kubur etnis nias di kepulauan batu dan kaitannya …
TRANSCRIPT
Kubur Etnis Nias di Kepulauan Batu dan Kaitannya dengan Penguburan di Pulau Nias Bagian Selatan (Dyah Hidayati)
121
KUBUR ETNIS NIAS DI KEPULAUAN BATU DAN KAITANNYA DENGAN PENGUBURAN DI PULAU NIAS BAGIAN SELATAN
NIAS ETHNIC BURIAL IN BATU ISLAND AND ITS RELATION TO THE
SOUTHERN NIAS ISLAND FUNERAL Naskah diterima: Naskah disetujui: 11 Juni 2014 23 Oktober 2014
Dyah Hidayati Balai Arkeologi Medan
Jalan Seroja Raya Gang Arkeologi No. 1 medan [email protected]
Abstrak
Potensi arkeologis di Kepulauan Batu cukup beragam, terkait dengan keberagaman etnis yang mendiami pulau-pulau di wilayah itu. Sehubungan dengan eksistensi etnis Nias di kepulauan Batu, ada dua hal yang menarik untuk dibahas dalam tulisan ini, yaitu bagaimanakah di masa lalu etnis Nias yang mendiami gugusan Kepulauan Batu memberikan perlakuan terhadap orang yang meninggal dunia; dan apakah cara-cara yang dilakukan tersebut memiliki kesamaan dengan cara penguburan yang dikenal di bagian selatan Pulau Nias, sebagai daerah asal etnis Nias di Kepulauan Batu? Penelitian ini merupakan sebuah kegiatan survei melalui metode observasi langsung, yang didukung dengan wawancara. Dalam analisis data digunakan metode komparatif, yaitu membandingkan objek penelitian dengan yang terdapat di bagian selatan Pulau Nias, serta temuan sejenis di wilayah budaya lainnya di Indonesia. Selain itu juga digunakan studi pustaka sebagai penunjang. Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa kubur kuno etnis Nias yang terdapat di Pulau Hayo, Tanah Masa, Sigata, Memong, Marit, dan Biang, yang secara umum dapat menggambarkan bahwa di masa lalu etnis Nias yang bermukim di Kepulauan Batu menerapkan sistem penguburan campuran primer dan sekunder terbuka dengan menggunakan wadah peti dari kayu tanpa proses pengebumian. Cara tersebut ternyata juga memiliki persamaan dengan yang digunakan oleh etnis Nias di Pulau Nias bagian selatan yang diketahui sebagai daerah asal etnis Nias yang bermukim di Kepulauan Batu. Dengan demikian dapat ditarik benang merah bahwa secara umum etnis Nias di Kepulauan Batu masih menerapkan budaya penguburan yang sama dengan budaya penguburan yang dikenal di daerah asalnya. Kata kunci: kubur etnis Nias, penguburan campuran primer dan sekunder terbuka, Kepulauan Batu, Nias bagian selatan
Abstract
Batu islands are rich for archaeological potentials, relevant to the varied ethnicity. Nias ethnic, one the ethnics inhabiting Batu islands, has drawn several intriguing questions on how they used to treat the dead and what relevance the funeral ceremony rites had with those practiced in Southern Nias where Nias ethnic inhabiting Batu islands originated. This research is a direct observation survey supported by interviews whose data analysis is through library studies and comparative studies by comparing research objects found with those of Nias island and other cultures in Indonesia. Some data acquired in this research, such Nias ancient tombs in Hayo island, Tanah Masa, Sigata, Memong, Marit, and Biang, generally described how Nias ethnic inhabiting Batu islands practiced a mixed open primary and secondary funeral system using wooden coffins without burial. Such funeral system by Nias ethnic in Batu islands was found to bear similarities with that of Southern Nias. Thus, it can be concluded that generally Nias ethnic in Batu islands still practiced the same funeral tradition as the place of origin did. Keyword: Nias stone tomb, open mixed primary and secondary funeral, Batu islands, Southern Nias
SBA VOL.17 NO.2/2014 Hal 121—139 122
1. Pendahuluan
Kepulauan Batu merupakan
gugusan pulau di wilayah Kabupaten Nias
Selatan, Provinsi Sumatera Utara, yang
secara geografis berbatasan langsung
dengan Pulau Sumatera di sebelah timur,
Pulau Nias (Provinsi Sumatera Utara) di
sebelah utara, Kepulauan Mentawai
(Provinsi Sumatera Barat) di sebelah
selatan, dan Samudera Hindia di sebelah
barat. Sedikitnya terdapat 101 buah pulau
pada gugusan pulau ini, baik yang
berpenghuni maupun tidak (BPS
Kabupaten Nias Selatan, 2014). Secara
administratif pulau-pulau tersebut terbagi
dalam 7 wilayah kecamatan, yaitu
Kecamatan Pulau-pulau Batu, Pulau-pulau
Batu Barat, Pulau-pulau Batu Timur,
Pulau-pulau Batu Utara, Simuk, Tanah
Masa, dan Hibala.
Pulau-pulau dalam gugusan
Kepulauan Batu saat ini dihuni oleh
berbagai etnis, antara lain Nias, Bugis,
Minang, Mandailing, dan Tionghoa.
Kedatangan etnis-etnis tersebut di
Kepulauan Batu masing-masing memiliki
sejarah tersendiri, antara lain terkait
dengan waktu dan proses perpindahan
mereka dari tempat asalnya ke pulau-
pulau tersebut, serta tujuan dari
perpindahan itu.
Nias merupakan salah satu etnis
yang dominan mendiami pulau-pulau
dalam gugusan Kepulauan Batu. Namun
belum ada penelitian mendalam di bidang
kebudayaan yang dilakukan di Kepulauan
Batu, khususnya terkait dengan eksistensi
etnis Nias di wilayah tersebut. Sebaliknya,
budaya etnis Nias yang bermukim di Pulau
Nias (selanjutnya kita sebut sebagai Nias
daratan untuk membedakannya dengan
wilayah Kepulauan Batu) telah cukup
banyak dibahas oleh para peneliti asing,
antara lain E.E.W.G. Schröder,
Rosenberg, Agner Møller, Elio Modigliani,
dan beberapa peneliti lainnya (Härmmerle
2001, 27-29). Di luar negeri bahkan
terdapat sekitar 500 judul buku atau
karangan yang menggambarkan tentang
Nias (Härmmerle 1995, 36). Salah seorang
penulis yang banyak melakukan penelitian
tentang budaya Nias serta menerbitkannya
dalam bentuk buku adalah pastor yang
berasal dari Jerman Barat bernama
Johannes Härmmerle, yang telah
ditugaskan di Nias sejak tahun 1972
hingga sekarang. Sayangnya pembahasan
mengenai budaya Nias yang ada di
wilayah Kepulauan Batu belum banyak
ditemukan dalam tulisan-tulisannya.
