kuliah filsafat-prof. mulyadhi kartanegara

13
Apa itu sains? (Perspektif Islam) Prof. Mulyadhi Kartanegara A. Pengertian: Sains dan Ilmu Kata "sains" adalah adaptasi dari kata Inggris "science." Tapi kata science sendiri dikatakan berasal dari kata Latin "scire" yang artinya "mengetahui." Tentu saja kata ini tak dikenal dalam tradisi ilmiah Islam. Tetapi ada kata yang pengertiannya sangat dekat dengan sains yaitu ilmu, dari kata Arab "'ilm." Kata ilmu itu sendiri berasal dari kata "'alima," yang artinya "mengetahui'," dari mana kata "'ilm" itu berasal. Jadi secara etimologis arti sains dan ilmu adalah sama, yaitu pengetahuan. Tetapi secara istilahi, sains didefinisikan sebagai "any organized Knowledge," (sembarang pengetahuan yang terorganisir). Sains biasanya dibedakan dengan knowledge, di mana sains adalah pengetahuan yang sistematis (tersususn rapi) dan telah teruji, sementara knowledge adalah pengetahuan yang belum tersusun dan teruji kebenarannya. Seperti sains, ilmu juga bukan sembarang pengetahuan. Oleh para sarjana, ilmu biasa didefinisikan sebagai "pengetahuan tentang sesuatu sebagimana adanya" (ma'rifatusy-syay' 'ala ma huwa bih). Tetapi ada perkembangan yang sginifikan dari kata sains, di akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, di mana sains kemudian dimaknai sebagai "pengetahuan yang sistematis tentang dunia fisik." Jadi sains setelah masa itu dipahami sebagai pengetahuan untuk bidang-bidang empiris saja, dengan menyingkirkan ilmu-ilmu non-empiris dari

Upload: muhammad-iqbal-al-musthafa

Post on 24-Jul-2015

210 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kuliah Filsafat-Prof. Mulyadhi Kartanegara

Apa itu sains? (Perspektif Islam)Prof. Mulyadhi Kartanegara

A. Pengertian: Sains dan Ilmu

Kata "sains" adalah adaptasi dari kata Inggris "science." Tapi kata science sendiri dikatakan berasal dari kata Latin "scire" yang artinya "mengetahui." Tentu saja kata ini tak dikenal dalam tradisi ilmiah Islam. Tetapi ada kata yang pengertiannya sangat dekat dengan sains yaitu ilmu, dari kata Arab "'ilm." Kata ilmu itu sendiri berasal dari kata "'alima," yang artinya "mengetahui'," dari mana kata "'ilm" itu berasal. Jadi secara etimologis arti sains dan ilmu adalah sama, yaitu pengetahuan. Tetapi secara istilahi, sains didefinisikan sebagai "any organized Knowledge," (sembarang pengetahuan yang terorganisir). Sains biasanya dibedakan dengan knowledge, di mana sains adalah pengetahuan yang sistematis (tersususn rapi) dan telah teruji, sementara knowledge adalah pengetahuan yang belum tersusun dan teruji kebenarannya. Seperti sains, ilmu juga bukan sembarang pengetahuan. Oleh para sarjana, ilmu biasa didefinisikan sebagai "pengetahuan tentang sesuatu sebagimana adanya" (ma'rifatusy-syay' 'ala ma huwa bih). Tetapi ada perkembangan yang sginifikan dari kata sains, di akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, di mana sains kemudian dimaknai sebagai "pengetahuan yang sistematis tentang dunia fisik." Jadi sains setelah masa itu dipahami sebagai pengetahuan untuk bidang-bidang empiris saja, dengan menyingkirkan ilmu-ilmu non-empiris dari arena sains. Sementara itu ilmu masih tetap pada pengertiannya semula, sehingga ilmu meliputi bukan hanya pengetahuan tentang objek-objek empiris (seperti sains) tapi juga bidang-bidang non-empiris seprti matematik dan metafisik. Dan ini berimplikasi pada kata "saintifik" dan "ilmiah." Dua kata ini sering disamakan begitu saja, padahal sesungguhnya tidak begitu. Kata saintifik diterapkan hanya untuk ilmu-ilmu alam (empiris) sementara, "ilmiah" bisa diterapkan pada ilmu-ilmu alam (empiris) dan juga non-empiris. Selain itu, dalam prakteknya, bidang-bidang non-empiris, yang tentu saja tidak bisa masuk ke dalam kategori sains dan saintifik, sering kita jumpai, dalam tulisan sarjana-sarjana Muslim yang menulis dalam bahasa Inggris, diterjemahkan sebagai sains, sehingga kita mungkin sekali jumpai istilah "mathematical atau metaphysical sciences," padahal jelas bahwa matematik dan metafisik

