kumpulan artikel tentang "menjadi manusia indonesia seutuhnya"

8
1. Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/1706680- manusia-indonesia-seutuhnya/ Bagaimanapun bangsa ini harus mengakui bahwa nilai-nilai kesopanan dan kesantunan di dalam dirinya, berangsur- angsur pudar. Keidentikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ramah perlahan terkikis bersamaan tergerusnya nilai- nilai moral lain. Bangsa ini menjadi sulit untuk memanifestasikan dirinya yang baik, dalam perjalaan untuk menjadi bangsa yang maju dan “beradab”. Aroma kemajuan membawanya ke dalam ruang-ruang asing yang keras dan kejam. Akan sulit sekali saat ini menemukan “manusia- manusia Indonesia” yang menjunjung nilai-nilai kesopanan dan kesantunan. Dan semakin sulit saja menemukan orang- orang Indonesia yang mau menegakkan dirinya bersama nilai-nilai kejujuran dan kebaikan. Bangsa ini telah menjadi bangsa yang lebih suka mengabaikan etika dan nilai-nilai moral yang ada. Tak peduli lagi itu baik atau buruk, kecuali bila itu berhubungan dengan “kebaikannya”. Bangsa ini lebih memilih menjadi bangsa yang memenuhi sisi-sisi di dalam pikirannya dengan nilai-nilai pragmatisme daripada “kolektivisme” yang tak membawa keuntungan. “ Engkau ada karena kau berguna, aku ada karena melihat ada yang berguna.” Nilai-nilai pragmatisme ini memupuskan kuncup-kuncup moral yang sebelumnya menjadi bagian keseharian hidup manusia Indonesia. Bangsa ini tak lagi mau dan tak mampu berkembang dengan kebaikan, dan itu telah menjadi bagian dari sekian pilihan yang dipilihnya. Menjadi manusia Indonesia berarti menjadi manusia yang brutal dan tak bermoral. Di sini pekerjaan, jabatan, golongan, kekayaan, kebijakan, dan kekuasaan, dengan bermacam relasi sosialnya tak akan lepas dengan negatifitas penjelmaannya. Bangsa ini tak malu lagi bila menyingkirkan nilai-nilai kejujuran dan kebaikan di dalam lubuk hatinya yang dalam sekalipun, dan diganti dengan segala kepicikan dan kepura-puraan. Bangsa ini menjadi bangsa yang tak lagi mau mengerti arti penting kesopanan dan keramahan, dan arti penting kebaikan dan kejujuran. Mereka, manusia-manusia Indonesia tak lagi peduli jika kemajuan yang telah mereka peroleh itu berlumur dengan darah dan kotoran. Keberadaban dan kebudayaan mereka lebih suka dinilai dari satu tolak ukur

Upload: mario-donald-bani

Post on 29-Jun-2015

533 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Dokumen ini berisi berbagai artikel yang diunduh dari internet dan berhubungan dengan topik menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Berbagai macam artikel yang ada di dalam dokumen ini merupakan karya tulis orang lain yang dikumpulkan apa adanya, tanpa di-edit terlebih dahulu sebelum diunggah kembali di sini.

TRANSCRIPT

Page 1: Kumpulan Artikel tentang "Menjadi Manusia Indonesia Seutuhnya"

1. Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/1706680-manusia-indonesia-seutuhnya/

