kpd dengan mioma uteri.docx
TRANSCRIPT
RESPONSI
PENATALAKSANAAN KETUBAN PECAH DINI PADA MULTPARA
HAMIL ... DENGAN MIOMA UTERI
Oleh:
Risang Galih G0006
Elisa Gunawan G0007192
Khumaidi G00070
Pembimbing :
dr. Heru Priyanto, Sp.OG
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2011
ABSTRAK
Tujuan: Penanganan ketuban pecah dini pada hamil aterm.
Tempat: Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Dr. Moewardi
Bahan dan Cara Kerja: Laporan kasus, seorang G1P0A0, 20 tahun, umur
kehamilan 40 minggu, janin I, hidup, intra uterin, presentasi kepala, punggung
kiri, belum inpartu dengan ketuban pecah dini, dikirim bidan dengan keterangan
kala I tak maju. Dilakukan terminasi kehamilan pervaginam dengan induksi
menggunakan drip oksitosin 5 IU dalam 500 ml RL.
Hasil: Persalinan spontan, lahir bayi perempuan, BB= 3500 gram, PB= 47 cm,
LK= 32 cm, LD= 33 cm, Apgar Score 8-10-10.
Kesimpulan: Pada kasus ini, induksi persalinan dengan menggunakan oksitosin
terbukti efektif.
__________________________________________________________________
Kata Kunci: ketuban pecah dini, primigravida, belum inpartu, induksi oksitosin
2
BAB I
STATUS PENDERITA
A. IDENTITAS
1. Pasien
Nama : Ny. YI
Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status paritas : G1P0A0
Alamat : Gondang Panjen RT11/00, Jono, Tanon, Sragen
Status : Kawin
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Suku : Jawa
Agama : Islam
Tgl masuk : 20 Maret 2011
No. RM : 308833
2. Suami
Nama : Tn.D
Umur : 22 tahun
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Buruh bangunan
B. ANAMNESIS
Tanggal 20 Maret 2011, pukul 08.15 WIB
1. Keadaan Sekarang dan Alasan Dirawat
Seorang G1P0A0, hamil 40 minggu
Tanggal 20-3-2011 jam 08.15 datang ke kamar bersalin RSUD
Sragen, rujukan dari bidan dengan keterangan
kala I tak maju.
3
Tanggal 16-3-2011 jam 07.00 kenceng-kenceng 1x, gerak janin
(+).
Tanggal 20-3-2010 jam 08.15 kenceng-kenceng sering belum
dirasakan, gerak janin (+).
Tanggal 19-3-2010 jam 22.00 air ketuban merembes.
2. Riwayat Menstruasi
Menarche : 15 tahun
Siklus menstruasi : 28 hari
Lama menstruasi : 7 hari
HPMT : 13 Juni 2010
3. Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali. Dengan suami sekarang 9 bulan.
4. Riwayat Obstetrik
Kehamilan I : sekarang
5. Penyakit dan Operasi yang Pernah Dialami
Tidak ada.
6. Kehamilan Sekarang
Taksiran tanggal persalinan: 20 Maret 2011.
Pengawasan kehamilan di bidan : tidak teratur, 4x
Hal-hal penting selama kehamilan/ nasehat selama ANC: tidak ada.
7. Riwayat Kontrasepsi
Pasien tidak menggunakan kontrasepsi sebelum kehamilan ini.
Pasien dan suami ingin memiliki 2 orang anak.
Setelah kehamilan ini, pasien ingin menggunakan KB IUD.
4
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Pasien
KU : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign : T : 110/80 mmHg Nadi : 78x/ menit
RR : 18x/ menit Suhu : 36,80C
TB/BB : 151 cm / 54 kg
Gizi : Kesan cukup
Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Jantung : Bunyi jantung I-II reguler, bising (-)
Paru-paru : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-)
Hati : Tidak teraba
Anggota gerak : Odema (-), varices (-), refleks (+)
2. Status Obstetrik
a. Inspeksi
Perut membuncit membujur, mengkilat (-), venetasi (-),
striae gravidarum (+), bundle ring (-)
b. Palpasi
Dilakukan menggunakan pemeriksaan Leopold dengan
hasil sebagai berikut:
LI : Teraba bagian besar lunak
LII : Teraba bagian keras panjang sebelah kanan, teraba
bagian kecil-kecil sebelah kiri
LIII : Teraba bagian besar keras, ballotmen (-)
LIV : Sejajar
His (+), osborn tes (-)
Fundus uteri 30 cm
c. Auskultasi
DJJ (+), reguler, 12-12-11
5
d. Perkusi
Pekak alih (-), pekak sisi (-), reflek patella (+)
e. Vaginal toucher
1) Belum ada pembukaan, KK (-), eff 40%
Bagian bawah: kepala, turun di H II, Muller
Munrokeer <900
Penunjuk belum dapat dinilai
2) Septum vagina (-), kondoliloma akuminata (-),
myoma servikalis (-), kista bartolini (-), kista
gardner (-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium: Hb 11,5 gr%, golongan darah O, Nitrazin test (+)
USG: tampak janin tunggal intra uterin, presentasi kepala, puka, DJJ (+),
EFBW= 3100, plasenta insersi di corpus kiri grade II, air ketuban kesan
cukup, tak tampak kelainan kongenital mayor.
NST: baseline= 145, variabilitas= 75, akselerasi (+), deselerasi (-), fetal
movement (+), NST reaktif.
