kubur etnis nias di kepulauan batu dan kaitannya …

19
Kubur Etnis Nias di Kepulauan Batu dan Kaitannya dengan Penguburan di Pulau Nias Bagian Selatan (Dyah Hidayati) 121 KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA DENGAN PENGUBURAN DI PULAU NIAS BAGIAN SELATAN NIAS ETHNIC BURIAL IN BATU ISLAND AND ITS RELATION TO THE SOUTHERN NIAS ISLAND FUNERAL Naskah diterima: Naskah disetujui: 11 Juni 2014 23 Oktober 2014 Dyah Hidayati Balai Arkeologi Medan Jalan Seroja Raya Gang Arkeologi No. 1 medan [email protected] Abstrak Potensi arkeologis di Kepulauan Batu cukup beragam, terkait dengan keberagaman etnis yang mendiami pulau-pulau di wilayah itu. Sehubungan dengan eksistensi etnis Nias di kepulauan Batu, ada dua hal yang menarik untuk dibahas dalam tulisan ini, yaitu bagaimanakah di masa lalu etnis Nias yang mendiami gugusan Kepulauan Batu memberikan perlakuan terhadap orang yang meninggal dunia; dan apakah cara-cara yang dilakukan tersebut memiliki kesamaan dengan cara penguburan yang dikenal di bagian selatan Pulau Nias, sebagai daerah asal etnis Nias di Kepulauan Batu? Penelitian ini merupakan sebuah kegiatan survei melalui metode observasi langsung, yang didukung dengan wawancara. Dalam analisis data digunakan metode komparatif, yaitu membandingkan objek penelitian dengan yang terdapat di bagian selatan Pulau Nias, serta temuan sejenis di wilayah budaya lainnya di Indonesia. Selain itu juga digunakan studi pustaka sebagai penunjang. Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa kubur kuno etnis Nias yang terdapat di Pulau Hayo, Tanah Masa, Sigata, Memong, Marit, dan Biang, yang secara umum dapat menggambarkan bahwa di masa lalu etnis Nias yang bermukim di Kepulauan Batu menerapkan sistem penguburan campuran primer dan sekunder terbuka dengan menggunakan wadah peti dari kayu tanpa proses pengebumian. Cara tersebut ternyata juga memiliki persamaan dengan yang digunakan oleh etnis Nias di Pulau Nias bagian selatan yang diketahui sebagai daerah asal etnis Nias yang bermukim di Kepulauan Batu. Dengan demikian dapat ditarik benang merah bahwa secara umum etnis Nias di Kepulauan Batu masih menerapkan budaya penguburan yang sama dengan budaya penguburan yang dikenal di daerah asalnya. Kata kunci: kubur etnis Nias, penguburan campuran primer dan sekunder terbuka, Kepulauan Batu, Nias bagian selatan Abstract Batu islands are rich for archaeological potentials, relevant to the varied ethnicity. Nias ethnic, one the ethnics inhabiting Batu islands, has drawn several intriguing questions on how they used to treat the dead and what relevance the funeral ceremony rites had with those practiced in Southern Nias where Nias ethnic inhabiting Batu islands originated. This research is a direct observation survey supported by interviews whose data analysis is through library studies and comparative studies by comparing research objects found with those of Nias island and other cultures in Indonesia. Some data acquired in this research, such Nias ancient tombs in Hayo island, Tanah Masa, Sigata, Memong, Marit, and Biang, generally described how Nias ethnic inhabiting Batu islands practiced a mixed open primary and secondary funeral system using wooden coffins without burial. Such funeral system by Nias ethnic in Batu islands was found to bear similarities with that of Southern Nias. Thus, it can be concluded that generally Nias ethnic in Batu islands still practiced the same funeral tradition as the place of origin did. Keyword: Nias stone tomb, open mixed primary and secondary funeral, Batu islands, Southern Nias

Upload: others

Post on 24-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA …

Kubur Etnis Nias di Kepulauan Batu dan Kaitannya dengan Penguburan di Pulau Nias Bagian Selatan (Dyah Hidayati)

121

KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA DENGAN PENGUBURAN DI PULAU NIAS BAGIAN SELATAN

NIAS ETHNIC BURIAL IN BATU ISLAND AND ITS RELATION TO THE

SOUTHERN NIAS ISLAND FUNERAL Naskah diterima: Naskah disetujui: 11 Juni 2014 23 Oktober 2014

Dyah Hidayati Balai Arkeologi Medan

Jalan Seroja Raya Gang Arkeologi No. 1 medan [email protected]

Abstrak

Potensi arkeologis di Kepulauan Batu cukup beragam, terkait dengan keberagaman etnis yang mendiami pulau-pulau di wilayah itu. Sehubungan dengan eksistensi etnis Nias di kepulauan Batu, ada dua hal yang menarik untuk dibahas dalam tulisan ini, yaitu bagaimanakah di masa lalu etnis Nias yang mendiami gugusan Kepulauan Batu memberikan perlakuan terhadap orang yang meninggal dunia; dan apakah cara-cara yang dilakukan tersebut memiliki kesamaan dengan cara penguburan yang dikenal di bagian selatan Pulau Nias, sebagai daerah asal etnis Nias di Kepulauan Batu? Penelitian ini merupakan sebuah kegiatan survei melalui metode observasi langsung, yang didukung dengan wawancara. Dalam analisis data digunakan metode komparatif, yaitu membandingkan objek penelitian dengan yang terdapat di bagian selatan Pulau Nias, serta temuan sejenis di wilayah budaya lainnya di Indonesia. Selain itu juga digunakan studi pustaka sebagai penunjang. Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa kubur kuno etnis Nias yang terdapat di Pulau Hayo, Tanah Masa, Sigata, Memong, Marit, dan Biang, yang secara umum dapat menggambarkan bahwa di masa lalu etnis Nias yang bermukim di Kepulauan Batu menerapkan sistem penguburan campuran primer dan sekunder terbuka dengan menggunakan wadah peti dari kayu tanpa proses pengebumian. Cara tersebut ternyata juga memiliki persamaan dengan yang digunakan oleh etnis Nias di Pulau Nias bagian selatan yang diketahui sebagai daerah asal etnis Nias yang bermukim di Kepulauan Batu. Dengan demikian dapat ditarik benang merah bahwa secara umum etnis Nias di Kepulauan Batu masih menerapkan budaya penguburan yang sama dengan budaya penguburan yang dikenal di daerah asalnya. Kata kunci: kubur etnis Nias, penguburan campuran primer dan sekunder terbuka, Kepulauan Batu, Nias bagian selatan

Abstract

Batu islands are rich for archaeological potentials, relevant to the varied ethnicity. Nias ethnic, one the ethnics inhabiting Batu islands, has drawn several intriguing questions on how they used to treat the dead and what relevance the funeral ceremony rites had with those practiced in Southern Nias where Nias ethnic inhabiting Batu islands originated. This research is a direct observation survey supported by interviews whose data analysis is through library studies and comparative studies by comparing research objects found with those of Nias island and other cultures in Indonesia. Some data acquired in this research, such Nias ancient tombs in Hayo island, Tanah Masa, Sigata, Memong, Marit, and Biang, generally described how Nias ethnic inhabiting Batu islands practiced a mixed open primary and secondary funeral system using wooden coffins without burial. Such funeral system by Nias ethnic in Batu islands was found to bear similarities with that of Southern Nias. Thus, it can be concluded that generally Nias ethnic in Batu islands still practiced the same funeral tradition as the place of origin did. Keyword: Nias stone tomb, open mixed primary and secondary funeral, Batu islands, Southern Nias

Page 2: KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA …

SBA VOL.17 NO.2/2014 Hal 121—139 122

1. Pendahuluan

Kepulauan Batu merupakan

gugusan pulau di wilayah Kabupaten Nias

Selatan, Provinsi Sumatera Utara, yang

secara geografis berbatasan langsung

dengan Pulau Sumatera di sebelah timur,

Pulau Nias (Provinsi Sumatera Utara) di

sebelah utara, Kepulauan Mentawai

(Provinsi Sumatera Barat) di sebelah

selatan, dan Samudera Hindia di sebelah

barat. Sedikitnya terdapat 101 buah pulau

pada gugusan pulau ini, baik yang

berpenghuni maupun tidak (BPS

Kabupaten Nias Selatan, 2014). Secara

administratif pulau-pulau tersebut terbagi

dalam 7 wilayah kecamatan, yaitu

Kecamatan Pulau-pulau Batu, Pulau-pulau

Batu Barat, Pulau-pulau Batu Timur,

Pulau-pulau Batu Utara, Simuk, Tanah

Masa, dan Hibala.

