lampiran a review potensi penggunaan limbah cair …

75
1 LAMPIRAN A REVIEW POTENSI PENGGUNAAN LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT SEBAGAI BIOGAS PADA PEMBANGKIT LISTRIK AHMAD FAIS HAMONANGAN LUBIS. Teknologi pengolahan hasil perkrbunan, stipap (Sekolah tinggi ilmu pertanian agrobisnis perkebunan) jalan wiliem Iskandar, Medan, 20226, Indonesia Abstraks. Indonesia merupakan negara dengan industri kelapa sawit terbesar di dunia. Limbah cair pabrik kelapa sawit adalah limbah cair yang berminyak dan tidak beracun, hasil pengolahan minyak sawit. Meski tak beracun, limbah cair tersebut dapat menyebabkan bencana lingkungan karena dibuang di kolam terbuka dan melepaskan sejumlah besar gas metana dan gas berbahaya lainnya yang menyebabkan emisi gas rumah kaca. Digestasi anaerobik merupakan proses konversi senyawa organik menjadi biogas dengan kondisi tanpa oksigen melalui empat tahapan. Limbah cair pabrik kelapa sawit (POME) berasal dari proses produksi minyak mentah kelapa sawit atau biasanya disebut crude palm oil (CPO). Kandungan yang terdapat didalam limbah cair pabrik kelapa sawit ialah 95 % air dan 4 5 % padatan total. Tujuan dari artikel ini adalah mereview potensi penggunaan limbah cair pabrik kelapa sawit sebagai biogas pada pembangkit listrik 1. Pendahuluan Indonesia saat ini merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia , tercatat pada tahun 2011 terdapat sekitar 608 pabrik pengolahan kelapa sawit (Ditjen dan pemanfaatan energi, 2001). Salah satu potensi perkebunan yang cukup besar didapatkan dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS), yang mengolah Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit menjadi Crude Palm Oil (CPO), Panen rata-rata tahunan minyak sawit mentah Indonesia meningkat sebesar tiga persen pada 10 tahun terakhir, sedangkan wilayah yang ditanami kelapa sawit meningkat selama sembilan tahun terakhir. Indonesia juga mengharapkan peningkatan produksi minyak sawit mentah dari 28,5 juta metrik ton pada tahun 2014. Dampak lain perkembangan pesat produksi minyak sawit mentah adalah limbah cair kelapa sawit, yang sering disebut sebagai palm oil milleffluent atau

Upload: others

Post on 17-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

LAMPIRAN

A REVIEW POTENSI PENGGUNAAN LIMBAH CAIR

PABRIK KELAPA SAWIT SEBAGAI BIOGAS PADA

PEMBANGKIT LISTRIK

AHMAD FAIS HAMONANGAN LUBIS.

Teknologi pengolahan hasil perkrbunan, stipap

(Sekolah tinggi ilmu pertanian agrobisnis perkebunan) jalan wiliem

Iskandar,

Medan, 20226, Indonesia

Abstraks. Indonesia merupakan negara dengan industri kelapa sawit terbesar di dunia.

Limbah cair pabrik kelapa sawit adalah limbah cair yang berminyak dan tidak beracun,

hasil pengolahan minyak sawit. Meski tak beracun, limbah cair tersebut dapat

menyebabkan bencana lingkungan karena dibuang di kolam terbuka dan melepaskan

sejumlah besar gas metana dan gas berbahaya lainnya yang menyebabkan emisi gas

rumah kaca. Digestasi anaerobik merupakan proses konversi senyawa organik menjadi

biogas dengan kondisi tanpa oksigen melalui empat tahapan. Limbah cair pabrik kelapa

sawit (POME) berasal dari proses produksi minyak mentah kelapa sawit atau biasanya

disebut crude palm oil (CPO). Kandungan yang terdapat didalam limbah cair pabrik

kelapa sawit ialah 95 % air dan 4 – 5 % padatan total. Tujuan dari artikel ini adalah

mereview potensi penggunaan limbah cair pabrik kelapa sawit sebagai biogas pada

pembangkit listrik

1. Pendahuluan

Indonesia saat ini merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di

dunia , tercatat pada tahun 2011 terdapat sekitar 608 pabrik pengolahan kelapa

sawit (Ditjen dan pemanfaatan energi, 2001). Salah satu potensi perkebunan

yang cukup besar didapatkan dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS), yang mengolah

Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit menjadi Crude Palm Oil (CPO), Panen

rata-rata tahunan minyak sawit mentah Indonesia meningkat sebesar tiga persen

pada 10 tahun terakhir, sedangkan wilayah yang ditanami kelapa sawit

meningkat selama sembilan tahun terakhir. Indonesia juga mengharapkan

peningkatan produksi minyak sawit mentah dari 28,5 juta metrik ton pada tahun

2014. Dampak lain perkembangan pesat produksi minyak sawit mentah adalah

limbah cair kelapa sawit, yang sering disebut sebagai palm oil milleffluent atau

2

POME. POME adalah limbah cair yang berminyak dan tidak beracun, hasil

pengolahan minyak sawit. Meski tak beracun, limbah cair tersebut dapat

menyebabkan bencana lingkungan karena dibuang di kolam terbuka dan

melepaskan sejumlah besar gas metana dan gas berbahaya lainnya yang

menyebabkan emisi gas rumah kaca. Pemanfaatan limbah padat dan cair dapat

dikonversikan menjadi energi listrik (Deublein, dan Steinhauster, 2008). Sebuah

PMKS dengan kapasitas 30 ton TBS/jam dapat menghasilkan tenaga biogas

untuk energi setara 237 KwH (Naibaho, 1996). Gas methana tersebut ternyata

juga memiliki tingkat emisi yang tinggi. UNFCCC, badan PBB yang menangani

perubahan iklim, mencatat gas methana memiliki tingkat emisi 24 kali jika

dibandingkan dengan gas karbon (CO2). Di sisi lain, gas methana ini juga

memiliki tingkat energi yang cukup tinggi. Gas methana ini memiliki nilai kalor

50,1 MJ/kg. Jika densitas methana 0,717 kg/m3 maka 1 m3 gas methana akan

memiliki energi setara dengan 35,9 MJ atau sekitar 10 kWh. Jika kandungan gas

methana adalah 62% dalam biogas, maka 1 m3 biogas akan memiliki tingkat

energi sebesar 6,2 kWh. Melihat potensi tersebut sangat disayangkan jika gas-

gas yang dihasilkan dari penguraian biomassa tersebut dibiarkan begitu saja.

Untuk dapat memanfaatkan potensi biogas tersebut, terdapat beberapa teknologi

yang dapat diterapkan. Tingginya kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)

sejumlah 50.000-70.000 mg/l dalam limbah cair kelapa sawit memberikan

potensi untuk konversi listrik dengan menangkap gas metana yang dihasilkan

melalui serangkaian tahapan proses pemurnian.

1. Proses Pembuatan Biogas Dari Limbah Cair Kelapa Sawit

Pada proses pembuatan biogas dari limbah cair kelapa sawit sebenar nya

memiliki potensi energi yang tinggi, dengan penguraiaan di kolam limbah.

Proses biomasa ini akan menghasilkan biogas dengan kandungan utama (62%)

gas methana (CH4). Gas ini muncul sebagai akibat dari proses perombakan

senyawa-senyawa organik secara anaerobic. Tahapan proses pembuatan biogas

berbasis limbah cair kelapa sawit di tampilkan pada gambar 1.

3

1.1 Limbah cair

Pada tahap ini limbah cair pabrik kelapa sawit dilakukan proses penyaringan

untuk menghilangkan partikel besar seperti kotoran atau serat. Agar kondisi

limbah cair dapat mencapai nilai-nilai parameter yang dibutuhkan ntuk masuk

ke digester (pengadukan). Proses pengadukan dan netralisasi pH berpungsi

untuk mencapai pH optimal pada 6,5-7,5. Selanjutnya dilakukan sistem

pendingin (cooling tower atau heat exchanger) yang bertujuan untuk

menurunkan suhu limbah cair kelpa sawit menjadi sekitar 40˚-50˚C. Didalam

limbah cair ini juga terdapat beberapa senyawa mineral makro dan mikro

seperti potassium (K), sodium (Na), kalsium (Ca), iron (Fe), zinc (Zn),

kromium (Cr), dan lainnya. Maka, limbah cair kelapa sawit dapat dimanfaatkan

sebagai substrat untuk produksi biogas karena memiliki nutrien untuk bakteri

pada proses digestasi anaerobik. (Nazaruddin Sinaga, Ahmad Syukran 2016).

1.2 Kolam tertutup

Pada proses ini dilakukan dengan menutup kolam limbah konvensional dengan

bahan reinforced polypropylene yang berfungsi sebagai anaerobic digester.

LIMBAH CAIR

KOLAM TERTUTUP CONTINUOUS STIRRED

TANK REACTOR (CSTR)

SCRUBBER HIDROGEN SULFIDA

GAS ENGINE

DEHUMIDIFIER BIOGAS

4

Biogas akan tertangkap dan terkumpul di dalam cover. Dalam metode ini

memerlukan waktu retensi hidrolik antara 120-140 hari. Kolam limbah akan

mengeluarkan gas methan (CH4) dan karbon dioksida (CO2). (Alkusma, Y.M.,

Hermawan, dan Hadiyanto. 2016).

1.2.1 Continuous Stirred Tank Reactor (CSTR)

Adapun cara lain untuk mendapatkan biogas iyalah dengan cara

CONTINUOUS STIRRED TANK REACTOR (CSTR). juga dikenal

sebagai reaktor kontak, biasanya berbentuk silinder yang terbuat dari

beton atau logam dengan rasio diameter dan tinggi silinder yang kecil.

Sistem ini dilengkapi dengan thickener, clarifier, atau dissolved air

floatation (DAF). Untuk memekatkan biomassa. Tangki digester berfungsi

menggantikan kolam anaerobik yang dibantu dengan pemakaian bakteri

mesophilic dan thermophilic (Naibaho, 1996). Kedua bakteri ini

termasuk bakteri methanogen yang merubah substrat dan menghasilkan

gas methan. Teknologi ini lebih efektif baik dalam pengolahan limbah

limbah cair sehingga akan dihasilkan biogas dalam jumlah yang lebih

besar.(Luthfi, 2018).

Tabel 1. Perbandigan Antara CSTR Dan Kolam Tertutup.

Bahan

baku

Proses Tekanan Kapasitas

penyimpanan

Hasil Reference

Limbah

cair

Kolam

tertutup

Rendah

0-2

mbarg

1 – 2 hari 3.720

kWh

Alkusma,

dkk 2016.

Limbah

cair dan

padat

CSTR Tinggi 8-

12 mbarg

30 memit – 3

jam

5.208

kWh

Luthfi,

2018.

Dari tabel 1: teknologi cstr lebih unggul dari pada kolam limbah tertutup,

dengan jenis limbah yang bisa di jadikan gas cair & padat, energi yang di

hasilkan lebih baik dari kolam tertutup. Selain menghasilkan biogas,

pengolahan limbah cair dengan proses digester anaerobik dapat dilakukan

pada lahan yang sempit dan memberi keuntungan berupa penurunan jumlah

padatan organik, jumlah mikroba pembusuk yang tidak diinginkan, serta

5

kandungan racun dalam limbah. Di samping itu juga membantu peningkatan

kualitas pupuk dari sludge yang dihasilkan, karena sludge yang dihasilkan

berbeda dari sludge limbah cair PMKS biasa yang dilakukan melalui proses

konvensional (Tobing, 1997). Namun memiliki biaya yang lebih tinggi dalam

pembuatan nya.

1.3 Scrubber hidrogen sulfida

Scrubber hidrogen sulfida berpungsi untuk menurunkan konsentrasi H2S ke

tingkat yang disyaratkan oleh gas engine, biasanya di bawah 200 ppm. Pada

proses scrubber memiliki tiga jenis yang digunakan dalam proses desulfurisasi

untuk menurunkan kandungan H2S dalam biogas, yaitu scrubber biologis,

kimia, atau air. Scrubber biologis menggunakan bakteri sulfur-oksidasi untuk

mengubah H2S menjadi SO4, sementara scrubber kimia menggunakan bahan

kimia sperti NaOH untuk mengubah H2S menjadi SO4. Scrubber air berkerja

berdasarkan penyerapan fisik dari gas-gas terlarut dalam air dan menggunakan

air bertekanan tinggi. Pada umum nya scrubber biologis yang sering digunakan

untuk aplikasi limbah cair menjadi energi dikarena biaya operasionalnya

rendah (Deublein, D. dan Steinhauster, A.,2008).

1.4 Dehumidifier Biogas

Dehumidifier biogas berfungsi untuk mengurangi kadar air biogas yang akan

dialirkan ke dalam gas engine. Dehumidifier mengoptimalkan proses

pembakaran pada mesin, mencegah pengembunan, dan melindungi mesin dari

pembentukan asam. Asam akan terbentuk saat air bereaksi dengan H2S dan

oksigen. Biogas yang berkualitas tinggi dengan kelembapan relatif di bawah

80% meningkatkan efisiensi mesin dan mengurangi konsumsi bahan bakar gas.

(Ibrahim, H, 2018).

1.4 Gas Engine

Gas engine adalah mesin pembakaran yang bekerja dengan bahan bakar gas

seperti gas alam atau biogas . Setelah kandungan pengotor pada biogas

diturunkan hingga kadar yang di tentukan, kemudian biogas dialirkan ke gas

6

engine untuk menghasilkan listrik. Bergantung pada spesifikasi gas engine

yang digunakan, gas engine yang berbahan bakar biogas umumnya

memerlukan biogas dengan kadar air dibawah 80% dan konsentrasi H2S

kurang dari 200 ppm. Gas engine mengubah energi yang terkandung dalam

biogas menjadi energi mekanik untuk menggerakkan generator yang

menghasilkan listrik. Biasanya gas engine memiliki efisiensi listrik antara

36−42%. (Alkusma, Y.M., Hermawan, dan Hadiyanto. 2016).

Tabel 2. Perbandingan Hasil Listrik Yang Didapat Dari Kolam Tertup Dan CSTR

Dari tabel 2 : listrik yang dihasilkan melalui sistem cstr lebih besar daripada

menggunakan sistem kolam tertutup. Biogas yang di ubah melalui gas engine

menghasilkan listrik yang besar. Apabila listrik tersebut dijual ke PLN maka

pabrik akan mendapatkan keuntungan yang besar. namun belum banyak pabrik

pks yang memanfaatkan limbah cair tersebut.

Proses Bahan

baku

Kapasitas

pks

Biogas yang

didapat

Listrik yang

dihasilkan

menggunkan

gas engine

Reference

Kolam

tertutup

Limbah

cair

30 ton

tbs/jam

± 600

m3/jam

1.303

kWh/1,3MW

Alkusma,

dkk 2016.

CSTR Limbah

cair dan

padat

30 ton

tbs/jam ±840 m3/jam 1.822

kWh/1,8MW

Luthfi, 2018.

7

Kesimpulan

Limbah cair pabrik kelapa sawit dapat di ubah menjadi biogas dengan

melakukan beberapa proses penampungan gas dan biogas yang telah terkumpul

di ubah menjadi listrik. Penangkapan biogas dapat dilakukan dua cara yaitu

dengan kolam tertutup dan continuous stirred tank reactor (CSTR). Listrik yang

didapat dari limbah cair bila di jual kepada pln akan mendapatkan untung yang

lebih besar. Apabila listrik yang dijual dengan harga ditetapkan Rp. 975/kWh

untuk kolam tertutup akan medapatkan keuntungan sebesar Rp. 9,15 M/tahu.

Sedangkan untuk sistem CSTR dengan penjualan yang sama maka keuntungan

yang didapat sebesar Rp. 12,8 M/tahun.

Daftar Pustaka

1. Ditjen dan pemanfaatan energi, 2001.

2. Deublein, D. dan Steinhauster, A., (2008). “Biogas from Waste and

Renewabe

Resources. An Introduction”. WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA,

Weinheim.

3. Naibaho,P.M., (1996). Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian

Kelapa Sawit,Medan.

4. Nazaruddin Sinaga, Ahmad Syukran (2016). Simulasi pengaruh

komposisi limbah cair pabrik kelapa sawit (POME) terhadap

kandungan air biogas dan daya listrik yang dihasilkan sebuah

pembangkit listrik tenaga biogas.

5. Alkusma, Yulian Mara,dkk, (2016), Pengembangan Potensi Energi Alternatif

Dengan Pemanfaatan Limbah Cair Kelapa Sawit Sebagai Sumber Energi

Baru Terbarukan di Kabupaten Kotawaringin Timur, Program Studi Ilmu

Lingkungan, Universitas Diponegoro: Semarang, Jawa Tengah.

6. Luthfi Parinduri (2018), Analisa Pemanfaatan Pome Untuk Sumber

Pembangkit Listrik Tenaga Biogas Di Pabrik Kelapa Sawit.

7. Tobing, P.L. 1997. Minimalisasi dan Pemanfaatan Limbah Cair – Padat

8

Pabrik

Kelapa Sawit dengan Cara daur Ulang. Medan; Pusat Penelitian Kelapa

Sawit.

8. Nugroho Panji, 2013. Panduan Membuat Kompos Cair. Jakarta: Pustaka baru

Press.

9. Ibrahim, H, 2018. Unjuk Kerja Sistem Pembangkit Listrik Menggunakan

Biogas Limbah Cair Pada Pabrik Kelapa Sawit.

10. Alkusma, Y.M., Hermawan, dan Hadiyanto. (2016). Pengembangan Potensi

Energi Alternatif dengan Pemanfaatan Limbah Cair Kelapa Sawit sebagai

Sumber Energi Baru Terbarukan di Kabupaten Kotawaringin Timur.

2

Lampiran 1

© 2016 Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana UNDIP

JURNAL ILMU LINGKUNGAN

Volume 14 Issue 2 (2016): 96-102 ISSN 1829-8907

Pengembangan Potensi Energi Alternatif Dengan Pemanfaatan Limbah Cair Kelapa Sawit Sebagai Sumber Energi Baru

Terbarukan Di Kabupaten Kotawaringin Timur

Yulian Mara Alkusma1, Hermawan1,2, Hadiyanto1,3

1 Magister Ilmu Lingkungan Universtias Diponegoro

2Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Diponegoro

3 Departemen Teknik Kima Fakultas Teknik Universitas Diponegoro

ABSTRAK

Energi memiliki peranan penting dalam proses pembangunan yang pada akhirnya untuk mencapai tujuan sosial,

ekonomi dan lingkungan untuk serta merupakan pendukung bagi kegiatan ekonomi nasional. Sumber energi

terbarukan yang berasal dari pemanfaatan biogas limbah cair kelapa sawit dapat menghasilkan energi listrik yang saat

ini banyak bergantung pada generator diesel dengan biaya yang mahal.Limbah cair kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent

atau POME) adalah limbah cair yang berminyak dan tidak beracun, berasal dari proses pengolahan minyak kelapa

sawit, namun limbah cair tersebut dapat menyebabkan bencana lingkungan apabila tidak dimanfaatkan dan dibuang di

kolam terbuka karena akan melepaskan sejumlah besar gas metana dan gas berbahaya lainnya ke udara yang

menyebabkan terjadinya emisi gas rumah kaca. Tingginya kandungan Chemical Oxygen Demand (COD) sebesar 50.000-

70.000 mg/l dalam limbah cair kelapa sawit memberikan potensi untuk dapat di konversi menjadi listrik dengan

menangkap biogas (gas metana) yang dihasilkan melalui serangkaian tahapan proses pemurnian. Di Kabupaten

Kotawaringin Timur terdapat 36 Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit yang total kapasitas pabriknya adalah sebesar 2.115

TBS/jam, menghasilkan limbah cair sebesar 1.269 ton limbah cari/jam dan mampu menghasilkan

42.300 m3 biogas.

Kata kunci: Renewable Energy, Plam Oil Mill Effluent, Chemical Oxygen Demand, Biogass, Methane.

ABSTRACT

Energy has an important role in the development process and ultimately to achieve the objectives of social, economic

and environment for as well as an environmental support for national economic activity. Renewable energy source

derived from wastewater biogas utilization of oil palm can produce electrical energy which is currently heavily

dependent on diesel generators at a cost that mahal.Limbah liquid palm oil (Palm Oil Mill Effluent, or POME) is the

wastewater that is greasy and non-toxic, derived from the processing of palm oil, but the liquid waste could cause

environmental disaster if not used and disposed of in open ponds because it will release large amounts of methane

and other harmful gases into the air that cause greenhouse gas emissions. The high content of Chemical Oxygen

Demand (COD) of 50000-70000 mg / l in the liquid waste palm oil provides the potential to be converted into

electricity by capturing the biogas (methane gas) produced through a series of stages of the purification process. In

East Kotawaringin there are 36 palm oil processing factory that total factory capacity is of 2,115 TBS / hour, producing

1,269 tons of liquid waste wastewater / h and is capable of producing 42,300 m3 of biogas.

