konsep ruang dan waktu dalam primbon serta …
TRANSCRIPT
KONSEP RUANG DAN WAKTU DALAM PRIMBON
SERTA APLIKASINYA PADA
MASYARAKAT JAWA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Bay Aji Yusuf NIM: 101032121611
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul KONSEP RUANG DAN WAKTU DALAM PRIMBON
SERTA APLIKASINYA PADA MASYARAKAT JAWA telah diujikan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 27 Juli 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program Studi
Perbandingan Agama.
Jakarta, 27 Juli 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dra. Ida Rosyidah, M.A. Maulana, M.A. NIP: 19630616 199003 2002 NIP: 19650207 199903 1001
Anggota,
Prof. Suwarno Imam S Drs. Agus Darmaji, M.Fils.
NIP: 150 033 254 NIP: 19610827 199303 1002
Dr. Hamid Nasuhi, MA
NIP: 19630908 199001 1001
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas segala
limpahan hidayah, rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga Allah limpahkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia menuju kehidupan
yang lebih berperadaban.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini terdapat banyak uluran tangan dari berbagai pihak. Oleh karena itu
ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada pihak-
pihak tersebut, terutama kepada :
1. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Dr. M. Amin Nurdin, MA; Ketua
Jurusan Perbandingan Agama, Dra. Ida Rosyidah, MA; Sekretaris Jurusan,
Maulana, MA; serta seluruh civitas akademika Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Hamid Nasuhi, MA selaku pembimbing dalam penulisan skripsi ini
yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya serta kesabaran
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga membuka
cakrawala berpikir dan nuansa keilmuan yang baru.
3. Prof. Suwarno Imam S dan Drs. Agus Darmaji, M. Fils selaku penguji
penulisan skripsi ini yang telah menguji penulis dengan teliti sehingga
skripsi ini menjadi lebih baik.
4. Ayahanda, Tubagus Asmamuni R.H. dan Ibunda, Babay Chapsyah yang
penulis cintai dan hormati sepanjang hidup, yang dengan rasa cinta dan
kasih sayangnya secara tulus telah mengurus, membesarkan dan mendidik
penulis hingga sekarang ini. Munajat yang beliau gubah di setiap waktu
telah memberikan kekuatan lahir dan batin bagi penulis dalam mengarungi
bahtera kehidupan.
5. Kakanda-kakanda tercinta, Ir. Tb. Bay Adam Hasyim beserta Istri, Tb. Bay
Amri Hakim, S.Ag beserta istri dan Adinda-adinda tersayang, Tb. Bay
Harkat Firdaus, Tb. Bay Ageng Rochman, dan Tb. Bay Achmad Al-Imam
yang tak pernah henti memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.
Mereka merupakan telaga inspirasi yang tak pernah kerontang.
6. Kawan-kawan jurusan Perbandingan Agama angkatan 2001-2002 yang
telah mendahului dan yang masih tertinggal di kampus.
7. Ade “Faiz” Faizal yang telah banyak berkorban dan direpotkan penulis
dari awal sampai akhir penulisan skripsi ini.
8. Aa Isol (terima kasih telah memberi spirit yang luar biasa). Rahman Halim
dan Aip Ngaco (terima kasih untuk saran-sarannya), Shopienya Pippo
(terima kasih untuk printernya), Ridwan Barqoi (terima kasih untuk
pinjaman uangnya), Hasiolan (terima kasih sudah menemani penulis dari
awal menyerahkan proposal skripsi sampai sidang munaqosyah), Rizky
Syam (terima kasih telah menyediakan konsumsi untuk sidang), Bang Idik
dan Agien (terima kasih untuk kamera dan pemotretan sidang), Bang
Bogs, Bang Idik, Anton, Rifki Arsilan, Rio, Jhonday, Cuplay, Oland,
Agin, Bohal (terima kasih atas kehadirannya pada sidang munaqosyah).
9. Keluarga Besar KM. UIN JAKARTA (dari Senior sampai Junior); Bang
Bogs, Bang Mixil, Bang Irfan, Bang Awa, Bang Sahal dan Teh Iyuy, Bang
Ginting, Bang Ukay dan Teh Siska, Sahid dan Eha, Dewa Nyiul, Ivan
Nyong, Dedi CS, Ibing Lasso, Mumun, Ebe dan Noey, Mustoleh Borang,
Roni van Java, Paskih Hidayat, Hasiolan, Husni Mubarok, Rifki Arsilan,
Ridwan Fokus, Akbar el-Wasil, Rizky Syam, Yoga, Cak Iphoenk, Itba
Pedro, Ka Joy, Ka Roy, Jhonday, Munir Zhiro-zhiro, Trio Rio, Bung
Adam, Paung, Cepot, Syifa, Agien, Uchil, Rahma Dahsyat, Upie
Soulmate, Soraya, Lupus, Pippo, Manto, Cuplu, Mumu, Syifak, Panden,
Surya Deno, Alan Pamungkas, Andai, Pandai, Adit, Ridwan Barqoi, Hj.
Mahesa, Ncek, Aang, Pandai, Cuplay dan lain-lain.
10. Keluarga Besar penghuni Pondok Mungil (Bang Bhotz, Joy Kutil, Dens
Gembel, Ebi Kambing, Sindu, Adit Bulu, Tebe dan lain-lain), Keluarga
Besar Pisangan (Bang Idik, Bang Ojie, Bang Bhul, Ghalo, Awe, Chipluks,
Dhepaks), Keluarga Besar KPA Arkadia (Ncang Bendo, Bang Jaing, Bang
Dedi Black, Jangkar, Khole, Juho, Muchel, Basis Kecap dan lain-lain),
Keluarga Besar penghuni Pohon Sukun (Bang Ats, Nyamuk, Risdiklat,
Ajhon, Baginda, Alan Sumanjaya, Ibing Lasso), Keluarga Besar Gank
Sanyo, Keluarga Besar HIMATA dan HMB, Keluarga Besar Teater
Syahid, Keluarga Besar FORDIS, Keluarga Besar FAC, Keluarga Besar
Partai Boenga, Keluarga Besar KM. Raya, Keluarga Besar Tambal Band,
Keluarga Besar Wali Band, Kawan-kawan Pesanggrahan dan sekitarnya,
Kawan-kawan TK, SD, Ibtidaiyah, Diniyah, Tsanawiyah, Aliyah.