Pulau-pulau dalam gugusan

Kepulauan Batu saat ini dihuni oleh

berbagai etnis, antara lain Nias, Bugis,

Minang, Mandailing, dan Tionghoa.

Kedatangan etnis-etnis tersebut di

Kepulauan Batu masing-masing memiliki

sejarah tersendiri, antara lain terkait

dengan waktu dan proses perpindahan

mereka dari tempat asalnya ke pulau-

pulau tersebut, serta tujuan dari

perpindahan itu.

Nias merupakan salah satu etnis

yang dominan mendiami pulau-pulau

dalam gugusan Kepulauan Batu. Namun

belum ada penelitian mendalam di bidang

kebudayaan yang dilakukan di Kepulauan

Batu, khususnya terkait dengan eksistensi

etnis Nias di wilayah tersebut. Sebaliknya,

budaya etnis Nias yang bermukim di Pulau

Nias (selanjutnya kita sebut sebagai Nias

daratan untuk membedakannya dengan

wilayah Kepulauan Batu) telah cukup

banyak dibahas oleh para peneliti asing,

antara lain E.E.W.G. Schröder,

Rosenberg, Agner Møller, Elio Modigliani,

dan beberapa peneliti lainnya (Härmmerle

2001, 27-29). Di luar negeri bahkan

terdapat sekitar 500 judul buku atau

karangan yang menggambarkan tentang

Nias (Härmmerle 1995, 36). Salah seorang

penulis yang banyak melakukan penelitian

tentang budaya Nias serta menerbitkannya

dalam bentuk buku adalah pastor yang

berasal dari Jerman Barat bernama

Johannes Härmmerle, yang telah

ditugaskan di Nias sejak tahun 1972

hingga sekarang. Sayangnya pembahasan

mengenai budaya Nias yang ada di

wilayah Kepulauan Batu belum banyak

ditemukan dalam tulisan-tulisannya.

Pulau Nias menjadi objek penelitian

yang menarik bagi para peneliti, antara

lain karena memiliki banyak tinggalan yang

terkait dengan tradisi megalitiknya, baik

yang terdapat di areal permukiman

penduduk ataupun pada desa-desa lama

yang telah ditinggalkan oleh masyarakat

pendukungnya. Penguburan menjadi salah

satu bagian penting dalam tradisi tersebut,

baik di Pulau Nias ataupun di Kepulauan

Batu. Di Kepulauan Batu terdapat lokasi-

lokasi kubur yang menarik perhatian,

Page 3: KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA …

Padang Candi Sebagai “Mandala” Di Masa Sriwijaya (Eka Asih P. Taim) 123

antara lain terkait dengan sistem

penguburan yang digunakan serta

persebarannya. Lokasi kubur dimaksud

terdapat hampir di semua pulau yang

dalam sejarahnya menjadi hunian bagi

etnis Nias, antara lain di Pulau Hayo,

Memong, Biang, Tanah Masa, Sigata, dan

Marit. Di pulau-pulau tersebut ditemukan

jejak-jejak kubur yang antara lain berupa

sisa wadah kubur, tulang-belulang dan

tengkorak manusia, maupun benda-benda

lainnya yang diduga merupakan bekal

kubur. Temuan-temuan tersebut

memberikan gambaran mengenai tradisi

yang pernah berlangsung di Kepulauan

Batu pada masa lalu, yang saat ini telah

ditinggalkan oleh masyarakat

pendukungnya.

Penguburan merupakan salah satu

aspek penting dalam sebuah komunitas

atau kelompok masyarakat. Penguburan

terkait erat dengan kehidupan religi dan

sosial suatu kelompok masyarakat. Secara

umum, sistem penguburan dikenal dalam

dua cara yaitu penguburan langsung

(primer) dan penguburan tak langsung

(sekunder), baik menggunakan maupun

tanpa wadah kubur. Sedangkan jenis

wadah kubur yang digunakan dapat dibuat

dari berbagai macam bahan, antara lain

kayu dan batu. Penguburan juga dapat

dilakukan dengan cara menyimpan jasad

di dalam ceruk, gua, batu besar yang

dibuat atau diproses sehingga membentuk

ceruk, dan lain-lain. Di beberapa daerah di

Indonesia, yaitu Seram, Kalimantan Barat,

dan suku Anak Dalam di Jambi dikenal

model penguburan dengan cara

meletakkan jenazah di atas sebuah

pondok atau para-para, yang disertai

dengan bekal kubur. Bekal kubur pada

umumnya merupakan benda-benda yang

digunakan oleh si mati saat masih hidup

(Soejono & Leirissa 2009, 449-461).

Penguburan juga menjadi salah satu

kajian yang sangat penting guna

mempelajari sejarah eksistensi suatu etnis

di wilayah tertentu. Penting untuk diketahui

bahwa etnis Nias di Kepulauan Batu

merupakan kelompok yang melakukan

perpindahan dari Pulau Nias, khususnya di

bagian selatan, pada beberapa generasi

silam. Dengan demikian tentunya antara

etnis Nias di Kepulauan Batu dengan yang

berada di bagian selatan Pulau Nias

memiliki akar kebudayaan yang sama.

Terkait dengan itu, maka masalah yang

diajukan dalam tulisan ini adalah:

- Bagaimanakah sistem penguburan

etnis Nias di Kepulauan Batu?

- Bagaimanakah kaitan antara

sistem penguburan etnis Nias di

Kepulauan Batu dengan yang

diterapkan di bagian selatan Pulau

Nias?

Adapun tujuan dari penelitian ini

tentunya adalah menjawab permasalahan

di atas, yaitu mengetahui sistem

penguburan etnis Nias di Kepulauan Batu,

serta kaitannya dengan sistem

penguburan yang diterapkan oleh etnis

Nias yang bermukim di bagian selatan

Page 4: KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA …

SBA VOL.17 NO.2/2014 Hal 121—139 124

Pulau Nias. Secara material dan

kewilayahan, ruang lingkup penelitian ini

dibatasi pada objek berupa kubur etnis

Nias yang terdapat di Kepulauan Batu,

tanpa membatasi di wilayah kecamatan

apa sajakah objek-objek tersebut berada.

Kubur merupakan suatu hasil

perilaku manusia masa lampau yang

mencakup aspek gagasan, sosial, dan

higenis. Bukti-bukti arkeologis

menunjukkan adanya jasad yang

dikuburkan dalam wadah dari batu (seperti

sarkofagus, kalamba, waruga, dan lain-

lain), kayu (keranda), tanah liat

(tempayan), logam (nekara), dan ada pula

yang dikuburkan di dalam liang lahat

dengan memberikan tanda khusus di

permukaan tanah (seperti batu tegak dan

nisan). Cara-cara penguburan dibedakan

atas kubur terbuka (exposure) tanpa

ditanam atau ditimbun, kubur

pengebumian (inhumasi) dengan ataupun

tanpa menggunakan wadah yang ditanam,

dan penguburan di dalam ruangan

(alamiah ataupun buatan manusia, seperti

gua, ceruk yang dibuat di dinding tebing,

dan lain-lain). Kubur juga dibedakan

menjadi kubur primer (langsung dikubur),

sekunder (hanya beberapa bagian tulang

saja yang dikubur), serta campuran antara

primer dan sekunder terbuka (exposed

deposition) (Simanjuntak dkk. 1999, 191).

Data kubur secara hirarki dapat

terdiri dari atribut sisa tulang atau rangka,

artefak, tipe, bagian himpunan, himpunan,

dan budaya. Hubungan kontekstual antara

si mati dengan temuan serta (misalnya

bekal kubur) diketahui dengan mengamati

matriks, keletakan dan proses transformasi

(Simanjuntak dkk. 1999, 190).

Tahap pengumpulan data pada

penelitian ini menggunakan metode

observasi atau pengamatan langsung

terhadap objek beserta lingkungannya.

Observasi dilakukan terhadap lokasi-lokasi

kubur etnis Nias di beberapa pulau yang

pada umumnya menjadi bagian dari suatu

bentuk permukiman etnis Nias di

Kepulauan Batu. Guna mendukung hasil

dari kegiatan observasi, dilakukan juga

metode wawancara. Wawancara

diperlukan guna menjaring data yang

berkaitan dengan latar belakang

keberadaan kubur-kubur tersebut,

termasuk mitos-mitos yang masih beredar

di kalangan masyarakat setempat. Oleh

sebab itu informan yang dipilih adalah

masyarakat atau tokoh masyarakat yang

memiliki pengetahuan terhadap sejarah

dan budaya etnis Nias yang diwariskan

secara turun-temurun di daerahnya,

mengingat bahwa saat ini secara total

masyarakat Nias di Kepulauan Batu telah

meninggalkan cara penguburan tersebut.

Sebagai instrumen penunjang juga

dilakukan pengumpulan data sekunder

melalui studi pustaka.

Tahap analisis data terhadap

satuan komponen analisis yang terdiri dari

sisa rangka, bekal kubur, dan bangunan

atau susunan konstruksi kubur, dilakukan

melalui analisis morfologi (bentuk) dan

Page 5: KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA …

Padang Candi Sebagai “Mandala” Di Masa Sriwijaya (Eka Asih P. Taim) 125

kontekstual. Pendekatan ini digunakan

mengingat bahwa sebuah objek arkeologis

tidak akan pernah dapat berdiri sendiri,

namun selalu memiliki konteks baik

dengan objek-objek lain di sekitarnya

maupun dengan lingkungannya. Metode

komparatif digunakan dengan tujuan

mendapatkan perbandingan antara kubur-

kubur yang terdapat di Kepulauan Batu

dengan yang terdapat di Nias daratan

khususnya di bagian selatan, sehingga

dapat ditemukan kaitan antara satu

dengan lainnya. Hal itu dilakukan karena di

masa lampau telah terjadi proses

perpindahan orang-orang Nias yang

berasal dari Pulau Nias bagian selatan

(daerah di sekitar Teluk Dalam) menuju

pulau-pulau di Kepulauan Batu dengan

membawa serta budaya aslinya. Untuk

lebih mempertajam analisis, studi

komparatif juga dilakukan terhadap cara

penguburan sejenis di wilayah budaya

lainnya di Indonesia.

2. Hasil

Sebuah lokasi kubur dapat

menunjukkan indikasi mengenai

keberadaan sekelompok orang atau lebih

yang telah terikat dalam sebuah organisasi

kemasyarakatan, dan telah bermukim di

suatu tempat baik secara menetap

ataupun dalam jangka waktu tertentu.

Survei arkeologi di Kepulauan Batu

menghasilkan data yang menarik

mengenai cara penguburan etnis Nias di

masa lalu. Data-data kubur tersebut

memiliki konteks yang kuat dengan

keberadaan permukiman lama yang

ditandai dengan adanya batu-batu megalit

yang membentuk pola-pola tertentu yang

khas. Kubur etnis Nias yang masih dapat

disaksikan jejak-jejaknya hingga saat ini

antara lain terdapat di Pulau Hayo, Tanah

Masa, Sigata, Memong, Marit, dan Biang.

Hanya saja tidak semua kubur di pulau-

pulau tersebut ditemukan dalam kondisi

yang cukup representatif untuk dapat

ditelusuri kembali dengan lebih rinci.

Sebagian besar hanya menyisakan sedikit

saja tanda-tanda sebagai sebuah lokasi

kubur.

Beberapa lokasi kubur etnis Nias

yang masih menunjukkan jejak-jejak yang

cukup representatif di antaranya adalah

yang terdapat di Pulau Hayo (Desa Hayo),

Memong, dan Biang. Melalui hasil

pengamatan di beberapa lokasi kubur

etnis Nias, secara umum dapat

digambarkan bahwa lokasi kubur tersebut

berupa sebidang lahan yang berlokasi di

luar areal permukiman penduduk dengan

jarak kurang dari 1 km. Umumnya lokasi

kubur tersebut terletak tepat di tepi pantai

atau bibir tebing karang yang curam.

Masyarakat memiliki sebutan yang

berbeda untuk setiap lokasi kubur di pulau-

pulau tersebut. Kubur di Pulau Hayo oleh

masyarakat setempat disebut sebagai

kuburan Sogawugawu yang artinya adalah

pasir. Tidak diketahui benar mengapa

masyarakat memberikan sebutan itu,

namun kemungkinan terkait dengan lokasi

Page 6: KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA …

SBA VOL.17 NO.2/2014 Hal 121—139 126

kuburan yang berada di pantai berpasir

seluas ± 400 m². Lokasi kubur yang

berada di sebuah pulau karang kecil yang

terpisah dengan Pulau Memong sejauh ±

20 m, oleh masyarakat yang bermukim di

Pulau Memong disebut arregatela yang

artinya adalah lokasi kuburan manusia.

Desa Ehobaluta, Pulau Tanah Masa, juga

memiliki lokasi kubur etnis Nias yang

dikenal dengan sebutan Tanö Soyo yang

artinya adalah tanah merah. Belum

diketahui alasan mengapa lokasi kubur ini

dinamai Tanö Soyo, sedangkan lokasi

tersebut merupakan areal pantai berpasir

putih. Nama-nama tersebut menunjukkan

bahwa di Kepulauan Batu tidak dikenal

sebutan khusus untuk lokasi yang

digunakan oleh etnis Nias untuk mengubur

warganya. Kemungkinan nama-nama

tersebut hanya merupakan sebutan lokal

pada masing-masing pulau yang

disesuaikan dengan kondisi lingkungan

ataupun hal-hal lain yang terkait dengan

kubur itu sendiri.

Selain keletakannya yang terpisah

dari permukiman, pola umum yang terlihat

dari lokasi-lokasi kubur etnis Nias antara

lain adanya pemanfaatan batu karang

serta tumbuhnya pohon-pohon besar yang

rindang serta berakar kuat. Lokasi kubur di

Pulau Hayo, Biang, Tanah Masa, dan

Sigata masih menyisakan suatu konstruksi

berupa batu-batu karang yang disusun rapi

dalam pola persegi panjang. Batu-batu

karang tersebut disusun tanpa

menggunakan pengikat apapun sehingga

relatif mudah runtuh. Itulah sebabnya saat

ini hanya kubur di Pulau Hayo yang masih

memberikan gambaran relatif utuh

mengenai konstruksi batu karang tersebut.

Beberapa susunan batu karang setinggi ±

50-60 cm di lokasi kubur pulau Hayo

masih terlihat utuh, namun sebagian juga

telah mulai runtuh. Susunan batu karang di

Pulau Sigata juga masih tampak utuh,

namun sepertinya telah ada upaya untuk

merekonstruksinya kembali setelah

sebelumnya mengalami keruntuhan.

Berbeda dengan yang terdapat di pulau

Hayo dan Sigata, di Pulau Biang dan

Tanah Masa batu-batu karang yang

dahulu tersusun rapi kini nyaris seluruhnya

telah berserakan tanpa dapat diketahui

lagi pola susunannya.

Dahulu di atas tumpukan batu

karang tersebutlah diletakkan peti kubur

yang terbuat dari kayu. Peti yang berisi

jenazah diletakkan begitu saja di atas

susunan batu karang tanpa dilakukan

proses pengebumian atau menguburnya di

dalam tanah. Sisa-sisa tengkorak dan

tulang-belulang manusia tampak

berserakan di atas susunan batu karang,

bersatu dengan sisa-sisa peti kubur kayu.