Keywords: Renewable Energy, Plam Oil Mill Effluent, Chemical Oxygen Demand, Biogass, Methane

3

Cara sitasi: Alkusma, Y.M., Hermawan, dan Hadiyanto. (2016). Pengembangan Potensi Energi Alternatif dengan Pemanfaatan Limbah Cair Kelapa Sawit sebagai Sumber Energi Baru Terbarukan di Kabupaten Kotawaringin Timur. Jurnal Ilmu Lingkungan,14(2),96-102, doi:10.14710/jil.14.2.96-102

1. PENDAHULUAN

Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di rawa-rawa

berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan

mangrove ini bertumbuh pesat memenuhi tempat dimana terjadi pelumpuran dan akumulasi

bahan organik. Baik di daerah yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara

sungai dimana arus laut lemah dan mengendapkan lumpur yang dibawa dari hulu sungai.Energi

mempunyai peranan penting dalam pencapaian tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan untuk

pembangunan berkelanjutan serta merupakan pendukung bagi kegiatan ekonomi nasional.

Penggunaan energi di Indonesia meningkat pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan

pertambahan penduduk. Sedangkan akses ke energi yang andal dan terjangkau merupakan

prasyarat utama untuk meningkatkan standar hidup masyarakat.Alkusma, Y.M., Hermawan, dan Hadiyanto. (2016).

Pengembangan Potensi Energi Alternatif dengan Pemanfaatan Limbah Cair Kelapa Sawit sebagai Sumber Energi Baru Terbarukan di Kabupaten Kotawaringin Timur. Jurnal Ilmu Lingkungan,14(2),96-102, doi:10.14710/jil.14.2.96-102

4

Keterbatasan akses ke energi komersial telah menyebabkan pemakaian energi per kapita

masih rendah dibandingkan dengan negara lainnya. Konsumsi per kapita pada saat ini sekitar 3

SBM yang setara dengan kurang lebih sepertiga konsumsi per kapita rata-rata negara ASEAN.

Dua pertiga dari total kebutuhan energi nasional berasal dari energi komersial dan sisanya

berasal dari biomassa yang digunakan secara tradisional (non-komersial). Sekitar separuh dari

keseluruhan rumah tangga belum terjangkau dengan sistem elektrifikasi Nasional.

Penggunaan BBM meningkat pesat, terutama untuk transportasi, yang sulit digantikan oleh

jenis energi lainnya. Ketergantungan kepada BBM masih tinggi, lebih dari 60 persen dari

konsumsi energi final. Pembangkitan tenaga listrik di beberapa lokasi tertentu masih

mengandalkan BBM karena pada waktu yang lalu harga BBM masih relatif murah (karena di

subsidi), jauh dari sumber batubara, jaringan pipa gas bumi masih terbatas, lokasi potensi tenaga

air yang jauh dari konsumen dan pengembangan panas bumi serta energi terbarukan lain yang

relatif masih lebih mahal.

Kebutuhan energi dalam negeri selama ini dipasok dari produksi dalam negeri dan sebagian

dari impor, yang pangsanya cenderung meningkat. Komponen terbesar dari impor energi adalah

minyak bumi dan BBM. Kemampuan produksi lapangan minyak bumi semakin menurun

sehingga membatasi tingkat produksinya. Dalam satu dekade terakhir, kapasitas produksi kilang

BBM dalam negeri tidak bertambah, sedangkan permintaan BBM di dalam negeri meningkat

dengan cepat. Pada tahun 2005 peranan minyak bumi impor untuk kebutuhan bahan baku kilang

BBM sudah mencapai 40 persen sedangkan peranan BBM impor untuk pemakaian dalam negeri

mencapai 32 persen.

Mengapa energi terbarukan? Energi Terbarukan harus segera dikembangkan secara

nasional bila tetap tergantungan energi fosil, ini akan menimbulkan setidaknya tiga ancaman

serius yakni: 1) Menipisnya cadangan minyak bumi yang diketahui (bila tanpa temuan sumur minyak baru) 2) Kenaikan/ketidakstabilan harga akibat laju permintaan yang lebih besar dari produksi minyak, dan 3) Polusi gas rumah kaca (terutama CO) akibat pembakaran bahan bakar fosil.

Kadar CO saat ini disebut sebagai yang tertinggi selama 125 tahun belakangan [2]. Bila

ilmuwan masih memperdebatkan besarnya cadangan minyak yang masih bisa dieksplorasi, efek

buruk CO terhadap pemanasan global telah disepakati hampir oleh semua kalangan. Hal ini

menimbulkan ancaman serius bagi kehidupan makhluk hidup di muka bumi. Oleh karena itu,

pengembangan dan implementasi bahan bakar terbarukan yang ramah lingkungan perlu

mendapatkan perhatian serius

Perkembangan bisnis dan investasi kelapa sawit dalam beberapa tahun terakhir mengalami

pertumbuhan yang sangat pesat. Permintaan atas minyak nabati dan penyediaan biofuel telah

mendorong peningkatan permintaan minyak nabati yang bersumber dari crude palm oil (CPO)

yang berasal dari kelapa sawit. Hal ini disebabkan tanaman kelapa sawit memiliki potensi

menghasilkan minyak sekitar 7 ton/hektar lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai yang hanya 3

ton/hektar. Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan perkebunan dan

industri kelapa sawit karena memiliki potensi cadangan lahan yang cukup luas, ketersediaan

tenaga kerja, dan kesesuaian agroklimat. Luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2007 sekitar

6,8 juta hektar (Heriyadi, 2009). Dari luas tersebut sekitar 60 % diusahakan oleh perkebunan

besar dan sisanya diusahakan oleh perkebunan rakyat (Soetrisno, 2008).

Kabupaten Kotawaringin Timur memiliki potensi perkebunan dengan jumlah perusahaan

perkebunan besar swasta hampir 60 perusahaan besar swasta dan hampir 50% dari jumlah

tersebut telah memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit. Pada kenyataannya limbah kelapa sawit

yang ada masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal, diantaranya sebagai sumber

pembangkit energi alternatif, terutama sebagai sumber energi alternatif bagi daerah-daerah

perdesaan yang belum terjangkau jaringan listrik yang dikelola oleh pemerintah (PLN) selama

ini. Tulisan ini merupakan gagasan dari melimpahnya limbah cair yang ada di Kabupaten

Kotawarngin Timur yang belum di maksimalkan penggunaannya berkaitan dengan kemandirian

energi dari sumber energi baru terbarukan.

5

2. Perkebunan Kelapa Sawit dan Biogas Salah satu potensi perkebunan yang cukup besar didapatkan dari Pabrik Kelapa Sawit

(PKS), yang mengolah Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit menjadi Crude Palm Oil

(CPO). Dalam proses pengolahannya, PKS menghasilkan limbah biomassa dengan jumlah yang

cukup besar dalam bentuk limbah organik berupa tandan kosong kelapa sawit (Tankos),

cangkang dan sabut, serta limbah cair (palm oil mill effluent/POME).

Seperti peta konversi di atas, pada umumnya cangkang dan sabut dikonversi menjadi

energi panas dengan dibakar di dalam boiler untuk menghasilkan uap (steam) bertekanan. Uap

tersebut selanjutnya dikonversi kembali menjadi energi listrik melalui turbin generator dan

sisanya digunakan untuk proses pengolahan kelapa sawit. Limbah biomassa yang lain, yaitu

tankos dan POME sebenarnya juga memiliki potensi energi yang tinggi, namun pada umumnya

belum dimanfaatkan secara optimal. POME diurai di kolam limbah sedangkan tankos biasanya

disebarkan ke lahan dan dibiarkan membusuk secara alami. Proses pembusukan biomassa ini

akan menghasilkan biogas dengan kandungan utama (62%) gas methana (CH4). Gas ini muncul

sebagai akibat dari proses perombakan senyawa-senyawa organik secara anaerobik.Jurnal Ilmu

Lingkungan, Vol. 14 (2): 96-102, 2016 ISSN : 1829-8907

Gas methana tersebut ternyata juga

memiliki tingkat emisi yang tinggi.

UNFCCC, badan PBB yang menangani

perubahan iklim, mencatat gas methana

memiliki tingkat emisi 24 kali jika

dibandingkan dengan gas karbon (CO2). Di

sisi lain, gas methana ini juga memiliki

tingkat energi yang cukup tinggi. Gas

methana ini memiliki nilai kalor 50,1 MJ/kg.

Jika densitas methana 0,717 kg/m3 maka 1

m3 gas methana akan memiliki energi setara

dengan 35,9 MJ atau sekitar 10 kWh. Jika

kandungan gas methana adalah 62% dalam

biogas, maka 1 m3 biogas akan memiliki

tingkat energi sebesar 6,2 kWh. Melihat

potensi tersebut sangat disayangkan jika gas-

gas yang dihasilkan dari penguraian

biomassa tersebut dibiarkan begitu saja.

Untuk dapat memanfaatkan potensi biogas

tersebut, terdapat beberapa teknologi yang

dapat diterapkan.

3. Palm Oil Mill Effluent (POME) Teknologi yang telah banyak

digunakan untuk mengambil biogas dari

POME adalah Covered Lagoon. Teknologi

ini dilakukan dengan menutup kolam limbah

konvensional dengan bahan reinforced

polypropylene sehingga berfungsi sebagai

anaerobic digester. Biogas akan tertangkap

dan terkumpul di dalam cover.

Dengan teknologi ini, akan dihasilkan

biogas sebanyak ±20 m3/ton TBS. Jadi jika

kapasitas PKS sebesar 30 ton TBS/jam akan

menghasilkan biogas

±600 m3/jam, atau setara dengan energi

sebesar 3.720 kWh. Jika energi tersebut

digunakan untuk membangkitkan listrik dengan

menggunakan gas engine (efisiensi 35%) maka

akan dapat dibangkitkan listrik sebesar 1.303

kWh atau 1,3 MW.

Jika dihitung secara ekonomi, dengan

asumsi pembangkit beroperasi selama 300

hari/tahun dan 24 jam/hari dan harga ditetapkan

Rp. 975/kWh, sesuai permen ESDM (04/2012)

untuk pulau Jawa, maka terdapat potensi

pendapatan sebesar Rp. 9,15 M/tahun.

Teknologi yang berbeda adalah dengan

menggunakan anaerobic digester. Teknologi ini

lebih efektif baik dalam pengolahan limbah

POME sehingga akan dihasilkan biogas dalam

jumlah yang lebih besar. Pengolahan POME

dilakukan dengan membuat instalasi anaerobic

digester seperti yang terlihat pada skema gambar

4. Komponen utama teknologi ini adalah sebuah

reaktor yang senantiasa terkontrol. Dengan

demikian proses penguraian senyawa organik

secara anaerobic dapat diatur, baik komposisi,

mikrobia maupun termperaturnya untuk

mendapatkan hasil yang maksimal dengan

tingkat BOD yang lebih rendah dari 100 mg/l.

Biogas yang dihasilkan ±28 m3/ton TBS.

Jadi jika kapasitas PKS sebesar 30 ton TBS/jam

akan dihasilkan biogas ±840 m3/jam, atau setara

dengan energi sebesar 5.208 kWh. Energi listrik

yang dapat dibangkitkan dengan gas engine

(efisiensi 35%) adalah sebesar 1.822 kWh, atau

1,8 MW. Dengan asumsi yang sama, maka

potensi pendapatan adalah sebesar Rp. 12,8

M/tahun.

6

Dengan potensi yang cukup besar

tersebut diharapkan sektor perkebunan

mulai tertarik untuk berkontribusi dalam

kemandirian energi. Maka menjadi penting

bahwa sektor energi menjadi salah satu

aksi korporasi yang cukup strategis untuk

diterapkan di industri perkebunan

Indonesia.

4. Operasional Unit

Pemanfaatan Biogas Metode pengolahan limbah dapat

dilakukan secara fisika, kimia, dan biologi.

Pengolahan limbah secara kimia dilakukan

dengan proses koagulasi, flokulasi,

sedimentasi, dan flotasi. Proses kimia

sering kurang efektif karena pembelian

bahan kimianya yang cukup tinggi dan

menghasilkan sludge dengan volume yang

cukup besar. Sedangkan pengolahan

limbah secara biologis dapat dilakukan

dengan proses aerob dan anaerob.

Secara konvensional pengolahan

limbah cair PMKS dilakukan secara

biologis dengan menggunakan kolam, yaitu

limbah cair diproses dalam kolam aerobik

dan anaerobik dengan memanfaatkan

mikrobia sebagai perombak BOD dan

menetralisir keasaman cairan limbah.

Pengolahan limbah cair PMKS

secara konvesional banyak dilakukan oleh

pabrik karena teknik tersebut cukup

sederhana dan biayanya lebih murah.

Namun pengolahan dengan cara tersebut

membutuhkan lahan yang luas untuk

pengolahan limbah. Dengan kapasitas 30

ton TBS/jam, maka dibutuhkan sekitar 7

hektar lahan untuk pengolahan limbah.

Selain itu efisiensi perombakan limbah cair

PMKS hanya 60-70 % dengan waktu

retensi yang cukup lama yaitu 120-140

hari. Kolam-kolam limbah konvensional

akan mengeluarkan gas methan (CH4) dan

karbon dioksida (CO2) yang

membahayakan karena merupakan emisi

penyebab efek rumah kaca yang berbahaya

bagi lingkungan. Disamping itu kolam-

kolam pengolahan limbah sering

mengalami pendangkalan, sehingga baku

mutu limbah tidak tercapai.

Pengolahan limbah cair PMKS

dengan menggunakan digester anaerob

dilakukan dengan mensubtitusi proses yang

terjadi di kolam anaerobik pada sistem

konvensional kedalam tangki digester. Tangki

digester berfungsi menggantikan kolam

anaerobik yang dibantu dengan pemakaian

bakteri mesophilic dan thermophilic (Naibaho,

1996). Kedua bakteri ini termasuk bakteri

methanogen yang merubah substrat dan

menghasilkan gas methan.

Fermentasi anaerobik dalam proses

perombakan bahan organik yang dilakukan

oleh sekelompok mikrobia anaerobik fakultatif

maupun obligat dalam satu tangki digester

(reaktor tertutup) pada suhu 35-55 0C.

Metabolisme anaerobik selulose melibatkan

banyak reaksi kompleks dan prosesnya lebih

sulit daripada reaksi-reaksi anaerobik bahan-

bahan organik lain seperti karbohidrat, protein,

dan lemak. Bidegradasi tersebut melalui

beberapa tahapan yaitu proses hidrolisis, proses

asidogenesis, proses asetogenesis, dan proses

methanogenesis. Proses hidrolisis berupa

proses dekomposisi

7

Alkusma, Y.M., Hermawan, dan Hadiyanto. (2016). Pengembangan Potensi Energi Alternatif dengan Pemanfaatan Limbah Cair Kelapa Sawit sebagai

Sumber Energi Baru Terbarukan di Kabupaten Kotawaringin Timur. Jurnal Ilmu Lingkungan,14(2),96-102, doi:10.14710/jil.14.2.96-102

biomassa kompleks menjadi gkukosa

sederhana memakia enzim yang dihasilkan

oleh mikroorganisme sebagai katalis.

Hasilnya biomassa menjadi dapat larut

dalam air dan mempunyai bentuk yang lebih

sederhana. Proses asidogenesis merupakan

proses perombakan monomer dan oligomer

menjadi asam asetat, CO2, dan asam lemak

rantai pendek, serta alkohol. Proses

asidogenesis atau fase non methanogenesis

menghasilkan asam asetat, CO2, dan H2.

Sementara proses methanogensesis

merupakan perubahan senyawa-senyawa

menjadi gas methan yang dilakukan oleh

bakteri methanogenik. Salah satu bakteri

methanogeneik yang populer dalam

Methanobachillus omelianskii.

Proses biokonversi methanogenik

merupakan proses biologis yang sangat

dipengaruhi oleh faktor lingkungan baik

lingkungan biotik maupun abiotik. Faktor

biotik meliputi mikroba dan jasad aktif.

Faktor jenis dan konsentrasi inokulum

sangat berperan dalam proses perombakan

dan produksi biogas. Hasil penelitian

Mahajoeno, dkk (2008) mengungkapkan

inokulum LKLM II-20% (b/v) dengan

substrat 15 L, diperoleh produksi biogas

paling baik dibandingkan konsentrasi

lainnya dimana produksi biogasnya

mencapai 121 liter.

Sedangkan faktor abiotik meliputi

pengadukan (agitasi), suhu, tingkat

keasaman (pH), kadar substrat, kadar air,

rasio C/N, dan kadar P dalam substrat, serta

kehadiran bahan toksik (Mahajoeno, dkk,

2008). Diantara faktor abiotik di atas, faktor

pengendali utama produksi biogas adalah

suhu, pH, dan senyawa beracun.

Kehidupan mikroba dalam cairan

memerlukan keadaan lingkungan yang

cocok antara lain pH, suhu, dan nutrisi.

Derajat keasaman pada mikroba yaitu antara

pH 5-9. Oleh karena itu limbah cair PMKS

yang bersifat asam (pH 4-5) merupakan

media yang tidak cocok untuk pertumbuhan

bakteri, maka untuk mengaktifkan bakteri

cairan limbah PMKS tersebut harus di

netralisasi. Penambahan bahan penetral pH

dapat meningkatkan produksi biogas.

Namun keasaman nya dibatasi agar tidak

melebihi pH 9, karena pada pH 5 dan pH 9

dapat menyebabkan terganggunya enzim bakteri

(enzim teridir dari protein yang dapat

mengkoagulasi pada pH tertentu). Peningkatan

pH optimum akan memacu proses pembusukan

sehingga meningkatkan efektifitas bakteri

methanogenik dan dapat meningkatkan produksi

biogas. Mahajoeno, dkk (2008) menyatakan

menunjukkan bahwa pH substrat awal 7

memberikan peningkatan laju produksi biogas

lebih baik dibandingkan dengan perlakuan pH

yang lain

Peningkatan suhu juga dapat

meningkatkan laju produksi biogas. Mikroba

menghendaki suhu cairan sesuai dengan jenis

mikroba yang dikembangkan. Berdasarkan sifat

adaptasi bakteri terhadap suhu dapat dibedakan

menjadi 3 (tiga) bagian (Naibaho, 1996) yaitu : ▪ Phsycrophill, yaitu bakteri yang dapat hidup aktif

pada suhu rendah yaitu 10 0C, bakteri ini ditemukan pada daerah-daerah sub tropis.

8

▪ Mesophill, yaitu bakteri yang hidup pada suhu 10- 50 0C dan merupakan jenis bakteri yang paling banyak dijumpai pada daerah tropis.

▪ Thermophill, yaitu bakteri yang tahan panas pada suhu 50-80 0C. bakteri ini banyak dijumpai pada tambang minyak yang berasal dari perut bumi.

Perombakan limbah dapat berjalan

lebih cepat pada penggunaan bakteri

thermophill. Suhu yang tinggi dapat

memacu perombakan secara kimiawi,

perombakan yang cepat akan dimanfaatkan

oleh bakteri metahonogenik untuk

menghasilkan gas methan, sehingga dapat

produksi biogas. Peningkatan suhu sebesar

40 0C dapat menghasilkan 68,5 liter biogas

(Mahajoeno, dkk, 2008).

Limbah cair mengandung

karbohidrat, protein, lemak, dan mineral

yang dibutuhkan oleh mikroba. Komposisi

limbah perlu diperbaiki dengan

penambahan nutrisi seperti untur P dan N

yang diberkan dalam bentuk pupuk TSP

dan urea. Jumlah kandungan bahan

makanan dalam limbah harus

dipertahankan agar bakteri tetap

berkembang dengan baik. Jumlah lemak

yang terdapat dalam limbah akan

mempengaruhi aktivitas perombak limbah

karbohidrat dan protein. Selain kontinuitas

makanan juga kontak antara makanan dan

bakteri perlu berlangsung dengan baik yang

dapat dicapai dengan melakukan agitasi

(pengadukan). agitasi juga berpengaruh

terhadap produksi biogas. Pemberian

agitasi berpengaruh lebih baik

dibandingkan tanpa agitasi dalam

peningkatan laju produksi gas. Dengan

agitasi substrat akan menjadi homogen,

inokulum kontak langsung dengan substrat

dan merata, sehingga proses perombakan

akan lebih efektif. Agitasi dimaksudkan

agar kontak antara limbah cair PMKS dan

bakteri perombak lebih baik dan

menghindari padatan terbang atau

mengendap. Agitasi pada 100 rpm dapat

meningkatkan produksi biogas.

Reaksi perombakan anaerobik tidak

menginginkan kehadiran oksigen, karena

oksigen akan menonaktifkan bakteri.

Kehadiran oksigen pada limbah cair dapat

berupa kontak limbah dengan udara.

Kedalaman reaktor akan mempengaruhi reaksi

perombakan. Semakin dalam reaktor akan

semakin baik hasil perombakan.

Kehadiran bahan toksik juga

menghambat proses produksi biogas.

Kehadiran bahan toksik ini akan menghambat

aktivitas mikroorganisme untuk melakukan

perombakan. Maka untuk memperoleh

produksi biogas yang baik, kehadiran bahan

toksik harus dicegah.

