konvulsi

24
Laboratorium Ilmu Penyakit Saraf Referat Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman STATUS KONVULSIVUS Disusun oleh Aviciena Bin Iskandar 1410029018 Pembimbing dr. Aswad Muhammad, Sp.S Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada Bagian Ilmu Penyakit Syaraf Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 1

Upload: anispurwanti

Post on 11-Sep-2015

6 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

referat

TRANSCRIPT

Laboratorium Ilmu Penyakit SarafReferatFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman

STATUS KONVULSIVUS

Disusun olehAviciena Bin Iskandar1410029018

Pembimbingdr. Aswad Muhammad, Sp.S

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik padaBagian Ilmu Penyakit SyarafFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman2015

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. karena hanya atas berkah, rahmat dan hidayah-Nyalah Referat Status Konvulsivus ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Referat ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada program pendidikan profesi dokter di stase Neurologi. Referat ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari belajar mandiri. Referat ini secara menyeluruh membahas tentang status konvulsivus.Dalam proses penyusunan referat ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:1. dr. Aswad Muhammad, Sp.S sebagai dosen pembimbing penulisan referat2. Para dosen pembimbing di stase neurologi3. Teman-teman sekelompok stase neurologi4. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatuPenulis mengharapkan agar referat ini dapat berguna baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca.Akhirnya, tiada gading yang tak retak, tentunya referat ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, saran serta kritik yang membangun penuli harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi referat ini.

Samarinda, 06 Juli 2015

PenulisDAFTAR ISI

STATUS KONVULSIVUS1Kata Pengantar2DAFTAR ISI3BAB 1 PENDAHULUAN3BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA5BAB 3 PENUTUP16A.Kesimpulan16B.Saran16

BAB 1PENDAHULUAN

Konvulsi (kejang) adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntar. Konvulsi dapat timbul karena anoksia serebri, intoksikasi serebri histeria atau berbagai manifestasi epilepsi. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan. Tiap neuron melepaskan muatan listriknya. Fenomen elektrik ini adalah wajar. Manifestasi biologiknya berupa gerak otot atau suatu modalitas sensorik, tergantung dari neuron kortikol mana yang melepaskan muatan listriknya.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI Dorland (2002) : Status konvulsi mengacu pada apa yang disebut dengan status epilepticus konvulsius, yaitu suatu rangkaian kejang tonik-klonik yang menyeluruh tanpa kembalinya kesadaran yang kontinyu, termasuk suatu keadaan gawat darurat EFA (1990) : status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang > 30 menit

ETIOLOGIPenyebab dari status konvulsivus terbagi secara umum atas dua secara garis besar, yaitu penyebab epileptik dan penyebab konvulsi non epileptik. Untuk kejang non epileptic, dapat disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya : Positional vertigo mendadak Breath-holding spell Cataplexy Hyperekplexia ( sy. startle) Hypoglycemia yang terkait neuroglycopenia Migraine Narcolepsy Non-epileptic myoclonus Opsoclonus Parasomnias Paroxysmal kinesiogenic dyskinesia Syncope Tics Sedangkan pada penyebab yang sifatnya epileptik, tidak ada penyebab tunggal pada epilepsi. Banyak faktor yang dapat mencederai sel-sel saraf otak atau lintasan komunikasi antarsel otak yanga dapat menyebabkan epilepsi. Hampir 60% penyebab epilepsi adalah idiopatik. Beberapa faktor penyebab terjadinya epilepsi yaitu trauma kepala, intoksikasi obat, tumor otak, gangguan keseimbangan elektrolit dan infeksi. IdiopatikPenyebab yang tidak diketahui ini dapat terjadi pada semua usia tapi lebih sering pada kelompok umur 5-20 tahun. Pada pemeriksaan CT scan atau MRI, biasanya tidak ditemukan kelainan. Penderita juga sering mempunyai riwayat keluarga yang mengidap epilepsi. Kelainan metabolikPenyebab ini dapat terjadi pada semua umur. Kebanyakan terjadi akibat komplikasi dari diabetes mellitus, keseimbangan elektrolit, gagal ginjal, defisiensi nutrisi dan intoksikasi alkohol atau obatan. Trauma kepalaPenyebab ini dapat terjadi pada semua umur terutama pada dewasa muda. Epilepsi lebih sering terjadi pada kontusio serebri dan biasanya muncul bangkitkan 2 tahun pascacedera. TumorTumor adalah penyebab yang bisa terjadi pada semua umur terutama pada umur di atas 30 tahun yang pada awalnya berupa bangkitan parsial dan kemudian berkembang menjadi bangkitan umum tonik-klonik. InfeksiInfeksi juga bisa menyebabkan epilepsi yang biasanya dalam bentuk ensefalitis, meningitis atau abses. Penyebab lain-lain, seperti antikonvulsan-withdrawal (20%), penyakit cerebrovaskular, toksisitas obat-obatan, hipoglikemia-hiperglikemia

