lapis final2a

23
reformasibirokrasi_syakrani_2013 Roots for Radicals: Radical changes for radical results Syakrani [email protected] Reformasi birokrasi di banyak negara berkembang tidak menyentuh akar perma- salahannya; ia kerap terperangkap pada formalisme, dangkal dan tidak komprehensif. Karena itu, reformasi birokrasi sering membuat masalah menjadi tidak lebih baik (Gerald Caiden, 1991)

Upload: rony-syakrani

Post on 25-Jun-2015

125 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lapis final2a

reformasibirokrasi_syakrani_2013

Roots for Radicals:Radical changes for radical results

Syakrani

[email protected]

Reformasi birokrasi di banyak negara berkembang tidak menyentuh akar perma-salahannya; ia kerap terperangkap pada formalisme, dangkal dan tidak komprehensif.Karena itu, reformasi birokrasi sering membuat masalah menjadi tidak lebih baik (GeraldCaiden, 1991)

Page 2: Lapis final2a

P a g e | 2

reformasibirokrasi_syakrani_2013

Roots for Radicals1

Syakrani2

([email protected])

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu; Dinegeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicaritandingan; Di negeriku anak lelaki, anak perempuan, kemenakan, sepupu dancucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara hancur-hancuran seujungkuku tak perlu malu; Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alatringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeumdipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari; Di negeriku budipekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-haribagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia, Taufik Ismail

Kemerosotan moral bangsa terjadi, karena semua institusi yang menyanggarepublik ini telah kehilangan alasan adanya (raison d’être).

Hery Priyono

Semenjana

eformasi Birokrasi Gelombang I berdasarkan Peraturan MenteriNegara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 15/2008 – periode2004 – 2009 – sudah berlalu, walau tanpa jejak yang jelas dan

bukti-bukti yang dapat diandalkan tentang dampak positifnya terhadappenyehatan birokrasi pemerintahan kita. Menurut peraturan ini, reformasibirokrasi masih berskala terbatas, instansional, dengan sasaran mewujudkantata kelola pemerintahan yang baik, good governance. Area perubahannyamencakup kelembagaan (organisasi), budaya organisasi, ketatalaksanaan,regulasi-deregulasi, dan sumberdaya manusia.

Gelombang II berskala instansional sekaligus nasional, yang dimulaisejak 2010 dan akan berakhir setahun lagi, tahun 2014. Sasaran dan areaperubahannya diperluas mencakup: terwujudnya pemerintahan yang bersihdan bebas KKN, peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat,dan peningkatan akuntabilitas kinerja birokrasi, yang didukung olehperubahan-perubahan organisasi (organizational development), tata-

1Makalah disajikan pada Sosialisasi Reformasi Birokrasi yang diselenggarakan oleh PemerintahKota Banjarbaru di Hotel Roditha, Banjarbaru pada 06 April 2013.

2Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lambung Mangkurat, KalimantanSelatan.

R

Page 3: Lapis final2a

P a g e | 3

reformasibirokrasi_syakrani_2013

laksana, peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia aparaturpemerintah, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, pola pikir danbudaya kerja. Periode ini memang belum genap di penghujungnya, tetapisampai sekarang sulit juga kita melihat hasil-hasil positifnya yang signifikanbagi penyehatan birokrasi, yang berdampak terhadap pemberantasan KKN,peningkatan akuntabilitas pelayanan publik, dan peningkatan daya saingnegara dan daerah. Justeru dalam periode ini korupsi kian mengguritamenjerat elite politik dan pemerintahan.

Celakanya lagi, di periode 2010 – 2014 rakyat menyaksikan terjadinyamutasi genetika institusi-institusi utama negara – executive, legislative, danjudicative (dikenal dengan istilah trias politica). Institusi-institusi utama inisemakin mendapat ketidakpercayaan publik sebagai representasi palingkonstitusional rakyat yang amanat menjalankan fungsi mensejahterakanpenduduk. Senyap-senyap kita mulai mendengar istilah-istilah lain untukmenyebut lembaga-lembaga utama itu, yakni executhief untuk executive,legislathief legislative), dan judicathief untuk judicative. Istilah alternatif inimenggambarkan terjadinya institutional decay pada tiga lembaga utamatersebut.

Secara harfiah, kata thief berarti pencurian milik orang lain dengansenyap-senyap, tanpa paksaan dan kekerasan. Kalau makna harfiah ini kitarujuk, maka mutasi genetika institusional menggambarkan terjadinyapenyimpangan fungsi-fungsi kelembagaan dari tiga lembaga utama tersebut.

Alih-alih mengurus negara untuk kemartabatan bangsa, elite-elite politikdan pemerintahan di tiga lembaga tersebut tanpa rasa malu meng-thief miliknegara dan/atau milik rakyat untuk kepentingan sendiri baik dengan culasmaupun sistemik. Priyono menegaskan, kemerosotan moral bangsa terjadi,karena semua institusi yang menyangga republik ini telah kehilangan alasanadanya (raison d’être).

Kementerian Dalam Negeri menyimpan catatan (dugaan) korupsi yangdilakukan oleh anggota legislatif, baik di pusat maupun di daerah.Sekurang-kurangnya lebih dari 42 anggota DPR terseret kasus korupsi. Sejak2004 sampai 2012 tercatat sekurang-kurangnya sebanyak 710 anggotaDPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia tersangkut kasus korupsi.Selama periode 2004 - 2012, Kemendagri memberi izin pemeriksaanterhadap 2.976 anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruhIndonesia; sebanyak 2.545 izin pemeriksaan untuk anggota DPRD

Page 4: Lapis final2a

P a g e | 4

reformasibirokrasi_syakrani_2013

Kabupaten/Kota dan 431 anggota DPRD tingkat Provinsi, yang sebagiannyamenyangkut dugaan tindak pidana korupsi. Catatan ini, tentu saja, belummencakup tindakan-tindakan korupsi yang berhasil dihambat untuk tidakmenguap ke ranah hukum.

Kasus korupsi di lembaga legislatif – legislathief – tidak berdiri sendiri.Pertukaran kepentingan dengan lembaga eksekutif demi sebuah kebijakanpolitik dan kebijakan publik, terutama dalam penyusunan APBN atau APBD,telah lama dijadikan ajang pemburuan rente (rent seeking) baik untukmemperkaya diri sendiri maupun untuk “setoran” ke partai politik.Sekurang-kurangnya ada 158 kepala daerah, yang terdiri atas gubernur,walikota, dan bupati, tersangkut kasus korupsi. Beberapa di antaranya sudahdivonis bersalah. Pertukaran ini kemudian membentuk sebuah wadahselingkuh nista, yakni selingkuh nista execu- legislathief.