Hasil produksi biogas juga ditentukan

oleh faktor waktu fermentasi. Hal ini

disebabkan untuk melakukan perombakan

anaerob terdiri atas 4 (empat) tahapan. Untuk

itu setiap proses membutuhkan waktu yang

cukup. Pengaruh waktu fermentasi

memberikan hasil yang berbeda pada produksi

biogas. Semakin lama proses fermentasi, maka

akan semakin tinggi produksi biogas.

9

Jurnal Ilmu Lingkungan, Vol. 14 (2): 96-102, 2016 ISSN : 1829-8907

Ahmad (2003) menyatakan parameter

kinetik merupakan dasar penting dalam

desain bioreaktor terutama konstanta laju

pertumbuhan mikroba maksimum dan

menentukan waktu tinggal biomassa

minimum. Parameter kinetik biodegradasi

anerob limbah cair PMKS optimum

diperoleh pada konstanta setengah jenuh

(Ks) 1,06 g/L, laju pertumbuhan spesifik

maksimum (µm) 0,187 / hari, perolan

biomassa (Y) 0,395 gVSS/gCOD, konstanta

laju kematian mikroorganisme (Kd) 0,027 /

hari, dan konstanta pemanfaatan substat

maksimum (k) 0,474

/ hari.

menetapkan batas maksimal H2S yang

terkandung hanya 0,05% saja. NH3, sekitar 0-

0,05%, emisi NOx setelah pembakaran

merusak kandungan bahan bakar biogas ini,

dan meningkatkan sifat anti-knock pada

engine. Uap air, sekitar 1-5%, dapat

menyebabkan korosi, risiko pembekuan, pada

peralatan, instrument, plant dan system

perpipaan.

Potensi biogas yang dihasilkan dari

600-700 kg limbah cair PMKS dapat

diproduksi sekitar 20 m3 biogas (Goenadi,

2006) dan setiap m3 gas methan dapat

diubah menjadi energi sebesar 4.700 –

6.000 kkal atau 20-24 MJ (Isroi, 2008).

Sebuah PMKS dengan kapasitas 30 ton

TBS/jam dapat menghasilkan tenaga biogas

untuk energi setara 237 KwH (Naibaho,

1996). Selain menghasilkan biogas,

pengolahan limbah cair dengan

proses digester anaerobik dapat dilakukan

pada lahan yang sempit dan memberi

keuntungan berupa penurunan jumlah

padatan organik, jumlah mikroba pembusuk

yang tidak diinginkan, serta kandungan

racun dalam limbah. Di samping itu juga

membantu peningkatan kualitas pupuk dari

sludge yang dihasilkan, karena sludge yang

dihasilkan berbeda dari sludge limbah cair

PMKS biasa yang dilakukan melalui

proses konvensional (Tobing, 1997).

Kelebihan tersebut

adalah : ▪ Penurunan kadar BOD bisa mencapai 80-90 %. ▪ Baunya berkurang sehingga toidak disukai lalat. ▪ Berwarna coklat kehitam-hitaman. ▪ Kualitas sludge sebagai pupuk lebih baik, yaitu :

➢ Memperbaiki struktur fisik tanah ➢ Meningkatkan aerasi, peresapan, retensi,

dan kelembaban ➢ Meningkatkan perkembangbiakan

dan perkembangan akar ➢ Meningkatkan kandungan organik tanah,

pH, dan kapasitas tukar kation tanah, dan ➢ Meningkatkan populasi mikroflora

dan mikrofauna tanah maupun aktivitasnya.

Secara umum diagram alir proses

pemanfaatan limbah cair kelapa sawit yang di

ambil gas methane untuk menjadi biogas dan

menghasilkan energi listrik digambarkan pada

Gambar 1.

5. Operasional Genset Berbahan

Bakar Biogas Biogas mengandung beberapa komponen

yaitu CO2, sekitar 25% sampai 50% per

volume, akibat yang ditimbulkan kandungan

CO2 yaitu menurunkan nilai kalori,

meningkatkan jumlah methane dan anti knock

pada engine, menyebabkan korosi (kurangnya

kandungan karbon acid)jika gas dalam keadaan

basah, serta merusak alkali dalam baan bakar

biogas ini. H2S, sekitar 0 sampai 0,5%, akibat

yang ditimbulkan kandungan H2S yaitu :

mengakibatkan korosi pada peralatan dan

system perpipaan (stress corrosion) oleh karena

itu banyak produsen mesin

10

Gambar 1. Contoh Salah Satu Diagram alir Unit

Pengolahan biogas

Gambar 2. Contoh Layout Unit Pengolahan Biogas PT. Laguna

Mandiri.

Debu / Dust, sekitar >5µm,

mengakibatkan terhalangnya nozzle, dan

kandungan biogas. N2, sekitar 0-5%, akibat

yang ditimbulkan yaitu mengurangi

kandungan nilai kalori, dan meningkatkan

anti-knock pada engine. Siloxanes, sekitar

0-5mg m-3 , mengakibatkan terjadinya

abrasive dan kerusakan pada mesin.

Perubahan biogas menjadi energi

listrik dilakukan dengan memasukkan gas

dalam tabung penampungan kemudian

masuk ke conversion kit yang berfungsi

menurunkan tekanan gas dari tabung

11

Alkusma, Y.M., Hermawan, dan Hadiyanto. (2016). Pengembangan Potensi Energi Alternatif dengan Pemanfaatan Limbah Cair Kelapa Sawit sebagai

Sumber Energi Baru Terbarukan di Kabupaten Kotawaringin Timur. Jurnal Ilmu Lingkungan,14(2),96-102, doi:10.14710/jil.14.2.96-102

sesuai dengan tekanan operasional mesin

dan mengatur debit gas yang bercampur

dengan udara di dalam mixer, dari mixer

bahan bakar bersama dengan udara masuk

kedalam mesin dan terjadilah pembakaran

yang akan menghasilkan daya untuk

menggerakkan generator yang menghasilkan

energi listrik. Karakteristik pembakaran

yang terjadi pada mesin diesel berbeda

dengan pembakaran pada mesin bensin. ➢ Karakteristik pembakaran biogas di dalam mesin

diesel

Bahan bakar biogas membutuhkan

rasio kompresi yang tinggi untuk proses

pembakaran sebab biogas mempunyai titik

nyala yang tinggi 645 C – 750C

dibandingkan titik nyala solar 220C, maka

mesin diesel umumnya digunakan secara

dualfuel dengan rasio kompresi sekitar 15 –

18. Proses pembakaran pada mesin dualfuel,

bahan bakar biogas dan udara masuk ke

ruang bakar pada saat langkah hisap dan

kemudian dikompresikan di dalam silinder

seperti halnya udara dalam mesin diesel

biasa. Bahan bakar solar dimasukkan lewat

nosel pada saat mendekati akhir langkah

kompresi, dekat titik mati atas (TMA)

sehingga terjadi pembakaran.

Temperatur awal kompresi tidak boleh

lebih dari 80 C karena akan menyebabkan

terjadinya knocking dan peristiwa knocking

yang terjadi pada mesin dualfuel hampir

sama dengan yang terjadi pada mesin bensin,

yaitu terjadinya pembakaran yang lebih awal

akibat tekanan yang tinggi dari mesin diesel.

Hal ini disebabkan karena bahan bakar

biogas masuk bersama-sama dengan udara

ke ruang bakar, sehingga yang

dikompresikan tidak hanya udara tapi juga

biogas

➢ Karakteristik pembakaran biogas di dalam mesin bensin

Mesin bensin dengan rasio kompresi

yang hanya berkisar antara 6 – 9,5 tidak

cukup untuk melakukan pembakaran biogas

karena titik nyala biogas yang tinggi 645C -

750 C, untuk itu dilakukan penambahan

rasio kompresi mesin menjadi 10 – 12.

Proses pembakaran biogas sama seperti pada

mesin bensin normal, yaitu biogas dan udara

masuk ke ruang bakar dan pada akhir langkah

kompresi terjadi pembakaran, pembakaran ini

terjadi karena bantuan loncatan bunga api dari

busi.

6. Perkebunan di Kabupaten Kotawaringin Timur

Kabupaten Kotawaringin Timur

merupakan salah satu dari 13 kabupaten/kota

yang ada di Propinsi Kalimantan Tengah.

Secara geografis berkedudukan pada 112˚7’ 29”

- 113˚ 14’ 22” Bujur

Timur dan 1˚ 11’ 504” - 3˚ 18’ 51” Lintang Selatan, dengan luas wilayah 16.496 Km

Potensi sektor tanaman perkebunan di

Kabupaten Kotawaringin Timur meliputi karet,

kelapa dalam, kopi, lada dan kelapa sawit.

Untuk tanaman perkebunan rakyat, karet dan

kelapa dalam

12

merupakan komoditas yang memiliki luas

terbesar. Kelapa dalam terkonsentrasi di

wilayah pesisir Kabupaten Kotawaringin

Timur dengan Kecamatan Mentaya Hilir

Selatan mempunyai luas terbesar diikuti

Kecamatan Pulau Hanaut. Untuk

perkebunan karet terutama berkembang di

wilayah tengah sampai utara Kabupaten

Kotawaringin Timur dengan luas terbesar

di Kecamatan Mentaya Hulu. Untuk

perkebunan kelapa sawit diusahakan oleh

perkebunan besar swasta dengan pola inti

atau plasma dengan kelompok tani atau

Koperasi Unit Desa (KUD). Di Kabupaten

Kotawaringin Timur Terdapat 60 PBS

kelapa sawit dengan luas lahan

pencadangan total mencapai 681.415,16 Ha

dan luas lahan penanaman total mencapai

461.237,3 Ha, yang terdiri atas inti seluas

404.360,7 Ha dan plasma seluas 56.876,6

Ha. Dari 60 PBS yang telah beroperasi

tersebut, terdapat 25 PBS yang telah

memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit,

dimana 10 diantaranya berada di lintas

kabupaten dengan total kapasitas produksi

mencapai 1.490 ton TBS/jam.

Tabel 1. Perusahaan PBS yang Memiliki Pabrik Pengolahan

Kelapa Sawit di Kabuopaten Kotawaringin Timur per Deember

2014

No Nama Perusahaan Kapasitas Pabrik PKS

(ton TBS/jam) 1. PT. Karya Makmur Bahagia 75

2. PT. Karya Makmur Bahagia (II) 45

3. PT. Katingan Indah Utama 90

4. PT. Uni Primacom 20

5. PT. Suka Jadi Sawit Mekar (I) 90

6. PT. Sukajadi Sawit Mekar (II) 45

7. PT. Tunas Agro Subur Kencana 120

8. PT. Windu Nabatindo Lestari 90

9. PT. Swadaya Sapta Putra 45

10. PT. Sapta Karya Damai 30

11. PT. Bangkit Giat Usaha Mandiri 45

12. PT. Maju Aneka Sawit 45

13. PT. Sarana Prima Multi Niaga 45

14. PT. Agro Bukit 90

15. PT. Bumi Sawit Kencana 45

16. PT. Surya Inti Sawit Kahuripan 60

17. PT. Mentaya Sawit Mas 45

18. PT. Hutan Sawit Lestari 90

19. PT. Unggul Lestari 45

20. PT. Windu Nabatindo Abadi 60

21. PT. Adhyaksa Dharmasatya 30

22. PT. Agro Wana Lestari 90

23. PT. Karunia Kencana Permaisejati 45

24. PT. Mulia Agro Permai 60

25 PT. Intiga Prabhakara Kahuripan 45 TOTAL KOTIM 1.490

1. PT. Agro Indomas ( I ) *) 90

2. PT. Agro Indomas ( II ) *) 90

3. PT. Kridatama Lancar *) 60

4. PT. Bisma Dharma Kencana *) 30

5. PT. Mustika Sembuluh (I) *) 60

6. PT. Mustika Sembuluh (II) *) 45

7. PT. Teguh Sempurna *) 30

8. PT. Bumi Hutani Lestari *) 60

9. PT. Tapian Nadenggan (Unit

Semilar) *) 80

10. PT. Agrokarya Primalestari (Unit

Kuayan) *) 80

TOTAL LINTAS KABUPATEN 625

*) : Lintas Kabupaten

Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah,

tahun 2014

13

Jurnal Ilmu Lingkungan, Vol. 14 (2): 96-102, 2016 ISSN : 1829-8907

Sebanyak 25 perusahaan yang telah

memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit

dengan kapasitas olah Tandan Buash Segar

mencapai 1.490 ton TBS/jam dan 10 pabrik

pengolahan kelapa sawit berada di lintas

kabupaten Kotawaringin Timur dengan total

kapasitas olah pabrik sebesar 625 ton TBS

/jam, dengan asumsi material balance

selama proses produksi tandan buah segar

kelapa sawit secara umum dimana limbah

cair yang dihasilkan adalah sebesar 60%

dari total proses produksi. Dengan demikian

jumlah kapasitas pabrik total di Kabupaten

Kotawaringin Timur sebesar 2.115 ton

TBS/jam, maka limbah cair yang dihasilkan

adalah sebesar 1.269 ton limbah cair/jam

dihasilkan selam proses produksi

berlangusng. Dengan potensi limbah cair

kelapa sawit yang bisa menghasilkan biogas

sangat besar. Dimana beradasarkan asumsi

bahwa setiap 600 – 700 kg limbah cair yang

dihasilkan dapat di produksi sekitar 20 m3

biogas (Goenadi, 2006) maka potensi biogas

yang ada di Kabupaten Kotawaringin Timur

adalah sebesar 42.300 m3 biogas. Dengan

besarnya potensi biogas yang dihasilkan

tersebut pemerintah kabupaten

Kotawaringin Timur berpeluang besar untuk

melakukan pengembangan penggunaan

energi baru terbarukan yang berasal dari

Limbah Cair Kelapa Sawit. Yang pada

akhirnya akan meningkatkan rasio

eletrifikasi yang saat ini hanya sebesar 60%.

7. Penutup Dengan meningkatnya kebutuhan

energi di Kabupaten Kotawaringin Timur,

dengan berkembang pesatnya potensi

ekonomi dari sektor pertanian subsektor

perkebunan, maka penggunaan energi baru

terbarukan sangat penting untuk

dikembangkan. Mengingat kondisi

pembangunan energi listrik yang belum

merata, maka kebutuhan pasokan energi

listrik bagi daerah terpencil dan tersebar di

Kabupaten Kotawaringin Timur, hendaknya

pemerintah Daerah mendorong pihak

perusahaan besar swasta yang bergerak di

bidang perkebunan kelapa sawit untuk bisa

memanfaatkan energi yang berasal dari

limbah cair kelapa sawit yang melimah

keberadaanya.

Dengan Total kapasitas pabrik di

Kabupaten Kotawaringin Timur sebesar 2.115

ton TBS/jam, maka limbah cair yang bisa di

manfaatkan adalah sebsar 1.269 ton limbah

cari/jam dan mampu menghasilkan biogas

sebesar 1.269.000 m3.

Diperlukan adanya perhitungan dan kajian

yang lebih mendalam berapa besar potensi

limbah cair kelapa sawit yang dapat di

manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi

di Kabupaten Kotawaringin Timur.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2015) Dokumen Addendum AMDAL Pemanfaatan Biogas PT.

Laguna Mandiri Kab. Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan

Anonim. (2012). Materi Teknik RTRW Kabupaten Kotawaringin Timur

Tahun 2012-2032. Bappeda Kab. Kotim

14

Brojonegoro, B., & Permadi, B. (1992). "AHP" Pusat Antar

Universitas, Studi Ekonomi. Jakarta : UI

Budiati, Lilin. (2014). Good Governance dalam Pengelolaan

Lingkungan Hidup. Ghalia Indonesia. Bandung

Danim, S. (2002).Menjadi Peneliti Kualitatif. Pustaka Setia.

Bandung.

Ginting, Perdana (2007). Sistem Pengelolaan Lingkungan dan

Limbah Industri. CV. Yrama Widya. Bandung.

Hariyadi. 2009. Dampak Ekologi Pengembangan Kelapa Sawit

untuk

Bioe

nergi.

http:/energi.infogue.com/dampak_ekologi_pengembangan_ kelapa_sawit _untuk_bioenergi. (17 Maret 2009).

Isroi. 2008. Energi Terbarukan dari Limbah Pabrik Kelapa Sawit.

isroi.wordpress.com/2008/02/2005energi_dari_limbah_s

a wit/-70-k. (17 Maret 2009).

Keputusan Menteri KLH Nomor KEP 51/MEN KLH/10/1995

tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri.

Mahajoeno, Edwi, Lay, Bibiana Widiati, Sutjahjo, Suryo Hadi, dan

Siswanto. 2008. Potensi Limbah Cair Pabrik Minyak

Kelapa Sawit untuk Produksi Biogas. Jurnal Bioversitas

Volume 9 No. 1.

Mutu'ali, L. ((2012). Daya Dukung Lingkungan untuk Perencanaan

Pengembangan Wilayah. Badan Penerbit Fakultas Geografi

Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Naibaho, Ponten M. 1996. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit, Medan

: Pusat Penelitian Kelapa Sawit.

Naibaho, Ponten M. 1999. Aplikasi Biologi dalam Pembangunan

Industri Berwawasan Lingkungan, Jurnal Visi 7.

Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia.

Bogor

Sastrosayono, S., 2003. Budidaya Kelapa Sawit. Agromedia Pustaka,

Jakarta.

Setyamidjaja, D. 2006. Budidaya Kelapa Sawit. Kanisius. Yogyakarta.

62 Hal.

Soerjani, Muhamad, Yowono, Arief, dan Fardiaz, Dedi. 2007.

Lingkungan : Pendidikan, Pengelolaan Lingkungan, dan

Keberlanjutan Pembangunan, Jakarta; Yayasan Institut

Pendidikan dan Pelatihan Lingkungan Jakarta

Sunarko, 2008. Petunjuk Praktis Budidaya dan Pengolahan Kelapa

Sawit. Agromedia Pustaka, Jakarta

Wahyuni, Sri. (2013). Panduan Praktis Biogas. Penebar Swadaya.

Jakarta

Lampiran 2

SIMULASI PENGARUH KOMPOSISI LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA

SAWIT (POME) TERHADAP KANDUNGAN AIR BIOGAS DAN DAYA

LISTRIK YANG DIHASILKAN SEBUAH PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA

BIOGAS

Nazaruddin Sinaga1, Ahmad Syukran B. Nasution2

1Staf Pengajar Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro

Jl. Prof. Sudarto SH, Tembalang, Semarang, 50131

2MahasiswaJurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro

Jl. Prof. Sudarto SH, Tembalang, Semarang, 50131

*E-mail : [email protected]

ABSTRAK

67

Indonesia merupakan negara dengan industri kelapa sawit terbesar di dunia. Limbah cair pabrik kelapa

sawit adalah limbah cair yang berminyak dan tidak beracun, hasil pengolahan minyak sawit. Meski tak

beracun, limbah cair tersebut dapat menyebabkan bencana lingkungan karena dibuang di kolam terbuka

dan melepaskan sejumlah besar gas metana dan gas berbahaya lainnya yang menyebabkan emisi gas

rumah kaca. Digestasi anaerobik merupakan proses konversi senyawa organik menjadi biogas dengan

kondisi tanpa oksigen melalui empat tahapan. Limbah cair pabrik kelapa sawit (POME) berasal dari

proses produksi minyak mentah kelapa sawit atau biasanya disebut crude palm oil (CPO). Kandungan

yang terdapat didalam limbah cair pabrik kelapa sawit ialah 95 % air dan 4 – 5 % padatan total. Tujuan

dari penelitian ini untuk mempelajari pengaruh komposisi limbah cair pabrik kelapa sawit terhadap

kandungan air biogas dan daya listrik yang dihasilkan oleh mesin gas. Penelitian ini diharapkan dapat

menemukan informasi mengenai pengoptimalan data yang ingin dicapai. Dalam simulasi ini, metode

perhitungan biogas menggunakan metode stoikiometri danmetode pemurnian biogasnya ialahwater

scrubbing dengan kondisi operasi tekanan 9 bar dan jumlah stage sebanyak 4. Feedstream input limbah

cair sebesar 400 m3/day. Digester yang digunakan ialah CSTR dengan pendegradasian sebesar 71 %.

Kondisi mesophilik yang dipilih dalam simulasi ini yaitu 37 oC. Variasi Komposisi TSS POME berkisar 2

- 4 % dan komposisi air sebesar 95-96 %. Daya listrik dan panas yang dibangkitkan menggunakan mesin

gas. Debit massa air tanpa cooler sebesar 0.82 kg/h dan 0.8 kg/h tanpa cooler. Simulasi ini menghasilkan

daya listrik dan daya panas terbesar pada 4 % TSS sebesar 0.9961 MW menggunakan cooler. Pada

kondisi tanpa cooler menghasilkan daya listrik sebesar 0.9963 MW.

Kata kunci: POME, Daya listrik, Daya panas, Kandungan air

1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan

industri kelapa sawit terbesar di dunia. Panen

rata-rata tahunan minyak sawit mentah

Indonesia meningkat sebesar tiga persen pada

10 tahun terakhir, sedangkan wilayah yang

ditanami kelapa sawit meningkat selama

sembilan tahun terakhir.