11. Wanita-wanita yang pernah “hinggap” dan yang masih “hinggap” dalam
kehidupan penulis yang selalu memotivasi penulis untuk menyelesaikan
kuliah.
12. Pihak-pihak lain yang mungkin belum penulis sebutkan.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga dukungan, bimbingan,
perhatian, dan motivasi dari semua pihak kepada penulis selama perkuliahan
sampai selesainya skripsi ini menjadi amal ibadah dan bisa memberikan manfaat
pada penulis khususnya dan para pembaca karya ini pada umumnya. Amin.
Jakarta, 27 Juli 2009 M.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 5
C. Metodologi Penelitian.................................................................. 6
D. Tujuan Penulisan ......................................................................... 6
E. Sistematika Penulisan .................................................................. 7
BAB II SEJARAH PENULISAN PRIMBON
A. Definisi Primbon ......................................................................... 8
B. Lintasan Sinkretisme Jawa........................................................... 11
1. Sinkretisme Hindu Jawa.......................................................... 11
2. Sinkretisme Jawa-Islam .......................................................... 14
C. Muncul dan Berkembangnya Primbon ......................................... 20
BAB III KONSEP RUANG DAN WAKTU DALAM PRIMBON
A. Definisi Ruang dan Waktu ........................................................... 26
1. Definisi Ruang........................................................................ 27
2. Definisi Waktu........................................................................ 28
B. Konsep Ruang dalam Primbon..................................................... 29
C. Konsep Waktu dalam Primbon .................................................... 30
BAB IV APLIKASI PRIMBON PADA MASYARAKAT JAWA
A. Perhitungan Waktu dalam Primbon.............................................. 33
B. Perhitungan Ruang dalam Primbon.............................................. 35
C. Aplikasi Primbon Pada Masyarakat Jawa..................................... 38
1. Membaca Jodoh dalam Primbon ............................................. 41
2. Membaca Gejala Alam dalam Primbon................................... 48
BAB V PENUTUP
A. ...............................................................................................Kes
impulan ....................................................................................... 50
B. ...............................................................................................Sar
an ................................................................................................ 52
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 53
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyebaran agama Islam di pulau Jawa segera diikuti dengan
berkembangnya kepustakaan Islam, baik yang tersurat dalam bahasa dan huruf
Arab, atau yang telah digubah dalam bahasa Melayu. Berkembangnya
kepustakaan agama Islam, ternyata dengan cepat mempengaruhi
perkembangan tradisi dan kepustakaan Jawa.
Pada masa Demak berkuasa, pengaruh kepustakaan Islam menimbulkan
jenis kepustakaan Jawa yang isinya mempertemukan tradisi Jawa yang oleh
Simuh disebut kepustakaan Islam kejawen. Kepustakaan Islam kejawen ini
lebih berkembang kemudian pada masa kerajaan Mataram, terutama dalam
pemerintahan Sultan Agung.
Masa keemasan Sultan Agung rupanya bukan hanya terlihat dalam
kekuatan militernya yang mampu menundukkan pemberontakan-
pemberontakan di wilayah pesisir yang didukung golongan santri, melainkan
juga berperan dalam perkembangan sosial-budaya.1
Perbedaan antara masyarakat pesantren yang mempergunakan
perhitungan tahun Hijriyah, dengan masyarakat kejawen yang umumnya tetap
berpegang pada tahun Saka, menimbulkan masalah sosial yang cukup rumit.
Untuk kokohnya sendi kerajaan perlu ada kompromi dari kedua sistem
perhitungan tahun tersebut.
1 Simuh, Mistik Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita (Jakarta: UI Press, 2008), h. 11.
Pada tahun 1633 Masehi, Sultan Agung berhasil menyusun dan
mengumumkan berlakunya sistem perhitungan tahun yang baru bagi seluruh
kerajaan Mataram, yakni perhitungan tahun Jawa, yang hampir secara
keseluruhan menyesuaikan dengan tahun Hijriyah, berdasarkan atas perjalanan
bulan. Namun awal perhitungann Jawa ini tetap pada tahun satu Saka, yaitu
tahun 78 Masehi.2
Bagi masyarakat pesantren, tidak ada masalah untuk menerima
perhitungan tahun Jawa yang dibuat oleh Sultan Agung, karena tahun Jawa
disesuaikan dengan tahun Hijriyah yang berdasarkan atas peredaran bulan, dan
begitu juga nama-nama hari dan bulan mempergunakan nama-nama yang
terdapat dalam pesantren. Sebaliknya bagi masyarakat kejawen, perubahan
dari tahun Saka yang berdasarkan atas peredaran matahari ke tahun Jawa yang
berdasarkan peredaran bulan, sebenarnya menghadapi persoalan yang cukup
rumit. Namun persoalan ini dapat diatasi, karena awal perhitungan tahun Saka
tetap dipertahankan. Dengan cara demikian, Sultan Agung berhasil
menyeragamkan perhitungan tahun di antara masyarakat pesantren dengan
masyarakat kejawen pada umumnya. Kesatuan perhitungan tahun sangat
penting bagi penulisan Serat, Babad, dan pelaksanaan tradisi kejawen. Di
samping itu, pembaharuan perhitungan juga merupakan sumbangan yang
sangat penting bagi perkembangan proses Islamisasi tradisi dan kebudayaan
Jawa, yang telah berlangsung semenjak berdirinya kerajaan Jawa-Islam
Demak.3
2 Simuh, Mistik Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, h. 12.
3 Ibid., h. 13.
Konversi dari kerajaan Hindu-Buddha ke Islam menimbulkan jenis
kepustakaan Jawa yang isinya mempertemukan tradisi Jawa yang disebut
primbon, serat dan suluk. Dalam hal ini Simuh menamakannya dengan
Kepustakaan Islam Kejawen. Berdirinya kerajaan Mataram ternyata lebih
menyuburkan perkembangan kepustakaan Islam kejawen.