Walaupun demikian tidak semua lokasi

kubur menunjukkan adanya konstruksi

batu karang. Konstruksi batu karang

umumnya ditemukan pada lokasi kubur

yang terletak di dataran yang dianggap

terlalu rendah, seperti pantai. Sedangkan

pada lokasi-lokasi kubur yang

memanfaatkan bentang lahan yang cukup

Page 7: KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA …

Padang Candi Sebagai “Mandala” Di Masa Sriwijaya (Eka Asih P. Taim) 127

tinggi seperti tebing karang yang curam di

Pulau Memong, Marit, dan Biang, atau di

pulau karang kecil di dekat Pulau

Memong, tampaknya tidak ada upaya

untuk membuat susunan batu karang

tersebut. Peti kubur hanya diletakkan

begitu saja di permukaan tanah di bawah

naungan vegetasi pantai yang rimbun dan

berakar kuat.

Lokasi kubur etnis Nias di Pulau

Memong masih menyisakan peti kubur

kayu yang relatif utuh sehingga dapat

diketahui bentuk, bahan, serta

orientasinya. Umumnya peti kubur kayu

dibuat dari jenis kayu keras yang tumbuh

di hutan Pulau Tanah Masa, Tanah Bala,

dan Pini di kepulauan Batu, yang oleh

masyarakat disebut kayu rasak, kafini, dan

mosiholi. Jenis-jenis kayu tersebut

merupakan jenis kayu berkualitas

sehingga peti kubur yang dibuat relatif

tahan terhadap terpaan cuaca yang

ekstrim di Kepulauan Batu.

Baik dari peti kubur kayu yang

masih ditemukan utuh maupun yang telah

rusak di lokasi kubur Pulau Memong,

Biang, Hayo, dan Marit, tampak adanya

kesamaan bentuk, yaitu peti berbentuk

dasar memanjang menyerupai perahu

berukuran panjang ± 200 cm. Bagian

depan peti dilengkapi dengan ornamen

berbentuk kepala lasara1 yang disimbolkan

sebagai haluan, sedangkan di bagian

belakangnya dipahatkan bentuk ekornya

yang disimbolkan sebagai buritan. Model

tersebut tampaknya merupakan bentuk

baku di wilayah Kepulauan Batu, karena

tidak ditemukan variasi lain dari bentuk

peti kubur kayu di lokasi-lokasi kubur yang

telah disurvei.

Beberapa peti kubur kayu yang

ditemukan relatif utuh di Pulau Memong

dapat menunjukkan orientasi peletakan

jenazah yang mengarah ke laut. Peti-peti

tersebut tampak disusun berderet dengan

bagian berpahatkan kepala lasara

mengarah ke laut. Sebagai suatu wilayah

kepulauan yang dikelilingi lautan, maka

konsep laut sebagai sumber kehidupan

dapat difahami. Selain kubur yang

berorientasi ke laut, desa-desa etnis Nias

di Kepulauan Batu juga menghadap ke

arah laut. Masyarakat Kepulauan Batu

pada umumnya bermatapencaharian

sebagai nelayan, dan mengandalkan

hidupnya dari berkah lautan.

1 Makhluk mitologi Nias yang memiliki bentuk menyerupai naga

Gambar 1. Susunan batu karang, sisa tengkorak dan kerangka manusia, serta sisa peti kubur kayu di lokasi kubur etnis Nias di

Pulau Hayo. (Sumber: Balai Arkeologi Medan, 2013)

Page 8: KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA …

SBA VOL.17 NO.2/2014 Hal 121—139 128

Mengenai kebiasaan untuk

menyertakan bekal kubur belum ada

indikasi yang kuat. Namun di beberapa

lokasi kubur seperti di Pulau Biang, Sigata,

dan Memong, ditemukan pecahan-

pecahan keramik asing (Cina dan Eropa)

dengan jumlah temuan yang masih

terbatas. Salah satu yang cukup menonjol

adalah kubur yang terletak di sebuah

pulau karang kecil di dekat Pulau

Memong. Kubur ini saat ini telah

direnovasi dengan membuat lapisan

semen seperti kuburan baru pada

umumnya. Namun hal yang sangat

menarik adalah di lokasi ini masih terdapat

sisa-sisa helaian rambut manusia, tulang-

belulang manusia, rahang babi, pedupaan

tembikar, serta pecahan piring keramik

Cina dan Eropa yang berada dalam satu

konteks.

Kubur etnis Nias tidak pernah

berdiri sendiri. Keberadaan kubur tersebut

sekaligus menandai keberadaan sebuah

desa lama etnis Nias baik yang masih

dihuni hingga sekarang maupun yang

telah ditinggalkan karena perpindahan

lokasi permukiman ke tempat yang

dianggap lebih strategis. Desa lama etnis

Nias di Kepulauan Batu dicirikan dengan

keberadaan batu-batu megalit seperti yang

masih dapat ditemukan di Hayo, Memong,

Biang, Tanah Masa, dan Sigata. Selain

Gambar 3. Sisa tulang-belulang dan rambut manusia, rahang babi, pedupaan tembikar, serta pecahan keramik Cina dan Eropa di

lokasi kubur Pulau Memong; (Sumber: Balai Arkeologi Medan, 2014)

Gambar 4. Pecahan keramik Cina di antara sisa tulang-belulang manusia di atas

susunan batu karang pada lokasi kubur di Pulau Biang.

(Sumber: Balai Arkeologi Medan, 2014)

Gambar 2. Peti kubur kayu yang relatif utuh di lokasi kubur di Pulau Memong. Tampak

bagian kepala peti yang merupakan gambaran kepala lasara.

(Sumber: Balai Arkeologi Medan, 2014)

Page 9: KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA …

Padang Candi Sebagai “Mandala” Di Masa Sriwijaya (Eka Asih P. Taim) 129

batu megalit yang antara lain berbentuk

batu datar, susunan pagar batu dan

gerbang desa, di beberapa desa masih

terdapat tinggalan berupa kursi batu (di

Pulau Sigata), patung batu (di Pulau

Biang), dan rumah adat bertipe Nias

Selatan (di Pulau Sigata dan Tanah

Masa). Keberadaan rumah adat bertipe

Nias Selatan memperkuat bukti bahwa

etnis Nias yang bermukim di Kepulauan

Batu berasal dari bagian selatan Pulau

Nias. Berkenaan dengan itu, Yosafat F.

Dachi (2012, 14) mengemukakan bahwa

banua atau desa, termasuk rumah

adatnya, terbagi dalam tipe Nias Utara dan

Nias Selatan. Tipe Nias Selatan dapat

ditemukan di Pulau Nias bagian selatan,

sebagian Pulau Nias bagian barat,

sebagian Pulau Nias bagian tengah, serta

di Kepulauan Batu.

Beberapa batu datar yang

ditemukan di Kepulauan Batu memiliki

pahatan ornamen berpola lingkaran dan

tapak kaki, dan berfungsi sebagai batu

peringatan bagi orang yang telah

meninggal dunia. Ornamen seperti itu juga

ditemukan pada batu-batu megalit di Nias

Selatan, antara lain yang terdapat di Desa

Hilisimaetanö (Hidayati 2013, 6).

3. Pembahasan

Kajian mengenai kubur etnis Nias

di kepulauan Batu tidak dapat dipisahkan

dengan konteks permukiman, karena

keberadaan kubur menunjukkan adanya

sekelompok manusia yang bermukim tak

jauh dari lokasi tersebut. Permukiman

yang telah lama berdiri pada umumnya

berada di lokasi yang lebih ke pedalaman,

dan kemudian ditinggalkan karena mereka

membangun permukiman baru pada lokasi

yang lebih dekat dengan pantai atau di

tempat yang lebih terbuka. Batu-batu

megalit menjadi bagian penting dari

identitas etnis Nias, yang dapat

menunjukkan eksistensinya dari masa ke

masa. Demikian pula dengan lokasi

kuburnya. Hampir di setiap perkampungan

etnis Nias di Kepulauan Batu terdapat

lokasi kubur yang saat ini telah

ditinggalkan, atau dengan kata lain tidak

lagi digunakan untuk menguburkan orang-

orang yang meninggal dunia di masa kini.