Gambar 1. Sumber produksi kelapa sawit dunia [2]

Indonesia juga mengharapkan peningkatan

produksi minyak sawit mentah dari 28,5 juta metrik ton pada tahun 2014. Gambar 1.

menunjukkan negara – negara yang

68

memproduksi kelapa sawit di dunia. Dampak

lain perkembangan pesat produksi minyak

sawit mentah adalah limbah cair kelapa

sawit, yang sering disebut sebagai palm oil

milleffluent atau POME [1].

POME adalah limbah cair yang

berminyak dan tidak beracun, hasil

pengolahan minyak sawit. Meski tak

beracun, limbah cair tersebut dapat

menyebabkan bencana lingkungan karena

dibuang di kolam terbuka dan melepaskan

sejumlah besar gas metana dan gas

berbahaya lainnya yang menyebabkan emisi

gas rumah kaca. Tingginya kandungan

Chemical Oxygen Demand (COD) sejumlah

50.000-70.000 mg/l dalam limbah cair kelapa

sawit memberikan potensi untuk konversi

listrik dengan menangkap gas metana yang

dihasilkan melalui serangkaian tahapan

proses pemurnian [1].

Dalam jurnal ini, POME akan dimodelkan

sebagai substrat biogas kemudian kadar air

biogas, daya listrik dan panas yang

dihasilkan menggunakan mesin gas akan

dianalisa terhadap variasi komposisi TSS

POME. Simulasi ini menggunakan Aspen

Plus V 8.6 sebagai alat bantu perhitungan.

1.1. Limbah Cair Kelapa Sawit

Limbah cair kelapa sawit berasal dari

proses produksi minyak mentah kelapa sawit

atau biasanya disebut crude palm oil (CPO).

Kandungan yang terdapat didalamnya ialah

95 – 96 % air dan 4 – 5 % padatan total.

Karbohidrat, fat, dan protein di dalam limbah

cair kelapa sawit sebesar 29.55 %, 10.21 %,

dan 12.75 %. Total padatan campuran

berkisar 2 – 4 % [4]. Didalam limbah cair ini

juga terdapat beberapa senyawa mineral

makro dan mikro seperti potassium (K),

sodium (Na), kalsium (Ca), iron (Fe), zinc

(Zn), kromium (Cr), dan lainnya [5]. Maka,

POME dapat dimanfaatkan sebagai substrat

untuk produksi biogas karena memiliki

nutrien untuk bakteri pada proses digestasi

anaerobik.

1.2. Digestasi Anaerobik Digestasi anaerobik pada POME

merupakan proses konversi senyawa organik

menjadi biogas dengan kondisi tanpa oksigen

melalui empat tahapan seperti yang terdapat

pada Gambar 2.Empat tahapan tersebut ialah

hidrolisis, acidogenesis, acetogenesis, dan

metanogenesis. Umumnya POME didigestasi

dengan menggunakan kolam anaerobik.

Digestasi anaerobik dapat dilakukan pada

kondisi mesophilik dan termophilik.

Gambar 2. Empat proses digestasi anaerobik

[3]

2. METODOLOGI PENELITIAN

Dalam simulasi ini dibuat sebuah

diagram alir penelitian untuk memberikan

kemudahan dalam melakukan jalannya

penelitan ini. Gambar 3. adalah diagram alir

yang digunakan pada simulasi penelitian ini.

POME dimodelkan sebagai air, dextrose,

palmitic acid, dan protein [6]. Digester yang

digunakan ialah CSTR dengan efisiensi

pengurangan COD sebesar 71 %. Efisiensi

pengurangan COD digunakan sebagai

efisiensi pendegradasian masing – masing

senyawa organik dalam pensimulasian [7].

Kondisi mesophilik dipilih dalam simulasi ini

yaitu sebesar 37 oC.

69

Gambar 3. Diagram alir penelitian

Variasi Komposisi TSS POME yang

digunakan 5 - 9 % dengan komposisi air 90

%. Metode perhitungan biogas digunakan

metode stoikiometri. Untuk pemurnian

biogas, high pressure water scrubbing dipilih

dengan kondisi operasi tekanan 9 bar dan

jumlah stage sebanyak 4. Flowsheet mesin

gas pada pembangkit biogas sistem satu

stage dalam simulasi ini dapat dilihat pada

Gambar 4.High pressure water scrubbing

merupakan salah satu teknik pemurnian

biogas yang termudah dan termurah termasuk

dalam menggunakan air bertekanan tingggi

sebagai penyerap.

Metode properties dalam simulasi ini

menggunakan PR (Peng-Robinson) karena

persamaannya dapat menghasilkan prediksi

yang lebih baik terhadap kesetimbangan

sistem hidrokarbon [8]. Kondisi

pengoperasian mesin gas sama seperti mesin

pembakaran dalam [9]. Feedstream input

sebesar 400 m3/day [10]. Mesin gas

divalidasikan dengan salah satu mesin

Jenbacher type 3. Mesin gasdimodelkan

dengan beberapa unit operasi seperti :

expander, kompresor, coolers, dan RGibbs

[9].

Gambar 4. Mesin gas

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Validasi Mesin Gas

Mesin gas pada Aspen plus divalidasikan

dengan data mesin gas JMS 320 GS-B.LC

[11]. Tabel 1. Menampilkan beberapa

70

parameter yang dilihat antara hasil simulasi

dengan data literatur.

Data yang diambil seperti efisiensi

kelistrikan, efisiensi panas yang

dimanfaatkan, dan temperatur gas buang dari

hasil pembakaran mesingas.

Tabel 1. Perbedaan data simulasi

Data Unit JMS 320 GS-B.LC Simulasi Relative difference

3.2. Komposisi Senyawa Organik POME Komposisi senyawa organik POME

mengalami perubahan seperti yang terlihat

pada Gambar 5. berikut.

2.5

2

terhadap debit biogas yang dihasilkan

terhadap variasi TSS. Gambar 6.

Menampilkan perubahan debit biogas setelah

mengalami proses pemurnian dan debit make

up water yang dibutuhkan untuk

menghasilkan debit biogas dengan komposisi

gas metana sebesar 95 – 98 % massa biogas.

1.5

1

0.5

0

2 2 . 2 5 2 . 5 2 . 7 5 3 3 . 2 5 3 . 5 4

TSS (%)

3000

2500

2000

1500

1000

180.0

160.0

140.0

120.0

100.0

80.0

60.0

40.0

Gambar 5. Komposisi senyawa organik

POME terhadap TSS

Komposisi karbohidrat menjadi menjadi

senyawa organik POME dengan komposisi

terbesar terhadap variasi TSS. Sesuai dengan

Salihu, et al. [5], hal ini disebabkan oleh

komposisi karbohidrat di dalam senyawa

utama POME lebih besar dibandingkan fat

dan protein yaitu sebesar 29.55 %.

3.3. Debit Massa Make up Water Scrubber

Kebutuhan make up water dalam proses

pemurnian biogas, mengalami kenaikan

maka semakin besar debit make up water

yang dibutuhkan sebagai penyerap. Debit

biogas terbesar berada pada 4 % TSS,

dihasilkan sebesar 171.141 kg/h dan debit

make up water yang dibutuhkan untuk

pemurniannya sebesar 2750 kg/h.

Karbohidrat

Fat

Protein

PE

RS

EN

TA

SE

(%

)

DE

BIT

MA

SS

A M

AK

E U

P W

AT

ER

(K

G/H

)

DE

BIT

BIO

GA

S

(KG

/H)

(%)

Electrical efficiency % 40.9 42.5 4.03

Thermal efficiency % 42.3 42.7 0.98

Exhaust gas temperature oC 450.0 464.829 3.30

71

500

20.0

0 0.0

2 2 . 2 5 2 . 5 2 . 7 5 3 3 . 2 5 3 . 5 4

TSS (%)

Gambar 6. Debit make up water dan debit

biogas terhadap TSS

Menurut Bauer, et al. [13] debit make up

water berpengaruh terhadap kelarutan

senyawa yang terdapat dalam biogas.

Semakin besar debit biogas terhadap TSS

3.4. Debit dan Fraksi Massa Gas Metana Biogas

Debit dan fraksi massa gas metana di

dalam biogas yang dihasilkan melalui

metode stoikiometri dapat dilihat didalam

Gambar 7. Sesuai dengan Bauer, et al. [13],

proses pemurnian menggunakan air sebagai

72

DE

BIT

MA

SS

A B

IOG

AS

(K

G/H

)

penyerap pada metode high pressure water

scrubbing menyebabkan senyawa – senyawa

di dalam biogas terlarut berdasarkan derajat

kelarutannya. Debit dan fraksi massa gas

metana terbesar setelah proses pemurnian

yang ditampilkan dalam Gambar 7. Adalah

sebesar 168.6 kg/h dan 98.5 %.

Gambar 8.Kandungan airterhadap

komposisi TSS POME

Dari grafik diatas, terjadi kenaikan pada

komposisi 3% TSS.Kandungan air di dalam

biogas terbesar berada pada komposisi 4 %

TSS yaitu sebesar 0.82 kg/h dan setelah

didinginkan turun menjadi 0.8 kg/h.

Penurunan kadar air setelah didinginkan

sebesar 0.18 – 0.66 %. 180.0

160.0

140.0

120.0

100.0

80.0

60.0

40.0

20.0

0.0

2 . 0 0 2 . 2 5 2 . 5 0 2 . 7 5 3 . 0 0 3 . 2 5 3 . 5 0 4 . 0 0

TSS (%)

120.

0

100.

0

80.0

60.0

40.0

20.0

0.0

3.6. Daya Listrik

Setelah gas dikeringkan oleh COOLER,

gas dimanfaatkan sebagai bahan bakar di

dalam mesin gas. Mesin gas sebagai validasi

memiliki efisiensi kelistrikan sebesar 40.9 %.

Gambar 9. menunjukkan daya yang

dibangkitkan dari hasil pembakaran biogas

terhadap komposisi TSS.

1.2000

Gambar 7. Debit dan fraksi massa gas

metana terhadap TSS

Debit gas metana setelah proses

pemurnian tidak terlalu berbeda dengan debit

gas metana sebelum dimurnikan seperti yang

terlihat di dalam grafik diatas. Debit gas

metana yang terlarut saat proses pemurnian

sebesar 1 – 1.29 %.

1.000

0

0.800

0

0.600

0

0.400

0

0.200

0

0.000

0

2 . 0 0 2 . 2 5 2 . 5 0 2 . 7 5 3 . 0 0 3 . 2 5 3 . 5 0 4 . 0 0

TSS

(%)

Debit dengan scrubber

Debit tanpa scrubber

FR

AK

SI

(%)

DA

YA

(M

W)

73

3.5. Kandungan Air Biogas

Setelah proses pemurnian, biogas memiliki kandungan air. Gambar 8. adalah grafik debit

kandungan airterhadap komposisi TSS pada saat sebelum dan sesudah dikeringkan menggunakan

cooler.

0.9

0.8

0.7

0.6

0.5

0.4

0.3

0.2

0.1

0

2 . 0 0 2 . 2 5 2 . 5 0 2 . 7 5 3 . 0 0 3 . 2 5 3 . 5 0 4 . 0 0

TSS (%)

Gambar 9. Daya listrik terhadap komposisi TSS

Grafik daya terhadap komposisi TSS diatas selalu mengalami kenaikan. Daya listrik terbesar

berada pada komposisi 4 % TSS yaitu sebesar 0.9961 MW menggunakan cooler dan 0.9963

MW tanpa cooler. Hal ini disebabkan karena debit biogas yang diproduksi semakin besar

terhadap komposisi TSS di dalam POME yang ditingkatkan. Menurut Deng, et al. [14],

semakin besar bahan bakar yang digunakan dapat dikatakan bahwa semakin besar konversi

energi kimia dari bahan bakar menjadi energi listrik.

3.7. Daya Panas

Dari proses pembakaran biogas di dalam mesin gas, terdapat panas yang keluar dari mesin

tersebut. Daya panas ini dapat dimanfaatkan untuk keperluan tambahan pembangkit. Gambar 10.

menampilkan grafik produksi panas yang dihasilkan terhadap komposisi TSS. 1.2000

1.0000

0.8000

0.6000

0.4000

KA

ND

UN

GA

N A

IR

(KG

/H)

TE

RM

AL

(MW

)

74

0.2000

0.0000

2 . 0 0 2 . 2 5 2 . 5 0 2 . 7 5 3 . 0 0 3 . 2 5 3 . 5 0 4 . 0 0

TSS (%)

Gambar 10.Daya termal terhadap komposisi TSS

Dari grafik termal atau daya panas yang dihasilkan diatas, daya termal yang dihasilkan akan semakin besar saat

daya listrik yang dibangkitkan semakin besar juga. Menurut Ekwonu, et al. [8], Daya yang dikeluarkan, efisiensi,

dan temperatur gas buang tergantung pada LHV dari bahan bakar. Jumlah metan yang dihasilkan akan semakin

besar setiap TSS dinaikkan mengakibatkan daya panas yang dihasilkan dari pembakaran meningkat. Daya panas

terbesar berada pada komposisi 4 % TSS yaitu sebesar 1.0001 MWmenggunakan cooler dan 1.0016 MW tanpa

cooler

4. KESIMPULAN

Dari hasil simulasi perhitungan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kandungan air

mengalami kenaikan terhadap variasi komposisi TSS yang semakin besar. Debit massa air terbesar

berada pada4 % TSS yaitu sebesar 0.82 kg/h dan setelah didinginkan turun menjadi 0.8 kg/h. Daya

terbesar yang dibangkitkan berada pada 4 % TSS yaitu sebesar 0.9961 MW menggunakan cooler dan

0.9963 MW tanpa cooler. Sementara daya panas yang dihasilkan oleh mesin gas, memiliki karakter

yang sama dengan daya listrik yang dibangkitkan. Semakin besar daya listrik yang dibangkitkan maka

semakin besar juga daya panas yang dihasilkan. Daya panas terbesar berada pada

4 % TSS juga yaitu sebesar 1.0001 MW menggunakan cooler dan 1.0016 MW tanpa

cooler.

REFERENSI

Wu TY, Mohammad AW, Md. Jahim J, Anuar, N. 2007. Palm oil mill effluent (POME)

treatment and bioresources recovery using ultrafiltration membrane: effect of pressure

on membrane fouling. Biochem Eng J:35:309-17.

Yeo A. 2010. Palm oil: environmental curse or a blessing.

Krich K, Augenstein D, Batmale JP, Benemann J, Rutledge B, Salour D., 2005.

Biomethane fromDairy Waste: A Sourcebook for the Productionand Use of Renewable

Natural Gas inCalifornia, USDA Rural Development Report.

Borja R, Banks CJ. Anaerobic digestion of palm oil mill effluent using an up-

flowanaerobic sludge blanket (UASB) reactor. Biomass Bioenergy

1994;6:381–9.

Salihu, A., & Alam, M.Z. 2012. Palm oil mill effluent: a waste or a raw material?.Journal of

Applied Sciences Research, 8, 466-473.

Maizirwan, Mel., 2015. Senyawa pada POME. Malaysia

75

Nasution, A. S. B., 2016. Optimasi Proses Produksi Biogas dari Palm Oil Mill Effluent

(POME) untuk Sistem Pembangkit Listrik dan Panas Terbarukan di Pabrik CPO Muaro

Jambi. Semarang.

Ekwonu, M. C., Perry S., Oyedoh, E. A., 2013. Modelling and Simulation of Gas Engine

Using Aspen HYSYS. Journal of Engineering Science and Technology Review (3) 1-4.

ISSN: 1791-2377 ©

2011 Kavala Institute of Technology. All rights reserved.

Megwai, G. U., 2014. Process Simulations of Small Scale Biomass Power Plant. MSc Thesis

in Resource Recovery-Sustainable Engineering. University of Boras

Lam, K. M., dan Lee. K. T., 2011.

Renewableandsustainablebionenergies production from palm oil mill effluent (POME) : Win-

win startegiestowardbetter environmental protection. Biotechnology Advances 29 124-141.

Technical data JMS 320 GS-B.LC, Biogas.

2G Bio-Energietechnik AG

F. Bauer, C. Hulteberg, T. Persson, and

D. Tamm, 2013. "Biogas upgrading - Review of commercial technologies," Svenskt

Gastekniskt Center (SGC) AB, Malmö, Sweden.

Deng, J., R.Z. Wang, and G.Y. Han, 2011. A review of thermally activated cooling

technologies for combined cooling, heating and power systems. Progress in Energy and

Combustion Science, 37(2):p. 172-203.

76

Lampiran 3

POTENSI PENANGKAPAN GAS METANA DAN PEMANFAATANNYA

SEBAGAI BAHAN BAKAR PEMBANGKIT LISTRIK DI PTPN VI JAMBI

Irhan Febijanto Pusat Teknologi Sumberdaya Energi, BPPT,

Jl. M.H. Thamrin No. 8, Jakarta Pusat, phone: (021)316 9860

Email: [email protected]

ABSTRAK

Umumnya di dalam pemanfaatan air limbah di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Indonesia terbatas hanya

untuk aplikasi daratan. Teknologi untuk menangkap dan memanfaatkan gas metana yang dihasilkan

dari kolam anaerobik pengolahan air limbah telah dikembangkan, akan tetapi halangan ekonomi

merupakan masalah besar untuk menerapkan teknologi ini. Karena Mekanisme Pembangunan

Bersih (CDM) telah diperkenalkan di Indonesia, teknologi untuk menangkap dan memanfaatkan gas

metana mempunyai peluang untuk diterapkan. Menggunakan revenue CDM, investor asing

mempunyai kesempatan untuk menginvestasikan instalasi untuk menangkap dan membakar gas

metana yang dihasilkan dari kolam anaerobik pengolahan air limbah di PKS. Sebagian dari mereka

memanfaatkan gas metana yang ditangkap sebagai bahan bakar untuk menggantikan bahan bakar

fosil. Di dalam studi ini, potensi pengurangan Gas Rumah Kaca dari gas metana di PKS PT.

Perkebunan Nusantara VI diteliti. Menggunakan AMS-III.H (Approved Methodology) mengenai

metodologi ”recovery metana di dalam pengolahan limbah” dan AMS-I.D mengenai ”pembangkitan

energi listrik terbarukan yang terkoneksi dengan jaringan grid”, potensi gas metana yang ditangkap

dan listrik yang dibangkitkan dihitung. Ada dua jenis revenue yang mungkin diperoleh dalam proyek

ini, yaitu satu dari penjualan karbon kredit ke para pembeli CER (reduksi emisi yang bersertifikat),

dan yang lainnya dari penjualan listrik ke PT. PLN (Perusahaan Listrik Negara). Telah diketahui

terdapat dua PKS yang layak menerapkan teknologi ini.

Kata kunci: Gas rumah kaca, Reduksi emisi bersertifikat, Listrik, Pabrik kelapa sawit, Effluen, Mekanisme

pembangunan bersih

ABSTRACT

In general waste water utilization in Indonesian palm oil mills (POMs) is only limited for aplikasi

lahan. The technology to capture and utilize methane gas generated from an-aerobic pond of waste

water treatment have been developed, unfortunately economical barrier is a big problem to

implement this technology. Since Clean Development Mechanism (CDM) has been being introducing

in Indonesia, the technology for methane gas capture and utilization have an opportunity to be

implemented. Using CDM revenue, foreign investors has an opportunity to invest an installation to

77

capture and flare methane gas generated from an-aerobic pond of waste water treatment in POM.

Some of them utilize methane gas captured as a fuel to substitute fossil fuel. In this study, the

potential reduction of Green House Gas of methane gas in POM of PT. Perkebunan Nusantara VI is

investigated. Using AMS-III.H (Approved Methodology) regarding “Methane recovery in waste

treatment” methodology and AMS-I.D regarding “Grid connected renewable electricity generation”,

the potential methane gas captured and electricity generated is calculated. There are two kinds of

revenue is possible in this project, one from selling credit carbon to CER (Certified Emission

Reduction) buyers, and the others from selling electricity to PT. PLN (Perusahaan Listrik Negara). It

was known that two POMs are feasible to be implemented this technology.

Key words: Green house gases, Certified emission reduction, Electricity, Palm oil mill, Palm mill oil

effluent, Clean development mechanism

1. PENDAHULUAN

Dalam rangka implementasi pengurangan emisi rumah kaca ini, PTPN VI selaku pemilik

proyek, bersama PTPSE-BPPT, selaku konsultan teknis CDM dan Shimizu Co., selaku

pembeli CER (Credit Emission Reduction) bekerjasama untuk melakukan inventarisasi

potensi pemanfaatan limbah cair dari Pabrik Kelapa Sawit milik PTPN VI. Pelaksanaan

studi berlangsung dari bulan September-Desember 2009.

1.1. Penangkapan Gas Metana di PKS sebagai Proyek CDM

Penangkapan gas metana di kolam pengolahan limbah cair ini merupakan aplikasi

pemanfaatan limbah cair, yang sudah diketahui lama oleh para peneliti, tetapi aplikasi ke

lahan belum banyak dilakukan di Indonesia karena tidak ekonomis.

