konstruksi sosial hukum adat pernikahan...

22
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016 1 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PERNIKAHAN MASYARAKAT BATAK (Studi pada masyarakat Batak di Surabaya ) Oleh : FIRMAN SONDANG NIM: 071211433054 Program Sarjana Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Airlangga Semester Genap/Tahun 2015/2016 Abstrak Pernikahan Adat dalam masyarakat Batak adalah salah satu mata rantai kehidupan yang tata pelaksanaanya melalui hukum-hukum adat yang sudah melekat dari dulu hingga saat ini dan hal tersebut berasal dari para leluhur masyarakat Batak . Pernikahan Adat Batak mengandung nilai sakral, yang disertai dengan perlengkapannya. Kesakralan pernikahan Adat Batak terlihat ketika adanya pengorbanan bagi parboru, permasalahan batasan dalam pernikahan adat Batak bukan masalah baru yang ada dalam masyarakat. Praktik batasan dalam pernikahan ini diduga telah terjadi sejak lama. Dewasa ini, praktik pembatasan dalam pernikahan masyarakat Batak telah tersebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Dan kondisi sosial tersebut dikarenakan kondisi masyarakat Batak yang semakin menyebar luas fokus dalam penelitian ini tentang konstruksi sosial masyarakat Batak mengenai batasan dalam pernikahan adat Batak. Tujuan penelitian meliputi mengetahui bagaimana kontruksi sosial masyarakat Batak mengenai batasan dalam pernikahan adat Batak. Penelitian ini menggunakan Teori Konstruksi Sosial yang didapat dari buku Peter L Berger dan Thomas Luckmann dan Tindakan sosial Max Weber. Teori tersebut digunakan sebagai pisau analisis fenomena sosial mengenai batasan dalam pernikahan adat Batak, dengan menggunakan data kualitatif dengan paradigma konstruktivisme dengan teknik pengambilan informan secara purposif sehingga diperoleh enam subyek. Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan Orang Batak, khususnya yang merantau, memiliki pemahaman bahwa aturan adat telah mengalami pergeseran. Dari hukum adat pernikahan Batak yang menganut nilai-nilai tradisional tetapi pernikahan saat ini lebih mementingkan nilai toleransi, ketika berada diperantauan. Keaktifan dalam perkumpulan tidak menjadi jaminan bagi masyarakat Batak untuk tidak melanggar perkawinannya. Kata kunci : Konstruksi sosial, adat Batak

Upload: trantuyen

Post on 05-Mar-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

1 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PERNIKAHAN MASYARAKAT

BATAK

(Studi pada masyarakat Batak di Surabaya )

Oleh : FIRMAN SONDANG

NIM: 071211433054

Program Sarjana Sosiologi

Departemen Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik

Universitas Airlangga

Semester Genap/Tahun 2015/2016

Abstrak

Pernikahan Adat dalam masyarakat Batak adalah salah satu mata rantai

kehidupan yang tata pelaksanaanya melalui hukum-hukum adat yang sudah

melekat dari dulu hingga saat ini dan hal tersebut berasal dari para leluhur

masyarakat Batak . Pernikahan Adat Batak mengandung nilai sakral, yang disertai

dengan perlengkapannya. Kesakralan pernikahan Adat Batak terlihat ketika

adanya pengorbanan bagi parboru, permasalahan batasan dalam pernikahan adat

Batak bukan masalah baru yang ada dalam masyarakat. Praktik batasan dalam

pernikahan ini diduga telah terjadi sejak lama. Dewasa ini, praktik pembatasan

dalam pernikahan masyarakat Batak telah tersebar ke berbagai wilayah di

Indonesia. Dan kondisi sosial tersebut dikarenakan kondisi masyarakat Batak

yang semakin menyebar luas fokus dalam penelitian ini tentang konstruksi sosial

masyarakat Batak mengenai batasan dalam pernikahan adat Batak. Tujuan

penelitian meliputi mengetahui bagaimana kontruksi sosial masyarakat Batak

mengenai batasan dalam pernikahan adat Batak. Penelitian ini menggunakan

Teori Konstruksi Sosial yang didapat dari buku Peter L Berger dan Thomas

Luckmann dan Tindakan sosial Max Weber. Teori tersebut digunakan sebagai

pisau analisis fenomena sosial mengenai batasan dalam pernikahan adat Batak,

dengan menggunakan data kualitatif dengan paradigma konstruktivisme dengan

teknik pengambilan informan secara purposif sehingga diperoleh enam subyek.

Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan Orang Batak, khususnya yang

merantau, memiliki pemahaman bahwa aturan adat telah mengalami pergeseran.

Dari hukum adat pernikahan Batak yang menganut nilai-nilai tradisional tetapi

pernikahan saat ini lebih mementingkan nilai toleransi, ketika berada

diperantauan. Keaktifan dalam perkumpulan tidak menjadi jaminan bagi

masyarakat Batak untuk tidak melanggar perkawinannya.

Kata kunci : Konstruksi sosial, adat Batak

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

2 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

PENDAHULUAN

Pernikahan adalah salah satu

peristiwa penting walaupun tidak

menjadi suatu keharusan bagi setiap

individu. Pernikahan bagi

masyarakat yang berbudaya tidak

hanya sekedar meneruskan naluri

para leluhur secara terus-menerus

untuk membentuk suatu keluarga

dalam ikatan resmi antara laki-laki

dan perempuan, tetapi juga memiliki

arti yang sangat luas bagi

kepentingan manusia itu sendiri serta

lingkungannya. Upacara pernikahan

memiliki ragam dan variasi antar

bangsa, suku satu dengan yang lain

dalam suatu bangsa, agama, budaya,

maupun kelas sosial. Namun,

pengesahan secara hukum suatu

pernikahan hanya akan terjadi ketika

dokumen tertulis yang mencatat

pernikahan ditandatangani. Undang-

undang pernikahan Indonesia tahun

1974 menyebutkan bahwa

pernikahan adalah ikatan lahir dan

batin seorang laki-laki dan

perempuan sebagai suami-istri

dengan tujuan membentuk keluarga

dan rumah tangga yang berbahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa.