Page 2: Kuliah Filsafat-Prof. Mulyadhi Kartanegara

tidak memenuhi kriteria saintifik, tapi tentu masuk kategori ilmiah. Jadi ketika anda menemukan istilah matafisical sciences, dalam tulisan sarjana-sarjana Muslim, itu harus dipahami sebagai "al-'ulum al-ilahiyyah" atau ilmu-ilmu metafisik tapi bukan sains-sains metafisik. Selain itu di dalam bahasa indonesia sering digunakan istilah yang agak aneh yaitu "ilmu pengetahuan" untuk merujuk pada kata sains.

B. Karakteristik Sains Islam

1. Sains Islam, sains Yang Terbuka

Dibentuk sebagai bagian tak terpisah dari sistem keilmuan holistik, sains Islam, yang dipahami sebagai ilmu-ilmu alam (al-‘ulum al-thabi’iyyah), bersifat terbuka pada wilayah-wilayah ilmiah lain yang bersifat non-empiris. Dengan mengenal wilayahnya sendiri yang bersifat fisik-empiris, sains Islam membuka hubungan dengan wilayah matematik dan metafisik. Ini tentunya berbeda dengan sains modern yang dengan ketat membatasi dirinya pada wilayah empiris saja dan menyingkirkan wilayah-wilayah lain sebagai tidak saintifik dan karena itu dipandang berada di luar arena saintifik. Sifat terbuka ini menjadikan sains Islam menerima doktrin-doktrin metafisik sebagai dasar filosofisnya, sehingga terlihat perpaduan dan jalinan mesra antara fisika dan metafisika. Dengan kata lain sains Islam adalah bagian dari filsafat yang lebih holistik, dan harus dipahami sebagai filsafat alam.

Barangkali berguna untuk memperlihatkan bagan keilmuan Islam secara holistik dan melihat di mana posisi sains (ilmu-ilmu kealaman) di dalamnya. Dalam kitabnya, al-Syifa’, Ibn Sina (w. 1037 M.) membagi filsafat, sebagai induk dari ilmu-ilmu, ke dalam empat bagian besar: logika, fisika, matematika dan metafisika. Logika, dipandang lebih sebagai alat metodologis (karena itu Aristoteles menyebutnya Organon), sedangkan fisika (yang dalam konteks ini kita sebut sebagai sains) dibagi ke dalam beberapa cabang: astrofisika (al-sama’ wal-‘alam), meteorlogi (atsar ‘uluwwi), fisika dasar (al-kawn wal-fasad), mineralogi (fi al-ma’adin), botani (fi al-nabat), zoologi (fi al-hayawan), anatomi (al-tasyrih) dan Psikologi (fi al-nafs). Sedangkan matematik dibagi kepada: aritmetik (‘ilm al-hisab), geometri (al-handasah), astronomi (‘il al-hay’ah) dan musik (al-musiqa), dan

Page 3: Kuliah Filsafat-Prof. Mulyadhi Kartanegara

terakhir metafisik dibagi kepada dua divisi utama, tentang prinsip (al-mabda’) dan Eskatologi (al-ma’ad).

