kumpulan bhisama sabha pandita parisada hindu … · 2020. 5. 18. · kumpulan bhisama sabha...
TRANSCRIPT
KUMPULAN
BHISAMA SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA
Sekretariat:
Jl. Anggrek Nelli Muri Blok A No.3, Slipi – Jakarta Barat 11480
Phone. (021) 5330414 Fax. (021) 588114
Email: [email protected] Website: www.phdi.or.id
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | ii
DAFTAR ISI
Daftar Isi ………………….…………………….…..… ii
Bhisama tentang Kesucian Pura ….…………….…….. 1
Bhisama tentang Dana Punya ………………….……... 6
Bhisama tentang Sadaka …………………………….... 21
Bhisama tentang Pengamalan Catur Varna ……….….. 25
Bhisama tentang Diksa Dvijati ………………….……. 37
Bhisama tentang Tata Penggunaan Sumber Daya Hayati
Langka ……………………….……………… 42
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 1
BHISAMA SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA
Nomor: 11/Bhisama/l/PHDIP/1994
t e n t a n g
BHISAMA KESUCIAN PURA
Atas Asung Kertha Waranugraha Hyang Widhi Wasa
Pesamuhan Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia
Menimbang : Bahwa dengan semakin berkembangnya
Pembangunan Nasional pada umumnya dan
pembangunan kepariwisataan pada
khususnya dan demi terjaminnya kesucian
Pura dengan kawasan sucinya disatu pihak
dan tetap berlangsungnya Pembangunan
Nasional dan Daerah dilain pihak.
Mengingat : Anggaran Dasar Parisada Hindu Dharma
Indonesia Bab. IX Pasal 28, Pasal 29, Pasal
33 dan Pasal 34.
Mendengar : Hasil musyawarah para anggota Pesamuhan
Sulinggih dan Pesamuhan Walaka serta
Pengurus Harlan Parisada Hindu Dharma
Indonesia Pusat pada tanggal 25 Januari
1994 di Universitas Hindu Indonesia dengan
acara membahas Kesucian Pura bagi umat
Hindu.
Memperhatikan : Aspirasi Umat Hindu yang berkembang
tentang Kesucian Pura
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 2
MEMUTUSKAN
Menentapkan :
A. PENDAHULUAN
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat senantiasa mendukung
kebijaksanaan pemerintah dalam Pembangunan Nasional
sebagaimana ditegaskan di dalam GBHN tahun 1993. Bahwa
Pembangunan jangka panjang 25 tahun tahap ke II merupakan
proses berlanjut, peningkatan, perluasan, dan pembaharuan dari
Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun Tahap I.
Dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap ke II Bangsa
Indonesia memasuki proses tinggal landas menuju terwujudnya
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Dalam rangka menyukseskan pelaksanaan Pembangunan
Nasional kecenderungan–kecenderungan yang diperkirakan
timbul khususnya yang berdampak negatip periu diwaspadai, dan
kendala- kendala yang muncul periu ditanggulangi secara dini,
tepat dan benar.
Mengingat Bangsa Indonesia akan segera memasuki tahap tinggal
landas dan meningkatnya kemajuan Industrialisasi dan Globalisasi
yang ditunjang oleh kemajuan llmu Pengetahuan dan Teknologi,
dimana Bali merupakan daerah wisata yang utama.
Untuk menjamin kelancaran Pembangunan Nasional maka
dibutuhkan landasan- landasan Pembangunan Agama Hindu dan
kebudayaan secara kuat dan ampuh. Umat Hindu dituntut agar
mampu mengantisipasi masalah-masalah yang merupakan
dampak negatip akibat dari Pembangunan itu sendiri. Hal ini
sangat penting mengingat masyarakat Hindu Indonesia khususnya
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 3
Hindu di Bali bersifat sosial keagamaan. Oleh karena itu maka
periu pengkajian-pengkajian secara mendalam dan terarah.
B. UMUM
1. Agama Hindu dalam kitab sucinya yaitu Weda-weda telah
menguraikan tentang apa yang disebut dengan tempat-tempat suci
dan Kawasan Suci, Gunung, Danau, Campuan (pertemuan
sungai), Pantai, Laut dan sebagainya diyakini memiliki nilai- nilai
kesucian. Oleh karena itu Pura dan tempat- tempat suci umumnya
didirikan ditempat tersebut, karena ditempat orang-orang suci dan
umat Hindu mendapatkan pikiran-pikiran suci (wahyu).
2. Tempat–tempat suci tersebut telah menjadi pusat- pusat
bersejarah yang melahirkan karya- karya besar dan abadi lewat
tangan orang-orang suci dan para Pujangga untuk kedamaian dan
kesejahteraan umat manusia. maka didirikanlah Pura-Pura Sad
Khayangan, Dang Khayangan, Khayangan Tiga, dan Iain-lain,
Tempat-tempat suci tersebut memiliki radius kesucian yang
disebut daerah kekeran dengan ukuran Apeneleng, Apenimpug,
dan Apenyengker. Untuk Pura Sad Khayangan dipakai ukuran
Apeneleng Agung (minimal 5 Km dari Pura), untuk Dang
Khayangan dipakai ukuran Apeneleng Alit (minimal 2 km dari
Pura), dan untuk Khayangan Tiga dan Iain-lain dipakai ukuran
Apenimpug atau Apenyengker.
3. Mengingat perkembangan pembangunan yang semakin pesat, dan
Umat Hindu yang bersifat sosial keagamaan maka kegiatan
pembangunan mengikutsertakan Umat Hindu disekitarnya, mulai
dari perencanaan pelaksanaan dan pengawasan, demi kelancaran
pembangunan tersebut. Agama Hindu menjadikan umatnya
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 4
menyatu dengan alam lingkungan, oleh karena itu konsepsi Tri
Hita Karana wajib diterapkan dengan sebaik- baiknya. Untuk
memelihara keseimbangan antara pembangunan dan tempat suci,
maka tempat-tempat suci (pura) perlu dikembangkan untuk
menjaga keserasian dengan lingkungannya.
4. Berkenaan dengan terjadinya perkembangan pembanugnan yang
semakin pesat, maka pembangunan harus dilaksanakan sesuai
dengan aturan yang telah ditetapkan. Didaerah Radius kesucian
pura (daerah kekeran) hanya boleh ada bangunan yang terkait
dengan kehidupan keagamaan Hindu, misalnya didirikan
Dharmasala, Pasraman dan Iain-lain, bagi kemudahan umat Hindu
metakukan kegiatan keagamaan (misalnya Tirta yatra, Dharma
Wacana, Dharma Githa, Dharma Sedana dan Iain-lain).
C. KHUSUS
1. Menyadari bahwa suksesnya pembinaan umat Hindu dan
kebudayaan menyebabkan keberhasilan pariwisata budaya, maka
diperlukan adanya kerjasama yang sebaik- baiknya antara instansi
kepariwisataan dengan PHDI dan lembaga adat.
2. Perlu diadakan pengkajian ulang yang lebih mendalam terhadap
segala aktivitas pembangunan yang ada di kawasan suci Tanah
Lot untuk menjaga kelestarian dan kesucian sesuai dengan
ketentuan di atas.
Om Santih, Santih, Santih, Om
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 5
Ditetapkan di : Denpasar
Pada Tanggal : 25 Januari 1994
PENGURUS
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Ketua Umum
ttd
IDA PEDANDA PUTRA TELAGA
Sekretaris Jenderal
ttd
DRS. IDA BAGUS SUYASA NEGARA
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 6
BHISAMA SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA
Nomor: 0l/Bhisama/Sabha Pandita Parisada Pusat/X/2002
t e n t a n g
DANA PUNYA
Atas Asung Kertha Waranugraha Hyang Widi Wasa
Pesamuhan Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma lndonesia
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung program
kegiatan pembinaan umat untuk
meningkatkan kualitas Sraddha dan Bhakti
umat Hindu Indonesia, maka dipandang
perlu mengadakan dana lestari melalui
gerakan nasional dana punya dikalangan
umat Hindu Indonesia;
b. bahwa kegiatan dana punya merupakan
salah sate ajaran agama Hindu yang patut
dilaksanakan sebagai wujud Bhakti umat
Hindu sesuai dengan hukum agama Hindu
yang bersifat wajib; dan
c. bahwa untuk melaksanakan kegiatan dana
punya ini dipandang perlu mengeluarkan
Keputusan Bhisama Sabha Pandita
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
Mengingat : 1. Ketetapan Mahasabha VII Parisada Hindu
Dharma Indonesia tahun 2001 Nomor: 1/
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 7
Tap/M. Sabha/VIII/2001 tentang Anggaran
Dasar dan Anggaran Rum air Tangga
Parisada Hindu Dharma Indonesia.
2. Ketetapan Maha Sabha VIII Parisada
Hindu Dharma Indonesia Nomor: I
I/TAP/M.Sabha VIII/2001 tentang
Program Kerja Parisada Hindu Dharma
Indonesia.
3. Surat Keputusan Parisada Hindu Dharma
Indonesia Pusat Nomor: 43/KEP/Parisada-
Pusat/V/2000 tanggal 18 September 2000
tentang Kegiatan dana punya umat.
Memperhatikan : Usul-usul Sabha Walaka dan hasil
pembahasan Sabha Pandita Parisada Hindu
Dharma Indonesia Pusat pada Pesamuhan
Agung tanggal 26 - 28 Oktober 2002.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : BHISAMA SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA
INDONESIA PUSAT TENTANG
DANA PUNYA
Pertama : Dana punya merupakan salah satu ajaran
agama Hindu yang mesti ditaati oleh
seluruh umat Hindu sebagai suatu
kewajiban suci.