Selingkuh nista ini sesungguhnya dapat dengan mudah dikenali dandiatasi seandainya lembaga penegak hukum, pelindung keadilan, perawathukum (judicative) berfungsi sesuai dengan kultur hukum yang sehat,habitus hukum yang beradab dalam basis moral/etika asas KemanusiaanYang Adil dan Beradab. Tetapi kita sering menyaksikan sendiri begitubanyak kelucuan dan parodi dalam penegakan hukum. Pada 2009,Mahkamah Agung menjatuhkan sanksi pada 78 hakim. Kemudian, pada2010, sebanyak 107 hakim mendapat teguran hingga diberhentikan. Catatankelabu penagak hukum yang melanggar hukum pasca-2010 sekelamkeadaan sebelumnya.

Fakta ini, habitus nista ini, selingkuh bejad ini, mestinya menyadarkankita tentang konteks-konteks ekologis sosio-kultural, sosio-politik, dankonteks-konteks lain dari penggelindingan reformasi birokrasi. Guru besaradministrasi publik, Mustopadidjaja (2003) pernah mengemukan, reformasibirokrasi adalah syarat utama pemberantasan KKN. Untuk kasus Indonesia,pandangan ini sangat semenjana (mediocare). Semestinya, pemberantasanKKN, terutama korupsi, diposisikan sebagai syarat mutlak bagi reformasibirokrasi. Artinya, reformasi birokrasi tidak boleh lagi dipahami sebatas isu-isu dan agenda-agenda pinggiran seperti modernisasi manajemenkepegawaian; restrukturisasi, downsizing, rightsizing, perubahanmanajemen dan organisasi; rekayasa proses administrasi pemerintahan;anggaran berbasis kinerja dan proses perencanaan yang partisipatif;hubungan-hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat dalam

Page 5: Lapis final2a

P a g e | 5

reformasibirokrasi_syakrani_2013

pembangunan dan pemerintahan (Prasojo dan Kurniawan, 2008). Meskipunisu-isu dan agenda-agenda itu penting, tetapi ia tetap akan mandulmenghadapi kendala yang bersumber dari persoalan besarnya. Pengabaiankonteks-konteks ekologis dalam penggelindingan reformasi birokrasi, apalagi di daerah, berarti dengan sistematik kita ingin menciptakan kondisi agargagasan dan program reformasi birokrasi tetap dianggap tidak strategis.

Di negara-negara yang sudah memiliki strong culture, seperti diSingapore, penggelindingan reformasi birokrasi yang hanya menyentuh isu-isu dan agenda-agenda itu bisa mengantarkannya ke public administrationtake-off, tetapi untuk kasus di negeri ini, isu-isu dan agenda-agenda tersebuthanya membuat reformasi birokrasi menjadi isu/agenda pinggiran, yangdianggap tidak dibutuhkan. Oleh karena itu, penggelindingan reformasibirokrasi membutuhkan pendekatan yang radikal, yang dalam tulisan inidisebut Roots for Radicals.

Strategi Reformasi Budaya

Kemiskinan terparah bangsa ini bukanlah kemiskinan sumberdaya, melainkankemiskinan jiwa. Di tangan para pemimpin dengan mental pengemis; yang takbisa memberi-melayani, hanya bisa diberi-dilayani, seberapa banyak punkekayaan sumberdaya yang kita miliki tak akan membawa kesejahteraan bagirakyatnya

Yudi Latif, 2013

Pancasila berserta nilai-nilai kultural luhurnya ada di dalam kitab suci dandibacakan hikmat saat sumpah jabatan, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, iabagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

Diadaptasi dari Taufik Ismail

Gagasan untuk memformat penggelindingan reformasi birokrasi dalamkonteks reformasi budaya perlu diappresiasi. Walau gagasan ini bukanlahgagasan terbaru, tetapi tawaran ini sangat menantang, sekurang-kurangnyakarena ini telah menempatkan keterbelakangan budaya (weak culture)sebagai inti persoalan keterbelakangan (peradaban) birokrasi.

Catatan sejarah intelektual pernah memberi perhatian serius pada faktorbudaya (culture) sebagai penentu kemajuan manusia (human progress).Pada 1940-an dan 1950-an, ilmuwan-ilmuwan seperti Margaret Mead, RuthBenedict, David McClelland, Edward Banfield, Alex Inkeles, Gabriel Almond,Sidney Verba, Lucian Pye, dan Seymour Martin Lipset telah menyinggung

Page 6: Lapis final2a

P a g e | 6

reformasibirokrasi_syakrani_2013

peran budaya dalam pembangunan ekonomi dan politik. Pada 1978, BrianMay dalam tulisannya The Indonesia Tragedy mengemukakan, Indonesiamemiliki segalanya untuk menjadi negara maju. Tetapi, kemajuan inidihadang kuat oleh hambatan kultural, sehingga semua syarat dansumberdaya untuk maju menjadi tragedi, resources tragedy, resourcescurse. Tragedi dan kutukan sumberdaya.

Pada 1985, Harrison melakukan studi tentang keterbelakangan sebagianbesar negara Amerika Latin. Judul buku yang dia tulis dari hasil studinya itumenegaskan faktor paling utama keterbelakangan: nilai-nilai kultural.Underdevelopment Is a State of Mind: The Latin American Case. Duapuluh dua tahun kemudian, kesadaran tentang peran penting faktor budayadalam pembangunan lahir kembali. Harrison bersama Huntington pada 22– 25 April 1999 menyelenggarakan Simposium Internasional di theAmerican Academy of Arts and Sciences, Cambridge, Massachusettsbertajuk Cultural Values and Human Progress. Hasil simposium ini pada2000 dipublikasikan menjadi sebuah buku berjudul Culture Matters: HowValues Shape Human Progress.