Kuburan-kuburan tersebut

merupakan cerminan dari kepercayaan

kuno yang dianut oleh etnis Nias di masa

lalu sebelum masuknya ajaran Kristiani

melalui kedatangan misionaris-misionaris

Barat ke Pulau Nias dan sekitarnya.

Adapun Pulau Nias sudah mulai tersentuh

oleh pengkristenan sejak pertengahan

tahun 1800-an, yaitu saat Missionaris

Denninger dan VEM memulai misinya di

tahun 1865 di Gunung Sitoli. Datangnya

ajaran Kristen membawa Nias pada

periode konfrontasi, yaitu perlawanan

antara kepercayaan kuno masyarakat Nias

dengan keyakinan Kristen (Härmmerle

1995, 44-45). Sedangkan di Kepulauan

Batu kedatangan Kristen dapat dikatakan

lebih lambat. Di Pulau Biang misalnya,

diinformasikan bahwa Kristen baru masuk

Page 10: KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA …

SBA VOL.17 NO.2/2014 Hal 121—139 130

sekitar 60-an tahun yang lalu atau sekitar

tahun 1950-an.2 Demikian pula di pulau-

pulau lainnya yang baru mengenal Kristen

pada tahun 1960-an hingga 1970-an.3

Pengaruh masuknya ajaran Kristen

terhadap perubahan budaya etnis Nias

secara umum dapat dilihat dari data kubur

etnis Nias yang telah diperoleh. Di

Kepulauan Batu yang kedatangan

pengaruh Kristen dapat dikatakan relatif

lambat, dapat disaksikan bahwa tradisi

menangani jenazah dengan cara kuno

masih dilakukan hingga sekitar tahun

1960-an atau bahkan awal 1970-an. Dari

jejak-jejak yang masih dapat dijajagi dalam

penelitian ini, terdapat beberapa aspek

yang dapat dicatat mengenai sistem

penguburan yang diberlakukan oleh etnis

Nias yang bermukim di Kepulauan Batu,

yaitu pemilihan lokasi kubur, penggunaan

wadah kubur, orientasi kubur, penggunaan

bekal kubur, dan cara penguburan.

1) Pemilihan lokasi kubur

Etnis Nias di Kepulauan Batu memilih

suatu lokasi khusus untuk pekuburan

yang relatif berjarak dengan

permukiman. Pemisahan antara lokasi

permukiman dengan pekuburan

merupakan hal yang umum dilakukan.

Seperti misalnya pada budaya

masyarakat Pakpak di Sumatera

Utara yang dengan jelas menentukan

batas-batas tanah pekuburannya,

2 Diinformasikan oleh Rakhane Duha, Kepala

Desa Hiligo’o (Limo Biang), Pulau Biang 3 Diinformasikan oleh Saölö Bidaya dari Pulau

Hayo dan Mardin Bu’ulölö, Kepala Desa Memong, Pulau Memong

yaitu di hulu dan di hilir. Daerah hulu

merupakan lokasi pekuburan umum,

sedangkan daerah hilir dikhususkan

bagi orang-orang yang meninggal

dunia secara mendadak. Dan jika ada

yang berkeinginan untuk

menguburkan jenazah keluarganya di

tempat lain yang bukan merupakan

lokasi pekuburan umum, maka

diwajibkan untuk membayar adat

(Angkat dkk. 1993, 63).

Etnis Nias di Kepulauan Batu juga

memilih suatu lokasi pekuburan yang

dianggap strategis, atau

merekayasanya untuk membuat suatu

lokasi menjadi seperti yang diinginkan.

Berdasarkan pengamatan, lokasi yang

dipilih adalah sebuah dataran tinggi

seperti tebing karang atau pulau

karang yang relatif sulit dijangkau dan

terlindung. Ataupun jika dataran yang

tersedia terlalu rendah (berada di bibir

pantai), lokasi tersebut akan

direkayasa sedemikian rupa dengan

jalan membuat susunan batu karang

berpola tertentu sehingga

kedudukannya menjadi lebih tinggi

dari permukaan aslinya, sebagai alas

atau dudukan untuk meletakkan peti

kubur kayu.

Bentang lahan di pulau-pulau kecil di

Kepulauan Batu tentunya relatif lebih

datar dan jarang memiliki kontur

perbukitan. Namun adakalanya

terdapat tebing-tebing karang yang

dapat dimanfaatkan sebagai lokasi

Page 11: KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA …

Padang Candi Sebagai “Mandala” Di Masa Sriwijaya (Eka Asih P. Taim) 131

pekuburan. Di lokasi kubur ini pada

umumnya tumbuh jenis-jenis vegetasi

pantai yang berukuran besar dan

pertumbuhan akarnya kuat sehingga

dapat berfungsi sebagai pelindung,

baik dari terpaan ombak maupun

binatang buas. Tumbuhnya

pepohonan ini menjadi salah satu ciri

keberadaan sebuah lokasi kubur etnis

Nias di Kepulauan Batu.

Sebagai bahan pembanding, di Tana

Toraja, lokasi pekuburan atau yang

biasa disebut liang dianggap sebagai

tempat bersemayamnya roh leluhur.

Liang dibuat sedemikian rupa agar

arwah leluhur merasa seperti

menempati rumahnya sendiri saat

masih hidup. Oleh sebab itu dalam

tradisi lisannya orang Toraja

menyebut liang sebagai banua

tangmerambu (rumah tak berasap)

atau banua to membali puang (rumah

para arwah leluhur). Liang terletak tak

jauh dari permukiman, terutama pada

lokasi-lokasi yang tinggi seperti bukit

atau sengaja ditinggikan sesuai

dengan ketentuan adat, atau

diletakkan di dekat sawah dan kebun.

Pemilihan lokasi tersebut bertujuan

untuk mempermudah arwah leluhur

dalam tugasnya mengawasi aktifitas

keturunan-keturunannya yang masih

hidup di dunia serta melimpahkan

kesejahteraan dan keselamatan

kepada manusia (Duli 2011,193-194).

Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa manusia selalu berupaya untuk

memilih tempat yang paling tepat

untuk lokasi kuburnya, baik terkait

dengan alasan sakral maupun profan.

Alasan sakral adalah hal-hal yang

terkait dengan konsep-konsep hidup

yang dianut, sedangkan alasan profan

antara lain berkaitan dengan aspek

keamanan.

2) Penggunaan wadah kubur

Etnis Nias di Kepulauan Batu

menggunakan peti kubur yang terbuat

dari kayu untuk meletakkan jenazah.

Peti tersebut memiliki bentuk yang

seragam, yaitu bentuk dasar

memanjang menyerupai perahu, serta

dilengkapi dengan pahatan berbentuk

kepala dan ekor lasara. Bentuk

menyerupai perahu secara umum

dapat dibandingkan dengan bentuk

sarkofagus yang banyak ditemukan di

Indonesia, seperti di Sumatera Utara

dan Bali. Di Nias daratan khususnya

di bagian selatan (Teluk Dalam), peti

kubur baik yang terbuat dari kayu

maupun batu dibuat dengan hiasan

berbentuk lasara sehingga disebut

sebagai hasi nifolasara. Peti kubur ini

juga dapat dikatakan memiliki bentuk

menyerupai anjungan perahu naga

(Yayasan Pusaka Nias 2011, 117).

Sarkofagus secara simbolis dianggap

merupakan pengejawantahan dari

perahu arwah, yaitu kendaraan yang

akan mengantarkan arwah menuju

Page 12: KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA …

SBA VOL.17 NO.2/2014 Hal 121—139 132

dunianya yang baru (Soejono &

Leirissa 2009). Di Tana Toraja, peti

kubur memiliki bermacam-macam

bentuk yang secara umum juga

mengacu pada simbol kendaraan

arwah. Erong (peti kubur) berbentuk

perahu di Tana Toraja dilatarbelakangi

oleh pemikiran bahwa nenek moyang

mereka datang untuk pertama kalinya

menggunakan perahu, sehingga

perjalanan selanjutnya menuju dunia

arwah juga dilakukan menggunakan

perahu (Duli dkk. 2011, 30).