Primbon sebenarnya dikenal di berbagai suku di Nusantara, tetapi
tampaknya lebih menggejala pada masyarakat Jawa, Bali, dan Lombok.4
Bahkan Alfani Daud menemukan tradisi perhitungan waktu primbon pada
masyarakat Islam Banjar.5
Ajaran dalam primbon, erat kaitannya dengan waktu. Sehingga ketika di
Jawa terjadi konversi dari tahun Saka yang menggunakan perhitungan
matahari menjadi tahun Jawa yang menggunakan perhitungan peredaran bulan
memunculkan konsekuensi yang sangat tinggi bagi perhitungan primbon yang
menjadi pegangan masyarakat Jawa.
Dalam masyarakat Jawa, waktu adalah tatanan yang berada di luar
semua hal, termasuk manusia dan peristiwa-peristiwa. Terdapat suatu waktu
yang asali dan primordial, dan semua peristiwa berakar dalam waktu asali itu,
serta mendapatkan identitas dan mutunya di sana. Semua peristiwa alami
dikuasai oleh takdir, dan semua peristiwa manusiawi harus menyesuaikan diri
dengan keteraturan yang telah ditetapkan. Arti waktu bagi seseorang dapat
berbeda dengan arti waktu bagi yang lain. Setiap orang memperoleh ketentuan
waktunya sendiri-sendiri, bagi seseorang merupakan waktu yang baik, bagi
4 Jacob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia (Jakarta: Qalam, 2002), h. 81.
5 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar (Jakarta: Rajawali Press, 1997), h. 366.
yang lain tidak baik. Waktu itu bukan linear, tetapi siklis, teratur dalam
periodisitas-periodisitas.6
Selain itu masyarakat Jawa memandang semua penghuni kosmos
memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Seluruh kosmos besar ini semuanya
memiliki tempatnya sendiri-sendiri yang saling berhubungan dan saling
melengkapi. Ruang geografis sangat dipentingkan, dengan tempatnya yang
relatif. Tempat konkret itu menentukan kedudukan seseorang, juga tempatnya
dalam kosmos ini.7 Takdir atau nasib manusia ditentukan oleh kedudukan
waktu pada saat manusia hadir di dunia ruang. Maka pemahaman tentang
waktu ini memegang peranan kunci dalam memahami tempat manusia di
dunia.
Setiap benda dan peristiwa di dunia ini sering tergantung dalam
ketertiban agung ruang absolut. Bumi ini juga tergantung dalam tata tertib
rotasi bulan dan matahari. Matahari dan bulan tergantung pada tata tertib
jalannya bintang-bintang. Dan bintang-bintang seluruh semesta tergantung
pada ruang absolut.8
Tidak bisa dipungkiri bahwa kemunculan primbon merupakan sintesa
dari kebudayaan Jawa kuno yang telah mapan dengan kebudayaan Islam yang
datang kemudian. Sultan Agung Mataram merupakan tokoh yang sangat
berperan penting dalam mensinteSakan kedua kebudayaan tersebut. Ia
mengubah perhitungan tahun Saka Jawa kuno yang menggunakan perhitungan
6 Jacob Soemarjo, Arkeologi Budaya Indonesia, h. 85.
7 Ibid., h. 86.
8 Ibid., h. 88.
matahari (syamsiyah) dengan perhitungan bulan (qamariyah) dan memulai
angka tahunnya dengan tahun Saka.9
Dengan demikian perhitungan tahun yang digunakan adalah
menggunakan perhitungan bulan seperti halnya tahun Hijriyah, namun
memulai angka tahunnya dengan perhitungan tahun Saka, sehingga muncullah
perhitungan Jawa dengan menetapkan hari-hari pasaran seperti Pon, Wage,
Pahing, Kliwon, dan Legi. Perhitungan waktu yang digunakan primbon yang
banyak ditulis pada masa Mataram Islam merupakan buah karya dari
pemikiran Sultan Agung.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan skripsi ini tidak meluas, perlu adanya pembatasan
yang jelas dalam penulisannya. Setidaknya penulisan skripsi ini bukan untuk
merasionalkan primbon atau menjelaskan sisi irasonalnya, melainkan untuk
melihat sejauh mana konsep ruang dan waktu dalam tradisi primbon tersebut
serta hubungannya dalam kehidupan beragama.
Penulisan skripsi ini dirumuskan dalam satu pertanyaan:
1. Bagaimana konsep ruang dan waktu dalam tradisi primbon serta
aplikasinya dalam masyarakat Jawa?
9 Graaf, de H.J, Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senopati (Jakarta: Grafiti Pers,
1983), h. 43.
C. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan
1. Metodologi Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian library
research, yakni dengan menelusuri sumber-sumber pustaka yang berhubungan
dengan tema yang dibahas. Bahan-bahan berupa buku primer dan sekunder,
kitab, naskah kuno dan artikel yang diperoleh dari beberapa perpustakaan baik
Perpustakaan Fakultas, Perpustakaan Universitas, Perpustakaan Nasional, dan
Perpustakaan Daerah. Adapun buku primer yang menjadi referensi dalam
penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku Primbon Betaljemur
Adammakna karya Harya Tjakraningrat edisi bahasa Indonesia.
2. Teknik penulisan
Teknik penulisan dalam skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta” yang diterbitkan CeQDA (Center For Quality
Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2006 M./1427 H.
D. Tujuan Penulisan
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk:
1. Memperluas khazanah intelektual
2. Memahami konsep ruang dan waktu dalam primbon serta mencari nilai-
nilai toleransi dalam primbon?
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terbagi menjadi 5 bab. Bab 1, Berisi tentang signifikansi tema
yang diangkat, pembatasan dan perumusan masalah, metodologi penelitian
dan teknik penulisan, tujuan penulisan serta sistematika penulisan. Bab 2,
menjelaskan sejarah munculnya primbon dengan melihat kondisi sosial
keduanya serta perkembangannya hingga sekarang.
Pada bab 3, menguraikan definisi Ruang dan Waktu menurut para filosof,
konsep ruang dan waktu dalam tradisi primbon.
Sementara pada bab 4, membahas tentang aplikasi primbon pada
masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari yang berupa perhitungan dalam
melakukan segala sesuatu. Bab 5, berisi tentang kesimpulan penelitian serta
saran-saran untuk penelitian lanjutan.
BAB II
SEJARAH PENULISAN PRIMBON
A. Definisi Primbon
Primbon merupakan buku yang berisi perhitungan, perkiraan, ramalan
dan sejenisnya mengenai hari baik dan buruk untuk melakukan segala sesuatu,
serta perhitungan untuk mengetahui nasib dan watak pribadi seseorang
berdasarkan hari kelahiran, nama dan ciri-ciri fisik.10
Dalam Kamus Bahasa
Indonesia Kontemporer disebutkan bahwa primbon merupakan kitab yang
berisi ramalan perhitungan baik, buruk dan sebagainya.11
Umumnya primbon
bersifat anonim. Kalaupun ada nama yang tertera, sebagian besar hanya
merupakan penyusunnya saja. Kecuali seri Betaljemur Adammakna yang
ditulis pangeran Harya Tjakraningrat dari kesultanan Yogyakarta.
Suwardi Endraswara menyebutkan bahwa primbon merupakan gudang
ilmu pengetahuan. Mistikus Jawa disebut juga primbonis. Karena segala gerak
dan tingkah lakunya didasarkan pada kitab primbon. Karena primbon memuat
berbagai macam persoalan hidup.
Dalam hal ini Suwardi membagi ajaran primbon sebagai berikut:12
1. Pranata Mangsa
Merupakan cara membaca gejala alam semesta. Atau disebut juga
tafsir ngalam semesta. Biasa digunakan kaum tani pedesaan untuk
menghitung waktu tandur (menanam padi) atau nelayan untuk mengetahui
waktu melaut.
10
Behrend, Primbon (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2001), h. 2. 11
Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: DEPDIKBUD, 1991), h. 1191. 12 Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa (Tangerang: Cakrawala, 2003), h. 119.
2. Petungan
Petungan merupakan hitung-hitungan neptu (nilai numerik).
Misalnya dalam mencari kecocokan jodoh, nama laki-laki dan perempuan
dihitung sedemikian rupa sesuai dengan abjad Jawa yang 20, kemudian
dibagi tujuh. Maka sisanya adalah kondisi yang akan terjadi jika menikah.
3. Pawukon
Pawukon Merupakan rumusan perhitungan waktu, baik hari, pasaran,
bulan ataupun tahun
4. Pengobatan
Merupakan wejangan pengobatan tradisional.
5. Wirid
Wirid, biasanya berupa sastra Wedha. Di dalamnya terkandung
pesan, sugesti, larangan yang menuju ke suatu titik mistik. Yang bertujuan
agar terciptanya keharmonisan manusia Jawa dengan sesamanya, alam
semesta dan Tuhan.
6. Aji-Aji
Aji-aji merupakan gambaran hidup supranatural orang Jawa.
Menurut masyarakat kejawen, mantra memiliki kekuatan supranatural
yang luar biasa jika diyakini.
7. Kidung
Syair yang berisi wejangan dan sebagainya.
8. Ramalan/Jangka
Ramalan sama halnya dengan seni petungan. Hanya saja lebih luas,
tidak sekedar masalah individu seperti jodoh dan nikah, tetapi lebih
bersifat luas, seperti apa yang terjadi dalam masyarakat diramalkan dalam
Jangka Jayabaya.
9. Tata Cara Slametan
Merupakan tata cara ritual orang Jawa sebagai tanda syukur, tolak
bala ataupun yang lainnya.
10. Donga/Mantra
Donga atau mantra seperti halnya wirid dan aji-aji, tetapi
menggunakan ayat-ayat al-Qur’an yang ejaannya dijawakan.
11. Ngalamat/Sasmita Gaib
Ngalamat biasanya berupa fenomena aneh di alam semesta.
Masyarakat kejawen menganggap fenomena ganjil tersebut sebagai
pertanda.13
Primbon merupakan catatan-catatan yang dianggap penting mengenai
segala sesuatu yang berhubungan dengan pedoman hidup dan tatanan tradisi.
Dalam primbon, misalnya, terdapat catatan mengenai berbagai mantra dan
rumusan mencari waktu-waktu tertentu yang dianggap baik (untung; Jawa)
untuk melakukan segala sesuatu dan waktu-waktu yang dianggap jelek (naas;
Jawa) untuk melakukan sesuatu.
Primbon yang tertua ditulis pada masa Mataram Islam. Ini menunjukkan
bahwa sebelum Mataram, bahkan sebelum masuknya Islam ke Jawa, Primbon
belum didokumentasikan secara tertulis. Namun demikian, akar primbon yang
berupa ramalan astrologi telah lama dengan Serat Jayabaya atau yang biasa
dikenal sebagai ramalan Jayabaya.14
13
Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa (Tangerang: Cakrawala, 2003), h. 119. 14 Purwadi, Ramalan Sakti Prabu Jaya Baya, h. 7.
Perhitungan Jawa yang digunakan dalam primbon baru ditetapkan oleh
Sultan Agung setelah melihat dua masyarakat yang hidup di Jawa, yang oleh
Clifford Geertz disebut, Santri dan Abangan.15 Rupanya Sultan Agung hendak
mendamaikan masyarakat Santri yang menggunakan perhitungan Hijriyah
(bulan) dan masyarakat Abangan yang menggunakan perhitungan tahun Saka
(matahari). Ia kemudian menetapkan perhitungan Jawa dengan menggunakan
perhitungan bulan, diambil dari kalender Hijriyah, namun dimulai dari tahun
Saka saat itu serta menggunakan nama-nama pasaran Jawa (Pon, Wage,
Pahing, Kliwon dan Legi,).16
Perhitungan inilah yang digunakan dalam
primbon.
B. Lintasan Sinkretisme Jawa
1. Sinkretisme Hindu Jawa
Semenjak awal Masehi, tradisi kebudayaan Jawa yang telah mapan
mulai menyerap pengaruh agama dan unsur-unsur kebudayaan Hindu-
Buddha. Dari pelacakan sejarah bisa disimpulkan bahwa datangnya
pengaruh Hindu-Buddha melalui lapisan atas. Yakni melalui penggubahan
para cendekiawan Jawa yang mengenal bahasa Sansekerta dan dapat
membaca kepustakaan Hindu, terutama karya-karya sastra keagamaan
Mahabarata dan Ramayana. Oleh karena itu, J.W.M. Bakker dalam
bukunya Agama Asli Indonesia menyimpulkan bahwa agama Hindu dan
Buddha tidak diterima secara utuh di Jawa. Akan tetapi melalui proses
Jawanisasi. Selain itu, pengaruh Hindu dan Buddha hanya mengakar pada
15
Clifford Geertz, Santri, Priyai, Abangan (Yogyakarta: Ganesha, 1981), h. 102. 16 Simuh, Mistik Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, h. 11.
lapisan atas masyarakat Jawa. Sedangkan lapisan bawah di pedesaan
umumnya tetap dikuasai alam pikiran dan tradisi animisme-dinamisme.17
Yang menarik, pengaruh Hindu ini bisa dimanfaatkan oleh lapisan
cendekiawan Jawa untuk menciptakan kebudayaan tulisan. Sehingga
muncullah berbagai macam karya sesudah cendekiawan Jawa menggubah
tulisan Hindu menjadi huruf Jawa yang terkenal sebagai abjad
“hanacaraka”. Masyarakat Jawa juga meminjam perhitungan tahun Saka
menjadi alat mencatat peristiwa-peristiwa sejarah mereka. Dengan
demikian, pengaruh Hindu meningkatkan taraf kebudayaan Jawa dari tradisi
lisan menjadi tradisi tulisan. Selain itu, pengaruh Hindu juga memunculkan
lapisan cendekiawan Jawa yang makin lama kekuasaannya makin luas,
sehingga lapisan ini menjelma menjadi lapisan para priyai Jawa.
Berkaitan dengan meluasnya kekuasaan lapisan priyai, maka
muncullah kerajaan-kerajaan Jawa-Hindu baik di Jawa Tengah (Mataram
kuno), Jawa Barat dan kemudian Jawa Timur yang puncak kebesarannya
pada masa Majapahit. Maka sebagai hasil pengolahan unsur-unsur
Hinduisme yang terutama dikelola oleh para priyai Jawa beserta sastrawan
dan budayawannya, tradisi kehidupan dan kebudayaan Jawa tersusun dua
lapis, yakni lapisan atas (priyai) dan lapisan bawah di pedesaan.18
Masyarakat petani pedesaan yang merupakan mayoritas dan yang
menjadi lapisan bawah tetap pada tradisi religi animisme-dinamisme, di
mana pengaruh Hindu-Buddha hanya menjamah bagian luarnya. Adapun
kehidupan kepercayaan dan tradisi kehidupannya tetap dijiwai religi
17
Rahmat Subagja, Agama Asli Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), h. 43. 18
Suwarno Imam, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan Jawa
(Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 54.
aslinya. Sebaliknya, lapisan priyai yang mengembangkan kebudayaan
istana sangat dipengaruhi filsafat ajaran Hindu-Buddha dan menjelma
menjadi kebudayaan yang halus dan tinggi. Tradisi kehidupan masyarakat
pedesaan masih tetap mengandalkan kebudayaan lisan, sebaliknya, tradisi
kehidupan masyarakat istana telah beralih ke kebudayaan tulisan.19
Meskipun kehidupan lapisan para priyai tidak melepaskan tradisi
animisme-dinamisme asli, atau bahkan diganti dengan Hinduisme, namun
perbedaan antara lapisan wong cilik (desa) dengan peradaban lapisan priyai
yang lebih halus dan tinggi cukup mencolok.
Dalam perkembangan kehidupan masyarakat dan kebudayaan Jawa
yang makin dijiwai oleh sikap dan faham feodalisme, maka lapisan
masyarakat dan kebudayaan priyai yang halus merupakan tipe ideal bagi
masyarakat pada umumnya. Sehingga sikap hidup orang pedesaan pada
umumnya berusaha meniru gaya hidup priyai.
Bisa disimpulkan bahwa taraf peradaban seseorang diukur dari
seberapa jauh ia sanggup meniru tata cara dan gaya priyaisme ini. Simuh
menyebut model masyarakat seperti ini sebagai “Negara Teater”. Di mana
masyarakat pedesaan mengkiblat gaya kehidupan istana seperti para
penonton memusatkan perhatian pada tingkah laku pemain drama yang
sedang berkiprah di atas panggung. Itulah puncak kebesaran kerajaan
Majapahit yang kemudian harus dihadapi para penyebar agama baru, yaitu
Islam.
19
Simuh, “Warisan Tradisi Kejawen,” Kumpulan Makalah Seminar (Jakarta: LIPI, 1979), h.
13.
Adanya dua lapisan sosial dengan dua tipe budaya yang tingkat
perbedaannya cukup menonjol, langsung atau tidak pasti akan mewarnai
corak interaksi antara agama dan kebudayan Islam dengan tradisi kejawen.20
2. Sinkretisme Jawa-Islam
Berdirinya kesultanan Demak yang merupakan kekuasaan Islam,
meskipun tidak berumur panjang, tetapi mempunyai arti yang sangat
penting bagi penyebaran agama dan kebudayaan Islam. Begitu pentingnya
kedudukan kesultanan Demak, sehingga sastrawan Jawa yang menciptakan
Serat dan Babad menjadikannya sebagai titik tolak zaman peralihan. Yaitu
peralihan dari zaman Hindu-Buddha ke zaman Islam.
Dari hasil penelitian sejarah, diperkirakan bahwa agama Islam
menyebar ke Indonesia, khususnya di Jawa, melalui jaringan perdagangan
dan pengembaraan ulama-ulama Sufi yang merupapkan juru dakwah
sesudah kekhalifahan Baghdad runtuh pada tahun 1258 M. Sangat mungkin
guru-guru Thariqat mengembara sambil berdagang dan menyiarkan agama.
Hal ini dikuatkan dengan corak pemikiran Islam Nusantara yang sejak
semula amat diwarnai ajaran Sufisme (tasawuf). 21
Setidaknya sejak abad ke-13 M, Islam menjadi kekuatan baru di
Nusantara dengan munculnya kesultanan Samudera Pasai di Aceh yang
beragama Islam. Namun baru pada abad ke-16 M kekuatan politik Islam
baru menonjol dengan berdirinya kesultanan Demak. Demikian pula
pengaruh pemikiran keagamaan yang menonjol muncul pada abad ke-16 M.
20
Suwarno Imam, Konsep Tuhan, Manusia, h. 54. 21
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara (Bandung:
Mizan, 1999), h. 13.
Di Jawa muncul naskah-naskah yang memuat ajaran-ajaran ke-
Islaman, terutama Tasawuf dengan ditemukannya naskah berabjad Jawa
yang disebut sebagai het boek van bonang. Demikian pula di Aceh, pada
abad ke-16 M mulai muncul naskah-naskah Melayu yang berisi ajaran ke-
Islaman yang terutama hasil karya empat tokoh ulama sufi Hamzah Fansuri,
Syamsudin Sumatrani, Al Raniri dan Abdul Rauf Sinkel.
Lambat laun, agama Islam menyebar dan diterima masyarakat,
terutama masyarakat pesisir Jawa yang tidak terlalu terkena pengaruh
Hindu. Oleh karena itu daerah pesisir merupakan ladang yang paling subur
bagi penyebaran agama baru (Islam), karena di daerah tersebut sangat tipis
menerima pengaruh Hindu-Buddha. Setelah itu maka segera muncul sistem
pendidikan dan pengajaran agama, walaupun sederhana, namun cukup
teratur yang kemudian terkenal dengan sebutan pesantren.
Nama santri sendiri merupakan warisan dari kosa-kata Hinduisme,
namun isinya adalah Islam. Maka penyebaran agama Islam merupakan
kekuatan peradaban baru yang mulai mengakar di sepanjang pesisir pulau
Jawa sebagai basis kekuatannya, dan secara perlahan memasuki pedalaman
yang didominasi pengaruh Hindu-Buddha dan kepercayaan Jawa asli. Islam
yang menyebar pesat pada akhirnya memudarkan kekuasaan Majapahit
yang merupakan benteng terakhir bagi kerajaan Jawa-Hindu, dan kemudian
runtuh pada tahun 1518 M.22
Runtuhnya kekuasaan Majapahit disusul dengan berdirinya kerajaan
Demak yang merupakan pewaris tradisi Majapahit. Beralihnya kekuasaan
22 Simuh, “Warisan Tradisi Hindu Kejawen,” h. 13.
secara damai ke tangan kesultanan Demak tidak berarti melenyapkan
peradaban Istana Majapahit, melainkan terjadinya proses Islamisasi secara
perlahan terhadap peradaban Istana Jawa-Hindu tersebut.23
Dengan peralihan kekuasaan dari Kerajaan Hindu-Jawa pedalaman ke
kerajaan Islam pesisir, yang kemudian diikuti konversi agama dari Hindu-
Buddha ke Islam, artinya dalam pemerintahan zaman feodal dengan konsep
“Negara Teater”, maka agama masyarakat Jawa berkiblat pada agama
rajanya. Sehingga masyarakat Jawa banyak memeluk Islam, meskipun
hanya sekedar mengucapkan syahadat tanpa dibarengi dengan kewajiban
syari’at. Dari sini mulailah adanya dua varian dalam kalangan umat Islam
Jawa, yakni Santri dan Abangan.24
Ciri yang membedakan antara dua varian di atas hanyalah pada taraf
keislaman mereka. Santri adalah yang telah menyadari dan mentaati rukun
Islam yang lima. Ukuran kesadarannya adalah ketaatan menjalankan Shalat
lima waktu yang merupakan tiang agama. Adapun varian Abangan belum
aktif melakukan shalat lima waktu secara sadar, namun dengan pengakuan
dan penerimaan dua kalimah syahadat, berarti mereka sudah Islam.
Menurut Purbatjaraka, peralihan kekuasaan dari Majapahit ke Demak
menyebabkan para Priyai dan Cendekiawan Jawa yang kehidupannya
bergantung pada istana, akhirnya harus mendekati sastrawan dan
budayawan Jawa dengan tokoh-tokoh pesantren pendukung kesultanan
Demak. Bahkan banyak pula para cendekiawan dan para priyai Jawa yang
23
H.J. De Graaf dan Pegeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa (Jakarta: Grafiti Pers,
1986), h. 3. 24
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyai, dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya,
1981), h. 78.
kemudian berguru pada para penyebar Islam yang dikenal dengan sebutan
Wali.
Sebuah contoh, dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa Jaka
Tingkir dari daerah pedalaman pergi ke Demak. Akhirnya Jaka Tingkir
diambil menantu Sultan Demak. Jaka Tingkir merupakan priyai kejawen
yang kemudian berguru pada Sunan Kudus, seorang wali yang disucikan
masyarakat Jawa. Di dalam pesantren Kudus ini, Jaka Tingkir menjadi
teman seperguruan Arya Panangsang, seorang pemuka masyarakat Santri
dari Jipang.25
Proses mengalirnya para priyai Jawa ke Demak diikuti dengan
pertemuan kebudayaan istana dengan kebudayaan pesantren. Menurut
Purbatjaraka, hal ini menyebabkan munculnya kitab-kitab Jawa yang
memuat hal-hal keIslaman. Memang semenjak berdirinya kesultanan
Demak pada abad ke-16 M, mulai nampak terjadinya akulturasi
kebudayaan Jawa-Hindu dengan kebudayaan pesantren.
Dalam hal ini yang paling berperan adalah para sastrawan dan
budayawan yang bertujuan memperkaya dan meningkatkan warisan budaya
istana masa lalu. Simuh menyebut proses ini sebagai Islamisasi warisan
budaya istana, bukan Jawanisasi Islam. Hal ini berdasarkan empat
pertimbangan.26
25
W.L. Olthof (penyusun), Babad Tanah Jawi Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647
(Yogyakarta: Narasi, 2007), h. 47. 26
Simuh, “Kajian Keislaman dalam Pandangan Kejawen,” (Kumpulan Makalah Seminar
LIPI, 1979), h. 5.
Pertama, warisan budaya istana yang sangat halus dan adi luhung
pada zaman Islam hanya bisa dipertahankan dan dimasyarakatkan apabila
dipadukan dengan unsur Islam.
Kedua, para pujangga dan sastrawan Jawa sangat memerlukan bahan
untuk berkarya. Sedangkan hubungan dengan Hinduisme telah terputus
pada masa kekuasaan Islam. Satu-satunya sumber yang mendampingi kitab-
kitab kuno hanya kitab-kitab pesantren, baik dari naskah melayu, Jawa
Pegon, atau Arab. Selain itu, para pujangga dan sastrawan Jawa tahu betul
bahwa dalam lingkungan pesantren terdapat sumber-sumber konsep
ketuhanan, etika dan falsafah kebatinan yang kaya. Hal itu menguatkan
pengkajian para sastrawan dalam memperkaya khazanah budaya Jawa.
Ketiga, pertimbangan stabilitas sosial budaya dan politik. Adanya dua
lingkungan budaya, yakni pesantren dan kejawen perlu dijembatani agar
terjalin saling pengertian dan menghindarkan atau mengeliminasi konflik-
konflik yang mungkin terjadi. Salah satu contoh yang jelas adalah usaha
Sultan Agung untuk menggabungkan perhitungan kalender Saka dengan
Hijriyah.
Keempat, pihak istana sendiri sebagai pendukung dan pelindung
agama, tentu merasa perlu mengulurkan tangan untuk menyemarakkan siar
Islam. Maka semenjak Sultan Demak, muncullah upacara keagamaan yang
disebut Sekaten, Grebeg Maulud dan sebagainya. 27
Pertimbangan-pertimbangan inilah yang memungkinkan proses
akuturasi sehingga membagi Islam Jawa menjadi dua varian. Di dalam
27 Simuh, “Kajian Keislaman dalam Pandangan Kejawen,” h. 7.
kebudayaan pesantren, unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dipandang tidak
bertentangan dengan syari’at Islam diinkulturasikan untuk mendukung
kebudayaan Islam.
Proses pengolahan unsur-unsur lama ke dalam Islam inipun mengalami
keberagaman pula. Bagi para santri di daerah-daerah pedesaan, di mana
unsur tarikat sangat dominan, mereka lebih bersikap akomodatif dengan
tradisi animisme-dinamisme warisan budaya lama. Maka perbedaan antara
yang telah nyantri dengan yang masih abangan hanya dalam taraf kesadaran
menjalankan Shalat lima waktu.
Istilah santri itu sendiri adalah contoh konkret dari proses inkulturasi
warisan budaya lama. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa akulturasi
bersifat evolutif, tidak serta merta berubah. Akar lama yang positif untuk
mendukung suasana baru tidak akan tercabut sama sekali.
Adapun dalam kalangan Islam kejawen, yang terjadi sebaliknya, yaitu
unsur-unsur Islam yang diserap dan diinkulturasikan dalam kebudayaan
Jawa. Sehingga warna Islamnya juga mengalami keberagaman. Dalam
masyarakat pedesaan di mana sistem religi animisme-dinamisme menguasai
cara hidup mereka. Pengaruh Islam berjalan secara alamiah melalui
pergaulan dan dakwah. Dengan demikian, unsur-unsur Islam merembes dan
diinkulturasikan dalam tradisi budaya pedesaan.
Sebagaimana dalam kebudayaan pesantren dalam menyerap dan
menginkulturasikan unsur-unsur kejawen terdapat sikap selektif, demikian
pula dalam budaya istana kejawen. Dalam masyarakat pesantren hasil-hasil
seni dan budaya, baik yang bercorak ke-Hinduan ataupun yang
bertentangan dengan sufisme, hingga kini menurut Simuh belum dapat
diterima.28
Proses sinkretisme dari Hindu-Buddha dengan kebudayaan asli Jawa
hingga terjadi akulturasi dengan Islam yang datang kemudian,
memunculkan para intelektual yang tidak hanya bercorak ketuhanan dan
etika seperti Suluk, tetapi juga memunculkan filsafat kosmologi Jawa
seperti primbon yang baru muncul pada masa Mataram.
C. Muncul dan Berkembangnya Primbon
Suatu hal yang mesti diketengahkan di sini adalah pertumbuhan dan
perkembangan sastra dan kepustakaan Islam kejawen. Kepustakaan Islam
Kejawen mulai berkembang subur pada abad ke-17 hingga abad ke-19 M.
Yakni sesudah beralihnya pusat kesultanan ke daerah pedalaman dalam masa
kekuasaan Pajang pada pertengahan abad ke-16 M dan kemudian disusul
dengan berdirinya kesultanan Mataram.29
Kesultanan Pajang berdiri setelah Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir)
sebagai menantu Demak menjadi penguasa setelah menang perang dengan
Arya Panangsang, Adipati Jipang, yang sama-sama merasa pewaris kerajaan
Demak setelah terbunuhnya Susuhunan Prawata pada tahun 1549 M.30
Sultan Hadiwijaya memilih Pajang di daerah pedalaman sebagai pusat
kerajaan karena ia berasal dari pedalaman, yakni keturunan Pengging. Selain
itu, sebagian besar pendukungnya berada di pedalaman. Berbeda dengan
Jipang yang banyak mendapat dukungan dari daerah pesisir. Namun
28
Simuh, “Kajian Keislaman dalam Pandangan Kejawen,” h. 8. 29
Hasanu Simon, Misteri Syeikh Siti Jenar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 436. 30 H.J. De Graaf dan Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam, h. 41.
kesultanan Pajang tidak berlangsung lama dan digantikan kesultanan Mataram
di bawah kepemimpinan Panembahan Senapati (Sutawijaya) sejak tahun 1578
Masehi.
