ziarah kubur

39
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diskursus tentang kebudayaan dan agama merupakan kajian yang menarik sepanjang masa. Banyak penelitian yang dihasilkan dari diskursus ini, mulai dari yang sederhana hingga kompleks. Dialektika antara agama dan budaya terjadi proses saling mempengaruhi. Pengaruh timbal balik antara ajaran agama dan budaya merupakan kenyataan yang tak terbantahkan, bahkan ikut andil dalam sebuah proses kehidupan. Dalam pandangan Clifford Geertz agama merupakan sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku dalam masyarakat. Simbol-simbol ini mempunyai makna yang diwujudkan kedalam bentuk ekspresi realitas hidupnya. 1 Oleh karena itu Geertz lebih menekankan pada budaya dari dimensi agama. Dalam hal ini agama dianggap sebagai bagian dari budaya. Sehingga dalam kenyataannya, seringkali simbol-simbol itu memiliki arti penting (urgen) dalam kehidupan masyarakat Islam Jawa, dan bahkan di sinilah letak nilai kepuasan seseorang dalam menjalankan ritual keagamaannya. Budaya dan agama kadang-kadang sulit dibedakan dalam pelaksanaan sehari-hari. Agama 1 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 5.

Upload: ceile-mauludiyah

Post on 24-Jul-2015

762 views

Category:

Documents


20 download

TRANSCRIPT

Page 1: ziarah kubur

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diskursus tentang kebudayaan dan agama merupakan kajian yang menarik

sepanjang masa. Banyak penelitian yang dihasilkan dari diskursus ini, mulai

dari yang sederhana hingga kompleks. Dialektika antara agama dan budaya

terjadi proses saling mempengaruhi. Pengaruh timbal balik antara ajaran

agama dan budaya merupakan kenyataan yang tak terbantahkan, bahkan ikut

andil dalam sebuah proses kehidupan.

Dalam pandangan Clifford Geertz agama merupakan sebuah sistem

simbol-simbol yang berlaku dalam masyarakat. Simbol-simbol ini mempunyai

makna yang diwujudkan kedalam bentuk ekspresi realitas hidupnya.1 Oleh

karena itu Geertz lebih menekankan pada budaya dari dimensi agama. Dalam

hal ini agama dianggap sebagai bagian dari budaya. Sehingga dalam

kenyataannya, seringkali simbol-simbol itu memiliki arti penting (urgen)

dalam kehidupan masyarakat Islam Jawa, dan bahkan di sinilah letak nilai

kepuasan seseorang dalam menjalankan ritual keagamaannya. Budaya dan

agama kadang-kadang sulit dibedakan dalam pelaksanaan sehari-hari. Agama

seringkali mempengaruhi pemeluknya dalam bersikap maupun bertingkah

laku bahkan berpola pikir untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang

kadang-kadang kurang melihat budaya-budaya masyarakat yang sudah ada.

Seperti pada fenomena ziarah kubur dikalangan umat Islam di Jawa menjadi

suatu fenomena yang memang sudah tidak asing lagi.

Bagi masyarakat Islam di Jawa, kegiatan ziarah kubur merupakan

kebiasaan dan kebuTuhan, utamanya pada hari-hari tertentu dengan tujuan dan

harapan yang berbeda-beda.

Sebagai orang Islam Jawa pastinya mengakui adanya ziarah kubur.

Namun, didalam Islam itu sendiri, ziarah kubur bukan merupakan amalan

yang diwajibkan dalam aturan agama. Sehingga dalam makalah ini kami akan

mengulas tentang fenomena ziarah kubur yang terjadi di kalangan masyarakat

1 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 5.

Page 2: ziarah kubur

2

Islam Jawa, dan perspektif mereka tentang ziarah kubur, juga pendapat ulama

tentang ziarah kubur, serta tanggapan dan solusi dalam fenomena tradisi ziarah

kubur di kalangan masyarakat Islam Jawa.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang disampaikan diatas, untuk mempermudah penjelasan

dalam makalah ini, penyusun merumuskannya menjadi empat masalah, yaitu :

1. Bagaimana fenomena ziarah kubur di kalangan masyarakat Islam Jawa ?

2. Bagaimana prespektif masyarakat Islam Jawa tentang ziarah kubur ?

3. Bagaimana pendapat ulama’ tentang ziarah kubur ?

4. Bagaimana Tanggapan dan Solusi dalam Ziarah Kubur di Jawa?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui fenomena ziarah kubur di kalangan masyarakat Islam

Jawa

2. Untuk mengetahui prespektif masyarakat Islam Jawa tentang ziarah kubur

3. Untuk mengetahui pendapat ulama’ tentang ziarah kubur

4. Untuk mengetahui Tanggapan dan Solusi dalam Ziarah Kubur di Jawa

Page 3: ziarah kubur

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Fenomena Ziarah Kubur di Kalangan Masyarakat Jawa

Secara etimologi ziarah kubur terdiri dari dua kata yaitu ziarah artinya

pergi dan kubur artinya makam, jadi ziarah kubur artinya adalah pergi

kemakam. Dalam terminologi syar’i, ziarah kubur berarti: Bepergian ke

kuburan dalam rangka mengambil pelajaran, mendoakan dan memintakan

ampun bagi mayit sekaligus mengingatkan kepada akhirat dan berlaku zuhud

di dunia. Ash Shan’ani rahimahullah berkata, “Ziarah kubur dilaksanakan

dalam rangka mendoakan mayit, berbuat baik kepada mereka, serta dapat

mengingatkan peziarah terhadap kehidupan akhirat agar berlaku zuhud di

dunia”.2

Menurut Orang Jawa Ziarah kubur merupakan satu dari sekian tradisi yang

ada di Jawa dan berkembang di masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa

makam merupakan tempat yang dianggap suci dan keramat yang pantas

dihormati terutama makam para tokoh-tokoh yang di anggap berjasa bagi

masyarakat tersebut atau biasanya makam para waliyullah. Makam sebagai

peristirahatan terakhir bagi nenek moyang,tokoh-tokoh terdahulu dan keluarga

yang telah meninggal. Keberadaan makam dari tokoh tertentu dapat

menimbulkan daya tarik bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas ziarah

dengan berbagai motivasi maka bagi masyarakat Jawa ziarah kemakam sudah

menjadi kebiasaan dan kebuTuhan untuk mendoakan makam yang di

ziarahinya dan agar dapat memetik pelajaran dari perziarahnya maupun

pelajaran dari seorang kehidupan dulunya seorang tokoh tertentu.3

Berbagai maksud dan tujuan maupun motivasi selalu menyertai aktivitas

ziarah kubur. Ziarah kubur yang dilakukan oleh masyarakat Jawa ke kuburan

dianggap keramat sebenarnya ini terpengaruh Jawa-Hindu. Ziarah kubur

2 Yusuf Afriadi, Ziarah Kubur, http://yusufafriadi.blogspot.com/2012/05/ziarah-kubur.html, diakses pada tanggal 1 juni 2012.3 Aziz Abdul Ngashim, Nyekar Yang Berakar Telaah Arah dan Sejarah Ziarah, http://filsafat.kompasiana.com/2011/08/02/, diakses pada tanggal 1 Juni 2012.

Page 4: ziarah kubur

4

sebenarnya adalah tradisi agama hindu yang pada masa lampau memuja

terhadap roh leluhur.