Kedua : Menugaskan kepada Pengurus Harian
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 8
Parisada Hindu Dhanna Indonesia Pusat
imtuk memasyarakatkan Bhisama Tentang
dana punya, sesuai penjelasan dalam
lampiran Bhisama ini kepada seluruh umat
Hindu di Indonesia dan para sim patisan.
Ketiga : Menugaskan kepada Pengurus Harian
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
untuk menyelenggarakan kegiatan
pengumpulan dana punya di lingkungan
umat Hindu dan simpatisan, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Merencanakan sistem dan mekanisme
penyelenggaraan secara efektif dan efisien.
b. Menyelenggarakan sistem manajemen
pengelolaan yang sehat, transparan dan
accountable.
c. Melaksanakan pelaporan secara periodik
kepada Pesamuhan Agung Parisada Hindu
Dharma Indonesia dan mempublikasikan
kepada umat Hindu Indonesia.
Keempat : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal
ditetapkan.
Bhisama ini disampaikan kepada Ketua Umum Pengunis Harian
Parisada Hindu Dhanna Indonesia Pusat untuk dilaksanakan.
Ditetapkan di : Mataram, NTB
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 9
Pada tanggal : 28 Oktober 2002
SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Dharma Adhyaksa,
Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa
Wakil Dharma Adhyaksa,
Ida Pandita Mpu Jaya Dangka Suta Reka
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 10
Lampiran:
BHISAMA SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA
Nomor: 0l/Bhisama/Sabha Pandita Parisada Pusat/X/2002
Tentang Dana Punya
DANA PUNYA
A. Pengertian
Salah satu ajaran agama Hindu yang harus dihayati dan diamalkan
untuk tegaknya Dharma ialah ajaran dana punya. Kata dana punya
berarti pemberian dengan tulus sebagai salah satu bentuk
pengamalan ajaran Dhanna. Pemberian tersebut dapat berupa
nasehat/wejangan atau petunjuk hidup, yang mampu mengubah
kehidupan seseorang menjadi lebih baik (Dharmadana), bempa
pendidikan (Vidyadana) dan bempa harta benda (Arthadana) yang
bertujuan untuk menolong atau menyelamatkan seseorang atau
masyarakat. Ajaran dana punya ini mempunyai peranan yang
penting dan hams menjadi kenyataan untuk dilaksanakan sebagai
salah satu wujud dan Dharma, seperti diamanatkan dalam
Wrhaspati Tattwa 26, yakni Sila (tingkah laku yang baik), Yajna
(pengorbanan), Tapa (pengendalian diri), Dana (pemberian),
Prawjya (menambah ilmu pengetahuan suci), Diksa (penyucian
diri/Dvijati) dan Yoga (menghubungkan diri dengan Tuhan Yang
Maha Esa). Setiap umat Hindu hendaknya secara utuh dapat
mengamalkan ajaran Dhanna (agama) tersebut.
Tujuan pokok dan ajaran dana punya adalah untuk menumbuh-
kembangkan sikap mental yang tulus pada diri pnibadi umat
manusia dalam melaksanakan ajaran Wairagya yaitu: ajaran
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 11
ketidak terikatan (keikYilasan) pada diri seseorang. Istilah
berdana ini lazim disebut ajaran dana punya umumnya dalam
bentuk materi bempa benda-benda bergerak dan benda-benda tak
bergerak seperti tanah labhapura atau tanah bukti dan lain-lain.
Ajaran dana punya bertujuan untuk membimbing manusia menuju
kesempumaan laliir bathin yang akan mengantar manusia
mencapai surga dan bahkan mencapai Moksa (kalepasan,
bersatunya Sang Diri dengan Tuhan Yang Maha Esa), oleh karena
ajaran ini mempakan salah satu bagian dari 7 jenis perwujudan
Dharma, maka menumt hukum Hindu, ajaran dana punya ini
wajib hukumnya, wajib dilaksanakan oleh setiap umat manusia.
Ajaran dana punya dilandasi oleh ajaran Tattvam asi, yang
memandang setiap orang seperti diri kita sendiri yang
memerlukan pertolongan, bantuan atau perlindungan untuk
mewujudkan kebahagiaaan hidup yang sejati, seperti diamanatkan
dalam kitab suci Veda, "vasiidhaivakutumbakam" semua makhluk
adalah bersaudara.
B. Sabda Suci Tuhan Yang Maha Esa tentang Dana punya
Sumber-sumber ajaran dana punya adalah kitab suci Veda yang
mempakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa dan sumber tertinggi
ajaran agama Hindu, serta yang terkandung dalam susastra Hindu.
Dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu terkandung ajaran-
ajaran sebagai berikut:
"Semoga kita dapat mengabdikan din kita menjadi isrtument
Tuhan YangMaha Esa dan dapat membagikan kebemntungan kita
kepada orang-orang miskin dan mereka yang membutuhkan".
(Rg. Veda. 1.15.8).
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 12
"Hendaknya mereka memperoleh kekayaan dengan kejujuran dan
dapat memberikan kekayaannya itu dengan kemurahan had,
mereka tentunya akan dihargai oleh masyarakat. Semogalah
mereka tekun bekerja dan meyakini keria itu sebagai bakti kepada
Tuhan YangMaha Esa". (Rg.Veda 1.15.9).
"Orang-orang yang dermcrwan menghuni tempat yang tinggi di
sorga. Orang yang tidak picik yang mendermakan kuda,
memperoleh tempat di alam Surga. (Rg.Veda X. 107.2).
"Orang-orang yang dermawan, tidak pemah mati, tidak
menderita karena malapetaka, juga tidak binasa". (Rg.Veda X.
107.8).
"Orang yang bijak yang suka berderma memancarkan cahaya
kesucian dan memperoleh kekuasaan-Nya" (Rg.Veda 1.125.5).
"Tuhan YangMaha Esa menurunkan anugrah yang mengagumkan
kepada orang yang pemurah, suka berdana punia yang dilandasi
dengan ketulusan had. Mereka memperoleh keabadian, rahmat-
Nya kejayaan danpanjang usia". (Rg.Veda L 125.6).
"Tuhan YangMaha Esa tidak akan memberikan anugrah kepada
orang-orang yang memperoleh kekayaan dengan tidak jujur.
Demikian pula yang tidak mendermakan sebagian miliknya
kepada orang-orang miskin dan yang sangat memerlukan. Tuhan
Yang Maha Kuasa akan mengambil kekayaan milik orang-orang
yang tamak dan menganugerahkannya kepada orang-orang yang
dermawan". (Rg.Veda V. 34.7).
"Tuhan Yang Maha Esa akan mengambil kekajaan mereka yang
suka memeras bawahan dan orang-orang disekitanya. Demikian
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 13
pula mereka yang tidak membagikan kekayaannya kepada
pekerja-pekerja yang ulet membanting tulang". (Rg.Veda V42.9).
"la yang hanya mementingkan diri dan menikmad makanan untuk
dirinya sendiri dan menolak memberikan kepada orang-orang
yang miskin dan sangat kelaparan sesungguhya ddaklah pantas
dijadikan sahabat". (Rg.Veda XI.17.5).
"Hendaknya kekayaan dan kebemntungan dapat didermakan
kepada orang-orang miskin dan benar-benar memerlukan.
Hendaknya mereka dapat memandang jalan kehidupan yang
benar. Roda kereta pembawa kekayaan tidak pemah berhend.
Kekayaan berlimpah satu hari dan bertambah terns pada hari-
hari selanjutnya. Hendaknya setiap orang sadar untuk menolong
orang sedap hari". (Rg.Veda X. 117.5).
"Berdermalah untuk tujuan yang baik dan jadikanlah
kekayaanmu bermanfaat. Kekayaan yang didermakan untuk
tujuan luhur tidak pemah hilang. Tuhan Yang Maha Esa
memberikan jauh lebih banyak kepada yang mendermakan
kekayaan untuk kebaikan bersama". (Atharwa Veda HI. 15.6).
"Hendaknya bekerjalah kamu seperti dengan seratus tanganmn
dan mendermakan hasilnya dengan seribu tanganmu. Bila kamu
bekerja dengan kesungguhan dan kejujuran, hasil yang akan
diperolleh akan berlimpah ruah, beribu kali. Bagi yang
mendermakannya, sesuai dengan keperluannya, Tuhan
YangMaha Esa akan menganugerahkan rahmat-Nya". (Atharva
Veda IIL24.5).
"Wahai umat manusia, bekerja keraslah kamu sekuat tenaga, usir
jauh-jauh sfat-sifaimu yang membuat kamu melarat dan sakit.
Hendaknya kekayaan yang kamu peroleh dengan kejujuran dapat
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 14
bermanfaat bagi masyarakat. Arahkanlah uniuk perbuatan-
perbuatan baik dan kesejahteraan masyarakat". (Atharva Veda
VI.81.1).
"Hanyalah seseorang yang senang mendermakan makanan
kepada yang lain apakah kepada cendekiawan, pinandita, orang-
orang miskin atau peminta-minta dan orang-orang cacat
menikmati makanan yang telah dipersembahkan. Orang yang
demikian selalu memperoleh rakhmat-Nja. Ia dapat mengubah
musuhnya menjadi sahabatnya yang sejati". (Rg. Veda X. 117.4).
"Semogalah kebaikan bagi penyembah yang tulus tidak pernah
menderita. Hari-harinya penuh dengan kegembiraan, kesedihan
tidak akan pemah menyentuh mereka. Seseorang yang suka
mendenna dan senantiasa jujur tidak pemah menyesal dan putus
asa". (Rg. Veda 1.125.7).
