lan - ri pkkoddkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/peningkatan-kapasitas... · dijangkau dan...
TRANSCRIPT
LAN - RI
PKKOD
Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Jakarta, 2009
1
EXECUTIVE SUMMARY
Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, titik berat otonomi daerah berada pada level pemerintah kabupaten/kota sehingga sumber daya (keuangan, manusia, dll) lebih terkonsentrasi pada pemerintah kabupaten/kota. Hal ini menyebabkan pembinaan pemerintahan kabupaten/kota terhadap desa menjadi tidak optimal. Pengaturan yang demikian juga akan dapat menghilangkan otonomi adat yang dalam kapasitas tertentu dapat mengarahkan pemerintahan desa menjadi satuan pemerintah administratif, yang bertugas melayani pemerintah kabupaten/kota.
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terpenting adalah bagaimana pemerintahan desa mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat desa, dan mampu meningkatkan daya saing desanya. Hal tersebut hanya mungkin terwujud apabila urusan yang menjadi kewenangan desa dapat terlaksana dengan baik. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam implementasinya terdapat berbagai permasalahan yang langsung maupun tidak langsung menghambat pelaksanaan urusan-urusan pemerintahan tersebut.
Kapasitas yang masih rendah merupakan bagian dari permasalahan yang ditunjukkan di lapangan. Diantaranya masih belum optimalnya aspek kelembagaan, sumberdaya manusia, maupun manajemen pemerintahan desa. Pada tahun 2008 Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, telah melaksanakan Kajian Peningkatan Kapasitas Pemerintahan Desa, kajian ini telah menghasilkan cetak biru (blueprint) yang memuat strategi-strategi penyelesaian masalah (problem solving) penyelenggaraan pemerintahan desa dan menyusun modul-modul peningkatan kapasitas pemerintahan desa. Lebih lanjut modul-modul tersebut merupakan hasil identifikasi aspek kapasitas yang perlu ditingkatkan yaitu Perencanaan & Penganggaran Desa, Keuangan Desa, Penyusunan Kebijakan Desa, Kepemimpinan Kepala Desa dan Manajemen Pelayanan Desa.
Sebagai tindak lanjut dari kajian tentang pemerintahan desa, maka Lembaga Administrasi Negara c.q. Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, pada tahun 2009 telah melaksanakan kegiatan kajian tentang Peningkatan Kapasitas Aparatur Desa, dimana tujuan dari kegiatan ini adalah mengembangkan strategi peningkatan kapasitas aparatur desa dan menyempurnakan modul peningkatan yang telah disusun pada kajian tahun 2008. Jenis kajian yang digunakan dalam kajian ini adalah pengembangan (development) dengan metode kualitatif. Tehnik pengumpulan data yang dilakukan adalah workshop dengan para kepala desa dan wawancara dengan narasumber di daerah kajian. Kegiatan kajian ini dilakukan pada 7 (tujuh) daerah provinsi, dimana dari masing-masing provinsi, diambil 2 (dua) kabupaten sebagai
i
2
lokus kegiatan ini yaitu Provinsi Bengkulu, Jambi, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.
Berdasarkan analisis data lapangan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Perencanaan dan Penganggaran Desa. Belum semua desa menyusun dokumen-dokumen perencanaan, hanya beberapa desa yang telah menyusun RKP Desa (tahunan), akan tetapi tidak memiliki RPJM Desa (lima tahunan). Hal ini ‘aneh’ karena dokumen RKP Desa seharusnya mengacu kepada dokumen RPJM Desa. Selain itu pelaksanaan Musrenbang Desa di beberapa daerah kajian tidak berlangsung secara optimal. Adanya keterbatasan anggaran juga berpengaruh besar pada penyusunan anggaran pendapatan dan belanja desa (APB Desa).
2. Keuangan Desa. Pelaksanaan manajemen keuangan dan kekayaan desa dapat dikatakan belum dapat terselenggara dengan baik . Dalam pelaksanaan perencanaan keuangan daerah, banyak desa belum menerapkan anggaran APBD Desa serta belum dapat menentukan skala prioritas serta distribusi sumber daya dengan baik. Dalam pelaksanaan dan penatausahaan keuangan desa, administrasi desa belum terselenggara dengan baik, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan desa juga belum dilakukan dengan baik. Dalam manajemen kekayaan desa, banyak dijumpai barang-barang kekayaan desa yang belum terpelihara dengan baik serta masih adanya persoalan dalam pembagian kekayaan desa sebagi akibat dari pemekaran desa. Pengelolaan potensi desa untuk menambah pendapatan desa dapat dikatakan juga masih belum optimal. Badan Usaha Milik Desa yang diharapkan bisa meningkatkan pendapatan asli desa cenderung belum terkelola dengan baik. Akhirnya, dari sisi penerimaan keuangan desa masih sangat bergantung dari transfer pemerintah yang ada di atasnya.
3. Kebijakan Desa. Berdasarkan temuan lapangan kapasitas aparatur desa dalam penyusunan kebijaksanaan desa masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari jumlah kebijakan desa yang disusun masih minim. Penyusunan kebijakan desa belum mencerminkan tahapan dari proses penyusunan peraturan desa. Sosialisasi, pelatihan dan simulasi tentang penyusunan kebijakan desa yang diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Propinsi dan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten masih sangat terbatas, karena keterbatasan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh institusi tersebut.
4. Kepemimpinan Kepala Desa. Pembuatan keputusan oleh kepala desa belum berdasar pada azas manajemen modern. Pemilihan kepala desa oleh masyarakat di beberapa daerah lebih didasari oleh faktor tradisional atau pertalian kekeluargaan. Kondisi sosial, ekonomi dan kultur termasuk tingkat pendidikan yang rendah dari masyararakat juga mempengaruhi pelaksanaan program-program pembangunan.
ii
3
5. Manajemen Pelayanan Desa. Dalam hal pelayanan desa diperlukan political will dari pemerintah daerah setempat, political will terkait dengan penyerahan urusan sesuai dengan kebutuhan desa. Sementara itu, sebagai unit pelayanan publik, pemerintahan desa menghadapi keterbatasan kapasitas manajemen-administratif (kualitas dan kuantitas sumber daya manusia aparatur desa yang berpengaruh pada produktifitas dan kreatifitas aparatur desa). Sebagai unit representasi negara, pemerintahan desa menghadapi keterbatasan kemandirian dalam pendanaan untuk memelihara eksistensi pemerintahan di wilayahnya. Kurangnya sarana dan prasarana perkantoran menjadi penghambat dalam menunjang pelaksanaan pelayanan administrasi di desa, disamping masih minimnya pengetahuan masyarakat dalam mengurus kelengkapan administratif sesuai ketentuan yang ada. Yang tak kalah penting berpengaruh terhadap aksesibilitas dan kualitas pelayanan adalah medan (geografis) yang sulit dijangkau dan pola hidup masyarakatnya yang masih tradisional terhadap informasi dan pelayanan yang disiapkan pemerintah.
Dari uraian tersebut di atas dan uraian pada bab-bab dalam laporan ini, kiranya dapat direkomendasikan hal-hal sebagai berikut :
1. Perencanaan dan Penganggaran, perlunya upaya peningkatan kemampuan/kompetensi aparatur desa dalam hal: (a) metode perencanaan partisipatif, (b) analisis masalah dan potensi desa, (c) metode pemilihan skala prioritas kegiatan, (d) penyusunan anggaran dan belanja desa, dan (e) berkomunikasi/berdiskusi/presentasi. Upaya yang dapat ditempuh: pelatihan (bimbingan teknis, pembekalan, penataran, dll) dan non-pelatihan (studi banding, magang, dst).
2. Keuangan Desa, pada level sistem strategi yang dapat dikembangkan adalah : Penguatan kapasitas keuangan aparatur desa dengan kewenangan desa dan memperbaiki metode pengalokasian dana desa dan perbaikan sumber daya aparatur desa melalui perbaikan rekuitmen dan manajemen aparatur desa. Pada level organisasi adalah Peningkatan kapasitas manajemen keuangan desa melalui penguatan BUMDes sebagai sumber penerimaan dan pengembangan ekonomi masyarakat desa dan kapasitas manajemen keuangan desa melalui penguatan kerjasama antar desa dalam bidang ekonomi dan berbagai pelayanan publik, peningkatan sarana dan prasarana pemerintahan desa, dan mekanisme akuntabilitas desa. Pada level individu, strategi yang dapat dikembangkan adalah, peningkatan melalui bimbingan teknis manajemen keuangan desa yang mencakup penyusunan APBDesa, Pengelolaan ADD, Pengelolaan Kekayaan Desa, Pengelolan BUMDes. Selain itu perlunya sosialisasi peraturan kebijakan keuangan desa melalui pendampingan maupun fasilitasi, misalnya dalam pendirian BUMDes, dan sebagainya.
3. Kebijakan Desa, strategi utama peningkatan kapasitas dalam kelembagaan meliputi : aspek keuangan, dan aspek sumberdaya manusia aparatur perangkat desa, aspek sumberdaya aparatur BPMPD yakni tersedianya pejabat fungsional
iii
4
widyaiswara yang mampu untuk mengampu materi Kebijakan Desa. Strategi lain adalah perumusan wewenang yang jelas antara antar lembaga dalam kebijakan desa. Terprogramnya kegiatan pelatihan dan sosialisasi berkesinambungan tentang Penyusunan Kebijakan Desa yang dilaksanakan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten serta tersusunnya modul-modul yang berkaitan dengan Perumusan Kebijakan.
4. Kepemimpinan Kepala Desa, strategi yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan dalam penguasaan seni dan teori kepemimpinan, selain itu kemampuan dalam menyusunan peraturan desa; kemampuan dalam pengambilan keputusan Kemampuan dalam negosiasi; dan Kemampuan dalam manajemen konflik.
5. Manajemen Pelayanan Desa, sebagai strategi untuk meningkatkan kapasitas aparatur desa dalam bidang pelayanan kepada masyarakat diantaranya adalah perlu adanya peningkatan kemampuan aparat desa dalam merumuskan program-program pelayanan. Selain itu peningkatan kemampuan dalam mengelola pelayanan termasuk pengetahuan teknis administratif (format-format pelayanan administrasi dsb) dan kemampuan memahami petunjuk maupun peraturan undang-undang yang mendukung aparatur desa dalam memberikan pelayanan, selain kemampuan teknis penunjang(mengoperasikan komputer dll). Kemampuan mengambil keputusan, Kemampuan dalam melakukan kerjasama (LSM, masyarakat, instansi terkait, pemerintah daerah) dalam pelayanan terkait juga perlu ditingkatkan.
iv
5
Daftar Isi
EXECUTIVE SUMMARY ……………………………………………………………………. i DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………… v BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………..………………………. 1 B. Tujuan dan Sasaran Kegiatan ………………………………….. 7 C. Hasil Yang Diharapkan ……………………………………………… 7 D. Sistematika Kajian ……………………………………………………. 8 BAB 2 ASPEK PENTING PENINGKATAN KAPASITAS APARATUR DESA A. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa ……………………… 9 B. Problematika Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
di Indonesia ……………………………………………………………..
16 1. Aspek Perencanaan dan Penganggaran
Daerah………………………………………………………………
22 2. Aspek Pengelolaan Keuangan Desa ……………….. 23 3. Aspek Kepemimpinan Kepala Desa ……………….. 26 4. Aspek Penyusunan Kebijakan Desa ……………….. 28 5. Aspek Manajemen Pelayanan Desa ……………….. 30 C. Capacity Building Aparatur Desa ............................... 32 D. Kerangka Pikir ............................................................. 42 BAB 3 METODOLOGI KAJIAN A. Jenis Kajian ………………………………………………………………. 43 B. Metode Kajian …………………………………………………………. 43 C. Daerah Kajian ………………………………….………………………. 43 D. Teknik Pengumpulan Data ………………………………………. 44 E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ....................... 45 BAB 4 GAMBARAN KAPASITAS APARATUR DESA A. Perencanaan dan Penganggaran Desa …………………… 46 B. Manajemen Keuangan dan Kekayaan Desa ……………. 64 C. Kebijakan Desa ……………………………………………………….. 92 D. Kepemimpinan Kepala Desa ……………………………………. 110 E. Manajemen Pelayanan Desa ……………………………………. 118
v
6
BAB 5 STRATEGI PENINGKATAN KAPASITAS APARATUR DESA A. Perencanaan dan Penganggaran Desa ……………………… 141 B. Keuangan Desa ......................................................... 142 C. Penyusunan Kebijakan Desa ..................................... 144 D. Kepemimpinan Desa ................................................ 145 E. Manajemen Pelayanan Desa ..................................... 147 BAB 6 PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………………………… 151 B. Rekomendasi …………………………………………………………… 153 DAFTAR PUSTAKA 154
vi
7
Daftar Tabel
Tabel. 3.1 : Daerah Kajian ....................................................... 44 Tabel. 4.1 : Tahapan Pelaksanaan ADD untuk Kegiatan Fisik..... 70 Tabel. 4.2 : Jenis-Jenis Pelayanan Publik di Desa .................... 123 Tabel. 4.3 : Kendala Kebijakan dan Dukungan Pemerintah …… 131 Tabel. 4.4 : Kendala Prosedur Pelayanan ................................ 132 Tabel. 4.5 : Kendala Persyaratan Teknis dan Administratif
Pelayanan ...........................................................
134 Tabel. 4.6 : pejabat Yang Berwenang dan Bertanggung-
jawab...................................................................
136
vii
8
Daftar Gambar
Gambar. 4.1 : Tahap Penyusunan RPJM Desa ……………………….. 48 Gambar. 4.2 : Tahap Penyusunan RKP Desa ………………………….. 54 Gambar. 4.3 : Skema Penyampaian Laporan ADD …………………. 74
viii
9
Daftar Box
Box. 4.1 : Faktor Penyebab Tidak Menyusun RPJM Desa................................................................
52
Box. 4.2 : Aktor-Aktor Penyusun RPJM Desa .................. 53 Box. 4.3 : Pelaksanaan Musrenbang Desa ....................... 60 Box. 4.4 : Pelaksanaan ADD : Contoh Praktek di
Kabupaten Katingan .......................................
72 Box. 4.5 : Pengelolaan Kekayaan Desa : Parigi Moutong .. 77 Box. 4.6 : Lima Perdes Yang Harus dibuat Desa Menurut
PP No. 72 Tahun 2005 .....................................
98 Box. 4.7 : Kebutuhan Pengembangan .............................. 139
ix
10
BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pemerintahan desa merupakan bagian integral dari pemerintahan
daerah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 200 ayat 1 UU 32/2004 bahwa
”Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang
terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa”. Dalam PP
72/2005 yang dimaksud dengan pemerintahan desa adalah penyelenggaraan
urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa
dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun jika dirunut ke belakang, penyelenggaraan pemerintahan desa
pada dasarnya telah dilaksanakan sejak jaman penjajahan, baik pada masa
penjajahan Belanda, Inggris maupun Jepang. Pada masa itu pemeritahan desa
dapat dikatakan tidak memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan
pemerintahannya, karena sebagai negara jajahan seluruh penyelenggaraan
pemerintahan – termasuk pemerintahan desa – dipaksa tunduk dan patuh
kepada kepentingan negara penjajah. Dengan demikian aspek kelembagaan,
sumber daya aparatur dan manajemen pemerintahan desanya pun sepenuhnya
ditentukan oleh penguasa/ penjajah yang berkuasa pada saat itu.
Pada masa kemerdekaan, komitmen untuk menyelenggarakan
pemerintahan desa dapat dijumpai dalam konstitusi yaitu Pasal 18 UUD 1945
yang menyatakan bahwa ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah
yang diatur dengan undang-undang (hasil perubahan kedua). Pada pasal 18B ayat
1
11
(2) disebutkan ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan pekembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang (hasil perubahan kedua)”
Namun, undang-undang yang secara khusus mengatur tentang Desa baru
diterbitkan pada tahun 1965 yaitu dengan terbitnya UU No. 19/1965 tentang
Desapraja, yang menempatkan Desa sebagai Daerah Tingkat III dengan tata dan
sebutan Desa Praja. Di dalam pasal 1 undang-undang tersebut dijelaskan bahwa
Desa Praja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas
daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memiliki pengusahaan
dan mempunyai harta benda sendiri. Namun hal ini tidak terwujud karena tidak
dikehendaki oleh pemerintah Orde Baru yang berkuasa saat itu. Selanjutnya, desa
diatur dalam UU No. 5/1979, dimana pemerintah Orde Baru menempatkan desa
langsung di bawah Camat, yang mana Camat merupakan Kepala Wilayah yang
menjalankan satuan pemerintah vertikal (dekonsentrasi).
Kemudian, pada saat jatuhnya pemerintah Orde Baru, desa diatur dengan
UU No. 22/1999. Melalui undang-undang ini desa diatur dalam satu undang-
undang tentang pemerintahan daerah. Desa merupakan subsistem dari
pemerintahan yang pengaturannya lebih lanjut diserahkan kepada daerah
kabupaten/kota dengan membentuk peraturan daerah (Perda). Terakhir, desa
diatur dengan UU No. 32 No/2004 yang kembali menempatkan desa dalam satu
undang-undang tentang pemerintahan daerah.
Pengaturan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam satu undang-
undang pemerintahan daerah – yang notabene digabungkan dengan pengaturan
pemerintahan kabupaten/kota – menjadi fenomena yang cukup menarik
terutama jika dikaitkan dengan ”otonomi desa”. Kenyataan bahwa pengaturan
pemerintahan desa yang ”inheren” dengan pengaturan pemerintahan
kabupaten/kota menurut UU No. 32/2004 tersebut dikhawatirkan akan
mengurangi derajat otonomi (adat) yang dimiliki oleh sebuah desa. Dalam UU No.
2
12
32/2004 jo PP No. 72/2005 tentang Desa, yang dimaksud dengan Desa atau
disebutkan dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang
diakui dan dihomati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia/NKRI. Lebih jauh, pengaturan yang demikian juga akan dapat
menghilangkan otonomi adat dan dalam kapasitas tertentu dapat mengarahkan
pemerintahan desa menjadi satuan pemerintah administratif, yang bertugas
melayani pemerintah kabupaten/kota.
Dari gambaran tersebut, saat ini bermunculan berbagai wacana bahwa
pemerintahan desa sebaiknya dipisahkan pengaturannya dari UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Desa yang diatur dalam undang-
undang tersendiri dan terpisah dari undang-undang pemerintahan daerah
merupakan pilihan yang ideal. Desa ditempatkan sebagai satuan pemerintahan
otonomi di luar struktur pemerintahan kabupaten/kota, karena daerah dan desa
memang berbeda baik dari sisi penyelenggaraan pemerintahan maupun
persoalan yang dihadapi. Perbedaan karakteristik itulah yang secara historis
menyebabkan pengaturannya berbeda dari kabupaten (di luar DW =
Decentralisatie Wet), bahkan dipisahkan pula pengaturan desa-desa yang ada di
Jawa-Madura (diatur dengan IGO) dan di luar Jawa-Madura (IGOB). Pengaturan
terpisah menjadi pilihan karena keberadaan desa yang pluralistik sehingga sangat
sulit diatur dalam satu peraturan yang akomodatif. Dengan demikian, munculnya
wacana mengeluarkan pengaturan desa dari undang-undang tersebut (UU No.
32/2004) – dan juga pengaturan tentang Pilkada Langsung merupakan salah satu
langkah strategis dalam upaya peningkatan kapasitas pemerintahan desa.
Namun demikian, dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang terpenting adalah bagaimana pemerintahan desa mampu meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya, mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat
desa, dan mampu meningkatkan daya saing desanya. Hal tersebut hanya mungkin
3
13
terwujud apabila urusan yang menjadi kewenangan desa dapat terlaksana
dengan baik. Adapun urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa
mencakup:
1. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
2. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang
diserahkan pengaturannya kepada desa;
3. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau
pemerintah kabupaten/kota;
4. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan
diserahkan kepada desa (Pasal 206 UU No. 32/2004).
Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam implementasinya terdapat berbagai
permasalahan yang langsung maupun tidak langsung menghambat pelaksanaan
urusan-urusan pemerintahan tersebut. Persoalan-persoalan dimaksud dapat
dikelompokkan ke dalam tiga aspek yaitu kelembagaan, SDM Aparatur, dan
manajemen/ ketatalaksanaan.
Secara kelembagaan, Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa
dan BPD (Pasal 11 PP No. 72/2005). Pada pasal selanjutnya, disebutkan bahwa
Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa. Perangkat Desa
terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya, yaitu sekretariat desa,
pelaksana teknis lapangan, dan unsur kewilayahan. Jumlah Perangkat Desa
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Selanjutnya, susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa ditetapkan
dengan peraturan desa (Pasal 12, ayat 1 – 5, PP No. 72/2005). Sementara, Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan unsur penyelenggara pemerintahan
desa. Jumlah anggota BPD sebanyak 5 (lima) orang dan paling banyak 11 (sebelas)
orang dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan
keuangan desa (Pasal 31).
4
14
Persoalan yang mengemuka dalam aspek kelembagaan desa adalah
hadirnya BPD (Badan Permusyawaratan Desa, bukan Badan Perwakilan Desa)
yang dianggap mengalami kemunduran (set back) daripada sebelumnya. BPD
dalam konteks UU No. 32/2004, merupakan unsur penyelenggara pemerintahan
desa, sehingga perannya sebagai lembaga kontrol menjadi berkurang. Hal ini
sesungguhnya sebangun dengan posisi DPRD yang menjadi bagian dari
pemerintahan daerah, yang tidak lagi menjadi badan legislatif daerah
sebagaimana pada saat belakunya UU No. 22/1999.
Dari hasil kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
pada tahun 2008 yang lalu menunjukkan bahwa pada berbagai aspek
pemerintahan desa masih perlu ditingkatkan kualitasnya, baik pada aspek
kelembagaan, Sumberdaya Manusia, maupun manajemennya, berdasarkan
asumsi yang dikembangkan didalam pemerintahan menunjukkan kunci penting
peningkatan kapasitas pemerintahan desa sangat tergantung pada peningkatan
kualitas aparatur desanya, “sistem yang baik apabila dikelola oleh aparatur yang
kurang baik, maka hasilnya (kinerjanya) akan kurang baik, dan sistem yang kurang
baik kalau dikelola oleh aparatur yang baik, maka akan menghasilkan kinerja yang
baik”.
Persoalan-persoalan yang menyangkut aspek Aparatur Desa atau SDM
aparatur desa meliputi SDM di lingkungan Pemerintah Desa (Kepala Desa dan
perangkatnya) maupun BPD (Ketua dan anggotanya). Dalam peraturan
perundangan tentang Desa disebutkan bahwa perangkat desa diangkat oleh
Kepala Desa dari penduduk desa. Pertanyaannya adalah, adakah persyaratan
kompetensi yang harus dipenuhi oleh calon perangkat desa dan apakah
persyaratan tersebut telah dituangkan dalam dokumen resmi? Pada praktiknya,
kepala desa yang terpilih dalam Pemilihan Kepala Desa (Pemilu Kepala Desa atau
yang lebih dikenal dengan Pilkades) belum tentu memiliki kompetensi yang
diharapkan. Bukan menjadi rahasia, bahwa proses Pilkades sarat diwarnai dengan
politik uang (money politics).
5
15
Kualitas perangkat desa pun mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda.
Pemilihan dan pengangkatan perangkat desa (kecuali sekretaris desa/Sekdes)
belum sepenuhnya didasarkan pada pertimbangan kompetensi. Ada dua alasan
terkait hal ini, Pertama, Kepala Desa terpilih menunjuk/memilih keluarga atau
orang-orang terdekat untuk menduduki jabatan perangkat desa, yang terkadang
tanpa mempertimbangkan kemampuannya; Kedua, karena memang tidak ada lagi
orang yang mau dan mampu menjadi perangkat desa (hal ini terjadi di desa-desa
pedalaman). Persoalan SDM pemerintahan desa juga terjadi pada Ketua dan
Anggota BPD. Anggota BPD yang terdiri dari unsur keterwakilan wilayah dan
ditetapkan dengan musyawarah-mufakat, dapat dikatakan tidak memiliki
komitmen dan kompetensi yang optimal untuk membangun desa.
Permasalahan lain yang menyangkut aparatur pemerintahan desa adalah
adanya ketentuan bahwa Sekdes diisi dari PNS yang memenuhi persyaratan
(pasal 202 ayat 3 UU No. 32/2004 jo pasal 25 ayat 1 PP No. 72/2005). Dalam PP
No. 72/2005 disebutkan bahwa persyaratan-persyaratan dimaksud meliputi:
a. Berpendidikan paling rendah lulusan SMU atau sederajat;
b. Mempunyai pengetahuan tentang teknis pemerintahan;
c. Mempunyai kemampuan di bidang administrasi perkantoran;
d. Mempunyai pengalaman di bidang administrasi keuangan dan di bidang
perencanaan;
e. Memahami sosial budaya masyarakat setempat, dan
f. Bersedia tinggal di desa yang bersangkutan.
Dalam penjelasan pasal 25 PP No. 72/2005 dinyatakan ‘cukup jelas’,
artinya jabatan Sekdes (eselon V) diisi dari PNS, bukan berarti ‘mengangkat
Sekdes yang ada menjadi PNS’. Hal ini pernah menimbulkan kesalahpahaman,
yakni terjadi di suatu daerah di Pulau Jawa, ribuan Sekdes melakukan unjuk rasa
agar diangkat menjadi PNS! Sementara, jika dilihat dari segi persyaratan
pendidikan pun sudah tidak memenuhi persyaratan, terlebih lagi untuk
persyaratan lainnya.
6
16
Untuk itu, Kedeputian Bidang Kajian Kinerja Kelembagaan dan Sumber
Daya Aparatur-Lembaga Administrasi Negara, dalam hal ini Pusat Kajian Kinerja
Otonomi Daerah telah melaksanakan kegiatan ”Peningkatan Kapasitas Aparatur
Desa”, yang telah dilaksanakan pada tahun anggaran 2009, kegiatan ini
merupakan kegiatan lanjutan dari kegiatan “Peningkatan Kapasitas Pemerintahan
Desa” yang telah dilaksanakan pada tahun 2008.
B. TUJUAN DAN SASARAN KEGIATAN
Tujuan kegiatan ini adalah :
1. Pengembangan strategi peningkatan kompetensi aparatur desa yang
berkaitan dengan Perencanaan dan Penganggaran Desa, Keuangan Desa,
Penyusunan Kebijakan Desa, Kepemimpinan Kepala Desa dan Manajemen
Pelayanan Desa.
2. Sosialisasi dan evaluasi modul peningkatan kapasitas aparatur desa yang
telah disusun pada tahun 2008.
Sedangkan sasaran dari kegiatan ini adalah :
1. Tersusunnya strategi peningkatan kompetensi aparatur desa yang berkaitan
dengan Perencanaan dan Penganggaran Desa, Keuangan Desa, Penyusunan
Kebijakan Desa, Kepemimpinan Kepala Desa dan Manajemen Pelayanan Desa
2. Sosialisasi dan evaluasi modul peningkatan kapasitas aparatur desa yang
telah disusun pada tahun 2008.
C. HASIL YANG DIHARAPKAN
Hasil yang diharapkan dari kajian ini adalah :
1. Tersusunnya 1 (satu) unit laporan Kajian Peningkatan Kapasitas Aparatur
Desa yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai salah satu bahan
pertimbangan dalam perumusan kebijakan oleh pemerintah, khususnya
dalam rangka peningkatan kapasitas aparatur desa;
7
17
2. Selain itu dari kajian ini juga dihasilkan modul Peningkatan Kapasitas Aparatur
Desa yang telah direvisi berdasarkan masukan hasil sosialisasi;
D. SISTEMATIKA KAJIAN
Sistematika Kajian disusun sebagai berikut :
Bab I, pendahuluan yang memuat latar belakang, tujuan dan sasaran kajian,
hasil yang diharapkan, jangka waktu dan sistematika kajian.
Bab II, menguraikan literatur review yang terkait dengan aspek penting
kapasitas aparatur desa. Hal lainnya yang dijelaskan dalam bab ini adalah
problematika penyelenggaraan pemerintahan desa di Indonesia diantaranya
terkait perencanaan pembangunan desa, keuangan desa serta capacity
building aparatur desa. Serta Penjelasan-penjelasan mengenai
penyelenggaraan pemerintahan desa ini juga didukung dengan kerangka
pikir.
Bab III, menguraikan tentang metodologi kajian berisi jenis kajian, metode
kajian, lokus kajian, tehnik pengumpulan data serta tehnik pengolahan dan
analisis data.
Bab IV, menguraikan data lapangan mengenai evaluasi pengembangan
kapasitas aparat desa yang berkaitan dengan Perencanaan dan Penganggaran
Desa, Keuangan Desa, Penyusunan Kebijakan Desa, Kepemimpinan Kepala
Desa dan Manajemen Pelayanan Desa. Serta hasil dari sosialisasi dan evaluasi
modul peningkatan kapasitas aparat desa yang telah disusun pada tahun
2008.
Bab V, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi yang
menjelaskan tentang strategi peningkatan kapasitas aparatur desa.
8
18
BAB 2 ASPEK PENTING PENINGKATAN KAPASITAS
APARATUR DESA
A. PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA
Sebagai miniatur negara, desa menjadi arena politik paling dekat bagi relasi
relasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan (perangkat Desa). Di satu
sisi, para perangkat desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai
tugas-tugas kenegaraan, yakni menjalankan birokratisasi di level desa,
melaksanakan program-program pembangunan, memberikan pelayanan
administratif kepada masyarakat. Tugas penting pemerintah desa adalah
memberi pelayanan administratif kepada warga desa.
Disisi lain, karena dekatnya arena secara normatif masyarakat akar rumput
sebenarnya bisa menyentuh langsung serta berpartisipasi dalam proses
pemerintahan dan pembangunan di tingkat desa. Para perangkat desa selalu
dikonstruksi sebagai “pamong desa” yang diharapkan sebagai pelindung dan
pengayom warga masyarakat, para pamong desa selalu dituakan, ditokohkan dan
dipercaya oleh warga masyarakat untuk mengelola kehidupan publik maupun
privat warga desa. Dalam prakteknya antara warga dan pamong desa mempunyai
hubungan kedekatan secara personal yang mungkin diikat engan tali kekerabatan
maupun ketetanggaan, sehingga kedua unsure itu saling menyentuh secara
personal dalm wilayah yang lebih privat ketimbang publik. Batas-batas urusan
privat dan publik di desa sering kabur, sebagai contoh, warga masyarakat menilai
kinerja pamong desa tidak menggunakan kriteria-kriteria manajemen moderen
seperti transparansi dan akuntabilitas, melainkan memakai kriteria tradisional
dalam kerangka hubungan klientelistik, terutama kedekatan pamong dengan
warga yang bisa dilihat dari kebiasaan dan kerelaan pamong untuk
beranjangsana.
9
19
Jika pemerintah desa menjadi sentrum kekuasaan politik, maka kepala desa
merupakan personifikasi dan representasi pemerintah desa. Semua perhatian di
desa ditujukan kepada kepala desa secara personal. Kepala Desa harus
mengetahui semua hajat hidup orang banyak, karena itu pula kepala desa selalu
sensitif terhadap legitimasi di mata rakyatnya. Legitimasi berarti pengakuan
rakyat terhadap kekuasaan dan kewenangan kepala desa untuk bertindak
mengatur dan mengarahkan masyarakat desa, Kepala Desa yang terpilih secara
demokratis belum tentu memperoleh legitimasi terus-menerus ketika menjadi
pemimpin di desanya. Legitimasi mempunyai asal-usul dan sumbernya. Legitimasi
kepala desa bersumber pada ucapan yang disampaikan, nilai-nilai yang diakui,
serta tindakan yang diperbuat. Umumnya kepala desa yakin bahwa pengakuan
rakyat sangat diibutuhkan untuk membagun eksistensi dan menopang kelancaran
kebijakan dfan tugas-tugas yang diemban, meski setiap kepala desa mempunyai
ukuran dan gaya yang berbeda-beda dalam mengemban legitimasi, tetapi kepala
desa umumnya membangun legitimasi dengan cara-cara yang sangat personal
ketimbang institusional. Kepala Desa dengan mudah diterima secara baik oleh
warga bila ringan tangan membantu dan menghadiri acara-acara privat
masyarakat desa, sembodo dan murah hati, ramah terhadap masyarakat.
Kepala Desa selalu tampil dominan dalam urusan publik dan politik, tetapi
dia tidak mengembangkan sebuat tata pemerintahan yang bersendikan
transparansi, akuntabilitas, daya tanggap, kepercayaan dan kebersamaan, yang
terjadi adalah sebaliknya: penundukan secara hegemonik terhadap warga, karena
kepala desa merasa dipercaya dan ditokohkan oleh warga, Kepala Desa punya
citra diri benevolent (sebagai wali) yang sudah dipercaya dan diserahi mandat
oleh rakyatnya, sehingga Kepala Desa tidak perlu bertele-tele bekerja dengan
semangat partisipatif dan transparansi, atau harus mempertanggungjawabkan
tindakan dan kebijakannya dihadapan publik. Sebaliknya, warga desa tidak terlalu
peduli dengan kinerja kepala desa sebagai pemegang kekuasaan desa, sejauh
kepala desa tidak mengganggu usaha ekonomi dan nyawa warganya secara
10
20
langsung, yang sudah lama hidup dalam pragmatisme dan konservatisme, sudah
cukup puas dengan penampilan kepala desa yang lihai pidato dalam berbagai
acara seremonial, yang populis dan ramah menyapa warganya, yang rela
beranjangsana, yang rela berkorban mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri
untuk kepentingan umum, yang menjanjikan pembangunan prasarana fisik, dan
seterusnya.
Akuntabilitas publik sebenarnya merupakan isu yang sangat penting bagi
berkembangnya kehidupan demokrasi di desa, tetapi secara empirik akuntabilitas
tidak terlalu penting bagi seorang kepala desa. Ketika kepala desa memainkan
fungsi sosialnya dengan baik, maka Kepala Desa cenderung mengabaikan
akuntabilitas dihadapan masyarakat, dia tidak perlu mempertanggungjawabkan
program, kegiatan dan keuangannya, sehingga sering menjadi masalah yang
serius. Proses intervensi negara dan integrasi Desa ke Negara menjadikan kepala
desa lebih peka terhadap akuntabilitas administratif terhadap pemerintah supra
desa ketimbang akuntabilitas politik pada basis konstituennya.
Lemahnya transparansi adalah problem lain yang melengkapi lemahnya
akuntabilitas pemerintah desa, yang bisa dilihat dari sisi kebijakan, keuangan dan
pelayanan administratif. Kebijakan desa umumnya dirumuskan dalam “kotak
hitam” oleh elite desa, serta kurang ditopang oleh proses prumusan kebijakan
yang bercirikan terdapat muatan proses pembelajaran dan partisipatif yang
memadai. Masyarakat desa yang menjadi objek resiko kebijakan biasanya kurang
mengetahui informasi kebijakan dari proses awal. Pemerintah Desa sudah
mengaku berbuat secara transparan ketika melakukan sosialisasi kebijakan
kepada warga desa. Tetapi sosialisasi adalah sebuah proses transparansi yang
lemah, karena proses komunikasinya berlangsung satu arah dari pemerintah Desa
untuk memberi tahu (informasi) dan bahkan hanya untuk meminta persetujuan
dari warga desanya, warga desa tidak punya ruang yang cukup memadai untuk
memberikan umpan balik dalam proses perumusan kebijakan desa.
11
21
Pengelolaan keuangan juga sering bermasalah, masyarakat desa umumnya
tidak memperolah informasi secara transparan bagaimana keuangan dikelola,
seberapa besar keuangan desa yang diperolah dan dibelanjakan, atau bagaimana
hasil lelang desa, bagaimana kas desa dikelola, masyarakat juga tidak
memperolah informasi secara transparan tentang prosedur dan biaya yang harus
dikeluarkan untuk memperoleh pelayanan di kantor desa.
Lemahnya partisipasi (termasuk akses dan kontrol) masyarakat merupakan
sisi lain dari lemahnya praktik demokrasi di desa. Sampai saat ini “elite” desa
tidak mempunyai pemahaman yang memadai tentang partisipasi, bagi kepala
desa partisipasi adalah sekedar bentuk dukungan masyarakat desa terhadap
kebijakan pembangunan pemerintah desa. Pemerintah desa memobilisasi
gotong-royong dan swadaya masyarakat yang mana kedua aspek tersebut sering
dimasukkan dalam aspek sumber penerimaan APBDes untuk mendukung
pembangunan desa.
Di sisi lain, pemerintahan desa mempunyai organisasi dan birokrasi yang
sederhana. Para birokrat desa (sekretaris desa dan kepala urusan) disebut sebagai
perangkat desa yang bertugas membantu kepala desa dalam menjalankan urusan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, termasuk pelayanan
administratif. Di Jawa, perangkat desa sering disebut sebagai “pamong desa”,
yang karena posisinya sebagai pemuka masyarakat, dan memperolah mandat
untuk mengayomi dan membimbing masyarakat desa. Mereka mempunyai
atribut sebagai abdi negara dan abdi masyarakat yang menjadi kebanggaannya.
Sebagai abdi negara, perangkat desa menyandang atribut dan simbol-simbol yang
diberikan oleh negara, sekaligus menjalankan tugas-tugas negara, seperti menarik
pajak, mengurus administrasi, dan surat-surat resmi, pendataan penduduk dan
lain sebagainya. Sebagai abdi masyarakat, perangkat desa bertugas melayani
masyarakat selama 24 jam, mulai pelayanan administratif hingga pelayanan sosial
(mengurus kematian, hajatan, orang sakit, pasangan suami-istri yang mau
bercerai, konflik antar warga, dan sebagainya).
12
22
Sistem birokrasi desa sangat berbeda dengan sistem birokrasi negara,
meskipun Desa juga sebagai unit pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas
negara, baik pelayanan publik maupun pembangunan. Birokrasi negara, baik
pelayanan publik maupun pembangunan, birokrasi desa juga dikelola teknokratis
dan moderen dari sisi rekrutmen, pembinaan, penggajian, organisasi, tatakerja,
tugas pokok dan fungsi, dan lain-lain. Birokrat negara, baik pejabat administratif
maupun pejabat fungsional berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil yang dikelola
dengan kepastian mulai dari pengangkatan, pembinaan, pembagian tugas,
promosi, penggajian hingga pensiun.
Birokrasi desa didesain dan dikelola dengan sistem campuran antara
pendekatan tradisional dengan pendekatan teknokratis (moderen), tetapi
pendekatan teknokratis tidak bisa berjalan secara maksimal antara lain karena
gangguan pendekatan tradisional, status perangkat desa bukanlah Pegawai
Negeri Sipil, tetapi sebagai aparat yang direkrut secara lokal-tradisional (dari
penduduk desa setempat) dengan cara teknokratis (memperhatikan syarat-syarat
dan proses moderen). Pengisian perangkat bukanlah dari nol sebagai staf
layaknya Pegawai Negeri Sipil, melainkan langsung mengisi pos jabatan-jabatan
dalam birokrasi desa yang posisinya lowong. Semula mereka ditetapkan bekerja
seumur hidup, tetapi belakangan banyak kabupaten/kota yang menetapkan masa
kerja perangkat desa. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil dimulai dari prajabatan,
pendidikan dan pelatihan penjenjangan maupun promosi jabatan, tetapi
perangkat desa tidak diperlakukan hal yang sama. Ketika seseorang menduduki
jabatan kepala urusan maka yang bersangkutan selamanya akan duduk disitu
sampai pensiun, dia tidak akan mengalami promosi menjadi kepala desa, kecuali
yang bersangkutan melepas jabatan kepala urusan dan “bertarung” melamar
menjadi Kepala Desa yang kosong.
