kupatan jalasutra

25
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap bangsa atau suku bangsa memiliki kebudayaan tersendiri yang dapat membedakannya dengan bangsa atau suku bangsa lainnya. Setiap kebudayaan ini, memiliki tujuh unsur yang bersifat universal yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. Kebudayaan dapat menunjukkan derajat dan tingkat peradaban manusia. Selain itu, kebudayaan juga dapat menunjukkan ciri kepribadian manusia atau masyarakat pendukungnya. Penghayatan terhadap kebudayaan dapat dilakukan melalui proses sosialisasi. alam proses ini manusia sebagai makhluk individu mulai dari masa kecil hingga masa tuanya belajar pola!pola tindakan dalam hubungan pergaulan dengan individu!individu lain di sekelilingnya, yang mempunyai beraneka ragam peranan sosial yang ada dalam kehidupan sehari!hari "Koentjaraningrat, 1#$%&'1(). alam masyarakat yang sudah maju, norma!norma dan nilai!nilai kehidupan dipelajari melalui jalur pendidikan, b secara formal maupun non formal. Sedang dalam masyarakat yang masih tradisionalterdapat suatu bentuk sarana sosialisasiyang disebut upacara tradisional. *pacara tradisional yaitu kegiatan sosial yang melibatkan para +arga masyarakat dalam usaha mencapai tujuan keselamatan bersama "Soepanto, 1##'& ). -danya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di jaman modern seperti saat ini, akan memungkinkan 1

Upload: aisyah-fathirin-nuril-jannah

Post on 07-Oct-2015

79 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Laporan Ilmu Sosial Budaya Dasar

