konsep teori sindrom gwt nfs

48
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Periode setelah lahir merupakan awal kehidupan yang tidak menyenangkan bagi bayi.Hal itu disebabkan oleh lingkungan kehidupan sebelumnya (intrauterus) dengan kehidupan sekarang ( ekstrauterus ) yang sangat berbeda. Bayi yang dilahirkan prematur ataupun bayi yang dilahirkan dengan penyulit/komplikasi, tentu proses adaptasi kehidupan tersebut menjadi lebih sulit untuk dilaluinya. Bahkan sering kali menjadi pemicu timbulnya komplikasi lain yang menyebabkan bayi tersebut tidak mampu melanjutkan kehidupan ke fase berikutnya(meninggal). Bayi seperti ini yang disebut dengan istilah bayi resiko tinggi. (surasmi,dkk.2003) Salah satu dari bayi resiko tinggi adalah bayi dengan sindroma gawat nafas (SGN/RDS). Respiratory Distress Syndrome ( RDS ) didapatkan sekitar 5 -10% pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500 gram (lemons et al,2001). Angka kejadian berhubungandengan umur gestasi dan berat badan. Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi pada 1

Upload: mega-wati-bahar

Post on 28-Dec-2015

88 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Periode setelah lahir merupakan awal kehidupan yang tidak

menyenangkan bagi bayi.Hal itu disebabkan oleh lingkungan kehidupan

sebelumnya (intrauterus) dengan kehidupan sekarang ( ekstrauterus ) yang

sangat berbeda. Bayi yang dilahirkan prematur ataupun bayi yang dilahirkan

dengan penyulit/komplikasi, tentu proses adaptasi kehidupan tersebut

menjadi lebih sulit untuk dilaluinya. Bahkan sering kali menjadi pemicu

timbulnya komplikasi lain yang menyebabkan bayi tersebut tidak mampu

melanjutkan kehidupan ke fase berikutnya(meninggal). Bayi seperti ini yang

disebut dengan istilah bayi resiko tinggi. (surasmi,dkk.2003) Salah satu dari

bayi resiko tinggi adalah bayi dengan sindroma gawat nafas (SGN/RDS).

Respiratory Distress Syndrome ( RDS ) didapatkan sekitar 5 -10% pada

bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500 gram (lemons et

al,2001). Angka kejadian berhubungandengan umur gestasi dan berat badan.

Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi pada bayi

yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu; 15-30% pada bayi

antara 32-36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi yang cukup

bulan. Insiden pada bayi prematur kulit putihlebih tinggi dari pada kulit hitam

dan lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dari pada perempuan

(nelson,1999). Selain itu kenaikan frekuensi juga sering terjadi pada bayi

yang lahir dari ibuyang menderita gangguan perfusi darah uterus selama

kehamilan, misalnya ibu menderita penyakit diabetes, hipertensi, hipotensi,

seksio serta perdarahan antepartum. ( surasmi,dkk.2003 ) Namun seiring

dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bayi resiko tinggi

(SGN ) dapat hidup dengan baik tanpa mengalami cacat. Hal ini terjadi jika ia

dirawat di ruang perawatan intensif neonatus, dengan tenaga perawat yang

memiliki spesialisasi kealihan di bidang tersebut

1

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Mendeskripsikan asuhan kebidanan pada kasus neonates dengan sindrom

gawat nafas yang menggunakan pola pikir ilmiah melalui pendekatan

manajemen kebidanan menurut Varney dan mendokumentasikannya

dalam bentuk SOAP

2. Tujuan Khusus

a. Menjelaskan konsep dasar teori tentang sindrom gawat nafas

b. Menjelaskan konsep dasar manajemen kebidanan pada neonates

dengan sindrom gawat nafas.

c. Melaksanakan asuhan kebidanan pada masa nifas fisiologis dengan

pendekatan Varney

1) Melakukan pengkajian pada klien

2) Menginterprestasikan data dasar

3) Mengidentifikasi diagnosa/ masalah potensial

4) Mengidentifikasi kebutuhan segera

5) Merencanakan asuhan kebidanan

6) Melaksanakan asuhan tindakan pada klien

7) Mengevaluasi hasil dari suatu tindakan pada klien

d. Mendokumentasikan asuhan kebidanan dalam bentuk dokumentasi

SOAP

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Teori

1. Pengertian

Sindrom gawat napas pada neonatus, dalam bahasa inggris disebut

neonatal repiratory distress sindrome (RDS) merupakan kumpulan gejala

yang terdiri dari dispnea atau hipernea dengan frekuensi pernapasan lebih

dari 60 x/i, sianosis, merintih waktu ekspirasi dan retraksi didaerah

epigastrium, suprasternal, interkostal pada saat inspirasi. Bila didengar

dengan stetoskop terdengar penurunan masukan udara ke dalam paru.

(Ngastiyah, 2012)

Respiratory distress syndrome (RDS) adalah kumpulan gejala yang

terdiri atas dispnea, frekuensi pernapasan yang lebih dari 60 x/i, adanya

sianosis adanya rintihan pada saat ekspirasi (ekspiratory gruntir) serta

adanya retraksi suprasternal, interkostal dan epigastrium saat inspirasi.

(Alimul Hidayat, 2008)

Sindrom distress pernapasan adalah perkebangan yang imatur pada

sistem pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru-

paru. RDS dikatakan sebagai hyaline membrane disesae (HMD). ( Suriadi,

2010)

Penyakit ini merupakan penyakit membran hialin, dimana terjadi

perubahan atau berkurangnya komponen surfaktan pulmonar. Surfaktan

adalah suatu zat aktif pada alveoli yang dapat mencegah kolaps paru.

Fungsi surfaktan itu sendiri adalah untui menurunkan tegangan ekspirasi.

Penyakit ini terjadi pada bayi prematur, mengingat produksi surfaktan

yang kurang. Pada penyakit ini kemampuan paru untuk mempertahankan

stabilitas menjadi terganggu dan alveolus akan kembali kolaps. Pada setiap

akhir ekspirasi pernapasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif

intratoraks yang lebih besar dengan cara inspirasi yang lebih kuat.

3

Keadaan kolaps paru dapat menyebabkan gangguan ventilasi yang akan

menyebabkan hipoksia dan asidosis. (Alimul Hidayat, 2008)

Istilah RDS digunakan secara bertukar dengan diagnosis HMD pada

kultur neonatus. Diagnosa HMD ditegakkan karena adanya membran

hialin pada jalan napas yang tidak disebabkan oleh kerusakan epitelium.

RDS merujuk pada proses penyakit klinis. Penyakit ini terjadi akibat

insufisiensi produksi surfaktan dan terlihat paling sering setelah kelahiran

prematur, namun gangguan lain seperti diabetse maternal atau sindrom

aspirasi mekonium dapat pula menghambat produksi surfaktan. Sebagian

besar bayi yang lahir sebelum genap 30 minggu gestasi akan mengalami

RDS. ( Fraser, 2009)

Untuk mendapatkan pertukaran gas segera setelah kelahiran, paru

harus terisi udara secara cepat saat sedang dibersihkan dari cairan. Secara

bersamaan, aliran darah arterial harus meningkat secara bermakna. Sedikit

cairan keluar saat dada terkompresi pada kelahiran pervaginam, dan

sisanya diabsorbsi melalui limpatik paru. Surfaktan yang cukup disintetsis

oleh pneumosit tipe II, penting untuk menstabilisasi alveoli yang

dikembangkan oleh udara. Surfaktan menurunkan tegangan permukaan

dengan demikian mencegah kolaps paru selama ekspirasi. Jika surfaktan

tidak adekuat, terbentuk membran hialin di distal bronkiolus dan alveoli,

dan terjadi distress pernapasan. ( Williams, 2012 )

Meskipun RDS umumnya merupakan penyakit neonatus kurang

bulan, gangguan ini juga dapat terjadi pada neonatus aterm, terutama pada

keadaan sepsis atau aspirasi mekonium. ( Williams, 2012 )

Kegawatan pernapasan dapat terjadi pada bayi aterm maupun

preterm, yaitu bayi dengan berat badan cukup maupun berat badan lahir

rendah (BBLR). Tapi bayi dengan preterm mempunyai potensi lebih besar

karena belum maturnya fungsi organ-organ tubuh. (Mitayani, 2010)

Terdapat korelasi terbalik antara insiden RDS dengan usia

kehamilan yaitu semakin muda kehamilan, semakin tinggi resiko RDS.

Akan tetapi, tampaknya kasus-kasus RDS lebih bergantung pada

4

kematangan paru daripada usia gestasi. Diagnosis pada 25% bayi dengan

usia gestasi 34 minggu dan 80% bayi yang usia gestasinya kurang dari 28

minggu. Insiden meningkat pada bayi aterm bila terdapat : ibu diabetes

yang melahirkan bayi dengan usia gestasi kurang dari 38 minggu dan

terjadi hipoksia perinatal. (Nelson, 2012)

Keparahan RDS menurun pada bayi yang ibunya mendapat

kortikosteroid 24 sampai 48 jam sebelum pelahiran. Terapi steroid

antenatal yang dikombinasikan dengan pemberian surfaktan pascanatal

tampaknya memiliki efek adiktif dalam meningkatkan fungsi paru.

(Williams, 2012)

2. Insidensi RDS/ Hialin membran Disease

 Hyaline Membrane Disease / RDS merupakan salah satu penyebab

kematian pada bayi barulahir. Di US, RDS terjadi pada sekitar 40.000 bayi

per tahun. Kurang lebih 30 % dari semuakematian pada neonatus

disebabkan oleh HMD atau komplikasinya. (Arma, 2013)

HMD pada bayi prematur bersifat primer, insidensinya berbanding

terbalik dengan umur kehamilan dan berat lahir. Insidensinya sebesar 60-

80% pada bayi kurang dari 28minggu, 15-30% pada bayi 32-36 minggu,

5% pada bayi kurang dari 37 minggu, dan sangat jarang terjadi pada bayi

matur. (Arma, 2013)

Frekuensinya meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum

usia kehamilan 37minggu, kehamilan dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran

dengan operasi caesar, kelahiran yang dipercepat, asfiksia, stress dingin,

dan riwayat bayi terdahulu mengalami HMD. (Williams, 2012)

Pada ibu diabetes, terjadi penurunan kadar protein surfaktan, yang

menyebabkan terjadinya disfungsi surfaktan. Selain itu dapat juga

disebabkan pecahnya ketuban untuk waktu yang lama sertahal-hal

yang menimbulkan stress pada fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug

abuse, atau adanya infeksi kongenital kronik. (Arma,2013)

5

Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi

kulit putih. Pada laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru

dengan menurunkan produksi surfaktan oleh sel pneumosit tipe II.

(Williams, 2012)

Insidensinya berkurang pada pemberian steroid / thyrotropin

releasing hormon pada ibu. (Williams,2012)

3. Etiologi

Kegagalan mengembangkan functional residual capacity (FRC) dan

kecenderungan dari paru yang terkena untuk mengalami atelektasis

berhubungan dengan tingginya tegangan permukaan dan absennya

phosphatydilglycerol,phosphatydilinositol,phosphatydilserin, phosphatydil

ethanolamine dan sphingomyelin. (Arma,2013)

Pembentukan paru dimulai pada kehamilan 3 - 4 minggu dengan

terbentuknya trakea dari esofagus. Pada 24 minggu terbentuk rongga udara

yang terminal termasuk epitel dan kapiler,serta diferensiasi pneumosit tipe

I dan II. Sejak saat ini pertukaran gas dapat terjadi namun jarak antara

kapiler dan rongga udara masih 2 -3 kali lebih lebar dibanding pada

dewasa. Setelah 30 minggu terjadi pembentukan bronkiolus terminal,

dengan pembentukan alveolisejak 32 – 34 minggu. (Arma,2013)

Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai usia kehamilan 20

minggu tapi belum mencapai permukaan paru. Muncul pada cairan amnion

antara 28-32 minggu. Level yang matur baru muncul setelah 35 minggu

kehamilan. (Arma,2013)

Surfaktan mengurangi tegangan permukaan pada rongga alveoli,

memfasilitasi ekspansi paru dan mencegah kolapsnya alveoli selama

ekspirasi. Selain itu dapat pula mencegah edema paru serta berperan pada

sistem pertahanan terhadap infeksi. (Arma,2013)

6

Komponen utama surfaktan adalah Dipalmitylphosphatidylcholine

(lecithin) – 80 %,  phosphatidylglycerol   – 7 %,

phosphatidylethanolamine – 3 %, apoprotein ( surfactant proteinA, B, C,

D) dan cholesterol. Dengan bertambahnya usia kehamilan, bertambah pula

produksi fosfolipid dan penyimpanannya pada sel alveolar tipe II.

(Arma,2013)

Protein merupakan 10 % darisurfaktan., fungsinya adalah

memfasilitasi pembentukan film fosfolipid pada perbatasan udara-cairan di

alveolus, dan ikut serta dalam proses perombakan surfaktan. (Arma,2013)

Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan perfusi.

Asfiksia,hipoksemia, dan iskemia pulmonal; yang terjadi akibat

hipovolemia, hipotensi dan stress dingin; menghambat pembentukan

surfaktan. Epitel yang melapisi paru-paru juga dapat rusak akibat

konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek pengaturan respirasi,

mengakibatkan semakin berkurangnya surfaktan. (Arma,2013)

RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena

kurangnya produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak

kehamilan minggu ke-22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula

kemungkinan terjadi RDS. Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi

surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes,

seksio sesaria.. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur.

Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang

dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih

belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi

akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya muncul segera

setelah bayi lahir dan akan bertambah berat. (Ngastiyah,2012)

RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom

ini dapat terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga

tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom ini. Kelainan dalam paru

7

yang menunjukan sindrom ini adalah

pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH).

(Ngastiyah,2012)

4. Perjalanan klinis

Pada RDS yang khas, terjadi takipnea, retraksi dinding dada, dan

ekspirasi yang disertai grunting dan napas cuping hidung (nostril faring).

Pirau darah melalui paru yang tidak berventilasi menimbulkan hipoksemia

dan asidosis metabolik dan respiratorik. Sirkulasi perifer yang buruk serta

hipotensi sistemik dapat terjadi. Gambaran radiografi toraks menunjukkan

infiltrat retikulogranular difus dan cabang trakeobronkial yang terisi udara

(air bronchogram). (Williams,2012)

Insufisiensi pernapasan juga dapat disebabkan oleh sepsis,

pneomonia, aspirasi mekonium, pnoumotoraks, sirkulasi janin persisten,

gagal jantung, dan malformasi yang melibatkan struktur toraks seperti

hernia diafragmatika. Bukti-bukti juga menunjukkan bahwa kemungkinan

terjadi mutasi pada produksi protein surfaktan yang menyebabkan RDS

(Garmany dkk, 2008 ; Shulenin dkk, 2004). (Williams, 2012)

5. Patologi

Dengan surfaktan yang tidak adekuat, alveoli yang tidak stabil, dan

tekanan yang rendah menyebabkan kolaps pada akhir ekspirasi. Nutrisi

pnoumosit terganggu oleh hipoksia dan hipotensi sistemik. Dapat terjadi

sirkulasi fetal parsial persisten yang menimbulkan hipertensi pulmonal dan

pirau kanan-ke-kiri relatif. Akhirnya, terjadi nekrosis iskemik pada sel

alveolar. Ketika terapi oksigen dimulai, vasculer bed pulmonal berdilatasi,

dan pirau terbalik. Cairan berisi protein merembes kedalam duktus

alveolaris, dan sel yang melapisi duktus menjadi kaku. Membran hialin

yang terbentuk dari protein yang kaya fibrin dan debris eslular melapisi

alveoli yang berdilatasi dan bronkiolus terminalis. Epitelium yang terletak

dibawah membran menjadi nerkotik. Pasca pewarnaan dengan

8

hematoksilin eosin, membran ini terlihat amorf dan eosinofilik, seperti

kartilago hialin. Akibatnya distress pernapasan pada neonatus juga disebut

sebagai penyakit membran hialin (hialin membran disease). (Williams,

2012)

6. Faktor Resiko

a.       Prematuritas

b.      Ibu dengan Diabetes Militus

c.       Lahir dengan Seksio sesarea

d.      Asfiksia Perinatal

e.       Genetik (riwayat PMH pada saudara kandung, jenis kelamin laki-laki)

(Herry, dkk. 2000)

7. Patofisologi

Seperti telah disebut diatas, penyebab penyakit membran hialin

(PMH)/RDS adalah kekurangan surfaktan paru. Surfaktan adalah zat yang

memegang peranan dalam pengembangan paru dan merupakan suatu

kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak. Senyawa

utama zat tersebut adalah lesitin. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan

22-24 minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke 35. Fungsi

surfaktan adalah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus hingga

tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara pada akhir ekspirasi.

Defesiensi zat surfaktan yang ditemukan pada PMH akan menyebabkan

kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitas menjadi terganggu,

alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk

berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar dan

disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini menyebabkan

terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.

Hipoksia akan menimbulkan :

9

a.      Oksigenisasi jaringan menurun sehingga terjadi metabolisme

anaerobik yang menimbulkan asam laktat dan asam organik lain yang

menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi.

b.      Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris yang akan

menyebabkan terjadinya transudasi kedalam alveoli dan terbentuknya

fibrin, selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang

nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin.

Asidosis dan atelaksis juga menyebabkan gangguan sirkulasi darah

dari jantung dan ke jantung.

Secara singkat patofisiologinya dapat dituliskan sebagai berikut :

Atelaksis - > hipoksemia -> hipoksia -> asidosis - > trnasudasi ->

penurunan aliran darah paru - > hambatan pembentukan zat

surfaktan -> atelaksis. Hal ini berlangsung terus sampai terjadi

penyembuhan atau kematian. (Ngastiyah, 2012)

8. Gambaran Klinis

Umunnya terjadi pada bayi prematur dengan berat badan 1000-2000

gram atau masa gestasi 30-36 minggu. Jarang pada bayi cukup bulan dan

sering disertai dengan riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat

janin pada akhir kehamilan . gangguan pernapasan mulai tampak dalam 6-

8 jam pertama setelah lahir dan gejala yang karakteristiik mulai terlihat

pada umur 24-72 jam. Bila keadaan membaik maka gejala akan

menghilang pada akhir minggu pertama. Bayi tampak dispnea dan

hiperpnea, sianosis, sianosis karena pirau vena-arteri dalam paru atau

jantung, retraksi suprasternal, epigastrium, interkostal dan merintih. Tanda

lain yang dapat terjadi adalah bradikardi, hipotensi, kardiomegali, edema

terutama didaerah dorsal tangan dan kaki, hipotermia dan tonus otot yang

menurun. Gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi. (Ngastiyah,

2012)

Menurut suriadi, 2010 menifesktasi klinis RDS adalah sebagai

berikut :

10

a.       Takipnea

b.      Retraksi dada (suprasternal, substernal, interkostal)

c.       Pernapasan terlihat paradoks

d.      Cuping hidung

e.       Apnea

f.       Sianosis pusat

9. Pemeriksaan Diagnostik

Foto torak atas dasar adanya gangguan pernapasan yang dapat

disebabkan oleh berbagai penyebab dan untuk melihat keadaan paru, maka

bayi perlu dilakukan pemerikasaan foto torak. Yang perlu dilakukan saat

membawa bayi kebagian radiologi adalah gunakan tempat tidur yang

khusus (seperti inkubator yang tutupnya dapat diangkat), maksudnya agar

mudah melihat keadaan umum bayi dan tidak menyebabkan kedinginan.

Bayi perlu diberikan O2 selama dalam perjalan/menunggufoto, maka

biasanya perlu dibawa tabung O2 kecil. Pemeriksaan darah, perlu

diperiksakan darah lengkap, analisis gas darah (astrup), dan eloktrolit.

Bayi dengan PMH sering sekali mengalami asidosis metabolik dan

respiratory yang memerlukan pertolongan segera. (Ngastiyah, 2012)

Amniosenstesis Untuk Maturitas Paru Janin

Kelahiran atas indikasi janin diperlukan ketika resiko lingkungan

intra uterin yang membahayakan janin lebih besar dibandingkan dengan

masalah resiko neonatal yang berat, termasuk distres pernapasan bahkan

jika janin kurang bulan. Jika derajat resiko tidak ada dan dan kriteria untuk

kelahiran elektif tidak terpenuhi, amniosintesis dan analisis cairan amnion

digunakan untuk mengkomfirmasi maturitas paru janin. Terdapat sejumlah

metode yang dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi relatif

fosfolipid surfaktan aktif dalam cairan amnion. Akusisi cairan serupa

dengan yang dilakukan pada amniosintesis trimester II. Komplikasi-

komplikasi yang membutuhkan pelahiaran segera ditemukan pada hampir

1% prosedur (American College of Obstreticians and Gynecologists,

11

2008). Berdasarkan hasil analisis, kemungkinan distress pernapasan terjadi

pada bayi bergantung pada uji yang digunakan dan usia gestasi janin.

Yang penting, pemberian kortikosteroid untuki menginduksi kematangan

paru memiliki dampak yang bervariasi pada beberapa dari uji-uji ini.

(Williams, 2012)

Rasio Lesisitn-Sfingomielin (L/S)

Meskipun tidak sering digunakan seperti dimasa lalu, Rasio L-S

persalinan-intensif beberapa tahun merupakan uji baku emas.

Dipalmitoylphospatidylcholine (DPPC), yaitu lesitin bersama –sama

dengan fosfatidilinositol dan terutama fosfatidilgliserol merupakan

komponen penting pada lapisan permukaan aktif yang mencegah kolaps

alveolar. Sebelum 34 minggu lesitin dan sfingomielin terdapat dicairan

amnion dan konsentrasi yang sama. Pada 32-34 minggu, konsentrsai relatif

lesitin terhadap sfingomielin mulai meningkat. (Williams, 2012)

Gluck, dkk (1971) melaporkan bahwa resiko distress pernapasan

neonatus rendah apabila konsentrasi lesitin setidaknya dua kali konsentrasi

sfingomielin (rasio L/S). Sebaliknya terdapat peningkatan distres

pernapasan ketika rasio ini kurang dari 2. Karena lesitin dan sfingomielin

ditemukan didarah dan mekonium, kontaminasi dengan substansia tersebut

dapat menurunkan rasio L/S yang matur (Buhi dan Spellacy, 1975).

(Williams, 2012)

Phospatidiglisorel (PG)

Selama beberapa tahun diketahui bahwa distres pernapafasan dapat

terjadi, bahkan pada rasio L/S lebih dari 2 pada bayi yang dilahirkan oleh

ibu dengan diabetes. Beberapa ahli merekomendasikan bahwa

fosfatidigliserol juga terdapat dicairan amnion wanita hamil tersebut. Pada

saat ini, masih tidak jelas apakah diabetes atau kadar kontrolnya yang

menyebabkan hasil postif pasu uji fosfolipid untuki maturitas paru

(American College of Obstreticians and Gynecologists). (Williams, 2012)

12

Polarisasi Fluresens

Alat perhitungan otomatis rasio surfaktan terhadap albumin didalam

cairan amnion yang tidak disentrifugasi dan memberikan hasil sekitar 30

menit. Bila didapatkan rasio lebih atau sama dengan 50 dengan

menggunakan uji TDx-FLM yang tersedia secara komersial (Steinfeld

dkk, 1992) memprediksikan maturitas paru janin pada 100% kasus.

Penelitian berikutnya menemukan bahwa TDx-FLM sama atau lebih

superior dibangdingkan rasio L/S, foam stability index, atau pemeriksaan

fosfatidigliserol termasuk pada kehamilan diabetik (Eriksens dkk, 1996 ;

Karcher dkk, 2005). TDx-FLM II yang baru saja dimodifikasi digunakan

dibanyak rumah sakit sebagai uji lini pertama untuk maturitas paru dengan

nilai ambang batas rasio 55 mg/g. (Williams, 2012)

Pemeriksaan lain

Foam Stability Test atau Shake Test bergantung pada kemampuan

surfaktan dalam cairan amnion, bila dicampur secara sesuai dengan etanol,

untuk menghasilkan busa yang satbil pada batas udara cairan (Clements

dkk, 1972). Masalah yang timbul meliputi kesalahan yang disebabkan oleh

sedikit kontaminasi dan seringnya hasil negatif palsu pada pemeriksaan.

Alternatif lain uji Lumadex-FSI, polarisasi fluoresesns (mikroviskometri),

dan amnionic luid absorbance at 650 nm wavelengh telah digunakan

dengan berbagai angka keberhasilan. The Lamellar body count merupakan

metode yang cepat, mudah dan akurat untuk menilai maturitas paru janin

dan dapat dibandingkan dengan TDx-FLM dan rasio L/S (Karcher dkk,

2005). (Williams,2012)

10. Pencegahan

Yang paling penting adalah pencegahan prematuritas, termasuk

menghindarkan sesaria yang tidak perlu atau kurang sesuai waktunya,

manajemen yang tepat terhadap kehamilan resiko tinggi, dan ramalan serta

kemungkinan pengobatan imaturitas paru dalam uterus. Pada seksio

sesarea atau intervensi kelahiran yang tepat waktu, perkiraan lingkar

13

kepala janin dengan ultrasonografi dan penentuan kadar lisetin pada cairan

amnion dengan rasio lisetin terhadap spingimielin (L/S) mengurangi

kemungkinan persalinan bayi prematur. Pementauan intrauterin pada masa

antenatal dan pemantauan intrapartum serupa dapat menurunkan resiko

asfiksia janin yang dihubungkan dengan insidens dan keparahan penyakit

membran hialin. (Nelson, 2012)

Pemberian dexametason dan betametason pada wanita 48-72 jam

sebelum persalinan janin dengan umur kehamilan 32 minggu atau kurang,

dapat mengurangi insidens mortalitas serta morbiditas PMH. Memberikan

kortikosteroid intramuskular pada wanita hanil yang lesitin cairan

amnionya menunjukkan imaturitas paru janin, dan mempunyai

kemungkinan bersalin dalam 1 minggu atau yang kelahirannya mungkin

tertunda 8 jam atau lebih. Terapi glukokotikoroid pranatal mengurangi

keparahan RDS dan mengurangi insidens komplikasi prematuritas

lainnya, seperti perdarahan intraventrikuler, duktus arteriosus paten,

pnomotoraks, dan enterokolitis nekrotikans, tanpa mempengaruhi

pertumbuhan paru neonatus atau insidens infeksi. Glukokortikoid pranatal

dapat bekerja sinergis dengan terapi surfaktan eksogen pasca lahir.

Pemberian satu dosis surfaktan kedalam trakea bayi prematur segera

sesudah lahir atau selama umur 24 jam mengurangi mortalitas PMH.

(Nelson,2012)

Terapi surfaktan berperan besar dalam menurunkan angka

mortalitas bayi yang di observasi selama 25 tahun (Jobe,1993). Terapi ini

telah digunakan untuk profilaksis bayi kurang bulan yang beresiko dan

untuk kuratif pada bayi yang telah sakit. Kortikosteroid antenatal dan

surfaktan diberikan secara bersama-sama menghasilkan penurunan angka

kematian yang lebih besar. Dalam kajian Cochrane Seger dab Soll (2009)

menemukan bahwa bayi yang mendapat surfaktan profilaksis mengalami

penurunan resiko Pneumotoraks, Emfisema pulmonal Interstisial, Diplasia

Bronkopulmonar, dan mortalitas. (Williams, 2012)

14

Dengan kemungkinan adanya terapi estrogen untuk mencegah

kelahiran bayi kurang bulan berulang, tidak ada metode untuk mencegah

atau mengobati persalinan kurang bulan . the National Institutes Of Health

(1994, 2000) menyimpulkan bahwa suatu seri perjalanan terapi

kortikosteroid antenatal menurunkan distress pernafasan dan perdarahan

intravaskuventrikular pada bayi kurang bulan yang lahir antara 24-34

minggu. The American College of Obstreticians and Gynecologists dan

American Academy of Pediatrics (2003) mempertimbangkan semua

perempuan yang beresiko mengalami persalinan kurang bulan pada

kisaran usia gestasional ini merupakan kandidat potensial untuk terapi

tersebut. Setelah 34 minggu 4% bayi mengalami sindrom distress

pernapasan (Fuchs dkk, 2009). (Williams, 2012)

11. Penatalaksanaan medik

Tindakan yang perlu dilakukan adalah :

a.       Memberikan lingkungan yang optimal.

Suhu tubuh harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal

(36,5-37,5 oC) dengan cara meletakkan bayi dalam inkubator.

Kelembapan ruangan juga harus adekuat (70-80%). (Ngastiyah, 2012)

b.      Pemberian oksigen.

Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati karena

berpengaruh kompleks terhadap bayi prematur. Pemberian O2 yang

terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi seperti : fibrosis paru,

kerusakan retina (fibriplasia retrolental) dan lain-lain. Untuk

mencegah timbulnya komplikasi, pemberian O2 sebaiknya diikuti

dengan pemeriksaan analisis gas darah arteri. Bila fasilitas untuk

pemeriksaan analisis gas darah arteri tidak ada, maka diberikan O2

diberikan dengan konsentrasi O2 tidak lebih dari 40% sampai gejala

sianosis menghilang. Pada PMH berat diperlukan bantuan pernapasan

dengan respirator. (Ngastiyah, 2012)

15

c.       Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan

homeostasis dan menghindarkan dehidrasi.

Pada permulaan diberikan glukosa 5-10% dengan jumlah yang

diseseuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125 ml/kg BB/

hari. Asidosis metebolik yang selalu dijumpai harus segera dikoreksi

dengan memberikan NaHCO3 secara intravena. Rumus pemberian

NaHCO3 (mEq) = defisit basa x 0,3 x Berat Badab Bayi, cara

memberikannya setengah diberikan secara bolus intravena dan

setegahnya diberikan melalui tetesan. NaCOH3 berguna untuk

mempertahunkan agar PH darah 7,35-7,45. Bila tidak ada fasilitas

untuk pemeriksaan analisis gas darah, NaCOH3 dapat diberi langsung

melalui tetesan dengan menggunakan ampuran glukosa 5-10% dan

NaCOH3 1,5% dalam perbandingan 4:1. Perlu pemantauan apakah

pemberian basa telah adekuat. (Ngastiyah,2012)

d.      Pemberian antibiotik

Bayi dengan PMH perlu mendapat antibiotik untuk mencegah infeksi

sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-100.000 U/

kg BB/ hari atau ampisilin 100 mg/ hari dengan atau tanpa

gentamisin 3-5 mg/ kg BB/ hari. (Ngastiyah, 2012)

e.       Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian

surfaktan eksogen (surfaktan dari luar). Obat ini sangat efektif,

namun harganya amat mahal. (Ngastiyah, 2012)

Sedangkan menurut Suriadi (2010) penatalaksanaan terapeutik

pada bayi dengan sindrom gawat nafas adalah :

1) Pemberian oksigen

2) Pertahankan nutrisi yang adekuat

3) Pertahankan suhu lingkungan netral

4) Diit 60 kcal (sesuai dengan protokol yang ada) dengan asam

amino yang mencukupi untuk mencegah katabolisme protein dan

ketoasidosis protein dan ketoasidosis endogenus.

5) Pertahankan PO2 dalam batas normal

16

6) Intubasi bila perlu, dengan tekanan ventilatif positif

(Suriadi, 2010)

12. Pengobatan

Cacat dasar yang memerlukan pengobatan adalah pertukaran

oksigen dan karbon dioksida paru yang tidak adekuat, asidosis metabolik

dan insufisiensi sirkulasi memerupakan menifestasi sekunder. Perawatan

suportif awal bayi baru lahir rendah, terutama pada pengobatan asidosis,

hipoksia, hipotensi dan hipotermi, tampaknya mengurangi keparahan

PHM. Terapi memerlukan pemantauan yang cermat dan sering terhadap

frekuensi jantung dan pernapasan, PO2, PCO2, PH bikarbonat, elektrolit

arteri, glukosa darah, hematokrit, tekanan darah, dan suhu. Kateterisasi

arteri umbilikalis seringkali diperlukan. Karena kebanyakan kasus PMH

sembuh sendiri maka tujuan pengobatannya meminimalkan variasi

kelainan fisiologis dan masalah iatrogenik yang menumpangi. Manajemen

bayi ini paling baik dilakukan di unit rumah sakit yang mempunyai staf

dan peralatan khusus, kamar perawatan intensif neonatus. (Nelson, 2012)

Prinsip-prinsip umum perawatan pendukung (suportif) setiap bayi

BBLR harus ditaati, termasuk penanganan dengan lemah lembut dan

gangguan yang minimal sesuai dengan manajemen. Untuki menghindari

kedinginan dan komsumsi oksigen seminimal mungkin, bayi harus

ditempatkan kedalam isolette dan suhu dalam tubuh dipertahankan antara

36,5 dan 37,5 oC. Kalori dan cairan harus diberikan secara intravena.

Untuk 24 jam pertama 10% glukosa dan cairan harus diinfuskan melalui

vena perifer dengan kecepatan 65-75 mL/kg/24 jam. Cairan yang

berlebihan turut menyebabkan berkembangnya duktus arteriosus paten,

(Nelson, 2012)

Oksigen hangat yang dilembabkan harus diberikan pada kadar yang

cukup pada mulanya untuk mempertahankan tekanan arteri 55 dan 70

mmHg dengan tanda-tanda vital yang stabil untuk mempertahankan

oksigenasi jaringan yang normal, yang sekaligus juga meminimalkan

17

resiko toksisitas oksigen. Jika tekanan oksigen arteri tidak dapat

dipertahankan diatas 50 mmHg pada oksigen inspirasi 70% pemakaian

CPAP pada tekanan 6-10 cm H2O melalui lubang hidung merupakan

indikasi yang biasanya menghasilkan kenaikan tajam tekanan oksigen

arteri. Meskipun perjalanannya berlarut-larut, jumlah tekanan yang

diperlukan biasanya menurun secara mendadak pada sekitar umur 72 jam,

dan bayi dapat disapih dari CPAP segera sesudahnya. Jika bayi pada

CPAP yang bernapas dengan oksigen 100% tidak dapat mempertahankan

tekanan oksigen arteri diatas 50 mmHg maka memerlukan Ventilasi

bantuan. (Nelson, 2012)

Bayi dengan PMH berat atau yang pada mereka berkembang

komplikasi akibat apnea terus-menerus memerlukan bantuan ventilasi

mekanis. Indikasi yang sesuai untuk menggunakannya adalah pH darah

arteri kurang dari 7,20, PCO2 darah arteri 60 mmHg atau lebih, PO2 darah

arteri 50 mmHg atau kurang pada kadar oksigen 70-100%, atau apnea

menetap. Bantuan ventilasi dengan teekanan atau respiratr konvensional

aliran terbatas melalui pipa endotrakea juga dapat mencakup tekanan

akhir respirasi posistif (Positive End Expiratory Pressure [PEEP] ).

(Nelson, 2012)

Tujuan ventilasi mekanis adalah memperbaiki oksigenisasi dan

mengeliminasi karbon dioksida tanpa menyebabkan baro trauma paru yang

berlebihan atau toksisitas oksigen. Kisaran nilai gas darah yang dapat

diterima, yang menyeimbangkan resiko hipoksia dan asidosis dengan

resiko ventilasi mekanis adalah PCO2 33-55 mmHg, dan pH 7,25-7,45.

Selama ventilasi mekanis oksigenisasi diperbaiki dengan menambah FIo2

atau tekanan rata-rata jalan napas. Yang terakhir ini dapat ditingkatkan

dengan menambah tekanan puncak inspirasi, aliran udara, rasio inspirasi

terhadap ekspirasi atau PEEP. PEEP yang berlebihan dapat menyebabkan

Pnoumo toraks atau menghalangi aliran balik vena, menurunkan curah

jantung walaupun ada perbaikan PaO2 dan dengan demikan mengurangi

hantaran oksigen. PEEP H2O 4-6 cm biasanya aman dan efektif. Eliminasi

18

karbon dioksida dicapai dengan menambah tekanan puncak inspirasi

(volume tidal) atau frekuensi ventilator. (Nelson, 2012)

Kisaran frekuensi ventilator konvensional adalah 10-60 pernapasan

per menit, ventilasi pancaran frekuensi tinggi (high frequency jet

ventilation [HFJV]) adalah 150-600/ menit dan osilator adalah 300-1.800/

menit. HFJV dan osilator dapat memperbaiki elininasi karbondioksida,

menurunkan tekanan rata-rata jalan napas, dan kadang-kadang

memperbaiki oksigenasi para penderita PMH, emfisema interstisial,

pneomo toraks multipel atau pneomonia sapirasi mekonium yang tidak

memberikan respon terhadap ventilator konvensional. HFJV dapat

menyebabkan cedera trakea nekrotikans, terutama bila ada hipotensi atau

kelembaban jelek dan terapi osilator telah dihubungkan dengan kenaikan

resiko kebocoran udara, perdarahan intraventrikular, leukomalasia

periventrikular. Kedua metode ini dapat menyebabkan udara terperangkap.

Komplikasi intubasi endotrakea (penyumbatan pipa, ekstubasi, granuloma

subglotis, dan stenosis) dan ventilasi mekanis (pneomotoraks, emfisema

interstisial, curah jantung menrun) dapat diminimalkan dengan intervensi

dokter, perawat dan ahli terapi pernapasan yang dilatih khusus dalam unit

perawatan intensif. (Nelson, 2012)

Pemasukan surfaktan eksogen multi dosis kedalam endotrakea bayi

BBLR memerlukan 40% oksigen, dan ventilasi mekanis untuk pengobatan

(rescue terapi) RDS telah memperbaiki ketahanan hidup dan mengurangi

insidens diplasia bronko pulmonunm secara konsisten. Pengaruh yang

terjadi segera meliputi perbaikan perbedaan tekanan oksigen alveolar

arteri, berkurangnya tekanan rata-rata jalan napas oleh ventilator,

kelenturan paru bertambah dan gambaran perbaikan roentgen dada.

Survanta adalah surfaktan eksogen yang dipersiapkan dari paru sapi yang

dicincang halus dengan ekstraksi lipi dan diperkaya dengan fosfatidilkolin,

asam palmiat, dan trigliserida. Survanta mengandung PS-B dan PS-C

tetapi tidak mengandung PS-A. eksosurf adalah surfaktan sintesis yang

mengandung dipalmitoilfosfatidikolin, heksadekanel, dan tiloksapol. Dua

19

senyawa organik yang terakhir memperbaiki penyebaran surfaktan

sepanjang alveolus, karena dipalmitoifosfatidikolin saja mempunyai sifat-

sifat permukaan aktif yang jelek. Surfaktan tambahan yang sedang

mengalami uji coba meliputi kurosurf dan infasurf (keduanya alamiah) dan

ALEC (artificial lung expanding compound, campuran 7 : 3

dipalmitoilfosfatidikolin dan fosfatidigliserol). (Nelson, 2012)

Pengobatan biasanya dilmulai pada usia 24 jam pertama, tetapi

diberikan melalui pipa endotrakea setiap 12 jam dengan total 4 dosis.

Surfaktan eksogen harus diberikan oleh dokter yang berkualitas dalam

resusitasi neonatus dan manjemen pernapasan yang mampu merawat bayi

sesudah stabilisasi satu jam pertama. Komplikasi tearpi surfaktan adalah

hipoksia dan hipotensi sementara, blokade pipa endotrake dan perdarahan

paru. (Nelson, 2012)

13. Komplikasi

Hiperoksia persisten mencederai paru, terutama alveoli dan

kapiler. Konsentrasi oksigen tinggi yang berikan dengan tekanan tinggi

dapat menyebabkan diplasia bronko pulmonar. Dengan ini, kerusakan

epitel alviolar dan bronkiolar menimbulkan hipoksia, hiperkarbia, dan

ketergantungan oksigen kronik akibat fibrosis peribronkial dan interstisial.

Menurut Biraldi dan Filippone (2007), sebagian besar kasus saat ini

terlihat pada bayi yang lahir sebelum 30 minggu dan menunjukkan

gangguan perkembangan sekunder akibat cedera alveolarisasi. Penyakit

berat dan angka kematian menurun, namun disfungsi pulmonal jangka

panjang sering terjadi kemudian. Hipertensi pulmonal merupakan

komplikasi sering lainnya. Jika hiproksemia menetap, bayi juga beresiko

mengalami retinopati kurang bulanitas., dahulu disebut fibroplasia

retrolental. Bila salah satu gangguan tersebut timbul, kemungkinan

gangguan neuro sensorik yang menyertainya lebih besar terjadi (Schmidt

dkk, 2003). (Williams, 2012)

20

B. Konsep Dasar Manajemen Asuhan Kebidanan Pada Neonatus dengan

Sindrom Gawat Nafas

I. PENGKAJIAN

Pengkajian data subyektif dan data obyektif menggunakan konsep

Refocusing atau menggunakan data fokus yang disesuaikan dengan

kebutuhan klien, Berdasarkan teori yang ada untuk menegakan diagnosis.

A. DATA SUBYEKTIF

1. Identitas

a. Identitas klien

Nama :

Umur/tanggal lahir :

Jenis kelamin :

Tanggal MRS :

Diagnosa medis :

b. Identitas orang tua

Nama ayah :

Nama ibu :

Usia ayah/ibu :

Pendidikan ayah/Ibu :

Pekerjaan ayah/ibu :

Agama :

Suku/bangsa :

Alamat :

2. Riwayat kesehatan klien

a. Riwayat kesehatan sekarang

- Keluhan utama : beberapa bayi mengalami

depresi dengan menunjukan gejala tonus otot yang

menurun dan mengalami kesulitan dalam

21

mempertahankan pernafasan yang wajar

( pelayanan kesehatan maternal dan

neonatal,sarwono prawirohardjo,2010 )

- Riwayat perjalanan penyakit dan upaya untuk

mengatasi

( pada riwayat penyakit,disusun dengan cerita yang

kronologis,terinci dan jelas pada dokumentasi

pada SOAP mengenai keadaan kesehatan pasien

sejak sebelum terdapat keluhan sampai ia berobat )

b. Riwayat kesehatan yang lalu

Riwayat kehamilan dan kelahiran

- Riwayat antenatal : penyebab depresi pada bayi

saat lahir mencangkup obat-obatan yang diberikan

atau diminum oleh ibu (pelayanan kesehatan

maternal dan neonatal,sarwono prawirohardjo,2010)

Ketuban pecah dini dapat terjadi

oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga

terjadinya asfiksia atau hipoksia. (ilmu

kebidanan,sarwono praworihardjo 2010 )

Hipontensi maternal dapat mengakibatkan

komplikasi pada bayi baru lahir berupa asfiksia

(asuhan kebidanan,Helen varney )

- Riwayat intranatal : Adanya prolaps tali pusat

merupakan komplikasi pada bayi baru lahir berupa

asfiksia (asuhan kebidanan,Helen varney ).

Hipoksia pada janin dapat terjadi akibat

incoordinate uterine action (ilmu kebidanan

sarwono,2010)

- Riwayat post natal :

- Riwayat imunisasi :

22

- Riwayat alergi :

- Riwayat penyakit yang pernah diderita :

- Riwayat tumbuh kembang :

Riwayat pertumbuhan :

Riwayat perkembangan : Bayi dengan riwayat

menderita hipoksia jika ia selamat dan hidup akan

berisiko tinggi terjadinya kelainan neurologis

dikemudian hari (pelayanan kesehatan maternal dan

neonatal,sarwono prawirohardjo,2006)

3. Riwayat kesehatan keluarga

a. Penyakit menular :

b. Penyakit menurun : Salah satu penyebab hipoksia

intrauteri oleh janin adalah akibat penyakit jantung atau

pernafasan

( asma) yang diderita oleh ibu ( buku ajar kebidanan

myles,2009)

c. Riwayat penyakit menahun :

4. Pola fungsi kesehatan

Kebutuhan dasar keterangan

Pola nutrisi

Pola eleminasi

Pola istirahat

Pola persoal hygiene

Pola aktifitas

5. Riwayat psikososiokultural spiritual

23

a. Komposisi fungsi,dan hubungan keluarga

b. Keadaan lingkungan rumah dan sekitar

c. Kultur dan kepercayaan yang membengaruhi kesehatan

B. Data objektif

1. Pemeriksaan umum

Kesadaran :

Tanda – tanda vital

- Tekanan darah : apabila asfiksia berlanjut akan

mengakibatkan penurunan tekanan darah

bayi( pelayanan Kesehatan maternal dan

neonatal,sarwono prawirohardjo,2006 )

- Nadi : Asfiksia yang berkelanjutan akan terjadi

penurunan denyut jantung( pelayanan Kesehatan

maternal dan neonatal,sarwono

prawirohardjo,2006 )

Frekuensi jantung < 100 merupakan tanda bahwa

bayi mengalami asfiksia ( ilmu kebidanan sarwono

prawirohardjo tahun 2010 )

- Suhu : pada bayi baru lahir untuk

senantiasa memberikan kehangatan agar tidak

terjadinya hipotermia (ilmu kandungan ,sawono

pawirohardjo,2010 )

- Pernafasan : Pada bayi yang mengalami

kekurangan oksigen akan mengalami pernafasan

yang cepat dan singkat,bila berlanjut gerakan

pernafasan akan berhenti (pelayanan Kesehatan

maternal dan neonatal,sarwono

prawirohardjo,2006 )

Pada asfiksia berlanjut,Bayi akan menunjukan

pernafasan megap – megap yang dalam

24

( pelayanan Kesehatan maternal dan

neonatal,sarwono prawirohardjo,2006 )

Antropometri

- Tinggi badan :

- Berat badan :

- Lingkar lengan :

- Lingkar kepala :

- Lingkar dada :

- Lingkar perut :

2. Pemeriksaa fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan secara head to toe mulai dari

inspeksi,palpasi, auskultasi dan perkusi.

Inspeksi

Kulit : warna kulit terihat biru menunjukan

bahwa keadaan bayi buruk dengan angka

penilaian 0 Pada penilaian apgar (osbtetri

fisiologi UNPAD,1983)

Adanya sianosis pada evaluasi

warna kulit menunjukan adanya tanda tanda

asfiksia ( ilmu kebidanan,sarwono

pradirohardjo tahun 2010 )

Kepala :

Wajah : pada bayi baru lahir bayi cenderung

wajahnya tanpa ekspresi (pelayanan

kesehatan maternal dan

neonatal,sarwono

prawirohardjo,2006)

Mata :

Telinga :

25

Hidung : Adanya pernafasan cuping hidung

menandakan bahwa bayi baru lahir

mengalami gawat nafas (at a glance

neonatoligi,2009)

Mulut : Terlihat adanya pernafasan megap megap

(ilmu kebidanan sarwono

prawirohardjo,2010)

Adanya sianosis central yang terjadi pada

bibir bayi

(At a glance neonatologi,2009)

Leher :

dada : Adanya retraksi didinding dada

menandakan bahwa bayi baru lahir

mengalami gawat nafas (At a glance

neonatologi,2009)

Abdomen :

Genetalia eksterna :

Anus :

Ekstremitas : pada asfiksia yang berlanjut, bayi akan

terlihat lemas (pelayanan kesehatan

maternal dan neonatal,sarwono

prawirohardjo,2006)

Pada penilaian APGAR tonus otot

yang lemas menunjukan bayi dalm keadaan

kurang baik (obstetri fisiologi UNPAD,1983

)

PALPASI

Kepala :

Wajah :

26

Mata :

Telinga :

Hidung :

Mulut :

Leher :

Dada :

Abdomen :

Genetalia :

Anus :

Ektremitas :

Auskutasi : Adanya grunting (nafas berbunyi)

merupakan indikasi bahwa bayi baru lahir

mengalami gawat nafas ( At a glance

neonatalogi,2009)

Perkusi :

3. Pemeriksaan neurologis/refleks

Refleks moro : Pada bayi asfiksia reflex moro

negative (pelayanan kesehatan

maternal dan neonatal,sarwono

prawirohardjo,2006)

Refleks tonic neck : Pada bayi asfiksia reflex tonic neck

negative (pelayanan kesehatan

maternal dan neonatal,sarwono

prawirohardjo,2006)

Refleks rooting : Pada bayi asfiksia reflex rooting

negatif(pelayanan kesehatan

maternal dan neonatal,sarwono

prawirohardjo,2006)

Refleks sucking : pada bayi asfiksia Refleks sucking

negative (pelayanan kesehatan

27

maternal dan neonatal,sarwono

prawirohardjo,2006)

Refleks graps (plantar & palmar grasp : Pada bayi

asfiksia reflex graps

negative (pelayanan

kesehatan maternal

dan neonatal,sarwono

prawirohardjo,2006)

Refleks babinski : Pada bayi asfiksia reflex

babinski Negatif (pelayanan

kesehatan maternal dan

neonatal,sarwono

prawirohardjo,2006)

4. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium : Neonatus dengan

pengambilan sampel Ph darah tali pusat dan Ph < 7,0 serta

terjadi penyimpangan hasil gas darah merupakan cerminan

dari beratnya asfiksia pada sat lahir (asuhan kebidanan

varney,2008)

Pemeriksaan usg : USG,EEg atau pemindaian

CT otak bayi yang diresusitasi digunakan untuk menindak

lanjuti bayi baru lahir yang mengalami asfiksia berat.

(asuhan kebidanan ,Helen varney tahun 2008 )

Pemeriksaan diagnostik lainnya :

II. INTERPRETASI DATA DASAR

diagnosis

NP-KMK,Usia 0 hari dengan asfiksia

28

Masalah : kondisi patofisologis yang menyebabkan asfiksia meliputi

berkurangnya oksigenasi sel, retensi karbon dioksida berlebihan dan asidosis

metabolic ( asuhan kebidanan,Helen varney, tahun 2008)

Kebutuhan : pemberian oksigen segera

III. IDENTIFIKASI DIAGNOSIS MASALAH POTENSIAL

Berdasarkan buku pelayanan kesehatan maternal dan neonatal apabila

asfiksia berlanjut makan akan menimbulkan kerusakan otak yang menyebabkan

kelainan kelainan pada fungsi tubuh (kecacatan) bahkan dapat menyebabkan

kematian neonatal.

IV. IDENTIFIKASI KEBUTUHAN TINDAKAN SEGERA

Pada kasus asfiksia ,resusitasi yang efektif dapat mengurangi dan dapat

merangsang pernafasan awal serta mencegah asfiksia yang progresif yang

betujuan memberikan ventilasi yang adekuat ( pelayanan kesehatan maternal

dan neonatal, sarwono prawirohardjo tahun 2006 )

V . INTERVENSI

- Memberikan kehangatan pada bayi dan daerah sekitar tempat resusitasi.

R : Bayi yang kedinginan dengan mudah dapat terjadi hipotermi (At a Glance

neonatalogi tahun 2009 )

- Mengganjal bahu dengan gulungan handuk / kain.

R : Mengganjal bahu dengaan gulungan handuk merupakan cara agar kepala

ekstensi yang membuat jalan nafas menjadi terbuka( ilmu kebidanan sarwono

prawirohardjo tahun 2010 )

- Memberikan stimulasi Berupa rangsangan taktil

29

R : usaha nafas kembali pada bayi dapat dilakukan dengan pemberian

stimulasi berupa rangsangan taktil yang adekuat (asuhan kebidanan

varney,2008)

- Membersihkan jalan nafas .

R : adanya sumbatan pada jalan nafas merupakan indikasi dari ventilasi yang

tidak adekuat (asuhan kebidanan Helen varney tahun 2008)

VI. IMPLEMENTASI

Pelaksanaan dilakukan dengan efisien dan aman sesuai dengan rencana

asuhan yang telah disusun.pelaksanaan ini bisa dilakukan seluruhnya oleh bidan

atau sebagian dikerjakan oleh klien atau anggota tim kesehatan lainnya.

VII. Evaluasi

Evaluasi merupakan penilaian tentang keberhasilan dan keefektifan

asuhan yang telah dilakukan.Evaluasi disokumentasikan dalam bentuk soap.

30

31