Para perangkat desa juga tidak memperoleh pendidikan dan pelatihan yang
sistematis dan berkelanjutan sebagaimana diberikan oleh Negara kepada Pegawai
Negeri Sipil, para perangkat desa hanya memperoleh pembekalan pada awal
13
23
memangku jabatan mengenai tugas pokok dan fungsi dan tugas-tugas
administrasi, tetapi setelah itu tidak memperolah diklat tehnis dan juga tidak ada
monitoring dan evaluasi (monev), terkadang sebagian perangkat desa baru
memperoleh diklat tehnis (misalnya administrasi, perencanaan, keuangan,
pendataan dan lain-lain) jika ada proyek diklat dari pemerintah yang datangnya
tidak menentu.
Disebabkan miskinnya pembinaan, maka kapasitas (pengetahuan, wawasan
dan keterampilan) perangkat desa sangat minim, sebagian besar perangkat desa
tidak memahami berbagai peraturan dan tugas yang menyangkut diri mereka
sendiri, kecuali sebagian kecil perangkat yang mau mencari tahu atau mereka
yang kritis. Pada umumnya mereka bekerja apa adanya (take for granted) sesuai
dengan kebiasaan perangkat sebelumnya. Di masa orde baru, semua formulir
administrasi perkantoran (monografi, buku tamu, buku keuangan, buku proyek,
buku tanah desa, dan sebagainya) bisa terisi dan diperbaharui secara terus-
menerus karena ada proses monitoring dan evaluasi. Tetapi di era reformasi,
buku-buku administrasi desa itu terbengkalai, kecuali desa-desa yang mempunyai
predikat “desa maju”, di banyak desa data monografi desa beberapa tahun lalu
masih terpampang dengan tulisan spidol permanent. “Ada organisasi tetapi tidak
berorganisasi” adalah sebuah metafora yang menggambarkan bahwa organisasi
birokrasi desa tidak berjalan dengan baik, apalagi desa-desa terpencil,
terbelakang, desa-desa di daerah perbatasan, sebagian besar desa-desa di
Indonesia sampai sekarang belum memiliki Kantor Desa sebagai pusat
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan administrasi.
Banyak desa di luar Jawa yang tidak memiliki Kantor Desa sendiri, sehingga
menggunakan rumah kepala desa menjadi kantor desa, selain tidak memiliki jam
kerja yang jelas, banyak hari di “kantor desa” tersebut terlihat begitu sepi, jarang
didatangi perangkat desa. Kepala Desa sendiri, si pemilik “kantor desa” jarang
berada di “kantor desa” pada jam kerja, karena “kantor” yang sesungguhnya
berada di kantong saku yang dibawa kemanapun penguasanya pergi, Kepala Desa
14
24
tidak mengurusi jabatan dan fungsinya, tetapi lebih banyak menghabiskan waktu
jam kerjanya untuk mencari nafkah (kesawah, keladang, atau berbisnis). Kalau
warga hendak berurusan administrasi dengan perangkat desa, maka mereka akan
pergi ke rumah masing-masing atau ketempat dimana perangkat desa mangkal
sehari-hari. Dengan memperhatikan kondisi seperti inilah Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 menetapkan pengisian Sekretaris Desa dengan tujuan agar
pelayanan administrasi di semua desa dapat terlaksana dengan baik, terutama
dalam administrasi pertanggungjawaban keuangan desa yang berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
Kinerja organisasi dan perangkat desa yang sangat terbatas juga berkaitan
dengan keterbatasan kesejahteraan mereka dan tidak jelasnya sistem penggajian
(remunerasi) yang didesain pemerintah. Meski diatas kertas sistem birokrasi desa
dibuat moderen, tetapi penggajian perangkat desa masih menggunakan pola
yang sangat tradisional, belum ada kebijakan yang memadai yang mengatur
penggajian terhadap kepala desa dan perangkat desa. Di sebagian besar Desa-
desa di Jawa perangkat memperoleh penghasilan dari tanah bengkok, sebagai
bentuk remunerasi secara tradisional yang diwariskan secara turun temurun,
besaran tanah bengkok yang dikelola perangkat itu sangat bervariasi dari satu
desa ke desa yang lain, dan bahkakn terdapat desa yang tidak mempunyai tanah
bengkok, pada hal para perangkat desa jelas mempunyai status yang terhormat
bagi masyarakat, tetapi pada umumnya tingkat kesejahteraan perangkat desa
memprihatinkan, oleh karena itulah perangkat desa selalu menuntut dan
berharap agar pemerintah betul-betul memperhatikan kesejahteraan mereka.
Pemerintah sebenarnya telah menegaskan tentang penghasilan Perangkat
Desa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005, Pasal 27 dari PP
72/2005 tersebut berbunyi : (1) Kepala Desa dan Perangkat Desa diberikan
penghasilan tetap setiap bulan dan/atau tunjangan lainnya sesuai dengan
kemampuan keuangan desa; (2) Penghasilan tetap dan/atau tunjangan lainnya
15
25
yang diterima Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan setiap tahun dalam APBDesa; (3) Penghasilan tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sama dengan Upah Minimum Regional
Kabupaten/Kota.
Tanpa diatur sekalipun pemerintah desa bisa berkreasi sendiri melakukan
penggajian terhadap perangkat desa yang diambilkan dari APBDesa, tetapi yang
diharapkan oleh para perangkat desa adalah tanggung jawab dan kebijakan
pemerintah yang jelas dan konkret dalam memberikan penghasilan, bukan
sekedar mengatur penghasilan dalam APBDesa. Lokalisasi penghasilan melalui
APBDesa ini akan menghadapi kendala, terutama bagi Desa-desa yang APBDesa-
nya minim, mungkinkah mereka akan dapat memberikan penghasilan kepada
Kepala Desa beserta Perangkat Desa senilai penghasilan upah minimum regional
kalau untuk membiayai pembangunan dan kemasyarakatan masih kurang.
Dapat dikatakan bahwa belum ada perhatian yang cukup setimpal terhadap
Kepala Desa beserta Perangkat Desa, penghargaan terhadap Kepala Desa beserta
perangkatnya selama ini masih diserahkan sebagian besar kepada Desa yang
bersangkutan, disamping itu dengan APBD Kabupaten sebenarnya juga sudah
turut membantu, namun sejauh mana bantuan itu sudah mencukupi atau belum,
itu masih sangat tergantung dari “kemauan baik” Kabupaten, sedangkan
pembagian penghasilan dari dana perimbangan, bantuan, retribusi desa, dan lain-
lain untuk mendukung keuangan desa tidak ada kepastian dan sangat tergantung
dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten. Pemerintah Kabupaten biasanya
memberikan penghargaan kepada Kepala Desa beserta perangkatnya tiap tiga
bulan yang masing-masing besarnya berbeda antara satu Kabupaten dengan
Kabupaten yang lainnya.
B. PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA DI INDONESIA
“Kekuatan rantai besi ditentukan oleh mata rantai yang paling lemah”, jika
kita mengibaratkan sistem pemerintahan nasional sebagai suatu rangkaian mata
16
26
rantai sistem pemerintahan mulai dari Pemerintahan Pusat, Pemerintahan
Daerah Propinsi, Pemerintahan Kabupaten/Kota dan sampai pada level
pemerintahan terendah yakni Pemerintahan Desa, maka Pemerintahan Desa atau
“Desa” merupakan pemerintahan terendah. Hampir segala aspek menunjukkan
betapa lemahnya eksistensi dan kedudukan “Desa” dalam konstelasi
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, padahal Desa-lah yang
menjadi pertautan terakhir dengan masyarakat yang akan membawanya ke
tujuan akhir yang telah digariskan sebagai cita-cita Nasional.
Data-data hasil sensus penduduk yang pernah dilakukan, selalu
menunjukkan lebih kurang 80% penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan,
dimana daerah pedesaan ini selalu dicirikan oleh antara lain oleh rendahnya
tingkat produktivitas tenaga kerja, masih tingginya tingkat kemiskinan dan
rendahnya mutu atau kualitas lingkungan pemukiman pedesaan, rendahnya
produktivitas tenaga kerja di pedesaan dapat dilihat dari besarnya tenaga kerja
yang ditampung oleh sektor pertanian yakni 46,26 dari jumlah penduduk yang
bekerja, padahal sumbangan sektor pertanian dalam perekonomian nasional
setiap tahun menunjukkan angka-angka penurunan, tahun 2003 mencapai 15,9%.
Tingginya tingkat kemiskinan di daerah pedesaan secara ilmiah dapat ditinjau dari
berbagai indikator, baik indikator jumlah dan persentase penduduk miskin (head
count), maupun tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Pada tahun 2003,
jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37,3 Juta jiwa (17,4 % dari jumlah
penduduk Indonesia) dimana persentase penduduk miskin di pedesaan mencapai
20,2 % dari jumlah penduduk Indonesia. Dan jika dibandingkan dengan penduduk
miskin di kawasan perkotaan hanya mencapai 13 % dari jumlah penduduk
Indonesia. Dan dengan asumsi angka-angka tersebut dan dikaitkan dengan
penduduk dan angkatan kerja di pedesaan akan terus bertambah dan
pertumbuhan luas lahan pertanian relatif tidak ada peningkatan yang signifikan,
maka penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian menjadi tidak produktif.
17
27
Data-data tersebut di atas, memberikan gambaran secara faktual tentang
kondisi yang terjadi dalam masyarakat pedesaan secara keseluruhan. Sangat
ironis memang, sebab berbicara mengenai desa, berarti berbicara tentang kondisi
sebagian besar penduduk Indonesia, mengingat desa berada di seluruh kawasan
Republik Indonesia. Semenjak zaman penjajahan Belanda sampai zaman
Reformasi, sistem pemerintahan desa tidak pernah mengalami perubahan, yakni
“memerintah secara tidak langsung (indirect rule)” terhadap masyarakat desa.
Sistem ini menempatkan masyarakat desa dan pemerintahan desa pada posisi
marginal. Disamping itu secara sosiologis desa hanya dipandang sebagai ajang
yang penuh dengan nilai-nilai tradisional yang menggambarkan keterbelakangan,
yang ditopang oleh berbagai keterbatasan yang disandang oleh masyarakat desa,
antara lain tingkat pendidikan yang relatif rendah, pendapatan per-kapita masih
kecil, maupun fasilitas sosial yang sangat terbatas.
Keterbatasan tersebut ditengarai cenderung terus dipertahankan dari
zaman ke zaman, dengan asumsi untuk memperoleh keuntungan dari kondisi
semacam itu, yakni untuk menciptakan posisi tawar yang lemah dari desa
manakala dihadapkan kepada kekuasaan lain dari supradesa. Lebih jauh lagi
secara administrasi pemerintahan, desa hanya dijadikan sebagai obyek
kekuasaan, misalnya pada saat pemilihan umum desa hanya dijadikan tempat
pengumpulan suara dan setelah Pemilu selesai dilaksanakan, desa dan
masyarakat desa dengan segera dilupakan. Sementara itu, secara ekonomi desa
hanya dijadikan sebagai pemasok bahan baku dan pemasok tenaga kerja murah.
Schumacher (1979) dalam bukunya “Small is Beautiful” atau Kecil itu Indah,
bahwa persoalan pokok yang dihadapi oleh negara-negara miskin terletak pada
2.000.000 (dua juta) desa yang miskin dan terbelakang. Schumacher berpendapat
bahwa selama beban hidup di pedesaan tidak dapat diringankan, masalah
kemiskinan di dunia ini tidak akan dapat diselesaikan, dan mau tidak mau pasti
akan lebih memburuk, bahwa dari berbagai penyebab kemiskinan tersebut,
faktor material seperti terbatasnya kekayaan alam, atau tidak adanya modal,
18
28
tidak cukupnya sarana-prasarana hanya merupakan penyebab kedua, adapun
penyebab utamanya adalah kekurangan bidang pendidikan, organisasi dan
disiplin.
Dikaitkan dengan kondisi di Indonesia, khususnya daerah pedesaan, sejak
zaman kerajaan telah terdapat persekutuan hukum masyarakat lokal dengan
nama desa atau nama lain di luar Jawa yang telah memiliki struktur perantara.
Struktur perantara yang dinamakan Pemerintah Desa dengan kepala desa sebagai
pemimpinnya memainkan peran yang sangat penting, yakni berperan sebagai
penghubung antara masyarakat desa sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum
dengan lingkungan luar desa. Dari berbagai referensi yang telah ada, pada zaman
penjajahan Belanda organisasi pemerintahan desa yang telah disusun oleh
masyarakat desa diperalat oleh kolonial Belanda untuk memeras rakyat desa
melalui pola tanam paksa (Djulian, Undip, 1989), ataupun untuk memenuhi
kewajiban menyumbang tenaga kerja tanpa bayaran (Breman, 1986). Keadaan ini
lebih diperparah lagi dengan masuknya bala tentara Jepang di tanah air, yang kita
kenal dengan kerja paksa (romusha).
Meskipun menghadapi beban yang berat pada zaman penjajahan sebagai
mana diungkap di atas, masyarakat desa tidak memberi respon balik yang cukup
berarti, kecuali di beberapa daerah yang dilakukan secara sporadik (Dahm dalam
Sartono Kartodiredjo, 1984). Masyarakat desa pada era ini sangat percaya bahwa
apa yang telah diputuskan oleh Pemerintah Desa melalui personifikasi Kepala
Desa adalah keputusan terbaik untuk kepentingan masyarakat desa. Dengan
politik penguasaan secara tidak langsung “indirect-rule”, pemerintah kolonial baik
Belanda maupun Jepang dapat secara leluasa menguasai dan memerintah
masyarakat desa tanpa harus mengeluarkan biaya yang tinggi.
Memasuki era kemerdekaan dan bahkan sampai saat ini, peranan
Pemerintah Desa sebagai struktur perantara, yakni hanya sebagai penghubung
antara masyarakat desa dengan pihak luar desa baik masyarakat dan pemerintah
lain desa maupun dengan Pemerintah Daerah, baik Kecamatan maupun
19
29
Kabupaten masih berlaku. Bahkan struktur perantara tersebut ditambah dengan
beberapa atribut lain misalnya Kepala Desa sebagai agen pembaharuan, berbagai
bentuk perubahan sosial baik yang direncanakan sesuai dengan kebijakan yang
telah ditetapkan baik secara nasional maupun kebijakan lokal yang ditujukan
untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat desa disosialisasikan dan
dijalankan oleh Pemerintahan Desa. Untuk dapat berperan secara optimal,
Pemerintahan Desa perlu terus berubah dan berkembang sesuai dengan arah
kebijakan nasional dan daerah dan termasuk juga menghadapi perubahan
sebagai dinamika masyarakat desa, tanpa adanya Pemerintahan Desa yang kuat
Desa dan masyarakat desanya akan tetap menjadi obyek dari pihak luar desa
yang relatif lebih kuat posisi tawarnya.
Kehendak untuk memperkuat posisi desa, setidaknya sudah menjadi
agenda nasional, yakni sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat melalui ketetapannya Nomor IV/MPR/2000, tentang Rekomendasi
Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, khususnya rekomendasi
nomor 7, yang berbunyi : “Sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi,
dan kesetaraan hubungan pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal
untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18
Undang Undang Dasar 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap
Propinsi, Kabupaten/Kota serta Desa/Nagari/Marga, dan sebagainya”.
Langkah kongkret upaya pengembangan desa pada dasarnya termuat
dalam berbagai kebijakan yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, tanpa
terkecuali Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
salah satu tujuan dari muatan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut
adalah untuk memodernisasikan pemerintahan desa agar mampu menjalankan
perannya sebagai struktur perantara, sebagai pelayan masyarakat desa, dan
20
30
sebagai agen perubahan masyarakat desa. Keberhasilan pembanganan yang
telah dilaksanakan selama ini mau tidak mau harus diakui telah merubah wajah
desa baik aspek positif maupun negatifnya yang tidak terlepas dari peran
Pemerintahan Desa.
Kendatipun demikian, nampaknya masih banyak masalah yang belum dapat
diatasi, seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan,
dan keterbelakangan pendidikan. Kenyataan ini pulalah kiranya yang dapat
dijadikan bukti, meskipun desa memiliki dua sumber daya yang sangat penting
yaitu sumber daya manusia dan sumber daya alam, tetapi “kesatuan masyarakat
hukum” tersebut dirasakan tidak mampu mengubah potensi-potensi yang
dimilikinya menjadi kekuatan nyata untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Desa
tidak lagi mampu berperan menjadi tempat hidup dan penghidupan yang layak
bagi masyarakatnya, yang diindikasikan dengan semakin banyak warga desa yang
bermigrasi ke kota- kota besar (urbanisasi) untuk mencari penghidupan yang
lebih baik.
Kepercayaan yang diberikan masyarakat terhadap Pemerintahan Desa,
untuk berperan lebih banyak guna mengembangkan masyarakatnya dihadapkan
kepada berbagai masalah antara lain kedudukan dan bentuk organisasinya yang
mendua (ambivalen) yaitu antara bentuk organisasi pemerintah (negara) dengan
organisasi (lembaga) kemasyarakatan, keterbatasan sumber pendapatan yang
memadai, keterbatasan kewenangan dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut isi rumah tangganya, keterbatasan kualitas dan jumlah personil,
merupakan kendala yang menghambat kinerja Pemerintahan Desa. Akibatnya,
pertumbuhan dan perubahan sosial di desa berjalan relatif lambat dan untuk
mempercepat terjadinya perubahan tersebut maka tidak jarang masyarakat desa
hanya menunggu uluran tangan dari pihak luar, baik dalam bentuk bantuan
finansial maupun fisik. Jika kondisi seperti ini terus berkelanjutan niscaya akan
memposisikan desa menjadi bagian yang selalu terpinggirkan.
21
31
Agenda-agenda penting yang masih menjadi aspek dalam rangka
peningkatan kapasitas aparatur desa berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah tahun 2008 antara lain :
1. Aspek Perencanaan dan Penganggaran Daerah
Perencanaan di arahkan pada upaya menentukan kegiatan yang akan
datang. Rencana yang disusun dengan baik akan memberikan kontribusi
besar dalam penyelesaian masalah dan tuntutan, selain tentunya
mempermudah implementasi. Berdasarkan UU No.25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, perencanaan pembangunan
nasional terdiri atas Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP),
Menengah (RPJM), dan Tahunan (RKP).
Sedangkan dokumen perencanaan di tingkat daerah meliputi RPJP
Daerah, RPJM Daerah dan RKP Daerah, dimana RKP Daerah ini menjadi dasar
penyusunan APBD. Adapun di lingkungan pemerintah desa, dokumen
perencanaan desa terdiri atas RPJM Desa dan RKP Desa (PP No. 72/2005).
Dalam konteks perencanaan, dikenal konsep perencanaan partisipatif,
yakni suatu proses penyusunan dokumen perencanaan yang
mengikutsertakan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders).
Perencanaan partisipatif diperlukan agar pengelolaan pembangunan desa
dapat berjalan secara efektif, efisien, optimal, berkelanjutan dan kesetaraan.
Efektif: pembangunan bisa dilakukan secara tepat sasaran dan tepat
program karena didukung identifikasi masalah dan prioritas agenda
pembangunan yang sesuai dengan karakteristik kebutuhan dan masalah
yang dihadapi.
Efisien: pengelolaan pembangunan bisa berlangsung secara efisien dan
dapat dihindari pemborosan dana, karena mampu mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya lokal.
22
32
Optimal: pembangunan berhasil optimal karena didukung oleh kemitraan
dari berbagai pihak melalui kerjasama secara tarpadu maupun
peningkatan keterbukaan dan pebertanggungjawaban.
Kesetaraan: pengembangan partisipasi dapat menumbuhkan sikap untuk
bekerja bersama dan berperan setara antar para pemeran pembangunan,
terutama antara pemerintah, masyarakat dan kalangan swasta.
Berkelanjutan: partisipasi menumbuhkan rasa memiliki sehingga
menumbuhkan peranserta masyarakat untuk memelihara, melestarikan
dan mengembangkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.
Upaya mewujudkan perencanaan partisipatif sebenarnya telah tersedia
dan sudah dilaksanakan dari tahun ke tahun yaitu melalui forum Musyawarah
Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes). Namun demikian, harus
diakui bahwa kapasitas aparatur desa dalam penyusunan dokumen
perencanaan desa (RJPM Desa dan RKP Desa) dapat dikatakan sangat tidak
memadai. Hal ini memerlukan perhatian dan penanganan serius dari
Pemerintah, pemerintah daerah dan pemerintah desa itu sendiri.
Peningkatan kapasitas aparatur desa dalam aspek perencanaan
hendaknya hendaknya diikuti dengan kemampuan menyusun anggaran desa.
Hal ini disebabkan perencanaan dan penganggaran merupakan satu kesatuan
integral yang tidak dapat dipisahkan. Dalam konteks ini kemampuan
penyusunan anggaran lebih ditekankan pada penyusunan anggaran
pendapatan dan belanja desa (APB Desa). Dengan demikian, perencaanan
dan penganggaran daerah merupakan aspek penting manajemen
pemerintahan desa, dan karenanya kemampuan/kapasitas aparatur desa
pun merupakan persoalan yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya.
2. Aspek Pengelolaan Keuangan Desa
Kapasitas aparatur desa dalam aspek manajemen keuangan dan
kekayaan desa pada penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan
23
33
kebutuhan yang urgen karena setiap penyelenggaraan pemerintahan desa
memerlukan kemampuan keuangan yang memadai. Tanpa adanya keuangan
yang memadai maka dapat dipastikan pelaksanaan pemerintahan di tingkat
desa akan mengalami kesulitan. Terkait dengan hal tersebut, terdapat dua sisi
yang melekat pada kebutuhan keuangan tersebut, yakni dalam hal
pendapatan dan pengeluaran.
Dari sisi pedapatan, UU Nomor 32 Tahun 2004 menggariskan bahwa
keuangan desa ditopang dengan dua sumber utama, yakni pendapatan asli
desa (pungutan, hasil kekayaan desa, gotong royong dan swadaya
masyarakat) serta bantuan dari pemerintah. Sebagaimana layaknya setiap
organisasi publik, pemerintahan desa juga dihadapkan pada kenyataan
anggaran desa sangat terbatas. Keterbatasan keuangan desa tersebut
menjadi sebuah masalah serius manakala aparatur desa tidak mampu
menggali sumber-sumber pendapatan yang dapat memperkuat kemampuan
anggaran desa. Oleh karena itu kemampuan mengelola kekayaan desa
menjadi paralel dengan manajemen keuangan desa, sebab menjadi
tantangan bagi desa untuk dapat mengelola kekayaan di dalam wilayahnya .
Kemampuan mengelola kekayaan desa berfungsi untuk mendukung
kekampuan desa dalam menggali sumber pendapatan desa.
Dari sisi pengeluaran, kemampuan mengelola keuangan desa sangat
penting untuk mewujudkan tujuan pembangunan melalui berbagai program
dan kegiatan yang dibiayai dengan sumber-sumber pendapatan desa yang
telah dimiliki. Program pemerintahan desa pada dasarnya tercermin dalam
anggaran pengeluaran desa sehingga APBDes mempunyai arti dan
menunjukkan arah dan hasil pembangunan yang akan dicapai dalam satu
tahun anggaran. Agar kegiatan tahunan tersebut dapat dilaksanakan tepat
pada waktunya sesuai dengan tahap-tahap yang telah ditentukan harus
didukung oleh perencanaan pembiayaan yang mantap yang disusun dalam
APBDes setiap tahun. Untuk itu, diperlukan kemampuan aparatur desa untuk
24
34
dapat mengelola keuangan yang ada sehingga dapat teralokasikan untuk
memenuhi kebutuhan program dan kegiatan sesuai dengan tujuan
pembangunan desa. Kenyataan bahwa kemampuan pendapatan desa saat ini
belum dapat dikatakan memadai, menambah pentingnya kemampuan
aparatur desa untuk bisa menentukan dengan baik prioritas penggunaan
anggaran desa untuk berbagai program dan kegiatan.
Alasan lain yang menjadi latar belakang perlunya kemampuan dalam
manajemen keuangan dan kekayaan desa adalah menyangkut isu
akuntabilitas publik. Pemerintahan desa sebagai bagian terkecil dari
pemerintahan Negara, tidak terkecualikan dari isu akuntabilitas publik.
Undang-Undang No. 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara menyebutkan
bahwa pendapatan desa merupakan bagian dari keuangan negara sehingga
desa sebagai insitusi resmi dalam penyelenggaraan negara juga terikat pada
asas-asas yang digunakan dalam pengelolaan keuangan negara tersebut.
Penyerahan urusan pemerintahan desa disertai dengan pembiayaan yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten.
Oleh karenanya pemerintahan desa mempunyai kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan program, kegiatan dan keuangannya, tidak saja
kepada masyarakat namun juga secara administratif kepada pemerintahan
supra desa dalam rangka pengelolaan keuangan Desa yang akuntabel dan
transparan. Hal ini termasuk juga pertanggung jawaban atas pengelolaan
asset desa, sebagai salah satu bentuk kekayaan desa yang dapat dinyatakan
dengan uang yang semestinya dikelola dengan baik oleh aparatur desa yang
bersangkutan. Terkait dengan hal ini, aparatur desa perlu memahami proses
penyelenggaraan keuangan Negara, khususnya yang berkaitan dengan
keuangan desa sehingga dapat menerapkan tertib administrasi dalam
pengelolaan keuangan. Dengan berjalannya tertib administrasi dalam
pengelolaan keuangan desa tersebut diharapkan akan menjadikan
pengelolaan keuangan desa lebih akuntabel dan transparan.
25
35
Perubahan berbagai kebijakan yang terkait dengan aspek keuangan
desa juga menghendaki kemampuan aparatur desa untuk mengelola
keuangan dan kekayaan desa sejalan dengan tuntutan kebijakan yang
berlaku. Salah satunya adalah perubahan kebijakan yang mengamanatkan
pelaksanaan Alokasi Dana Desa oleh pemerintah kabupaten kepada
pemerintah desa. ADD yang semula merupakan inovasi yang dilakukan oleh
beberapa kabuaten semenjak tahun 2001, dalam PP No. 72/2005 telah
dipertegas menjadi salah satu sumber keuangan desa. Sejalan dengan
amanat peraturan tersebut, pemerintah desa perlu menguasai pengeolaan
ADD sejalan dengan kebijakan pelaksana yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah Kabupaten. Perubahan kebijakan lain yang penting untuk
dikuasai adalah menyangkut administrasi keuangan desa sebagaimana
dituangkan dalam PP No. 72/2005 tentang Desa, maupun berbagai peraturan
pelaksanaya seperti Peraturan Menteri Dalam Negri No.37 Tahun 2007
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa.
Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam laporan ini aspek
manajemen keuangan dan kekayaan desa menjadi salah satu aspek yang
penting dalam peningkatan kapasitas aparatur desa. Diharapkan bahwa
penguatan pada aspek kemampuan aparatur desa dalam manajemen
keuangan dan kekayaan desa ini dapat meningkatkan akuntabilitas dan
transparansi pemerintah desa dalam hal keuangan dan kekayaan desa. Hal
yang lebih utama dari peningkatan kapasitas ini adalah untuk mewujudkan
kemampuan manajemen keuangan dan kekayaan yang lebih baik guna
membiayai program dan kegiatan pembangunan desa sehingga akan dapat
meningkatkan kemampuan pencapaian tujuan pembangunan desa yang lebih
terarah.
3. Aspek Kepemimpinan Kepala Desa
Disamping ketiga aspek diatas, penyelenggaraan pemerintahan desa
juga sangat ditentukan oleh aspek kepemimpinan desa. Sebagai satuan
26
36
organisasi pemerintahan di level daerah, pada dasarnya desa identik dengan
organisasi pemerintahan kecamatan, kabupaten/kota maupun provinsi.
Hanya ruang lingkup kerjanya yang berbeda, sementara tujuannya sama
yakni memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dari perspektif organisasi
ini, unsur kepemimpinan ini menjadi mutlak adanya karena merupakan inti
dari manajemen. Pemimpin yang berkualitas diyakini akan mendukung
pencapaian tujuan organisasi. Kepemimpinan juga dimaknai sebagai
kemampuan seseorang dalam mempengaruhi orang lain untuk menjalankan
visi-misi dan program organisasi, demikian halnya untuk kepemimpinan di
tingkat desa.
Dalam konteks pemenuhan kepemimpinan desa yang ideal, terdapat
dua pertanyaan pokok yang perlu mendapat perhatian, pertama sejauhmana
mekanisme yang diatur oleh perundang-undangam dan praktek empiris
pemilihan kepala desa menjamin munculnya pemimpin yang berkualitas.
Kedua, sejauhmana kompetensi yang dimiliki oleh kepala desa yang terpilih
diyakini memenuhi prasayat yang diperlukan dalam implementasi
penyelenggaraan pemerintahan desa.
Pertanyaan pertama khususnya terkait dengan aturan perundang-
undangan pemilihan kepala desa tentu tidak lagi diperdebatkan mengingat
hampir dapat dipastikan bahwa pemilihan kepala desa beberapa tahun
terakhir sudah dilaksanakan dengan mengacu pada prosedur yang ada.
Persoalannya kemudian lebih pada tujuan substantif sebagai hasil dari
mekanisme prosedural yang ditempuh berupa terpilihnya sosok pemimpin
yang berkualitas dan diyakini mampu mengembang tugas dengan baik.
Karena seperti yang kita pahami bahwa tidak sedikit kepala desa yang terpilih
sebenarnya belum memenuhi kompetensi yang disyaratkan. Keterpilihan
mereka lebih banyak ditentukan oleh unsur pendukung tradisional dibanding
pertimbangan yang bersifat professional. Misalnya karena unsur kekerabatan
(kedetakan keluarga), trah atau lainnya.
27
37
Pada kenyataannya, fenomena seperti ini berimplikasi pada aspek
kompetensi seorang kepala desa. Menjadi dilema karena rendahnya kualitas
kepemimpinan kepala desa bukan semata-mata merupakan kesalahan
dirinya, tetapi ada keterlibatan dari warga masyarakat yang ikut memilih.
Dengan kata lain, terpenuhinya mekanisme prosedural dalam pemilihan
kepala desa belum tentu menjamin terpilihnya pemimpin (kepala desa) yang
berkualitas.
Oleh karenanya, menjadi penting untuk mencermati aspek kompetensi
seseorang yang dipercaya atau terpilih menjadi kepala desa. Terkait dengan
kompetensi ini, setidaknya ada lima kapasitas yang harus melekat pada diri
seorang kepala desa diantaranya; (i) Pengetahuan dan pemahaman tentang
teori kepemimpinan itu sendiri, (ii) Pengetahuan dan pemahaman tentang
pembuatan peraturan desa; (iii) pengetahuan dan pemahaman tentang
pengambilan keputusan; (iv) Pengetahuan dan pemahaman tentang
manajemen konflik; (v) Pengetahuan dan pemahaman tentang negosiasi, dan;
(vi) yang tidak kalah pentingnya adalah pemahaman dan penguasaan dalam
komunikasi.
Membekali para kepala desa dengan kompetensi di atas merupakan
langkah tepat yang harus ditempuh untuk memastikan bahwa aspek
kepemimpinan desa sebagai bagian integral dari keberhasilan
penyelenggaraan pemerintahan desa secara keseluruhan.
4. Aspek Penyusunan Kebijakan Desa
Urgensi aspek kebijakan desa dapat dilihat dari 3 (tiga) hal : Pertama,
bahwa penyusunan kebijakan di tingkat desa merupakan amanat undang-
undang dan peraturan pemerintah, khususnya PP No. 72/2005 tentang Desa.
Kedua, penyusunan kebijakan desa harus memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, penyusunan kebijakan desa
28
38
mengindikasikan kepekaan pemerintah desa terhadap hajat hidup
masyarakat desa (PKKOD-LAN, 2008).
Menurut Pasal 35 ayat (1) PP 72/2005 disebutkan bahwa ”Peraturan
Desa ditetapkan oleh Kepala Desa bersama BPD” Dari pasal ini dapat
dijelaskan bahwa meskipun penyusunan Perdes hanya disebutkan oleh kepala
desa dan BPD, namun pada praktiknya aparat desa-lah (terutama sekretaris
desa) yang menyiapkan draft perdes tersebut.
Perdes merupakan penjabaran dari peraturan perundangan yang lebih
tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Hal ini sangat menarik, karena perdes yang lahir bisa jadi merupakan
perpaduan antara kepentingan kepemerintahan desa dan kearifan lokal di
desa yang bersangkutan. Artinya, perdes di Sumatera Barat akan berbeda
dengan perdes di Bali, dan seterusnya. Disinilah perlunya kapasitas aparatur
desa yang memahami berbagai muatan lokal yang akan diatur dengan perdes.
Namun demikian, hadirnya muatan lokal dalam perdes tersebut tetap harus
didudukkan dalam koridor hukum yang jelas, yakni penyusunan perdes tidak
boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Selanjutnya, penyusunan perdes mengacu kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sebagai bagian dari tata urutan
perundang-undangan, maka penyusunan perdes dimaksud harus mengacu
pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang Tatacara Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Kiranya menjadi jelas bahwa para penyusun perdes
(sebagai legal drafter) sudah seharusnya memahami seluk-beluk penyusunan
peraturan perundang-undangan.
Terakhir, terkait dengan penyusunan sejumlah perdes di lingkungan
pemerintahan desa, ternyata hal itu dapat dikaitkan dengan inovasi dan
kreativitas yang dimilikinya. Asumsinya, semakin banyak perdes yang
diterbitkan, menunjukkan makin tingginya inovasi dan kreativitas desa yang
29
39
bersangkutan. Tentu saja, perdes-perdes yang diterbitkan tidak bertentangan
dengan kepentingan masyarakat desa dan peraturan perundangan yang lebih
tinggi.
Untuk melaksanakan perdes, maka kepala desa menetapkan peraturan
kepala desa dan/atau keputusa kepala desa. Senada dengan perdes, maka
Perkades dan/atau SK Kades tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Ringkasnya, aspek penyusunan kebijakan desa menjadi salah satu aspek
penting dalam pembahasan kapasitas aparatur desa, khususnya
kemampuan/kapasitas untuk menyusun Perdes, Perkades dan/atau SK Kades
(legal drafting).
5. Aspek Manajemen Pelayanan Desa
Memberikan pelayanan yang baik guna meningkatkan keberdayaan dan
kesejahteraan bagi warga masyarakatnya merupakan tujuan utama dari
penyelenggaraan pemerintah daerah dalam konteks otonomi daerah. Karena
pelayanan merupakan fungsi utama organisasi pemerintah, tentunya hal ini
sejalan dengan tujuan pembentukan organisasi pemerintah termasuk desa,
yang tidak hanya melakukan pelayanan internal tetapi juga eksternal.
Pelayanan internal pemerintah desa dilakukan terhadap pemerintah desa
lainnya, pemerintah kabupaten, provinsi sampai pada tingkat Pemerintah.
Sedangkan pelayanan eksternal adalah pelayanan kepada masyarakat desa
yang bersangkutan.
Di tingkat desa, penyelenggaraan pemerintahan desa tak terlepas dari
pelaksanaan urusan yang didelegasikan oleh pemerintah kabupaten/kota. Di
tingkat Desa pelayanan publik didasarkan pada penyerahan urusan yang
diberikan Kabupaten kepada Desa seperti yang disebutkan dalam Peraturan
Pemerintah No. 72 tahun 2005, hal ini dijelaskan pada pasal 8 menyebutkan
bahwa : “Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota
30
40
yang diserahkan pengaturannya kepada Desa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf b adalah urusan pemerintahan yang secara langsung dapat
meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat”. Untuk menunjang
pelaksanaan pasal 7 dan 8 pada PP No. 72 tahun 2005 tersebut telah ada
Permendagri No 30 tahun 2006 yang mengatur tentang Tata Cara Penyerahan
Urusan Pemerintah Kabupaten/Kota Kepada Desa sebagai bentuk
operasionalisasi jenis-jenis kewenangan pelayanan yang dapat diberikan
pemerintah desa dari pemerintah Kabupaten/Kota. Sementara itu di bidang
pelayanan sendiri telah ada Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang pedoman umum
penyelenggaraan Pelayanan Publik, dimana Pelayanan publik didefinisikan
sebagai: “segala kegiatan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan
publik sebagai suatu upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan
maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundangan". Penekanan pada
definisi ini lebih kepada kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh instansi
pemerintah.
Selama ini persoalan pemberian pelayanan yang berkualitas tersandung
oleh beberapa hal, diantaranya : kinerja yang buruk dari aparatur,
diskriminasi dalam pelayanan publik yang diberikan, terbangunnnya budaya
clientalisme sehingga ketimpangan pelayanan. Dengan semua citra buruk
yang ada itu maka penting kiranya bagi aparatur desa untuk dapat
meningkatkan kapasitasnya di bidang manajemen pelayanan desa.
Pentingnya peningkatan kapasitas di bidang pelayanan ini sebagai penunjang
upaya meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah desa, baik pelayanan
yang bersifat internal maupun eksternal kepada masyarakatnya, baik fisik
maupun adminsitratif. Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat desa perlu pengadaan dan peningkatan sarana dan
prasarana pemerintah desa.
31
41
Untuk menciptakan dan menjamin kualitas pelayanan maka perlu
disusun Standard operating Procedures (SOP) sehingga akan terdapat
kejelasan waktu dan biaya yang diperlukan (mudah, murah, cepat). Standard
pelayanan ini merupakan sebuah kontrak sosial antara aparatur pemerintah
(desa) dengan masyarakatnya. Karena pelayanan yang baik merupakan
gambaran pemerintahan yang baik dan tanggap terhadap keinginan semua
lapisan masyarakatnya.
C. CAPACITY BUILDING APARATUR DESA
Terminologi capacity building lahir dari konsep yang dikembangkan oleh
kelompok negara-negara pemberi bantuan (negara donor) yang tujuan utamanya
adalah untuk membantu pembangunan negara-negara yang sedang berkembang
(negara penerima donor). Secara historis hampir semua negara Asia dan Afrika
sejak selesainya Perang Dunia II memulai kegiatan pembangunan di masing-
masing negara, salah satu cara untuk mendanai pembangunan d negaranya
adalah dengan cara meminjam dana kepada negara-negara donor. Hal ini
tentunya termasuk Indonesia semenjak pemerintahan Orde Baru dan juga
negara-negara lainnya yang baru merdeka dihadapkan pada sejumlah
permasalahan yang paling dasar, di antaranya adalah pembangunan sarana dan
prasarana. Untuk memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang tersebut,
negara-negara pemberi donor ini bergabung dalam “kelompok negara pemberi
donor” yang tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat
dan pemerintah negara berkembang untuk menjalankan program-program
pembangunannya.
Capacity building ini dikembangkan dari konsep “institution building” yang
sering digunakan pada dekade 1950-an, dan berakhir pada 1960-an, dan fokusnya
bergeser pada “institution strengthening” pada dekade 1970-an. Sejalan dengan
perkembangan keadaan, fokus perhatian kelompok negara-negara pemberi
bantuan pada dekade 1980-an pemberian bantuan lebih diarahkan pada
32
42
“development management” dan “institutional development”. Perkembangan
selanjutnya, pada dekade 1990-an, dengan memperhatikan berbagai
keberhasilan dan kegagalan, perhatian terhadap “capacity building” lebih
mengemuka. Hal ini dikarenakan kelompok negara-negara donor di satu pihak
dan negara-negara yang diberi bantuan tersebut sama-sama menyadari bahwa
investasi di sektor publik telah gagal melakukan perbaikan secara signifikan dalam
mengembangkan kemampuan sektor publik dalam memprediksi, mengenali,
mencegah dan mengelola masalah-masalah pembangunan (Trostle, Sommerfeld
and Simon, 1997). Dalam perkembangan selanjutnya pemikiran “capacity
building” pada saat inipun dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang berkaitan
dengan partisipasi, pemberdayaan, masyarakat madani dan pergerakan sosial
(Eade, 1997).