Dalam kitab Manavadharmasastra, terkandung ajaran sebagai
berikut:
"Seorang kepala keluarga hams memberi makan sesuai
kemampuannya kepada mereka yang tidak menanak dengan
sendirinya (yaitu pelajar dan pertapa) dan kepada semua
makhluk. Seseorang hendaknya membagi-bagikan makanan tanpa
mengganggu kepentingannya sendiri". (Manawadharmasastra
IV.32).
"Bagi mereka yang berumah tangga, bila mampu hendaknya
berdana punia kepada mereka yang tidak memasak makanan dan
makhluk lain yang memerlukan". (Manawadharmasastra IV.
33).
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 15
"Walaupun harta itu dperoleh sesuai menurut hukum (dharma)
tetapi bila tidak didermakan (disedekahkandiamalkan) kepada
yang layak akan terbenam ke kawah neraka".
(Manawadharmasastra IV.193).
"Hendaknya tidak jemu-jemunya ia berdana punia dengan
memberikan hartanya dan mempersembahkan sesajen dengan
penuh keyakinan. Memperoleh harta dengan cara yang benar dan
didermakan akan memperoleh tempat tertinggi (Moksa)".
(Manawadharmasastra IV.226).
"Ia yang berderma air akan memperoleh kepuasan, berderma
makanan akan memperoleh pahala kenikmatan, yang berderma
biji-bijian akan memperoleh ketumnan, dan yang berderma
mampu akan memperolehpengetahuan,yang sempuma".
(Manawadharmasastra IV. 229).
"Yang berderma tanah akan memperoleh dunia yang layak
baginya, berderma emas memperoleh umur panjang, berderma
rumah akan memperoleh karunia yang agung, yang berderma
perak akan memperoleh keindahan". (Manawadharmasastra IV.
230).
"Yang berderma pakaian akan memperoleh dunia yang layak di
alam ini dan di bulan nanti, yang berderma kuda memperoleh
kedudnkan seperti dewa Asvina, yang berderma kerbau akan
memperoleh keberuntungan dan yang berderma lembu akan
mencapai suryaloka (Sorga)". (Manawadharmasastra IV. 231).
"Apapun juga niatnya untuk berdana punia pahala itu akan
diperolehnya di kemudian hari". (Manawadharmasastra IV.
234).
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 16
"la yang dengan hormat menerima pemberian dana punia ia
dengan tulus memberikannya keduanya mencapai sorga, dan
apabila pemberian dan penerimaannya iidak tulus akan jatuh ke
neraka". (Manawadharmasastra IV. 235).
Dalam kitab Sarasamuccaya terkandung ajaran-ajaran sebagai
berikut:
"Barang siapa yang memberikan dana punia maka ia sendirilah
yang akan meuikmati buah (pahala) dan kebajikannya itu".
(Sarasamuccaya 169).
"Adapun yang disebut dana punia adalah nasehat (wejangan)
para pandita, sifat yang tidak dengki, taat melakukan Dharma,
sebab bila semua itu dilakukan dengan tekun, ia akan
memperoleh keselamatan sebagai pahala dan dana punia".
(Sarasamuccaya 170).
"Maka hasil pemberian dana punia melimpah-limpah adalah
diperolehnya berbagai kenikmatan dunia lain (sesudah mati),
akan pahala pengabdian kepada orang tua adalah diperolehnya
hikmah kebijaksanaan yaitu kewaspadaan dan kesadaran, sedan
gkan pahala dan ahimsa karma ialah panjang usia, demikianlah
sabda Maha Yogi (Bhatara)". (Sarasamuccaya 171).
"Kekayaan seseorang datang dan pergi (mengalami pasang
surut), bila tidak dipergunakan untuk berdana punia, maka mati
namanya, hanya karena bemafas bedanya, seperti halnya puputan
pandai besi", (Sarasamuccaya 179).
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 17
C. Dana Punia Lebih Utama Dibandingkan Dengan Upacara
Yajna
Memperhatikan terjemahan sabda suci Tuhan Yang Maha Esa
yang terhimpun dalam Kitab Veda maupun susastra EUndu
lainnya, maka yang menjadi landasan filosofis dilaksanakannya
dana pimia adalah ajaran suci tentang kesatuan (advaitavada)
yang memandang segala sesuatimya berporos pada keagungan
dan kemahakuasaan Hyang Widlri Wasa, Tuhan Yang Maha Esa
sebagai satu kesatuan. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan umat
manusia dan semua makhluk lainnya dalam sam "lila" atau
"krida" dan semua makhluk tunduk kepada ajaran dan hukum-
Nya, oleh karena manusia dituntut untuk menjadi instrumen-Nya
(Vaidikapaurusam) serta melaksanakan tugas dan kewajibannya
(svadharma) dengan sebaik-baiknya. Demikianlah dana punia
merupakan satu ajaran untuk mewujudkan kebenaran, kesucian
dan keharmonisan (satyam-siwamsundaram), karena itu setiap
orang memiliki tanggimg jawab untuk mewujudkan ajaran dana
punia tersebut.
Dalam Bhagavadgita XVIII.5 dinyatakan bahwa: "Seseorang
jangan pemah berhenti melaksanakan Yajna, Tapa dan Dana,
karena ketiganya akan menyucikan seseorang". Oleh karena itu
fungsi dari dana punia yang utama adalah untuk menyucikan diri,
sebab dengan kesucian diri pahala dan dana punia akan dapat
diwujudkannya.
Dalam kitab suci Manavadharmasastra 1.86 dinyatakan bahwa:
"Pada jaman Krtayuga, Tapa-lah yang paling utama, pada jaman
Tretayuga dinyatakan yang utama adalah Jnana, pada jaman
Dvaparayuga adalah Yajna dan pada jaman Kaliyuga yang
sangat utama adalah dana". Oleh karena itu jaman sekarang ini
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 18
yang merupakan jaman Kaliyuga, melaksanakan dana punia
adalah kegiatan yang sangat utama dibandingkan dengan upacara
yajna.
D. Besaran dan Pengelolaan Dana Punia
Menurut Sarasamuccaya 262-264, peruntukan harta hasil kerja
itu hendaknya dibagi, yaitu sepertiga untuk Dharma (sadhana ri
kasiddhaning dharma), sepertiga lagi untuk Kama (sadhana ni
kasiddhaning kama), dan sepertiga untuk Artha (sadhana ri
kasiddhaning artha wrddyaken mwah), sesuai kutipan berikut:
"Demikianlah keadaannya, maka dibagi tigalah hasil usaha itu,
yang satu bagian untuk biaya mewujudkan Dharma, bagian yang
kedua adalah untuk biaya memenuhi Kama, dinikmati dan bagian
yang ketiga diperuntukkan untuk mengembangkan modal usaha
dalam bidang artha, ekonomi agar berkembang kembali,
demikianlah hendaknya hasil usaha itu dibagi tiga, oleh orang
yang ingin memperoleh kebahagiaan". (Sarasamuccaya 262).
"Sebab harta benda itu jika Dharma dijadikan landasan untuk
memperolehnya, labha atau keuntungan namanya, sungguh
mengalami kesenangan orang yang memperoleh harta benda itu,
akan tetapi jika harta benda itu diperoleh dengan jalan Adharma,
merupakan noda terhadap harta benda itu, dihindari oleh orang
yang berbudi utama, oleh karena itu janganlah bertindak
menyalalri Dharma, jika anda berusaha menuntut sesuatu".
(Sarasamuccaya 263).
"Jika ada orang yang begini perilakunya, memperoleh harta
dengan jalan Adharma, kemudian harta benda itu digunakan
untuk membiayai Dharma, orang yang demikian perilakunya,
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 19
lebih baik tidak berusaha secara demikian, sebab lebih benar
orang yang menghindari lumpur dari pada menginjaknya,
walaupun akhimya akan dapat dibasuhnya". (Sarasamuccaya
264).
Dalam Wrhaspati Tatwa sloka 26 dinyatakan 7 macam
perbuatan yang tergolong Dharma, satu di antaranya adalah dana
atau dana puma. Berdasarkan pembagian Dharma serta
pemntukan dari hasil karya (penghasilan) seseorang, maka dapat
dibulatkan menjadi 5%. Dengan demikian setiap umat Hindu
wajib menyisihkan 5% dari penghasilan bersihnya secara khusus
untuk didana-puniakan.
Pengelolaan dana punia dilaksanakan oleh Parisada Hindu
Dharma Indonesia yang dinyatakan sebagai majelis tertinggi umat
Hindu menurut ketentuan kitab suci Manavadhanmasastra.
Demikian Bhisama ini ditetapkan untuk dijadikan tuntunan dan
dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Mataram, NTB
Pada tanggal : 28 Oktober 2002
SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Dharma Adhyaksa,
Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa
Wakil Dharma Adhyaksa,
Ida Pandita Mpu Jaya Dangka Suta Reka
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 20
BHISAMA SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Nomor: 02/Bhisama/Sabha Pandita Parisada Pusat/X/2002
t e n t a n g
SADHAKA
Atas asung kerthawaranugraha Hyang Widhi Wasa
Pesamuhan Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia
Menimbang : a. bahwa untuk inakin meningkatkan
persatuan, kesatuan dan kebersamaan
dikalangan umat berdasarkan azas
kesetaraan, dipandang perlu untuk
menetapkan Bhisama tentang Sadhaka
(Dwijati, atau Pandita Hindu);
b. bahwa peersatuan, kesatuan dan
kebersamaan dikalangan umat Hindu
merupakan prasyarat bagi kelestarian dan
ajegnya umat dalam menjalankan Sraddha
dan Bhakti; dan
c. bahwa kebersamaan "muput"
(memimpin/menyelesaikan) upacara oleh
beberapa Sadhaka dalam posisi
sapalungguhan akan berdampak positif
bagi persatuan dan kesatuan umat Hindu.