Karena pelaksanaan pemanfaatan gas metana ini terkait dengan investasi, maka pemilihan

lokasi yang mempunyai potensi gas metana perlu dipilih dengan teliti dan seksama,

berdasarkan data-data yang terkait dengan jumlah TBS olah dan jumlah limbah cair

(POME/Palm Oil Mill Effluent) dalam kurun waktu beberapa tahun ke belakang.

Pada studi ini tiga kriteria menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan lokasi

pemanfaatan limbah, yaitu :

1) Luasan kebun milik sendiri 2) Jumlah TBS olah per tahun 3) Kedekatan lokasi dengan kandidat lokasi PKS yang lain

Luasan kebun milik sendiri ini menjamin kepastian jumlah pasokan jumlah TBS (Tandan

Buah Segar) ke PKS (Pabrik Kelapa Sawit). Jika areal kebun milik sendiri kecil, berarti

78

produksi jumlah TBS untuk memenuhi kapasitas pabrik akan kecil, sehingga pabrik akan

sangat tergantung kepada pembelian jumlah TBS dari pihak ketiga dan suplai TBS dari

plasma. Akan tetapi, dengan berkembangnya alam market bebas di penjualan TBS ini,

semakin hari suplai TBS dari plasma, terkadang tidak dapat diprediksi dengan jelas.Hal ini

karena para petani plasma berusaha mencari harga beli TBS dari PKS lain yang lebih tinggi.

Adanya persaingan harga beli dengan PKS swasta lain, membuat suplai TBS dari plasma

tidak dapat diprediksi dengan pasti. Dalam persaingan harga beli TBS ini, pihak PTPN VI

selaku perusahaan negara, tidak bisa segesit perusahaan swasta lain dalam menentukan

harga beli, sehingga lebih sering mengalami kekurangan suplai akibat kalah bersaing di

harga beli TBS. Fluktuasi suplai TBS dari plasma ini akan semakin berkurang, jika 100%

suplai TBS merupakan produksi dari kebun sendiri.

Jumlah gas metana yang dihasilkan dari limbah cair mempunyai perbandingan yang linier

dengan jumlah TBS olah. Sehingga untuk mendapatkan jumlah produksi gas metana yang

optimal, kemampuan olah TBS yang tinggi dari PKS sangat diharapkan dalam proyek ini,

dan suplai TBS yang stabil akan menjamin produksi gas metana dari kolam

limbahpengolahan sesuai dengan prediksi perhitungan yang dilakukan sebelum proyek

berjalan.

Faktor kedekatan lokasi dengan PKS lain perlu dipertimbangkan untuk mempermudah

diversifikasi proyek ini ke lokasi lain, selain juga menguntunkan dalam hal koordinasi

pembangunan proyek, jika proyek ini dilaksanakan secara bersamaan, untuk menghemat

biaya konstruksi proyek.

1.2 Clean Development Mechanism (CDM)

Clean Development Mechanism (CDM) adalah suatu program yang bersifat international,

pengejawantahan dari Protokol Kyoto sebagai usaha untuk mengurangi efek dari Green

House Gasses (GHG) [1], seperti gas CO2, N2O, CH4, dsb. Jumlah emisi yang dikurangi

berdasarkan atas emisi GHG yang dihasilkan oleh tiap negara pada tahun 1990.

Melalui program CDM, negara maju (yang tergabung dalam ANNEX I) bersama negara-

negara berkembang untuk bekerja sama mengurangi emisi gas rumah kaca.

Keuntungan program CDM bagi negara berkembang antara lain adalah :

a. Adanya aliran investasi asing, yang dapat membantu kelancaran finansial proyek. b. Keikutsertaan investor asing dalam proyek dapat memperkecil resiko bagi

pengembang lokal. c. Adanya kemungkinan transfer teknologi, yang dapat membantu perkembangan

teknologi lokal. d. Jika pendanaan melalui pinjaman bank asing, biasanya akan mendapatkan bunga

yang lebih rendah dari bank nasional/lokal.

Dari keuntungan-keuntungan yang ada, keuntungan mendapatkan dukungan finansial atau

79

adanya investasi asing merupakan hal yang menarik dari program CDM bagi pengembang

lokal.

Bagi negara maju, program CDM merupakan cara pengurangan emisi gas rumah kaca yang

dapat dilakukan dengan biaya murah dibandingkan dengan pelaksanaan di negaranya

sendiri.

Program CDM sendiri mempunyai prosedur yang sudah ditentukan oleh UNFCCC (United

Frameworks for Convention Climate Change). Prosedur tersebut harus dilakukan agar suatu

proyek dapat diakui secara resmi oleh UNFCCC, selaku badan yang memberikan sertifikat

terhadap sebuah proyek CDM. Prosedur tersebut ditunjukkan dalam Gbr. 1.

Tiap langkah yang dilakukan dalam proses administrasi CDM, dapat memakan waktu lebih

dari satu tahun. Intinya perlu dilakukan klarifikasi terhadap pelaksanaan proyek CDM

apakah pengurangan CO2 terjadi dengan pasti, dan klarifikasi methodologi perhitungan bisa

dipertanggungjawabkan.

33

Dengan diratifikasinya Protokol Kyoto oleh negara Indonesia, maka negara Indonesia bisa

turut serta secara sukarela untuk melakukan pengembangan proyek proyek yang dapat

mengurangi emisi gas rumah kaca.

Pemanfaatan mekanisme CDM, dapat mengurangi resiko ketidaklayakan secara ekonomis

suatu proyek yang memakai sumber-sumber energi terbarukan. Proyek energi terbarukan

merupakan suatu proyek yang dapat mengurangi emisi karbon yang dihasilkan oleh

pembangkit berbahan bakar fosil dari suatu jaringan ketenagalisrikan di suatu daerah.

2. PENJELASAN OBYEK KAJIAN

2.1. Pabrik Kelapa Sawit di Indonesia

Indonesia merupakan negara pengekspor CPO (Crude Palm Oil) terbesar di dunia, dengan

produksi CPO sekitar 17 juta pada tahun 2009. Dari hasil pengolahan kelapa sawit ini,

dihasilkan limbah padat dan limbah cair. Limbah padat berupa tandan kosong, blotong,

cangkang dan serabut. Sedangkan limbah cair berupa limbah cair yang diolah sebelum

dikeluarkan ke lingkungan (sungai).

Dari limbah-limbah yang dikeluarkan oleh pabrik-pabrik kelapa sawit tersebut, limbah

tandan kosong dan limbah cair berpotensi besar menghasikan emisi gas metana yang

memicu terjadinya pemanasan global (global warming). Limbah cangkang dan serabut

(fibre) umumnya sudah digunakan oleh pabrik kelapa sawit sebagai bahan bakar pembangkit

listrik . Sedangkan tandan kosong , umumnya dibakar begitu saja di lahan pabrik. Tetapi saat

ini sudah ada usaha usaha untuk memanfaatkan tandan kosong tersebut sebagai bahan baku

pupuk. Pemakaian tandan kosong sebagai bahan bakar pembangkit listrik di pabrik kelapa

sawit belum diimplementasikan di Indonesia, karena dibutuhan teknologi khusus. Di negara

Malaysia ada beberapa proyek CDM (Clean Development Mechanism) yang sudah

memanfaatkan tandan kosong sebagai bahan bakar pembangkit.

Dengan adanya RSOP (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan usaha usaha yang

mendukung lingkungan, pemanfaatan limbah limbah padat dan cair mulai dilakukan oleh

pabrik-pabrik kelapa sawit.

Makalah ini membahas potensi pengurangan emisi gas metana yang terdapat di beberapa

pabrik kelapa sawit di PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VI di Jambi.

Studi ini dilakukan dengan kerjasama Shimizu Co., sebuah perusahaan konstruksi yang

terkenal di Jepang [2]. Dimana semenjak Protokol Kyoto, ikut aktif dalam pembuatan

proyek-proyek CDM (Clean Development Mechanism) / Mekanisme Pembangunan Bersih

terutama untuk pemanfaatan gas metana di landfill. Umumnya proyek CDM yang dibangun

Shimizu ini berlokasi di Eropa Timur. Pelaksanaan studi berlangsung dari bulan September-

Desember 2009.

34

Dalam studi ini PTPSE-BPPT (Pusat Teknologi Sumber Daya Energi-BPPT) yang bertugas

sebagai fasilitator CDM berperan dalam mempromosikan potensi pengurangan gas metana

dari limbah cair di pabrik kelapa sawit. Perhitungan potensi gas metana menjadi tugas tim

CDM PTSPE-BPPT. Sedangan Shimizu Co. mempunyai tugas untuk mencari investor yang

berminat pada proyek ini berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh tim CDM

PTPSE-BPPT.

Shimizu Co. [1], adalah perusahaan konstruksi besar dan tua di Jepang, usianya hampir

mencapai 200 tahun. Beberapa tahun yang lalu dari majalah Fortune terpilih sebagai

perusahaan konstruksi terbesar di dunia. Sejak ditanda tanganinya Protokol Kyoto, Shimuz

Co., aktif melakukan penelitian dan pembangungan proyek proyek untuk pengurangan Gas

Rumah Kaca (GRK). Beberapa proyek penangkapan gas metana di tempat pembuangan

sampah di Eropa Timur sudah terdaftar resmi sebagai proyek CDM. Dan masih ada

beberapa lagi yang sedang dalam proses administrasi CDM. Salah satunya di Indonesia

adalah di TPA Piyungan, Yogyakarta.

2.2. Limbah Cair PKS

Limbah cair yang dihasilkan dari Pabrik pengolahan minyak Kelapa Sawit (PKS) dapat

memberikan dampak negatif bagi lingkungan karena memiliki kandungan Biochemical

Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) yang sangat tinggi. Untuk

itu sebelum dialirkan ke lahan perkebunan, BOD dan COD dari limbah cair tersebut harus

diturunkan. Proses pengaliran limbah cair ke areal tanaman disebut dengan istilah aplikasi

lahan (land application). Pada dasarnya pengaliran limbah cair ke lahan bertujuan untuk

mengendalikan daya cemar limbah terhadap lingkungan sekitarnya.

Dua PKS di PTPN VI, yaitu PKS Bunut dan PKS Rimbo Dua telah memanfaatkan limbah

cair untuk aplikasi lahan sejak beberapa tahun yang lalu. Sesuai dengan aturan

KEPMENLH/28/2003 [3], nilai BOD limbah cair untuk aplikasi lahan tidak lebih dari 5000

mg/L. Dengan nilai BOD ini, limbah cair dianggap masih mempunyai nutrisi yang cukup

sebagai pupuk cair. Sedangkan PKS yang lainnya membuang limbah cair tersebut ke sungai.

BOD untuk limbah cair ini sesuai aturan KEPMEN harus dibawah 150 mg/L [3].

Pada PKS yang memanfaatkan limbah cair untuk land application, karena nilai BOD limbah

cair harus di bawah 5000 mg/L, maka beberapa kolam aerobik menjadi tidak dipakai.

Limbah cair yang sebelumnya dialirkan melalui 8-9 kolam pengolahan limbah cair, menjadi

hanya dialirkan ke 2-4 kolam limbah cair. Perubahan ini untuk menjaga agar zat organik

yang tersisa masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan nutrisi dan untuk menjaga nilai BOD

agar mendekati nilai ambang batas (5000 mg/L). Lumpur/sludge dari kolam pengolahan

limbah cair biasanya dipakai untuk pupuk.

35

Gbr. 1. Kolam pengolahan limbah cair di salah satu PKS

milik PTPN VI

Gambar 2 menunjukkan kondisi umum limbah penampungan limbah cair. Nampak bagian

permukaan limbah cair ditutupi oleh sekam. Kolam pengolahan limbah cair ini terdiri dari 8-

10 kolam, dimana 2 kolam pertama merupakan kolam an-aerob, dan sisanya merupakan

kolam aerob. Limbah cair yang dialirkan ke perkebunan diambil dari kolam pengolahan

limbah nomor 4. Pada kolam nomor 4 ini, BOD masih relatif tinggi, yaitu sekitar di bawah

5000 mg/L. Untuk mempercepat proses pembusukan zat organik dalam limbah cair,

dilakukan sirkulasi air dari kolam aerobic nomor 3 atau 4 ke kolam an aerobic nomor 1.

Sirkulasi ini mempunyai dua tujuan, yaitu untuk mendinginkan suhu kolam 1, sehingga suhu

kolam sesuai untuk kehidupan bakteri pembusuk, juga untuk menambah kuantitas bakteri

dari kolam aerobic ke kolam an aerobic, kolam 1. Limbah cair yang masuk ke kolam 1,

masih relatif panas dengan suhu sekitar 70oC, untuk itu perlu didinginkan dengan memakai

water cooling atau dialirkan ke cooling pond sebelum dialirkan ke kolam 1.

Limbah cair ini rata-rata didisain dengan waktu tinggal sekitar 25-30 hari untuk setiap

kolam. Jika melebihi waktu, maka volume air akan melebihi daya tampung kolam, sehingga

air meluber ke kolam sebelahnya. Rata-rata disain kedalaman kolam adalah 5-6 meter.

Tetapi pada kenyataannya pendangkalan terjadi lebih cepat, sehingga kedalaman rata rata

hanya 2-3 m. Pendangkalan ini sebenarnya menganggu proses anaerobik, dan proses

terbentuknya gas metana.

Secara kasat mata, dari permukaan kolam pengolahan limbah ini di permukaannya nampak

gelembung-gelembung yang timbul diakibatkan adanya gas metana. Gas metana ini bisa

terbakar jika terkumpul dalam jumlah yang banyak di atas permukaan.

36

2.3. PTPN VI

PTP. Nusantara VI (Persero) [4] berdiri sejak tahun 1996, yaitu hasil dari penggabungan

PTP. III, PTP. IV, PTP. VI dan PTP.VIII yang berada di wilayah Propinsi Sumatera Barat dan

Propinsi Jambi, sesuai dengan peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 11 tahun 1996

tanggal 14 Pebruari 1996. Selanjutnya disahkan oleh Notaris Harun Kamil, S.H berdasarkan

Akte No. 39 tanggal 11 Maret 1996 serta Keputusan Menteri Kehakiman Republik

Indonesia No. C2-8334.HT.01.01 Tahun 1996 dan Akte Notaris Sri Rahayu Hadi Prasetyo,

SH Jakarta No.19 tahun 2002 tanggal 30 September 2002, kantor Direksi PT Perkebunan

Nusantara VI (Persero) berkedudukan di Jambi.

PT Perkebunan Nusantara VI (Persero) adalah perusahaan yang memiliki perkebunan

dengan total luas mencapai 90.122,14 hektar. Bidang usahanya meliputi pengelolaan 17 unit

perkebunan meliputi budidaya kelapa sawit, karet, dan teh, serta pabrik berteknologi modern

yang terdiri dari: 5 unit pabrik pengolahan kelapa sawit, 3 unit pabrik pengolahan karet, 2

unit pabrik pengolahan teh yang menghasilkan produk berkualitas.

Tabel 1. Kapasitas pabrik kelapa sawit

[4]

Pabrik Kelapa Sawit Kapasitas

(ton TBS/jam)

Sungai Bahar

Bunut Pinang Tinggi Tanjung Lebar

Muara Bungo

Rimbo Dua

Ophir

60 60 30

30 50

2.4. Pemilihan Lokasi

Lokasi PKS PTPN VI, terletak amat berjauhan, tiga PKS terletak di Propinsi Jambi di

37

daerah Sungai Bahar, dan 3 lainnya terletak di Muara Bungo di perbatasan antara propinsi

Sumatera Barat dan Jambi, dan 1 PKS lagi terletak di Sumatera Barat. Mengingat lokasi

yang berjauhan, ditinjau dari segi disertifikasi proyek dan kemudahan dan biaya transport,

maka dipilih lokasi yang berdekatan.

3. METODOLOGI

3.1. Perhitungan Emisi Rumah Kaca

Perhitungan emisi proyek ini memakai metodologi yang telah ditetapkan oleh UNFCCC

yaitu AMS-III.H (Approved Methodology, version 13): ”Methane recovery in waste

treatment”[5], untuk perhitungan jumlah gas rumah kaca yang dikeluarkan dari kolam

pengolahan limbah. Dan untuk perhitungan pengurangan jumlah gas rumah kaca untuk

penggantian bahan bakar fosil untuk membangkitkan listrik dipakai AMS-ID (Grid

connection renewable electricity version 11) [5]. .

Berdasarkan methodologi di atas, proyek ini termasuk ke dalam proyek implementasi

pengambilan gas bio dan pembakaran gas bio pada kolam pembuangan limbah air, dimana

gas bio diambil dari kolam anaerobik yang ada [5], kemudian listrik yang disambungkan ke

jaringan grid dapat menggantikan lisrik yang dibangkitkan oleh bahan bakar fosil. Dari

metodologi tersebut ditetapkan batasan proyek dengan ilustrasi seperti ditunjukan dalam

Gbr. 2.

Jaringan listrik Sumatera

POME GAS BIO

Cooling Tower

Power Generationt

38

EFFLUENT

Aplikasi Lahan

Aerobic

Pond

Aerobic Pond

Gbr. 2. Batasan proyek

Gambar ini menunjukkan bahwa proyek pengurangan emisi karbon terbatas kepada

kegiatan-kegiatan proyek yang berkaitan di sekitar kolam anaerobik saja. Limbah air / Palm

Oil Mill Effluent (POME) yang berasal dari pabrik, setelah didinginkan di cooling tower

dialirkan ke kolam anaerobik 1 dan 2. Setelah itu dialirkan ke kolam aerobik, dan

selanjutknya dipompakan ke areal perkebunan. Kolam anaerobik ditutupi HDPE (High

Density Polyethylene) pada bagian dasar kolam dan bagian atas kolam, untuk mencegah

kebocoran gas bio ke udara luar.

Gas bio yang dihasilkan dari kolam tersebut, terkumpul di atas permukaan kolam, lalu

disedot oleh blower dan dialirkan ke fasilitas pembangkit listrik, dan listrik yang dihasilkan

disambungkan ke jaringan tegangan menengah sistem interkoneksi Sumatera. Pada proses

ini gas metana, CH4, yang terkandung di dalam gas bio, diubah menjadi gas karbondioksida,

CO2, melalui proses pembakaran di dalam pembangkit listrik. Gas metana mempunyai daya

rusak 21 kali lipat dibandingkan gas karbondioksida. Jadi melalui proses pembakaran di

dalam pembangkit listrik, Gas Rumah Kaca (GRK) gas metana diubah menjadi gas

karbondioksida, merupakan proses utama dalam usaha penurunan efek GRK dari proyek ini.

Listrik yang dibangkitkan akan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil yang menghasikan

GRK dalam jumlah besar. Jumlah gas rumah kaca yang dikurangi daam pembakaran untuk

membangkitkan listrik ditentukan dengan Baseline Emission Factor dari jaringan

interkoneksi Sumatera.

Lumpur/sludge yang dihasilkan dari kolam anaerobik dikeluarkan dari dalam kolam secara

berkala dengan penyedotan pompa. Pengurangan volume lumpur di dalam kolam ini

bertujuan untuk menjaga kedalaman kolam dan jumlah aliran limbah cair.

An-Aerobic Pond

An-Aerobic Pond

39

3.1.1. Baseline Proyek

Disain kedalaman kolam rata-rata adalah 5 m, dimana untuk menjaga kedalaman

sludge/lumpur diambil dari dalam kolam secara berkala. Lumpur tersebut dimanfaatkan

untuk pupuk di areal perkebunan atau ditumpuk begitu saja di sekitar kolam. Karena

sebelum (baseline) dan setelah proyek dilaksanakan (project activity), pengolahan lumpur

ini tidak mengalami perubahan, maka dianggap tidak ada pengurangan emisi pada proses

ini, maka BEs.treatment,y = 0. Dan karena lumpur digunakan sebagai pupuk/soil application

maka BEs.final,y = 0.

Baseline emission dari proyek penangkapan gas metana pada sistem pengolahan limbah air

dapat ditunjukkan dengan persamaan pada AMS-III.H (Approved Methodology) (version

13): ”Methane recovery in waste treatment” [5] :

BEy

(t − CO ) = BE

power,y

+ BE

ww.treatment,

y

+ BE

s.treatment,y

+ BEww.discharge,y + BE s. final,y

(1)

dimana, BEy : Emisi baseline pada tahun y (t-CO2) BEpower,y : Emisi baseline listrik atau kebutuhan bahan bakar pada tahun y (t-CO2) BEww.treatment,y : Emisi baseline pengolahan limbah cair (t-CO2) BEs.treatment,y : Emisi baseline pengolahan sludge/lumpur (t-CO2) BEww.discharge,y : Emisi baseline pembusukan karbon organik dari hasil pengolahan limbah

cair yang dibuang ke sungai/laut (t-CO2) BEs.final,y : Emisi baseline pembusukan anorganik lumpur (t-CO2)

Dalam kondisi biasa (sebelum proyek CDM), sumber listrik untuk proses pengolahan limbah cair

menggunakan bahan bakar biomasa yang berasal dari limbah padat (serabut dan cangkang) dari

proses pembuatan CPO. Sehingga energi listrik yang dipakai tidak menghasilkan emisi, maka

BEpower,y = 0.