PATOFISIOLOGITiap neuron yang aktif melepaskan muatan listriknya. Fenomena elektrik ini adalah wajar. Manifestasi biologik merupakan gerak otot atau sesuatu modilitas sensorik dan iyanya bergantung dari neuron kortikal mana yang melepaskan muatan listriknya.Secara fisiologis, neuron memiliki potensial membran. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran pada bagian interneuron yang lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu cetusan listrik melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat dan proses inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim disepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain. Sel glia mempunyai bagian terbesar dari sel-sel di susunan saraf pusat dan mempunyai peranan dalam mempertahankan keseimbangan ionisasi agar depolarisasi yang telah terjadi dapat disusul dengan depolarisasi. Oleh karena itu, sel glia berperan dalam inhibisi. Pada keadaan patologik, kejang biasanya memerlukan tiga kondisi: Neuron yang mengalami eksitasi akibat faktor patologi Peningkatan aktivitas eksitasi glutamat Penurunan aktivitas inhibasi GABAPada keadaan yang bersifat toksik atau mekanik, keadaan ini dapat menurunkan potensial membran neuron, sehingga neuron melepaskan muatan listriknya. Hal ini sama pada tumor serebri atau iskemik serebri dimana neuron kortikal mengalami gangguan pada potensial membrannya sehingga ia melepaskan muatan listriknya. Dalam keadaan peningkatan aktivitas eksitasi glutamat, bangkitan epilepsi dapat terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan daripada proses inhibasi. Bangkitkan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron yang abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkaitan dengan cetusan potensial aksi secara cepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian mengaktifkan neuron-neuron di sekitarnya untuk ikut serta melepaskan cetusan potensial aksi. Faktor-faktor yang mendukung pengembangan kejang termasuk perubahan dalam konsentrasi elektrolit (Na +, K +, Ca2 +), rangsang asam amino (asam glutamat), dan penghambatan asam amino (GABA), koneksi interneuron yang tidak teratur, dan hubungan aferen yang abnormal dari struktur subkortikal.

GEJALA KLINISKonvulsi tonik-klonik ini selalunya menyerang secara tiba-tiba, walaupun ada sebagian pasien yang mengaku mengalami simptom pre-konvulsi beberapa waktu sebelum mengalami konvulsi. Fase awal konvulsi tonik-klonik pada majoritas kasus dimulai dengan kontraksi otot tonik di seluruh bagian badan. Kontraksi tonik pada otot pernapasan dan larynx akan menyebabkan pasien kedengaran mengerang. Pernapasan bisa terganggu, sekresi air liur meningkat di oropharynx, dan akhirnya menimbulkan gejala sianosis. Kontraksi otot rahang kadang bisa menyebabkan pasien tergigit lidahnya sendiri. Tonus simpatetis meningkat, menyebabkan nadi, tekanan darah, dan pelebaran diameter pupil turut meningkat.Setelah 10 hingga 20 detik, fase tonik akhirnya berubah menjadi fase klonik, ditandai dengan relaksasi otot-otot secara menyeluruh. Periode relaksasi ini bertahan sehingga hampir 1 menit sebelum pasien memasuki fase post-ictal, di mana pasien secara umumnya hilang kesadaran, tonus otot melemah, dan sekresi saliva yang banyak bisa menyebabkan obstruksi saluran napas. Inkontinensia kandung kemih atau rektum bisa terjadi pada waktu ini.Pasien secara perlahan-lahan kembali sadar dalam jangka waktu menit ke jam, dan seringkali disertai dengan kebingungan. Gejala-gejala post-ictal seperti sakit kepala, capek, dan nyeri otot biasanya muncul dan bisa bertahan sehingga beberapa jam. Fase kesadaran menurun bisa berlangsung selama beberapa jam pada pasien dengan penyakit sistem saraf pusat, seperti pada pasien serebral atropi disebabkan oleh intoksikasi alkohol.

