritis reumatoid, hemoglobinopati (talasemia, anemia sel

sabit, hemoglobin C), keracunan timbal, radiasi.

Peningkatan nilai : anemia makrositik, aplastik, hemolitik, pernisiosa;

penyakit hati kronis; hipotiroidisme (miksedema); pengaruh obat

(defisiensi vit B12, antikonvulsan, antimetabolik)

b. Hemoglobin eritrosit rata-rata (HER) atau   mean corpuscular

hemoglobin   (MCH)

MCH mengindikasikan bobot hemoglobin di dalam eritrosit tanpa

memperhatikan ukurannya. MCH diperoleh dengan mengalikan kadar Hb 10

kali, lalu membaginya dengan hitung eritrosit.

MCH = (hemoglobinx10) : hitung eritrosit

Nilai rujukan :

Dewasa : 26 - 34 pg (baca pikogram)

Bayi baru lahir : 33 - 41 pg

Anak usia 1-5 tahun : 23 - 31 pg

Anak usia 6-10 tahun : 22 - 34 pg

MCH dijumpai meningkat pada anemia makrositik-normokromik atau

sferositosis, dan menurun pada anemia mikrositik-normokromik atau anemia

mikrositik-hipokromik.

c. Kadar hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER) atau   mean corpuscular

hemoglobin concentration   (MCHC)

MCHC mengindikasikan konsentrasi hemoglobin per unit volume eritrosit.

Penurunan nilai MCHC dijumpai pada anemia hipokromik, defisiensi zat besi

serta talasemia. Nilai MCHC dihitung dari nilai MCH dan MCV atau dari

hemoglobin dan hematokrit.

MCHC = ( MCH : MCV ) x 100 % atau MCHC = ( Hb : Hmt ) x 100 %

Nilai rujukan :

Dewasa : 32 - 36 %

Bayi baru lahir : 31 - 35 %

Anak usia 1.5 - 3 tahun : 26 - 34 %

66 | P a g e

Page 67: laporan

Anak usia 5 - 10 tahun : 32 - 36 %

8. LED

Metode yang digunakan untuk pemeriksaan LED ada dua, yaitu metode Wintrobe

dan Westergreen. LED berlangsung 3 tahap, tahap ke-1 penyusunan letak eritrosit

(rouleaux formation) dimana kecepatan sedimentasi sangat sedikit, tahap ke-2 kecepatan

sedimentasi agak cepat, dan tahap ke-3 kecepatan sedimentasi sangat rendah.

Prosedur pemeriksaan LED :

a. Metode Westergreen

1. Untuk melakukan pemeriksaan LED cara Westergreen diperlukan sampel

darah citrat 4 : 1 (4 bagian darah vena + 1 bagian natrium sitrat 3,2 % ) atau

darah EDTA yang diencerkan dengan NaCl 0.85 % 4 : 1 (4 bagian darah

EDTA + 1 bagian NaCl 0.85%). Homogenisasi sampel sebelum diperiksa.

2. Sampel darah yang telah diencerkan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam

tabung Westergreen sampai tanda/skala 0.

3. Tabung diletakkan pada rak dengan posisi tegak lurus, jauhkan dari getaran

maupun sinar matahari langsung.

4. Biarkan tepat 1 jam dan catatlah berapa mm penurunan eritrosit.

b. Metode Wintrobe

1. Sampel yang digunakan berupa darah EDTA atau darah Amonium-kalium

oksalat. Homogenisasi sampel sebelum diperiksa.

2. Sampel dimasukkan ke dalam tabung Wintrobe menggunakan pipet Pasteur

sampai tanda 0.

3. Letakkan tabung dengan posisi tegak lurus.

4. Biarkan tepat 1 jam dan catatlah berapa mm menurunnya eritrosit.

Nilai Rujukan :

a. Metode Westergreen :

1. Pria : 0 - 15 mm/jam

2. Wanita : 0 - 20 mm/jam

b. Metode Wintrobe :

1. Pria : 0 - 10 mm/jam

2. Wanita : 0 - 15 mm/jam

5. Pemeriksaan gambaran apusan darah tepi

67 | P a g e

Page 68: laporan

Sediaan Apus Darah Tepi

Sediaan apus darah tepi adalah suatu cara yang sampai saat ini masih digunakan pada

pemeriksaan di laboratorium. Prinsip pemeriksaan sediaan apus ini adalah dengan

meneteskan darah lalu dipaparkan di atas objek glass, kemudian dilakukan pengecatan

dan diperiksa dibawah mikroskop. Guna pemeriksaan apusan darah:

1. Evaluasi morfologi dari sel darah tepi (eritrosit, trombosit, dan leukosit)

2. Memperkirakan jumlah leukosit dan trombosit

3. Identifikasi parasit (misal : malaria. Microfilaria, dan Trypanosoma).

Sediaan apus darah tepi dapat diwarnai dengan berbagai macam

metode termasuk larutan-larutan yang sederhana antara lain: pewarnaan Giemsa,

pewarnaan acid fast, pewarnaan garam, pewarnaan wright, dan lain-lain. Pewarnaan

Giemsa disebut juga pewarnaan Romanowski. Metode pewarnaan ini banyak

digunakan untuk mempelajari morfologi sel-sel darah, sel-sel lien, sel-sel sumsum dan

juga untuk mengidentifikasi parasit-parasit darah misal Tripanosoma, Plasmodia dan

lain-lain dari golongan protozoa.(Maskoeri, 2008)

Pewarnaan Giemsa (Giemsa Stain) adalah teknik pewarnaan untuk pemeriksaan

mikroskopis yang namanya diambil dari seorang peneliti malaria yaitu Gustav

Giemsa. Pewarnaan ini digunakan untuk pemeriksaan sitogenetik dan untuk diagnosis

histopatologis parasit malaria dan juga parasit jenis lainnya. (Jason and Frances, 2010)

Dasar dari pewarnaan Giemsa adalah presipitasi hitam yang terbentuk dari

penambahan larutan metilen biru dan eosin yang dilarutkan di dalam metanol. Yaitu

dua zat warna yang berbeda yaitu Azur B ( Trimetiltionin ) yang bersifat basa dan

eosin y ( tetrabromoflurescin ) yang bersifat asam seperti kromatin, DNA dan RNA.

Sedangkan eosin y akan mewarnai komponen sel yang bersifat basa seperti granula,

eosinofili dan hemoglobin. Ikatan eosin y pada azur B yang beragregasi dapat

menimbulkan warna ungu, dan keadaan ini dikenal sebagai efek Romanowsky giemsa.

Efek ini terjadi sangat nyata pada DNA tetapi tidak terjadi pada RNA sehingga akan

menimbulkan kontras antara inti yang berwarna dengan sitoplasma yang berwarna

biru. (Arjatmo Tjokronegoro, 1996) Pewarnaan giemsa adalah teknik pewarnaan yang

paling bagus dan sering

digunakan untuk mengidentifikasi parasit yang ada di dalam darah (blood-borne

parasite). (Ronald dan Richard , 2004)

68 | P a g e

Page 69: laporan

Bahan pemeriksaan yang terbaik adalah darah segar yang berasal dari kapiler atau

vena, yang dihapuskan pada kaca obyek. Pada keadaan tertentu dapat pula digunakan

EDTA (Arjatmo Tjokronegoro, 1996)

Jenis apusan darah :

1. Sediaan darah tipis

Ciri-ciri apusan sediaan darah tipis yaitu lebih sedikit membutuhkan darah untuk

pemeriksaan dibandingkan dengan sediaan apus darah tebal morfologinya lebih jelas.

bentuk parasit plasmodium berada dalam eritrosit sehingga didapatkan bentuk parasit

yang utuh dan morfologinya sempurna. Serta lebih mudah untuk menentukan spesies

dan stadium parasit dan perubahan pada eritrosit yang dihinggapi parasit dapat dilihat

jelas.

2. Sediaan darah tebal

Ciri-ciri apusan sediaan darah tebal yaitu membutuhkan darah lebih banyak untuk

pemeriksaan dibanding dengan apusan darah tipis, sehingga jumlah parasit yang

ditemukan lebih banyak dalam satu lapang pandang, sehingga pada infeksi ringan

lebih mudah ditemukan. Sediaan ini mempunyai bentuk parasit yang kurang utuh dan

kurang begitu lengkap morfologinya. (Sandjaja, 2007)

Giemsa

pewarna Giemsa 10% sebagai pewarna yang umum digunakan agar sediaan terlihat

lebih jelas. Pewarnaan ini sering disebut juga pewarnaan Romanowski. Metode

pewarnaan ini banyak dipakai untuk mempelajari morfologi darah, sel-sel sumsum dan

juga untuk identifikasi parasit-parasit darah misalnya dari jenis protozoa. Zat ini

tersedia dalam bentuk serbuk atau larutan yang disimpan di dalam botol yang gelap.