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangSetiap bangsa atau suku bangsa memiliki kebudayaan tersendiri yang dapat membedakannya dengan bangsa atau suku bangsa lainnya. Setiap kebudayaan ini, memiliki tujuh unsur yang bersifat universal yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian.Kebudayaan dapat menunjukkan derajat dan tingkat peradaban manusia. Selain itu, kebudayaan juga dapat menunjukkan ciri kepribadian manusia atau masyarakat pendukungnya. Penghayatan terhadap kebudayaan dapat dilakukan melalui proses sosialisasi. Dalam proses ini manusia sebagai makhluk individu mulai dari masa kecil hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam hubungan pergaulan dengan individu-individu lain di sekelilingnya, yang mempunyai beraneka ragam peranan sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari (Koentjaraningrat, 1980:217).Dalam masyarakat yang sudah maju, norma-norma dan nilai-nilai kehidupan dipelajari melalui jalur pendidikan, baik secara formal maupun non formal. Sedang dalam masyarakat yang masih tradisional terdapat suatu bentuk sarana sosialisasi yang disebut upacara tradisional. Upacara tradisional yaitu kegiatan sosial yang melibatkan para warga masyarakat dalam usaha mencapai tujuan keselamatan bersama (Soepanto, 1992:5).Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di jaman modern seperti saat ini, akan memungkinkan hubungan antara manusia atau bangsa menjadi semakin lancar, mudah, dan cepat. Hubungan antar bangsa, membawa akibat terjadinya kontak kebudayaan dan saling mempengaruhi. Nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang semula menjadi acuan suatu bangsa atau kelompok masyarakat bisa menjadi goyah akibat adanya pengaruh budaya dari luar. Akibatnya nilai-nilai lama yang ada dalam pranata-pranata sosial milik masyarakat yang bersifat tradisional akan terdesak, bahkan bisa hilang. Begitu pula dengan upacara tradisional sebagai salah satu kegiatan sosial yang merupakan pelindung bagi norma-norma sosial dan nilai-nilai lama di dalam kehidupan kultural masyarakat pendukungnya, lambat laun juga akan mengalami hal yang sama.Saat ini di Indonesia meski jaman sudah modern dan IPTEK sudah berkembang dengan pesat, masih banyak terdapat upacara-upacara atau tradisi-tradisi yang terus dilestarikan oleh masyarakat setempat untuk menghargai dan melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu-pendahulu mereka di masa lalu. Salah satu tradisi yang masih bertahan hingga saat ini adalah Kupatan Jalasutra yang dilakukan oleh masyarakat di desa Sri Mulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Provinsi D.I.Yogyakarta.Dalam kesempatan ini, penulis akan menjelaskan lebih dalam mengenai tradisi Kupatan Jalasutra tersebut. Disini penulis akan membahas tentang apa sebenarnya tradisi Kupatan Jalasutra itu, apa tujuan dilakukannya tradisi tersebut, bagaimana asal mula dilakukannya tradisi tersebut, dan bagaimana pelaksanaan tradisi tersebut serta apa saja bahan atau ritual-ritual yang harus dilakukan atau disiapkan sebelum melakukan tradisi Kupatan Jalasutra tersebut.1.2 Rumusan Masalah1.2.1 Apa sebenarnya tradisi Kupatan Jalasutra itu?1.2.2 Bagaimana asal mula dilakukannya tradisi Kupatan Jalasutra?1.2.3 Apa tujuan dilakukannya tradisi Kupatan Jalasutra?1.2.4 Apa saja hal-hal yang harus dilakukan atau disiapkan sebelum melakukan tradisi Kupatan Jalasutra?1.2.5 Bagaimana pelaksanaan tradisi Kupatan Jalasutra? 1.3 Tujuan dan ManfaatTujuan dalam pembuatan makalah ini, yaitu:1. Untuk mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan tradisi Kupatan Jalasutra tersebut.2. Untuk mengetahui bagaimana asal mula dilakukannya tradisi Kupatan Jalasutra.3. Untuk mengetahui apa tujuan dilakukannya tradisi Kupatan Jalasutra.4. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang harus dilakukan atau disiapkan sebelum melakukan tradisi Kupatan Jalasutra.5. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan tradisi Kupatan Jalasutra. Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini, yaitu:1. Bagi penulis, dengan dibuatnya makalah ini penulis bisa mendapatkan semakin banyak ilmu pengetahuan tentang kebudayaan daerah-daerah di Indonesia yang sangat beragam khususnya tentang Kupatan Jalasutra yang ada di desa Sri Mulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Provinsi D.I.Yogyakarta. Selain itu penulis juga mendapat lebih banyak pengetahuan dan pengalaman dalam hal cara pembuatan makalah.2. Bagi Dosen, makalah ini dapat dijadikan indikator untuk mengetahui tentang sejauh mana mahasiswa dapat mengerjakan tugas yang diberikan dan sejauh mana mahasiswa dapat memahami tentang materi kuliah yang telah diberikan oleh dosen sebelum dibuatnya makalah ini.3. Bagi Pembaca, makalah ini dapat bermanfaat untuk memberi pengetahuan yang lebih banyak tentang kebudayaan di daerah-daerah di Indonesia yang sangat beragam jenisnya khususnya tentang tradisi Kupatan Jalasutra yang ada di desa Sri Mulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Provinsi D.I.Yogyakarta.1.4 Tinjauan Pustaka1.4.1 KebudayaanKebudayaan merupakan ciri pribadi manusia, didalamnya mengandung norma-norma, tatanan nilai atau nilai-nilai yang perlu dimiliki dan dihayati oleh manusia atau masyarakat pendukungnya. Kebudayaan juga dapat diartikan sebagai konsep, keyakinan, nilai, dan norma yang dianut masyarakat yang mempengaruhi perilaku mereka dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya (Tumanggor, 2010:141-142).Pada hakekatnya, sistem nilai merupakan posisi sentral dari struktur budaya suatu masyarakat, sistem nilai merupakan fenomena dan problem dasar kehidupan manusia, karena siastem nilai merupakan perangkat struktur dalam kehidupan manusia baik secara individu maupun secara sosial (Geriya, 1986:25)Pengertian kebudayaan juga dapat dibagi menjadi dua macam arti yaitu kebudayaan dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, kebudayaan adalah pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang memenuhi hasrat akan keindahan. Sedangkan dalam arti luas, kebudayaan adalah total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada nalurinya, dan karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia melalui proses belajar (Maran, 2007:31).Menurut UUD 45 pasal 32, kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat indonesia seluruhnya. Kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia (Moertjipto, 1994:1).Kata budaya menurut perbendaharaan bahasa Jawa berasal dari kata budi dan daya. Dua kata yang digabungkan menjadi satu kata baru membentuk pengertian baru ini dinamakan jarwodosok, yaitu pemadatan dua kata menjad satu kata yang bermaksud untuk menyatukan arti kata tersebut kedalam satu arti baru yang mudah diingat (Mangunpranoto, 1961:48). Kata budi dan daya, mempunyai pengertian yaitu kata budi mengandung beberapa pengertian: (a) akal dalam arti batin, untuk menimbang mana yang baik, buruk, benar dan salah; (b) tabiat, watak, dan peringai; (c) kebaikan, perbuatan baik; (d) daya upaya, ikhtiar; (e) kecerdikan untuk mencari pemecahan masalah. Sedangkan kata daya mengandung arti: (a) kekuatan, tenaga; (b) pengaruh; (c) akal, jalan/cara ikhtiar; (d) muslihat, tipu (Herusatoto, 2001: 5-6).Kedua kata tersebut (budi dan daya) memiliki beberapa kesamaan arti. Setelah mengalami proses jarwodosok menjadi budaya yang mempunyai pengertian baru yaitu kekuatan batin dalam berupaya menuju kebaikan atau kesadaran batin menuju kabaikan. Ada pula yang mengartikannya sebagai daya upaya manusia untuk