Adat dan upacara pernikahan

pada dasarnya akan tetap ada dalam

masyarakat berbudaya, walau dalam

batas ruang dan waku akan

senantiasa mengalami perubahan.

Akan tetapi, perubahan tersebut akan

selalu menjadi unsur budaya yang

dihayati terus-menerus, karena adat

dan upacara pernikahan mengatur

dan mengukuhkan suatu bentuk

hubungan antar manusia yang

berlainan jenis dalam masyarakat.

Pernikahan Adat memiliki tata cara

yang telah ada dan disepakati dalam

masyarakat. Tata cara yang telah

disepakati tentu memiliki makna dan

nilai-nilai tertentu sesuai dengan

kebiasaan yang berlaku dalam

masyarakat tersebut. Masyarakat

Batak misalnya, terdiri dari berbagai

macam sub-suku yang berdomisili di

wilayah Sumatra Utara jika dilihat

menurut tanah kelahirannya, di

antaranya, Karo, Mandailing-

Angkola, Simalungun, Pakpak,

Samosir, Humbang, dan Padang

Lawas. Secara umum etnis Batak

lebih dikenal dengan 4 (empat) sub-

suku yakni Batak, Batak

Simalungun, Batak Mandailing, dan

Batak Karo. Setiap adat dari masing-

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

3 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

masing sub-suku tidak semua sama,

sebab setiap sub-suku tersebut

memiliki tata cara, bahasa, bahkan

lagu yang berbeda, termasuk

perbedaan tata cara pernikahan Adat.

Pernikahan Adat dalam

masyarakat Batak adalah salah satu

mata rantai kehidupan yang tata

pelaksanaanya melalui hukum-

hukum adat yang sudah melekat dari

dulu hingga saat ini dan hal tersebut

berasal dari para leluhur masyarakat

Batak . Pernikahan Adat Batak

mengandung nilai sakral, yang

disertai dengan perlengkapannya.

Kesakralan pernikahan Adat Batak

terlihat ketika adanya pengorbanan

bagi parboru (pihak mempelai

perempuan), karena pihak mempelai

perempuan berkorban memberikan

satu nyawa manusia yakni anak

perempuannya kepada pihak paranak

(pihak mempelai laki-laki).

Balasannya, kemudian pihak laki-

laki juga harus menghargai besannya

dengan mengorbankan atau

mempersembahkan satu nyawa juga

yakni seekor hewan (sapi atau

kerbau), yang nantinya akan

dijadikan santapan (makanan adat)

dalam ulaonunjuk-unjuk atau adat

pernikahan tersebut. Bukti bahwa

makanan tersebut adalah hewan yang

dikorbankan secara utuh, maka pihak

laki-laki harus menyerahkan bagian-

bagian tertentu dari hewan tersebut

(kepala, leher, rusuk melingkar,

pangkal paha, bagian bokong dengan

ekor yang masih melekat, hati,

jantung, dll) (Vergouwen, 2004:

229).

Pernikahan adat Batak

adalah Eksogami, artinya tidak

diperkenankan mengambil isteri

maupun suami dari kelompok

sendiri. Karena masyarakat Batak

memiliki identitas sebagai orang

Batak dan tali kekerabatan yang erat

di mana pun mereka berada.

Perkawinan merupakan upacara yang

sakral bagi suku Batak dan salah

satu upaya untuk mempertahankan

kekerabatan yang terbentuk melalui

falsafah Dalihan Natolu. Melalui

sistem perkawinan sesama suku

ataupun pemberian marga jika terjadi

perkawinan di luar suku mereka.

Sekalipun di daerah rantau, suku

Batak berusaha untuk

mempertahankan identitas sebagai

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

4 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

orang Batak. Bagi orang Batak

jaman dahulu, cinta sebelum

perkawinan tidak perlu. Cinta

dianggap tumbuh dengan sendirinya

setelah anak lahir, terlebih setelah

kelahiran anak laki-laki. Istri yang

telah melahirkan anak laki-laki,

dianggap telah menunaikan tugas

sejarahnya. Dia disebut boru naung

gabe (perempuan yang diberkati

berketurunan), dia menerima

penghargaan dari suaminya,

hidupnya sudah terjamin meski

suaminya meninggal lebih dulu.

Bahkan meski perkawinan awalnya

tidak diinginkan dan terjadi di bawah

tekanan, bisa menjadi perkawinan

marrongkap gabe (berjodoh dan

diberkati berketurunan) setelah

kelahiran anak laki-laki. Namun

kelahiran anak perempuan membuat

hidup sebuah keluarga menjadi lebih

sempurna (J.C. Vergouwen, 1986,

hal 212-213).

Secara kultural, setiap orang

Batak khususnya orang Batak

menganjurkan kepada keturunan-

keturunannya untuk melakukan

perkawinan yang satu suku, agar

nilai-nilai dari Dalihan Natolu, nilai-

nilai yang sudah menjadi prinsip

masyarakat Batak memunculkan

sebuah norma yang mengatur

perkawinan Batak, norma tersebut

menjadi prinsip oleh semua

masyarakat Batak. Dalam

perkawinan Batak ada perkawinan

terlarang istilah yang disebut

“marsubang”. Termasuk dalam

perkawinan terlarang apabila orang

yang melakukan perkawinan

terlarang terhadap Iboto (saudara

perempuan dari anggota marga

sendiri). Hubungan lain yang tidak

diperkenankan adalah marpadan

(ikrar janji). Bagi orang Batak yang

melanggar peraturan perkawinan

tersebut, akan dikenakan hukuman

yaitu dibakar hidup-hidup oleh

masyarakat setempat, diusir dari

kampung serta dicoret dari silsilah

keluarga.