PENGOBATANTindakan awal adalah tindakan yang harus dilakukan ketika pasien kejang. Yang kedua mencari penyebab yang menyebabkan seseorang kejang. Yang ketiga adalah pengobatan.

Manajemen sewaktu kejang1. Menjauhkan pasien dari api, lalu lintas, dan air2. Hindarkan benda-benda yang dapat membahayakan pasien3. Longgarkan pakaian yang ketat,4. Letakkan benda yang lembut dibawah kepala pasien5. Miringkan badannya pasien, sehingga air liur dan lender keluar dari mulut6. Tetaplah bersama pasien sampai pasien sadar7. Biarkan pasien istirahat atau lanjutkan aktivitas yang dilakukan oleh pasien sebelumnya.Jangan lakukan1. Jangan masukan apapun kedalam mulut2. Jangan memberikan minum3. Jangan mencoba untuk menahan gerakan.

Manajemen status konvulsiManajemen status konvulsi menurut EFA, 1993 :Pada : awal menit 1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)a. Periksa tekanan darah b. Mulai pemberian Oksigen c. Monitoring EKG dan pernafasan d. Periksa secara teratur suhu tubuh e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis 2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa, hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat 4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernickes encephalophaty 5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung 1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperatur 2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100 mg per menit Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil. -atau- Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG.

Manajemen status konvulsi menurut PERDOSSI :

MonoterapiKetika pengobatan dimulai juga dengan satu obat saja. Dosis awalnya kecil, diberikan untuk 3-4 minggu (fenobarbital atau fenitoin) atau selama satu minggu (carbamazepine atau valproate) kemudian ditingkatkan secara bertahap sampai kejang dikendalikan, atau sampai efek samping muncul, atau sampai dosis maksimum untuk obat tersebut telah tercapai.Jika efek samping muncul dan kejang belum terkontrol obat kedua diperkenalkan dan obat pertama dilanjutkan pada tingkat sebelum efek samping muncul. Ketika obat kedua telah efektif, obat pertama secara bertahap dosis diturunkan. Jika kejang berulang, obat kedua meningkat. Hanya ketika kedua obat telah dicoba sendiri sampai ke tingkat di mana efek samping terjadi mungkin kombinasi dari dua obat dicoba. Dalam sejumlah kecil kasus (sering otak anak-anak rusak) obat ketiga harus ditambahkan.

Obat anti-epilepsi yang utama:1. FenobarbitalObat ini tidak lagi dianjurkan dalam perkembangan dunia, tapi obat ini merupakan antikonvulsan yang berguna, efektif dan murah. Tetapi jika tidak ada perbaikan, atau bahkan kondisinya memburuk dosis tidak harus ditingkatkan di luar 120 mg setiap hari, dan pasien dirujuk ke klinik atau rumah sakit yang menyediakan antikonvulsan selain fenobarbital. Efek samping utama dari fenobarbital adalah mengantuk, terutama selama minggu pertama pengobatan, perlahan-lahan menghilang, dan hanya berulang ketika dosis terlalu tinggi. Pada beberapa anak mungkin ada pengurangan skolastik kinerja atau perubahan perilaku, seperti hiperaktif dan kadang-kadang agresivitas. Fenobarbital memiliki waktu paruh yang panjang. Oleh karena itu, akan memakan waktu beberapa minggu sebelum mencapai efek . Ini juga berarti bahwa hal itu dapat diberikan hanya sekali sehari, sebaiknya setelah makan malam sebelum pasien tidur. Indikasi utama adalah epilepsi idiopatik umum. Tetapi juga cukup efektif dalam kejang umum lainnya dan kejang parsial.

