korupsi demokrasi

2
 Korupsi Demokrasi Rabu, 06 Maret 2013, 07:00 WIB Komentar : 1 Republika/Daan Yui !ati" #$ % Re &et % #' R()*B!IK#+-+ID,-le.: Yui !ati" Melambunna biaa emokra&i an berbanin terbalik enan menurunna tinkat ke&ea.teraan umum membuat banak oran mulai meraukan ma&la.at emokra&i bai ke.iupan ban&a+ -nko& kekua&aan an ma.al memiu mer ebakna korup&i politik+ Dalam per.itunan Komi&i )emili.an *mum K)*4, biaa pemili.an umum kepala aera. pemilukaa4 2010' 2015 menapai Rp 1 triliun Kompa&, 25/07/20104+ umla. itu akan &emakin menerikan  ika itamba. peneluaran ma&in'ma&in kaniat untuk m emperole. 8tiket9 penalonan ari partai politik, menea kon&ultan politik, belana iklan politik, kampane lapanan,  ba.kan munkin mo ne politi&+ Dalam pananan Menteri Dalam ;eeri <amaan =au>i, aa paraok& antara tuntutan  pemerinta.an an ber&i. ari korup&i, kolu&i, an nepoti&me an biaa pemilukaa an ma.al+ Dionto.kan, untuk penalonan ubernur iperlukan ana &ekitar Rp 100 miliar,  paa.al ai ubernur .ana Rp ?,7 uta per bulan+ De&ain in&titu&i emokra&i &eperti itu meneepankan penelimetan ornamental enan menabaikan &ub&tan&i+ Demokra&i an &eme&tina berk.imat paa penuatan aulat rakat an ma&la.at umum, u&tru ter&e&at alam permainan pro&eural an meneleenkan ara. emokra&i menai taanan kepentinan &empit elite politik+ )ro&e&i emokra&i an beruun paa korup&i aala. &uatu keliaran anarki&me an melenen au. ari rel emokra&i an re"orma&i+ Korup&i merupakan &e&uatu an i.aramaa.kan anat.ema4 ole. emokra&i+ -le. karena itu, &uatu po.on emokra&i an

Upload: hakim-danur-iqbal

Post on 07-Oct-2015

5 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

kwn

TRANSCRIPT

Korupsi DemokrasiRabu, 06 Maret 2013, 07:00 WIB

Komentar : 1

Republika/Daan

Yudi Latif A+ | Reset| A- REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Yudi Latif

Melambungnya biaya demokrasi yang berbanding terbalik dengan menurunnya tingkat kesejahteraan umum membuat banyak orang mulai meragukan maslahat demokrasi bagi kehidupan bangsa.

Ongkos kekuasaan yang mahal memicu merebaknya korupsi politik. Dalam perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU), biaya pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) 2010-2014 mencapai Rp 15 triliun (Kompas, 24/07/2010). Jumlah itu akan semakin mengerikan jika ditambah pengeluaran masing-masing kandidat untuk memperoleh tiket pencalonan dari partai politik, menyewa konsultan politik, belanja iklan politik, kampanye lapangan, bahkan mungkin money politics.

Dalam pandangan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, ada paradoks antara tuntutan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme dan biaya pemilukada yang mahal. Dicontohkan, untuk pencalonan gubernur diperlukan dana sekitar Rp 100 miliar, padahal gaji gubernur hanya Rp 8,7 juta per bulan.

Desain institusi demokrasi seperti itu mengedepankan penjelimetan ornamental dengan mengabaikan substansi. Demokrasi yang semestinya berkhidmat pada penguatan daulat rakyat dan maslahat umum, justru tersesat dalam permainan prosedural yang menyelewengkan arah demokrasi menjadi tawanan kepentingan sempit elite politik.Prosesi demokrasi yang berujung pada korupsi adalah suatu keliaran anarkisme yang melenceng jauh dari rel demokrasi dan reformasi. Korupsi merupakan sesuatu yang diharamjadahkan (anathema) oleh demokrasi. Oleh karena itu, suatu pohon demokrasi yang berbuah korupsi niscaya merupakan suatu proses delegitimasi demokrasi.

Dalam hal ini, studi Rose Ackerman (1999) menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki tingkat kepercayaan yang rendah terhadap institusi-insitusi publik, yang selanjutnya membawa dampak negatif berupa pudarnya komitmen warga pada proyek kolektif dan perilaku warga, memacu tingkat kriminalitas, dan disorganisasi sosial.

Sejalan dengan itu, studi Della Porta (2000) menduga bahwa korupsi merupakan sebab dan akibat dari buruknya kinerja pemerintahan. Tingginya biaya kekuasaan memicu melambungnya praktik korupsi. Konsekuensinya, Korupsi membawa buruk kinerja pemerintahan dan buruknya kinerja pemerintahan merangsang warga negara untuk mengembangkan praktik-praktik penyuapan untuk mempermudah urusan atau memengaruhi proses pengambilan keputusan, yang pada gilirannya kian menyuburkan praktik korupsi. Pada akhirnya, tingginya tingkat korupsi menimbulkan rendahnya tingkat kepercayaan terhadap demokrasi.

Jika korupsi bisa mengubur janji-janji kebaikan demokrasi, tingkat korupsi justru cenderung meningkat pada fase transisi menuju demokrasi. Studi Weyland (1998) di sejumlah negara di Amerika Latin menunjukkan bahwa korupsi cenderung meningkat secara tajam justru ketika sejumlah negara beralih ke sistem demokrasi.Ada beberapa alasan untuk itu. Pertama, di bawah sistem demokrasi terjadi penyebaran pusat-pusat kekuasaan. Akibatnya, terdapat lebih banyak veto players (penentu keputusan) ketimbang di bawah rezim otoritarian, yang memberi jalan bagi perluasan sentra-sentra baru penyuapan.

Kedua, demokratisasi politik kerap merangsang kebijakan neoliberal dalam perekonomian yang ditandai oleh intervensi modal dalam penyusunan perundang-undangan serta privatisasi perusahaan-perusahaan negara. Fenomena ini membuka peluang lebar bagi praktik-praktik penyuapan dalam rangka memuluskan kepentingan modal dalam memenangkan persaingan.Ketiga, pentingnya dukungan pemilih dalam konteks demokrasi dengan kinerja partai politik yang buruk membuat ongkos kampanye politik begitu mahal. Hal ini mendorong para veto players untuk menggelembungkan pundi-pundi keuangan partai dengan jalan bermain sabun dengan para pemilik modal, meski harus mengorbankan the rule of law.

Perluasan kesempatan korupsi pada era transisi menuju demokrasi merupakan jebakan yang bisa membawa sistem politik surut ke belakang. Demokrasi menghendaki legitimasi sistem politik dan kredibilitas institusi-institusi publik, sedangkan korupsi membawa efek delegitimasi sistem politik yang paling destruktif. Demokrasi politik yang dibayangi demokratisasi korupsi merupakan tindakan bunuh diri.

Sungguh ironis, anggota parlemen yang menjadi pengawal demokrasi dan dimungkinkan naik oleh demokrasi, justru berjamaah membunuh demokrasi dengan membiarkan praktik politik yang mahal modal. Absurditas politik ini harus dihentikan. Sebab dalam suatu demokrasi yang disemarakkan oleh korupsi, kebebasan tak bisa bertahan lama.

Redaktur : M Irwan Ariefyanto