Pulau Nias menjadi objek penelitian
yang menarik bagi para peneliti, antara
lain karena memiliki banyak tinggalan yang
terkait dengan tradisi megalitiknya, baik
yang terdapat di areal permukiman
penduduk ataupun pada desa-desa lama
yang telah ditinggalkan oleh masyarakat
pendukungnya. Penguburan menjadi salah
satu bagian penting dalam tradisi tersebut,
baik di Pulau Nias ataupun di Kepulauan
Batu. Di Kepulauan Batu terdapat lokasi-
lokasi kubur yang menarik perhatian,
Padang Candi Sebagai “Mandala” Di Masa Sriwijaya (Eka Asih P. Taim) 123
antara lain terkait dengan sistem
penguburan yang digunakan serta
persebarannya. Lokasi kubur dimaksud
terdapat hampir di semua pulau yang
dalam sejarahnya menjadi hunian bagi
etnis Nias, antara lain di Pulau Hayo,
Memong, Biang, Tanah Masa, Sigata, dan
Marit. Di pulau-pulau tersebut ditemukan
jejak-jejak kubur yang antara lain berupa
sisa wadah kubur, tulang-belulang dan
tengkorak manusia, maupun benda-benda
lainnya yang diduga merupakan bekal
kubur. Temuan-temuan tersebut
memberikan gambaran mengenai tradisi
yang pernah berlangsung di Kepulauan
Batu pada masa lalu, yang saat ini telah
ditinggalkan oleh masyarakat
pendukungnya.
Penguburan merupakan salah satu
aspek penting dalam sebuah komunitas
atau kelompok masyarakat. Penguburan
terkait erat dengan kehidupan religi dan
sosial suatu kelompok masyarakat. Secara
umum, sistem penguburan dikenal dalam
dua cara yaitu penguburan langsung
(primer) dan penguburan tak langsung
(sekunder), baik menggunakan maupun
tanpa wadah kubur. Sedangkan jenis
wadah kubur yang digunakan dapat dibuat
dari berbagai macam bahan, antara lain
kayu dan batu. Penguburan juga dapat
dilakukan dengan cara menyimpan jasad
di dalam ceruk, gua, batu besar yang
dibuat atau diproses sehingga membentuk
ceruk, dan lain-lain. Di beberapa daerah di
Indonesia, yaitu Seram, Kalimantan Barat,
dan suku Anak Dalam di Jambi dikenal
model penguburan dengan cara
meletakkan jenazah di atas sebuah
pondok atau para-para, yang disertai
dengan bekal kubur. Bekal kubur pada
umumnya merupakan benda-benda yang
digunakan oleh si mati saat masih hidup
(Soejono & Leirissa 2009, 449-461).
Penguburan juga menjadi salah satu
kajian yang sangat penting guna
mempelajari sejarah eksistensi suatu etnis
di wilayah tertentu. Penting untuk diketahui
bahwa etnis Nias di Kepulauan Batu
merupakan kelompok yang melakukan
perpindahan dari Pulau Nias, khususnya di
bagian selatan, pada beberapa generasi
silam. Dengan demikian tentunya antara
etnis Nias di Kepulauan Batu dengan yang
berada di bagian selatan Pulau Nias
memiliki akar kebudayaan yang sama.
Terkait dengan itu, maka masalah yang
diajukan dalam tulisan ini adalah:
- Bagaimanakah sistem penguburan
etnis Nias di Kepulauan Batu?
- Bagaimanakah kaitan antara
sistem penguburan etnis Nias di
Kepulauan Batu dengan yang
diterapkan di bagian selatan Pulau
Nias?
Adapun tujuan dari penelitian ini
tentunya adalah menjawab permasalahan
di atas, yaitu mengetahui sistem
penguburan etnis Nias di Kepulauan Batu,
serta kaitannya dengan sistem
penguburan yang diterapkan oleh etnis
Nias yang bermukim di bagian selatan
SBA VOL.17 NO.2/2014 Hal 121—139 124
Pulau Nias. Secara material dan
kewilayahan, ruang lingkup penelitian ini
dibatasi pada objek berupa kubur etnis
Nias yang terdapat di Kepulauan Batu,
tanpa membatasi di wilayah kecamatan
apa sajakah objek-objek tersebut berada.
Kubur merupakan suatu hasil
perilaku manusia masa lampau yang
mencakup aspek gagasan, sosial, dan
higenis. Bukti-bukti arkeologis
menunjukkan adanya jasad yang
dikuburkan dalam wadah dari batu (seperti
sarkofagus, kalamba, waruga, dan lain-
lain), kayu (keranda), tanah liat
(tempayan), logam (nekara), dan ada pula
yang dikuburkan di dalam liang lahat
dengan memberikan tanda khusus di
permukaan tanah (seperti batu tegak dan
nisan). Cara-cara penguburan dibedakan
atas kubur terbuka (exposure) tanpa
ditanam atau ditimbun, kubur
pengebumian (inhumasi) dengan ataupun
tanpa menggunakan wadah yang ditanam,
dan penguburan di dalam ruangan
(alamiah ataupun buatan manusia, seperti
gua, ceruk yang dibuat di dinding tebing,
dan lain-lain). Kubur juga dibedakan
menjadi kubur primer (langsung dikubur),
sekunder (hanya beberapa bagian tulang
saja yang dikubur), serta campuran antara
primer dan sekunder terbuka (exposed
deposition) (Simanjuntak dkk. 1999, 191).
Data kubur secara hirarki dapat
terdiri dari atribut sisa tulang atau rangka,
artefak, tipe, bagian himpunan, himpunan,
dan budaya. Hubungan kontekstual antara
si mati dengan temuan serta (misalnya
bekal kubur) diketahui dengan mengamati
matriks, keletakan dan proses transformasi
(Simanjuntak dkk. 1999, 190).
Tahap pengumpulan data pada
penelitian ini menggunakan metode
observasi atau pengamatan langsung
terhadap objek beserta lingkungannya.
Observasi dilakukan terhadap lokasi-lokasi
kubur etnis Nias di beberapa pulau yang
pada umumnya menjadi bagian dari suatu
bentuk permukiman etnis Nias di
Kepulauan Batu. Guna mendukung hasil
dari kegiatan observasi, dilakukan juga
metode wawancara. Wawancara
diperlukan guna menjaring data yang
berkaitan dengan latar belakang
keberadaan kubur-kubur tersebut,
termasuk mitos-mitos yang masih beredar
di kalangan masyarakat setempat. Oleh
sebab itu informan yang dipilih adalah
masyarakat atau tokoh masyarakat yang
memiliki pengetahuan terhadap sejarah
dan budaya etnis Nias yang diwariskan
secara turun-temurun di daerahnya,
mengingat bahwa saat ini secara total
masyarakat Nias di Kepulauan Batu telah
meninggalkan cara penguburan tersebut.
Sebagai instrumen penunjang juga
dilakukan pengumpulan data sekunder
melalui studi pustaka.
Tahap analisis data terhadap
satuan komponen analisis yang terdiri dari
sisa rangka, bekal kubur, dan bangunan
atau susunan konstruksi kubur, dilakukan
melalui analisis morfologi (bentuk) dan
Padang Candi Sebagai “Mandala” Di Masa Sriwijaya (Eka Asih P. Taim) 125
kontekstual. Pendekatan ini digunakan
mengingat bahwa sebuah objek arkeologis
tidak akan pernah dapat berdiri sendiri,
namun selalu memiliki konteks baik
dengan objek-objek lain di sekitarnya
maupun dengan lingkungannya. Metode
komparatif digunakan dengan tujuan
mendapatkan perbandingan antara kubur-
kubur yang terdapat di Kepulauan Batu
dengan yang terdapat di Nias daratan
khususnya di bagian selatan, sehingga
dapat ditemukan kaitan antara satu
dengan lainnya. Hal itu dilakukan karena di
masa lampau telah terjadi proses
perpindahan orang-orang Nias yang
berasal dari Pulau Nias bagian selatan
(daerah di sekitar Teluk Dalam) menuju
pulau-pulau di Kepulauan Batu dengan
membawa serta budaya aslinya. Untuk
lebih mempertajam analisis, studi
komparatif juga dilakukan terhadap cara
penguburan sejenis di wilayah budaya
lainnya di Indonesia.