Dalam praktek pelaksanaan “capacity building” di negara-negara Asia dan
Afrika, kelompok negara-negara pemberi bantuan (donor), banyak menggandeng
lembaga swadaya masyarakat (non governmental organizations) sebagai mitra
dalam membantu pemerintah untuk menjalankan program-program “capacity
building” di kalangan lembaga swadaya masyarakat. “Capacity building”
ditempatkan pada spektrum “membantu orang untuk menolong dirinya sendiri”
mulai dari level individu, kelompok masyarakat, dari tingkat lokal sampai pada
tingkat nasional, dengan sasaran utamanya adalah terbentuknya “masyarakat
madani” untuk mendorong demokratisasi dan membangun institusi pemerintah
yang kuat, efisien dan akuntabel.
Sekalipun terminologi “capacity building” telah muncul pada decade 1980-
an, namun sampai pada saat ini belum terdapat kesepakatan dari berbagai
kalangan mengenai definisi “capacity building” yang sifatnya sudah baku dan
dapat dijadikan sebagai acuan dari semua pihak yang punya minat terhadap
pengembangan konsep “capacity building”. Meskipun dalam prakteknya terdapat
beberapa rumusan dari pengertian “capacity building”, namun pengertian-
pengertian tersebut kadang-kadang “vague” dan tidak konsisten, dan tidak serta-
33
43
merta “incompatible” dalam prakteknya (Eade, 1997), beberapa pengertian
tersebut ada yang lebih memfokuskan perhatiannya pada pengembangan
kapasitas sumberdaya manusia, namun ada juga yang lebih menyoroti
pengembangan kelembagaan yang kuat, dan juga ada yang lebih menyoroti
penguatan manajemen.
Definisi “capacity building” yang sering dipakai adalah definisi yang
dikemukakan oleh Hilderbrand dan Grindle (1997), yang mengemukakan bahwa
kata “capacity” atau kapasitas berarti “ability to perform appropriate tasks
effectively, efficiently and sustainably”. Capacity building sendiri mengacu pada
“improvement in the ability of public sector organizations”. Mengingat bahwa
ruang lingkup perbaikan kemampuan atau kapasitas organisasi sektor publik itu
sangat luas, maka dengan sendirinya cakupan “capacity building” juga luas.
Selain itu Cohen (1995) mendefinisikan Kapasitas Sumberdaya Manusia
sebagai kemampuan (ability) institusi-institusi sektor publik untuk melaksanakan
fungsi yang ditetapkan, mengoperasionalkannya melalui peran institusi yang diisi
oleh individu-individu yang melaksanakan tugasnya. Oxfam, sebuah lembaga
swadaya masyarakat di Inggris, mendefinisikan “capacity building” berangkat dari
kepecayaan yang fundamental (fundamental beliefs) yakni “setiap orang memiliki
hak terhadap bagian yang sama dari sumberdaya dunia; ………. Pengingkaran dari
hak tersebut merupakan penyebab kemiskinan dan penderitaan (that all people
have the right to an equitable share in the world’s resources, ….. and that the
denial of such rights is at the heart of poverty and suffering). Lembaga swadaya
masyarakat ini melihat bahwa dasar pembangunan itu terletak pada peningkatan
kemampuan masyarakat untuk menentukan nilai-nilai dan prioritas yang mereka
pilih. “Capacity building” merupakan sebuah pendekatan pembangunan daripada
serangkaian intervensi yang “discrete and prepackaged”. Untuk
mengaktualisasikan potensi masyarakat perlu ditumbuhkembangkan kreativitas
dan oto-aktivitas masyarakat yang terarah pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat serta ketahanan dan daya saing masyarakat yang bersangkutan.
34
44
Dalam rangka itu, format pemerintahan sebagai sistem penyelenggara negara
baik pemerintah pusat maupun daerah perlu memperhatikan prinsip-prinsip
antara lain : Demokrasi, Pemberdayaan, Pelayanan, Transparansi dan akuntabel,
Partisipasi, Kemitraan, Konsistensi Kebijakan dan Kepastian hukum.
UNDP (1998) mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan individu,
organisasi (unit organisasi) atau sistem untuk menunjukkan fungsinya secara
efektif, efisien, dan berkelanjutan. Capacity adalah kekuatan dari individu,
organisasi, dan sistem untuk berproduksi. Berdasarkan definisi UNDP tersebut,
peningkatan kapasitas Pemerintahan Desa meliputi aparatur desa (individu),
kelembagaan desa (organisasi), dan sistem pemerintahan desa yang mencakup
manajemen/pengelolaan pemerintahan desa, kepemimpinan desa, dan
sebagainya (sistem). Dengan kata lain, upaya peningkatan kapasitas
Pemerintahan Desa tersebut mencakup ketiga ranah: individu, organisasi dan
sistem.
Definisi lainnya dikemukakan oleh OECD - persatuan negara-negara
berkembang (1998) yang menyatakan bahwa capacity atau kapasitas adalah
proses dimana individu, group, institusi, dan masyarakat meningkatkan
kemampuan mereka untuk: (1) melaksanakan fungsi lini (core function),
menyelesaikan masalah, menjabarkan dan mencapai tujuan, dan (2) memahami
dan mampu beradatasi dengan kebutuhan pembangunan dalam skala yang luas
dan berkelanjutan. Sementara itu, merujuk pendapat OECD bahwa upaya
peningkatan kapasitas individu, kelompok, institusi, dan masyarakat pada
dasarnya ditujukan untuk melaksanakan fungsi lini.
Bagi Pemerintahan Desa, fungsi lini tersebut sebagaimana tercantum dalam
Pasal 206 UU Nomor 32 Tahun 2004, yaitu:
“Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup: 1. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; 2. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota
yang diserahkan pengaturannya kepada desa; 3. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau
pemerintah kabupaten/kota;
35
45
4. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa”.
Kemampuan Pemerintahan Desa dalam melaksanakan tugas dan fungsi
tersebut akan menjadi tolok ukur bagi pencapaian kinerja Pemerintahan Desa.
Artinya, dukungan individu, organisasi, dan sistem yang memadai sangat
diperlukan dalam rangka pencapaian kinerja Pemerintahan Desa.
Kemampun atau kapasitas yang dimiliki oleh aparatur Desa (individu) dan
kepemimpinan Kepala Desa diharapkan mampu mengatasi berbagai persoalan
yang muncul dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Oleh karena itu,
rekrutmen aparat Desa baik aparatur Kepala Desa (Sekdes dan para Kepala
Urusan) maupun anggota-anggota BPD. Penempatan PNS untuk menduduki
jabatan Sekdes misalnya, merupakan langkah penting dalam mengatasi
kemungkinan permasalahan yang timbul khususnya dalam hal pengelolaan
administrasi keuangan.
Namun demikian, keberhasilan pencapaian kinerja Pemerintahan Desa
tidak hanya ditentukan oleh seorang Sekdes, oleh karenanya tuntutan
kemampuan menyelenggarakan kepemerintahan desa juga menjadi tanggung
jawab para kepala urusan dan anggota BPD. Berkenaan dengan hal tersebut,
upaya peningkatan kompetensi aparatur desa menjadi penting untuk dilakukan
secara terus-menerus.
Pertanyaannya adalah, sejauhmana keberhasilan Pemerintah dalam
mengembangkan kapasitas pemerintahan desa, karena berdasarkan uraian
sebelumnya ternyata masih terdapat sejumlah persoalan besar yang terjadi di
desa-desa. Dalam hubungan ini, apakah perubahan pengaturan tentang
Pemerintahan Daerah yang terjadi selama ini tidak mampu menyelesaikan
persoalan-persoalan tersebut?
Untuk alasan inilah, nampaknya Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu
segera mengambil langkah-langkah konkret dalam rangka meningkatkan
kapasitas/kemampuan aparatur desa, sehingga ke depan Desa tidak lagi
36
46
terpinggirkan seperti yang terjadi pada masa lalu. Desa masa depan adalah desa
yang mampu mengelola potensi yang ada berdasarkan prinsip-prinsip
pemerintahan desa yang demokratis dan memiliki keunggulan di bidang sosial,
politik, ekonomi, dan budaya.
Dari uraian sebagaimana diutarakan di atas, patut difahami bahwa
“capacity building” merupakan proses peningkatan kapasitas yang tiada henti,
berproses terus secara bertahap dan berkesinambungan dalam rangka mencapai
efisiensi dan efektivitas pemerintahan secara optimal. Proses “capacity building”
pemerintahan desa dapat dimaknai sebagai pendorong reformasi pemerintahan
desa dalam kerangka pencapaian tujuan yang diinginkan oleh masyarakat desa,
dan oleh karena itu proses awal dari peningkatan kapasitas pemerintahan desa
haruslah dirancang dan dibangun secara komprehensif dan terpadu dalam rangka
mewujudkan peningkatan kinerja pemerintahan desa secara terus menerus
(continuous performance improvement).
Peningkatan kapasitas aparatur desa pada dasarnya diarahkan pada
tujuan-tujuan (goals) antara lain :
1. Mengembangkan keterampilan dan kompetensi individu sehingga masing-
masing individu mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang
diembannya;
2. Mengembangkan budaya kerja, sistem dan prosedur kedalam
otoritas/kewenangan unit-unit kerja pemerintahan desa dalam rangka
mencapai tujuan masing-masing unit kerja;
3. Mengembangkan dan menguatkan jejaring kerja dengan pihak luar dan supra
desa (development and strengthening of external links) dalam rangka
menumbuh-kembangkan kemitraan secara intensif, ektensif dan solid.
Peningkatan kapasitas aparatur desa dapat diartikan sebagai upaya
peningkatan kualitas sumberdaya manusia aparatur desa secara terencana dan
berkesinambungan untuk menjalankan agenda atau rencana tertentu, oleh
karena itu “capacity building” aparatur desa tidak terlepas dari “individual
37
47
capability development, organizational capacity building, institutional capacity
building”, pengertian peningkatan multi dimensi tersebut memberikan gambaran
kepada kita bahwasanya terdapat banyak hal yang harus dicermati secara
mendalam agar peningkatan kapasitas pemerintahan desa dapat berhasil dengan
baik, hal ini pula patut difahami karena perencanaan peningkatan kapasitas desa
desa yang sifatnya “tambal-sulam” dan tidak berkesinambungan akan menuai
ketidak berhasilan, dan oleh karena itu dalam rangka peningkatan kapasitas
aparatur desa perlu dilakukan analisis terlebih dahulu terhadap ranah-ranah
kunci (key areas) aparatur desa baik internal maupun eksternal. Disamping
analisis tersebut diatas juga perlu ditelaah kesenjangan kapasitas antara kapasitas
aparatur desa saat ini dengan kapasitas yang diinginkan (current gaps),
kesenjangan yang ditemukenali adalah hal-hal yang “stratejik” yang secara
potensial akan berdampak pada kinerja pemerintahan desa.
Merujuk pada hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh William
Ramphele pada tahun 2003, diidentifikasi beberapa keterbatasan pengembangan
kapasitas pemerintahan daerah termasuk pemerintahan desa di negara-negara
berkembang antara lain :
a. Tidak memadainya infrastruktur dan penataan kelembagaan pemerintahan
daerah dan desa, meskipun sudah tersedia infrastruktur yang memadai di
beberapa daerah, namun pemerintahan daerah belum mampu
mengoptimalkan system yang sudah dibangun untuk menghasilkan pelayanan
yang prima, hal tersebut sangat tergantung dari kucuran anggaran yang
ketersediaannya sangat terbatas. Kondisi demikian diperkeruh dengan
adanya hunbungan antar struktur pemerintahan daerah (kabupaten,
kecamatan dan desa) yang kurang solid, sehingga keberadaan mereka tidak
dalam kondisi yang sinergis dan cenderung mementingkan kepentingan unit
kerjanya sendiri;
b. Lemahnya dalam mengelola kapasitas yang tersedia, sebagian besar
pemerintahan daerah (pemerintah kabupaten, kecamatan dan desa) belum
38
48
mampu membangun system dan prosedur kerja internal unit kerja secara
memadai;
c. Kurangnya motivasi dari pemerintahan daerah (kabupaten, kecamatan dan
desa) untuk mengembangkan kapasitas daerahnya masing-masing.
Dari uaraian di atas, secara esensi dapat diidentifikasi bahwa permasalahan
pengembangan kapasitas pemerintahan desa dilihat dari aspek kelembagaan,
sumber daya manusia, dan manajemen dalam arti luas (mencakup berbagai aspek
dan berbagai sumber) adalah sebagai berikut :
a. Belum memadainya penataan kelembagaan pemerintahan desa (organization
development) berdasarkan kaedah struktur dan desain organisasi (structure
and design), manakala dikaitkan dengan kewenangan yang dimiliki oleh
pemerintahan desa, baik kewenangan yang berdasarkan atas hak asal-usul
desa dan kewenangan pemerintah yang dilimpahkan menjadi kewenangan
pemerintahan desa;
b. Belum terbangunnya sistem manajemen kinerja (performance management
system) pemerintahan desa, termasuk dalam hal ini adalah manajemen
sumberdaya manusia yang berbasis pada kompetensi (competence-based
human resource management) dan system pengukuran kinerja (performance
measurement system);
c. Belum terwujudnya budaya organisasi (organization culture) yang sensitive
terhadap tuntutan perubahan lingkungan baik internal maupun eksternal;
d. Belum terbangunnya standar pelayanan umum (public services standard)
terutama pelayanan dasar yang dirancang secara terpadu, menyangkut waktu
dan biaya;
e. Belum memadainya pengetahuan tentang manajemen perubahan (change
management) dan bagaimana cara mengantisipasi perubahan tersebut dalam
praktek kerja sehari-hari;
f. Belum memadainya skills dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang
diemban, terutama dikaitkan dengan tugas pelayanan, baik pelayanan
39
49
terhadap masyarakat maupun pelayanan dalam lingkup internal
pemerintahan;
g. Belum memadainya infrastuktur dan fasilitas pendukung kerja, terutama yang
berkaitan dengan teknologi komunikasi dan informasi (information and
communication technology).
Sebagaimana diutarakan di atas, “capacity building” pemerintahan desa
mencakup peningkatan 3 (tiga) aspek utama yakni peningkatan kapasitas
kelembagaan, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, dan peningkatan
kapasitas manajemen pemerintahan desa (dalam arti luas, dilihat dari unsur
manajemen dan sumber-sumber manajemen). Ketiga aspek tersebut merupakan
suatu kesatuan sistem yang komprehensif dan holistic, sehingga upaya-upaya
peningkatan kapasitasnya perlu dilakukan secara terintegrasi dan terpadu.
Dengan memperhatikan berbagai kelemahan-kelemahan kapasitas
pemerintahan desa tersebut di atas, pada dasarnya terletak pada lemahnya
strategi pengembangan kelembagaan pemerintahan desa. Untuk pengembangan
kapasitas pemerintahan desa kiranya perlu diarahkan pada pemenuhan
sinergisme tiga strategi utama, yakni “structural strategy, behavior strategy, and
technical strategy” sehingga pemerintahan desa dapat menjalankan misinya
dengan sebaik-baiknya.
The Structural Strategy, lazimnya menggunakan pendekatan disain
organisasi (organization design), dimana struktur organisasi dan disain
semestinya diselaraskan dengan hal-hal yang menyangkut : (1) fungsi-fungsi
organisasi; (2) Prinsip-prinsip pengorganisasian; (3) Kebijakan yang mengatur
penataan organisasi pemerintahan desa, disamping ketiga hal tersebut juga perlu
dikaitkan dengan sumberdaya manusia yang diselaraskan dengan optimasi
sumber daya lainnya, sehingga tampak tertata dengan jelas hierarkhi organisasi,
pengambilan keputusan sedapat mungkin didekatkan dengan pelaksana tindakan,
perlu dicatat esensi dari penyelarasan struktur organisasi dengan disain
organisasi adalah dalam rangka mewujudkan “new relationship”.
40
50
Sementara itu dalam implementasinya di ranah pemerintahan daerah
umumnya pendekatan disain organisasi belum dikonsistensikan secara terpadu
dengan Visi, Misi, dan Tujuan organisasi. Hal ini dapat dicermati dari berbagai
kecenderungan yang terjadi, dimana pemerintahan daerah (dari level propinsi
sampai level terendah) berlomba-lomba untuk memperbanyak jabatan struktural
tanpa mempertimbangkan korelasi pencapaian kinerjanya. Hierarkhi yang
semakin tinggi dan berjenjang secara langsung atau tidak langsung akan
berdampak terhadap semakin banyaknya waktu yang dibutuhkan dalam
pengambilan keputusan maupun dalam konteks hubungan antar hierarkhi.
Behavior Strategy, lebih menekankan bagaimana mengembangkan budaya
kerja organisasi. Pengembangan budaya organisasi tersebut dimulai dari proses
pembelajaran sumber daya manusia yang pada gilirannya akan membawa
perubahan organisasi kearah yang lebih baik, dalam konteks ini pembelajaran
sumberdaya manusia inilah semestinya yang diperoleh adalah knowledge, skiil
and attitudes yang akan mengarah pada perilaku-perilaku yang baru, dimana
muaranya adalah peningkatan kualitas kinerja individu, kelompok dan organisasi.
Dalam implementasinya, pendekatan pengembangan sumber daya manusia
aparatur pemerintahan desa pada saat ini belum diarahkan secara memadai pada
pemerolehan dan pengembangan knowledge, skiil, attitudes. Hal ini dapat dilihat
dari pengembangan sumber daya manusia secara parsial, tidak konsisten dan
tidak selaras dengan bagaimana pencapaian Visi, Misi dan Tujuan organisasi
pemerintahan desa.
The Technical Strategy, menggunakan pendekatan peningkatan
berkelanjutan (continuous improvement approach), yang menekankan bahwa
bidang-bidang yang berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat,
pemberian layanan, dukungan dan kemitraan. Disamping itu pendekatan ini juga
memandang pentingnya peningkatan teknologi yang diselaraskan dengan proses-
proses produksi dan pelayanan, sehingga pemerintahan desa mampu bekerja
secara efisien. Dalam implementasi organisasi pemerintahan desa, strategi ini
41
51
belum menjadikan strategi ini menjadi prioritas utama. Kondisi demikian dapat
dilihat dari belum maksimalnya fokus pada kebutuhan masyarakat, pemberian
layanan, dukungan dan kemitraan, konsumsi teknologi sering menjadi terabaikan.
Dengan memperhatikan uraian tersebut di atas yang mengidentifikasi
terdapat tiga aspek pemerintahan desa yang perlu dikapasitasi,maka untuk
meningkatkan kapasitas pemerintahan desa secara keseluruhan,maka
peningkatan kapasitas aparatur desa merupakan prioritas utama, karena kita
berasumsi : “sistem yang dibangun dan dikembangkan dengan baik tidak akan
berhasil mencapai tujuan dengan baik jika dikelola oleh sumberdaya aparatur
yang kurang baik, dan sebaliknya sistem yang kurang baik akan berhasil dengan
baik jika dikelola oleh sumberdaya aparatur yang baik” .
D. KERANGKA PIKIR
Dengan memperhatikan uraian diatas, maka dapat dirumuskan kerangka
pikir sebagaimana digambarkan dibawah ini :
UU 32/2004
Pemerintah
Kab/Kota
UU 33/2004
titik
berat
dukungan
sumberdaya
Pemerintahan Desa
Pembinaan lemah Span of control terlalu lebar
Kebutuhan Peningkatan Kapasitas Aparatur Desa: Perencanaan dan
Pengangaran Desa Keuangan Desa Penyusunan Kebijakan
Desa Kepemimpinan Kepala
Desa Manajemen Pelayanan
Desa
Masyarakat
Otonomi Desa
Kepasitas melemah
42
52
BAB 3 METODOLOGI KAJIAN
A. JENIS KAJIAN
Jenis kajian yang digunakan dalam kajian ini adalah pengembangan
(development). Jenis Kajian ini adalah untuk mengadakan percobaan
penyempurnaan terhadap suatu masalah, atau untuk menghasilkan produk
tertentu (program, model, alat dll) (Suharsimi, 1998). Terkait dengan kajian ini
adalah dengan disempurnakannya modul dan meningkatnya pemahaman dan
kompetensi aparatur desa yang berkaitan dengan Perencanaan dan
Penganggaran Desa, Keuangan Desa, Penyusunan Kebijakan Desa, Kepemimpinan
Kepala Desa, dan Manajemen Pelayanan Desa.
B. METODE KAJIAN
Metode kajian ini menggambarkan metode kualitatif. Penelitian dengan
metode kualitatif ini didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati .
C. DAERAH KAJIAN
Kegiatan kajian ini dilakukan pada 7 (tujuh) daerah provinsi, dimana dari
masing-masing provinsi, diambil 2 (dua) kabupaten sebagai daerah kajian
sebagaimana tabel dibawah ini :
43
53
Tabel. 3.1 Daerah Kajian
No. Provinsi Kabupaten
1. Provinsi Bengkulu 1. Kabupaten Bengkulu Utara 2. Kabupaten Seluma
2. Provinsi Jambi 1. Kabupaten Muaro Jambi 2. Kabupaten Batanghari
3. Provinsi Kalteng 1. Kabupaten Pulang Pisau 2. Kabupaten Katingan
4. Provinsi Nusa Tenggara Barat 1. Kabupaten Lombok Barat 2. Kabupaten Lombok Timur
5. Provinsi Kalsel 1. Kabupaten Banjar 2. Kabupaten Tanah Laut
6. Provinsi NTT 1. Kab. Timor Tengah Selatan 2. Kabupaten Kupang
7. Provinsi Sulteng 1. Kabupaten Donggala 2. Kabupaten Parigi Moutong
D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Salah satu tahapan dari penelitian sosial adalah tahap pengumpulan data.
Pada tahapan ini biasanya lebih dari satu metode pengumpulan data yang dipilih
untuk mengumpulkan data yang diperoleh. Untuk data primer teknik
pengumpulan data yang dipilih pada kajian ini dilakukan dengan workshop, dalam
workshop ini akan digali aspirasi dan pemikiran dari aparat desa sebagai temuan
dan evaluasi atas modul yang telah dibuat pada kegiatan kajian tahun lalu. Dan
dalam metode ini juga akan menggunakan instrument kajian sebagai alat untuk
menggali aspirasi ini selain modul-modul.
Sedangkan untuk pengumpulan data sekunder diperoleh dari
dokumentasi kebijakan-kebijakan,buku-buku, hasil penelitian pihak lain dan
klipping yang terkait dengan substansi dari berbagai media cetak.
44
54
E. TEKNIK PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA
1. Untuk data hasil diskusi kelompok, pengolahan data telah dilakukan dengan
mengelompokkan upaya-upaya yang telah ditempuh, permasalahan yang
dihadapi dan strategi yang disarankan/ direkomendasikan dalam peningkatan
kapasitas aparatur desa.
2. Untuk data hasil wawancara mendalam (indepth interview), pengolahan dan
analisis data telah dilakukan dengan mentranskrip hasil wawancara, yang
kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis data tersebut. Dalam
melakukan analisis data hasil wawancara perlu diperhatikan dengan seksama
karena tidak semua data yang disampaikan narasumber merupakan fakta
yang sesungguhnya. Oleh karena itu, peneliti harus dapat membedakan
antara “opini” dan “fakta”.
3. Untuk data-data yang berasal dari dokumentasi atau studi pustaka, pengolah
dan penganalisis data (peneliti) telah dilakukan dengan menyalin/mengutip
sebagian isi dari dokumen yang bersangkutan. Untuk itu, peneliti harus
menyertakan sumber yang dikutipnya secara lengkap.
45
55
BAB 4 GAMBARAN KAPASITAS APARATUR DESA
Penyelenggaraan pemerintahan desa telah lama diupayakan untuk diperkuat,
setidaknya upaya penguatan ini telah menjadi agenda nasional seperti yang
diamanatkan konstitusi. Hal ini juga menjadi salah satu tujuan dari muatan Undang-
undang Nomor 32 tahun 2004 yakni untuk memodernisasikan pemerintahan desa
agar mampu menjalankan perannya sebagai stuktur perantara, sebagai pelayan
masyarakat desa, dan sebagai agen perubahan masyarakat desa. Untuk menjadi
pelayan masyarakat dan agen perubahan, tentu aparatur desa diharapkan memiliki
kapasitas yang cukup untuk dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Bab ini menggambarkan hasil temuan lapangan kapasitas aparatur desa terkait
kapasitas pemerintahan desa yang meliputi aspek perencanaan dan penganggaran,
penyusunan kebijakan, keuangan desa, kepemimpinan kepala desa dan manajemen
pelayanan desa di 7 (tujuh) provinsi yang menjadi daerah kajian.
A. PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DESA
Penyelenggaraan pemerintahan desa – dan semua level pemerintahan –
selalu di awali dengan pelaksanaan fungsi perencanaan. Di dalam PP No 72 Tahun
2005 disebutkan terdapat 2 (dua) dokumen perencanaan pembangunan desa
yakni rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJM Desa) dan rencana
Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa). RPJM Desa merupakan perencanaan lima
tahunan sedangkan RKP Desa merupakan perencanaan tahunan, dan hal ini
analog dengan RJPMD dan RKPD di level pemerintah provinsi/ kabupaten/kota.
Sungguh menarik membahas perencanaan desa dan bagaimana aparatur
desa menyusun serta melaksanakan dokumen-dokumen perencanaan tersebut.
Mengapa? Jawabannya sangat sederhana, bahwa penyusunan dokumen
perencanaan desa pastilah menghadapi banyak permasalahan. Hal ini didasarkan
46
56
pada asumsi sebagai berikut: (1) Pemerintah desa mungkin telah menyusun
dokumen-dokumen perencanaan sebagaimana dimaksud PP 72/2005, tetapi
menghasilkan dokumen yang ‘kurang representatif’, dalam hal proses maupun
hasil yang diharapkan oleh masyarakat desa, dan (2) Pemerintah desa belum
pernah menyusun dokumen perencanaan sesuai dengan PP 72/2005 tersebut.
Sebelum membahas lebih detail temuan lapangan tentang perencanaan
pembangunan desa, perlu diketahui bahwa sejak penerapan PP No 41 Tahun
1007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, tugas-tugas kepemerintahan desa
dilimpahkan kepada BPMPD (Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
Pemerintahan Desa) atau BPMD (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa), sesuai
nomenklatur di daerah yang bersangkutan. Hal ini disebabkan terjadinya
perubahan struktur organisasi perangkat daerah, yaitu bagian pemerintahan desa
yang sebelumnya berada di bawah Biro Pemerintahan/Bagian Pemerintahan,
kemudian dihapus dan diletakkan di bawah BPMPD/BPMD dan menjadi salah
satu bagian/sub bagian di dalamnya. Dengan demikian, ‘urusan’ pemerintahan
desa menjadi bagian dari tugas pokok dan fungsi BPMPD/BPMD.
Peleburan (merger) ini bukan tanpa masalah, karena selalu saja ada
masalah dalam setiap penggabungan suatu lembaga/institusi. Menurut Kabid.
Pemerintahan Kabupaten Pulang Pisau-Provinsi Kalimantan Tengah,
permasalahan terkait merger ‘urusan’ pemerintahan desa dari bagian
pemerintahan desa ke BPMPD:
“Bagi saya meleburnya bagian pemerintahan desa dari bagian pemerintahan daerah dan desa-sekretariat daerah ke BPMPD kurang tepat karena urusan pemerintahan desa menyangkut pemerintah desa dan masyarakat desa, dimana untuk pemerintah desa dilakukan oleh Bagian Pemerintahan Daerah dan Desa sedangkan masyarakat desa dilakukan oleh BPMPD”.
Dari pernyataan tersebut dapat dijelaskan bahwa sebelum berlakunya PP
No 41 Tahun 2007, terdapat dikotomi antara urusan pemerintahan desa dan
masyarakat desa dan hal itu dilaksanakan oleh institusi yang berbeda. Urusan
pemerintahan menjadi domain tugas sekretariat daerah yang dalam hal ini
47
57
ditangani oleh bagian pemerintahan daerah dan desa – atau nomenklatur lain,
sedangkan urusan pemberdayaan masyarakat desa menjadi domain tugas BPMD.
Dalam hal koordinasi dengan instansi Pusat, BPMD berkoordinasi dengan Ditjen
Pemberdayaan Masyarakat Desa Departemen Dalam Negeri (PMD Depdagri),
sedangkan bagian pemerintahan daerah dan desa di lingkungan sekretariat
daerah biasanya berkoordinasi dengan Ditjen Otonomi Daerah Departemen
Dalam Negeri (Otda Depdagri).
1. Gambaran tentang Pelaksanaan Penyusunan Dokumen Perencanaan
Pembangunan Desa
a. Kemampuan Aparatur Desa dalam Penyusunan RPJM Desa
Sebagaimana disebutkan di atas, pada umumnya pemerintahan
desa telah melakukan penyusunan dokumen perencanaan pembangunan
desa, baik penyusunan RPJM Desa maupun RKP Desa. Dokumen RPJM
Desa disusun oleh pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa
(BPD) dan ditetapkan dengan peraturan desa (Perdes).
Gambar. 4.1 Tahap Penyusunan RPJM Desa
Dari bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa tahap penyusunan
RPJM Desa diawali dengan analisis potensi dan masalah desa yang
dilakukan oleh segenap lembaga kemasyarakatan desa (LMD) yang ada di
Analisis Potensi dan Masalah Desa
Konsep RPJM Desa
BPD Kepala Desa LMD
diserahkan
Musrenbang Desa untuk RPJM Desa
RPJM Desa Ditetapkan
dengan Perdes
dibimbing pemdes
Sumber: APMD, Yogyakarta (2007), Permendagri 66/2007 (diolah).
48
58
desa yang bersangkutan. Analisis potensi dan masalah desa dimaksud
dilakukan di bawah bimbingan pemerintah desa. Hal itu menunjukkan
bahwa prinsip partisipasi masyarakat sebenarnya telah dilaksanakan sejak
penyusunan dokumen perencanaan jangka menengah desa, bukan hanya
pada saat perencanaan tahunan (RKP Desa).
Hasil analisis potensi dan masalah kemudian dijadikan bahan
menyusun konsep RPJM Desa, yang kemudian disampaikan kepada
kepala desa. Selanjutnya, rancangan/konsep ini dibahas bersama-sama
dengan BPD untuk mendapat persetujuan. Hasil kesepakatan Pemerintah
Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa dituangkan dalam Peraturan
Desa (Perdes).
Dokumen RPJM Desa memuat: (1) Dasar kebijakan pembangunan
tingkat Kecamatan dan Kabupaten/Kota; (2) Gambaran umum keadaan
desa; (3) Gambaran arah kegiatan pembangunan desa selama 3 s/d 5
tahun; (4) Jenis program/kegiatan yang akan dilakukan selama kurun
waktu 3 s/d 5 tahun dilengkapi perkiraan volume, jumlah, sasaran waktu
pelaksanaan dan perkiraan besarnya dana yang akan digunakan; (5) Jenis
kegiatan hasil identifikasi masyarakat melalui Musrenbang Desa, baik
yang dibiayai ataupun tidak dibiayai masyarakat dalam jangka pendek.
Sistematika Dokumen RPJM Desa adalah sebaga berikut:
Bab I: PENDAHULUAN. Bagian ini menjelaskan: (i) latar belakang
perlunya dilaksanakan perencanaan jangka menengah desa, (ii)
gambaran kelemahan dan kekurangan pada proses perencanaan
masa lalu dalam bentuk review perencanaan, (iii) metode
penyusunan rencana partisipatif, (iv) berbagai kaidah hukum yang
bisa digunakan sebagai dasar penyusunan Rencana Pembangunan
Desa.
Bab II: PROFIL DESA. Profil ini antara lain meliputi: (i) karakteristik
wilayah, (ii) karakteristik penduduk, (iii) gambaran potensi unggulan
49
59
desa, (iv) kondisi infrastruktur yang mendukung rencana
pengembangan, (v) gambaran modal sosial lokal yang bisa
didayagunakan maupun informasi relevan lainnya yang dapat
menggambarkan kondisi dan potensi desa, (vi) review terhadap
kelebihan dan kelemahan program/proyek yang pernah dilaksanakan
di desa.
Bab III: VISI DAN MISI. Bagian ini menjelaskan VISI sebagai rumusan
harapan yang ingin dicapai oleh masyarakat desa pada lima tahun
mendatang. Sedangkan MISI mengandung rumusan upaya yang akan
digunakan sebagai pedoman untuk merealisir program guna
mewujudkan visi yang diinginkan bersama.
Bab IV: ISU STRATEGIS PENANGGULANGAN MASALAH DAN
PENGEMBANGAN POTENSI. Bagian ini mencoba menggambarkan
permasalahan kunci yang dihadapi berikut prioritas penanggulangan
masalah serta gambaran potensi unggulan beserta prioritas rencana
pengembangan potensi unggulan desa.
Bab V: PROGRAM PEMBANGUNAN DESA. Bagian ini memaparkan
gugus program yang dikelompokkan ke dalam bidang bidang,
misalnya: bidang pembangunan ekonomi, pemenuhan kebutuhan
dasar pendidikan, kesehatan, pembangunan sarana dan prasarana
fisik dan sebagainya. Program yang disusun merupakan upaya untuk
menjawab isu strategis dan tema pengembangan yang dipilih dan
akan direalisasikan setiap tahun selama lima tahun ke depan.
Biasanya bagian ini disusun dalam bentuk matrik program.
Gugus program adalah himpunan kegiatan-kegiatan yang saling
terkait berdasarkan satu sasaran pokok pembangunan, yang apabila
dilaksanakan secara terpadu, bertahap dan berkelanjutan akan
menjamin pencapaian sasaran pokok pembangunan.
50
60
BAB VI: KAIDAH PENGELOLAAN DAN INDIKATOR KINERJA. Bagian ini
memaparkan pola pangelolaan kegiatan atau gugus program beserta
indikator pencapaian yang ditargetkan dalam setiap kegiatan atau
gugus program.
Indikator keberhasilan merupakan rumusan kriteria yang digunakan
sebagai patokan untuk menilai terhadap pencapaian program
berhasil dilaksanakan atau tidak. lndikator keberhasilan bisa
ditentukan berdasarkan pendekatan masukan (input), proses ,
keluaran (out-put), hasil atau kemanfaat yang bisa dinikmati (benefit),
maupun dampak (out-comes).
BAB VII: PENUTUP. Berisi kesimpulan dan rekomendasi program.
Dalam hal ini ditekankan bahwa RPJM diharapkan dapat menjadi
pedoman bagi pelaksanaan pembangunan desa dalam jangka waktu
lima tahun ke depan. Realisasi pencapaian tujuan dijabarkan lebih
lanjut dalam RKP Desa.
RPJM Desa perlu dilampiri sejumlah dokumen yang dipandang
relevan, terutama matrik program.
Selanjutnya, berdasarkan FGD dengan para kepala desa dan
perangkatnya serta wawancara mendalam dengan para pejabat di
lingkungan BPMPD/BPMD, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
pemerintah desa telah melaksanakan penyusunan dokumen-dokumen
perencanaan pembangunan desa tersebut. Sebagaimana disampaikan
oleh salah seorang Kepala Desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)-
Provinsi NTT:
“….apa yang Bapak sampaikan tadi sebenarnya sudah kami lakukan, misalnya penyusunan RPJM Desa, namun karena adanya perubahan dari orde baru ke orde reformasi sehingga ada hal-hal tertentu yang dilupakan, tetapi jelas bahwa kami di desa telah menyusun RPJM Desa.”
51
61
Hal senada juga disampaikan oleh para pejabat di lingkungan badan
pemberdayaan masyarakat dan pembangunan desa (BPMPD) atau badan
pemberdayaan masyarakat desa (BPMD), sebagaimana pernyataan
Kepala BPMPD Kabupaten Pulang Pisau-Provinsi Kalimantan Tengah:
“sejak terbitnya PP No 72 (tahun 2005) kami telah mencoba menyusun RPJM Desa dan RKP Desa. Tentu saja saat itu kami masih menghadapi banyak persoalan baik SDM maupun bahan-bahan materi penyusunan perencanaan pemerintahan desa.
Namun demikian, ternyata ada beberapa narasumber yang
menyatakan belum menyusun perencanaan desa sesuai amanat PP No 72
Tahun 2005, sebagaimana hasil diskusi kelompok di Kabupaten Donggala-
Provinsi Sulawesi Tengah:
“RPJM Desa untuk masing-masing desa belum ada, sesuai kebijakan BPMD Kabupaten (Donggala) tahun depan akan diadakan pelatihan dan bimbingan teknis penyusunan dokumen perencanaan desa. Rencana kegiatan desa yang ada sekarang bukan merupakan penjabaran dari RPJM Desa, tetapi hasil usulan desa pada saat Musrenbang Desa”.
Kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Banjar-Provinsi Kalimantan
Selatan, hampir seluruh narasumber menyatakan bahwa desa mereka
belum memiliki RPJM Desa. Menanggapi hal itu, narasumber menyatakan
bahwa belum dimilikinya dokumen tersebut disebabkan oleh banyak hal
antara lain rendahnya kemampuan aparatur desa, belum adanya
panduan penyusunan, dan sebagainya.
Box .4.1. Faktor Penyebab Tidak Menyusun RPJM Desa Tidak mempunyai acuan/petunjuk Tidak memiliki potensi untuk memiliki pendapatan di desa Aparatur desa masih belum memadai Belum mengerti cara menyusun RPJM Desa Tidak mempunyai acuan juklak dan juknis Baru dilakukan musyawarah, tapi belum dituangkan dalam RPJM
Desa.
52
62
Dokumen RPJM Desa disusun oleh pemerintah desa bersama-
sama dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan lembaga-lembaga
desa yang ada – dalam hal ini LKMD/LPMD – beserta tokoh masyarakat.
RPJM Desa ditetapkan dengan peraturan desa (perdes).
b. Kemampuan Aparatur Desa dalam Penyusunan RKP Desa
RKP Desa adalah dokumen perencanaan untuk periode satu tahun.
RKP Desa merupakan penjabaran dari RPJM Desa dan mengacu pada
RKPD, memuat rancangan kerangka ekonomi desa, prioritas
pembangunan desa, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang
dilaksanakan langsung oleh pemerintah desa maupun yang ditempuh
dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Kaitan Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Perencanaan
Pembangunan Desa:
Melengkapi sistem perencanaan pembangunan nasional, maka
berdasarkan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional dan PP Nomor 72 2005 tentang
Desa menjelaskan bahwa Pemerintah Desa diwajibkan menyusun
Rencana Pembangunan Desa dan Kelurahan Jangka Menengah (RPJM
Desa) dan Tahunan dalam bentuk Rencana Kerja Pemerintah (RKP
Desa).
Penyusunan RKP Desa dilaksanakan secara partisipatif dalam wadah
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang).
Musrenbang berfungsi sebagai forum untuk menampung,
Box. 4.2. Aktor-Aktor Penyusun RPJM Desa Kepala Desa Kepala Urusan/Kaur Kepala Dusun/Kadus BPD LKMD/LPMD Tokoh Masyarakat
Terkait dengan penyusunan
RPJM Desa, ternyata
narasumber memberikan
pernyataan yang berbeda-
beda:
53
63
mendapatkan, membahas aspirasi/ usulan kegiatan serta
memutuskan usulan prioritas kegiatan di tingkat Desa.