(Kurniawan, 2010). Zat warna yang digunakan dalam metode Romanovsky adalah

Giemsa yang sebelumnya telah diencerkan dengan aquades. Semakin lama pewarnaan

yang dilakukan maka intensitasnya menjadi semakin tua. Preparat apus yang telah

selesai dibuat kemudian diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 100x. Gambar

yang didapat dalam hasil menunjukan sel-sel butir darah baik eritrosit, leukosit,

trombosit, atau jenis parasityang lain (Maskoeri, 2008).

Sediaan apus darah secara rutin diwarnai dengan campuran zat warna khusus.

Pewarnaan ini disebabkan karena oksidasi methylen blue dan pembentukan senyawa

baru dalam campuran yang dinamakan azure. Setelah pemberiaan campuran jenis

69 | P a g e

Page 70: laporan

Romanosky, diferensiasi sel-sel dapat dilakukan Berdasarkan 4 sifat pewarnaan yang

menyatakan afinitas struktur sel oleh masing-masing zat warna dari campuran, yaitu:

1. Afinitas untuk methylen blue

2. Afinitas untuk azure dikenal sebagai azurefilik ( ungu).

3. Afinitas untuk eosin (suatu zat warna asam ) dikenal sebagai asidofilik atau

eosinofilia.(merah muda kekuningan ).

4. Afinitas untuk komplek zat warna yang terdapat dalam campuran, secara tidak

tepat dianggap netral, dikenal sebagai neutrofilia (salmon-pink smplilac). ( Safar, 2009

).

Giemsa adalah zat warna yang terdiri dari eosin dan metilen azur memberi warna

merah muda pada sitoplasma dan metilen biru memberi warna pada inti leukosit .

Ketiga jenis pewarna ini dilarutkan dengan metil alcohol dan gliserin. Larutan ini

dikemas dalam botol coklat ( 100–500– 1000 cc ) dan dikenal sebagai giemsa stock

dengan pH 7 . ( Depkes RI, 1993 )

Pedoman pemakaian Giemsa

1. Giemsa stock baru boleh diencerkan dengan aquadest, air buffer atau air sesaat

akan digunakan agar diperoleh efek pewarnaan yang optimal.

2. Encerkan gimesa sebanyak yang dibutuhkan, sebab bila berlebihan terpaksa

harus dibuwang.

3. Untuk mengambil stock giemsa dari botolnya, gunakan pipet khusus agar stock

giemsa tidak tercemari.

4. Methanol dapat menarik air dari udara, sebab itu stock giemsa harus ditutup

rapat dan tidak bboleh sering dibuka .

5. Tolak ukur sebagai dasar perhitungan :

a. 1cc = 20 tetes

b. Seluruh permukaan kaca sediaan dapat ditutupi cairan sebanyak 1 cc

c. Berdasarkan tolak ukur ini dapat dihitung banyaknya giemsa encer yang harus

digunakan sesuai dengan kebutuhan terutama bila melakukan pewarnaan.

6. Takaran pewarnaan, Untuk melakukan pewarnaan individu pada stock giemsa

1 tetes dapat ditambah dengan pengencer sepuluh tetes lama pewarnaan 15–20 menit

( giemsa 10 % ) atau stock giemsa 1 tetes ditambah pengencer 1 cc ( 20 tetes ) dengan

lama pewarnaan 45–60 menit ( giemsa 20 % ).

70 | P a g e

Page 71: laporan

7. Gunakan air pengencer yang mempunyai pH 6.8–7.2 ( paling ideal dengan pH

7.2). ( Depkes RI, 1993 ).

Pewarnaan Sediaan Darah

Sediaan darah tebal biasanya di hemolisis terlebih dulu sebelum pewarnaan, sehingga

parasit tidak lagi tampak dalam eritrosit. Kelebihan dari sediaan ini yaitu dapat

menemukan parasit lebih cepat karena volume darah yang digunakan lebih banyak.

Jumlah parasit lebih banyak dalam

satu lapang pandang, sehingga pada infeksi ringan lebih mudah ditemukan. Sedangkan

kelemahan dari sediaan darah tebal bentuk parasit yang kurang lengkap morfologinya.

(Safar, 2009)

Ciri-ciri sediaan yang baik :

Sediaan yang dibuat harus bersih yaitu sediaan tanpa endapan zat pewarnaan. Sediaan

juga tidak terlalu tebal, ukuran ketebalan dapat dinilai dengan meletakkan sediaan

darah tebal di atas arloji.