2. Hasil
Sebuah lokasi kubur dapat
menunjukkan indikasi mengenai
keberadaan sekelompok orang atau lebih
yang telah terikat dalam sebuah organisasi
kemasyarakatan, dan telah bermukim di
suatu tempat baik secara menetap
ataupun dalam jangka waktu tertentu.
Survei arkeologi di Kepulauan Batu
menghasilkan data yang menarik
mengenai cara penguburan etnis Nias di
masa lalu. Data-data kubur tersebut
memiliki konteks yang kuat dengan
keberadaan permukiman lama yang
ditandai dengan adanya batu-batu megalit
yang membentuk pola-pola tertentu yang
khas. Kubur etnis Nias yang masih dapat
disaksikan jejak-jejaknya hingga saat ini
antara lain terdapat di Pulau Hayo, Tanah
Masa, Sigata, Memong, Marit, dan Biang.
Hanya saja tidak semua kubur di pulau-
pulau tersebut ditemukan dalam kondisi
yang cukup representatif untuk dapat
ditelusuri kembali dengan lebih rinci.
Sebagian besar hanya menyisakan sedikit
saja tanda-tanda sebagai sebuah lokasi
kubur.
Beberapa lokasi kubur etnis Nias
yang masih menunjukkan jejak-jejak yang
cukup representatif di antaranya adalah
yang terdapat di Pulau Hayo (Desa Hayo),
Memong, dan Biang. Melalui hasil
pengamatan di beberapa lokasi kubur
etnis Nias, secara umum dapat
digambarkan bahwa lokasi kubur tersebut
berupa sebidang lahan yang berlokasi di
luar areal permukiman penduduk dengan
jarak kurang dari 1 km. Umumnya lokasi
kubur tersebut terletak tepat di tepi pantai
atau bibir tebing karang yang curam.
Masyarakat memiliki sebutan yang
berbeda untuk setiap lokasi kubur di pulau-
pulau tersebut. Kubur di Pulau Hayo oleh
masyarakat setempat disebut sebagai
kuburan Sogawugawu yang artinya adalah
pasir. Tidak diketahui benar mengapa
masyarakat memberikan sebutan itu,
namun kemungkinan terkait dengan lokasi
SBA VOL.17 NO.2/2014 Hal 121—139 126
kuburan yang berada di pantai berpasir
seluas ± 400 m². Lokasi kubur yang
berada di sebuah pulau karang kecil yang
terpisah dengan Pulau Memong sejauh ±
20 m, oleh masyarakat yang bermukim di
Pulau Memong disebut arregatela yang
artinya adalah lokasi kuburan manusia.
Desa Ehobaluta, Pulau Tanah Masa, juga
memiliki lokasi kubur etnis Nias yang
dikenal dengan sebutan Tanö Soyo yang
artinya adalah tanah merah. Belum
diketahui alasan mengapa lokasi kubur ini
dinamai Tanö Soyo, sedangkan lokasi
tersebut merupakan areal pantai berpasir
putih. Nama-nama tersebut menunjukkan
bahwa di Kepulauan Batu tidak dikenal
sebutan khusus untuk lokasi yang
digunakan oleh etnis Nias untuk mengubur
warganya. Kemungkinan nama-nama
tersebut hanya merupakan sebutan lokal
pada masing-masing pulau yang
disesuaikan dengan kondisi lingkungan
ataupun hal-hal lain yang terkait dengan
kubur itu sendiri.
Selain keletakannya yang terpisah
dari permukiman, pola umum yang terlihat
dari lokasi-lokasi kubur etnis Nias antara
lain adanya pemanfaatan batu karang
serta tumbuhnya pohon-pohon besar yang
rindang serta berakar kuat. Lokasi kubur di
Pulau Hayo, Biang, Tanah Masa, dan
Sigata masih menyisakan suatu konstruksi
berupa batu-batu karang yang disusun rapi
dalam pola persegi panjang. Batu-batu
karang tersebut disusun tanpa
menggunakan pengikat apapun sehingga
relatif mudah runtuh. Itulah sebabnya saat
ini hanya kubur di Pulau Hayo yang masih
memberikan gambaran relatif utuh
mengenai konstruksi batu karang tersebut.
Beberapa susunan batu karang setinggi ±
50-60 cm di lokasi kubur pulau Hayo
masih terlihat utuh, namun sebagian juga
telah mulai runtuh. Susunan batu karang di
Pulau Sigata juga masih tampak utuh,
namun sepertinya telah ada upaya untuk
merekonstruksinya kembali setelah
sebelumnya mengalami keruntuhan.
Berbeda dengan yang terdapat di pulau
Hayo dan Sigata, di Pulau Biang dan
Tanah Masa batu-batu karang yang
dahulu tersusun rapi kini nyaris seluruhnya
telah berserakan tanpa dapat diketahui
lagi pola susunannya.
Dahulu di atas tumpukan batu
karang tersebutlah diletakkan peti kubur
yang terbuat dari kayu. Peti yang berisi
jenazah diletakkan begitu saja di atas
susunan batu karang tanpa dilakukan
proses pengebumian atau menguburnya di
dalam tanah. Sisa-sisa tengkorak dan
tulang-belulang manusia tampak
berserakan di atas susunan batu karang,
bersatu dengan sisa-sisa peti kubur kayu.
Walaupun demikian tidak semua lokasi
kubur menunjukkan adanya konstruksi
batu karang. Konstruksi batu karang
umumnya ditemukan pada lokasi kubur
yang terletak di dataran yang dianggap
terlalu rendah, seperti pantai. Sedangkan
pada lokasi-lokasi kubur yang
memanfaatkan bentang lahan yang cukup
Padang Candi Sebagai “Mandala” Di Masa Sriwijaya (Eka Asih P. Taim) 127
tinggi seperti tebing karang yang curam di
Pulau Memong, Marit, dan Biang, atau di
pulau karang kecil di dekat Pulau
Memong, tampaknya tidak ada upaya
untuk membuat susunan batu karang
tersebut. Peti kubur hanya diletakkan
begitu saja di permukaan tanah di bawah
naungan vegetasi pantai yang rimbun dan
berakar kuat.
Lokasi kubur etnis Nias di Pulau
Memong masih menyisakan peti kubur
kayu yang relatif utuh sehingga dapat
diketahui bentuk, bahan, serta
orientasinya. Umumnya peti kubur kayu
dibuat dari jenis kayu keras yang tumbuh
di hutan Pulau Tanah Masa, Tanah Bala,
dan Pini di kepulauan Batu, yang oleh
masyarakat disebut kayu rasak, kafini, dan
mosiholi. Jenis-jenis kayu tersebut
merupakan jenis kayu berkualitas
sehingga peti kubur yang dibuat relatif
tahan terhadap terpaan cuaca yang
ekstrim di Kepulauan Batu.
Baik dari peti kubur kayu yang
masih ditemukan utuh maupun yang telah
rusak di lokasi kubur Pulau Memong,
Biang, Hayo, dan Marit, tampak adanya
kesamaan bentuk, yaitu peti berbentuk
dasar memanjang menyerupai perahu
berukuran panjang ± 200 cm. Bagian
depan peti dilengkapi dengan ornamen
berbentuk kepala lasara1 yang disimbolkan
sebagai haluan, sedangkan di bagian
belakangnya dipahatkan bentuk ekornya
yang disimbolkan sebagai buritan. Model
tersebut tampaknya merupakan bentuk
baku di wilayah Kepulauan Batu, karena
tidak ditemukan variasi lain dari bentuk
peti kubur kayu di lokasi-lokasi kubur yang
telah disurvei.