Bentuk menyerupai perahu ini

mengingatkan ke suatu masa di saat

perahu berperan penting dalam

perjalanan sekelompok orang menuju

tempat-tempat yang baru hingga

mereka menemukan tempat yang

dianggap sesuai untuk hidup menetap

(Soejono & Leirissa 2009, 427).

W.J.A. Willems (1938, 10), seperti

yang dikutip oleh R.P. Soejono (2008,

73), berpendapat bahwa orang-orang

yang membuat sarkofagus pada

khususnya serta benda-benda megalit

yang tersebar di Kepulauan Indonesia

pada umumnya, adalah kaum

pendatang yang menyebar melalui

jalur lautan. Dalam cerita masyarakat

yang hidup di daerah-daerah yang

memiliki kebudayaan megalitik,

perahu atau kapal seringkali dijadikan

sebagai unsur cerita utama.

Keyakinan akan adanya dunia lain

yang dipercayai sebagai dunia arwah

membawa kepada keyakinan akan

adanya proses perjalanan roh ke alam

arwah yang membutuhkan suatu

sarana transportasi (Wiradnyana

2011, 257). Dan wahana tersebut

dalam hal ini berupa peti kubur. Peti

kubur berbentuk perahu ataupun yang

dihubungkan dengan sifat perahu

dilandasi oleh suatu kepercayaan

bahwa perjalanan harus ditempuh

melalui laut untuk mencapai “pulau

arwah”, yang berkaitan dengan

ingatan akan tempat suatu kelompok

masyarakat berasal, yaitu pulau-pulau

lain yang berada di seberang lautan

(Soejono 2008, 74).

3) Orientasi kubur

Peti kubur di Kepulauan Batu

diletakkan dengan orientasi kepala

lasara menghadap ke laut, sehingga

jenazah akan menghadap ke arah

sebaliknya. Orientasi tersebut

diperoleh dari hasil pengamatan

terhadap sisa-sisa peti kubur yang

masih dapat diamati keletakannya.

Dengan posisi peti kubur yang

menghadap ke arah laut, seakan-akan

peti kubur sebagai simbol perahu

arwah telah siap mengantarkan arwah

untuk mengarungi lautan menuju

dunianya yang baru. Peletakan

jenazah dengan orientasi yang

dimaksudkan bertujuan agar si mati

tidak tersesat dalam perjalanan

menuju ke alam arwah (Soejono &

Leirissa 2009, 247).

Page 13: KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA …

Padang Candi Sebagai “Mandala” Di Masa Sriwijaya (Eka Asih P. Taim) 133

Lautan sebagai orientasi penguburan

tentunya terkait dengan latar belakang

kehidupan masyarakat Kepulauan

Batu yang mengandalkan berkah laut

dalam kesehariannya, serta

kepercayaan akan asal-muasal

mereka yang bermula dari suatu

tempat di seberang lautan.

4) Penggunaan bekal kubur

Beberapa keping keramik asing (Cina

dan Eropa), yang ditemukan

sekonteks dengan tulang-belulang

dan tengkorak manusia, juga benda-

benda lainnya seperti mangkuk dupa

dari tembikar serta rahang babi

menunjukkan adanya kebiasaan

mengikutsertakan benda-benda

tertentu sebagai bekal kubur.

Ataupun, benda-benda tersebut

merupakan sisa dari prosesi atau

upacara kematian yang

diselenggarakan saat terjadinya

peristiwa kematian, atau sesudahnya.

Hal itu menunjukkan bahwa si mati

tetap dimuliakan di saat, ataupun

sesudah kematiannya.

Di Nias babi dianggap sebagai salah

satu simbol harga diri (Sonjaya 2008,

70). Babi digunakan sebagai hewan

yang disembelih dalam pesta-pesta

adat di Nias, termasuk pesta

kematian.

Pecahan keramik asing yang

ditemukan di lokasi kubur etnis Nias di

Kepulauan Batu pada umumnya

berbentuk piring. Keramik asing

diketahui sebagai salah satu jenis

komoditi perdagangan internasional di

Nusantara sehingga dapat dikatakan

memiliki nilai tersendiri. Di Nias piring

keramik asing selain digunakan

sebagai wadah makanan juga

digunakan sebagai tanda

penghormatan bagi bangsawan yang

meninggal dunia sebagai bekal kubur,

dengan cara diletakkan bersama

dengan jenazah dalam liang atau peti

kubur. Untuk menghindari pemakaian

kembali sebagai wadah makanan,

maka piring keramik tersebut akan

dipecahkan sedikit pada bagian bibir

(Yayasan Pusaka Nias 2011, 63).

Penyertaan bekal kubur merupakan

gejala yang universal dan telah

ditemukan sejak periode berburu

tingkat sederhana. Keyakinan akan

adanya dunia lain setelah kematian

menyebabkan timbulnya perilaku

untuk menyertakan bekal kubur untuk

yang meninggal dunia dengan tujuan

agar si mati dapat melangsungkan

kehidupan barunya di alam arwah.

Jika di masa hidup orang yang

meninggal memiliki kedudukan

khusus, maka kadang-kadang jenazah

dikuburkan lengkap dengan pakaian

kebesarannya untuk mempertahankan

derajatnya seperti semasa hidup di

dunia (Soejono 2008, 83).

Dalam penelitian-penelitian situs

kubur di Indonesia, bekal kubur lazim

ditemukan. Di Tana Toraja misalnya,

Page 14: KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA …

SBA VOL.17 NO.2/2014 Hal 121—139 134

terdapat kebiasaan untuk

menyertakan kandeang dulang atau

wadah makanan di samping barang-

barang yang bersifat individual lainnya

di dalam erong. Kandeang dulang

selain berfungsi sekuler sebagai

wadah makanan, bagi orang Toraja

juga memiliki fungsi sosial yang tinggi,

karena bentuk kandeang dulang

menunjukkan strata sosial seseorang

dalam masyarakat. Penyertaan

benda-benda tersebut terkait dengan

tujuan untuk mempertahankan status

sosial si mati seperti saat masih hidup

di dunia, atau sebagai simbol

kestabilan status (Nur 2011, 174).

5) Cara penguburan

Hal yang menarik pada kubur etnis

Nias di Kepulauan Batu adalah bahwa

sisa-sisa peti kubur yang ditemukan

seluruhnya terdapat di permukaan

tanah. Artinya bahwa peti kubur

tersebut tidak pernah ditanam atau

dikuburkan di dalam tanah. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa peti

kubur tersebut hanya diletakkan pada

suatu permukaan, yaitu susunan batu

karang yang telah ditata sedemikian

rupa di lokasi kubur. Hal itu dikuatkan

pula oleh informasi masyarakat

setempat. Cara penguburan seperti ini

merupakan campuran antara kubur

primer dan sekunder terbuka (exposed

deposition) yang hanya memerlukan

satu tahapan proses saja dengan jalan

meletakkan jenazah di dalam peti,

tanpa proses pengebumian lebih lanjut

ataupun mengumpulkan kembali

tulang-belulang yang tersisa

(Simanjuntak dkk. 1999, 191). Berbeda

dengan yang diterapkan di Tana

Toraja, erong digunakan sebagai

wadah kubur komunal yang dapat

menampung tulang-belulang hingga 10

individu (AKW 2011, 141). Dengan

demikian erong berfungsi sebagai

wadah dalam penguburan sekunder.