Bila jarum arloji masih dapat dilihat samar-samar menunjukkan ketebalan yang tepat.

Selain menggunakan arloji dapat juga dengan cara meletakkan sediaan darah tebal di

atas koran, kalau tulisan di bawah koran sediaan masih terbaca, berarti tetesan tadi

cukup baik. (Sandjaja, 2007)

6. Pemeriksaan feses

a. Pemeriksaan Kualitatif

• Metode Natif

Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat,

tetapi untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini

menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaa eosin 2%

dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran

disekitarnya.

Maksud : Menemukan telur cacing parasit pada feces yang diperiksa.

Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing parasit pada seseorang yang diperiksa

fecesnya.

Dasar teori : eosin memberikan latar belakang merah terhadap telur yang berwarna

kekuning-kuningan dan untuk lebih jelas memisahkan feces dengan kotoran yang ada.

Kekurangan : dilakukan hanya untuk infeksi berat, infeksi ringan sulit terditeksi.

71 | P a g e

Page 72: laporan

Kelebihan : mudah dan cepat dalam pemeriksaan telur cacing semua spesies, biaya

yang di perlukan sedikit, peralatan yang di gunakan sedikit

• Metode Apung (Floation method)

Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan gula jenuh

yang didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur sehingga telur akan mengapung dan

mudah diamati. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses yang mengandung

sedikit telur.Cara kerjanya didasarkan atas berat jenis larutan yang digunakan,

sehingga telur-telur terapung dipermukaan dan juga untuk memisahkan partikel-

partikel yang besar yang terdapat dalam tinja.Pemeriksaan ini hanya berhasil untuk

telur-telur Nematoda, Schistostoma, Dibothriosephalus, telur yang berpori-pori dari

famili Taenidae, telur-telur Achantocephala ataupun telur Ascaris yang infertil.

Maksud : Mengetahui adanya telur cacing parasit usus untuk infeksi ringan.

Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing parasit usus pada seseorang yang diperiksa

fecesnya.

Dasar teori : Berat jenis NaCl jenuh lebih berat dari berat jenis telur.

Kekurangan : penggunaan feses banyak dan memerlukan waktu yang lama, perlu

ketelitian tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagi

Kelebihan : dapat di gunakan untuk infeksi ringan dan berat, telur dapat terlihat jelas.

• Metode Harada Mori

Metode ini digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi larva cacing

Ancylostoma Duodenale, Necator Americanus, Srongyloides Stercolaris dan

Trichostronngilus yang didapatkan dari feses yang diperiksa. Teknin ini

memungkinkan telur cacing dapat berkembang menjadi larva infektif pada kertas

saring basah selama kurang lebih 7 hari, kemudian larva ini akan ditemukan didalam

air yang terdapat pada ujung kantong plastik

Maksud : Mengidentifikasi larva cacing Ancylostoma Duodenale, Necator

Americanus, Srongyloides Stercolaris dan Trichostronngilus spatau mencari larva

cacing-cacing parasit usus yang menetas diluar tubuh hospe

Tujuan : Mengetahuia adanya infeksi cacing tamban

Dasar teori : Hanya cacing-cacing yang menetas di luar tubuh hospes akan menetas 7

hari menjadi larva dengan kelembaban yang cukup

Kekurangan : Dilakukan hanya untuk identifikasi infeksi cacing tambang, waktu yang

dibutuhkan lama dan memerlukan peralatan yang banyak.

Kelebihan : lebih mudah dilakukan karena hanya umtuk mengidentifikasi larva infektif

mengingat bentuik larva jauh lebih besar di bandingkan dengan telur.

72 | P a g e

Page 73: laporan

b. Pemeriksaan Kuantitatif

• Metode Kato Katz

Teknik sediaan tebal (cellaphane covered thick smear tecnique) atau disebut teknik

Kato.Pengganti kaca tutup seperti teknik digunakan sepotong “cellahane tape”.Teknik

ini lebih banyak telur cacing dapat diperiksa sebab digunakan lebih banyak

tinja.Teknik ini dianjurkan untuk Pemeriksaan secara massal karena lebih sederhana

dan murah.Morfologi telur cacing cukup jelas untuk membuat diagnosa.