RKP Desa merupakan dokumen Rencana Pembangunan yang
digunakan sebagai dasar dalam kegiatan program pembangunan
selama satu tahun anggaran. RKP Desa merupakan rencana
pembangunan yang memuat gugus kegiatan sebagai hasil dari
penjabaran RPJM Desa yang akan direalisasikan untuk satu tahun
berikutnya.
RKP Desa disusun berdasarkan skala prioritas kebutuhan dalam
pengembangan potensi yang dimiliki maupun prioritas pemecahan
permasalahan yang dihadapi serta sesuai dengan kesepakatan yang
tertuang dalam dokumen RPJM Desa.
Gambar. 4.2 Tahap Penyusunan RKP Desa
Sumber: APMD Yogyakarta (2007), Permendagri 66/2007 (diolah).
Langkah-langkah dalam Penyusunan RKP Desa meliputi:
Melakukan Persiapan.
Merumuskan konsep RKP Desa.
Melakukan pembahasan konsep RKP Desa melalui Forum
Musrenbang Desa.
Persiapan Penyusunan
Konsep RKPDes
Musrenbangdes
RKPDes Final ditetapkan dengan Keputusan Kades
Pra-Musrenbangdes
Pelaksanaan Musrenbangdes
Pasca-Musrenbangdes
54
64
Perumusan Dokumen Final dan Penetapan RKP Desa.
Bahan penyusunan RKP Desa meliputi :
RPJM Desa pada periode yang bersangkutan.
Daftar program desa yang telah disepakati sebagai program kunci
sebagaimana telah ditetapkan dalam RPJM Desa yang akan
direalisasikan pada tahun anggaran yang akan berjalan.
Hasil pemantauan-evaluasi dan pelaporan kegiatan pembangunan
baik yang dilakukan oleh swadaya murni pada level RT-RW, dusun
maupun desa, maupun yang didukung oleh Alokasi dana Desa, APBN-
APBD maupun sumber pendanaan lainnya pada tahun anggaran
sebelumnya.
Hasil evaluasi kecamatan dan atau masyarakat terhadap
pemanfaatan Alokasi Dana Desa
Daftar program yang sedang berjalan atau akan berjalan dari
Pemerintah Kabupaten/Propinsi/Pusat maupun berbagai sumber
pendanaan lainnya.
Daftar prioritas masalah dan potensi yang dihasilkan dari pengkajian
di bawah Desa dan kelompok-kelompok masyarakat, seperti
kelompok tani, kelompok nelayan, dan sebagainya.
Informasi dari Pemda Kabupaten tentang indikasi jumlah ADD yang
akan diberikan kepada desa untuk tahun anggaran berikutnya.
Prioritas kegiatan pembangunan daerah untuk tahun mendatang,
yang dirinci berdasarkan Satuan Kerja Perangkat Daerah
pelaksananya beserta rencana pendanaannya di kecamatan tempat
Desa berada.
Kegiatan penyusunan konsep RKP Desa meliputi :
Pertemuan Tim Penyusun untuk menyepakati agenda dan jadwal
kegiatan penyusunan RKP Desa.
55
65
Penggalian aspirasi dari masyarakat berkaitan dengan pengembangan
potensi dan masalah kunci yang dipandang perlu digunakan sebagai
dasar penyusunan RKP Desa.
Melakukan review Program Strategis RPJM Desa pada tahun
bersangkutan.
Memaduserasikan Program Strategis RPJM Desa pada tahun
bersangkutan dengan aspirasi pengembangan potensi dan prioritas
permasalahan kunci sebagai hasil dari penggalian aspirasi.
Melaksanakan penyusunan konsep RKP Desa.
Sistematika RKP Desa adalah sebagai berikut:
Bab I: PENDAHULUAN. Dalam bab ini diuraikan maksud dan tujuan
penyusunan, proses dan sistematika RKP Desa.
Bab II PRIORlTAS PEMBANGUNAN DESA. Dalam bab ini diuraikan
prioritas program strategis yang diagendakan pada tahun
bersangkutan. Prioritas Program ini disusun berdasarkan review
terhadap dokumen RPJM Desa maupun hasil penggalian aspirasi
masyarakat yang berkaitan dengan prioritas pengembangan potensi
dan penanggulangan permasalahan.
Bab III: RENCANA KERJA DAN PENDANAAN. Dalam bab ini dirumuskan
berbagai gugus program dan kegiatan yang dijabarkan dari prioritas
pembangunan desa besarta pagu pendanaannya. Dalam Rencana
Kerja dan Pendanaan ini telah dirinci dalam bentuk matrik.
Bab IV: KAIDAH PENGELOLAAN DAN INDIKATOR KEBERHASILAN.
Dalam bab ini dijelaskan kaidah pengelolaan terutama menyangkut
pengelola dan mekanisme pengelolaan pembangunan desa serta
ukuran-ukuran yang dipedomani dalam rangka menilai realisasi target
maupun tingkat keberhasilan program.
Bab IV: PENUTUP
56
66
Penjabaran perencanaan desa lima tahunan ke dalam perencanaan
tahunan dilaksanakan dalam forum musyawarah perencanaan
pembangunan desa (Musrenbang Desa). Perencanaan tahunan inilah
yang disebut dengan rencana kerja pemerintah desa atau RKP Desa.
Analog dengan penjelasan tentang RPJM Desa, desa-desa yang belum
memiliki (belum menyusun) RPJM Desa dengan sendirinya belum
memiliki dokumen RKP Desa. RKP Desa ditetapkan dengan Keputusan
Kepala.
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam Musrenbang Desa terdiri
dari: pemerintah desa (kepala desa dan perangkat desa), BPD, RT, RW
dan tokoh masyarakat. Musrenbang Desa biasa juga dihadiri oleh pejabat
kecamatan. Tahapan Musrenbang Desa meliputi: (1) Tahapan Pra-
Musrenbang Desa, (2) Tahapan Pelaksanaan Musren-bangdes, dan (3)
Tahapan Pasca-Musrenbang Desa.
Tahapan Pra-Musrenbang Desa
Tahapan ini terdiri atas pengorganisasian musrenbang, pengkajian
desa secara partisipatif, dan penyusunan draft rancangan awal RKP Desa.
1. Pengorganisasian Musrenbang
Pembentukan Tim Penyelenggara Musrenbang (TPM);
Pembentukan Tim Pemandu Musrenbang Desa oleh TPM (2-3
orang);
Persiapan Teknis Pelaksanaan Musrenbang meliputi penyusunan
agenda Musrenbang desa, pengumuman kegiatan Musrenbang
desa dan penyebaran undangan kepada peserta dan narasumber
(minimal 7 hari sebelum Hari H), mengkoordinir persiapan logistik
(tempat, konsumsi, alat dan bahan).
57
67
2. Pengkajian Data secara Partisipatif
Kajian kondisi, permasalahan dan potensi desa (per dusun/RW
dan/atau per sektor/isu pembangunan) bersama warga
masyarakat;
Penyusunan data/informasi desa dari hasil kajian oleh tim
pemandu.
3. Penyusunan Draft Awal RKP Desa
Kaji ulang (review) dokumen RPJM Desa dan hasil-hasil kajian
desa oleh TPM dan tim pemandu;
Kajian dokumen/data/informasi kebijakan program dan anggaran
oleh TPM dan tim pemandu;
Penyusunan draft rancangan awal RKP Desa dengan mengacu
pada kajian tadi oleh TPM dan tim pemandu.
Tahapan Pelaksanaan Musrenbang Desa
Terdiri atas pembukaan, pemaparan dan diskusi dengan
narasumber sebagai masukan untuk musyawarah, pemaparan draft
rancangan awal RKP Desa oleh TPM (biasanya sekdes) dan tanggapan
atas pengecekan (verifikasi) oleh peserta, kesepakatan kegiatan prioritas
dan anggarannya per bidang/isu, musyawarah penentuan tim delegasi
desa, penutupan yaitu penandatanganan berita acara Musrenbang dan
penyampaian kata penutup oleh Ketua TPM/pemandu.
Tahapan Pasca Musrenbang Desa
Tahapan ini meliputi kegiatan antara lain:
1. Rapat kerja tim perumus hasil Musrenbang Desa:
Penerbitan SK Kades untuk Tim Delegasi Desa;
Penyusunan daftar prioritas masalah desa untuk disampaikan di
Musrenbang Kecamatan;
Penyusunan RKP Desa sampai menjadi SK Kades (berdasar SEB
dan Permendagri 66/2007) atau Peraturan Kades (PP 72/2005).
58
68
2. Pembekalan Tim Delegasi Desa oleh TPM (termasuk Tim Pemandu)
agar:
Menguasai data/informasi dan penjelasan mengenai usulan yang
akan dibawa tim delegasi ke Musrenbang Kecamatan, dan
Penguatan kemampuan lainnya (wawasan, teknik komunikasi,
presentasi).
3. Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa)
dengan mengacu kepada dokumen RKP Desa. APB Desa adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan desa yang dibahas dan
disetujui oleh pemerintah desa dan BPD, yang ditetapkan dengan
Peraturan Desa (pasal 1 ayat 12 PP 72/2005). Rancangan APB Desa
dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa (pasal;
73 ayat 2). Kepala Desa bersama BPD menetapkan APB Desa setiap
tahun dengan Peraturan Desa (Pasal 73 ayat 3). Pedoman APB Desa,
perubahan APB Desa, perhitungan APB Desa dan
pertanggungjawaban pelaksanaan APB Desa ditetapkan dengan
Peraturan Bupati/Walikota (Pasal 74). APB Desa adalah dokumen
yang disusun untuk menterjemahkan kegiatan di dalam RKP Desa
menjadi alokasi anggaran kegiatan/program. Sumber pendapatan
desa yang menjadi komponen APB Desa terdiri atas: (a) Pendapatan
Asli Desa terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil
swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong dan lain-lain
pendapatan desa yang sah, (b) bagi hasil pajak kabupaten/kota paling
sedikit 10 persen dan dari retribusi kabupaten/kota, sebagian
diperuntukkan bagi desa, (c) bagian dari dana perimbangan keuangan
pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota untuk desa
paling sedikit 10 persen, yang pembagiannya untuk setiap desa
secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa; dan (d)
bantuan keuangan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan
59
69
pemerintah kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan urusan
pemerintahan, dan (e) hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang
tidak mengikat.
Menurut sebagian narasumber, pelaksanaan Musrenbang Desa
sudah sesuai dengan tujuan dan sasarannya, tetapi sebagian lainnya
menyatakan sebaliknya. Pernyataan Kepala Desa Gerimak Indah
Kabupaten Lombok Barat-NTB, menunjukkan belum optimalnya
pelaksanaan Musrenbang Desa tersebut:
“pelaksanaan Musrenbang Desa sudah sesuai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, tetapi hanya angan-angan saja karena tidak didukung dengan dana yang tersedia”
Pendapat senada juga disampaikan oleh Kepala Desa Labuan Induk
Kabupaten Donggala-Provinsi Sulteng sebagai berikut: “sudah sesuai
dengan tujuan Musrenbang, tetapi realisasinya di lapangan masih
kurang”.
Sebaliknya, Kepala Desa Martapura Timur Kabupaten Banjar-
Provinsi Kalsel menyatakan:
“belum sesuai tujuan dan sasaran karena tidak punya panduan, sehingga musrenbang di desa dilakukan tetapi kalau ada yang diperlukan di desa seperti perbaikan jalan, jembatan dll kemudian diusulkan ke kecamatan”
Box.4.3. Pelaksanaan Musrenbang Desa Sudah sesuai tujuan dan sasarannya
serta ada anggaran Sudah sesuai tujuan dan sasaran,
tetapi tidak disertai dengan anggarannya
Belum sesuai, disebabkan: (1) minimnya sosialisasi, (2) belum ada panduan, (3) rendahnya kompetensi aparatur desa
Dari pernyataan tersebut
dapat dijelaskan bahwa
forum musrenbang sebagai
mekanisme perencanaan
desa memang telah
berlangsung, namun belum
mampu menghasilkan
output (berupa RKP Desa)
60
70
yang sesuai harapan masyarakat desa. Belum lagi jika dihubungkan
dengan tuntutan perencanaan yang disusun berdasarkan data dan
informasi akurat dan dapat dipertanggungjawabkan (pasal 65, PP
72/2005).
c. Kendala Yang Dihadapi
Kendala-kendala yang dihadapi dalam penyusunan perencanaan
penganggaran desa antara lain:
1. Kendala dalam penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa
Banyak usulan dari masing-masing warga lingkungan (RT)
sehingga hampir tidak tertampung dengan anggaran yang
tersedia;
Masyarakat merasa kurang percaya diri karena banyak dari
musrenbang desa yang tidak terealisasi;
Kesadaran masyarakat yang kurang tentang permasalahan RPJM
Desa dan RKP Desa
Pemerintah tidak komit dengan apa yang disampaikan sehingga
membuat masyarakat jera dan trauma;
Dianggap tidak atau modul belum tersedia;
Rendahnya kesadaran masyarakat untuk memikirkan desanya;
Sumber daya manusia sangat minim;
Sulitnya merubah pola pikir masyarakat dari kebiasaan (lama
yang tidak baik);
Belum mengerti petunjuk untuk menyusun RPJM Desa dan RKP
Desa;
Tidak ketemu kata sepakat antara aparatur desa dengan
masyarakat;
Kurang memahami arti pentingnya RPJM Desa dan RKP Desa
sehingga tidak menjadi perhatian dan belum dibuat
61
71
Sulit untuk mengatur pola pikir/beda pendapat.
2. Kendala dalam penganggaran
Kurangnya sosialisasi kepada pemerintah dan warga masyarakat
desa yang terlibat langsung dalam kegiatan;
Ketidaktahuan menyusun anggaran desa secara sistematis karena
tidak adanya acuan yang baku;
Minimnya pemahaman tetang anggaran dana bantuan desa
(ADD-alokasi dana desa);
Kurangnya informasi proyek-proyek yang akan masuk ke desa;
Kecilnya pendapatan desa, sedang pengeluaran yang diperlukan
untuk pembiayaan sangat banyak;
Masih kurangya pengetahuan aparatur desa dan anggota badan
permusyawaratan desa dalam penyusunan anggaran desa;
Kekurangan dana untuk menetapkan anggaran desa;
Setiap pos meminta anggaran yang sama;
Pengurus RT/RW meminta tunjangan dari pemerintah
provinsi/kabupaten dan kota;
Tidak stabilnya harga bahan/material sehingga sulit menyusun
anggaran;
Banyaknya pos anggaran dari pemerintah yang belum realisasi,
baik tahun lalu maupun sekarang;
Jumlah APB Desa sangat minim;
Kode pos (kode rekening) anggaran kadang-kadang tidak
tersedia;
Minimnya pelatihan teknis baik dari pihak kecamatan maupun
kabupaten;
Pencairan ADD selalu terlambat;
Tidak adanya fasilitas, seperti komputer;
62
72
3. Upaya yang telah ditempuh
Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, pemerintah desa
telah menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
Musyawarah antara pemerintah desa, BPD dan RT serta tokoh
masyarakat untuk menentukan prioritas pembangunan desa;
Memberikan pemahaman bahwa forum musyawarah sifatnya
hanya pengusulan, jadi belum permanen;
Melakukan koordinasi antara aparatur desa dengan pihak terkait;
Melibatkan masyarakat supaya berpartisipasi dalam mendukung
pelaksanaan perencanaan desa;
Musyawarah antardesa;
Memberikan penyadaran terhadap masyarakat tentang
kebersamaan;
Mencari sumber pendapatan dengan menggali sumber daya alam
sebagai tambahan PADes;
Senantiasa mencari informasi dan bahan-bahan untuk
menambah pengetahuan;
Melakukan bimtek aparatur pemdes;
Memberikan arahan dan penjelasan mengenai RPJM Desa dan
RKP Desa;
Mengambil inisiatif tidak mencantumkan kode rekening dan
mengalihkan kegunaan anggaran untuk belanja yang lain;
Kepala desa mengumpulkan masyarakat supaya ’berembuk’
supaya mendapat kata sepakat;
Desa bekerja untuk melayani masyarakat hanya dengan hasil
biaya administrasi;
Pemberian bimbingan dan pelatihan oleh instansi pemerintah
terkait;
63
73
Memotivasi agar aparatur desa mampu untuk menyusun
dokumen perencanaan dan penganggaran desa;
Melaksanakan pelatihan modul peningkatan kinerja dan
manajemen pemerintah desa;
Mencari informasi dari dinas terkait;
Melakukan konsultasi dengan pihak di atasnya (camat);
Mengutamakan salah satu kegiatan yang dianggap penting
sehingga dalam pelaksanaannya bisa diselesaikan sesuai rencana;
Menggalakkan gotong royong dan menggali potensi desa pada
pihak ketiga;
Mengambil hasil rapat dan musyawarah suara terbanyak.
d. Kebutuhan pengembangan
1. Penyempurnaan peraturan-peraturan perundangan yang ada;
2. Sosialisasi peraturan perundangan kepada masyarakat desa
3. Kerjasama pemerintah desa, BPD, dan tokoh masyarakat;
4. Koordinasi dengan pimpinan terkait apabila terjadi kendala;
5. Kemampuan musyawarah antara kepala desa, ketua BPD dan tokoh-
tokoh masyarakat;
6. Kemampuan menyusun anggaran desa;
7. Kemampuan mengenal potensi desa yang ada;
8. Kemampuan menyerap aspirasi masyarakat desa;
9. Kemampuan mensosialisasikan perencanaan dan penganggaran desa;
10. Kemampuan mengoperasikan komputer/laptop.
B. MANAJEMEN KEUANGAN DAN KEKAYAAN DESA
Kapasitas dalam melaksanakan manajemen keuangan desa dan kekayaan
desa menjadi salah satu aspek yang penting dimiliki aparatur desa, utamanya
agar dapat mengalokasikan sumber-sumber dana yang ada secara tepat untuk
melaksanakan program-program bagi masyarakat. Ditambah lagi dengan adanya
64
74
kenyaataan bahwa saat ini terdapat persoalan minimnya sumber-sumber dana
yang diperuntukkan bagi desa serta terbatasnya penerimaan dari kekayaan desa
yang ada. Aparatur desa tidak hanya dihadapkan pada tuntutan untuk
mengalokasikan APBDes yang terbatas, namun juga bagaimana mengoptimalkan
kekayaan desa yang dimiliki.
Dalam laporan ini manajemen keuangan desa saling dikaitkan dengan
pengelolaan kekayaan desa, karena keuangan desa mencakup semua hak dan
kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa yang dapat dinilai
dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan
dengan hak dan kewajiban desa tersebut. Kekayaan desa merupakan salah satu
sumber pendanaan kegiatan pembangunan yang asli berasal dari desa.
Kemampuan aparatur desa mengelola kekayaan desa yang dimiliki akan
bermanfaat dalam manajemen keuangan, khususnya dari sisi perencanaan
maupun pelaksanaan keuangan.
Sejauh mana kapasitas aparatur desa dalam melaksanakan manajemen
keuangan dan kekayaan desa akan diulas pada bagian ini. Di samping itu
diuraikan pula sejumlah permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kedua
aspek tersebut. Selanjutnya berdasarkan fakta empiris tentang kapasitas
pelaksanaan manajemen keuangan dan kekayaan desa beserta problematika
yang berhasil dirangkum, dirumuskan berbagai kebutuhan pengembangan
kapasitas aparatur desa dalam bidang tersebut.
1. Kapasitas Aparatur Desa dalam Manajemen Keuangan Desa
Secara garis besar ruang lingkup manajemen keuangan Desa meliputi
aspek perencanaan dan penganggaran, aspek pelaksanaan dan
penatausahaan, aspek pertanggungjawaban seluruh kegiatan yang berkenaan
dengan pengelolaan sumber-sumber pendapatan dan biaya-biaya yang ada
dalam kegiatan pemerintahan Desa. Secara spesifik, dalam bagian
manajemen keuangan desa dipaparkan pula pelaksanaan/pengelolaan
Alokasi Dana Desa.
65
75
a. Perencanaan dan Penganggaran
Sebagaimana dipaparkan dalam pembahasan terdahulu, Undang-
Undang No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembngunan Nasional,
Peraturan Pemerintah No. 72/2005 (Pasal 64) tentang Desa, dan
Permendagri No. 66/2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa,
memberi amanah kepada pemerintah desa untuk menyusun program
pembangunannya sendiri melalui forum perencanaannya Musyawarah
Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbang Desa).
Forum ini menghasilkan dua dokumen rencana desa yaitu Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan Rencana Kerja
Pembangunan Desa (RKP Desa) tahunan. RKP Desa menjadi acuan
penyusunan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB
Desa). Pengaturan mengenai APBDes biasanya diatur dalam peraturan
tentang keuangan desa yang ditetapkan oleh pemerintyah kabupaten.
APBDes ini menggambarkan pelaksanaan pembangunan yang
diselenggarakan pemerintah desa. Secara garis besar APBDes memuat
tiga hal, yakni: pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Struktur APBDes
merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan desa, belanja
aparatur , dan belanja publik. Adapun tahapan penyusunan APBDesa
meliputi:
pertama, penyusunan rancangan APBDesa. Rancangan APBDesa ini
dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa
kedua, penyusunan rancangan peraturan desa tentnag APBDes. Hasil
musrenbangdes yang berupa rancnagan APBDes dibahas oleh Kepala
desa dan BPD untuk menghasilkan rancangan peraturan desa tentang
APBDes. Ranperdes ini sekurang-kurangnya memuat struktur APBDes
dan lembar persetujuan bersama antara Kepala desa dan BPD
Evaluasi ranperdes tentang APBDes. Evaluasi ini dilakukan oleh
Bupati. Rancangan peraturan desa yang telah dihasilkan dari tahap
66
76
sebelumnya, paling lama 3 hari disampaikan oleh kepala desa kepada
Bupati untuk dievaluasi. Hasil evaluasi ini selanjutnya disampaiakn
paling lama 20 hari kepada kepala desa. Apabila hasil evaluasi
tersebut melampaui batas, Kepala desa menetapkan Rancangan
peraturan Desa tentang APBDes menjadi Peraturan Desa.
Penetapan Keputusan Kepala Desa. APBDesa baru dapat dilaksanakan
setelah ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa tentang
Pelaksanaan APBDes.
Meski telah diamanatkan dalam peraturan, masih ada banyak desa
belum menerapkan anggaran APBD desa itu. Salah satunya karena Desa
belum memiliki RPJMDesa.
b. Pelaksanaan dan penatausahaan
Dalam pelaksanaan dan penatausahaan keuangan desa, menurut
Permendagri No 32 Tahun 2006 mengenai Pedoman Administrasi Desa,
setidaknya terdapat tujuh macam administrasi keuangan Desa. Buku
Anggaran Penerimaan, Buku Anggaran Pengeluaran Rutin, Buku Anggaran
Pengeluaran Pembangunan, Buku Kas Umum, Buku Kas Pembantu
Penerimaan, Buku Kas Pembantu Pengeluaran Rutin, dan Buku Kas
Pembantu Pengeluaran Pembangunan. Setidaknya bentuk-bentuk
administrasi desa tersebut menjadi kompetensi yang wajib dimiliki oleh
aparatur desa.
Pelaksanaan dan penatausahaan keuangan Desa yang juga
pemegang kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan Desa dan
pemegang kekuasaan dalam pengelolaan keuangan Desa adalah Kepala
Desa. Selanjutnya dalam pelakasanaannya kepala Desa dibantu oleh
Bendarawan Desa, Perangkat Desa beserta masyarakat.
67
77
c. Pelaksanaan Alokasi Dana Desa (ADD)
Alokasi Dana Desa antara lain ditujukan untuk, meningkatkan
kemampuan keuangan desa agar mampu membiayai dan melaksanakan
pelayanan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat,
memberikan motivasi swadaya dan gotong royong masyarakat dalam
pembangunan desa, mengembangkan inisiatif dan prakarsa Pemerintah
Desa bersama masyarakat untuk membangun desa, meningkatkan dan
mengefektifkan peranan lembaga kemayarakatan sebagai wadah untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan desa. Dana ini bersumber
dari bagi hasil pajak daerah dan dana perimbangan keuangan pusat yang
diterima oleh Kabupaten. Pengalokasian dana ini memperhatikan faktor
kemiskinan, pendidikan, kesehatan, serta keterjangkauan dan
ketersediaan infrastruktur desa. Pemerintah Kabupaten menetapkan
formulasi ADD yang dituangkan dalam Peraturan Bupati tentang
Penetapan Alokasi Dana Desa. Kepala Desa menuangkan kegiatan yang
didanai ADD dalam APBDesa.
Sebagaimana ditetapkan dalam PP No 72 tahun 2005 tentang Desa,
pengalokasian dana ADD menganut azas merata dan adil. Sehingga untuk
asas merata besarnya sebagian dana ADD yang diterima besarnya sama
untuk setiap desa, yakni Alokasi Dana Desa Minimum (ADDM). Sementara
untuk memenuhi azas keadilan, sebagian dana ADD yang lain diterima
secara proporsional untuk setiap desa berdasarkan nilai bobot desa yang
dihitung berdasarkan variabel kemiskinan, pendidikan dasar, kesehatan,
keterjangkauan, jumlah penduduk, luas wilayah, potensi ekonomi dan
jumlah dusun. Namun dalam prakteknya, tidak semua variabel ini
digunakan dalam penghitungan ADDP. Pada umumnya hanya
mempertimbangkan variabel jumlah penduduk desa, sementara variabel
lainnya tidak banyak yang diikut sertakan dalam rumus penghitunga.
68
78
Keberadaan data-data pendukung untuk variabel-variabel yang lain
seringkali tidak tersedia dengan baik. Bahkan petunjuk teknis
pengalokasian ADD di Parigi Moutong tidak menyebutkan dengan jelas
variabel-variabel yang menjadi dasar pengalokasian ADD tersebut,
sehingga terkesan kurang transparan. Hal ini berdampak pada persoalan
ketidakadilan dalam pengalokasian dana tersebut dan kemanfaatannya.
Kegiatan yang dibiayai menggunakan ADD ini adalah kegiatan fisik
sarana dan prasarana Desa yang diperlukan sesuai dengan hasil
musyawarah desa. Pelaksanaannya dilaksakanan oleh masyarakat, baik
dengan sistem upah/gaji maupun secara swadaya dan gotong royong.
Pemerintah Kabupaten menetapkan juknis pelaksanaan ADD tersebut,
yang antara lain juga memberi batasa kegiatan penggunaan ADD. Batasan
tersebut antara lain tidak diperbolehkannya menggunakan dana tersebut
untuk membangun yang bersifat prestise, antara lain seperti tugu Desa,
pemugaran tempat keramat dan gapura desa. Dana tersebut juga tidak
boleh digunakan untuk membangun pada tanah bukan milik Desa kecuali
yang sudah dihibahkan, tidak boleh tumpang tindih penggunaannya
dengan proyek/kegiatan lain, tidak boleh membangun kator desa dan
balai desa karena telah menjadi tanggung jawab Kabupaten, serta
dilarang untuk membeli tanah untuk lokasi pekuburan.
Untuk pencairan dana yang langsung diterima Desa, dana diterima
melalui APBDesa dengan cara mengajukan Rencana Pengeluaran Desa
berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang ditetapkan
dengan Keputusan Kepala Desa yang telah disyahkan oleh Camat dan
diajukan kepad Bupati Katingan melalui Dinas Pengelolaan Keuangan dan
Kekayaan Daerah Kabupaten (atau yang sejenisnya). Adapun untuk
honor/gaji Kepala Desa dan perangkatnya diajukan Semester dengan
beban LS. Dana diterima langsung oleh Desa melalui rekening desa, dan
pada tiap tahun anggarannya wajib dilaporkan kepada Badan Pengelolaan
69
79
Keuangan dan Kekayaan Daerah dengan tembusan disampaikan kepada
Badan Pengawas Daerah dan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
Pemerintahan Desa (atau dengan nomenklatur lain yang sejenisnya).
Untuk permintaan dana bantuan langsung berupa biaya operasional,
Kepala Desa mengajukan permintaan dana yang diketahui oleh Camat
untuk diajukan kepada Bupati untuk diproses sesuai dengan mekanisme
yang berlaku melalui Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah.
Untuk pengajuan tersebut, perlu dilampirkan berbagai dokumen yakni:
Daftar Usulan Rencana Kegiatan (DURK), Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa (APBDes), Nomor Rekening Desa di BPK setempat, Surat
Keputusan Kepala Desa tentang PJAK dan PJOK, dan kuitansi tanda
terima bermeterai. Untuk honorarium aparatur desa, dibayarkan 2
(dua)tahap yaitu Semester I dan Semester II.
Adapun untuk kegiatan fisik, secara umum dilaksanakan dalam
berbagai tahapan kegiatan sebagai tertera dalam tabel berikut.
Tabel.4.1 Tahapan Pelaksanaan ADD untuk Kegiatan Fisik
Tahap Kegiatan
Pembentukan Tim
Desa membentuk Tim Perencana dan Pelaksana Kegiatan (TPKK) Desa melalui musyawarah desa dan dipilih dari anggota masyarakat baik laki-laki maupun perampuan yang dipandang memiliki kemampuan, ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa, disyahkan oleh BPD, dan diketahui oleh Camat. TPKK terdiri dari Ketua, Sekretaris merangkap anggota, Bendahara, dan 4 orang anggota.
Perencanaan Kegiatan
TPKK Desa menjaring aspirasi kelompok-kelompok masyarakat dan mentabulasikannya, sebagai bahan untuk menyusun dua atau tiga rencana kegiatan prioritas yang akan diajukan dalam musyawarah desa.
Hasil musyawarah desa dibuatkan berita acara dan dituangkan dalam keputusan Desa, kemudian diajukan ke kelompok kerja kecamatan (POKJA Kecamatan)
Pokja Kecamatan meneliti dan memverifikasi rencana kegiatan Desa (Pokja Kecamatan diketuai oleh Camat dengan anggotanya terdiri dari unsur Dinas/Instansi
70
80
Tahap Kegiatan
terkait yang ada di Kecamatan, Tokoh masyarakat, LSM dan Perwakilan Desa yang ditunjuk oleh Desa yang ditetapkan dnegan Keputusan Camat.
Hasil verifikasi Pokja Kecamatan mengenai usulan kegiatan Desa yang layak untuk dilaksanakan diajukan kepada Bupati melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa dan atau pokja Kabupatenuntuk mendapat persetujuan dan permintaan dana, dnegan melampirkan Formulir Verifikasi usulan.
Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa dan atau Pokja Kabupaten meneliti dan memverifikasi ulang dan menceklis dokumen usulan yang diajukan untuk ditindaklanjuti dan membuat rencana anggaran biaya, dengan menggunakan jasa konsultan khusus/Instansi Teknis terkait dan sekaligus menjadi pengawas teknis di desa.
Pelaksanaan Kegiatan
Dalam tahap pelaksanaan kegiatan Kepala Desa bersama dengan TPPK serta masyarakat melaksanakan tugas sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan fungsinya masing-masing.
Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan pelaksanaan kegiatan secara fungsional dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa dan atau Pokja Kabupaten dibantu oleh Camat pada lokasi pelaksanaan kegiatan
Pelaporan Laporan kemajuan pelaksanaan kegiatan dilakukan secara bertahap yaitu : Tahap pertama, setelah pekerjaan fisik dan keuangan 35 % dan tahap kedua, setelah pekerjaan fisik keuangan selesai 100%. Pelaksanaan dilaksanakan secara berjenjang, disampaikan kepada Bupati melalui Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (Laporan dibuat pada saat mengajukan SPP tahap berikutnya, yang sekaligus menjadi salah satu persyaratan yang dilampirkan).
Untuk permintaan dana untuk kegiatan fisik, Ketua TPPK Desa
mengajukan Permohonan permintaan dana yang diketahui oleh Kepala
Desa dengan surat penganar dari Camat, untuk diajukan kepada Bupati
melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa untuk
diteliti kelengkapan berkasnya dan kemudian diterbitkan Surat
Rekomendasi. Pencairan dilakukan secara bertahap. Tahap pertama
71
81
sebesar 35% setelah melalui tahapan perencanaan dan evaluasi yang
ditetapkan oleh Bupati, maka desa membuat usulan permintaan dana
untuk kegiatan fisik.
Dokumen yang dilampirkan pada pencairan tahap I ini antara lain
Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan gambar kegiatan fisik, Susunan
pengurus TPPK Desa, SK Bupati tentang Lokasi Desa penerima dana
kegiatan fisik dari ADD, daftar usulan kegiatan serta berita acara hasil
pertemuan/musyawarah pemabngunan desa, rekening TPPK Desa
penerima dana kegiatan fisik ADD atas nama Bendahara TPPK, dan
kuitansi pembayaran yang tanda terimanya ditandatangani oleh
bendahara TPPK. Sementara untuk permintaan daan Tahap II, dilengkapi
dengan kuitansi pembayaran yang tanda terimanya ditandatangani oleh
Bendahara TPPK, Laporan Kemajuan Pekerjaan, Berita Acara Kemajuan
Pekerjaan, SPJ dan yang lain-lain yang dianggap perlu.
Box. 4.4. Pelaksanaan Alokasi Dana Desa : Contoh Praktek di Kabupaten Katingan
Untuk melaksanakan Alokasi Dana Desa untuk tahun anggaran 2009, Pemerintah Daerah Kabupaten Katingan mengeluarkan Peraturan Bupati Katingan Nomor 22 Tahun 2009 menetapkan Pedoman Pelaksanaan dan Penetapan Alokasi Dana Desa untuk tahun anggaran tersebut. ADD tersebut diperuntukkan bagi 154 desa yang tersebar di 13 Kecamatan di Kabupaten tersebut.
ADD terdiri dari Alokasi Dana Desa Minimum (ADDM) dan Alokasi Dana Desa Proporsional (ADDP). Total ADD sebesar 4.5% dari pendapatan Kabupaten yang berasal dari dana alokasi umum setelah dikurangi alokasi dasar untuk belanja PNS, dibagi secara proporsional kepada setiap Desa. Jumlah ADD untuk seluruh desa di Kabupaten Katingan pada tahun anggaran 2009 sebesar Rp.15.500.000.000,-. ADDM berjumlah Rp.6.976.200.000 dibagikan secara merata ke setiap desa. Sementara untuk ADDP, total berjumlah 55% dari keseluruhan ADD. ADDP dibagikan berdasarkan klasifikasi desa, di mana untuk Pemerintah Kabupaten Katingan mengacu pada Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 163 Tahun 2005. Desa diklasifikasikan dalam 3 kategori,yakni desa A yaitu desa yang jumlah penduduknya 1001 jiwa ke atas, desa B yaitu desa dengan jumlah penduduk 501-1000 jiwa, dan desa C yakni desa berpenduduk 0-500 jiwa. Desa klasifikasi
72
82
A menerima sejumlah Rp.120.680.000,- , desa klasifikasi B menerima menerima Rp.106.180.000, sementara desa klasifikasi C menerima Rp.90.700.000.
Untuk operasional aparatur desa dan honorarium lainnya, setiap desa menerima Rp. 45.300.000,-, terdiri dari Biaya Operasional Desa sebesar Rp. 7.000.000,-, Biaya operasional PKK Desa sebesar Rp.5000.000,-, biaya operasional BPD sebesar Rp.3000.000,- dan biaya operasional Tim Perencana dan Pelaksana Kegiatan sebesar Rp1.500.000. Di samping itu untuk kesejahteraan Kepala Desa beserta aparaturnya setiap bulannya diberikan honorarium/gaji masing-masing sebesar Rp.550.000,- untuk Kepala Desa, Rp. 500.000,- untuk Sekretaris Desa, dan Rp.450.000,- untuk Kaur/Kepala Seksi (berjumlah 3 orang).
ADDP diterima desa dalam jumlah bervariasi sebesar Rp.75.380.000,-
untuk desa A, Rp. 60.880.000,- untuk desa B, dan Rp. 45.400.000,- untuk desa C. Dana ini diperuntukkan bagi belanja publik yang meliputi program penanggulangan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendidikan dasar, dan pengadaan pembangunan infrastruktur sarana perhubungan, sarana produksi dan sebagainya. Menilik sebaran jumlah penduduk di desa-desa di Kabupaten ini yang berkisar antara 79 jiwa sampai 3872 jiwa, karena banyak desa yang berpenduduk jarang sebagaian besar desa masuk dalam kategori C yang hanya menerima sebesar Rp.45.400.000,-. Dari 154 desa, hanya 32 desa yang masuk kategori A, 37 masuk kategori B, sementara 85 desa masuk kategori C. Hal ini tidak saja memperlihatkan minimnya dana yang diterima desa, namun juga ketidaksesuaian dana yang diterima dengan kebutuhan, karena bayak di antara desa yang berpenduduk sedikit tersebut memiliki kesulitan keterjangkauan sehingga memerlukan biaya yang lebih besar dalam pembangunan.
d. Pertanggungjawaban Keuangan Desa
Dalam aspek pertanggungjawaban keuangan Desa, Kepala Desa
adalah sebagai pemegang kekuasaan penyelenggaraan keuangan Desa
wajib menyampaikan pertanggungjawabannya kepada Bupati/ Walikota
melalui camat, dalam rangka pengelolaan keuangan Desa yang
akuntabilitas dan transparansi. Berbagai bentuk laporan
pertanggungjawaban dalam manajemen keuangan desa dapat dijelaskan
sebagai berikut.
Kepala desa wajib menyampaikan laporan pengelolaan keuangan
desa dalam bentuk laporan penyelenggaraan pemerintahan desa
73
83
kepada Bupati melalui Camat. Laporan ini memuat perhitungan
APBDes selama satu tahun anggaran.
Pelaksanaan Alokasi Dana Desa wajib dilaporkan kepada Bupati
melalui Camat (atau BPMPDes). Laporan pelaksanaan tersebut terdiri
dari Laporan Kemajuan Fisik, Laporan Bulanan, Laporan
pertanggungjawaban. Pelaporan dilaksanakan untuk mengetahui
perkembangan proses pengelolaan dan penggunaan Alokasi Dana
Desa yang mencakup perkembangan kegiatan dan penyerapan dana,
masalah yang dihadapi dan pemecahannya, pencapaian hasil
penggunaan Alokasi Dana Desa. Pelaporan Kegiatan meliputi :
Laporan Tim Pelaksana ADD tingkat Desa kepada Tim Pengendali
Tingkat Kabupaten (setiap 3 bulan), Laporan Tim Pengendali Tingkat
Kecamatan kepada Tim Fasilitasi Tingkat Kabupaten setiap 3 bulan
mengenai laporan seluruh Tim Pelaksana ADD tingkat desa, Laporan
Tim Fasilitasi kepada Bupati. Dalam hal laporan keuangan, pelaporan
keuangan dilaksanakan oleh kepala desa dan secara teknis dilakukan
oleh Bendahara Desa.
Gambar.4.3. Skema penyampaian Laporan ADD
BUPATI
Tim Pembina Tingkat Kabupaten Rekap dari Laporan Tingkat
Kecamatan
Tim pendamping Tk . Kecamatan Rekap dari seluruh desa
Tim pelaksana Tingkat Desa
Pelaporan dilaksanakan setiap
tahapan penerimaan ADD dan
dilaporkan kepada Bupati
melalui Camat, pelaporan
dalam bentuk SPJ. Pertanggung-
jawaban ADD terintegrasi
dengan pertanggung-jawaban
APBDesa. Secara skematis alur
penyampaian laporan ADD
dapat digambarkan sebagai
berikut.