E. DIAGNOSIS SEMENTARA
G1P0A0, 20 tahun, hamil 40 minggu
Janin 1 hidup intra uterin
Presentasi kepala, , puka
Ketuban pecah dini 10 jam, Belum inpartu
6
F. LAPORAN PERSALINAN
Tanggal/
Jam
Nadi/
Tensi/
Suhu
His DJJ Keadaan umum, dll
20-3-2011
10.00
10.15
10.30
10.45
11.00
11.15
T: 110/80
N: 78x/1’
RR: 18x/1’
S: 36,8 0C
Idem
idem
idem
idem
idem
-
-
-
-
-
-
12-12-11
12-12-11
12-12-11
12-11-12
12-11-12
12-11-12
VT:
Ø= -cm, KK (-), eff 40%
Bagian bawah (kepala), ↓ H II+
Penunjuk belum dapat dinilai
Dx:
G1P0A0, 20 tahun, uk 40 minggu
Janin 1 hidup intra uterin
Preskep, , puka
Ketuban pecah dini 12 jam, belum
inpartu
S:
Observasi 10
Akhiri kehamilan dengan induksi
persalinan menggunakan drip
oksitosin 5 IU dalam 500 ml RL,
8 tpm
Evaluasi 4 jam lagi
drip oksitosin 5 IU dalam 500 ml
RL, 12 tpm
drip oksitosin 5 IU dalam 500 ml
RL, 16 tpm
drip oksitosin 5 IU dalam 500 ml
RL, 20 tpm
drip oksitosin 5 IU dalam 500 ml
RL, 24 tpm
drip oksitosin 5 IU dalam 500 ml
RL, 28 tpm
7
11.30
11.45
12.00
12.15
12.30
12.45
13.00
13.15
13.30
idem
idem
T: 120/70
N: 84x/1’
RR: 18x/1’
S: 36,5 0C
Idem
idem
idem
idem
idem
idem
2x/10’/20 dtk
sedang
2x/10’/20 dtk
sedang
2x/10’/20 dtk
sedang
2x/10’/20 dtk
sedang
2x/10’/20 dtk
sedang
2x/10’/20 dtk
sedang
3x/10’/20 dtk
sedang
3x/10’/20 dtk
sedang
3x/10’/20 dtk
sedang
12-11-12
11-12-11
11-12-11
11-12-11
11-11-12
11-11-12
11-12-11
11-12-11
11-11-12
His mulai sering
VT:
Ø= 2cm, KK (-), eff 50%
Bagian bawah (kepala), ↓ H II+
Penunjuk belum dapat dinilai
Dx:
idem, ketuban pecah dini 13.5
jam, inpartu kala I fase laten
S:
Observasi 10
Melanjutkan drip oksitosin 5 IU
dalam 500 ml RL flb I, 28 tpm
Evaluasi 4 jam lagi
8
13.45
14.00
14.15
14.30
14.45
15.00
15.15
15.30
15.45
idem
T: 120/80
N: 82x/1’
RR: 20x/1’
S: 36,50C
Idem
Idem
Idem
Idem
Idem
Idem
idem
3x/10’/20 dtk
sedang
3x/10’/20 dtk
sedang
3x/10’/20 dtk
sedang
3x/10’/20 dtk
sedang
3x/10’/20 dtk
sedang
3x/10’/20 dtk
sedang
3x/10’/20 dtk
sedang
3x/10’/20 dtk
sedang
3x/10’/30 dtk
kuat
11-11-12
11-11-12
11-11-12
12-11-12
12-11-12
12-12-11
12-12-11
12-12-11
12-12-11
Melanjutkan drip oksitosin 5 IU
dalam 500 ml RL flb II, 28 tpm
VT:
Ø= 6cm, KK (-), eff 70%
Bagian bawah (kepala), ↓ H III
UUK kiri depan
Dx:
idem, ketuban pecah dini 17,5
jam, inpartu kala I fase aktif
2,5 jam
S:
Observasi 10
Melanjutkan drip oksitosin 5 IU
dalam 500 ml RL flb II, 28 tpm
Evaluasi 2,5 jam lagi
9
16.00
16.15
16.30
16.45
17.00
17.15
17.30
17.45
18.00
T: 120/70
N: 82x/1’
RR: 20x/1’
T: 36,7 0C
Idem
Idem
Idem
Idem
Idem
Idem
Idem
T: 110/70
N: 84x/1’
RR: 18x/1’
S: 36,8 0C
3x/10’/30 dtk
kuat
3x/10’/30 dtk
kuat
3x/10’/30 dtk
kuat
3x/10’/30 dtk
kuat
3x/10’/30 dtk
kuat
3x/10’/30 dtk
kuat
3x/10’/30 dtk
kuat
3x/10’/30 dtk
kuat
3x/10’/30 dtk
kuat
11-12-11
11-12-11
12-11-11
12-11-11
11-12-11
11-12-11
12-11-11
12-11-11
11-11-12 VT:
Ø= 9cm, KK (+), eff 90%
Bagian bawah (kepala), ↓ H III+
UUK kiri depan
Dx:
idem, ketuban pecah dini 20 jam,
inpartu kala I fase aktif 5,5 jam
S:
Observasi 10
Melanjutkan drip oksitosin 5 IU
10
18.15
18.30
18.45
19.00
19.15
idem
idem
Idem
idem
idem
3x/10’/40 dtk
kuat
3x/10’/40 dtk
kuat
3x/10’/40 dtk
kuat
3x/10’/40 dtk
kuat
4x/10’/40 dtk
kuat
11-11-12
12-12-11
12-12-11
11-11-12
11-11-12
dalam 500 ml RL botol II flb II,
28 tpm
Evaluasi 1 jam lagi
VT:
Ø= 10cm, KK (-), eff 100%
Bagian bawah (kepala), ↓ H IV
UUK kiri depan
Dx:
idem,ketuban pecah dini 21 jam,
inpartu kala II
S:
Observasi 10
pimpin persalinan saat ada His
Siapkan resusitasi neonatus
Pasien ingin mengejan
Vulva anus terbuka
Perineum menonjol
Dx:
idem,ketuban pecah dini 21 jam,
inpartu kala II, 15 menit
S:
Observasi 9
pimpin persalinan saat ada His
Siapkan resusitasi neonatus
11
19.35
19.45
idem
idem
4x/10’/40 dtk
kuat
12-11-11 Lahir bayi perempuan spontan,
BB= 3500 gram, PB= 47 cm, LK=
32 cm, LD= 33cm, APGAR skor
8-10-10
Lahir plasenta lengkap bentuk
cakram, letak parasentral, ukuran
15x15x2 cm
Jumlah perdarahan: Kala II = 50 cc
Kala III = 30 cc
Kala IV = 20 cc+¿
Jumlah = 100 cc
Lama persalinan: Kala I : jam 11.30 - jam 19.00 = 7 jam30 menit
Kala II : jam 19.00 - jam 19.35 = 35 menit
Kala III : jam 19.35 - jam 19.45 = 10 menit
+¿
Jumlah = 8 jam 15 menit
Evaluasi 2 jam post partum
KU : baik, compos mentis
VS : T: 110/80 mmHg N: 78x/ menit
RR: 18x/ menit S: 36,80C
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thoraks : dalam batas normal
Abdomen : supel, NT (-), kontraksi (+), TFU teraba 2 jari bawah pusat
Genital : darah (+), lokia rubra (+)
Diagnosis : post partus spontan pada primigravida hamil aterm
12
Terapi : infus RL
Cefadroxil tab 2x1
Metilergometrin tab 3x1
Vitamin C tab 2x1
SF tab 2x1
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ketuban Pecah Dini
1. Definisi
Ketuban pecah dini (KPD) masih merupakan suatu teka-teki di
bidang obstetrik, hal ini dapat dilihat dari etiologi yang belum jelas,
kesulitan dalam mendiagnosis, berhubungan dengan resiko pada ibu dan
janin dan juga karena panatalaksanaannya yang bermacam-macam dan
masih merupakan kontroversi. KPD dapat diartikan sebagai pecahnya
ketuban pada saat fase laten sebelum adanya his. KPD juga dapat
diartikan sebagai pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan yang
sebenarnya mulai.1,2,3
KPD merupakan faktor resiko yang berpengaruh pada morbiditas
dan mortalitas janin dan ibu. Meningkatnya resiko tersebut ada
hubungannya dengan lamanya periode laten dan lamanya ketuban pecah
sampai jalan lahir. 1,2,3 Pada persalinan yang normal, ketuban pecah pada
fase aktif. Pada KPD kantung ketuban pecah sebelum fase aktif. 4
KPD terjadi pada 10 % kehamilan, dimana sebagian besar terjadi
pada usia kehamilan lebih dari 37 minggu dan juga terjadi spontan
tanpa sebab yang jelas.4
14
Gambar 1. Ketuban Pecah Dini
2. Etiologi Dan Patogenesis
KPD diduga terjadi karena adanya pengurangan kekuatan selaput
ketuban, peningkatan tekanan intrauterine maupun keduanya. Sebagian
besar penelitian menyebutkan bahwa KPD terjadi karena berkurangnya
kekuatan selaput ketuban. Selaput ketuban dapat kehilangan
elastisitasnya karena bakteri maupun his. Pada beberapa penelitian
diketahui bahwa bakteri penyebab infeksi adalah bakteri yang
merupakan flora normal vagina maupun servix. Mekanisme infeksi ini
belum diketahui pasti. Namun diduga hal ini terjadi karena aktivitas
uteri yang tidak diketahui yang menyebabkan perubahan servix yang
dapat memfasilitasi terjadinya penyebaran infeksi. Faktor lainnya yang
membantu penyebaran infeksi adalah inkompetensi servix, vaginal
toucher (VT) yang berulang-ulang dan koitus.4
Moegni, 1999, mengemukakan bahwa banyak teori yang
menyebabkan KPD, mulai dari defek kromosom, kelainan kolagen
sampai infeksi. Namun sebagian besar kasus disebabkan oleh infeksi.
Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblast, jaringan
15
retikuler korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan
kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan inhibisi interleukin-1 (IL-1)
dan prostaglandin. Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan
aktifitas IL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan
sehingga terjadi depolimerisasi kolagen pada selaput korion/amnion
yang menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah dan mudah pecah
spontan.4
3. Diagnosis
Diagnosis KPD dapat ditegakkan dengan beberapa cara :2,4
a. Air ketuban yang keluar dari vagina
Diagnosis KPD dapat ditegakkan dengan mudah ketika ada
cairan ketuban yang keluar dari vagina. Jika air ketuban tidak ada,
tekanan ringan pada uterus dan gerakan janin dapat mengakibatkan
keluarnya air ketuban.
b. Nitrazine test
pH vagina normal adalah 4,5 – 5,5 sedangkan air ketuban
mempunyai pH 7,0 – 7,5, sehingga kertas nitrasin akan cepat
berubah warna menjadi biru bila terkena air ketuban. Namun cairan
antiseptik, urin, darah dan infeksi vagina dapat meningkatkan pH
vagina dan hal ini menyebabkan hasil nitrazine test positif palsu.
c. Fern test
Test ini positif bila didapatkan gambaran pakis yang
didapatkan pada air ketuban pada pemeriksaan secara mikroskopis.
d. Evaporation test
e. Intraamniotic fluorescein
f. Amnioscopy
g. Diamine oxidase test
h. Fetal fibronectin
i. Alfa-fetoprotein test
16
4. Komplikasi
KPD dapat menyebabkan beberapa komplikasi baik pada ibu
maupun pada janin, diantaranya :4,5,6,7,8
a. Infeksi
Infeksi korioamniotik sering terjadi pada pasien dengan KPD.
Diagnosis korioamnionitis dapat dilihat dari gejala klinisnya antara
lain demam (37,80C), dan sedikitnya dua gejala berikut yaitu
takikardi baik pada ibu maupun pada janin, uterus yang melembek,
air ketuban yang berbau busuk, maupun leukositosis.
b. Hyaline membrane disease
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa hyaline membrane
disease sebagian besar disebabkan oleh ketuban pecah dini (KPD).
Terdapat hubungan antara umur kehamilan dengan hyaline
membrane disease dan chorioamnionitis yang terjadi pada pasien
dengan KPD. Pada usia kehamilan kurang dari 32 minggu, angka
risiko hyaline mebran disease lebih banyak dibandingkan risiko
infeksi.
c. Hipoplasi pulmoner
Hal ini terjadi bila ketuban pecah sebelum usia kehamilan 26
minggu dan fase laten terjadi lebih dari 5 minggu yang diketahui
dari adanya distress respirasi yang berat yang terjadi segera setelah
lahir dan membutuhkan bantuan ventilator.
d. Abruptio placenta
Hal ini tergantung dari progresifitas penurunan fungsi plasenta
yang mengakibatkan pelepasan plasenta. Gejala klinik yang terjadi
adalah perdarahan pervaginam.
e. Fetal distress
Hal ini dapat diketahui dari adanya deselerasi yang
menggambarkan kompresi tali pusat yang disebabkan oleh
oligohidramnion. Sehingga untuk mengatasinya maka dilakukan
17
sectio cesaria, yang mengakibatkan tingginya angka section cesaria
pada pasien dengan KPD.
f. Cacat pada janin
g. Kelainan kongenital
5. Terapi
Manajemen pada pasien dengan ketuban pecah dini tergantung
dari keadaan pasien. 2,3,4 Pada persoalan penanganan KPD terdapat dua
hal yang penting yakni penanganan secara aktif dan penanganan secara
konservatif. Penanganan aktif adalah segera diterminasi kehamilannya,
sedangkan penanganan konservatif adalah diterminasi kehamilannya
jika terjadi infeksi, namun hal tersebut masih kontroversi.8
Beberapa ahli berpendapat bahwa resiko infeksi dapat terjadi
setiap saat setelah ketuban pecah dan infeksi janin mungkin sudah
terjadi walaupun belum ada tanda-tanda infesi pada ibu, sehingga atas
dasar alasan tersebut, para ahli memilih penanganan aktif, yaitu
melakukan induksi setela diagnosis KPD ditegakkan. 2,9
Selanjutnya, penanganan KPD dapat dibagi dalam keadan
berikut:
a. Pasien yang sedang dalam persalinan
Tidak ada usaha yang dapat dilakukan untuk menghentikan
proses persalinan dan memperlama kehamilan jika sudah ada his
yang teratur dan pada pemeriksaan dalam didapatkan pendataran
servix 100 % dan dilatasi servix lebih dari 4 cm. Penggunaan
tokolitik tidak efektif dan akan mengakibatkan oedem pulmo.
b. Pasien dengan paru-paru janin yang matur
Maturitas paru janin dapat diketahui dari rasio lesitin-
spingomielin, phosphatidylglycerol dan rasio albumin-surfaktan.
Maturitas paru janin diperlukan untuk amniosintesis pada evaluasi
awal pasien dengan ketuban pecah dini.
c. Pasien dengan cacat janin
18
Terapi konservatif dengan risiko infeksi pada ibu tidak perlu
dilakukan bila janin mempunyai kelainan yang membahayakan.
Namun pada janin dengan kelainan yang tidak membahayakan harus
diperlakukan sebagai janin normal, namun input yang tepat
merupakan terapi yang sangat penting.
d. Pasien dengan fetal distress
Kompresi tali pusat dan prolaps tali pusat merupakan
komplikasi tersering ketuban pecah dini, terutama pada presentasi
bokong yang tidak maju (engaged), letak lintang dan
oligohidramnion berat. Jika DJJ menunjukkan pola deselerasi
sedang atau berat maka pasien harus cepat diterminasi. Jika janin
dalam presentasi belakang kepala, maka dapat dilakukan
amnioinfusion, induksi dan dapat dilakukan persalinan pervaginam.
Namun bila janin tidak dalam presentasi kepala maka terapi yang
dapat dilakukan adalah section cesaria.
e. Pasien dengan infeksi
Pasien dengan chorioamnionitis harus dilakukan induksi bila
tidak ada kontraindikasi untuk dilakukan persalinan pervaginam dan
bila belum dalam persalinan. Bila ada kontraindikasi untuk
persalinan pervaginam, maka dilakukan section cesaria setelah
pemberian antibiotic yang dimaksudkan untuk menurunkan
komplikasi pada ibu dan janin. Beberapa penelitian menyebutkan
section cesaria sebaiknya dilakukan bila persalinan pervaginam
tidak dapat terjadi setelah 12 jam diagnosis chorioamnionitis
ditegakkan.
