konvergensi dan divergensi bahasa dalam...

116
KONVERGENSI DAN DIVERGENSI BAHASA DALAM INTERAKSI BELAJAR MENGAJAR DI KELAS XI MIPA 5 SMA NEGERI 3 KOTA TANGERANG Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) t Oleh Pitri Puspita Dewi 1112013000072 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019

Upload: truongnhi

Post on 08-Aug-2019

243 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KONVERGENSI DAN DIVERGENSI BAHASA DALAM INTERAKSI

BELAJAR MENGAJAR DI KELAS XI MIPA 5 SMA NEGERI 3 KOTA

TANGERANG

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

(S.Pd.)

t

Oleh

Pitri Puspita Dewi

1112013000072

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019

SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Pitri Puspita Dewi

Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 17 Mei 1994

NIM : 1112013000072

Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Alamat : Jalan Ki Hajar Dewantara Rt/Rw: 03/01 No. 45 Kelurahan

Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang,

Provinsi Banten 15146

MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA

Bahwa skripsi yang berjudul Konvergensi dan Divergensi Bahasa dalam Interaksi

Belajar Mengajar di Kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang adalah benar

hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen:

Dosen Pembimbing : Dr. Nuryani, M. A.

NIP : 19820628 200912 2 003

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan siap menerima

segala konsekuensi apabila terbukti skripsi ini bukan hasil karya sendiri.

Jakarta, Desember 2018

Yang menyatakan,

Pitri Puspita Dewi

1112013000072

i

ABSTRAK

Pitri Puspita Dewi (1112013000072). “Konvergensi dan Divergensi Bahasa

dalam Interaksi Belajar Mengajar di Kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota

Tangerang”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana bentuk

konvergensi dan divergensi bahasa dalam interaksi belajar mengajar di Kelas XI

Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang. Penelitian ini menggunakan metode

penelitian kualitatif-deskriptif. Pengumpulan data yang digunakan yakni teknik

rekam. Data dalam penelitian ini diperoleh dari teks transkipsi dalam interaksi

belajar mengajar di Kelas XI Mipa 5 yang berfokus pada penggunaan konvergensi

dan divergensi bahasa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap bahasa yang ada pada interaksi

belajar mengajar didominasi oleh konvergensi bahasa, hal itu dapat ditunjukkan

dengan sikap guru yang menyesuaikan pemakaian bahasanya ketika

menyampaikan materi kepada siswa dengan respon bahasa yang sama dari siswa

tersebut. Selain konvergensi, terdapat juga divergensi bahasa yang ditunjukkan

oleh penutur (guru) terhadap lawan tuturnya (siswa) dalam pemakaian bahasanya.

Salah satu hal yang melatarbelakangi penutur (guru) melakukan divergensi bahasa

adalah adanya perbedaan sosial dan geografis ketika berinteraksi dengan

siswanya.

Kata kunci: konvergensi, divergensi, interaksi

ii

ABSTRACT

Pitri Puspita Dewi (1112013000072). “Language Convergence and

Divergence in Teaching and Learning Interactions in The Eleventh Class of

Science Five State Senior High School 3 Kota Tangerang”. Department of

Education of Indonesian Language and Literature. Faculty of Science and

Teaching of State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta.

This research aims to describe how form of language convergence and

divergence in teaching and learning interactions in The Eleventh Class of Science

Five State Senior High School 3 Kota Tangerang. This study used research

qualitative-descriptive methods. The recording technique is used to collect data.

Data in this research obtained from trancription in teaching and learning

interactions in The Eleventh Class of Science Five focused of used language

covergence and divergence.

Result of the study showed that language attitudes that exist in teaching

and learning interactions are dominated by language convergence, this can be

indicated by the attitude of the teacher who adjusts the use of her language when

delivering material to students with the same language response from the student.

In addition to convergence, there is also the language divergence shown by the

speaker (teacher) to the opponent she speaks (student) in the use of her language.

One of the things behind the speaker (teacher) to do language divergence is the

existence of social and geographical differences when interacting with her

students.

Keywords: konvergence, divergence, interaction

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas ke hadirat Allah Swt., atas segala rahmat dan karunia-Nya

kepada penulis, akhirnya buah dari perjuangan dengan penuh kesabaran telah

terselesaikan. Salawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan

kita Nabi Muhammad Saw., keluarga, para sahabat, dan pengikutnya sampai akhir

zaman.

Penyusunan skripsi ini tidak lain guna memenuhi syarat mmenyandang

gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini bukan hanya karya penulis semata, sebab di belakangnya begitu

banyak pendukung yang turut membantu penulisan ini hingga titik di halaman

terakhir. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Rosida Erowati, M. Hum., selaku dosen penasihat akademik Jurusan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

4. Dr. Nuryani, M. A., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar

dalam membimbing, mengarahkan dan memberikan motivasi selama

penyusunan skripsi.

5. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang telah berbagi pengetahuan seluas-luasnya

selama penulis menempuh studi.

6. Bapak Safrudin Perwira Negara dan Ibu Murni Handayani, kedua orang

tua penulis. Terima kasih telah memberikan kasih sayang, motivasi, dan

doa tiada henti.

iv

7. Kakak tersayang Brigadir Ahmad Dedi Alhaddad dan Nur Aida Putri

Yani, S.Pd., terima kasih selalu mengingatkan dan memberikan

semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Briptu Mohammad Agung Saputra, teman hidup di masa yang akan

datang, terima kasih untuk doa, nasihat, semangat dan dukungannya,

serta terima kasih sudah sabar dan setia menjadi tempat keluh kesah

penulis dan selalu memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini.

9. Teman seperjuangan PBSI Angkatan 2012, khususnya untuk sahabat

yang selalu ada dan tidak pernah bosan untuk mengingatkan dan

memberikan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini, terima kasih

Puji Ayu Lestari.

10. Terima kasih untuk sahabat saya, Evie Mailinda, S.Kom., yang selalu

menemani dan tidak pernah bosan untuk menyemangati dalam

menyelesaikan skripsi ini.

11. Terima kasih untuk rekan-rekan pengajar tersayang, Zeus Yeni

Rahman, S.Pd., Ibu Soleha, S.Pd., dan Ibu Alfiyah, yang selalu

menyemangati dan memberikan dukungan kepada penulis.

12. Segenap dewan guru SMP Nurul Hikmah, yang selalu memberikan

dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

13. Semua pihak yang terlibat dalam pembuatan skripsi ini yang tidak bisa

saya sebutkan satu per satu, semoga Allah selalu membalas kebaikan

kalian dengan pahala yang berlipat ganda.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari

sempurna, sehingga penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang berguna

untuk perbaikan laporan. Penulis berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi

penulis khususnya serta pihak yang membutuhkan umumnya.

Jakarta, 15 November 2018

Penulis,

Pitri Puspita Dewi

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ......................................................................................................... i

ABSTRACT ...................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... v

DAFTAR TABEL ............................................................................................. vii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... ..... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ................................................................. 5

C. Batasan Masalah ...................................................................... 5

D. Rumusan Masalah ................................................................... 5

E. Tujuan Penelitian ..................................................................... 6

F. Manfaat Penelitian ................................................................... 6

BAB II KAJIAN TEORETIS

A. Landasan Teori ......................................................................... 8

1. Sosiolinguistik............... .................................................... 8

2. Teori Interaksi Belajar Mengajar ...................................... 22

B. Penelitian yang Relevan ........................................................... 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian .................................................................... 30

B. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................. 30

C. Teknik Penelitian ..................................................................... 31

1. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 31

2. Teknik Pengolahan Data .................................................... 31

D. Sumber Data dan Data ............................................................. 32

1. Sumber Data ..................................................................... 32

2. Data ................................................................................... 32

E. Instrumen Penelitian ................................................................. 33

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data .......................................................................... 34

B. Analisis Penelitian ................................................................... 40

BAB V PENUTUP

A. Simpulan .................................................................................. 56

B. Saran ......................................................................................... 57

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 58

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Klasifikasi Wujud Konvergensi Bahasa dalam Interaksi Belajar

Mengajar di Kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang

Tabel 2.1 Klasifikasi Wujud Divergensi Bahasa dalam Interaksi Belajar

Mengajar di Kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Transkipsi Interaksi Belajar Mengajar di Kelas XI Mipa 5 SMA

Negeri 3 Kota Tangerang.

Lampiran 2 : Lembar Uji Referensi

Lampiran 3 : Surat Bimbingan Skripsi

Lampiran 4 : Surat Keterangan Penelitian dari Sekolah

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan alat komunikasi manusia yang mempunyai fungsi

sosial. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh

anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan bergaul

dengan masyarakat lingkungan, baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat

pada umumnya. Ketika berkomunikasi, pastilah seseorang mempunyai

maksud tertentu, seperti mengungkapkan pikiran, perasaan, ide, atau gagasan

kepada orang lain. Oleh karena itu, dalam berbicara kita harus memperhatikan

pemilihan bahasa, intonasi, tekanan, dan sebagainya agar apa yang kita

sampaikan kepada orang lain itu mudah atau dapat dipahami. Dalam

pemakaian bahasa, manusia sering tidak menyadari bahwa kemampuan

berbahasa tidak hanya sekadar mengeluarkan bunyi-bunyi, melainkan bunyi

itu sendiri harus merupakan simbol atau perlambang.

Pemakaian bahasa merupakan suatu bentuk interaksi sosial yang

digunakan antaranggota masyarakat untuk saling berkomunikasi agar dapat

saling menjalin hubungan dengan cara lembut dan beraneka ragam. Selain itu,

pemakaian bahasa juga digunakan untuk mengekspresikan diri, mengadakan

integrasi dan beradaptasi sosial dan juga sebagai alat untuk kontrol sosial agar

mencapai tujuan komunikasi dan kerja sama. Komunikasi dapat dianggap

sebagai fungsi paling umum bagi pemakai bahasa, dan merupakan sarana yang

paling terperinci dan efektif untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain.

Bahasa memberikan kemungkinan yang jauh lebih kompleks untuk

mengadakan komunikasi. Namun dalam komunikasi tersebut, kadangkala ada

beberapa pemakai bahasa yang kurang memperhatikan sikap bahasa. Hal ini

sering terjadi dalam kegiatan interaksi belajar mengajar di sekolah.

11

2

Proses belajar mengajar merupakan proses kegiatan interaksi antara

siswa yang belajar dengan guru sebagai pihak yang mengajar dalam satu

lingkungan. Dalam interaksi belajar mengajar, terjadi proses pengaruh

mempengaruhi. Interaksi tersebut tidak hanya terjadi antara siswa dengan

guru, tetapi juga antara siswa dengan siswa lain, dan dengan media

pembelajaran. Secara singkat dapat dikatakan bahwa interaksi belajar

mengajar merupakan interaksi yang berlangsung antara guru dengan siswa

dalam rangka mencapai tujuan pengajaran.

Sekarang ini, di dalam lembaga pendidikan formal, banyak ditemukan

kasus seperti penggunaan bahasa yang tidak terpuji pada anak didik.

Terkadang mereka tidak bisa membedakan dimana dan dengan siapa mereka

berbicara. Sering terjadi anak didik menggunakan nada yang keras atau tinggi,

ketika sedang berbicara dengan pendidik. Sikap negatif ini terjadi akibat

seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai kesadaran akan adanya

norma bahasa yang nampak dari tindak tuturnya. Mereka cenderung tidak

merasa memerlukan penggunaan bahasa secara cermat dan tertib, dan

mengikuti kaidah yang berlaku.

Bahasa untuk memudahkan kita dalam berkomunikasi sehari-hari baik

itu secara lisan maupun secara tulis. Bahasa sebagai alat komunikasi

merupakan alat untuk merumuskan maksud kita; kita dapat menyampaikan

semua yang kita rasakan, pikirkan, dan apa yang kita ketahui kepada orang

lain. Melalui bahasa, kita dapat menunjukkan sudut pandang kita, pemahaman

kita atas suatu hal, dan menuangkan ide atau gagasan yang kita pikirkan.

Tujuan untuk berkomunikasi itu adalah agar apa yang kita sampaikan kepada

orang lain itu dapat dipahami dan diterima. Kita ingin membuat orang lain

yakin terhadap pandangan kita. Dalam kegiatan pembelajaran, tujuan

berkomunikasi antara guru dan siswa ialah agar tujuan pembelajaran itu

tercapai. Komunikasi yang dilakukan antara guru dan siswa bukan hanya

proses pertukaran dan penyampaian materi pembelajaran, melainkan ada

dimensi relasi guru dan siswa yang menjadikan proses pembelajaran menjadi

3

lebih efektif. Komunikasi tidak hanya terjadi antara guru dan siswa, tetapi

juga antara siswa dengan siswa. Siswa dituntut aktif agar dapat berfungsi

sebagai sumber belajar bagi siswa lain.

Setiap individu memiliki kemampuan berbahasa yang berbeda-beda.

Seorang pendidik bisa saja memiliki kemampuan menguasai lebih dari satu

bahasa. Biasanya seseorang yang menguasai lebih dari satu bahasa ini suka

mencampuradukkan bahasa, seperti kasus yang sering ditemukan adalah kasus

dalam penggunaan bahasa, di dalam menggunakan bahasa Indonesia.

Misalnya terdapat seorang pendidik yang menguasai dua bahasa yaitu bahasa

Indonesia dan bahasa daerah, maka kemungkinan besar saat sedang

berkomunikasi bahkan di dalam menyampaikan materi pelajaran di kelas,

pendidik tersebut secara spontan akan mengeluarkan kosakata bahasa

keduanya. Hal yang sering terjadi adalah bahwa sebagian penutur kurang

mampu dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Para pendidik ketika menyampaikan materi pelajaran terkadang

mecampuradukkan bahasa-bahasa yang mereka kuasai. Beberapa pendidik

masih menggunakan bahasa ibunya (B1) dalam interaksi belajar mengajar,

sehingga dalam penyampaian materi pelajaran, beberapa siswa tidak dapat

sepenuhnya memahami apa yang disampaikan oleh pendidik tersebut. Padahal

ketika menyampaikan materi pelajaran seorang pendidik harus menggunakan

bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa yang digunakan ketika

menyampaikan materi pelajaran harus sesuai dengan kemampuan peserta

didik, agar materi pelajaran yang ingin disampaikan dapat dipahami oleh

peserta didik. Namun sering kita temukan seorang pendidik yang menyisipkan

bahasa-bahasa asing ataupun bahasa daerah. Pendidik tersebut cenderung

mempertahankan identitas bahasanya. Mereka berbahasa Indonesia tanpa

mempertimbangkan tepat atau tidaknya ragam bahasa yang mereka gunakan.

Mereka menganggap hal yang penting adalah sudah menyampaikan informasi

kepada orang lain. Perkara mengerti atau tidaknya apa yang telah disampaikan

tidak ingin ambil pusing. Padahal jika kita mengacu pada salah satu syarat

4

berjalannya komunikasi adalah keterpahaman mitra tutur terhadap informasi

yang kita sampaikan.

Penggunaan bahasa yang digunakan pendidik pada dua kasus di atas

dapat dikatakan sebagai proses munculnya ragam bahasa (variasi bahasa).

Variasi bahasa dapat terjadi karena perbedaan geografis penutur, perbedaan

sejarah/waktu, dan perbedaan sosial penutur (daerah, status, ragam, usia,

gender, etnis, agama, lingkungan, dan sebagainya). Terjadinya konvergensi

dan divergensi bahasa adalah adanya upaya penutur menyamakan tuturannya

atau membedakan tuturannya dengan mitra tuturnya dan berlangsung secara

terus menerus. Penutur mengakomodasikan tuturannya menjadi sama atau

mirip dengan lawan tuturnya, atau juga penutur tersebut mengakomodasikan

tuturannya berbeda dari lawan tuturnya. Jika tuturannya sama, berarti penutur

tersebut telah melakukan konvergensi bahasa, sebaliknya jika penutur tersebut

tuturannya tidak sama dengan lawan tuturnya, maka penutur tersebut telah

melakukan divergensi bahasa. Penutur yang melakukan konvergensi dan

divergensi bahasa itu dilatarbelakangi oleh perbedaan sosial dan geografis

ketika mereka sedang berinteraksi.

Berhasil atau tidaknya kegiatan belajar mengajar ditentukan oleh

beberapa faktor, salah satunya yaitu kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh

pendidik. Jika sebuah kegiatan belajar mengajar dipersiapkan dengan baik,

tentu hal yang ingin disampaikan oleh pendidik kepada peserta didik dapat

diterima dengan baik pula. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pemilihan

bahasa merupakan salah satu faktor penting agar kegiatan belajar mengajar

dapat berjalan dengan baik. Bahasa yang digunakan pendidik umumnya harus

jelas, komunikatif, dan terarah agar para peserta didik memahami apa yang

dikatakan oleh pendidik.

Berdasarkan kasus tersebut, dalam penelitian yang akan dilakukan,

penulis memutuskan untuk memilih judul “Konvergensi dan Divergensi

Bahasa dalam Interaksi Belajar Mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di

5

Kelas XI MIPA 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang Tahun Pelajaran

2016/2017”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah-

masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Komunikasi pada proses pembelajaran tidak hanya terjadi antara guru

dan siswa, tetapi juga antara siswa dengan siswa.

2. Beberapa pendidik dan beberapa siswa masih cenderung

mempertahankan bahasa sebagai identitasnya.

3. Ada kesenjangan antara bahasa Indonesia sebagai media pembelajaran

dengan realitas penggunaan bahasa daerah di dalam kelas.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan tersebut,

agar ruang lingkup pembahasan lebih terkonsentrasi, maka penulis membatasi

masalah dengan lebih memfokuskan kepada konvergensi dan divergensi

bahasa dalam interaksi belajar mengajar bahasa dan sastra Indonesia di kelas

XI MIPA 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang semester ganjil tahun pelajaran

2016/2017.

D. Rumusan Masalah

Setelah melihat latar belakang yang ada dan agar dalam penelitian ini

tidak terjadi kerancuan, maka penulis dapat membatasi dan merumuskan

permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Masalah penelitian ini dapat

dirumuskan yaitu bagaimana proses konvergensi dan divergensi bahasa dalam

6

interaksi belajar mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di kelas XI MIPA 5

SMA Negeri 3 Kota Tangerang semester ganjil tahun pelajaran 2016/2017?

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang diteliti, maka tujuan dalam

penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan konvergensi dan divergensi

bahasa dalam interaksi belajar mengajar bahasa dan sastra Indonesia di kelas

XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang tahun pelajaran 2016/2017 dalam

pembelajaran Teks Cerita Ulang dan kaitannya dengan pembelajaran bahasa

Indonesia.

F. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua jenis manfaat yaitu manfaat teoretis

dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis adalah manfaat yang berhubungan dengan

pengembangan ilmu. Dengan adanya penelitian ini, manfaat bagi peneliti

di antaranya dapat meningkatkan kualitas ilmu pendidikan bahasa

Indonesia dan mampu mengaplikasikannya. Selain itu, peneliti dapat

memahami berbagai problematika yang terjadi dalam konvergensi dan

divergensi bahasa dalam interaksi belajar mengajar dan dapat menemukan

solusi yang berkaitan dengan kesalahan penggunaan kosa kata, serta dapat

memberikan rekomendasi asal hasil temuan yang kiranya dapat

dimanfaatkan dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah.

2. Manfaat Praktis

7

a. Bagi siswa, diharapkan mendapat pengetahuan tentang bagaimana

menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar pada saat

interaksi belajar mengajar.

b. Khusus guru bahasa Indonesia, sebagai tambahan pengetahuan

untuk mengarahkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan

benar dalam menyampaikan materipelajaran di kelas.

c. Bagi peneliti lain sebagai bahan referensi untuk penelitian tentang

konvergensi dan divergensi bahasa di lingkungan pendidikan

formal.

8

BAB II

KAJIAN TEORETIS

A. Landasan Teori

1. Sosiolinguistik

Sosiolinguistik adalah studi dari bahasa sehubungan dengan

penutur bahasa sebagai anggota masyarakat. Dapat juga dikatakan bahwa

sosiolinguistik mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan

bahasa, khususnya variasi yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan

dengan faktor kemasyarakatan.1 Sosiolinguistik adalah ilmu yang

mempelajari tentang bahasa dan orang-orang yang memakai bahasa

tersebut.

Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisplin antara sosiologi dan

linguistik. Sosiologi adalah kajian objektif dan ilmiah mengenai manusia

di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang

ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana

masyarakat itu bisa terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Sedangkan

linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu

yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya.2 Sosiolinguistik

mengkaji unsur-unsur bahasa dalam masyarakat terkait dengan pengguna

bahasa dalam suatu tempat.

Sosiolinguistik merupakan cabang linguistik mikro. Banyak pakar

yang membahas mengenai linguistik seperti Appel. Menurut pandangan

Appel, sosiolinguistik tidak terlepas dalam kehidupan masyarakat karena

sosiolinguistik merupakan bagian dari interaksi sosial masyarakat.

1 Ni Nyoman Padmadewi, dkk., Sosiolinguistik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm. 1.

2 Sumarsono, Sosiolinguistik (Yogyakarta: Sabda bekerjasama dengan Pustaka Pelajar,

2004), Cet. II, hlm. 2.

8

9

“Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai sistem sosial dan

komunikasi serta merupakan bagian dari masyarakat dan

kebudayaan tertentu sedangkan yang dimaksud dengan pemakaian

bahasa adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi

konkret. Dengan demikian dalam lingusitik, bahasa tidak dilihat

internal, tetapi dilihat sebagai sarana interaksi/komunikasi di dalam

masyarakat.”3

Selain Appel, ada juga pakar lain yaitu J.A. Fishman. Fishman

mendefinisikan sosilinguistik sebagai “The study of the characteristics of

their speaker as these three constantly interact, change and change one

another within a speech community.”4 Menurut Fishman, sosiolinguistik

mengkaji tentang tiga unsur yang saling berinteraksi dalam masyarakat

tutur. Ketiga unsur tersebut adalah ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi

variasi bahasa, dan pemakai bahasa. Istilah sosiolinguistik pernah direvisi

menjadi sosiologi bahasa pada tahun 1972 oleh Fishman. Fishman

menyebutkan bahwa sosiolinguistik mengkaji seluruh masalah yang

berkaitan dengan organisasi sosial perilaku bahasa, sehingga dalam

implikasinya tidak hanya mencakup pemakaian bahasa saja, melainkan

membahas pula mengenai sikap-sikap bahasa, perilaku terhadap bahasa,

dan pemakai bahasa.5 Pendapat Fishman tersebut lebih menghubungkan

antara kajian sosiolinguistik dengan lingkup sosiologi ketimbang dengan

lingkup linguistik, karena dalam kajian sosiolinguistik seorang peneliti

lebih dulu memulai masalah kemasyarakatan kemudian baru dihubungkan

dengan masalah bahasa.