74
84
Kepala Desa menyampaikan laporan hasil peneglolaan kekayaan desa
kepada Bupati melalui Camat setiap akhir tahun anggaran dan /atau
sewaktu-waktu diperlukan. Laporan hasil pengelolaan kekayaan ini
merupakan bagian integral dari laporan pertanggungjawabans
Laporan Keuangan BPD. BPD juga wajib menyampaikan laporan
administrasi keuangan BPD yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa kepada Kepala Desa selaku Pemegang
Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa. Laporan ini dilaksanakan
secara tertulis.
2. Kapasitas Aparatur Desa dalam Manajemen Kekayaan Desa
Permendagri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan
Kekayaan Desa menyebutkan bahwa kekayaan desa adalah barang milik Desa
yang berasal dari kekayaan asli desa, dibeli atau diperoleh atas beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah.
Adapun pengelolaan adalah rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan,
pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan, pemeliharaan,
penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, penilaian, pengawasan
dan pengendalian. Menurut peraturan tersebut, Tata Cara pengelolaan
kekayaan desa ditetapkan oleh Bupati. Adapun tahapan pengelolaan
kekayaan desa meliputi:
a. Pengelolaan Aset Desa
Dalam laporan ini aset dipergunakan secara bergantian
(interchangeable) dengan istilah kekayaan. Manajemen asset desa ini
sangat diperlukan oleh aparatur desa, khususnya untuk memelihara
barang-barang kekayaan desa disamping juga untuk mengurangi beban
pengeluaran. Hal ini karena, dalam praktek seringkali barang-barang
milik desa khususnya yang merupakan asset bergerak, tidak terawat atau
hilang, sehingga bisa manimbulkan pemborosan, jika sebenarnya barang-
75
85
barang tersebut masih layak digunakan. Sebagai contoh, kondisi yang
dialami di salah satu desa di Bengkulu Utara, seperti yang diungkapkan
oleh salah aparat desa tersebut.
“ …Seringkali jika terjadi pergantian kepala desa, pengalaman kita kalau kepala desanya baru maka berganti pula balai desa, mejanya hilang. Makanya dengan adanya sekretaris desa yang permanen yang setiap hari berkantor ini dia akan mencatat kepala desanya siapa, asset-asetnya. Kepala desanya siapa nggak penting, yang penting asetnya tetap. Manajemen asset ini saya anggap sangat penting sekali untuk mengurangi beban Negara”.
Perencanaan kebutuhan kekayaan desa merupakan salah satu
aspek dalam pengelolaan kekayaan desa yang perlu mendapat perhatian.
Perencanaan kebutuhan kekayaan desa ini disusun dalam rencana kerja
dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Inventarisasi merupakan salah bagian dari pengelolaan kekayaan
yang belum tertata dengan baik. Dalam peraturan, disebutkan bahwa
Pemerintah Kabupaten menetapkan peraturan daerah yang berkaitan
dengan pengelolaan kekayaan desa, tentu termasuk di dalamnya
mengatur tentang inventarisasi asset desa. Namun, masih ada daerah
yang belum menetapkan petunjuk teknis/aturan mengenai hal ini.
Temuan ini seperti yang diungkapkan salah satu apartur desa yang
menyebutkan bahwa :
“..Permasalahan dalam inventaris desa sangat terkait dengan masalah administrasi, karena aparatur desa tidak bisa lepas dari aturan-aturan yang berkaitan. Selama ini di berbagai desa belum terdapat manajemen inventaris desa yang sudah diprogram dari pemerintah kabupaten.”
Di sisi lain para aparatur desa seringkali dihadapkan pada
persoalan-persoalan yang ketidaktahuan tentang hukum/aturan yang
berlaku. Hal ini sering kali terjadi karena distribusi/sosialisasi aturan-
aturan tersebut belum berjalan dengan baik.
76
86
Terkait dengan administrasi kekayaan desa, terdapat bebagai
dokumen administrasi yang mesti dilaksanakan oleh Pemerintah Desa.
Buku Data Tanah Milik Desa/Tanah Kas Desa, buku data inventaris desa,
Buku data tanah di desa. Kemampuan administrasi ini perlu dikuasai oleh
aparat desa. Adapun biaya pengelolaan kekayaan desa dibebankan
kepada APBDes.
Permendagri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan
Kekayaan Desa telah mengamanatkan pengelolaaan kekayaan desa
dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum,
keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai. Kekayaan desa
dikelola oleh pemerintah desa dan dimanfaaatkan sepenuhnya untuk
kepentingan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan
pelayanan masyarakat. Pemanfaatannya kekayaan desa tersebut
Box. 4.5 Pengelolaan Kekayaan Desa : Kabupaten Parigi Mountong
Sumber pendapatan dan kekayaan yang dikelola oleh desa merupakan hak otonomd esa dalam penggunaan dan pemanfatannya guna pembanguanan dan pemberdayaan masyarakat desa. Untuk kelancaran dalam pengelolaan sumber pendapatan dan kekayaan maka pemerintah Kabupaten Parigi Moutong menerbitkan Perda No 26 Tahun 2007 tentang Sumber pendapatan dan kekayaan desa. Dalam peraturan daerah ini disebutkan bahwa kekayaan desa adalah semua hak desa yang diakui sebagai salah satu sumber pendapatan desa yang dikelola oleh pemerintah desa. Kekayaan desa tersebut terdiri atas :tanah kas desa, pasar desa, bangunan desa, obyek rekreasi yang diurus desa, tmpat-tempat pemancingan di bendungan dan atau sungai, pelelangan ikan yang dikelola desa, jalan desa, pasar hewan, dan lain-lain. Untuk memelihara kekayaan desa yang berupa tanah dan sember kekayaan lain, pemerintah Kabupaten Parigi Mountong menetapkan bahwa sumber-sumber kekayaan ini tidak dapat dipinjamkan, digadaikan, dan atau dijual kepada pihak lain, kecuali mendapat persetujuan dari BPD yang diatur dalam Perdes.
77
87
dilakukan atas dasar mengoptimalkan dan daya guna dan hasil guna
kekayaan desa serta untuk meningkatkan pendapatan desa. Jenis
pemanfaatannya dapat berupa sewa, pinjam pakai, kerjasama
pemanfaatan, dan bangun serah guna.
b. Sumber Penerimaan Desa
Sumber penerimaan desa diantaranya berasal dari pengoptimalan
dan pendayagunaan kekayaan desa. Berbagai sumber kekayaan desa
yang dikelola desa yang menjadi lokus penelitian antara lain meliputi
tanah desa (misalnya tanah pecatu di NTB), dimana desa mendapatkan
hasil sewa tanah kas desa atau pendapatan lain dari pemanfaatan tanah
tersebut. Terdapat pula desa yang memperoleh pendapatan asli (berasal
dari partisipasi masyarakat swadaya), pendapatan dari berbagai retribusi
pungutan yang ada di desa serta pengurusan administrasi seperti surat
pengatar KTP, Kartu Keluarga, karcis makam dan sebagainya. Dijumpai
pula desa yang menggali kekayaannya melalui potensi yang dimiliki desa
seperti hasil produksi pertanian pertanian (seperti padi, tembakau,
jagung, cabe, dan sebagainya) dan ternak, industri kerajinan (seperti
tenun), hasil pasar umum milik desa, ataupun hasil galian batu dan pasir.
Desa Banyu Mulek di Kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat
misalnya, memiliki tenpat pemotongan sapi dan pengolahan gerabah
secara modern serta mendapat penghasilan sebagai penghasil mutiara
terbaik se-Asia.
Pengelolaan potensi desa untuk menambah pendapatan desa
dapat dikatakan masih belum optimal. Misalnya potensi desa Banyu
Mulek di Kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat, meski desa
tersebut memperoleh penghasilan karena merupakan penghasil mutiara
terbaik se-Asia, namun sayangnya potensi alam tersebut masih belum
terorganisir dengan baik.
78
88
Sumber penerimaan desa bisa juga berasal dari kegiatan
pemberdayaan. Sebagai contoh adalah usaha simpan pinjam masyarakat,
dimana masyarakat diminta menabung terlebih dahulu sehingga apabila
menunggak akan dipotong dari tabungannya. Contoh lain adalah Koperasi
Wanita yang dimiliki oleh Kelompok PKK.
Di samping itu penerimaan desa juga bersumber dari penerimaan
bantuan pemerintah baik Pemerintah Provinsi dan Kabupaten,
penerimaan bagi hasil pajak daerah kabupaten/kota, Alokasi Dana Desa
(ADD).
Dari berbagai macam sumber pendapatan tersebut di atas,
terdapat sumber pendapatan desa yang menjadi ’unggulan’. Pendapatan
ini antara lain Alokasi Dana Desa, produksi pertanian pertanian, industri
kerajinan, semua jenis pungutan desa, maupun hasil galian tambang. Ini
memperlihatkan bahwa secara umum dari segi penerimaan desa masih
tergantung pada kucuran dana dari Kabupaten, serta suber kekayaan
yang berasal dari potensi desa yang beragam.
Sedangkan yang berkaitan dengan retribusi, disebutkan bahwa
hasil penerimaan retribusi tertentu daerah Kabupaten sebagian
diperuntukkan kepada desa (Pasal 18(5)). Untuk menjamin hak desa,
pasal 18(5) menyebutkan bahwa bagian desa ditetapkan dengan
Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten dengan memperhatikan aspek
keterlibatan desa dalam penyediaan layanan tersebut. Menilik isi dari
pasal tersebut, semestinya desa dapat pula memperoleh penghasilan dari
bagian retribusi daerah. Namun agaknya berbagai persoalan masih
dihadapi aparatur desa terkait retribusi ini sehingga pendapatan dari
bagian ini belum banyak membantu keuangan desa.
79
89
c. Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa
Untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan Desa,
Pemerintah Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)-
yakni usaha desa yang dikelola oleh Pemerintah Desa. Untuk
kepengurusan BUMDes, dilakukan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat.
Sementara dari segi pemodalan, modal tidak hanya bersumber dari
Pemerintah Desa tetapi juga dapat berasal dari tabungan masyarakat,
bantuan Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota, pinjaman, dan/atau penyertaan modal pihak lain atau
kerjasama bagi hasil atas dasar saling menguntungkan. Perolehan hak
yang sah BUMD ini menjadi bagian dari kekayaan Desa.
Meski dapat menambah pendapatan desa dan masyarakat, kondisi
yang dijumpai saat ini memperlihatkan bahwa pengelolaan Badan Usaha
Milik Desa cenderung belum dilakukan dengan baik. Bahkan dijumpai
banyak desa yang belum mempunyai BUMDesa, sementara ada pula yang
telah membentuk BUMDes namun belum terkelola dengan baik. Misalnya
BUMDesa Batu Sela yang terdapat di desa Sela. BUMDesa ini melayani
kelompok simpan pinjam perempuan yang bergerak sebagai pedagang
‘bakulan’ di Desa Sela, namun meski sudah berdiri BUMDes ini belum
terkelola dengan baik.
BUMDes yang banyak dijumpai didirikan berdasarkan
kondisi/keunggulan setempat, misalnya BUMDes yang mengelola ternak
sapi di salah satu desa di NTT. Contoh lain adalah BUMDesa yang
berkaitan dengan kebutuhan masyarakat setempat, misalnya seperti
BUMDesa yang bergerak dalam bidang penyediaan air minum.
d. Pengelolaan asset desa pemekaran dan penggabungan
Dalam pemekaran desa, pembagian kekayaan desa sebagi akibat
dari pemekaran desa dilaksanakan berdasarkan musyawarah antar desa.
80
90
Pembagian kekayaan ini difasilitasi oleh camat. Namun dalam hal hasil
musyawarah yang difasilitasi oleh Camat ini belum menghasilkan
kesepakatan, pembagian kekayaan desa ditetapkan dengan Keputusan
Bupati. Sebagaimana diamanatkan dalam peraturan tentang pedoman
pengelolaan kekayaan desa, pembagian kekayaan desa ini perlu
mempertimbangkan aspek pemerataan dan keadilan, manfaat,
transparansi, serta social budaya setempat.
Dalam hal penggabungan desa, sebagai akibat dari penggabungan
Desa, maka kekayaan desa dari desa yang digabung menjadi milik desa
yang baru dan diserahkan pada desa yang baru. Penyerahan kekayaan
desa tersebut dituangkan dalam Berita Acara serah terima yang
ditandatangani oleh masing-masing kepala desa dan BPD yang
bersangkutan dan diketahui oleh Bupati.
3. Permasalahan kapasitas aparatur desa dalam manajemen keuangan dan
kekayaan desa
a. Persoalan kapasitas aparatur desa terkait dengan masalah perencanaan
dan pelaporan
Kendala yang dihadapi aparatur desa yang terkait dengan kapasitas
dalam perencanaan dan pelaporan dapat diuraikan sebagai berikut :
Salah satu permasalahan terkait kapasitas aparatur desa dalam
manajemen keuangan desa ini, sebagaimana disampaikan oleh para
kepala desa adalah belum adanya keselarasan antara sistem
perencanaan dengan sistem penganggaran. Aparatur desa kerap
belum punya gambaran dalam merencanakan keuangan, karena
ketika memprogramkan sesuatu belum terdapat kejelasan anggaran
yang akan dipergunakan untuk melaksanakan program.
Penganggaran berbasis kinerja yang menekankan pola ‘money follow
function’ kurang dapat dipahami oleh para aparatur desa, tidak saja
81
91
karena keterbatasan skill, namun berdasarkan praktek yang dialami
para aparatur desa banyak program yang berakhir sebagai rencana-
rencana saja atau tidak ada yang dapat diaktualisasikan pada saat
program akan dijalankan karena dukungan dana yang tidak tersedia.
Akibatnya, aparat desa cenderung lebih terbiasa/menyukai model
‘function follow money’ .
Kesulitan menentukan skala prioritas serta distribusi sumber daya.
Kesulitan ini antara lain karena aparatur desa kurang mampu
menerapkan prinsip disiplin anggaran rasional di Desa, dimana
penganggaran desa sering kurang memperhitungkan argumen
rasional. Semestinya pengeluaran belanja Desa disamping
mengedepankan anggaran rasional juga menggunakan prinsip hemat,
tidak mewah, efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Seringkali dinas/instansi yang seharusnya hanya merencanakan,
malah sekaligus bertindak sebagai pelaksana. Jadi aparat desa acap
kali tidak tahu mengenai program tersebut, sementara semua yang
dikerjakan di desa mesti dilaporkan. Hal ini menimbulkan kesulitan
dalam pelaporan.
Kelemahan aparatur dalam mengelola bukti-bukti pengeluaran,
seperti kuitansi, dan sebagainya. Ini dapat menjadi masalah karena
mestinya dokumen tersebut disertakan ketika akan melakukan
pencairan pada tahap berikutnya.
b. Persoalan kapasitas aparatur desa dalam mengelola Alokasi Dana Desa
Persoalan mendasar yang dihadapi aparatur desa dalam mengelola
alokasi dana desa adalah belum sesuainya nominal ADD dengan
kebutuhan desa maupun dengan kebutuhan operasional pegawai untuk
mengelola ADD tersebut. Hal ini terungkap antara lain menurut
82
92
penuturan salah seorang Kepala Desa di Kabupaten Kupang Provinsi NTT.
Disebutkan bahwa :
”....fakta di lapangan bahwa memang...pemberian dana ADD belum sesuai dengan kebutuhan pengeluaran riil kami, sebagai contoh transportasi dari desa kami ke kabupaten (Soe) Rp. 100.000,- per sekali jalan, sementara dalam pagu anggaran hal itu tidak ada. Hal ini membuat kami kewalahan ketika mempertanggungjawabkan ADD yang harus kami kelola di desa. Disamping itu, ADD ini kan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bagaimana mungkin hal ini bisa? Tadi sempat disinggung juga, ada perbedaan antara desa di pulau Jawa dan di luar Jawa seperti NTT. Kami melihat, tentu hal ini harus dibedakan pada proses perlakuannya. Usulan kami terhadap pengelolaan dana ADD. Yang pertama juknis itu sudah ada dari kabupaten. Tapi yang bermasalah bagi kami di desa ini Bapak, yaitu tentang ada dua pos. Pos pertama itu dana itu untuk memberdayakan masyarakat, itu yang benar. Tetapi kelemahan kami, contoh kantor kesra, dana ini tidak boleh lari ke fisik, lantas darimana kami mendapat dana untuk membangun/merehab kantor desa. ADD ini tidak bisa dipakai untuk dana fisik. Itu masalah”.
Di satu sisi alokasi dana desa ini tergantung dari DAU yang diterima
oleh kabupaten dan kemampuan penerimaan Kabupaten. Hal ini bisa
menjadi kendala yang menimbulkan keterlambatan pada pencairan ADD.
Hal ini contohnya seperti yang terjadi di Kabupaten Lombok Timur.
Akibat keterlambatan dalam memenuhi target penerimaan pajak,
berbagai desa ditunda pencairan ADDnya.
Persoalan lain terkait dengan penyerapan dana ADD adalah
kemampuan aparatur desa dalam menyerap dana ADD itu sendiri. Salah
satunya disampaikan oleh aparatur desa di Bengkulu Utara.
“…Yang kami lihat adalah adanya kekurang mampuan kita untuk menyerap ADD itu, sehingga ADD itu terlambat. Dan perlu adalah sejauh mana peran sekdes itu terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa itu”
Persoalan serupa juga terjadi di Kabupaten Lombok Barat.
Beberapa hal yang mengakibatkan hal ini adalah belum pahamnya para
83
93
aparatur dalam menyusun daftar rancangan kegiatan. Ditambah lagi
dengan kemampuan membuat pelaporan hasil penggunaan dana ADD,
baik untuk dana operasional pemerintah desa maupun pemberdayaan
masyarakat desa atau pun proyek fisik desa. Sementara laporan kegiatan
berjalan ini juga menjadi salah satu dokumen yang mesti dilampirkan
dalam pengajuan ADD. Persoalan yang tidak kalah pentingnya dalam ADD
ini adalah kemampuan memanfaatkan dana ADD ini untuk pembangunan
desa. Salah seorang aparatur desa menyebutkan bahwa :
”...masyarakat itu menganggap dana pemerintah itu sebagai ’dana hibah’ bukan untuk digulirkan”.
Akibat dari kondisi semacam ini, antara lain adalah pemanfaatan
dana ADD yang belum dapat berdampak signifikan pada sebagian besar
desa.
c. Persoalan kapasitas aparatur desa dalam mengelola kekayaan desa
Persoalan mendasar terkait kapasitas aparatur desa dalam
mengelola kekayaan desa adalah kelemahan aparatur dalam memahami
potensi desa. Karena ketidakpahaman tersebut, aparat desa kesulitan
untuk memprediksikan potensi kekayaan desa mana yang dapat
dioptimalkan. Hal ini sebagaimana diakui oleh salah seorang kepala desa
yang menyatakan bahwa ” Aparat desa kurang mengetahui potensi desa
dengan baik”
Disebutkan pula bahwa :
“…..Karena sumber-sumber pendapatan ini perlu digali dengan baik dan dioptimalisasikan. Kalau kita sudah bisa membuat prediksi yang optimal, masalah hasil ini bisa kita tentukan”.
Hal lain yang turut pula mempengaruhi kelemahan aparatur dalam
memahami potensi kekayaan desa dan mengoptimalkannya sebagai
84
94
sumber pendapatan adalah masih kaburnya apa yang menjadi hak-hak
desa.
”Kepala Desa wajib mengintensifkan pemungutan pendapatan Desa yang menjadi kewenangan dan tanggungjawabnya , masalahnya sering tidak jelas yg bisa dipungut desa”
Persoalan di atas mengindikasikan adanya proses pendelegasian
kewenangan desa yang belum optimal. Hal ini dapat menimbulkan
kerancuan tentang sumber-sumber daya yang ada/dapat dipergunakan
oleh desa, sehingga menimbulkan kesulitan pula dalam mengelolanya.
Pengelolaan asset desa pemekaran merupakan bagian dari
pengelolaan kekayaan desa yang seringkali masih menyisakan banyak
masalah. Persoalan tersebut antara lain tergambar dari beberapa
pernyataan para kepala desa, antara lain:
“...Kemudian juga pengelolaan asset pada desa pemekaran atau pembangunan. Ini juga karena desa-desa di sumatera ini luas tetapi sedikit penduduknya. Memang ini sangat penting tetapi belum menjadi skala prioritas. Karena umumnya daerah-daerah pemekaran , penggabungan ini di daerah yang penduduknya sangat banyak……...” “...Selanjutnya masalah batas-batas di lapangan. Saya telah himbau kepada pak Camat , kepada kepala Desa kalau batas-batas desa kita itu ada masalah agar segera mungkin kita selesaikan.”
Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa peran pemerintah
Kabupaten maupun Kecamatan sangat diperlukan dalam menyelesaikan
persoalan aset desa pemekaran, sehingga ketika hal ini belum menjadi
prioritas, akan menimbulkan permasalahan di tingkat desa.
Bukan hanya terkait dengan pembagian asset yang bisa memicu
konflik antar desa, namun persoalan asset desa pemekaran ini juga
terkait dengan kemampuan pengelolaan kekayaan dan pendapatan desa,
baik desa induk maupun desa pemekaran. Banyak dijumpai desa-desa
85
95
baru tidak memiliki sumber kekayaan asli desa karena tanah bengkok
atau tanah kas desa masih melekat pada desa induk.
d. Persoalan dalam Pengelolaan BUMDesa
Terkait dengan pengelolaan BUMDes terdapat berbagai persoalan
antara lain, Rendahnya kemampuan manajerial BUMDea serta
kemampuan administrasi BUMDes. Kelemahan lain dalam pengelolaan
BUMDes ini tampak pada kelemahan perencanaan BUMDes, misalnya
seperti yang terjadi di salah satu desa di Kabupaten Lombok Barat yang
mempunyai BUMDes dalam bentuk pasar desa. Namun karena lemahnya
perencanaan, misalnya dalam penentuan lokasi, dan sebagainya, maka
dalam perjalanannya pasar desa ini kurang dapat berfungsi dengan baik.
Yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan mengetahui potensi
yang dapat diusahakan dalam BUMDes dan lemahnya prakarsa aparatur
desa dalam mengoptimalkan BUMDes sebagai salah satu sumber
pendapatan desa.
e. Persoalan kapasitas aparatur desa terkait dalam penatausahaan
keuangan
Berikut ini adalah beberapa persoalan dalam pelaksanaan
administrasi keuanagn desa :
Kurangnya pemahaman mengenai perpajakan, perlu sosialisasi pajak.
Belum tertibnya administrasi keuangan desa karena aparat desa
belum memahami administrasi keuangan dengan baik
Pemahaman terhadap materi peraturan pemerintah atau undang-
undang kurang
Kurangnya pengetahuan aparatur dalam bidang akuntansi ,
pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing aparat karena
keterbatasan kemampuan serta penyusunan administrasi yang baik
86
96
f. Persoalan kapasitas aparatur desa dalam pertanggungjawaban
keuangan desa
Persoalan yang mendasar dalam hal pertanggungjawaban
keuanagn desa adalah lemahnya akuntabilitas kepala desa. Secara formal,
aturan mengenai pertanggungjawaban kepala desa ini masih bersifat
pertanggungjawaban vertikal dari kepala desa kepada Camat/Bupati.
Sementara belum ada mekanisme yang mengatur akuntabilitas
horizontal kepada msyarakat. Persoalan ini ditambah lagi dengan
kelemahan kemampuan apartur desa dalam membuat berbagai dokumen
pertanggungjawaban.
Kelemahan aparatur desa dalam hal akuntabilitas ini, antara lain
dijumpai dalam dalam mengelola ADD , sebagaimana dinyatakan oleh
salah satu aparatur desa : ”....Akuntabilitas pemerintah desa dalam
mengelola ADD masih lemah.” Berbagai hal yang melatarbelakangi
lemahnya akuntabilitas desa ini antara lain :
Adanya salah pemahaman seperti inspektorat atau panwasda
tentang penujukan surat tugas dan sebaginya.
Adanya masalah dalam urusan administrasi khususnya menyangkut
administrasi pelaporan. Khususnya dalam berbagai kasus dijumpai
bahwa terkadang dalam mata anggaran di desa pada perjalanannya
(prakteknya) mengalami perubahan, yang tidak ikuti dengan proses
revisi. Sehingga menimbulkan kesulitan-kesulitan tersendiri dalam
aspek pelaporan di kemudian hari.
Lemahnya tingkat pengetahuan aparatur desa dalam aspek
administrasi penyelenggaraan pemerintahan desa, misalnya
bagaimana seharusnya menyusun sebuah administrasi perencanaan,
administrasi pelaporan keuangan, terlebih bila di tengah realisasi
87
97
program terjadi perubahan-perubahan program kegiatan yang tidak
sesuai dengan perencanaan awal.
Belum adanya kebijakan yang jelas yang disusun oleh pemerintahan
desa (kades dan BPD).
Sebagai dokumen Desa yang sangat menentukan pembangunan Desa
tersebut maka APBDes harus dievaluasi oleh beberapa pihak terkait
untuk menjamin kemanfaatannya bagi masyarakat luas. Mekanisme
evaluasi APBDes belum dipahami dan diterapkan dengan baik.
Seringkali ada perencanaan program tanpa diketahui desa sehingga
menimbulkan kesulitan dalam pelaporan karena desa tidak
mengetahui program tersebut karena pendelegasian yang belum
optimal. “Kalau saja kembali berpedoman bahwa pemberdayaan
desa akan ditingkatkan, yang harus kita pikirkan terlebih dahulu
bagaimana agar pendelegasian ini harus optimal dahulu”, demikian
antara lain kritik dari pemerintah desa.
g. Persoalan ketersediaan aparatur desa
Salah satu persoalan yang mendasar yang dihadapi desa-desa
adalah sangat minimnya jumlah Sumber Daya Manusia aparaturnya.
Ditambah lagi, tingkat pengetahuan dari masing-masing aparat
pemerintah sangat beragam. Hal yang tampak sepele namun cukup
mengganggu adalah kendala kurangnya keterampilan aparatur desa
dalam mengoperasikan komputer. Dampaknya pengelolaan keuangan
desa masih banyak yang dilakukan secara manual dan seringkali
menimbulkan persoalan dalam penatausahaan.
h. Persoalan hubungan antara sesama aparat desa.
Persoalan lain yang bisa mengganggu proses pengelolaan keuangan
desa adalah hubungan antara sesama aparat desa. Hal ini misalnya dalam
88
98
pengelolaan keuangan terutama yang bersumber dari ADD, semestinya
kepala desa memfungsikan sepenuhnya bendahara desa, namun ada
kepala desa yang menyimpan uangnya terutama dari ADD sedangkan
bendahara hanya menulis administrasinya saja, kemudian yang dibayar
oleh bendaharanya hanya uang dari pungutan desa. Hal ini bisa
menghambat dalam proses pencairan, dan sebagainya.
Dengan timbulnya beragam persoalan tersebut di atas, Pemerintah
Desa cenderung yang mengambil langkah penyelesaian melalui
musyawarah, misalnya dengan mengundang semua kadus, BPD, LKMD,
pemuka masyarakat, tokoh masyarakat, dan lain-lain untuk
rapat/bermusyawarah.
Terkait dengan persoalan ADD, pemerintah desa berupaya
menghindari keterlambatan penyaluran ADD dengan berusaha mengelola
keuangan yang masuk di desa dengan mengupayakan realisasi dari
pungutan desa semaksimal mungkin agar penerimaan dengan
pengeluaran seimbang sesuai dengan APBDes yang telah disusun.
4. Kebutuhan pengembangan kapasitas aparatur desa dalam manajemen
keuangan dan kekayaan desa
Dengan memperhatikan praktek pengelolaan keuangan desa yang
selama ini berjalan serta persoalan-persoalan yang terkait dengannya dan
tingkat kemampuan sumber daya aparatur desa yang ada, berikut ini
dirumuskan berbagai kebutuhan pengembangan kapasitas aparatur desa
dalam aspek tersebut. Kebutuhan pengembangan kapasitas ini terbagi
menjadi kebutuhan kompetensi aparatur desa serta kebutuhan lain yang
terkait dengan sistem dan hal-hal pendukung yang berpengaruh terhadap
kapasitas aparatur desa.
89
99
a. Kebutuhan Peningkatan Kapasitas Keuangan
Kebutuhan peningkatan kapasitas keuangan menjadi salah satu poin yang
krusial dalam meningkatkan kapasitas dalam manajemen keuangan desa.
Hal ini terkait dengan masalah keuangan desa dalam aspek pendapatan,
dimana kemampuan desa untuk meningkatkan sumber pendapatan desa
yang selama ini dinilai sangat minim. Beberapa hal yang krusial dalam hal
ini adalah perlunya memperjelas kewengan desa sehingga
memungkinkan desa untuk menggali pendapatan sendiri, perlunya
meningkatkan optimalisasi BUMDes, dan meningkatkan kerjasama antar
desa.
b. Kebutuhan Kompetensi Aparatur Desa dalam Manajemen Keuangan
dan Kekayaan Desa
Kebutuhan ini terkait dengan kemampuan teknis aparatur desa dalam
manajemen keuangan dan kekayaan desa. Kebutuhan tersebut antara
lain :
1. Perlunya sosialisasi peraturan pemerintah atau undang-undang
2. Perlunya bimbingan teknis mengenai pelaksanaan keuangan di desa,
aparat desa memerlukan pembekalan khusus mengenai sistem dan
cara pengelolaan keuangan di desa
3. Perlunya sosialisasi perpajakan
4. Perlunya pemahaman materi pengawasan keuangan yang masuk di
desa terutama bantuan dari pemerintah Kabupaten, Provinsi, dan
Pusat bagi sekda
5. Perlunya pengetahuan mengenai pengelolaan Badan Usaha Milik
Desa, mulai dari mekanisme pendirian, pengelolaan, sampai pada
pertanggungjawaban
6. Perlunya peningkatan kapasitas dalam pelaksanaan Alokasi Dana
Desa
90
100
7. Perlunya peningkatan kapasitas aparatur desa dalam melaksanakan
administrasi pengelolaan kekayaan desa
8. Perlunya peningkatan kompetensi aparatur desa dalam pemanfaatan
kekayaan desa
Salah satu poin penting dalam meningkatkan kapasitas pelaksanakan ADD
adalah meningkatkan proporsionalitas pengalokasian ADD sehingga dapat
mendukung kemampuan keuangan desa sesuai dengan kebutuhan desa
yang beragam. Model penentuan ADD selama ini masih kurang sesuai
dengan kebutuhan desa, meski hal ini juga sangat dipengaruhi
kemampuan masing-masing daerah. Untuk itu, disamping memperbaiki
model perhitungan alokasi ADD, hendaknya pemerintah desa juga perlu
mengetahui dengan jelas besarnya pagu ADD yang akan diteriman. Hal ini
untuk membantu dalam memperkirakan besarnya penerimaan desa dan
pengalokasiannya.
Poin kedua adalah mempersiapkan apartur desa, mulai dari Kepala Desa
sampai dengan seluruh aparat yang terlibat dalam pelaksanaan ADD
untuk memahami tugas dan fungsinya serta memberikan pelatihan
terkait dengan kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk
menjalankan tugas dan fungsi tersebut.
5. Kebutuhan Kapasitas Aparatur Desa secara Umum
Secara umum kebutuhan ini menyangkut kebutuhan mendasar
peningkatan kapasitas aparatur desa. Kebutuhan ini terkait dengan
ketersedian aparatur dan kemampuan mendasar aparatur seperti
penguasaan komputer. Untuk meningkatkan kapasitas ini perlu dilakukan
penambahan aparatur desa sesuai kebutuhan desa dengan tingkat
pendidikan yang lebih baik. Dengan kata lain perlu perbaikan dalam
rekuitmen aparatur desa dan peningkatan pendidikan aparatur desa yang
ada.
91
101
C. KEBIJAKAN DESA
1. Pengertian, dan Prinsip Perumusan Kebijakan Desa.
Dilihat dari jenis produk hukum yang ada di Desa, terdapat dua jenis
kebijakan yakni, kebijakan yang bersifat mengatur, dan kebijakan yang
bersifat menetapkan, kebijakan yang bersifat mengatur terdiri dari Peraturan
Desa dan Peraturan Kepala Desa, sedangkan kebijakan yang bersifat
menetapkan adalah Keputusan Kepala Desa, adapun pengertian dari masing-
masing kebijakan (produk hukum) tersebut dapat diuraikan secara singkat
sebagai berikut :
a. Peraturan Desa (Perdes); adalah peraturan perundang-undangan yang
dibuat oleh Kepala Desa bersama-sama dengan Badan Permusyawaratan
Desa, yang memuat seluruh materi penyelenggaraan pemerintahan
desa, pembangunan desa, dan pemberdayaan masyarakat, serta
penjabaran lebih lanjut dari ketentuanperundang-undangan yang lebih
tinggi;
b. Peraturan Kepala Desa; adalah peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Kepala Desa yang sifatnya mengatur dalam rangka
melaksanakan Peraturan Desa dan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, muatan materi dari Peraturan Kepala Desa adalah
penjabaran pelaksanaan Peraturan Desa;
c. Keputusan Kepala Desa; adalah keputusan yang ditetapkan oleh Kepala
Desa yang bersifat menetapkan dalam rangka melaksanakan peraturan
desa maupun peraturan kepala desa, dilihat dari muatan materi
keputusan kepala desa ini adalah penjabaran pelaksanaan peraturan desa
dan peraturan kepala desa yang bersifat penetapan.
Sedangkan ditinjau dari proses penyusunan kebijakan desa baik
Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa maupun Keputusan Kepala Desa
lazimnya mengikuti proses dan pentahapan mulai dari tahapan persiapan dan
pembahasan, pengesahan dan penetapan, penyampaian dan
92
102
penyebarluasan, secara ringkas pentahapan-pentahapan tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut :
1. Tahapan Persiapan dan Pembahasan. Rancangan Peraturan Desa (Perdes)
baik yang merupakan prakarsa pemerintah desa maupun yang berasal
dari inisiatif dari Badan Permusyawaratan Desa dalam masa
pembahasannya secara ideal terlebih dahulu mendapat masukan dari
berbagai pihak termasuk masyarakat desa, masukan tersebut dapat
berupa tulisan maupun lisan, sehingga masyarakat desa mengetahui isi
kandungan dari peraturan desa yang sedang dibahas, diharapkan dari
kegiatan ini masyarakat desa berpartisipasi secara aktif dalam
implementasinya, mekanisme penggunaan hak dari masyarakat desa ini
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, namun
demikian komponen utama yang berperan dalam pembahasan rancangan
peraturan desa adalah Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan
Desa. Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa (APBDes), Jenis Pungutan Desa, dan Penataan Ruang Desa
yang telah disetujui bersama antara pemerintah desa dan Badan
Permusyawaratan Desa, sebelum ditetapkan oleh Kepala Desa terlebih
dahulu disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati untuk dievaluasi,
evaluasi Rancangan Peraturan Desa tersebut dapat didelegasikan oleh
Bupati kepada Camat, penyampaian Rancangan tersebut paling lambat 3
(tiga) hari setelah Rancangan Perdes disetujui, dan hasil evaluasi
Rancangan Perturan Desa disampaikan oleh Bupati kepada Kepala Desa
paling lama 20 (dua puluh) hari sejak rancangan peraturan desa tersebut
diterima, apabila Bupati belum menyampaikan hasil evaluasi Rancangan
Anggaran dan Belanja Desa (RAPBDes), Kepala Desa dapat menetapkan
Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa (APBDes) menjadi Peraturan Desa.
93
103
2. Tahapan Pengesahan dan Penetapan. Rancangan Perturan Desa yang
telah disetujui bersama oleh Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan
Desa disampaikan oleh pimpinan BPD kepada Kepala Desa untuk
ditetapkan menjadi Peraturan Desa, penyampaian Rancangan Peraturan
Desa dimaksud dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
terhitung sejak tanggal persetujuan bersama, Rancangan Peraturan Desa
sebagaimana tersebut wajib ditetapkan oleh Kepala Desa dengan
membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak diterimanya Rancangan Peraturan Desa tersebut. Untuk
kepastian hokum, setiap Peraturan Desa wajib mencantumkan batas
waktu penetapan pelaksanaan . Peraturan Desa sejak ditetapkan
dinyatakan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan hokum yang
mengikat, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Desa tersebut, dan
Peraturan Desa tidak boleh berlaku surut.
3. Tahapan Penyampaian. Peraturan Desa disampaikan oleh Kepala Desa
kepada Bupati melalui Camat sebagai bahan pembinaan dan pengawasan
paling lambat 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.
4. Tahapan Penyebarluasan. Peraturan Desa dan peraturan pelaksanaannya
wajib disebarluaskan kepada masyarakat oleh Pemerintah Desa.
Penyusunan Rancangan Peraturan Desa dilakukan sesuai dengan
penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan yang dilakukan
sesuai dengan tehnik penyusunan peraturan perundang-undangan, yang
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, dan secara kusus
juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun
2006 tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan
Desa, disamping itu dalam rangka penyusunan Peraturan Desa perlu
memperhatikan berbagai kebijakan yang telah ditetapkan oleh Menteri
Dalam Negeri yakni Peraturan Menteri Dalam negeri Nomor 15 Tahun 2006
94
104
tentang Jenis dan Produk Hukum Daerah, dan Peraturan Menteri Dalam Negri
nomor 16 Tahun 2006.
2. Deskripsi Perumusan Kebijakan Desa di Lokus Kajian.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Desa, paling tidak terdapat beberapa Kebijakan Desa yang harus disusun oleh
setiap desa, yakni Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa (APBDes), Peraturan Desa tentang RPJMDes, Peraturan Desa tentang
Perubahan APBDes, Peraturan Desa tentang Pengelolaan Keuangan Desa,
Peraturan Desa tentang BUMDes, Peraturan Desa tentang Hubungan
Kerjasama Desa, Peraturan Kepala Desa tentang Pertanggung-jawaban
Pelaksanaan APBDes, dan Keputusan Kepala Desa sebagai tindak lanjut dari
Peraturan Desa dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dari hasil wawancara dengan para Narasumber di Daerah berkaitan
dengan aspek Kebijakan Desa dapat diungkap sebagaimana dibawah ini,
sesuai dengan amanah dari Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa,
dimana Desa diwajibkan menyusun beberapa Perdes dan Keputusan Kepala
Desa dapat dikatakan semua Desa telah menyusun Peraturan Desa paling
tidak setiap tahun anggaran Desa telah menyusun Peraturan Desa tentang
Rencana Anggaran dan Pendapatan Desa (RAPBDes) dan Peraturan Kepala
Desa tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa. Sedangkan kebijakan lain belum semua Desa menyusun
Perdesnya.
Hal tersebut diatas terungkap dari hasil wawancara dengan Kepala
Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa di Propinsi
Bengkulu bahwa :
“dalam pelaksanaan penyusunan Kebijakan Desa ini di lingkungan Propinsi Bengkulu dihadapkan pada beberapa permasalahan, antara lain keterbatasan dana yang dialokasikan
95
105
pada unit kerja BPMD Provinsi. Sebagai gambaran, untuk tahun anggaran 2009 ini BPMD hanya mendapat alokasi anggaran yang sangat terbatas, dengan dana yang sangat terbatas tersebut apa yang harus diperbuat oleh unit BPMD Propinsi Bengkulu, sementara itu begitu banyak permasalahan pemerintahan desa yang harus diperhatikan, pada saat pembahasan anggaran tahun lalu, pihak BPMD Propinsi telah mengajukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas pemerintahan desa dan kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat, namun dalam pembahasan anggaran kegiatan-kegiatan yang diusulkan dipending oleh pihak DPRD Propinsi dengan alasan kegiatan-kegiatan tersebut sudah merupakan kewenangan dari Pemerintah Kabupaten, yang ternyata kegiatan peningkatan kapasitas aparatur desa tersebut tidak dilaksanakan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa di masing-masing Kabupaten, tentunya dengan berbagai pertimbangan dari masing-masing pemerintah kabupaten, disini terlihat dengan jelas sekali bahwa pola pikir para anggota DPRD kita belum memihak kepada kepentingan pemerintah terendah yakni Pemerintah Desa, bahkan para anggota Dewan kita kalau mendengan kata “Desa” sudah alergi duluan, padahal para anggota Dewan kita itu dipilih oleh “masyarakat desa”.