Menurut Mansjoer, 2002 terapi ketuban pecah dini adalah :3,4
a. Ketuban pecah dini pada kehamilan aterm atau preterm dengan atau
tanpa komplikasi harus dirujuk ke rumah sakit.
b. Bila janin hidup dan terdapat prolaps tali pusat, pasien dirujuk
dengan posisi panggul lebih tinggi dari badannya. Kalau perlu
19
kepala janin didorong ke atas dengan 2 jari agar tali pusat tidak
tertekan kepala janin.
c. Bila ada demam atau dikhawatirkan terjadi infeksi atau ketuban
pecah lebih dari 6 jam, berikan antibiotik.
d. Pada kehamilan kurang dari 32 minggu dilakukan tindakan
konservatif yaitu tirah baring dan berikan sedative, antibiotic selama
5 hari, glukokortikosteroid dan tokolisis, namun bila terjadi infeksi
maka akhiri kehamilan.
e. Pada kehamilan 33-35 minggu, lakukan terapi konservatif selama 24
jam lalu induksi persalinan. Bila terjadi infeksi maka akhiri
kehamilan.
f. Pada kehamilan lebih dari 36 minggu, bila ada his, pimpin
persalinan dan lakukan akselerasi bila ada inersia uteri. Bila tidak
ada his, lakukan induksi persalinan bila ketuban pecah kurang dari 6
jam dan bishop score kuran dari 5 atau ketuban pecah lebih dari 6
jam dan bishop score lebih dari 5, section cesaria bila ketuban pecah
kurang dari 5 jam dan bishop score kurang dari 5.
Terapi ketuban pecah dini adalah :2,3,4
a. Terapi konservatif
- Rawat di Rumah sakit.
- Antibiotika jika ketuban pecah lebih dari 6 jam.
- Pada umur kehamilan kurang dari 32 minggu, dirawat selama air
ketuban masih keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi
- Bila umur kehamilan sudah 32-34 minggu masih keluar, maka
pada usia kehamilan 35 minggu dipertimbangkan untuk
terminasi kehamilan.
- Nilai tanda-tanda infeksi.
- Pada umur kahamilan 32-34 minggu berikan steroid selama 7
hari untuk memacu kematangan paru janin dan bila
20
memungkinkan perikasa kadar lesitin dan spingomyelin tiap
minggu.
b. Terapi Aktif
- Kehamilan lebih dari 36 minggu, bila 6 jam belum terjadi
persalinan maka induksi dengan oksitosin, bila gagal lakukan
section cesaria.
- Pada keadaan DKP, letak lintang terminasi kehamilan dengan
section cesaria.
- Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi dan
terminasi persalinan.
a. Bila bishop score kurang dari 5, akhiri persalinan dengan
section cesaria.
b. Bila bishop score lebih dari 5, induksi persalinan dan partus
pervaginam.
c. Bila ada infeksi berat maka lakukan section cesaria.
B. Mioma Uteri
1. Definisi
Neoplasma jinak ini berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang
menumpangnya, sehingga dalam kepustakaan dikenal juga istilah
fibromioma, leimioma, ataupun fibroid.4 Neoplasma ini berbatas tegas,
memiliki kapsul, terbentuk dari otot polos dan elemen jaringan penyambung
fibrosa. 5
Mioma uteri terdiri dari serabut-serabut otot polos yang diselingi
dengan untaian jaringan ikat, dikelilingi kapsul yang tipis. Tumor ini dapat
berasal dari setiap bagian duktus Muller, tetapi paling sering terjadi pada
miometrium. Disini beberapa tumor dapat timbul secara serentak. Ukuran
21
tumor dapat bervariasi dari sebesar kacang polong sampai sebesar bola kaki.
6,7
2. Epidemiologi
Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi pada wanita sebelum
menarche. Setelah menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih
tumbuh. Penelitian di Amerika Serikat yang pernah dilakukan Scwartz
menunjukkan angka kejadian mioma uteri adalah 2-12,8 orang per 1000
wanita tiap tahunnya. Angka kejadian mioma uteri 2-3 kali lebih tinggi
pada wanita kulit hitam dibanding kulit putih.8 Di Indonesia mioma uteri
ditemukan pada 2,4%-11,7% dari semua penderita ginekologi yang
dirawat. Berdasarkan otopsi, Novak menemukan 27% wanita berumur 25
tahun mempunyai sarang mioma, pada wanita berkulit hitam ditemukan
paling banyak. 4
Mioma terjadi pada kira-kira 5% wanita selama masa reproduksi.
Tumor ini tumbuh dengan lambat dan mungkin baru dideteksi secara klinis
pada kehidupan dekade keempat. Mioma lebih sering terjadi pada pasien
nullipara atau wanita yang hanya mempunyai satu anak. 9
Faktor keturunan memegang peran dalam angka kejadian mioma
uteri. Wanita dari garis keturunan tingkat pertama seorang penderita
mioma uteri mempunyai risiko 2,5 kali lebih besar menderita mioma uteri.
10
3. Etiologi
Etiologi pasti mioma uteri tidak diketahui. Tumor ini mungkin
berasal dari sel otot yang normal, dari otot imatur yang ada dalam
miometrium atau dari sel embrional pada dinding pembuluh darah uterus.
Apapun asalnya, tumor mulai dari benih-benih multipel yang sangat kecil
22
dan teratur pada miometrium. Benih-benih ini tumbuh sangat lambat tetapi
progresif (bertahun-tahun bukan dalam hitungan bulan) di bawah pengaruh
estrogen sirkulasi, dan jika tidak terdeteksi dan diobati dapat membentuk
tumor dengan berat 10 kg atau lebih, namun sekarang jarang karena cepat
terdeteksi. Mula-mula tumor berada intramural, tetapi ketika tumbuh dapat
berkembang ke berbagai arah. Setelah menopouse, ketika estrogen tidak
lagi disekresi dalam jumlah yang banyak, mioma cenderung mengalami
atrofi.6
4. KLASIFIKASI
Menurut letaknya, mioma uteri dapat di klasifikasikan sebagai :6
a.Mioma submukosum: mioma berada di bawah endometrium dan menonjol
ke dalam rongga uterus. Mioma submukosum dapat tumbuh bertangkai,
kemudian dilahirkan melalui saluran servik (mioma geburt).
b. Mioma intramural: mioma terdapat di dinding uterus di antara serabut
miometrium.
c.Mioma subserosum: mioma yang tumbuh keluar dinding uterus sehingga
menonjol pada permukaan uterus, diliputi oleh serosa. Mioma
subserosum dapat tumbuh di antara kedua lapisan ligamentum latum
menjadi mioma intra ligamenter, selain itu mioma subserosum dapat
pula tumbuh menempel pada jaringan lain misalnya ke ligamentum atau
omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus, sehingga
disebut wandering/parasitic fibroid.
d. Mioma pedunkulata : mioma yang melekat ke dinding uterus dengan
tangkai yang bisa masuk ke peritoneal atau cavum uteri.
Jumlah kasus mioma uteri berdasarkan jenis mioma uteri di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta periode Januari 2009 – Januari 2010.11
Jenis Mioma Uteri Jumlah Kasus Persentase (%)
Mioma Subserosa 25 21,93%
23
Mioma Submukosa 24 21,05%
Mioma Intramural 51 44,73%
Multiple Mioma 14 12,28%
Jumlah 114 100%
21.93%
21.05%44.73%
12.28%
subserosa
submukosa
intramural
multipel
5. Perubahan Sekunder
a. Atrofi: sesudah menopause ataupun sesudah kehamilan mioma uteri
menjadi kecil. 4
b. Degenerasi hialin: Tumor kehilangan struktur aslinya menjadi homogen.