Mengingat : 1. Ketetapan Maha Sabha VIII Parisada
Hindu Dharma Indonesia Tahun 2001
Nomor: 1/TAP/M.Sabha VIII/2001,
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 21
tentang Anggaran Dasar (Bab VI, pasal
12, ayat (1) a).
2. Ketetapan Maha Sabha VIII Parisada
Hindu Dharma Indonesia Nomor:
VIII/TAP/M.Sabha VIII/2001, tentang
Tata Keagamaan pasal 17).
3. Keputusan Pesamuhan Agung II tanggal
15-17 September 2000 tentang
pelaksanaan upacara agama pada tempat-
tempat pemujaan yang bersifat umum
dengan memfiingsikan semua unsur
Sadhaka yang ada.
Memperhatikan : Usul Sabha Walaka, dan pembahasan
anggota Sabha Pandita dan Pengurus
Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia
Pusat tanggal 26 – 28 Oktober 2002
tentang Bhisama Sadhaka.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : BHISAMA SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA
INDONESIA PUSAT TENTANG
SADHAKA.
Pertama : Bhisama Sadhaka yang mengandung arti
memfungsikan semua unsur Sadhaka
yang ada pada pelaksanaan upacara
agama pada tempat -tempat pemujaan
yang bersifat umum seperti: Kahyangan
Jagat, Kahyangan Desa, Sad Kahyangan,
Dang Kahyangan, Kahyangan Tiga dalam
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 22
upacara Panca Yadnya lainnya di tempat-
tempat tertentu.
Kedua : “Sang Katrini Katon” bukan oknum
perorangan Pandita, melainkan pada
Pandita yang berfungsi untuk
“menyucikan” alam Bhur, Bhvah, dan
Svah Loka yang dilaksanakan oleh para
Pandita Hindu umumnya yang memiliki
kemampuan untuk itu.
Ketiga : Menegaskan:
a. Bhisama ini berlaku pada tempat -tempat
pemujaan yang bersifat umum.
b. Bhisama ini menyesuaikan pada tempat-
tempat pemujaan Hindu di luar Pura,
misalnya Mandir atau Kuil dan lain - lain.
Keempat : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal
ditetapkan.
Bhisama ini disampaikan kepada Ketua Umum Pengurus
Harian Parisada Hindu Dhanua Indonesia Pusat untuk
dilaksanakan.
Ditetapkan di : Mataram
Pada tanggal : 28 Oktober 2002
SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Dharma Adhyaksa Sabha Pandita
Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 23
Wakil Dharma Adhyaksa
Ida Pandita Mpu Jaya Dangka Suta Reka
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 24
BHISAMA SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Nomor: 03/Bhisama/Sabba Pandita Parisada Pusat/X/2002
t e n t a n g
PENGAMALAN CATUR WARNA
Atas Asung Kertha Wara Nugraha Hyang Widhi Wasa
Pesamuhan Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia
Menimbang : a. bahwa Sabha Pandita Parisada Hindu
Dharma Indonesia Pusat memiliki
kewenangan untuk mengeluarkan Bhisama
sesuai dengan Anggaran Dasar Parisada
Hindu Dharma Indonesia yang ditetapkan
dalam Maha sabha VIII tahun 2001 di
Denpasar, Bali;
b. bahwa Catur Vama adalah ajaran tentang
pembagian tugas dan kewajiban
masyarakat berdasarkan "guna" (bakat) dan
"Karma" (kerja) yang sesuai dengan pilihan
hidupnya;
c. bahwa di dalam sejarah perkembangan
agama Hindu telah terjadi penyimpangan
pengertian ajaran tentang Catur Varna
menjadi Kasta atau Wangsa yang
berdasarkan atas kelahiran
(keturunan/keluarga) seseorang; dan
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 25
d. bahwa untuk meluruskan pemahaman dan
pengamalan Catur Warna yang
menyimpang selama ini, maka dipandang
periu menetapkan Bhisama Tentang
Pengamalan Catur Varna tersebut.
Mengingat : 1. Ketetapan Mahasabha VIII Parisada Hindu
Dharma Indonesia Tahun 2001 Nomor:
1/Tap.M.Sabha/VIII/ 2001 tentang
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Parisada Hindu Dharma Indonesia.
2. Ketetapan Maha Sabha VIII Parisada
Hindu Dharma Indonesia Nomor:
II/TAP/M.Sabha/VIII/200I tentang
Program Kerja Parisada Hindu Dharma
Indonesia.
Memperhatikan : Usul-usul Sabha Walaka dan hasil
pembahasan Sabha Pandita Parisada Hindu
Dharma Indonesia Pusat pada Pesamuhan
Agung Tanggal 26-27 Oktober 2002.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : BHISAMA SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA
INDONESIA PUSAT TENTANG
PENGAMALAN CATUR VARNA
SESUAI DENGAN KITAB SUCI VEDA
DAN SUSASTRA HINDU LAINNYA
Pertama : Catur Varna adalah ajaran agama Hindu
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 26
tentang pembagian tugas dan kewajiban
masyarakat atas "guna" dan "Kama" dan
tidak terkait dengan Kasta atau Wangsa
Kedua : Bhisama tentang Pengamalan Catur Vama
ini sebagai pedoman yang sepatutnya
dipatuhl oleh seluruh umat Hindu.
Ketiga : Menugaskan kepada Pengurus Harian
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
untuk memasyarakatkan Bhisama Tentang
Pengamalan Catur Varna ini, beserta
penjelasannya dal am lampiran Bhisama ini
kepada scluruh umat Hindu di Indonesia.
Keempat : Apabila ada kekeliruan dalam Bhisama ini
akan diperbaiki sebagaimana mestinya.
Kelima : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal
ditetapkan.
Bhisama ini disampaikan kepada Pengurus Harian Parisada
Hindu Dharma Indonesia Pusat untuk dilaksanakan.
Ditetapkan di : Mataram, NTB
Pada Tanggal : 29 Oktober 2002
SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Dharma Adhyaksa
Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 27
Wakil Dharma Adhyaksa
Ida Pandita Mpu Jaya Dangka Suta Reka
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 28
Lampiran:
BHISAMA SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Nomor: 03/Bhisama/Sabha Pandita Parisada Pusat/X/2002
Tentang Pengamalan Catur Varna
PENGAMALAN CATUR VARNA
A. Latar Belakang
Sudah raerupakan pengertian umum babwa ajaran Catur Varna
yang bersumber pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang
terhimpun dalam kitab suci Veda dan kitab-kitab susastra Veda
(Hindu) lainnya adalah ajaran yang sangat mulia. Namun dalam
penerapannya terjadi penyimpangan penafsiran menjadi sistem
Kasta di India dan sistem Wangsa di Indonesia (Bali) yang jauh
berbeda dengan konsep Catur Varna. Penyimpangan ajaran Catur
Varna yang sangat suci ini sangat meracuni perkembangan agama
Hindu dalam menuntun umat Hindu selanjutnya. Banyak kasus
yang ditimbulkan akibat penyimpangan itu yang dampaknya
benar-benar merusak citra Agama Hindu sebagai agama sabda
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan agama tertua di dunia.
Perjuangan untuk mengembalikan kemurnian ajaran Catur Varna
itu sudah banyak dilakukan oleh sebagian umat Hindu.
Perjuangan itu dilakukan baik oleh para cendekiawan maupun
lewat berbagai organisasi/lembaga keumatan Hindu. Meskipun
sangat alot namun perjuangan untuk mengembalikan kebenaran
ajaran Catur Varna itu sudah menampakkan hasilnya. Seperti
dalain bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan hukum semakin
nampak adanya kesetaraan. Justru dalam bidang keagamaan dan
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 29
sosial budaya seperti pergaulan dalam kemasyarakatan membeda-
bedakan Wangsa atau Soroh itu masih sangat kuat. Dalam bahasa
pergaulan sehari-hari sangat tampak adanya penggunaan sistem
Wangsa yang salah itu, dipakai oleh umat Hindu. Demikian pula
dalam bidang keagamaan dan adat istiadat membeda-bedakan
Wangsa itu masih sangat kuat. Hal itu menjadi sumber konflik
yang tiada putus-putusnya dalam kehidupan beragama umat
Hindu di Indonesia (khususnya di Bali). Wacana dari berbagai
kalangan umat Hindu semakin keras untuk kembali ke ajaran
Catur Varna, oleh karena itu dalam Maha Sabha VIII Parisada
Hindu Dharma Indonesia bulan September 2001 di Denpasar telah
mengusulkan adanya penetapan Bhisama Tentang Catur Warna
ini. Usulan itu didahului oleh berbagai seminar dan diskusi-
diskusi. Seminar dan diskusi itu diadakan oleh Parisada maupun
oleh Orinas dan lembaga-lembaga umat Hindu.
Hampir setiap seminar dan diskusi ada usulan untuk kembali
kepada sistem Catur Varna dengan melepaskan dominasi sistem
Wangsa. Tujuan ditetapkannya Bhisama Catur Varna untuk
mengembalikan secara bertahap agar proses perubahan
meninggalkan sistem Wangsa yang salah itu menuju pada sistem
Catur Varna lebih cepat jalannya. Sistem Wangsa agar
dipergunakan hanya untuk Pitra Puja dan untuk berbakti kepada
leluhur dalam menumbuhkan rasa persaudaraan di intern wangsa
itu sendiri. Sistem Wangsa hendaknya diarahkan untuk
mengamalkan ajaran Hindu yang benar dalam kontek kesetaraan
antar sesama manusia. Sistem Wangsa itu tidak dijadikan dasar
dalam sistem pergaulan/adat-istiadat sehari-hari. Seperti sistem
penghormatan dalam pergaulan sosial/adat-istiadat.