Disamping adanya keberpihakan dari “elit daerah” sebagaimana
diungkap diatas, dalam hal peningkatan kapasitas pemerintah desa
khususnya dalam penyusunan kebijakan desa masih ditemui kendala lain,
yakni “terbatasnya Sumberdaya Manusia dalam hal ini tenaga pelatih atau
semacam Widyaiswara yang dimiliki oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat
dan Desa Propinsi Bengkulu, hal ini mengingat unit kerja ini baru dibentuk
berdasarkan PP 41 tahun 2007, jadi dilihat dari ketersediaan SDM yang
berkualifikasi mampu untuk menjadi fasilitator dalam perumusan kebijakan
desa belum ada, karena belum ada Jabatan Fungsional khusus yang berkaitan
dengan pemberdayaan masyarakat dan pemerintah desa”. Disamping
keterbatasan SDM tersebut juga berkaitan dengan masalah kelembagaan
yakni perlu ada kejelasan ruang lingkup tugas antara BPMD Propinsi Bengkulu
dengan BPMD Kabupaten di lingkungan Propinsi Bengkulu, sehingga
gambaran sebagaimana diungkap di atas tidak terjadi, masalah dalam
96
106
kelembagaan tersebut juga terjadi di Kabupaten Bengkulu Utara sebagaimana
dikemukakan oleh Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
Pemerintahan Desa bahwa :
“terjadi tarik menarik kepentingan antara Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Bengkulu Utara dengan Bagian Pemerintahan, nampaknya Bagian Pemerintahan belum sepenuhnya menyerahkan semua tugas dan kegiatan yang berkaitan dengan Pemerintahan Desa kepada BPMD Kabupaten”, sehingga timbul kerancuan, hal itu terlihat dengan masih adanya berkas-berkas pemerintahan desa yang masih dikelola oleh Bagian Pemerintahan, diharapkan hal-hal seperti ini bisa diatasi, hal ini karena Unit Kerja BPMD Kabupaten Bengkulu Utara masih tergolong baru”.
Sedangkan menyangkut penyusunan Kebijakan Desa di Kabupaten
Bengkulu Utara, pada dasarnya sama dengan diungkap oleh Kepala BPMD
Propinsi Bengkulu sebagaimana diungkap di atas, Perdes yang disusun di
masing-masing desa baru Peraturan Desa tentang RAPBDes, karena Perdes
tersebut menyangkut rencana penggunaan anggaran dan sifatnya mutlak,
kalau tidak ada Perdes tersebut maka dana yang diperuntukkan bagi
pembangunan desa tidak akan terealisir, hal ini juga tergambar dari hasil
diskusi kelompok di Kabupaten Bengkulu Utara, dimana Pemerintahan Desa
baru menyusun rata-rata 1 (satu) Peraturan Desa yakni Peraturan Desa
tentang RAPBDes, sedangkan Perdes tentang RPJMDes belum disusun, dari
hasil wawancara dengan Kepala Bagian Pemerintahan dan Kepala BPMD Kab.
Bengkulu Utara, juga terungkap bahwa bimbingan tehnis penyusunan
Peraturan Desa baru dilaksanakan sekali tahun 2008 yang lalu, dan itu hanya
diikuti oleh 40 orang peserta, bimbingan tehnis yang sifatnya simulasi
tersebut cukup efektif, namun untuk tahun anggaran 2009 ini kegiatan serupa
belum dilaksanakan, masih menunggu APBD Perubahan yang sedang
diajukan.
Keadaan yang sama, sebagaimana di Kabupaten Bengkulu Utara, juga
terjadi di Kabupaten Seluma, dari hasil wawancara dengan Kepala Bagian
97
107
Pemerintahan Kab. Seluma mengindikasikan bahwa program dan kegiatan
penguatan kapasitas pemerintahan desa masih sangat kurang hal ini
dikarenakan Kabupaten Seluma ini termasuk Daerah Otonum Baru, sehingga
prioritas pembangunan di Kabupaten ini lebih difokuskan pada pembangunan
fisik khususnya pembangunan gedung perkantoran dan prasarana pendukung
lainnya, sedangkan kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas
pemerintahan daerah dan desa untuk tahun 2009 ini belum menjadi kegiatan
prioritas, dan sesuai dengan skala prioritas daerah kegiatan peningkatan
kapasitas pemerintahan daerah dan desa ini akan dimulai pada tahun
anggaran 2010 yang akan datang, dari hasil diskusi kelompok juga
teridentifikasi bahwa Kebijakan Desa di masing-masing desa untuk setiap
tahunnnya paling banyak 2 sampai 3 Perdes yang dibuat, begitu juga
Keputusan Kepala Desa, umumnya Perdes tersebut adalah Perdes tentang
RPJMDes, dan APBDes.
Desa yang dapat dijadikan acuan dalam penyusunan Kebijakan Desa. Oleh
sebab itu dimasa yang akan datang setiap ada Kebijakan dari Pusat atau dari
Propinsi dan Kabupaten perlu dibarengi dengan sosialisasi, pelatihan-
pelatihan dan bimbingan tehnis dan simulasi yang berkaitan dengan
Kebijakan baru tersebut, tentunya semua dana dan pembiayaan yang
berkaitan dengan sosialisasi tersebut dibebankan kepada Pemerintah
Kabupaten atau Pemerintah Propinsi, karena selama ini kalau ada kegiatan
Box. 4.6 Lima Perdes yang harus dibuat oleh Desa Menurut PP No. 72 Tahun 2005 Perdes tentang RPJMDes Perdes tentang APBDes Perdes tentang Lembaga
Kemasyarakatan Desa Perdes tentang Pengelolaan
Keuangan Desa Perdes tentang BUMDes
Permasalahan dalam menyusun
Kebijakan Desa di Desa-desa pada
umumnya kurangnya bimbingan
tehnis dari pemerintah Kabupaten
maupun Kecamatan, disamping itu
kurangnya bahan referensi dan
contoh-contoh tentang Peraturan
98
108
sosialisasi para aparatur desa selalu kualahan untuk mengalokasikan
anggaran mengikuti pelatihan, seperti dana untuk transportasi dan lain-lain.
Dari hasil wawancara dengan Kepala BPMD Propinsi Sulawesi Tengah
dan Kepala Bagian Pemberdayaan Pemerintahan Desa juga mengungkap
bahwa:
“kualitas Apartur Desa di Propinsi Sulawesi Tengah secara umum masih perlu ditingkatkan, hal ini setidaknya tergambar dari jumlah usulan Sekretaris Desa yang akan diangkat menjadi PNS ternyata hanya sebagian kecil yang memenuhi persyaratan yang ditentukan, yakni baru mencapai 200 Sekretaris Desa dari jumlah seluruhnya yakni 1.580 Sekretaris Desa, jadi lebih kurang baru mencapai 20%”.
Selain itu rendahnya kualitas aparatur desa di Sulawesi Tengah ini juga
dapat diungkap masih sangat terbatasnya aparatur desa yang telah mengikuti
diklat dan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan ruang lingkup tugas
aparatur desa itu sendiri, yakni pelatihan administrasi desa, termasuk
kemampuan untuk menyusun tata naskah dinas, sehingga tidak
mengherankan kalau diserahi tugas untuk membuat surat dinas para aparat
desa tersebut mengalami kesulitan, apalagi kalau diserahi tugas untuk
menyusun Draf Peraturan Daerah dan Draft Kebijakan lainnya.
Keadaan tersebut disebabkan antara lain keterbatasan dana yang
dimiliki oleh BPMD Propinsi, banyak kegiatan yang diprogramkan tetapi tidak
mendapatkan persetujuan anggaran, misalnya pada tahun 2009 ini kita
mengajukan anggaran untuk menyusun Modul-Modul yang akan dijadikan
bahan ajar untuk peningkatan kapasitas aparatur desa seperti yang telah
disusun oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah yang muatannya sesuai
dengan kondisi daerah Sulawesi Tengah ini, tetapi tidak mendapat respon
dari pemerintah propinsi, disamping itu kesulitan yang dihadapi oleh Badan
Pemberdayaan Masyarakat Propinsi Sulawesi Tengah adalah masalah
koordinasi fungsional antara BPMD Propinsi dengan BPMD Kabupaten yang
ada di Sulawesi Tengah, koordinasi fungsional ini masih sangat lemah dan
99
109
perlu ditingkatkat untuk menciptakan keselarasan program dan kegiatan,
selain masalah koordinasi fungsional tersebut kendala yang dihadapi adalah
keterbatasan SDM di BPMD Propinsi ini, karena sudah menjadi rahasia umum
kalau ada Unit Kerja baru, maka pegawai yang ditempatkan di Unit Kerja
tersebut adalah pegawai sisa yang selama ini kurang optimal kinerjanya,
kondisi kelembagaan yang sedemikian juga mempengaruhi kinerja BPMD
Propinsi Sulawesi Tengah selama dua tahun ini.
Selain hal tersebut dapat dikemukakan termasuk permasalahan yang
dihadapi oleh sebagian besar desa di Sulawesi Tengah ini adalah sebagian
besar Desa kita belum memiliki Kantor Desa yang memadai, hal demikian juga
mempengaruhi kinerja aparatur desa, baru beberapa Kabupaten yang telah
menyusun program peningkatan kapasitas aparatur desa ini.
Hal lain yang menjadi permasalahan yang selalu dihadapi adalah
terbatasnya angaran untuk kegiatan peningkatan kapasitas pemerintah desa,
dan realisasi anggaran biasanya turunnya pada penghujung tahun anggaran,
sehingga program dan kegiatan tersebut tidak optimal karena program dan
kegiatan tersebut dilaksakana tidak tepat waktu.
Dengan memperhatikan kebutuhan akan peningkatan kapasitas
aparatur pemerintah desa di Sulawesi Tengah pada saat ini maka kedepan
secara kelembagaan BPMD Propinsi ini sendiri harus merupakan lembaga
yang kuat, baik dilihat dari Sumberdaya Manusianya, Sumberdaya
Keuangannya dan sumber yang lain, dan juga perlu dukungan dari
Pemerintah Pusat melalui alokasi dana bantuan misalnya seperti PNPM
Mandiri. Jadi dari gambaran tersebut juga dapat ditarik garis lurus, kiranya
kualitas aparatur desa dalam hal perumusan Kebijakan Desa masih sangat
rendah, karena dari pihak BPMD Propinsi sendiri belum ada kegiatan-kegiatan
dalam hal simulasi dan bimbingan tehnis yang dalam hal perumusan Perdes
dan Peraturan Kepala Desa yang secara langsung dilaksanakan, mungkin
100
110
masing-masing BPMD Kabupaten melaksanakan kegiatan simulasi tersebut
sesuai dengan kemampuan dari masing-masing BPMD Kabupaten.
Keberpihakan elit daerah terhadap peningkatan kapasitas apartur
desa saat ini tampaknya terjadi di Kabuipaten Donggala Sulawesi Tengah, hal
tersebut sesuai dengan Visi dan Misi Bupati Donggala pada saat kampanye
pilkada yakni Akselerasi Pembangunan Desa, Kepala BPMPD Kab. Donggala
mengungkapkan:
“untuk mewujudkan Visi dan Misi tersebut maka peningkatan kapasitas aparatur baik kapasitas aparatur desa maupun kapasitas intitusi yang secara fungsional ruang lingkup tugasnya berkaitan dengan pembangunan masyarakat desa menjadi suatu keharusan”.
Untuk melaksanakan Visi dan Misi Bupati terpilih tersebut, mulai pada
tahun anggaran 2010 ini Pemda Kab. Donggala mempunyai program
pembangunan Desa Percontohan, setiap tahun angaran akan dibangun 1 desa
percontohan di setiap Kecamatan, sehingga pada tahun 2014 masing-masing
kecamatan akan memiliki 5 Desa percontohan, dalam rangka persiapan untuk
mewujudkan program tersebut, BPMD Kab. Donggala pada tahun 2009 ini
telah melaksanakan kegiatan-kegiatan antara lain : Melakukan analisis
potensi desa dan permasalahan yang melibatkan seluruh dinas terkait, karena
kegiatan dinas-dinas terkait nantinya akan difokuskan di desa percontohan
yaitu Penyempurnaan dan penguatan aspek kelembagaan pemerintahan
desa, dan Penguatan Sumberdaya Aparatur Desa.
Khusus penguatan Aparatur Desa ini, BPMD Kab. Donggala telah
menjalin kerjasama dengan Balai Pembangunan Masyarakat Desa Malang,
mulai tahun 2010 BPMD Kab. Donggala akan mengadakan pelatihan-
pelatihan antara lain : Bimtek Administrasi Perkantoran Desa, Bimbingan
Tehnis implementasi tugas pokok dan fungsi BPM; Bimbingan tehnis
manajemen pemerintahan desa; Bimbingan tehnis Manajemen pemerintahan
desa; Bimbingan tehnis penggalian sumber-sumber pendapatan dan
101
111
keuangan desa, Pelatihan penyusunan RPJMDes, RKPDes, dan penyusunan
APBDes, Bimtek dan fasilitasi musrenbangdes terpadu, sedangkan pelatihan
dan bimbingan penyusunan peraturan desa secara simultan telah
dilaksanakan pada tahun 2009 ini, dan sepanjang memungkinkan bimbingan
tehnis tersebut setiap tahun akan diselenggarakan.
Dari hasil diskusi kelompok dengan para aparat desa, diidentifikasi
bahwa pelatihan penyusunan kebijakan desa telah dilaksanakan pada awal
tahun 2009, namun pesertanya masih terbatas pada Kepala Desa dan
Sekretaris Desa, pelatihan semacam itu sebaiknya juga diikuti oleh para
anggota BPD, sehingga terjadi persepsi yang sama, adapun Kebijakan Desa
yang telah disusun untuk masing-masing desa baru Peraturan Desa tentang
RAPBDes. Bimbingan tehnis yang dirasakan sangat mendesak saat ini adalah
bimbingan tehnis tentang penyusunan Keputusan Kepala Desa tentang
Pertanggungjawaban Keuangan Desa. Dari diskusi dengan para Kepala Desa
dan Perangkat desa teridentifikasi bahwa untuk tahun 2009 ini Desa di Kab.
Donggala telah menyusun rata-rata 2 (dua) Peraturan Desa, dan 2 (dua)
Keputusan Kepala Desa, Perdes tersebut antara lain Perdes tentang RPJMdes,
dan Perkades tentang Pertanggungjawaban dan Pelaporan APBDes.
Permasalahan yang dihadapi dalam penyusunan Peraturan Desa yang
diungkap para peserta diskusi kelompok adalah terbatasnya rujukan dan
referensi yang berkaitan dengan Perdes, misalnya adanya panduan yang jelas
dari Departemen Dalam Negeri, Contoh-contoh Perdes yang dianggap layak
untuk dijadikan acuan; untuk itu Bagian Hukum Setda Kab. Donggala lebih
pro-aktif dalam melakukan bintek terhadap aparat desa, begitu juga
bimbingan tehnis tentang pertanggungjawaban keuangan desa, perlu ada
acuan yang standar yang perlu diikuti, karena sampai bulan Agustus ini
ternyata masih ada beberapa Pemerintah Desa yang belum menyelesaikan
pertanggungjawaban triwulan I, dikarenakan perbedaan persepsi antara
bendahara dengan Pemerintah Desa.
102
112
Rendahnya kualitar aparat desa dalam menyusun Kebijakan Desa baik
berupa Peraturan Desa maupun Peraturan Kepala Desa dan kebijakan lainnya
juga diungkap oleh Kabag Pemerintahan Pulang Pisau Kalimantan Tengah
bahwa :
“pada tahun 2009 ini sedang difasilitasi cara-cara pembuatan Kebijakan Desa, seperti Perdes tentang Pengelolaan Keuangan Desa, penyusunan Perdes tentang RPJMDes, Keputusan Kepala Desa tentang Pertanggungjawaban laporan LKPJ. Strategi untuk meningkatkan kualitas aparatur desa dilakukan antara lain; Menyusun Perda dan Keputusan Bupati yang memuat Ketentuan Perumusan Kebijakan Bupati, dan strategi kedua adalah melibatkan Pemerintah Kecamatan dalam pemberdayaan aparatur desa”.
Dari hasil diskusi dengan para Kepala Desa dan Aparat Desa di
lingkungan Kabupaten Pulang Pisau, pada tahun anggaran ini Pemerintah
Desa telah ada yang menyusun perdes, rata-rata Perdes tentang RPJMDes
dan APBDes, namun masih terdapat beberapa Pemerintah Desa yang belum
menyusun Peraturan Desa maupun Keputusan Kepala Desa, hal tersebut
karena kualitas Sumberdaya Manusia Aparat Desa yang masih sangat
terbatas, dan sosialisasi yang sangat kurang dari Kecamatan dan Kabupaten,
permasalahan lain adalah partisipasi masyarakat yang sangat kurang akan arti
pentingnya Kebijakan Desa baik Perdes maupun Keputusan Kepala Desa.
Namun demikian terdapat beberapa Desa di Kabupaten Pulang Pisau yang
telah menyusun Perdes sebanyak 12 Perdes, namun masih dirasakan adanya
permasalahan antara lain terjadi tarik menarik kepentingan antara
Pemerintah Desa dengan Bamusdes.
Pemberdayaan aparat desa dalam hal penyusunan Kebijakan Desa,
terutama dalam menyusun Perdes yang berkaitan dengan keuangan desa
baik RAPBDes maupun pertanggungjawabannya pada tahun ini baru
dilaksanakan pada 3 dari 13 Kecamatan yang ada di Kab. Katingan Kalteng,
dan tahun 2010 kegiatan pelatihan serupa akan dilaksanakan di Kecamatan
yang lain, permasalahan yang dihadapi adalah terbatasnya dana yang
103
113
dialokasikan untuk kegiatan pemberdayaan aparatur desa, dan letak
geografis desa yang sangat jauh dari Ibukota Kabupaten yakni Kasongan,
strategi yang akan diambil dalam rangka peningkatan kapasitas aparatur desa
adalah memberdayakan pemerintahan kecamatan, Pemerintah Kecamatan
inilah yang nantinya berfungsi untuk menjadi fasilitator pemberdayaan
aparatur desa di lingkungan wilayahnya masing-masing.
Dari hasil Diskusi dengan para Kepala Desa dan Aparat Desa di
Kabupaten Kasongan, dapat diidentifikasi masing-masing desa baru
menyusun 1 (satu) Peraturan Desa, yankni Perdes yang berkaitan dengan
APBDes, permasalahan yang dihadapi pemerintah desa di Kabupaten
Kasongan antara lain : terbatasnya sosialisasi dan pelatihan yang
dilaksanakan oleh Kecamatan maupun Kabupaten, kurang respon dari BPD,
perbedaan pandangan dari masyarakat adapt, partisipasi masyarakat yang
masih sangat kurang.
Dalam hal perumusan kebijakan di Desa, pemerintahan desa di
lingkungan Pemerintah Kabupaten Kupang sudah melaksanakan penyusunan
RPJMDes dan RKPDes, meskipun dokumen-dokumen tersebut setiap tahun
perlu penyempurnaan-penyempurnaan, permasalahan yang ditemui dalam
penyusunan Perdes tersebut adalah perlu ditunjang oleh sarana dan prasara
yang memadai, seperti perlalatan kantor (ATK), dan fasilitas komputer. Dari
hasil diskusi dengan para Kepala Desa di lingkungan Kabupaten Kupang,
untuk tahun ini masing-masing desa telah menyusun rata-rata 4 (empat)
Peraturan Desa dan 4 (empat) Keputusan Kepala Desa, permasalahan yang
dihadapi Pemerintah Desa dalam menyusun Peraturan Desa dan Keputusan
Kepala Desa antara lain kurangnya pemahaman dan persepsi dari aparatur
desa dan Bamusdes tentang kebijakan desa, kurangnya fasilitas yang
memadai, terbatasnya bahan acuan yang dijadikan sebagai pedoman
penyusunan Kebijakan Desa, dan kurangnya sosialisasi dari pemerintah
kabupaten..
104
114
Dari hasil diskusi dengan para Kepala Desa dan aparat desa di
Kabupaten Timor Tengah Selatan, yang menjadi hambatan dalam
penyusunan Kebijakan Desa adalah terbatasnya dana operasional.
Keterbatasan dana juga dialami oleh para Kepala Desa di Kab. Timor Tengah
Selatan dalam melaksanakan tugas penyusunan Kebijakan Desa berupa
Peraturan Desa dan Keputusan Kepala Desa, disamping itu permasalahan
lainnya adalah terbatasnya bahan referensi yang berkaitan dengan
perumusan kebijakan desa, dari hasil diskusi tersebut juga dapat diidentifikasi
masing-masing desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan baru menyusun rata-
rata 2 (dua) Peraturan Desa dan 2 (dua) Peraturan Kepala Desa, yakni Perdes
tentang RPJMDes dan Perdes tentang APBDes. Dalam rangka menyusun
Kebijakan Desa yang sesuai dengan norma dan standart hukum ke depan
perlu diadakan sosialisasi dan pelatihan yang kontinyu dari Pemerintah
Kabupaten, tersedianya bahan referensi yang mencukupi untuk menyusun
Kebijakan Desa, Bamusdes perlu didiklatkan khusus mengenai tugas pokok
dan fungsinya, tersedianya dana yang mencukupi.
Dari hasil wawancara dengan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat
dan Pemerintah Desa Kalimantan Selatan dikemukakan bahwa:
“dalam perumusan kebijakan desa secara umum masih perlu peningkatan, walaupun aparatur desa di Kalsel rata-rata berpendidikan SLTA, namun dalam hal perumusan kebijakan desa baik menyusun Peraturan Desa maupun Keputusan Kepala Desa perlu dilakukan pelatihan-pelatihan yang teratur dan berkesinambungan, karena menyusun dokumen kebijakan tidak semudah yang kita bicarakan, pelatihan dan bimbingan itu perlu, kedepan yang berperan adalah para Camat dalam memfasilitasi para aparat desa perlu ditingkatkan, karena rentang control pemerintahan terlalu panjang kalau para aparat desa ini langsung ke Kabupaten”.
Permasalahan secara umum yang diidentifikasi selama ini adalah
lemahnya administrasi pemerintahan desa, yang berdampak langsung
105
115
terhadap seluruh proses penyelenggaraan pemerintahan desa, termasuk
pemrumusan kebijakan desa.
Dari hasil diskusi dengan para pejabat Badan Pemberdayaan
Masyarakat dan Pemerintah Desa Kabupaten Tanah Laut dapat diungkap
bahwa penyusunan Kebijakan Desa di Kab. Tala masih mengalami berbagai
hambatan, hambatan pertama adalah menyangkut sikap aparat desa dan
masyarakat desa akan pentingnya Kebijakan Desa baik berupa Peraturan
Desa, Keputusan Kepala Desa dan Peraturan Desa lalinnya, karena memang
Kebijakan Desa tersebut merupakpan hal yang baru bagi pemerintah desa,
sehingga tidak mengherankakn jika pada tahun anggaran 2009 ini masing-
masing desa baru menyusun 2 (dua) Peraturan Desa yakni Perturan Desa
tentang RPJMDes dan Perdes tentang RAPBDes. Permasalahan umum yang
dihadapi Pemerintah Desa dalam menyusun Kebijakan Desa adalah Sosialisasi
yang diikuti dengan pelatihan dan simulasi dirasakan sangat kurang, Persepsi
dari masing-masing actor yang menyusun Kebijakan Desa yang tidak sama,
karena masing-masing pihak memperjuangkan kepentingannya sendiri-
sendiri, Kurangnya bahan rujukan yang dapat dijadikan acuan dalam
penyusunan Kebijakan Desa, seperti contoh-contoh Perdes, contoh-contoh
Keputusan Kepala Desa yang sudah dianggap bagus oleh Pemerintah
Kabupaten. Anggaran yang tidak memadai.
Dari hasil wawancara dengan para pejabat di lingkungan Sekretariat
Daerah Kabupaten Banjar, yakni Sekretaris Daerah Kab. Banjar, dan Asisten I
Sekda diketahui bahwa :
“dalam hal peningkatan kapasitas aparat desa dirasakan masih harus kerja lebih keras lagi, hal ini didasarkan pada kualitas aparatur desa di Kab. Banjar pada saat ini masih sangat rendah, walaupun rata-rata pendidikan aparat desa sudah tamat SLTP dan SLTA, tapi dalam hal kemampuan tentang administrasi dan pemerintahan desa masih sangat lemah, setidaknya sejak era reformasi dan era otonomi daerah ini ternyata aspek penting dalam hal pemerintahan desa yakni kapasitas aparatur desa justru mengalami penurunan jika dibanding dengan era
106
116
sebelumnya, pada era orde baru misalnya khirarkhis pemerintahan daerah sangat teratur mulai dari bawah sampai atas, keteraturan tersebut nampaknya tidak tampak lagi, misalnya pada saat ini peran Kecamatan sudah hilang, jika kita perhatikan kondisi desa-desa di Kabupaten Banjar ini jarah antara Desa dengan Kabupaten jarang tempuhnya sangat jauh. Padahal administrasi dan pemerintahan sangat mengutamakan keteraturan dan kejelasan, begitu juga administrasi dan apatur desa kita”.
Untuk mengatasi permasalahan dan kondisi seperti di atas diperlukan
energi yang lebih besar untuk membuat lompatan-lompatan yang cepat,
energi besar tersebut yakni berupa keberpihakan berbagai lapisan pimpinan
daerah mulai dari pihak eksekutif daerah maupun legislatif daerah untuk
memajukan aspek apartur pemerintahan daerah dari tingkat propinsi sampai
desa, untuk itu diperlukan komitmen dan konsistensi, termasuk memajukan
desa ini, desa jangan hanya dijadikan tempat mencari dukungan politik sesaat
saja, tetapi setelah terpilih menjadi pimpinan daerah, baik jadi anggota
legislative maupun eksekutif desa jadi terlupakan.
Dari hasil diskusi dengan para kepala desa dan aparatur desa di
lingkungan Kabupaten Banjar, dalam aspek perumusan Kebijakan Desa ini,
rata-rata desa baru dapat menyusun 1 (satu) sampai dengan 2 (dua)
Peraturan Desa, permasalahan dalam penyusunan Kebijakan Desa antara lain,
rendahnya kualitas aparatur desa, kurangnya sosialisasi dan pelatihan,
perbedaan pemahaman antara Kepala Desa dengan Bamusdes dan organisasi
kemasyarakattan desa, pemerintah Kecamatan dan Kabupaten kurang pro-
aktif, sehingga rancangan Perdes yang telah disusun selalu salah, terbatasnya
dana untuk menyusun Kebijakan Desa.
Dari hasil diskusi dengan para Kepala Desa dan aparat desa di
Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombuk Timur dapat diidentifikasi,
masing-masing desa telah menyusun perdes paling tidak 2 (dua) Peraturan
Desa, dan Peraturan Kepala Desa, permasalahan-permasalahan yang dihadapi
dalam menyusun Kebijakan Desa selama ini antara lain, rendahnya
107
117
kemampuan para aparat desa, rendahnya kemampuan anggota BPD, dan
tokoh masyarakat desa terutama kemampuan pemahaman terhadap produk
hokum yang telah ada, kurangnya partisipasi dan dukungan para kepala
dusun dan masyarakat desa, terbatasnya sosialisasi dan pelatihan dari
Kecamatan dan Kabupaten, terbatasnya dana yang dialokasikan dalam
menyusun kebijakan desa, terbatasnya bahan referensi baik yang memuat
ilmu pengetahuan dan konsep-konsep tentang kebijakan, dan referensi yang
berkaitan dengan contoh-contoh Kebijakan Desa yang telah diuji
kebenarannya.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diharapkan pemerintah
Kabupaten dalam hal ini Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, secara
teratur dan rutin dapat menyelenggarakann pelatihan-pelatihan, dan simulasi
tentang tehnik penyusunan Kebijakan Desa.
Perumusan Kebijakan Desa di Kabupaten Muaro Jambi pada dasarnya
sama dengan yang terjadi di Daerah lain, menurut Asisten Bidang
Pemerintahan dan Kesra Kab. Muaro Jambi :
“kendala utamanya terletak pada kualitas sumberdaya aparatur desa yang masih rendah, dan dilain pihak partisipasi masyarakat desa khususnya dalam perumusan Kebijakan Desa juga masih sangat rendah hal ini dibuktikan dengan adanya penolakan-penolakan dari masyarakat desa terhadap Peraturan Desa yang telah disepakati oleh berbagai pihak (Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan Tokoh masyarakat)”, hal lain yang menjadi kendala adalah terbatasnya sosialisasi dan pelatihan-pelatihan yang dilaksakana oleh pemerintah baik Kecamatan maupun Kabupaten. Permasalahan lain yang timbul adalah adanya benturan antara nilai-nilai adapt istiadat dengan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sendiri, sehingga kebijakan tersebut mendapat respon yang kurang dari masyarakat desa”.
Dari hasil diskusi kelompok dengan para Kepala Desa dan aparat desa
dilingkungan Kabupaten Muaro Jambi dapat diidentifikasi, bahwa kendala
dalam perumusan kebijakan desa antara lain : Pelatihan yang diselenggarakan
108
118
oleh Pemda Kabupaten Muaro Jambi sangat terbatas, sehingga yang dapat
ikut hanya orang-orang tertentu saja, sedangkan Bamusdes tidak diikutkan,
akibatnya tidak terjadi persamaan persepsi antara Pemerintah Desa dengan
Bamusdes, maslah lain adalah terbatasnya bahan bacaan yang berkaitan
dengan perumusan kebijakan desa, materi yang disajikan kadang-kadang
kurang dapat diterima oleh para Kepala Desa dan aparat desa peserta diklat,
sebaiknya bahan ajarnya berupa gambar dan contoh-contoh yang mudah
diserap peserta, anggaran untuk pelatihan sangat terbatas, hokum adapt
belum dimuat dalam Kebijakan Desa. Dari permasalahan-permasalahan
tersebut, memang diperlukan pelatihan yang kontinyu dan
berkesinambungan yang materinya terintegrasi dengan berbagai aspek
termasuk hokum adapt setempat.
Sedangkan Asisten Pemerintahan Kabupaten Batanghari,
mengungkapkan :
“peningkatan kualitas aparatur desa mutlak diperhatikan terutama dalam perumusan kebijakan desa, “sebagai contoh, sampai saat ini kebijakan desa yang berkaitan dengan pertanggungjawaban keuangan desa menjadi masalah dan momok bagi aparat desa sering ditolak karena kesalahan persepsi antara bendahara dengan pengelola anggaran di desa, menurut logika berfikirnya pemerintahan desa pertanggungjawaban sudah sesuai tetapi system yang ditentukan berbeda”, misalnya kepala desa merubah peruntukan dana yang telah ditentukan dalam RAPBDes, tetapi karena tidak mengikuti proses “revisi anggaran” maka pertanggungjawaban keuangan desa tersebut menjadi salah, ini banyak terjadi. Oleh sebab itu maka sosialisasi yang menyeluruh dan detil terutama menyangkut kebijaksanaan tentang APBDes dan Pertangungjawabannya menjadi suatu keharusan”.
109
119
3. Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Aparatur Desa Dalam Perumusan
Kebijakan.
Dari hasil diskusi dengan para Kepala Desa dapat diungkap beberapa
kebutuhan pengembangan kapasitas aparatur desa dalam hal perumusan
kebijakan desa, antara lain :
a. Kemampuan memahami isu-isu yang berkembang di masyarakat desa.
b. Kemampuan memahami potensi desa (sumber-sumber ekonomi desa,
social-politik desa, budaya);
c. Kemampuan menguasai tata naskah dinas;
d. Kemampuan menguasai proses dan prosedur legal drafting (untuk
penyusunan Perdes, Perkades dan Keputusan Kades);
e. Kemampuan menguasai berbagai kebijakan pemerintah daerah, seperti
RPJM Kabupaten, RKPD Kabupaten, RPJM Desa, RKP Desa, dll;
f. Kemampuan membangun persepsi yang sama antara Pemerintah Desa
dan BPD;
D. KEPEMIMPINAN DESA
1. Gambaran Umum Pelaksanaan Kepemimpinan Desa.
Secara umum aspek kepemimpinan dipandang sebagai faktor kunci
keberhasilan suatu penyelenggaraan manajemen pemerintahan tak
terkecuali bagi kepemimpinan di tingkat desa. Terlebih dengan adanya
anggapan bahwa pemimpin atau kepala desa sebagai penaggungjawab atas
semua persoalan yang muncul di tengah masyarakat, termasuk urusan-
urusan yang bersifat pribadi (keluarga) sekalipun. Di sini pula letak perbedaan
yang dihadapi oleh pemimpin pada level pemerintahan lain atau dalam
manajemen organisasi manapun.
Namun demikian, dalam implementasi kepemimpinan Kepala Desa
setidaknya terdapat 2 aspek yang perlu diperhatikan yakni pertama,
Pemilihan Kepala Desa (Pilkades); Kedua, Tugas, Wewenang dan Kewajiban
110
120
dan Hak Kepala Desa. Terkait dengan Pemilihan Kepala Desa hampir dapat
dipastikan bahwa pelaksanaannya sudah mengikuti mekanisme dan prosedur
administratif yang ditetapkan. Sekalipun diketahui bahwa hampir dalam
setiap pemilihan terdapat persoalan-persoalan yang muncul sebagaimana
terjadi dalam Pilkada, Pilpres, maupun pemilihan anggota legislatif.
Persoalannya kemudian terletak pada kompetensi yang dimiliki oleh
mereka yang dipercaya oleh masyarakat setempat, kerena tidak jarang alasan
pemilih dalam menentukan pilihannya lebih didasari oleh faktor tradisional,
seperti pertalian kekeluargaan atau karena alasan trah (silsilah/keturunan),
atau alasan lainnya yang lepas dari faktor kompetensi yang seharusnya
dijadikan kriteria utama dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Padahal berdasarkan PP 72 Tahun 2005, tidak sedikit kewenangan
yang dimiliki, yakni (a) memimpin penyelenggaraan pemerinthan desa
berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD; (b) mengajukan
rancangan peraturan desa; (c) menetapkan peratutan desa yang telah
mendapat persetujuan bersama BPD; (d) menyusun dan mengajukan
rancangan peraturan desa mengenai APB desa untuk dibahas dan ditetapkan
bersama BPD; (e) membina kehidupan masyarakat desa; (f) membina
perekonomian desa; (g) mengkoordinasikan pembangunan desa secara
partisipasi; (h) mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat
menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Begitu pula dengan kewajiban kepala desa yakni (a) memegang teguh
dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI; (b)
meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (c) memelihara ketentraman dan
ketertiban masyarakat; (d) melaksanakan kehidupan demokrasi; (e)
melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas KKN; (f)
menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintah desa; (g)
111
121
menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undanga; (h)
menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang baik; (i)
melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan desa;
(j) melaksanakan urusan yang menjadi kewenagan desa; (k) mendamaikan
perselisihan masyarakat desa; (l) mengembangkan pendapatan masyarakat
dan desa; (m) membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial
budaya dan adat-istiadat; (n) memperdayakan masyarakat dan kelembagaan
di desa; dan (o) mengembangkan potensi sumber daya alam dan
melestarikan lingkungan hidup.
Oleh karenanya, untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan
pemerintahan desa sesuai amanat perundangan yang ada, dalam pandangan
Tim setiap kepala desa dituntut untuk memiliki setidaknya 5 (lima)
kompetensi. Kelima kompetensi itu adalah (i) Pengusaan teori atau seni
kepemimpinan; (ii) Kemampuan dalam menyusunan peraturan desa; (iii)
Kemampuan dalam pengambilan keputusan (iv) Kemampuan dalam
negosiasi; dan (v) Kemampuan dalam manajemen konflik.
Dalam pandangan aparatur desa, kelima kompetensi di atas semuanya
dianggap penting dan harus dikuasai oleh kepala desa, termasuk aparatur
desa lainnya. Penilaian ini terungkap dalam forum-forum diskusi dan
tercermin dalam lembaran angket yang disebarkan. Kendatipun dalam
realitasnya kadar kompetensi mereka terkait lima hal tadi perlu
dipertanyakan.
Setidaknya terdapat beberapa argumen untuk mempertanyakan
kompetensi para kepala desa, misalnya pada aspek penguasaan teori atau
seni kepemimpinan desa. Pandangan atau pengakuan terbuka para kepala
desa tentang keterbatasan pengetahuan dan tingkat pendidikan yang mereka
miliki menunjukkan bahwa memang terdapat persoalan tersendiri bagi
mereka terkait aspek ini. Komentar mereka terhadap isi modul
kepemimpinan desa yang dinilai sangat teoritis, banyak menggunakan istilah
112
122
asing, sangat akademis, di satu sisi merupakan indikator untuk membenarkan
asumsi ini. Sekalipun pada sisi lain menjadi bahan masukan bagi Tim PKKOD
LAN yang patut dipertimbangkan dalam penyusunan modul untuk aparatur
setingkat pemerintahan desa.
Anggapan semacam ini juga datang dari Asisten III Administrasi
Kabupaten Muara Jambi, yang meminta pemahaman (pengertian) Tim terkait
tingkat pendidikan para kepala desa mereka. Terutama bila dikaitkan dengan
kepala desa yang mayoritas tidak pernah mengecap pendidikan tinggi.
Sementara kemampuan menyusunan peraturan desa, juga sempat
menjadi isu yang diangkat baik di Muara Jambi, Batanghari di Provinsi Jambi,
Donggala di Sulawesi Utara, di Lombak Barat dan Lombok Timur di NTB dan
beberapa kabupaten lainnya. Misalnya saja di Muara Jambi, ternyata ketika
terdapat permintaan kepada kepala desa untuk menyerahkan laporan
tentang produk peraturan yang telah dibuat sebagian besar dari mereka tidak
menyerahkan. Dikatakan oleh Asisten III bidang Administrasi sebagai berikut :
“Kalau sekedar tidak atau belum menyerahkan barangkali itu adalah masalah teknis saja, tapi yang kami khawatirkan, jangan-jangan justru memang tidak ada satu peraturan yang telah dibuat, sehingga isunya bukan pada teknis penyerahannya, tapi karena memang tidak ada yang bisa diserahkan”.
Yang menarik untuk dicermati yakni kemampuan dalam pengambilan
keputusan, karena dipastikan bahwa setiap kepala desa melakukan hal ini.
Dan keputusan yang diambil tentu berbeda dari sisi substansi karena sangat
tergantung dengan persoalan yang dihadapi oleh masing-masing kepala desa.
Begitu pula dalam proses dan mekanismenya, terdapat banyak varian yang
diterapkan. Sekalipun mayoritas diantara mereka mengakui bahwa metode
musyawarah dengan melibatkan sebanyak mungkin pihak terkait merupakan
suatu keharusan yang ditempuh, agar keputusan yang dihasilkan tidak
mendapat pertentangan dari masyarakat.
