korupsi yang memiskinkan

27

Click here to load reader

Upload: fajar-novrow-datama

Post on 04-Jul-2015

159 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Korupsi Yang Memiskinkan

DISUSUN OLEH

Saadiah 2006310043

Nurul Chaerani 2006310006

Priyadi Nur Qodri 2009310011

Sandy Oktora 2009310012

Ratna Ilmiasari 2006310016

Stephanie Andryati 2009310040

Davin Alandianto 2009310073

Universitas Katolik Parahyangan

Bandung

2011

Page 2: Korupsi Yang Memiskinkan

Korupsi Yang Memiskinkan

Bab IPendahuluan

1. Latar Belakang

Permasalahan korupsi yang melanda negeri ini bagaikan sebuah penyakit yang tidak

akan pernah sembuh. Regulasi yang dibuat oleh pemerintah yaitu Undang-Undang Tindak

pidana Korupsi tahun 2001 seakan tidak terealisasi dengan semestinya. Berbagai fakta dan

kenyataan yang diungkapkan oleh media seolah-olah merepresentasikan jati diri bangsa yang

dapat dilihat dari budaya korupsi yang telah menjadi hal yang biasa bagi semua kalangan,

mulai dari bawah hingga kaum elite.

Banyak kasus korupsi yang sampai sekarang tidak diketahui ujung pangkalnya. Salah satunya

adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang pegawai pajak golongan IIIA, yang sempat

menggegerkan Mabes Polri, Gayus Tambunan. Keterkejutan semua orang terhadap apa yang

telah dilakukan oleh Gayus Tambunan adalah suatu hal yang wajar. Karena apabila kita

melihat dari statusnya yang hanyalah seorang pegawai negeri biasa, tetapi memiliki tabungan

yang begitu banyak, senilai Rp. 25 Miliar, tentu saja hal ini mengundang tanya: Apalagi

kalau bukan korupsi? Padahal, pekerjaan Gayus sehari-hari cuma menjadi penelaah keberatan

pajak (banding) perorangan dan badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak. Mengingat

gaji pegawai pajak setingkat golongan IIIA hanyalah berkisar antara Rp 1.655.800 sampai Rp

1.869.300 per bulan, hal ini menegaskan bahwa seorang Gayus Tambunan pasti telah

melakukan kecurangan yang dapat merugikan Negara dan masyarakat banyak.

Seperti yang telah diberitakan oleh berbagai media bahwa nama Gayus Tambunan mulai

mencuat ketika disebutkan oleh mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji sebagai

seseorang yang berkaitan erat dengan makelar kasus. Susno menyebutkan Gayus memiliki Rp

25 miliar di rekeningnya, namun hanya Rp 395 juta yang disita negara. Sisanya Rp 24,6

miliar menguap entah ke mana.  Susno mengutarakan bahwa ada keterlibatan dari tubuh Polri

sendiri dalam kasus manipulasi pengusutan pajak.

Gayus kemudian dituntut kepolisian dengan tiga pasal, yakni pasal penggelapan, pencucian

uang, dan korupsi. Namun pada persidangan itu Gayus hanya dituntut dengan pasal

penggelapan, divonis oleh hakim dengan hukuman 1 tahun percobaan, kemudian dibebaskan.

Page 3: Korupsi Yang Memiskinkan

Terdapat berbagai kejanggalan di pengadilan Gayus saat itu, antara lain soal ancaman

hukuman yang ternyata lebih ringan dari ketentuan Undang-Undang, tuntutan dari jaksa yang

hanya berupa tuntutan soal penggelapan uang, serta penggelaran persidangan yang dilakukan

di hari Jumat, di Pengadilan Negeri Tangerang, yang biasanya tidak digelar persidangan

pidana.1 Modus Gayus melakukan pelanggaran dengan memanfaatkan wewenangnya

bermacam-macam. Dalam posisinya sebagai pegawai Sub Direktorat Banding Direktorat

Keberatan dan Banding, pada pertengahan 2007 Gayus berhasil memenangkan lebih dari 40

kasus banding perusahaan. Berkaitan dengan ini, Gayus memiliki peluang besar untuk

memenangkan Dirjen Pajak dalam pengadilan pajak, yaitu dengan memainkan selisih

pemenangan banding. Misalnya seorang wajib pajak seharusnya membayar pajak Rp 3

Miliar. Lalu dia keberatan, ditolak lalu banding. Di pengadilan pajak itu Gayus

memenangkan banding wajib pajak. Selain itu, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW),

diduga modus Gayus memanipulasi pajak dengan bermain kurs Rupiah saat menangani pajak

Bumi Resources tahun 2002-2005. Hasil manipulasi tersebut menyebabkan kewajiban pajak

berkurang hingga US$ 164,627 ribu.2

Kasus Gayus tersebut hanyalah contoh kecil dari banyaknya kasus korupsi di negeri

ini. Hal ini kemudian menjadi pertanyaan penting bagi kita semua. Ada apa dengan negeri

ini? Mengapa korupsi tetap saja dapat berjaya dan bersemayam di tubuh semua lembaga,

bahkan di lembaga yang seharusnya memiliki kewajiban untuk memberantas korupsi itu

sendiri. Ini menjadi tantangan bagi bangsa dan Negara dalam mengatur dan menata

kehidupannya.