Melalui pemaparan yang

telah diuraikan diatas adat

perkawinan Batak menjadi

kompleks ketika ada sebuah kasus

perkawinan yang sudah berbeda

marga tetapi tidak diperbolehkan

karena adanya larangan. Menurut

J.C. Vergouwen sudah ada yang

melanggar adat perkawinan Batak ,

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

5 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

misalnya Marga Hasibuan dengan

marga Hasibuan, marga Harahap

dengan marga Harahap, marga

Nasution dengan marga Nasution,

dan sebagainya. (J.C. Vergouwen,

1986:35). Selain itu, ada juga studi

terdahulu yang telah telah

dipaparkan oleh Xaverus Leonardo

tentang Perkawinan Endogami

Dalam Hukum Adat Batak (Studi

Kasus Perkawinan Richard

Nainggolan Lumbanraja dengan

Rumida boru Nainggolan). Akibat

hukum perkawinan endogami dalam

masyarakat adat Batak adanya

kepercayaan ketika ada yang

melakukan perkawinan endogami

atau perkawinan satu marga akan

terjadi cacat pada anak dari hasil

perkawinan endogami.

Semakin majunya zaman dan

berkembangnya ilmu pengetahuan

telah membuat segala macam

pemikiran manusia untuk lebih maju

(modern) dalam segala aktifitas

kehidupannya sehari-hari.

Perkembangan zaman yang muncul

sebagai fenomena modernisasi dapat

membuat banyak tradisi di dalam

suatu kebudayaan mulai mengalami

kelonggaran secara perlahan.

Dampak modernisasi yang positif

dan negatif terhadap hubungan

kekerabatan dapat mempengaruhi

tingkah laku masyarakatnya, dalam

hal ini kelompok sosial yang sudah

terbentuk atas dasar hubungan yang

kuat serta kesamaan pemikiran dan

tujuan. Dalam hal ini penelitian

dilakukan di Surabaya hal tersebut

dikarenakan Surabaya merupakan

kota yang memiliki perkembangan

zaman cukup pesat dan mempunyai

kemungkinan untuk melonggarkan

atau mengaburkan tradisi yang ada

dalam suatu kebudayaan, dan

Surabaya juga merupakan salah satu

kota tujuan perantauan orang Batak.

Peneliti tertarik bahwa sudah

ada orang Batak yang melanggar

adat perkawinan Batak apakah

fenomena pelanggaran tersebut

merupakan bentuk penyimpangan

atau merupakan perubahan sosial.

Dari paparan realitas diatas maka di

rumuuskan fokus masalah bagaimana

bagaimana kontruksi sosial

masyarakat Batak mengenai hukum

dalam pernikahan adat Batak

Penelitian ini menggunakan metode

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

6 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

penelitian kualitatif dengan

menggunakan pendekatan konstruksi

teknik sasaran pengambilan informan

menggunakan purposif

KERANGKA TEORITIK

Teori Konstruksi Sosial (Peter L.

Berger & Thomas Luckmann)

Masyarakat sebagai Realitas

Objektif

Berger mengungkapkan

pandangannya tentang masyarakat

merupakan realitas objektif.

Masyarakat tercipta sebagai realitas

objektif karena adanya berbagai

individu yang mengeksternalisasikan

dirinya dengan mengungkapkan

subjektivitas konstruksinya melalui

aktivitas yang dilakukannya (Samuel

2012: 27).

Aktivitas yang dilakukan

individu ini terjadi secara terus-

menerus dan berulang, namun tidak

berarti pengulangan aktivitas ini

tidak mengalami perubahan.

Pengulangan aktivitas dalam istilah

Berger menyebutnya “habitualisasi”

(Ludwig 2012: 63-66). Habitualisasi

merupakan pengulangan tindakan

atau aktivitas individu, melakukan

tindakan atau aktivitas di masa kini

atau masa depan yang kurang lebih

sama dengan tindakan atau aktivitas

di masa lampau. Selanjutnya, Berger

mengemukakan bahwa dengan

adanya aktivitas yang mengalami

habitualisasi ini memunculkan

tipifikasi. Habitualisasi dan tipifikasi

ini tidak hanya terjadi pada satu

aktor saja, tetapi melibatkan dua

orang atau lebih dan seluruh

manusia. Tipifikasi yang terjadi satu

dengan yang lain saling

berkorespondensi yang

memungkinkan terbentuknya pranata

sosial. Tipifikasi resiprositas dapat

berubah menjadi institusi sosial bila

eksistensinya telah berlaku secara

luas, eksternal (objektif), dan koersif

(memaksa) terkadang masing-masing

individu pembentuknya. Ini

merupakan proses terbentuknya

tatanan institusional masyarakat.

Pada dasarnya masyarakat

muncul karena adanya individu-

individu yang memiliki pengalaman

bersama sebagai hasil pertalian

individu atau aktivitas yang

dilakukan masing-masing.

Pengalaman bersama ini merupakan

satu kesatuan yang utuh, yang lain

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

7 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

dari akumulasi pengetahuan individu

(individual’s stock of knowledge).

Ada kekhasan tersendiri dari

pengalaman bersama dibandingkan

dengan pengalaman individual.

Pertama, pembentukan pengalaman

bersama tidak melibatkan semua

pengalaman individu, melainkan

hanya sebagian saja, yaitu

pengalaman yang mengendap dan

bertahan dalam ingatan manusia.

Kedua, pengalaman bersama bersifat

objektif dan pengalaman individu

bersifat subjektif. Namun

pengalaman individu ini dapat

bersifat objektif ketika telah

dikomunisikan bersama individu

yang lain melalui simbol-simbol

terutama bahasa. Dengan begitu,

pengalaman individual ini dapat juga

tersedia menjadi akumulasi

pengalaman bersama bagi mereka

yang tidak memiliki pengalaman

individu yang sama. Ketiga,

akumulasi pengalaman bersama

(shared stock of knowledge) ini

tidak terlepas dari akumulasi

pengalaman yang telah terjadi. Tidak

menutup kemungkinan akumulasi

pengalaman bersama ini bertambah.