Dengan demikian kita menyadari bahwa yang kita sebut sains (dalam tradisi ilmiah Islam) hanyalah satu bagian dari keseluruhan system keilmuan Islam, di mana satu bagian dengan bagian yang lainnya bisa saling interaksi. Mislanya saja kajian tentang jiwa manusia. Selama jiwa itu berada dalam tubuh manusia, maka di dikaji di wilayah (termasuk kajian fisika), tetapi sekali ia terpisah dengan tubuhnya, jiwa dibahas dalam salah satu cabang ilmu metafisika, yang disebut eskatologi. Demikan juga, ketika Ikhwan al-Shafa berbicata alam sebagai Manusia Agung (al-Insan al-Kabir), maka dipercaya bahwa alam fisik, yang masuk ke dalam objek sains) memiliki jiwa, yang disebut jiwa universal (al-nafs al-kulliyyah), yang mana alam semesta fisik adalah tubuhnya. Dan mereka yakin bahwa, sebagaimana tubuh manusia tidak akan bergerak kalau tidak digerakkan oleh jiwa, demikian juga tidak akan ada gerak dalam alam semesta, kalau tidak digerakkan oleh jiwa universal ini. Jalinan yang timbal balik (mutual relationship) inilah yang menjadi salah satu ciri khas (karakter) sains Islam, yang tentunya akan sangat berbeda dengan sains modern yang telah menutup diri pada setiap hubungan dengan dunia non-empiris (ghaib).

2. Membaca Alam sebagai Ayat Allah.

Karakteristik sains Islam yang lain adalah pembacaannya terhadap alam sebagai ayat Allah (ayat kauwniyyah, di samping al-Qur’an, sebagai ayat qawliyyah). Sayyed Hossen Nasr, dalam bukunya The Islamic Science: an Illustrated Study, menyatakan bahwa tidak ada seorang ilmuwan Muslim yang mengkaji alam hanya sekedar untuk memuaskan rasa ingin tahu saja, tetapi mereka mengkaji alam sebagai upaya mencari jejak-jeka ilahi (Vestigia Dei). Demikian juga, al-Jahiz, pengarang buku zoology, Kitab al-Hayawan, menyatakan dalam pendahuluannya bahwa ‘zoologi (ilmu hewan) baginya adalah cabang ilmu agama, karena, sambungnya, tidak ada maksud lain yang lebih mulia dari pengarangnya (dalam hal ini diri al-Jahiz sendiri), daripada menunjukkan kebesaran ilahi yang terdapat pada hewan-hewan tersebut.’ Hal serupa dinyatakan oleh Ikhwan al-Shafa’, kelompok pemikir Muslim abad kesepuluh, yang dalam kitab zoologinya

Page 4: Kuliah Filsafat-Prof. Mulyadhi Kartanegara

menyatakan, bahwa ‘hewan tertentu (cacing bawah tanah, misalnya) tidak memiliki mata. Dan itu terjadi atas dasar kearifan Tuhan. Tuhan tidak akan menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Maka Ia pun tidak menciptakan mata bagi hewan seperti itu, karena kalau diciptakan juga, bukan saja mata itu tidak berguna (tidak dimanfaatkan), tetapi juga hanya akan memberi mudarat bagi hewan tersebut (misalnya kelilipan). Demikian juga ketika Allah tidak memberi rasa sakit pada tumbuhan (misalanya ketika disengat matahari), rasa sakit pada hewan dan manusia adalah karunia dari Allah. Karena seandainya kita tidak punya rasa sakit, maka ketika lilin, menggunakan contoh mereka sendiri, membakar kaki kita yang terjuntai dari tempat tidur, ia tidak akan menyebabkan kita menarik kaki kita dari sang lilin, akibatnya kaki kita bisa hangus terbakar tanpa kita merasakannya. Dan banyak tentunya contoh-contoh di mana ilmuwan Muslim memperlihatkan,dalam penjelasan ilmiah mereka, tanda-tanda kebesaran Allah yang ada pada objek-objek fisik yang mereka teliti.

Allah swt. sendiri dalam beberapa ayat al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa “pada penciptaan langit dan bumi dan bergantinya siang dan malam terdaapat tanda-tanda kebesaran Allah, bagi mereka yang berakal.” Juga dikatakan “akan Kami perlihatkan tanda-tanda Kami di seantero jagat (afak) dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga mereka tahu bahwa al-Qur’an benar-benar dari Allah.” Ayat-ayat semacam ini tentunya menyadarkan kita bahwa alam semesta bukanlah realitas independen yang tidak punya kaitan apapun dengan Realitas yang lebih tinggi, sebagai mana diklaim oleh saintis-saintis sekuler, melainkan sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya. Dengan ini diharapkan bahwa pengkajian ilmuwan terhadap alam yang menjadi objek penelitiannya, tidak akan berhenti pada tanda-tanda saja tetapi terus menelusuri sehingga menemukan apa yang ditandai. Karakter ini tentu saja bertentangan dengan karakter sains modern yang justru mengharamkan dibawanya Tuhan dalam penjelasan saintifik. Dengan karakter seperti inilah menurut saya sains Islam dapat mengenal Allah, sang Pencipta, dan memperkuat keimanan kita kepada pencipta alam, bukan sebaliknya, seperti yang terjadi pada para saintis Barat, yang justru meninggalkan Tuhan mereka.