Bagaimanapun bangsa ini harus mengakui bahwa nilai-nilai kesopanan dan kesantunan di dalam dirinya, berangsur-angsur pudar. Keidentikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ramah perlahan terkikis bersamaan tergerusnya nilai-nilai moral lain. Bangsa ini menjadi sulit untuk memanifestasikan dirinya yang baik, dalam perjalaan untuk menjadi bangsa yang maju dan “beradab”. Aroma kemajuan membawanya ke dalam ruang-ruang asing yang keras dan kejam. Akan sulit sekali saat ini menemukan “manusia-manusia Indonesia” yang menjunjung nilai-nilai kesopanan dan kesantunan. Dan semakin sulit saja menemukan orang-orang Indonesia yang mau menegakkan dirinya bersama nilai-nilai kejujuran dan kebaikan. Bangsa ini telah menjadi bangsa yang lebih suka mengabaikan etika dan nilai-nilai moral yang ada. Tak peduli lagi itu baik atau buruk, kecuali bila itu berhubungan dengan “kebaikannya”. Bangsa ini lebih memilih menjadi bangsa yang memenuhi sisi-sisi di dalam pikirannya dengan nilai-nilai pragmatisme daripada “kolektivisme” yang tak membawa keuntungan. “ Engkau ada karena kau berguna, aku ada karena melihat ada yang berguna.” Nilai-nilai pragmatisme ini memupuskan kuncup-kuncup moral yang sebelumnya menjadi bagian keseharian hidup manusia Indonesia. Bangsa ini tak lagi mau dan tak mampu berkembang dengan kebaikan, dan itu telah menjadi bagian dari sekian pilihan yang dipilihnya. Menjadi manusia Indonesia berarti menjadi manusia yang brutal dan tak bermoral. Di sini pekerjaan, jabatan, golongan, kekayaan, kebijakan, dan kekuasaan, dengan bermacam relasi sosialnya tak akan lepas dengan negatifitas penjelmaannya. Bangsa ini tak malu lagi bila menyingkirkan nilai-nilai kejujuran dan kebaikan di dalam lubuk hatinya yang dalam sekalipun, dan diganti dengan segala kepicikan dan kepura-puraan. Bangsa ini menjadi bangsa yang tak lagi mau mengerti arti penting kesopanan dan keramahan, dan arti penting kebaikan dan kejujuran. Mereka, manusia-manusia Indonesia tak lagi peduli jika kemajuan yang telah mereka peroleh itu berlumur dengan darah dan kotoran. Keberadaban dan kebudayaan mereka lebih suka dinilai dari satu tolak ukur dengan standar minimal—Indonesia hanya berisi manusia-manusia “enggan”. Ironisnya, dengan standar minimal ini mereka menjadi bangga, dan dengan segera menafikkan ada standar yang lebih baik untuk bisa dicapai. Dan hal dengan melihat bahwa standar budaya bangsa itu baik bila perilaku mereka mencerminkan kebaikan dan nilai-nilai kejujuran universal yang diakui bersama. Sedangkan, titik tolak untuk melihat bangsa itu beradab adalah dengan melihat kesopanan dan kesantunan yang dimilikinya. Bangsa yang beradab adalah bangsa yang memiliki unggah-ungguh dalam berperilaku. Arti penting jika sebuah bangsa menjadi bangsa yang berbudaya dengan menjunjung kebaikan dan kejujuran, atau menjadi bangsa beradab dengan mengamalkan kesopanan dan kesantunan adalah sebagai bentuk pengaktualisasian diri. Aktualisasi diri sebagai diri sendiri, dengan jatidiri “kemanusiaannya”. Dengan kata lain, bangsa yang berbudaya dan beradab adalah bangsa yang di dalamnya terdapat manusia-manusia yang terdiri dari jiwa-raga manusia seutuhnya. Dengan begitu, pengaktualaisasian ini mencoba mencari pengakuan kehadiran bangsa ini di tengah-tengah hingar bingar bangsa lain. Pengakuan itu hadir karena memang ada yang membuat hal itu menjadi “diakui”. Pengakuan itu muncul bukan karena sekedar sosok yang dihadapi, tapi juga karena “keakuan” yang ada dalam sosok itu. Tentu tidak mudah menjadi bangsa berbudaya dan beradab. Namun dengan demikian, tidak menutup adanya kemungkinan bahwa model bangsa seperti ini ada. Semua ada karena berproses. Begitu pula Indonesia. Indonesia bisa menjadi sebuah bangsa yang berbudaya dan beradab. Namun, terlebih dahulu harus ada upaya untuk