1 (www.tempointeraktif.com, Maret 2010)

2 (www.mediaindonesia.com, November 2009)

Page 4: Korupsi Yang Memiskinkan

2. Masalah

Pertanyaan yang penting untuk dijawab di sini adalah bagaimana bisa muncul suatu

penyakit, yang semakin kronis di negara ini, yaitu korupsi. Mengapa dia menjadi benalu yang

tidak pernah lepas dari kehidupan berbangsa dan bernegara? Bahkan korupsi telah menjamah

semua kalangan di dalam masyarakat. Yang lebih memprihatinkan adalah korupsi terus

bersarang, dan sarangnya semakin besar, di kalangan atas, para elite, pejabat, dan pemimpin

yang memiliki kuasa dalam mengatur kesejahteraan masyarakat umum.

Mengapa korupsi bisa terjadi? Mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, melihat

keterkaitan korupsi dengan kekuasaan, tindak kejahatan korporasi dan birokrasi, adalah hal

yang akan dibahas dalam makalah ini. Rumusan masalah dalam makalah ini terletak pada

kasus korupsi yang dilakukan oleh kalangan atas, para elite, pejabat dan petinggi Negara

semakin serius sehingga menimbulkan banyak kerugian bagi Negara dan masyarakat.

3. Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah untuk memahami mengapa munculnya suatu tindakan

korupsi dalam sebuah kekuasaan, bahkan dalam praktek-praktek penegakan hukum

sekalipun. Selain itu, dengan pembahasan dalam makalah ini, diharapkan juga dapat

diketahui apa-apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan korupsi di

kalangan atas, para elite, dan pejabat pemerintah.

Page 5: Korupsi Yang Memiskinkan

Bab IILandasan Teori

Dalam melihat hubungan antara korupsi, kekuasaan, dan kejahatan korporasi dan

birokrasi ini, akan dibahas pengertian beberapa kerangka teoritik berikut.

1. Korupsi

Secara etimologi, kata korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptus yang

merupakan kata sifat dari kata kerja corrumpere yang bermakna menghancurkan

(commemiliki arti intensif atau keseungguh-sungguhan, sedangkan rumpere memiliki arti

merusak atau menghancurkan. Dengan gabungan kata tersebut, dapat ditarik sebuah arti

secara harfiah bahwa korupsi adalah suatu tindakan menghancurkan yang dilakukan secara

intensif. Dalam dictionary.reference.com, kata corruption diartikan sebagai todestroy the

integrity of; cause to be dishonest, disloyal, etc., esp. by bribery.

Sejatinya, ada begitu banyak pengertian dari korupsi yang disampaikan oleh para

ahli.  Huntington (1968) memberikan pengertian korupsi sebagai perilaku pejabat publik

yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku

menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr. Kartini

Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan

guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Korupsi juga sering

dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi.

Nye, J.S. (1967) dalam “Corruption and political development” mendefiniskan

korupsi sebagai prilaku yang menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan

seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi,

seperti kekayaan, kekuasaan dan status (lihat Agus Suradika, 2009: 2).

Amin Rais, dalam sebuah makalah berjudul “Suksesi sebagai suatu Keharusan”, tahun

1993, membagi jenis korupsi menjadi empat tipe.

 Pertama, korupsi ekstortif (extortive corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada

situasi di mana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau

mendapatkan proteksi atas hak dan kebutuhannya. Misalnya, seorang pengusaha dengan

sengaja memberikan sogokan pada pejabat tertentu agar bisa mendapat ijin usaha,

perlindungan terhadap usaha sang penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan sampai miliaran

rupiah.

Page 6: Korupsi Yang Memiskinkan

 Kedua, korupsi manipulatif (manipulative corruption), yaitu korupsi yang merujuk

pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan

pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Misalnya pemberian

uang kepada bupati, gubernur, menteri dan sebagainya agar peraturan yang dibuat dapat

menguntungkan pihak tertentu yang memberikan uang tersebut Peraturan ini umumnya dapat

merugikan masyarakat banyak. 

Ketiga, korupsi nepotistik (nepotistic corruption), yaitu perlakuan istimewa yang

diberikan pada keluarga: anak-anak, keponakan atau saudara dekat para pejabat dalam setiap

eselon. Dengan perlakuan istimewa itu para anak, menantu, keponakan dan istri sang pejabat

juga mendapatkan keuntungan.

 Keempat, korupsi subversif (subversive cossuption), yaitu berupa pencurian

terhadap kekayaan negara yang dilakukan oleh para pejabat negara dengan menyalahgunakan

wewenang dan kekuasaannya.

2. Kekuasaan

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk

mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikan rupa sehingga

tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari oang yang mempunyai

kekuasaan itu. Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan sosial dan dalam semua

organisasi sosial (Miriam Budiarjo, “Dasar-dasar Ilmu Politik, 1995: 35)

Kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk mengedalikan tingkah laku orang lain,

baik secara langsung dengan jalan member perintah, maupun secara tidak langsung dengan

mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia (Robert M. Maclver, 1961: 87).

