kti2 jurnal

Upload: shanaanwar

Post on 12-Jul-2015

453 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1 KORELASI ANTARA KADAR PROTEIN URINE DAN NILAI GLOMERULAR FILTRATION RATE DALAM MENGEVALUASI PROGNOSIS GAGAL GINJAL TERMINAL PADA PASIEN HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ULIN BANJARMASIN JULI 2010 Miftahul Arifin 1, Alfi Yasmina 2, Zavita Anwar32

Bagian Patologi Klinik RSUD Ulin Banjarmasin Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru 3 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru

1

ABSTRAK Gagal ginjal terminal mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi ginjal secara progresif. Fungsi ginjal serta keparahan penyakit ginjal ini dapat diukur dengan kadar protein urine dan glomerular filtration rate (GFR). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar protein urine dan nilai GFR dalam mengevaluasi prognosis gagal ginjal terminal pada pasien hemodialisis RSUD Ulin Banjarmasin Juli 2010. Rancangan penelitian ini adalah penelitian observasional dengan pendekatan cross-sectional. Sampel penelitian ini adalah 30 penderita penyakit ginjal terminal yang dihemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin Juli 2010, dipilih secara purposive sampling. Variabel bebas pada penelitian ini adalah kadar protein urine dan variabel terikatnya adalah nilai GFR. Kadar protein urine diukur dengan menggunakan pemeriksaan proteinuria semikuantitatif metode dipstick yang dikonversi menjadi nilai kadar protein kuantitatif, sedangkan nilai GFR dihitung dengan Formula Cockcroft-Gault. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata kadar protein urine adalah sebesar 270 mg/dl dan rerata nilai GFR adalah sebesar 6,01 ml/menit/1,73 m. Analisis dengan uji korelasi Spearman menunjukkan hasil r = -0,096, dengan p = 0,615. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang sangat lemah dan tidak bermakna antara kadar protein urine dan nilai GFR pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin, dan kadar protein urine semikuantitatif tidak bisa digunakan untuk memprediksi GFR pada pasien gagal ginjal terminal. Kata-kata kunci: gagal ginjal terminal, kadar protein urine, GFR

2 CORRELATION BETWEEN URINARY PROTEIN LEVEL AND GLOMERULAR FILTRATION RATE VALUE IN EVALUATING THE PROGNOSIS OF END STAGE RENAL DISEASE IN HEMODIALYSIS PATIENTS IN RSUD ULIN BANJARMASIN JULY 2010 Miftahul Arifin 1, Alfi Yasmina 2, Zavita Anwar32

Departement of Patological Clinic of Ulin Hospital Banjarmasin Departement of Pharmacology of Medical Faculty of Lambung Mangkurat University Banjarbaru 3 Student of Medical Faculty of Lambung Mangkurat University Banjarbaru

1

ABSTRACT End stage renal disease (ESRD) results in a progressive decline in renal function. Renal function and severity of kidney disease can be assessed by measuring urinary protein level and glomerular filtration rate (GFR). This research was aimed to study the correlation between urinary protein level and GFR value in evaluating the prognosis of ESRD in hemodialysis patients in RSUD Ulin Banjarmasin in July 2010. It was an observational study with cross-sectional approach. Thirty ESRD patients who were in hemodialysis in RSUD Ulin Banjarmasin in July 2010 were taken by purposive sampling. The independent variable was urinary protein level, and the dependent variable was GFR value. Urinary protein level was measured by estimating the level with semiquantitative proteinuria dipstick method, which value was converted into quantitative urinary protein level, while GFR value was estimated with Cockcroft-Gault Formula. Result showed that the average urinary protein level was 270 mg/dL and the average GFR value was 6.01 mL/min/1.73 m. Analysis with Spearman correlation test showed r = -0.096, p = 0.615. It was concluded that there was very weak and insignificant correlation between urinary protein level and GFR value in assessing the prognosis of ESRD in hemodialysis patients in RSUD Ulin Banjarmasin, and semiquantitative urinary protein level could not be used to predict GFR in ESRD patients. Keywords: end stage renal disease, urinary protein level, GFR

3 PENDAHULUAN Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam dan sangat luas, mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara progresif, dan pada umumnya akan berakhir dengan penyakit/gagal ginjal terminal (GGT) (1). PGK merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Insidensi dan prevalensi penyakit ginjal meningkat di Amerika Serikat, dengan prognosis yang jelek dan biaya yang tinggi. Jumlah penderita dengan PGK yang diterapi dengan dialisis dan transplantasi menunjukkan peningkatan dari 340.000 orang pada tahun 1999 sampai 651.000 orang pada tahun 2010 (2). Pada penelitiannya, Bliwise (3) menyatakan bahwa di Amerika Serikat tiap tahunnya lebih dari 300.000 pasien menerima terapi hemodialisis untuk penderita GGT dan tingkat kematian tiap tahunnya sekitar 20%. Berdasarkan data di beberapa pusat nefrologi di Indonesia, diperkirakan insidensi PGK berkisar 100-150/juta penduduk dan prevalensinya 200-250/juta penduduk pada tahun 2005 (4). Sementara itu, jumlah kunjungan pasien PGK yang ditangani di Unit Hemodialisis pada di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin pada tahun 2009 sebanyak 462 orang. Beberapa faktor risiko yang dihubungkan dengan PGK adalah umur lebih dari 60 tahun, hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskular, dan riwayat keluarga penyakit ginjal. Penurunan fungsi ginjal dikaitkan dengan banyak komplikasi, seperti hipertensi, anemia, malnutrisi, penyakit tulang, dan penurunan kualitas hidup. Keterlambatan perujukan ke ahli nefrologi sebelum dialisis awal berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas (5). Pada penelitiannya, Astor (6) merekomendasikan penggunaan glomerular filtration rate (GFR) untuk mendefinisikan PGK, risiko komplikasi dan pedoman pengobatan. Menurut Levey (2), nilai GFR secara umum merupakan penanda yang terbaik untuk menentukan tingkat fungsi ginjal dan juga membuktikan bahwa selain untuk mendeteksi kerusakan ginjal, nilai GFR juga berguna untuk menggolongkan stadium berdasarkan

4 keparahan kerusakan ginjal dan memperkirakan progresivitas penyakit ginjal. Namun demikian, pengukuran GFR ini memerlukan waktu dan mahal (7). Proteinuria merupakan manifestasi penyakit ginjal, dan bisa menjadi indikator pemburukan fungsi ginjal, baik pada penyakit ginjal diabetes ataupun penyakit ginjal non diabetes (8). Ini karena pada PGK terjadi perubahan ukuran sawar filtrasi dan peningkatan tekanan sepanjang membran basalis kapiler glomerulus, sehingga menyebabkan selektivitas sawar filtrasi glomerulus terhadap albumin menurun, yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan proteinuria (1,9). Dengan demikian proteinuria dapat menjadi pemeriksaan yang lebih mudah dan murah dibandingkan dengan GFR untuk mengevaluasi pemburukan fungsi ginjal. Proteinuria merupakan pemeriksaan semikuantitatif dengan menggunakan metode dipstick. Untuk mendapatkan kadar protein urine kuantitatif, maka hasil pemeriksaan tersebut akan dikonversi dulu. Pada penelitian ini, peneliti ingin mencari korelasi antara kadar protein urine dan nilai GFR pada pasien GGT yang menjalani hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin, sehingga para klinisi dapat memprediksi prognosis GGT dengan menggunakan pemeriksaan kadar protein urine, yang pada akhirnya dapat memudahkan dalam mengetahui keparahan GGT. Penelitian akan dilakukan di instalasi Hemodialisis RSUD Ulin Banjarmasin karena rumah sakit tersebut merupakan pusat rujukan dari seluruh wilayah Kalimantan Selatan, sehingga dapat mewakili penderita GGT di Kalimantan Selatan. Penelitian ini tidak pernah dilakukan sebelumnya di RSUD Ulin Banjarmasin.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan pendekatan cross-sectional. Populasi penelitian ini adalah penderita penyakit ginjal kronik yang dihemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin Juli 2010. Proses pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive

5 sampling. Menurut Gay dan Diehl, sampel yang digunakan pada penelitian korelasional minimal 30 subyek penelitian (24). Oleh karena itu pada penelitian ini, jumlah sampel yang digunakan minimal 30 pasien GGT yang sedang menjalani hemodialisis. Kriteria inklusinya adalah tidak sedang menderita penyakit mieloma, tidak sedang menderita penyakit amiloidosis, tidak sedang menderita penyakit kronis seperti TBC, tidak sedang menderita penyakit sirosis hepatis, dan tidak sedang menderita penyakit SLE (19). Semua kriteria inklusi ini dipastikan dengan melihat rekam medis pasien, apabila tidak ada diagnosis penyakit ini, maka pasien dianggap tidak menderita penyakit-penyakit tersebut. Bahan yang digunakan pada pemeriksaan kadar protein urine adalah urin. Bahan yang digunakan pada pemeriksaan kadar kreatinin serum adalah darah serum bebas hemolisis, reagen AMP dan alkohol 70%. Alat yang digunakan pada pemeriksaan kadar protein urine adalah Cliniteck-50 Bayer, multistick urinalisis, tabung reaksi, rak tabung reaksi, dan botol gelas/plastik. Alat yang digunakan pada pemeriksaan serum kreatinin adalah Express Plus (Bayer), spuit injeksi 3 cc, kapas, tabung reaksi, cup serum, kuvet, tempat pembuangan kuvet, centrifuge, clinipette dan tip, torniket, sarung tangan, kapas dan masker. Variabel pada penelitian ini adalah kadar protein urine dan nilai GFR. Variabel bebas pada penelitian ini adalah kadar protein urine pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin. Variabel terikat pada penelitian ini adalah nilai GFR pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin. Variabel pengganggu pada penelitian ini berasal dari subyek penelitian (pasien hemodialisis), bahan penelitian dan alat penelitian. Kadar protein urine adalah hasil pemeriksaan terhadap protein urine, dengan menggunakan pemeriksaan proteinuria semikuantitatif metode dipstick. Urine yang digunakan adalah urine pagi. Hasil dari pemeriksaan urine ini dikonversikan seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

6 Tabel 1. Konversi proteinuria (9) Uji skrining untuk proteinuria Tingkatan dipstick Konsentrasi protein (mg/dl) 0 0-5 Samar 5-20 1+ 30 2+ 100 3+ 300 4+ 1000 GFR adalah kecepatan filtrasi glomerulus, dan nilai GFR ini dapat diperkirakan dengan menggunakan Formula Cockcroft-Gault. Formula Cockroft-Gault adalah sebagai berikut (1): GFR (laki-laki, ml/menit/1,73 m) = (140 - umur) x BB (kg) 72 x kreatinin serum (mg/dl) GFR (perempuan, ml/menit/1,73 m) = (140 - umur) x BB (kg) x 0,85 72 x kreatinin serum (mg/dl) Kadar kreatinin adalah hasil pemeriksaan kreatinin serum yang dilakukan dengan menggunakan alat Express Plus (Bayer). Darah yang digunakan adalah darah vena yang diambil dari pembuluh darah pada lengan pasien di fossa kubiti. Pasien hemodialisis adalah pasien yang sedang menjalani hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin oleh karena penyakit ginjal kronik stadium akhir atau gagal ginjal terminal. Setiap pasien GGT yang menjalani terapi hemodialisis yang sedang rawat jalan di RSUD Ulin Banjarmasin pada Juli 2010 adalah subyek penelitian apabila memenuhi kriteria inklusi. Informed consent diisi terlebih dahulu oleh subyek penelitian, lalu dilakukan pengambilan sampel pre hemodialisis. Pengambilan sampel untuk pemeriksaan serum kreatinin diambil dari darah vena pada lengan pasien di fossa kubiti, kemudian tabung yang telah berisi darah vena disentrifugasi selama 5-10 menit pada 3000 rpm. Serum darah yang dihasilkan dari sentrifugasi darah vena tersebut diambil dan dimasukkan ke dalam cup serum, kemudian dilakukan pengukuran kadar kreatinin serum. Cara pengukuran kreatinin serum

7 adalah dengan menggunakan alat Express Plus (Bayer). Hasilnya dibaca dengan melihat monitor komputer yang telah disambungkan dengan Express Plus (Bayer) tersebut. Sedangkan pengambilan sampel untuk pemeriksaan kadar protein urine yaitu urin subyek penelitian dikumpulkan sebelum dilakukan hemodialisis. Urin yang diambil adalah urin pagi yang ditampung ke dalam botol gelas/plastik yang kering dan bersih, mulutnya lebar serta mudah dibersihkan, urin yang sudah dikumpulkan tadi di periksa menggunakan alat Cliniteck50 Bayer. Alat Cliniteck-50 Bayer dihidupkan dan ditunggu sampai siap. Urin dimasukkan ke dalam tabung reaksi, jika urin banyak digunakan minimal 8 cc, namun jika urin sedikit, misalnya pada pasien penyakit ginjal kronis, cukup 0,5-1 cc. Multistick dicelupkan ke dalam tabung reaksi sampai semua parameter terendam. Kemudian, tombol start pada alat Cliniteck50 Bayer ditekan dan multistick diletakkan pada meja alat, alat dibiarkan membaca sampai keluar print out hasil pada alat tersebut. Hasil pembacaan dicetak pada blanko hasil. Untuk mendapatkan hasil kuantitatif, hasil pemeriksaan tersebut dikonversikan seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Darah dan urin yang sudah diambil dikirim ke Laboratorium Patologi Klinik RSUD Ulin Banjarmasin untuk dilakukan pemeriksaan kadar protein urine dan kreatinin serum. Hasil pemeriksaan kreatinin serum dimasukkan ke dalam rumus CockcroftGault untuk menghitung nilai GFR. Data hasil pemeriksaan kadar protein urine dan nilai GFR yang diperoleh ditampilkan dalam tabel dan grafik. Sebelum dilakukan analisis, dilakukan uji normalitas metode Saphiro-Wilk. Karena data tidak terdistribusi normal walaupun telah dilakukan transformasi data, maka hanya dilakukan uji korelasi Spearman, dengan tingkat kepercayaan 95%. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Ulin Banjarmasin. Penelitian ini dilakukan selama 1 bulan, yaitu pada bulan Juli 2010.

8 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian mengenai korelasi antara kadar protein urine dan nilai GFR dalam mengevaluasi prognosis gagal ginjal terminal pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin periode Juli 2010 telah dilakukan, dan didapatkan subyek penelitian sebanyak 30 orang. Subyek penelitian tersebut dipilih secara purposive sampling di Instalasi Hemodialisis RSUD Ulin Banjarmasin. Data yang dikumpulkan adalah hasil pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik di RSUD Ulin Banjarmasin. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu pemeriksaan kadar protein urine dengan menggunakan pemeriksaan proteinuria semikuantitatif metode dipstick, dan untuk mendapatkan data kuantitatif, hasil pemeriksaan tersebut dikonversi terlebih dahulu dan dilakukan juga pemeriksaan kreatinin serum, hasil dari pemeriksaan kreatinin serum dimasukkan ke dalam formula Cockcroft-Gault untuk menghitung nilai GFR. Hasil penelitian tersebut disajikan pada Gambar 1, sedangkan data lengkap subyek penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.

Gambar 1 Korelasi antara kadar protein urine dan nilai GFR dalam mengevaluasi prognosis GGT pada pasien hemodialisis di Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin Juli 2010 Gambar 1 menunjukkan bahwa kadar protein urine pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin bulan Juli berkisar antara 0 mg/dl sampai 300 mg/dl, sedangkan nilai GFR

9 berkisar antara 1,94 ml/menit/1,73 m sampai 8,47 ml/menit/1,73 m. Rerata kadar protein urine pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin bulan Juli adalah sebesar 270 mg/dl, dan rerata nilai GFR pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin bulan Juli adalah sebesar 6,01 ml/menit/1,73 m. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa nilai GFR pada seluruh sampel penelitian ini < 15 ml/menit/1,73 m, sesuai dengan klasifikasi PGK menurut NKF untuk gagal ginjal terminal (1,13). Distribusi data dinilai terlebih dahulu dengan uji normalitas menggunakan uji ShapiroWilk. Pada uji normalitas Shapiro-Wilk, didapatkan nilai p < 0,05, artinya sebaran data tidak normal. Uji normalitas Shapiro-Wilk ini dapat dilihat pada Lampiran 3. Karena sebaran data tidak normal, maka harus dilakukan transformasi data. Pada transformasi data, didapatkan hasil transformasi data masih memiliki sebaran data yang tidak normal (Lampiran 3), sehingga syarat untuk melakukan uji regresi linear tidak terpenuhi. Dengan demikian, penelitian ini hanya akan menganalisis data hasil penelitian dengan uji korelasi. Selanjutnya, data dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman. Pada uji Spearman, didapatkan hasil koefisien korelasi (r) = -0,096, artinya terdapat korelasi negatif dan kekuatan korelasi yang sangat lemah, dengan p = 0,615. Dengan demikian, hasil analisis statistik menunjukkan bahwa korelasi tersebut tidak bermakna. Perhitungan analisis statistik menggunakan uji Spearman dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan peningkatan kadar protein urine, maka akan terjadi penurunan nilai GFR. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian systematic review yang dilakukan oleh Regeniter (26) pada 5.669 subyek penelitian, dimana hasil analisis regresinya juga menunjukkan korelasi negatif antara proteinuria dengan nilai GFR (r = -0,646). Regeniter (26) membuktikan bahwa proteinuria sangat meningkat dengan penurunan fungsi ginjal. Pada penelitiannya, proteinuria glomerulus hampir tetap konstan pada nilai GFR yang berbeda, sedangkan proteinuria tubulus meningkat dari 23% menjadi 63%, dan

10 proteinuria berat berhubungan dengan penurunan nilai GFR yang parah. Sedangkan pada penelitian ini hanya meneliti proteinuria secara umum pada pasien gagal ginjal terminal tanpa membedakan proteinuria tubulus maupun proteinuria glomerulus, dan didapatkan hasil dimana nilai proteinuria secara umum juga meningkat seiring dengan penurunan fungsi ginjal dan nilai proteinuria hampir tetap pada nilai GFR yang berbeda pada pasien gagal ginjal terminal. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang sangat lemah dan tidak bermakna antara kadar protein urine dan nilai GFR pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin. Hasil pada penelitian ini tidak sesuai dengan hipotesis penelitian ini, karena tidak terdapat korelasi yang kuat antara kadar protein urine dan nilai GFR, sehingga kadar protein urine yang diukur secara semikuantitatif tidak bisa digunakan untuk mengevaluasi prognosis gagal ginjal terminal pada pasien hemodialisis. Hipotesis penelitian ini didasari oleh patofisiologi PGK. PGK merupakan suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam dan sangat luas, yang mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara progresif, dan pada umumnya akan berakhir dengan penyakit/gagal ginjal terminal. Pada gagal ginjal terminal terjadi penurunan massa nefron ginjal dimana terjadi hipertrofi struktural dan fungsional nefron sebagai proses dekompensasi nefron yang tersisa yang nantinya disertai hiperfiltrasi yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Pada akhirnya terjadi sklerosis glomerulurus yang menyebabkan menurunnya fungsi nefron secara progresif (1,16,17). Penurunan massa dan fungsi nefron ini akan menyebabkan terjadinya penurunan GFR. Menurut Levey (2), GFR secara umum merupakan penanda yang terbaik untuk menentukan tingkat fungsi ginjal dan juga membuktikan bahwa selain untuk mendeteksi kerusakan ginjal, GFR juga berguna untuk menggolongkan stadium berdasarkan keparahan kerusakan ginjal