2. FenitoinFenitoin juga merupakan antikonvulsan sangat efektif untuk kejang parsial, GTCS dan kejang saat tidur. Masalah utama adalah margin kecil antara tingkat terapeutikk dan tingkat di mana enzim metabolisme jenuh dan tingkat serum meningkat secara bertahap untuk mencapai nilai-nilai beracun. Peningkatan dosis tidak lebih besar dari 50 mg untuk mencegah efek samping. Efek samping adalah rasa kantuk, permen hipertrofi dan hirsutisme, dan ketika dosis adalah ataksia terlalu tinggi dan nystagmus. Selain tanda-tanda cerebellar reversibel pada dosis tinggi, telah disarankan bahwa sindrom cerebellar permanen mungkin terjadi akibat dari terapi kronis. Sebuah sub-klinis neuropati ringan sering terjadi setelah terapi fenitoin berkepanjangan, tetapi dapat terjadi dengan obat lain juga. Jika toksisitas telah muncul, dosis harus dihilangkan untuk satu hari dan kemudian dimulai kembali pada tingkat yang lebih rendah. Jika memungkinkan, perubahan-over untuk antikonvulsan lain dapat dilakukan untuk mencegah kecelakaan lebih lanjut. Fenitoin juga memiliki waktu paruh yang panjang tergantung dosis, waktu paruh lebih lama pada dosis yang lebih tinggi, dan mungkin diperlukan waktu hingga dua minggu sebelum menjadi efektif. Hal ini dapat diberikan dalam dosis sekali sehari. Karena sedikit mengiritasi lambung, harus selalu diberikan setelah makan, dan ketika dosis tinggi, mungkin lebih baik untuk membaginya menjadi dua dosis.

3. KarbamazepinKarbamazepin merupakan obat yang dipasarkan setelah 1960. Indikasi utama adalah untuk kejang parsial kompleks. Tetapi juga efektif untuk sebagian lainnya kejang dan untuk semua GTCS. Hal ini tidak efektif untuk absen umum dan mioklonik kejang. Pada awal pengobatan mengantuk, pusing dan terjadi lagi ketika dosis terlalu tinggi. Kemudian mungkin ada juga penglihatan ganda dan ataksia. Tidak memiliki waktu paruh yang panjang dan karena itu tidak dapat diberikan sekali sehari. Perlu diberikan dua kali sehari dan bila dikombinasikan dengan obat lain harus diberikan tiga kali sehari.

4. ValproateValproate telah dipasarkan sejak tahun 1966. Indikasi utama adalah ketidakhadiran umum, kejang mioklonik, dan serangan drop. Hal ini juga digunakan untuk GTCS terjadi setelah kebangkitan. Dan jika perlu mungkin akan digunakan untuk semua jenis kejang lainnya. Ketika fenobarbital tidak dapat digunakan sebagai pencegahan kejang demam, valproate dapat digunakan sebagai pengganti. Ia memiliki waktu paruh pendek. Meskipun tindakan farmakodinamik dalam sistem saraf pusat melebihi kehadirannya dalam serum, harus diberikan tiga kali sehari untuk menghindari konsentrasi tingkat tinggi. Efek samping yang spesifik adalah peningkatan berat badan, kehilangan rambut, dan iritasi lambung. Efek pada janin lebih serius, seperti spina bifida mungkin terjadi. Risiko spina bifida dikurangi dengan menambah folat pada semua wanita berisiko hamil.

5. KlonazepamKlonazepam jarang digunakan sendiri. Hal ini biasanya ditambahkan ketika tidak ada kontrol yang cukup dari kejang, sering pada anak dengan serangan penurunan dan kejang mioklonik. 6. DiazepamDiazepam digunakan untuk status epileptikus atau status kejang demam. Hal ini juga digunakan untuk membatalkan kejang demam untuk mencegah kejang demam berkepanjangan. Harus diberikan secara intravena, tetapi jika vena tidak dapat ditemukan, solusi yang sama dapat diberikan melalui dubur.