Kepercayaan masyarakat pada masa Jawa-Hindu masih terbawa sampai

saat ini. Banyak orang beranggapan bahwa dengan ziarah kuburan leluhur atau

tokoh magis tertentu dapat menimbulkan pengaruh tertentu. Kisah keunggulan

atau keistimewaan tokoh yang dimakamkan merupakan daya tarik bagi

masyarakat untuk mewujudkan keinginanya. Misalnya berziarah ke makan

tokoh yang pangkatnya tinggi, maka akan mendapatkan berkah berupa

pangkat yang tinggi pula. Bagi masyarakat Jawa, ziarah secara umum

dilakukan pada pertengahan sampai akhir bulan ruwah menjelang ramadhan.

Pada saat itu masyarakat secara bersama-sama satu dusun atau satu desa

maupun perorangan dengan saudara terdekat melakukan tradisi ziarah kubur.

Kegiatan ziarah kubur ini secara umum disebut nyadran. Kata nydran berarti

selamatan (sesaji) ing papang kang kramat selamatan (memberi sesaji) di

tempat yang angker maupun keramat.4

Agama Islam telah mengubah wajah dan kiblat orang Jawa. Namun,

kuatnya tradisi Jawa membuat Islam mau tak mau harus berakulturasi. Hasil

dari proses dialog antara Islam dengan budaya lokal Jawa, melahirkan

perpaduan tata nilai Islam dan budaya Jawa dengan menampilkan dua model

keagamaan yaitu Islam Jawa yang sinkretis dengan melahirkan perpaduan

antara unsur Hindu-Budha dengan Islam.5 Sinkretisme sebetulnya

mengandung semacam ironi, bahwa Islam tidak lagi tampil sebagai wujudnya

yang asli, tetapi sudah tercampur dengan unsur-unsur yang eksternal sifatnya.

Sebagaimana kita lihat dalam masyarakat Jawa, dengan demikian

menggambarkan suatu genre keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya yang

murni di tempat asalnya di Timur Tengah.

Ajaran Islam Jawa masih berpegang pada tradisi Jawa asli sehingga dapat

dikatakan mempunyai kemandirian sendiri. Bagi Islam Jawa agama

merupakan manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan).6

4 Ibid.5 Ridwan, Suwito NS, dkk, Islam Kejawen Sistem Keyakinan dan Ritual Anak Cucu Ki Bonokeling, (Purwokwrto: STAIN Purwokerto Press, 2008), hal: 18.6 Ibid, hal: 48-49.

Page 5: ziarah kubur

5

Di era sekarang untuk sebagian kaum muslimin khususnya di Indonesia,

fenomena melaksanakan ritual ziarah kubur telah menjadi sebuah tradisi yang

sangat kuat dan berlangsung turun temurun, mereka menganggap bahwa ritual

ziarah kubur adalah bagian dari ibadah ghaer makhdoh yang mesti

dilaksanakan pada setiap tahun. Bisa kita liat dikuburan khususnya kuburan

Waliyullah (9 wali), tak ada  sehari pun kuburan-kuburan wali tersebut sepi

dari para penziarah, mereka datang dari berbagai pelosok negeri dengan

berbagai tujuan tertentu, ada yang bertujuan untuk mencari barokah dengan

wasilahnya (perantara) kesholehan wali itu, ada yang mencari harta,

kedudukan dan jodoh.

Puncak kegiatan ziarah Kubur biasanya dilakukan pada bulan Robiul Awal

atau bulan Mulud dalam penanggalan Jawa, dimana pada tanggal 10 bulan

robiul awal tersebut bertepatan dengan Lahirnya Nabi Muhammad SAW. Pada

bulan tersebut, makam-makam yang dianggap keramat dipadati oleh para

penziarah dengan berlatar belakang status sosial, bukan hanya dari kalangan

masyarakat mampu saja, namun kalangan lapisan bawah pun memaksakan diri

untuk mengikuti kegiatan tahunan ziarah tersebut.7

Beberapa fenomena yang terjadi di beberapa daerah dipulau Jawa tentang

tradisi ziarah kubur misalnya, Pada malam 1 sura misalnya,  banyak dijumpai

pada sejumlah masyarakat yang mengunjungi tempat-tempat yang dianggap

sakral, yaitu Punden, makam, laut dan tempat-tempat lain yang dianggap

keramat. Di tempat itu pula mereka terkadang melakukan upacara ritual

pembakaran kemenyan untuk mengadakan pemujaan dan pengkultusan

terhadap benda-benda keramat secara berlebihan.  Bagi muslim yang taat di

tempat itu mereka mengadakan bacaan-bacaan yasin, tahlil, istighosah

maupun bacaan-bacaan doa lain yang dianggap sebagai bacaan penting

menurut mereka. Pada momentum itu, tanpa terkecuali muslim dari kalangan

abangan, santri ataupun priyayi mereka senantiayasa meminta kekayaan,

banyak rizqi, laris dagangannya, cepat mendapatkan jodoh dan sukses dari

semua kebuTuhan hidupnya.8

7 Kompas, Dibalik Ritual Ziarah Kubur ada Bisnis yang Terselubung, http://sosbud.kompasiana.com/2011/12/06/ , diakses pada tanggal 1 Juni 2012.8 Roibin, Mitos dalam Tradisi Keagamaan Masyarakat Islam Kejawen, Implementasinya terhadap Perkembangan dan Dinamika Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia, http://syariah.uin-

Page 6: ziarah kubur

6

Tradisi ziarah kubur di masyarakat Desa Pekuncen Kabupaten Banyumas

misalnya, terdapat terdapat makam kyai Bonokeling yaitu sebuah makam dari

seorang tokoh spiritual yang diyakini sebagai tempat keramat. Keberadaan

Kyai Bonokeling pada awalnya adalah dalam rangka among tani, yaitu babad

alas untuk kepentingan membuka lahan pertanian baru didaerah tersebut.

Kehadiran kyai Bonokeling di Pekuncen disamping membuka lahan pertanian

juga menyebarkan keyakinan agama Islam dengan mengakomodasi berbagai

tata nilai budaya lokal. Salah satu karakteristik yang menonjol dari tradisi

yang ia kembangkan adalah tradisi selametan untuk berbagai kepentingan.9

Makam ini secara khusus dimaksudkan sebagai tempat orang yang

meminta sesuatu sesuai dengan hajatnya, seperti penglaris supaya laris

dagangannya, mudah mendapatkan jodoh, agar naik pangkat atau jabatan,

minta kekayaan dan sebagainya. Baru-baru ini di Desa Pekuncen terjadi

perhelatan demokrasi ala desa, yaitu pemilihan kepala desa dan menurut

penuturan Kyai Wiryatpada dua calon kades tersebut juga sowan kemakam

untuk dzikir memohon restu agar memenangkan proses pemilihan kepala desa.

Bahkan, menurut penuturan kepala desa kedungringin, desa tetengga

Pekuncen, sudah ada beberapa bakal calon bupati kabupaten Banyumas yang

ziarah ke makam ini.10

Lain lagi dengan upacara tradisi yang berkembang dalam masyarakat di

Jawa Tengah yang berhubungan dengan makam tokoh, kecenderungan

upacara tersebut berhubungan dengan ulang tahun kematian (haul) dari tokoh

yang dimakamkan dan upacara penggantian kelambu makam dari tokoh

tersebut. Hampir sebagaian besar pengunjung upacara tradisi tersebut mencari

tuah dan berkah dari tokoh yang di makamkan. Implementasi tuah tersebut

disimbolkan dalam bentuk potongan kelambu makam, makanan yang menjadi

sesaji, air dari pensucian pusaka (jamasan), dan lain sebagainya.