11 dan memperkirakan progresivitas penyakit ginjal. Sedangkan proteinuria merupakan manifestasi penyakit ginjal, dan bisa menjadi indikator pemburukan fungsi ginjal, baik pada penyakit ginjal diabetes ataupun penyakit ginjal non diabetes (8). Ini karena pada PGK terjadi perubahan ukuran sawar filtrasi dan peningkatan tekanan sepanjang membran basalis kapiler glomerulus, sehingga menyebabkan selektivitas sawar filtrasi glomerulus terhadap albumin menurun, yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan proteinuria adanya perubahan sawar filtrasi glomerulus dan peningkatan tekanan kapiler dapat meningkatkan adanya proteinuria (1,9). Tetapi pada penelitian ini, ternyata konsep ini tidak terbukti. Hasil penelitian ini juga bertentangan dengan hasil penelitian Hemmelgam (27) pada 920.985 sampel yang dilakukan secara kohort sejak tahun 2002 sampai 2006, yang membuktikan bahwa progresivitas gagal ginjal pada GFR tertentu secara independen meningkat pada individu dengan tingkat proteinuria yang lebih tinggi. Pada penelitian Hemmelgam (27) ini, nilai GFR yang diteliti mulai dari nilai GFR 60 ml/menit/1,73 m, 4559,9 ml/menit/1,73 m, 30-44,9 ml/menit/1,73 m, dan 15-29,9 ml/menit/1,73 m, dan dilakukan pengukuran proteinuria serta rasio albumin : kreatinin urin (albumin : creatinin ratio/ACR). Sementara itu penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional dan pengukuran urine dilakukan secara semikuantitatif. Diduga bahwa pengukuran urine secara

semikuantitatif ini tidak dapat menunjukkan gambaran kadar protein urine yang sebenarnya. Selain itu, penelitian ini dilakukan hanya pada nilai GFR 15 ml/menit/1,73 m, yaitu pada pasien gagal ginjal terminal yang telah dihemodialisis. Pada penelitian ini beberapa variabel tidak dikendalikan, seperti asupan makanan dan minuman, penyakit yang sudah ada, seperti glomerulonefritis dan sindrom nefrotik yang dapat mempengaruhi nilai GFR selain gagal ginjal terminal. Oleh karena itu, sebaiknya pada

12 penelitian selanjutnya beberapa variabel pengganggu yang mempengaruhi nilai GFR tersebut dapat dikendalikan (21). Pada penelitian ini pengukuran kadar protein urine menggunakan urin pagi sebelum pasien dihemodialisis, dan tidak menggunakan urin 24 jam, karena pengumpulan urin selama 24 jam ini kurang menyenangkan dan subyek penelitian merupakan pasien rawat jalan pada instalasi hemodialisis, sehingga sulit untuk mengumpulkan urin selama 24 jam. Walaupun urin pagi berkorelasi baik dengan urin 24 jam (28), namun pada penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan urin 24 jam, karena merupakan standar emas untuk penilaian kuantitatif proteinuria (23). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengukuran kadar protein urine secara

semikuantitatif yang dikonversi menjadi angka kuantitatif tidak bisa digunakan untuk memprediksi nilai GFR pada pasien gagal ginjal terminal. Ini sesuai dengan penelitian Irawati (29) yang membuktikan bahwa proteinuria semikuantitatif tidak dapat dipakai sebagai prediktor progresivitas penurunan fungsi ginjal. Keterbatasan pada penelitian ini adalah beberapa prediktor dan faktor risiko peningkatan kadar protein urine tidak dikendalikan. Kadar glukosa darah puasa, body mass index (BMI), tingkat kolesterol, dan tekanan darah pada laki-laki dan perempuan adalah prediktor independen dari insidensi proteinuria (24). Faktor risiko proteinuria berupa hipertensi, diabetes tipe 1 dan 2, penyakit ginjal primer, obesitas, umur 65 tahun, dan riwayat keluarga penyakit ginjal serta preeklampsi (25) juga tidak dapat dikendalikan pada penelitian ini. Diet tinggi protein dapat mempercepat perkembangan PGK dengan menyebabkan dilatasi sawar filtrasi glomerulus dan hipertensi intraglomerular (11). Sedangkan pada nilai GFR yang dihitung dari kadar serum kreatinin, hal-hal yang dapat mempengaruhi kreatinin serum seperti asupan makanan tinggi protein, asupan daging yang merupakan sumber dari massa otot,

13 penyakit yang sudah ada seperti sindrom nefrotik, glomerulonefritis primer (21) tidak dikendalikan. Pada penelitian lebih lanjut juga sebaiknya jumlah sampel diperbesar dengan memperhitungkan prevalensi dan perkiraan rasio penyakit dan waktu penelitian lebih diperpanjang. Beberapa keterbatasan ini diduga membuat penelitian ini hanya dapat sedikit menilai progresivitas dari penyakit ginjal terminal, dan terdapat korelasi yang sangat lemah dan tidak signifikan antara kadar protein urine dan nilai GFR pada stadium penyakit ginjal terminal.

PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut, yaitu terdapat korelasi yang sangat lemah dan tidak bermakna antara kadar protein urine dan nilai GFR pada pasien hemodialisis RSUD Ulin Banjarmasin (r = -0,096, p = 0,615), sehingga pengukuran kadar protein urine secara semikuantitatif tidak bisa digunakan untuk memprediksi nilai GFR pada pasien dengan gagal ginjal terminal. Rerata kadar protein urine semikuantitatif pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin bulan Juli 2010 adalah 270 mg/dl. Rerata nilai GFR pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin bulan Juli 2010 adalah 6,01 ml/menit/1,73 m. Adapun saran untuk perbaikan dan penyempurnaan penelitian lebih lanjut sebaiknya jumlah sampel diperbesar dengan memperhitungkan prevalensi dan perkiraan rasio penyakit, dan waktu penelitian lebih diperpanjang. Penelitian pada pasien penyakit ginjal terminal lebih baik dilakukan dengan mengendalikan semua variabel pengganggu yang bisa mempengaruhi hasil penelitian.

14

DAFTAR PUSTAKA 1. Suwitra K. Penyakit ginjal kronis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta: FKUI, 2007, hal 570-573.2. Levey AS, Coresh J, Balk E, Kausz AT, Levin A, Steffes MW, et al. National kidney

foundation practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classication, and stratication. Ann Intern Med 2003;139:137-147.3. Bliwise DL, Kutner NG, Zhang R, Parker KP. Survival by time of day of hemodialysis

JAMA 2001;286(21):2690-2694.4. Bakri S. Deteksi dini dan upaya-upaya pencegahan progresifitas penyakit ginjal kronik.

Suplement 2005; 26: 36-40.5. Stevens LA, Coresh J, Greene T, Levey SA. Assessing kidney function - measured and

estimated glomerular filtration rate. N Engl J Med 2006; 354: 2473-2483.6. Astor BC, Hallan SI, Miller ER, Yeung E, Coresh J. Glomerular filtration rate,

albuminuria, and risk of cardiovascular and all-cause mortality in the US population. Am J Epidemiol 2008;167:12261234. 7. Hostetter TH. Chronic kidney disease predicts cardiovascular disease. N Engl J Med 2004;351:13. 8. Bawazier LA. Proteinuria. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta: FKUI, 2007, hal 519-523 9. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit jilid 2. Jakarta: EGC, 2005 10. Chittinandana A, Chailimpamontree W, Chaloeiphap P. Prevalence of chronic kidney disease in Thai adult population. J Med Assoc Thai 2006;89:S112-20.11. Narula AS, Hooda AK. Conservative management of chronic renal failure. MJAFI

2007;63:56-61. 12. Perazella MA, Reilly RF. Chronic kidney disease: a new classification and staging system. Hospital Physician 2003;45:18-22. 13. Robinson BU. Epidemiology of chronic kidney disease and anemia. J Am Med Dir Assoc 2006;7:S3S6.

1514. Barbour SJ, Er L, Djurdjev O, Karim M, Levin A. Differences in progression of CKD and

mortality amongst Caucasian, Oriental Asian and South Asian CKD patients. Nephrol. Dial. Transplantion 2010;0:189. 15. Widiana IGR. Distribusi geografis penyakit ginjal kronik di Bali: komparasi formula Cockcroft-Gault dan formula modification of diet in renal disease. J Peny Dalam 2007;8:3.16. Fogo AB, Kon V. Pathophysiology of progressive renal disease. In: Avner ED, Harmon

WE, Niaudet P Eds. Pediatric nephrology. USA: Lippincott Williams & Wilkins, 2004, pp 1269-85.17. Kei-Chiu TN, Chiu MC. Pre-renal replacement program: conservative management of

chronic kidney disease. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical paediatric nephrology. Hongkong: Medcom Limited, 2005, pp 247-52.18. Abboud H, Henrich WL. Stage IV chronic kidney disease. N Engl J Med 2010;362:56-65.

19. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga, 2005. 20. Guyton AC. Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta: EGC, 2007.21. Sirwal IA, Banday KA, Reshi AR, Bhat MA, Wani MM. Estimation of Glomerular

Filteration Rate (GFR) 2004;6:121-123.22. Hendriyono FX. Penuntun Praktikum Patologi Klinik I untuk Mahasiswa Fakultas

Kedokteran. Banjarbaru: Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UNLAM.23. Gansevoort RT, Brinkman J, Bakker SJ, Jong PE, Zeeuw DD. Evaluation of measures of

urinary albumin excretion. Am J Epidemiol 2006;164:725727.24. Jee SH, Boulware LE, Guallar E, Suh I, Appel LJ, Miller ER. Direct, progressive

association of cardiovascular risk factors with incident proteinuria Arch Intern Med 2005;165:2299-2304.25. Torpy JM, Lynm C, Glass RM. Proteinuria. JAMA 2010;303(5):470. 26. Regeniter A, Freidank H, Dickenmann M, Boesken WH, Siede WH. Evaluation of

proteinuria and GFR to diagnose and classify kidney disease: systematic review and proof of concept. Epub 2009;20(6):556-561.27. Hemmelgam BR, Manns BJ, Lloyd A. Relation between kidney function, proteinuria, and

adverse outcomes. JAMA 2010:303(5):423-429. 28. Nelson E. Hubungan antara mikroalbuminuria yang dinilai dengan rasio albumin kreatinin urin dengan hipertrofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi esensial. Tesis. Medan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumater Utara RSUP H. Adam Malik, 2009.

1629. Irawati M. Proteinuria semikuantitatif sebagai prediktor penurunan laju filtrasi glomerulus

yang dinilai dengan perubahan cystatin C dalam 1 tahun pada penderita penyakit ginjal kronik. Tesis. Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2005.