Huntington memberi pengantar yang inspiratif untuk buku ini, terutamayang berkaitan dengan konsep culture. Menurut dia, konsep culturememiliki banyak arti pada setiap disiplin ilmu dan setiap konteks. Ia bisadibatasi sebagai produk-produk intelektual, karya musik dan seni, ataususatera. Dalam antropologi, konsep culture diartikan sebagai seluruh carahidup penduduk di sebuah masyarakat yang mencakup nilai-nilai, praktik-praktik sosial budaya, simbol-simbol, institusi-institusi, dan pola-polahubungan antar-manusia. Tetapi, dalam konteks culture matters andhuman progress, konsep ini didefinisikan sebagai nilai-nilai, sikap-sikap,keyakinan-keyakinan, dan asumsi-asumsi yang mendasari cara hiduppenduduk di sebuah masyarakat.

In this book, however, we are interested in how culture affects societaldevelopment; if culture includes everything, it explains nothing. Hence wedefine culture in purely subjective terms as the values, attitudes, beliefs,orientations, and underlying assumptions prevalent among people in asociety.

Dalam batasan-batasan itulah para ahli yang diundang untuk menyajikankertas kerja menjelaskan peran culture dalam pembangunan. David Landesmisalnya; dia membahas secara khusus peran culture dalam pembangunanekonomi. Tulisannya, Culture Makes Almost All the Difference, menegaskan

Page 7: Lapis final2a

P a g e | 7

reformasibirokrasi_syakrani_2013

bahwa yang membuat perbedaan pembangunan ekonomi antar-negaraadalah culture. Negara-negara yang dirujuk sebagai negara yang mampumembuat perbedaan dari sisi culture matters, antara lain, adalah Singapore& China.

Mari kita coba telusuri sejenak kasus-kasus pengaruh kuat culturematters terhadap kemajuan dua negara ini, untuk kemudian kita refleksikanuntuk Indonesia, khususnya yang terkait dengan reformasi birokrasi,terutama di daerah. Darinya nanti kita akan mendapati, culture di duanegara tetangga kita ini bukanlah sekadar rumusan elok nilai-nilai cultural,tetapi nilai-nilai kultural yang menjadi dan dijadikan prinsip-prinsip hidupbaik dalam kehidupan individu dan masyarakat maupun kehidupanberbangsa, bernegara, dan berpemerintahan.

Dalam perspektif character mattersversi Lickona (1992), penduduk, elitepolitik dan pemerintahan dua negara inibukan hanya knowing the good (moralknowing), tetapi juga loving the good(moral feeling) dan acting the good(moral action).

Dua negara ini menyajikan sebuahcermin besar tentang budaya yangdihidupi; living culture, yang dalamproses pembentukan, habituasi, danperawatannya menerapkan pendekatanroots for radicals, tidak quick-fix.

Mari kita mulai dari contoh yangpaling sederhana tentang China.

Beberapa tahun yang silam, banyak kalangan sibuk memprediksi kapanChina dapat mengalahkan Amerika Serikat sebagai negara adidaya. Pada2008, Goldman Sachs memperkirakan China akan mengungguli AS pada2050. Tetapi, New York Time dalam tulisannya China Passes Japan asSecond-Largest Economy pada 15 Agustus 2010 mengemukakan, Chinaakan dapat mengungguli AS pada 2030.

Terakhir, IMF memprediksi China akan melampaui AS pada 2016.

Page 8: Lapis final2a

P a g e | 8

reformasibirokrasi_syakrani_2013

Cerita jejak-jejak kemajuan negara ini mengesankan. Pada 2000, Chinasudah dapat mengalahkan Italia. Pada 2005, 2006, dan 2007 berturut-turutgiliran Perancis, Inggris, dan Jerman yang dilewati. Dan pada 2010, Jepangdilalui. Kalau prediksi IMF benar, maka tiga tahun lagi AS akan diunggulioleh China (Sinamo dan Siadari, 2013). Fakta tentang sebab-sebab di balikcerita sukses ini bermacam-macam. Satu yang paling utama adalahkombinasi antara strong leadership dan nilai-nilai budaya yang dihidupi,yang kemudian membentuk the Chinese Ethos.3

Makalah ini tidak akan menelusuri sumber-sumber etos tersebut.Rumusan sederhana tentang sumber etos China ditemukan di hasil risetYing Fang (1995), yang mengidentifikasi 40 etos kerja yang dikelompokkanke dalam enam nilai, yaitu:

Nilai Etos Nilai EtosI. Kebangsaan 1. Patriotisme.

2. Rasa superioritasbudaya.

3. Penghormatanterhadap tradisi.

4. Pendidikan.

II. Hubunganinter-personal

5. Dapat dipercaya,amanah.

6. Keramahan,kemurahan hati.

7. Toleransi.8. Harmoni dengan

sasamamanusia.

9. Kesantunan.10. Kerendahan hati.11. Keakraban.12. Penghargaan

terhadap ritusdan tradisi.

13. Membalassalam, berbuatbaik danberbagi.

14. Membalaskebaikan.

15. Menjagamartabat.

3Nilai-nilai kultural (cultural values) hanyalah penampakan sederhana dari culture dan bisa jadihanya menyangkut moral knowing. Tetapi, etos (etos kerja, etos juang) melampaui moral knowing; iaadalah nilai-nilai kultural yang dihidupi; living culture yang membentuk karakter. Sinamo (2013)mendefinisikan etos kerja sebagai nilai-nilai fundamental pada individu, masyarakat, dan bangsa yangmenjadi kekuatan penggerak perjuangannya dan yang membentuk kebiasaan-kebiasaan sosial danpraktik-praktik kerja keseharian, yang kemudian membentuk karakter individu, masyarakat, danbangsa.

Page 9: Lapis final2a

P a g e | 9

reformasibirokrasi_syakrani_2013

III. Orientasisosial

16. Kesalehan sosial.17. Membela

perempuan.18. Penghormatan

pada atasan.19. Hubungan

hirarkisberdasarkanstatus.

IV. Sikap dalambekerja

20. Kerja keras.21. Komitmen.22. Hemat.23. Gigih.24. Sabar.25. Hati-hati26. Cermat.27. Luwes.

V. Filosofidalamberbisnis

28. Tidak bersaing.29. Jalan tengah.30. Kemakmuran.31. Menolak korupsi.32. Konservatif.

VI. Sikapsebagaipribadi

33. Integritas.34. Kejujuran.35. Rasa malu.36. Mandiri.37. Tulus.38. Percaya diri.39. Tidak mudah

terpengaruh.40. Mampu

menahan diri.