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 30
Menurut pandangan Hindu sesungguhnya semua umat manusia
bersaudara dalam kesetaraan (vasudeva kutum bakam). Demikian
juga pandita dalam swadharmanya memimpin upacara tidak
memandang dari asal usul Wangsa seseorang. Seorang setelah
melaksanakan upacara Diksa menjadi pandita sudah lepas dari
ikatan Wangsanya.
B. Pengertian dan Fungsi Ajaran Catur Varna Menurut Kitab
Suci Veda
Tujuan hidup menurut ajaran Agama Hindu sebagaimana
dinyatakan dalam kitab Brahma Purana 228.45. Dharma artha
kama moksanam sarira sadanam, artinya: badan (Sarira) Sthula,
Suksama dan Antakarana Sarira) hanya dapat dijadikan sarana
untuk mencapai Dharma, Artha, Kama, dan Moksa. Inilah yang
disebut Catur Purusha Artha atau empat tujuan hidup. Untuk
mencapai empat tujuan hidup manusia itu harus dicapai secara
bertahap. Dalam Agastya Parwa dinyatakan bahwa empat tujuan
hidup itu dicapai secara bertaliap menurut Catur Asrama. Tahap
hidup Brahmacari diprioritaskan rnencapai Dharma, tahap hidup
Grhastha diprioritaskan mencapai Artha dan Kama, sedangkan
dalam tahap hidup Vanaprastha dan Sannyasa Asrama tujuan
hidup diprioritaskan mencapai Moksa.
Untuk mewujudkan empat tujuan hidup dalam empat tahapan
hidup (Catur Asrama) itu dibutuhkan empat jenis profesi yang
disebut Catur Varna. Dalam kitab suci Yajurveda XXX.5
dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan empat
profesi atas dasar bakat dan kemampuan seseorang. Brahmana
Varna diciptakan untuk mengembangkan pengetahuan suci,
Ksatriya untuk melindungi ciptaan-NYA, Vaisya untuk
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 31
kemakmuran dan Sudra untuk pekerjaan jasmaniah. Dalam
mantra Yajurveda XXX.11 dinyatakan Brahmana Varna
diciptakan dari kepala Brahman, Ksatriya dari lengan Brahman,
Vaisya dari perut-Nya dan Sudra dari kaki-Nya Brahman. Jadi
semua Varna itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat
Varna ini memiliki kemuliaan yang setara. Hal ini dinyatakan
dalam mantra Yajurveda XVIII.48 untuk memanjatkan puja
kepada Tuhan Yang Maha Esa, Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan
Sudra saina- sama diberikan kemuliaan oleh Tuhan Yang Maha
Esa. Keempat Varna itu akan mulia kalau sudah mentaati
swadharma-nya masing-masing.
Dalam Bhagavadgita IV.13 dan XVIII.41 dengan sangat jelas
dan tegas bahwa untuk menentukan Varna seseorang didasarkan
pada Guna dan Karmanya. Guna artinya minat dan bakat sebagai
landasan terbentuknya profesi seseorang. Jadinya yang
menentukan "Varna" seseorang adalah profesinya bukan
berdasarkan keturunannya, Sedangkan Karma artinya perbuatan
dan pekerjaan. Seorang yang berbakat dan punya keakhlian
(profesi) di bidang kerohanian dan pendidikan serta bekerja juga
di bidang kerohanaian dan pendidikan itulah yang dapat disebut
ber " varna" Brahmana. Demikian juga orang yang dapat disebut
ber "varna" Ksatriya adalah orang yang berbakat dan punya
keakhlian di bidang kepemimpinan dan pertahanan. Orang yang
berbakat di bidang ekonomi dan bekerja juga dalam bidang
ekonomi ialah yang dapat disebut Vaisya. Sedangkan orang yang
hanya mampu bekeda hanya dengan menggunakan tenaga
jasmaninya sajakarena tidalc memiliki kecerdasan disebut Sudra.
Menurut Manawa Dharmasastra X.4 dan Sarasamuscaya 55
hanya mereka yang tergolong Brahmana, Ksatriya dan Vaisya
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 32
Varna saja yang boleh menjadi Dvijati (pandita). Sudra tidak
diperkenankan menjadi Dvijati karena mereka dianggap hanya
mampu bekerja dengan mengandalkan tenaga jasmaninya saja,
tanpa memiliki kecerdasan. Dvijati harus memiliki kemampuan
rohani dan daya nalar yang tinggi, oleh karenanya Swadharma
seorang Dvijati adalah sebagai Adi Guru Loka atau Gurunya
masyarakat. Namun untuk mendapatkan tuntunan kitab suci Veda
semua Varna berhak dan boleh mempelajarinya termasuk Sudra
Varna. Hal ini ditegaskan dengan jelas dan tegas dalam mantra
Yajurveda ke XXV.2.
Varna seseorang tidak dilihat dari sudut keturunannya, misalnya
kebrahmanaan seseorang bukan dilihat dari sudut ayah dan
ibunya, meskipun ayah dan ibunya seorang pandita atau rsi yang
tergolong ber "Varna" Brahmana, belum tentu keturunannya
menjadi seorang Brahmana, seperti halnya Rahwana, kakeknya,
ayah dan ibunya, adalah rsi yang terpandang, namun Rahwana
bersifat raksasa. Prahlada di dalam kitab Bhagavata Purana
disebut sebagai anak dari raksasa bemama Hiranya Kasipu,
namun Prahlada adalah seorang Brahmana sangat taat beragama
meskipun ia masih anak- anak. Varna seseorang tidak ditentukan
oleh keturunannya ini dijelaskan dengan tegas dalam kitab
Mahabharata XII. CCCXII,108 bahwa ke "Dvijati"an seseorang
tidak ditentukan oleh ke "wangsa"annya (nayonih), yang
menentukan adalah perbuatannya yang luhur dan pekerjaanya
yang memberi bimbingan rohani kepada masyarakat.
C. Menegakkan sistem Catur Varna
Untuk mengembalikan sistem Catur Varna dalam masyarakat
Hindu di Indonesia haruslah ditempuh langkah-langklah sbb:
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 33
1. Umat Hindu harus diajak secara bersama-sama untuk
menghilangkan adat-istiadat keagamaan Hindu yang bertentangan
dengan ajaran Catur Varna, khususnya dan ajaran agama Hindu
pada umumnya. Hal ini dilakukan melalui berbagai "metode
pembinaan umat Hindu" yang tel ah ditetapkan dalam Pesamuan
Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia tahun 1988 di Denpasar
yang terdiri dari: Dharma Wacana, Dharma Tula, Dharma Gita,
Dharma Sadhana, Dharma Yatra, dan Dharma Santi.
2. Dalam kehidupan beragama Hindu umat diajak untuk tidak
membeda-bedakan pandita dari segi asal kewangsaannya. Seorang
pandita dapat "muput" (memimpin) upacara yang dilaksanakan
oleh umat tanpa memandang asal-usul keturunannya, Umat Hindu
dididik dengan baik untuk tidak membeda-bedakan harkat dan
martabat para pandita Hindu dari sudut asal " Wangsa”nya.
3. Dalam persembahyangan bersama saat "Nyiratang Tirtha"
(memercikkan air suci) umat diajak untuk membiasakan
menerima "Siratan Tirtha" (percikkan air suci) dari Pamangku
atau Pinandita. Ada sementara umat menolak dipercikkan Tirtha
oleh Pamangku pura bersangkutan. Hal itu umumnya karena
menganggap Pemangku itu Wangsanya lebih rendah dari umat
yang menolak dipercikan Tirtha itu. Sikap seperti itu jelas
menggunakan sistem Wangsa yang melecehkan swadharma
seorang Pemangku.
4. Sistem penghormatan tamu Upacara Yajna atau Atithi Yajna
dalam suatu Upacara Yajna janganlah didasarkan pada sistem
Wangsa, artinya jangan tamu dalam upacara yajna dari Wangsa
tertentu saja mendapatkan penghormatan adat, bahkan kadang-
kadang ada pejabat resmi yang patut mendapatkan
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 34
pengerhonnatan yang sewajarnya, didudukkan ditempatkan yang
kurang wajar dalam tata penghormatan itu.
5. Umat Hindu hendaknya diajak untuk melaksanakan upacara yajna
pawiwahan yang benar, seperti kalau ada pria yang mengawini
wanita yang berbeda wangsa pada saat upacara "Matur Piuning"
di tempat pemujaan keluarga pihak wanita, seyogyanya kedua
mempelai bersembahyang bersama.
6. Pandita seyogyanya tidak menolak untuk "Muput" upacara
"Pawiwahan" (perkawinan) karena mempelai berbeda wangsa.
7. Dalam hal Upacara Manusa Yadnya "Mepandes" (Potong Gigi),
orang tua sepatutnya tidak membeda-bedakan putra-putrinya yang
disebabkan oleh perkawinan berbeda wangsa.
8. Tidak seyogyanya seseorang yang akan di-Dwijati/di-Abiseka
kawin lagi hanya karena istrinya yang pertama dari wangsa yang
berbeda.
9. Perkawinan yang disebut kawin nyerod harus diliapuskan.
10. Upacara adat Patiwangi harus dihapuskan sejalan dengan
hapusnya tradisi Asumundung dan Karang hulu oleh Dewan
Pemerintah Bali Tahun 1951.