Page 5: Kuliah Filsafat-Prof. Mulyadhi Kartanegara

3. Empiris-plus (1)

Satu lagi karakteristik (ciri khas) sains Islam adalah sifatnya yang empiris-metafisis (atau dalam istilah saya empiris plus--terinspirasi oleh istilah ONH Plus). Dan karakteristik ini bisa dilihat dari tiga aspek: objeknya, sumber ilmunya dan metodenya. Marilah kita mulai dengan yang pertama: objek sains. Seperti dalam sains modern, semua objek fisik-empiris adalah menjadi objek yang sah bagi sains (ilmu-ilmu alam) Islam. Objek itu merentang luas dari langit (al-sama') dan bumi (al-ardh) dan apa yang ada di antara keduanya (wa ma bayna huma). Objek-objek langit, yang masuk ke dalam kajian astrofisik ini dimulai dengan langit pertama (firmamen) yang meliputi semua orbit yang ada di bawahnya, sehingga disebut orbit yang meliputi (al-falak al-muhith), di susul dengan bintang-bintang tetap (al-kawakib al-tsabitah), rasi bintang (al-buruj), beserta wajah dan rumahnya (wujuh wa buyutuha), planet-planet atau bintang-bintang beredar (al-kawakib al-sayyarah), sepert Saturnus, Jupiter, Mars, Venus, Merrkuri dll., termasuk Matahari, dan terakhir adalah bulan, sebagai objek langit paling dekat dengan bumi. Tapi berbeda dengan sains modern yang membatasi dirinya hanya pada bidang-bidang empiris, sains Islam memandang bahwa di balik dunia fisik empiris ini masih ada dunia non-empiris, semisal kerajaan langit (malakut al-samawat) dan dunia ruhani (alam arwah) atau yang biasa kita sebut surga. Selain itu benda-benda langit, yang dipandang oleh sains modern hanya sebagai benda fisik, dipercaya dalam sains Islam memiliki daya-daya spiritual, yang bisa disebut malaikat, akal (intelek) maupun jiwa. Setiap benda partaikular yang ada di langit ini dikatakan, misalnya oleh Ikhwan al-Shafa' memiliki jiwa, yang disebut jiwa partikular (al-nafs al-juz'iyyah), yang memancar dari jiwa alam semesta, atau jiwa universal (al-naf al-kulliyyah), yang pada gililirannya juga memancar dari akal universal -(al-'aql al-kulli), yang ia sendiri merupakan pancaran langsung dari sang Pencipta alam semesta, Allah. Inilah salah satu ciri khas dari sains Islam yanag membedakannya dengan sains modern.

Objek-objek sains dalam perspektif Islam, juga meliputi benda-benda yang ada di antara langit (lebih tepatnya lagi Bulan) dan bumi, dan bisanya masuk ke dalam bidang meteorologi (al-atsar al-'uluwwi), seperti beberapa lapisan bumi (atmosfer), yaitu lapisan pertama yang paling dekat dengan permukaan bumi, disebut lapisan oksigen (falak