113
123
Bahkan sebagian diantara kepala desa sudah menerapkan metode
pengambilan keputusan berdasarkan asas manajemen modern. Misalnya
membuat peringkat terhadap urgensi dan derajat kemanfaatan suatu
program terkait dengan pembangunan desa. Meminta masukan dengan cara
memanggil semua pihak, mulai dari tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh
agama, BPD, pengurus RT dan RW, Guru-Guru sekolah, pemuda, bahkan ada
pula yang mendatangkan tenaga ahli di salah satu bidang sesuai dengan
perencanaan pembangunan desa. Dalam konteks yang satu ini, nampak
adanya kesadaran bagi kepala desa untuk memastikan bahwa putusan yang
akan diambil setidaknya sudah mendapat pertimbangan dari berbagai pihak,
sekaligus dapat mengukur tingkat penerimaan masyarakat manakala
keputusan yang dibuat itu akan direalisasikan.
Memang masih terdapat beberapa masalah, sekalipun tidak dinyatakan
secara terbuka, seperti terkadang ada keputusan yang dibuat tidak
berdasarkan pada kepentingan masyarakat, tidak melalui proses
musyawarah, dan terkesan bahwa keputusan yang diambil sarat dengan
kepentingan kepala desa atau kerabat dekat yang besangkutan. Padahal
dalam pengambilan keputusan seharusnya dilakukan berdasarkan
kepentingan masyarakat yang lebih luas tanpa memandang ras, suku, agama,
dan hubungan kekeluargaan.
Selanjutnya, dalam aspek negosiasi dan manajemen konflik. Dua aspek
ini pada dasarnya tidak dapat dipisahkan secara tegas karena seperti
diketahui bahwa dalam manajemen konflik dibutuhkan kemampuan
negosiasi. Keduanya pun harus melekat pada diri apatur desa, karena
menjadi faktor pendukung dalam berbagai pemecahan setiap persoalan yang
berkembang di masyarakat. Bahkan kedua kemampuan ini sangat membantu
dalam proses pengambilan keputusan.
Terlepas dari lima aspek di atas, pendapat dari bagi banyak pihak
termasuk dari para kepala desa sendiri bahwa seorang kepala desa harus
114
124
memiliki sifat-sifat, diantaranya (i) ketegasan, kejujuran, terbukaan, adil,
bijaksana, kedisiplinan, bertanggung-jawab, memiliki jiwa sosial dan
bermasyarakat. Dan terpenting lagi adalah bisa memberi rasa aman dan
tentram bagi masyarakat.
Disamping itu seorang kepala desa juga harus patuh pada larangan
yang digariskan oleh aturan perundangan seperti tertuang dalam PP 72 tahun
2005 tentang Desa pasal 16 mulai dari (i) larangan menjadi pengurus partai
politik; (ii) merangkap jabatan sebagai Ketua dan/atau Anggota BPD, dan
lembaga kemasyarakatan di desa yang bersangkutan; (ii) merangkap jabatan
sebagai Anggota DPRD; (iv) terlibat dalam kampanye pemilihan umum,
pemilihan presiden, dan pemilihan kepala desa; (v) merugikan kepentingan
umum, meresahkan sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan warga
atau sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan warga atau golongan
masyarakat lain; (vi) melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme, menerima
uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi
keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; (vii) menyalagunakan
wewenag, dan (viii) melanggar sumpah/janji jabatan.
2. Permasalahan
Berdasarkan data lapangan yang ada, ditemukan beberapa kendala
yang dihadapi dalam keberhasilan kepemimpinan oleh aparatur desa.
Kendala-kendala pada dasarnya dapat dilihat dari dua sisi, yakni internal dari
unsur aparatur desa itu sendiri dan eksternal yang berasal dari luar. Dari
lingkup internal ditemukan beberapa masalah diantaranya;
a. Masalah pengetahuan dan pemahaman aparatur desa dan ini sangat
terkait dengan tingkat pendidikan.
b. Kedisiplinan, sebagaimana dikatakan oleh satu nara sumber sebagai
berikut “… yang perlu kami tambahkan, terutama tentang masalah
kedisiplinan, dimana kepala desa harus punya disiplin sehingga semua
115
125
aparatur, terutama yang ada dibawahnya dapat mengikuti sikap
pimpinan”.
c. Kemampuan untuk bersikap profesional, terutama dalam mensikapi
suatu persoalan atau usuran yang di tengah masyarakat. Dalam konteks
ini kepala desa diharpakn bisa membedakan mana yang urusan bersifat
dinas, mana yang kekeluargaan, dan mana yang urusan kemasyarakatan.
d. Kurang harmonisnya hubungan antar aparatur desa sendiri, seperti
hubungan kepala desa dengan aparat dibawahnya sehingga roda
pemerintahan desa mengalami kepincangan.
e. Rendahnya insentif bagi aparatur desa. Seperti diungkapkan peserta
diskusi berikut, “… kami juga priahatian dengan adanya keterbatasan
insentif untuk aparat desa. Mohonlah insentif aparat desa ini disesuaikan
coba bapak bisa banyangkan, kami hanya mendapat 200ribu perbulan.
Bagaimana kami bisa hidup dan bekerja dengan tenang dengan
pengasilan yang sangat terbatas”.
Sementara masalah yang datang dari luar lingkup aparatur desa
diantaranya;
a. Rendahnya kesadaran masyarakat tentang arti penting pembangunan
desa dan ini menghambat realisasi program-program desa.
b. Pola pikir masyarakat yang relatif tertinggal dibanding dengan
masyarakat perkotaan.
c. Rendahnya tingkat pendidikan dan sempitnya wawasan, pengetahuan
masyarakat desa.
d. Kondisi ekonomi sebagian masyarakat desa yang relatif memprihatinkan,
dimana sebagian diantara mereka masuk dalam kategori masyarakat
miskin.
e. Masalah karakteristik atau sosial budaya anggota masyarakat yang
beragam.
116
126
3. Kebutuhan Pengembangan Kepemimpinan Desa
Adapun saran-saran yang berkembang baik dalam forum diskusi
maupun dalam wawancara terkait dengan peningkatan kapasitas
penyelenggaraan pemerintahan desa, diantaranya;
a. Terkait dengan substansi materi, khususnya mengenai kepemimpinan
desa, agar ditambahkan pengetahuan dan pemahaman teoritik mengenai
adat istiadat dan sosial budaya yang berkembang di daerah, khususnya di
wilayah pedesaan. Seperti dikatakan oleh seorang kepala desa berikut;
“Bahwa memimpin suatu desa tidak saja harus mengacu pada teori-teori
yang ada begitupula dengan mengacu dengan peraturan-peraturan yang
ada. Karena sesungguhnya kita tidak saja dilantik sebagai kepala desa,
tapi juga kepala Adat, sekaligus sebagai Bapak Penguhulu. Artinya kita
juga dituntut untuk memahami adat istiadat setempat”.
b. Dalam modul diperlukan adanya trik-trik khusus yang dapat dijadikan
refrensi bagi aparatur desa dalam mensikapi masalah yang muncul di
masyarakat. Sekalipun diyakini bahwa belum tentu masalah yang ada
akan sama dengan masalah yang terjadi di desa lainnya. Akan tetapi
setidaknya trik-trik yang pernah ditempuh dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan bagi mereka.
c. Perlu diadakan pelatihan yang berkelanjutan terkait peningkatan
kapasitas penyelenggaran pemerintahan desa. Seperti bimbingan teknis
dari pemerintah tentang manajemen kepemimpinan, administasi.
d. Perlu bimbingan atau pendampingan dalam pelaksanaan tugas dari
pemerintah diatasnya, baik dari pemerintah tingkat kecamatan,
kabupaten, maupun provinsi. Bahkan bila memungkinkan dari
pemerintah pusat, seperti yang dilakukan oleh LAN.
e. Perlu diadakan studi banding ke beberapa desa yang dinilai sudah
berhasil dalam manajemen penyelenggaraan pemerintahan desa.
117
127
f. Perlu menjaga hubungan yang harmonis baik dengan perangkat desa
lainnya, seperti Sekretaris Desa, Kaur, Pihak RT dan RW, BPD, tokoh
masyarakat (adat) dan tokoh agama.
g. Perlu perhatian serius dalam hal insentif bagi aparatur desa, agar mereka
bisa bekerja maksimal sesuai dengan tugas dan fungsinya.
h. Sekretaris desa yang belum diangkat menjadi PNS agar diperhatikan bila
memungkinkan seluruh Sekdes dapat diangkat menjadi PNS.
E. MANAJEMEN PELAYANAN DESA
Kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik pusat
maupun daerah dalam bentuk barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan
kebutuhan masyarakat harus sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Tuntutan diatas harus dihadapi setiap pemerintah daerah, terutama
pemerinah kabupaten/kota yang merupakan ujung tombak pelaksanaan asas
desentralisasi sebagai daerah otonom yang mandiri dan memiliki kewenangan
penuh untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Jika tidak mampu beradaptasi
dengan perubahan, maka kabupaten/kota tidak akan mampu memenuhi harapan
serta kebutuhan rakyat yang berdomisili di wilayahnya.
Semua itu menunjukkan betapa pentingnya penyelenggaraan pelayanan
yang baik dan memuaskan diwujudkan dan menjadi perhatian utama pemerintah
di era sekarang ini, era reformasi otonomi daerah. Kinerja pelayanan publik
menjadi salah satu dimensi yang strategis dalam menilai keberhasilan
pelaksanaan otonomi daerah dan reformasi tata pemerintahan. Semakin tinggi
kepedulian tata pemerintah yang baik (good governance), kinerja pelayanan
publik akan semakin baik.
1. Gambaran Pelaksanaan Manajemen Pelayanan Desa
Dalam konteks otonomi daerah, harus mempunyai kewenangan untuk
mengatur dan mengurus urusan-urusan yang berkaitan dengan kedua
kelompok kebutuhan tersebut di atas. kebutuhan dasari seluruh daerah
118
128
otonom di Indonesia sama, hanya besaran kebutuhannya saja yang berbeda.
Sedangkan kebutuhan pengembangan sektor unggulan sangat erat kaitannya
dengan potensi, karakter, pola pemanfaatan dan mata pencaharian
penduduknya. Dengan demikian yang membedakan jumlah, jenis urusan dan
kewenangan antar daerah adalah urusan pilihan yang berkaitan dengan
kewenangan pengembangan sektor unggulan. Dengan demikian, merupakan
suatu hal yang sangat krusial tentang bagaimana mendistribusikan
kewenangan untuk menjamin pemberian pelayanan mendistribusikan
kewenangan untuk menjamin pemberian pelayanan ke dalam susunan
pemerintahan yang ada, yaitu pusat, provinsi, kota/kabupaten. Dimana dalam
konteks pemberian otonomi dan desentralisasi, hakekatnya terletak pada
membagi tanggung jawab pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
susunan pemerintahan. Sebelum sampai pada pembahasan wewenang desa,
lebih dahulu harus dilihat bagaimana azas pengaturan desa, dan .bagaimana
kedudukan bila dikaitkan dengan azas pengaturan desa tersebut
Fungsi penting pemerintah desa adalah untuk memuaskan kebutuhan
masyarakat desa akan pelayanan publik. Oleh karena itu pemerintah desa
harus mendapat wewenang yang cukup luas, atau setidak-tidaknya tanggung
jawab tertentu. Desentralisasi kewenangan dari kabupaten ke desa adalah
transfer tanggung jawab perencanaan, manajemen, dan peningkatan serta
alokasi sumber daya dari pemerintah kabupaten kepada pemerintah desa.
Bentuk desentralisasi dari kabupaten (daerah) ke desa yang paling sesuai
adalah devolusi karena desa juga sifatnya otonom.
Indikator utama untuk menilai sejauhmana suatu kepemerintahan
apakah sudah berjalan dengan baik (good governance) adalah dengan
melihat pada kualitas pelayanan publiknya. Beberapa peraturan perundangan
yang menjadi acuan dalam peningkatan pelayanan publik sampai ke tingkat
Desa, antara lain:
1. UU No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah 2. UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanana Publik
119
129
3. Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005, tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM
4. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007, tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintahan, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
5. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007, tentang Organisasi Perangkat Daerah
6. Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007, tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah
7. Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa 8. Permendagri No. 24 Tahun 2006, tentang Pelayanan Terpadu
Satu Pintu 9. permendagri No. 30 Tahun 2006 tentang Tata Cara penyerahan
Urusan Pemerintah Kabupaten/Kota Kepada Desa 10. Permendagri No. 6 Tahun 2007, tentang Petunjuk Teknis
Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimum 11. Permendagri No. 79 Tahun2007, tentang Petunjuk Penyusunan
Rencana Pencapaian SPM 12. Kepmenpan No. 63 Tahun 2003, tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik 13. Kepmenpan No. 25 Tahun 2004, tentang Pedoman Umum
Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat 14. Unit Pelayanan Instansi Pemerintah 15. Perda SK Bupati/Walikota tentang pelayanan publik (di daerah
bersangkutan) 16. Dokumen RPJMD, Renstra dan Renja SKPD terkait (di daerah
bersangkutan) 17. Kriteria Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Kriteria
penyelenggaraan pelayanan publik yang baik, sesuai Kepmenpan No. 25 Tahun 2004, tentang Pedoman Umum
18. Peraturan Desa (di daerah yang bersangkutan)
Sementara itu, penekanan yang berbeda dikeluarkan oleh Komisi
Hukum Nasional, yang mengemukakan pengertian layanan publik sebagai :
”suatu kewajiban yang diberikan oleh konstitusi atau undang-undang kepada
pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara atau penduduk
atas suatu layanan (publik)”. Di sini penekannya adalah pada adanya
kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan umum kepada
warga negara dengan berbagai cara yang terbaik. Ada dua dasar yang
melatarbelakangi penyelenggaraan pelayanan publik yakni :
120
130
Upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat (permintaan/demand) atas
pelayanan
Upaya penataan ketentuan peraturan perundang-undangan (kewajiban
negara/pemerintah beserta aparaturnya dan menjadi hak masyarakat)
Upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat di bidang pelayanan ini di
tingkat desa terutama sering mengalami kendala, realitas yang ada bahwa
banyak ragam persoalan yang dihadapi dua aspek; yaitu aspek kultural-
geografis dan aspek struktural. Di mana masalah-masalah tersebut
merupakan masalah historis yang bersifat kausalitas sehingga berdampak
pada ketidakberdayaan desa. Sejauh pengamatan yang dilakukan ada
beberapa faktor penyebab keterbelakangan desa terutama di luar Jawa
Pertama, keterbatasan jumlah staff pemerintah desa yang bertanggungjawab
untuk pemerintahan desa sementara pada sisi lain jumlah desa/kelurahan
dari tahun ke tahun cenderung meningkat dengan masalah ikutannya yang
juga meningkat dan kompleks. Kedua, mobilitas staff pemerintahan yang
terbatas (kuantitas maupun kualitas) berpengaruh pada fungsi kendali kontrol
terhadap pelaksanaan pemerintahan desa yang rendah. Ketiga, kuantitas dan
kualitas pendampingan, pelatihan dan monitoring perkembangan desa yang
rendah berpengaruh kepada efektifitas dan efisiensi intervensi program.
Akibatnya program tidak berdampak signifikan pada pemberdayaan
pemerintahan desa sehingga perjalanan tata pemerintahan desa seolah-olah
tanpa visi dan misi yang terarah. Keempat, keterisolasian desa yang tinggi
berpengaruh pada aksesibilitas pemukiman penduduk terhadap pusat-pusat
fasilitas publik sehingga menimbulkan kesenjangan pelayanan publik. Kelima,
kualitas dan kompetensi SDM desa yang masih rendah dan terbatas
berpengaruh pada produktifitas dan kreatifitas aparat desa. Keenam, posisi
dan ketokohan lokal yang dominan masih menjadi referensi dalam berbagai
pengambilan kebijakan baik bersifat kultural maupun formal berdampak pada
121
131
sistem pemerintahan desa lebih didominasi semangat feodalisme dan
clientalisme.
Kendala –kendala ini lah yang menyebabkan sebagian besar desa di
Indonesia terutama di daerah lokus kajian ini mengalami kesulitan untuk
mengembangkan pelayanan publik di desanya. Hal lain yang kurang
mendukung adalah kurang berpihaknya pemerintah daerah baik Provinsi
maupun Kabupaten untuk memberikan sebagian besar urusan Kabupaten
kepada Desa seperti yang diungkapkan narasumber dari BPMD Provinsi Nusa
Tenggara Barat
“Buktinya banyak hal-hal, misalnya seperti yang td dikatakan dari 224 item itu belum sampai 10 persen diserahkan penanganannya oleh desa tapi ditangani oleh kabupaten yang mana pelayananannya jauh dari komunikasi, jauh dari masyarakat. Kenapa tidak pelayanan itu kita serahkan saja kepada desa sehingga terjadi hal-hal dari segi social budaya. Dari segi social budaya kita ada kearifan-kearifan local yang dulu pernah berkembang di desa, misalnya menyelesaikan sengketa, sekarang ini sampai Mahkamah Agung. Bisa diselesaikan dengan kearifan lokal di tingkat desa. Belum lagi yang lain seperti surat kenal lahir misalnya, harus ke kabupaten. Kabupaten yang menerbitkan surat kenal lahir padahal lahir di desa. Ijin-ijin mendirikan bangunan misalnya, ada peraturan-peraturan tidak boleh membangun di bantaran sungai atau pinggir jalan misalnya, tapi kepala desa nggak mau tahu karena kepala desa tidak diberikan wewenang mengatur hal itu di tingkat desa. Itu diatur sama kabupaten. Padahal hal-hal semacam itu yang paling cepat yang paling tahu yang paling dekat dengan masyarakatnya itu kepala desa. Dia bisa melarang, menyetujui. Ini tidak diberikan hak. Sering dikatakan ini belum siap. Bagaimana akan siap kalau tidak diberi tahu. bagaimana akan siap kalau tidak diberikan hak kepala desa-kepala desa itu. Jadi menurut saya pelatihan-pelatihan itu harus sesuai dengan pemberian-pemberian haknya itu yang dibarengi dengan pelatihan-pelatihan yang ada”
Penjelasan narasumber ini mengarah pada permasalahan yang terkait
dengan tingkat kepercayaan Pemerintah Kabupaten kepada Desa. Kendala
yang berhubungan dengan kualitas sumber daya manusia aparatur desa yang
122
132
belum mampu atau siap melaksanakan urusan yang akan diserahkan.
Menurutnya juga apabila aparatur desa itu diberi kesempatan dan dukungan
sarana dan prasarana, anggaran dan pelatihan-pelatihan tentu hal ini akan
membantu mereka dalam melayani masyarakatnya. Karena aparatur desa
merupakan pihak yang lebih dekat kepada masyarakat.
Bila aparatur desa ini tidak diberi kesempatan dan kekuasaan untuk
melaksanakan urusan yang berhubungan dengan pelayanan kepada
masyarakat tentu akan menyulitkan masyarakat sendiri. Sedangkan banyak
aspek kehidupan masyarakat yang memerlukan pelayanan dan bantuan dari
pemerintahan desa. Berikut jenis-jenis pelayanan kepada masyarakat yang
biasanya memerlukan bantuan aparatur desa :
Tabel.4.2 Jenis-Jenis Pelayanan Publik di Desa
No Jenis Pelayanan Keterangan
1 Pelayanan administrasi Nikah, Talak, Rujuk dan Cerai;
b. Pembuatan Kartu Tanda Penduduk;
c. Surat Keterangan Kelakuan Baik;
d. Surat Keterangan KTP Sementara;
e. Surat Keterangan Membawa Hasil Bumi;
f. Surat Keterangan Jual Beli Hewan/Potong Hewan Besar;
g. Surat Keterangan Ijin Mendirikan Bangunan;
h. Surat Keterangan Domisili;
i. Surat Keterangan Usaha;
j. Surat Pengantar Naik Haji;
k. Surat Keterangan Pindah Alamat;
Pembuatan Kartu Tanda Penduduk;
Legalisasi Surat-surat;
Pembuatan Akta Kelahiran
2 pelayanan di bidang pemerintahan, kesehatan, pendidikan, usaha dsb
pelayanan pengayoman kepada masyarakat
123
133
Sementara itu berdasarkan Keputusan Menpan Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik maka pelayanan publik dikelompokkan sebagai berikut :
Kelompok Pelayanan Administratif : seperti penerbitan bukti-bukti
kewarganegaraan (akta kelahiran, KTP, pasport), sertifikat pengakuan
atas kecakapan (kompetensi) tertentu warga yang menerimanya (ijazah,
sertifikat, diploma, lisensi).
Kelompok Pelayanan Barang, adalah pelayanan yang menghasilkan
barang tertentu yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Misalnya : jalan
raya, gedung sekolah, tempat tempat pengobatan, dan pemeliharaan
kesehatan, terminal,jaringan telepon, jaringan telepon, jaringan
penyaluran tenaga listrik, jaringan air bersih dan sejenisnya.
kelompok Pelayanan jasa : adalah pelayanan yang menghasilkan produk
jasa tertentu yang diperlukan oleh masyarakat. Misalnya
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, pemeliharaan,kesehatan dan
pengaturan lalu lintas.
Prinsip-prinsip pelayanan publik sebagaimana tercantum dalam
tercantum dalam Keputusan Menpan Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, adalah sebagai berikut:
a. kesederhanaan: prosedur pelayanan tidak berbelit-belit, mudah
dipahami, dan mudah dilaksanakan.
b. Kejelasan, dalam hal: persyaratan teknis dan administratif pelayanan
publik, unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam
memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa
dalam pelaksanaan pelayanan publik; rincian biaya pelayanan publik dan
tata cara pembayarannya.
c. Kepastian waktu: pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam
kurun waktu yang telah ditentukan.
d. Akurasi: produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah.
124
134
e. Keamanan: proses dan produk pelayanan publik memeberikan rasa aman
dan kepastian hukum.
f. Tanggungjawab: pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat
yang ditunjuk bertanggungjawb atas penyelenggaraan pelayanan dan
penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.
g. Kelengkapan sarana dan prasarana kerja: peralatan kerja dan pendukung
lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi
telekomunikasi dan informatika (telematika)
h. Kemudahan akses: tempat dan lokasi sarana prasarana pelayanan yang
memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan
teknologi telekomunikasi dan informasi.
i. Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan: pemberi pelayanan harus
bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah serta memberikan pelayanan
dengan ikhlas.
j. Kenyamanan: lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan
ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapih, lingkungan yang indah dan
sehat, serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti
parkir, toilet, tempat ibadah, dan lainnya.
Selain pola pelayanan yang disebutkan di atas, instansi pemberi layanan
dapat mengembangkan pola penyelenggaraaan pelayanan sendiri dalam
rangka upaya menemukan dan menciptakan inovasi peningkatan pelayanan
publik. Pengembangan pola penyelenggaraan pelayanan publik dimaksud
mengikuti prinsip-prinsip sebagaimana ditetapkan dalam pedoman pelayanan
publik yang telah ditetapkan pemerintah. Salah satu contoh inovasi dalam
bidang pelayanan di desa adaalah DESA SIAGA, Seperti Desa Siaga Puskesmas
Tawang Sari Kabupaten Sukoharjo.
Desa Siaga Ialah suatu kondisi masyarakat tingkat desa / kalurahan
yang memiliki sumber daya potensial dan kemampuan mengatasi masalah –
125
135
masalah kesehatan , bencana, kegawat daruratan kesehatan secara mandiri.
Ada 4 pilar kegiatan di desa siaga yaitu :
1. Pemberdayaan / gotong royong Mis : pembuatan SPAL, PSN
2. Pengamatan / surveylans epidemiologi Mis : kasus demam berdarah
3. Upaya –upaya kesehatan / pelayanan kesehatan dasar Yaitu
terbentuknya PKD sebagai tempat pelayanan kesehatan dasar yang
memberikan pelayanan kesehatan sesuai kewenangan.
4. Pembiayaan Kesehatan Mis : Dana shat, Jimpitan, dana sehat iuran RT
Ada 4 masalah Kesehatan yaitu ;
1. Adanya kematian bayi
2. Adanya kematian ibu
3. Adanya gizi kurang / buruk
4. Adanya wabah / kejadian luar biasa suatu penyakit
LANGKAH –LANGKAH KEGIATAN DIDESA SIAGA :
1. PTD ( Pertemuan Tingkat Desa ) PTD merupakan langkah awal dari
kegiatan desa Siaga , sudah dilaksanakan bulan Maret 2009 diseluruh
wilayah Kecamatan Tawangsari.
2. SMD (Survey Mawas Diri ) Ialah kegiatan pengenalan pengumpulan ,
pengkajian masalah kesehatan oleh sekelompok masyarakat setempat
dibawah arahan petugas kesehatan / Bidan.Sudah dilaksanakan bulan
April – Mei 2009 dengan dana Bansos.
3. MMD ( Musyawarah Masyarakat Desa ) Ialah pertemuan seluruh warga
desa membahas hasil SMD dan merencanakan penanggulangan masalah
kesehatan yang diperoleh dari hasil SMD. Pelatihan Kader Merupakan
kegiatan dalam rangka mempersiapkan kader agar mampu dan berperan
serta dalam mengembangkan desa siaga dan PKD.
Tujuan akhir Desa Sehat dan Desa Siaga : Memandirikan masyarakat
dalam bidang kesehatan Kompetensi pada desa siaga dan desa sehat :
1. Melakukan pengamatan penyakit , gizi , kesehatan lingkungan dan prilaku
126
136
2. masyarakat dalam rangka survey mawas diri.
3. Melakukan Musyawarah Masyarakat Desa dalam penggalangan
komitmen Desa
4. Siaga.
5. Melakukan pelayanan kesehatan produktif dan preventif.
6. Melakukan administrasi Desa Siaga.
7. Menggalang jejaring kemitraan potensi yang ada di desa ( LSM , Swasta
,Organisasi
8. didesa PKK , Karang Taruna dll ).
9. Menerapkan tehnologi tepat guna sesuai dengan potensi yang ada.
10. Menggali pembiayaan kesehatan berbasis masyarakat.
11. Mengelola upaya kesehatan berbasis masyarakat.
Kemudian juga ada Strategi Pengembangan Desa Siaga yang terdiri dari
kegiatan sebagai berikut :
* Penggalangan komitmen Visi dan Misi desa siaga.
* Penggerakan peran serta masyarakat.
* Pengembangan potensi sumber daya masyarakat.
* Pembinaan lintas program dan dan lintas Sektoral
Setiap Bulan Pokja Desa Siaga mengadakan pertemuan membahas
kegiatan Pokja Desa Siaga berupa pengisian buku kerja Pokja Desa Siaga ,
Arisan , dan tabungan kader. Setiap triwulan pembinaan oleh TIM Promkes
Puskesmas kalau bisa ada kunjungan balasan antar desa / Pokja Desa Siaga
memaparkan hasil perkembangan ke semua desa Pokja Desa Siaga. Tenaga
SDM kesehatan Desa Siaga : Tenaga kesehatan yang diprioritaskan adalah
bidan desa dengan tambahan kompetensi di bidang pelayanan kesehatan
dasar, sedangkan tenaga kesehatan lainnya cukup berada di Puskesmas dan
Puskesmas Pembantu (Pustu) sebagai Tim Pembina Desa.
127
137
Sumber : Kebijakan Pengembangan Desa Siaga
2. Permasalahan yang dihadapi
a. Kebijakan Manajemen Pelayanan Desa
Ditingkat kabupaten/kota Infrastruktur dan sumber daya yang
mencukupi diharapkan sebagai modal utama dalam pemberian pelayanan
publik yang baik Namun hal lain yang pentingnya mungkin yang lebih
menantang adalah kerangka kelembagaan bagi pelayanan publik. Di
Indonesia, keterbatasan kelembagaan menjadi kendala besar bagi
pelayanan publik yang sukar diatasi, seperti digambarkan di bawah ini.
Meskipun peraturan perundangan di era tahun 1999 telah melimpahkan
urusan dan kewenangan begitu besar atas manajemen dan pelaksanaan
pelayanan publik bagi pemerintah daerah, kurang konsistennya kerangka
hukum dan peraturan perundangan bagi desentralisasi pemerintahan
membuat pemerintah kabupaten/kota harus berjuang untuk
merumuskan serta melaksanakan peran dan tanggungjawabnya. Hal ini
P1 TIM PEDOMAN/ PERATURAN
P2 PEMILIHAN DESA PENGADAAN SDM
P3
PENGAWASAN PEMANTAUAN DAN EVALUASI
MANAJEMEN
TUGAS/PERAN MASING-MASING UNIT KES DAN STAKEHOLDERS LAIN SESUAI TK ADMINISTRASI (MEMPERTAHANKAN UU PEMERINTAHAN DAERAH
KONSEP DAN
KEBIJAKAN DESA SIAGA
PELAKSANAAN KONSEP KEBIJAKAN DESA SIAGA
128
138
mempersulit perencanaan dan anggaran dan seringkali menyebabkan
semacam kelumpuhan, dimana tidak berbuat apa-apa dianggap lebih
aman daripada melakukan tindakan tertentu. Pemerintah
kabupaten/kota yang terperangkap dalam status perundangan yang tidak
jelas seperti ini pada umumnya tidak proaktif dalam mengarahkan
pengembangan daerah dan manajemen pelayanan publik.
Reformasi pelayanan publik yang sepotong-sepotong saat ini
melanggengkan inefiesiensi birokrasi. Orang begitu berminat atas
kedudukan di pemerintah daerah, tetapi karena kenaikan pangkat tidak
didasari sistem meritokrasi, mereka kehilangan semangat untuk
berkinerja baik. Akibatnya, banyak pegawai pemerintah tidak merasakan
perlunya reformasi dalam pelayanan publik, karena waktu mereka akan
banyak tersita tanpa imbalan kenaikan karir yang konkret dalam tugas-
tugas tersebut. Demikian juga, korupsi masih terus menjadi penghambat
bagi tata-kelola pemerintahan yang baik. Undang-undang anti korupsi
dan pelaksanaannya, termasuk reformasi pengadaan barang dan jasa
pemerintah, masih berada dalam tahap awal. Akibatnya, masyarakat
terus berhadapan dengan biaya tinggi serta inefisiensi kinerja dalam
penyediaan pelayanan publik.
Di tingkat Desa pelayanan publik didasarkan pada penyerahan
urusan yang diberikan Kabupaten kepada Desa seperti yang disebutkan
dalam Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 pada bab III Kewenangan
desa pasal 7 menjelaskan bahwa ada urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan desa yang mencakup :
a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;
b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kotayang diserahkan pengaturannya kepada desa;
c. tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah kabupaten/Kota; dan
d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangundangan diserahkan kepada desa”.
129
139
Selanjutnya pada pasal 8 menyebutkan bahwa : “Urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang
diserahkan pengaturannya kepada Desa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf b adalah urusan pemerintahan yang secara langsung dapat
meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat”. Untuk
menunjang pelaksanaan pasal 7 dan 8 pada PP No. 72 tahun 2005
tersebut telah ada Permendagri No 30 tahun 2006 yang mengatur
tentang Tata Cara Penyerahan Urusan Pemerintah Kabupaten/Kota
Kepada Desa. Namun pada pelaksanaannya di daerah tidak semua
urusan dapat langsung diberikan Kepada Desa karena beberapa alasan
yang terkait dengan kualitas sumber daya dan dukungan sarana dan
prasarana. Hal ini seperti yang diungkapkan Kepala BPMD Provinsi Nusa
Tenggara Barat pada saat Workshop Kajian Peningkatan Kapasitas
Aparatur Desa:
“Saya kira momen ini cukup baik sekali karena kita di dalam era ini memang melihat dari kondisi desa-desa kita, khususnya di Nusa Tenggara Barat berdasarkan hasil dari kami memantau melalui perlombaan desa, memang masih banyak hal yang perlu dibenahi karena kita juga sering mendengar dari Bapak Presiden, Gubernur maupun Bupati “coba kita mulai dari desa”. Karena kalau desanya maju kecamatan maju, kabupaten maju, nasional juga maju jika kita mulai dari desa. Namun selama ini tampaknya hanya slogan-slogan yang kita lihat. Kenyataannya kalau kita lihat dalam Permendagri No 30 tahun 2006 ada 224 hak-hak desa yang belum sampai 10 persen diserahkan kepada desa dari kabupaten hak-haknya. Kewenangan-kewenangan yang harus dilakukan desa itu ada 224. Kalau 31 instansi ini memberikan pembekalan-pembekalan untuk melaksanakan kewenangan itu saya rasa pemerintahan desa juga bisa maju.
Pernyataan Kepala BPMD Provinsi Nusa tenggara Barat ini juga
didukung dari pendapat aparatur desa seperti yang terdapat dalam tabel
berikut :
130
140
Tabel.4.3 Kendala Kebijakan dan Dukungan Pemerintah
No Kendala Upaya yang Ditempuh
1 Kurangya perhatian dari pemerintah daerah maupun pemerihtah provinsi dan pusat tentang kesejahteraan aparatur desa yang masih di bawah standar UMR sementara Pemerintah desa adalah ujung tombak dari sistem NKRI
Menggali potensi APBDes
2 Kurangnya partisipasi dan swadaya masyarakat dan masih minimnya bantuan dana baik dari pemda maupun pemprov
Melakukan pendekatan dan Sosialisasi kepada masyarakat tentang program yang akan kita laksanakan pentingnya partisipasi swadaya masyarakat
3 Permasalahan-permasalahan yang dihadapi adalah memenuhi keinginan masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan, karena belum adanya keseimbangan keuangan/dana yang diberikan oleh pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten
Membuat proposal untuk dimintakan kepada pihak atasan, termasuk pemerintah daerah sampai pusat
Mengarahkan masyarakat untuk bergotong royong
4 Belum mempunyai dasar hukum di tingkat desa dalam membuat kebijakan (pelayanan)
Dari tabel tersebut sebagian besar memperlihatkan bahwa
kemampuan APBDes dan dukungan anggaran yang kecil atau belum ada
mungkin tidak menjadi kendala utama untuk mendukung
penyelenggaraan tata pemerintahan desa yang baik. Tetapi yang lebih
penting dalam konteks ini lebih kepada political will dari PEMDA
setempat, apakah res-ponsif terhadap kebutuhan desa atau tidak. Kalau
pun kemampuan APBD dan PAD di rasa terbatas kiranya hal ini janganlah
dijadikan hambatan, tetapi Pemda harus memikirkan terobosan-
terobosan yang inovatif dan kreatif dalam mensiasati keterbatasan
tersebut seperti yang terjadi saat ini.
131
141
b. Prosedur Pelayanan
Prosedur pelayanan adalah rangkaian proses atau tata kerja yang
berkaitan satu sama lain, sehingga menunjukkan adanya tahapan secara
jelas dan pasti serta cara-cara yang harus ditempuh dalam rangka
penyelesaian sesuatu pelayanan. Prosedur pelayanan publik harus
sederhana, tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah
dilaksanakan, serta diwujudkan dalam bentuk bagan alir (flow chart) yang
dipampang dalam ruangan pelayanan. Dalam hal ini bagan alir sangat
penting dalam penyelenggaraan pelayanan publik karena berfungsi
sebagai:
1. Petunjuk kerja bagi pemberi pelayanan;
2. Informasi bagi penerima pelayanan;
3. publikasi secara terbuka pada semua unit kerja pelayanan mengenai
prosedur pelayanan kepada penerima pelayanan;
4. Pendorong terwujudnya sistem dan mekanisme kerja yang efektif dan
efisien;
5. Pengendali (kontrol) dan acuan bagi masyarakat dan aparat
pengawasan untuk melakukan penilaian/pemeriksaan terhadap
konsistensi pelaksanaan kerja.
Beberapa kendala yang dihadapi dalam prosedur pelayanan di desa
seperti yang didapat dalam penggalian data adalah seperti penjelasan
dalam tabel berikut :
Tabel.4.4 Kendala Prosedur Pelayanan
No Kendala Upaya yang Ditempuh
1 Ketidakmampuan masyarakat dalam memahami berbagai hal yang berhubungan dengan peraturan administrasi desa (yang terkait dengan pelayanan) (rendahnya kualitas sumber daya masyarakat)
Sosialisasi kepada masyarakat tentang peraturan desa (yang terkait dengan pelayanan)
132
142
No Kendala Upaya yang Ditempuh
2 Kurangnya memahaminya jam-jam (waktu) administrasi surat menyurat yang ingin dilayanai langsung di luar jam kantor oleh masyarakat, sehingga Kades sendiri harus berinisiatif menyediakan blanko/ format-format yang dibutuhkan seketika oleh masyarakat.
Menghimbau kepada kepala dusun agar mensosialisasikan hal ini.
3 Kendala geografis Sosialisasi kepada masyarakat tentang prosedur pelayanan.
Terkait dengan sampainya pelayanan publik kepada masyarakat ini
juga harus didukung masyarakat itu sendiri. Bila dilihat dari aspek
perkembangan daerah, akselerasi pembangunan di wilayah ini sedikit
lambat, karena medannya sulit dan pola hidup masyarakatnya yang masih
tradisional juga akan mempengaruhi tingkat aksesibilitas masyarakat
terhadap informasi yang disiapkan pemerintah. Sebaliknya masyarakat
disepanjang di Jawa merupakan masyarakat yang relatif heterogen dan
terbuka sehingga sebagian besar lebih dapat menerima informasi yang
terkati dengan kepentingan mereka. Dari aspek perkembangan daerah,
akselerasi pembangunan cukup mempengaruhi daya serap pelayanan
publik di desa. Realitas di atas membawa konsekuensi pada ragam
persoalan yang ditimbulkan dapat berbeda-beda jika dilihat dari konteks
pembangunan umumnya dan pengembangan desa khususnya.
c. Persyaratan Teknis dan Administratif Pelayanan
Segala persyaratan yang bersifat duplikasi harus dihilangkan dari
instansi yang terkait dengan proses pelayanan. Persyaratan tersebut
harus diinformasikan secara jelas dan diletakkan di dekat loket
pelayanan, ditulis dengan huruf cetak dan dapat dibaca dalam jarak
pandang minimum 3 (tiga) meter atau disesuaikan dengan kondisi
ruangan. Untuk memperoleh pelayanan, masyarakat harus memenuhi
133
143
persyaratan yang telah ditetapkan oleh pemberi pelayanan, baik berupa
persyaratan teknis dan atau persyaratan administratif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penetapan persyaratan, baik teknis maupun administratif harus
seminimal mungkin dan dikaji terlebih dahulu agar benar-benar sesuai
atau relevan dengan jenis pelayanan yang akan diberikan. Misalnya
segala persyaratan yang bersifat duplikasi harus dihilangkan yang terkait
dengan proses pelayanan. Persyaratan tersebut harus diinformasikan
secara jelas dan diletakkan di dekat loket pelayanan.
Tabel.4.5 Kendala Persyaratan Teknis Dan Administrative Pelayanan
No Kendala Upaya yang Ditempuh
1 Masih kurangnya pengertian dan pengetahuan masyarakat dalam mengurus kelengkapan administratif yang telah ditentukan.
Melakukan penyuluhan kepada masyarakat
2 Kurang sadarnya masyarakat di dalam berurusan kepada aparatur pemerintahan desa di dalam hal ketentuan-ketentuan yang sudah diberlakukan desa
Melakukan penyuluhan kepada masyarakat
melakukan penjadwalan pelayanan
memberi tugas kepada setiap aparatur desa dalan hal pelayanan.
3 Kurangnya sarana dan prasarana (seperti komputer dan ATK termasuk belum adanya Listrik di desa-desa di NTT) untuk menunjang administrasi desa.
Tetap melakukan pelayanan dengan baik
sebisa mungkin memanfaatkan sarana danprasaran yang ada untuk memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat.