11. Pemakaian bahasa dalam etika moral pergaulan antar wangsa,
sepatutnya saling harga- menghargai agar jangan menimbulkan
kesan pelecehan terhadap wangsa lainnya.
Demikian Bhisama ini ditetapkan untuk memberikan tuntunan
kepada umat Hindu demi tegaknya supremasi nilai-nilai agama
Hindu di atas adat-istiadat. Dengan demikian adat-istladat pun
akan tetap terpelihara dengan dasar kebenaran ajaran agama.
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 35
Hendaknya umat Hindu tetap memelihara adat yang menjadi
media penyebaran kebenaran Veda yang disebut Satya Dharma.
Ditetapkan di : Mataram, NTB
Pada Tanggal : 29 Oktober 2002
SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Dharma Adhyaksa
Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa
Wakil Dharma Adhyaksa
Ida Pandita Mpu Jaya Dangka Suta Reka
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 36
Lampiran:
Keputusan Pesamuhan Agung
Parisada Hindu Dharma Indonesia
Nomor: 07/Kep/P.A.Parisada /VII/2005 Tanggal 13 Juli 2005
BHISAMA SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Nomor: 04/Bhisama/Sabha Pandita Parisada Pusat/V/2005
t e n t a n g
PEDOMAN PELAKSANAAN DIKSA DVIJATI
Atas Asung Kertha Waranugraha Hyang Widhi Wasa
Pesamuhan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
A. KEDUDUKAN DAN FUNGSI DIKSA
Eksistensi diksa dalam ajaran agama Hindu adalah salak satu
pengamalan Dharma yang memiliki sifat mengikat dan wajib
dilaksanakan oleh seluruh Umat Hindu. Dengan demikian diksa
merupakan dasar keyakinan agama Hindu sekaligus hukum moral
yang wajib diyakini, dijunjung tinggi, ditaati serta dilaksanakan
dalam rangka menegakkan Dhanna. Hal ini dinyatakan dalam
mantram Atharvaveda XII. 1.1 dan Yajurveda XIX. 36, sebagai
berikut:
"Satyam brhad rtam ugram diksa ya topo brahmayajna prithivim
dharyanii"
(Sesungguhnya Satya, rta, diksa, tapa, brahma dan yajna yang
menyangga Dunia).
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 37
"Vratena diksam apnoti, diksayapnoti daksinam, daksinam
sraddham apnoti sraddhaya satyam apyate"
(Dengan melaksanakan brata, seseorang mencapai diksa, dengan
diksa seseorang memperoleh daksina dan dengan daksina
seseorang mencapai sraddha, melalui sraddha seseorang mencapai
satya)
Usaha menyucikan din melalui diksa sebagai salah satu
perwujudan Dharma diamanatkan pula oleh Vrhaspatittatva
sloka 25 yang merupakan kewajiban setiap umat Hindu yang
dijabarkan melalui tujuh pengamalan Dharma, yaitu: si la, yajna,
tapa, dana, pravrjya, diksa dan yoga.
Melalui keyakinan terhadap kebenaran diksa ini, mengantarkan
umat memahaini Veda dan melalui diksa pula umat Hindu
meiniliki kewenangan belajar dan mengajarkan Veda. Dengan
deinikian diksa meiniliki kedudukan sebagai institusi yang
bersifat formal. Melalui pelaksanaan diksa seseorang menjadi
Brahmana, "janmana jayate sudrah samskarairdvija ncyate" semua
orang laliir sebagai sudra melalui diksa/dvijati seseorang menjadi
Brahmana).
Dari penjelasan tersebut maka pelaksanaan diksa memiliki tujuan
untuk menyucikan diri secara lahir maupun bhatin sebagai sarana
atau jalan untuk mentransfer pengetahunan ketuhanan
(Brahmavidya) meialui media Guru Nabe atau Acarya, sekaligus
sebagai pembimbing moral dan spiritual. Dengan melaksanakan
diksa umat Hindu disebut Sadhaka atau Pandita yang meliputi
berbagai nama abhiseka seperti : Pedanda, Bhagawan, Mpu,
Dukuh, Danghyang, Acarya, Rsi, Bhiksuka, Vipra, Sadhu,
Brahmana, Brahtnacari, Sannyasi, Yogi, Marti dan lain-lain yang
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 38
memiliki kewenangan melakukan bimbingan Dharmopadesa
maupun Lokapalasraya kepada umat.
Kemudian mengenaimaknadiksa dvijati adalali merapakan proses
transendensi dan sakralisasi menuju peneapaian kesadaran
penyatuan dengan Brahman. Selain itu diksa dvijati tidak hanya
sebagai inisiasi formal, melainkan menunjukan adanyajalinan
bubungan yang bersifat pribadi dan mendalam antara Guru Nabe
(Acarya) dengan murid (sisya). Lebih jauh lagi Atharvaveda XI.
5.3 menguraikan bahwa saat pelaksanaan diksa dvijati seorang
Guru Nabe atau Acarya seakan-akan menempatkan murid (sisya)
dalam badannya sendiri seperti seorang ibu mengandung bayinya,
kemudian setelah meialui vrata murid dilahirkan sebagai orang
yang sangat mulia (dvijati). Dengan demikian pelaksanaan diksa
dvijati merupakan transisi dan gelap menuju terang, dan avidya
menuju vidya.
Dalam lembaga diksa dvijati kedudukan Guru Nabe begitu
sentralnya, yakni memiliki hak prerogatif terhadap sisya-nya. agar
tidak terjadi pengingkaran terhadap sasana dharmaning kawikon.
Maka derai menegakkan Dhanna berdasarkan ketentuan sastra,
seseorang yang akan menjadi Pandita wajib mengangkat Guru
Nabe (manavagurn), Guru Vaktra, Guru Saksi, selain Siddha
Guru ataupun Divya Guru.
B. PELAKSANAAN DIKSA DVIJATI
Mengingat pemahaman Umat Hindu di Indonesia tentang ajaran
agamanya berimplikasi pula terhadap eksistensi lembaga diksa
maka Sabha Pandita memandang perlu meninjau ketetapan Sabha
Parisada Hindu Dharma Indonesia II Nomor: V/Kep/PHDU68
tentang Pandita, serta keputusan seminar kesatuan Tafsir terhadap
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 39
Aspek-Aspek Agama Hindu ke-14 tahun 1986/1987 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diksa yang kurang mengakomodasikan
dan memberikan kebebasan terhadap umat untuk memilih system
diksa dvijati selain yang telah diputuskan dalam seminar tersebut
diatas. Padahal sesuai kenyataan warga-warga tertentu khususnya
di Bali telah memiliki mekanisme diksa dvijati yang telah
ditetapkan dalam Bhisama leluhumya. Lebih-lebih dikalangan
Sampradaya-sampradaya juga meiniiki mekanisme yang berbeda-
beda. Maka untuk itu Sabha Pandita menetapkan penyempumaan
pedoman pelaksanaan diksa dvijati, sebagai berikut:
1. Lembaga diksa dvijati sebagai dasar sraddha dan hukum moral
dalam agama Hindu adalali bersifat wajib, maka Sabha Pandita
mengakui berbagai system diksa dvijati yang ada, sepanjang
konsepnya mengalir dan ajaran Veda.
2. Memberikan keleluasaan serta kebebasan kepada umat Hindu
yang bermaksud menekuni spiritual menjadi Pandita, untuk
memilih sistem diksa dvijaii yang akan dilaksanakan sesuai
ketentuan aguron-guron yang diikuti sepanjang dilandasi oleh
atmanastusti.
3. Tugas pencerahan dan bimbingan Dharmopadesa merupakan
tanggung jawab semua potensi umat Hindu secara profesional,
maka Sabha Pandita mendorong lahimya para Pandita yang
representatif, berwawasan universal dan membimbing umat dalam
pencerahan rohani.
4. Pelaksanaan diksa dvijati untuk menjadi Pandita merupakan hak
pribadi umat Hindu, maka segala persyaratan khusus dan
mekanisme pelaksanaan diksa dvijati, atribut serta abhiseka
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 40
kepanditaan sepenuhnya diseralikan kepada system aguron-guron
yang diikuti oleh calon diksita.
5. Dalam proses pelaksanan diksa dvijati Parisada Hindu Dharma
Indonesia Pusat berkewajiban memberikan dukungan administrasi
dalam rangka diksa pariksa dan rekomendasi setelah pelaksanaan
diksa pariksa yang dipimpin oleh Guru Nabe atau yang ditunjuk,
serta menerbitkan sertifikat setelah ada pemyataan dari Guru
Nabe.
Demikian pedoman ini ditetapkan sebagai tuntunan bagi seluruh
umat Hindu, baik secara perorangan maupun kelembagaan.