Riset-riset lain mengemukakan, nilai-nilai luhur China bukan hanya dirawatdan dipelihara, tetapi diterapkan, terhabituasi, dan mambatin dalamkeseharian hidup, sehingga ia membentuk karakter.

Contoh yang mirip adalah kasus pengaruh kuat culture terhadapkemajuan Singapore. Neo dan Chen (2007) menuturkannya dengan apikdalam buku Dynamic Governance: Embedding Culture, Capabilities andChange in Singapore. Model ini kemudian lebih dikenal dengan model 3Cs:Culture, Capabilities, and Change, yang secara visual dilihat pada gambarberikut ini.

Catatannya mengungkapkan, Singapore merupakan negara kecil tetapidengan prestasi global governance yang unggul, seperti indeks daya saingnegara, peringkat korupsi, HDI, iklim usaha/investasi, dan prestasi-prestasilain yang terkait dengan tata-kelola kepemerintahannya. Bagian bawah darimodel 3Cs menjelaskan, Singapore memiliki strong culture, a living culture,yang diwujudkan dalam prinsip-prinsip dan keyakinan-keyakinan hidupberikut ini.

1. Prinsip-prinsip hidup:1.1. Anti-korupsi.1.2. Meritokrasi.

Page 10: Lapis final2a

P a g e | 10

reformasibirokrasi_syakrani_2013

1.3. Orientasi pasar.1.4. Pragmatisme.1.5. Multi-rasialisme

2. Keyakinan-keyakinan hidup:2.1. Keaktifan negara (state activism).2.2. Orientasi jangka panjang.2.3. Relevansi.2.4. Orientasi pertumbuhan.2.5. Stabilitas.2.6. Kearifan (prudence).2.7. Kemandirian.

Bukti bahwa culture (principles and belief) di negeri ini tidak sekadardirumuskan, dirawat, dan dipelihara adalah komitmen untuk memungsikanculture pada tiga fungsi utama, yaitu:

1. Menghambat/menghalangi/melarang (toconstrain).

2. Menghadapi (toconfront).

3. Mempermudah(to catalyze).

Sebagai contoh, prinsipanti-korupsi(incorruptibility) danmulti-rasialismeberfungsi melarangtindakan korupsi dan rasisme, serta menghukumnya dengan berat orang,apalagi pejabat publik, dan kelompok yang melakukannya.

Prinsip orientasi pasar berimplikasi pada penerapan pasar bebas dalambidang ekonomi. Tetapi, keyakinan tentang keaktifan negara (state activism)berfungsi menghadapi tantangan pasar bebas ini dengan menempatkannegara sebagai aktor utama. Praktik ini sering disebut state capitalism, yangjuga diterapkan oleh China. Fungsi-fungsi culture inilah, selain sebagai buktikultur yang dihidupi, berpengaruh kuat terhadap tingkat adaptasigovernance negeri ini, karena dengannya berkembang tiga habitus mulya,

Page 11: Lapis final2a

P a g e | 11

reformasibirokrasi_syakrani_2013

yakni think ahead, think again, and think across. Tiga habitus inilahkemudian senantiasa mendorong negara dan pemerintah Singaporemengembangkan kapabilitas untuk menghadapi perubahan internal danglobal.

Inti kemajuan negeri ini adalah nilai-nilai budaya yang dihidupi/diterapkan dalam keseharian hidup.

Masalahnya sekarang adalah, apakah nilai-nilai kultural tersebut sedikitpun tidak bersifat universal, sehingga harus disebut The Chinese Ethos atauThe Singapore Ethos? Lebih spesifik lagi, pertanyaannya adalah, apakahkultur besar kita – Pancasila – tidak mengandung nilai-nilai luhur yangmembuat negara kita bisa maju?

Jawabnya pasti tidak! Tetapi persoalannya adalah, nilai-nilai kulural kitayang bersemayam dalam kultur besar tersebut tidak dihidupi, belummenjadi living culture. Kita abai tidak menghidupi Pancasila beserta nilai-nilai sosio-kultural luhur turunannya baik sebagai pribadi dan anggotamasyarakat, kelompok dan organisasi apa pun maupun sebagai pengembanamanat kedaulatan rakyat.

Dalam perspektif Taufik Ismail, Pancasila berserta nilai-nilai kulturalluhurnya ada di dalam kitab suci dan dibacakan hikmat saat sumpah jabatan,tetapi dalam kehidupan sehari-hari, ia bagai jarum hilang menyelam ditumpukan jerami selepas menuai padi.

Catatan sejarah bercerita tentang bagaimana Pancasila yang disepakatioleh orang-orang terbaik kita beberapa tahun silam bukan hanya untukdijadikan fondasi kenegaraan dan kebangsaan, tetapi bercerita tentang visibersama, impian bersama, cita-cita bersama untuk membentuk sebuahNegara Paripurna yang dilandasi oleh dasar-dasar Ketuhanan Yang MahaEsa, yang mampu menyelinap masuk membatin ke asas Kemanusiaan YangAdil dan Beradab, yang menjadi pengikat Persatuan Indonesia dan semangatber-Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalamPermusyawaratan/Perwakilan, untuk mewujudkan cita-cita Keadilan BagiSeluruh Rakyat Indonesia.

Kini, di usia bangsa ini yang ke-68, di saat sumberdaya alam kita kianmenipis, di kala utang luar negeri bangsa ini makin menumpuk, bukangambaran tentang Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang sedang kitasaksikan, tetapi sebaliknya; Keamburadulan Sosial Bagi (sebagian besar)

Page 12: Lapis final2a

P a g e | 12

reformasibirokrasi_syakrani_2013

Rakyat Indonesia. Bila kelak anak-cucu kita bertanya, mengapa justerukeamburadulan sosial yang terjadi, bisakah kita menjelaskan kepada merekabahwa ia terjadi lantaran:

1. Kita tidak lagi menjadikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaidasar berbangsa dan bernegara yang utama; justeru kita sedang me-“nuhan”-kan diri pada asas Keuangan Yang Maha Kuasa.

2. Kita tidak lagi menjadikan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradabsebagai landasan utama dalam mengurus bangsa dan negara; justerukita sedang menggantinya dengan asas Kekuasaan Yang Licik danBiadab.

3. Kita tidak lagi berkomitmen tulus pada sila Persatuan Indonesiauntuk merawat ke-Indonesia-an yang paripurna; justeru denganasas Kekuasaan Yang Licik dan Biadab kita melakukanPengkhianatan Indonesia.