Maksud : Menemukan adanya telur cacing parasit dan menghitung jumlah telur

Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing parasit dan untuk mengetahui berat

ringannya infeksi cacing parasit usus

Dasar teori : Dengan penambahan melachite green untuk memberi latar belakang

hijau. Anak-anak mengeluarkan tinja kurang lebih 100 gram/hari, dewasa

mengeluarkan tinja kurang lebih 150 gram/hari. Jadi, misalnya dalam 1 gram feces

mengandung 100 telur maka 150 gram tinja mengandung 150.000 telur.

Kekurangan : Bahan feses yang di gunakan banyak.

Kelebihan : Dapat mengidentifikasi tingkat cacing pada penderita berdasar jumlah

telur dan cacing, baik di kerjakan di lapangan, dapat digunakan untuk pemeriksaan

tinja masal karena murah dan sederhana, cukup jelas untuk melihat morfologi

sehingga dapat di diagnosis.

7. Gizi

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara

normal melalui proses pencernaan, absobsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme

dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan,

pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi.

(Supariasa, dkk, 2002)

Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah

asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement) oleh tubuh untuk

berbagai fungsi biologis: (pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan

kesehatan, dan lainnya). (Suyatno, 2009). Status gizi adalah ekspresi dari keadaan

keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutrisi dalam

bentuk variabel tertentu (Supariasa, dkk, 2001).

Pada gilirannya, zat gizi tersebut menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses

dalam tubuh dan membuat lancarnya pertumbuhan serta memperbaiki jaringan tubuh.

Beberapa zat gizi yang disediakan oleh pangan tersebut disebut zat gizi essential,

73 | P a g e

Page 74: laporan

mengingat kenyataan bahwa unsur-unsur tersebut tidak dapat dibentuk dalam tubuh,

setidak-tidaknya dalam jumlah yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kesihatan

yang normal. Jadi zat gizi esensial yang disediakan untuk tubuh yang dihasilkan dalam

pangan, umumnya adalah zat gizi yang tidak dibentuk dalam tubuh dan harus

disediakan dari unsur-unsur pangan di antaranya adalah asam amino essensial. Semua

zat gizi essential diperlukan untuk memperoleh dan memelihara pertumbuhan,

perkembangan dan kesehatan yang baik. Oleh karena itu, pengetahuan terapan tentang

kandungan zat gizi dalam pangan yang umum dapat diperoleh penduduk di suatu

tempat adalah penting guna merencanakan, menyiapkan dan mengkonsumsi makanan

seimbang. (Moch. Agus Krisno Budiyonto)

Pada umumnya zat gizi dibagi dalm lima kelompok utama, yaitu karbohidrat, lemak,

protein, vitamin dan mineral. Sedangkan sejumlah pakar juga Universitas Sumatera

Utaraberpendapat air juga merupakan bahagian dalam zat gizi. Hal ini didasarkan

kepada fungsi air dalam metabolism makanan yang cukup penting walaupun air dapat

disediakan di luar bahan pangan. ( Moch. Agus Krisno Budiyonto )

Makan makanan yang beraneka ragam sangat bermanfaat bagi kesehatan. Makanan

yang beraneka ragam yaitu makanan yang mengandung unsur-unsur zat gizi yang

diperlukan tubuh baik kualitas maupun kuantitasnya, dalam pelajaran ilmu gizi biasa

disebut triguna makanan yaitu, makanan yang mengandung zat tenaga, pembangun

dan zat pengatur. Apabila terjadi kekurangan atas kelengkapan salah satu zat gizi

tertentu pada satu jenis makanan, akan dilengkapi oleh zat gizi serupa dari makanan

yang lain. Jadi makan makanan yang beraneka ragam akan menjamin terpenuhinya

kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur.

Tubuh manusia memerlukan sejumlah pangan dan gizi secara tetap, sesuai dengan

standar kecukupan gizi, namun kebutuhan tersebut tidak selalu dapat terpenuhi.

Penduduk yang miskin tidak mendapatkan pangan dan gizi dalam jumlah yang cukup.

Mereka menderita lapar pangan dan gizi, mereka menderita gizi kurang. (Sri

Handajani, 1996).

Keadaan gizi seseorang merupakan gambaran apa yang dikonsumsinya dalam jangka

waktu yang cukup lama. Bila kekurangan itu ringan, tidak akan dijumpai penyakit

defisiensi yang nyata, tetapi akan timbul konsekwensi fungsional yang lebih ringan

dan kadang-kadang tidak disadari kalau hal tersebut karena faktor gizi. (Ari Agung,

2002).

Hasil penelitian di berbagai tempat dan di banyak negara menunjukkan bahwa

penyakit gangguan gizi yang paling banyak ditemukan adalah gangguan gizi akibat

74 | P a g e

Page 75: laporan

kekurangan energi dan protein (KEP). Dalam bahasa Inggris penyakit ini disebut

Protein Calorie Malnutrition atau disingkat PCM. Ada juga ahli yang menyebutnya

sebagai Enery Protein Malnutrition atau EPM, namun artinya sama.

Ada dua bentuk KEP yaitu marasmus dan kwashiorkor. Baik marasmus maupun

kwashiorkor keduanya disebabkan oleh kekurangan protein. Akan tetapi pada

marasmus di samping kekurangan protein terjadi juga kekurangan energi. Sedangkan

pada kwashiorkor yang kurang hanya protein, sementara kalori cukup. Marasmus

terjadi pada anak usia yang sangat muda yaitu pada bulan pertama setelah lahir,

sedangkan kwashiorkor umumnya ditemukan pada usia 6 bulan sampai 4 tahun. Ada

empat ciri yang selalu ditemukan pada penderita kwashiorkor yaitu:

• Adanya oedema pada kaki, tumit dan bagian tubuh lain seperti bengkak karena

ada cairan tertumpuk.

• Gangguan pertumbuhan badan. Berat dan panjang badan anak tidak dapat

mencapai berat dan panjang yang semestinya sesuai dengan umurnya.

• Perubahan aspek kejiwaan, yaitu anak kelihatan memelas, cengeng, lemah dan

tidak ada selera makan.

• Otot tubuh terlihat lemah dan tidak berkembang dengan baik walaupun masih

tampak adanya lapisan lemak di bawah kulit.

Istilah marasmus berasal dari bahasa yunani yang sejak lama digunakan sebagai istilah

dalam ilmu kedokteran untuk menggambarkan seorang anak yang berat badannya

sangat kurang dari berat badan seharusnya. Ciri utama penderita marasmus adalah

sebagai berikut :

• Anak tampak sangat kurus dan kemunduran pertumbuhan otot tampak sangat

jelas sekali apabila anak dipegang pada ketiaknya dan diangkat. Berat badan anak

kurang dari 60% dari berat badan seharusnya menurut umur.

• Wajah anak tampak seperti muka orang tua. Jadi berlawanan dengan tanda

yang tampak pada kwashiorkor. Pada penderita marasmus, muka anak tampak keriput

dan cekung sebagaimana layaknya wajah seorang yang telah berusia lanjut. Oleh

karena tubuh anak sangat kurus, maka kepala anak seolah-olah terlalu besar jika

dibandingkan dengan badannya.

• Pada penderita marasmus biasanya ditemukan juga tanda-tanda defisiensi gizi

yang lain seperti kekurangan vitamin C, vitamin A, dan zat besi serta sering juga anak

menderita diare.

75 | P a g e

Page 76: laporan

Kelompok Umur : Anak (0-9 tahun)

Berat badan ideal pada kelompok anak semakin naik pada usia 0-6 bulan 6 kg, 7-12

bulan 8.5 kg, 1-3 tahun 12 kg, 4-6 tahun 12 kg 7-9 tahun . Sama halnya dengan

kebutuhan energi dan protein. Kebutuhan energi semakin meningkat dari 550 Kkal

pada usia 0-6 bulan hingga 1800 kkal pada usia 7-9 tahun. Kebutuhan protein semakin

meningkat dari 10 g pada usia 0-6 bulan hingga 45 g pada usia 7-9 tahun.

Meningkatnya kebutuhan energi dan protein diiringi dengan perkembangan fisik dari

bayi sampai umur sembilan tahun yang semakin besar, sehingga kebutuhan energi dan

protein yang besar sangat dibutuhkan dalam proses perkembangan otak dan tubuh

8. Sistem imun

Respons Imun Terhadap Infeksi Cacing Tambang

Respon imun dari tubuh manusia sebagai host definitif tergantung dari stadium cacing

tambang yang menginfeksi.

a. Terhadap larva filariform

Saat menembus kulit, larva filariform melepaskan bagian luar kutikula dan mensekresi

berbagai enzim yang mempermudah migrasinya. Pada proses ini banyak larva yang

mati dan mengakibatkan pelepasan berbagai molekul imunoreaktif oleh tubuh. Saat

memasuki sirkulasi, terutama sirkulasi peparu, larva filariform menghasilkan berbagai

antigen yang bereaksi dengan system imun peparu dan menyebabkan penembusan

sejumlah kecil alveoli. Pada infeksi zoonotik (melalui vektor), terjadi creeping

eruption atau ground itch

akibat terperangkapnya larva dalam lapisan kulit, yang menyebabkan reaksi

hipersensitivitas tipe I (alergi). Jumlah larva yang masuk ke sirkulasi jauh lebih

banyak dari yang berdiam di kulit. Pada infeksi antropofilik (langsung pada manusia)

tidak terjadi kumpulan larva di kulit.19) Antibodi humoral terhadap N. americanus

76 | P a g e

Page 77: laporan

hanya reaktif terhadap lapisan dalam kutikula, hal ini menjelaskan mengenai

minimnya reaksi kulit terhadap parasit ini. Antibodi yang berperan ialah

Imunoglobulin M (IgM), IgG1 dan IgE. Yang paling

spesifik ialah IgE yang bersifat cross reactive. Diduga reaksi hipersensitivitas tipe II

(antibody dependent cell mediated cytotoxicity) juga berperan disini.20) Sistem

kekebalan seluler pada infeksi cacing tambang terutama dilakukan oleh eosinofil. Hal

ini dicerminkan oleh tingginya kadar eosinofil darah tepi. Eosinofil melepaskan

superoksida yang dapat membunuh larva filariform. Jumlah eosinofil makin

meningkat saat larva berkembang menjadi bentuk dewasa (cacing) di saluran cerna.

Sistem komplemen berperan dalam perlekatan larva pada eosinofil.29) Bukti-bukti

penelitian menunjukkan bahwa eosinofil lebih berperan dalam membunuh larva

filariform, bukan terhadap bentuk dewasa. Interleukin-5 (IL-5) yang berperan dalam

pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil meningkat pada infeksi larva yang

diinokulasikan pada tikus percobaan. Pada manusia hal tersebut belum terbukti.

b. Respons terhadap infeksi cacing tambang dewasa

Respons humoral dilakukan oleh IgG1, IgG4 dan IgE, yang dikontrol oleh pelepasan

sitokin pengatur sel Th2. Sitokin yang utama, ialah IL-4. Pada percobaan, setelah 1

tahun pemberian terapi terhadap infeksi N. americanus, didapatkan bahwa kadar IgG

terus menurun sementara kadar IgM dapat meningkat kembali meskipun tidak setinggi

seperti sebelum dilakukan terapi. Di sini kadar IgE hanya menurun sedikit, sedangkan

kadar IgA dan IgD meningkat setelah 2 tahun pasca terapi. Para pakar menyimpulkan

bahwa dibutuhkan lebih sedikit paparan antigen untuk meningkatkan IgE, IgA dan IgD

dibandingkan untuk meningkatkan IgG dan IgM. Selain itu disimpulkan bahwa kadar

IgG dan IgM merupakan indikator terbaik untuk infeksi cacing tambang dewasa dan

untuk menilai efikasi pengobatan. Hanya sedikit bukti yang menyatakan bahwa kadar

antibodi berhubungan dengan imunoproteksi terhadap infeksi cacing tambang

dewasa.3) Sitokin perangsang sel T helper 2 (Th2), yaitu IL-4, IL-5 dan IL-13 yang

merangsang sintesis IgE, merupakan sitokin yang predominan, sedangkan sitokin

perangsang sel Th1 seperti

interferon yang menghambat produksi IgE, lebih sedikit ditemukan. Para peneliti

membuktikan bahwa IgE lebih sensitif untuk menentukan adanya infeksi baik infeksi

larva maupun cacing tambang dewasa, sedangkan IgG4 lebih spesifik sebagai marker

infeksi cacing dewasa N. americanus. Pada infeksi A. caninum, ternyata IgE lebih

spesifik dibandingkan IgG4. Peran IgG4 belum diketahui sepenuhnya. Kemungkinan

77 | P a g e

Page 78: laporan

IgG4 berperan menghambat respons imun dengan inhibisi kompetitif terhadap

mekanisme kekebalan tubuh yang dimediasi oleg IgE, misalnya aktivasi sel mast.

Imunoglobulin G4

tidak mengikat komplemen dan hanya mengikat reseptor Fc-g secara lemah. Pada

infeksi cacing tambang didapatkan fenomena pembentukan autoantibody IgG terhadap

IgE.3 Respons imun seluler terhadap infeksi cacing tambang dewasa adalah terutama

oleh adanya respons sel Th2 yang mengatur produksi IgE dan menyebabkan

eosinofilia. Terjadinya eosinofilia dimulai segera setelah L3 menembus kulit dengan

puncak pada hari ke 38 sampai hari ke 64 setelah infeksi. Sel mast yang terdegradasi

akibat pengaruh IgE melepaskan berbagai protease terhadap kutikula kolagen N.

americanus. Selain itu terjadi

pelepasan neutralizing antibody terhadap IL-9, yang akan menghambat perusakan sel

mast oleh enzim mast cells protease I. Cacing tambang tampaknya lebih tahan

terhadap reaksi inflamasi dibandingkan dengan family nematoda lainnya.

c. Bentuk larva hipobiosis

Pada infeksi A. duodenale dapat terjadi bentuk hipobiosis di mana terjadi penghentian

pertumbuhan larva pada jaringan otot. Pada waktu tertentu, misalnya saat mulai

bersinarnya bulan ini, merupakan saat yang optimal untuk pelepasan larva A.

doudenale. Penyebab fenomena tersebut tidak diketahui. Pada bentuk hipobiosis

pelepasan telur cacing melalui feses baru terjadi 40 minggu setelah masuknya larva A.

duodenale melalui kulit. Fenomena ini juga terjadi pada infeksi A. caninum pada

anjing. Bukti-bukti

menunjukkan bahwa aktivasi bentuk hipobiosis pada akhir kehamilan yang berakhir

dengan penularan transmamaria/transplasental dari A. duodenale.

Proteksi sistem imun terhadap infeksi cacing tambang, tidak terdapat bukti yang jelas

mengenai proteksi imunologis tubuh terhadap infeksi cacing tambang. Beberapa

penelitian di Papua New Guinea menunjukkan bahwa penderita yang memiliki titer

IgE lebih tinggi, lebih jarang mengalami reinfeksi N. americanus

78 | P a g e

Page 79: laporan

VI. KESIMPULAN

Adi, 5 tahun, menderita anemia mikrositik hipokrom dan eosinophilia kerena infeksi

cacing tambang dan malnutrisi

79 | P a g e

Page 80: laporan

VII. DAFTAR PUSTAKA

Aziz Alimul Hidayat, S.Kp, “Buku Saku Praktikum Kebutuhan Dasar

Manusia” Penulis: A. Aziz Alimul Hidayat, S.Kp, Musrifatul Uliyah,

S.Kp; Editor: Monica Ester.EGC, Jakarta, 2004.

Bruehl S, Chung OY, Jirjis JN, Biridepalli S. 2005. Prevalence of clinical

hypertension in patients with chronic pain compared to nonpain general

medical patients. Clin J Pain.

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI 2007. Farmakologi dan terapi

Edisi 5. 2012. Jakarta : Badan Penerbit FKUI

Diandra,M.2014.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40648/4/

Chapter%20II.pdf. Diakses 29 Oktober 2014

Evaria; Pramudianto Arlia.MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. 2010.

Jakarta: BIP Kelompok Gramedia.

Harisson.1995. Harisson Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam VOL.

1.E/13.Fisiologi dan Farmakologi Sistem Saraf Autonom. EGC:

Jakarta.

Henry, JB Diagnosa Klinis dan Pengelolaan Laboratorium Metode. 20 ed.

Jakarta: W. B. Saunders Company, 2001.

Katzung, Bertram G., dkk. 2012. Farmakologi Dasar & Klinik, Ed. 12, Vol. 1.

Obat Kardiovaskular-Ginjal, “Tiazida”. Jakarta: EGC

Martindale, 34th edition halaman 956-957 2.MIMS edisi bahasa Indonesia

2008 halaman 59-61 3.DIH, 17th edition halaman 1039-1041 4.AHFS.

Drug Information halaman 1781-1789

National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS). 2014. Low

Back Pain Fact SheetOlsen RB, Bruehl S, Nielsen CS, et al. 2013.

Hypertension prevalence and diminishied blood pressure-related

hypoalgesia in individuals reporting chronic pain in a general

population: The Tromso Study.

Price, Sylvia A; Wilson Lorraine W. 2005.Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Sihombing, dermawan. 2014. “Kreatinin PMI”. Academiaedu.

80 | P a g e

Page 81: laporan

Tierney, Lawrence M., Stephen J. McPhee, dan Maxine A. Papadakis. Saat ini

Diagnosa dan Pengobatan Medis 2001. 40th ed. New York: Lange

Medis Buku / McGraw-Hill, 2001.

Wallach, Jacques. Tes Diagnostik Interpretasi. 7 ed. Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins, 2000.

81 | P a g e