Page 6: Kuliah Filsafat-Prof. Mulyadhi Kartanegara

al-nasim), yang dipandang mewakili unsur udara; kenudian, lapisan udara yang dingin sekali (falak zamharir), yang dipandang mewakili unsur air, ketiga yang disebut dengan lapisan ether (falak al-atsir), yang panas sekali dan dipandang mewakili unsur api, dan terakhir lapisan bulan (falak al-qamar), yang menandai batas wilayah langit (astrofisik) dan meteorologis. Selain lapisan-lapisan ini, objek-objek meteorologis lain, seperti awan (beserta formasinya dan jenis-jenisnya), angin (dan macam-macamnya), kilat (pengertian dan kekuatannya), guntur (terbentuk dan sebab dentumannya), hujan dan salju (beserta proses terbentuk dan kejadiannya) tidak luput dari kajian dan perhatian para ilmuwan Muslim. Meskipun, lebih sederhana dari dari teori atmosfer modern, tetapi dilihat dari zamannya, ini adalah sumbangan yang patut kita apresiasi, karena meski dengan istilah yang berbeda, lapisanozon telah menjadi objek kajian mereka. Namun yang menarik adalah, bahwa menurut para ilmuwan Muslim, ketebalan lapisan-lapisan atmosfer ini tidak random, melainkan dibentuk secara proporsional (1: 1 1/3) sebagaimana proporsi yang terdapat dalam instrumen musik (antara dawai-dawai gitar).

Sekarang, marilah kita beralih pada objek-objek yang kita temukan di bumi. Secara tradsional, objek fisik yang dikaji oleh sains Islam ada 7, empat diantaranya merupakan 4 unsur dasar, sering disebut empat pilar (al-arkan al-arba'ah), yaitu tanah, air, udara dan api); kemudian 3 objek lainnya merupakan derifat dari keumpat unsur tadi, yakni (1) benda-benda mineral, seperti batu-batuan (al-ahjar) dan logam-logaman (al-ma'adin), (2) disebut tumbuh-tumbuhan (al-nabat), yang dibahas baik dari sudut fisiologis maupun psikologis, dan yang terakhir (3) adalah hewan-hewan (al-hayawan), yang juga dibahas baik secara fisiologis maupun psikologis. Selanjutnya, hewan dibagi ke dalam dua bagian, hewan secara umum, dan hewan yang berakal (al-haywan al-nathiq), yang disebut manusia. Seperti pada hewan, kajian tentang manusia diarahkan pada tubuh manusia (yang menjadi objek anatomi) dan pada jiwa manusia (sebagai objek psikologi). 

Jadi jelas di sini, bahwa, berbeda dengan sains modern, sains Islam memberi perhatian pada aspek non-fisik dari objek-objek fisik empiris ini. Misalnya, tumbuhan, hewan dan manusia, dikaji bukan hanya dari sudut pandang fisiologis, tapi juga pskologis. Bahkan jiwa manusia

Page 7: Kuliah Filsafat-Prof. Mulyadhi Kartanegara

bukan hanya dibahas sebagai bagian dari ilmu fisika, selagi jiwanya masih ada dalam tubuhnya, tetapi juga dalam bidang metafisika, yaitu eskatologi, ketika jiwa manusia telah meninggalkan badannya. Dan inilah unsur tambahan (plus) dari sains Islam, yang tidak dimiliki oleh sanis modern.

4. Empiris-Plus (2) 

Selain pada objek, karakteristik empiris-plus ini bisa diliaht dari sumber ilmu yang digunakan ilmuwan Muslim dalam upaya mereka membangun sebuah bangunan ilmiah yang holistik. Sebagaimana pada sains modern, dalam sains Islam, sumber ilmu yang digunakan untuk meneliti bidang-bidang fisik-empiris juga adalah indera. Karena benda-benda fisik membutuhkan organ-organ fisik untuk bisa diketahui. Karena itu, lima indera (panca indera) yang telah sama-sama kita ketahui juga tak urung menjadi bahan kajian para ilmuwan Muslim. Banyak teori yang mereka kembangkan mengenai organ-organ fisik yang disebut indera ini, seperti, salah satunya, telah diilustrasikan oleh Ibn Haytsam dalam sebuah maha-karyanya (tujuh jilid) tentang teori penglihatan (direct vision), yang berjudul, al-Manazhir (The Optics of Ibn Hatham). Demikian juga, hampir semua ilmuwan Muslim, termasuk al-Kindi, Ikhwan al-Shafa', Ibn Sina, membahas, dalam karya mereka, teori tentang indera penglihatan (yang berkemampuan untuk mencerap bentuk dan warna), pendengaran (yang bisa menafsirkan gelombang suara menjadi kata yang bermakna) penciuman (yang bisa mempersepsi bermacam-macam aroma) pengecapan (yang bisa mempersepsi berbagai rasa) dan perabaan (yang bisa merasakan dingin panasnya udara dan lembut-kasarnya sebuah benda), beserta proses pencerapannya oleh oragan-organ indera tersebut,--yang insya Allah akan dibahas secara lebih rinci ketika kira berbicara tentang manfaat teoritis sains Islam.