4. Orang-orang yang kita beri amanat untuk mengurus bangsa dannegara ini, para elite politik, para elite pemerintahan, para penentukebijakan publik, secara sendiri-sendiri dan kolektif, melupakan silaKerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalamPermusyawaratan/Perwakilan. Mereka menerapkan asas baru:Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Sindikat Kuasa dan KeculasanPermusyawaratan/Perwakilan.

5. Dan, sumber-sumber penyebab Keamburadulan Sosial Bagi(sebagian besar) Rakyat Indonesia bila ditelusuri dari empat habitustak terpuji di atas.

Jawaban-jawaban yang tepat atas pertanyaan itu perlu kita kemukakansebagai bagian dari tanggung jawab moral kita kepada anak-cucu kita. Sebab,mereka akan mengatakan kepada kita: bumi Indonesia ini bukanlah milikkita, orang tua kita, tetapi hanyalah pinjaman dari mereka untuk kita.Implikasinya bagi kita adalah adanya tanggung jawab historis untukmeruwujudkan keadilan sosial lintas-generasi, ada tanggung jawab moralmewujudkan kemakmuran lintas-generasi, ada akuntabilitas politik untukmewujudkan kemaslahatan lintas-generasi yang akan dituntut oleh anak-cucu kita kepada kita sebagai peminjam bumi Indonesia.

Pancasila dirumuskan dan disepakati sebagai fondasi berbangsa danbernegara bukan untuk kebutuhan sesaat, hanya untuk menyambutkemerdekaan RI saja, tetapi sebagai penjamin utama keadilan sosial lintas-

Page 13: Lapis final2a

P a g e | 13

reformasibirokrasi_syakrani_2013

generasi, kemakmuran lintas-generasi, kemaslahatan dan kemartabatanbangsa lintas-generasi. Dengan kata lain, Pancasila sejatinya dapatmembimbing terwujudnya Negara Paripurna, yang dapat mencegah sejakdiri terjadinya sial-sial kebangsaan, Pancasial, seperti dikemukakan di atas.

Tugas menantang kita adalah bagaimana strategi reformasi budaya kitadalam rangka reformasi birokrasi “memaksa” setiap orang, setiap pegawaiatau karyawan, setiap pejabat, elite birokrasi, dan elite politik untukmenghidupi nilai-nilai luhur itu. Konsepsi strategi kultural harus menyentuhunsur-unsur yang radikal dalam reformasi birokrasi. Ibarat iceberg (gununges), konsep strategi reformasi budaya harus menyentuh bagian-bagian dasardari gunung es. Isu-isu dan agenda-agenda seperti modernisasi manajemenkepegawaian; restrukturisasi, downsizing, rightsizing, perubahanmanajemen dan organisasi; rekayasa proses administrasi pemerintahan;anggaran berbasis kinerja dan proses perencanaan yang partisipatif;hubungan-hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat dalampembangunan dan pemerintahan, saya pikir masih menyentuh puncakgunung es, bukan dasarnya. Kesibukan kita menggelidingkan isu-isu danagenda-agenda ini, walau penting juga, akan menggerus momen-momenhistoris berbangsa dan bernegara, yang secara historis pula mempertebaltambatan-tambatan kultural untuk maju dan tampil beda sebagai bangsayang bermartabat. Dibutuhkan pendekatan lain yang lebih substansial.

Roots for Radicals

Beruntunglah kita bila hari ini kita lebih baik daripada hari kemarin;merugilah kita bila ternyata hari ini kita hanya sama dengan hari kemarin;tetapi celakalah kita bila hari ini kita lebih jelek daripada hari kemarin

Kearifan Profetik

Konsep roots for radicals4 melengkapi trilogi konsep atau strategi yangdikembangkan oleh Alinsky untuk melakukan perubahan mendasar danorganik untuk kasus marjinalisasi sosial, budaya, ekonomi, dan politikpenduduk. Dua konsep dan strategi sebelumnya adalah reveille for radicalsdan rules for radicals.

4Istilah radicals dalam konsep roots for radicals, menurut penulis buku Roots for Radicals –Edward T. Chambers (2010) – berarti roots (Latin), yang bermakna mendasar. Jadi, konsep inilebih jauh pengertiannya ke makna revolusioner, tetapi lebih dekat ke makna mendasar – keakar-akarnya – dan komprehensif.

Page 14: Lapis final2a

P a g e | 14

reformasibirokrasi_syakrani_2013

Tiga naskah yang membentuk trilogi strategi perubahan mendasar iniperlu ditengok dan dipelajari secara cermat untuk kemudian diadaptasiuntuk menggelindingkan kebijakan dan program reformasi birokrasi darientry point reformasi budaya. Alasan sederhananya adalah, karenareformasi birokrasi membutuhkan perubahan mendasar dan komprehensif.Tawaran strategi reformasi budaya itu sendiri menyiratkan adanyakesadaran tentang urgensi perubahan mendasar dan menyeluruh itu.

Salah satu ciri khas dari pendekatan roots for radicals ini, selainmendasar dan menyeluruh, adalah penekanannya pada organizing forpublic power, for community action, and for public justice pada ranahmikro, sehingga semua institusi pada ranah ini dapat melakukan communityempowerment. Dengannya penduduk, komunitas, dan institusi-institusinyakemudian dapat mempengaruhi arah kebijakan, mampu menyalurkanaspirasi warga, menjadi tempat pengembangan civic culture, menjadikekuatan pendorong perubahan yang terhambat oleh patologi birokrasi, danmenjadi mitra pemerintah untuk melakukan perubahan.

Kalau yang dimaksud dengan tawaran strategi reformasi budaya untukreformasi birokrasi adalah perubahan mendasar dan komprehensif – roots --, maka tidak berlebihan bila kita mulai memikirkan bagaimana caranyamemetakan sifat kemendasaran dan kekomprehensifan perubahan yangdiinginkan, serta bagaimana caranya melakukan community and publicorganizing.

Tulisan ini menawarkan sebuah model hipotetik reformasi birokrasi dariperspektif roots for radicals (mendasar dan komprehensif) seperti disajikanpada gambar di bawah ini.