Memberikan transparansi dan komunikasi yang baik akan kondisi yang ada di kantor desa
134
144
Di era yang sudah sangat berkembang ini, sarana dan prasarana
seperti komputer adalah tehnologi yang sangat membantu dalam setiap
pekerjaan terutama yang terkait dengan administrasi dan data. Di satu sisi
teknologi ini sudah memungkinkan suatu layanan umum didekatkan kepada
masyarakat, namun disisi lain berbagai komponen layanan umum yang
merupakan tugas pokok dan fungsi sektoral instansi teknis daerah pada
tingkat Kabupaten/Kota sangat terbatas terdistirbusi kepada lembaga
pemerintah terdekat kepada masyarakat, seperti Desa.Keberadaan
komputer di kantor desa menjadi kurang mendukung upaya mewujudkan
manfaat e-government sebagai salah satu media mewujudkan pelayanan
umum yang lebih baik, mudah, murah, valid dan cepat. Komputer-
komputer tersebut lebih banyak difungsikan sebagai mesin ketik dan
mengelola kepentingan stand alone office biasa.
Namun yang menjadi kendala, selain jumlahnya terbatas karena
anggaran yang tersedia, pengoperasian komputer juga bergantung pada
kemampuan sumber daya manusia aparatur desa yang melaksanakan
pelayanan.
d. Pejabat yang Berwenang dan Bertanggung Jawab
Pejabat/petugas yang berwenang dan bertanggung jawab
memberikan pelayanan dan atau menyelesaikan keluhan, persoalan dan
sengketa, diwajibkan memakai tanda pengenal dan papan nama di meja
atau tempat kerja petugas. Pejabat atau petugas tersebut harus
ditetapkan secara formal berdasarkan Surat Keputusan atau Surat
Penugasan dari pejabat yang berwenang. Pejabat atau aparat yang
memberikan pelayanan dan menyelesaikan keluhan harus dapat
menciptakan citra positif terhadap penerima pelayanan dengan
memperhatikan:
135
145
1. Aspek psikologi dan komunikasi, serta perilaku melayani,
2. Kemampuan melaksanakan empati terhadap penerima pelayanan,
dan dapat merubah keluhan penerima pelayanan menjadi senyuman,
3. Menyelaraskan cara penyampaian layanan melalui nada, tekanan dan
kecepatan suara, sikap tubuh, mimik dan pandangan mata,
4. Mengenal siapa dan apa yang menjadi kebutuhan penerima
pelayanan,
5. Berada di tempat yang ditentukan pada waktu dan jam pelayanan.
Kendala yang dihadapi yang terkait dengan sumberdaya aparatur
desa yang melaksanakan pelayanan publik di desa, diantaranya seperti
yang terdapat dalam tabel berikut :
Tabel.4.6 Pejabat Yang Berwenang Dan Bertanggung Jawab
No Kendala Upaya yang ditempuh
1 Tidak harmonisnya hubungan aparatur desa (Pemerintah Desa dan BPD) sehingga menyulitkan terciptanya pelayanan yang baik kepada masyarakat
Dengan musyawarah dan mufakat yang melibatkan aparatur desa dan semua lapisan masyarakat dalam forum tersebut
2 Rendahnya kualitas sumber daya aparatur
Melakukan koordinasi dengan instansi yang terkait untuk mensosialisasikan pelayanan publik disesuaikan dengan adat istiadat budaya di wilayah itu sendiri.
berupaya menambah wawasan dan pengetahuan yang berkaitan dengan pelayanan dengan cara misalnya : ikut pelatihan, seminar, kursus dan lain-lain.
3 Rendahnya anggaran untuk penghasilan aparatur desa
136
146
e. Standar Pelayanan Publik
Setiap unit pelayanan instansi pemerintah wajib menyusun Standar
Pelayanan masing-masing sesuai dengan tugas dan kewenangannya, dan
dipublikasikan kepada masyarakat sebagai jaminan adanya kepastian bagi
penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran kualitas
kinerja yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang
wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan. Hal ini pula
yang disampaikan aparatur desa dalam workshop yang dilaksanakan di
Provinsi Jambi :
Pernyataan Kelompok V Workshop Batanghari, Provinsi Jambi: “Dalam hal Manajemen Pelayanan, kami berpandangan bahwa semua point yang ada kami anggap penting. Namun perlu kami sampaikan bahwa perlu kiranya ditambahkan, terutama terkait dengan (i) perlu adanya aturan dan prosedur yang jelas, agar dalam hal pelayanan bisa efektif dan efesien. (ii) kami juga memerlukan tip-tip (trik-trik) dalam menghadapi masyarakat agar tidak keluar dari aturan-aturan perundangan yang ada”.
Harapan mereka ini merupakan juga masalah yang mereka hadapi
dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakatnya, selain kebijakan
yang belum mendukung juga kendala internal dan eksternal yang mereka
hadapi. Kendala internal seperti anggaran yang kurang mendukung juga
kualitas sumber daya manusia aparatur desa yang melaksanakan
pelayanan sedangkan kendala eksternal adalah kualitas sumber daya
manusia masyarakat untuk dapat menerima informasi selain kendala
geografis yang membuat pelayanan menjadi sulit dijangkau.
Untuk Itu standar pelayanan yang ditetapkan hendaknya realistis,
karena merupakan jaminan bahwa janji/komitmen yang dibuat dapat
dipenuhi, jelas dan mudah dimengerti oleh para pemberi dan penerima
pelayanan. Dan untuk memenuhi kebutuhan informasi pelayanan kepada
masyarakat, setiap unit pelayanan instansi pemerintah wajib
mempublikasikan prosedur, persyaratan, biaya, waktu, standar, akta/
137
147
janji, motto pelayanan, lokasi serta pejabat/petugas yang berwenang dan
bertanggung jawab sebagaimana telah diuraikan di atas. Publikasi dan
atau sosialisasi tersebut di atas dilakukan melalui, antara lain, media
cetak (brosur, leaflet, booklet), media elektronik (website, home-page,
situs internet, radio, televisi), media gambar dan atau penyuluhan secara
langsung kepada masyarakat
3. Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Manajemen Pelayanan Publik
Penyelenggaraan pemerintahan desa menuntut perubahan perilaku
aparatur yang mencakup kelembagaan, manajemen dan sumberdaya
manusia untuk menampung dan mengimbangi berbagai perkembangan yang
terjadi. Hal demikian sejalan dengan tujuan pemberian otonomi desa serta
kewenangan yang luas kepada desa dalam melakukan pembangunan
daerahnya, dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
memberikan kesempatan serta peluang kepada masyarakat untuk berperan
dalam penyelenggaraan pembangunan.
Perubahan lingkungan baik sebagai dampak globalisasi, reformasi
maupun pemberian kewenangan yang luas kepada desa, terjadi pula
pergeseran dinamika kehidupan sosial budaya, ekonomi masyarakat, maka
dalam upaya menuju pelayanan publik yang prima, berbagai kebijakan telah
ditetapkan pemerintah melalui upaya perbaikan manajemen pelayanan, baik
dalam peningkatan kualitas sumber daya aparatur, maupun dalam sistem dan
prosedur pelayanan agar perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan
aparatur pemerintah desa kepada masyarakat serta peraturan
pelaksanaannya yang memberi pedoman dalam pelayanan publik.
Dengan realitas tersebut, maka tuntutan untuk menjadikan pelayanan
kepada masyarakat akan mendorong aparatur desa untuk dapat menjadi
lebih baik. Berikut harapan aparatur desa dalam workshop yang dilaksanakan
di Kabupaten Bengkulu Utara - Provinsi Bengukulu :
138
148
Workshop Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu :
“Kami mengharapkan pelatihan dan sosialisai bagi kepala desa untuk mendalami pengetahuannya dalam menjalankan tugas seperti yang terkandung dalam modul ini. Dalam pelaksanaan ini saya menghimbau dengan adanya sosialisasi dan pelatihan semacam ini sangat mendidik, diharapkam akan menambah tingkat kinerja kita ke depan, dan menambah optimalisasi pelayanan terhadap masyarakat di desa kita masing-masing, dan melakukan koordinasi kepada instansi-instansi terkait untuk merealisasikan pelayanan di desa yang disesuaikan dengan adat dan istiadat kita masing-masing”.
Implementasi kebijakan pemerintah tersebut, pelaksanaannya sangat
beragam di daerah, antara lain dengan penyederhanaan sistem dan prosedur
melalui penyempurnaan peraturan daerah atau peraturan/ Keputusan Kepala
Daerah, penetapan sistem pelayanan terpadu atau pelayanan satu atap,
pembentukan lembaga perizinan, penyediaan kotak saran atau petugas yang
khusus menangani keluhan, pengaduan dan kritik masyarakat. Dengan
pelatihan dan upaya menambah wawasan akan memotivasi untuk
mempercepat pelaksanaan pembangunan sebagai pengejawantahan
pelayanan publik kepada masyarakat.
Box. 4.7. KEBUTUHAN PENGEMBANGAN Kemampuan dalam merumuskan program-program
pelayanan Kemampuan dalam mengelola pelayanan Kemampuan memahami petunjuk maupun peraturan
undang-undang yang mendukung aparatur desa dalam memberikan pelayanan
Kemampuan teknis (mengoperasikan komputer dll) Kemampuan mengambil keputusan Kemampuan dalam melakukan kerjasama (LSM,
masyarakat, instansi terkait, pemerintah daerah) dalam pelayanan terkait
Kemampuan membuat prosedur pelayanan desa.
139
149
Secara implisit, semua harapan-harapan aparatur desa itu juga
merupakan harapan yang hendak dicapai oleh pasal-pasal dalam Undang
Undang (UU) tentang Pemerintahan Daerah no. 32/2004 terutama pada
bagian yang secara khusus melihat ihwal pemerintahan desa, terutama jika
menilik kondisi faktual kebanyakan kelembagaan pemerintahan desa saat ini
yang berada dalam situasi yang memprihatinkan secara organisasional
maupun manajerial. Sebagai unit birokrasi-pemerintahan, pemerintah desa
menghadapi persoalan keterbatasan daya-kreasi untuk menginisiasi gagasan
pembaruan. Sementara itu, sebagai unit pelayanan publik, pemerintahan
desa menghadapi keterbatasan kapasitas manajemen-administratif. Sebagai
unit representasi negara, pemerintahan desa menghadapi keterbatasan
kemandirian dalam pendanaan untuk memelihara eksistensi pemerintahan di
suatu wilayah.
140
150
BAB 5 STRATEGI PENINGKATAN KAPASITAS
APARATUR DESA
Pada bab ini akan diuraikan beberapa hal penting terkait dengan permasalahan
berikut strategi peningkatan kapasitas aparatur desa yang meliputi aspek
perencanaan dan penganggaran, penyusunan kebijakan, keuangan desa,
kepemimpinan kepala desa dan manajemen pelayanan desa.
A. PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DESA
Pada aspek perencananaan dan penganggaran desa pada Bab sebelumnya
bahwa belum semua desa menyusun dokumen-dokumen perencanaan
sebagaimana diamanatkan peraturan perundang-undangan baik UU, PP, Perda
maupun permendagri yang mengaturnya.
1. Beberapa desa hanya ternyata telah menyusun RKP Desa (tahunan), tetapi
tidak memiliki RPJM Desa (lima tahunan), hal ini ‘aneh’ karena dokumen RKP
desa seharusnya mengacu kepada dokumen RPJM Desa.
2. Pelaksanaan Musrenbang Desa (baik untuk penyusunan RPJM Desa maupun
untuk RKP Desa) ternyata tidak berlangsung secara optimal, terutama karena
dua hal, pertama minimnya kemampuan aparatur desa dalam menyusun
dokumen RKP Desa, dan kedua karena keterbatasan anggaran.
3. Adanya keterbatasan anggaran tersebut juga berpengaruh besar pada
penyusunan anggaran pendapatan dan belanja desa (APB Desa), dan tentu
saja, minimnya kemampuan aparatur desa dalam hal penyusunan anggaran
juga masih sangat dirasakan di pemerintah desa.
Dari beberapa permasalah tersebut maka strategi yang dapat diajukan
sebagai berikut :
1. Strategi yang dapat diajukan adanya upaya peningkatan
kemampuan/kompetensi aparatur desa dalam hal: (a) metode perencanaan
141
151
partisipatif, (b) analisis masalah dan potensi desa, (c) metode pemilihan skala
prioritas kegiatan, (d) penyusunan anggaran dan belanja desa, dan (e)
berkomunikasi/ berdiskusi/presentasi.
2. Strategi ini dapat ditempuh dengan melakukan: pelatihan (bimbingan teknis,
pembekalan, penataran, dll) dan non-pelatihan (studi banding, magang, dst).
Hal ini juga penting untuk menjadi perhatian pemerintah Kabupaten/Kota,
karena upaya pelatihan dan non pelatihan ini sangat memerlukan dukungan
dari pemda setempat, baik dukungan personil sebagai pendamping dan
anggaran untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut.
B. KEUANGAN DESA
Berdasarkan deskripsi mengenai pelaksanaan manajemen keuangan dan
kekayaan desa, beberapa hal yang perlu menjadi perhatian seperti berikut :
1. Pelaksanaan manajemen keuangan dan kekayaan desa dapat dikatakan
belum dapat terselenggara dengan baik . Dalam pelaksanaan perencanaan
keuangan daerah, banyak desa belum menerapkan anggaran APBD desa serta
belum dapat menentukan skala prioritas serta distribusi sumber daya dengan
baik.
2. Dalam pelaksanaan dan penatausahaan keuangan desa, administrasi desa
belum terselenggara dengan baik, pelaporan dan pertanggungjawaban
keuangan desa juga belum dilakukan dengan baik.
3. Dalam manajemen kekayaan desa, banyak dijumpai barang-barang kekayaan
desa yang belum terpelihara dengan baik serta masih adanya persoalan
dalam pembagian kekayaan desa sebagi akibat dari pemekaran desa.
4. Pengelolaan potensi desa untuk menambah pendapatan desa dapat
dikatakan juga masih belum optimal. Badan Usaha Milik Desa yang
diharapkan bisa meningkatkan pendapatan asli desa cenderung belum
terkelola dengan baik. Akhirnya, dari sisi penerimaan kapasitas keuangan
desa masih sangat bergantung dari transfer pemerintah yang ada di atasnya.
142
152
Berdasarkan kondisi empiris tentang kapasitas pelaksanaan manajemen
keuangan dan kekayaan desa beserta problematika yang berhasil dirangkum,
strategi peningkatan kapasitas aparatur desa dalam manajemen keuangan dan
kekayaan desa dapat dirumuskan sebagai berikut. :
Pertama, pada level sistem strategi yang dapat dikembangkan adalah :
Penguatan kapasitas keuangan aparatur desa dengan kewengan desa dan
memperbaiki metode pengalokasian dana desa.
Penguatan kapasitas keuangan aparatur desa melalui perbaikan sumber daya
aparatur desa melalui perbaikan rekuitmen dan manajemen aparatur desa.
Kedua, pada level organisasi strategi yang dapat dikembangkan adalah :
Peningkatan kapasitas manajemen keuangan desa melalui penguatan
BUMDes sebagai sumper penerimaan dan pengembangan ekonomi
masyarakat desa
Peningkatan kapasitas manajemen keuangan desa melalui penguatan
kerjasama antar desa dalam bidang ekonomi dan berbagai pelayanan publik.
Peningkatan sarana dan prasarana pemerintahan desa
Peningkatan mekanisme akuntabilitas desa
Ketiga pada level individu, strategi yang dapat dikembangkan adalah :
Peningkatan kapasitas aparatur desa melalui bimbingan teknis manajemen
keuangan desa yang mencakup penyusunan APBDesa, Pengelolaan ADD,
Pengelolaan Kekayaan Desa, Pengelolan BUMDes.
Peningkatan kapasitas aparatur desa melalui sosialisasi peraturan kebijakan
keuangan desa
Peningkatan kapasitas aparatur desa melalui pendampingan maupun
fasilitasi, misalnya dalam pendirian BUMDes, dan sebagainya
143
153
C. PENYUSUNAN KEBIJAKAN DESA
Aspek yang tak kalah penting adalah Kapasitas aparatur desa dalam
penyusunan kebijakan desa, berdasarkan deskripsi pada bab sebelumnya
beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah :
1. Desa masih sangat rendah, hal ini terlihat dari jumlah Kebijakan Desa yang
disusun dalam setiap tahunnya, rata-rata pemerintahan desa baru menyusun
2 (dua) Peraturan Desa, dan 1 (satu) Peraturan Kepala Desa, yakni Peraturan
Desa tentang RKPDes, dan Perdes tentang RAPBDes,dan bahkan masih
terdapat terdapat Desa yang hanya baru menyusun 1 (satu) Peraturan Desa
yakni Peraturan Desa tentang RAPBDes.
2. Dengan memperhatikan hal tersebut dapat juga disimpulkan bahwa
penyusunan Kebijakan Desa belum mencerminkan urut-urutan dari proses
penyusunan Peraturan Desa, karena Desa umumnya menyusun Perdes
tentang RAPBDes terlabih dahulu tampa terlebih dahulu menyusun Perdes
RPJMDes dan Perdes RKPDes.
3. Hal tersebut di atas, mencerminkan tingkat sosialisasi, pelatihan dan simulasi
tentang penyusunan Kebijakan Desa yang diselenggarakan oleh Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Propinsi dan Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten masih sangat
terbatas, karena keterbatasan sumber-sumber yang dimiliki oleh institusi
yang secara fungsional bertugas meningkatkan kapasitas aparatur desa,
dibanyak BPMPD Propinsi dan BPMPD Kabupaten sumber daya keuangan dan
sumberdaya manusia khususnya pejabat fungsional widyaiswara yang
mengapu Kebijakan Desa sangat terbatas bahkan tidak ada.
Dari permasalahan peningkatan kapasitas aparatur desa dalam aspek
penyusunan kebijakan desa strategi yang dapat diajukan adalah sebagai berikut :
1. Strategi utama yang perlu ditempuh adalah pemberdayaan kapasitas
kelembagaan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa
Propinsi dan Kabupaten, peningkatan kapasitas kelembagaan tersebut
144
154
meliputi aspek-aspek keuangan, dan aspek sumberdaya manusia
aparaturnya, aspek sumberdaya aparatur BPMPD yakni tersedianya pejabat
fungsional widyaiswara yang mampu untuk mengampu materi Kebijakan
Desa.
2. Strategi lain adalah perumusan wewenang yang jelas antara Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Propinsi dan Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten, sehingga
tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antara BPMPD Proppinsi dan
BPMPD Kabupaten, termasuk dalam hal perumusan materi peningkatan
kapasitas perumusan kebijakan desa.
3. Terprogramnya kegiatan pelatihan dan sosialisasi yang berkesinambungan
tentang Penyusunan Kebijakan Desa yang dilaksanakan oleh Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten.
4. Tersusunnya modul-modul yang berkaitan dengan Perumusan Kebijakan Desa
yang dilakukan oleh BPMPD Propinsi, atau BPMPD Kabupaten;
5. Tersedianya bahan-bahan refernsi yang berkaitan dengan perumusan
kebijakan desa, yang dijadikan acuan bagi pemerintah desa dalam rangka
menyusun kebijakan desa, misalnya contoh-contoh Perdes dan Peraturan
Kebijakan Desa yang dianggap memenuhi criteria oleh pemerintah daerah.
D. KEPEMIMPINAN DESA
Aspek kepemiminan desa juga memegang peranan yang penting untuk
dapat mendorong partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan di
wilayahnya. Tidak saja sebagai pemimpin, aparatur desa juga diharapkan dapat
mengayomi warganya. Berdasarkan uraian aspek kepemimpinan pada bab IV
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan desa
1. Sudah berjalan sesuai dengan tuntutan asas legalitas-formal. Setidaknya itu
terlihat dalam implementasi kepemimpinan Kepala Desa, baik aspek
Pemilihan Kepala Desa (Pilkades); maupun pada pemahaman tentang Tugas,
145
155
Wewenang dan Kewajiban dan Hak Kepala Desa. Sekalipun harus dicatat
bahwa implementasinya belum seperti yang diidealkan.
2. Banyak faktor yang dapat menjelaskan mengapa kondisi seperti ini masih
terjadi pada manajemen kepemimpinan desa, baik yang muncul dari dalam
apatur pemerintahan desa, seperti keterbatasan dalam diri kepala desa itu
sendiri maupun dari luar yang melingkupi kehidupan desa, seperti kondisi riil
masyarakat.
3. Oleh karenanya sangat disadari bahwa kebutuhan pengembagan kebutuhan
dalam rangka optimalisasi kepemimpinan desa perlu terus dilakukan. Hal
yang bersifat segera sebaiknya tidak ditunda dan persoalan yang bersifat
jangka panjang perlu penangangan yang berkelanjutan.
Beberapa hal terkait strategi pengembangan dan peningkatan kapasitas
kepemimpinan kepala desa berikut kiranya perlu mendapat perhatian, adalah
sebagai berikut :
1. Mendorong kepala desa dan aparatur desa lainnya untuk terus meningkatkan
kapasitas diri mereka dengan berbagai cara, mulai dari pelatihan, workshop,
studi banding, dan lain sebagainya agar berbagai unsur kompetensi
kepemimpinan desa dipastikan dimiliki seorang kepala desa.
2. Perlu ditanamkan pemahaman kepada kepala desa bahwa menjaga
hubungan yang harmonis baik dengan perangkat desa lainnya, seperti
Sekretaris Desa, Kaur, Pihak RT dan RW, BPD, tokoh masyarakat (adat), tokoh
agama, dan masyarakat secara keseluruhan merupakan salah satu kunci
sukses penyelenggaraan kepemimpinan desa.
3. Perlu perhatian serius dalam hal insentif bagi aparatur desa, agar mereka bisa
bekerja maksimal sesuai dengan tugas dan fungsinya. Insentif yang diterima
oleh masing-masing perangkat desa mulai dari Kepala Desa, Sekretaris Desa
(terutama dengan mereka yang berstatus PNS), dan perangkat lainnya
memenuhi asas proporsional dan rasa keadilan sehingga tidak menimbulkan
kecemburuan diantara aparatur desa.
146
156
4. Sekretaris desa yang belum diangkat menjadi PNS agar diperhatikan bila
memungkinkan seluruh Sekdes dapat diangkat menjadi PNS. Pengangkatan
mereka menjadi PNS diharapkan akan mendukung keberhasilan
kepemimpinan desa.
5. Perlu ada upaya-upaya tersendiri untuk mendorong kesadaran masyarakat
agar dapat berpatisipasi aktif mendukung program-program
pemengembagan desa, sebab diyakini bahwa tingkat partisipasi masyarakat
merupakan prasyarat yang ikut menentukan sukses tidaknya
penyelenggaraan kepemimpinan desa.
E. MANAJEMEN PELAYANAN DESA
Upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat di bidang pelayanan terutama di
tingkat desa sering mengalami kendala, realitas yang ada bahwa banyak ragam
persoalan yang dihadapi diantaranya dalam dua aspek; yaitu aspek kultural-
geografis dan aspek struktural. Dari dua aspek ini dapat disimpulkan
permasalahan sebagai berikut :
1. Keterbatasan jumlah staff pemerintah desa yang bertanggungjawab untuk
pemerintahan desa sementara pada sisi lain jumlah desa/kelurahan dari
tahun ke tahun cenderung meningkat dengan masalah ikutannya yang juga
meningkat dan kompleks. Mobilitas staff pemerintahan yang terbatas
(kuantitas maupun kualitas) berpengaruh pada fungsi kendali kontrol
terhadap pelaksanaan pemerintahan desa yang rendah.
2. Kualitas dan kompetensi SDM desa yang masih rendah dan terbatas
berpengaruh pada produktifitas dan kreatifitas aparat desa. Keenam, posisi
dan ketokohan lokal yang dominan masih menjadi referensi dalam berbagai
pengambilan kebijakan baik bersifat kultural maupun formal berdampak pada
sistem pemerintahan desa lebih didominasi semangat feodalisme dan
clientalisme.
147
157
3. Untuk menunjang pelaksanaan pasal 7 dan 8 pada PP No. 72 tahun 2005
tersebut telah ada Permendagri No 30 tahun 2006 yang mengatur tentang
Tata Cara Penyerahan Urusan Pemerintah Kabupaten/Kota Kepada Desa.
Namun pada pelaksanaannya di daerah tidak semua urusan dapat langsung
diberikan Kepada Desa karena beberapa alasan yang terkait dengan kualitas
sumber daya dan dukungan sarana dan prasarana. APBDes dan dukungan
anggaran yang kecil atau belum ada mungkin tidak menjadi kendala utama
untuk mendukung penyelenggaraan tata pemerintahan desa yang baik.
Tetapi yang lebih penting dalam konteks ini lebih kepada political will dari
PEMDA setempat, apakah responsif terhadap kebutuhan desa atau tidak.
4. Terkait dengan sampainya pelayanan publik kepada masyarakat ini juga harus
didukung masyarakat itu sendiri. Bila dilihat dari aspek perkembangan
daerah, akselerasi pembangunan di wilayah ini sedikit lambat, karena
medannya sulit dan pola hidup masyarakatnya yang masih tradisional juga
akan mempengaruhi tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap informasi yang
disiapkan pemerintah. Keterisolasian desa yang tinggi berpengaruh pada
aksesibilitas pemukiman penduduk terhadap pusat-pusat fasilitas publik
sehingga menimbulkan kesenjangan pelayanan publik.
5. Untuk memperoleh pelayanan, masyarakat harus memenuhi persyaratan
yang telah ditetapkan oleh pemberi pelayanan, baik berupa persyaratan
teknis dan atau persyaratan administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Namun permasalahan yang terjadi di lapangan adalah
Masih kurangnya pengertian dan pengetahuan masyarakat dalam mengurus
kelengkapan administratif yang telah ditentukan. Kurang sadarnya
masyarakat di dalam berurusan kepada aparatur pemerintahan desa di dalam
hal ketentuan-ketentuan yang sudah diberlakukan desa Kurangnya sarana
dan prasarana untuk menunjang administrasi desa.
6. Sementara itu, sebagai unit pelayanan publik, pemerintahan desa
menghadapi keterbatasan kapasitas manajemen-administratif. Sebagai unit
148
158
representasi negara, pemerintahan desa menghadapi keterbatasan
kemandirian dalam pendanaan untuk memelihara eksistensi pemerintahan di
suatu wilayah.
Secara umum, dapat dilihat bahwa perubahan lingkungan baik sebagai
dampak globalisasi, reformasi maupun pemberian kewenangan yang luas kepada
desa, terjadi pula pergeseran dinamika kehidupan sosial budaya, ekonomi
masyarakat, maka dalam upaya menuju pelayanan publik yang prima, berbagai
kebijakan telah ditetapkan pemerintah melalui upaya perbaikan manajemen
pelayanan, baik dalam peningkatan kualitas sumber daya aparatur, maupun
dalam sistem dan prosedur pelayanan agar perbaikan dan peningkatan mutu
pelayanan aparatur pemerintah desa kepada masyarakat serta peraturan
pelaksanaannya yang memberi pedoman dalam pelayanan publik. Untuk itu lah
untuk meningkatkan kualitas pelayanan di tingkat desa oleh aparatur desa maka
diperlukan strategi peningkatan kapasitas aparatur desa di bidang pelayanan,
sebagai berikut :
Strategi yang terkait jumlah staf, untuk itu perlu dipikirkan dalam tahap
rekruitmen aparatur desa baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Karena
sumber daya manusia yang memadai sangat menunjang dalam pelaksanaan
pemerintahan desa terutama dalam hal pelayanan baik secara yang dilakukan
di dalam kantor maupun di luar kantor untuk menunjang pengawasan dan
kendali.
Strategi yang terkait dengan penyerahan urusan dari Pemerintah
Kabupaten/Kota ini adalah terkait dengan tingkat kepercayaan Pemda
Kabupaten/Kota kepada pemerintah desa untuk dapat melaksanakan
urusan-urusan yang diberikan. Untuk itu pemerintah desa juga harus
berupaya meningkatkan kemampuan seperti dalam hal merumuskan
program-program pelayanan, kemampuan memahami petunjuk maupun
peraturan undang-undang yang mendukung aparatur desa dalam
memberikan pelayanan, kemampuan dalam mengelola pelayanan termasuk
149
159
pengetahuan teknis administratif (format-format surat) dan membuat
prosedur pelayanan desa. Kapasitas lain yang perlu ditingkatkan adalah
kemampuan di bidang teknis (mengoperasikan komputer dll).
Strategi lain yang menunjang untuk memberikan pelayanan dengan baik
kepada masyarakat adalah kemampuan dalam melakukan kerjasama (LSM,
masyarakat, instansi terkait, pemerintah daerah) dalam pelayanan terkait
dan sosialisasinya, dengan bantuan dan kerjasama dengan pihak lain,
pelayanan dapat beragam jenisnya dan dapat dirasakan oleh masyarakat
yang secara geografis sangat jauh dari jangkauan.
Strategi lain adalah berupaya untuk lebih mandiri dari segi sumber keuangan
agar dengan menggali sumber-sumber potensi desa yang dapat dijadikan
pendapatan desa agar desa lebih leluasa menjalankan penyelenggaraan
pemerintahannya.
150
160
BAB 6 PENUTUP
Dari hasil pelaksanaan kajian Peningkatan Kapasitas Aparatur Desa di 7
(tujuh) daerah kajian yang meliputi : Provinsi Bengkulu, Jambi, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur
serta gambaran kapasitas aparatur desa dan strategi peningkatannya telah dijelaskan
pada Bab 4 dan 5 maka dapat diuraikan kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut:
A. KESIMPULAN
Dari keseluruhan aspek yang ada kapasitas aparatur desa yang ditemui di
lapangan memang masih cenderung rendah, perencanaan dan pengganggaran
merupakan aspek penting dalam sebuah penyelenggaraan pemerintahan
termasuk di desa, namun dalam pelaksanaannya masalah dalam pembuatan
RPJMdes dan RKPdes antara lain karena rendahnya kemampuan aparatur desa,
belum adanya panduan penyusunan, banyak usulan tidak tertampung dengan
anggaran yang tersedia; forum musrenbang yang belum optimal, serta kurangnya
sosialisasi kepada pemerintah desa dan warga masyarakat yang terlibat langsung
dalam kegiatan. Dalam aspek keuangan Desa, temuan dilapangan yang dapat
diidentifikasi adalah terkait kapasitas aparatur desa dalam perencanaan dan
pelaporan, kapasitas aparatur desa dalam mengelola Alokasi Dana Desa,
kapasitas aparatur desa dalam mengelola kekayaan desa, persoalan lainnya
adalah dalam Pengelolaan BUMDesa dan kapasitas aparatur desa terkait dalam
penatausahaan keuangan, kapasitas aparatur desa dalam pertanggungjawaban
keuangan desa, ketersediaan aparatur desa (kuantitas dan kualitas) dan
hubungan antara sesama aparat desa.
Begitu pun pada penyusunan kebijakan desa yang termasalah keterbatasan
anggaran yang tersedia. Sehingga berpengaruh pada minimnya jumlah kebijakan
desa yang dihasilkan. Selain itu masalah lainnya adalah hubungan yang tidak
151
161
harmonis antara Dewan dan Pemda terkait dengan kepentingan desa. Hal lain
adalah tarik menarik kewenangan antara Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa dengan Bagian Pemerintahan terkait Desa. Penyusunan Kebijakan desa juga
mengalami masalah karena kurangnya bimbingan teknis dan referensi dalam
membuat kebijakan desa.
Masalah lainnya ada pada aspek kepemimpinan Kepala Desa, dimana
secara Internal, masalah yang dihadapi adalah kualitas sumber daya aparatur
desa, kedisiplinan dan kurang profesional dalam kepemimpinan di desa, serta,
kurang harmonisnya hubungan antar aparatur desa sendiri. Rendahnya insentif
bagi aparatur desa juga ikut mendukung masalah yang dihadapi secara internal.
Sedangkan secara eksternal, masalah yang dihadapi aspek kepemimpinan kepala
desa adalah rendahnya kesadaran masyarakat tentang program-program desa
yang terkait pola pikir dan tingkat pendidikan yang rendah masyarakat yang
relatif tertinggal di banding dengan masyarakat perkotaan. hal ini merupakan
bagian dari kondisi ekonomi yang rendah atau masuk dalam kategori masyarakat
miskin dan serta karakteristik atau sosial budaya anggota masyarakat yang
beragam.
Dalam hal manajemen pelayanan Desa, aspek ini termasalah oleh urusan-
urusan yang sebagian besar belum diberikan dari Pemda Kabupaten/Kota kepada
desa, karena penyerahan urusan ini tentu harus disertai dengan penyerarahan
sarana dan prasarana dan tingkat kesiapan aparatur desa dalam meneriman
urusan yang akan diserahkan. Minimnya dukungan kebijakan, anggaran, dan
sarana prasarana dalam pelaksanaan pelayanan publik di desa, serta masih
rendahnya kualitas SDM masyarakat dan masalah geografis untuk mencapai
pelayanan publik itu sendiri. Hal lain yang kurang mendukung adalah tidak
harmonisnya hubungan aparatur desa (Pemerintah Desa dan BPD) sehingga
menyulitkan terciptanya pelayanan yang baik kepada masyarakat.
152
162
B. REKOMENDASI
Secara umum hal yang dapat direkomendasikan untuk permasalahan yang
dihadapi dari berbagai aspek dalam peningkatan kapasitas aparatur desa adalah
sebagai berikut: perlunya peningkatan jumlah dan kualitas aparatur desa.
peningkatan kualitas ini terutama dalam hal administratif manajerial, di bidang
perencanaan penganggaran, keuangan desa, kebijakan desa, kepemimpinan dan
manajemen pelayanan desa. Peningkatan kapasitas ini tentu melalui bimbingan
teknis, pendampingan, serta terprogramnya kegiatan pelatihan dan sosialisasi
yang berkesinambungan tentang lima aspek yang perlu ditingkatkan
kapasitasnya tersebut.
Terkait dengan urusan penyelenggaraan pemerintahan desa hal yang perlu
mendapatkan perhatian adalah perumusan wewenang yang jelas antar lembaga
di desa; serta dukungan dari pemerintah kabupaten/kota untuk dapat
memberikan keleluasaan kepada desa dengan menyerahkan sebagian besar
urusan yang mungkin dapat dillaksanakan di tingkat desa sesuai karakteristik
masing-masing desa. Untuk itu perlu tingkatkan kapasitas aparatur desa dalam
memahami kebijakan-kebijakan yang mendukung aparatur desa dalam
melaksanakan tugas-tugasnya serta dukungan hubungan yang harmonis antar
elemen pemerintahan desa. Kemampuan melakukan kerja sama dengan berbagai
pihak (seperti LSM, masyarakat, instansi terkait, pemerintah daerah, desa lain)
dalam aspek-aspek terkait merupakan hal yang dapat mendukung terlaksananya
pembangunan desa itu sendiri.
Hal yang juga penting adalah dukungan anggaran, baik yang didapat dari
bantuan Pemerintah Kabupaten/Kota maupun dari sumber-sumber yang
diperoleh dari bantuan pihak ke tiga atau hasil pengelolaan dari desa itu sendiri.
Karena anggaran merupakan hal krusial bagi berjalannya semua program di desa
termasuk dalam mendukung upaya peningkatan kapasitas itu sendiri.
153
163
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
________ , 2000, Parlemen Desa, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta;
________________, 2003, Panduan Fasilitator Pelatihan Kepala Desa dan BPD, Jakarta
Deviton JA., 1995 The Interpersonal Communication Book, 7th Ed., Hunter College of The City University of New York.
Ditjen PMD-DDN, 2003, Panduan Fasilitator Pelatihan Badan Permusyawaratan Desa, Jakarta
Greenberg J. & Baron RA., 1996 Behavior in Organizations: Understanding & Managing The Human Side of Work, Prentice Hall International Inc., p: 283 – 322.
Lembaga Administrasi Negara, 1999, Kepemimpinan Yang Efektif, Jakarta
Lembaga Administrasi Negara. 2006. Manajemen Pemerintahan Daerah, Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, Jakarta
Lembaga Administrasi Negara. 2006. Manajemen Pemerintahan Daerah. Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-LA, Jakarta
Marbun, BN., 2005. Otonomi Daerah 1945-2005: Proses dan Realita, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Marbun, BN., 2005. Otonomi Daerah 1945-2005: Proses dan Realita. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
Muchlas M., 1998 Perilaku Organisasi, dengan Studi kasus Perumahsakitan, Program Pendidikan Pasca Sarjana Magister Manajemen Rumahsakit, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Nanus, Burt, 1992 Kepemimpinan Visioner, diterbitkan oleh PT Prenhalinddo, Jakarta.
Nawawi, Hadari, 1995, Kepemimpinan Yang Efektif, diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Nortcraft GB and Neale MA., 1990 Organizational Behavior: A Management Challenge, The Dryden Press, Rinehart & Winston Inc.
Nurcholis, Hanif, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT. Grasindo, Jakarta
Nurcholis, Hanif., 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT. Grasindo. Jakarta
154
164
Oxford Dictionary. 2000. Oxford Advanced Learner’s Dictionary
Robbins S., 1996 Organizational Behavior: Concepts, Controversies, and Applications., San Diego State Uniersity, Prentice Hall International Inc.
Robbins S., 1996 Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi dan Aplikasi, San Diego State University, diterbitkan oleh PT Prenhalinddo, Jakarta.
Rozaki, Abdur, dkk, 2005. Prakarsa Desentralisasi & Otonomi Desa, Ire Press, Jakarta
Salusu, J., 1996, Pengambilan Keputusan Stratejik, diterbitkan oleh PT Grasindo, Jakarta
Sarundajang, SH., 2005. Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, Kata Hasta Pustaka. Jakarta.
Scumacher, E. F., 1979, Kecil Itu Indah- Ilmu Ekonomi yang Mementingkan Rakyat Kecil , LP3ES, Jakarta.
Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1984, Desa, PN. Balai Pustaka, Jakarta
Suhartono, 1991, Apanage dan Bekel-Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta, Tiara Wacana, Yogyakarta;
Sulistiyani, Ambar Teguh., 2004 Memahami Good Governance dalam Perspektif Sumber Daya Manusia, diterbitkan oleh PT Gava Media, Yogyakarta.
Thoha, Miftah., 1993 Kepemimpinan dalam Manajemen, Universitas Gadjah Mada, diterbitkan oleh PT Rajawali Grafindo Persada, Yogyakarta.
Unang S., 1984, Tinjauan Sepintas Tentang Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Tarsito, Bandung;
Wasistiono, Sadu dan Irwan Tahir, 2006. Prospek Pengembangan Desa, Penerbit Fokusmedia, Bandung.
Kebijakan-kebijakan :
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-undang No. 25 tahun 2004 sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah
Undang-Undang Nomor. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
155
165
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa
Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 1979 tentang pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah
PP No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan.
Permendagri No. 28 tahun 2006 tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan desa dan perubahan Status Desa menjadi Kelurahan.
Permendagri No.29 tahun 2006 Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa
Permendagri No. 30 tahun 2006 tentang Tatacara Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota kepada Desa.
Permendagri Nomor 31 tahun 2006 tentang pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Kelurahan.
Permendagri No. 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa.
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor. 140/640/SJ tertanggal 22 Maret 2005 Tentang Pedoman Alokasi Dana Desa (ADD)
Keputusan Menpan Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Download
Maryunani, 2006. Perspektif Pengelolaan Keuangan dan Ekonomi Desa, Universitas Brawijaya, Malang
Tjandra, W. Riawan, 2006. Desa: Benteng Terakhir Penyangga Keberadaan Bangsa, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, www.forumDesa.com.
Dr Sugeng Purnomo. Program Pengembangan Desa Siaga Puskesmas Tawangsari Kabupaten Sukoharjo. Pdf.
Yogi S & M. Ikhsan.standar Pelayanan Publik di Daerah. Pdf. USAID – LGSP. Peningkatan Kinerja Pelayanan Publik Dengan Skema Tindakan Peningkatan Pelayanan (SSTP). Seri Manajemen. Pdf
156