Meskipun begitu, ada dua hal yang menarik yang perlu kita cermati dan apresiasi yang terdapat dalam sains Islam, mungkin tidak kita jumpai dalam sains modern, dan menjadi ciri khas sains Islam. Yang pertama adalah tentang keberadaan indera batin dan kedua tentang siapa pelaku sebenarnya dari penginderaan (sense perception). Mari kita mulai dengan yang pertama: indera batin. Dalam psikologi modern, mungkin kita pernah mendengar istilah imajinasi, memori

Page 8: Kuliah Filsafat-Prof. Mulyadhi Kartanegara

dll., tetapi tidak dijelaskan secara sistematis dan ditunjukkan antar-hubungan mereka. Dalam teori ilmiah Islam, indera-indera batin, yang juga lima jumlahnya (sehingga kita bisa menyebutnya sebagai panca indnera batin) dibahas dengan secara runtut, sesuai dengan fungsinya masing-masing. Tentu saja indera-indera batin ini, sesuai dengan namanya, tidak bersifat fisik, karena itu tidak bisa diamati secara empiris, tetapi disimpulkan secara logis berdasarkan fakta-fakta empiris, dan ini juga menambah jelas karakteristisk sains Islam yang empiris-plus, yakni empiris-logis,-- seperti yang nanti akan dijelaskan lebih lanjut ketika kita bicara metode ilmiah. (1) Indera batin pertama disebut oleh Ibn Sina sebagai fantasia (al-hiss al-musytarak/indera bersama), yang berkemampuan untuk menangkap bentuk sebuah objek fisik secara holistik; (2) retensi (al-khayal) yang bertugas untuk melestarikan bentuk yang dicerap oleh fantasia di atas; (3) imaginasi (al-mutakhayyilah) atau daya imajinasi kompositif, karena kemampuannya untuk menyusun beberapa gambar (image) ke dalam sebuah bentuk yang unik, yang tidak ditemukan padanannya di dunia nyata; (4) estimasi (al-wahm) yang berkemampuan untuk menilai apakah sebuah benda itu bermanfaat atau berbahaya, dan (5) memori (quwwat al-hafizhah) yang tugasnya adalah merekam atau melestarikan apa yang ditangkap oleh daya estimasi, sebagaimana khayal (daya retensi) melestarikan apa yang ditangkap oleh fantasia.

Fitur kedua, yang membuat sains Islam unik, adalah pandangan bahwa pelaku utama persepsi indera, apakah itu indera lahir ataupun batin, bukanlah otak, seperti pandangan psikologi modern, melainkan jiwa (al-nafs). Jadi kalau ditanya apa yang sebenarnya melakukan persepsi (katakanlah penglihatan) suatu benda? Sains modern umumnya mengatkan bahwa penglihatan dilakukan oleh mata, sedangkan dalam psikologi Islam, pelakunya adalah jiwa. Jadi jiwalah yang melihat, tetapi karena yang ingin dilihat adalah benda fisik, maka jiwa membutuhkan organ fisik, berupa mata, karena benda yang fisik hanya akan bisa dipahami melalui organ-organ fisik juga. Tetapi, seperti telah disinggung, pelakunya bukanlah mata, ataupun otak, tetapi jiwa yang bersifat immaterial. Demikian juga ketika jiwa ingin mendengar sesuatu, maka ia membutuhkan organ pendengaran yaitu telinga, dan seterusnya dengan indera-indera yang lain. Jadi terlihat dengan jelas, bahwa sains Islam bersifat empiris-metafisis atau

Page 9: Kuliah Filsafat-Prof. Mulyadhi Kartanegara

empiris-plus, karena tidak terpaku semata-mata pada objek fisik empiris belaka. Semoga bisa dipahami dan bermanfaat.