Dapat meliputi sebagian besar atau hanya sebagian kecil daripadanya
seolah-olah memisahkan satu kelompok serabut otot dengan serabut otot
lainnya.4
c. Degenerasi kistik: dapat meliputi daerah kecil maupun luas, dimana
sebagian dari mioma menjadi cair, sehingga terbentuk ruangan-ruangan
yang tak teratur berisi seperti agar-agar. Dengan konsistensi lunak ini
tumor sukar dibedakan dengan kista ovarium ataupun kehamilan.4
d. Degenerasi membatu (calcireous degeneration): terutama pada wanita
usia lanjut oleh gangguan dalam sirkulasi. Dengan adanya pengendapan
24
garam kapur pada sarang mioma maka mioma menjadi keras dan
memberikan bayangan pada foto Rontgen.4
e. Degenerasi merah (carneous degeneration): biasanya terjadi pada
kehamilan atau nifas.4
f. Degenerasi lemak: jarang terjadi, merupakan kelanjutan dari degenerasi
hialin. 4
6. Diagnosis
1.) Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditemukan antara lain :
a. Faktor-faktor risiko terjadinya mioma uteri. Seperti:10
- Umur: Kebanyakan wanita mulai didiagnosis mioma uteri pada usia
diatas 40 tahun.
- Menarche dini: Menarche dini ( < 10 tahun) meningkatkan resiko
kejadian mioma 1,24 kali.
- Ras: Dari hasil penelitian didapatkan bahwa wanita keturunan Afrika-
Amerika memiliki resiko 2,9 kali lebih besar untuk menderita mioma
uteri dibandingkan dengan wanita Caucasian.
- Riwayat keluarga: jika memiliki riwayat keturunan yang menderita
mioma uteri, akan meningkatkan resiko 2,5 kali lebih besar.
- Kehamilan: semakin besar jumlah paritas, maka akan menurunkan
angka kejadian mioma uteri.
- Makanan: Dari beberapa penelitian yang dilakukan menerangkan
hubungan antara makanan dengan prevalensi atau pertumbuhan mioma
uteri. Dilaporkan bahwa daging sapi, daging setengah matang (red
meat), dan daging babi menigkatkan insiden mioma uteri, namun
sayuran hijau menurunkan insiden mioma uteri. Tidak diketahui dengan
pasti apakah vitamin, serat atau phytoestrogen berhubungan dengan
mioma uteri
25
- Kebiasaan merokok: Merokok dapat mengurangi insiden mioma uteri.
Diterangkan dengan penurunan bioaviabilitas esterogen dan penurunan
konversi androgen menjadi estrogen dengan penghambatan enzim
aromatase oleh nikotin.
b. Gejala dan tanda, seperti:
Hampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu. Gejala yang
timbul sangat tergantung pada tempat sarang mioma ini berada, besarnya
tumor, perubahan dan komplikasi yang terjadi. Gejala yang mungkin timbul
yaitu4:
- Perdarahan abnormal yaitu dapat berupa hipermenore, menoragia dan
dapat juga terjadi metroragia merupakan yang paling banyak terjadi.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab perdarahan ini, antara lain
adalah:
1) Pengaruh ovarium sehingga terjadilah hyperplasia endometrium
sampai adenokarsinoma endometrium
2) Permukaan endometrium yang lebih luas daripada biasa
3) Atrofi endometrium di atas mioma submukosum
4) Miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya
sarang mioma di antara serabut miometrium, sehingga tidak dapat
menjepit pembuluh darah yang melaluinya dengan baik
- Rasa nyeri yang mungkin timbul karena gangguan sirkulasi darah pada
sarang mioma, yang disertai nekrosis setempat dan peradangan. Pada
mioma submukosum yang akan dilahirkan, pula pertumbuhannya yang
menyempitkan kanalis servikalis dapat menyebabkan juga dismenore.
Namun gejala-gejala tersebut bukanlah gejala khas pada mioma uteri.
- Gejala dan tanda penekanan (Pressure Effects) yang tergantung pada
besar dan tempat mioma uteri. Gejala yang timbul dapat berupa
poliuri, retention urine, obstipasi serta edema tungkai dan nyeri
panggul.
26
- Pada penderita dengan uterus fibroid tidak dapat dipastikan apakah
akan mempengaruhi tingkat kesuburan atau tidak. Fibroid hanya akan
mempengaruhi fertilitas hanya berkisar 2-3% kasus. Seberapa besar
pengaruh fibroid terhadap kehamilan atau kejadian abortus tergantung
dari luasnya fibroid menyebabkab distorsi dinding uterus. Dengan
adanya fibroid akan mencegah proses implamantasi pada dinding
uterus. 2
Berikut ini hasil penelitian retrospektif terhadap data rekam medik
penderita yang dirawat di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Dr.
Moewardi Surakarta periode Januari 2009 – Januari 2010 didapatkan 114
penderita mioma uteri.11
Jumlah kasus mioma uteri menurut usia penderita di RSUD
Dr.Moewardi Surakarta periode Januari 2009 – Januari 2010
Usia Penderita (tahun) Jumlah Kasus Persentase (%)
20 – 30 3 2,63%
31 – 40 20 17,54%
41 – 50 70 61,40%
51 – 60 20 17,54%
> 60 1 0,88%
Total 114 100%
20-30 31-40 41-50 51-60 > 600.00%
10.00%
20.00%
30.00%
40.00%
50.00%
60.00%
70.00%
jumlah penderita mioma
usia penderita
27
Jumlah kasus penderita mioma uteri menurut jumlah paritas di RSUD
Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2009 – Januari 2010
Jumlah Paritas Jumlah Kasus Persentase (%)
0 ( nullipara ) 28 24,56%
1 ( primipara ) 24 21,05%
2 ( multipara ) 23 20,18%
3 ( multipara ) 22 19,30%
4 ( multipara ) 10 8,77%
5 ( multipara ) 6 5,26%
> 5 ( multigrande ) 1 0,88%
Total 114 100%
nul-li-
para
prim-ipara
pari-tas 2
pari-tas 3
pari-tas 4
pari-tas 5
multigrand
e
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
jumlah penderita mioma uteri
jumlah paritas
Jumlah kasus penderita mioma uteri berdasarkan keluhan utama di
RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2009 – Januari 2010
Keluhan Utama Jumlah Kasus Persentase (%)
Perdarahan 65 57,02%
Gangguan Defekasi 12 10,53%
Gangguan Miksi 10 8,77%
Nyeri perut dan pinggang 6 5,26%
Dismenorhe 5 4,39%
Infertilitas 2 1,75%
Jumlah 114 100%
28
12.28%
57.02%5.26%
4.39%
10.53%
8.77% 1.75%benjolan perut bawah
perdarahan
nyeri perut&pinggang
dismenorhe
gangguan defekasi
gangguan miksi
infertilitas
2.) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan abdomen uterus yang membesar dapat dipalpasi
pada abdomen. Tumor teraba sebagai nodul ireguler dan tetap, area
perlunakan memberi kesan adanya perubahan-perubahan degeneratif.