Hudson memberikan batasan sosiolinguistik sebagai “...the study of

language in relation to society”6, maksudnya sosiolinguistik yaitu kajian

tentang bahasa yang memiliki kaitan dengan masyarakat. Sejalan dengan

pengertian Hudson, Kridalaksana juga mendefinisikan “sosiolinguistik

3 Aslinda dan Leni Syafyahya, Pengantar Sosiolinguistik (Bandung: Refika Aditama, 2007),

hlm. 6. 4 Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta: Rineka

Cipta, 2004), Cet. II, hlm. 3. 5 Padmadewi, Op.Cit., hlm. 2

6 Basuki Suhardi, Pedoman Penelitian Sosiolinguistik (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen

Pendidikan Nasional, 2009), hlm. 6.

10

sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa, serta

hubungan di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di

dalam suatu masyarakat bahasa.7

Demikianlah bahwa sosiolinguistik merupakan bagian dari

masyarakat dan tidak pernah terlepas dari masyarakat karena bagian sarana

interaksi dalam masyarakat. Nababan menyatakan, sosiolinguistik adalah

studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu

sebagai anggota masyarakat atau dapat juga dikatakan bahwa

sosiolinguistik itu mempelajari dan membahas aspek-aspek

kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan (variasi) yang

terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor

kemasyarakatan (sosial).8 Sosiolinguistik membahas aspek bahasa yang

berkaitan dengan penuturnya seperti variasi bahasa dan dialek dalam

masyarakat.

Halliday menyebutkan bahwa “sosiolinguistik sebagai institusional

(institutional linguistics), berkaitan dengan pertautan bahasa dengan

orang-orang yang memakai bahasa itu (deals with the relation between a

language and the people who use it).”9 Hal ini berarti bahwa

sosiolinguistik tergantung pada bahasa yang digunakan orang dalam

bertutur. Selain itu, Pride dan Holmes juga merumuskan sosiolingistik

tidak hanya sebatas pada pertautan seseorang melainkan berhubungan

dengan budaya. Dengan demikian, menurut Pride dan Holmes,

sosiolinguistik sebagai “...the study of language as part of culture and

society”, yaitu kajian bahasa sebagai bagian dari kebudayaan (language in

culture).10

7 Chaer, Op.Cit., hlm. 3.

8 P.W.J. Nababan, Sosiolinguistik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 3.

9 Sumarsono dan Paina Partana, Sosiolinguistik (Yogyakarta: Sabda, 2004), Cet. II, hlm. 2.

10 Ibid.,

11

R. Kunjana Rahardi dalam bukunya menyatakan bahwa

sosiolinguistik mengkaji bahasa dengan memperhitungkan hubungan

antara bahasa dan masyarakat, khususnya masyarakat penutur bahasa itu.

Sosiolinguistik mempertimbangkan keterikatan dua hal, yaitu lingusitik

untuk segi kebahasaan dan sosiologi untuk segi kemasyarakatan.11

Adapun beberapa definisi sosiolinguitik di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa sosiolinguistik meliputi tiga hal, yaitu bahasa,

masyarakat, serta hubungan antara bahasa dan masyarakat. Sosiolinguistik

erat kaitannya dengan masyarakat tutur yang objek penelitiannya adalah

bahasa dan faktor-faktor sosial. Dalam sosiolingustik, terdapat beberapa

teori, salah satunya adalah teori akomodasi, berikut penjelasannya.

Teori Akomodasi Giles

Teori komunikasi akomodasi adalah sebuah teori yang

menggambarkan sikap bahasa seorang individu yang meliputi sikap bahasa

positif maupun negatif yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Teori

ini lebih ditunjukkan oleh penutur terhadap lawan tutur.12

Dalam percakapan antara orang-orang dengan pengucapan yang

berbeda, mereka menyadari bahwa ada kecenderungan umum

untuk mengucapkan kedua hal tersebut bersama-sama. Proses ini

disebut akomodasi, yang menjelaskan cara penyesuaian orang yang

pindah ke lingkungan baru dengan norma yang baru pula. Karena

kita berbicara tentang perubahan probabilitas dan persentase,

perubahan tidak terlalu begitu jelas bagi penutur atau lawan tutur.

Tetapi jika kita merekam percakapan antara dua penutur varietas

yang berbeda, kita akan menemukan persentase mereka dengan

menggunakan beberapa fitur bahasa yang sering bertemu. Itu

adalah hal yang umum untuk menemukan bahasa yang digunakan

11

R. Kunjana Rahardi, Kajian Sosiolinguistik Ihwal Kode dan Alih Kode, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 16.

12 Made Iwan Hendrawan Jendra, Sociolinguistics The Study of Societies Languages

(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 123 Bernard Spolsky, Sociolinguistics (New York: Oxford University Press, 1998), hlm. 41

12

seperti kosakata, bentuk tata bahasa, dan bahkan pengucapan yang

kita dapatkan dari percakapan tersebut.13

Jadi, teori ini menjelaskan mengenai penyesuaian yang dilakukan

seorang penutur terhadap bahasa ketika berada dalam lingkungan baru

yang lawan tuturnya berbeda dengan latar belakang penutur.

Akomodasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk

menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur perilaku seseorang

dalam responnya terhadap orang lain. Akomodasi biasanya

dilakukan secara tidak sadar. Kita cenderung memiliki naskah

kognitif internal yang kita gunakan ketika kita berbicara dengan

orang lain.14

Communication Accomodation Theory (CAT)

memberikan perhatian pada interaksi memahami antara orang-

orang dari kelompok yang berbeda dengan menilai bahasa,

perilaku nonverbal dan penggunaan paralinguistik individu.15

Made Iwan dalam bukunya mengklasifikasikan teori akomodasi

sebagai berikut. “There are two important sociolinguistic concepts

in the theory, namely convergence and divergence. As convergence

and divergence are individual’s language attitude found in a

conversation, the concepts are the best classifield as individual

phenomena.” (Ada dua konsep penting dalam teori sosiolinguistik ,

yaitu konvergensi dan divergensi. Dapat dikatakan konvergensi

dan divergensi adalah sikap bahasa individu yang ditemukan dalam

percakapan, konsep adalah penggolongan terbaik sebagai

fenomena individual).16

Giles mengembangkan pengertian akomodasi, suatu istilah yang

biasa dipakai dalam psikologi, ke dalam perilaku linguistik. Biasanya

akomodasi itu mengambil bentuk konvergensi (menyatu atau menuju ke

satu arah), yaitu penutur akan memilih suatu bahasa atau ragam bahasa

yang sesuai dengan kebutuhan atau kemampuan lawan bicara. Namun,

dalam kondisi tertentu seorang penutur bisa gagal mengonvergensikan diri

atau dia bahkan harus melakukan divergensi (mengaburkan atau

menyimpang dari arah). Dengan kata lain, seorang penutur mungkin saja

13

Bernard Spolsky, Sociolinguistics (New York: Oxford University Press, 1998), hlm. 42 14

Richard West dan Lynn H. Turner, Introducing Communication Theory: Analysis and Application 3rd ed. (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm. 217

15 William B Gudykunst dan Bella Mody, Handbook of International Inter Cultural

Communication 2nd Edition (Sage Publication. Thousand Oaks, 2002), hlm. 44 16

Jendra, Op Cit.

13

sama sekali tidak berusaha untuk menyesuaikan tuturnya dengan

kepentingan lawan bicaranya dan justru dengan sengaja membuat tuturnya

sama sekali tidak serupa dengan tutur lawan bicara. Hal ini akan terjadi,

kalau si penutur ingin menekanakan loyalitas atau kesetiaan terhadap

kelompoknya dan memisahkan diri dari kelompok lawan tuturnya.17

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada dua konsep

penting dalam teori sosiolinguistik, yaitu konvergensi dan divergensi.

Konvergensi dan divergensi adalah sikap bahasa individu yang ditemukan

dalam percakapan, konsep tersebut merupakan penggolongan terbaik

sebagai fenomena individual. Adapun uraian lebih lanjut mengenai

konvergensi dan divergensi adalah sebagai berikut.

a. Konvergensi

Konvergensi mengacu pada sikap positif yang ditunjukkan oleh

pembicara terhadap pendengar dengan menyesuaikan fitur bahasa

(pengucapan, aksen, kosakata, dan struktur) sehingga dipahami dan

diterima. Sebagai contoh bentuk konvergensi tersebut dapat kita temukan

ketika seorang ibu berbicara kepada anaknya. Biasanya ia berpikir bahwa

ia perlu menggunakan ekspresi lebih singkat dan sederhana, seperti warna

suara yang lebih tinggi, kecepatan petunjuk, dan melakukan pengulangan

sehingga apa yang dikatakannya dipahami dengan jelas.18

Contoh lain

dapat kita temukan di dalam kelas, yaitu ketika guru berbicara lebih

lambat, ia menghindari penggunaan kata-kata yang terlalu sulit, dan

menyederhanakan struktur dari ucapan-ucapan agar apa yang dijelaskan

lebih mudah dipahami.19

Konvergensi sering terjadi dalam percakapan

bilingual-monolingual. Seperti contoh dua orang gadis bilingual yang

sedang berdialog dengan gadis monolingual maka dalam dialognya dua

orang gadis bilingual tersebut akan menggunakan bahasa yang dimengerti

17

Sumarsono dan Paina Partana, Sosiolinguistik (Yogyakarta: Sabda), hlm. 213 18

Jendra, Op Cit. 19

Ibid., hlm. 124

14

gadis monolingual.20

Ciri-ciri konvergensi dapat dilihat dari pilihan

tuturan kosakata, bentuk tata bahasa, dan bahkan perubahan lafal terhadap

lawan bicara.21

Penutur dapat menyesuaikan perilaku kebahasaan dalam reaksi

terhadap lawan bicara dengan mengubah ujaran ke bahasa lain

(atau tidak mengubahnya), memakai kata-kata atau satuan bahasa

yang lebih besar (frase; kalimat) dari bahasa lain atau (tidak)

memilih varian-varian dalam bahasa menjadi satu alur arah atau

yang lain; dapat juga memakai strategi seperti terjemahan wacana

pendek, memodifikasi tempo ujaran, dan memaksimalkan atau

meminimalkan aksennya.22

Weinreich mendefinisikan konvergensi sebagai kesamaan yang

parsial yang selanjutnya meningkat pada adanya perbedaan. Konvergensi

dan divergensi adalah gagasan yang berhubungan, yakni mengacu pada

proses dan hasil dari proses tersebut.23

Selanjutnya, Peter Auer, Frans

Hinskens, dan Paul Kerswill menjelaskan bahwa proses perubahan bahasa

hanya menyelesaikan hal-hal yang ada di balik perubahan bahasa, baik

secara intrasistemik (misalnya, perubahan bunyi secara leksikal yang

menyebar) maupun di antara variasi bahasa yang berdekatan (misalnya,

dialek atau gaya/style).24

Mahsun dalam penelitiannya menjelaskan bahwa terjadinya

konvergensi dan divergensi dalam masyarakat bahasa adalah karena

adanya kesepadanan adaptasi linguistik dengan adaptasi sosial. Adaptasi

linguistik adalah proses adopsi ciri-ciri kebahasaan bahasa tertentu oleh

bahasa yang lain atau kedua-duanya saling melakukan hal yang sama,

sehingga bahasanya menjadi lebih serupa, mirip, atau sama, antara satu

sama lain. Adaptasi sosial adalah proses yang terjadi akibat adanya kontak

sosial yang melibatkan dua kelompok yang memiliki perbedaan budaya

20

Ibid. 21

Spolsky, Op. Cit. 22

Sumarsono, Op. Cit. hlm. 215 23

Peter Auer, Frans Hinskens, dan Paul Kerswill, Dialect Change: Convergence and Divergence in European Languages, (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), hlm. 2

24 Ibid., hlm. 4

15

atau ras melakukan penyesuaian satu sama lain atau salah satu di

antaranya, sehingga memiliki sejumlah solidaritas budaya yang cukup

untuk mendukung terciptanya eksistensi kehidupan yang solider dan

harmoni di antara mereka. Apabila adaptasi sosial lebih tinggi (melalui

adaptasi linguistik), akan terbentuklah kondisi harmoni, tetapi sebaliknya,

apabila adaptasi sosial rendah, kondisi tidak harmonilah yang terbentuk.

Ini berkaitan dengan penyesuaian bahasa atau pilih bahasa atau

konvergensi dan divergensi bahasa.25

Konsep konvergensi dan divergensi

bahasa yang diterapkan oleh Mahsun yakni menghubungkannya dengan

situasi terciptanya keharmonisan sosial dalam masyarakat. Konvergensi

dan divergensi yang dimaksudkan di sini adalah adanya upaya masyarakat

untuk menyesuaikan tuturannya dengan lawan tuturnya sehingga

komunikasi di antaranya dapat terjalin.

Konvergensi adakalanya disukai dan mendapat apresiasi atau

sebaliknya. Orang cenderung memberikan respon positif kepada orang lain

yang berusaha mengikuti atau menirunya, tetapi orang tidak menyukai

terlalu banyak konvergensi. Khususnya jika hal itu tidak sesuai atau tidak

pantas justru akan menimbulkan masalah. Misal, ketika seseorang

berbicara lambat tetapi keras kepada seorang buta atau seorang perawat

yang berbicara dengan pasien berusia lanjut dengan meniru suara bayi

(semacam sindiran karena orangtua lanjut dianggap seperti bayi). Orang

cenderung akan menghargai konvergensi yang dilakukan secara tepat,

bermaksud baik dan sesuai dengan situasi yang ada, namun orang tidak

suka atau bahkan tersinggung jika konvergensi itu dilakukan secara

patut.26

Dengan demikian, konvergensi bukan hanya tentang cara

pengucapan bahasa akan tetapi bagaimana seseorang yang melakukan

25

Mahsun, Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)

26 Morrison dan Wardhany Andy Corry, Teori Komunikasi (Jakarta: Ghalia Indonesia,

2009), hlm. 135.

16

konvergensi itu memperhatikan apa yang diucapkan sehingga

memunculkan sikap positif yang membuat seseorang paham dan mengerti

dengan apa yang dibicarakan. Dalam hal pembelajaran, sesungguhnya

seorang pendidik atau guru dituntut untuk melakukan hal ini. Bagaimana

seorang guru bersikap di dalam kelas dengan bahasa yang santun, tidak

kaku, dan tentunya dapat dipahami oleh anak didik dalam menyampaikan

materi pembelajaran. Hal yang paling penting adalah seorang pendidik

dengan konvergensinya mampu menumbuhkan motivasi bagi anak didik

untuk mau memahami materi pembelajaran.

b. Divergensi

Di dalam Teori Komunikasi Akomodasi, divergensi adalah sebuah

konsep yang mencerminkan sikap bahasa yang mengambil arah yang

berlawanan dari konvergensi. Hal ini mengacu pada pemisahan yang

ditunjukkan oleh penutur bahasa terhadap lawan tuturnya.

Berbeda dengan konvergensi, divergensi mengarah pada sikap

bahasa yang negatif. Penutur tidak mau menyesuaikan bahasanya terhadap

lawan tuturnya. Hal ini sering terjadi untuk beberapa latar belakang sosial,

politik, dan budaya yang berbeda.27

Sebagai contoh dalam interaksi belajar

mengajar dapat ditemukan seorang guru yang masih mempertahankan

identitas bahasanya dalam menyampaikan materi pelajaran sehingga

membuat siswa sulit untuk memahami materi yang diajarkan.

Divergensi muncul karena penutur menggunakan gaya bahasanya

secara konsisten karena faktor kebanggaan akan atribut kelompok

sosialnya atau penutur tersebut memiliki rasa solidaritas kelompok

sosialnya yang ditandai dengan penggunaan pemertahanan gaya

bahasa asal dari penutur tersebut.28

Gejala divergensi itu misalnya ada pada orang Negro di AS, yang

dalam dialognya dengan orang-orang kulit putih kadang-kadang sengaja

27

Jendra, Op. Cit. 28

R. Hudson, Sociolinguistics (2nd Edition) (Cambridge University Press, 1996), hlm. 42

17

memakai bahasa Inggris nonbaku khas Negro, justru untuk menunjukkan,

dia bukan orang kulit putih (yang sering merendahkannya) melainkan

orang Negro. Sikap demikian juga ada pada orang-orang Arab yang pada

tahun 1970-an mengeluarkan komunike tentang minyak bukan dalam

bahasa Inggris melainkan dalam bahasa Arab.29

Contoh lainnya adalah, para mahasiswa dari kelas menengah-atas

di Inggris pada tahun 1970-an menerima gagasan liberalisasi dan

mendemonstrasikannya dengan menanggalkan gaya tutur dan berbusana

yang biasa diharapkan oleh kelas itu. Namun diterima atau tidak

konvergensi-menurun itu oleh kelompok bawahan sebagian bergantung

kepada status sosiolinguistik ragam bahasa kelompok bawahan. Jika

variasi itu dianggap sebagai bahasa (bukan sekadar ragam bahasa atau

dialek), kelompok bawahan mungkin menerima atau bahkan menuntut

agar kelompok dominan juga memakai bahasa itu selama proses

perubahan sosial. Hal semacam itu terjadi misalnya pada waktu

kebangkitan nasionalisme Prancis di kalangan warga keturunan Prancis di

Quebec, Kanada. Sebagai kelompok bawahan di Kanada, di bawah

kelompok dominan berbahasa Inggris, mereka ingin mempertahankan

bahasa Prancis. Kelompok dominan tidak keberatan, bahkan banyak di

antara mereka berbahasa Prancis dengan akses Inggris. Tetapi, kelompok

Prancis akhirnya menuntut agar bahasa Prancis juga diajarkan di sekolah

dan diberlakukan juga bagi anak-anak penutur asli bahasa Inggris.

Kelompok Prancis mau menerima “bahasa Prancis dengan aksen Inggris”

oleh kelompok dominan.30

Jika sistem bahasa kelompok bawah itu dipandang sebagai

ragam subbaku (nonbaku) dari bahasa kelompok dominan (seperti

ragam Inggris orang Negro di AS), konvergensi-menurun yang

dilakukan oleh kelompok dominan itu justru banyak tidak diterima.

Salah satu alasan ialah pemakaian ragam bawahan oleh kelompok

etnik lain (yang tidak memiliki ragam itu) dianggap sebagai

29

Sumarsono, Op. Cit., hlm. 213-214. 30

Ibid., hlm. 218-219.

18

ejekan; dalam masa perubahan sosial, usaha konvergensi itu

mungkin dipandang sebagai klaim (tuntutan) menjadi anggota

kelompok bawahan. Warga kelompok bawahan sulit menerima

klaim semacam itu.31

Seperti yang disampaikan Janet Holmes dalam buku Made Iwan,

mengemukakan bahwa “...minority ethnic groups who want to maintain

and display their cultural distinctiveness will often use their own linguistic

variety, even, and sometimes especially, in interaction with majority group

members”.32

(kelompok etnis minoritas yang ingin mempertahankan dan

menampilkan kekhasan budaya mereka akan sering menggunakan

berbagai bahasa mereka sendiri, bahkan, kadang-kadang terutama, dalam

interaksi dengan anggota kelompok mayoritas).

Berdasarkan pendapat Janet Holmes di atas, divergensi sering

dilakukan oleh etnis minoritas yang ingin mempertahankan kekhasan

budayanya dengan menggunakan bahasanya sendiri, sehingga orang yang

melakukan komunikasi dengan mereka cenderung sulit memahami apa

yang mereka sampaikan. Dalam hal ini divergensi adalah bagaimana

seorang individu menunjukkan kesetiaan terhadap bahasanya. Meskipun

berada di luar daerah mereka, mereka tetap menggunakan bahasa yang

mereka anggap sebagai suatu kekhasan dari etnis mereka.

Konvergensi dan divergensi tidak memerlukan satu pilihan dari

keduanya. Ada berbagai variasi pilihan yang mungkin terjadi jika seorang

penutur berinteraksi dengan orang dari luar kelompoknya.

1) Prilaku yang paling bersifat konvergensi adalah memakai bahasa

lawan bicara dan berusaha keras menampilkan ujaran yang serupa

betul dengan ujaran penutur asli sebagaimana si lawan bicara.

2) Prilaku yang kurang konvergensi terjadi dengan menggunakan bahasa

si lawan bicara tetapi aksennya mungkin “lebih berat”.

31

Ibid., hlm. 219. 32

Jendra, Op. Cit.

19

3) Penutur memakai bahasanya (melakukan divergensi) tetapi dengan

tempo yang lamban untuk menghormati lawan tutur, yang mungkin

kurang memahami bahasa yang dipakai.

4) Ujaran yang paling divergen adalah kalau penutur memakai bahasanya

dengan kecepatan normal, membiarkan lawan bicara memahami

ujarannya sebisa mungkin.33

Menurut Giles strategi konvergensi atau divergensi itu dipakai

ketika (1) apakah si penutur itu seorang anggota kelompok sosiokultural

yang dominan (seperti orang Anglo-Sakson –penutur asli bahasa Inggris,

di AS) atau “bawahan” (seperti kelompok orang Negro, Yahudi, Spanyol

di AS), dan (2) apakah penutur itu berpikir atau tidak mengenai

kemungkinan perubahan sosial (dalam arti memperbaiki posisi atau status

kelompok bawahan).34

Perilaku akomodasi kebahasaan yang diharapkan oleh kelompok

dominan atau bawahan dalam berbagai persepsi perubahan sosial

adalah jika kelompok dominan berharap tetap dominan (seperti

misalnya orang-orang Belanda pada zaman penjajahan Indonesia

dahulu), warga akan berasumsi, warga kelompok bawahan akan

melakukan penyesuaian kebahasaan. Akibatnya, mereka

(kelompok dominan) akan memakai bahasa atau dialeknya sendiri

yang berprestise dengan wujud sebagai mana adanya (secara

normal) tanpa berusaha untuk melakukan konvergensi. Dalam hal

semacam itu kelompok dominan dengan sombong menuntut hak

dominasinya. Tetapi dalam tertib sosial yang statis (tak ada

perubahan sosial), tingkat konvergensi itu mungkin “menurun”.