Pengolahan sludge/lumpur pada proyek ini tidak mengalami perubahan dengan adanya

proyek ini, dimana lumpur diambil dari kolam anaerobik secara berkala untuk menjaga

kualitas air yang dikeluarkan ke areal perkebunan, sehingga dalam proyek ini BEs.treatment,y =

0.

Dalam proyek ini, limbah air yang keluar dari kolam anaerobik diolah dengan baik di kolam

aerobik, maka BEww.discharge,y = 0. Dengan kondisi proyek seperti itu, maka persamaan

baseline dalam kegiatan proyek ini menjadi,

2−e y

40

BEy = BEww.treatment,y

= Qww,i,y CODremoved,i ,y MCFww.treatment,BL ,i Bo,ww UFBL GWPCH 4

(2)

41

dimana, Qww,i,y : Jumlah limbah air (t/m3)

CODremoved,i,y : Nilai COD yang terambil/terolah

MCFww.treatment,BL,i : Faktor koreksi gas metana untuk baseline pengolahan limbah air, 0,8 [7] (kolam anaerobik dalam)

Bo,ww : Kapasitas produksi gas metana pada limbah air, 0,21 kg (CH4/kgCOD) [5]

UFBL : Faktor koreksi model untuk perhitungan ketidakpastian model, 0,94[5]

GWPCH4 : Potensi emisi gas metana pada sistem pengolahan limbah air yang dilengkapi sistem penangkap gas bio, 21 [5]

Pengukuran jumlah limbah air, Qww,i,y tidak dilakukan oleh PKS, karena selain harga

flowmeter mahal, tidak ada kepentingan bagi PKS untuk melakukan pengukuran volume air

limbah. Jumlah air limbah ini ditentukan dengan perhitungan menggunakan koefisien

perbandingan antara jumlah TBS yang diolah dan jumlah limbah air.

Dalam studi ini dipakai angka 0,6 , yang merupakan angka acuan dari PKS di PTPN V.

Untuk PKS di Malaysia dari literatur yang ada, memakai angka 0,7 [6].

Pengukuran COD di inlet dan outlet kolam anaerobik, yang merupakan parameter penting

untuk menentukan jumlah gas metana, nilainya diambil dari data laporan bulanan kualitas

limbah cair ke Badan Pengawasan Lingkungan Daerah di lokasi masing masing PKS. Nilai

COD di inlet kolam anaerobik tercatat 50.000 mg/L [7], dan untuk outlet tercatat 5000

mg/L[7].

Baseline emission dari penggantian bahan bakar fosil dengan menggunakan bahan bakar

gas metana ini ditunjukkan dengan persamaan pada AMS-ID (Grid connection renewable

elecricity vesion 11) [5]:

BEy ,electricity

dimana,

= MWHgrid EFgrid

(3)

42

MWHgrid : Jumlah energi yang dibangkitkan dengan menggunakan energi terbarukan (kWh)

EFgrid : Koefisien emisi dari sistem jaringan/grid, 0,743 t-CO2/MWh [8].

Total dari emisi baseline adalah total dari persamaan (2) dan (3).

3.1.2. Emisi proyek

Emisi proyek yang dihasilkan dari kegiatan proyek ini berdasarkan AMS-III.H

(ApprovedMethodology) (version 13): ”Methane recovery in waste treatment” [5], adalah :

PEy = PEpower,y + PEww.treatment,y + PEs.treatment,y + PEww.discharge,y

dimana,

+ PEs. final,y + PE fugitive,y + PEbiomass,y + PE flaring,y

(4)

PEy : Emisi proyek pada tahun y (t-CO2) PEpower,y : Emisi proyek dari listrik atau kebutuhan bahan bakar pada tahun y (t-

CO2) PEww.treatment,y : Emisi gas metana dari sistem pengolahan limbah air yang diakibatkan

kegiatan proyek dan tidak dipasang penangkap gas, pada tahun y (t-CO2) PEs.treatment,y : Emisi gas metana dari sistem pengolahan lumpur yang diakibatkan

kegiatan proyek dan tidak dipasang penangkap gas, pada tahun y (t-CO2) PEww.discharge,y : Emisi proyek dari pembusukan karbon organik dari hasil pengolahan

limbah cair pada tahun y (t-CO2) PEs.final,y : Emisi proyek dari pembusukan anaerobik dari hasil akhir lumpur pada

tahun y (t-CO2) PEfugitive,y : Emisi proyek dari biogas yang terlepas dari sistem penangkapan pada

tahun y (t-CO2) PEbiomass,y : Emisi gas metana dari penyimpanan biomasa pada kondisi anaerobik (t-

CO2) PEflaring,y : Emisi gas metana dari ketidaksempurnaan pembakaran pada tahun y (t-

CO2)

Pada kegiatan proyek ini, sumber bahan listrik yang dipakai adalah tetap seperti sebelum

proyek dilaksanakan, yaitu serabut dan cangkang (limbah biomasa) dari kelapa sawit,

sehingga emisi dianggap tidak ada, PEpower,y = 0.

Proses pengolahan limbah cair secara anaerobik pada aktivitas proyek ini adalah sama

dengan kondisi sebelum proyek (baseline), sehingga kualitas air yang diolah/nilai COD

limbah air setelah melewati kolam anaerobik pada saat sebelum proyek dan sebelum proyek

adalah sama, maka dalam perhitungan ini dapat dianggap PEww.discharge,y = 0.

Lumpur/sludge dari kolam anaerobik diambil secara periodik untuk menjaga kulitas proses

43

pengolahan air dan mencegah pendangkalan kolam. Lumpur diambil dari kolam,

dikeringkan dengan sinar matahari dan kemudian dibuang ke lahan perkebunan terdekat

sebagai pupuk, sehingga PEs.final,y = 0. Dengan tidak adanya pengolahan lumpur maka pada

emisi pada kegiatan tersebut tidak ada, dan tidak ada nilai PEs.treatment,y. Karena tidak ada

biomassa yang disimpan di bawah kondisi anaerobik, maka tidak ada nilai PEbiomass,y.

Dengan kondisi aktivitas proyek seperti di atas maka persamaan (4) menjadi,

44

PEy =

PEww.treatment,y

+ PE fugitive,y + PE flaring,y

45

(5

)P

E fugi

tive

,y

= PE fugitive,ww,y + PE fugitive,s,y (6)

karena pada proyek ini tidak ada sistem pengolahan sludge, maka, nilai PEfugitive,s,y tidak ada,

sehingga,

PE fugitive,y = PE fugitive,ww,y (7)

PE fugitive,ww,y = (1 − CFEww ) MEPww.treatment,y GWPCH 4 (8)

dimana,

CFEww : Efisiensi pengkapan dari fasilitas penangkapan gas pada sitem pengolahan limbah, 0,9 [5]

GWPCH4 : Potensi emisi gas metana pada sistem pengolahan limbah air yang dilengkapi sistem penangkap gas bio, 21 [5]

Potensi gas metana yang dihasilkan dari limbah cair dari kolam anaerobik dinyatakan dalam

persamaan di bawah ini,

MEPww.treatment,y = Qww,y Bo,ww UFPJ CODremoved,PJ ,k ,y MCFww.treatment,PJ ,k ,y (9)

dimana,

Qww,y : Jumlah limbah air (t/m3)

Bo,ww : Kapasitas produksi gas metana pada limbah air, 0,21 kg (CH4/kgCOD)[5]

UFPJ : Faktor koreksi model untuk perhitungan ketidakpastian model, 1,06[5]

CODremoved,PJ,k,y : Jumlah COD yang terambil/terolah.

MCFww,treatment,PJ,k :

0,8 (kolam anaerobik dalam) [5]

PE flaring,y = TMRGH (1−0,9) GWPCH 4 1000 (10)

dimana jumlah massa gas metana yang mengalir pada aliran gas bio pada fasilitas

pembakaran/flaring dianggap sama dengan jumlah massa gas metana yang dihasilkan kolam

anaerobik setelah dikurangi jumlah gas metana yang terlepas pada dari sistem penangkapan

46

( )1000 MEP

GWP − PE

( )− PE

+ LE

)+ PE

gas,

TMRGH GWPCH 4

ww.treatment,y CH 4 fugitive,ww,y

(11)

dimana

ΣTMRG,h : Jumlah massa gas metana pada aliran gas bio buang (kg/h)

Sehingga persamaan (10) dapat diubah menjadi persamaan di bawah ini,

PE flaring,y =

ww.treatment,

y

GWPCH 4

) − PE

fugitive,ww,y

(12)

3.1.3. Kebocoran / Leakage

Pada proyek ini instalasi sistem penangkapan dan pembakaran gas metana merupakan

sistem/peralatan yang baru, sehingga kebocoran/leakage dianggap nol, LE = 0.

3.1.4. Pengurangan emisi (Emission reduction)

Pengurangan emisi dari skenario proyek ini adalah sebagai berikut

ERy ,ex ante = BEy ,ex ante + BEy ,electricity

y,ex ante y,ex ante

(13)

Persamaan (11) ini dapat diubah menjadi,

ERy ,ex ante = BEww.treatment,y + BEy ,electricity

ww.treatment,

y

+ PE fugitive,y

flaring,y

(14)

(MEP

(− PE

47

Dari persamaan (14), pengurangan emisi dari proyek CDM ini, ERy,ex ante didapat dari

pengurangan antara emisi dari pengolahan limbah cair, BEww,treatment, dan emisi dari listrik

yang dipakai, BEy, electricity saat proyek CDM belum dimulai dikurangi dengan emisi dari

sistem pengolahan limbah cair, PEww,treatment, emisi proyek dari biogas yang terlepas dari

sistem penangkapan, PEfugitive dan emisi dari ketidaksempurnaan pembakaran, PEflaring di

tahun y pada proyek CDM.

3.2. Nilai Kalor Biogas

Komposisi gas metana dai biogas yang berasal dari POME berkisar 60-70% [9] atau 65%

[10], dimana sisanya adalah merupakan gas CO2 dan gas gas lainnya. Dari literatur yang

ada, setiap 1 ton POME akan menghasilkan 28,8 m3 biogas dengan nilai kalor biogas yang

dihasilkan dari POME adalah berkisar 4740-6560 kcal/m3, dan dengan konversi energi

sekitar 35%, maka nilai 1m3 biogas akan dapat menghasilkan listrik setara dengan 1,8

kWh/m3 biogas [10], [11].

3.3. Pendapatan Proyek

Biaya yang dikeluarkan untuk proyek ini digunakan untuk :

i) biaya pengurusan administrasi CDM ii) biaya investasi iii) biaya operasi proyek, dengan usia proyek 10 tahun.

Pendapatan dari proyek ini berasal dari :

i) penjualan karbon/CER (Certified Emission Reduction) ii) penjulaan listrik ke PT Perusahaan Listrik Negara.

Pendapatan dari CER sendiri, merupakan total CER dari pengurangan GRK yang berasal

dari penangkapan gas metana di kolam an-aerobik melalui penutupan kolam an-aerobik

dengan HDPE (High Density Polyethylene), dan dari pengurangan GRK yang didapat dari

penggantian gas metana sebagai bahan bakar untuk membangkitkan listrik.

Dalam hal ini terjadi pengurangan bahan bakar fosil. Listrik yang dihasilkan dikoneksikan

dengan jaringan sistem kelistrikan interkoneksi Sumatera.

Pada studi ini tidak dilakukan analisa keekonomian dari pelaksanaan proyek CDM, dengan

analisa terbatas hanya pada keuntungan dari penjualan karbon dan penjualan tenaga listrik.

3.4. Keekonomian Proyek

48

Keekonomian proyek penangkapan gas metana perlu dijelaskan dan menjadi bukti untuk

menjelaskan additionality dan kelayakan keekonoomian dari proyek ini, sebagai proyek

CDM.

Usaha penangkapan gas metana dari limbah cair di kolam pengolahan limbah cair, jelas

merupakan suatu proyek yang tidak menghasilkan pendapatan bagi perusahaan, sebaliknya

akan menjadi beban jika proyek ini harus dilaksanakan dengan biaya perusahaan.

Dengan memasukkan usaha penangkapan gas metana ini ke dalam mekanisme CDM, maka

akan didapatkan pendapatan dari penjualan sertifikat pengurangan GRK, yang dapat

digunakan untuk menutup biaya operasional usaha penangkapan gas metana ini. Dalam

perhitungan keekonomian, tanpa pedapatan dari penjualan sertifikat maka karena tidak ada

pendapatan, nilai Net Present Value (NPV) dari proyek ini akan menjadi negatif. Dan

melalui mekanisme CDM, dengan adanya pendapatan dari penjualan sertifikat kredit

karbon, jika nilai NPV berubah menjadi positif, maka menunjukkan proyek ini layak.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pemilihan Lokasi

Dari lokasi yang telah ditentukan di daerah Muara Bahar, yaitu PKS Tanjung Lebar dan PKS

Pinang Tinggi. PKS Bunut tidak menjadi pilihan karena direncanakan akan akan dibangun

proyek pemanfaatan kompos. Kedua PKS ini tidak memanfaatkan limbah cair untuk aplikasi

lahan.

49

4.2. Emisi Gas Rumah Kaca Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam proyek ini adalah GRK yang dihasilkan dari

proses pembusukan material organik di limbah cair, yaitu gas metana, CH4.

Perhitungan emisi memakai persamaan-persamaan yang dijelaskan pada paragraf 2.2.

Sesuai dengan Metodologi III H, nomor 17, data yang dipakai adalah data satu tahun

terakhir, sebelum proyek dimulai, yaitu tahun 2008.

Perhitungan emisi baseline, BEy, dihitung dengan persamaan (2), emisi proyek, PEy,

dihitungan dengan persamaan (3). Pengurangan emisi, ERy, dari proyek ini dihitungan

dengan memakai persamaan (11), yang merupakan selisih dari hasil perhitungan emisi

baseline, saat aktivitas proyek belum dilaksanakan (persamaan (2)) dan emisi proyek,

saat aktivitas proyek dilaksanakan (persamaan (3)).

Hasil perhitungan ditunjukkan di Tabel 2. Penangkapan gas metana dari kolam

anaerobik di PKS Pinang Tinggi dan PKS Tanjung Lebar, dapat mengurangi emisi

sebesar 24.366 t-CO2. Dalam kurun waktu usia proyek, 10 tahun, maka reduksi emisi

dari penangkapan adalah sebesar 240.366 t-CO2.

Tabel 2. Pengurangan emisi tahun

2008

PKS TBS yg diproses

(ton)

Produksi air limbah Qww,i,y

(ton)

POME (ton)

Emisi Baseline

BE (t-CO2/y)

Emisi Proyek

PE (t-CO2/y)

Pengurangan Emisi ER

(t-CO2/y)

Pinang Tinggi 201.958 121.175 121.175 18.083 3874 14.029

Tanjung Lebar 144.373 86.624 86.624 12.927 2770 10.158

T o t a l 24.366

4.3. Pembangkit Listrik

Dari jumlah biogas yang dihasilkan dapat diprediksi energi yang dapat dikonversikan

untuk membangkitkan energi listrik adalah 1,8 kWh/m3 biogas. Dalam studi ini maka

dari dua PKS tersebut dengan asumsi Capacity Factor (CF) dari pembangkit adalah

90%, maka jumlah energi yang dibangkitkan dan kapasitas pembangkit yang

dibutuhkan adalah sebagai berikut :

Dari listrik yang digantikan, jumlah pengurangan GRK yang didapat dari pemakaian

bahan bakar fosil dihitung dengan persamaan (3), total dari kedua PKS tersebut

ditunjukkan di Tabel 3. Sehingga total reduksi GRK adalah 7411 t-CO2/tahun. Dalam

kurun waktu 10 tahun, GRK yang dikurangi sebesar 74.110 t-CO2.

Tabel 3. Jumlah energi listrik dan kapasitas pembangkit

50

Dengan biaya pokok penyediaan listrik sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor

2

6

9-

1

2/

26/600.3/2008 [12], BPP Daerah Jambi adalah Rp 869,-/kWh. Jika listrik yang

dihasilkan dikoneksikan ke jaringan menengah maka nilai BPP menjadi 80% [13], yaitu

Rp 695,2/kWh. Dengan harga BPP tersebut, tiap tahun PKS Pinang Tinggi dan PKS

Tanjung Lebar akan mendapatkan pendapatan kotor dari hasil penjualan listrik masing-

masing sebesar Rp 4,0 milyar dan Rp 2,9 milyar.

4.4 Penjualan Kredit Karbon

Penjualan kredit karbon ini akan menjadi pendapatan pemilik proyek. Jika nilai jual

kredit karbon adalah EURO 10/t-CO2, dan nilai kurs 1 EURO = Rp.14.000,-, maka pada

PKS Pinang Tinggi dan PKS Tanjung Lebar dari pengurangan GRK dari penangkapan

gas metana dan penggantian tenaga listrik didapat masing masing pengurangan GRK

sebesar 18.531 t- CO2/thn (4.322 t-CO2/thn +14.209 t-CO2/thn) t-CO2/thn dan 13.247 t-

CO2/thn (3.089 t-

CO2/thn +10.158 t-CO2/thn).

Dari total pengurangan GRK. PKS Pinang Tinggi dan PKS Tanjung Lebar masing –

masing mendapat keuntungan sebear Rp 2,6 Milyar/thn dan Rp 1,8 Milyar/thn.

Keuntungan dari penjualan karbon (CER/Certified Emission Reduction) didapat hampir

setengah dari pendapatan dari penjualan listrik.

Pengambilan gas metana dari kolam pengolahan limbah cari di PKS masih sangat

sedikit diaplikasikan di Indonesia. Kendala utama adalah faktor keekonomian, karena

usaha ini tidak menghasilkan pendapatan secara langsung. Dengan adanya mekanisme

CDM, usaha ini dapat menjadi layak secara ekonomi.

Skenario untuk penangkapan gas metana ini bisa dipilih menjadi dua bagian yaitu

i) Penangkapan gas metana dan flaring, atau penangkapan gas metana dan ii) Memanfaatkan gas tersebut untuk bahan bakar pengganti bahan bakar fosil. iii) Jika skenario ii) yang dipilih maka keuntungan dari CER/penjualan karbon

didapat dari pengurangan GRK dari penangkapan gas metana dan pengurangan GRK dari penggantian bahan bakar fosil.

Saat ini proses pelaksanaan proyek penangkapan gas metana di kolam pengolahan

limbah di PPTN VI masih dalam proses negoisasi antara investor dari Jepang, Shimizu

Co., dan PTPN VI, untuk mendapatkan bentuk skema bisnis yang sesuai bagi oleh

kedua belah pihak dan aturan kedua negara.

5. KESIMPULAN

Pemanfaatan gas metana di kolam pengolahan air limbah di PKS PTPN VI ini

PKS Tenaga listrik

(MWh)

Kapasitas Pembangkit

(kW)

Pengurangan GRK

(t-CO2)

Pinang Tinggi 5816 740 4322

Tanjung Lebar 4157 530 3089

51

merupakan salah satu upaya untuk mengurangi efek gas rumah kaca (GRK) dan

merupakan salah satu usaha diversifikasi bisnis industri hilir dari PKS. Mekanisme

CDM, membuat pemanfaatan limbah yang tidak ekonomis menjadi usaha yang

ekonomis yang berwawasan lingkungan.

Pemakaian gas metana sebagai bahan bakar pengganti fosil merupakan usaha

diversifikasi energi yang mendukung program pemerintah untuk pengurangan bahan

bakar minyak

Harga listrik yang menjadi asumsi pada studi ini pada kenyataannya dapat berubah

bergantung dari negoisasi dengan pihak PT PLN (Pembangkit Listrik Negara). Harga

CER saat ini cenderung menurun dan menunjukkan ketidakpastian terutama mendekati

tahun 2012.

DAFTAR PUSTAKA

[1] http://unfccc.int/kyoto_protocol/items/2830.php, 2010. [2] www.shimz.co.jp/english/, 2010. [3] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, No. 28 tahun 2003, tentang

Pedoman Teknis Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah dari Industri Minyak Kelapa Sawit pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit.

[4] http://www.ptpn6.com/profile.php, 2010. [5] Approved small-scales methodologies, http://cdm.unfccc.int/methodologies/

SSCmethodologies/approved.html, 2010. [6] Methane Recovery In Wastewater Treatment Project, Sumatera Utara, Indonesia,

UNFCCC Clean Development Mechanism Simplified Project Design Document for Small Scale Project Activity, Aes Agri Verde, Document ID: AIN07-W-01, ver.7, 27 October 2008.

[7] Hasil Pemeriksaaan Limbah Cair, Pemprov. Riau, Dinas Pekerjaan Umum, Pekan Baru, 3 Maret 2009.

[8] http://dna-cdm.menlh.go.id/Downloads/Others/KomnasMPBGrid_ umatera_JAMALI_ 2008.pdf, 2010.