Dari aspek-aspek di atas

diasumsikan bahwa etnis Nias yang

bermukim di Kepulauan Batu dahulu

memberlakukan jenazah dengan cara

meletakkannya di dalam peti jenazah

berbentuk tertentu yang secara simbolis

merepresentasikan tujuan dari prosesi

tersebut. Bentuk khas dari peti kubur yang

ditemukan di Kepulauan Batu mengarah

pada simbol perjalanan arwah menuju

alamnya yang baru dengan terlebih dahulu

mengarungi lautan luas. Hal itu terkait juga

dengan lingkungan kehidupan mereka, di

mana laut dianggap sebagai sumber

penghidupan. Untuk tujuan itulah maka

keletakan peti kubur dianggap penting,

sehingga peti kubur tersebut harus

berorientasi ke arah laut, dalam posisi siap

berlayar.

Etnis Nias di Kepulauan Batu

tampaknya tidak mengenal pengebumian,

sehingga peti kubur hanya diletakkan pada

suatu lokasi yang terlindung, yaitu di

tebing karang, pulau karang, ataupun di

atas batu-batu karang yang disusun

Page 15: KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA …

Padang Candi Sebagai “Mandala” Di Masa Sriwijaya (Eka Asih P. Taim) 135

meninggi jika lokasi kubur terlalu landai.

Hal itu dapat dilihat dari jejak-jejak kubur

yang masih tersisa, juga berdasarkan

informasi masyarakat yang masih sempat

menyaksikan proses penanganan jenazah

dengan cara-cara lama sebelum

masuknya Kristen. Selain itu vegetasi

pantai yang tumbuh besar dan berakar

kuat juga berfungsi sebagai pelindung dari

hempasan ombak, gangguan binatang liar,

serta terpaan cuaca yang ekstrim.

Bekal kubur dimaksudkan untuk

memberikan bekal yang cukup kepada

arwah dalam mengarungi perjalanannya

menuju alam arwah. Demikian pula

dengan prosesi tertentu yang menyertai

penanganan terhadap suatu peristiwa

kematian, seperti penyembelihan binatang

kurban (umumnya berupa babi), akan

melanggengkan status sosial si mati di

dunia nyata, sekaligus membekalinya di

dunia arwah.

Permasalahan kedua adalah kaitan

antara sistem penguburan etnis Nias di

Kepulauan Batu dengan yang diterapkan

di bagian selatan Pulau Nias. Aspek

penting yang harus diperhatikan adalah

bahwa etnis Nias yang bermukim di

Kepulauan Batu merupakan orang-orang

yang berasal dari bagian selatan Pulau

Nias yang berlayar ke pulau-pulau di

sekitarnya dengan tujuan tertentu. Tujuan

yang paling umum adalah melarikan diri

dari konflik ataupun berupaya mencari

penghidupan baru yang lebih baik.

Mengenai tujuan perpindahan tersebut

saat ini tidak menjadi fokus pembahasan

sehingga dapat diabaikan.

Perlu digarisbawahi bahwa orang-

orang yang melakukan perpindahan atau

migrasi dari suatu daerah ke daerah lain

akan tetap membawa budaya aslinya

sebelum mereka menyesuaikan diri

dengan budaya yang berlaku di tempat

yang baru. Maka dapat dikatakan bahwa

etnis Nias yang bermukim di Kepulauan

Batu hidup dengan budaya aslinya, namun

tetap dengan penyesuaian-penyesuaian

tertentu terhadap lingkungan barunya.

Budaya asli ini akan tetap bertahan

terutama apabila di tempat yang baru tidak

ada kelompok pendukung budaya lainnya

yang akan mengakibatkan terjadinya

percampuran budaya, atau mendominasi

kebudayaan secara umum. Hal itu dapat

dilihat di Kepulauan Batu, di mana pada

umumnya setiap pulau (terutama pulau-

pulau kecil) hanya dihuni oleh satu etnis

tertentu saja.

Tradisi penanganan jenazah di

Nias daratan mungkin memiliki perbedaan-

perbedaan dalam beberapa hal dengan

yang ada di Kepulauan Batu. Namun

secara prinsipil adalah sama. Di Pulau

Nias, kecuali di Nias bagian utara, dahulu

tidak dikenal tradisi menguburkan jenazah.

Jenazah hanya akan diletakkan begitu

saja di ujung desa. Cara lainnya adalah

dengan membuat semacam panggung

yang disangga oleh empat buah tiang kayu

atau bambu, dan jenazah diletakkan di

atasnya sehingga terbebas dari gangguan

Page 16: KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA …

SBA VOL.17 NO.2/2014 Hal 121—139 136

binatang buas. Cara ini sama dengan yang

dilakukan di Kepulauan Batu, di mana

pada suatu lokasi kubur dibuat susunan

batu karang dengan tujuan menciptakan

posisi yang lebih tinggi untuk meletakkan

jenazah. Di Pulau Nias juga ada jenazah

yang didudukkan pada sebuah kursi

bambu, kemudian digantungkan di atas

pohon. Untuk orang-orang yang memiliki

status sosial tinggi, jenazah akan

diletakkan di dalam sebuah peti, kemudian

peti tersebut diletakkan di atas tiang-tiang

kayu yang terkadang dilengkapi juga

dengan atap sehingga berbentuk seperti

pondok. Tradisi di Nias Tengah memiliki

sedikit perbedaan, yaitu setelah jenazah

seorang bangsawan membusuk, maka

tengkoraknya akan diambil kembali dan

disimpan di dalam sebuah wadah khusus

yang terbuat dari batu. Wadah berisi

tengkorak tersebut kemudian diletakkan di

halaman depan rumah dan ditutupi dengan

batu lebar. Kadang-kadang tengkorak

tersebut dialasi dengan piring keramik

asing (Yayasan Pusaka Nias, 2011).

Beberapa daerah di Indonesia juga

memiliki cara penguburan yang serupa.

Cara penguburan di Pulau Seram

dilakukan dengan meletakkan jenazah di

atas para-para hingga menjadi kerangka,

kemudian kerangka tersebut dimasukkan

ke dalam peti untuk dikebumikan.

Sedangkan Suku Dayak Ngaju di

Kalimantan Tengah melakukan

penanganan terhadap jenazah dengan

cara memasukkannya ke dalam peti kayu,

kemudian peti itu diletakkan di sebuah

tempat yang disangga oleh tiang-tiang

yang tinggi (Soejono & Leirissa 2009,

465). Pemakaian peti kubur kayu yang

cukup menonjol juga dikenal di wilayah

lain Indonesia, yaitu Tana Toraja.

Masyarakat Toraja melakukan prosesi

penguburan dengan meletakkan tulang-

belulang ke dalam peti kubur yang terbuat

dari kayu yang disebut erong, dengan

bentuk-bentuk tertentu yang bermakna

simbolis (AKW 2011, 134).

Bentuk peti kubur, baik yang

berupa sarkofagus ataupun peti kubur

yang terbuat dari kayu di bagian selatan

Pulau Nias memiliki kesamaan dengan

yang terdapat di Kepulauan Batu.

Sarkofagus yang terdapat di Desa

Hilisimaetanö, Nias Selatan, bahkan

memiliki bentuk yang identik dengan peti

kubur di Kepulauan Batu. Ciri tersebut

tampak dari bentuk dasar memanjang

menyerupai perahu, serta bagian depan

yang menjulur ke atas membentuk pola

kepala lasara. Perbedaannya hanyalah

terletak pada bahan yang digunakan.

Sarkofagus di Hilisimaetanö terbuat dari

batu, dan peti kubur di Kepulauan Batu

terbuat dari kayu. Peti kubur kayu di Nias

Selatan, antara lain yang terdapat di

Bawömataluo menggambarkan kepala

lasara dengan bentuk yang lebih ekspresif

dan artistik.

Page 17: KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA …

Padang Candi Sebagai “Mandala” Di Masa Sriwijaya (Eka Asih P. Taim) 137

Kesamaan bentuk ini juga

menunjukkan kesamaan konsep, antara

lain mengenai kepercayaan terhadap

mitologi lasara yang berlaku sebagai

sebuah simbol, dan dituangkan pada

wujud peti kuburnya. Elio Modigliani yang

merupakan seorang antropolog Italia pada

tahun 1886 mendengar bahwa di Pulau

Tanah Masa, Kepulauan Batu, nama

lasara dipakai untuk penyebutan bagi

sebuah perahu ajaib (Härmmerle 2001,

205). Peti kubur di Kepulauan Batu

memiliki bentuk yang sangat spesifik,

memiliki pahatan yang menggambarkan

lasara baik itu dimaknai sebagai perahu

ataupun makhluk mitos.