Mioma lebih terpalpasi pada abdomen selama kehamilan. Perlunakan pada
abdomen yang disertai nyeri lepas dapat disebabkan oleh perdarahan
intraperitoneal dari ruptur vena pada permukaan tumor.9 Dari hasil
penelitian didapatkan bahwa resiko mioma meningkat pada wanita yang
memiliki berat badan lebih atau obesitas berdasarkan indeks massa tubuh.10
Pada pemeriksaan pelvis serviks biasanya normal. Namun pada
keadaan tertentu, mioma submukosa yang bertangkai dapat mengawali
dilatasi serviks dan terlihat pada osteum servikalis. Kalau serviks
digerakkan, seluruh massa yang padat bergerak. Mioma uteri mudah
ditemukan melalui pemriksaan bimanual rutin uterus. Diagnosis mioma
uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh satu atau lebih
massa yang licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti
29
ini adalah bagian dari uterus. Pada kasus yang lain pembesaran yang licin
mungkin disebabkan oleh kehamilan atau massa ovarium. 6
Mioma subserosum dapat mempunyai tangkai yang berhubungan
dengan uterus. Mioma intramural akan menyebabkan kavum uteri menjadi
luas, yang ditegakkan dengan pemeriksaan menggunakan sonde uterus.
Mioma submukosum kadang- kala dapat teraba dengan jari yang masuk
kedalam kanalis servikalis, dan terasanya benjolan pada pada permukaan
kavum uteri . 4
Jumlah kasus penderita mioma uteri menurut indeks massa tubuh di RSUD
Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2009 – Januari 2010.11
Indeks Massa Tubuh Jumlah Kasus Persentase (%)
17 – 18,5 25 21,93%
18,5 – 25 36 31,58%
25 – 27 25 21,93%
> 27 28 24,56%
Jumlah 114 100%
17-18.5 18.5-25 25-27 >270.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
30.00%
35.00%
jumlah penderita mioma uteri
indeks massa tubuh
3.) Pemeriksaan Penunjang
30
a. Temuan Laboratorium
Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini
disebabkan perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat
besi. Kadang-kadang mioma menghasilkan eritropoetin yang pada
beberapa kasus menyebabkan polisitemia. Adanya hubungan antara
polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat penekanan mioma
terhadap ureter yang menyebabkan peninggian tekanan balik ureter dan
kemudian menginduksi pembentukan eritropoietin ginjal.12
Jumlah kasus mioma uteri menurut kadar hemoglobin (Hb) penderita di
RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2009 – Januari 2010.11
Kadar Hemoglobin (gr%) Jumlah Persentase
< 5 0 0%
5 – 7 25 21,93%
7,1 – 11,9 60 52,63%
≥12 29 25,44%
Jumlah 114 100%
Hb <5 Hb 5-7 Hb 7.1-11.9
Hb >120%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
jumlah penderita mioma uteri
kadar hemoglobin
b. Imaging
USG ( Ultrasonografi )
31
Untuk menghindari kesalahan sebaiknya dilakukan pemeriksaan
USG pada wanita dengan gangguan perdarahan atau dengan nyeri perut
bawah yang hebat. Pemeriksaan transvaginal sonography dapat dilakukan
untuk lebih memastikan gambaran uterus fibroid. Untuk lebih
memperjelas pemeriksaan terhadap dinding dalam uterus dapat dilakukan
dengan sonohisterography yaitu dengan mengisi cavum uteri dengan
larutan saline selama pemeriksaan. Uterus fibroid ini biasa didiagnosa
banding dengan adenomiosis. Pada adenomiosis akan mengilfitrasi
lapisan dinding uterus yang akan menyebabkan dinding uterus menebal
dan terjadi pembesaran uterus. Dari pemeriksaan USG akan tampak
sebagai penebalan dinding uterus yang homogen, sementara fibroid
dilihat sebagai area bula dengan batas yang tegas. Adenomiosis
merupakan proses yang difus sehingga biasanya pengelolaan dilakukan
histerektomi.2
Histeroskopi
Histeroskopi digunakan untuk melihat adanya mioma uteri
submukosa, jika mioma kecil serta bertangkai. Mioma tersebut sekaligus
dapat diangkat.12
MRI ( Magnetic Resonance Imaging )
MRI sangat akurat dalam menggambarkan jumlah dan ukuran
mioma tetapi jarang diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai massa
gelap berbatas tegas dan dapat dibedakan dari miometrium normal. MRI
dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas,
termasuk mioma.12
Diagnosis banding perlu kita pikirkan tumor abdomen di bagian
bawah atau panggul ialah mioma subserosum dan kehamilan; mioma
submukosum yang dilahirkan harus dibedakan dengan inversio uteri; mioma
intramural harus dibedakan dengan adenomiosis, khoriokarsinoma,
32
karsinoma korporis uteri atau suatu sarkoma uteri. USG abdominal dan
transvaginal dapat membantu dan menegakkan dugaan klinis. 4
7. Penatalaksanaan
Penanganan mioma uteri tergantung pada usia, paritas, lokasi dan
ukuran tumor, dan terbagi atas :
a. Konservatif
Cara penanganan konservatif dapat dilakukan sebagai berikut 4,7,9:
1) Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6
bulan
2) Monitor keadaan Hb
3) Pemberian zat besi
4) Penggunaan agonis GnRH
b. Penanganan operatif
Intervensi operasi atau pembedahan pada penderita mioma uteri adalah:
1) Perdarahan uterus abnormal yang menyebabkan penderita anemia
2) Nyeri pelvis yang hebat
3) Ketidakmampuan untuk mengevaluasi adneksa (biasanya karena
mioma berukuran kehamilan 12 minggu atau sebesar tinju dewasa)
4) Gangguan buang air kecil (retensi urin)
5) Pertumbuhan mioma setelah menopause
6) Infertilitas
7) Meningkatnya pertumbuhan mioma. 13
Jenis operasi yang dilakukan pada mioma uteri dapat berupa :
1) Miomektomi
Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma tanpa
pengangkatan rahim/uterus.1
2) Histerektomi
33
Adalah tindakan yang dilakukan bila kesuburan tidak lagi perlu
dipertahankan. Kriteria menurut American College of Obstetricians
Gynecologists (ACOG) untuk histerektomi adalah sebagai berikut :
a) Terdapatnya 1 sampai 3 mioma asimptomatik atau yang dapat
teraba dari luar dan dikeluhkan oleh pasien.
b) Perdarahan uterus berlebihan, meliputi perdarahan yang banyak
dan bergumpal-gumpal atau berulang-ulang selama lebih dari 8
hari dan anemia akibat kehilangan darah akut atau kronis.
c) Rasa tidak nyaman di pelvis akibat mioma uteri meliputi nyeri
hebat dan akut, rasa tertekan punggung bawah atau perut bagian
bawah yang kronis dan penekanan pada vesika urinaria
mengakibatkan frekuensi miksi yang sering.14
c. Radioterapi
Tindakan ini bertujuan agar ovarium tidak berfungsi lagi sehingga
penderita mengalami menopause. Radioterapi ini umumnya hanya
dikerjakan kalau terdapat kontraindikasi untuk tindakan operatif. Akhir-
akhir ini kontraindikasi tersebut makin berkurang. Radioterapi
hendaknya hanya digunakan apabila tidak ada keganasan pada uterus. 4
8. Komplikasi
a. Degenerasi ganas
Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32-0,6%
dari seluruh mioma, serta merupakan 50-75% dari semua sarkoma uterus.
Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus
yang telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma
uteri cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma
dalam menopause. 4
b. Torsi (putaran tangkai)
34
Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gamgguan
sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian terjadilah
sindrom abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan, gangguan akut
tidak terjadi. 4
c. Komplikasi lain
Perdarahan, anemia, perlekatan paca miomektomi, dapat terjadinya
ruptur uteri (apabila pasien hamil post miomektomi). 4
C. Primigravida
Primigravida adalah seorang wanita yang hamil pertama kali.10
D. Kehamilan Aterm
Kehamilan aterm adalah suatu kehamilan yang terjadi pada seorang
wanita dengan usia kehamilan antara 37 minggu sampai 40 minggu,
sedangkan persalinan aterm atau cukup bulan didefinisikan sebagai masa
persalinan yang terjadi sesudah 37 minggu dan sebelum genap 40 minggu.10
WHO (1979) membagi umur kehamilan dalam tiga kelompok, yaitu:10
1. Pre term : kurang dari 37 minggu lengkap (kurang dari 259 hari)
2. Aterm : mulai dari 37 minggu sampai kurang dari 42 minggu
lengkap (259 hari sampai 293 hari).
3. Post term : 42 minggu lengkap atau lebih (294 hari atau lebih).
E. Belum Dalam Persalinan
Belum dalam persalinan adalah belum didapatkannya tanda-tanda dalam
persalinan.
Tanda-tanda dalam persalinan (in partu) yaitu:10
1. Rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering dan teratur.
2. Keluar lendir bercampur darah (blody show) yang lebih banyak karena
robekan-robekan kecil pada serviks.
3. Kadang-kadang ketuban pecah dengan sendirinya.
35
4. Pada pemeriksaan dalam: seviks mendatar dan pembukaan telah ada.
F. Pematangan Serviks dan Manajemen Intrapartum
Sekitar 80% pasien dengan usia kehamilan 42 minggu memiliki hasil
pemeriksaan serviks yang kurang baik (misal, skor Bishop <7).(11) Skor Bishop
untuk penilaian kematangan serviks dihitung sebagai berikut:
1. Dilatasi
a. Untuk 0 cm, diberi poin 0.
b. Untuk 1-2 cm, diberi poin 1.
c. Untuk 3-4 cm, diberi poin 2.
d. Untuk 5-6 cm, diberi poin 3.
2. Effacement
a. Untuk 0-30%, diberi poin 0.
b. Untuk 40-50%, diberi poin 1.
c. Untuk 60-70%, diberi poin 2.
d. Untuk 80%, diberi poin 3.
3. Station
a. Untuk station -3, diberi poin 0.
b. Untuk station -2, diberi poin 1.
c. Untuk station -1 dan 0, diberi poin 2.
d. Untuk station +1 sampai +2, diberi poin 3.
4. Konsistensi
a. Untuk konsistensi kenyal, diberi poin 0.
b. Untuk konsistensi sedang, diberi poin 1.
c. Untuk konsistensi lunak, diberi poin 2.
5. Posisi
a. Untuk posisi posterior , diberi poin 0.
b. Untuk posisi pertengahan, diberi poin 1.
c. Untuk posisi anterior, diberi poin 2.
36
Skor Bishop <5 menandakan bahwa serviks belum matang sehingga
diperlukan pematangan serviks terlebih dahulu. Pada skor Bishop ≥5 menandakan
bahwa kematangan serviks sudah cukup.(13)
Banyak pilihan untuk mematangkan serviks. Tanpa memandang cara yang
digunakan, dokter harus berhati-hati terhadap efek berbahaya yang ditimbulkan
oleh penggunaannya terutama pada pasien dengan scar pada uterus.(11)
Kontraindikasi untuk induksi pematangan serviks antara lain sebagai
berikut:(13)
1. Kontraindikasi induksi persalinan dan persalinan pervaginam adalah
sebagai berikut:
a. Herpes aktif
b. Malpresentasi janin
c. Hasil monitoring fetal well-being yang tidak meyakinkan
d. Riwayat persalinan yang susah atau trauma pada persalinan
e. Kontraksi reguler
f. Perdarahan pervaginam yang tidak dapat dijelaskan
g. Plasenta previa
h. Vasa previa
2. Kontraksi reguler
3. Demam pada maternal
4. Riwayat sectio cesaria atau operasi mayor pada uterus, karena
meningkatkan resiko ruptur uterus
5. Kontraindikasi relatif untuk pematangan serviks adalah pecahnya selaput
ketuban. Pada kondisi ini, tidak ada bukti tindakan pematangan serviks
diikuti induksi persalinan mengurangi kemungkinan dilakukannya sectio
cesaria.
Preparat kimiawi yang tersedia antara lain tablet prostaglandin E1 untuk
penggunaan oral atau per vaginal (misoprostol), gel prostaglandin E2 untuk
penggunaan intraservikal [dinoprostone cervical (Prepidil)], dan prostaglandin E2
vaginal insert [dinoprostone (Cervidil)].(11,12,13) Preparat lainnya adalah infus
37
oksitosin dosis rendah, antiprogesteron (Mifepristone), dan nitric oxide
(isosorbide mononitrate dan glyceryl trinitrate).(13)
Oksitosin, dengan atau tanpa amniotomi dan prostaglandin dapat dipakai
untuk induksi persalinan.(12) Ketika induksi telah dimulai, perhatikan kemungkinan
komplikasi yang berhubungan penanganan ketuban pecah dini dan
mempersiapkan penanganannya.
Monitoring denyut jantung janin diperlukan untuk mencari adanya
intoleransi janin terhadap persalinan. Jika dokter tidak dapat memastikan toleransi
janin terhadap persalinan, sectio cesaria lebih direkomendasikan.(11)
38
PEMBAHASAN
Pada kasus ini seorang pasien G1P0A0, 20 tahun, datang ke RSUD Sragen,
tanggal 20 Maret 2011, rujukan dari bidan dengan keterangan G1P0A0, kala I tidak
maju, belum dalam persalinan. Berdasarkan anamnesis, HPMT pasien adalah 13
Juni 2010 dengan siklus menstruasi teratur 28 hari, pasien juga menyatakan belum
pernah menggunakan kontrasepsi sebelumnya. Penentuan tanggal taksiran
persalinan pasien ini berdasarkan rumus Naegle, jatuh pada tanggal 20 Maret
2011. Pada perjalanan penyakitnya, air ketuban sudah merembes sejak tanggal 19
maret 2011 jam 22.00.
Pada pemeriksaan fisik (vaginal toucher), didapatkan bishop score 5 dan
pasien dipantau kesejahteraan janinnya dengan pemeriksaan CTG dan USG.
Berdasarkan pemeriiksaan USG didapatkan air ketuban kesan cukup. Pemeriksaan
nitrazin test (+). Penanganan selanjutnya adalah dilakukan induksi dengan
menggunakan drip oksitosin 5 IU dalam 500ml RL. Pemberian flabot pertama
dilakukan jam 10.00 dan flabot kedua pada jam 15.00. VT dilakukan pada jam
10.00, 11.30. 15.30, 18.00 , dan 19.00. Waktu pemeriksaan ini didasarkan pada
phantoom, yaitu pada fase laten, evaluasi dilakukan tiap 4 jam. Sedangkan pada
fase aktif, waktu evaluasi dihitung berdasar rumus menunggu untuk primigravida
= (9-n) x ½ + 1 jam. Pada jam 19.15 ditemukan tanda-tanda kala II, yaitu pasien
ingin mengejan, vulva anus terbuka, dan perineum menonjol. Kemudian
dilakukan menejemen kala II yaitu observasi 9, pasien dipimpin mengejan ketika
ada his, dan menyiapkan resusitasi neonatus. Jam 19.35 lahir bayi perempuan
lewat persalinan spontan, BB= 3500 gram, PB= 47 cm, LK= 32 cm, LD= 33cm,
APGAR skor 8-10-10
Penanganan ketuban pecah dini pada kehamilan lebih dari 36 minggu, bila
ada his, pimpin persalinan. Bila tidak ada his, lakukan induksi persalinan. Bila
bishop score kurang dari 5 maka induksi persalinan dilakukan dengan
misoprostol. Bila lebih dari itu induksi dilakukan dengan oksitosin. Pada kasus ini
didapatkan adanya his lemah dan bishop score 5, sehingga terminasi persalinan
pada kasus ini dilakukan dengan induksi oksitosin.