Dan akumulasi pengalaman bersama

yang terus-menerus berlangsung ini

dikenal sebagai tradisi. Namun, tidak

semua akumulasi pengalaman

bersama dapat menjadi tradisi.

Keempat, akumulasi pengalaman

bersama yang terbentuk dari

pengalaman individual akan

melewati proses objektif di mana

kedudukan pengalaman bersama

tersebut menjadi pedoman berpilaku

masyarakat luas.

Masyarakat sebagai Realitas

Subjektif

Menurut Berger, pada

masyarakat sebagai realitas subjektif,

terdapat hubungan dialektis

didalamnya, di mana ada proses

hubungan saling membentuk dan

menentukan. Bagi Berger, ketika

manusia lahir, ia hanya memiliki

kesiapan untuk menerima kehadiran

masyarakat dalam kesadarannya.

Seiring dengan kesiapan manusia

menerima masyarakat dalam

kesadaran sendiri inilah proses

internalisasi berlangsung.

Internalisasi merupakan proses di

mana manusia menyerap

pengetetahuan dunia yang dihuninya.

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

8 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

Proses internalisasi ini tidak

menghilangkan kedudukan realitas

objektif atas persepsi individu.

Internalisasi hanya menyangkut

penginterpretasian realitas objektif

menjadi realitas subjektif menjadi

pengetahuan yang hadir dan

mengendap dalam kesadaran

individu. Internalisasi berlangsung

seumur hidup manusia, baik itu

sosialisasi primer maupun sosialisasi

sekunder. Terdapat perbedaan antara

subjek yang mengalami sosialisasi,

“materi sosialisasi”, maupun orang-

orang yang bertugas

menginternalisasi. Pada saat

sosialisasi primer, individu

ditanamkan sifat-sifat umum yang

berlaku pada masyarakat. Ketika

sosialisasi primer, individu juga

memperoleh identitas diri.

Sedangkan pada saat sosialisasi

sekunder, individu mengenali sifat-

sifat khusus yang berlaku pada sektor

tertentu saja. Adapun sosialisasi

sekunder ini ada kelanjutan dari

sosialisasi primer.

Perbedaan sosialisasi primer

dan sosialisasi sekunder juga dapat

dilihat dari aspek yang mengalami

sosialisasi. Dalam sosialisasi primer,

aspek biologis sangat

dipertimbangkan (kita tidak bisa

mengajarkan balita untuk bermain

catur atau belajar berdialektika). Hal

ini tentu berbeda pada proses

sosialisasi sekunder. Keterbatasan

aspek biologis tentu ada, namun

tidak begitu dipertimbangkan. Selain

aspek biologis, aspek ketertarikan

emosional antar kedua pihak (pelaku

internalisasi dan orang yang

mengalami internalisasi) juga

menentukan kelancaran proses

sosialisasi. Menurut Berger (2012:

177), inti dari proses internalisasi

adalah proses penerimaan definisi

situasi institusional yang

disampaikan orang lain. Individu

akhirnya sampai pada memahami

definisi orang lain, tetapi seiring

dengan pemahaman definisi tersebut,

individu bersama dengan individu

yang lain mampu menjalin

pendefinisian yang mengarah pada

pembentukan definisi bersama. Jika

sudah sampai pada tahap ini, artinya

individu bisa dianggap menjadi

bagian dari masyarakat

sesungguhnya., yaitu dapat berperan

aktif dalam pembentukan

masyarakatnya.

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

9 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

Salah satu tugas pokok pada

sosiologi pengetahuan adalah

menjelaskan adanya dialektika antara

diri (self) dengan dunia sosio-

kultural. Dialektika ini berlangsung

dalam suatu proses dengan tiga

tahapan simultan, yakni sebagai

berikut (Berger 2012: 181)

1) Eksternalisasi, merupakan

proses penyesuaian diri

dengan dunia sosio-kultural

sebagai produk manusia

2) Objektivasi, merupakan

proses di mana proses

interaksi sosial dalam dunia

intersubjektif yang

dilembagakan atau

mengalami proses

institusionalisasi

3) Internalisasi, proses di mana

individu mengidentifikasi diri

dengan lembaga-lembaga

sosial atau organisasi sosial

tempat individu menjadi

anggotanya.

Teori Tindakan Sosial (Max

Weber)

Rasionalitas merupakan konsep

dasar yang digunakan Weber dalam

klasifikasinya mengenai tipe-tipe

tindakan sosial.Pembedaan pokok

yang diberikan adalah tindakan

rasional dan nonrasional.Tindakan

rasional berhubungan dengan

pertimbangan yang sadar dan pilihan

bahwa tindakan itu dinyatakan. Atas

dasar rasionalitas tindakan sosial,

Weber membedakannya ke dalam

empat tipe. Semakin rasional

tindakan social itu semakin mudah

pula dipahami. Empat tipe tindakan

social tersebut antara lain:

Rasionalitas instrumental,

Rasionalitas berorientasi nilai,

tindakan tradisonal dan tindakan

afektif.