Page 2: Kumpulan Artikel tentang "Menjadi Manusia Indonesia Seutuhnya"

menyingkirkan rintangan-rintangannya. Rintangan-rintangan itu dapat disingkirkan setidaknya dengan beberapa cara. Pertama, darisejak kecil manusia-manusia Indonesia harus diperkenalkan dengan pendidikan moral—moralitas sebagai landasan kebudayaan dan keberadaban. Pendidikan moral ini dapat ditanamkan di rumah, sekolah, dan lingkungannya. Di rumah misalnya dengan mengajarkan nilai-nilai moral yang diajarkan agama—dengan asumsi bahwa semua agama mengajarkan kebaikan moral. Peran serta ibu dan bapak di sini begitu penting. Selain keluarga, karakteristik anak dibentuk melalui lingkungan, melalui teman sepermainan misalnya. Lingkungan berpengaruh sekali terhadap perilaku dan tingkah laku anak-anak di masa depan. Kemudian, di sekolah mulailah anak-anak diajari prinsip-prinsip moral dengan metode agak formalistik. Di ranah ini arahan-arahan dan anjuran-anjuran terlebih dahulu diseting. Dengan begitu, pemerintah sebagai pembuat kebijakan-kebijakan pendidikan juga bertanggung jawab terhadap moralitas bangsa. Kedua, pendidikan moral saja tak akan cukup untuk membentuk manusia Indonesia yang beradab dan berbudaya. Bangsa ini membutuhkan figur-figur panutan. Benak manusia-manusia Indonesia terlampau penuh dengan gambaran-gambaran kecurangan yang telah dicipta, para publik figur. Sedikit sekali yang bisa menjadi figur yang baik di negeri ini, itupun hanya sebagian yang bisa bergerak dan eksis, lainnya perlahan tenggelam karena tekanan dari luar. Figur-figur yang baik tentu akan menuntun manusia Indonesia pada kebaikan. Karena figur yang baik ini berawal dari masing-masing individu—individu akan menjadi panutan yang baik jika memang ia terlebih dahulu menjadi baik. Jadi, mulailah semuanya dari diri sendiri. Karena nilai-nilai moral akan berawal dan berkembang dari sini. Indonesia membutuhkan perubahan dan perubahan itu dapat hanya bisa muncul jika setiap individu menanamkan di dalam sanubarinya keinginan perubahan itu.Diterbitkan di: Nopember 16, 2007   Diperbarui: Oktober 05, 2010

2. Sumber: http://lebahrumahbaca.multiply.com/reviews/item/21

Cermin Manusia SeutuhnyaMar 1, '09 4:24 AMfor everyone

Category: Books

Genre: Other

Author: Y.W. Junardy

Salah satu tujuan pengembangan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah tercapainya manusia Indonesia seutuhnya. Tujuan ini telah menjadi acuan utama bagi setiap proses pendidikan di Tanah Air. Namun sayangnya, konsep manusia Indonesia seutuhnya saat ini kian ''absurd'' di tengah dominasi SDM asing yang merajalela. Indikasi yang terlihat nyata adalah HDI (Human Development Index) manusia Indonesia semakin merosot dari tahun ke tahun.

Buku Full Circle yang ditulis Y.W. Junardy, praktisi profesional yang berpengalaman lebih 35 tahun di dunia korporasi besar, tampaknya ingin menjawab persoalan di atas. Profil dan kompetensi seperti apakah manusia Indonesia seutuhnya itu dikupas Pak Jun (sapaan Junardy) lewat buku ini. Semua dirangkum dalam konsepsi falsafah hidup

Page 3: Kumpulan Artikel tentang "Menjadi Manusia Indonesia Seutuhnya"

yang sangat apik, yaitu learn-lead-serve yang sebenarnya hampir sama dengan konsep asah-asuh-asih.

Membuka buku ini kita diajak menelusuri liku-liku perjalanan Pak Jun mulai kanak-kanak hingga menginjak remaja. Ia harus bisa berperan sebagai guru SMA, penjual rokok, dan pemain kasino agar bisa survive di Jakarta; perjalanan hidup selama 26 tahun berkarier di IBM dari posisi terbawah sebagai operator hingga menjadi presiden direktur. Juga perjalanan hidupnya sebagai eksekutif puncak Bank Universal, Excelcomindo, Bentoel, dan Group Rajawali; serta perjalanan hidup sebagai ''pelayan masyarakat'' melalui beragam bentuk kegiatan dan organisasi.