Beberapa peti kubur kayu yang
ditemukan relatif utuh di Pulau Memong
dapat menunjukkan orientasi peletakan
jenazah yang mengarah ke laut. Peti-peti
tersebut tampak disusun berderet dengan
bagian berpahatkan kepala lasara
mengarah ke laut. Sebagai suatu wilayah
kepulauan yang dikelilingi lautan, maka
konsep laut sebagai sumber kehidupan
dapat difahami. Selain kubur yang
berorientasi ke laut, desa-desa etnis Nias
di Kepulauan Batu juga menghadap ke
arah laut. Masyarakat Kepulauan Batu
pada umumnya bermatapencaharian
sebagai nelayan, dan mengandalkan
hidupnya dari berkah lautan.
1 Makhluk mitologi Nias yang memiliki bentuk menyerupai naga
Gambar 1. Susunan batu karang, sisa tengkorak dan kerangka manusia, serta sisa peti kubur kayu di lokasi kubur etnis Nias di
Pulau Hayo. (Sumber: Balai Arkeologi Medan, 2013)
SBA VOL.17 NO.2/2014 Hal 121—139 128
Mengenai kebiasaan untuk
menyertakan bekal kubur belum ada
indikasi yang kuat. Namun di beberapa
lokasi kubur seperti di Pulau Biang, Sigata,
dan Memong, ditemukan pecahan-
pecahan keramik asing (Cina dan Eropa)
dengan jumlah temuan yang masih
terbatas. Salah satu yang cukup menonjol
adalah kubur yang terletak di sebuah
pulau karang kecil di dekat Pulau
Memong. Kubur ini saat ini telah
direnovasi dengan membuat lapisan
semen seperti kuburan baru pada
umumnya. Namun hal yang sangat
menarik adalah di lokasi ini masih terdapat
sisa-sisa helaian rambut manusia, tulang-
belulang manusia, rahang babi, pedupaan
tembikar, serta pecahan piring keramik
Cina dan Eropa yang berada dalam satu
konteks.
Kubur etnis Nias tidak pernah
berdiri sendiri. Keberadaan kubur tersebut
sekaligus menandai keberadaan sebuah
desa lama etnis Nias baik yang masih
dihuni hingga sekarang maupun yang
telah ditinggalkan karena perpindahan
lokasi permukiman ke tempat yang
dianggap lebih strategis. Desa lama etnis
Nias di Kepulauan Batu dicirikan dengan
keberadaan batu-batu megalit seperti yang
masih dapat ditemukan di Hayo, Memong,
Biang, Tanah Masa, dan Sigata. Selain
Gambar 3. Sisa tulang-belulang dan rambut manusia, rahang babi, pedupaan tembikar, serta pecahan keramik Cina dan Eropa di
lokasi kubur Pulau Memong; (Sumber: Balai Arkeologi Medan, 2014)
Gambar 4. Pecahan keramik Cina di antara sisa tulang-belulang manusia di atas
susunan batu karang pada lokasi kubur di Pulau Biang.
(Sumber: Balai Arkeologi Medan, 2014)
Gambar 2. Peti kubur kayu yang relatif utuh di lokasi kubur di Pulau Memong. Tampak
bagian kepala peti yang merupakan gambaran kepala lasara.
(Sumber: Balai Arkeologi Medan, 2014)
Padang Candi Sebagai “Mandala” Di Masa Sriwijaya (Eka Asih P. Taim) 129
batu megalit yang antara lain berbentuk
batu datar, susunan pagar batu dan
gerbang desa, di beberapa desa masih
terdapat tinggalan berupa kursi batu (di
Pulau Sigata), patung batu (di Pulau
Biang), dan rumah adat bertipe Nias
Selatan (di Pulau Sigata dan Tanah
Masa). Keberadaan rumah adat bertipe
Nias Selatan memperkuat bukti bahwa
etnis Nias yang bermukim di Kepulauan
Batu berasal dari bagian selatan Pulau
Nias. Berkenaan dengan itu, Yosafat F.
Dachi (2012, 14) mengemukakan bahwa
banua atau desa, termasuk rumah
adatnya, terbagi dalam tipe Nias Utara dan
Nias Selatan. Tipe Nias Selatan dapat
ditemukan di Pulau Nias bagian selatan,
sebagian Pulau Nias bagian barat,
sebagian Pulau Nias bagian tengah, serta
di Kepulauan Batu.
Beberapa batu datar yang
ditemukan di Kepulauan Batu memiliki
pahatan ornamen berpola lingkaran dan
tapak kaki, dan berfungsi sebagai batu
peringatan bagi orang yang telah
meninggal dunia. Ornamen seperti itu juga
ditemukan pada batu-batu megalit di Nias
Selatan, antara lain yang terdapat di Desa
Hilisimaetanö (Hidayati 2013, 6).
3. Pembahasan
Kajian mengenai kubur etnis Nias
di kepulauan Batu tidak dapat dipisahkan
dengan konteks permukiman, karena
keberadaan kubur menunjukkan adanya
sekelompok manusia yang bermukim tak
jauh dari lokasi tersebut. Permukiman
yang telah lama berdiri pada umumnya
berada di lokasi yang lebih ke pedalaman,
dan kemudian ditinggalkan karena mereka
membangun permukiman baru pada lokasi
yang lebih dekat dengan pantai atau di
tempat yang lebih terbuka. Batu-batu
megalit menjadi bagian penting dari
identitas etnis Nias, yang dapat
menunjukkan eksistensinya dari masa ke
masa. Demikian pula dengan lokasi
kuburnya. Hampir di setiap perkampungan
etnis Nias di Kepulauan Batu terdapat
lokasi kubur yang saat ini telah
ditinggalkan, atau dengan kata lain tidak
lagi digunakan untuk menguburkan orang-
orang yang meninggal dunia di masa kini.
Kuburan-kuburan tersebut
merupakan cerminan dari kepercayaan
kuno yang dianut oleh etnis Nias di masa
lalu sebelum masuknya ajaran Kristiani
melalui kedatangan misionaris-misionaris
Barat ke Pulau Nias dan sekitarnya.
Adapun Pulau Nias sudah mulai tersentuh
oleh pengkristenan sejak pertengahan
tahun 1800-an, yaitu saat Missionaris
Denninger dan VEM memulai misinya di
tahun 1865 di Gunung Sitoli. Datangnya
ajaran Kristen membawa Nias pada
periode konfrontasi, yaitu perlawanan
antara kepercayaan kuno masyarakat Nias
dengan keyakinan Kristen (Härmmerle
1995, 44-45). Sedangkan di Kepulauan
Batu kedatangan Kristen dapat dikatakan
lebih lambat. Di Pulau Biang misalnya,
diinformasikan bahwa Kristen baru masuk
SBA VOL.17 NO.2/2014 Hal 121—139 130
sekitar 60-an tahun yang lalu atau sekitar
tahun 1950-an.2 Demikian pula di pulau-
pulau lainnya yang baru mengenal Kristen
pada tahun 1960-an hingga 1970-an.3
Pengaruh masuknya ajaran Kristen
terhadap perubahan budaya etnis Nias
secara umum dapat dilihat dari data kubur
etnis Nias yang telah diperoleh. Di
Kepulauan Batu yang kedatangan
pengaruh Kristen dapat dikatakan relatif
lambat, dapat disaksikan bahwa tradisi
menangani jenazah dengan cara kuno
masih dilakukan hingga sekitar tahun
1960-an atau bahkan awal 1970-an. Dari
jejak-jejak yang masih dapat dijajagi dalam
penelitian ini, terdapat beberapa aspek
yang dapat dicatat mengenai sistem
penguburan yang diberlakukan oleh etnis
Nias yang bermukim di Kepulauan Batu,
yaitu pemilihan lokasi kubur, penggunaan
wadah kubur, orientasi kubur, penggunaan
bekal kubur, dan cara penguburan.