PEMBAHASAN

Batasan Marga Dalam Realitas

Sosial Objektif dikalangan

Masyrakat Adat Batak

Batasan marga dalam

pernikahan adat Batak menurut

logika normal masyarakat Batak

memang harus dilakukan. Karena

batasan marga dalam pernikahan

adat Batak yang aktivitas di lakukan

di dalam ritual pernikahan

merupakan ajaran yang berkembang

di masaykrat Batak dan dilegistimasi

oleh gereja HKBP. Kondisi seperti

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

10 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

ini diungkapkan oleh informan dari

pihak tokoh agama maupun dari

warga Batak yang masih melakukan

aturan tersebut. Anggapa tersebut

dikarenakan atas pengalaman

keluarganya. analisis ini hanya ingin

mencoba membentuk wacana tentang

pemikiran masyrakat adat Batak

yang mendifinisikan batasan marga

dalam pernikahan adat dengan

bentuk yang lebih sosiologis. Teori

yang dipakai adalah konstruksi Peter

L. Berger dan Thomas Lukmann

dalam buku The Social Construction

of Reality: A Treatise in the

Sociology of Knowledge. Dalam

bukunya tersebut, Berger dan

Luckmann mengupas tentang adanya

dua objek pokok realitas berkenaan

dengan pengetahuan, yaitu realitas

objektif sebagai fakta sosial dan

realitas subjektif berupa pengetahuan

individual.

Terdapat hubungan yang

dialektis antara realitas objektif

dengan realitas subjektif. Realitas

subjektif berupa pengetahuan

individu akan berproses menjadi

realitas objektif, yakni ketika

pengetahuan tersebut menjadi

pengetahuan bersama. Proses

eksternalisasi, dilanjutkan

internalisasi, dan diakhiri dengan

pengelompokkan tipe atau

skematifikasi. Terdapat realitas

subjektif yang dinegoisasikan dan

ada pula yang dipaksakan. realitas

objektif berlaku umum dan sebagai

fakta sosial ia memiliki kemampuan

memaksa.

Terbentuknya realitas

objektif, berlangsung proses

intersubjektif konsensus. Di mana

individu sebagai aktor dengan

kebebasannya saling menegosiasikan

pengetahuannya. Pada akhirnya,

intersubjektivitas tersebut

membentuk realitas objektif, baik

antardua orang maupun lebih.

Realitas subjektif adalah

“pengetahuan individual”, sedangkan

realitas objektif disebut dengan

“pengetahuan sosial”. Konsep

pengetauan sosial mendifinisikan

Masyarakat sebagai realitas objektif

yang terbentuk melalui pelembagaan

(institutionalization). Proses

pelembagaan tersebut diawali dengan

proses eksternalisasi yang dilakukan

secara berulang-ulang sehingga

menghasilkan pola dan dapat

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

11 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

dipahami bersama. Hal ini lalu

menghasilkan proses pembiasaan. Di

mana pembiasaan yang telah lama

berlangsung tersebut cukup

memunculkan pengendapan.

Pengendapan di sini ialah

pengendapan yang disebut dengan

tradisi yang kemudian diwariskan ke

generasi selanjutnya. Media untuk

mewariskan tradisi tersebut adalah

bahasa sebagai instrumen yang

sangat penting. Terbentuknya realitas

objektif juga melalui tahap

legitimasi, di mana legitimasi

merupakan proses objektivasi

makna, karena selain menyangkut

penjelasan juga mencakup nilai-nilai

yang digunakan. Legitimasi tersebut

berfungsi untuk membuat objektivasi

yang telah melembaga menjadi

masuk akal secara subjektif.

Realitas objektif batasan

marga yang berkembang pada

kalangan masyrakat Batak di

Indonesia sebagai budaya adat yang

di legistimasi oleh ajaran agama.

Dalam masa itu, realitas objektif

batasan marga dalam pernikahan

adat Batak dibentuk melalui

dialektika pemikiran intersubjektif.

Batasan marga merupakan kondis

yag harus dilalui oleh masyarakat

Batak dalam melakukan ritual

pernikahan. Akan tetapi, berorientasi

kepada masa depan, setiap aktivitas

manusia selalu memiliki tujuan yang

ingin dicapai.

Penjelasan dari sudut

pandang lain tindakan melanggar

batasan marga dalam pernikahan

sebagai tindakan yang tidak sesuai

norma dialami oleh yang melanggar

batasan pernikahan. Berdasarkan

pengalaman dari orang Batak,

tindakan melanggar batasan marga

sering kali berorientasi pada

kepercayaan bahwa tindakan tersebut

tidak sesuai dengan ajaran adat.

Pengalaman yang di terima dari

orang Batak tesebut dilihat dari

respon yang diterima warga terhadap

kehidupan sosial orang Batak

tersebut. Respon tersebut merupakan

representasi tindakan melanggar

batasan sehingga berdampak pada

adanya pemberian sanksi. Selain itu,

alasan lain yang mengakibatkan

tindakan melanggar batasan adalah

masuknya unsur agama. Alasan-

alasan tersebut nyata dan benar

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

12 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

terjadi, sehingga pelanggaran

terhadap batasan marga masih

dianggap sebagai isu kontemporer

saat ini.

Persoalan mengenai batasan

marga dalam pernikahan adat Batak

melalui proses eksternalisasi,

objektivasi dan internalisasi yang

secara bersamaan membentuk

fenomena yang terjadi di masyarakat.

Manusia dipaksa untuk

mengeksternalisasikan dirinya.

Eksternalisasi merupakan keharusan

antropologis (Berger 1990: 71).

Maksudnya adalah keberadaan

manusia tidak mungkin berlangsung

dalam suatu lingkungan yang

tertutup dan tanpa gerak. Keberadaan

manusia harus terus-menerus

mengeksternalisasikan diri dalam

aktivitas. Masyarakat bersama-sama

mengeksternalisasikan dirinya dalam

aktivitas bersama dan karena proses

itu menghasilkan suatu realitas baru.

Dunia ini termasuk bagian yang

disebut dalam struktur sosial,

memperoleh status realitas objektif.

Dunia itu pula, yang disebut sebagai

suatu realitas objektif,

diinternalisasikan dalam proses

sosialisasi menjadi bagian

pembentukan dari kesadaran

subjektif individu yang tersosialisasi.