menciptakan suatu keindahan (Koesni, 1979:33). Ki sarino Mangunpranoto berpendapat bahwa budaya manusia itu terwujud karena perkembangan lingkungan serta norma-norma hidupnya. Keluhuran sifat-sifat hidup itu melahirkan rasa budaya manusia. Jika rasa budaya itu dilaksanakan, maka terjadilah kebudayaan manusia. Begitu erat hubungan manusia dengan kebudayaannya, disebabkan kebudayaan merupakan suatu lingkup dimana manusia hidup. Kebudayaan sendiri terdiri atas gagasan-gagasan, simbol-simbol, dan nilai-nilai sebagai hasil karya dari tindakan manusia. Sehingga tidaklah berlebihan jika ada ungkapan, begitu eratnya kebudayaan manusia dengan simbol-simbol, sampai manusia pun disebut makhluk dengan simbol-simbol. Manusia berpikir, berperasaan dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis. Ungkapan-ungkapan simbolis ini merupakan ciri khas manusia, yang membedakannya dari hewan, sehingga manusia cenderung disebut sebagai hewan yang bersimbol (animal symbolicum) (Cassirer, 1944:23-26).Setiap kebudayaan yang dimiliki manusia, mempunyai tujuh unsur yang bersifat universal. Unsur-unsur tersebut yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian (Koentjaraningrat, 1980:217).1.4.2 Budaya JawaPulau Jawa terdiri dalam lima daerah administratif pemerintahan yaitu Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.Secara antropologi budaya dapat dikatakan bahwa yang disebut suku Jawa adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa Jawa dengan ragam dialek dalam kehidupan sehari-hari, dan bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur serta mereka yang berasal dari daerah teresebut. Wilayah di sebelah barat sungai Cilosari dan Citanduy disebut daerah Jawa Barat atau Tanah Pasundan, dan didiami oleh suku sunda (Harsojo, 1976:300). Sedangkan di wilayah timur sungai tersebut disebut Tanah Jawa, yaitu daerah yang didiami oleh suku Jawa. Daerah tersebut meliputi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Suku Jawa asli atau pribumi, hidup di pedalaman, yaitu daerah-daerah yang biasanya disebut daerah Kejawen. Daerah itu meliputi wilayah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan kediri. Di luar itu disebut daerah pesisir dan ujung timur (Geertz, 1966: 42). Yogyakarta dan Surakarta, dua daerah bekas kerajaan Mataram merupakan pusat kebudayaan Jawa. Pada daerah ini terletak dua kerajaan terakhir dari pemerintahan raja-raja Jawa.Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, terdapat banyak kebudayaan yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa itu sendiri. Kebudayaan- kebudayaan tersebut seperti dalam hal bahasa, masyarakat Jawa menggunakan bahasa Jawa. Dalam pengucapan bahasa ini, seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia maupun status sosialnya. Demikian pada prinsipnya ada dua macam bahasa Jawa apabila ditinjau dari kriteria tingkatannya, yaitu bahasa Jawa Ngoko yang dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajat atau status sosialnya, dan bahasa Jawa Krama yang digunakan untuk berbicara dengan yang belum dikenal akrab tetapi yang sebaya dalam umur maupun derajat, dan juga terhadap orang yang lebih tingggi umur serta status sosialnya. Selain itu juga ada bahasa Jawa Madya yang terdiri dari tiga macam bahasa yaitu Madya Ngoko, Madyaantara, dan Madya Krama; ada pula bahasa Krama Inggil yang terdiri dari kira-kira 300 kata-kata; ada juga bahasa Kedaton yang khusus digunakan dikalangan istana; bahasa Jawa Krama Desa; dan bahasa Jawa Kasar (Tim Penyusun, 1946:86-87).Bentuk rumah dari masyarakat Jawa sangat beragam jenisnya tergantung bangunan atapnya, ada yang dinamakan rumah limasan, rumah serotong, rumah joglo, rumah panggangepe, rumah daragepak, rumah macan njerum, rumah klabang nyander, rumah tajuk, rumah kutuk ngambang, dan rumah sinom (Koenjtaraningrat, 1975:324).Sistem kekerabatan orang Jawa itu berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Semua kakak laki-laki serta kakak wanita ayah dan ibu, beserta istri-istri maupun suami-suami masing-masing yang diklasifikasikan menjadi satu dengan istilah siwa atau uwa. Adapun adik-adik dari ayah dan ibu diklasifikasikan ke dalam dua golongan yang dibedakan menurut jenis kelamin menjadi paman bagi para adik laki-laki dan bibi bagi para adik wanita. Dalam masyarakat Jawa, ada macam-macam perkawinan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Perkawinan yang tidak diperbolehkan, yakni ngarang wulu (perkawinan seorang duda dengan seorang wanita yang merupakan salah satu adik dari almarhum istrinya) dan wayuh (perkawinan lebih dari seorang istri (poligami)).Masyarakat Jawa juga sering mengadakan selamatan yaitu suatu upacara makan bersama, dimana makanan yang akan dimakan telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan. Upacara ini biasanya dipimpin oleh modin, yakni salah seorang pegawai masjid yang antara lain berkewajiban mengucapkan ajan. Upacara-upacara selamatan yang sering diselenggarakan dapat digolongkan ke dalam enam macam sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari, yakni:1. Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil tujuh bulan, kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara menyentuh tanah untuk pertama kali, upacara menusuk telinga, sunat, kematian, serta saat-saat setelah kematian.2. Selamatan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian, dan setelah panen padi.3. Selamatan berhubung dengan hari-hari serta bulan-bulan besar Islam.4. Selamatan pada saat-saat yang tidak tertentu, berkenaan dengan kejadian-kejadian, seperti membuat perjalanan jauh, menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya (ngruwat), janji kalau sembuh dari sakit dan lain-lain (Koentjaraningrat, 1975:340-341).Upacara tradisional sebagai salah satu bentuk ungkapan budaya mempunyai fungsi antara lain sebagai faktor penertib, dimana pelakunya atau pendukungnya mengikuti aturan-aturan dan peraturan yang berlaku, sesuai dengan ruang, waktu dan corak kegiatan yang ada dalam situasi dan arena sosial yang ada (Budhisantoso, 1984:10). Dalam budaya Jawa juga terdapat beberapa kesenian yang secara turun-menurun masih terus dilestarikan hingga saat ini, seperti seni wayang kulit yang mengandung enam unsur seni yaitu seni rupa, seni sastra, seni suara, seni tari, seni musik dan seni drama. Selain itu juga ada seni pahat, topeng, kacuringan (keris), dan kawarangkan (tempat keris) yang merupakan bagian dari seni rupa, dan juga dikenal pula bentuk-bentuk simbolisme dengan maksud tertentu yang bersifat magis seperti sepasang patung gopala yang berwujud raksasa, candi-candi sebagai tempat pemujaan (kuil) dan candra sangkala (patung sepasang naga). 1.5 Sistematika PenulisanSistematika penulisan merupakan metode yang dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaian dengan obyek penelitian atau pengamatan. Metode merupakan suatu cara untuk memahami suatu obyek yang akan menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1977:16).1.5.1 Bab 1Penulis memilih salah satu kebudayaan di Indonesia yang masih tetap dilestarikan hingga saat ini, yaitu Kupatan Jalasutra sebagai salah satu kebudayaan yang ada di salah satu desa di Provinsi D.I.Yogyakarta karena tradisi tersebut merupakan tradisi yang masih sangat rutin dilakukan oleh masyarakat Desa Sri Mulyo pada setiap tahunnya. Untuk lebih mengenali dan lebih tahu banyak tentang tradisi ini, maka terdapat banyak pertanyaan yang dapat diajukan seperti yang tertera pada rumusan masalah, yang kemudian akan dibahas dalam makalah ini.