Ditetapkan di : Denpasar
Pada Tanggal : 7 Mei 2005
PIMPINAN PESAMUHAN SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Dharma Adhyaksa
Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa
Wakil Dharma Adhyaksa,
Ida Pandita Mpu Jaya Dangka Suta Reka
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 41
BHISAMA SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Nomor: 05/Bhisama/Sabha Pandita PHDI/VIH/2005
t e n t a n g
TATA PENGGUNAAN SUMBER DAYA HAY ATI
LANGKA DAN/ATAU YANG TERANCAM PUNAH
DALAM UPACARA KEAGAMAAN HINDU
Atas Asung Kertha Waranugraha Hyang Widhi Wasa
Pesamuhan Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia
Menimbang : a. bahwa tradisi (acara agama) penggunaan
sumber daya hayati sebagai sarana
upacara keagamaan Hindu memiliki
landasan kuat dalam sastra suci Hindu
sebagai sarana untuk mendorong dan
berorientasi kepada pelestarian dan
kemampuan sumber daya hayati tersebut;
b. bahwa dalam kegiatan upacara beragama
Hindu penggunaan sumber daya hayati
perlu ditata agar tujuan penggunaan
sumber daya hayati sebagai suatu
pelestarian tidak menjadi terbalik
menjadi pemusnahan sumber hayati
tersebut. Pada hakekatnya penggunaan
sumber daya hayati dalam upacara
keagmaan Hindu untuk meningkatkan
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 42
kedudukan jiwa sumber daya hayati
tersebut untuk mencapai tingkatan yang
lebih tinggi. Bagi mereka yang
menempuh cara Jnana dan Yoga Marga
tentunya tidak akan menggunakan
sumber daya hayati sebagai sarana
beragama Hindu. Bahwa menata
penggunaan sumber hayati tersebut perlu
ada Bhisama Tentang Penggunaan
Sumber Hayati untuk membatasi
penggunaan sumber hayati,terutama
sumber hayati yang langka seperti satwa
penyu dan sumber hayati lainnya agar
jangan sampai punah;
c. bahwa beberapa satwa yang secara
tradisional di gunakan sebagai sarana
upacara adat dan Agama Hindu tersebut
adalah satwa migrasi atau yang
berpindah-pindah, penggunaannya
seharusnya melalui kesepakatan dengan
pihak yang terkait; dan
d. bahwa hanya Sabha Pandita Parisada
Hindu Dharma Indonesia Pusat dalam
keletnbagaan Parisada memiliki
kewenangan untuk mengeluarkan
Bhisama sesuai dengan Anggaran Dasar
Parisada Hindu Dharma Indonesia yang
di tetapkan dalam Maha Sabha VIII
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 43
tahun 2001 di Denpasar-Bali.
Mengingat : 1. Ketetapan Mahasabha VIII Parisadha
Hindu Dharma Indonesia tahun 2001
Nomor: I/Tap.M. Sabha VIII 2001
tentang Anggaran Rumah Tangga
Parisadha Hindu Dharma Indonesia.
2. Keputusan Pesamuhan Agung PHDI di
Bandar Lampung Nomor:
012/KEP/PA.PARISADA/'VI 1/2005
Tanggal 13 Juli tentang Rekomendasi.
Memperhatikan : Usul dan saran Sabha Walaka PHDI
Pusat pada pesamuhannya pada tanggal
30 Agustus 2005 dan hasil kesepakatan
Sabha Pandita dalam pembahasan pada
Pesamuhan Sabha Pandita PHDI Pusat
pada tanggal 31 Agustus 2005 di
Denpasar.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : Bhisama Sabha Pandita Parisada Hidnu
Dharma Indonesia Pusat Tentang Tata
Penggunaan Sumber Daya Hayati
Langka dan/atau yang Terancam Punah
dalam Upacara Keagamaan Hindu
dengan naskahnya sebagai satu kesatuan
yang tidak terpisahkan dengan
Keputusan Bhisama ini/
Pertama : Penggunaan sumber daya hayati dalam
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 44
kegiatan beragama Hindu sesungguhnya
bertujuan untuk melestarikan keberadaan
sumber daya hayati tersebut di bumi ini
menyertai kehidupan umat manusia
sebagaimana dinyatakan dalam
Manawadharmasastra V.40 dan sastra
Hindu lainnya. Dari sudut pandang
Tattwa Agama Hindu penggunaan satwa
dalam upacara agama Hindu bermakna
sebagai dorongan agar umat Hindu
dalam prosesi beragama Hindu
mengupayakan untuk mengendalikan diri
dari kecenderungan sifat-sifat loba
mementingkan diri sendiri yang disebut
dalam Bhagavad Gita sebagai Asuri
Sampad atau kecenderungan
keraksasaan.
Kedua : Penggunaan sumber daya hayati langka
dan/atau yang terancam punah seperti
penyu, macan, garuda, dan sumber daya
hayati langka dan/atau yang terancam
punah lainnya yang dilindungi oleh
Undang-Undang dapat diganti dengan
bahan lainnya sebagai symbol
keagamaan Hindu dalam suatu prosesi
upacara Yadnya. Kalaupun karena
alasan/pertimbangan tertentu tetap harus
digunakan sebagai sarana upacara
yadnya maka sumber daya hayati langka
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 45
dan/atau yang terancam punah yang
dilindungi Undang-Undang itu agar
berdasarkan petunjuk rohaniawan
pemimpin upacara yadnya dan seizing
pemerintah yang berwenang untuk itu.
Ketiga : Bhisama tentang Tata Penggunaan
Sumber Daya Hayati Langka dan/atau
yang Terancam Punah dan yang dilarang
kitab suci agama Hindu dalam upacara
keagamaan Hindu ini adalah sebagai
pedoman dalam menyelenggarakan
kegiatan upacara keagamaan Hindu yang
menggunakan sumber daya hayati langka
dan/atau yang terancam punah.
Keempat : Menugaskan kepada Pengurus Harian
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
untuk memasyarakatkan Bhisama
tentang Tata Penggunaan Sumber Daya
Hayati Langka dalam upacara
Keagamaan Hindu. Sehingga dapat
menumbuhkan kesadaran dikalangan
umat Hindu untuk melakukan upaya-
upaya konsesvasi sumber daya hayati
yang digunakan sebagai sarana upacara
agama Hindu.
Kelima : Bhisama ini mulai berlaku sejak tanggal
ditetapkan. Bhisama ini disampaikan
kepada umat Hindu melalui Pengurus
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 46
Harian Parisada Hindu Dharma
Indonesia untuk dilaksanakan.
Ditetapkan di : Denpasar
Pada Tanggal : 7 Mei 2005
PIMPINAN PESAMUHAN SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Dharma Adhyaksa
Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa
Wakil Dharma Adhyaksa,
Ida Pandita Mpu Jaya Dangka Suta Reka
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 47
Lampiran:
BHISAMA SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Nomor: 05/Bhisama/Sabha Pandita Parisada Pusat/VII/2005
Tentang Tata Penggunaan Sumber Daya Hayati Langka dalam
Upacara Keagamaan Hindu
A. Latar Belakang
Kehidupan beragama Hindu dapat di laksanakan dengan dua arah.
Di arahkan ke dalam diri untuk meningkatkan kualitas kehidupan
individu dan di arahkan keluar diri untuk membangun kehidupan
bersama yang dinamis dan harmonis. Beragama ke dalam diri itu
di sebut Niwrti Marga, sedangkan beragama yang di arahkan
keluar diri di sebut Prawrti Marga. Beragama keluar diri yang di
sebut Prawrti Marga itu ada tiga arah yang di sebut Tri Para
Artha, yaitu Asih, Punia dan Bhakti.
Asih adalah wujud beragama Hindu dengan mengasihi alam
terutama alam lingkungan hidup, Punia adalah wujud beragama
Hindu dengan melakukan pengabdian yang tulus ikhlas kepada
sesama manusia sesuai dengan swadharma masing-masing.
Sedangkan Bhakti adalah wujud beragama Hindu dengan
melakukan hubungan yang harmonis dengan Tuhan Yang Maha
Esa berdasarkan Bhakti.
Adapun landasan untuk melakukan ajaran Tri Para Artha adalah
ajaran Yadnya sebagaimana dinyatakan dalam Bhagawad Gita
111.10 dan 16 yaitu adanya Yadnya timbal balik (CakraYadnya)
antara alam (Khamaduk), manusia (Praja) dan Tuhan (Prajati).
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 48
B. Pengertian Upacara Bhuta Yadnya dalam Agama Hindu
Kata Upacara dalam bahasa Sansekerta artinya "mendekat",
sedangkan kata Upakara dalam bahasa Sansekerta artinya
melayani dengan sangat ramah tamah. Karena itu upacara Yadnya
berarti melakukan upaya untuk mendekatkan diri berdasarkan
yadnya kepada alam lingkungan sesama umat manusia dan
kepada yang tertinggi yaitu Tuhan Yang Maha Esa dengan penuh
keramah tamahan.
Dalam upaya melakukan pendekatan diri pada alam lingkungan
disebut dengan Bhuta Yadnya. Menurut Sarasamuscaya 135
landasan Bhuta Yadnya itu adalah Bhuta Hita. Artinya dengan
Bhuta Yadnya itu umat Hindu melakukan upaya Bhuta Hita yang
artinya mensejahterakan alam lingkungan.
Dalam Sarasamuscaya 135 itu dinyatakan sebagai berikut:
“Matangnyan prihen tikang bhuta hita haywa tan maasih ring
sarwa prani, apan ikang prana ngarania, ya ika nimitaning
kapagehan ikang Catur Warga, nang dharma, artha, kama,
moksa”
Artinya : Oleh karenanya lakukanlah kasih saying dengan
mensejahterakan alam itu (Bhuta Hita), jangan tidak menarah
belas kasihan pada semua mahluk hidup, karena kehidupan
mereka itulah yang menyebabkan teijaminnya tegaknya upaya
untuk mewujudkan Catur Warga yaitu Dharma, Artha, Kama, dan
Moksa.
Memperhatikan makna yang terkandung dalam Sarasmucaya 135
itu, maka terdapat suatu pemahaman bahwa untuk mewujudkan
tujuan hidup manusia mencapai Dharma, Artha, Kama dan
Moksha maka terlebih dahulu wajib melakukan Bhuta Hita yaitu
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 49
melakukan upaya mensejahterakan alam dengan segala makhluk
hidup yang ada di bumi ini. Sesuai dengan kerangka ajaran
Agama Hindu maka upaya Bhuta Hita atau mensejahterakan alam
lingkungan itu seharusnya di lakukan dalam tingkatan tattwa.