Eksternalisasi adalah suatu pencurah-

dirian manusia secara terus-menerus

ke dalam dunia, baik dalam aktivitas

fisik maupun mental. Objektivasi

merupakan proses disandangnya

produk-produk aktivitas itu (fisik dan

mental). Tahap selanjutnya,

eksternalisasi masyarakat sebagai

produk manusia menjadi realitas

objektif dimana pengetahuan

individu terintegrasi satu sama lain

dalam struktur (Berger 1990: 71).

Realitas objektif batasan

marga dalam pernikahan adat Batak

dipahami berbeda oleh setiap

individu. Pemikiran tersebut

dituangkan dalam pemikiran

subjektif mengenai batasan marga

dalam pernikahan adat Batak dan

dideskripsikan batasan marga dalam

pernikahan adat merupakan refleksi

adat yang membatasi pernikahan

berdasarkan cinta (afektif) dan

sebagainya bukan lagi realitas sosial

objektif, melainkan realitas sosial

subjektif.

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

13 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

Dalam hal ini proses

ekternalisasi masyarakat Batak

mengenai batasan marga sebagai

realitas dalam pernikahan, yang

mana hal terebut dapat terjadi

pergeseran pengatahuan baru dalam

masyarakat Batak di di luar kampung

halaman hal tersebut di sampaikan

oleh BS, JP, DP dan RS yang

menjelaskan bahwa adanya

pengetahuan baru dalam memahami

batasan marga dalam penikahan

hukum adat Batak.

Selanjutnya, Objektivasi

merupakan proses disandangnya

produk-produk aktivitas itu (fisik dan

mental). Tahap selanjutnya,

eksternalisasi masyarakat sebagai

produk manusia menjadi realitas

objektif dimana pengetahuan

individu terintegrasi satu sama lain

dalam struktur hal tersebut dapat

terlihat dari adanya masyarakat adat

yang melanggar hukum penikahan

adat, hal tersebut di karenakan

adanya nilai toleransi sebagai

pedoman baru, dan hal tersebut telah

menjadi hal yang biasa di kalangan

masyarakat hal tesebut di sampaikan

oleh TW dan RS

Selanjutnya, internalisasi

ialah identifikasi diri dalam dunia

sosial yang mana suatu proses

individu melakukan identifikasi diri

dalam dunia sosial, dalam hidup

bermasyarakat manusia senantiasa

dituntut untuk menyesuaikan diri

dengan lingkungan sosial melalui

suatu proses, yakni proses sosialisasi.

Menurut Berger proses sosialisasi

terdapat dua kategori yakni

sosialisasi primer dan sosialisi

sekunder, dalam hal ini adanya

pergeseran nilai hukum adat

penikahan adat di karenakan adanya

sosialisasi sekunder yakni adanya

pengaruh dari lingkungan yang

membikin pergeseran nilai hukum

adat penikahan Batak, hal tersebut di

sampaikan oleh RS yang

menjelaskan hukum adat Batak tidak

sekental di kampung halaman.

Dari hasil proses ketiga

tahapan ekternalisasi,Objektifikasi

dan Internalisasi tersebut dapat di

ketahui bahwa Batasan hukum adat

pernikahan merupakan identitas

kesukuan yang mengandung nilai-

nilai tradisonal tetapi adanya

pengaruh lingkungan di luar Batak

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

14 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

itu sendiri membuat hukum

penikahan adat Batak menjadi

tergeser karena adanya nilai baru

yakni nilai toleransi.

Batasan Marga Sebagai Realitas

Sosial Subjektif dikalangan

Masyarakat Pelanggar Aturan

Adat Pernikahan Batak

Batasan marga sebagai aturan

Batak yang membatasi setiap warga

Batak untuk memilih orang yang

dicintai dalam pernikahan

merupakan bentuk dari fenomena

dimana terungkap adanya proses

dialektis antara realitas objektif

dengan realitas subjektif. Batasan

pernikahan sebagai buah

pengetahuan yang terintegrasi satu

sama lain melalui proses sosialisasi

tidak selalu berbanding lurus dengan

realitas subjektif di tingkat

individual. Didapati fakta bahwa

proses sosialisasi mengenai batasan

pernikahan tidak hanya dipengaruhi

orang tua, melainkan juga

sosiokultural tempat individu

berdomisili serta nilai – nilai lain

seperti nilai agama dan budaya dari

luar. Akibat yang timbul dari adanya

pertentangan antara realitas objektif

dalam bentuk aturan adat dengan

tindakan individual yaitu pergeseran

nilai dalam lingkup rumpun dan

adanya sanksi sosial seperti

pengucilan. Proses tersebut

berlangsung bagi masyarakat yang

melanggar aturan batasan marga,

bukan hanya yang secara langsung

melanggar, melainkan juga dari

anggota keluarga yang melakukan

pelanggaran. Kondisi tersebut

mendapatkan respon negatif dari

masyarakat yang masih memegang

ajaran mengenai batasan marga.

Kejadian-kejadian seperti

respon negatif dari masyarakat yang

memegang teguh batasan marga

bagian dari hasil proses konstruksi

dimana terdapat nilai lain yang

membentuk pemahaman dimana

pelanggaran adat pernikahan

merupakan bagian subkebudayaan

yang mulai bermunculan dan di

terima sedikit demi sedikit oleh

masyarakat atas dasar pertimbangan

tertentu. Terlihat bahwa terdapat

kontribusi dimana pemahaman

individual yang berupa realitas

objektif berupa tindakan pelanggaran

adat telah mempengaruhi struktur

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

15 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

masyarakat sehingga membentuk

kompromi baru (meski masih dalam

lingkup kecil).