Sekurang-kurangnya ada tiga ruang publik pada ranah mikro ini yangperlu ”direkayasa” untuk menghasilkan reformasi birokrasi yang mendasardan komprehensif, yang dipilari oleh kekuatan institusi sosial, yaitu:

1. Ranah sosial budaya:1.1. Keluarga berkarakter, yang membiasakan perilaku berkarakter

kepada anggota keluarga (FC: family of character).1.2. Sekolah berkarakter, yang menjadi mitra keluarga dalam

pendidikan karakter untuk anggota keluarga (SC: school ofcharacter).

1.3. Masyarakat berkarakter, yang mendukung sekolah dan keluarga

Page 15: Lapis final2a

P a g e | 15

reformasibirokrasi_syakrani_2013

berkarakter (CC: community of character).

(catatan: pada tiga ruang publik ini, proses habituasi karakterdilakukan, sehingga menghasilkan sumberdaya manusia yangberkarakter)

1.4. Organisasi-organisasi masyarakat madani/CSOs (kelompok danorganisasi sosial) yang tangguh, yang mampu melakukanpendidikan komunitas dalam proses penyadaran dan animasisosial tentang pentingnya karakter.

1.5. Media massa yang edukatif, yang mampu menjalankan fungsipemantauan (watch) dan pengoreksi karakter melalui publikasi,penyiaran, diskusi-diskusi terbuka tentang kasus-kasus karakter,serta mampu memberi pendidikan dan kesadaran karakter (MS).

(catatan: sinergi antara CSOs yang tangguh dan media massayang edukatif akan menempatkan dua institusi ini: (a) kebawah: menjadi agent of character education; (b) ke atas:

Page 16: Lapis final2a

P a g e | 16

reformasibirokrasi_syakrani_2013

menjadi penyuara tindakan berkarakter dan pemrotesperilaku tak berkarakter oleh elite birokrasi dan politik)

2. Ranah perundang-undangan/hukum:2.1. Keluarga sadar hukum, yang membiasakan perilaku sadar

hukum kepada anggota keluarga, sehingga terampil bertindaksesuai dengan hak & kewajiban sebagai warga (FH: family of law).

2.2. Sekolah sadar hukum, yang menjadi mitra keluarga dalampendidikan sadar hukum untuk anggota keluargan (SH: school oflaw).

2.3. Masyarakat sadar hukum, yang mendukung sekolah dan keluargasadar hukum (CH: community of law).

(catatan: sama dengan ruang publik pertama, pada tiga ruangpublik ini, proses habituasi perilaku sadar hukum dilakukan,sehingga menghasilkan sumberdaya manusia yang terampilbertindak sesuai dengan norma sosial dan hukum yangberlaku)

2.4. Organisasi-organisasi masyarakat madani/CSOs (kelompok danorganisasi sosial) yang tangguh, yang mampu melakukanpendidikan komunitas dalam proses penyadaran dan animasisosial tentang pentingnya perilaku sadar hukum.

2.5. Media massa yang edukatif, yang mampu menjalankan fungsipemantauan (watch) dan pengoreksi tindakan pelanggaranhukum dan norma melalui publikasi, penyiaran, diskusi-diskusiterbuka tentang kasus-kasus hukum, serta mampu memberipendidikan dan kesadaran hukum kepada warga (MH).

(catatan: sinergi antara CSOs yang tangguh dan media massayang edukatif akan menempatkan dua institusi ini: (a) kebawah: menjadi agent penyadaran hukum; (b) ke atas:menjadi penyuara tindakan pelanggaran hukum danpemrotes perilaku menyimpang oleh elite birokrasi danpolitik; serta pemantau, dan penyuara masalah sinergitasperaturan perundang-undangan, termasuk seluruh per-UU-an menyangkut/menghambat reformasi birokrasi ).

3. Ranah politik.3.1. Keluarga melek politik, yang membiasakan perilaku sadar politik

kepada anggota keluarga, sehingga terampil bertindak sesuai

Page 17: Lapis final2a

P a g e | 17

reformasibirokrasi_syakrani_2013

dengan hak & kewajiban politik sebagai warga (FP: family ofpolitic).

3.2. Sekolah melek politik, yang menjadi mitra keluarga dalampendidikan sadar politik untuk anggota keluarga (SP: school ofpolitic).

3.3. Masyarakat melek politik, yang mendukung sekolah dan keluargasadar politik (CP: community of politic).

(catatan: tiga ruang publik ini menyelenggarakan pendidikanmelek dan sadar politik, sehingga menghasilkan sumberdayamanusia yang terampil bertindak sesuai dengan hak dankewajiban politiknya sebagai warga)

3.4. Organisasi-organisasi masyarakat madani/CSOs (kelompok danorganisasi sosial) yang tangguh, yang mampu melakukanpendidikan komunitas dalam proses penyadaran dan animasisosial tentang pentingnya melek politik sebagai warga politik.

3.5. Media massa yang edukatif, yang mampu menjalankan fungsipemantauan (watch) dan pengoreksi tindakan politicking (baca:selingkuh nista) melalui publikasi, penyiaran, diskusi-diskusiterbuka tentang kasus-kasus politicking, serta mampu memberipendidikan politik (MP).

(catatan: sinergi antara CSOs yang tangguh dan media massayang edukatif akan menempatkan dua institusi ini: (a) kebawah: menjadi agent penyadaran hak dan kewajiban politiksebagai warga politik; (b) ke atas: menjadi penyuara danpemrotes perilaku politicking (baca: selingkuh nista) dalamperumusan dan implementasi kebijakan publik/keputusanpolitik oleh elite birokrasi dan politik, serta menjadipengoreksi masalah sinergitas keputusan-keputusan politikyang menghambat reformasi birokrasi ).

Literatur-literatur tentang community organizing, periska misalnyabuku yang ditulis oleh Si Khan, Creative Community Organizing (2010) danoleh Loretta Pyles, Progressive Community Organizing (2009), jugasenantiasa menekankan adanya sense of deprivation di pihak publik (wargaatau komunitas) akibat tidak atau dilaksanakannya sebuah kebijakan publik,yang dengannya publik tidak terlayani dengan baik, terhambat aksesnyauntuk berpartisipasi, terampas peluangnya untuk menentukan pilihan (self-

Page 18: Lapis final2a

P a g e | 18

reformasibirokrasi_syakrani_2013

determination), serta terganjal kemampuannya untuk meningkatkankualitas hidup. Suasana deprivasi sosial, ekonomi, dan politik ini menumpukmenjadi kekecewaan yang bila tidak diorganisasi dengan baik akanmenyebabkan rebellion (Moore, 1966) dan social movement (Gurr, 1970)atau sekurang-kurangnya akan memberi peluang bagi mereka yangmengalami deprivasi untuk mengembangkan ”senjata-senjata kaum lemah”untuk menuntut haknya kepada pemerintah (Scott, 1998).

Strategi community organizing dalam konteks roots for radicals yangdilakukan oleh organisasi-organisasi masyarakat madani (CSOs) dan mediamassa, seperti dijelaskan di atas, menjadi media pelahiran dan penyadaranwarga tentang sense of deprivation, yang disebabkan oleh gagal atau tidakefektifnya pelaksanaan program reformasi birokrasi, sehingga warga tidakmendapat pelayanan bermutu, tidak memiliki wakil yang peduli publik,tidak memiliki aparatur pemerintah yang professional, yang karenanyanegara/daerah belum mampu meningkatkan daya saing dan kesejahteraanwarganya. Dengan demikian, community organizing yang dilakukan olehorganisasi-organisasi masyarakat (CSOs) menjadi media pengelolakekecewaan publik di satu sisi, tetapi sekaligus, di sisi lain, juga berperansebagai penyeimbang kekuataan political bargaining yang mampumencegah politicking habits oleh elite pemerintahan dan politik dalamformulasi dan implementasi kebijakan publik/keputusan politik, termasuksemua kebijakan dan keputusan politik tentang reformasi birokrasi.

Relasi demand- supply

Yang menyogok dan yang disogok sama-samamenanggung dosa besar

Al-Hadits

Pendekatan roots for radicals memutus mata-rantaipembentuk permintaan bad practices di pihakwarga dan publik (menyuap, meminta kemudahan,dsb.) dan bad practices di pihak birokrat, elitepemerintahan dan politik (menuntut komisi,pungutan liar, dsb.). Sebaliknya, pendekatan ini justeru menuntut sebuahbangunan relasi yang sehat antara warga/publik (pengusaha) dan birokrat-elite pemerintahan-elite politik. Warga/publik (pengusaha) berani menolakpenawaran kemudahan dan peluang untuk menyuap (bad practices)birokrat, elite pemerintahan, dan elite politik, apa pun risikonya. Bahkan

Page 19: Lapis final2a

P a g e | 19

reformasibirokrasi_syakrani_2013

mereka berani memprotes penawaran tersebut, karena tidak sesuai denganbaku karekter (standard of character). Warga dan publik berani memprotesdan mendemo birokrat, elite pemerintahan, dan elite politik, karena merasadirugikan oleh jalan yang cepat rusak, karena dananya sudah dikorupsi olehmereka. Warga dan publik akan berani memprotes dan mendemo elitepemerintahan dan elite politik, karena mereka mengangkat kepala dinas dansekretaris daerah yang tidak profesional.

Di sisi lain, birokrat, elite pemerintahan, dan elite politik berani menolakpermintaan bad practices warga dan publik (suap atau sexual gratificationuntuk mendapat kemudahan pelayanan atau proyek). Bahkan mereka dapatmengajukan keberatan kepada penegak hukum atas tindakan warga/publikyang melanggar standard of profesionalsm.

Tawaran strategi reformasi budaya dalam reformasi birokrasi harusmampu memotong mata-rantai relasi yang tidak sehat tersebut, sehinggamasalah dan seluruh agenda reformasi birokrasi tidak sekadar berputar-putar di tubuh birokrasi, karena asumsi sesat bahwa inti/akar persoalanreformasi birokrasi ada di tubuh birokrasi.

Pendekatan roots for radicals dan strategi reformasi birokrasi sekurang-kurangnya memiliki dua pesan. Pertama, ia adalah representasi tentangkesadaran bahwa langkah-langkah yang sudah kita tempuh untuk reformasibirokrasi tidak memadai lagi; ia gagal memotong mata-rantai supply anddemand of bad practices. Kedua, ia juga merupakan pantulan kesadarantentang perlunya pendekatan baru yang tidak quick-fix, tetapi komprehensifdan mendasar, yang mampu meletakkan fondasi bangunan relasi supplyand demand of good practices. Pendekatan yang cocok untuk tujuan iniadalah pendekatan roots for radicals.

Istilah radicals bermakna roots, mendasar dan komprehensif,menjangkau esensinya, sebab-sebab utama patologi birokrasi, yang jugaberada di luar birokrasi (pada warga, pada keluarga, pada masyarakat, padaorganisasi kemasyarakatan/CSOs, parpol, pada korporasi, dst), menjangkaumasuk ke sebanyak aspek yang langsung dan tidak langsung terkait denganpenyehatan birokrasi, sehingga reformasinya mendalam.

Radical changes for radical results adalah “titah” Ludeman danErlandson (2003). Garis-garis besar perubahan mendasar yang radikal inidapat dideskripsikan sebagai berikut:

Page 20: Lapis final2a

P a g e | 20

reformasibirokrasi_syakrani_2013

1. Visi reformasi birokrasi tidak boleh dibatasi hanya sekadarmembangun kembali jadi-diri birokrasi, seperti dikemukakan olehDwiyanto (2011), tetapi harus bervisi ”Membangun Jati-diriBangsa.” Banyak negara maju dengan tingkat peradaban ungguldikenal karena peradaban manajemen dan birokrasi publiknya.

Visi ini juga bertujuan untuk menembus batas-batas sektoral dandepartemental, serta sekat-sekat sosiologis-kultural. Reformasibirokrasi secara sektoral/departemental tidak boleh lagi dipahamisebagai tugas dan tanggung jawab utama Kementerian Pendayaguna-an Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, tetapi juga tanggungjawab semua kementerian dan lembaga, serta perangkat institusionalnegara sampai ke desa.

Secara sosio-kultural, reformasi birokrasi yang bervisi membangunjati-diri bangsa juga menjadi tanggung jawab warga, yakni wargayang berkarakter (berakhlak mulya), berkesadaran hukum dan politik,sehingga mereka, baik sendiri-sendiri maupun kolektif; memilikikesadaran tentang sense of deprivation, karena mereka tidakmendapat pelayanan publik yang bermutu, menolak ajakan kolusinista polisi, birokrat, pejabat, dan siapa pun; serta memprotestindakan tak bermoral elite pemerintah dan politik.