1.5.2 Bab 2Gambaran umum diambil dari data yang terdapat pada beberapa buku yang juga membahas tentang tradisi Kupatan Jalasutra yang dimiliki oleh penulis. 1.5.3 Bab 3Pembahasan berisikan tentang jawaban atas rumusan-rumusan masalah yang muncul dalam pembuatan makalah ini. Jawaban-jawaban tersebut didapatkan penulis dari beberapa data yang diperoleh melalui beberapa buku yang penulis miliki.1.5.4 Bab 4Penutup merupakan inti pokok dari jawaban-jawaban atas permasalahan-permasalahan yang sebelumnya sudah dibahas secara terperinci sehingga semua pembahasan dapat terangkum menjadi bahasa yang lebih mudah.

BAB IIGAMBARAN UMUM

2.1. Kondisi GeografisDesa Sri Mulyo merupakan salah satu desa yang terdapat di kecamatan Piyungan, Kabupaten Daerah Tingkat II Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Sri Mulyo terletak 1,5 km di sebelah barat Kecamatan Piyungan, 22 km di sebelah timur laut ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Bantul, dan terletak 13 km di sebelah timur ibukota Provinsi D.I.Yogyakarta. Di daerah ini terdapat suatu upacara tradisional Kupatan Jalasutra yang bertempat di makam sunan Geseng. Jarak ke tempat upacara (makam) 4 km ke arah selatan dari jalan raya Yogyakarta-Wonosari (Sunjata, 1996:7).Desa Sri Mulyo berbatasan dengan desa/kecamatan lain yaitu sebelah utara Desa Jogotirto Kecamatan Piyungan, sebelah timur Kecamatan Patuk Kabupaten Gunung Kidul, sebelah selatan Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul, dan sebelah barat Desa Sitimulyo Kecamatan Banguntapan. Desa Sri Mulyo terdiri dari 22 dusun dengan luas wilayahnya 1.475,8310 hektar. Daerah seluas tersebut menurut penggunaannya dapat dilihat pada tabel berikut:Tabel 1 Luas Areal Desa/Kelurahan Menurut PenggunaanyaNoPenggunaanLuas (Ha)Prosen

1.Sawah1.098,443575,35 %

2.Perumahan dan Pekarangan348,470023,90 %

3.Lainnya (kuburan, lapangan, jalan sungai)10,91750,75 %

Bentuk permukaan tanah Desa Sri Mulyo sebagian besar (70%) berupa perbukitan dan 30% daratan. Ketinggian rata-rata desa 115 m di atas permukaan laut. Menurut peta geologi D.I.Yogyakarta skala 1:250.000, merupakan endapan vulkanik gunung api muda. Jenis tanahnya kambisal, dengan batuan/bahan induk endapan material vulkanis. Tingkat produktivitas tanah sedang.Desa Sri Mulyo dilalui sungai yang mengalir terus-menerus, terutama di musim penghujan. Kedalaman air tanahnya kurang dari 7 m dengan tingkat kelolosan sedang. Curah hujan di Desa ini mencapai 1.500-2.000 mm/tahun, dengan suhu/temperatur udara antara 22O -32O C. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Koppen termasuk tipe Awa. Tipe iklim ini mempunyai bulan kering lebih dari 4. Arah angin pada musim penghujan bertiup dari barat daya, dan musim kemarau angin bertiup dari timur. Secara astronomi, Desa ini terletak 110O 25 BT - 110O 31 BT, dan 07O 49 LS - 07O 52 LS (Sunjata, 1996:6-7). 2.2. Kondisi DemografisJumlah penduduk Desa Sri Mulyo menurut data monografi tahun 1992/1992 sebanyak 13.475 jiwa. Jumlah tersebut terdiri dari 6.586 jiwa laki-laki dan 6.889 jiwa wanita, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2.561 KK. Apabila dihitung rata-rata tiap KK terdapat 5 orang. Menurut perhitungan angka kepadatan penduduk secara geografis, maka didapatkan bahwa kepadatan penduduk Desa Sri Mulyo adalah 924 jiwa/km2 (Sunjata, 1996:10).Komposisi penduduk menurut jenis kelamin, jumlah penduduk wanita lebih banyak (51,12 %) dibandingkan jumlah penduduk laki-laki (48,88 %), dengan seks rasio 96. Komposisi penduduk juga dapat digolongkan menjadi tiga golongan utama yaitu belum produktif/golongan muda, penduduk produktif, dan sudah tidak produktif/golongan tua (Prawiro, 1979:48). Perbandingan jumlah penduduk menurut jenis kelamin ini dapat diperhatikan dari tiap kelompok umur, seperti pada tabel berikut ini:Tabel 2 Komposisi Penduduk Menurut Umur, Jenis Kelamin dan Seks Rasio Di Desa Sri MulyoGolonganUmurPenduduk (Jiwa)Jumlah (Jiwa)Sex Rasio