Kesamaan lainnya adalah

disertakannya keramik-keramik asing pada

konteks penguburan baik di Pulau Nias

maupun di Kepulauan Batu. Walaupun kita

tidak mengasumsikannya terlalu jauh

mengenai fungsinya sebagai bekal kubur,

namun keberadaan keramik-keramik asing

tersebut tentunya terkait dengan upaya

untuk mempertahankan kedudukan sosial

si mati di mata masyarakat.

Dalam studi komparatif ini dapat

ditarik asumsi bahwa sistem penguburan

yang dilakukan di Kepulauan Batu dengan

di bagian selatan Nias memiliki kesamaan,

yaitu sistem penguburan campuran primer

dan sekunder terbuka. Perlu digarisbawahi

di sini, bahwa hal itu khususnya berlaku

pada kubur yang menggunakan wadah,

baik berupa sarkofagus ataupun peti kubur

kayu. Di Nias Selatan sendiri dikenal

berbagai variasi penguburan, terutama

bagi kaum bangsawan yang meninggal

dunia dalam status sosial yang tinggi. Di

Nias Selatan jenazah dapat digantungkan

di atas pohon, diikat dalam anyaman,

didudukkan di kursi bambu, atau

diletakkan di atas para-para di hutan

(Härmmerle 2001, 203). Namun secara

umum cara-cara yang variatif tersebut

menggambarkan sistem penguburan

campuran primer dan sekunder terbuka.

Tidak tampak adanya perbedaan

Gambar 6. Peti kubur untuk bangsawan di Nias Selatan

(Sumber: Hidayati, 2008)

Gambar 5. Sarkofagus di Nias Selatan (Sumber: Hidayati, 2008)

Page 18: KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA …

SBA VOL.17 NO.2/2014 Hal 121—139 138

yang mendasar antara penguburan di Nias

Daratan dengan di Kepulauan Batu.

Kalaupun terdapat perbedaan, hal itu

semata-mata dipengaruhi oleh faktor

lingkungan. Di Pulau Nias bagian selatan

permukiman penduduk pada umumnya

berada di daerah perbukitan yang relatif

sulit dijangkau, sedangkan di Kepulauan

Batu permukiman berada di sekitar pantai.

Manusia memiliki sifat adaptif sehingga

selalu ada upaya-upaya penyesuaian

dengan lingkungan tempat hidupnya, baik

itu di dataran tinggi (pegunungan) ataupun

di dataran rendah (pantai). Walaupun

demikian mereka tetap berpegang pada

konsep dasar yang mereka yakini

sebelumnya.

4. Penutup

Hal-hal yang dapat disimpulkan

dari pembahasan di atas adalah bahwa

dalam menangani suatu peristiwa

kematian, Etnis Nias yang bermukim di

Kepulauan Batu menerapkan sistem

penguburan campuran primer dan

sekunder terbuka (exposed deposition)

dengan menggunakan wadah berupa peti

kubur kayu berbentuk seperti perahu dan

menyerupai wujud lasara. Di Kepulauan

Batu juga tidak dikenal proses

pengebumian. Keletakan dan orientasi peti

kubur sangat penting karena berhubungan

dengan konsep kehidupan setelah

kematian, yaitu untuk mengantarkan

arwah menuju dunianya yang baru melalui

lautan luas, sehingga orientasi kuburnya

mengarah ke laut. Hal itu juga terkait

dengan arti penting lautan sebagai sumber

kehidupan serta suatu tempat di mana

mereka berasal.

Cara penanganan terhadap jenazah

yang dikenal di Kepulauan Batu dengan di

bagian selatan Pulau Nias juga memiliki

kesamaan. Di kedua wilayah tersebut tidak

dikenal tradisi mengebumikan jenazah.

Penanganan jenazah dilakukan dengan

cara membaringkan jenazah di dalam peti

kubur yang dilengkapi dengan bentuk

lasara. Dengan demikian dapat ditarik

benang merah, bahwa berdasarkan data

dan pembahasan di atas terdapat

kesamaan antara tradisi penguburan di

Kepulauan Batu dengan di Nias Selatan

sebagai daerah asal etnis Nias yang

bermukim di Kepulauan Batu. Hal itu

menggambarkan bahwa perpindahan

orang-orang yang berasal dari wilayah

selatan Nias Daratan ke Kepulauan Batu

disertai dengan membawa serta budaya

asli mereka yang kemudian disesuaikan

dengan kondisi lingkungan di tempat yang

baru.

DAFTAR PUSTAKA

AKW, Bernadeta. 2011. “Erong: Salah satu Bentuk Wadah Kubur di Tana Toraja Sulawesi Selatan” WalennaE Vol. 13 No. 2. Makassar: Balai Arkeologi Makassar. Hlm.133-146.

Angkat, N., dkk. 1993. Laporan dari Perumusan Komisi I Adat/Hukum Tanah Pakpak Dairi. Seminar Adat-Istiadat Pakpak Dairi, Tidak Lekang Karena Panas Tidak Lapuk Karena Hujan. Rantau Prapat: diperbanyak/tidak diterbitkan.

Page 19: KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA …

Padang Candi Sebagai “Mandala” Di Masa Sriwijaya (Eka Asih P. Taim) 139

Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias Selatan. 2014. Nias Selatan dalam Angka.Teluk Dalam: Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias Selatan.

Dachi, Yosafat F, 2012. Masyarakat Nias dan Kebudayaannya. Pemerintah Kabupaten Nias Selatan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

Duli, Akin. 2011.”Peranan Situs Liang dalam Sistem Pemukiman Masyarakat Toraja” WalennaE Vol. 13 No. 2. Makassar: Balai Arkeologi Makassar. Hlm. 185-194

Duli, Akin, Stephen Chia Ming Soon & Muhammad Husni. 2011. “Perbandingan Penguburan Keranda Kayu di Tana Toraja dengan Keranda Kayu di Sabah (Borneo) – Kalimantan” WalennaE Volume 13 nomor 1. Makassar: Balai Arkeologi Makassar. Hlm. 29-38

Härmmerle, P. Johannes M. 1995. Hikaya Nadu. Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias.

----------------------------------, 2001. Asal usul Masyarakat Nias Suatu Interpretasi. Gunung Sitoli: Penerbit yayasan Pusaka Nias.

Hidayati, Dyah. 2013. “Fungsi dan Makna Simbolis Kursi Batu dan Replika Kursi Kayu pada Masyarakat Nias” Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol. 16 No. 1. Medan: Balai Arkeologi Medan. Hlm. 1-15

Nur, Muhammad. 2011. “Kandeang Dulang dalam Sistem Budaya Toraja.”

WalennaE Vol. 13 No. 2. Makassar: Balai Arkeologi Makassar. Hlm. 169-176.

Simanjuntak, Truman, dkk. 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Soejono, R.P. 2008. Sistem-sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.

Soejono, R.P. & R.Z. Leirissa, 2009. Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Sonjaya, Jajang A. 2008. Melacak Batu Menguak Mitos Petualangan Antarbudaya di Nias. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Willem, W.J.A. 1938. “Het Onderzoek der Megalithen te Pakaoeman bij Bondowoso” Rapporten van de Oudheidkundige Dienst no. 3. Batavia

Wiradnyana, Ketut. 2011. “Sistem Penguburan di Tanah Karo dari Masa Prasejarah Hingga Kini” Forum Arkeologi TH.XXIV No. 3. Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar. Hlm. 247-262

Yayasan Pusaka Nias, 2011. Katalog Koleksi Museum Pusaka Nias Seri I – Paviliun II. Gunung Sitoli: Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat - Rehabilitasi Rekonstruksi Pulau Nias.