[9] Status of Biomass Technologies Development & Utilization in Malaysia, S.S.Chen, Asean Biomass Meeting, Tsukuba, Japan, Oct., 29, 2004.

[10] CO2

Reduction Opportunities-Power Generation Perspectives, Dr. Salim Sairan and

Mohamad Irwan Aman, TNB Research Sdn. Bhd., No. 1, Jalan Ayer Itam, Kawasan Institusi Penyelidikan Bandar Baru Bangi, 43000 Kajang, Selangor, Malaysia.

[11] Asia Biomass Handbook, Nihon Energi Gakkai Zaidan, 2007. [12] Peraturan Menteri ESDM Nomor 269-12/26/600.3/2008, tentang Biaya Pokok

Penyediaan (BPP) Tenaga Listrik Tahun 2008. Peraturan Menteri No:002 tentang Pembangkit Listrik Skala Menengah Berbahan

bakar Energi Terbarukan

180

Lamiran 4

ISSN : 2598 – 1099 (Online) ISSN : 2502 – 3624 (Cetak) Luthfi Parinduri, Analisa Pemanfaatan....

Analisa Pemanfaatan Pome Untuk Sumber Pembangkit Listrik

Tenaga Biogas Di Pabrik Kelapa Sawit

Luthfi Parinduri

Dosen Fakultas Teknik, Universitas Islam

Sumatera Utara Jl. SM. Raja Teladan, Medan

(20217) [email protected]

Abstrak

Salah satu produk samping dari pabrik pengolahan kelapa sawit adalah POME yang merupakan limbah cair. Limbah ini cukup besar jumlahnya dan dapat dikonversi menjadi biogas yang selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi listrik. Pada pabrik kelapa sawit kapasitas PKS sebesar 30 ton TBS/jam yang telah

memanfaatkan POME dengan sistem Covered Lagoon dengan akan menghasilkan biogas ± 600 m3/jam, atau

setara dengan energi sebesar 3.720 kWh. Jika energi tersebut digunakan untuk membangkitkan listrik dengan menggunakan gas engine (efisiensi 35%) maka akan dapat dibangkitkan listrik sebesar 1.303 kWh atau 1,3 MW. Sedangkan dengan menggunakan digester anaerob biogas yang dihasilkan ± 28 m3/ton TBS. Jadi jika

kapasitas PKS sebesar 30 ton TBS/jam akan dihasilkan biogas ± 840 m3/jam, atau setara dengan energi sebesar

5.208 kWh. Energi listrik yang dapat dibangkitkan dengan gas engine (efisiensi 35%) adalah sebesar 1.822 kWh, atau 1,8 MW. Dengan menggunakan parameter umum konsumsi energi listrik di pabrik pengolahan kelapa sawit yakni sebesar 17-19 kWh/ton TBS maka potensi listrik POME dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Pemanfaatan POME akan memberi nilai tambah sekaligus meningkatkan profitabilitas. Manfaat lainnya adalah mengurangi dampak lingkungan dan menghasilkan energi terbarukan.

Kata Kunci : POME, Covered Lagoon, Digester Anaerob

181

I. PENDAHULUAN

Salah satu potensi perkebunan yang cukup besar didapatkan dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS),

yang mengolah Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit menjadi Crude Palm Oil (CPO), adalah

limbah biomassa dengan jumlah yang cukup besar dalam bentuk limbah organik berupa tandan

kosong kelapa sawit (Tankos), cangkang dan sabut, serta limbah cair (Palm Oil Mill

Effluent/POME).

POME memiliki potensi energi yang tinggi, namun pada umumnya belum dimanfaatkan secara

optimal. POME diurai di kolam limbah dibiarkan membusuk secara alami. Proses pembusukan

biomassa ini akan menghasilkan biogas dengan kandungan utama (62%) gas methana (CH4). Gas

ini muncul sebagai akibat dari proses perombakan senyawa-senyawa organik secara anaerobik.

Gas methana tersebut ternyata juga memiliki tingkat emisi yang tinggi. UNFCCC, badan PBB

yang menangani perubahan iklim, mencatat gas methana memiliki tingkat emisi 24 kali jika

dibandingkan dengan gas karbon (CO2). Di sisi lain, gas methana ini juga memiliki tingkat energi

yang cukup tinggi. Gas methana ini memiliki nilai kalor 50,1 MJ/kg. Jika densitas methana 0,717

kg/m3 maka 1 m3 gas methana akan memiliki energi setara dengan 35,9 MJ atau sekitar 10 kWh.

Jika kandungan gas methana adalah 62% dalam biogas, maka 1 m3 biogas akan memiliki tingkat

energi sebesar 6,2 kWh. Melihat potensi tersebut sangat disayangkan jika gas-gas yang dihasilkan

dari penguraian biomassa tersebut dibiarkan begitu saja. Untuk dapat memanfaatkan potensi biogas

tersebut, terdapat beberapa teknologi yang dapat diterapkan.

Banjir merupakan bencana alam yang berpotensi merusak dan merugikan kehidupan bahkan

menelan korban manusia. Banjir menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah berair

banyak dan deras, kadang-kadang meluap atau peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya

kering) karena volume air yang meningkat. Banjir selalu datang secara tiba-tiba tanpa bisa

diprediksi. Hal inilah yang membuat masyarakat kesulitan menghindar dari bencana banjir. Banjir

tentu dapat diminimalisir dengan membangun lingkungan yang baik. Namun proses pembangunan

tersebut juga tidak dapat dilakukan secara instan.

II. PENGOLAHAN PALM OIL MILL EFFLUENT (POME)

Di Indonesia hampir semua pabrik pengolahan kelapa sawit untuk mengambil biogas dari

POME menggunakan sistem Covered Lagoon. Teknologi ini dilakukan dengan menutup

kolam limbah konvensional dengan bahan reinforced polypropylene sehingga berfungsi

sebagai anaerobic digester. Biogas akan tertangkap dan terkumpul di dalam cover.

Pengolahan limbah cair dengan cara ini banyak dilakukan oleh pabrik karena teknik tersebut

cukup sederhana dan biayanya lebih murah. Namun pengolahan dengan cara tersebut

membutuhkan lahan yang luas untuk pengolahan limbah. Dengan kapasitas 30 ton TBS/jam,

182

maka dibutuhkan sekitar 7 hektar lahan untuk pengolahan limbah. Selain itu efisiensi

perombakan limbah cair PMKS hanya 60-70 %

dengan waktu retensi yang cukup lama yaitu 120- 140 hari. Kolam-kolam limbah konvensional

akan mengeluarkan gas methan (CH4) dan karbon dioksida (CO2) yang membahayakan karena

merupakan emisi penyebab efek rumah kaca yang berbahaya bagi lingkungan. Disamping itu

kolam- kolam pengolahan limbah sering mengalami pendangkalan, sehingga baku mutu limbah

tidak tercapai.

Dengan teknologi ini, akan dihasilkan biogas sebanyak ±20 m3/ton TBS. Jadi jika

kapasitas PKS sebesar 30 ton TBS/jam akan menghasilkan biogas ± 600 m3/jam, atau setara dengan energi sebesar 3.720 kWh. Jika energi tersebut digunakan untuk membangkitkan listrik dengan menggunakan gas engine (efisiensi 35%) maka akan dapat dibangkitkan listrik sebesar 1.303 kWh atau 1,3 MW.

Pengolahan limbah cair PMKS dengan menggunakan digester anaerob dilakukan dengan

mensubtitusi proses yang terjadi di kolam anaerobik pada sistem konvensional kedalam tangki

digester. Tangki digester berfungsi menggantikan kolam anaerobik yang dibantu dengan

pemakaian bakteri mesophilic dan thermophilic. Kedua bakteri ini termasuk bakteri methanogen

yang merubah substrat dan menghasilkan gas methan.

Teknologi ini lebih efektif baik dalam pengolahan limbah POME sehingga akan dihasilkan

biogas dalam jumlah yang lebih besar. Pengolahan POME dilakukan dengan membuat instalasi

anaerobic digester, dengan komponen utama teknologi ini adalah sebuah reaktor yang senantiasa

terkontrol. Dengan demikian proses penguraian senyawa organik secara anaerobic dapat diatur,

baik komposisi, mikrobia maupun termperaturnya untuk mendapatkan hasil yang maksimal

dengan tingkat BOD yang lebih rendah dari 100 mg/l.

Biogas yang dihasilkan ±28 m3/ton TBS. Jadi jika kapasitas PKS sebesar 30 ton TBS/jam

akan dihasilkan biogas ±840 m3/jam, atau setara dengan energi sebesar 5.208 kWh. Energi listrik yang dapat dibangkitkan dengan gas engine (efisiensi 35%) adalah sebesar 1.822 kWh, atau 1,8 MW.

Luthfi Parinduri, Analisa Pemanfaatan.... ISSN : 2598 – 1099 (Online) ISSN : 2502 – 3624 (Cetak)

III. KEBUTUHAN LISTRIK PKS

Proses pengolahan kelapa sawit

menjadi CPO melalui beberapa

tahapan yang memerlukan konsumsi

energi listrik. Semakin besar

kapasitas produksi, kompleksitas

proses dan automation, konsumsi

energi listrik yang di perlukan

semakin tinggi. Parameter umum

konsumsi energi listrik (power

consumption) di pabrik pengolahan

kelapa sawit yakni sebesar 17-19

kWh/ton TBS.

Untuk mengetahui karakteristik

dan pemakaian beban listrik dapat

dibaca dengan alat ukur yang

terpasang dipanel kamar mesin

berupa kW-meter dan amperemeter.

Sedangkan energi listrik yang

terpakai

terukur melalui kWh-meter yang

terdapat dipanel masing-masing

pembangkit. Beban bakal mengalami

fluktuasi dan menyesuaikan kebutuhan

daya terhadap mesin atau listrik yang

digunakan masing-masing unit.

Penggunaan daya listrik untuk proses

pengolahan lebih dominan sebesar 77,62

%. Beban domestik menempati urutan

kedua mencapai 16,75 %. Sedangkan

beban lain berupa head office, kantor PKS,

Workshop, dan penerangan jalan memiliki

nilai yang kecil berkisar 0,5-3%. Sehingga

penggunaan untuk beban ini tidak terlalu

berpengaruh besar terhadap daya yang

ditanggung terhadap pembangkit.

Besarnya kebutuhan listrik PKS

berdasarkan kapasitas produksi untuk 30

183

ton tbs/jam adalah sebesar 1.659 KW

dan untuk kapasitas produksi 60 ton

tbs/jam adalah sebesar dan 2.360 KW

secara terperinci dapat dilihat pada Tabel

1 dan Tabel 2 berikut ini :

Tabel 1. Konsumsi tenaga listrik Pabrik Kelapa Sawit kapasitas 30 ton TBS/ Jam

Terpasang Beroperasi Demand

No. STATION

Power In I Terukur Power Factor

kW A A kW Df (%)

1. Reception & Sterilizer 147 279 175 92 63

2. Threshing 149 283 88 46 31

3. Pressing 240 456 200 105 44 4. Clarification 171 325 30 16 9

5. Oil Storage 23 44 12 6 27

6. Depericarper & Kernel 281 534 280 147 52

7. Boiler Control 230 437 320 168 73

8. WTP 193 367 63 33 17

9. Boiler Demint 76 144 20 11 14 10. Effluent Treatment 60 114 45 24 31

11. Factory Lighting 75 142 50 26 35

12. Domestic Lighting 50 95 40 21 42 Total 1695 705 42

184

ISSN : 2598 – 1099 (Online) ISSN : 2502 – 3624 (Cetak) Luthfi Parinduri, Analisa Pemanfaatan....

Tabel 2. Konsumsi Tenaga Listrik Pabrik Kelapa Sawit Kapasitas 60 ton

TBS/ Jam Two (2) Line

Terpasang Beroperasi Demand

No. STATION Power In I Terukur Power Factor

kW A A kW Df

1. Reception & Sterilizer 198 376 25 13 7 2. Threshing 121 229 95 50 42

3. Pressing Line 1 293 556 130 68 23

4. Preassing Line 2 293 556 140 74 25

5. Clarification 143 270 200 105 74

6. Oil Storage 33 63 12 6 19 7. Depericarper & Kernel Line 1 239 455 300 158 66

8. Depericarper & Kernel Line 2 240 456 225 118 49

9. Boiler Control 330 627 300 158 48

10. WTP 120 227 125 66 55

11. Boiler Demint 170 323 55 29 17

12. Effluent Treatment 66 125 40 21 32 13. Factory Lighting 75 142 50 26 35

14. Domestic Lighting 40 76 40 21 53 Total 2360 915 39

IV. PEMANFAATAN BIOGAS

PKS merupakan industri yang sarat

dengan residu pengolahan. PKS hanya

menghasilkan 25-30

% produk utama berupa 20-23 % CPO dan

5-7 % inti sawit (kernel). Sementara

sisanya sebanyak 70-

75 % adalah limbah yang dapat

digolongkan kedalam tiga golongan yaitu

limbah cair, limbah padat, dan limbah gas.

Jumlah limbah padat yang dihasilkan oleh

PKS berkisar antara 40 – 41% dari setiap

ton sawit yang diolah. Limbah PKS

sesungguhnya adalah buangan yang

merupakan komponen pencemar, namun

dapat dimanfaatkan

salah satunya sebagai sumber energi

listrik, dengan kandungan potensi energi

seperti Tabel 3.

Limbah cair organik yang dihasilkan

selama produksi kelapa sawit merupakan

sumber energi besar yang belum banyak

dimanfaatkan di Indonesia. Mengubah

POME menjadi biogas untuk dibakar

dapat menghasilkan energi sekaligus

mengurangi dampak perubahan iklim.

Tabel 4. dibawah ini menunjukkan potensi

dari dari konversi POME menjadi biogas

yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit.

Tabel 3. Besaran energi dari limbah PKS

No. Biomassa Bentuk Jumlah*) Calori (Kcal)**)

1. Crude Palm Oil Cair 20 – 23% - 2. Inti Sawit (Kernel) Padat 5 – 7 % -

3. Janjang Kosong Padat 22 – 23% 4492/kg

4. Serat (Fiber) Padat 12 – 14% 2637 – 4554 /kg 5. Cangkang (Shell) Padat 6- 8% 4105 – 4802/kg

6. POME Cair 2 ton 4695 – 8569 /m3 *). Persentase dari TBS yang diolah

185

**). 1 Kcal = 4.187 Joule = 1,163 wh

Tabel 4. Proyeksi Potensi daya dari POME berdasarkan kapasitas PKS

POME yang dihasilkan Potensi Daya

No. Kapasitas PKS (ton TBS/Jam)

m3/jam m3/hari (Mwe)

1. 30 21 400 1,1

2. 45 31,5 600 1,6 3. 60 42 800 2,1

4. 90 63 1.200 3,2 *). Assumsi : Setiap ton tbs menghasilkan 0,7 m3 POME, 20

jam operasi/hari, konsentrasi COD 55.000 mg/l **). Sumber : Sri Rahayu Ade, dkk; (2015)

186

Indonesia saat ini merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, tercatat pada

tahun 2011 terdapat sekitar 608 pabrik kelapa sawit. Industri kelapa sawit yang terus berkembang

dengan cepat yang diperkirakan pada tahun 2020 luas tanaman akan mencapai 9,1 juta ha

dengan produksi sekitar 34 juta ton CPO. Hal ini juga akan berdampak terhadap limbah

yang dihasilkanLuthfi Parinduri, Analisa Pemanfaatan.... ISSN : 2598 – 1099 (Online) ISSN : 2502 – 3624

(Cetak)

diantaranya POME. Peningkatan jumlah POME semakin meningkatkan petensi energi yang akan

dihasilkan. Pemanfaatan POME melalui penangkapan metana dan pengubahan biogas menjadi

energi listrik, menawarkan salah satu alternatif bagi pabrik kelapa sawit untuk mengurangi

dampak lingkungan sekaligus menghasilkan energi terbarukan.

V. KESIMPULAN

Salah satu produk samping dari pabrik pengolahan kelapa sawit adalah POME yang

merupakan limbah cair. Limbah ini cukup besar jumlahnya dan dapat dikonversi menjadi biogas

yang selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi listrik. Jumlah pabrik kelapa sawit di

indonesia terus berkembang setiap tahun, namun belum semua pabrik kelapa sawit

menggunakannya sebagai sumber energi listriknya. Pada pabrik kelapa sawit yang telah

memanfaatkan POME baik dengan sistem Covered Lagoon maupun dengan menggunakan

digester anaerob telah terbukti dapat menghasilkan energi listrik mandiri dan dapat mengurangi

penggunaan BBM. Berdasarkan temuan dan hitungan yang dilakukan energi listrik yang berasal

dari POME cukup untuk memasok kebutuhan listrik pabrik kelapa sawit. Jika semua pabrik

kelapa sawit telah memanfaatkan POME akan memperoleh nilai tambah dari berkurangnya biaya

energi sekaligus meningkatkan profitabilitas. Manfaat lainnya adalah mengurangi dampak

lingkungan dan menghasilkan energi terbarukan.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Hambali, E., Mujdalipah, S., Tambunan, A.H., Pattiwiri, A.W. dan Hendroko, R., 2007, Teknologi Bioenergi, Agro

Media Pustaka, Jakarta [2] Ivanemmoy, 2013, Kelistrikan Pabrik Kelapa Sawit, diunduh pada tanggal 20 Agustus 2018 melalui

https://ivanemmoy. wordpress. com/ 2013/ 11/29/kelistrikan-pabrik-kelapa-sawit/ [3] Parinduri Luthfi, 2016, Analisa Pemanfaatan Biomassa Pabrik Kelapa Sawit Untuk Sumber Pembangkit Listrik,

Journal of Electrical Technology, Vol. 1 Nomor 2, Juni. [4] Rahman Safii, M., 2016, Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Biogas pada Pabrik Kelapa sawit PT. Pelita Agung

Agrindustri Simpang bango Duri, Laporan Kerja Praktek, Jurusan Teknik Elektro - Fakultas Teknik UISU, Medan. [5] Sam Sum Ting, Dr; 2016, Biomass Utilization : Challenges and Future Outlook, Kuliah Umum – Jurusan Teknik

Kimia – Institut Teknologi Medan. [6] Sri Rahayu Ade, dkk., 2015, Buku Panduan Konversi Pome Menjadi Biogas – Pengembangan Proyek di

Indonesia, Winrock International. [7] Syukry Othman, 2016, Overview of Palm Kernel Shell, Selesa Kreatif Resources, Kuliah Umum – Jurusan Teknik

Kimia – Institut Teknologi Medan. [8] Tri Watiningsih, dkk, 2014, Pembangkit Tenaga Listrik, Cetakan Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta. [9] ................., 2014, Data – data Instalasi Pabrik Unit Usaha Dolok Sinumbah, PT. Perekebunan Nusantara –IV

(Persero), Medan.

187

Lampiran 5

Unjuk Kerja Sistem Pembangkit Listrik Menggunakan

Biogas Limbah Cair Pada Pabrik Kelapa Sawit

Performance of the Power Plant System Using Biogas Liquid Waste at the Palm Oil Mill

Husin Ibrahim1)*, Darianto2), Dicky Dwi Cahya2)

1) Teknik Mesin, Politeknik Negeri Medan, Indonesia

2) Teknik Mesin, Universitas Medan Area, Indonesia

*[email protected]

Abstrak

Pada umumnya, peralatan PLTBS di PT. Ukindo telah dirancang dengan menggunakan peralatan khusus untuk

memproduksi listrik, seperti: engine gas dan generator. Perusahaan ini merupakan salah satu pabrik kelapa

sawit (PKS) yang dapat menghasilkan energi listrik melalui teknologi energi terbarukan. Bahan bakar yang

digunakan ialah limbah cair hasil pengolahan PKS (POME). Tujuan penelitian ini ialah analisa potensi energi listrik

yang dapat dibangkitkan oleh PLTBS dengan menggunakan bahan bakar POME pada proses pengolahan TBS di

pabrik kelapa sawit PT. Upkindo. Limbah yang keluar dari pipa masuk ke bak penampungan limbah di tiup oleh

cooling tower. Setelah suhu limbah mendingin, limbah akan dipompa oleh Raw effluet feed masuk ke Digester

Tank dan selanjutnya menghasilkan gas metana. Hasilnya ialah pada rata‐rata pengolahan diatas ton 300

TBS/tahun, hasil analisis perhitungan diperoleh daya listrik yang dapat dibangkitkan ialah 1,3 MW. Jika kemudian

jumlah TBS diolah lebih besar, maka potensi daya yang dihasilkan jika akan lebih besar, sehingga daya terpasang

juga dapat meningkat.