L%W%L + W%

0 478611,9671610,391.50211,15110

5 989713,6292213,381.81913,5097

10 1488913,5089913,051.78813,2799

15 1974411,3070310,201.44710,74106

20 245368,146078,811.1438,4888

25 294176,33 4346,308516,3296

30 343154,783555,156704,9789

35 393054,634386,367435,5169

40 443655,543575,187225,36102

45 493234,903204,656434,77101

50 542894,393054,435944,4195

55 592033,081822,643852,86112

60 641772,691902,673672,7293

65 +3405,164616,698065,9474

Jumlah 6.586100,006.889100,0013.475100,0096

(Monografi Desa Sri Mulyo, Maret 1992)Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikannya relatif masih rendah. Data selengkapnya dapat dilihat dari tabel berikut ini:Tabel 3 Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Di Desa Sri MulyoNo.Tingkat PendidikanJumlahProsentase

1.Tidak tamat SD/sederajat2.10617,84

2.Tamat SD/sederajat4.86041,16

3.Tamat SLTP/sederajat2.87024,30

4.Tamat SLTA/sederajat1.87915,91

5.Tamat Akademi/sederajat580,49

6.Tamat Perguruan Tinggi/sederajat350,30

Jumlah11.808100,00

(Monografi Desa Sri Mulyo, Maret 1992)Komposisi penduduk menurut jenis mata pencahariannya yang merupakan pekerjaan pokok yang dominan bekerja di sekitar pertanian yaitu lebih dari 80% (87,69%). Jumlah tersebut terdiri dari petani pemilik 42,18% buruh tani 30,56% dan petani penggarap 14,95%. Sedangkan di sektor lain masing-masing pegawai negeri/ABRI 4,85%, pengrajin industri kecil 2,98%, jasa 2,05% dan pedagang 1,69% serta lainnya kurang dari 1%.Agama yang dianut penduduk adalah islam, katholik dan kristen. Jumlah penduduk yang beragama islam di daerah ini mayoritas yaitu sebanyak 13.241 orang (98,26%). Sedangkan lainnya masing-masing yang beragama katholik sebanyak 187 orang (1,89%) dan kristen sebanyak 47 orang (0,35%) (Sunjata, 1996:13).2.3. Struktur Sosial EkonomiUntuk mengetahui tingkat kemajuan dan kemakmuran suatu daerah dapat dilihat keadaan sosial ekonomi masyarakat/penduduknya. Tingkat kemajuan masyarakat salah satunya dapat diperhatikan dari tingkat pendidikan. Dalam uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan penduduk Desa Sri Mulyo masih relatif rendah. Tingkat pendidikan ini tentu saja akan semakin lebih tinggi pada tahun yang akan datang, sedangkan tingkat kemakmuran masyarakat antara lain dapat diperhatikan dari terpenuhinya kebutuhan pokok seperti pangan, sandang dan papan (rumah).Dalam memenuhi kebutuhan pokok tersebut, tidak lepas dari pendapatan masyarakat yang tentunya sangat tergantung pada matapencaharian pokok masyarakat. Untuk menunjang kegiatan ekonomi, di Desa Sri Mulyo terdapat sarana pemasaran sarana ekonomi berupa pasar dua buah dan beberapa toko/warung.Salah satu kebutuhan pokok yang menjadi ukuran ekonomi adalah keadaan rumah (pemilikan rumah). Keadaan rumah di Desa Sri Mulyo menurut bahan bangunannya sudah baik karena sebagian besar (79,10%) sudah permanen. Menurut kriteria rumah sehat, di daerah ini sudah memperhatikan rumah sehat yaitu dengan adanya ventilasi/jendela dengan lantai tidak lembab, dinding tidak lembab dan sebagian memiliki WC dengan memenuhi syarat kesehatan serta terdapat tempat sampah. Dalam kaitannya dengan lingkungan rumah, sebagian besar memenuhi halaman atau terdapat jarak antara rumah yang satu dengan yang lainnya (Sunjata, 1996:14-15).Selain itu , hal yang juga menjadi ukuran kondisi ekonomi masyarakat adalah pemilikan barang. Menurut data monografi Desa Sri Mulyo tahun 1992, pemilikan barang terdiri dari sarana transportasi dan sarana komunikasi.2.4. Masyarakat dan BudayaHubungan sosial antar warga masyarakat di Desa Sri Mulyo ditunjukkan apabila diantara warga tersebut punya hajat atau ada yang meninggal dunia. Kegiatan sosial ini ada yang melalui organisasi sosial atau perkumpulan-perkumpulan. Misalnya dana kematian melalui Pralenan, dan hajatan melalui sinoman dengan memberikan bantuan berupa tenaga. Selain itu, terdapat interaksi sosial yang berbentuk kerja sama yaitu kegiatan gotong-royong yang diwujudkan dalam bentuk tenaga, bahan material, uang atau kerja bakti seperti membersihkan lingkungan dan memperbaiki jalan. Lembaga desa yang ada di Desa Sri Mulyo cukup aktif dalam kegiatan masyarakat, seperti PKK dengan dasa wisma, Posyandu, Keluarga Berencana, Kelompok Tani, LKMD, KKLKMD dan sebagainya.Masyarakat Desa Sri Mulyo masih melakukan adat istiadat (tradisi) dan sebagian mempunyai kepercayaan tempat yang dianggap keramat. Tradisi yang dilakukan terutama mengenai kendhuri (selamatan) seperti yang berkaitan dengan upacara Kupatan Jalasutra, selamatan kematian (surtanah), selamatan tingkeban, selamatan punya hajat dan lain-lain. Sedangkan kepercayaan yang berhubungan dengan tempat keramat atau masih dianggap keramat.