39
Kontraindikasi terminasi kehamilan pervaginam dengan induksi adalah
herpes aktif, malpresentasi janin, hasil monitoring fetal well-being yang tidak
meyakinkan, riwayat persalinan yang susah atau trauma pada persalinan,
kontraksi reguler, perdarahan pervaginam yang tidak dapat dijelaskan, plasenta
previa, dan vasa previa. Pada pasien tidak didapatkan kontraindikasi tersebut
berdasarkan hasil pemeriksaan fisik maternal dengan kesan panggul tidak sempit,
posisi janin dengan presentasi kepala, serta tidak didapatkannya herpes aktif,
perdarahan, dan plasenta previa. Hasil pemeriksaan fetal well-being yang baik
juga merupakan syarat untuk dilakukannya terminasi kehamilan pervaginam
dengan induksi. Terdapat berbagai macam pemeriksaan untuk fetal well-being.
Cara termudah adalah dengan menghitung gerakan janin yang dilakukan oleh ibu.
Salah satu cara lainnya adalah dengan fetal biophysical profile yang terdiri dari
gerakan napas, pergerakan janin, tonus otot, denyut jantung reaktif, dan volume
cairan amnion. Hasil pemeriksaan fetal well-being pada kasus ini menunjukkan
volume cairan amnion yang cukup dari pemeriksaan USG dan NST yang reaktif.
Pada kasus ini didapatkan skor Bishop 5 dimana serviks pasien belum
mulai membuka, efficement 40%, dan bagian bawah (kepala) turun di station -1,
konsistensi portio sedang dan portio berada pada posisi pertengahan. Berdasar
skor bishop tersebut maka induksi yang dipilih adalah dengan menggunakan drip
oksitosin 5 IU dalam 500 ml RL, dimulai dari 8 tpm, kemudian dinaikkan 4 tpm
tiap 15 menit sampai didapatkan his yang teratur. Pada kasus ini, his yang teratur
didapatkan setelah pemberian 28 tpm.
Pemilihan teknik ini terbukti tepat karena servik membuka 10 cm,
efficement 100%, dan bag bawah bawah (kepala) turun di Hodge IV dalam waktu
7 jam 30 menit sejak induksi oksitosin flabot I dan bayi lahir 35 menit kemudian.
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Kappy, K.A; Certulo, C.L; Knuppel, R.A; Ingardia, C.J; Sbarra, A.J;
Scerbo, J.C; et al. Premature Rupture 0f The Membrans: A Conservative
Approach. AM J Obstetric Gynecology. 1979. 134: 61-65
2. Siregar, Thomas, G.B; Curtis L. Effect of Bacterial Growth on The Bursting
Pressure 0f Fetal Membranes In vitro. AM J Obstetric Gynecology. 1987.
70: 107.
3. Sunardi; Lukman, A.A. Mortalitas dan Morbiditas Ibu dan Anak pada
Ketuban Pecah Sebelum Waktunya di RS Hasan Sadikin Bandung. Kongres
Obsetri Ginekologi Indonesia IV. Yokyakarta. 1979.
4. Hariadi, R. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi Perdana Himpunan
Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
Surabaya. 2004. Hal 364-382, 392-393, 426-443.
5. Cunningham, F.G; Mac Donal P.C. William Obsetric Edisi 18. Appletion &
Lange. 1998. Hal 881-903.
6. Fernando Arias. Practicial Guide to Hight Risk Pregnancy and Delivery, 2
nd Edition. St. Louis Missiori. USA. 1993. Hal 213-223.
7. Burchel, R.C. Premature Spontaneous Ruptur of The Membrans. AMJ
Obstetric Gynecology. 1964. 88-251
8. Varner, M.W; Galask, R.P. Conservative Menagement of Premature Of The
Membrans. AM J Obstetric Gynecology. 1981. 39-45, 140
9. Mardjuki, A.; Suharso; Praptohardjo, U. Penatalaksanaan Kulit Ketuban
Pecah Dini. Kumpulan Naskah Lengkap Simposium Dan Seminar
Perinatologi V. Palembang. 1985
41
10. Sarwono Prawirohardjo dan Wiknjosastro. Ilmu Kebidanan. FK UI. Jakarta.
2008
11. Caughey AB, Butler JR. Postterm Pregnancy. Updated: Sep 13, 2010.
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/261369-print
12. Mandruzzato, G.; Alfirevic, Z.; Chervenak, F.; Gruenebaum, A.; Heimstad,
R. et al. Guidelines for the Management of Postterm Pregnancy. J Perinat
Med 2010;38:111-119.
13. Rai, J.; Schreiber, J.R; Cervical Ripening. Updated: Aug 12, 2008.
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/263311-print
Daftar pustaka mioma preskes dr.wuryatno
1. Rayburn, F,W., Carey, C, J. 2001. Obstetri dan Ginekologi. Widya Medika.
Jakarta. Hal 268, 270.
2. Mirza Iskandar, 2008. Pengelolaan Uterus Fibroid.
http://www.pogisemarang.org/index.php?
option=com_content&task=blogcategory&id=1&Itemid=6
3. Coronado GD, Marshall LM, Schwartz SM. Complications in pregnancy,
labor, and delivery with uterine leiomiomas: a population based study.
Obstet Gynecol. 2000;95;764-769
4. Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan. Edisi II. Jakarta : Bina Pustaka, 2005. 337-
345.
5. Taber BZ. Kapita selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi. Alih Bahasa:
Supriyadi T, Gunawan J Edisi 2. Jakarta : EGC, 1994. 268-272.
6. Llewellyn, J, D. 2001. Dasar-Dasar Obstetri dan Ginekologi. Hipokrates,
Jakarta. Hal 263-265.
7. Cunningham, Mc Mac Donald, Gant, Levono, Gilstrap, Hanskin, Clark.
2003. William’s Obstetrics. Prentice-Hall International.Inc
42
8. Victory R, Romano W, Bennett J, Diamond M. Clinical Gynecology.
Churchill Livingstone, an imprint of Elsevier Inc. 2006. 179-205.
9. Muzakir. 2008. Profil Penderita Mioma Uteri di RSUD Arifin Achmad
Provinsi Riau periode 1 Januari-31 Desember 2006. www.files_drsmed.com
10. Parker WH. Etiology, symptomatology, and diagnosis of uterine miomas.
Fertility and Sterility.Vol. 87, No. 4, April 2007. p725-3
11. Kurniasari T. 2010. Karakteristik Mioma Uteri di RSUD Dr.Moewardi
periode Januari 2009 – Januari 2010. Surakarta: FK UNS
12. Goodwin SC, Spies TB. 2009. Uterin fibroid embolization. 361: 690-697.
13. Moore JG. Essensial Obstetri and Ginekologi. Edisi 2. Jakarta : Hipokrates,
2001. 378-385
14. Chelmow,David,M,D., Lee,Susan., Evantash, E. 2005. Gynecologic
Myomectomy. www.emedicine.com
43