Sejak itu kita akan terkesima oleh track record Pak Jun yang luar biasa. Betapa tidak, Pak Jun merupakan sosok yang utuh dan lengkap sebagai manusia. Selama 60 tahun karir hidupnya dihabiskan sebagai profesional, manajer dan leader (hlm. 26). Sehingga, melihat Pak Jun ibarat melihat sosok manusia seutuhnya. Manusia dengan segudang cita-cita dan prestasi yang mampu diwujudkannya.

Gaya bertutur dengan kata ganti orang pertama, saya, yang disampaikan dalam buku ini mengalir deras dan jernih. Karena, buku ini bukanlah buku dengan analisis teori dan metodologi kaku, namun lebih pada buku yang mencerminkan sosok Pak Jun dengan wisdom dan inspirasinya. Karena itu, jika kita memeras buku ini maka akan muncul 3 (tiga) saripati dan gizi hidup yang bisa kita serap untuk bekal menjadi manusia seutuhnya.

Pertama, keutuhan dalam melakukan pembelajaran (learn) yang tak mengenal henti; memimpin (lead) dengan semangat kebersamaan, kemanusiaan, dan penuh integritas; dan mendedikasikan hidup untuk kepentingan pelayanan (serve) kepada masyarakat banyak: ''Learn-Lead-Serve''.

Kedua, keutuhan perjalanan karir dan hidup dari perspektif keseimbangan antara IQ (intellectual quotient), EQ (emotional quotient), dan SQ (spiritual quotient). Ketiga, keutuhan perjalanan karir dan hidup sebagai sebuah proses pencarian menuju kematangan dan kesempurnaan.

Ketiga prinsip hidup Pak Jun di atas memberikan warna pencerahan bagi kita bahwa hidup haruslah digunakan sebesar-besarnya untuk kemanfaatan bagi banyak orang. Karena di sinilah sebenarnya sebaik-baik manusia seperti dalam diktum hadis nabi "khoirunnas anfauhum linnash" (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat di antara kamu).

Buku ini terdiri atas 3 (tiga) pembahasan utama: learning, leading, dan serving. Diawali pembahasan tentang learning yang menggambarkan tentang perjalanan Pak Jun sebagai anak desa mulai dari anak sampai remaja dengan semangat membara mencari jati diri. Kehidupan Pak Jun berubah begitu drastis ketika ia diterima di IBM. Di IBM inilah hampir separo hidupnya didedikasikan. Warna IBM begitu kental melekat (inheren) dalam tubuhnya. Karena di IBM inilah sosok Pak Jun dibentuk dan menjadi fondasi untuk belajar menjadi pemimpin yang sesungguhnya. Semua dibeberkan dalam bab 3-6 (hlm 71-150).

Selepas dari IBM, Pak Jun bergabung dengan Group Astra sebagai Wakil Presiden

Page 4: Kumpulan Artikel tentang "Menjadi Manusia Indonesia Seutuhnya"

Bank Universal. Pindah perusahaan juga pindah industri. Dua tahun ia di perbankan, kemudian pindah lagi ke Grup Rajawali (Excelcomindo) di awal 1997. Lalu sempat mampir di RCTI dan perusahaan rokok Bentoel. Semua dikupas di bab 8-10 (hlm. 173-230). Krisis monoter 1997 dan berlanjut di pertengahan 1998 hingga menjatuhkan penguasa Orde Baru, Soeharto, memberikan blessing in disguised (berkah tersembunyi) bagi Pak Jun untuk membangun fondasi bisnis yang lebih kokoh di Grup Rajawali (hlm. 233-352).

Sampai akhirnya ketika Pak Jun menginjak umur 60 tahun pada 5 Oktober 2007, ia mencoba merenungi semua yang telah ia berikan. Apakah sudah waktunya mengabdi pada masyarakat dan menghentikan semua aktivitas sebagai orang karir? Ataukah terus bertahan di dunia karir? Pilihannya jatuh pada aktivitas sosial yang ia sebut sebagai "passion to serve" (hlm. 257-271).