BAB IIIPEMBAHASAN

3.1 Kupatan JalasutraDi provinsi D.I.Yogyakarta banyak terdapat upacara-upacara tradisional yang sudah dilakukan secara turun-menurun dari generasi ke generasi selanjutnya, salah satu upacara adat (tradisional) yang masih rutin dilakukan oleh masyarakat setempat hingga saat ini adalah upacara Kupatan Jalasutra. Upacara ini dilakukan oleh masyarakat Dusun Jalasutra, Desa Sri Mulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Daerah Tingkat II Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.Masyarakat Desa Sri Mulyo memiliki beberapa panenan seperti panen tembakau, palawija, dan lain-lain. Namun, masyarakat disana menganggap padi sebagai tanaman pokok, sehingga waktu penyelenggaraan upacara dilaksanakan beberapa saat setelah panen raya. Upacara ini diselenggarakan setiap tahun sekali di hari Senin legi, untuk tanggalnya berdasarkan pada penanggalan atau kalender Jawa, yaitu dipilih antara tanggal 10 sampai 15 saat menjelang bulan purnama. Sedangkan untuk bulan penyelenggaraannya tidak dapat ditetapkan, karena jika musim hujan tidak sesuai dengan waktu yang seharusnya maka akan mempengaruhi pula saat panen raya. Namun sebagai pathokan, biasanya mengambil bulan safar. Puncak upacara dilaksanakan pada siang hari, kurang lebih pukul 14.00 dan berakhir sekitar pukul 16.00. Upacara Kupatan Jalasutra ini dilaksanakan di makam pepundhen masyarakat Jalasutra yaitu Sunan Geseng, yang dikenal pula dengan nama makam sentana. Makam tersebut terletak di lereng gunung barisan yang jaraknya 3 km dari Dusun Jalasutra, sehingga setiap kali upacara berlangsung maka para pengunjung harus naik ke bukit tersebut. Upacara ini memiliki pantangan yang tidak boleh dilanggar yaitu hari pelaksanaan upacara tidak diperkenankan mengambil hari selain hari senin legi. Hal ini disebabkan karena Senin Legi dipercaya merupakan hari yang dianggap hari baik untuk melaksanakan upacara Kupatan Jalasutra.3.2 Asal Mula Dilaksanakannya Kupatan JalasutraMenurut legenda rakyat setempat diceritakan, tersebutlah seorang pertapa sakti bernama Ki Ageng Kotesan, tinggal di Desa Sinandu, Salaman Bagelen Purworejo, mempunyai seorang putra bernama Ki Cakrajaya. Cakrajaya adalah seorang anak yang mempunyai kemauan keras, berpendirian tetap, suka menyendiri dan berpuasa. Sudah menjadi takdir bahwa orang yang ingin tercapai cita-citanya biasanya sering didahului dengan penderitaan.Ketika dewasa dan sudah mempunyai seorang istri, kebiasaan cakrajaya tidak berubah. Dia masih tetap rajin, pekerja keras dan suka berpuasa, begitu pula dengan sikapnya, dia dan keluarganya dikenal sebagai keluarga yang memiliki sikap baik oleh tetangga-tetangga dan masyarakat setempat. Cakrajaya memiliki matapencaharian sebagai penyadap enau.Suatu hari ketika dia sedang mengerjakan pekerjaannya, tiba-tiba saja ada seseorang yang mengejutkannya yaitu Sunan Kalijaga. Kemudian Cakrajaya berbincang-bincang dengan Sunan Kalijaga dan dia merasa sangat kagum hingga ingin menjadi murid dari Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga pun memberinya tugas untuk menjaga tongkat pemberian Sunan Kalijaga sebagai ujian untuk menjadi muridnya, dan berjanji jika saatnya sudah tiba maka mereka akan bertemu di gunung tempat mereka bertemu pertama kali.Beberapa tahun kemudian Sunan Kalijaga kembali ke gunung tersebut dan ternyata semuanya sudah berubah, gunung itu telah menjadi hutan. Sunan Kalijaga tidak bisa menemukan Cakrajaya, hingga kemudian Beliau membakar hutan dan ternyata Cakrajaya benar-benar berada didalamnya dengan tetap memegang tongkat yang sudah terbakar. Akhirnya Sunan Kalijaga mengakui keberhasilan Cakrajaya dalam menjalankan ujian yang diberikan dan Sunan Kalijaga memberi nama panggilan untuk Cakrajaya yaitu Sunan Geseng yang berarti gosong.Setelah kejadian itu, Sunan Geseng pun dianugerahi kehebatan atau kekuatan yang luar biasa. Dia pun banyak melakukan perjalanan keberbagai daerah untuk mengamalkan ilmunya. Hingga suatu hari dia diminta untuk mengasuh dan mengajari pangeran mataram tentang berbagai hal untuk menjadi bakal calon raja yang sesuai dengan yang diharapkan (baik dan bijaksana dalam segala hal).Suatu hari ketika pangeran telah menjadi raja dan memiliki seorang permaisuri yang sedang hamil, permaisuri ingin memakan seekor ikan mas. Namun tidak ada yang bisa mengkap ikan tersebut, kemudian Sunan Geseng menawarkan diri untuk menangkap ikan tersebut dengan syarat disediakan sehelai benang sutra yang akan digunakan sebagai jala untuk menangkap ikan itu. Akhirnya ikan itu pun bisa ditangkap dan sejak saat itu Sunan Geseng menjadi sesepuh di kerajaan yang sangat dihormati oleh semua anggota kerajaan dan juga masyarakat setempat.Sejak saat itulah, hingga Sunan Geseng meninggal pun Beliau masih sangat dihormati dan dipercaya oleh masyarakat sebagai pelindung dan penjaga masyarakat Dusun Jalasutra. Sehingga untuk menghormati dan mengenang serta mendoakan arwah dan juga meminta perlindungan, pertolongan dan semacamnya, setiap hari Senin Legi yang merupakan hari pengangkatan Sunan Geseng menjadi murid Sunan Kalijaga, pada setiap tahunnya tepatnya beberapa saat setelah panen raya, masyarakat Desa Sri Mulyo yaitu Dusun Jalasutra rutin melakukan upacara tradisional yang disebut sebagai upacara Kupatan Jalasutra. Dimana upacara ini pada dasarnya dilakukan untuk mengharapkan mendapat berkah dari Tuhan maupun dari Sunan Geseng sebagai cikal bakal Dusun Jalasutra.3.3 Tujuan Penyelenggaraan Kupatan JalasutraTujuan penyelenggaraan upacara Kupatan Jalasutra adalah sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Nabi Muhammad SAW, serta para leluhur yang telah melimpahkan karunianya sehingga hasil pertanian mereka bisa berhasil dengan baik. Selain itu, upacara ini juga ditujukan agar hasil pertaniannya yang akan datang bisa lebih baik dari tahun kemarin. Hal ini dilakukan karena telah menjadi kenyataan bahwa tanah di wilayah Desa Sri Mulyo pada umumnya dan Dusun Jalasutra pada khususnya, hampir tidak mungkin dipakai sebagai lahan pertanian sawah (padi) dengan saluran irigasi yang memadai. Dengan demikian, sedikit banyaknya hujan yang turun, sangat mempengaruhi hasil panen mereka. Keberhasilan panen merupakan peristiwa yang sangat penting, sehingga mereka merasa wajib untuk mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan dan para leluhurnya, terutama ditujukan kepada Sunan Geseng sebagai cikal bakal dan pephunden seluruh masyarakat Jalasutra. 3.4 Persiapan Penyelenggaraan Kupatan JalasutraPersiapan pelaksanaan upacara Kupatan Jalasutra dimulai sejak dua minggu sebelumnya, yaitu dengan melaksanakan kerja bakti di lingkungan masing-masing yang dilakukan oleh warga masyarakat. Kemudian dilakukan pula pembenahan jalan dan pengapuran pagar-pagar di pimggir jalan menuju makam Sunan Geseng, dan juga pembersihan makam Sunan Geseng serta makam-makam leluhur lainnya yang ada disana. Tiga hari menjelang pelaksanaan upacara, diadakan pasar malam yang bertempat di lapangan Dusun Jalasutra. Pada malam tersebut banyak pengunjung yang datang dari daerah lain yang bertujuan untuk berziarah ke makam Sunan Geseng, disamping untuk menyaksikan pasar malam.Satu hari menjelang pelaksanaan upacara, warga masyarakat Jalasutra mulai mempersiapkan dengan membuat ketupat serta membersihkan jodhang yang akan dipakai untuk membawa ambeng ke tempat upacara. Selain itu juga dipersiapkan pemasangan umbul-umbul dan pembenahan-pembenahan di sekitar tempat upacara serta pembuatan takir dan sudhi. Pada saat itu penduduk juga mulai membuat makanan-makanan yang akan dipakai pada saat upacara, seperti ketupat, kerupuk, rempeyek, nasi gurih, puthu kering, dan lain sebagainya. Di makam Sunan Geseng juga sudah dipersiapkan juru kunci untuk menerima para peziarah yang ingin berziarah.3.5 Penyelenggaraan Kupatan JalasutraPada hari pelaksaan upacara, jodhang-jodhang yang berisi sesaji dari berbagai rukun tetangga di wilayah Dusun Jalasutra dibawa berkumpul di lapangan Dusun Jalasutra. Kemudian jodhang-jodhang tersebut dibawa menuju ke tempat upacara di makam sentana. Arak-arakan jodhang menuju ke tempat upacara diikuti oleh para warga dan diiringi dengan kesenian rakyat jathilan.Upacara Kupatan Jalasutra, diawali dengan sambutan oleh Kepala Desa Sri Mulyo yang kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari muspika (camat piyungan). Selanjutnya dilaksanakan inti upacara yaitu ngejubaken hajat masyarakat Jalasutra dan dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh juru kunci makam Sunan Geseng. Dalam doa tersebut, masyarakat biasanya memohon berkah agar di tahun-tahun yang akan datang mereka bisa memperoleh hasil panen yang melimpah, memohon perlindungan, keselamatan, dan rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan-Nya selama ini serta juga tidak lupa mendoakan arwah leluhurnya agar segala amal baiknya diterima disisi Tuhan.Kemudian dimulailah pembagian sesaji yang berupa nasi gurih dan lauk pauknya serta hasil-hasil palawija dan jajan pasar. Masyarakat yang berebut sesaji tersebut percaya bahwa dengan mendapatkan ambeng atau salah satu dari sesaji itu akan ngalap berkah, sehingga segala apa yang diinginkannya akan terlaksana.Masyarakat Jalasutra mempunyai kepercayaan apabila pada saat dilaksanakan nyandar dhuwur banyak pengunjung yang datang untuk mengikuti upacara, maka hal itu dapat dijadikan pertanda bahwa hasil pertaniannya di masa yang akan datang akan semakin baik. Namun bila pada pelaksanaan puncak upacara pengunjungnya sedikit, maka itu merupakan pertanda bahwa hasil panennya di masa datang akan sedikit berkurang dibanding tahun sebelumnya.Setelah upacara Kupatan Jalasutra dilaksanakan, biasanya pada malam hari diadakan pertunjukan kesenian yang disebut jathilan sebagai kelanjutan rasa syukur masyarakat Jalasutra. Pertunjukan itu biasanya dilakukan dengan harapan masyarakat dapat mengambil hikmahnya untuk diterapkan dalam kehidupannya.Lima hari setelah puncak upacara, diadakan selamatan yang berupa kendhuri, sebagai penutup rangkaian upacara Kupatan Jalasutra. Kendhuri ini diadakan di tiap-tiap rukun tetangga, kemudian dilanjutkan dengan diadakannya nyandar ngisor. Nyandar ngisor ini merupakan penanda berakhirnya seluruh rangkaian upacara Kupatan Jalasutra.

BAB IVPENUTUP

4.1 KesimpulanDari semua penjelasan yang telah diuraikan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:1. Kupatan Jalasutra merupakan sebuah upacara yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Jalasutra, Desa Sri Mulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Daerah Tingkat II Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada setiap tahunnya yaitu tepatnya pada hari senin legi, beberapa saat setelah panen raya.2. Kupatan Jalasutra diselenggrakan atas dasar penghormatan terhadap Sunan Geseng sebagai cikal bakal Dusun Jalasutra.3. Tujuan diselenggarakannya upacara Kupatan Jalasutra adalah sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Nabi Muhammad SAW, serta para leluhur yang telah melimpahkan karunianya sehingga hasil pertanian mereka bisa berhasil dengan baik.4. Persiapan yang biasanya dilakukan sebelum penyelenggaraan upacara Kupatan jalasutra, yaitu: dilakukan kerja bakti oleh warga setempat di lingkungan rumah masing-masing, melakukan pembenahan jalan dan pengapuran pagar-pagar disepanjang jalan menuju makam Sunan Geseng, melakukan pembersihan makam Sunan Geseng dan para leluhur lainnya, membersihkan jodhang yang akan dijadikan tempat ambeng pada saat puncak upacara, memasang umbul-umbul serta melakukan pembenahan di tempat diadakannya upacara, menyiapkan semua makanan dan bahan-bahan serta peralatan-peralatan yang akan digunakan dalam upacara, dan menyiapkan juru kunci yang akan menerima peziarah di makam Sunan Geseng.5. Upacara Kupatan Jalasutra dimulai dengan menyiapkan sesaji yang kemudian diarak menuju makam (tempat diselenggarakannya puncak upacara) dengan diiringi kesenian jathilan, kemudian diberikan beberapa sambutan dari beberapa orang penting di Desa, setelah itu masuk pada acara inti yaitu pengikraran hajat masyarakat Dusun Jalasutra yang dilanjutkan dengan doa secara bersama-sama yang dilakukan oleh masyarakat Dusu Jalasutra. Setelah itu, dimulailah pembagian ambeng (sesaji) yang biasanya menimbulkan rebutan antar warga. Pada malam harinya biasanya diselenggarakan sebuah pertunjukan kesenian dan lima hari setelah diselenggarakannya upacara, biasanya diadakan selamatan kendhuri yang merupakan acara penutup pada upacara Kupatan Jalasutra tersebut.

19