1) Pemilihan lokasi kubur
Etnis Nias di Kepulauan Batu memilih
suatu lokasi khusus untuk pekuburan
yang relatif berjarak dengan
permukiman. Pemisahan antara lokasi
permukiman dengan pekuburan
merupakan hal yang umum dilakukan.
Seperti misalnya pada budaya
masyarakat Pakpak di Sumatera
Utara yang dengan jelas menentukan
batas-batas tanah pekuburannya,
2 Diinformasikan oleh Rakhane Duha, Kepala
Desa Hiligo’o (Limo Biang), Pulau Biang 3 Diinformasikan oleh Saölö Bidaya dari Pulau
Hayo dan Mardin Bu’ulölö, Kepala Desa Memong, Pulau Memong
yaitu di hulu dan di hilir. Daerah hulu
merupakan lokasi pekuburan umum,
sedangkan daerah hilir dikhususkan
bagi orang-orang yang meninggal
dunia secara mendadak. Dan jika ada
yang berkeinginan untuk
menguburkan jenazah keluarganya di
tempat lain yang bukan merupakan
lokasi pekuburan umum, maka
diwajibkan untuk membayar adat
(Angkat dkk. 1993, 63).
Etnis Nias di Kepulauan Batu juga
memilih suatu lokasi pekuburan yang
dianggap strategis, atau
merekayasanya untuk membuat suatu
lokasi menjadi seperti yang diinginkan.
Berdasarkan pengamatan, lokasi yang
dipilih adalah sebuah dataran tinggi
seperti tebing karang atau pulau
karang yang relatif sulit dijangkau dan
terlindung. Ataupun jika dataran yang
tersedia terlalu rendah (berada di bibir
pantai), lokasi tersebut akan
direkayasa sedemikian rupa dengan
jalan membuat susunan batu karang
berpola tertentu sehingga
kedudukannya menjadi lebih tinggi
dari permukaan aslinya, sebagai alas
atau dudukan untuk meletakkan peti
kubur kayu.
Bentang lahan di pulau-pulau kecil di
Kepulauan Batu tentunya relatif lebih
datar dan jarang memiliki kontur
perbukitan. Namun adakalanya
terdapat tebing-tebing karang yang
dapat dimanfaatkan sebagai lokasi
Padang Candi Sebagai “Mandala” Di Masa Sriwijaya (Eka Asih P. Taim) 131
pekuburan. Di lokasi kubur ini pada
umumnya tumbuh jenis-jenis vegetasi
pantai yang berukuran besar dan
pertumbuhan akarnya kuat sehingga
dapat berfungsi sebagai pelindung,
baik dari terpaan ombak maupun
binatang buas. Tumbuhnya
pepohonan ini menjadi salah satu ciri
keberadaan sebuah lokasi kubur etnis
Nias di Kepulauan Batu.
Sebagai bahan pembanding, di Tana
Toraja, lokasi pekuburan atau yang
biasa disebut liang dianggap sebagai
tempat bersemayamnya roh leluhur.
Liang dibuat sedemikian rupa agar
arwah leluhur merasa seperti
menempati rumahnya sendiri saat
masih hidup. Oleh sebab itu dalam
tradisi lisannya orang Toraja
menyebut liang sebagai banua
tangmerambu (rumah tak berasap)
atau banua to membali puang (rumah
para arwah leluhur). Liang terletak tak
jauh dari permukiman, terutama pada
lokasi-lokasi yang tinggi seperti bukit
atau sengaja ditinggikan sesuai
dengan ketentuan adat, atau
diletakkan di dekat sawah dan kebun.
Pemilihan lokasi tersebut bertujuan
untuk mempermudah arwah leluhur
dalam tugasnya mengawasi aktifitas
keturunan-keturunannya yang masih
hidup di dunia serta melimpahkan
kesejahteraan dan keselamatan
kepada manusia (Duli 2011,193-194).
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa manusia selalu berupaya untuk
memilih tempat yang paling tepat
untuk lokasi kuburnya, baik terkait
dengan alasan sakral maupun profan.
Alasan sakral adalah hal-hal yang
terkait dengan konsep-konsep hidup
yang dianut, sedangkan alasan profan
antara lain berkaitan dengan aspek
keamanan.
2) Penggunaan wadah kubur
Etnis Nias di Kepulauan Batu
menggunakan peti kubur yang terbuat
dari kayu untuk meletakkan jenazah.
Peti tersebut memiliki bentuk yang
seragam, yaitu bentuk dasar
memanjang menyerupai perahu, serta
dilengkapi dengan pahatan berbentuk
kepala dan ekor lasara. Bentuk
menyerupai perahu secara umum
dapat dibandingkan dengan bentuk
sarkofagus yang banyak ditemukan di
Indonesia, seperti di Sumatera Utara
dan Bali. Di Nias daratan khususnya
di bagian selatan (Teluk Dalam), peti
kubur baik yang terbuat dari kayu
maupun batu dibuat dengan hiasan
berbentuk lasara sehingga disebut
sebagai hasi nifolasara. Peti kubur ini
juga dapat dikatakan memiliki bentuk
menyerupai anjungan perahu naga
(Yayasan Pusaka Nias 2011, 117).
Sarkofagus secara simbolis dianggap
merupakan pengejawantahan dari
perahu arwah, yaitu kendaraan yang
akan mengantarkan arwah menuju
SBA VOL.17 NO.2/2014 Hal 121—139 132
dunianya yang baru (Soejono &
Leirissa 2009). Di Tana Toraja, peti
kubur memiliki bermacam-macam
bentuk yang secara umum juga
mengacu pada simbol kendaraan
arwah. Erong (peti kubur) berbentuk
perahu di Tana Toraja dilatarbelakangi
oleh pemikiran bahwa nenek moyang
mereka datang untuk pertama kalinya
menggunakan perahu, sehingga
perjalanan selanjutnya menuju dunia
arwah juga dilakukan menggunakan
perahu (Duli dkk. 2011, 30).
Bentuk menyerupai perahu ini
mengingatkan ke suatu masa di saat
perahu berperan penting dalam
perjalanan sekelompok orang menuju
tempat-tempat yang baru hingga
mereka menemukan tempat yang
dianggap sesuai untuk hidup menetap
(Soejono & Leirissa 2009, 427).
W.J.A. Willems (1938, 10), seperti
yang dikutip oleh R.P. Soejono (2008,
73), berpendapat bahwa orang-orang
yang membuat sarkofagus pada
khususnya serta benda-benda megalit
yang tersebar di Kepulauan Indonesia
pada umumnya, adalah kaum
pendatang yang menyebar melalui
jalur lautan. Dalam cerita masyarakat
yang hidup di daerah-daerah yang
memiliki kebudayaan megalitik,
perahu atau kapal seringkali dijadikan
sebagai unsur cerita utama.