Kekuasaan dalam suatu masyarakat selalu berbentuk piramida, yang disebabkan oleh 

kekuasaan yang satu menegaskan dirinya lebih unggul daripada yang lain. Piramida

kekuasaan ini menggambarkan kenyataan bahwa dalam sejarah masyarakat golongan yang

berkuasa dan yang memerintah itu relatif lebih kecil dari pada yang dikuasai.

Kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum

(pemerintah) baik terbentuknya mamupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan

pemegang kekuasaan sendiri. Kekuasaan politik merupakan bagian dari kekuasaan sosial, dan

fokusnya ditujukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak yang berwenang untuk

mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan.

Page 7: Korupsi Yang Memiskinkan

White-collar crime

Pengertian dasar dari konsep white-collar crime yang dikemukakan oleh Sutherland

adalah untuk menunjuk tipe pelaku dari suatu kejahatan, yaitu “orang dari kelas sosial

ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk

mengatur pekerjaanya” (Sutherland, 1949: 9). Orang dari kelas sosial ekonomi ini, menurut

Sutherland, adalah mengacu kepada orang-orang yang berada di kelompok orang-orang

terhormat.

Atas dasar pengertian di atas, tindakan kriminal seperti pembunuhan, perzinahan, dan

peracunan tidak dapat dikategorikan sebagai white-collar crime meskipun kejahatan itu

dilakukan oleh orang yang berstatus sosial ekonomi tinggi karena tindakan itu tidak memiliki

kaitan dengan pekerjaannya. Kejahatan yang dilakukan oleh penjahat yang kaya, misalnya

kecurangan dalam perjudian, yang memiliki kaitan erat denganpe pekerjaannya, juga tidak

dapat dikateogrikan sebagai white-collar criminal, karena penjahat tersebut tidak termasuk

dalam golongan orang terhomat (Muhammad Mustofa, 2010: 17).

Terdapat dua kategori kejahatan dalam dimensi white-collar crime, menurut Clinard

dan Quinney (1973), yaitu occupational criminal behavior dan corporate criminal behavior.

Dalam menjabarkan cirri-ciri occupational crime behavior, Clinar dan Quineey merujuk

kepada rumusan tipologi oleh Bloch dan Geis (1970), yaitu perbuatan yang dilakukan:

-          Oleh individu sebagai individu (misalnya pengacara, dokter);

-          Oleh pegawai terhadap majikannya (misalnya kasus penggelapan);

-          Oleh pejabat pembuat kebijakan untuk kepentingan majikan (kasus monopoli);

-          Oleh agen korporasi terhadap kepentingan umum (misalnya iklan yang menyesatkan)

-          Oleh pedagan terhadap konsumen (pelanggaran konsumen)

3. Kejahatan Korporasi

Kejahatan korporasi tidak dapat dilihat sebagai tingkah laku yang dilakukan oleh

orang, tetapi harus sebagai tingkah laku organisasi yang kompleks. Kejahatan korporasi dapat

dipahami melalui teori organisasi untuk menjelaskan bagaimana korporasi sebagai organisasi

yang secara kodrati khas, yaitu organisasi berskala besar melakukan tingkah laku  yang

melanggar hukum. Strtuktur dari organisasi korporasi ini sangat luas sehingga menopang

Page 8: Korupsi Yang Memiskinkan

keadaan yang mendorong terjadinya penimpangan oleh organisasi, disebabkan oleh

menyebarnya tanggung jawab secara luas. Kodrat tujuan korporasi untuk mendapatkan

keuntungan yang merupakan cirri iklim sosal industry dapat mendorong tindakan

pelanggaran hukum dan tindakan yang mendekati pelanggaran hukum (Clinard, Yeager,

1980: 43)

Di dalam korporasi, terdapat jenjang-jenjang yang memungkinkan setiap jenjang

tersebut memiliki sikap tidak bertanggung jawab (pelembagaan sikat tidak bertanggung

jawab). Hal ini menyebabkan korporasi bekerja dan memiliki fungsi seperti tirai, yang

membolehkan setiap orang di dalamnya tidak tersentuh oleh moral maupun hukum. Dari

situasi seperti inilah kejahatan korporasi hampir dapat terjadi. Mereka, eksekutif korporasi,

dapat mengelak dari tanggung jawab dengan dalih bahwa cara-cara tidak sah dalam mencapai

tujuan korporasi yang dirumuskan secara umum sdah merupakan sarana yang tersedia tanpa

dapat dikendalikan.

1. Differential Association.

Differential Association adalah sebuah teori kriminologi yang melihat bahwa tindakan

kejahatan sebagai perilaku yang dipelajari. Teori yang dikemukakan oleh Sutherland ini,

berkeyakinan bahwa perilaku menyimpang disosialisasikan melalui sebuah cara yang kurang

memiliki perlawanan terhadap perilaku iti sendiri. Sama halnya dengan norma-norma yang

berlaku di masyarakat, yang disosialisasikan melalui interaksi sosial dan ketaatan, begitu juga

dengan kejahatan dan perilaku menyimpang.

Sutherland memberikan 9 prinsip dari teori Differential Association, yaitu:

1)      Kejahatan dan perilaku menyimpang itu dipelajari

2)      Kejahatan dan perilaku menyimpang itu dipelajari dalam sebuah interaksi dengan orang

lain melalui proses komunikasi

3)      Belajar menjadi jahat terjadi di dalam primary group (keluarga, teman, teman

sepermainan atau sahabat paling dekat)

4)      Belajar menjadi jahat termasuk juga di dalamnya untuk belajar mengenai teknik, tujuan,

rasionalisasi, kebiasaan dan sikap sehari-hari.

5)      Arah khusus dari tujuan dan sikap itu dipelajari dari definisi situasi yang

menguntungkan dan tidak menguntungkan.

Page 9: Korupsi Yang Memiskinkan

6)      Seseorang menjadi penjahat apabila di dalam dirinya ada pertimbangan bahwa dengan

melanggar hukum akan mendapat keuntungan yang lebih banyak daripada tidak melanggar

hukum.

7)      Differential association bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitas.

8)      Proses belajar menjadi jahat itu melibatkan semua mekanisme yang terlibat dalam

pembelajaran lainnya.

9)      Meskipun perilaku kejahatan (kriminal) adalah ekspresi dari kebutuhan umum dan

sikap, perilaku kriminal dan tujuannya tidak dijelaskan atau dimaafkan oleh kebutuhan dan

sikap sama, sedangkan perilaku non-kriminal dijelaskan oleh kebutuhan umum dan sikap

sama.

Bab IIIPembahasan

Korupsi tidak akan pernah bisa kita pisahkan dari apa yang dinamakan kekuasaan. Di

mana ada kekuasaan, pasti ada korupsi. Hal ini telah menjadi kodrat dari kekuasaan itu

sendiri, yang menjadi “pintu masuk” bagi terjadinya tindakan korupsi. Kekuasaan dan

korupsi yang selalu berdampingan, layaknya dua sisi mata uang, merupakan hakikat dari

pernyataan yang disampaikan oleh Lord Acton, dari Universitas Cambridge, “Power tends to

corrupt, and absolute power corrupt absolutely.

Terdapat sebuah postulat yang mengatakan bahwa korupsi selalu mengikuti watak

kekuasaan. Dalam artian bahwa korupsi itu ada baik di pemerintahan yang sentralistik

maupun desentralistik. Jika pemerintahan suatu negara adalah sentralistik, korupsi juga akan

bersifat sentralistik. Semakin kuat kekuasaan itu tersentral, semakin besar pula terjadi kasus

korupsi di kekuasaan pusat tersebut. Di Indonesia, hal ini terjadi pada masa Orde Baru.

Sebaliknya, jika pemerintahan suatu negara adalah desentralistik, misalnya dengan Otonomi

Daerah, tindakan korupsi akan tersebar pula mengikuti pola pemerintahan desentralistik

tersebut. Dengan kata lain, praktek korupsi juga terjadi di pemerintahan tingkat daerah.

Karena kekuasaan berpindah dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan yang

otonom, korupsi pun mengikutinya berpindah dari satu pusat kekuasaan kepada banyak pusat

kekuasaan. Situasi seperti ini terjadi pada masa sekarang di Indonesia (Lihat Agus Suradika,

2009: 1)

Page 10: Korupsi Yang Memiskinkan

Sesuai dengan definisinya, korupsi sebagai prilaku yang menyimpang merupakan

suatu tindakan yang melanggar aturan etis formal yang dilakukan oleh seseorang dalam posisi

otoritas publik (penguasa). Korupsi cenderung dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa

atau wewenang terhadap sesuatu. Apabila seseorang tersebut tidak memiliki kuasa, kecil

kemungkinan bagi dirinya untuk melakukan korupsi. Namun, merupakan suatu kemustahilan

bagi manusia yang tidak memiliki sebuah ‘kekuasaan’. Selain itu, ciri paling utama dari

korupsi adalah tindakan tersebut dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi semata

dan merugikan pihak lain di luar dirinya. Contoh paling mudah adalah seorang mahasiswa

yang bolos kuliah dan meminta temannya untuk mengisi buku hadir. Sejatinya, ia telah

melakukan korupsi karena ia memiliki kuasa terhadap kehadiran dan ketidakhadiran dirinya

di dalam kelas. Dia melakukan tindakan tersebut untuk kepentingannya sendiri.

Melihat konteks kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, korupsi kelas kakap,

merupakan korupsi serius yang merugikan negara dan masyarakat banyak. Korupsi yang

dimaksud ini juga tidak lepas dari masalah kekuasaan. Para pejabat publik telah dengan

sengaja menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan tindakan melanggar hukum untuk

kepentingan pribadi. Seorang pejabat publik yang memegang kekuasaan (memiliki

wewenang) secara otomatis memiliki daya untuk mempengaruhi kebijakan yang akan

dikeluarkan. Sesuai dengan sifat dari kekuasan (kekuasaan politik) itu, yaitu mengendalikan

tingkah laku manusia (masyarakat) secara koersif (memaksa) agar supaya masyarakat

bersedia tunduk kepada negara (pemerintah). Dalam hal ini, setiap kebijaksanaan yang

diberlakukan sejatinya merupakan sebuah ketentuan atau aturan yang sesuai dengan tujuan-

tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Dari sini lah peluang untuk terjadinya tindakan korupsi

besar sekali.

Mengacu pada kasus korupsi Gayus Tambunan, dapat dijelaskan bahwa tindakan

korupsi yang dilakukan oleh Gayus itu dapat terlaksana karena dia memiliki suatu kekuasaan

dan wewenang. Seperti yang kita ketahui bahwa Gayus bekerja di kantor pusat pajak,

memegang jabatan sebagai Penelaah Keberatan Direktorat Jenderal Pajak. Posisi yang

demikian sangat memudahkannya untuk memanipulasi data, mempengaruhi suatu kebijakan

sehingga ia dapat meraup keuntungan yang besar untuk dirinya sendiri. Menurut

sumber Media Indonesia, modus Gayus melakukan pelanggaran dengan memanfaatkan

wewenangnya bermacam-macam. Dalam posisinya sebagai pegawai Sub Direktorat Banding

Direktorat Keberatan dan Banding, pada pertengahan 2007 Gayus berhasil memenangkan

Page 11: Korupsi Yang Memiskinkan

lebih dari 40 kasus banding perusahaan. Berkaitan dengan ini, Gayus memiliki peluang besar

untuk memenangkan Ditjen Pajak dalam pengadilan pajak, yaitu dengan memainkan selisih

pemenangan banding. Misalnya seorang wajib pajak seharusnya membayar pajak Rp 3

Miliar. Lalu dia keberatan, ditolak lalu banding. Di pengadilan pajak itu Gayus

memenangkan banding wajib pajak. Selain itu, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW),

diduga modus Gayus memanipulasi pajak dengan bermain kurs rupiah saat menangani pajak

Bumi Resources tahun 2002-2005. Hasil manipulasi tersebut menyebabkan kewajiban pajak

berkurang hingga US$ 164,627 ribu3 Dari perkara-perkara seperti inilah Gayus berhasil

mendapatkan keuntungan tersebut. Dia memiliki kepintaran dan kelihaian yang merupakan

‘senjata’ dari sebuah kekuasaan dan kewenangan.

Manusia memiliki sifat dasar untuk terus mengonsumsi, atau paling tidak memenuhi

kebutuhan pokoknya. Oleh karena itu, besar kemungkinan tuntutan-tuntutan pribadi tetap

membayangi manusia di dalam melaksanakan kewajibannya, yang seharusnya kewajiban itu

menuntut seseorang untuk dapat berperilaku bersih dan mengutamakan kepentingan umum

dan tanggung jawab. Hal ini pula yang menimpa Gayus Tambunan. Ada kecurigaan bahwa

kasus korupsi, penggelapan dan pencucian uang disebabkan oleh suap yang dilakukan oleh

para pengusaha agar mau memudahkan jalan bagi usaha mereka. Seperti misalnya ketika

Gayus menerima aliran duit sebesar Rp 370 juta. Selain itu, ada keterlibatan pengusaha

bernama Andi Kosasih dalam kasus korupsi Gayus Tambunan.

Korupsi yang merugikan negara dan masyarakat banyak biasanya bermula dari

penguasa

Kaitan tindakan kejahatan, korupsi, antara penguasa dan keterlibatan para pengusaha,

secara sederhan dapat diilustrasikan sebagai berikut: penduasa dapat memberikan akses

kepada para pengusaha untuk melakukan eksploitasi rente ekonomi yang merugikan

konsumen dan masyarakat luas. Di lain pihak pengusaha diuntungkan, dan bagian

keuntungan tersebut harus dibayar (diserahkan) kepada pemberi akses tadi, yaitu penguasa.4

Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, antara lain adalah korporatisme.

Korporatisme, dalam khasanah literature ekonomi-politik, sering disepadankan dengan

praktek politik di mana pemerintah atau penguasa berinteraksi secara tertutup (idak diketahui

3 (www.mediaindonesia.com, November 2009).4 (Lihat Siti Akhiriah Nasution, “Korupsi dan Kekuasaan”, Opini,http://www.waspada.co.id,

Januari 2010)

Page 12: Korupsi Yang Memiskinkan

oleh masyarakat) dengan sektor swasta besar (pengusaha kelas kakap). Dalam ketertutupan

tersebut, transaksi ekonomi mapun politik terjadi hanya untuk kepentingan segelintir

kelompok kepentingan (interest group) yang terlibat di dalamnya. Biasanya transaksi politik

maupun eknomi yang seperti ini terjadi secara informal dalam tatanan hukum yang kabur

atau tatanan hukum yang memihak kepentingan kelompok kecil tersebut. Adanya

persengkongkolan seperti ini membuka peluang besar bagi hukum untuk dipermainkan

(mafia hukum) sehingga hukum seorah-olah telah dipegang oleh tangan-tangan tertentu

(Lihat Didik J. Rahbini, 1996: 92)

Sistem korporatisme akan menimbulkan ketidakstabilan dan rakyat menjadi pihak

yang dirugikan. Dalam prakteknya, korporatisme biasanya berbarengan dengan praktek-

praktek haram lainnya yang disebut dengan rent seeking (memburu rente) yang dilakukan

oleh para elite penguasa atau pun keluarga di lingkup elite. Rent seeking dalam prakteknya

adalah menjualbelikan jabatan publik yang dimiliki oleh pejabat publik guna memperoleh

kekuntungan ekonomi, yang prakteknya berwatak “koruptif”. Praktek-praktek seperti ini

dapat dilihat jelas pada masa Orde Baru, yang pada saat itu terjadi distribusi modal yang

hanya dinikmati segelintir orang atau pengusaha (yang umumnya adalah keluarga Soeharto)

dan terdapat praktek monopoli dalam produksi (Agus Suradika, op cit., h.7)

Seperti yang disampaikan oleh Amien Rais tentang empat tipe korupsi, secara jelas bahwa

bagaimanapun tindakan korupsi itu, tidak akan lepas dari apa yang namanya

persengkongkolan (korporasi) antara penguasa (penguasa merupakan pihak pertama yang

pada awalnya membuka akses untuk terjadinya kecurangan) dengan para pengusaha (sektor

swasta, yang berpotensi memberikan rangsangan kepada penguasa untuk membuka akses

kemudahan bagi pelanggaran hukum). Korupsi atau kejahtan korporasi juga didorong oleh

pengaruh hasrat dan ketamakan dari dalam diri seseorang (dalam hal ini adalah penguasa),

serta tuntutan keluarga (korupsi nepotistik).

Hal ini lah yang kemudian menyebabkan individu sering melakukan suatu tindakan untuk

mendapatkan penghasilan tambahan dengan jalan yang tidak sah, misalnya korupsi.

Korupsi merupakan white-collar crime

Merujuk kepada pengertian white-collar crime yang menunjukkan suatu tindakan

kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terhormat, sesungguhnya kasus korupsi Gayus

Tambunan sangat dapat dilihat dari pisau bedah ini.

Page 13: Korupsi Yang Memiskinkan

Yang pertama sekali harus diperhatikan adalah kata “orang terhormat” tersebut. Bisa

jadi ini dapat menimbulkan pengertian yang bias tentang status Gayus Tambunan yang

hanyalah seorang pegawai rendahan di kantor pusat pajak. Oleh karena itu, penulis lebih

menekankan pengertian white-collar ini sebagai istilah yang memiliki makna pada awal

kemunculannya, yang digunakan oleh Sloan, yaitu white-collar yang menunjuk kaum

penerima gaji yang mengenakan pakaian yang bagus-bagus dalam pekerjaanya, seperti

karyawan administrsi kantor, para manajer dan para asistennya. Dari sini, Gayus termasuk

dalam kategori yang dimaksudkan.

Tipologi dari white-collar crime yang dibuat oleh Clinard dan Quinney (1973)

adalahoccupational criminal behavior dan corporate criminal behavior. Dua tipologi ini

kemudian dibagi menjadi lima tipe cirri pelaku dan tujuan, yaitu 1) pelanggaran individu

sebgai individu, 2) pelanggaran pegawai terhadap majikan, 3) pelanggaran pejabat pembuat

keibjakan untuk kepentingan umum, 4) pelanggaran agen korporasi terhadap kepentingan

umum, dan 5) pelanggaran oleh pedagan terhadap konsumen (Lihat Muhammad Mustofa,

2010: 26)

Kejahatan korupsi adalah pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang terhormat

tadi. Kejahatan ini dapat dilakukan oleh individu sebagai individu, atau pegawai terhadap

majikannya (kasus penggelapan). Melihat secara sepintas kasus korupsi yang dilakukan oleh

Gayus, tindakannya temasuk dalam kategori ini, yaitu dilakukan oleh individu sebagai

individu demi keuntungan yang dinikmati oleh individu. Namun demikian, adanya dugaan

keterlibatan para pengusaha lain, seperti Andi Kosasih, dan para petinggi dari Kepolisian,

menjadikan kasus korupsi Gayus (makelar kasus) sebagai bentuk dari kejaharan korporasi

(dilakukan oleh organisasi, dalam bentuk struktur organisasi yang saling menguntungkan dan

melindungi, serta melempar tanggung jawab). Aksi seperti ini termasuk dalam tipe 3 dan tipe

4 yang disampaikan oleh Clinard dan Quinney, yaitu pelanggaran yang dilakukan oleh

pejabat pembuat kebijakan untuk kepentingan majikan atau pihak tertentu; pelanggaran yang

dilakukan oleh agen korporasi terhadap kepentingan umum. Berkaitan dengan hal ini,

pengusaha memanfaatkan posisi Gayus untuk mempermudah prosedural pengurusan pajak,

dan bahkan melibatkan pihak kepolisian untuk menutupi kecurangan yang telah dilakukan.

Prof. Muhammad Mustofa, memberikan penjelasan tentang teori yang digagas oleh

Sutherland, berkaitan dengan kasus korupsi ini. Sutherland menganalisa dan menjelaskan

gejala white-collar crime dengan menggunakan teori different association. Sutherland

menunjukkan bahwa para pelaku kejahatan tersebut dalam melaksanakan pekerjaannya

Page 14: Korupsi Yang Memiskinkan

melakukan pelanggaran hukum, tetapi bukan merupakan kelanjutan dari kenakalan yang

pernah dilakukan pada masa anak atau remaja. Konsep ini menunjukkan bahwa mereka

berasal dari kalangan atas yang berpendidikan. Ketika para pelaku ini belajar masalah bisnis,

pada saat itu pula lah mereka belajar tentang bagaimana cara melakukan pelanggaran hukum

(dalam  different association dikatakan bahwa kejahatan didapat dari proses belajar). Konsep

bisnis dihayati sebagai sikap untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan segala cara.

Dalam melakukan bisnis ini, sering terjadi penyelewengan hukum demi kelancaran jalannya

bisnis. Penyimpangan sengaja dilakukan untuk meningkatkan keuntungan. Misalnya pelaku

usaha yang sengaja membuat iklan terlalu berlebihan dan menyesatkan (terdapat unsur

kebohongan) agar konsumen mau membeli produk mereka. Hal ini merupakan sebagian kecil

dari banyak contoh yang memperlihatkan bentuk kecurangan dalam perilaku bisnis. Biasanya

dalam melakukan kecurangan, pelaku bisnis jarang sekali mendapatkan kritik dari media

massa, karena sejatinya media massa juga merupakan palaku bisnis. Para pelaku bisnis

terbebas dari kritik dan terbebas dari kemungkinan diajukan ke pengadilan karena mereka

mempuyai hubungan yang erat dengan birokrasi (Muhammad Mustofa, 2010: 43)

Mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, jelaslah sudah bahwa teori different

association dapat dijadikan landasan sebagai pisau untuk menjelaskan mengapa korupsi dapat

terjadi dan dilakukan oleh seorang individu. Menurut yang diberitakan dalam Republika

Online, Gayus semasa muda adalah orang yang berpendidikan, terkenal sebagai anak muda

yang baik, ramah, dan pintar dalam mengatur keuangan. Keluarganya dipandang cukup

berada pada masa itu. Selain itu, Gayus juga merupakan seorang tamatan dari Sekolah Tinggi

Akuntansi Negara dengan nilai yang cukup memuaskan meskipun tidak dapat dikatakan

sebagai nilai yang spektakuler.5 Tentunya semua kelihaian Gayus dalam mengolah data

keuangan di kantor pusat pajak ia dapatkan dari bekalnya menuntut ilmu tersebut. Akan tetapi

kemahiran dalam melakukan pelanggaran hukum didapatkan di lapangan, setelah ia terjun

langsung dalam dunia perpajakan dan bisnis (dalam hal ini bisnis diartikan sebagai kegiatan

usaha individu yang terorganisasi untuk mendapatkan laba/keuntungan).

Tidak hanya kepada Gayus, teori ini juga dapat ditunjukkan kepada pelaku usaha

yang bekerja sama dengan Gayus Tambunan. Semua pelanggaran hukum yang dilakukan

oleh pelaku bisnis, sesuai dengan teori tersebut, merupakan hasil belajar dari pengalaman,

belajar di lapangan, yang terpicu karena penghayatan pelaku bisnis yang memaknai kegiatan

mereka adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya. Atas dasar ini, pelanggaran hukum

5 (http://koran.republika.co.id, Maret 2010).

Page 15: Korupsi Yang Memiskinkan

telah menjadi suatu kebiasaan, atau bahkan mereka terisolasi dari pengertian yang

menegaskan bahwa pelanggaran hukum yang mereka lakukan adalah salah.

Adanya faktor tuntutan dari konsep keluarga besar yang ada dalam masyarakat

Indonesia, wewenang yang dimiliki (kekuasaan), tuntutan bisnis dan keuntungan pribadi,

persengkokolan (korporasi) menjadikan tindakan korupsi sebagai tindakan yang sudah biasa

dan lazim saja dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mengerucutkan

semua faktor-faktor yang ada tersebut, semuanya kembali kepada hati nurani dan keimanan

seseorang dalam mengambil sikap dan melaksanakan amanah yang mereka emban.

Bab IVKesimpulan dan Saran

Kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah tentang tindak pidana korupsi ini belum

berjalan begitu baik, buktinya dengan kasus Gayus Tambunan yang telah kita analisis. Dalam

kasus tersebut Gayus dituntut kepolisian dengan tiga pasal, yakni pasal penggelapan,

pencucian uang, dan korupsi. Namun pada persidangan itu Gayus hanya dituntut dengan

pasal penggelapan, divonis oleh hakim dengan hukuman 1 tahun percobaan, kemudian

dibebaskan. Korupsi adalah kejahatan atau penyimpangan berupa pelanggaran hukum yaitu

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tahun 2001 yang dilakukan dengan tujuan untuk

mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan pribadi, di mana tindakan

tersebut menimbulkan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat.

Korupsi pada dasarnya dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, menyentuh semua

kalangan  di dalam masyarakat. Namun dengan mengacu kepada kasus Gayus Tambunan,

korupsi yang sangat merugikan ini sering kali terjadi di kalangan atas, kau elite, dan para

pejabat yang memiliki kekuasaan dan posisi yang strategis.

Korupsi muncul bukan tanpa sebab. Situasi-situasi yang memungkinkan dapat

menjadikan hal terdorongnya melakukan tindakan korupsi. Korupsi merupakan akibat dari

sebuah situasi kondisi di mana seseorang membutuhkan penghasilan lebih, atau merasa

kurang terhadap apa yang dia peroleh jika menjalankan usaha dengan cara-cara yang sah.

Korupsi merupakan tindakan yang tidak lepas dari pengaruh kekuasaan dan kewenangan

yang dimiliki oleh individu maupun kelompok, dan dilaksanakan  baik sebagai kejahatan

Page 16: Korupsi Yang Memiskinkan

individu (professional) maupun sebagai bentuk dari kejahatan korporasi (dilakukan denga

kerjasama antara berbagai pihak yang ingin mendapatkan keuntungan sehingga membentuk

suatu struktur organisasi yang saling melindungi dan menutupi keburukan masing-masing).

Korupsi merupakan cerminan dari krisis kebijakan dan representasi dari rendahnya

akuntabilitas birokrasi publik.

Korupsi juga dapat terjadi karena kurangnya kesadaran untuk mematuhi prinsip

“mempertahankan jarak”. Ketika di dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia yang

menjujung tinggi konsep keluarga besar menjadi sebuah faktor individu untuk berada di

situasi yang sulit dalam menutupi kekurangan ekonomi, pengaruh-pengaruh dari keluarga dan

kerabat dapat menyebabkan munculnya sikap untuk melakukan kecurangan dan pelanggaran

hukum. Individu yang melakukan korupsi gagal dalam memilah antara kepentingan pribadi

dengan kepentingan umum. Korupsi terjadi karena hilangnya rasa tanggung jawab dan rasa

malu di dalam diri pelakunya.

Korupsi juga tidak datang begitu saja di pikiran seorang pelaku. Dia dipahami

seabagai suatu tindakan melanggar hukum dan diperoleh melalui proses belajar. Sesuai

dengan teori different association, kemungkinan terbesar aksi pelanggaran hukum. Hal ini

dipelajari ketika seseorang mulai belajar melakukan bisnis atau usaha untuk mencari

keuntungan. Semakin kuatnya paham setiap pelaku bisnis bahwa mendapatkan keuntungan

(materil) adalah tujuan utama dari suatu bisnis, menyebabkan pelangaran hukum, seperti

korupsi, menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan. Selain itu, semakin bertambahnya

anggota yang memiliki paham yang sama tentang keuntungan tersebut, menjadikan korupsi

sebagai lahan untuk mencari uang sehingga membuka lebar untuk terjadinya tindakan

kejahatan korporasi.

Semua faktor-faktor itu sangat mempengaruhi diri individu untuk melakukan

kejahatan: korupsi. Hal ini disebabkan kurangnya rasa kesadaran akan pentingnya tanggung

jawab moral bagi mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan. Faktor-faktor ini juga

didukung oleh situasi penegakan hukum di bangsa kita yang masih belum adanya ketegasan

dan adanya lobi-lobi pilitik yang dilakukan oleh para pejabat kita dengan sector privat atau

dengan yang lainnya. Oleh karena itu, meskipun terkesan sebagai mimpi dan harapan yang

muluk, memperbaiki kesadaran seseorang dan mengembalikan rasa tanggung jawab moralnya

adalah salah satu cara yang paling ampuh untuk mencegah dan menghentikan korupsi di

negeri ini. Pendidikan agama dan aksi memperkuat iman adalah metode yang mesti

Page 17: Korupsi Yang Memiskinkan

ditingkatkan demi mendapatkan orang-orang yang memiliki hati nurani bersih dan mau

bekerja demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu ada baiknya pemerintah

serta wakil rakyat mengevaluasi kebijakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, karena

jika hal ini tidak segera ditindaklanjuti tindakan korupsi yang dilakukan oleh para perjabat

public berasal dari uang rakyat yang merupakan amanat untuk pembangunan Negara malah

memperkaya para pejabat dan tambah memiskinkan rakyat Indonesia.

Daftar Pustaka

Page 18: Korupsi Yang Memiskinkan

Mustofa, Muhammad. kleptokrasi: Persengkongkolan Birokrat-Korporat sebagai Pola White-Collar Crime di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.

Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan ke duapuluh tujuh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005

Suradika, Agus. RELASI KORUPSI DAN KEKUASAAN: Antara Cermin Budaya dan Penanggulangannya, http://www.docstoc.com/docs/5936230/Agus-Suradika-Korupsi-dan-Kekuasaan, diakses tanggal 7 Desember, 2010

Djafar, Wahyudi. Perselingkuhan Birokrasi dan

Korupsi,http://www.legalitas.org/content/perselingkuhan-birokrasi-dan-korupsi, diakses

tanggal 7 Desember, 2010a

http://erabaru.net/top-news/37-news2/10702-dua-kebijakan-radikal-atasi-korupsi

http://manshurzikri.wordpress.com/2010/12/14/faktor-faktor-yang-menyebabkan-terjadinya-korupsi-mengacu-kepada-kasus-korupsi-gayus-tambunan/