Dari sana kita sepertinya diingatkan oleh ungkapan bijak dari Sir Winston Churchill: ''We make a living by what we get, we make a life what we give". Karena sejatinya hidup dan kehidupan itu adalah dua kata yang berbeda makna dan artinya. Oleh karena itu, hadirnya buku ini mampu menjadi cermin yang sebenar-benarnya untuk menjadi manusia seutuhnya sesuai dengan yang dicita-citakan. Sosok Pak Jun yang digambarkan dalam buku ini akan menginspirasi dan memotivasi kita agar ketika hidup, hiduplah dengan lebih banyak memberi. Karena dengan memberi itulah kehidupan akan semakin utuh dan bermakna. (*)

---

Judul Buku : Full Circle: Managing Through Learn-Lead-Serve

Penulis : Y.W. Junardy

Penyunting : Dyah Hasto Palupi dan Teguh S. Pambudi

Penerbit : Mizan, Bandung

Cetakan : Pertama, November 2008

Tebal : 337 halaman

*) Rahmah Maulidia, Dosen STAIN Ponorogo, dan ISID Gontor Ponorogo

JP [ Minggu, 01 Maret 2009 ]Tags: cerminPrev: Iklan Politik Tv, Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde BaruNext: Lukisan Istanbul yang Melankolik

Page 5: Kumpulan Artikel tentang "Menjadi Manusia Indonesia Seutuhnya"

3. Sumber: http://buyayasmin.blogspot.com/2009/10/manusia-indonesia-seutuhnya.html

Manusia Indonesia Seutuhnya (Jumat, 23 Oktober 2009)Sepertinya pembicaraan "manusia Indonesia seutuhnya" sudah jarang bergema pada saat ini. Lihatlah di TV setiap hari, kita sering disodori berita-berita korupsi, manipulasi, koalisi, pembunuhan, penculikan, perselingkuhan, dll.

Pada awal 80-an, dalam penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), ada diajarkan bahwa salah satu ciri manusia Indonesia seutuhnya adalah manusia yang bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.

Seandainyalah kita pakai ajaran di atas sebagai parameter manusia Indonesia seutuhnya, maka lihatkah betapa banyaknya manusia Indonesia kita ini "yang sudah tidak utuh lagi", dalam artan mereka tidak bermanfaat lagi di Bumi Pertiwi ini.

Bayangkan, seorang pejabat negara yang gaji dan segala fasilitas tugasnya dibayar negara, malah menggerogoti uang negara. Apakah masih berguna pejabat semacam itu ?

Seorang aparat TNI/Polri (baca : "oknum") yang seharusnya membela kedaulatan negara, serta menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, malah terlibat bisnis terlarang, atau menjadi "backing" terhadap bandar judi, atau Narkoba. Apakah "oknum berseragam" semacam ini masih perlu dipertahankan ?

Seorang pengusaha yang mendapat kredit (baca : kepercayaan) dari bank untuk membangun bisnis, malahan menyalahgunakan kredit itu untuk kepentingan pribadinya. Perusahaannya dipailitkan, lalu sang pengusaha melarikan diri; lalu Pemerintah "turun tangan" dengan cara "menyuntikkan dana baru", atau apalah namanya... Apakah pengusaha type begini masih perlu "dilindungi" ?

Dan banyak fakta lain yang secara transparan tampak di depan mata kita, betapa masyarakat kita masih jauh dari kondisi "manusia Indonesia seutuhnya".

Masih banyak "parasit-parasit" di tengah kita, yang secara terang-terangan atau terselubung tengah menggerogoti "ibu pertiwi", sehingga cepat atau lambat, kalau tidak segera ditangani, akan membawa kepada kehancuran.........

Kita punya banyak pakar di segala bidang. Silakan adu argumen, silakan ajukan konsep dan program. Kita punya legislatif, executive dan legislatif; punya banyak LSM/NGO; kita masih punya tokoh-tokoh yang kharismatik dan disegani; mari kita duduk bersama untuk "membedah" kondisi bangsa kita saat ini. Solusi dan tindakan harus ada !

Kalau tidak mau bertindak untuk mengatasi "parasit-parasit" bangsa ini, berati kita pun telah menjadi "parasit bangsa" !!! Diposkan oleh Ir. H. Wijaya Yasmin di 18.58