Keyakinan akan adanya dunia lain
yang dipercayai sebagai dunia arwah
membawa kepada keyakinan akan
adanya proses perjalanan roh ke alam
arwah yang membutuhkan suatu
sarana transportasi (Wiradnyana
2011, 257). Dan wahana tersebut
dalam hal ini berupa peti kubur. Peti
kubur berbentuk perahu ataupun yang
dihubungkan dengan sifat perahu
dilandasi oleh suatu kepercayaan
bahwa perjalanan harus ditempuh
melalui laut untuk mencapai “pulau
arwah”, yang berkaitan dengan
ingatan akan tempat suatu kelompok
masyarakat berasal, yaitu pulau-pulau
lain yang berada di seberang lautan
(Soejono 2008, 74).
3) Orientasi kubur
Peti kubur di Kepulauan Batu
diletakkan dengan orientasi kepala
lasara menghadap ke laut, sehingga
jenazah akan menghadap ke arah
sebaliknya. Orientasi tersebut
diperoleh dari hasil pengamatan
terhadap sisa-sisa peti kubur yang
masih dapat diamati keletakannya.
Dengan posisi peti kubur yang
menghadap ke arah laut, seakan-akan
peti kubur sebagai simbol perahu
arwah telah siap mengantarkan arwah
untuk mengarungi lautan menuju
dunianya yang baru. Peletakan
jenazah dengan orientasi yang
dimaksudkan bertujuan agar si mati
tidak tersesat dalam perjalanan
menuju ke alam arwah (Soejono &
Leirissa 2009, 247).
Padang Candi Sebagai “Mandala” Di Masa Sriwijaya (Eka Asih P. Taim) 133
Lautan sebagai orientasi penguburan
tentunya terkait dengan latar belakang
kehidupan masyarakat Kepulauan
Batu yang mengandalkan berkah laut
dalam kesehariannya, serta
kepercayaan akan asal-muasal
mereka yang bermula dari suatu
tempat di seberang lautan.
4) Penggunaan bekal kubur
Beberapa keping keramik asing (Cina
dan Eropa), yang ditemukan
sekonteks dengan tulang-belulang
dan tengkorak manusia, juga benda-
benda lainnya seperti mangkuk dupa
dari tembikar serta rahang babi
menunjukkan adanya kebiasaan
mengikutsertakan benda-benda
tertentu sebagai bekal kubur.
Ataupun, benda-benda tersebut
merupakan sisa dari prosesi atau
upacara kematian yang
diselenggarakan saat terjadinya
peristiwa kematian, atau sesudahnya.
Hal itu menunjukkan bahwa si mati
tetap dimuliakan di saat, ataupun
sesudah kematiannya.
Di Nias babi dianggap sebagai salah
satu simbol harga diri (Sonjaya 2008,
70). Babi digunakan sebagai hewan
yang disembelih dalam pesta-pesta
adat di Nias, termasuk pesta
kematian.
Pecahan keramik asing yang
ditemukan di lokasi kubur etnis Nias di
Kepulauan Batu pada umumnya
berbentuk piring. Keramik asing
diketahui sebagai salah satu jenis
komoditi perdagangan internasional di
Nusantara sehingga dapat dikatakan
memiliki nilai tersendiri. Di Nias piring
keramik asing selain digunakan
sebagai wadah makanan juga
digunakan sebagai tanda
penghormatan bagi bangsawan yang
meninggal dunia sebagai bekal kubur,
dengan cara diletakkan bersama
dengan jenazah dalam liang atau peti
kubur. Untuk menghindari pemakaian
kembali sebagai wadah makanan,
maka piring keramik tersebut akan
dipecahkan sedikit pada bagian bibir
(Yayasan Pusaka Nias 2011, 63).
Penyertaan bekal kubur merupakan
gejala yang universal dan telah
ditemukan sejak periode berburu
tingkat sederhana. Keyakinan akan
adanya dunia lain setelah kematian
menyebabkan timbulnya perilaku
untuk menyertakan bekal kubur untuk
yang meninggal dunia dengan tujuan
agar si mati dapat melangsungkan
kehidupan barunya di alam arwah.
Jika di masa hidup orang yang
meninggal memiliki kedudukan
khusus, maka kadang-kadang jenazah
dikuburkan lengkap dengan pakaian
kebesarannya untuk mempertahankan
derajatnya seperti semasa hidup di
dunia (Soejono 2008, 83).
Dalam penelitian-penelitian situs
kubur di Indonesia, bekal kubur lazim
ditemukan. Di Tana Toraja misalnya,
SBA VOL.17 NO.2/2014 Hal 121—139 134
terdapat kebiasaan untuk
menyertakan kandeang dulang atau
wadah makanan di samping barang-
barang yang bersifat individual lainnya
di dalam erong. Kandeang dulang
selain berfungsi sekuler sebagai
wadah makanan, bagi orang Toraja
juga memiliki fungsi sosial yang tinggi,
karena bentuk kandeang dulang
menunjukkan strata sosial seseorang
dalam masyarakat. Penyertaan
benda-benda tersebut terkait dengan
tujuan untuk mempertahankan status
sosial si mati seperti saat masih hidup
di dunia, atau sebagai simbol
kestabilan status (Nur 2011, 174).
5) Cara penguburan
Hal yang menarik pada kubur etnis
Nias di Kepulauan Batu adalah bahwa
sisa-sisa peti kubur yang ditemukan
seluruhnya terdapat di permukaan
tanah. Artinya bahwa peti kubur
tersebut tidak pernah ditanam atau
dikuburkan di dalam tanah. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa peti
kubur tersebut hanya diletakkan pada
suatu permukaan, yaitu susunan batu
karang yang telah ditata sedemikian
rupa di lokasi kubur. Hal itu dikuatkan
pula oleh informasi masyarakat
setempat. Cara penguburan seperti ini
merupakan campuran antara kubur
primer dan sekunder terbuka (exposed
deposition) yang hanya memerlukan
satu tahapan proses saja dengan jalan
meletakkan jenazah di dalam peti,
tanpa proses pengebumian lebih lanjut
ataupun mengumpulkan kembali
tulang-belulang yang tersisa
(Simanjuntak dkk. 1999, 191). Berbeda
dengan yang diterapkan di Tana
Toraja, erong digunakan sebagai
wadah kubur komunal yang dapat
menampung tulang-belulang hingga 10
individu (AKW 2011, 141). Dengan
demikian erong berfungsi sebagai
wadah dalam penguburan sekunder.
Dari aspek-aspek di atas
diasumsikan bahwa etnis Nias yang
bermukim di Kepulauan Batu dahulu
memberlakukan jenazah dengan cara
meletakkannya di dalam peti jenazah
berbentuk tertentu yang secara simbolis
merepresentasikan tujuan dari prosesi
tersebut. Bentuk khas dari peti kubur yang
ditemukan di Kepulauan Batu mengarah
pada simbol perjalanan arwah menuju
alamnya yang baru dengan terlebih dahulu
mengarungi lautan luas. Hal itu terkait juga
dengan lingkungan kehidupan mereka, di
mana laut dianggap sebagai sumber
penghidupan. Untuk tujuan itulah maka
keletakan peti kubur dianggap penting,
sehingga peti kubur tersebut harus
berorientasi ke arah laut, dalam posisi siap
berlayar.
Etnis Nias di Kepulauan Batu
tampaknya tidak mengenal pengebumian,
sehingga peti kubur hanya diletakkan pada
suatu lokasi yang terlindung, yaitu di
tebing karang, pulau karang, ataupun di
atas batu-batu karang yang disusun
Padang Candi Sebagai “Mandala” Di Masa Sriwijaya (Eka Asih P. Taim) 135
meninggi jika lokasi kubur terlalu landai.