Upacara tradisi di makam tokoh di wilayah kabupaten Grobogan

dilaksanakan di makam Ki Ageng Selo yang merupakan upacara haul

malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/, diakses pada tanggal 1 Juni 2012. 9 Ridwan, dkk, Op.Cit, hal: 82.10 Ibid, hal: 108.

Page 7: ziarah kubur

7

kematian beliau yang jatuh setiap bulan Sya’ban pada makam Ki Ageng

Selo.11

Tradisi haul yang dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Selo Kecamatan

Tawangharjo erat berhubungan dengan tokoh kharismatik Ki Ageng Selo yang

oleh masyarakat kabupaten Grobogan sebagai tokoh yang mampu menangkap

petir. Keahlian beliau ini sampai sekarang masih diyakini kebenarannya.

Masyarakat Grobogan sampai sekarang masih mengucapkan kalimat “Cleret

Putrane Ki Ageng Selo” apabila ada petir pada waktu hujan deras. Dengan

mengucap kalimat itu mereka percaya akan dilindungi dari ancaman sambaran

petir ganas tersebut. Terlepas dari kebiasaan penduduk yang masih

mempercayainya, ada tradisi yang masih berjalan sampai sekarang

berhubungan dengan ulang tahun kematian beliau yang dilaksanakan setiap

tanggal 15 malam 16 bulan Ruwah/ Sya’ban. Ulang tahun kematian beliau

diperingati dengan jalan membaca Alqur’an dan tahlil secara bergantian di

dalam masjid untuk mendoakan beliau. Pada masa sekarang puncak tradisi

haul ini diakhiri dengan diadakan pengajian akbar dengan mengundang

mubalig.12

Sejak dua tiga hari menjelang haul Ki Ageng Selo banyak masyarakat

yang datang untuk berziarah ke makam untuk mendoakan beliau, biasanya

orang- orang dari luar kota. Mereka datang sambil menunggu puncak

perayaan haul pada tanggal 15 dan 16 Sya’ban. Ziarah ini dipimpin oleh juru

kunci makam dan biasanya dilanjutkan dengan melakukan tahlil di makam

beliau dan lek-lek-an bagi mereka yang ingin melakukannya. Pada saat inilah

terjadi sinkretisme antara budaya Islam dan Hindu yaitu semedi dan membaca

doa tahlil. Berdasarkan informasi dari juru kunci mereka yang melaksanakan

ritual ini biasanya mempunyai keinginan sesuatu karena mereka percaya

dengan berdoa di makam orang-orang suci doanya akan dikabulkan oleh Allah

SWT. Sebagai bentuk kompensasi dari doa yang dikabulkan mereka akan

dengan senang hati datang dan memberikan sumbangan pada waktu acara haul

ini dilaksanakan.

11 Endah Sri Hartatik, Upacara-Upacara Tradisi yang masih Berkembang di Masyrakat Seputar Makam Tokoh di Jawa Tengah, (Laporan hasil Penelitian, Diknas jawa Tengah, 2009), hal: 3.12 Ibid, hal: 5.

Page 8: ziarah kubur

8

Tradisi ziarah kubur juga terjadi di Jawa Timur, seperti di daerah Gunung

Kawi yang terletak di kabupaten Malang. Bagi sebagian penduduk kota

Malang dan Jawa Timur, Gunung Kawi diyakini sebagai daerah tujuan wisata

religius untuk mencari rezeki sekaligus kemakmuran. Gunung Kawi tak

pernah sepi pengunjung. Di kaki gunung ini, tepatnya di tengah kota

Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, terdapat pesarean (pemakaman)

yang sangat terkenal, bahkan hingga ke mancanegara, yakni Pesarean Eyang

Kyai Zakaria II atau Eyang Djoego dan Raden Mas Imam Soedjono atau

Eyang Soedjo. Konon, keduanya adalah pengikut setia Pangeran Diponegoro

yang berhasil selamat dari peperangan melawan kompeni Belanda, dan

kemudian menetap di Gunung Kawi hingga akhir hayatnya.13

Setiap hari makam ini tak pernah sepi pengunjung. Selain berziarah, para

pengunjung umumnya mempunyai satu tujuan: ngalap berkah (mencari

kemakmuran). Bahkan pada hari-hari tertentu jumlah pengunjung bisa

berlipat-lipat, mengikuti penanggalan Jawa dan China, seperti Jumat Legi,

Hari Raya Imlek, dan perayaan Tahun Baru Jawa atau bulan Suro.

Kebetulan di bulan yang diyakini sebagai bulan keramat, tepatnya tanggal

12 Suro, diperingati warga Wonosari sebagai haul (hari meninggalnya) Eyang

Soedjo. Saat ngalap berkah, para peziarah biasanya menjalani ritual tertentu

yang mereka yakini. Setelah itu mereka mencari tempat di sekitar kawasan

Pesarean Gunung Kawi untuk menyepi. Yang paling menarik adalah

berjibunnya pengunjung duduk di bawah pohon dewandaru. Konon, saat

kepala kejaTuhan daun dewandaru, keinginan bisa terwujud.

B. Ziarah Kubur Dalam Prespektif Islam Jawa

Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum

bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya. Di antara tradisi dan budaya ini

terkadang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Di antara tradisi dan budaya

ini adalah keyakinan akan adanya roh-roh leluhur yang memiliki kekuatan ghaib,

keyakinan adanya dewa dewi yang berkedudukan seperti Tuhan, tradisi ziarah ke

makam orang-orang tertentu, melakukan upacara-upacara ritual yang bertujuan

13Fenomena Musyrik Pesugihan Gunung Kawi, http://www.fiqhIslam.com/index.php, diakses pada tanggal 1 Juni 2012.

Page 9: ziarah kubur

9

untuk persembahan kepada Tuhan atau meminta berkah serta terkabulnya

permintaan tertentu.

Untuk benar-benar mengetahui tujuan mereka yang tidak secara tekstual,

namun secara nyata dilapangan, penyusun bertemu dengan SU (45), Ia terkenal

dengan penganut islam yang mempunyai latar belakang islam abangan. Ia seorang

yang sangat mengagumi sosok bung Karno. Dalam praktreknya, setiap jumat legi,

ia selalu berusaha mengunjungi makam sosok yang dikaguminya tersebut. Ia

mengaku, ketika berada di area makam adalah memang ngalap barokah dari yang

ada didalam kubur. Menurutnya, dengan ia berkunjung ke makam tersebut, ia

akan mendapat semangat baru untuk terus memperjuangkan dan mempertahankan

kemerdekaan. Dalam kunjungannya di makam bung karno, ia selalu membawa

semacam sesajen, yang diakuinya sebagai bentuk seserahan kepada yang ada di

dalam kubur. Namun, meskipun demikian, ia tetap yakin, bahwa yang membuat

keputusan tetap Tuhan.

Selain SU, penyusun juga bertemu dengan EN (53), ia menceritakan

banyak hal tentang kepentingannya ketika berziarah kubur. Ia mengaku ketika

berziarah kubur, ia hanya ngalap berkah dari tempat yang diakuinya sebagai

tempat yang mustajab, untuk berdoa. Seperti ketika ia berdoa di depan makam

Rosululloh di Madinah. Ia yakin, ketika ia berdoa ditempat tersebut, apa yang ia

inginkan akan tercapai. Sehingga, ketika ia diberi kesempatan untuk berdoa

ditempat tersebut, ia akan menyampaikan semua yang diharapkannya.

Berbeda, ketika penyusun bertemu dengan Iks (34), ia memang termasuk

orang yang masih percaya dengan adat jawa. Namun, dalam prakteknya, ketika

ziarah kubur, ia lebih bertujuan pada keinginannya untuk mengingatkan kembali

kepada kematian. Sehinga, ia mengaku ketika ziarah kubur tidak ada niatan untuk

ngalap barokah atau berharap banyak supaya keinginannya tercapai.

Dari fenomena diatas, penyusun menginterpretasikan bahwa mereka yang

mengunjungi makam pada umumnya telah dilandasi dengan niat dan tujuan yang

didorong oleh kemauan batin yang mantap. Masing-masing mempunyai motivasi

yang belum tentu sama. Secara umum, motivasi ziarah ke makam tersebut

sesungguhnya hampir sama, yaitu seputar untuk mendapat keselamatan,

kesehatan, keberkahan, kesembuhan, ungkapan syukur, kemudahan rizki, jodoh,

Page 10: ziarah kubur

10

dan nasib baik. Meskipun demikian, masing-masing makam memiliki daya tarik

sendiri, yang mana hal ini terkait juga dengan kecocokan para peziarah terhadap

makam yang diyakini keramat tersebut.

Tidak sedikit ditemukan bahwa motivasi para peziarah tidaklah tunggal,

misalnya karena keinginan untuk sembuh saja, tetapi biasanya termasuk keinginan

banyak rizki, kesehatan, dan lain sebagainya. Bila dirinci secara detail, tujuan dan

motivasi yang beragam tersebut selengkapnya adalah seperti tabel berikut14;

Tabel 1:

Tujuan dan Motivasi Ziarah

No TUJUAN DAN MOTIVASI

1 Syukuran (secara umum)

2 Sebagai bagian rutinitas keagamaan

3 Bayar/memenuhi nazar

4 Ngurisang (cukuran anak)

5 Kelancaran rizki, usaha, panen

6 Menambah semangat beribadah (taqarrub)

7 Segera mendapatkan jodoh

8 Ekspresi kecintaan/kebaktian pada tokoh

9 Do’a keselamatan dan kesehatan

10 Sembuh dari sakit (minta kesembuhan)

11 Do’a menjelang keberangkatan haji

12 Memperoleh barâkah

13 Mencari nasib baik

14 Mencari pusaka/benda keramat, ilmu tertentu

15 Mengingtkan pada kematian

14 Ahmad Amir Aziz, dkk, Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di Lombok), (Jurnal Penelitian Keislaman,Vol. 1. No. 1, Desember: 2004), hal: 13-14

Page 11: ziarah kubur

11

16 Ingin mendapatkan anak (laki-laki/perempuan)

17 Supaya anaknya pintar dan tidak nakal

18 Sekedar mampir (rasa ingin tahu)

Kunjungan masyarakat ke berbagai makam selalu disertai dengan tradisi

dan ritual tertentu sesuai dengan kebiasaan masing-masing. Model ritual ini

terkadang sangat mencolok berbeda antara satu orang dengan orang lain atau satu

rombongan dengan rombongan lainnya. Semuanya tergantung pada kebiasaan

secara turun temurun atau keyakinan yang pada pada masing-masing pihak.

Dalam ziarah kubur masyarakat melakukan berbagai ekspresi acara dan

ritual yang berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain atau satu rombongan

dengan rombongan lainnya. Banyak ritual yang disemangati oleh ajaran Ulama,

namun tidak sedikit yang merupakan warisan leluhur adat yang terwarisi secara

turun temurun. Bahkan, hingga taraf tertentu ada ritual yang tidak jelas asal

usulnya dan kapan dimulainya, dan anehnya, masih dilangsungkan secara massif.

Contohnya adalah membuat ikatan di pohon yang banyak terjadi di makam.

Secara umum bentuk-bentuk ritual para peziarah dapat dilihat dari tabel berikut;15

Tabel 2:

Bentuk Ritualisme Penziarah

NO BENTUK RITUALISME

1 Tabur kembang (nyekar)

2 Menaruh sesaji

3 Usap wajah/kepala dengan air

4 Menaruh air di makam dan membawa pulang

5 Membuat ikatan di pohon

7 Membuat tulisan/buhul di kelambu

8 Ngurisan/srakalan

9 Dzikir dan tahlil

10 Bertapa/menjalankan ‘amalan’

11 Syukuran (makan-makan)

15 Ibid, hal:15

Page 12: ziarah kubur

12

12 Mengisi kotak amal

13 Membawa pulang sejimpit tanah

14 Minta doa juru kunci

15 Mengikat uang di kelambu

Ramainya para pengunjung ke makam orang-orang shaleh menunjukkan

bahwa masyarakat mempunyai kepercayaan khusus. Kepercayaan itu biasanya

berpangkal dari keyakinan tentang kekeramatan (karâmah) dari pribadi yang

dimakamkan. Seperti kata Geertz, agama merupakan sebuah sistem kebudayaan,

karena itu agama berpusat pada pikiran dan perasaan manusia yang selanjutnya

dijadikan acuan melakukan tindakan, juga untuk menafsirkan realitas yang

dihadapinya.

Sedangkan untuk pola kepercayaan para peziarah, berdasarkan temuan-

temuan dalam tradisi para penziarah muslim jawa, dapat ditipologikan ke dalam

tiga kelompok. Pertama, tradisionalisme Islam. Dalam hubungan ini, mereka

mengakui pentingnya intensitas hubungan dan kontak spiritual dari orang yang

masih hidup kepada mereka yang sudah meninggal. Bagi kalangan peziarah dalam

aliran ini, sistem kepercayaan yang diyakininya adalah bahwa yang dilakukan di

makam ini adalah mendo’akan kepada arwah yang dimakamkan di sini. Tokoh

yang dimakamkan patut didatangi kubur/makamnya karena mereka adalah Ulama

(bahkan wali) yang memiliki kedekatan hubungan dengan Allah dan mereka juga

memiliki jasa besar dalam pengembangan Islam. Inilah argumentasi pokok dari

keyakinan kepercayaan mereka. Sebagian lain menegaskan, kepercayaan yang

mereka anut bahwa orang yang masih hidup perlu menunjukkan bukti kebaktian,

penghormatan dan kecintaan kepada mereka yang sudah meninggal seperti halnya

anak mendo’akan orang tua yang meninggal atau embahnya dan lainnya.

Pola kepercayaan peziarah yang kedua disebut sebagai model kepercayaan

mistis. Ciri kepercayaan ini menekankan aspek kekayaan bathin dan kekuatan

supranatural dengan tanpa didasari alur logika. Sebagai contoh, prilaku peziarah

yang mengkultuskan makam dengan cara membuat tali/simpul/buhul sebagai

jimat, meyajikan sejaji di depan makam yang diyakininya sebagai syarat

terkabulnya permohonan sesungguhnya merupakan gambaran/potret kepercayaan

Page 13: ziarah kubur

13

yang berbau mistis. Ikatan yang dibuat dimaksudkan sebagai tanda bahwa

seseorang talah hadir di makam dan menyatakan permohonannya. Model ini

seperti halnya kepercayaan kuno dalam komunikasi antara manusia dengan dewa.

Dalam perspektif teologi tradisional, model kepercayaan ini patut dipandang

keluar dari ajaran islam atau mendekati ke arah syirik.

Model kepercayaan ketiga, dapat disebut sebagai pola kepercayaan

rasional. Model ini dianut oleh para peziarah yang memandang kekeramatan

makam sebagai hal yang biasa, bukan luar biasa, yang mana kita cukup

menghormatinya saja dengan penghormatan yang wajar tanpa melibatkan emosi

keagamaan yang berlebihan. Kelompok ini sama sekali tidak meyakini makam-

makam dan berbagai instrumen kekeramatannya sebagai benar-benar manjur

misalnya untuk penyembuhan penyakit dan sarana mempercepat terkabulnya

keinginan, namun hanya sebagai symbol belaka yang mana fungsinya hanyalah

sebatas sebagai sugesti. Bagi kalangan ini, yang membuat do’a terkabul hanya

Allah SWT semata yang disertai usaha yang dilakukan.16

C. Ziarah Kubur Dalam Pandangan Ulama’

1. Pendapat Syekh Ibnu Taimiyah

Syekh Ibnu Taimiyah mempunyai pendapat bahwa berpergian

menuju kuburan Nabi Muhammad SAW. tanpa mengunjungi Masjid

Nabawi, ia kembali mengatakan:

Pertentangan ini, dan yang sepertinya, membuat mereka (sebagian kaum muslimin) beranggapan bahwa berkunjung atau berpergian menuju kuburan para nabi itu sebagai satu bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah. Kemudian ketika mereka melihat dan memahami apa yang disebut oleh para ulama mengenahi sunatnya ziarah ke kubur Nabi kita, mereka menduga semua kuburan lainnya pun berhak dikunjungi sebagaimana terhadap kuburan Nabi Muhammad SAW.

Mereka tersesat, karena beberapa alas an berikut : pertama, bahwa

safar ke makam Nabi Muhammad SAW adalah safar ke masjidnya (Masjid

Nabawi). Hal itu dihukumi sunnat (mustahabb) menurut nash dan ijmak.

Kedua, bahwa safar atau ziarah yang diperbolehkan adalah safar untuk

(menuju) masjid ketika Rasulullah SAW masih hidup dan setelah beliau

16 Ibid, hal:16-17

Page 14: ziarah kubur

14

dikebumikan, serta sebelum masuk ke kamar di dalam masjid, juga setelah

masuk kamar di dalam masjid. Jadi, safar tersebut adalah safar menuju

masjid, baik didalam masjid itu ada kuburan Nabi maupun tidak ada. Oleh

sebab itu, safar seperti ini tidak dapat diserupakan dengan safar ke kuburan

belaka.

Yang ketiga, safar (berkunjung) ke masjid Nabi-yang disebut safar

atau berziarah menuju kuburannya-termasuk yang disepakati kaum

muslimin setiap generasi; sedangkan berkunjung ke kuburan-kuburan

lainnya tidak dikenal dikenal dikalangan sahabat ataupun tabi’in bahkan

atba’ tabi’in sekalipun17.

Begitu juga Syekh Ibnu Taimiyah melarang untuk membiasakan

berdo’a di depan kuburan, ataupun kuburan untuk berdo’a di depan atau di

dekatnya dengan keyakinan do’anya pasti dikabulkan jika dilakukan

kesana. Atau, jika merasakan bahwa berdo’a di dekat kuburan lebih

mungkin (dan lebih cepat) dikabulkan daripada di tempat lain. Adapun

jika seorang Muslim sedang berjalan dan kebetulan lewat kuburan lalu

berdo’a disana, atau ia menziarahi kuburan lalu mengucapkan salam

kepada ahli kubur dan berdo’a di tempat itu, maka ia tidak mesti harus

menghadap kiblat. Dan ia tidak dianggap sebagai pelaku syirk atau bid’ah.

Berikut ini teks perkataan Syekh Ibnu Taimiyah berkenaan dengan

larangaan berdo’a di depan kuburan, dalam kitab ‘Iqtidha’ Al-shirath Al-

Mustaqim halam 336, ia mengatakan:

“Di antara yang termasuk dalam kategori ini adalah menuju kuburan untuk

berdo’a disisinya atau padanya (‘inda al-qabri au li-al-qabr).

Sesungguhnya berdo’a di sisi (dekat) kuburan dan tempat-tempat lainnya

itu terbagi atas dua macam.

Pertama, boleh jadi berdo’a disuatu tempat hanya karena

kebetulan; bukan disengaja untuk berdo’a disana. Misalnya, orang yang

berdo’a di perjalanan dan kebetulan ia sedang melewati kuburan; atau

orang yang mengunjungi kuburan lalu ai mengucapkan salam kepada ahli

kubur sambil memohon kesejahteraan kepada Allah baginya dan bagi yang

17 Muhammad Al-Maliki Al-hasani, Mafahim Yajib An Tushahhah (terjemahan; Tarmana Abdul Qasim, Meluruskan Kesalapahaman, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), hal; 53-54

Page 15: ziarah kubur

15

telah mati.sebagaimana disebutkan dalam sunnah Nabi Muhammad SAW

yang demikian ini tidak apa-apa.

Kedua, banyak atau sering berdo’a di dekat kuburan sehingga

merasakan (menganggap) berdo’a dekat kuburan itu lebih cepat dikabukan

daripada di tempat lain. Pemahaman seperti ini jelas dilarang (manhi

‘anh), baik dilarang karena haram (nahyu tahrim) maupun dilarang untuk

penyucian hamba Allah (nahyu tanzih). Tampak indikasi untuk

diharamkan lebih dekat karena perbedaan di antara keduanya amat jelas.

Seandainya seorang muslim membiasakan berdo’a dekat berhala,

atau dekat salib, atau (di dalam) gereja dengan harapan do’anya

dikabulkan di tempat-tempat tersebut, maka itu termasuk dosa besar (min

al-‘izham), dan jika seseorang menuju suatu rumah atau suatu took di

pasar atau di pojok-pojok jalan seraya berdo’a di sana dengan harapan

segera terkabul do’anya, tentu perbuatan itu termasuk kemungkaran yang

diharamkan. Sebab, berdo’a di tempat-tempat seperti itu tidak

mengandung kemuliaan atau keutamaan.

Jadi, menuju kuburan untuk berdo’a disana termasuk yang

diharamkan; bahkan lebih dilarang daripada tempat lain. Sebab Nabi

Muhammad SAW pun telah melarang pembuatan masjid dikuburan atau

menjadikan kuburan sebagai masjid. Rasulullah SAW juga melarang

berpesta di kuburan. Beliau juga tidak menyetujui melakukan salat di

kuburan; berbeda dengan tempat-tempat lainnya.”18

2. Pendapat Kaum Hanabilah

Berziarah ke (makam) Nabi Muhammad SAW itu disyariatkan dalam

Islam.hal ini telah dibahas oleh para ulama, khususnya para imam

mujtahid dari kaum salaf.sedangkan penyebutkan kaum hanabilah, secara

khusus, disini bertujuan untuk menolak kedustaan sebagian kaum

muslimin yang menuduh kaum hanbaliah tidak mempunyai pendapat yang

jelas berkenaan dengan masalah ziarah ke (makam) Nabi Muhammad

SAW. Itulah yang mendorong saya untuk mengungkapkan pendapat

18 Ibid, hal; 85-87

Page 16: ziarah kubur

16

mereka secara khusus, demi menolak anggapan negative dan dusta

tersebut. Ketahui pula, sesungguhnya kitab-kitab fikih Islam-berdasarkan

berbagai mazhab semuanya membahas masalah ini.