Susila dan Upacara yadnya. Dalam kehidupan upacara Yadnya
ajaran Hindu mengajarkan untuk melakukan Bhuta Yadnya.
Dalam Agastia Parwa Bhuta Yadnya itu di rumuskan sebagai
berikut : Bhuta Yadnya ngarania tawur muang sang kopujan ring
tuwuh Artinya : Butha Yadnya itu adalah mengembalikan (unsur-
unsur alam) dengan melestarikan tumbuh-tumbuhan. Ini artinya
Bhuta Yadnya itu tidaklah brkonotasi pembantaian atau
pemusnahan sumber alam termasuk sumber daya hayatinya.
Dengan demikian melakukan Bhuta Yadnya dalam wujud
nyatanya adalah melakukan pelestarian "sarwa prani" yaitu semua
makhluk hidup isi alam lingkungan ini dalam kehidupan
beragama Hindu baik secara Tattwa, Susila maupun Upacara
Yadnya.
Dalam Bhagawad Gita V.25 ada dinyatakan salah satu perbuatan
yang dapat mengantarkan orang mencapai Brahma Nirvana atau
bersatu dengan Tuhan dengan melakukan "sarvabhutahita ratah"
yang artinya sibuk melakukan upaya mensejahterakan alam.
Upaya kesibukan mensejahterakan isi ala mini dapat di wujudkan
dengan melakukan kegiatan nyata melestarikan tumbuh-tumbuhan
dan hewan apa lagi yang langka dan yang terancam punah. Sibuk
atau yang di sebut "ratah" xmtuk melestarikan alam ini
sebagaimana dinyatakan dalam Bhagawad Gita itu adalah
tergolong perbuatan sebagai pengalaman ajaran Agama Hindu
Khususnya ajaran Bhuta Yadnya. Ini artinya tidak sibuk hanya
melakukan Upacara Yadnya saja.
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 50
C. Flora dan Fauna Sebagai Sarana Upacara Keagamaan Hindu
Pelaksanaan ajaran Panca Yadnya oleh umat Hindu di Indonesia
umumnya dan di Bali Khususnya sangat menonjol dalam wujud
Upacara Yadnya. Kata "upacara" dalam bahasa sansekerta artinya
"mendekat". Ini artinya melalui upacara Yadnya manusia
mendekatkan dirinya pada alam dengan kasih kasih, pada sesame
manusia berdasarkan punia atau pengabdian dan kepada Tuhan
dengan Bhakti. Untuk melangsungkan Upacara itu umat Hindu
menggunakan sarana "upakara". Kata "Upakara” dalam bahasa
Sansekerta artinya melakukan pelayanan dengan ramah tamah.
Untuk menyatukan nilai pendekatan dan pelayanan dengan ajaran
asih, punia, dan bhakti agar memiliki makna sacral maka setiap
upacara keagamaan Hindu memiliki lima unsure yang terpadu
membangun kesakralan yang mantap dari setiap upacara
keagamaan Hindu. Lima unsure tersebut adalah : Mantra, seperti
pengucapan puja stawa maupun gita. Tantra yaitu kuat terpadunya
niat dan tekad yang suci dan ikhlas, Yantra artinya visualisasi
sarana dan simbol-simbol sacral yang di gunakan sebagai sarana
upacara keagamaan. Yadnya artinya keija yang di lakukan
berdasarkan keikhlasan berkorban atau Niskama karma. Yoga
artinya tujuan tertinggi dari pada upacara keagamaan Hindu
adalah menuju jalan persatuan pada yang tertinggi yaitu Tuhan
Yang Maha Esa. Sebelum mencapai tujuan tertinggi maka dimulai
dengan tujuan awal mengasihi alam dan tujuan tengah
menyatukan diri dengan sesama manusia melalui pengabdian
timbale balik sesuai dengan swadharma masing-masing.
Upakara itu juga di sebut "banten". Banten inilah sebagai unsur
yantra dari lima unsur upacara keagamaan Hindu. Pengertian
"banten" dalam Lontar Yadnya Prakerti ada tiga yaitu :
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 51
Sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning
Ida Bhatara, pinaka Anda Bhuwana. Artinya" : Semua banten
lambang diri manusia, lambang kemahakuasaan Tuhan dan
lambang isi alam semesta.
Untuk membuat "banten" di gunakan sarana alam terutama
tumbuh-tumbuhan dan hewan. Penggunaan tumbuh-tumbuhan
dan hewan bertujuan untuk mengupayakan agar tumbuh-
tumbuhan dan hewan yang di gunakan sebagai sarana upacara-
upacara yadnya itu keturunannya lebih meningkat kuantitas dan
kualitasnya. Ini artinya manusia dapat berupa untuk melakukan
doa dan kerja nyata dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas
sumber daya hayati tersebut. Bhuta Yadnya mengandung aspek
doa dan keija nyata dalam melestarikan sumber daya hayati isi
bumi sebagai alam ciptaan Tuhan. Tujuan pelestarian sumber
daya hayati yang dijadikan sarana yadnya dinyatakan dengan
sangat jelas dalam Manawa Dharmasastra V.40 sebagai berikut:
“Osadhyah pasavo vriksaslir Yancah paksinastatha Yajnyarlham
nidhanam praptah Prapnu vcmtyutsritihpunah”. (Manawa
Dharmasastra V.40)
Maksudnya: Tumbuh-tumbuhan seperti semak-semak, pohon-
pohonan, temak seperti burung-burung dan lain-lainnya yang
telah digunakan sebagai sarana upacara akan lahir dalam tingkat
yang lebih tinggi pada kelahiran yang akan datang.
Dalam Sloka Manawa Dharmasastra tersebut sangat jelas
dinyatakan bahwa penggunaan sumber daya hayati tersebut justru
diamanatkan untuk melestarikan sumber daya hayati tersebut.
Penggunaan sebagai sarana upacara tersebut untuk mengingatkan
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 52
umat manusia tentang keberadaan dan kegunaan dari sumber daya
hayati isi alam tersebut.
D. Penggunaan Sumber daya Hayati Langka dan Terancam
Punah daiam Upacara Keagamaan Hindu
Tumbuh-tumbuhan dan hewan yang di gunakan sebagai sarana
upacara keagamaan Hindu memiliki arti simbolis sebagai unsur
Yantra yang akan memvisualisasikan nilai-nilai tattwa, susila dan
upacara keagamaan Hindu tersebut. Penggunaan bunga sebagai
simbol ketulus ikhlasan melakukan upacara keagamaan.
Penggunaan buah-buahan dan berbagai jenis jajan sebagai "rakan
banten" di nyatakan sebagai simbol Widyadhara Widyadhari.
Demikian dinyatakan dalam Lontar Yadnya Prakerti. Demikian
juga penggunaan berbagai jenis hewan seperti penggunaan itik
simbol Guna Sattwam, ayam simbol Guna Rajas dan penggunaan
babi sebagai simbol Guna Tamas. Demikian seterusnya berbagai
sarana upacara keagamaan Hindu yang menggunakan sarana
sumber daya hayati memiliki arti untuk memvisualisasikan nilai-
nilai Tattwa, Susila, dan Upacara dari ajaran Agama Hindu.
Sebagai akibat dinamika kehidupan umat manusia di antara
sumber daya hayati tersebut ada yang langka dan ada yang
terancam punah. Karena itu penggunaan sumber daya hayati
langka itu hams dikembalikan pada landasan Tattwanya yaitu
untuk melestaiikan sumber daya hayati tersebut. Karena itu
penggunaan sumber daya hayati langka seperti tumbuh-tumbuhan
langka san hewan langka. Di antara hewan langka itu seperti
penyu, macan, burung garuda, gajah dan lain-lainya terutama
yang di lindungi oleh undang-undang wajib dibatasi
penggunaannya sebagai sarana upacara keagamaan Hindu.
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 53
Upacara keagamaan Hindu itu dari segi bentuknya ada yang kecil
atau inti, sedang atau madya dan besar yang di sebut utama.
Untuk menghindari penggunaan sumber daya hayati langka dan
terancam punah umat Hindu dapat memilih bentuk upacara yang
inti. Upacara inti itu disertai sraddha dah bhakti yang mendalam
akan menjadi upacara bemilai utama yang di dalam Bhagawad
Gita IXVII. 11 di sebut Sattvika Yadnya.
Cara lain untuk menghindari penggunaan sumber daya hayati
langka dan terancam punah dengan mengganti sarana tersebut
dengan sarana lain yang di tentukan dalam sastra Agama Hindu.
Penggantian sumber daya hayati langka dan yang terancam punah
sebagai sarana upacara keagamaan Hindu itu di benarkan dalam
sastra Agama Hindu seperti antara lain di nyatakan dalam
Manawa Dharmasastra V.37 sebagai berikut:
“Kuryaddhrtapasumsangge Kuryat pistapasum tatha Na tveva
tuvritha hanium Pasumicchet kadacana”. (Manawa
Dharmasastra. V.37)
Maksudnya: Kalau penggunaan hewan itu demikian diinginkan
maka ia boleh dig anti dengan membuat bentuk hewan itu dari
susu, mentega, aatu dari tepung dan bahan makanan lainnya.
Tetapi tidak boleh sama sekali membinasakan hidup binatang
tanpa sebab yang dibenarkan oleh dhanna atau hukum.
Bhisama – Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia | 54
Ditetapkan di : Denpasar
Pada Tanggal : 7 Mei 2005
PIMPINAN PESAMUHAN SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Dharma Adhyaksa
Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa
Wakil Dharma Adhyaksa,
Ida Pandita Mpu Jaya Dangka Suta Reka