Hal itu dapat dilihat dari jejak-jejak kubur
yang masih tersisa, juga berdasarkan
informasi masyarakat yang masih sempat
menyaksikan proses penanganan jenazah
dengan cara-cara lama sebelum
masuknya Kristen. Selain itu vegetasi
pantai yang tumbuh besar dan berakar
kuat juga berfungsi sebagai pelindung dari
hempasan ombak, gangguan binatang liar,
serta terpaan cuaca yang ekstrim.
Bekal kubur dimaksudkan untuk
memberikan bekal yang cukup kepada
arwah dalam mengarungi perjalanannya
menuju alam arwah. Demikian pula
dengan prosesi tertentu yang menyertai
penanganan terhadap suatu peristiwa
kematian, seperti penyembelihan binatang
kurban (umumnya berupa babi), akan
melanggengkan status sosial si mati di
dunia nyata, sekaligus membekalinya di
dunia arwah.
Permasalahan kedua adalah kaitan
antara sistem penguburan etnis Nias di
Kepulauan Batu dengan yang diterapkan
di bagian selatan Pulau Nias. Aspek
penting yang harus diperhatikan adalah
bahwa etnis Nias yang bermukim di
Kepulauan Batu merupakan orang-orang
yang berasal dari bagian selatan Pulau
Nias yang berlayar ke pulau-pulau di
sekitarnya dengan tujuan tertentu. Tujuan
yang paling umum adalah melarikan diri
dari konflik ataupun berupaya mencari
penghidupan baru yang lebih baik.
Mengenai tujuan perpindahan tersebut
saat ini tidak menjadi fokus pembahasan
sehingga dapat diabaikan.
Perlu digarisbawahi bahwa orang-
orang yang melakukan perpindahan atau
migrasi dari suatu daerah ke daerah lain
akan tetap membawa budaya aslinya
sebelum mereka menyesuaikan diri
dengan budaya yang berlaku di tempat
yang baru. Maka dapat dikatakan bahwa
etnis Nias yang bermukim di Kepulauan
Batu hidup dengan budaya aslinya, namun
tetap dengan penyesuaian-penyesuaian
tertentu terhadap lingkungan barunya.
Budaya asli ini akan tetap bertahan
terutama apabila di tempat yang baru tidak
ada kelompok pendukung budaya lainnya
yang akan mengakibatkan terjadinya
percampuran budaya, atau mendominasi
kebudayaan secara umum. Hal itu dapat
dilihat di Kepulauan Batu, di mana pada
umumnya setiap pulau (terutama pulau-
pulau kecil) hanya dihuni oleh satu etnis
tertentu saja.
Tradisi penanganan jenazah di
Nias daratan mungkin memiliki perbedaan-
perbedaan dalam beberapa hal dengan
yang ada di Kepulauan Batu. Namun
secara prinsipil adalah sama. Di Pulau
Nias, kecuali di Nias bagian utara, dahulu
tidak dikenal tradisi menguburkan jenazah.
Jenazah hanya akan diletakkan begitu
saja di ujung desa. Cara lainnya adalah
dengan membuat semacam panggung
yang disangga oleh empat buah tiang kayu
atau bambu, dan jenazah diletakkan di
atasnya sehingga terbebas dari gangguan
SBA VOL.17 NO.2/2014 Hal 121—139 136
binatang buas. Cara ini sama dengan yang
dilakukan di Kepulauan Batu, di mana
pada suatu lokasi kubur dibuat susunan
batu karang dengan tujuan menciptakan
posisi yang lebih tinggi untuk meletakkan
jenazah. Di Pulau Nias juga ada jenazah
yang didudukkan pada sebuah kursi
bambu, kemudian digantungkan di atas
pohon. Untuk orang-orang yang memiliki
status sosial tinggi, jenazah akan
diletakkan di dalam sebuah peti, kemudian
peti tersebut diletakkan di atas tiang-tiang
kayu yang terkadang dilengkapi juga
dengan atap sehingga berbentuk seperti
pondok. Tradisi di Nias Tengah memiliki
sedikit perbedaan, yaitu setelah jenazah
seorang bangsawan membusuk, maka
tengkoraknya akan diambil kembali dan
disimpan di dalam sebuah wadah khusus
yang terbuat dari batu. Wadah berisi
tengkorak tersebut kemudian diletakkan di
halaman depan rumah dan ditutupi dengan
batu lebar. Kadang-kadang tengkorak
tersebut dialasi dengan piring keramik
asing (Yayasan Pusaka Nias, 2011).
Beberapa daerah di Indonesia juga
memiliki cara penguburan yang serupa.
Cara penguburan di Pulau Seram
dilakukan dengan meletakkan jenazah di
atas para-para hingga menjadi kerangka,
kemudian kerangka tersebut dimasukkan
ke dalam peti untuk dikebumikan.
Sedangkan Suku Dayak Ngaju di
Kalimantan Tengah melakukan
penanganan terhadap jenazah dengan
cara memasukkannya ke dalam peti kayu,
kemudian peti itu diletakkan di sebuah
tempat yang disangga oleh tiang-tiang
yang tinggi (Soejono & Leirissa 2009,
465). Pemakaian peti kubur kayu yang
cukup menonjol juga dikenal di wilayah
lain Indonesia, yaitu Tana Toraja.
Masyarakat Toraja melakukan prosesi
penguburan dengan meletakkan tulang-
belulang ke dalam peti kubur yang terbuat
dari kayu yang disebut erong, dengan
bentuk-bentuk tertentu yang bermakna
simbolis (AKW 2011, 134).
Bentuk peti kubur, baik yang
berupa sarkofagus ataupun peti kubur
yang terbuat dari kayu di bagian selatan
Pulau Nias memiliki kesamaan dengan
yang terdapat di Kepulauan Batu.
Sarkofagus yang terdapat di Desa
Hilisimaetanö, Nias Selatan, bahkan
memiliki bentuk yang identik dengan peti
kubur di Kepulauan Batu. Ciri tersebut
tampak dari bentuk dasar memanjang
menyerupai perahu, serta bagian depan
yang menjulur ke atas membentuk pola
kepala lasara. Perbedaannya hanyalah
terletak pada bahan yang digunakan.
Sarkofagus di Hilisimaetanö terbuat dari
batu, dan peti kubur di Kepulauan Batu
terbuat dari kayu. Peti kubur kayu di Nias
Selatan, antara lain yang terdapat di
Bawömataluo menggambarkan kepala
lasara dengan bentuk yang lebih ekspresif
dan artistik.
Padang Candi Sebagai “Mandala” Di Masa Sriwijaya (Eka Asih P. Taim) 137
Kesamaan bentuk ini juga
menunjukkan kesamaan konsep, antara
lain mengenai kepercayaan terhadap
mitologi lasara yang berlaku sebagai
sebuah simbol, dan dituangkan pada
wujud peti kuburnya. Elio Modigliani yang
merupakan seorang antropolog Italia pada
tahun 1886 mendengar bahwa di Pulau
Tanah Masa, Kepulauan Batu, nama
lasara dipakai untuk penyebutan bagi
sebuah perahu ajaib (Härmmerle 2001,
205). Peti kubur di Kepulauan Batu
memiliki bentuk yang sangat spesifik,
memiliki pahatan yang menggambarkan
lasara baik itu dimaknai sebagai perahu
ataupun makhluk mitos.