Secara sosio-kultural pula, organisasi-organisasi kemasyarakatan danmedia massa harus aktif mengorganisasi komunitas melalui kegiatanadvokasi, pendidikan komunitas, animasi sosial, dan pemberdayaankomunitas agar warga tidak melakukan tindakan amoral ketikaberurusan dengan birokrasi, menolak ajakan solusi nista, dan bahkanmampu memprotes tindakan-tindakan nista elite pemerintahan danpolitik.

2. Audit peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional tidak bolehdibatasi pada peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional di bidangaparatur, tetapi semua peraturan per-UU-an dan kebijakan nasionalyang langsung dan tidak langsung mendorong/menghambat visimembangun jati-diri bangsa melalui reformasi birokrasi.

Audit ini bertujuan untuk memastikan adanya tingkat konsistensidan koherensi semua peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional dibidang aparatur pemerintah dengan semua peraturan per-UU-an dan

Page 21: Lapis final2a

P a g e | 21

reformasibirokrasi_syakrani_2013

kebijakan nasional yang tidak langsung berhubungan denganreformasi birokrasi, termasuk juga konsistensi dengan UU pemilu,mineral dan pertambangan, pembinaan kepegawaian, parpol,pemerintahan daerah, dan lain-lain.

Koherensi dan konsistensi peraturan per-UU-an dan kebijakannasional menjadi strategis, karena pada banyak kasus, sebagai contoh,inovasi-inovasi gagasan pembaruan birokrasi dan kultur organisasipada level administratif/administrative domain (misalnya leveldirjen, sekda dan kepala dinas) tidak bisa dilaksanakan lantaranbertentangan dengan political interest presiden, menteri, gubernur,walikota, atau bupati (political domain).

3. Community organizing for community action and empowermentoleh organisasi-organisasi kemasyarakatan dan media massa menjadisyarat mutlak untuk memastikan terbangunnya keadaban penyaluranpublic voice dan public action untuk kasus-kasus pelanggaran etikaprofesionalisme pelayanan publik, penempatan pejabat, kolusi nistaantara legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam penetapan danimplementasi kebijakan publik, keputusan politik, dan penegakanhukum.

4. Law enforcement yang konsisten dan berefek jera bagi pelanggaransemua peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional yang langsungdan tidak langsung berhubungan dengan reformasi birokrasi. Sebagai

Page 22: Lapis final2a

P a g e | 22

reformasibirokrasi_syakrani_2013

contoh, dana perimbangan keuangan kepada daerah akan dikurangimanakala terindikasi pemerintah tidak melaksanakan reformasidaerah atau bila kepala daerah nepotistik dalam penempatan pejabat.

5. Dukungan dan legiitimasi nilai-nilai sosial budaya dalam pengertianadanya jaminan bahwa semua kode etik, etika profesionalisme, dannilai-nilai kultural luhur lainnya, yang merupakan turunan dariPancasila dan/atau yang bersumber dari kitab suci mempedomanikerja dan pelaksanaan tugas pembangunan dan pemerintahan.

Ajakan Dwiyanto (2011) untuk menciptakan kultur birokrasi barukurang relevan di sini. Kita belum memilki peradaban manajemendan kultur birokrasi yang unggul bukan karena kekosongan pegangannilai-nilai kultural, tetapi karena nilai-nilai kultural tersebut tidakdilaksanakan, belum menjadi etos kerja, dan belum dihidupi.

Untuk menjamin terwujudnya nilai-nilai kultural menjadi etos kerja,ada tiga gagasan perlu dipertimbangkan. Pertama, law enforcementyang konsisten dan berefek jera bagi pelanggaran nilai-nilai kulturaldan budaya organisasi.

Kedua, merayakan kemenangan-kemenangan kecil dalam bentukmemberi reward kepada siapa pun yang dengan konsisten dan seriusmenjalankan nilai-nilai kultural dalam pekerjaannya akan menjadimedia penyebaran virus-virus kemajuan dan karakter.

Ketiga, bangunan pribadi berkarakter hasil dari family of character,school of character, and community of character; produk dari familyof law and politic, school of law and politic, and community of lawand politic akan menjadi jaminan sustainabilitas reformasi birokrasisebagai bagian penting membangun jati-diri bangsa.

Bangunan pemikiran-pemikiran di atas bisa disebut model CHAEM(gambar di bawah ini) sebagai kristalisasi pendekatan roots for radicals.

Catatan penutup

Barangsiapa yang merampas hak orang lain dengan melanggar sumpahnya,maka Allah mewajibkan neraka dan mengharamkan surga baginya

Al-Hadits

Demikian pokok-pokok pikiran yang bisa saya sampaikan pada hari ini. Intipemikirannya bertumpu pada keyaninan ini: no action, no change; limited

Page 23: Lapis final2a

P a g e | 23

reformasibirokrasi_syakrani_2013

action, limited change. Tawaran strategi reformasi budaya dalam reformasibirokrasi, mestinya, tidak mengulangi lagi kekurang-handalan pendekatanlama, yang mengikuti selera penguasa, tidak visioner, dan quick-fix.

Saatnya sekarang kita membangun pemahaman yang lebih sehat tentangreformasi birokrasi, agar kita memiliki sosok birokrasi yang berkarakter(governance of character), sebagai bagian penting penjamin kemartabatanjati-diri bangsa. Dengan cara inilah, kita tidak akan malu lagi menjadi orangIndonesia, karena kita berhasil tidak mewariskan malu itu kepada anak-cucukita. Dan anak-cucu kita bangga bersanding dengan bangsa apa pun, karenamereka tidak mewarisi kebiasaan nista kita sebagai orang tuanya, entahsemasa hidupnya kita adalah warga biasa, pengusaha, pegawai negeri, polisi,TNI, sekda, kepala dinas, walikota, bupati, gubernur, elite birokrasi, menteridan wakil menteri, politisi, atau anggota legislatif.

Menutup diskusi kita hari ini, saya merasa perlu untuk mengutippendapat Einstein, yang relevan dengan diskusi kita: tidak mungkin kitadapat menghadapi masalah baru dengan tingkat kesadaran dan caraberpikir lama yang menyebabkan munculnya masalah tersebut. Reformasibirokrasi tidak boleh lagi mengulangi langkah lama, yang membuatnyamandeg. Semoga bermanfaat. Amien!