Sikap menghargai bahasa yang “benar” dan “baik” lebih banyak

tersebar daripada pemakaiannya. Dalam diglosia misalnya kita

melihat bahasa L yang diremehkan dan bahasa H yang dihormati,

banyak orang memahami bahasa L tetapi sedikit yang betul-betul

memakai H. Akibatnya, jika seorang penutur asli bahasa yang

“benar” atau “baik” itu hendak dengan sengaja menyerah dengan

memakai bahasa yang tidak berprestise ketika berbicara dengan

orang dari kelompok bawahan, akan ada bahaya nyata berupa

33

Partana, Op. Cit., hlm. 214. 34

Ibid., hlm. 215-216.

20

serangan dari anggota warga bawahan (misalnya dia akan

dicurigai).35

Sebaliknya, jika kelompok bawahan tidak melihat adanya

kemungkinan perubahan sosial, satu-satunya kesempatan untuk

perbaikan sosial dalam masyarakat terletak pada jalur penerimaan

oleh kelompok dominan. Penerimaan itu diperoleh dengan cara apa

saja, termasuk konvergensi linguistik. Artinya, mereka

menyesuaikan diri dengan perilaku berbahasa kelompok dominan.

Warga kelompok bawahan dapat diharapkan melakukan

konvergensi jika berhubungan dengan kelompok dominan kalau

perubahan sosial tampak tidak mungkin. Strategi konvergen itu

akan dipakai oleh warga kelompok bawahan kalau mereka

menganggap ada kemungkinan atau harapan untuk memperoleh

keuntungan sosial dalam masyarakat yang lebih luas. Warga yang

melihat tidak ada harapan seperti itu mungkin lebih baik menarik

diri ke dlam keompoknya sendiri. Mereka jarang berhubungan

dengan kelompok dominan dan sedikit sekali melakukan

konvergensi manakala hal itu diharuskan.36

Seorang sarjana dari Stanford University yaitu C.A. Ferguson

menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu

masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup

berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu.37

Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi bahasa

dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (high) (disingkat

dialek T/H atau ragam T/H), dan yang kedua disebut dialek rendah (low)

(disingkat dialek R/L atau ragam R/L).38

Diglosia (diglossia) adalah situasi bahasa dengan pembagian

fungsional atas variasi-variasi bahasa yang ada. Satu variasi diberi

status “tinggi” dan dipakai untuk penggunaan resmi atau

penggunaan publik dan mempunyai ciri-ciri yang lebih kompleks

dan konservatif, variasi lain mempunyai status “rendah” dan

35

Ibid., hlm. 216-217. 36

Ibid., hlm. 217-218. 37

Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), Edisi Revisi, hlm. 92

38 Ibid., hlm. 93.

21

dipergunakan untuk komunikasi tak resmi dan strukturnya

disesuaikan dengan saluran komunikasi lisan.39

Distribusi fungsional dialek T dan dialek R mempunyai arti bahwa

terdapat situasi di mana hanya dialek T yang sesuai untuk digunakan, dan

dalam situasi lain hanya dialek R yang bisa digunakan. Fungsi T hanya

pada situasi resmi atau formal, sedangkan fungsi R hanya pada situasi

informal dan santai.40

Penggunaan dialek T atau R yang tidak cocok dengan situasinya

menyebabkan si penutur bisa disoroti, mungkin menimbulkan ejekan,

cemoohan, atau tertawaan orang lain. Dalam pendidikan formal dialek T

harus digunakan sebagai bahasa pengantar, namun seringkali sarana

kebahasaan dialek T tidak mencukupi. Oleh karena itu dibantu dengan

menggunakan dialek R. Di Indonesia juga ada pembedaan ragam T dan

ragam R bahasa Indonesia, ragam T digunakan dalam situasi formal

seperti di dalam pendidikan; sedangkan ragam R digunakan dalam situasi

nonformal seperti dalam pembicaraan dengan teman karib.41

Dalam masyarakat Indonesia, ragam bahasa Indonesia baku

dianggap lebih bergengsi daripada ragam bahasa Indonesia

nonbaku. Dalam masyarakat Melayu/Indonesia beberapa puluh

tahun yang lalu juga ada pembedaan bahasa Melayu T dan bahasa

Melayu R, di mana yang pertama menjadi bahasa sekolah, dan

yang kedua menjadi bahasa pasar.42

Di dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas, bahasa

Indonesia dianggap sebagai dialek T, sedangkan bahasa yang bukan

bahasa Indonesia (dialek betawi, jawa, sunda, dan lain-lain) dianggap

sebagai dialek R. Pada saat di kelas, seorang guru seharusnya

39

Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik Edisi Keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm.

40 Chaer, 2010, Op. Cit., hlm. 93-94.

41 Ibid., hlm. 94

42 Ibid., hlm. 94

22

menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar meskipun dalam

percakapan sehari-hari mereka menggunakan dialek R itu.

2. Teori Interaksi Belajar Mengajar

Pemakaian bahasa adalah suatu bentuk interaksi sosial yang dapat

dipakai oleh setiap warga dalam suatu masyarakat untuk dapat saling

menjalin antar hubungan dengan cara lembut dan beraneka ragam, dan

untuk mencapai tujuan komunikasi dan kerjasama. Komunikasi dapat kita

anggap sebagai fungsi paling umum bagi pemakai bahasa. Komunikasi

bukan semata-mata terjadi melalui pemakaian bahasa, tetapi bahasa

memang sarana yang paling terperinci dan efektif untuk dapat

berkomunikasi dengan orang lain.

Pemakaian bahasa di ranah pendidikan haruslah disesuaikan

dengan kebutuhan, seorang guru harus mampu memilih bahasa

mana yang pantas dipakai dalam hal pembelajaran. Kata “belajar”

sering digunakan dalam kehidupn sehari-hari, baik itu dalam ranah

pendidikan maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Secara

umum, kata “belajar” sering diartikan sebagai proses dimana tidak

tahu menjadi tahu, atau pun tidak bisa menjadi bisa. Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia, kata “belajar” berarti “berusaha

memperoleh kepandaian atau ilmu; berubah tingkah laku atau

tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman.43

Hal ini senada dengan definisi Skinner seperti yang dikutip oleh

Muhibbin Syah, berpendapat bahwa “belajar adalah suatu proses

adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang bersifat progresif.44

Sedangkan menurut Muhibbin Syah di dalam bukunya mengatakan

bahwa belajar adalah “tahap perubahan seluruh tingkah laku

individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan

interaksi dengan lingkungan yang melibatkan poses kognitif.45

43

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 17

44 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2010), hlm. 90 45

Ibid., hlm. 92

23

Berdasarkan dari defini tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa

belajar merupakan proses yang menghasilkan dan berlangsung menetap.

Kegiatan belajar mengajar adalah suatu kondisi yang dengan

sengaja diciptakan. Gurulah yang menciptakannya guna

membelajarkan anak didik. Guru yang mengajar dan anak didik

yang belajar. Perpaduan dari kedua unsur manusiawi ini lahirlah

interaksi edukatif dengan memanfaatkan bahan sebagai

mediumnya.46

Dalam hal ini guru sebagai pendidik harus mampu

menciptakan kegiatan belajar mengajar yang efektif dan efisien,

bukan sekedar memberikan materi saja akan tetapi memikirkan

juga bagaimana seorang guru memberikan materi ajar dan anak

didik dapat mengerti dengan apa yang disampaikan.

Walaupun komunikasi bukanlah merupakan bahasa, tapi bahasa

dapat merupakan komunikasi. Bahasa ditinjau dari sudut

komunikasi adalah transmisi pesan, yang merupakan pemilihan

serangkaian simbol dari satu persendian kode. Jadi kita

menggunakan bahasa seolah-olah seperti memilih kata demi kata.

Setelah satu kata dipilih, pemilihan kata berikutnya ditentukan oleh

hukum kemungkinan. Misalnya ialah kata yang telah dipilih ialah

“the”, kemungkinan jenis kata berikutnya yang berupa kata

sandang atau kata kerja tentu kecil.47

Artinya bahasa yang dilihat

dari segi komunikasi yaitu berupa transmisi pesan, yang diambil

dengan memilih serangkaian simbol dari satu persendian kode.

Ketika kita menggunakan bahasa itu seperti kita memilih kata demi

kata yang akan kita gunakan. Dalam hubungannya dengan

komunikasi dan berbahasa, interaksi edukatif juga merupakan salah

satu bagian dari keduanya.

Interaksi edukatif dapat berlangsung baik di lingkungan keluarga,

sekolah maupun masyarakat. Interaksi edukatif yang berlangsung secara

khusus dengan ketentuan-ketentuan tertentu di lingkungan sekolah lazim

disebut interaksi belajar mengajar. Interaksi belajar mengajar mengandung

arti adanya kegiatan interaksi dari guru yang melaksanakan tugas

mengajar di satu pihak, dengan warga belajar (siswa, anak didik atau

subjek belajar) yang sedang melaksanakan kegiatan belajar di pihak lain.

Secara singkat dapat disebutkan bahwa interaksi belajar mengajar

46

Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 37.

47 W. F. Mackey, Analisis Bahasa untuk Pengajaran Bahasa (Surabaya: Usaha Nasional,

1984), hlm. 41-42

24

merupakan interaksi yang berlangsung antara guru dengan siswa dalam

rangka mencapai tujuan pengajaran.48

Interaksi edukatif atau yang lazim disebut sebagai interaksi belajar

mengajar bisa dipahami sebagai kegiatan interaksi yang dilakukan

oleh guru dan siswa untuk mencapai tujuan pengajaran. Namun

selain di lingkungan pendidikan interaksi edukatif juga biasa

terjadi di lingkungan keluarga dan masyarakat.

Pengajaran berintikan interaksi antara guru dengan siswa. Dalam

interaksi ini, guru memerlukan kegiatan mengajar dan siswa

belajar. Dalam interaksi belajar mengajar terjadi proses pengaruh

mempengaruhi. Interaksi ini bukan hanya terjadi antara siswa

dengan guru, tetapi antara siswa dengan manusia sumber (yaitu

orang yang bisa memberi informasi), antara siswa dengan siswa

lain, dan dengan media pelajaran. Interaksi belajar mengajar secara

langsung terjadi di sekolah. Interaksi ini sebagian besar terjadi di

dalam kelas, tetapi juga dapat berlangsung di laboratorium, di

bengkel kerja atau keterampilan, di lapangan olah raga, di pentas

kesenian, di kebun atau kolam sekolah ataupun di ruang khusus

lainnya.49

Dari uraian tersebut bentuk interaksi, khususnya mengenai

interaksi yang disengaja, ada istilah interaksi edukatif. Interaksi edukatif

ini adalah adalah interaksi yang berlangsung dalam suatu ikatan untuk

tujuan pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu interaksi edukatif perlu

dibedakan dari bentuk interaksi yang lain. Dalam arti yang lebih spesifik

pada bidang pengajaran, dikenal adanya istilah interaksi belajar-mengajar.

Dengan kata lain apa yang dinamakan interaksi edukatif, secara khusus

adalah sebagai interaksi belajar-mengajar.

Interaksi belajar-mengajar mengandung suatu arti adanya kegiatan

interaksi dari tenaga pengajar yang melaksanakan tugas mengajar

disatu pihak, dengan warga belajar (siswa, anak didik atau subjek

belajar) yang sedang melaksanakan kegiatan belajar di pihak lain.

Interaksi antara pengajar dengan warga belajar, di harapkan

merupakan proses motivasi. Maksudnya, bagaimana dalam proses

interaksi itu pihak pengajar mampu memberikan dan

48

Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya, Strategi Belajar Mengajar untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 118.

49 R. Ibrahim dan Nana Syaodih S., Perencanaan Pengajaran (Jakarta: Rineka Cipta,

2010), hlm. 31-32

25

mengembangkan motivasi serta reinforcement kepada pihak warga

belajar, agar dapat melakukan kegiatan belajar secara optimal.50

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa inti dari proses

belajar mengajar adalah adanya interaksi antara guru dan siswa. Guru

melakukan kegiatan mengajar dan siswa belajar. Interaksi belajar mengajar

dapat menimbulkan proses saling mempengaruhi. Interaksi belajar

mengajar bukan hanya melibatkan guru dan siswa saja tetapi juga

melibatkan hal yang lain seperti media pelajaran. Interaksi ini dapat

berlangsung di semua tempat di dalam sekolah, baik di dalam kelas

maupun di luar kelas.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan yang berkaitan dengan skripsi ini, yaitu:

1. Disertasi yang ditulis oleh Dwi Widayanti (2010), mahasiswa Universitas

Sumatera Utara yang berjudul “Konvergensi dan Divergensi dalam

Dialek-dialek Melayu Asahan”. Persamaan disertasi tersebut dengan

penelitian yang penulis lakukan ialah dari objeknya, yakni tentang

konvergensi dan divergensi, sedangkan perbedaan antara keduanya

adalah dari subjeknya, yaitu jika dalam disertasi tersebut meneliti

masyarakat Sumatera Utara yang menggunakan bahasa Melayu Asahan

sebagai bahasa kesehariannya, dalam penelitian yang penulis lakukan

adalah penggunaan bahasa dalam lingkungan sekolah jenjang SMA baik

anak didik maupun pendidiknya dalam kegiatan belajar mengajar.

Adapun hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Dwi Widayanti dalam

disertasinya adalah tentang sistem segmental, variasi, serta faktor-faktor

yang menyebabkan konvergensi dan divergensi dalam dialek-dialek di

Asahan. Faktor yang menyebabkan adanya variasi dalam dialek bahasa

Melayu yang dipakai oleh masyarakat Asahan itu, disebabkan karena

50

Sardiman A. M. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), cet. Ketujuh, hlm. 1-2

26

banyaknya orang yang bertransmigrasi ke Sumatera Utara, sehingga

terjadi campuran antara dialek bahasa Melayu dengan bahasa yang

dibawa oleh penduduk yang bertransmigrasi tersebut.

2. Disertasi dari Eduard Karel Markus Masinambow (1976), mahasiswa S3

Ilmu Sastra Universitas Indonesia yang berjudul “Konvergensi

Etnolinguistis di Halmahera Tengah; Sebuah Analisa Pendahuluan”.

Pembahasan yang dilakukannya berkenaan dengan konvergensi urutan

konstituen sintaksis dari bahasa Tobelo dan bahasa Melayu Halmahera.

Istilah yang digunakan adalah “konvergensi ke (arah), tidak ada

konvergensi, dan konvergensi dengan”. Istilah “konvergensi ke (arah)”

hanya digunakan jika menyangkut dua bahasa yang berbeda jenis dan

salah satu tidak mengikuti urutan konstituen yang sesuai dengan

konstituen yang khas bagi jenis bahasa yang kedua. Istilah “konvergensi

dengan” digunakan menurut sudut pandang bahasa yang kedua itu, yaitu

bersama-sama dengan kasus-kasus mengenai bahasa sejenis yang

memperlihatkan urutan konstituen yang sama dan sesuai dengan jenisnya

itu. Istilah “tidak ada konvergensi” digunakan jika salah satu bahasa tidak

sesuai urutan konstituennya dibandingkan dengan urutan konstituen

kedua bahasa yang lain.

3. Disertasi dari Ni Made Dhanawaty (2002), mahasiswa S3 Ilmu-ilmu

Humaniora Universitas Gajah Mada yang berjudul “Variasi Dialektikal

Bahasa Bali di Daerah Transmigrasi Lampung Tengah” yang mencoba

mengaitkan teori akomodasi dalam penelitian dialektologi. Hasil

penelitiannya menyimpulkan bahwa bahasa Bali di Lampung Tengah

secara fonologis berbeda dengan bahasa Bali di daerah asalnya di Bali.

Perbedaan ini tercermin pada variasi distribusi dan realisasi fonem.

Variasi-variasi itu sebagian besar muncul karena adanya kecenderungan

berakomodasi pada penutur bahasa Bali di Lampung Tengah.

Kecenderungan berakomodasi tertinggi di daerah itu terdapat pada

27

penutur lek Nusa Penida, kelompok usia muda, di desa Rama Dewa.

Perilaku akomodatif mereka menyebabkan terjadinya suatu perbedaan

terbesar yang terdapat di antara kelompok usia muda di desa Rama Dewa

dan lek Nusa Penida di daerah asal. Arah akomodasi antarlek paling

banyak tertuju ke lek Karangasem, sedangkan arah akomodasi atarbahasa

paling banyak tertuju kepada bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Pada

saat akomodasi, penutur memodifikasi tuturannya secara fonologis

sehingga semakin mirip dengan lek lawan tuturnya.

4. Skripsi yang dilakukan oleh Nurlaelah (2007), mahasiswa FKIP

Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka yang berjudul “Perbedaan

Kemampuan Mengarang Argumentasi Antara Siswa Kelas X SMAN 101

Joglo Jakarta Barat dengan Siswa Kelas X SMAN 3 Ciledug Tangerang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan

mengarang argumentasi antara siswa kelas X SMAN 101 Joglo Jakarta

Barat dengan siswa kelas X SMAN 3 Ciledug Tangerang. Penelitian ini

dilakukan di sekolah SMAN 101 yang beralamat di Jl. Perumahan Joglo

Jakarta arat dan di Sekolah SMAN 3 yang beralamat di Jl. Ciledug Raya

Tangerang, pada semester genap tahun 2006/2007. Metode penelitian

yang digunakan adalah metode ekspose fakto dengan teknik perbedaan.

Pengumpulan data diperoleh dengan cara menugasi siswa membuat

karangan argumentasi, kemudian hasil karangan siswa dianalisis

berdasarkan aspek isi gagasan , organisasi isi, tata bahasa, diksi, dan

ejaan. Populasi dalam penelitian ini adalah hasil karangan siswa kelas X

SMAN 3 Ciledug Tangerang. Jumlah sample yang diteliti sebanyak 60

orang siswa dengan pengambilan random sampling/ acak melalui

lintingan kertas atau dikocok. Hasil diperoleh nilai rata-rata karangan

argumentasi siswa kelas X SMAN 101 Joglo Jakarta Barat sebesar 74,

dengan simpanan buku 6,5, sedangkan hasil nilai rata-rata siswa kelas X

SMAN 3 Ciledug Tangerang diperoleh 80,3, dengan simpanan buku 8,6.

Selanjutnya peneliti memasukan data yang berupa analisis tes mengarang

28

argumentasi mereka kedalam rumus yang telah ditetukan. Jika t table

(3,2)>t hitung (2,000), maka berarti Ho ditolak Hi diterima. Bedasarkan

hasil analisis dan pembutian hipotesis ternyata siswa SMAN 3 Ciledug

Tangerang lebih unggul daripada siswa kelas SMAN 101 Joglo Jakarta

Barat dalam karangan argumentasi. Untuk lebih meyakinkan peneliti

melakukan perhitungan menggunakan uji-t yang telah ditentukan,

ternyata diperoleh harga t sebesar 3,2 dengan d.k sebesar 13,45,

selanjutnya peneliti mengkonsultasikannya dengan harga t yang terdapat

dalam table. Dalam table diketahui harga t kritik pada taraf signifikansi

0,05 ialah 2,000. Hasil konsultasi tersebut dapat diketahui t hasil (3,2) > t

table (2,000), berarti Ho ditolak Hi diterima. Jadi dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa, terdapat perbedaan kemampuan mengarang

argumentasi antara siswa kelas X SMAN 101 Joglo Jakarta Barat dengan

siswa kelas X SMAN 3 Tangerang.

5. Penulisan/penelitian dosen yang dilakukan oleh Hanum Putri Permatasari

(2013), yang berjudul “Perancangan Sistem Informasi Akademik

Berbasis Web Pada SMAN 3 Tangerang”. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk merancang sistem informasi akademik berbasis web sesuai

dengan kebutuhan SMAN 3 Kota Tangerang. Perancangan sistem

informasi akademik berbasis web ini diharapkan dapat menghasilkan

sebuah sistem informasi akademik yang memudahkan akses informasi

secara online pada siswa, staf, maupun pengajar dari SMA Negeri 3 Kota

Tangerang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode

pengumpulan data dan metode perancangan sistem. Metode

pengumpulan data dilakukan melalui penelitian lapangan dan

kepustakaan, dimana metode penelitian lapangan dilakukan untuk

mencari dan mendapatkan data primer yang dibutuhkan. Cara yang

digunakan adalah wawancara dengan pihak yang terkait dan observasi

pada sekolah. Metode kepustakaan dilakukan dengan membaca buku,

jurnal, dan internet. Metode perancangan sistem yang digunakan adalah

29

metode pemodelan secara visual sebagai sarana untung merancang dan

atau membuat software berorientasi objek, yakni Unified Modelling

Language (UML). Metode perancangan dilakukan dengan merancang

masukan, proses, keluaran, serta basis data.

Berdasarkan penelitian relevan yang didapat, peneliti belum

menemukan konvergensi dan divergensi dalam interaksi belajar mengajar.

Maka dari itu peneliti ingin mengetahui atau melihat bentuk-bentuk

konvergensi dan divergensi bahasa pada interaksi belajar mengajar di kelas

XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang. Penelitian ini merupakan

penelitian terkini yang berusaha memperkaya khazanah penelitian tentang

konvergensi dan divergensi bahasa. Dengan demikian hasilnya diharapkan

dapat meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Indonesia.

30

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian skripsi ini hanya difokuskan pada divergensi dan

konvergensi bahasa dalam interaksi belajar mengajar siswa di kelas XI Mipa 5

SMA Negeri 3 Kota Tangerang serta implikasinya dalam pembelajaran bahasa

Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskripsi kualitatif. Moleong menyatakan,

“penelitian kualitatif pada umumnya penelitian yang bermaksud untuk

memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian,

misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara

holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa

pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan

berbagai metode yang alamiah.”51

Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk

menyelidiki keadaan, kondisi atau hal lain dan hasilnya dipaparkan dalam

bentuk laporan penelitian.52

Metode penelitian ini digunakan untuk

menyelidiki objek yang tidak dapat diukur dengan angka-angka. Dalam

metode deskriptif kualitatif ini, penelitian berpusat pada penggunaan bahasa

dalam interaksi belajar mengajar siswa.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 3 Kota Tangerang,

berlokasi di Jalan KH. Hasyim Ashari No. 06, Ciledug, Tangerang, dengan

51

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

2012), hlm. 6

52 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Rineka Cipta: Jakarta, 2010), hlm. 3

30

31

waktu pengambilan data pada tanggal 21 November 2016. Pengambilan data

penelitian tersebut dilakukan pada siswa kelas XI Mipa 5.

C. Teknik Penelitian

1. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

teknik simak dan catat, yaitu peneliti menyimak hasil rekaman interaksi

pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota

Tangerang, selanjutnya ditranskripsikan ke dalam bahasa ragam tulis. Hal

ini dilakukan agar peneliti dapat menganalisis divergensi dan konvergensi

bahasa yang terdapat pada interaksi pembelajaran tersebut.

2. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa

analisis data yang memuat interaksi belajar mengajar di kelas XI Mipa 5

SMA Negeri 3 Kota Tangerang. Berikut ini langkah-langkah pengolahan

data yang dilakukan penulis secara lebih rinci:

a. Mengidentifikasi Data

Langkah awal mengidentifikasi data yaitu mentranskripsikan data

dan memberikan ciri terhadap data yang sudah terkumpul.

b. Mengklasifikasi Data

Setelah diperoleh hasil dari proses identifikasi data, tahap

selanjutnya mengklasifikasi atau mengelompokkan data sesuai

dengan wujud konvergensi dan divergensi bahasanya.

c. Menganalisis Data

Setelah digolongkan ke dalam penggunaan bahasanya selanjutnya

dianalisis dengan Teori Akomodasi Komunikasi.

d. Menyimpulkan Data

32

Menyimpulkan data yang telah dianalisis sehingga dapat diketahui

bagaimana wujud konvergensi dan divergensi bahasa yang

digunakan dalam interaksi belajar mengajar Bahasa Indonesia di

kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang.

D. Sumber Data dan Data

1. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah rekaman pembelajaran Bahasa

Indonesia di kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang dalam 1 kali

pertemuan (2 jam mata pelajaran Bahasa Indonesia). Waktu pengambilan

data penelitian ini dilakukan pada hari Senin tanggal 21 November 2016

dan berdurasi sekitar 90 menit. Daftar informan pada penelitian ini adalah

Ibu Intan Nurchoerani, S.Pd., dan siswa-siswa kelas XI Mipa 5 SMA

Negeri 3 Kota Tangerang. SMA Negeri 3 Tangerang atau yang lebih

dikenal SMANIC terletak lebih kurang 5 km dari batas Kota Jakarta.

Sekolah ini beralamat di Jalan KH. Hasyim Ashari Nomor 06, Kecamatan

Karang Tengah, Kota Tangerang, Provinsi Banten.

SMA Negeri 3 Kota Tangerang yang terletak di daerah Ciledug ini

dipilih sebagai lokasi penelitian karena penutur di daerah tersebut

multietnis. Di daerah ini bahasa Betawi digunakan secara berdampingan

dengan bahasa Indonesia. Kajian dialek sosial dalam penelitian ini hanya

dibatasi pada variabel keetnisan.Variabel keetnisan dipilih dengan

pertimbangan bahwa etnis lain yang menetap di daerah Ciledug akan

berusaha mengakomodasikan tuturannya dengan etnis setempat ketika

berinteraksi.

2. Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil transkripsi

rekaman pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas XI Mipa 5 SMA Negeri

33

3 Kota Tangerang dalam 1 kali pertemuan (2 jam mata pelajaran Bahasa

Indonesia). Alat yang digunakan untuk merekam interaksi belajar

mengajar dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan ponsel Iphone

4. Hasil rekaman tersebut dalam bentuk 3gpp.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini adalah dari diri penulis sendiri karena dalam

penelitian ini penulis mengerjakan penelitian dengan teknik observasi,

dokumentasi, dan studi pustaka. Adapun tabel analisis yang digunakan sebagai

berikut:

Tabel 1.1

Contoh Tabel Klasifikasi Wujud Konvergensi Bahasa dalam Interaksi Belajar

Mengajar di Kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang

No. Kegiatan Temuan Data

1.

2.

3.-

Tabel 2.1

Contoh Tabel Klasifikasi Wujud Divergensi Bahasa dalam Interaksi Belajar

Mengajar di Kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang

No. Kegiatan Temuan Data

1.

2.

3.-

34

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Profil SMA Negeri 3 Kota Tangerang

a. Sejarah Sekolah

SMAN 3 Kota Tangerang belum yang terbaik tetapi kami menuju

yang terbaik. SMAN 3 Kota Tangerang baru memulai, tetapi tak ada kata

akhir dalam upaya membawa SMA Negeri 3 Kota Tangerang untuk lebih

maju dan bermutu. Moto ini didukung dengan prinsip pelayanan Salam,

Senyum, Sapa, Seksama (4S) serta semboyan juang Doa, Usaha, Ikhtiar,

dan Tawakal (DUIT). SMA Negeri 3 Tangerang atau yang lebih dikenal

SMANIC terletak lebih kurang 5 km dari batas Kota Jakarta. Adapun

luas tanah dan bangunan milik SMAN 3 Tangerang adalah:

1. Luas tanah: 5700 m2

2. Luas bangunan: 3140 m2

3. Luas halaman: 1314 m2

4. Luas lapangan olah raga: 1088 m2

5. Luas kebun botani: 158 m2

Animo masyarakat untuk menempuh pendidikan formal yang

berkualitas sangat tinggi, khususnya masyarakat yang tinggal di

perbatasan ibu kota. Dalam rangka memberikan pelayanan terhadap

masyarakat di wilayah perbatasan DKI Jakarta. Pemerintah Pemda DKI

membuka sekolah filial SMAN XXVII Jakarta di Tangerang, salah

satunya cikal bakal SMAN 3 Tangerang sekarang. Pada tahun 1977

SMAN XXVII Jakarta membuka kembali SMAN Filial di Tangerang

yaitu di Ciledug dan di Ciputat, yang sebelumnya telah sukses

mendirikan SMAN Tangerang di jalan Makam Taman Pahlawan, yang

sekarang dikenal SMAN 2 Tangerang dan resmi menjadi SMAN kedua

di Tangerang pada tahun 1977.

34

35

Berbekal informasi bahwa di Ciledug pada waktu itu (Tahun 1977)

ada gedung sekolah kosong di daerah Kreo, tepatnya SD Kreo I, maka

SMAN XXVII Jakarta membuka kembali SMAN Filial yang lebih

dikenal SMAN Ciledug. Tahun pertama pendaftaran siswa baru

dilaksanakan di SMP Ciledug (SMPN I Ciledug sekarang SLTPN 3

Tangerang). Hal ini bertujuan agar siswa lulusan SMP Ciledug bisa

langsung masuk ke SMA Ciledug. Tetapi diluar dugaan, ternyata siswa-

siswa yang masuk ke SMAN Ciledug pada waktu itu, hanya siswa-siswa

yang terlambat mendaftar ke sekolah negeri di Jakarta dan Tangerang.

Namun demikian awal berdirinya SMA Ciledug tersebut berhasil

menampung 2 kelas (±70 orang siswa).

Awal Tahun Pelajaran dimulai Januari 1977, akhir tahun 1979

seharusnya sudah meluluskan, karena pada waktu itu diadakan tes

prestasi siswa, yang tujuannya untuk meningkatkan mutu siswa dan

untuk menyamakan Tahun Pelajaran Baru dengan luar negeri,

maka waktu KBM ditambah satu semester, sehingga baru bisa

meluluskan angkatan pertama, pertengahan tahun 1980. Sejak tahun 1977

sampai tahun 1979 status sekolah merupakan kelas jauh (Filial) dari

SMA XXVII Jakarta di Tangerang. Tahun 1979 semua SMA dan SMP

yang tadinya Kantor Wilayahnya DKI Jakarta, menjadi bagian dari

wilayah Jawa Barat, sehingga status SMAN Ciledug sejak itu menjadi

filial SMAN 1 Tangerang.

Pada waktu itu SMAN Ciledug dijabat oleh Bapak Drs. Sutono (Guru

SMAN 1 Tangerang), beliau bersama dengan pengurus BP3 berusaha

untuk mencari tanah agar lokasi SMAN Ciledug bisa berdiri sendiri.

Karena lokasi sebelumnya (SDN I Kreo) walaupun statusnya untuk SMA

masih tetap digunakan. Berkat perjuangan para pendiri, akhirnya tahun

1983 SMAN Ciledug yang berlokasi di SDN I Kreo setahap demi setahap

bisa pindah ke Rawa Kambing, berkat restu dan dukungan pula dari

Pemerintah setempat (Bapak Camat Ciledug). Pada tahun 1983 pula

terjadi pengangkatan Kepala Sekolah definitive yaitu Bapak Drs. Zainil

36

Abidin Pramiady, BA sehingga Bapak Drs. Sutono diangkat sebagai

Wakil Kepala Sekolah sampai tahun 1985. Bapak Drs. Sutono kembali

lagi ke induknya (SMAN I Tangerang) pada tahun 1985.

Sejalan dengan perkembangan dan pemekaran wilayah pada tahun

1993 status SMAN Ciledug berada di wilayah Kota Tangerang yang

sebelumnya termasuk di wilayah Kabupaten Tangerang. Pada tahun 1996

nama SMAN Ciledug pun berubah namanya menjadi SMAN 3

Tangerang. Sejak berdirinya (Tahun 1977) sampai sekarang (2012)

SMAN 3 Tangerang telah dipimpin oleh Kepala Sekolah sebagai berikut:

1. Awal berdiri 1977 s.d 1979 filial SMAN 27 Jakarta dijabat Bapak

Drs. Sutono (SDN 1 Kreo).

2. Tahun 1979 s.d 1983 filial SMAN 1 Tangerang dijabat Bapak

Drs. Sutono (SDN I Kreo).

3. Pertengahan tahun 1983 s.d 1990 dipimpin oleh Bapak Zainal

Abidin Pramiady, BA. Sedangkan Bapak Drs. Sutono menjadi

wakilnya sampai tahun 1985 (sejak akhir tahun 1985) Bapak Drs.

Sutono kembali ke SMAN 1 Tangerang.

4. Tahun 1990 s.d 1994 dipimpin oleh Bapak Drs. Sutono.

5. Tahun 1994 s.d 1998 dipimpin oleh Bapak Drs. Ridata

Wiradihardja (SMAN Ciledug berubah namanya menjadi SMAN

3 Tangerang) pada tahun 1996.

6. Tahun 1998 (Plh selama 3 bulan dijabat oleh Bapak Drs.

Hudaya).

7. Tahun 1999 s.d 2001 dipimpin oleh Bapak Drs. Jusdi (SMAN 3

Tangerang berubah namanya menjadi SMUN 3 Tangerang).

8. Tahun 2001 s.d 2004 dipimpin oleh Bapak Drs. M. Hidayat Arifin

(pada tahun 2003 nama sekolah berubah kembali menjadi SMAN

3 Tangerang).

9. Tahun 2004 s.d 2011 dipimpin oleh Bapak Drs. H. Tata

Suandana.

10. Tahun 2012 s.d 2016 dipimpin oleh Dra. Lilik Istifa, M.Si.

37

11. Tahun 2016 s.d sekarang dipimpin oleh Drs. Arban.53

b. Visi

Menjadi SMA yang unggul (effective), berprestasi tinggi, berbudi

pekerti luhur, berbudaya lingkungan, serta terpercaya dan dibanggakan

masyarakat.54

c. Misi

1. Melakukan kegiatan pembelajaran dengan mengutamakan

pendalaman, pengkajian ilmu pengetahuan dan teknologi secara

konseptual dan konstektual.

2. Memberikan pelayanan prima dalam proses pembelajaran secara

kooperatif dan demokratis dengan mengutamakan pendidik

sebagai fasilitator dan dinamisator yang memanfaatkan sumber

berbasis TIK dan disekitar sekolah.

3. Menanamkan kedisiplinan melalui budaya bersih, budaya tertib,

dan budaya kerja.

4. Menumbuhkan penghayatan seni sebagai bagian dari kearifan

lokal.

5. Menumbuhkan budaya peduli terhadap lingkungan yang

terintegrasi dengan seluruh mata pelajaran.

6. Mengembangkan life skill (kecakapan hidup) berbasis

kewirausahaan dan karakter masyarakat lokal dengan tidak

menghilangkan kultur masyarakat Indonesia khususnya di

Propinsi Banten.

7. Mengembangkan budaya kerjasama (kerja tim) untuk

membangun hubungan yang harmonis antar warga sekolah dan

masyarakat.

8. Menganut management Quality Assurent.55

d. Kegiatan Ekstrakurikuler

Menekuni kegiatan ekstrakurikuler selain pendidikan formal yang

mereka dapatkan dikelas merupakan hal yang penting. Kegiiatan ini

53

Anonim, Sejarah Sekolah, tersedia di www.sman3tgr.sch.id/index.php/profil/sejarah-sekolah ,

diunduh pada tanggal 08 Maret 2018 pada pukul 09:28 WIB. 54

Anonim, Visi-Misi, tersedia di www.sman3tgr.sch.id/index.php/profil/visi-misi , diunduh pada

tanggal 08 Maret 2018 pada pukul 09:34 WIB. 55

Ibid.

38

dapat membantu anak mengembangkan potensi diri. SMA Negeri 3

memiliki banyak kegiatan ekstrakurikuler, diantaranya:

1. Bidang olahraga/ Beladiri:

a. Futsal

b. Basket

c. Bulu Tangkis

d. Taekwondo

e. Pencak Silat

2. Bidang seni:

a. Tari Saman

b. Paduan Suara

c. Band

d. Marawis dan Hadroh

e. Sinematografi

f. Jurnalistik dan Mading

3. Lainnya:

a. Pramuka

b. Pendikar

c. Bahasa Mandarin

d. JKICC

e. English Club

f. Civic

g. KIR

h. Green House

i. 3R (Recycle, Reuse, Reduce)

j. PMR

k. Rohis

l. Rokris

m. Keputrian

n. BTQ (Baca Tulis Al-Qur’an)

39

o. Tahfizh Al-Qur’an56

e. Fasilitas

Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas sangat

terkait erat dengan beberapa faktor, salah satu diantaranya adalah fasilitas

sekolah. Berbagai fasilitas dimiliki SMAN 3 untuk menunjang kegiatan

belajar mengajar. Fasilitas tersebut antara lain:

1. Ruang Belajar:

a. Ruang Kelas

b. Ruang Perpustakaan

c. Laboratorium MIPA

d. Laboratorium Komputer

e. Laboratorium Bahasa

f. Ruang Seni

g. Ruang PSB (Pusat Sumber Belajar)

2. Ruang Pendukung:

a. Kantin Sekolah

b. Koperasi Sekolah

c. Lapangan Olahraga

d. Masjid

e. Toilet Siswa

f. Taman Sekolah

g. Ruang UKS57

56

Anonim, Sarana Prasarana Sekolah, tersedia di www.sman3tgr.sch.id , diunduh pada tanggal 08

Maret 2018 pada pukul 09:40 WIB. 57

Ibid.

40

B. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Data

Pada bagian ini, peneliti akan menguraikan konvergensi dan

divergensi bahasa dalam interaksi belajar mengajar. Data diperoleh dari

rekaman suara yang diubah menjadi transkip data selama satu kali pertemuan

di dalam kelas. Dalam interaksi belajar mengajar ini, penulis mengkhususkan

penelitian pada konvergensi dan divergensi bahasa di kelas XI Mipa 5 SMA

Negeri 3 Kota Tangerang.

Pengambilan data pada pertemuan ini, pembelajaran dilakukan di

ruang perpustakaan dan pada waktu pagi hari. Di dalam ruang perpustakaan

terdapat AC, sehingga siswa tidak terlalu berisik. Tujuan dalam kegiatan ini

ialah demi tercapainya pembelajaran bahasa Indonesia, terutama pada materi

teks cerita ulang. Materi ini diubah bentuk menjadi sebuah `drama, guna

untuk memudahkan semua siswa dalam memahami teks cerita ulang yang

telah mereka buat. Guru menyampaikan dari awal sampai akhir pembelajaran

dengan menggunakan model pembelajaran ceramah. Pertemuan ini hanyalah

mempresentasikan tugas akhir dari materi teks cerita ulang, karena materi

teks cerita ulang tersebut sudah diajarkan dan dibahas sebelumnya.

2. Analisis Data

Pada awal mulai pembelajaran guru dan para siswa memasuki ruang

perpustakaan. Proses pembelajaran tidak diawali dengan salam pembuka.

Guru juga tidak mengabsen para siswa sebelum melakukan kegiatan inti.

Begitu masuk ke dalam ruang perpustakaan, guru langsung menanyakan

kepada para siswa tersebut mengenai teks drama yang dibuat per kelompok.

Guru tersebut menggunakan suara yang lantang dan sedikit meninggi, karena

beberapa kelompok siswa masih asik mengobrol dan tidak memperhatikan.

Selain itu, ada satu kelompok yang tidak membawa teks dramanya karena

terbawa oleh teman mereka yang sakit dan tidak masuk sekolah pada saat itu.

Guru tersebut tidak mau tahu tentang kelompok yang tidak membawa teks

dan harus tetap maju jika dipanggil. Guru tersebut tetap menyuruh mereka

41

untuk segera membuat ulang teksnya sebelum jam mata pelajaran tersebut

berakhir.

Penggunaan bahasa dalam interaksi belajar mengajar di Kelas XI

Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang lebih didominasi oleh penggunaan

bahasa konvergensi, seperti yang dapat dilihat dalam temuan data berikut.

TD 01

Guru: Anak-anak ambil posisi!

Anak-anak: (mengambil posisi tempat duduk dengan suara berisik)

Guru: Halo anak-anakan yang sudah ngisi data, duduk! Nah yang

pertama sini naskahnya! Mana teksnya? Nah, yang pertama dulu.

Siswa: Iya Bu sebentar.

Pada TD 01, tuturan “Halo anak-anakan yang sudah ngisi data,

duduk!” merupakan sikap bahasa konvergensi, hal tersebut dapat dilihat

dari kosakata yang digunakan sang Guru menggunakan kata “anak-

anakan”. Hal ini dilakukan sang Guru selaku penutur dalam berinteraksi,

untuk menyamakan tuturannya dengan siswa-siswanya selaku mitra

tuturnya. Wujud konvergensinya bahwa sang Guru menggunakan variasi

bahasa. Istilah variasi bahasa yang dimaksudkan di sini adalah variasi

dialek. Dalam hal ini pemakaian dialek yang digunakan adalah dialek

sosial berdasarkan perbedaan usia. Hal tersebut dapat dilihat dari sang

Guru yang berinteraksi dengan memperhatikan “kepada siapa ia

berbicara”.

TD 02

Siswa: Tapi tetep maju Bu?

Guru: Iya tetep maju. Emangnya kalian enggak apal naskahnya?

Guru: Ngapa? Kok pada diem aja saya nanya

Siswa: Apalnya dikit doang Bu.

Guru: Emangnya kalian enggak pada latian?

Siswa: Latian Bu, tapi lupa.

Pada TD 02, tuturan “Iya tetep maju. Emangnya kalian enggak apal

naskahnya?”, “Ngapa? Kok pada diem aja saya nanya”, “Emangnya

42

kalian enggak pada latian?” merupakan sikap bahasa konvergensi. Hal

tersebut dilakukan karena adanya interferensi dari latar belakang bahasa

dan dari strategi budaya dalam komunikasi antar kelompok. Di sini, Guru

berinteraksi dengan memperhatikan “kepada siapa ia berbicara” yaitu

dengan menggunakan dialek sosial. Penutur (Guru) berusaha

mengakomodasikan tuturannya dengan lawan tuturnya dengan cara

penyederhanaan tuturan, contohnya dengan menggunakan kata “apal”

yang seharusnya “hafal”, kata “ngapa” yang seharusnya “mengapa”, dan

“latian” yang seharusnya “latihan”, sehingga bahasanya menjadi lebih

serupa, mirip, atau sama antara satu sama lain (penutur dan lawan

tuturnya).

TD 03

Siswa: Oh iya bu maaf. Kami dari kelompok... Ehmmm.. Kami dari

kelompok satu.. akan menampilkan sebuah drama.. Bener enggak bu?

Guru: Iya bener sayangku, terusin.

Pada TD 03, percakapan di atas dapat dilihat bahwa siswa dan guru

tersebut menggunakan bahasa sehari-hari dengan menggunakan kata

“enggak” yang seharusnya “tidak” dan pada kata “terusin” yang

seharusnya “teruskan”. Percakapan tersebut termasuk ke dalam

konvergensi karena adanya penyesuaian bahasa oleh si penutur dan

lawan tuturnya (dalam konteks TD 03, penutur adalah siswa, lawan

tuturnya adalah guru).

TD 04

Guru: Itu wadon yang di belakang jangan ngobrol aja.

Siswa: Tau nih si pencot berisik banget.

Siswa: Iya bu enggak.

Guru: Enggak boleh ngata-ngatain temen kamu begitu tong. Ayo

terusin dramanya.

43

Pada TD 04 terdapat munculnya variasi bahasa. Variasi bahasa yang

dimaksudkan di sini adalah variasi dialek yang muncul karena peristiwa

konvergensi dalam berinteraksi antarpenutur dengan latar belakang etnis

yang sama. Hal tersebut bisa kita lihat dari penggunaan kata “wadon”,

“pencot”, “ngata-ngatain”, dan “tong”. Dalam percakapan tersebut dapat

dilihat bahwa guru selaku penutur menggunakan bahasa sehari-hari

dengan dialek Betawi dan siswanya pun merespon dengan menggunakan

bahasa yang sama. Percakapan tersebut termasuk ke dalam konvergensi

karena adanya penyesuaian penggunaan bahasa oleh guru (penutur) dan

siswanya (lawan tutur).

TD 05

Guru: Anak-anakan.

Siswa: Iya ibu-ibu.

Guru: Sekarang buka buku tulis semuanya! Udah dibuka belom

bukunya?

Siswa: Udah ibu-ibu.

Guru: Nah kalo udah dibuka, saya tanya dulu sekarang ya.

Siswa: Jadi dulu apa sekarang bu?

Guru: Hmmm.. Saya mau tanya nih, kalian inget ga kelompok yang

barusan maju itu nyeritain tentang siapa hayo?

Pada TD 05, ketika guru memanggil siswanya dengan sebutan “anak-

anakan” dengan menambahkan imbuhan akhiran –an pada kata anak-anak,

lalu dijawab oleh para siswanya dengan kata “ibu-ibu” (kata “ibu-ibu”

menunjukkan lebih dari satu orang) padahal hanya ada satu guru yang ada

pada saat proses belajar mengajar tersebut. Ditambah dengan ucapan sang

guru yang bertanya lagi dengan kalimat, “Nah kalo udah dibuka, saya

tanya dulu sekarang ya.” lalu dijawab oleh siswanya “Jadi dulu apa

sekarang bu?”. Dari TD 05 di atas, interaksi belajar mengajar yang terjadi

ialah penggunaan bahasa konvergensi, yaitu dengan bahasa yang mudah

dipahami oleh siswa, agar proses belajar mengajar berlangsung

komunikatif.

44

Konvergensi tersebut karena adanya adaptasi linguistik dan adaptasi

sosial. Adaptasi linguistik adalah proses adopsi ciri-ciri kebahasaan bahasa

tertentu oleh bahasa yang lain atau kedua-duanya saling melakukan hal

yang sama, sehingga bahasanya menjadi lebih serupa, mirip, atau sama,

antara satu sama lain. Adaptasi sosial adalah proses yang terjadi akibat

adanya kontak sosial yang melibatkan dua kelompok yang memiliki

perbedaan budaya atau ras melakukan penyesuaian satu sama lain atau

salah satu di antaranya, sehingga memiliki sejumlah solidaritas budaya

yang cukup untuk mendukung terciptanya eksistensi kehidupan yang

solider dan harmoni di antara mereka.58

TD 06

Guru: Nah sekarang kan kalian udah pada tau nih, siapa yang

diceritain sama kelompok barusan, sekarang coba kalian tulis apa aja

sih, yang hal-hal yang disampaikan lewat drama yang barusan

ditampilkan. Biar saya tau, kalo ternyata kalian itu nyimak atau

enggak.

Siswa: Maksudnya gimana sih bu?

Guru: Misalnya si Datun itu masa kecilnya gimana, dia sukanya

ngapain, terus dari kesukaannya itu apa dia menghasilkan sesuatu

atau gimana? Nah tulis semuanya yang udah kalian simak tadi.

Nah untuk ngeringanin tugasnya, ini didiskusikan sama teman

kelompok kalian ya, bukan sendiri-sendiri. Jadi, kalo misalnya ada

yang lupa, teman kalian kan bisa ngingetin satu sama lain,

sehingga jawabannya jadi lengkap. Paham enggak? Siswa-siswa: Iya bu.

Guru: Iya bu apa?

Siswa-siswa: Iya bu paham.

Pada TD 06, ketika si guru tersebut menjelaskan tentang hal yang

harus dikerjakan oleh siswa-siswanya setelah penampilan kelompok yang

pertama, tapi ada siswa yang tidak mengerti tentang maksud guru tersebut,

dengan bertanya, “Maksudnya gimana sih bu?” dan si guru tersebut

menjelaskan kembali tentang hal yang harus dikerjakan oleh siswa-

5858

Mahsun, Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),

45

siswanya, dan menanyakan lagi kepada para siswa tersebut apakah paham

atau tidak tentang apa yang dia jelaskan, seperti pada kalimat “Paham

enggak?”. Hal tersebut termasuk ke dalam konvergensi bahasa, karena si

guru tersebut berbicara lebih lambat dan menjelaskan kembali apa yang

dia maksud terhadap para siswanya dengan menghindari penggunaan kata-

kata yang sulit dipahami, dan menyederhanakan struktur dari ucapan-

ucapannya agar apa yang ia jelaskan lebih mudah dipahami oleh para

siswanya.

TD 07

Siswa: Yah lokan cepet banget bu.

Guru: Udah segitu mah saya rasa cukup. Udah kerjain. Kan

kelompok. Apa mau sendiri-sendiri aje?

Siswa: Jangan bu, jangan. Ya udeh kelompok aje Bu.

Guru: Ngerjainnya pake tangan, jangan pake mulut, berisik.

Pada TD 07, Saat salah satu siswa berbicara dengan menggunakan

dialek Betawi dengan menggunakan kata “lokan” dan “cepet”, guru

tersebut menjawab dengan menggunakan dialek Betawi juga, dengan

menggunakan kata “aje” pada kalimat yang diucapkannya. Ditambah

dengan pemakaian kata “udeh” dan kata “aje” yang diucapkan si siswa

untuk menjawab pertanyaan si guru, dan dijawab lagi oleh guru tersebut

dengan menggunakan kata “pake” pada kalimatnya. Hal tersebut termasuk

ke dalam konvergensi bahasa. Karena guru tersebut mengacu pada sikap

positif yang ia tunjukkan kepada lawan tuturnya dengan menyesuaikan

fitur bahasanya (pengucapan, aksen, kosakata, dan struktur) sehingga

dapat dipahami dan diterima. Hal tersebut dapat dilihat dari pilihan tuturan

kosakata yang diucapkan oleh si guru tersebut terhadap lawan tuturnya.

TD 08

Guru : Itu dia jadi apa? Biografinya Anita itu sebagai apa?

Siswa : Yang anak SD itu Bu. Yang... Hmmm... yang baru masuk SD itu

Bu.

46

Guru : Anita itu tadi ceritanya kan kayak sinetron gitu ya.

Maksudnya adalah.. Hmmm... perjalanan setelah beberapa tahun,

kemudian Anita berprofesi seperti apa.

Siswa : Iya Bu, itu kan salah satu perjalanan hidupnya dia Bu.

Guru : Iya, tapi.. Maksud Ibu kalian itu ngambilnya itu dia akhirnya

berprofesi seperti jadinya, kan ini ngambilnya Biografi penulisnya.

Siswa : Oh gitu Bu. Jadi itu Bu, akhirnya, si Anitanya itu masuk

SMP Bu, terus masuk SMA, terus kuliah, terus jadi pegawai pajak.

Pada TD 08, guru tersebut menjelaskan tentang penampilan kelompok

keempat yang seharusnya mengambil biografi salah satu tokoh dan

membuat drama mengenai satu perjalanan hidup tokoh tersebut. Awalnya

siswa-siswa tersebut tidak paham dengan apa yang dijelaskan oleh guru

tersebut, tetapi setelah guru tersebut menjelaskan kembali, akhirnya siswa-

siswa tersebut paham. Hal ini seperti pada dialog “Iya, tapi.. Maksud Ibu

kalian itu ngambilnya itu dia akhirnya berprofesi seperti jadinya, kan ini

ngambilnya Biografi penulisnya.”. Hal tersebut termasuk ke dalam

konvergensi bahasa, karena si guru tersebut berbicara lebih lambat dan

menjelaskan kembali apa yang dia maksud terhadap para siswanya dengan

menghindari penggunaan kata-kata yang sulit dipahami, dan

menyederhanakan struktur dari ucapan-ucapannya agar apa yang ia

jelaskan lebih mudah dipahami oleh para siswanya. Hal ini dapat dilihat

dari jawaban dialod siswa tersebut “Oh gitu Bu. Jadi itu Bu, akhirnya, si

Anitanya itu masuk SMP Bu, terus masuk SMA, terus kuliah, terus jadi

pegawai pajak.”

TD 09

Guru : Oh, ada ya. Yaudah. Ini kelompoknya enggak ada wadonnya

ya?

Siswa : Iya Bu laki semuanya.

Pada TD 09, guru berbicara dengan menggunakan dialek Betawi

dengan menggunakan kata “wadon” untuk menanyakan kelompok

keempat yang anggota kelompoknya hanya terdiri dari laki-laki saja,

47

seperti pada dialog, “Oh, ada ya. Yaudah. Ini kelompoknya enggak ada

wadonnya ya”, pada dialog yang diucapkan guru tersebut, salah satu siswa

dalam kelompok tersebut juga menjawab, “Iya Bu laki semuanya.”. Kata

“laki” bukan “laki-laki” yang dijawab oleh siswa tersebut juga

menggunakan dialek Betawi. Hal tersebut termasuk ke dalam konvergensi

bahasa. Karena guru tersebut mengacu pada sikap positif yang ia

tunjukkan kepada lawan tuturnya dengan menyesuaikan fitur bahasanya

(pengucapan, aksen, kosakata, dan struktur) sehingga dapat dipahami dan

diterima. Hal tersebut dapat dilihat dari pilihan tuturan kosakata yang

diucapkan oleh si guru tersebut terhadap lawan tuturnya.

TD 10

Guru : Yah harusnya kamu ceritain, akhirnya itu si Uun itu jadi

seorang guru gitu. Ini masih banyak yang belum paham ya

sebenernya disuruh ngapain? Siswa-siswa : (terdiam)

Guru : Emang saya bilang ambil satu kejadian aja dalam hidupnya,

tapi itu harus ada “endingnya”. Maksudnya itu endingnya itu

akhirnya yang kalian ambil tokohnya itu, ambil biografinya itu dia

jadinya berprofesi apa? Nah kalo ini kan, dari kelompok 2 itu sampe

kelompok terakhir itu kan kayak sinetron gitu. Maksud saya itu

kayak kelompok yang pertama, kan nyeritain tentang Siti

Syahadatun, dia dari kecilnya itu sukanya menjahit, sampe akhirnya

dia sukses jadi apa? jadi sering ngirim rancangannya atau hasil

jahitnya itu ke... ke mana tadi? Iya ngirim rancangannya itu untuk Ida

Leman Collection. Nah itu kan jelas, dari awal cerita sampe “ending”.

Jadi kan ketauan. Nah kalo ini dari tadi itu kayak sinetron-sinetron

anak ABG ya. Tidak jelas akhir ceritanya itu, apalah si tokoh hidup

misalnya berprofesi sebagai apa? Itu kan kalo saya enggak nanyain

satu-satu, jadi enggak tau. karena enggak ditulis sama kalian. Nah ini,

udah enggak ada remedial ya, kan juga dikit lagi mau UAS, yaudah

biarin aja. Jadi nilainya itu ya udah sesuai yang udah kalian tampilkan

gitu. Ini kan saya memberi masukan-masukan, supaya ke depannya itu

kalian bisa lebih baik lagi. Oke, ada yang mau bertanya enggak

mengenai materi ini. mengenai teks cerita ulang? Yang mau nanya,

silahkan ya, jangan malu-malu.

Pada TD 10, pada bagian penutup ini guru menanyakan kepada siswa-

siswanya apakah siswa-siswa tersebut sebenarnya paham atau tidak

48

mengenai tugas yang diberikan guru tersebut, “Ini masih banyak yang

belum paham ya sebenernya disuruh ngapain.?”, karena dari kelompok

pertama hingga kelompok yang terakhir hanya satu kelompok saja yang

mampu menampilkan drama dari teks cerita ulang tersebut dengan benar.

Akhirnya, guru tersebut menjelaskan kembali mengenai tugas yang dia

berikan tersebut agar dapat dipahami oleh siswa-siswanya yang belum

mengerti. Hal ini seperti pada dialog, “Maksudnya itu endingnya itu

akhirnya yang kalian ambil tokohnya itu, ambil biografinya itu dia

jadinya berprofesi apa? Nah kalo ini kan, dari kelompok 2 itu sampe

kelompok terakhir itu kan kayak sinetron gitu. Maksud saya itu kayak

kelompok yang pertama, kan nyeritain tentang Siti Syahadatun, dia dari

kecilnya itu sukanya menjahit, sampe akhirnya dia sukses jadi apa? jadi

sering ngirim rancangannya atau hasil jahitnya itu ke... ke mana tadi? Iya

ngirim rancangannya itu untuk Ida Leman Collection. Nah itu kan jelas,

dari awal cerita sampe “ending”. Jadi kan ketauan.”. Hal tersebut

termasuk ke dalam konvergensi bahasa, karena si guru tersebut berbicara

lebih lambat dan menjelaskan kembali apa yang dia maksud terhadap para

siswanya dengan menghindari penggunaan kata-kata yang sulit dipahami,

dan menyederhanakan struktur dari ucapan-ucapannya agar apa yang ia

jelaskan lebih mudah dipahami oleh para siswanya

Secara umum interaksi antara guru selaku penutur dengan siswa

selaku lawan tutur yang terjadi di kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota

Tangerang cenderung menggunakan konvergensi bahasa, namun dalam

kondisi tertentu interaksi belajar mengajar tersebut juga menggunakan

divergensi bahasa. Beberapa temuan data yang termasuk ke dalam divergensi

bahasa adalah sebagai berikut.

TD 11

Guru: Kami dari kelompok berapa... akan menampilkan sebuah

drama yang berjudul titik titik titik.

Siswa: Hobi Berujung Kebahagiaan.

Guru: Eh, malah dijawab si boto. Kalimat pertamanya gimana tadi?

49

Pada tuturan, “Eh, malah dijawab si boto. Kalimat pertamanya

gimana tadi?”, ini merupakan wujud dari divergensi. Kata “si boto” ini

merupakan kosakata yang berasal dari bahasa Betawi -yang berarti elok

(bagus, cantik) rupa dan bentuknya- yang merupakan bahasa pertama (B1)

dari sang Guru. Sedangkan siswa-siswa tersebut tidak semuanya mengerti

dengan bahasa Betawi dan berasal dari etnis Betawi. Hal ini diperkuat

dengan tuturan dari salah satu siswa yang tidak mengerti dengan kata

“boto” tersebut.

TD 12

Guru: Eh tong, saya kasih tau ya. Orang biar dikata mukanya biasa

aja tapi kalo orangnya rapih itu jadi keliatan boto. Sama, kalo

orangnya boto, kalo kaga rapih, ya jadinya kagak boto. Paham anak-

anak?

Siswa: (beberapa terdiam)

Siswa: Seh parah, masa lu dikatain botol dah.

Guru: Bukannya botol sayang, tapi boto. Hadeeuuh.

Siswa: Emang boto apaan si bu?

Guru: Masa engga tau boto kamu?

Siswa: Engga tau bu, saya aja baru denger.

Guru: Yaudah buat pr ya sekalian kalo kamu enggak paham boto.

Pada saat salah salah satu siswa yang bertanya, apa yang dimaksud

dengan kata “boto” sang guru tidak menjelaskannya. Sang guru tersebut

malah menyuruh siswanya untuk mencari tau sendiri apa yang dimaksud

dengan kata “boto”. Di sini, dikatakan bahwa akomodasi yang dilakukan

oleh sang guru tersebut sebagai proses yang mencoba tidak menyesuaikan

bahasanya dengan lawan tuturnya. Divergensi yang dilakukan oleh sang

Guru berlandaskan pada konsep dasar bahwa masyarakat yang berbeda

latar belakang geografi, etnis, dan sejarah yang cenderung memodifikasi

tururannya menjadi berbeda dengan gaya tutur si lawan tuturnya.

TD 13

Guru: Hayo siapa? Masa barusan aja kalian udah lupa. Gimana saya

suruh tulis lagi, kalo segitu aja udah lupa.

50

Guru: Hayo masa enggak ada yang bisa jawab dari segini banyaknya

siswa?

Pada TD 13 tersebut, guru menanyakan kepada siswa-siswanya

mengenai kelompok pertama yang maju. Kalimat yang digunakan dengan

menggunakan kata “barusan”, yang seharusnya adalah “Masa tadi saja

kalian sudah lupa”, ini merupakan sikap bahasa divergensi. Karena ketika

guru tersebut bertanya, beberapa siswa hanya terdiam, tapi setelah salah

satu dari teman mereka yang mengerti apa yang diucapkan si guru dengan

menjawab pertanyaannya, barulah siswa-siswa yang lain ikut menjawab.

Hal ini bisa saja dikarenakan beberapa siswa yang terdiam tidak mengerti

apa yang diucapkan sang guru tersebut, sehingga beberapa di antara

mereka memilih diam daripada harus menjawab pertanyaan si guru

tersebut. Ini sama dengan Teori Akomodasi Giles bahwa kita akan

menemukan beberapa fitur bahasa yang terjadi pada interaksi antara

penutur varietas yang berbeda. Hal yang diucapkan si guru tersebut

merupakan hal umum yang ditemukan pada pengguna bahasa seperti kosa

kata dan bentuk tata bahasanya yang ia gunakan.

TD 14

Siswa-siswa: Bu beluman Bu.

Guru: Makanya kalo begawe, jangan kongko mulu, jadi keteteran

kamu nanti berabe dah urusannya. Tuman banget sih kamu kalo

engga diomelin engga pada ngerjain.

Guru: Itu kamu yang belonjor, kalo angob tutup mulutnya, nanti yang

laen ikut-ikutan angob juga.

Pada TD 14, si guru tersebut menanyakan kepada para siswanya

apakah mereka sudah menyelesaikan tugas yang guru tersebut berikan,

karena sudah waktunya untuk kelompok berikutnya yang akan tampil di

depan. Tapi karena belum menyelesaikan tugas yang diberikan dengan

waktu yang sudah ditentukan, guru tersebut sedikit kesal kepada para

siswanya, karena beberapa di antara mereka saat waktu untuk diskusi yang

diberikan ada beberapa siswa yang malah mengobrol dengan temannya.

Tuturan guru tersebut dalam memarahi siswanya dengan menggunakan

51

dialek Betawi seperti, “Makanya kalo begawe, jangan kongko mulu, jadi

keteteran kamu nanti berabe dah urusannya. Tuman banget sih kamu

kalo engga diomelin engga pada ngerjain.”, yang artinya “Makanya kalau

bekerja (melakukan sesuatu), jangan mengobrol melulu, jadi nanti jadi

terdesak, jadi ribet urusannya, kebiasaan banget jika tidak dimarahi tidak

mengerjakan.” Dalam menggunakan dialek Betawi tersebut menggunakan

kata “begawe”, “kongko”, “keteteran”, “berabe”, “tuman”, dan

“diomelin”. Kosakata tersebut bisa saja tidak dipahami oleh seluruh siswa,

apalagi guru tersebut tidak menjelaskan satu-satu kosakata yang dia

ucapkan. Hal ini termasuk ke dalam divergensi bahasa. Penutur (guru)

dalam konteks ini mengarah kepada sikap bahasa yang negatif, karena

penutur (guru) tersebut tidak menyesuaikan bahasanya terhadap lawan

tuturnya. Hal ini terjadi karena latar belakang sosial dan budaya yang

berbeda.

Pada kondisi TD 14 tersebut, menurut Ferguson muncullah istilah

diglosia, yaitu untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana

terdapat dua variasi dari bahasa yang hidup berdampingan dan masing-

masing mempunyai peranan tertentu.59

Menurut Ferguson dalam

masyarakat diglosis terdapat dua variasi bahasa dari satu bahasa: variasi

pertama disebut dialek tinggi (high) (disingkat dialek T/H atau ragam

T/H), yang kedua disebut dialek rendah (low) (disingkat dialek R/L atau

ragam R/L).60 Di dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas bahasa

Indonesia dianggap sebagai dialek T, sedangkan bahasa yang bukan

bahasa Indonesia (dialek betawi, jawa, sunda, dan lain-lain) dianggap

sebagai dialek R. Pada saat di kelas, seorang guru seharusnya

menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar meskipun dalam

percakapan sehari-hari itu mereka menggunakan dialek R itu. Hal ini

terjadi juga pada TD berikut.

59

Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010, Edisi Revisi, hlm. 92.

60 Ibid., hlm. 93.

52

TD 15

Siswa : Bu, ini ada yang sakit bu.

Guru : Sakit apaan itu? Belaga doang apa sakit beneran itu?

Siswa : Palanya pusing bu, anget bu jidatnya. Bu, izin ke UKS ya bu.

Guru : Yaudah, itu kamu yang ngintilin yang sakit banyak amat. Satu

orang aja. Nanti yang sakit biar dia rebahan dulu di UKS. Kamu abis

nganterin dia balik lagi ke sini.

Siswa : Iya Bu.

Siswa : (Kepada penjaga perpustakaan) Pak, ini pintunya susah

dibuka.

Guru : Ya Allah, betot apa neng pintunya, kamu ngintilin yang sakit

malah jadi ikut-ikutan lemes.

Siswa : Iya bu, ini udah bisa.

Guru : Iya sono, kamu yang sakit jalannya bae-bae biar enggak jatoh

ya.

Siswa : Iya Bu. Makasih.

Pada TD 15, ketika jam pelajaran berlangsung ada satu siswa yang

sakit, dan salah satu temannya mewakilinya untuk laporan kepada si guru

dan meminta izin untuk istirahat di UKS. Guru tersebut tidak begitu saja

percaya dengan ucapan si siswa, sehingga dia menanyakan lagi apakah

siswa yang sakit tersebut benar-benar sakit atau hanya berpura-pura, “Sakit

apaan itu? Belaga doang apa sakit beneran itu?”. Pada tuturan kalimat

tersebut, si guru menggunakan kata “belaga” yang berarti berpura-pura.

Setelah guru tersebut mengizinkan si siswa yang sakit untuk beristirahat di

ruang UKS, ternyata teman-temannya juga turut serta mengikuti si siswa

yang sakit, sehingga si guru tersebut berkata, “Yaudah, itu kamu yang

ngintilin yang sakit banyak amat. Satu orang aja. Nanti yang sakit biar

dia rebahan dulu di UKS. Kamu abis nganterin dia balik lagi ke sini.”.

Pada kalimat yang diucapkan si guru terdapat penggunaan kosakata

“ngintilin” dan “rebahan”, sebagaimana kita tahu bahwa kosakata tersebut

berasal dari dialek Betawi yang berarti ikutan dan tidur-tiduran/istirahat.

Tidak hanya itu saja, ketika siswa tersebut ingin membuka pintu

perpustakaan, si siswa langsung berkata kepada penjaga perpustakaan

bahwa pintu tersebut sulit untuk dibuka, sehingga si guru menjawabnya

dengan menggunakan kalimat, “Ya Allah, betot apa neng pintunya, kamu

53

ngintilin yang sakit malah jadi ikut-ikutan lemes.”. Pada kalimat yang

diucapkan si guru terdapat penggunaan kosakata “betot” yang berarti tarik,

dan “lemes” yang berarti lemas/tidak mempunyai tenaga, dan penggunaan

kata “bae-bae” dan “jatoh” pada kalimat “Iya sono, kamu yang sakit

jalannya bae-bae biar enggak jatoh ya.”, saat guru tersebut memberikan

nasihat kepada siswanya yang sedang sakit untuk berhati-hati supaya tidak

jatuh saat berjalan menuju ruang UKS. Pada TD 15, kalimat-kalimat yang

diucapkan penutur (guru) terhadap lawan tuturnya (siswanya) kebanyakan

menggunakan dialek Betawi.

Hal yang terjadi pada TD 15 dapat dikatakan bahwa penutur (guru)

gagal mengonvergensikan diri atau dia bahkan harus melakukan

divergensi tersebut (mengaburkan atau menyimpang dari arah). Dengan

kata lain, bahwa si guru tersebut mungkin saja sama sekali tidak berusaha

untuk menyesuaikan tuturannya dengan kepentingan lawan tuturnya dan

justru dengan sengaja membuat tuturannya sama sekali tidak serupa

dengan lawan tuturnya. Hal ini bisa terjadi, kalau si guru tersebut ingin

menekankan loyalitas atau kesetiaan terhadap kelompoknya dan

memisahkan diri dari kelompok lawan tuturnya.

TD 16

Guru : Yah harusnya kamu ceritain, akhirnya itu si Uun itu jadi

seorang guru gitu. Ini masih banyak yang belum paham ya

sebenernya disuruh ngapain?

Siswa-siswa : (terdiam)

Guru : Emang saya bilang ambil satu kejadian aja dalam hidupnya,

tapi itu harus ada endingnya.

Pada TD 16, pada bagian penutup pelajaran tersebut, guru

menjelaskan kembali mengenai tugas yang dia berikan tersebut agar dapat

dipahami oleh siswa-siswanya yang belum mengerti. Namun, dalam

penjelasaannya guru tersebut menggunakan bahasa asing, yaitu kosakata

bahasa Inggris dengan menggunakan “ending” pada dialog yang ia

sampaikan. Hal ini dapat dilihat pada kalimat, “Emang saya bilang ambil

satu kejadian aja dalam hidupnya, tapi itu harus ada endingnya.”. Dalam

54

hal tersebut, ini bisa dikatakan sebagai divergensi bahasa, karena bisa saja

dalam kalimat yang diucapkan guru tersebut tidak sepenuhnya dipahami

oleh beberapa siswa yang lain, Hal ini akan menimbulkan terhambatnya

tujuan komunikasi dan kerja sama antara si penutur (guru) dan lawan

tuturnya (siswa). Pemakaian bahasa di ranah pendidikan haruslah

disesuaikan dengan kebutuhan, dalam hal ini interaksi edukatif yang

terjadi adalah selama pelajaran bahasa Indonesia, semestinya guru tersebut

menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan menggunakan

kosakata “akhir” bukan “ending” pada kalimat yang diucapkannya.

Interaksi edukatif atau yang lazim disebut sebagai interaksi belajar

mengajar bisa dipahami sebagai kegiatan interaksi yang dilakukan oleh

guru dan siswa untuk mencapai tujuan pengajaran. Dalam interaksi belajar

mengajar terjadi proses pengaruh mempengaruhi. Jika banyaknya temuan

data yang termasuk ke dalam divergensi bahasa, hal ini akan sulit untuk

mencapai tujuan pengajaran di kelas.

Pola komunikasi dalam pembelajaran ini adalah bahasa kolokial.

Kolokial adalah bahasa yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat penutur

bahasa di daerah tertentu, kolokial dikenal juga sebagai bahasa sehari-hari

atau bahasa percakapan. Kolokial terjadi pada ragam bahasa lisan yang

cenderung bersifat praktis dan bersifat melanggar aturan kaidah tatabahasa.

Bahasa kolokial khas bagi situasi bertutur tertentu, yakni situasi santai.

Kosakatanya berupa kata-kata yang telah mengalami penurunan sesuai

situasi. Hal ini bisa kita lihat dari percakapan antara penutur (guru) dan lawan

tuturnya (siswa) pada kosakata yang digunakan, seperti “latian”, “apal”,

“ngapa”, “udah”, yang seharusnya adalah “latihan”, “hapal”, “kenapa”, dan

“sudah”.

Keuntungan dari komunikasi tersebut adalah bagi penutur (guru)

terhadap lawan tuturnya ketika berinteraksi adalah (1) meningkatkan

efektivitas komunikasi, (2) mengurangi jarak sosial di antara peserta lawan

tuturnya, (3) menghapus stigma atau ciri negatif yang menempel pada pribadi

55

seseorang karena pengaruh lingkungannya, (4) meningkatkan prestise, (5)

mengurangi formalitas tutur, dan (7) meningkatkan kesantunan tutur. Dalam

hal ini terjadi adaptasi linguistik. Adaptasi linguistik adalah proses adopsi

ciri-ciri kebahasaan bahasa tertentu oleh bahasa yang lain atau kedua-duanya

saling melakukan hal yang sama baik itu penutur maupun lawan tuturnya,

sehingga bahasanya menjadi lebih serupa, mirip, atau sama, antara satu sama

lain. Selain adaptasi linguistik, pola komunikasi yang dilakukan oleh guru

sebagai penutur terhadap siswanya selaku lawan tutur juga menghasilkan

adaptasi sosial, yaitu proses yang terjadi akibat adanya kontak sosial yang

melibatkan dua kelompok yang memiliki perbedaan budaya atau ras

melakukan penyesuaian satu sama lain atau salah satu di antaranya, sehingga

memiliki sejumlah solidaritas budaya yang cukup untuk mendukung

terciptanya eksistensi kehidupan yang solider dan harmoni di antara mereka.

Berbeda dengan penutur (guru), keuntungan dari pola komunikasi

yang dilakukan siswa terhadap gurunya ataupun terhadap sesama siswa yang

lain, yaitu yang menggunakan bahasa Indonesia pada saat interaksi adalah,

Siswa tersebut bisa saja mendapatkan nilai yang lebih baik jika menggunakan

bahasa Indonesia yang baik dan benar pada saat kelas bahasa dibandingkan

dengan teman-temannya yang tidak menggunakan bahasa Indonesia yang

baik dan benar. Sedangkan, bagi siswa yang melakukan konvergensi dengan

menyesuaikan terhadap penyamaan tuturan gurunya dengan menggunakan

dialek Betawi juga mendapatkan keuntungan, yaitu mereka bisa lebih dekat

dengan guru tersebut dalam berkomunikasi atau interaksi yang terjadi di

kelas.

56

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan mengenai konvergensi

dan divergensi bahasa dalam interaksi belajar mengajar Bahasa dan Sastra

Indonesia di kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang, diperoleh

simpulan sebagai berikut:

1. Sikap bahasa yang ada pada interaksi belajar mengajar didominasi

oleh konvergensi bahasa, hal itu dapat ditunjukkan dengan sikap

guru yang menyesuaikan pemakaian bahasanya ketika

menyampaikan materi kepada siswa dengan respon bahasa yang

sama dari siswa tersebut. Salah satu hal yang melatarbelakangi guru

(penutur) melakukan konvergensi bahasa adalah dengan latar

belakang budaya yang sama. Guru tersebut ketika berinteraksi

dengan lawan tuturnya (siswa) memperhatikan; yaitu siapa yang

berbicara, kepada siapa ia berbicara, dimana, kapan, untuk apa,

bagaimana, dan tentang topik apa. Sikap positif yang ditunjukkan

oleh guru (penutur) dengan siswanya (lawan tutur) dengan

menyesuaikan fitur bahasanya (pengucapan, aksen, kosakata, dan

struktur), dalam hal ini dengan menggunakan dialek Betawi sehingga

dapat dipahami dan diterima. Selain itu, guru tersebut juga

mengakomodasikan tuturannya menjadi sama atau mirip dengan

siswanya.

2. Selain konvergensi, terdapat juga divergensi bahasa yang

ditunjukkan oleh penutur (guru) terhadap lawan tuturnya (siswa)

dalam pemakaian bahasanya. Namun divergensi bahasa tersebut

ditemukan pada kondisi tertentu saja. Divergensi bahasa yang terjadi

karena adanya upaya si penutur (guru) tersebut untuk membedakan

tuturannya dengan lawan tuturnya (siswa) tetapi tidak berlangsung

56

57

secara terus menerus. Salah satu hal yang melatarbelakangi penutur

(guru) melakukan divergensi bahasa adalah adanya perbedaan sosial

dan geografis ketika berinteraksi dengan siswanya. Penutur

mengakomodasikan tuturannya menjadi berbeda dengan lawan

tuturnya (siswa). Hal ini terjadi karena karena latar belakang budaya

yang berbeda. Selain itu juga, mungkin saja si penutur ini sengaja

melakukan divergensi bahasa untuk menunjukkan kesetiaannya

terhadap bahasa pertamanya (B1) atau ingin mempertahankan

kekhasan budayanya, karena siswa-siswa tersebut (lawan tuturnya)

tidak semuanya menggunakan bahasa yang sama.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti akan

memberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Bagi guru bahasa Indonesia hendaknya pemakaian bahasa yang

dilakukan pada saat proses belajar mengajar adalah adalah

menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar agar Bahasa

Indonesia sebagai bahasa yang menjadi alat pemersatu bahasa ini

menjadi sangat efektif sehingga dalam proses penyampaian materi di

kelas dapat dipahami dan dimengerti oleh siswa-siswanya.

2. Bagi siswa, penerapan untuk menggunakan Bahasa Indonesia yang

baik dan benar juga perlu ditingkatkan karena sebagai sarana penalaran

yang akan memudahkan mereka untuk meningkatkan pengetahuan dan

keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya.

3. Bagi peneliti yang akan mengkaji mengenai konvergensi dan

divergensi bahasa, diharapkan dapat mengkaji dengan teori-teori sikap

bahasa yang lain yang lebih baik, agar dapat melengkapi penelitian

yang sudah dilakukan sebelumnya.

58

DAFTAR PUSTAKA

A. M., Sardiman. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada. Cet. Ketujuh, 2000.

Ahmadi, Abu dan Joko Tri Prasetya. Strategi Belajar Mengajar untuk Fakultas

Tarbiyah Komponen MKDK. Bandung: Pustaka Setia. 2005.

Aslinda dan Leni Syafyahya. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika

Aditama, 2007.

Auer, Peter, Frans Hinskens, dan Paul Kerswill. Dialect Change: Convergence

and Divergence in European Languages. Cambridge: Cambridge

University Press, 2005.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:

Rineka Cipta, 2004.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:

Rineka Cipta. Edisi Revisi, 2010.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka, 2007.

Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:

Rineka Cipta, 2010.

Gudykunst, William B. dan Bella Mody. Handbook of International Inter

Cultural Communication 2nd Edition. Sage Publication. Thousand Oaks,

2002.

58

59

Hudson, R. Sociolinguistics (2nd Edition). Cambridge University Press, 1996.

Ibrahim, R. dan Nana Syaodih S. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka

Cipta, 2010.

Jendra, Made Iwan Hendrawan. Sociolinguistics The Study of Societies

Languages. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.

Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2008.

Mackey, W. F. Analisis Bahasa untuk Pengajaran Bahasa. Surabaya: Usaha

Nasional, 1984.

Mahsun. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya.

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Morrison dan Wardhany Andy Corry. Teori Komunikasi. Jakarta: Ghalia

Indonesia, 2009.

Nababan, P.W.J. Sosiolinguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Padmadewi, Ni Nyoman, dkk. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014.

Rahardi, R. Kunjana. Kajian Sosiolinguistik Ihwal Kode dan Alih Kode. Bogor:

Ghalia Indonesia, 2010.

Spolsky, Bernard. Sociolinguistics. New York: Oxford University Press, 1998.

60

Suhardi, Basuki. Pedoman Penelitian Sosiolinguistik. Jakarta: Pusat Bahasa

Departemen Pendidikan Nasional, 2009.

Sumarsono dan Paina Partana. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda. Cet. II, 2004.

Sumarsono. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda bekerjasama dengan Pustaka

Pelajar, 2004.

Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2010.

West, Richard dan Lynn H. Turner. Introducing Communication Theory: Analysis

and Application 3rd ed. Jakarta: Salemba Humanika, 2010.

Tabel 1.1

Contoh Tabel Klasifikasi Wujud Konvergensi Bahasa dalam Interaksi Belajar

Mengajar di Kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang

No. Kegiatan Temuan Data

1. Pembukaan TD 01

Guru: Anak-anak ambil posisi!

Anak-anak: (mengambil posisi tempat duduk dengan

suara berisik)

Guru: Halo anak-anakan yang sudah ngisi data, duduk!

Nah yang pertama sini naskahnya! Mana teksnya? Nah,

yang pertama dulu.

Siswa: Iya Bu sebentar.

2. Kegiatan Inti TD 02

Siswa: Tapi tetep maju Bu?

Guru: Iya tetep maju. Emangnya kalian enggak apal

naskahnya?

Guru: Ngapa? Kok pada diem aja saya nanya

Siswa: Apalnya dikit doang Bu.

Guru: Emangnya kalian enggak pada latian?

Siswa: Latian Bu, tapi lupa.

3. Kegiatan Inti TD 03

Siswa: Oh iya bu maaf. Kami dari kelompok... Ehmmm..

Kami dari kelompok satu.. akan menampilkan sebuah

drama.. Bener enggak bu?

Guru: Iya bener sayangku, terusin.

4. Kegiatan Inti TD 04

Guru: Itu wadon yang di belakang jangan ngobrol aja.

Siswa: Tau nih si pencot berisik banget.

Siswa: Iya bu enggak.

Guru: Enggak boleh ngata-ngatain temen kamu begitu

tong. Ayo terusin dramanya.

5. Kegiatan Inti TD 05

Guru: Anak-anakan.

Siswa: Iya ibu-ibu.

Guru: Sekarang buka buku tulis semuanya! Udah dibuka

belom bukunya?

Siswa: Udah ibu-ibu.

Guru: Nah kalo udah dibuka, saya tanya dulu sekarang

ya.

Siswa: Jadi dulu apa sekarang bu?

Guru: Hmmm.. Saya mau tanya nih, kalian inget ga

kelompok yang barusan maju itu nyeritain tentang siapa

hayo?

6. Kegiatan Inti TD 06

Guru: Nah sekarang kan kalian udah pada tau nih, siapa

yang diceritain sama kelompok barusan, sekarang coba

kalian tulis apa aja sih, yang hal-hal yang disampaikan

lewat drama yang barusan ditampilkan. Biar saya tau,

kalo ternyata kalian itu nyimak atau enggak.

Siswa: Maksudnya gimana sih bu?

Guru: Misalnya si Datun itu masa kecilnya gimana, dia

sukanya ngapain, terus dari kesukaannya itu apa dia

menghasilkan sesuatu atau gimana? Nah tulis

semuanya yang udah kalian simak tadi. Nah untuk

ngeringanin tugasnya, ini didiskusikan sama teman

kelompok kalian ya, bukan sendiri-sendiri. Jadi, kalo

misalnya ada yang lupa, teman kalian kan bisa

ngingetin satu sama lain, sehingga jawabannya jadi

lengkap. Paham enggak? Siswa-siswa: Iya bu.

Guru: Iya bu apa?

Siswa-siswa: Iya bu paham.

7. Kegiatan Inti TD 07

Siswa: Yah lokan cepet banget bu.

Guru: Udah segitu mah saya rasa cukup. Udah kerjain.

Kan kelompok. Apa mau sendiri-sendiri aje?

Siswa: Jangan bu, jangan. Ya udeh kelompok aje Bu.

Guru: Ngerjainnya pake tangan, jangan pake mulut,

berisik.

8. Kegiatan Inti TD 08

Guru : Itu dia jadi apa? Biografinya Anita itu sebagai

apa?

Siswa : Yang anak SD itu Bu. Yang... Hmmm... yang

baru masuk SD itu Bu.

Guru : Anita itu tadi ceritanya kan kayak sinetron gitu

ya. Maksudnya adalah.. Hmmm... perjalanan setelah

beberapa tahun, kemudian Anita berprofesi seperti

apa.

Siswa : Iya Bu, itu kan salah satu perjalanan hidupnya

dia Bu.

Guru : Iya, tapi.. Maksud Ibu kalian itu ngambilnya

itu dia akhirnya berprofesi seperti jadinya, kan ini

ngambilnya Biografi penulisnya.

Siswa : Oh gitu Bu. Jadi itu Bu, akhirnya, si Anitanya

itu masuk SMP Bu, terus masuk SMA, terus kuliah,

terus jadi pegawai pajak.

9. Kegiatan Inti TD 09

Guru : Oh, ada ya. Yaudah. Ini kelompoknya enggak ada

wadonnya ya?

Siswa : Iya Bu laki semuanya.

10. Penutup TD 10

Guru : Yah harusnya kamu ceritain, akhirnya itu si Uun

itu jadi seorang guru gitu. Ini masih banyak yang

belum paham ya sebenernya disuruh ngapain?

Siswa-siswa : (terdiam)

Guru : Emang saya bilang ambil satu kejadian aja

dalam hidupnya, tapi itu harus ada “endingnya”.

Maksudnya itu endingnya itu akhirnya yang kalian

ambil tokohnya itu, ambil biografinya itu dia jadinya

berprofesi apa? Nah kalo ini kan, dari kelompok 2 itu

sampe kelompok terakhir itu kan kayak sinetron gitu.

Maksud saya itu kayak kelompok yang pertama, kan

nyeritain tentang Siti Syahadatun, dia dari kecilnya itu

sukanya menjahit, sampe akhirnya dia sukses jadi apa?

jadi sering ngirim rancangannya atau hasil jahitnya itu

ke... ke mana tadi? Iya ngirim rancangannya itu untuk

Ida Leman Collection. Nah itu kan jelas, dari awal

cerita sampe “ending”. Jadi kan ketauan. Nah kalo ini

dari tadi itu kayak sinetron-sinetron anak ABG ya. Tidak

jelas akhir ceritanya itu, apalah si tokoh hidup misalnya

berprofesi sebagai apa? Itu kan kalo saya enggak

nanyain satu-satu, jadi enggak tau. karena enggak

ditulis sama kalian. Nah ini, udah enggak ada remedial

ya, kan juga dikit lagi mau UAS, yaudah biarin aja. Jadi

nilainya itu ya udah sesuai yang udah kalian tampilkan

gitu. Ini kan saya memberi masukan-masukan, supaya ke

depannya itu kalian bisa lebih baik lagi. Oke, ada yang

mau bertanya enggak mengenai materi ini. mengenai

teks cerita ulang? Yang mau nanya, silahkan ya, jangan

malu-malu.

Tabel 2.1

Contoh Tabel Klasifikasi Wujud Divergensi Bahasa dalam Interaksi Belajar

Mengajar di Kelas XI Mipa 5 SMA Negeri 3 Kota Tangerang

No. Kegiatan Temuan Data

1. Kegiatan Inti TD 11

Guru: Kami dari kelompok berapa... akan menampilkan

sebuah drama yang berjudul titik titik titik.

Siswa: Hobi Berujung Kebahagiaan.

Guru: Eh, malah dijawab si boto. Kalimat pertamanya

gimana tadi?

2. Kegiatan Inti TD 12

Guru: Eh tong, saya kasih tau ya. Orang biar dikata

mukanya biasa aja tapi kalo orangnya rapih itu jadi

keliatan boto. Sama, kalo orangnya boto, kalo kaga

rapih, ya jadinya kagak boto. Paham anak-anak?

Siswa: (beberapa terdiam)

Siswa: Seh parah, masa lu dikatain botol dah.

Guru: Bukannya botol sayang, tapi boto. Hadeeuuh.

Siswa: Emang boto apaan si bu?

Guru: Masa engga tau boto kamu?

Siswa: Engga tau bu, saya aja baru denger.

Guru: Yaudah buat pr ya sekalian kalo kamu enggak

paham boto.

3. Kegiatan Inti TD 13

Guru: Hayo siapa? Masa barusan aja kalian udah lupa.

Gimana saya suruh tulis lagi, kalo segitu aja udah lupa.

Guru: Hayo masa enggak ada yang bisa jawab dari

segini banyaknya siswa?

4. Kegiatan Inti TD 14

Siswa-siswa: Bu beluman Bu.

Guru: Makanya kalo begawe, jangan kongko mulu, jadi

keteteran kamu nanti berabe dah urusannya. Tuman

banget sih kamu kalo engga diomelin engga pada

ngerjain.

Guru: Itu kamu yang belonjor, kalo angob tutup

mulutnya, nanti yang laen ikut-ikutan angob juga.

5. Kegiatan Inti TD 15

Siswa : Bu, ini ada yang sakit bu.

Guru : Sakit apaan itu? Belaga doang apa sakit beneran

itu?

Siswa : Palanya pusing bu, anget bu jidatnya. Bu, izin ke

UKS ya bu.

Guru : Yaudah, itu kamu yang ngintilin yang sakit

banyak amat. Satu orang aja. Nanti yang sakit biar dia

rebahan dulu di UKS. Kamu abis nganterin dia balik

lagi ke sini.

Siswa : Iya Bu.

Siswa : (Kepada penjaga perpustakaan) Pak, ini

pintunya susah dibuka.

Guru : Ya Allah, betot apa neng pintunya, kamu

ngintilin yang sakit malah jadi ikut-ikutan lemes.

Siswa : Iya bu, ini udah bisa.

Guru : Iya sono, kamu yang sakit jalannya bae-bae biar

enggak jatoh ya.

Siswa : Iya Bu. Makasih.

6. Penutup TD 16

Guru : Yah harusnya kamu ceritain, akhirnya itu si Uun

itu jadi seorang guru gitu. Ini masih banyak yang belum

paham ya sebenernya disuruh ngapain?

Siswa-siswa : (terdiam)

Guru : Emang saya bilang ambil satu kejadian aja

dalam hidupnya, tapi itu harus ada endingnya.

TRANSKRIPSI DATA

Guru: Anak-anak ambil posisi. Halo anak-anakan yang sudah ngisi data, duduk.

Nah yang pertama sini naskahnya. Mana teksnya? Nah, yang pertama

dulu.

Siswa : Iya, Bu bentar.

Guru: Yang pertama, dua, tiga, empat, lima, teksnya???

Siswa : Bu bentar ya, Bu.

Guru: Ini apek amat sih jadinya ruangan, kamu pada ganti kaos kaki enggak nih?

Siswa : Ganti si Buuu..

Siswa : Dimas. Kita pertama?

Siswa : Enggak tau dah, gue lupa.

Siswa: Bu, teks kelompokkan kita dibawa sama yang sakit Bu, orangnya enggak

masuk sekarang, gimana Bu?

Guru: Ibu enggak mau tau, kelompok kalian bikin ulang teksnya.

Siswa: Tapi tetep maju Bu?

Guru: Iya tetep maju. Emangnya kalian enggak apal naskahnya?

Guru: Ngapa? Kok pada diem aja saya nanya?

Siswa: Apalnya dikit doang Bu.

Guru: Emangnya kalian enggak pada latian?

Siswa: Latian Bu, tapi lupa.

Guru: Udah cepetan, jangan kebanyakan diskusi. Teksnya pokoknya dikumpulin.

Siswa: Eh, kelompokkan kita tau yang pertama.

Siswa: Bu, kita yang pertama bu.

Guru : Ya, silahkan. Teks yang pertama? Ya sama aja, teks yang pertama, kedua,

kelima, keempat juga kan maju. Ini yang pertama, ini yang kedua, yang

ketiga? yang ketiga? teksnya! Ketiga, keempat, kelima! Sini yang ketiga,

keempat!

Siswa : Nih bu.

Guru : Yang mau didialogkan yang mana? Kelompok empat?

Siswa : Bu, kalo kurang orang gimana bu? Harus dua peran apa gimana?

Guru : Iya, harus dua peran.

Siswa : Kelompok saya kurang orang bu.

Guru : Ya, berarti harus dua peran.

Siswa : Tapi dialognya dari yang awal terus sama yang akhirnya bu.

Guru : Iya boleh.

Siswa : Eh, boleh boleh.

Guru : Ini keempat. Kelima. Ya, ayo silahkan.

Siswa : Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Siswa-siswa : Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.

Siswa : Kami dari kelompok satu, eh.. gimana bu tadi ngomong pertamanya?

Guru: Kami dari kelompok berapa... akan menampilkan sebuah drama yang

berjudul titik titik titik.

Siswa: Hobi Berujung Kebahagiaan.

Guru: Eh, malah dijawab si boto. Kalimat pertamanya gimana tadi?

Siswa: Oh iya bu maaf. Kami dari kelompok... Ehmmm.. Kami dari kelompok

satu.. akan menampilkan sebuah drama.. Bener enggak bu?

Guru: Iya bener sayangku, terusin.

Siswa: Akan menampilkan sebuah drama yang berjudul “Hobi Berujung

Kebahagiaan”. Perkenalan dulu, saya sebagai Pak Lurah.

Siswa : Eh nama!

Siswa : Saya Jaya Permana sebagai Pak Lurah.

Siswa : Saya Imas Fajriani sebagai Datun.

Siswa : Saya Nurfitriani sebagai Ibu Kalimah.

Siswa : Dan saya Arly Zahra sebagai Bibi Hana.

Siswa : Makan siangku telah habis kulahap. Sekarang ada banyak waktu yang aku

punya sampai aku pergi ke kamar untuk tidur siang. Tapi aku tidak tau harus

melakukan apa. Aku pun menghampiri ibu yang sedang menjahit.

Siswa : Ibu lagi ngapain?

Siswa : Ini, ibu lagi jaitin celana kamu nak. Kok kamu gak main di luar sama

teman-teman kamu?

Siswa : Aku pengen ngeliatin aktivitas ibu.

Siswa : Aduh pinter banget sih anak ibu. Ibu mau.. Datun mau ibu ajarin jait

enggak?

Siswa : Mau bu mau.

Siswa : Oh boleh boleh sini sini. Nah pertama tuh Datun harus masukin dulu

jarum ke benangnya, eh... benang ke jarumnya. Coba Datun coba dulu.

Aduh mata ibu udah enggak awas nih. Datun bisa bantuin ibu enggak?

Siswa : Bisa bu. Ini bu udah.

Siswa : Terus, kalo udah Datun simpul bawahnya, biar benangnya enggak

gampang lepas Datun. Nah kalo udah begitu, Datun jait seperti ini. Nah kayak

gini. Nah coba Datun sekarang.

Guru: Itu wadon yang di belakang jangan ngobrol aja.

Siswa: Tau nih si pencot berisik banget.

Siswa: Iya bu enggak.

Guru: Enggak boleh ngata-ngatain temen kamu begitu tong. Ayo terusin

dramanya.

Siswa : Beberapa saat kemudian,

Siswa : Ini bu, jaitannya udah e... bisa ibu periksa engga?

Siswa : Wah... ini bagus banget. Ini berarti kamu udah bisa pinter banget emang

anak ibu.

Siswa : Alhamdulillah. Datun boleh gak minjem peralatan jahit ibu?

Siswa : Boleh nak, tapi kalau Datun mau menjahit harus bilang ibu dulu ya. Nanti

ibu awasin kamu.

Siswa : Iya bu.

Siswa : Sejak saat itu, Datun selalu meluangkan waktunya untuk belajar menjahit

bersama ibunya. Dimulai dari belajar menjahit, belajar membuat boneka tangan,

sampai belajar membuat rok untuk Datun. Hari itu setelah makan siang...

Siswa : Ibu mana ya? Kan katanya mau ngajarin aku jait setiap abis makan siang.

Siswa : Bibi Hana pun lewat ruang keluarga tempat Datun duduk. Bibi Hana

menghampiri Datun.

Siswa : Kamu kenapa? Kok mukanya bete gitu?

Siswa : Iya ini nih Bi, ibu udah janji mau ngajarin jait aku, tapi gak tau ibunya

kemana.

Siswa : Yaudah, belajarnya kan bisa besok. Ibu kan sekarang ke pasar, beli

keperluan mendadak yang harus dibeli.

Siswa : Nah, sekarang kan bibi mau pergi, Datun besok aja ya belajarnya?

Siswa : Yaaaah.. Datun maunya sekarang bi.

Siswa : Kalo Bibi pergi, nanti kamu engga ada yang ngawasin.

Siswa : Huffft, yaudah deh.

Siswa : Yaudah, Bibi pergi dulu ya.

Siswa : Iya bi.

Siswa : Pokoknya kamu jangan jait, sebelum ibu kamu pulang.

Siswa : Datun pun sendirian di rumah. Lima belas menit berlalu tapi ibunya belum

juga pulang dari pasar.

Siswa : Ibu kemana ya, apa aku jait sendiri aja? Yaudah deh aku jait sendiri aja.

Tapi setengah aja deh, takut dimarahin ibu.

Siswa : Pada akhirnya Datun menjahit sendiri. Setelah menjahit setengah baju...

Siswa : Waah asik banget, aku selesaiin deh bikin bajunya. Dikit lagi selesai.

Siswa : Tapi tiba-tiba...

Siswa : Aduh, sakit! Ah... udah deh obatin aja

Siswa : Hari mulai sore. Ibu Kalimah pun pulang dan terkejut melihat Datun.

Siswa : Datun ngapain? Kan ibu udah bilang jangan main alat jait. Terus tangan

kamu kena, nanti bahaya. Tuh kan, tangan kamu kenapa?

Siswa : Hmmm, itu tadi ketusuk jarum bu. Tapi tadi udah ibu.. eh udah Datun

obatin kok.

Siswa : Datun engga dengerin ibu kan? Ibu kan udah bilang berkali-kali, kalo

Datun jangan pernah main-main benang jait ataupun jarum-jarum jait. Sekarang

liat akibatnya.

Siswa : Maaf bu, Datun tungguin ibu pulang, tapi ibu gak pulang-pulang.

Siswa : Tadi tuh di pasar rame banget Datun. Ini kan hari Minggu. Jadi Ibu mesti

antri dulu. Udah gitu, tadi angkotnya bannya bocor.

Siswa : Ibu, mafin Datun ya.

Siswa : Yaudah, lain kali jangan kayak gitu ya?

Siswa : Iya bu.

Siswa : Yaudah, kamu lanjutin coba sini ibu liat.

Siswa : Baju dan rok pun dihasilkan lewat jahitan Datun. Orang-orang sudah tau

keterampilan menjahit Datun. Hingga suatu hari...

Siswa : Assalamualaikum.

Siswa : Waalaikum salam. Eh, Pak Lurah.. Silahkan duduk pak.

Siswa : Makasih ya bu.

Siswa : Waduh, ada keperluan apa nih Pak Lurah kok tiba-tiba ke sini?

Siswa : Begini Bu, saya kan dengar-dengar di sini bisa jait baju. Mumpung baju

saya sudah kekecilan, saya mau mesen baju di sini, bisa engga bu?

Siswa : Oh gitu, bentar ya pak. Datun Datun sayang sini.

Siswa : Ada apa bu?

Siswa : Jadi gini, Pak Lurah tuh bajunya udah kekecilan katanya, dia mau Datun

jaitin bajunya Pak Lurah. Gimana, Datun bisa engga?

Siswa : Waaah.. Boleh banget bu. Sekalian Datun mau ngasah hobi jait Datun.

Siswa : Oh bagus dong. Pak Lurah maaf, bawa.. bawa.. mau diukur atau boleh

saya tau ukuran bajunya?

Siswa : Ini saya udah siapkan ukurannya. Ini Datun.

Siswa : Makasih ya pak, insya Allah Datun ngerjain maksimal jaitannya.

Siswa : Iya sama-sama, udah gitu aja. Yasudah saya permisi dulu.

Siswa : Makasih ya pak.

Siswa : Saya pamit ya.

Siswa : Iya pak.

Siswa : Assalamualaikum.

Siswa : Waalaikum salam.

Siswa : Ini kerja Datun pertama. Datun bekerja keras untuk ini. Dia juga tidak

ingin meminta bantuan sang ibu. Dia ingin ini menjadi pengalaman bekerja

pertama untuknya. Seminggu kemudian...

Siswa : Hah.. Akhirnya selesai juga bu. Ibu, Datun boleh minta cekin hasil

jahitannya gak ?

Siswa : Boleh boleh, coba sini.

Siswa : Wah ini bagus banget Datun, rapi banget. Kamu.. kamu hebat banget,

anak ibu emang hebat, bagus banget bajunya. Rapi banget jaitannya.

Siswa : Pak Lurah pun datang ke rumah.

Siswa : Assalamualaikum.

Siswa : Waalaikum salam pak.

Siswa : Gimana bu, jaitannya udah bisa saya ambil sekarang?

Siswa : Oh udah udah, bentar ya pak. Datun sini nak. Sekalian bawa bajunya Pak

Lurah ya nak.

Siswa : Iya bu.

Siswa : Saya coba liat dulu ya.

Siswa : Silahkan coba dulu pak, misalkan ada yang kurang di bagian mananya,

nanti bisa bilang ke Datun atau ke saya juga bisa.

Siswa : Oh iya.

Siswa : Gimana pak?

Siswa : Bagus sih ini, cocok sama saya, ukurannya juga pas, jaitannya juga bagus.

Datun saya puas sama kerjaan kamu.

Siswa : Makasih pak.

Siswa : Oh iya ini ada upahnya, diterima ya.

Siswa : Makasih pak.

Siswa : Makasih ya pak.

Siswa : Saya balik ya, assalamualaikum.

Siswa : Hati-hati ya pak. Ibu bangga deh sama kamu. Pak Lurah sampe puas sama

hasil kerja keras kamu.

Siswa : Makasih bu. Ini bu uangnya.

Siswa : Engga usah, ini kan hasil kerja Datun, Datun simpen buat tabungan.

Semua yang udah Datun kerjain kan, punya Datun. Jadi, Datun yang simpen

bukan ibu lagi. Ini buat jajan Datun doang.

Siswa : Makasih ya bu.

Siswa : Iya sama-sama, ibu bener-bener bangga banget sama Datun. Datun tuh

masih kecil, tapi udah bisa ngasilin uang, udah bisa ngasilin hobi yang

bermanfaat, sedangkan anak-anak lain, anak-anak kecil lain cuma bisa main,

sedangkan Datun bisa ngebanggain keluarga.

Siswa : Ini juga semua berkat ibu. Makasih ya bu.

Siswa : Iya nak.

Siswa : Sejak itu, Datun tidak meninggalkan hobinya, yaitu menjahit. Dan

sekarang Siti Syahadatun sering mengirim rancangannya untuk Ida Leman

Collection. Berawal dari hobi menjahit, berujung dari kebahagiaan Datun dan

keluarganya.

Siswa : Terima kasih, sekian dari kelompok kami, mohon maaf apabila ada

kekurangan, semoga terhibur. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Guru dan siswa : Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.

Guru: Anak-anakan.

Siswa: Iya ibu-ibu.

Guru: Sekarang buka buku tulis semuanya! Udah dibuka belom bukunya?

Siswa: Udah ibu-ibu.

Guru: Nah kalo udah dibuka, saya tanya dulu sekarang ya.

Siswa: Jadi dulu apa sekarang bu?

Guru: Hmmm.. Saya mau tanya nih, kalian inget ga kelompok yang barusan maju

itu nyeritain tentang siapa hayo?

Siswa: (terdiam)

Guru: Hayo siapa? Masa barusan aja kalian udah lupa. Gimana saya suruh tulis

lagi, kalo segitu aja udah lupa.

Guru: Hayo masa ga ada yang bisa jawab dari segini banyaknya siswa?

Siswa: (menunjuk tangan)

Guru: Iya kamu. Siapa yang diceritain sama kelompok yang barusan?

Siswa: Kalo ga salah Datun ya bu?

Guru: Datun siapa? Masa Datun doang? Nama lengkapnya Datun siapa?

Siswa: Lupa bu nama panjangnya.

Guru: Yang lain masa ga ada yang inget nama lengkapnya.

Siswa: Bu, Siti Syahadatun bukan?

Guru: Nah iya, siapa tadi?

Siswa-siswa: Siti Syahadatun buuuuuu.

Guru: Nah sekarang kan kalian udah pada tau nih, siapa yang diceritain sama

kelompok barusan, sekarang coba kalian tulis apa aja sih, yang hal-hal yang

disampaikan lewat drama yang barusan ditampilkan. Biar saya tau, kalo ternyata

kalian itu nyimak atau engga.

Siswa: Maksudnya gimana sih bu?

Guru: Misalnya si Datun itu masa kecilnya gimana, dia sukanya ngapain, terus

dari kesukaannya itu apa dia menghasilkan sesuatu atau gimana? Nah tulis

semuanya yang udah kalian simak tadi. Nah untuk ngeringanin tugasnya, ini

didiskusikan sama teman kelompok kalian ya, bukan sendiri-sendiri. Jadi, kalo

misalnya ada yang lupa, teman kalian kan bisa ngingetin satu sama lain, sehingga

jawabannya jadi lengkap. Paham engga?

Siswa-siswa: Iya bu.

Guru: Iya bu apa?

Siswa-siswa: Iya bu paham.

Guru: Apa yang barusan saya bilang?

Siswa: Jadi kayak nyeritain ulang gitu ya bu, tentang drama yang tadi udah

ditampilin gitu bu?

Guru: Nah iya, itu paham ya. Apa lagi?

Siswa: Ngerjainnya per kelompok.

Guru: Nah iya, yaudah saya kasih waktu buat ngerjainnya ya, lima menit cukup?

Siswa: Engga bu, dua puluh menit ya bu.

Guru: Itu mah kelamaan. sepuluh menit ya.

Siswa: Yah lokan cepet banget bu.

Guru: Udah segitu mah saya rasa cukup. Udah kerjain. Kan kelompok. Apa mau

sendiri-sendiri aje?

Siswa: Jangan bu, jangan. Ya udeh kelompok aje Bu.

Guru: Ngerjainnya pake tangan, jangan pake mulut, berisik.

Guru: Ya kalo udahan, ulasan penampilan kelompok yang tadi disimpen dulu,

nanti diterusin lagi buat kelompok selanjutnya yang maju lagi. Sekarang, siap-siap

maju kelompok selanjutnya.

Siswa: Bu beluman bu.

Guru: Makanya kalo begawe, jangan kongko mulu, jadi keteteran kamu nanti

berabe dah urusannya. Tuman banget sih kamu kalo engga diomelin engga pada

ngerjain.

Guru: Itu kamu yang belonjor, kalo angob tutup mulutnya, nanti yang laen ikut-

ikutan angob juga.

Guru : Berikutnya, kelompok Dea Agustianti. Ayo maju.

Guru: Ini kenapa kamu bajunya dikeluarin begitu? Biar dikata ape?

Siswa: Biar dikata widih kali bu diaaaa.

Guru: Eh tong, saya kasih tau ya. Orang biar dikata mukanya biasa aja tapi kalo

orangnya rapih itu jadi keliatan boto. Sama, kalo orangnya boto, kalo kaga rapih,

ya jadinya kaga boto. Paham anak-anak?

Siswa: (beberapa terdiam)

Siswa: Seh parah, masa lu dikatain botol dah.

Guru: Bukannya botol sayang, tapi boto. Hadeeuuh.

Siswa: Emang boto apaan si bu?

Guru: Masa engga tau boto kamu?

Siswa: Engga tau bu, saya aja baru denger.

Guru: Yaudah buat pr ya sekalian kalo kamu enggak paham boto. Hayo mau

kelompok selanjutnya.

Siswa : Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Siswa : Saya berperan sebagai Dinda dan Kak Zio.

Siswa : Saya berperan sebagai Yanti.

Siswa : Saya berperan sebagai Bu Guru dan Ayu.

Siswa : Saya berperan sebagai Esti.

Siswa : Pada suatu hari di SMAN 54 Jakarta, ada seorang gadis culun dan

berkacamata besar yang bernama Riyanti. Riyanti berangkat sekolah dengan jalan

kaki, karena ia tidak mempunyai banyak uang untuk naik angkutan umum dan ia

pun terburu-buru untuk masuk ke dalam sekolah.

Siswa : Kenapa sih buru-buru?

Siswa : Iya maaf, kirain aku udah telat. Jadi, aku terburu-buru.

Siswa : Baju lu juga kenapa kotor? Emang lu gak mandi?

Siswa : Bajuku emang ini aja.

Siswa : Dasar anak culun! Hahaa..

Siswa : Saat di kelas, ada sekumpulan anak-anak yang sering disebut Geng Imut

yaitu Dinda, Ayu, dan Esti yang sedang membicarakan Yanti.

Siswa : Eh, lu tau ga? Tadi si Yanti masuk sekolah kumel banget ih!

Siswa : Emang iya, emang dia ga punya baju lagi ya?

Siswa : Dia kan bajunya emang jelek! Kotor lagi!

Siswa : Betul tuh! Tadi pagi aja udah buru-buru, baju kotor, bau lagi!

Siswa : Bel masuk pun berbunyi, Kring.. kring.. kring.. Suara gaduh pun

terdengar.

Siswa : Assalamualaikum anak-anak.

Siswa : Waalaikum salam Bu.

Siswa : Gimana kabar kalian hari ini?

Siswa : Alhamdulillah baik Bu.

Siswa : Oke, sekarang buku paket halaman seratus tujuh.

Siswa : Baik bu.

Siswa : Ketika ibu guru sedang menerangkan, Geng Imut terdengar ribut sekali.

Mendengar hal itu, akhirnya ibu guru pun menegur Geng Imut.

Siswa : Eh kalian, ada apa ribut ribut?

Siswa : Engga bu.

Siswa : Kenapa kalian engga merhatiin pelajaran saya?

Siswa : Maaf bu.

Siswa : Coba kalian kerjain soal di depan!

Siswa : Lu sih berisik!

Siswa : Lu juga!

Siswa : Lu yang berisik, gue yang disalahin!

Siswa : Karena tidak bisa mengerjakan, akhirnya Geng Imut dihukum oleh bu

guru, dan bu guru menunjuk Yanti untuk mengerjakan soal di papan tulis.

Siswa : Yanti!

Siswa : Iya bu.

Siswa : Coba kamu kerjakan soal yang ada di papan tulis.

Siswa : Akhirnya Yanti bisa mengerjakan soal di depan dengan benar.

Siswa : Yanti kamu bagus, kamu bisa mengerjakan soal dari saya.

Siswa : Iya bu.

Siswa : Karena Yanti bisa mengerjakan soal di depan kelas dan ibu guru pun

memujinya, Geng Imut pun akhirnya kesal dengan Yanti.

Siswa : Eh lo, anak culun! Jangan sok-sokan deh!

Siswa : Tau lo! Sok banget sih jadi anak!

Siswa : Jangan cari perhatian deh lu di depan anak-anak!

Siswa : Maaf ya, aku bukan mau sok-sokan cari perhatian kok.

Siswa : Alaaah jangan boong deh!

Siswa : Buktinya tadi lo senang kan kita dihukum?

Siswa : Enggak kok.

Siswa : Udah yuk, kita tinggalin aja! Dasar anak culun!

Siswa : Keesokan harinya Geng Imut dan Yanti bertemu di jalan.

Siswa : Eh ada anak culun!

Siswa : Oh iya, ada anak culun. Mau ngapain tuh dia?

Siswa : Dasar bau! Dekil! Jelek! Iihhh!

Siswa : Yanti pun terburu-buru untuk masuk ke dalam kelas dan mengikuti

pelajaran dengan baik. Akhirnya bel istirahat pun berbunyi. Kriing.. kriing.. Yanti

pun bergegas untuk ke kantin karena perutnya sudah lapar. Dengan uang yang

hanya seberapa, Yanti pun membeli makanan berupa nasi uduk dan lauknya hanya

bakwan. Sesudah Yanti memakan makanan yang sudah dibeli, Geng Imut pun

datang mengejek Yanti.

Siswa : Dasar anak kampung! Makanannya cuma nasi uduk sama bakwan!

Hahaa..

Siswa : Kasihan deh lo!

Siswa : Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menghampirinya.

Siswa : Eh Yanti, kamu kenapa kok nangis begini?

Siswa : Enggak apa-apa kak.

Siswa : Eh kalian bertiga! Kalian bertiga ngapain Riyanti sampe Riyanti nangis

gini?

Siswa : Enggak diapa-apain kak.

Siswa : Jangan boong!

Siswa : Bener kok.

Siswa : Melihat Yanti yang masih menangis dan merasakan sakit hati, akhirnya

Kak Zio membawa keluar dari kantin.

Siswa : Iihhh.. Gue kesel banget deh! Kenapa sih Kak Zio selalu belain Yanti?

Siswa : Tau tuh! Anak kampung aja masih dibelain!

Siswa : Iihhh keselll! Keselll.. keselll!

Siswa : Akhirnya mereka bertiga keluar dari Kantin dan bertemu dengan Kak Zio

dan Yanti yang sedang duduk sebelahan di bangku taman. Dengan kesal Esti pun

hanya bisa ngedumel saja.

Siswa : Iiihh.. Maunya apa sih dia? Deket-deketin cowo gue mulu!

Siswa : Cowo lu? Ga salah? Hahaa..

Siswa : Kok lu ngomong gitu sih ke gue!

Siswa : Yailah cuma becanda kali.

Siswa : Lihat tuh, masih aja nangis di depan Kak Zio. Cari perhatian aja sih tuh

orang!

Siswa : Sabar Esti!

Siswa : Gimana mau sabar, gue sama Yanti juga masih cantikan gue! Kenapa Kak

Zio malah deket ke Yanti?

Siswa : Ya mungkin aja emang cantikan Yanti daripada lo! Hahaa..

Siswa : Kurang ajar! Liat aja lo!

Siswa : Saat sedang asyik main kejar-kejaran, bel masuk pun berbunyi. Kriing..

Kriing.. Kriing.

Siswa : Assalamualaikum anak-anak.

Siswa : Waalaikum salam bu.

Siswa : Baiklah, sekarang buka buku paket halaman seratus sepuluh.

Siswa : Baik bu.

Siswa : Bel sekolah pun berbunyi, kriing.. kriing.. kriing. Setelah pulang sekolah,

akhirnya anak-anak pun keluar dari sekolah dan kembali pulang ke rumah

masing-masing. Di tengah perjalanan, Yanti pun sedang berjalan sendirian di

pinggir jalan, tiba-tiba ada sebuah mobil yang sengaja mencipratkan air yang

tergenang di jalanan.

Siswa : Aduh!

Siswa : Hahahaaa..

Siswa : Kasihan deh! Hahaa..

Siswa : Udah baju udah kotor, ditambah kotor, emang enak! Hahaa..

Siswa : Tiba-tiba seorang anak laki-laki datang menghampiri Yanti yang sedang

menangis di pinggir jalan.

Siswa : Kamu gak papa kan Riyanti?

Siswa : Gak apa-apa kak.

Siswa : Beneran gak papa?

Siswa : Iya kak.

Siswa : Yaudah, kamu pulang bareng aku aja ya.

Siswa : Enggak usah ka, aku pulang sendiri aja.

Siswa : Udah gak papa, daripada kamu pulang jalan kaki, mending sama aku aja.

Gimana?

Siswa : Yaudah ka.

Siswa : Melihat Kak Zio dan Yanti berboncengan naik sepeda motor, dan Kak Zio

mengantar Yanti pulang, Geng Imut pun kesal.

Siswa : Iihhh kesel banget gue! Maunya apa sih tuh Yanti?

Siswa : Tau nih! Gue juga kesel!

Siswa : Kenapa harus ditolongin sih?

Siswa : Gagal deh rencana kita!

Siswa : Keesokan harinya, Yanti bergegas untuk berangkat ke sekolah.

Sesampainya di sekolah, bel masuk pun sudah terdengar dan anak-anak pun buru-

buru untuk masuk ke dalam kelas.

Siswa : Assalamualaikum anak-anak.

Siswa : Waalaikum salam bu.

Siswa : Oke hari ini Ibu akan memberikan nilai ulangan kalian.

Siswa : Duh! Nilai gue berapa ini?

Siswa : Gue juga berapa ya ini?

Siswa : Riyanti!

Siswa : Iya bu.

Siswa : Alhamdulillah nilai kamu bagus.

Siswa : Alhamdulillah.

Siswa : Esti Rahmawati!

Siswa : Iya bu.

Siswa : Nilai kamu di bawah KKM, kamu harus belajar sama Yanti ya!

Siswa : Saya enggak salah denger bu?

Siswa : Ya enggaklah, kamu enggak salah denger.

Siswa : Saya gak mau bu!

Siswa : Kamu ini mau gak mau, kamu harus belajar bareng sama Yanti!

Siswa : Dengan terpaksa dan ingin mendapatkan nilai yang bagus, akhirnya Yanti

dan Esti belajar bareng. Sampai saatnya, hari Senin adalah ulangan matematika.

Ulangan telah berlalu, dan pembagian nilai pun akan segera dibacakan.

Siswa : Riyanti!

Siswa : Iya bu.

Siswa : Nilai kamu.. nilai ulangan matematika kamu bagus.

Siswa : Iya bu, alhamdulillah.

Siswa : Esti Rahmawati!

Siswa : Iya bu.

Siswa : Nilai kamu juga bagus.

Siswa : Alhamdulillah.

Siswa : Berkat kamu belajar dengan Riyanti, nilai kamu jadi naik.

Siswa : Akhirnya Esti menjadi baik ke Yanti, karena sudah mau mengajarinya

sampai mendapatkan nilai yang bagus.

Siswa : Yanti, makasih ya, berkat kamu nilai aku bagus.

Siswa : Iya sama-sama Esti.

Siswa : Maaf ya, kalo selama ini aku suka jahat sama kamu.

Siswa : Iya gak apa-apa kok, udah aku maafin.

Siswa : Makasih banyak Yanti.

Siswa : Iya, sama-sama.

Siswa : Sejak hari itu, kami bersahabat, melalui semuanya bersama-sama tanpa

dendam dan permusuhan. Melewati masa SMA dengan sangat indah dengan

persahabatan.

Siswa : Sekian yang dapat kita tampilkan, kurang lebihnya kami mohon maaf.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Guru dan siswa : Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.

Guru : Sini-sini, tunggu bentar ya. Ibu mau tanya ya, ini kok kelompok kamu

kayak sinetron banget ya.

Siswa : Bukan saya yang bikin bu.

Guru : Ini tuh bukan kayak drama ya anak-anak, kalo tadi tuh kayak kelompok

satu gitu kan nampilin Siti Syahadatun ya, biografinya kan, mulai karier jahitnya

gitu kan? Nah ini, biografinya siapa?

Siswa : Ini bu, biografinya Riyanti.

Guru : Iya, tapi ini kok kayak sinetron. Ini tuh bagian kehidupan dia yang

mananya?

Siswa : Ini tuh dari lingkungan sosialnya dia bu.

Guru : Tapi ini endingnya harus jelas, melihat Riyanti ini tuh siapa gitu, ya kan?

Pembaca tuh harus dibawa ya.. dibawa untuk jadi kisahnya seperti apa gitu. Tadi

kan Bu Siti Syahadatun ya, mulai dia dari hobi jait, sampe akhirnya terkenal, ada

endingnya bahwa itu biografi bu Siti Syahadatun. Nah ini, kamu mah ini

kebanyakan nonton sinetron ini. Kayak sinetron banget. Nanti endingnya ibu liat

aja gimana. Ya, emang pernah ibu ambil, ambil satu kisah di hidupnya dia di

lingkungannya, boleh. Ini udah bagus, tapi ini endingnya dia seolah-olah tidak

selesai. Ambil biografinya dia, mengerti ya? Ya ini, jadi kayak sinetron, sinetron

anak-anak ABG. Bisa sih kayak ini, cuma harus diselesaiin endingnya. Nah kalo

ini, kalian lebih banyak menguraikan permusuhannya dia, jadi lebih banyak

menguraikan konfliknya, jadi kayak sinetron. Mengerti ya?

Siswa : Iya bu.

Guru : Yang ketiga, tadi mana teksnya? Iya, mana yang ketiga?

Siswa : Bisa bantuin yang engga masuk gak bu?

Guru : Iya bisa, tapi engga ada hubungannya sama nilai ya. Teksnya sini.

Siswa : Bu, ini ada yang sakit bu.

Guru : Sakit apaan itu? Belaga doang apa sakit beneran itu?

Siswa : Palanya pusing bu, anget bu jidatnya. Bu, izin ke UKS ya bu.

Guru : Yaudah, itu kamu yang ngintilin yang sakit banyak amat. Satu orang aja.

Nanti yang sakit biar dia rebahan dulu di UKS. Kamu abis nganterin dia balik lagi

ke sini.

Siswa : Iya Bu.

Siswa : (Kepada penjaga perpustakaan) Pak, ini pintunya susah dibuka.

Guru : Ya Allah, betot apa neng pintunya, kamu ngintilin yang sakit malah jadi

ikut-ikutan lemes.

Siswa : Iya bu, ini udah bisa.

Guru : Iya sono, kamu yang sakit jalannya bae-bae biar engga jatoh ya.

Siswa : Iya Bu. Makasih.

Guru : Ayo kelompok selanjutnya.

Siswa : Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kami di sini

memerankan teks dialog yang telah kami buat. Saya di sini sebagai Anita.

Siswa : Saya sebagai Anisa.

Siswa : Saya sebagai Agus.

Siswa : Saya sebagai Mama Anita dan Pak Burhan.

Siswa : Pagi ini adalah hari pertama bagi Anita untuk memasuki dunia barunya.

Dunia untuk menuntut ilmu, yaitu lingkungan pendidikan awal atau sekolah dasar.

Sambil menggandeng tangan mamahnya, Marta. Ia berjalan menuju sekolah SDN

Tunas Harapan 2 Bandung, yang berjarak tak jauh dari rumahnya.

Siswa : Nak, kamu nanti di sekolah baik-baik ya, jangan nakal.

Siswa : Iya Mah. Mah, nanti aku gimana Mah? Kan biasanya aku sama Mamah,

terus nanti kalo aku sendiri gimana Mah? Aku takut.

Siswa : Enggak usah takut. Kamu nanti di sekolah ketemu kok sama guru-guru

yang baik, sama teman-teman kamu yang sayang sama kamu.

Siswa : Beneran Mah?

Siswa : Iya bener, Mamah kan selalu berdoa kepada Tuhan agar supaya anak

Mamah, Anita, diberikan kebaikan.

Siswa : Amin! Bener ya Mah.

Siswa : Iya.

Siswa : Tak terasa ternyata mereka berdua telah sampai di depan gerbang SDN

Tunas Harapan 2 Bandung, dan nampak banyak orang tua serta anak-anaknya

memasuki lingkungan sekolah.

Siswa : Udah sampai nih. Masuk dulu gih, masuk kelas.

Siswa : Jadi Mamah ninggalin Nita sendirian gitu di sini?

Siswa : Engga kok, Mamah nungguin di sini. Nanti kalo kamu pulang, kamu

temuin Mamah di sini.

Siswa : Oh gitu, oke deh. Anita masuk ya Mah. Nita sayang sama Mamah.

Siswa : Mamah juga sayang sama Anita.

Siswa : Segera Nita berlari dan memasuki ruangan kelas yang ditunjuk oleh

ibunya. Sesampai di sana, ia langsung duduk di kursi kosong dekat pintu.

Siswa : Aku duduk di mana ya? Ah, aku di sini aja ah.

Siswa : Tanpa sadar, Anita tidak mengetahui bahwa di sebelahnya ada seseorang

yang telah duduk dari tadi.

Siswa : Hei, selamat pagi.

Siswa : Eh selamat pagi juga.

Siswa : Nama kamu siapa?

Siswa : Oh nama aku Anita. Nama aku Anita Agustina, panggil aja Nita. Kalo

kamu siapa?

Siswa : Nama aku Agus, Agustinus Hariadi, panggil aja Agus.

Siswa : Oh gitu. Kita temenan ya.

Siswa : Iya oke.

Siswa : Tiba-tiba di tengah pembicaraan mereka berdua ada dua anak perempuan

menghampiri mereka berdua.

Siswa : Woi Agus! Cieee.. Berduaan aja, hihii..

Siswa : Hei Nisa, jangan gangguin mereka berdua. Hei Agus. Hei juga kamu.

Siswa : Ngomong-ngomong kalian berdua siapa sih? Kok tiba-tiba nyambung aja.

Siswa : Oh iya kenalin, gua Anisa Syarifadila, dan ini nih dia, panggil aja

Mbakyem, kalo engga si Mpok.

Siswa : Enak aja lu! Gak kok nama gua bukan itu. Nama gua Aisyah Teresia

Abdullah, panggil aja Aisyah.

Siswa : Oh gitu, oh ternyata kalian berdua itu Anisa sama Aisyah ya.

Siswa : Eh ngomong-ngomong, kita berempat temenan ya.

Siswa : Iya.

Siswa : Oh yaudah, oke.

Siswa : Oke.

Siswa : Anita, Anisa, Aisyah, serentak berkata “oke”, lalu mereka tertawa

terbahak-bahak. Di saat mereka sedang bercakap-cakap, ternyata bel masuk

berbunyi dan seorang guru pun memasuki kelas mereka.

Siswa : Selamat pagi anak-anak.

Siswa : Selamat pagi pak guru.

Siswa : Perkenalkan nama saya Pak Burhan. Nama saya Pak Burhanudin, dan

panggil Pak Burhan. Saya di sini wali kelas kalian ya, saya juga di sini mengajar

Matematika, jadi, jangan bosen ya sama saya. Hehehee...

Siswa : Iya pak.

Siswa : Kalian semua kayaknya murid-murid yang baik deh.

Siswa : Terima kasih Pak.

Siswa : Untuk permulaan.. untuk permulaan, sebaiknya kita perkenalan dulu,

dimulai dari kamu nih.

Siswa : Lalu setelah itu per anak saling berkenalan di depan kelas, hari itu mereka

saling bercakap-cakap menambah keakraban. Tiba-tiba bel pulang pun berbunyi.

Siswa : Yey udah pulang, ayo kita pulang.

Siswa : Ayo.

Siswa : Mamah.

Siswa : Eh anak Mamah Anita udah pulang, gimana tadi di kelas?

Siswa : Bener kata Mamah, ternyata temen-temen Nita sama guru-guru Nita pada

baik sama Nita. Jadi Mamah enggak boong. Makasih ya Mah.

Siswa : Tuh bener kan, yaudah kamu emang anak yang pinter.

Siswa : Kita pulang Mah.

Siswa : Setelah itu, mereka pulang sambil bercakap dan menceritakan

pengalamannya tadi.

Alkisah bermula dari Uun Khaerunisa yang semasa kecilnya memiliki

pengalaman yang tak terlupakan. Bersekolah di SD Poris Gaga satu, sekitar tahun

seribu sembilan ratus sembilan puluh, ketika ia masih kelas empat SD.

Latar di kantin sekolah.

Aduh, cape kali ya hari ini. Apalagi habis ulang Mtk.

Eh Un, kamu lagi apa di situ?

Oh, ini aku lagi istirahat nih, sambil melepas penat.

Oh, kamu enak ya bisa makan jajanan.

Fadli emang kenapa? Kok lemas gitu?

Iya, soalnya ini uangku hilang, jadi ya gak bisa jajan deh.

Ya udah gapapa. Ini aku pinjemin uang. Dah kamu jajan biar semangat lagi.

Ya gak usah Un, lagi pula ini kan musibah buat ku. Takutnya malah jadi

ngerepotin.

Udah gapapa, terima aja. Ini, aku ikhlas kok.

Ya udah, makasih ya.

Keesokan harinya Uun dan Fadli pun mengerjakan tugas di rumah Fadli.

Eh Un, silahkan masuk ini aku udah siap.

Iya, makasih Fadli.

Ayo kita mulai sja sekarang tugas yang diberikan guru.

Iya, baiklah.

Saat mereka sedang pulang dari sekolah tiba-tiba mereka dihadang oleh dua orang

preman.

Woi, gue minta uang lu sekarang.

Maaf bang, buat apa ya?

Pake nanya segala lagi, ya buat kita berdua lah.

Bang, kalo abang mau dapat uang tuh, kerja bang.

Emang kenapa kalo kerjaan gue bigini?

Tapi bang, ini kan duit kami.

Iya bang.

Ah bodo amat! Selama lu melintas di wilayah gue, lu harus bayar setoran ke kita

berdua! Oke?

Ya, janganlah bang.

Plis.

Oke! Lo pilih bayar sekarang apa lo gue abisin?

Iya bang, ini duitnya.

Lisa dan Stefi melihat peristiwa yang terjadi tentang pemalakan di jalan.

Stef, liat dah di situ, itu kan Fadli sama Uun.

Oh iya, itu mereka ya?

Emm.. Kira-kira mereka kenapa ya dihadang begitu sama preman?

Hah? Astaga Fadli dibentak.

Kayanya nih gak bisa dibiarin nih. Kita harus lapor ke polisi nih, supaya

pemalakan tidak terjadi lagi.

Oke. Yaudah ayo kita lapor.

Sampai di kantor polisi.

Pak permisi, kami mau lapor di sana ada peristiwa premanisme yang melibatkan

teman kami.

Ya, apa bisa beritahu dimana TKPnya?

Bisa pak.

Oke, kita segera ke sana.

Sesampainya di TKP.

Pak itu pak mereka di sana.

Woi, kayanya ada yang ngelapor kita deh di sana.

Wah, iya tuh. Mending kita cabut ya.

Hey, kalian angkat tangan!

Waduh, kita sial nih!

Wooooo... Rasain tuh! Makanya jangan melakukan kejahatan!

Akhirnya mereka pun kembali ke rumah mereka masing-masing tanpa ada rasa

takut, tanpa rasa was-was.

Kenakalan siswa SMP

Waktu menunjukkn pukul tujuh pagi, bel berdering menandakan bahwa semua

murid harus segera memasuki kelas masing-masing, karena jam pelajaran sudah

akan dimulai. Terkecuali Panca dan kawan-kawan yang terkenal sering bolos di

kelasnya. Bahkan, ada sebagian guru yang menyebutnya dengan tukang bolos.

Mereka beranggotakan satu orang laki-laki yaitu Panca, dan dua orang

perempuan, yaitu Alin dan Sisil. Panca adalah anggota dari Geng Tukang Bolos

yang paling nakal, karena Alin dan Sisil hanya berani bolos jam pelajaran saja.

Sedangkan Panca, segala hal yang membahayakan sekali pun dapat ia lakukan.

Udah bel aja dah, padahal gua baru sampe satu menit yang lalu.

Udah gitu gua capek banget lagi, disuruh lari sama Pak Hanafi.

Memang hari bala!

Eh, engga usah ikut pelajaran yuk. Kita ke kantin aja. Males banget pagi-pagi

udah harus ngitung.

Masa kantin? Guru-guru sering banget lewat situ, kan kantin sebelah-belahan

sama kantor guru.

Lah iya, tumben lu bener Sil.

Hmmm.. Dimana ya?

Gimana kalo di taman belakang sekolah, yang deket perpus itu? Perpus juga

engga ada yang jagain, jadi engga ada guru lewat.

Sumpah lu Sil, kalo soal bolos pelajaran emang lu paling jago dah.

Iya lah, namanya juga Sisil.

Udah yuk cepetan! Keburu ketemu Pak Hanafi lagi.

Eh, harusnya tadi ke kantin dulu beli jajanan buat dibawa ke sini.

Duh, gua mah udah engga kepikiran itu dah, cuma was-was ada Pak Hanafi.

Lu mah kan lebay Lin.

Sial! Kalo ketemu dia juga lu pasti kabur kan?

Heheheee...

Udah elah! Ribut mulu kerjaan lu berdua, dehidrasi nih gua.

Pinter dah lu, dehidrasi ya tinggal minum!

Yaudah sonoh! Hati-hati sama Pak Hanafi, ya kan Lin?

Betul sekali.

Beberapa menit kemudian.

Berhasil kan tuh gua beli minum? Pak Hanafi lagi tidur. Lu pada kalo mau ke

kantin buruan.

Ogah ah, entar aja. Gua mau baca novel.

Gua selalu pengen bolos, tapi gua bingung kalo bolos harus ngapain?

Otak lu kan emang miring Sil.

Jahat dah lu.

Tak terasa, bel yang menandakan waktu istirahat pun telah berdering. Geng

Tukang Bolos langsung jalan menuju kantin seperti tidak mempunyai dosa.

Sumpah, padahal gua baca novel dalam hati, tapi haus.

Terbukti kan, sekarang siapa yang otaknya miring?

Udah ah, gua mau makan dulu, laper.

Gua juga.

Yuk!

Lima belas menit kemudian.

Gua udah kelar makan, duluan ya, jangan kangen!

Dih amit-amit!

Menjijikan tau engga sih lu!

Kalo nyariin, gua di kelas ya.

Yaudah sonoh!

Sesampainya di kelas.

Mana dah si Panca? Katanya di kelas.

Kayak engga tau dia aja sih lu? Dia kan tukang boong!

Iya ya, orang tuanya aja sering dibohongi, apalagi kita.

Nah, itu lu tau.

Iya lah, gua kan cerdas.

Oh iya cerdas, di kelas aja peringkat kedua, tapi dari bawah. Hahaa..

Terus aja Lin, bahas terus. Sebel banget gua!

Yaelah maap. Udah yuk, cari si Panca dulu.

Gua tau nih, pasti dia di taman belakang sekolah.

Yaudah ayok cari!

Di taman belakang.

Ini gua salah liat atau engga sih? Itu Panca ngapain bawa-bawa buku?

Lah iya, banyak banget bukunya. Biasanya megang satu buku aja dia ogah.

Panca!

Ih berisik banget nih si Alin!

Ngapain lu bawa-bawa buku sebanyak itu?

Gua lagi butuh uang, mau gua jual-jualin.

Parah dah lu! Masa nyolong buku perpus? Kan ada CCTV.

Udah gua matiin, sebelum gua pasang lagi nanti pasudah selesai.

Gila! Sumpah lu!

Udah ah, engga usah berisik!

Udah biarin aja Sil! Pergi aja yuk! Gua engga mau ikut-ikutan ah kalo gini.

Bel tanda usainya istirahat pun berbunyi.

Teman-teman perhatiannya sebentar ya. Hari ini Bu Sri tidak bisa mengajar,

karena sedang menangani salah satu anak yang bermasalah. Kita tidak diberikan

tugas, tapi teman-teman semua diharapkan tertib. Jangan sampai kelas lain

terganggu. Terima kasih.

Nyesel nih si Panca engga masuk kelas, padahal guru yang dia sebel engga

masuk.

Biarin aja Lin. Lagian ngapain si dia nekat sampe nyolong barang milik sekolah

kayak gitu?

Eh, tapi gua penasaran dah, anak nakal mana lagi yang ditangani sama Bu Sri?

Engga usah penasaran, mending kita ke ruang BK sekarang, kan bisa ngintip.

Di depan ruang BK.

Asstaghfirullah! Ternyata si Panca yang lagi ditangani. Pasti dia ketahuan

mengambil buku milik sekolah.

Biarin aja dah. Anak kayak gitu emang sekali-kali harus diberi peringatan!

Iya juga sih. Balik ke kelas aja yuk!

Satu jam pertama telah usai.

Eh Sil, nengok dah ke jendela, ada Panca lagi nyender.

Ayok samperin!

Yuk!

Eh Panca, ngapain lu di situ?

Sumpah gua kaget! Gua mau ngambil tas nih, mau bersantai-santai di rumah. Gua

kena skorsing satu minggu.

Enak dong engga sekolah?

Otak lu emang selalu miring Sil!

Issh! Eh Panca, mau gua ambilin engga nih tas lu?

Buruan ya! Gua mau langsung cabut.

Pulang langsung bilang orang tua lu, kalo lu dapet skorsing?

Urusan gampang itu mah.

Nih tas lu!

Oke, makasih Sil. Gua cabut dulu, sampai ketemu satu minggu lagi.

Akhirnya Panca pulang karena mendapat skorsing setelah perbuatannya diketahui.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Pitri Puspita Dewi lahir di Tangerang pada 17 Mei 1994.

Anak ke dua dari dua bersaudara pasangan Safrudin

Perwira Negara dan Murni Handayani ini memulai

pendidikannya di SD Muhammadiyah 1 Gondrong

Tangerang pada tahun 2000-2006. Selanjutnya

meneruskan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama

pada tahun 2006-2009 di SMP Negeri 10 Kota Tangerang, berlanjut pada Sekolah

Menengah Atas di SMA Negeri 3 Kota Tangerang pada tahun 2009-2012. Penulis

masuk Universitas Islam Negeri Jakarta melalui tes Mandiri di tahun 2012 pada

program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Peneliti pernah mengikuti

program PPKT di MA Annajah Jakarta sebagai guru mata pelajaran Bahasa

Indonesia. Sampai saat ini peneliti aktif sebagai pengajar di SMP Nurul Hikmah

Kota Tangerang.