Kesamaan lainnya adalah
disertakannya keramik-keramik asing pada
konteks penguburan baik di Pulau Nias
maupun di Kepulauan Batu. Walaupun kita
tidak mengasumsikannya terlalu jauh
mengenai fungsinya sebagai bekal kubur,
namun keberadaan keramik-keramik asing
tersebut tentunya terkait dengan upaya
untuk mempertahankan kedudukan sosial
si mati di mata masyarakat.
Dalam studi komparatif ini dapat
ditarik asumsi bahwa sistem penguburan
yang dilakukan di Kepulauan Batu dengan
di bagian selatan Nias memiliki kesamaan,
yaitu sistem penguburan campuran primer
dan sekunder terbuka. Perlu digarisbawahi
di sini, bahwa hal itu khususnya berlaku
pada kubur yang menggunakan wadah,
baik berupa sarkofagus ataupun peti kubur
kayu. Di Nias Selatan sendiri dikenal
berbagai variasi penguburan, terutama
bagi kaum bangsawan yang meninggal
dunia dalam status sosial yang tinggi. Di
Nias Selatan jenazah dapat digantungkan
di atas pohon, diikat dalam anyaman,
didudukkan di kursi bambu, atau
diletakkan di atas para-para di hutan
(Härmmerle 2001, 203). Namun secara
umum cara-cara yang variatif tersebut
menggambarkan sistem penguburan
campuran primer dan sekunder terbuka.
Tidak tampak adanya perbedaan
Gambar 6. Peti kubur untuk bangsawan di Nias Selatan
(Sumber: Hidayati, 2008)
Gambar 5. Sarkofagus di Nias Selatan (Sumber: Hidayati, 2008)
SBA VOL.17 NO.2/2014 Hal 121—139 138
yang mendasar antara penguburan di Nias
Daratan dengan di Kepulauan Batu.
Kalaupun terdapat perbedaan, hal itu
semata-mata dipengaruhi oleh faktor
lingkungan. Di Pulau Nias bagian selatan
permukiman penduduk pada umumnya
berada di daerah perbukitan yang relatif
sulit dijangkau, sedangkan di Kepulauan
Batu permukiman berada di sekitar pantai.
Manusia memiliki sifat adaptif sehingga
selalu ada upaya-upaya penyesuaian
dengan lingkungan tempat hidupnya, baik
itu di dataran tinggi (pegunungan) ataupun
di dataran rendah (pantai). Walaupun
demikian mereka tetap berpegang pada
konsep dasar yang mereka yakini
sebelumnya.
4. Penutup
Hal-hal yang dapat disimpulkan
dari pembahasan di atas adalah bahwa
dalam menangani suatu peristiwa
kematian, Etnis Nias yang bermukim di
Kepulauan Batu menerapkan sistem
penguburan campuran primer dan
sekunder terbuka (exposed deposition)
dengan menggunakan wadah berupa peti
kubur kayu berbentuk seperti perahu dan
menyerupai wujud lasara. Di Kepulauan
Batu juga tidak dikenal proses
pengebumian. Keletakan dan orientasi peti
kubur sangat penting karena berhubungan
dengan konsep kehidupan setelah
kematian, yaitu untuk mengantarkan
arwah menuju dunianya yang baru melalui
lautan luas, sehingga orientasi kuburnya
mengarah ke laut. Hal itu juga terkait
dengan arti penting lautan sebagai sumber
kehidupan serta suatu tempat di mana
mereka berasal.
Cara penanganan terhadap jenazah
yang dikenal di Kepulauan Batu dengan di
bagian selatan Pulau Nias juga memiliki
kesamaan. Di kedua wilayah tersebut tidak
dikenal tradisi mengebumikan jenazah.
Penanganan jenazah dilakukan dengan
cara membaringkan jenazah di dalam peti
kubur yang dilengkapi dengan bentuk
lasara. Dengan demikian dapat ditarik
benang merah, bahwa berdasarkan data
dan pembahasan di atas terdapat
kesamaan antara tradisi penguburan di
Kepulauan Batu dengan di Nias Selatan
sebagai daerah asal etnis Nias yang
bermukim di Kepulauan Batu. Hal itu
menggambarkan bahwa perpindahan
orang-orang yang berasal dari wilayah
selatan Nias Daratan ke Kepulauan Batu
disertai dengan membawa serta budaya
asli mereka yang kemudian disesuaikan
dengan kondisi lingkungan di tempat yang
baru.
DAFTAR PUSTAKA
AKW, Bernadeta. 2011. “Erong: Salah satu Bentuk Wadah Kubur di Tana Toraja Sulawesi Selatan” WalennaE Vol. 13 No. 2. Makassar: Balai Arkeologi Makassar. Hlm.133-146.
Angkat, N., dkk. 1993. Laporan dari Perumusan Komisi I Adat/Hukum Tanah Pakpak Dairi. Seminar Adat-Istiadat Pakpak Dairi, Tidak Lekang Karena Panas Tidak Lapuk Karena Hujan. Rantau Prapat: diperbanyak/tidak diterbitkan.
Padang Candi Sebagai “Mandala” Di Masa Sriwijaya (Eka Asih P. Taim) 139
Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias Selatan. 2014. Nias Selatan dalam Angka.Teluk Dalam: Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias Selatan.
Dachi, Yosafat F, 2012. Masyarakat Nias dan Kebudayaannya. Pemerintah Kabupaten Nias Selatan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Duli, Akin. 2011.”Peranan Situs Liang dalam Sistem Pemukiman Masyarakat Toraja” WalennaE Vol. 13 No. 2. Makassar: Balai Arkeologi Makassar. Hlm. 185-194
Duli, Akin, Stephen Chia Ming Soon & Muhammad Husni. 2011. “Perbandingan Penguburan Keranda Kayu di Tana Toraja dengan Keranda Kayu di Sabah (Borneo) – Kalimantan” WalennaE Volume 13 nomor 1. Makassar: Balai Arkeologi Makassar. Hlm. 29-38
Härmmerle, P. Johannes M. 1995. Hikaya Nadu. Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias.
----------------------------------, 2001. Asal usul Masyarakat Nias Suatu Interpretasi. Gunung Sitoli: Penerbit yayasan Pusaka Nias.
Hidayati, Dyah. 2013. “Fungsi dan Makna Simbolis Kursi Batu dan Replika Kursi Kayu pada Masyarakat Nias” Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol. 16 No. 1. Medan: Balai Arkeologi Medan. Hlm. 1-15
Nur, Muhammad. 2011. “Kandeang Dulang dalam Sistem Budaya Toraja.”
WalennaE Vol. 13 No. 2. Makassar: Balai Arkeologi Makassar. Hlm. 169-176.
Simanjuntak, Truman, dkk. 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Soejono, R.P. 2008. Sistem-sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.
Soejono, R.P. & R.Z. Leirissa, 2009. Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sonjaya, Jajang A. 2008. Melacak Batu Menguak Mitos Petualangan Antarbudaya di Nias. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Willem, W.J.A. 1938. “Het Onderzoek der Megalithen te Pakaoeman bij Bondowoso” Rapporten van de Oudheidkundige Dienst no. 3. Batavia
Wiradnyana, Ketut. 2011. “Sistem Penguburan di Tanah Karo dari Masa Prasejarah Hingga Kini” Forum Arkeologi TH.XXIV No. 3. Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar. Hlm. 247-262
Yayasan Pusaka Nias, 2011. Katalog Koleksi Museum Pusaka Nias Seri I – Paviliun II. Gunung Sitoli: Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat - Rehabilitasi Rekonstruksi Pulau Nias.