Kata Kunci: Limbah Cair, Biogas, Pembangkit Listrik

Abstract

In general, PLTBS equipment at PT. Ukindo has been designed using special equipment to produce electricity,

such as: gas engines and generators. This company is one of the palm oil mills (PKS) that can produce electricity

through renewable energy technology. The fuel used is liquid waste from processing of PKS (POME). The purpose of this

study is to analyze the potential of electrical energy that can be generated by the PLTBS using POME fuel in the

processing of TBS in the palm oil mill of PT. Ukindo. The waste that comes out of the pipe enters the waste storage

tank is blown by the cooling tower. After the waste temperature cools, the waste will be pumped by raw effluet feed

into the Tank Digester and then produce methane gas. The result is that on average processing above tons of 300 TBS /

year, the results of the analysis of calculations obtained by the electric power that can be generated is 1.3 MW. If then

the amount of TBS processed is greater, then the potential power produced if it will be greater, so that the installed power

can also increase.

Keywords: Liquid Waste, Biogas, Power Plant

JMEMME, Vol. 2 (2) Des (2018) p‐ISSN: 2549‐6220e‐ISSN: 2549‐6239

JOURNAL OF MECHANICAL ENGINEERING,

188

How to Cite: Ibrahim, H, 2018. Unjuk Kerja Sistem Pembangkit Listrik Menggunakan Biogas Limbah Cair Pada Pabrik

Kelapa Sawit, JMEMME, 2 (2): 78‐85

Husin Ibrahim, Unjuk Kerja Sistem Pembangkit Listrik Menggunakan Biogas

Limbah

Cair Pada Pabrik Kelapa Sawit

189

PENDAHULUAN

Permintaan energi listrik yang meningkat setiap tahunnya menjadi masalah tersendiri

disetiap negara di dunia (Ensikom, S., 2016). Begitu pula dengan Indonesia, khususnya

Sumatera Utara. Pertumbuhan beban yang tidak diikuti dengan pertambahan pusat

pembangkit tenaga listrik menyebabkan krisis energi listrik. Di sisi lain bertambahnya

kebutuhan manusia menyebabkan pertumbuhan industri juga meningkat yang diiringi

dengan meningkatnya permasalahan tentang lingkungan.

Salah satu industri yang cukup penting dalam memenuhi kebutuhan umat manusia

adalah industri pengolahan kelapa sawit. Industri pengolahan kelapa sawit tersebut

menghasilkan limbah yang berpotensi mencemari lingkungan. Secara garis besar limbah

dalam industri pengolahan kelapa sawit dapat dibagi dua yaitu limbah cair dan limbah padat.

Limbah padat terdiri dari tiga jenis yaitu tandan kosong, cangkang dan serabut. Pada

umumnya, pabrik pengolahan kelapa sawit menggunakan limbah padat serabut sebagai

bahan bakar boiler pabrik itu sendiri, sehingga yang menjadi masalah adalah cangkang

sawit dan tandan kosong sawitnya. Oleh karena itu, diperlukan solusi untuk mengatasi

masalah‐masalah yang berkaitan dengan defisit pasokan tenaga listrik serta pengolahan

limbah PKS tersebut sehingga kebutuhan umat manusia terpenuhi tetapi tetap tidak

mencemari lingkungan.

Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari limbah cair pabrik kelapa sawit

(POME) oleh mikroorganisme dalam kondisi anaerobic (Panji, 2013). Beberapa

keuntungan dari pemanfaatan biogas adalah mengurangi efek gas rumah kaca,

mengurangi pencemaran udara, tanah, air, dan hasil samping berupa pupuk padat dan cair.

Pabrik akan melakukan kegiatan produksi biogas yang akan menghasilkan gas

metana dari limbah kelapa sawit. Proses ini terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan utama

ialah tahapan keempat yaitu proses prombakan asam asetat, karbon dioksida, dan juga

gas hidrogen menggunakan bakteri metan, sehingga dihasilkan gas metana dan karbon

dioksida.

Biogas terbentuk secara alami ketika limbah cair kelapa sawit (POME) teruarai

pada kondisi anaerob. Tanpa pengendalian, biogas merupakan kontributor utama bagi

perubahan iklim global. Jika pengelolaan POME tidak terkendali, metana di dalam

biogas terlepas langsung ke atmosfer. Sebagai gas rumah kaca (GRK), metana

mempunyai efek 21 kali lebih besar dibandingkan dengan hidrokarbon. Pembangkit

listrik tenaga biogas mengambil manfaat dari proses penguraian alami untuk

membangkitkan listrik. Limbah cair organik yang dihasilkan selama produksi kelapa

sawit merupakan sumber energi besar yang belum banyak dimanfaatkan di Indonesia.

Mengubah POME menjadi biogas untuk dibakar dapat menghasilkan energi sekaligus

mengurangi dampak perubahan iklim dari proses produksi minyak kelapa sawit.

Pemanfaatan limbah padat dan cair dapat dikonversikan menjadi energi listrik

(Deublein, dan Steinhauster, 2008). Komponen terbesar yang terkandung dalam biogas adalah CH (55 % – 70 %) dan

4

CO (30 % – 45 %) serta sejumlah kecil,

190

2

nitrogen dan hidrogen sulfida. Apabila

JMEMME, 2 (2) (2018): 78‐85

kandungan gas metan dalam biogas lebih

dari 50%, biogas tersebut layak digunakan

sebagai bahan bakar, bersifat mudah

meledak dan terbakar. Gas metana

memiliki nilai kalor 50,1 MJ/kg. Jika

densitas methana 0,717 kg/m3, gas 1 m

3

methana akan memiliki energi setara

dengan 35,9 MJ atau sekitar 10 kWh. Jika

kandungan gas methana adalah 62% dalam

biogas, biogas 1 m3 akan memiliki tingkat

energi sebesar 6,2 kWh, dengan asumsi

efisiensi konversi biogas menjadi sifat dan

kualitas biogas sebagai bahan bakar,

seperti di tunjukan tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Biogas.

korek api sudah cukup panas untuk

menyebabkan ledakan.

Indonesia saat ini merupakan

produsen minyak kelapa sawit terbesar di

dunia , tercatat pada tahun 2011 terdapat

sekitar 608 pabrik pengolahan kelapa

sawit (Ditjen dan pemanfaatan energi,

2001). Bagian utama dari suatu fasilitas

komersial konversi POME menjadi biogas

ditunjukan pada Setiap komponen dalam

gambar 1.

No Komposisi Jumlah

Biogas

1 Methana () 55 ‐70 % 2 Karbon Dioksida 30 –

45% ()

3 Nitrogen () 0 – 0,3%

4 Hidrogen 1 – 5%

191

Sulfida (S)

(Sumber: Deublein dan Steinhauster, 2008)

Kandungan CO dalam biogas sebesar

2

25 – 50 % dapat mengurangi nilai kalor

bakar dari biogas tersebut (Iqbal, 2008). Sedangkan, kandungan H S dalam biogas 2

dapat menyebabkan korosi pada peralatan dan perpipaan dan nitrogen dalam biogas juga

dapat mengurangi nilai kalor bakar biogas tersebut. Pada lower explosion limit (LEL) 5,4

vol % metana dan upper explosion limit (UEL) 13,9 vol %. Di bawah 5,4 % tidak cukup

metana sedangkan di atas 14% terlalu sedikit oksigen untuk menyebabkan ledakan.

Temperatur yang dapat menyebabkan ledakan sekitar 650– 750 oC, yaitu berupa

percikan api atau

Gambar 1 Diagram Pembangkit Listrik Tenaga Biogas.

Sumber : Winrock Internasional 2015

Pengertian pembakaran secara umum yaitu terjadinya oksidasi cepat dari bahan

bakar disertai dengan produksi panas dan cahaya. Pembakaran sempurna bahan bakar

terjadi jika ada pasokan oksigen yang cukup. Dalam setiap bahan bakar, unsur yang

mudah terbakar adalah karbon, hidrogen, dan sulfur. Tujuan dari pembakaran yang

sempurna adalah melepaskan seluruh panas yang terdapat dalam bahan bakar. Hal ini

dilakukan dengan pengontrolan “Tiga T” (Mitzlaff, 2000), yaitu :

Husin Ibrahim, Unjuk Kerja Sistem Pembangkit Listrik Menggunakan Biogas Limbah

Cair Pada Pabrik Kelapa Sawit

192

T‐Temperatur

Temperatur yang digunakan dalam pembakaran yang baik harus cukup tinggi sehingga

dapat menyebabkan terjadinya reaksi kimia.

T‐Turbulensi

Turbulensi pada dasarnya menyebabkan efek dan terjadinya pencampuran yang baik

antara bahan bakar dan bahan oksidasi.

T‐Time (Waktu)

Waktu yang cukup agar input panas dapat terserap oleh reaktan sehingga berlangsung

proses termokimia.

Dalam proses pembakaran tidak terlepas dari tahap awal yaitu penyalaan dimana

keadaan transisi dan tidak reaktif menjadi reaktif karena dorongan eksternal yang memicu

reaksi termokimia diikuti dengan transisi yang cepat sehingga pembakaran dapat

berlangsung. Penyalaan terjadi bila panas yang dihasilkan oleh pembakaran lebih besar

dari panas yang hilang ke lingkungan. Dalam proses penyalaan ini dapat dipicu oleh

energi thermal yang merupakan transfer energi thermal ke reaktan oleh konduksi,

konveksi, radiasi atau kombinasi dari ketiga macam proses tersebut.

Pembakaran yang sempurna akan menghasilkan tingkat konsumsi bahan bakar

ekonomis dan berkurangnya besar kepekatan asap hitam gas buang karena pada

pembakaran sempurna campuran bahan bakar dan udara dapat terbakar seluruhnya dalam

waktu dan kondisi yang tepat. Kualitas bahan bakar perlu diperhatikan sesuai dengan

karakteristiknya sehingga homogenitas campuran bahan bakar dengan udara

193

terjadi secara sempurna. Sistem bio‐ digester terdiri dari proses pengolahan awal, bio‐digester,

dan kolam sedimentasi.

Dalam proses pengolahan awal, POME dikondisikan untuk mencapai nilai‐ nilai

parameter yang dibutuhkan untuk masuk ke digester. Pada tahap ini, dilakukan proses

penyaringan untuk menghilangkan partikel besar seperti kotoran atau serat. Proses

pengadukan dan netralisasi pH dilakukan untuk mencapai pH optimal pada 6,5‐7,5.

Sebuah sistem pendingin (coooing tower atau heat exchanger) berfungsi untuk

menurunkan suhu POME menjadi sekitar 40˚‐50˚C. Suhu digester harus di jaga dibawah

40˚C agar kondisi mesofilik optimal. Penurunan suhu ini juga dibantu dengan proses

resirkulasi air limbah keluaran dari digester. Air limbah setelah pengolahan awal

dipompa ke bio‐digester dalam bentuk kolam tertutup atau CSTR. Proses penguraian

POME menghasilkan biogas dan residu (slurry). Digesterharus dirancang kedap udara

dan air. Digester dapat dibuat dalam berbagai bentuk dan ukuran, dan dari berbagai

bahan. Ukuran digester ditentukan berdasarkan laju aliran POME, beban COD, dan

waktu retensi hidrolik (HRT) yang diperlukan untuk penguraian yang optimal

(Herringshaw, 2009).

Air limbah hasil proses anaerobik dari digester mengalir ke kolam sedimentasi

dimana POME yang telah terurai dipisahkan lebih lanjut dari lumpur dan padatan.

Perkebunan dapat menggunakan limbah cair dari sedimentasi sebagai pupuk. Sistem

pembuangan padatan berfungsi untuk memisahkan lumpur dan padatan yang

terakumulasi baik di dalam digester maupun di dalam kolam sedimentasi. Biogas yang

dihasilkan

JMEMME, 2 (2) (2018): 78‐85

melalui proses anaerobik terkumpul di

bawah cover (penutup) digester pada

kolam tertutup atau pada bagian atap

tangki pada sistem tangki/CSTR. Sistem

kolam tertutup mempertahankan tekanan

rendah 0‐2 mbarg (tergantung pada desain

penyedia teknologi), sementara sistem

tangki menyimpan biogas pada tekanan

yang lebih tinggi yakni 8‐30 mbarg. Pabrik

pengolahan kelapa sawit umumnya tidak

menggunakan tangki penyimpanan biogas

yang terpisah karena biayanya tinggi.

Sistem tangki memiliki kapasitas

penyimpanan biogas antara 30 menit

hingga 3 jam, sedangkan kolam tertutup

memiliki kapasitas penyimpanan 1 hingga

2 hari. Biogas yang terkumpul di dalam

digester kemudian dialirkan dan diproses

lebih lanjut ke dalam sistem pengolahan gas

atau dibakar di dalam flare. Bentuk tangki

CSTR dan kolam tertutup diperlihatkan pada

gambar 2.

194

Gambar 2. Continously Stirred Tank

Reactor(kiri) dan Kolam tertutup(kanan).

Sumber : Winrock Internasional 2015.

Gas engine termasuk mesin

pembakaran dalam yang bekerja dengan

bahan bakar gas seperti gas alam atau

biogas. Setelah kandungan pengotor pada

biogas diturunkan hingga kadar tertentu,

biogas kemudian dialirkan ke gas engine

untuk menghasilkan listrik. Bergantung

pada spesifikasi gas engine yang

digunakan, gas engine yang berbahan

bakar biogas umumnya memerlukan

biogas dengan kadar air di bawah 80% dan

konsentrasi S kurang dari 200 ppm.

Gas engine mengubah energi yang

terkandung dalam biogas menjadi energi

mekanik untuk menggerakkan generator

yang menghasilkan listrik. Biasanya gas

engine memiliki efesiensi antara 36‐42%.

Bentuk gas engine diperlihatkan pada

gambar 3.

Gambar 3 Gas Engine. Winrock

Internasional 2015

Sumber : Winrock Internasional 2015.

Biogas yang dihasilkan dari proses

penguraian anaerobik dapat menjadi bahan

bakar boiler. Burner gas biasanya

dipasang pada dinding boiler. Biogas

merupakan bahan bakar alternatif bagi

boiler untuk menghasilkan panas atau

listrik menggantikan bahan bakar

195

biomassa, seperti cangkang dan serat, yang

196

Husin Ibrahim, Unjuk Kerja Sistem Pembangkit Listrik Menggunakan Biogas Limbah

Cair Pada Pabrik Kelapa Sawit

1

biasa digunakan di pabrik kelapa sawit. Bentuk burner diperlihatkan pada

gambar 4.

Gambar 4 Burner Biogas.

Sumber : Winrock Internasional 2015.

Flare digunakan di industri proses atau pabrik untuk membakar kelebihan

gas. Dengan alasan keamanan, pembangkit listrik dengan biogas harus memasang

flare untuk membakar kelebihan gas, terutama pada saat biogas tidak bisa

diumpankan ke gas engine atau peralatan pembakaran lainnya. Umumnya hal ini

terjadi saat puncak panen tandan buah segar, yang menyebabkan kelebihan

produksi biogas. Bentuk unit flare diperlihatkan pada gambar 5.

Gambar 5 Flare Biogas.

Sumber : Winrock Internasional 2015.

2

Operator tidak boleh melepaskan kelebihan biogas secara langsung ke

atmosfer karena sifatnya yang mudah terbakar pada konsentrasi tinggi. Selain

itu, pelepasan biogas secara langsung juga berarti pelepasan gas rumah kaca ke

atmosfer seperti layaknya di penggunaan kolam limbah terbuka

Tujuan penelitian ini ialah analisa potensi energi listrik yang dapat

dibangkitkan oleh PLTBS dengan menggunakan bahan bakar POME pada

proses pengolahan TBS di pabrik kelapa sawit PT. Upkindo.

METODE PENELITIAN

Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini ialah POME (limbah cair kelapa

sawit). Alat yang dipergunakan terdiri dari cooling tower, kolam penampung POME

(limbah cair kelapa sawit), Raw effluent feed tank (tangki penampungan limbah

mentah), Digester tank (gas metana), covered lagoon compart ment 1, covered lagoon

compartment 2, covered lagoon compartment 3, solid removal tank (tangki zat padat

limbah), scrubber (tangki gas clean/gas bersih s), PTU (ruangan untuk mengendalikan

gas bersih masuk ke mesin chiller/pendingin, mesin chiller, dan flare (flaring).

Limbah yang keluar dari pipa masuk ke bak penampungan limbah di tiup oleh

cooling tower agar udara panas pada limbah berkurang. Setelah suhu limbah

mendingin, limbah akan dipompa oleh Raw effluet feed masuk ke Digester Tank. Limbah

yang masuk ke Digester Tank akan menguap dan menghasilkan gas metana. Apabila

gas metana berlebih akan di alirkan ke covered lagoon compartment 1, 2 dan 3. Lalu gas

clean (bersih) akan

JMEMME, 2 (2) (2018): 78‐85

ditampung di tangki scubber, dengan temperatur gas 40‐50˚C. Gas tersebut

didinginkan oleh mesin chiller sebelum di‐ supplay ke gas engine. Kebutuhan gas

untuk pabrik berbeda‐beda setiap harinya. Jika ada gas yang berlebih, gas

tersebut akan dibakar oleh alat flaring (flare). Gas akan di alirkan ke engine gas di

saat engine gas membutuhkan bahan bahan bakar gas melalui tekanan mixer gas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dengan analisis neraca massa didapatkan rata‐rata POME sebesar 55%

dari total TBS terolah pada PT.UKINDO, maka total produksi POME dihitung

sebagai berikut:

Kapasita olahan = 30ton/jam POME/AIR = 1000kg/jam

3

COD POME = 62.000mg/l = 0,062

kg/l = 0,35%

Nilai kalor = 8900kkal/Watt

Gas engine = 35% Jadi,

POME = 55% × kapasitas olahan

= 55% × 30

= 16,50 m3/jam Dengan asumsi densitas POME sama

dengan air, yaitu 1.000 kg/m3 maka kapasitas POME perjam adalah 16,50

m3/jam atau 16.500 liter/jam.

Dari hasil pengujian sampel didapatkan nilai COD POME sebesar 62.000

mg/l atau sama dengan 0,062 kg/l, maka kandungan COD dalam POME dapat

dihitung sebagai berikut:

COD POME = 0,062× 16.500

= 1,023 kg/jam

4

Dari perhitungan reaksi kimia, bahwa dihasilkan sebesar 0,35 untuk setiap

kg COD, maka dihasilkan adalah:

= 0,35× 1,023

= 358,05 kg

Nilai kalor ditentukan sebesar 8.900 kkal/kg, maka total kalori terbangkit

adalah:

Total Kalori = Nilai Kalor × total COD

= 8900 kkal/kg ×358.05 kg

= 3186645 kkal

Konversi dari kkal menjadi Watt thermal adalah 1,163 Watt/kkal (4,186

kj/kkal). Maka total energi dalam Watt adalah:

Energi = 3186645 kkal × 1,163 W/kkal

=3706068 W

= 3706,068 kW

Dengan asumsi efisiensi pembangkit gas engine berkisar antara 35%,

maka potensi energi listrik ialah:

Potensi listris = energi kalor ×efisiensi

=3706,068 kW × 35%

= 1297 kW

= 1,3 MW

Dengan demikian, potensi energi listrik dari konversi limbah biogas yang

dapat dibangkitkan di PKS UKINDO sebesar 1296,8759 kW atau 1,3 MW.

SIMPULAN

Pabrik kelapa sawit PT. Ukindo memiliki potensi sebagai penghasil

energi listrik terbarukan, yang diambil dari limbah cair hasil (POME) proses

pengolahan di PKS. Berdasarkan hasil

Husin Ibrahim, Unjuk Kerja Sistem Pembangkit Listrik Menggunakan Biogas

Limbah

Cair Pada Pabrik Kelapa Sawitanalisis, daya listrik

yang dapat dihasilkan dari limbah POME dengan

kapasitas 16.500 liter/jam akan diperoleh daya listrik

5

sebesar 1,3 MW. Perhitungan ini menggunakan

asumsi pada produksi TBS terendah. Jika kemudian

jumlah TBS diolah lebih besar, maka potensi daya

yang dihasilkan jika akan lebih besar, sehingga

analisis daya terpasang masih bisa meningkat lagi.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih kepada Program Studi Teknik Mesin, Universitas Medan

Area yang telah membantu dan mendukung sepenuhnya penelitian ini hingga

diperoleh hasil dan laporannya.

DAFTAR PUSTAKA

Diklat PLN (2006), Panjaitan (2013), Unjuk Kerja Generator Biogas.

Deublein dan Steinhauster (2008), konversi POME menjadi biogas.

Febijanto(2010),pengolahankandungan BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan COD

Iasrose (2010), Clean and Effient Biomassa Cogenaration Thecnology Asean.

Khudhori (2012), Nugraha S.A (2011), genset berbahan bakar hybrid (biogas‐ bensin). Mitzlaff

(2000), Alseadi Teodorita et.al. 2008,

Engine For Biogas, GTZ Afrika.

Panji (2013), Ahamd A,L(2005), Biogas ; limbah cair pabrik kelapa sawit oleh

mikroganisme dalam kondisi aneorobik. Pulkrabek (2014), Enginering Fundamental of

The Internal Combustion..

Sidementasi.Herringshaw (2009), Sistem Biodigester dan Kolam.

Singuda Ensikom(2016), Biogas ; sumber energi listrik.

Thani (1999), dalam ini AGM (2006), chemical oksigen demand (COD), biological demand

(BOD).