Hal itu terjadi pada orang

Batak yang melanggar aturan batasan

marga, keduanya membentuk

pengetahuan mengenai pelanggaran

batasan marga dengan mengamati

fenomena lingkungan kehidupan

sehari-hari Setelah itu, kemungkinan

terjadi tidak saja dunia sosial tampak

asing bagi individu dengan

pernyataan-pernyataan dari tetapi

individu juga menjadi asing bagi

dirinya sendiri dalam aspek-aspek

tertentu dari dirinya yang telah

tersosialisasi. Sehingga dari beberapa

orang Batak yang telah diwawancara

dan mengalami penolakan dari

keluarga karena melanggar batasan

marga, keterasingan berdampak pada

terisolasinya individu dalam

pergaulan sosial sehingga terdapat

proses – proses tertentu yang tidak

lagi didapatkan individu tersebut dan

berpengaruh kepada pemahaman

yang berkembang dan terwujud

dalam realitas objektifnya.

Kondisi masyarakat Batak

yang melakukan pelanggaran aturan

batasan marga seolah-olah terisolasi

mendeskripsikan sisi sebaliknya dari

pemikiran pemikiran masyarakat

umum. Masayrkat Batak yang

melakukan pelanggaran menafsirkan

batasan marga sebagai kenyataan

subjektif menuju perwujudan

kedalam realitas objektif melalui

proses internalisasi, selanjutnya ia

menyumbang pada proses

eksternalisasi. Individu berupaya

memahani definisi “realitas

objektif”, namun lebih dari itu,

individu turut mengonstruksi

pengetahuan bersama. Jadi, individu

merupakan aktor yang aktif sebagai

pembentuk pemelihara, sekaligus

pengubah masyarakat. Pengetahuan

aktor yang dapat menjadi pengubah

masyarakat tersebut diberi hak

istimewa kepadanya untuk diberi

nama kenyataan utama (paramount)

atau kenyataan yang sesungguhnya

(Berger 1990: 30).

Menurut data yang diperoleh

peneliti, orang Batak yang bertindak

sebagai tokoh adat dalam peneltitan

memiliki alasan mengenai

pelanggaran batasan marga dalam

adat pernikahan. Hal ini dapat

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

16 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

diketahui dari wawancara yang

peneliti lakukan dengan para

informan yang menyatakan batasan

marga dalam pernikahan adat

merupakan bentuk dari batasan

marga memiliki perbedaan diantara

beberapa daerah. Artinya, mobilitas

orang Batak mempengaruhi

pemahaman orang Batak terhadap

adat dan batasan pernikahan.

Banyak faktor yang

mempengaruhi terbentuknya bangun

pikiran orang Batak mengenai adat

pernikahannya. Hal tersebut secara

subyektif mempengaruhi

pemahaman serta tindakan yang

dilakukan. Dalam perspektif

tindakan Weber, tindakan orang

Batak tergolong dalam beberapa

tindakan dengan orientasi yang

berbeda. Perbedaan ini dipengaruhi

hasil konstruksi seperti dijelaskan

sebelumnya. Orang Batak dengan

keluarga dimana adat istiadat masih

kuat akan menghasilkan tindakan

yang cenderung berorientasi

traditional, sedangkan pada orang

Batak dengan sosialisasi nilai yang

kurang serta adanya pengaruh

budaya lain cenderung bertindak

secara afektif.

PENUTUP

Berdasarkan temuan data dan

hasil analisis yang telah

dikemukakan dalam bab

sebelumnya, maka dapat ditarik

kesimpulan (tanpa maksud

menggenralisasi) mengenai

konstruksi batasan pernikahan dalam

adat Batak, bahwa:

1. Orang Batak mendapatkan

pengetahuan mengenai marga

dan aturan adat tentang

batasan pernikahan melalui

sosialisasi dalam keluarga.

Tidak adanya panduan

tertulis yang dimiliki

membuat proses transfer

kebudayaan dilakukan secara

verbal.

2. Selain melalui sosialisasi

dalam keluarga, interaksi

dengan masyarakat Batak

serta fungsi Gereja juga

membantu proses penanaman

nilai dan pembentukan

pemahaman orang Batak di

Surabaya mengenai aturan

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

17 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

adat pernikahan. Hal tersebut

karena keterbatasan akses

informasi orang Batak di

Surabaya yang cenderung

hanya disampaikan secara

lisan, berbeda dengan yang

terjadi di kampung halaman

dimana pengajaran dan

penerapan adat masih kuat

karena struktur masyarakat

Batak serta tipe masyarakat

yang homogen.

3. Orang Batak, khususnya yang

merantau, memiliki

pemahaman bahwa aturan

adat telah mengalami

pergeseran. Hal tersebut

dipahami sebagai akibat dari

perkembangan jaman serta

masuknya budaya lain akibat

kondisi masyarakat yang

plural. Kompromi dalam

penerapan aturan adat

pernikahan muncul sedikit

demi sedikit dari ruang

lingkup kelompok kecil

(marga) yang kemudian

mempengaruhi realitas

objektif (masyarakat)

komunitas Batak di Surabaya.

Dialektika tersebut menjadi

bagian dari proses konstruksi

mengenai batasan

perkawinan orang Batak

khususnya di Surabaya yang

di ketahui telah mengalami

pergeseran.

4. Adapun tindakan yang

dilakukan, khususnya oleh

orang Batak yang melanggar,

merupakan bentuk tindakan

afektif yang berorientasi

terhadap pencapaian tujuan

yaitu pernikahan. Adanya

kompromi dalam

perkumpulan marga

mendorong terjadinya bentuk

pelanggaran batasan

pernikahan orang Batak di

Surabaya. Sanksi terhadap

pelanggar di nilai semakin

melemah dan mendorong

terciptanya pemahaman baru

serta perubahan dalam

struktur masyarakat Batak di

Surabaya.

5. Masyarakat batak masih kuat

di dalam menghormati adat

akan tetapi ketika terjadi

pelanggaran, dilatar

belakangi oleh tindakan yang

berbeda (masyarakat yang

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

18 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

melanggar aturan adat

dilandasi tindakan rasional

dan afektif).