BAB 3PENUTUP

A. Kesimpulan Status konvulsi mengacu pada apa yang disebut dengan status epilepticus konvulsius, yaitu suatu rangkaian kejang tonik-klonik yang menyeluruh tanpa kembalinya kesadaran yang kontinyu, termasuk suatu keadaan gawat darurat.Penyebab dari status konvulsivus terbagi secara umum atas dua secara garis besar, yaitu penyebab epileptik dan penyebab konvulsi non epileptik. Untuk kejang non epileptic, dapat disebabkan oleh berbagai hal, dimana intinya tidak terjadi brain damage. Sedangkan, pada penyebab yang sifatnya epileptik, tidak ada penyebab tunggal pada epilepsi. Banyak faktor yang dapat mencederai sel-sel saraf otak atau lintasan komunikasi antarsel otak yanga dapat menyebabkan epilepsi. Hampir 60% penyebab epilepsi adalah idiopatik. Beberapa faktor penyebab terjadinya epilepsi yaitu trauma kepala, intoksikasi obat, tumor otak, gangguan keseimbangan elektrolit dan infeksi.Status convulsus perlu segera dihentikan sebab, semakin lama kejang berlangsung, semakin sulit dikontrol dan semakin banyak kerusakan sel otak itu terjadi. kerusakan sel otak terjadi terutama oleh bangkitan eksitasi yang terus menerus dan bukan oleh komplikasi aktivitas kejangnya. Oleh karena itu dibutuhkan manajemen penghentian kejang yang tepat dan cermat pada kasus-kasus status konvulsivus.B. SaranMasih banyak kekurangan dari referat status konvulsivus ini, sehingga diperlukan sumber sumber bacaan lain dari penelitian terbaru agar kita dapat mengetahui hal hal lain mengenai status konvulsivus.

DAFTAR PUSTAKA

1. David,YK Urticaria- A Review (Online) 2009 August [cited 05/09/2012], (screens 1). Available from URL: http://www.medscape.com/viewarticle/588551VB2. Dekker PA,editor. Epilepsy: A Manual for Medical and Clinical Officers in Africa. WHO Geneva, 2002.p.57-653. Fisher SR, Saul M. How is Epilepsy Diagnosed (Online) 2009 August [cited 05/09/2012], (screens 1). Available from URL: http://epilepsy.com4. Greenstein B, Greenstein A, editors. Color Atlas of Neuroscience. Thieme Sturrgart; 2000,p362-635. Lionel Ginsberg. Neurologi edisi ke delapan. Jakarta : Erlangga Medical Series.6. Lumbantobing.Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.FKUI.Jakarta.20087. Mahar Mardjono. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke -11. PT.Dian Rakyat. Jakarta.20068. Mardjono M, Sidharta P, editors. Neurologi Klinis Dasar. Edisi 9. Jakarta: DIAN RAKYAT;2003.p.439-489. Ratna Mardiati. Buku Kuliah Susunan Saraf Otak Manusia. Sagung Seto. Jakarta. 1996.10. Rohkamm R,editor. Color Atlas of Neurology, 2004.p.198-19911. Ropper AH, Brown HR, editors. Adams & Victors Principles of Neurology. 8th Edition,2005, McGraw Hill,p.272-9612. Royal College of Physicians. Diagnose Epilepsy (Online) 2003 August [cited 03/11/2012], (screens 1). Available from URL: http://sign.ac.uk13. Shorvon SD, Fish DR, Perucca E, Dodson WE, editors. The Treatment of Epilepsy, 2nd edition.p.74-8214. Simon RP, Aminoff MJ, Greenberg DA, editors. Clinical Neurology, 7th Edition, 2009, McGraw Hill Lange15. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006; 740-59.16. Tjahjadi P, Dikot Y, Gunawan D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In: Tjahjadi P, Dikot Y, Gunawan D, editors. Kapitas Selekta Neurologi. Edisi 5. Jakarta;2010. p.119-33

16