3. Pendapat Imam Malik

Imam malik termasuk di antara kaum muslimin yang paling mencintai

Nabi Muhammad SAW dan apa yang berkaitan denganya. Bahkan, ia

tidak berani berjalan-jalan di kota madinah dengan memakai sandal

(sepatu) apalagi berkendaraan; lebih-lebih buang air besar disana. Hal ini

beliau lakukan demi menghargai, memuliakan, dan mengagungkan tanah

kota Madinah yang pernah menjadi wilayah yang dilalui Nabi Muhammad

SAW dengan berjalan kaki.

Imam malik begitu mencintai dan mengagungkan kota Madinah. Ia

bahkan tidak suka mendengar kata-kata: “Kami berziarah (mengunjungi)

kuburan Nabi Muhammad SAW”. Ia seakan lebih suka jika orang berkata:

“Kami menziarahi Nabi Muhammad SAW”; tanpa menyertakan kata-kata

al-qabr (kuburan). Sebab kata-kata al-qabr sendiri termasuk yang mahjur

“terlarang”-berkonotasi negative- sebagaimana disabdakannya:

Lakukanlah salat di rumahmu, dan janganlah kamu jadikan rumahmu

sebagai kuburan.

Jadi, Imam Malik ingin meluruskan penisbatan (idhafat) kata

ziarah kepada kata “kuburan” dan menghindari penyerupaan atau peniruan

terhadap kaum musyrikin. Hal ini dilakukan untuk menghindari bahaya

yang lebih besar.

Walhasil,jika kalau yang dimaksud Imam Malik adalah

ketidaksukaannya terhadap ziarah kubur, ia akan berkata, “Aku tidak suka

orang yang mengunjungi (berziarah) kuburan Nabi Muhammad SAW”.

Ternyata tidak, yang ia ucapkan adalah, “Aku tidak suka seseorang

mengatakan…….” Jadi jelas, beliau hanya tidak suka terhadap

penggunaan kata-kata yang tidak etis saja19.

19 Ibid, hal; 58-59

Page 17: ziarah kubur

17

4. Syaikhul Islam Syekh Majduddin Muhammad bin Ya’qub Al-

Fairuzabadi

Syekh Majduddin mengatakan, dalam kitabnya, Al-Shilat wa Al-

basyar, “Ketahuilah, membaca shalawat dekat makam Nabi Muhammad

SAW itu sangat bagus (‘akid). Maka disunatkan memperdayakan orang

yang berpergian (melakukan safar) untuk mendapatkan keuntungan

dengan kemulian yang agung dan kedudukan yang mulia ini.” Al-Qadhi

Ibnu Kaj (Al-Qadhi Yusuf bin Ahmad bin Kaj) mengatakan tentang apa

yang dihikayatkan oleh Al-Rafi’i: “Jika seorang bernazar untuk berziarah

untuk berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Maka, menurutku, itu

mesti dipenuhi- ini satu pendapat yang tidak ada pilihan lain.sedangkan

jika seseorang bernazar untuk berziarah ke makam selain makam Nabi,

menurutku, disitu ada dua kemungkinan pendapat. Tetapi, sebagaimana

telah diketahui, tidak mesti (memenuhi) nazar kecuali jika berupa ibadah”.

Di antara yang menyatakan secara terang-terangan suka

(mustahabb) berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW dan menjadikan

sunnat di antara sahabat kami dari al-syafi’iyah adalah Al-Rifi’i.Ia

menegaskan hal itu di akhir bab A’mal Al-Hajj dan Al-Ghazali dalam

Ihya’ ‘Ulumuddin, Al-Baghawi dalam Al-Tahdzib, Syekh ‘Izzuddin bin

Abdussalam dalam Manasik-nya; juga Abu ‘Amr bin Shalah serta Abu

Zakariyah Al-Nawawi.

Adapun dari kaum Hanbaliah adalah Syekh Muwaffiquddin dan

Imam Abu Al-Faraj Al-Bagdadi dan selain keduanya. Dari kaum Hanafiah

adalah penulis Al-‘Ikhtiyar fi Syarh Al-Mukhtar Lah. Ia membuat satu

fasal mengenai ziarah (ke makam Nabi Muhammad) seraya

menganggapnya sebagai ibadah sunnat (mandub) yang paling utama.

Sementara dari kaum Malikiah - menurut riwayat Al-Qadhi ‘Iyadh-

telah terjadi kesepakatan di antara mereka atas disunatkan berziarah ke

makam Nabi Muhammad SAW. Bahkan dalam kitab Tahdzib Al-Thalib

karya Abdul Haqq Al-Shaqli- dari Syekh Abu ‘Imran Al-Maliki-

disebutkan bahwa ziarah kubur ke makam Nabi Muhammad SAW itu

wajib. Abdul Haqq mengatakan; “maksudnya, termasuk diantara sunnah

Page 18: ziarah kubur

18

yang wajib.” Sedangkan dalam perkataan Al-‘Abdi Al-Maliki,

sebagaimana disebutkan dalam syarah Al-Risalah: “Berjalan menuju kota

Madinah untuk berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW itu lebih

utama daripada berjalan menuju kabah atau menuju Baitul Maqdis.

Kebanyakan istilah atau ungkapan para fuqaha, tokoh

mazhab,mengindikasikan perlunya safar atau berpergian untuk berziarah.

Mereka menyukai bagi setiap yang melakukan ibadah haji untuk berziarah,

yang diantara urgensi/kebuTuhannya adalah al-safar, berpergian.

Mengenai ziarah itu sendiri, dalil-dalinya sangat banyak; di

antaranya firman Allah SWT.: “Sesungguhnya jika mereka ketika

menganiaya dirinya dating kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah,

dan Rosul memohon ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati

Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. 4:64). Satu hal

yang pasti, bahwa Nabi Muhammad SAW itu hidup, bahwa amal-

perbuatan umatnya akan diperlihatkan (dilaporkan) kepadanya. Kemudian

Syekh Mujduddin menyebutkan sejumlah hadits mengenai ziarah.

Demikian dipaparkan Syekh Majduddin dalam Al-Shilat wa Al-Basyar fi

Al-Shalat ‘ala Khayr Al-Basyar halaman 147.

D.Tanggapan dan Solusi Dalam Ziarah Kubur di Jawa

Sebagaimana yang telah kami paparkan di atas bahwasanya masalah ziarah

kubur adalah ikhtilaf diantara kalangan ulama, ada yang memperbolehkan dan ada

yang melarang. Adapun kalangan yang melarang dikarenakan kekhawatir kepada

para muslimin meminta kepada ahli kubur dan menyakini do’anya dikabulkan,

sebagaimana pendapat Syekh Ibnu Taimiyah, tapi mayoritas ulama tidak melarang

ziarah kubur atau berpergiaran ziarah ke makam-makam orang sholeh dengan

niatan bukan meminta kepada ahli kubur tapi dengan maksud untuk mendo’akan

ahli kubur dan mengirim pahala atas bacaan ayat-ayat al-Qur’an dan kalimah-

kalimah thayyibah, seperti tahlil, tahmid, tasbih, shalawat dan lain-lain. Mereka

berlandasan dengan hadis riwayat Ahmad, Muslim dan Ashhabussunna dari

Abdullah bin Buraidah yang diterima dari bapak bahwa Nabi SAW bersabda:

Page 19: ziarah kubur

19

�ت� �ن �م� ك �ك �ت هي ة� عن� ن ار ر� ز�ي�� �قب��� ا ال و�ه�� و�ر� ا فز� �ه�� �ن �م� فإ ك !ر� ذك ت���

ة� ابن الل��ه عب��د عن الس��نن وأصحاب ومسلم أحمد )رواه اآلخ�ر

بريدة(

Dahulu saya melarang menziarahi kubur, adapun sekarang berziaralah ke sana,

karena yang demikian itu akan mengingatkanmu akan hari akhirat. (HR. Ahmad,

Muslim dan Ashhabussunna)20.

Diperkuat lagi, bahwa Nabi SAW memberi tauladan dengan melakukan

ziarah ke makam syuhada’, yang kemudian diikuti oleh Syayidina Abu Bakar RA,

Syayidina ‘Umar RA dan Syayidina ‘Utsman RA. Dalam, kesempatan lain, yaitu

saat peristiwa fath al-Makkah, beliau juga menziarahi kuburan ibunya. Begitu

juga dengan ‘Aisyah RA yang berziarah ke kuburan saudaranya, ‘Abdurrahman

bin Abu Bakar. Ibnu ‘Umar berziarah ke makam ayahnya, Syayidina ‘Umar bin

Khathtab. Bahkan, disetiap hari jum’at, Fatimah binti Muhammad SAW rutin

berziarah ke makam pamanya, Hamzah.21

Salah satu tradisi yang identik dengan mayoritas Muslim Indonesia adalah

ziarah kubur khususnya di jawa, para muslimin beramai-ramai mengunjungi

makam-makam orang sholeh yang dikramatkan atau tokoh-tokoh sejarah yang

telah berjasa dalam penyebaran Islam seperti wali sanga atau tokoh yang ada di

tempat tinggal meraka. Adapun tujuan para peziarah mendatangi makam-makam

tersebut sangat beragam, ada yang karena ingin kesembuhan dari suatu penyakit,

keinginan segera menemukan jodoh, berharap mendapat rezeki melimpah, minta

laris usaha perdagangan/bisnis, ingin terbebas dari mara bahaya, sebagai bagian

rutinitas keagamaan,memenuhi nazar, ekspresi kecintaan/kebaktian pada tokoh,

memperoleh barakah, mencari pusaka/benda keramat, ilmu tertentu dan lain

sebagainya. Semua itu mereka lakukan karena keyakinannya akan kekeramatan

makam-makam tersebut. Sehingga, bila kita cermati, secara teologis keyakinan

keimanan para peziarah masih ambivalen, campur-aduk, dan tidak murni.

20 M. Afnan Chafidh,dkk, Tradisi Islami, Surabaya: Khalista, 2006, hal: 230 dan Muhyiddin abdul syomat, Al-hujjah Al-qothiyah fi shihah Al-muqtaqidat wa Al-‘amaliyat, Surabaya: Khalista, 2007, hal: 13821 Forum Karya Ilmiah (FKI) Tahta pesantran Lirboyo, Kajian Pesantren Tradisi dan Adat Masyarakat Menjawab Vonis Bid’ah, (Kediri: Pustakan Gudang Lama, 2010), hal:67.

Page 20: ziarah kubur

20

Tentang ziarah kubur, satu sisi mereka menyatakan ketauhidannya secara

mutlak akan tetapi di sisi lain mereka menyimpan kepercayaan-kepercayaan

tertentu terhadap makam-makam yang dianggap keramat tersebut untuk

keberhasilan maksud dan tujuan yang mereka inginkan. Sehingga apabila mereka

melakukan ziarah ke makam-makam kuno yang diyakini masyarakat luas sebagai

tempat-tempat keramat, maka niatan mereka bisa jadi tetap berada pada garis yang

lurus (benar), atau mungkin juga telah terjadi penyimpangan sehingga dapat

membahayakan kemurnian tauhid mereka karena dalam ritualnya terjadi tumpang

tindih antara hal-hal yang berasal dari religi dan dari tradisi.

Banyak ritual yang disemangati oleh ajaran Ulama seperti membaca al-

Qur’an, dzikir dan tahlil kalimah-kalimah tayyibah dan lain-lainya, namun tidak

sedikit yang merupakan warisan leluhur adat yang terwarisi secara turun temurun

seperti, menaruh sesaji, membuat tulisan/buhul di kelambu, menaruh air di

makam dan bawa pulang, dan lain-lainnya. Bahkan, hingga taraf tertentu ada

ritual yang tidak jelas asal usulnya dan kapan dimulainya, dan aneh22.

Dalam menanggapi fenomena-fenomena baru dalam masyarakat seperti

halnya pertumbuhan budaya yang tidak didapati hukumnya didalam islam. Para

pemuka dalam hal ini menggunakan dua jalan. Pertama, adanya jalan

kemaslahatan semata, seperti ditempuh oleh imam al-tufi, yaitu asal pertumbuhan

budaya itu memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, maka dapat diterima oleh

islam. Kedua, dengan melihat persesuaian budaya dengan syariat islam, seperti

ditempuh oleh Imam al-Syatibi, bahwasanya apabila pertumbuhan budaya itu

berguna bagi moral, jiwa, akal, harta dan keturunan, maka budaya itu bisa

diterima. Namun, apabila bertentangan dengan syariat maka harus ditolak.23

Oleh sebab itu, ketika ada sebuah budaya atau tradisi yang berkembang di

tengah masyarakat khusus ritual-ritual pada ziarah kubur yang bertentangan

dengan nilai-nilai agama Islam, maka diperlukan filter yang jelas agar budaya dan

agama dapat beriringan menuntun masyarakatnya kearah yang benar. Yaitu Filter

Akidah dan Filter Amaliyah. Filter Akidah menjadi faktor utama karena

merupakan dasar keimanan pelaku budaya dan Filter Amaliyah merupakan

penjelas suatu budaya bisa menemukan legalitasnya atau tidak.

22 Ahmad Amir Aziz, dkk, Op.Cit, hal: 1423 Abdul Karim, Islam Nusantara, (Yoyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007). Hal :177

Page 21: ziarah kubur

21

Untuk mempratekkan filter akidah, kita harus memahami sebelum budaya

atau tradisi dilegalitaskan dalam agama Islam, perlu dikenalkan lebih dahulu

keyakinan para pelaku-nya atas hokum kausalitas (sebab-akibat), yang

diklasifikasikan menjadi 4 (empat) macam24:

1. Pelaku yang menyakini sebuah sebab bisa menghasilkan akibat tanpa

“campur tangan” Allah SWT bias membakar dan makanan dengan

sendirinya tanpa “campur tangan” Allah SWT bisa mengenyangkan, maka

ia secara ijma’, telah dinilai keluar dari agama islam.

2. Pelaku yang menyakini sebuah sebab bisa menghasilkan akibat dengan

kekuatan (rahasia) yang Allah ciptakan pada sebab tersebut. Seperti

seseorang yang menyakini bahwa api bias membakar dengan kekuatan yang

Allah ciptakan padanya dan makanan bisa mengenyangkan dengan kekuatan

yang Allah ciptatakan padanya. Merujuk pendapat Ashah , ia tidak

dihukumi kafir, namun termasuk orang fasiq dan ahli bid’ah.

3. Pelaku yang menyakini bahwa relasi (hubungan) antara sebab dan akibat

bersifat mutlak, tidak terbantahkan dan pasti tidak meleset (talazum ‘aqli),

namun meyakini pula bahwa semuanya terjadi atas tekdir Allah SWT.

Seperti seseorang yang meyakini bahwa kebakaran atau rasa kenyang

tergantung dengan api dan makanan, bila api dinyalakan dan didekatkan

pada kertas misalnya, maka pasti akan membakarnya dan bila seseorang

makan ia akan kenyang, namun ia masih meyakini bahwa semuanya tidak

keluar dari takdir Allah SWT. Orang yang berkeyakinan semacam ini

dikatagorikan sebagai orang yang bodoh dalam akidahnya.

4. Pelaku yang menyakini bahwa relasi sebab akibat tidak bersifat mutlak, bisa

terbantahkan dan bisa meleset (talazum ‘adi). Semua kebaikan dan

keburukan hanya tergantung pada takdir Allah SWT. Seperti seseorang yang

menyakini bahwa memang pada umumnya api bisa membakar dan makan

bisa mengenyangkan, namun tetap menyakini bahwa pada hakikatnya

keduanya hanyalah sebuah sebab yang bisa saja meleset dari kebiasaannya,

yang menentukan kebakaran dan rasa kenyang hanyalah Allah SWT, maka

ia dinilai sebagai seorang mukmin yang lurus akidanya.

24 Forum Karya Ilmiah (FKI) Tahta pesantran Lirboyo, Op.Cit, Hal : 309

Page 22: ziarah kubur

22

Pentingnya pemahaman tentang hukum kausalitas di atas adalah untuk

menyikapi kenyakinan masyarakat atas budaya atau tradisi mereka yang cukup

bervariasi. Semisalnya dalam ziarah kubur mereka masih banyak berkenyakinan

bahwa dengan berdo’a disana bisa terkabulkan atau dengan membawa air

diletakkan dikuburan nanti bisa menyembuhkan penyakit atau menjadi sehat.

Sedangkan maksud dari filter ‘amaliyah adalah seleksi atau penilaian pada

suatu budaya, apakah budaya tersebut bisa ditolelir atau tidak. Bila suatu budaya

mau tidak mau (lazim) pasti mengandung larangan agama seperti pemyia-nyiaan

harta, maka budaya tersebut tidak layak dilestarikan. Sementara bila larangan

agama tersebut masih bisa dihindari (tidak lazim), maka sebisa mungkin larangan

agama itu dihindari, sehingga kebudayaan juga bisa dijadikan alat untuk

menyebarkan agama islam25.

25 Ibid, Hal :315

Page 23: ziarah kubur

23

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwasanya ziarah kubur

merupakan proses akulturasi budaya jawa dan agama islam. Kepercayaan

masyarakat Jawa-Hindu masih terbawa hingga saat ini, meskipun sudah mayoritas

agama di Indonesia adalah islam. Salah satu tradisi yang identik dengan mayoritas

Muslim Indonesia adalah ziarah kubur khususnya di jawa, para muslimin

beramai-ramai mengunjungi makam-makam orang sholeh yang dikramatkan atau

tokoh-tokoh sejarah yang telah berjasa dalam penyebaran Islam seperti wali sanga

atau tokoh yang ada di tempat tinggal meraka. Adapun tujuan para peziarah

mendatangi makam-makam tersebut sangat beragam; sehingga memunculkan pola

kepercayaan para penziarah muslim jawa terhadap kekeramatan makam tidaklah

bersifat tunggal.

Banyaknya ragam tujuan dan harapan dari ziarah kubur tersebut,

menjadikan terbentuknya bebrapa kelompok. Yang pertama adalah kelompok

tradisionalisme islam. Dalam hubungan ini, mereka mengakui pentingnya

intensitas hubungan dan kontak spiritual dari orang yang masih hidup kepada

mereka yang sudah meninggal. Selanjutnya, ada kelompok penganut kepercayaan

mistis. Ciri kepercayaan ini menekankan aspek kekayaan bathin dan kekuatan

supranatural dengan tanpa didasari alur logika. Yang terakhir adalah kelompok

yang mengedepankan rasional, model ini dianut oleh para peziarah yang

memandang kekeramatan makam sebagai hal yang biasa, bukan luar biasa, yang

mana kita cukup menghormatinya saja dengan penghormatan yang wajar tanpa

melibatkan emosi keagamaan yang berlebihan

Masalah ziarah kubur adalah ikhtilaf diantara kalangan ulama, ada yang

memperbolehkan dan ada yang melarang. Adapun kalangan yang melarang

dikarenakan kekhawatir kepada para muslimin meminta kepada ahli kubur dan

menyakini do’anya dikabulkan, sebagaimana pendapat Syekh Ibnu Taimiyah, tapi

mayoritas ulama tidak melarang ziarah kubur atau berpergiaran ziarah ke makam-

makam orang sholeh dengan niatan bukan meminta kepada ahli kubur tapi dengan

Page 24: ziarah kubur

24

maksud untuk mendo’akan ahli kubur dan mengirim pahala atas bacaan ayat-ayat

al-Qur’an dan kalimah-kalimah thayyibah, seperti tahlil, tahmid, tasbih, shalawat

dan lain-lain.

Banyak cara untuk menyeimbangkan antara adat istiadat dan ajaran islam,

sehingga kita tidak terrjurus terhadap fanatisme salah satu diantranya. Salah

satunya adalah dengan menggunkan filter akidah dan amaliyah. Filter Akidah

menjadi faktor utama karena merupakan dasar keimanan pelaku budaya dan Filter

Amaliyah merupakan penjelas suatu budaya bisa menemukan legalitasnya atau

tidak.

Page 25: ziarah kubur

25

Daftar Pustaka

Afriadi, Yusuf . Ziarah Kubur. http://yusufafriadi.blogspot.com/2012/05/ziarah-kubur.html, diakses pada tanggal 1 juni 2012.

Al-hasani, Muhammad Al-Maliki. 2002. Mafahim Yajib An Tushahhah (terjemahan; Tarmana Abdul Qasim, Meluruskan Kesalapahaman. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Aziz, Ahmad Amir ,. Dkk. Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di Lombok), (Jurnal Penelitian Keislaman,Vol. 1. No. 1, Desember: 2004)

Chafidh, M. Afnan ,. Dkk. 2006. Tradisi Islami, Surabaya: Khalista. Fenomena Musyrik Pesugihan Gunung Kawi,

http://www.fiqhIslam.com/index.php, diakses pada tanggal 1 Juni 2012.Forum Karya Ilmiah (FKI) Tahta pesantran Lirboyo. 2010. Kajian Pesantren

tradisi dan adat masyarakat, Menjawab Vonis Bid’ah. Kediri: Pustakan Gudang Lama.

Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.Hartatik, Endah Sri. 2009. Upacara-Upacara Tradisi yang masih Berkembang di

Masyrakat Seputar Makam Tokoh di Jawa Tengah. Laporan hasil Penelitian: Diknas jawa Tengah.

Karim, Abdul. 2007. Islam Nusantara. Yoyakarta: Pustaka Book Publisher.Kompas. Dibalik Ritual Ziarah Kubur ada Bisnis yang Terselubung,

http://sosbud.kompasiana.com/2011/12/06/ . diakses pada tanggal 1 Juni 2012.Ngashim, Aziz Abdul . Nyekar Yang Berakar Telaah Arah dan Sejarah Ziarah,

http://filsafat.kompasiana.com/2011/08/02/. diakses pada tanggal 1 Juni 2012.Ridwan, Suwito NS, dkk,. 2008. Islam Kejawen Sistem Keyakinan dan Ritual

Anak Cucu Ki Bonokeling. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press.Roibin. Mitos dalam Tradisi Keagamaan Masyarakat Islam Kejawen,

Implementasinya terhadap Perkembangan dan Dinamika Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia. http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/, diakses pada tanggal 1 Juni 2012.

Syomat, Muhyiddin Abdul. 2007. Al-hujjah Al-qothiyah fi shihah Al-muqtaqidat wa Al-‘amaliyat, Surabaya: Khalista.