Saran

Berdasarkan hasil penelitian

yang dikemukakan peniliti menyusun

rasan sebagai bagian dari pemecahan

masalah mengenai batasan

pernikahan Batak berdasarkan

temuan data dan hasil analisis yang

ada. Adapun saran yang dapat

diberikan peneliti adalah sebagai

berikut :

Saran Praktis

1. Mengintegrasikan

kembali komunitas

masyarakat Batak

sehingga tetap mampu

menjaga kerukunan

melalui sosialisasi dan

kontrol sosial.

2. Memanfaatkan fungsi

lembaga agama, yaitu

Gereja HKBP guna

mengintegrasikan

masyarakat Batak di

Surabaya.

3. Memberikan batasan

jelas mengenai

kompromi pelaksanaan

adat, khususnya

pernikahan, agar tidak

timbul kerancuan dan

konflik antar orang

Batak di Surabaya yang

berimbas pada

disintegrasi kelompok.

Saran Akademis

Dengan adanya hasil

penelitian, peneliti

menyarankan kepada peneliti

lainya yang ingin mengkaji

topic yang sama agar

mengkombinasikan dengan

teori lain yang bukan di

gunakan dalam penelitian.

Selain itu di harapkan

penelitian lainya dapat

melihat masalah culture

studies.

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

19 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Berger, Peter, L. 1990, “Tafsir Sosial

Atas Kenyataan: Sebuah

Risalah Tentang Sosiologi

Pengetahuan”. JAKARTA:

LP3ES.

Bogdan dan Taylor. 1992.

“Pengantar Metodologi

Penelitian Kualitatif: Suatu

Pendekatan Fenomenologis

terhadap Ilmu-Ilmu

Sosial”. Diterjemahkan

oleh Arief Furchan,

Surabaya: Usaha Nasional.

Bruner, Edward M, 2006. “Kerabat

dan Bukan Kerabat dalam

T.O.Ihromi (ed) Pokok-

Pokok Antropologi

Budaya”. Gramedia :

Jakarta

Creswell, John W. 2002. “Desain

Penelitian”. Jakarta: KIK Press

DJ. Gultom, Raja Marpodang, 1995.

“Dalihan Na Tolu”. Medan

Schreiner, Lothar. 1994,

“Adat Dan Injil”. Jakarta :

BPK Gunung Mulia

Faisal, Sanapiah. 1989. “Format-

Format Penelitian Sosial”.

Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada

George Ritzer, Sosiologi Ilmu

Berparadigma Ganda,(Jakarta:

Rajawali Pers.2011).

Haviland, William A, 1988.

“Antropologi jilid 2”. Erlangga :

Jakarta

Idrus, Muhammad. 2007. “Metode

Penelitian Ilmu Sosial”. Jakarta:

Erlangga

Koentjaraningrat. 2000.

“Kebudayaan mentalitas

dan pembangunan (cetakan

kesembilan belas)”. Jakarta

: PT. Gramedia Pustaka

Utama

Koentjaraningrat. 1994. “Metode-

metode Penelitian Masyarakat”.

Jakarta: Gramedia

M.A.Marbun dan I.M.T Hutapea,

1987. “Kamus Budaya

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

20 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

Batak Toba”. Jakarta: Balai

Pustaka, 1987.

Miles, B. B., dan A.M. Huberman.

“Analisa Data Kualitatif”. UI

press Jakarta.

Poloma, Margaret M. 1994.

“Sosiologi kontemporer”. Jakarta :

PT. Raja Grafindo Persada.

Samuel, Haneman. 2012. Peter L.

Berger : “Sebuah Pengantar

Ringkas”. Jawa Barat

:KEPIK.

Siahaan, Nalom. 1982. “Adat

Dalihan Natolu: Prinsip dan

pelaksanaannya”. Grafindo,

Jakarta.

Simanjuntak, Bungaran Antonius,

2006. “Struktur Sosial dan

Sistem Politik Batak Toba

Hingga 1945 : Suatu

Pendekatan Sejarah”,

Antropologi Budaya Politik,

Sinaga Richard, 2012. “Perkawinan

Adat Dalihan Natolu”.

Jakarta : Yayasan Obor

Indonesia.

Vergouwen, J.C. 1986. “Masyarakat

dan Hukum Adat Batak

Toba”. Pustaka Azet, Jakarta

Wirawan B.Ida, Teori-Teori Dalam

Tiga

Paradigma.(Jakarta:kencana

prenadamedia,2012)

Sumber Skripsi

Haris, Muhammad. 2003. “Tata

Cara Perkawinan Batak Toba”.

Nainggolan, Pratama, Aditya,

Marito, Yudi. 2010. “Tinjauan

Estetis Terhadap

Prosesi Adat Batak Toba”.

Panjaitan, Aspiner. 2010. “Fungsi

dan Makna Wacana Mangulosi

Pada Upacara Perkawinan

Batak Toba”.

Panjaitan, Faisal, Boy, Doni. 2010.

“Peranan Dalihan Na Tolu

dalam Hukum Perkawinan Adat

Batak Toba (Studi Mengenai

Hukum Perkawinan Adat Batak

di Kecamatan Balige)”.

Ritonga, Hardianto. 2011.

“Perkawinan Adat Batak di

Daerah Padang Sidimpuan,

Sumatera Utara (Kajian

Fenomenologis)”.

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

21 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK

Sinaga, Vonny, Yulia. 2012.

“Ruang Ritual Adat Pernikahan

Suku Batak Toba”.

Sumber Internet

http://www.penalaran-unm.org/

http://www.gobatak.com/5-

perkawinan-yang-dilarang-adat-

batak-toba

http://digilib.esaunggul.ac.id/perka

winan-endogami-dalam-hukum-

adat-batak-tobastudi-kasus-

perkawinan-richard-nainggolan-

lumbanraja-dengan-rumidaboru-

nainggolan

FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016

22 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK