laporan 4, hiv-aids

60
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI INFEKSI DAN TUMOR “HIV / AIDS” DISUSUN OLEH KELOMPOK C-I FKK 2 Eko Sarwono 17113215A Nining Anugrah WS 18123421A Aina Kurnia JS 18123431A Yeni Andani 18123437A Ridha Nurul Qumaryah 18123438A Retno Ning Aty 18123439A DOSEN PENGAMPU Inaratul RH., M.Sc., Apt Hari, tanggal praktikum : Selasa, 17 November 2015 Tanggal pengumpulan laporan resmi : Rabu, 18 November 2015 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SETIA BUDI

Upload: rini-pramuati

Post on 29-Jan-2016

21 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

laporan praktikum farmakoterapi infeksi dan tumor // penyelesaian kasus HIV AIDS

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan 4, HIV-AIDS

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI INFEKSI DAN TUMOR

“HIV / AIDS”

DISUSUN OLEH

KELOMPOK C-I FKK 2

Eko Sarwono 17113215A

Nining Anugrah WS 18123421A

Aina Kurnia JS 18123431A

Yeni Andani 18123437A

Ridha Nurul Qumaryah 18123438A

Retno Ning Aty 18123439A

DOSEN PENGAMPU

Inaratul RH., M.Sc., Apt

Hari, tanggal praktikum : Selasa, 17 November 2015

Tanggal pengumpulan laporan resmi : Rabu, 18 November 2015

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SETIA BUDI

SURAKARTA

2015

Page 2: Laporan 4, HIV-AIDS

I. PENDAHULUAN

A. Definisi

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul

akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang didapat, disebabkan oleh infeksi human

immunodeficiency virus (HIV). AIDS ini bukan merupakan suatu penyakit saja, tetapi

merupakan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi berbagai jenis

mikroorganisme seperti, infeksi bakteri, virus, jamur, bahkan timbulnya keganasan akibat

menurunnya daya tahan tubuh penderita

B. Epidemiologi

Infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik

kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar ODHA

berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase

penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika semakin meningkat.

Jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS di dunia pada tahun 2008 diperkirakan

sebanyak 33,4 juta orang. Sebagian besar (31,3 juta) adalah orang dewasa dan 2,1 juta anak

di bawah 15 tahun.

Saat ini AIDS adalah penyebab kematian utama di Afrika sub Sahara, dimana paling

banyak terdapat penderita HIV positif di dunia (26,4 juta orang yang hidup dengan

HIV/AIDS), diikuti oleh Asia dan Asia Tenggara dimana terdapat 6,4 juta orang yang

terinfeksi. Lebih dari 25 juta orang telah meninggal sejak adanya endemi HIV/AIDS.

Sampai dengan akhir Maret 2005, tercatat 6.789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan.

Jumlah itu tentu masih sangat jauh dari jumlah sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada

tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara

90.000 sampai 130.000 orang.

C. Klasifikasi

Stadium Klinis HIV/AIDS Untuk Dewasa dan Remaja adalah sebagai berikut :

Infeksi primer HIV

Asimptomatik

Sindroma retroviral akut

Page 3: Laporan 4, HIV-AIDS

Stadium Klinis 1

Asimptomatik

Limfadenopati meluas persisten

Stadium Klinis 2

Berat badan menurun yang sebabnya tidak dapat dijelaskan

Infeksi saluran napas berulang (sinusitis, tonsilitis, bronkitis, otitis media, faringitis)

Herpes zoster

Cheilits angularis

Ulkus mulut berulang

Pruritic papular eruption (PPE)

Dermatitis seboroika

Infeksi jamur kuku

Stadium Klinis 3

Berat badan menurun yang tidak dapat dijelaskan sebabnya ( > 10%)

Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan sebabnya lebih dari 1 bulan

Demam yang tidak diketahui sebabnya (intermiten maupun tetap selama lebih dari 1

bulan)

Kandidiasis oral persisten

Oral hairy leukoplakia

Tuberkulosis (TB) paru

Infeksi bakteri yang berat (empiema, piomiositis, infeksi tulang atau sendi,

meningitis, bakteriemi selain pneumonia)

Stomatitis, gingivitis atau periodontitis ulseratif nekrotikans yang akut

Anemia (Hb < 8 g/dL), netropeni (< 500/mm3), dan/atau trombositopeni kronis (<

50.000/mm3) yang tak dapat diterangkan sebabnya

Stadium Klinis 4

HIV wasting syndrome (berat badan berkurang >10% dari BB semula, disertai salah

satu dari diare kronik tanpa penyebab yang jelas (>1 bulan) atau kelemahan kronik

dan demam berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas).

Pneumonia pneumocystis

Pneumonia bakteri berat yang berulang

Page 4: Laporan 4, HIV-AIDS

Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial, anorektal atau genital lebih dari sebulan

atau viseral dimanapun)

Kandidiasis esofagus (atau di trakea, bronkus atau paru)

Tuberkulosis ekstra paru

Sarkoma Kaposi

Infeksi Cytomegalovirus (retinistis atau infeksi organ lain)

Toksoplasmosis susunan saraf pusat

Ensefalopati HIV

Kriptokokus ekstra paru termasuk meningitis

Infeksi mikobakterium non-tuberkulosis yang luas (diseminata)

Progressive multifocal leukoencephalopathy

Kriptosporidiosis kronis

Isosporiosis kronis

Mikosis diseminata (histoplasmosis, koksidioidomikosis, penisiliosis ekstraparu)

Septikemi berulang (termasuk salmonella non-tifoid)

Limfoma (otak atau non-Hodgkin sel B)

Karsinoma serviks invasive

Leishmaniasis diseminata atipikal

D. Faktor Resiko

Hubungan seksual yang tidak aman (tidak menggunakan kondom) dengan orang yang

telah terinfeksi HIV

Penggunaan jarum suntik, tindik, tattoo yang dapat menimbulkan luka dan tidak

disterilkan, dipergunakan secara bersama-sama dan sebelumnya telah digunakan oleh

orang yang terinfeksi HIV

Melalui transfusi darah yang terinfeksi HIV

Ibu hamil yang terinfeksi HIV pada anak yang dikandungnya pada saat :

o Antenatal yaitu saat bayi masih berada dalam rahim, melalui plasenta

o Intranatal yaitu saat prosses persalinan, bayi terpapar darah ibu atau cairan

vagina

o Post-natal yaitu setelah proses persalinan melalui air susu ibu

Page 5: Laporan 4, HIV-AIDS

o Kenyataanya 25-35% dari semua bayi yang dilahirkan oleh ibu yang sudah

terinfeksi dinegara berkembang tertular HIV, dan 90% bayi dan anak yang

tertular HIV tertular dari ibunya.

II. PATOFISIOLOGI

Infeksi HIV terjadi melalui 3 cara utama : seksual, parenteral dan perinatal. Hubungan

seks, baik anal maupun vaginal, adalah modus yang paling umum. Kemungkinan penularan

hubungan seks lewat anal 0,1-3 %/ kontak dan 0,1 – 0,2 %/ Kontak seks vaginal.

Penggunaan jarum atau peralatan suntikan lainyya yang terkontaminasi oleh pengguna

obat terlarang adalah penyebab utama transmisi parenteral dan akhir-akhir ini jumlahnya

seperempat dari kasus AIDS yang dilaporkan ke Amerika. Petugas kesehatan mempunyai

resiko yang kecil tertular HIV akibat pekerjaanya, sebagia besar penularan karena luka akibat

jarum suntik.Infeksi perinatal atau penularan vertical, penyebab utama (>90% pada infeksi

HIV anak).

A. Patogenesis

HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki molekul

reseptor membran CD4. Sejauh ini, sasaran yang disukai adalah limfosit T helper positif, atau sel

T4 (limfosit CD4+). Gp120 HIV berikatan kuat dengan limfosit CD4+ sehingga gp41 dapat

memperantarai fusi membran virus ke membran sel.

Baru-baru ini ditemukan bahwa dua koreseptor permukaan sel, CCR5 atau CXCR4

diperlukan, agar gp120 dan gp41 dapat berikatan dengan reseptor CD4+. Koreseptor ini

menyebabkan perubahan-perubahan konformasi sehingga gp41 dapat masuk ke membran sel

sasaran. Individu yang mewarisi dua salinan defektif gen reseptor CCR5 (homozigot) resisten

terhadap timbulnya AIDS, walupun berulang kali terpajan HIV (sekitar 1% orang Amerika

keturunan Caucasian). Individu yang heterozigot untuk gen defektif ini tidak terlindung dari

AIDS, tetapi awitan penyakit agak melambat.

Sel-sel lain yang mungkin rentan terhadap infeksi HIV mencakup monosit dan makrofag.

Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi sebagai reservoar untuk HIV tetapi tidak

dihancurkan oleh virus. HIV bersifat politrofik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia,

seperti sel natural killer (NK), limfosit B, sel endotel, sel epitel, sel Langerhans, sel dendritik, sel

mikroglia dan berbagai jaringan tubuh.

Setelah berfusi dengan limfosit CD4+, maka berlangsung serangkaian proses kompleks

yang apabila berjalan lancar, menyebabkan terbentuknya partikel virus baru dari sel yang

Page 6: Laporan 4, HIV-AIDS

terinfeksi. Limfosit CD4 yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam keadaan provirus atau

mungkin mengalami proses-proses replikasi sehingga menghasilkan banyak virus.

HIV-1 awalnya menginfeksi sel T dan makrofag secara langsung atau dibawa oleh sel

dendrit. Replikasi virus pada kelenjar getah bening regional menimbulkan viremia dan

penyebaran virus yang meluas pada jaringan limfoid. Viremia tersebut dikendalikan oleh respon

imun pejamu, kemudian pasien memasuki fase laten klinis. Selama fase ini, replikasi virus pada

sel T maupun makrofag terus berlangsung, tetapi virus tetap tertahan. Pada tempat itu

berlangsung pengikisan bertahap sel CD4+ melalui infeksi sel yang produktif. Jika sel CD4+

yang tidak hancur tidak dapat tergantikan, jumlah sel CD4+ menurun dan pasien mengalami

gejala klinis AIDS. Makrofag pada awalnya juga ditumpangi virus; makrofag tidak dilisiskan

oleh HIV-1, dapat mengangkut virus ke berbagai jaringan, terutama ke otak.

B. Etiologi.

HIV adalah suatu retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Retrovirus berdiameter 70-

130 nm. Masa inkubasi virus ini selama sekitar 10 tahun.

Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat. Selubung luarnya, atau kapsul viral, terdiri

dari lemak lapis ganda yang banyak mengandung tonjolan protein. Duri-duri ini terdiri dari

dua glikoprotein; gp120 dan gp41. Terdapat suatu protein matriks yang disebut gp17 yang

mengelilingi segmen bagian dalam membran virus. Sedangkan inti dikelilingi oleh suatu

protein kapsid yang disebut p24.

Di dalam kapsid terdapat dua untai RNA identik dan molekul preformed reverse

transcriptase, integrase dan protease yang sudah terbentuk. Reverse transcriptase adalah

enzim yang mentranskripsikan RNA virus menjadi DNA setelah virus masuk ke sel sasaran.

C. Gejala

Ada tiga tahapan yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara HIV dan

sistem imun :

1. Fase akut.

Fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri tenggorok, mialgia, demam,

ruam dan kadang-kadang meningitis aseptik (Mitchell dan Kumar, 2007). Pada fase ini

terdapat produksi virus dalam jumlah yang besar, viremia dan persemaian yang luas pada

jaringan limfoid perifer, yang secara khas disertai dengan berkurangnya sel T CD4+. Segera

setelah hal itu terjadi, muncul respon imun yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan

melalui serokonversi (biasanya dalam rentang waktu 3 hingga 17 minggu setelah pajanan)

Page 7: Laporan 4, HIV-AIDS

dan melalui munculnya sel T sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia

mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal. Namun, berkurangnya jumlah virus

dalam plasma bukan merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus

berlanjut di dalam makrofag dan sel T CD4+ jaringan.

2. Fase kronis

Fase kronis menunjukan tahap penahanan relatif virus. Pada fase ini, sebagian besar

sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga beberapa tahun. Para pasien

tidak menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten dan banyak penderita

yang mengalami infeksi opotunistik ringan, seperti sariawan (Candida) atau herpes zoster.

Replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian virus yang meluas

akan disertai dengan kehilangan CD4+ yang berlanjut. Namun, karena kemampuan

regenerasi sistem imun yang besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam jumlah yang besar.

Setelah melewati periode yang panjang dan beragam, pertahanan pejamu mulai menurun dan

jumlah CD4+ mulai menurun, dan jumlah CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin

meningkat.

3. Fase kritis

Tahap terakhir ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu yang sangat

merugikan, peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Para pasien khasnya akan

mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan, dan diare; jumlah

sel CD4+ menurun di bawah 500 sel/μL. Setelah adanya interval yang berubah-ubah, para

pasien mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma sekunder dan atau manifestasi

neurologis (disebut dengan kondisi yang menentukan AIDS). Jika kondisi lazim yang

menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang digunakan saat ini menentukan bahwa

seseorang yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan 200 sel/μL

sebagai pengidap AIDS.

Menurut Barakbah et al (2007) hampir semua orang yang terinfeksi HIV, jika tidak

diterapi, akan berkembang menimbulkan gejala-gejala yang berkaitan dengan HIV atau

AIDS.

1. Gejala Konstitusi

Kelompok ini sering disebut dengan AIDS related complex. Penderita mengalami

paling sedikit dua gejala klinis yang menetap selama 3 bulan atau lebih. Gejala tersebut

berupa:

Demam terus menerus lebih dari 37°C.

Kehilangan berat badan 10% atau lebih.

Page 8: Laporan 4, HIV-AIDS

Radang kelenjar getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjar getah bening di luar

daerah inguinal.

Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

Berkeringat banyak pada malam hari yang terjadi secara terus menerus.

2. Gejala Neurologi

Stadium ini memberikan gejala neurologi yang beranekaragam seperti kelemahan

otot, kesulitan berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi, halusinasi, mudah lupa,

psikosis dan dapat sampai koma (gejala radang otak).

3. Gejala Infeksi

Infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya tahan penderita sudah sangat

lemah sehingga tidak ada kemampuan melawan infeksi, misalnya:

a. Pneumocystic carinii pneumonia (PCP )

PCP merupakan infeksi oportunistik yang sering ditemukan pada penderita AIDS (80%).

Disebabkan parasit sejenis protozoa yang pada keadaan tanpa infeksi HIV tidak

menimbulkan sakit berat. Pada penderita AIDS, protozoa ini berkembang pesat sampai

menyerang paru-paru yang mengakibatkan pneumonia. Gejala yang ditimbulkannya adalah

batuk kering, demam dan sesak nafas. Pada pemeriksaan ditemukan ronkhi kering. Diagnosis

ditegakkan dengan ditemukannya P.carinii pada bronkoskopi yang disertai biopsi

transbronkial dan lavase bronkoalveolar.

b. Tuberkulosis

Infeksi Mycobacterium tuberkulosis pada penderita AIDS sering mengalami penyebaran luas

sampai keluar dari paru-paru. Penyakit ini sangat resisten terhadap obat anti tuberkulosis

yang biasa. Gambaran klinis TBC pada penderita AIDS tidak khas seperti pada penderita

TBC pada umumnya. Hal ini disebabkan karena tubuh sudah tidak mampu bereaksi terhadap

kuman. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil kultur.

c. Toksoplasmosis

Penyebab ensefalitis lokal pada penderita AIDS adalah reaktivasi Toxoplasma gondii, yang

sebelumnya merupakan infeksi laten. Gejala dapat berupa sakit kepala dan panas, sampai

kejang dan koma. Jarang ditemukan toksoplasmosis di luar otak.

Page 9: Laporan 4, HIV-AIDS

d. Infeksi Mukokutan.

Herpeks simpleks, herpes zoster dan kandidiasis oris merupakan penyakit paling sering

ditemukan. Infeksi mukokutan yang timbul satu jenis atau beberapa jenis secara bersama.

Sifat kelainan mukokutan ini persisten dan respons terhadap pengobatan lambat sehingga

sering menimbulkan kesulitan dalam penatalaksanaannya.

4. Gejala Tumor

Tumor yang paling sering menyertai penderita AIDS adalam Sarkoma Kaposi dan limfoma

maligna non-Hodgkin.

D. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik infeksi HIV primer bervariasi, tetapi pasien sering mengalami gejala

viral atau mononucleus-like illness seperti demam, faringitis, dan adenopati (gangguan

kelenjar terutama kelenjar limfa). Gejala dapat hilang setelah 2 minggu.

Sebagian besar anak lahir dengan HIV tanpa gejala. Pada pemeriksaan fisik mereka

sering menunjukkan tanda-tanda yang tidak dapat dijelaskan seperti gangguan kelenjar limfa,

pembesaran hati, kehilangan berat badan.

E. Diagnosis

Menurut Barakbah et al (2007) karena banyak negara berkembang, yang belum

memiliki fasilitas pemeriksaan serologi maupun antigen HIV yang memadai, maka WHO

menetapkan kriteria diagnosis AIDS sebagai berikut:

Definisi kasus AIDS dicurigai bila paling sedikit mempunyai 2 gejala mayor dan 1

gejala minor dan tidak terdapat sebab-sebab penekanan sistem imun lain yang diketahui,

seperti kanker, malnutrisis berat atau sebab-sebab lainnya.

Gejala Mayor : Penurunan berat badan > 10% berat badan per bulan, Diare kronis

lebih dari 1 bulan dan Demam lebih dari 1 bulan.

Gejala Minor : Adanya Sarkoma Kaposi meluas atau meningitis cryptococcal sudah

cukup untuk menegakkan AIDS, Batuk selama lebih dari 1 bulan, Pruritus dermatitis

menyeluruh, Infeksi umum yang rekuren, misalnya herpes zoster, Kandidiasis

Page 10: Laporan 4, HIV-AIDS

orofaringeal, Infeksi herpes simpleks kronis progresif atau yang meluas,

Limfadenopati generalisata.

Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan

diagnosis dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain (cerebrospinal fluid)

penderita.

1. ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)

ELISA digunakan untuk menemukan antibodi (Baratawidjaja). Kelebihan teknik ELISA yaitu

sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %-100% (Kresno). Biasanya memberikan hasil positif 2-3

bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah menggunakan antigen recombinan, yang sangat

spesifik terhadap envelope dan core.

2. Western Blot

Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari suatu protein dalam

suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Biasanya protein HIV yang

digunakan dalam campuran adalah jenis antigen yang mempunyai makna klinik, seperti

gp120 dan gp41. Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6% - 100%. Namun

pemeriksaan cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24 jam.

3. PCR (Polymerase Chain Reaction)

Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat antibodi maternal masih ada

pada bayi dan menghambat pemeriksaan secara serologis maupun status infeksi individu

yang seronegatif pada kelompok risiko tinggi dan sebagai tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab

sensitivitas ELISA rendah untuk HIV-2.

Pemeriksaan CD4 dilakukan dengan melakukan imunophenotyping yaitu dengan flow

cytometry dan cell sorter. Prinsip flowcytometry dan cell sorting (fluorescence activated cell

sorter, FAST) adalah menggabungkan kemampuan alat untuk mengidentifasi karakteristik

permukaan setiap sel dengan kemampuan memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu

suspensi menurut karakteristik masing-masing secara otomatis melalui suatu celah, yang

ditembus oleh seberkas sinar laser. Setiap sel yang melewati berkas sinar laser menimbulkan

sinyal elektronik yang dicatat oleh instrumen sebagai karakteristik sel bersangkutan. Setiap

karakteristik molekul pada permukaan sel manapun yang terdapat di dalam sel dapat

diidentifikasi dengan menggunakan satu atau lebih probe yang sesuai. Dengan demikian, alat

Page 11: Laporan 4, HIV-AIDS

itu dapat mengidentifikasi setiap jenis dan aktivitas sel dan menghitung jumlah masing-

masing dalam suatu populasi campuran.

III. SASARAN TERAPI

1. Replikasi HIV

2. Limfosit CD4

IV. TUJUAN TERAPI

1. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat

2. Memulihkan dan/atau memelihara fungsi imunologis (stabilisasi/ peningkatan sel

CD4)

3. Menurunkan komplikasi akibat HIV

4. Memperbaiki kualitas hidup ODHA

5. Menurunkan morbiditas dan mortalitas

Page 12: Laporan 4, HIV-AIDS

V. STRATEGI TERAPI

A.Tata Laksana Terapi

Guideline terapi ARV

Page 13: Laporan 4, HIV-AIDS
Page 14: Laporan 4, HIV-AIDS
Page 15: Laporan 4, HIV-AIDS
Page 16: Laporan 4, HIV-AIDS
Page 17: Laporan 4, HIV-AIDS

Guideline terapi toxoplasmosis

Page 18: Laporan 4, HIV-AIDS

TERAPI NON FARMAKOLOGI

Tindakan pencegahan yang dapat menurunkan resiko penularan infeksi HIV antara

lain:

Konseling atau edukasi mengenai penyakit HIV

Kurangi jumlah pasangan seksual dan memakai kondom

Tidak memakai alat suntik secara bersama-sama

Wanita dengan HIV : memakai kontrasepsi untuk mencegah kehamilan dan

tidak memberikan ASI.

Pakai kondom dari lateks.

Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi lebih baik dan

pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama

serta tidur yang cukup dan menjaga kebersihan.

TERAPI FARMAKOLOGI

Pengobatan untuk menekan replikasi HIV dengan obat anti retroviral (ARV). Terapi

dengan kombinasi ARV menghambat replikasi virus adalah strategi yang sukses pada terapi

HIV. Ada 3 golongan obat ARV yaitu :

1. Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI)

a) Analog nukleosida (NsRTI)

b) Analog nukleotida (NtRTI)

c) Non nukleosida (NNRTI)

2. HIV Protease Inhibitor (PI)

3. Fusion Inhibitor (FI)

Page 19: Laporan 4, HIV-AIDS

Obat ARV terdiri atas beberapa golongan seperti nucleoside reverse transriptase inhibitor,

non-nucleotide reverse transcriptase inhibitor, protease inhibitor dan viral entri inhibitor.

1.      Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NsRTI)

Reverse transcriptase (RT) mengubah RNA virus menjadi DNA proviral sebelum

bergabung dengan kromosom hospes. Karena antivirus golongan ini bekerja pada tahap awal

replikasi HIV, obat-obat golongan ini menghambat terjadinya infeksi akut sel yang rentan,

tapi hanya sedikit berefek pada sel yang telah terinfeksi HIV. Untuk dapat bekerja, semua

obat golongan NRTI harus mengalami fosforilasi oleh enzim sel hospes di sitoplasma.

a)      Zidovudin

Mekanisme kerja: Target zidovudin adalah enzim reverse transcriptase (RT) HIV. Zidovudin

bekerja dengan cara menghambat enzim reverse transcriptase virus, setelah gugus

azidotimidin (AZT) pada zidovudin mengalami fosforilasi. Gugus AZT 5’ monofosfat akan

bergabung pada ujung 3’ rantai DNA virus dan menghambat reaksi reverse transcriptase.

Resistensi: Resistensi terhadap zidovudin disebabkan oleh mutasi pada enzim reverse

transcriptase. Terdapat laporan resistensi silang dengan analog nukleosida lainnya.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya (seperti lamivudin dan

abakavir)

Dosis: zidovudin tersedia dalam bentuk kapsul 100 mg. tablet 300 mg dan sirup 5mg/

5ml. Dosis peroral 600 mg per hari.

Efek samping: Anemia, neutropenia, sakit kepala, mual.

b)      Didanosin

Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.

Resistensi: resistensi terhadap didanosin disebabkan oleh mutasi pada reserve

transoriptase.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)

Indikasi: infeksi HIV, terutama infeksi HIV tingkat lanjut, dalam kombinasi dengan anti

HIV lainnya.

Dosis: tablet dan kapsul salut enteric per oral 400 mg per hari dalam dosis tunggal atau

terbagi.

Efek samping: Diare, Pankreatitis, Neuropati perifer.

Page 20: Laporan 4, HIV-AIDS

c)      Zalsitabin

Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.

Resistensi: resistensi terhadap zaisitabin disebabkan oleh mutasi pada reserve

transoriptase. Dilaporkan ada resistensi silang dengan lamivudin.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)

Indikasi: infeksi HIV, terutama pada pasien HIV dewasa tingkat lanjut yang tidak

responsif terhadap zidovudin, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (bukan

didanosin)

Dosis: diberikan per oral 2.25 mg per hari (satu tablet 0,75 mg setiap 8 jam).

Efek samping: Neuropati perifer, stomatitis, ruam, dan pancreatitis.

d)     Stavudin

Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.

Resisten: resisten terhadap stavudin disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 75 dan

kodon 50.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)

Indikasi: infeksi HIV, terutama HIV tingkat lanjut, dikombinasikan dengan anti-HIV

lainnya.

Dosis: per oral 80 mg per hari (satu kapsul 40 mg setiap 12 jam)

Efek samping: Neuropati perifer. Pernah terjadi asidosis laktat, peningkatan enzim

transminase sementara. Efek samping lain yang sering terjadi adalah sakit kepala, mual

dan ruam.

e)      Lamivudin

Obat ini bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai

DNA virus.

Resistensi: mutasi terhadap lamivudin disebkan karena mutasi pada RT kodon 184.

Terdapat laporan adanya resistensi silang dengan didanosin dan zalcitabin.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2) dan HBV

Indikasi: infeksi HIV dan HBV,: untuk infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV

lainnya (seperti zidovudin dan abkavir)

Page 21: Laporan 4, HIV-AIDS

Dosis: per oral 300 mg per hari (1 tablet 150 mg dua kali sehari, atau satu tablet 300 mg

sekali sehari). Untuk terapi HIV, lamivudin dapat dikombinasikan dengan zidovudin atau

dengan zidovudin dan abakavir.

Efek samping: sakit kepala dan mual

f)       Emtrisitabin

Merupakan derivat 5-fluorinated lamivudin. Obat ini diubah ke bentuk trifosfat oleh enzim

selular. Mekanisme kerja selanjutnya sama dengan lamivudin.

Resistensi: terdapat laporan resistensi silang antara lamivudin dan emtrisitabin.

Indikasi: infeksi HIV dan HBV

Dosis: per oral sekali sehari 200 mg kapsul

Efek samping: efek samping yang paling sering adalah nyeri abdomen dengan rasa

keram, diare, kelemahan otot, sakit kepala, lipodistropi, mual, rhinitis, pruritus dan ruam.

Yang lebih jarang terjadi adalah reaksi alergi, asidosis laktat, mimpi buruk, parestesia,

pneumonia, steatosis hati.

g)      Abakavir

Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.

Resistensi: resistensi terhadap abakavir

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti zidovudin dan

lamivudin.

Dosis: per oral 600 mg per hari (2 tablet 300 mg)

Efek samping: mual, muntah, diare, reaksi hipersensitif (demam, malaise, ruam), dan

gangguan gastrointestinal.

2.      Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NtRTI)

Tidak seperti NRTI yang harus melalui 3 tahap fosforilase intraseluler untuk menjadi

bentuk aktif, NtRTI hanya membutuhkan 2 tahapfosforilasi saja. Diharapkan, dengan

berkurangnya satu tahap fosforilasi, obat dapat bekerja lebih cepat dan konversinya menjadi

bentuk aktiv lebih sempurna.

a)      Tenofovir disoproksil

Page 22: Laporan 4, HIV-AIDS

Bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA

virus.

Resisten: Resisten terhadap tenofovir

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2) serta berbagai retrovirus lainnya dan HBV.

Indikasi: infeksi HIV dalam kombinasi dengan lamivudin dan abakavir.

Dosis: per oral sekali sehari 300 mg tablet.

Efek samping: mual, muntah, flatulens, dan diare.

3.      Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI)

Merupakan kelas obat yang menghambat aktivasi enzim reverse transcriptase dengan

cara berikatan di tempat yang dekat dengan tempat aktif enzim dan menginduksi perubahan

konformasi pada situs aktif ini. Obat-obat golongan ini tidak hanya memiliki kesamaan

toksisitas dan profil resistensi. Tidak seperti NRTI dan NtRTI, NNRTI tidak mengalami

fosforilasi untuk menjadi bentuk aktif. NNRTI hanya aktif terhadap HIV-1, tidak HIV-2.

Semua senyawa NNRTI dimetabolisme oleh sitokrom P450 sehingga cenderung untuk

berinteraksi dengan obat lain.

a)      Nevirapin

Bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non-substrat HIV-1 RT.

Resisten terhadap nevirapin

Spekterum aktivitas: HIV tipe 1

Indikasi: infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, terutama NRTI.

Dosis: per oral 200 mg per hari selama 14 hari pertama (satu tablet 200 mg per hari),

kemudian 400 mg per hari (dua kali 200 mg tablet)

Efek samping: ruam, demam, fatigue, sakit kepala, somnolens, mual dan peningkatan

enzim hati.

b)      Delavirdin

Bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non-substrat HIV-1 RT.

Resisten terhadap delavirdin disebabkan oleh mutasi pada RT. Tidak ada resistensi silang

dengan nevirapin dan evavirens.

Spekterum aktivitas: HIV tipe 1

Indikasi: infeksi HIV-1, dikombinasi dengan anti HIV lainnya, terutama NRTI.

Page 23: Laporan 4, HIV-AIDS

Dosis: per oral 1200 mg per hari (2 tablet 200 mg 3 kali sehari). Obat ini juga tersedia

dalam bentuk tablet 100 mg.

Efek samping: Ruam, peningkatan tes fungsi hati, juga pernah terjadi neutropenia.

c)      Efaviren

Bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non-substrat HIV-1 RT.

Resisten terhadap efavirens

Spekterum aktivitas: HIV tipe 1

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya, terutama NRTI dan

NtRTI.

Dosis: per oral 600 mg per hari (sekali sehari tablet 600 mg) sebaiknya sebelum tidur

untuk mengurangi efek samping SSPnya.

Efek samping: sakit kepala, pusing, mimpi buruk, sulit berkonsntrasi dan ruam.

4.      Protease inhibitor (PI)

Semua PI bekerja dengan cara berikatan secara reversibel dengan situs aktif HIV-

Protease. HIV-protease sangat penting untuk inefektivitas virus dan penglepasan poliprotein

virus. Hal ini menyebabkan terhambatnya penglepasan polipeptida prekursor virus oleh

enzim protease sehingga menghambat maturasi virus, maka sel akan menghasilkan partikel

virus yang imatur dan tidak virulen.

a)      Sakuinavir

Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.

Resistensi terhadap sakuinavir disebkan oleh mutasi pada enzim protease terjadi resistensi

silang dengan PI lainnya.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lain (NRTI dan beberapa PI

seperti ritonavir).

Dosis: per oral 3600 mg per hari (6 kapsul 200 mg soft kapsul 3 kali sehari), diberikan

bersama dengan makanan atau sampai dengan dua jam setelah makan lengkap.

Efek samping: diare, mual, nyeri abdomen.

b)      Ritonavir

Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.

Page 24: Laporan 4, HIV-AIDS

Resistensi terhadap ritonavir disebabkan oleh mutasi awal pada protease kodon 82.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (NRTI dan PI seperti

sakuinavir)

Dosis: per oral 1200 mg per hari (6 kapsul 100 mg, dua kali sehari bersama dengan

makanan)

Efek samping: mual, muntah, diare.

c)      Indinavir

Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.

Dosis: per oral 2400 mg per hari (2 kapsul 400 mg setiap 8 jam, dimakan dalam keadaan

perut kososng, ditambah dengan dehidrasi) sedikitnya 1,5 L air per hari. Obat ini tersedia

dalam kapsul 100, 200, 333, dan 400 mg.

Efek samping; mual, hiperbilirubinemia, dan batu ginjal.

d)     Nelvinavir

Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.

Resisten terhadap nelfinavir disebabkan terutama oleh mutasi pada protease kodon 30.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.

Dosis: per oral 2250 mg per hari (3 tablet 250 mg 3 kali sehari) atau 2500 mg per hari (5

tablet 250 mg 2 kali sehari), bersama dengan makanan.

Efek samping: Diare, mual, muntah.

e)      Amprenavir

Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.

Resistensi terhadap amprenavir terutama disebabkan oleh mutasi pada protease kodon

50.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.

Dosis: per oral 2400 mg per hari (8 kapsul 150 mg 2 kali sehari, diberikan bersama atau

tanpa makanan, tapi tidak boleh bersama dengan makanan)

Page 25: Laporan 4, HIV-AIDS

Efek samping: mual, diare, ruam, parestesia perioral/oral.

f)       Lopinavir

Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.

Resistensi: mutasi yang menyebabkan resistensi terhadap lopinavir belum diketahui

hingga saat ini.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.

Dosis: per oral 1000 mg per hari (3 kapsul 166,6 mg 2 kali sehari, setiap kapsul

mengandung 133,3 mg lopinavir + 33,3 ritonavir), diberikan bersamaan dengan

makanan.

Efek samping: mual, muntah, peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida, peningkatan

y-GT.

g)      Atazanavir

Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.

Dosis: per oral 400 mg per hari (sekali sehari 2 kapsul 200 mg), diberikan bersama

dengan makanan.

Efek samping: hiperbilirubinemia, mual, perubahan EKG (jarang).

5.      Viral entri inhibitor

Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat fusi virus ke sel.

a)      Enfuvirtid

Menghambat masuknya HIV-1 ke dalam sel dengan cara menghambat fusi virus ke membran

sel. Enfuvirtid berikatan dengan bagian HR1 (first heptad-repeat) pada subunit gp41

envelope glikoprotein virus serta menghambat terjadinya perubahan konformasi yang

dibutuhkan untuk fusi virus ke membran sel.

Resistensi: perubahan genotip pada gp41 asam amino 36-45 menyebabkan resistensi

terhadap enfuvirtid. Tidak ada resistensi silang dengan anti HIV golongan lain. Isolat

klinis yang resisten terhadap NRTI, NNRTI atau PI tetap peka terhadap envuvirtid.

Indikasi: terapi infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya.

Page 26: Laporan 4, HIV-AIDS

Dosis: Enfuvirtid 90 mg (1 mL) dua kali sehari diinjeksi subkutan di lengan atas, bagian

paha anterior atau di abdomen. Setiap injeksi harus diberikan pada tempat yang berbeda

dari tempat injeksi sebelumnya dimana belum ada bekas reaksi injeksi dosis sebelumnya.

Efek samping: efek samping yang tersering adalah reaksi lokal seperti nyeri, eritema,

pruritus, iritasi dan nodul/kista.

VI. PENYELESAIAN KASUS

KASUS

Bapak AG, 60 tahun, 61 kg, TB 170 cm, didiagnosis HIV stadium IV (AIDS) pada

tahun 2004, dan mulai menggunakan terapi antiretroviral sejak tahun 2012, saat CD4 126

Page 27: Laporan 4, HIV-AIDS

sel/mm3 dan viral loadnya 98,743 copi/ml dan baru pulih dari episode toxoplasmosis cerebral.

Sebulan terakhir pasien sering mengalami kesemutan kira-kira 1-2x seminggu. Dia masih

menggunakan kombinasi stavudin 40 mg 2x sehari, tablet didanosine 400 mg setiap hari dan

indinavir 800 mg tiap 8 jam.

Selain itu dia juga menggunakan sulfadiazine 500 mg 4xsehari, pirimetamine 25 mg

setiap hari, dan asam folat 15 mg 3xsehari. Hasil terakhir menunjukkan bahwa saat ini CD4

nya adalah 320 sel/mm3 dan viral loadnya 50 copi/ml

Vital sign : TD 125/80 mmHg

HR 75x permenit

RR 15x permenit

T 37,40C

Diagnosis : HIV

Pertanyaan :

1. Kembangkan kasus berikut, mulai gejala klinis, parameter lab yang mendukung.

2. Analisis kasus dan kerjakan kasus tersebut.

ANALISIS KASUS :

Pengembangan Kasus

      Penyelesaian kasus  dengan menggunakan metode SOAP (Subjective,  Objective,

Assesment, dan Plan) pada kasus ini adalah sebagai berikut :

SUBYEKTIF

Nama : Bapak AG

umur : 60 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Keluhan : Didiagnosis HIV stadium IV (AIDS) pada tahun 2004, dan mulai

menggunakan terapi antiretroviral sejak tahun 2012, saat CD4 126 sel/mm3 dan viral loadnya

98,743 copi/ml dan baru pulih dari episode toxoplasmosis cerebral. Sebulan terakhir pasien

sering mengalami Nyeri, kesemutan, tangan dan kaki kebal, bagian ujung tubuh hilang rasa,

lemah otot, tidak ada refleks kira-kira 1-2x seminggu.

Riwayat pengobatan : telah menggunakan kombinasi stavudin 40 mg 2x sehari, tablet

didanosine 400 mg setiap hari dan indinavir 800 mg tiap 8 jam. Pada kasus ini pasien

diberikan pengobatan ARV lini kedua dikarenakan pasien intoleransi terhadap golongan

NNRTI . Selain itu dia juga menggunakan sulfadiazine 500 mg 4xsehari, pirimetamine 25 mg

Page 28: Laporan 4, HIV-AIDS

setiap hari, dan asam folat 15 mg 3xsehari untuk mengatasi penyakit toxoplasmosis

cereberalnya.

OBYEKTIF

Data tanda vital

Data

laboratorium :

ASSESMENT

Pemeriksaa

n

Data pasien Nilai normal Keterangan

Tekanan

Darah

125/80 mmHg 90-120/60-80 mmHg Normal

RR 15 x per menit 16-20 x per menit Normal

HR 100 bpm 60-100 bpm Normal

Suhu 37,4°C 36-37,5°C Normal

Pemeriksaan Data pasien Nilai normal Keterangan

CD4 320 sel/mm3 800-1500 sel/mm3 Menurun

Viral load 50 copi/mL 40-70 copi/mL Normal

Glikosa darah

puasa

110 mg/dL 100 – 126 mg/dL Normal

Urinalisis Negatif Negatif Normal

Kreatinin

serum

1,1 mg/dL 0,6-1,5 mg/dL Normal

BUN 20 mg/dl 15 – 40 (mg/dl) Normal

SGOT

SGPT

30 u/l

30 u/l

SGOT : 5 – 40 (u/l)

SGPT : 5 – 41 (u/l)

Normal

Normal

Kolesterol

total

143 mg/dL <200 mg/dL Normal

HDL 79 mg/dL >55 mg/dL Normal

LDL 68 mg/dL ≤150 mg/dL Normal

TG 100 mg/dL <150 mg/dL Normal

Page 29: Laporan 4, HIV-AIDS

Berdasarkan keluhan pasien yang berupa nyeri, kesemutan, bagian ujung tubuh hilang

rasa, lemah otot, tidak ada refleks maka pasien di diagnosa menderita neuropati perifer akibat

pengobatan ARV

PLAN

Berdasarkan gejala yang timbul kemungkinan besar disebabkan oleh penggunaan

ARV stavudin dan didanosine. Menurut guideline terapi cara penanganannya dapat dilakukan

dengan terapi farmakologi, yaitu dilakukan penggantian obat ARV lain yang sesuai dengan

anjuran/rujukan yang telah ditetapkan dengan diberikan pengobatan Tenofovir dan

Lamivudine sebagai lini kedua, dimana dikarenakan pasien sebelumnya telah mendapatkan

terapi lini kedua dikarenakan pasien mengalami intoleransi terhadap golongan NNRTI

sehingga diberikan pengobatan lini kedua. Dan pada riwayat pasien, pasien sebelumnya

mengalami Toxoplasmosis cerebral tetapi telah pulih dan obat-obat yang digunakan untuk

penyakit toxoplasmosis dapat dihentikan jika jumlah CD4 naik diatas 200 sel/mm2 atau lebih.

Untuk mengatasi neuropati perifer pasien dapat diatasi dengan pemberian vitamin B

kompleks.

TERAPI NON FARMAKOLOGI

Tindakan pencegahan yang dapat menurunkan resiko penularan infeksi HIV antara

lain:

Konseling atau edukasi mengenai penyakit HIV

Kurangi jumlah pasangan seksual dan memakai kondom

Tidak memakai alat suntik secara bersama-sama

Wanita dengan HIV : memakai kontrasepsi untuk mencegah kehamilan dan tidak

memberikan ASI.

Pakai kondom dari lateks.

Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi lebih baik dan

pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta

tidur yang cukup dan menjaga kebersihan.

Page 30: Laporan 4, HIV-AIDS

TERAPI FARMAKOLOGI

Penggunaan obat rasional

Analisis rasionalitas terapi dilakukan dengan melakukan analisis obat-obat yang digunakan.

Berikut ini adalah uraian analisis rasionalitas obat yang digunakan :

1. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NsRTI)

Reverse transcriptase (RT) mengubah RNA virus menjadi DNA proviral sebelum

bergabung dengan kromosom hospes. Karena antivirus golongan ini bekerja pada tahap awal

replikasi HIV, obat-obat golongan ini menghambat terjadinya infeksi akut sel yang rentan,

tapi hanya sedikit berefek pada sel yang telah terinfeksi HIV. Untuk dapat bekerja, semua

obat golongan NRTI harus mengalami fosforilasi oleh enzim sel hospes di sitoplasma.

a)      Zidovudin

Mekanisme kerja: Target zidovudin adalah enzim reverse transcriptase (RT) HIV. Zidovudin

bekerja dengan cara menghambat enzim reverse transcriptase virus, setelah gugus

azidotimidin (AZT) pada zidovudin mengalami fosforilasi. Gugus AZT 5’ monofosfat akan

bergabung pada ujung 3’ rantai DNA virus dan menghambat reaksi reverse transcriptase.

Resistensi: Resistensi terhadap zidovudin disebabkan oleh mutasi pada enzim reverse

transcriptase. Terdapat laporan resistensi silang dengan analog nukleosida lainnya.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya (seperti lamivudin dan

abakavir)

Dosis: zidovudin tersedia dalam bentuk kapsul 100 mg. tablet 300 mg dan sirup 5mg/

5ml. Dosis peroral 600 mg per hari.

Efek samping: Anemia, neutropenia, sakit kepala, mual.

b)      Didanosin

Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.

Resistensi: resistensi terhadap didanosin disebabkan oleh mutasi pada reserve

transoriptase.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)

Indikasi: infeksi HIV, terutama infeksi HIV tingkat lanjut, dalam kombinasi dengan anti

HIV lainnya.

Page 31: Laporan 4, HIV-AIDS

Dosis: tablet dan kapsul salut enteric per oral 400 mg per hari dalam dosis tunggal atau

terbagi.

Efek samping: Diare, Pankreatitis, Neuropati perifer.

c)      Zalsitabin

Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.

Resistensi: resistensi terhadap zaisitabin disebabkan oleh mutasi pada reserve

transoriptase. Dilaporkan ada resistensi silang dengan lamivudin.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)

Indikasi: infeksi HIV, terutama pada pasien HIV dewasa tingkat lanjut yang tidak

responsif terhadap zidovudin, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (bukan

didanosin)

Dosis: diberikan per oral 2.25 mg per hari (satu tablet 0,75 mg setiap 8 jam).

Efek samping: Neuropati perifer, stomatitis, ruam, dan pancreatitis.

d)     Stavudin

Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.

Resisten: resisten terhadap stavudin disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 75 dan

kodon 50.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)

Indikasi: infeksi HIV, terutama HIV tingkat lanjut, dikombinasikan dengan anti-HIV

lainnya.

Dosis: per oral 80 mg per hari (satu kapsul 40 mg setiap 12 jam)

Efek samping: Neuropati perifer. Pernah terjadi asidosis laktat, peningkatan enzim

transminase sementara. Efek samping lain yang sering terjadi adalah sakit kepala, mual

dan ruam.

e)      Lamivudin

Obat ini bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai

DNA virus.

Resistensi: mutasi terhadap lamivudin disebkan karena mutasi pada RT kodon 184.

Terdapat laporan adanya resistensi silang dengan didanosin dan zalcitabin.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2) dan HBV

Page 32: Laporan 4, HIV-AIDS

Indikasi: infeksi HIV dan HBV,: untuk infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV

lainnya (seperti zidovudin dan abkavir)

Dosis: per oral 300 mg per hari (1 tablet 150 mg dua kali sehari, atau satu tablet 300 mg

sekali sehari). Untuk terapi HIV, lamivudin dapat dikombinasikan dengan zidovudin atau

dengan zidovudin dan abakavir.

Efek samping: sakit kepala dan mual

f)       Emtrisitabin

Merupakan derivat 5-fluorinated lamivudin. Obat ini diubah ke bentuk trifosfat oleh enzim

selular. Mekanisme kerja selanjutnya sama dengan lamivudin.

Resistensi: terdapat laporan resistensi silang antara lamivudin dan emtrisitabin.

Indikasi: infeksi HIV dan HBV

Dosis: per oral sekali sehari 200 mg kapsul

Efek samping: efek samping yang paling sering adalah nyeri abdomen dengan rasa

keram, diare, kelemahan otot, sakit kepala, lipodistropi, mual, rhinitis, pruritus dan ruam.

Yang lebih jarang terjadi adalah reaksi alergi, asidosis laktat, mimpi buruk, parestesia,

pneumonia, steatosis hati.

g)      Abakavir

Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.

Resistensi: resistensi terhadap abakavir

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2)

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti zidovudin dan

lamivudin.

Dosis: per oral 600 mg per hari (2 tablet 300 mg)

Efek samping: mual, muntah, diare, reaksi hipersensitif (demam, malaise, ruam), dan

gangguan gastrointestinal.

2.      Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NtRTI)

Tidak seperti NRTI yang harus melalui 3 tahap fosforilase intraseluler untuk menjadi

bentuk aktif, NtRTI hanya membutuhkan 2 tahapfosforilasi saja. Diharapkan, dengan

Page 33: Laporan 4, HIV-AIDS

berkurangnya satu tahap fosforilasi, obat dapat bekerja lebih cepat dan konversinya menjadi

bentuk aktiv lebih sempurna.

a)      Tenofovir disoproksil

Bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA

virus.

Resisten: Resisten terhadap tenofovir

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2) serta berbagai retrovirus lainnya dan HBV.

Indikasi: infeksi HIV dalam kombinasi dengan lamivudin dan abakavir.

Dosis: per oral sekali sehari 300 mg tablet.

Efek samping: mual, muntah, flatulens, dan diare.

3. Protease inhibitor (PI)

Semua PI bekerja dengan cara berikatan secara reversibel dengan situs aktif HIV-

Protease. HIV-protease sangat penting untuk inefektivitas virus dan penglepasan poliprotein

virus. Hal ini menyebabkan terhambatnya penglepasan polipeptida prekursor virus oleh

enzim protease sehingga menghambat maturasi virus, maka sel akan menghasilkan partikel

virus yang imatur dan tidak virulen.

a)      Sakuinavir

Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.

Resistensi terhadap sakuinavir disebkan oleh mutasi pada enzim protease terjadi resistensi

silang dengan PI lainnya.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lain (NRTI dan beberapa PI

seperti ritonavir).

Dosis: per oral 3600 mg per hari (6 kapsul 200 mg soft kapsul 3 kali sehari), diberikan

bersama dengan makanan atau sampai dengan dua jam setelah makan lengkap.

Efek samping: diare, mual, nyeri abdomen.

b)      Ritonavir

Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.

Resistensi terhadap ritonavir disebabkan oleh mutasi awal pada protease kodon 82.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).

Page 34: Laporan 4, HIV-AIDS

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (NRTI dan PI seperti

sakuinavir)

Dosis: per oral 1200 mg per hari (6 kapsul 100 mg, dua kali sehari bersama dengan

makanan)

Efek samping: mual, muntah, diare.

c)      Indinavir

Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.

Dosis: per oral 2400 mg per hari (2 kapsul 400 mg setiap 8 jam, dimakan dalam keadaan

perut kososng, ditambah dengan dehidrasi) sedikitnya 1,5 L air per hari. Obat ini tersedia

dalam kapsul 100, 200, 333, dan 400 mg.

Efek samping; mual, hiperbilirubinemia, dan batu ginjal.

d)     Nelvinavir

Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.

Resisten terhadap nelfinavir disebabkan terutama oleh mutasi pada protease kodon 30.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.

Dosis: per oral 2250 mg per hari (3 tablet 250 mg 3 kali sehari) atau 2500 mg per hari (5

tablet 250 mg 2 kali sehari), bersama dengan makanan.

Efek samping: Diare, mual, muntah.

e)      Amprenavir

Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.

Resistensi terhadap amprenavir terutama disebabkan oleh mutasi pada protease kodon

50.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.

Dosis: per oral 2400 mg per hari (8 kapsul 150 mg 2 kali sehari, diberikan bersama atau

tanpa makanan, tapi tidak boleh bersama dengan makanan)

Efek samping: mual, diare, ruam, parestesia perioral/oral.

Page 35: Laporan 4, HIV-AIDS

f)       Lopinavir

Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.

Resistensi: mutasi yang menyebabkan resistensi terhadap lopinavir belum diketahui

hingga saat ini.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.

Dosis: per oral 1000 mg per hari (3 kapsul 166,6 mg 2 kali sehari, setiap kapsul

mengandung 133,3 mg lopinavir + 33,3 ritonavir), diberikan bersamaan dengan

makanan.

Efek samping: mual, muntah, peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida, peningkatan

y-GT.

g)      Atazanavir

Bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.

Spektrum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2).

Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.

Dosis: per oral 400 mg per hari (sekali sehari 2 kapsul 200 mg), diberikan bersama

dengan makanan.

Efek samping: hiperbilirubinemia, mual, perubahan EKG (jarang).

Evaluasi obat terpilih

1. Tenofovir (TDF)

Indikasi : Antiretroviral pada pengobatan HIV

Page 36: Laporan 4, HIV-AIDS

Dosis : 1x sehari 245 mg dengan atau tanpa makanan

Efek samping : Fanconis syndrome dengan disertai renal toksisitas, depresi,

insomnia, demam , pusing.

Interaksi obat : tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan.

Alasan pemilihan : Karena pada pengobatan awal menggunakan d4T dan ddI, dimana

kombinasi tersebut memiliki efek samping neuropati perifer sehingga obat harus

dihentikan, berdasarkan guideline yang ada apabila telah menggunakan d4T atau AZT

maka pengobatan diganti TDF + (3TC atau FTC) sebagai dasar NRTI pada panduan

lini kedua.

Harga : obat gratis

2. Lamivudin (3TC)

Indikasi : Antiretroviral pada pengobatan HIV

Dosis : 150 mg peroral tiap 12 jam atau 300 mg peroral sekali sehari <50kg: 2mg/kg

peroral tiap 12 jam dengan/ tanpa makanan.

Efek samping : infeksi saluran nafas bagian atas, mual, muntah, diare, nyeri perut;

batuk; sakit kepala, insomnia; malaise, nyeri muskuloskelatal; gejala nasal;

Interaksi obat : tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan.

Alasan pemilihan : Karena pada pengobatan awal menggunakan d4T dan ddI, dimana

kombinasi tersebut memiliki efek samping neuropati perifer sehingga obat harus

dihentikan, berdasarkan guideline yang ada apabila telah menggunakan d4T atau AZT

maka pengobatan diganti TDF + (3TC atau FTC) sebagai dasar NRTI pada panduan

lini kedua. Lamivudin juga memiliki efek samping paling ringan dengan laju resisten

yang lambat.

Harga : obat gratis

3. Kaletra

Kandungan : Sediaan tablet yang mengandung lopinavir 200 mg dan ritonavir 50 mg

Indikasi : Antiretroviral pada pengobatan HIV

Dosis : 2x sehari 1 tablet diminum dengan atau tanpa makanan

Efek samping : Efek samping yang paling umum adalah defekasi abnormal, lelah-

lemah, diare, mual dan muntah

Interaksi obat : tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan.

Page 37: Laporan 4, HIV-AIDS

Alasan pemilihan : karena sesuai dengan panduan lini kedua yang direkomendasikan

dan merupakan obat golongan protease inhibitor kombinasi dengan ritonavir yang

dimaksudkan untuk mengurangi dosis dari obat golongan PI karena jika tanpa

ritonavir dosis yang diperlukan menjadi tinggi sekali

Harga : -

4. Neurobion Forte

Kandungan :

Vitamin B1 (Thiamine mononitrate) 100 mg

Vitamin B6 (Pyridoxol Hydrochloride) 100 mg

Vitamin B12 5000 mcg

Indikasi : Untuk pengobatan kekurangan Vitamin B1, B6 dan B12 seperti pada beri-

beri dan polineuritis.

Dosis : 1x sehari 1 tablet sesudah makan

Efek samping : -

Interaksi obat : tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan.

Alasan pemilihan : Neurobion digunakan untuk mengatasi neuropati perifer pasien

akibat dari efek samping penggunaan ARV, karena neurobion berisi vitamin B

kompleks yang juga berfungsi memelihara integritas jaringan saraf.

Harga : Dos 10x10 tab Rp. 165.000

KOMUNIKASI INFORMASI EDUKASI

Memberikan informasi tentang obat baik mengenai nama obat, dosis, aturan pakai dan

cara penggunaan obat.

Page 38: Laporan 4, HIV-AIDS

Penyampaian informasi, instruksi, dan peringatan kepada pasien tentang efek terapi

dan efek samping yang mungkin timbul selama pengobatan efek samping yang

kemungkinan dapat terjadi.

Meyakinkan pasien bahwa pengobatan dengan antiretroviral dapat memberikan

manfaat.

Pemberian informasi dan edukasi yang jelas kepada pasien sebelum memulai terapi.

Memberi penjelasan mengenai alasan obat pasien diganti

Tetap memberi informasi mengenai pencegahan penularan penyakit AIDS

baik secara non seksual maupun seksual

Memberikan informasi mengenai pencegahan terhadap infeksi lain seperti:

1. Menggunakan air bersih

2. Memasak makanan dengan benar

3. Mencuci tangan dengan benar

4. Menggunakan antiseptic jika terluka

Memberi edukasi mengenai hidup sehat seperti olahraga teratur, tetap aktif

beraktivitas agar lebih sehat.

Pengobatan pendukung seperti :

Aspek Psikologis, meliputi :

Perawatan personal dan dihargai

Mempunyai seseorang untuk diajak bicara tentang masalah-

masalahnya

Jawaban-jawaban yang jujur dari lingkungannya

Tindak lanjut medis

Mengurangi penghalang untuk pengobatan

Pendidikan/penyuluhan tentang kondisi mereka

Aspek Sosial.

Seorang penderita HIV AIDS setidaknya membutuhkan bentuk dukungan dari

lingkungan sosialnya. Dimensi dukungan sosial meliputi 3 hal:

Emotional support, miliputi; perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan

diperhatikan

Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat

Materials support, meliputi bantuan / pelayanan berupa sesuatu barang dalam

mengatasi suatu masalah.

Page 39: Laporan 4, HIV-AIDS

MONITORING DAN EVALUASI

Pemantauan klinis yang perlu dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu sejak

memulai terapi ARV (pergantian obat baru) dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien

telah mencapai keadaan stabil. Dimana Pada setiap kunjungan perlu dilakukan

penilaian klinis termasuk tanda dan gejala efek samping obat atau gagal terapi dan

frekuensi infeksi (infeksi bakterial, kandidiasis dan atau infeksi oportunistik lainnya)

ditambah konseling untuk membantu pasien memahami terapi ARV dan dukungan

kepatuhan.

Monitoring pengobatan toxoplasmosis selama 3-6 minggu

Pemantauan labolatoris berupa:

1. pemantauan CD4 secara rutin setiap 6 bulan

2. Pasien yang mendapat TDF, perlu pemeriksaan kreatinin serum pada awal, dan

setiap 3 bulan pada tahun pertama kemudian jika stabil dapat dilakukan setiap 6

bulan.

3. Pengukuran viral load (HIV RNA) tidak dianjurkan sebagai dasar pengambilan

keputusan untuk memulai terapi ARV atau sebagai alat pemantau respon

pengobatan pada saat tersebut. Dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis dini

adanya kegagalan terapi atau menilai adanya ketidaksesuaian antara hasil CD4

dan keadaan klinis dari pasien yang diduga mengalami kegagalan terapi ARV.

VII. PERTANYAAN DAN JAWABAN

1. Nur Itciani Harlin (18123441A)

Pertanyaan :

Page 40: Laporan 4, HIV-AIDS

Kenapa lebih memilih lamivudine (3TC) dibandingkan dengan FTC ?

Jawaban :

Karena lamivudine memiliki efek samping yang lebih ringan dan laju resistensinya

lebih lambat, dan juga lamivudine merupakan obat gratis subsidi pemerintah.

2. Rosita Rahmah (18123452A)

Pertanyaan :

Untuk efek samping berupa neuropati perifer, apakah ditangani dengan obat-obatan

tertentu ?

Jawaban :

Ya, untuk neuropati perifer ditangani dengan pemberian obat yang dapat menangani

gangguan syaraf seperti neurobion, dimana neurobion berisi vitamin B kompleks.

3. Irfan (18123547A)

Pertanyaan :

Untuk sulfadiazine , pirimidin dan asam folat merupakan obat untuk HIV pasien ?

Jawaban :

Tidak, karena sulfadiazine, pirimidin dan asam folat digunakan untuk mengatasi

toxoplasma serebral pasien, tetapi tidak digunakan lagi karena status pasien telah

pulih dari episode toxoplasma.

VIII. KESIMPULAN

Pada kasus ini dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami efek samping neuropati

perifer karena penggunaan kombinasi obat ARV stavudin dan didanosine yang ditandai

Page 41: Laporan 4, HIV-AIDS

dengan gejala berupa nyeri, kesemutan, bagian ujung tubuh hilang rasa, lemah otot, tidak ada

reflex oleh karena itu dilakukan penghentian obat dan mengganti obat yang sesuai dengan

guideline yang ada, dan efek samping tersebut diatasi dengan pemberian neurobion. Dan

untuk penggunaan obat sulfadiazine, pirimetamine, dan asam folat dapat dihentikan karena

nilai CD4 pasien lebih dari 200 sel/mm2

DAFTAR PUSTAKA

Page 42: Laporan 4, HIV-AIDS

Clinical Management of the HIV-Infected Adult: A Manual For Midlevel Clinicals, oleh

Patricia Yeargin, Rosemary Donnelly, dan Dianne Weyer, RN, MN, CFNP.

Southeast AETC and MATEC, Maret 2003.

Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan

Penyehatan Lingkungan, Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan

bagi ODHA, Jakarta, 2003.

Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan

Penyehatan Lingkungan, Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral, Jakarta, 2004.

Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan,

Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, Jakarta, 2002.

Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan,

Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan di Puskesmas,

Jakarta, 2004.

Fletcher CV. & Kakuda TN. HIV Infection di Dipiro JT et al. Pharmacotherapy, A

Pathophysiologic Approach., 6th ed, Mc Graw-hill, NewYork, 2005: 2255-2277.

Gregg CR. Drug Interaction And Anti-Infective Therapies.The American journal of Medicine

1999;106:227-237.

Hoffmann C, Rockstroh JK, Kamps BS. HIV Medicine 2005. Flying Publisher. Paris,

Cagliari, Wuppertal, Sevilla 2005.

Management Sciences for Health, Managing Drug Supply, New York, Kumarin Press, 1998.

Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana., 2007, Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan dan

Efek Sampingnya, Edisi Keenam, PT. Elex Media Komputindo Gramedia, Jakarta.

Tim Penyusun IONI, 2000, IONI: Informatorium Obat Nasional Indonesia, hal. 301, Depkes

RI Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.

Tim Penyusun ISO Farmakoterapi, 2008, ISO Farmakoterapi Jilid II, PT. ISFI Penerbitan,

Jakarta.