Dalam kesultanan Mataram ini, amat diraSakan perlunya
mempertemukan tradisi kejawen dengan unsur-unsur kebudayaan pesantren
atau pesisiran bagi terciptanya stabilitas sosial politik dan kebudayaan, yang
oleh H.J. De Graaf dinyatakan sebagai puncak kebesaran dan kekuasaan
Mataram.31
Semenjak masa kesultanan Demak, Pesantren merupakan satu-satunya
sistem pendidikan yang cukup teratur sesudah sistem pendidikan Mandala
pada masa Hindu tergusur. Sultan Mataram sendiri belum sempat mendirikan
sistem pendidikan secara teratur. Karena bukan merupakan kebutuhan yang
mendesak. Sehingga pada masa itu hingga pertengahan abad ke-19 M, para
Priyai Jawa, terutama calon sastrawan dan pujangga kenamaan seperti
Yasadhipura, Ranggawarsita, Mangkunegara IV dan lainnya secara khusus
pada masa mudanya dikirim ke pesantren.
Pesantren merupakan pendidikan dengan kitab-kitab agama dan sastra
yang melimpah. Pengaruh sastra pesantren dan melayu yang juga telah
diislamkan menumbuhkan sastra pesisiran yang membentang sepanjang
daerah-daerah pesisir pulau Jawa dan Madura. Karya-karya sastra tersebut
merupakan sumber utama dalam mengembangkan dan memperkaya sastra
Jawa Kraton pada masa Mataram.
31 Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram (Jakarta: Grafiti Pers, 1986), h. 13.
Setelah Sultan Agung berhasil menundukan bupati-bupati pesisiran dari
daerah pesantren yang tidak tunduk dan tidak mau mengakui kekuasaan
Mataram, maka hampir seluruh Jawa berada di bawah kekuasaan Mataram.
Persoalan yang sejak lama harus diatasi adalah stabilitas sosial, politik dan
budaya.
Sejak masa kesultanan Pajang, persoalan yang sangat rumit adalah
menghadapi perlawanan bupati-bupati pesisir yang mendapat dukungan
masyarakat pesantren dan legitimasi para wali. Masalah ini tidak hanya diatasi
dengan menggunakan kekuatan senjata saja.32
Sebagai raja yang bijaksana dan mempunyai wawasan sosial budaya
yang luas, Sultan Agung segera mempelopori langkah pembaruan sosial
budaya. Pada mulanya ia menggunakan politik integrasi dengan pernikahan.
Hal ini nampak dengan mengawinkan bupati Cakraningrat I, penguasa daerah
Madura dengan saudara perempuan Sultan sendiri. Demikian pula dengan
perkawinan Pangeran Pekik, bupati Surabaya dengan putri Pandan Sari,
saudaranya yang lain. Hal ini diikuti dengan upaya pendekatan kultural, yakni
pengislaman warisan kultur Jawa.
Nampaknya Sultan Agung juga menyadari benar bahwa di Jawa terdapat
dua kekuatan yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan
sejarah masyarakat Jawa pada umumnya. Yakni masyarakat pesantren dengan
budaya barunya, dan masyarakat kejawen yang masih terikat ketat warisan
budaya lama yang ber-intikan mistik Hindu-Buddha. Jurang perbedaan ini
tercermin dalam cara mereka mempergunakan perhitungan tahun. Masyarakat
32 Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 438.
pesantren berpegang pada kalender Hijriyah atas dasar perjalanan bulan
(lunar/qamariyah), sedangkan masyarakat kejawen menggunakan tahun Saka
atas dasar pergerakan matahari (solar/syamsiyah).
Sultan Agung berusaha menciptakan keselarasan dan stabilitas sosial-
politik bagi kebesaran kerajaan Mataram. Maka ditempuhlah politik Islamisasi
perhitungan tahun Saka yang dirubahnya jadi perhitungan tahun Jawa yang
disesuaikan dengan Hijriyah yang menggunakan perhitungan bulan.
Penciptaan tahun Jawa yang mulai diberlakukan sejak tahun 1633 M
merupakan bentuk perpaduan antara perhitungan Hijriyah dan Saka. Karena
secara keseluruhan menyesuaikan dengan tahun Hijriyah, baik mengenai
bilangan dan nama-nama hari setiap minggunya ataupun nama-namanya.
Namun awal perhitungan tahunnya tetap mempertahankan tahun Saka, yaitu
bermula dari tahun 78 Masehi sebagai tahun pertama. Dengan demikian angka
tahun karya-karya kejawen sebelum tahun 1633 Masehi tidak perlu dirubah
dan disesuaikan.33
Selain itu hari-hari kejawen disertakan dengan dan dipadukan dengan
hari-hari Hijriyah menjadi hari pasaran, seperti Senin Pahing, Selasa Pon dan
sebagainya. Maka perubahan itu tidak menimbulkan kegoncangan bagi
berlakunya tradisi dan ilmu kejawen. Oleh karena itu sistem perhitungan tahun
Jawa ciptaan Sultan Agung ini cukup memuaskan kedua belah pihak, bisa
diterima dalam masyarakat pesantren dan kejawen tanpa menimbulkan
kesulitan dan kegoncangan. Jadi sebenarnya tahun Jawa ini cukup unik,
karena merupakan perpaduan antara tahun Hindu, Jawa dan Islam.
33 Simuh, “Kajian Keislaman dalam Pandangan Kejawen,” h. 8.
Pergantian hitungan kalender Saka (matahari) ke hitungan Hijriyah
(bulan) yang melahirkan kalender Jawa, mempunyai peranan yang sangat
besar bagi munculnya penulisan primbon. Karena memang, dasar penulisan
primbon adalah perhitungan Qamariyah (bulan). Sehingga wajar jika dalam
beberapa hal menggunakan saduran kata-kata bulan Arab seperti Safar,
Dulka’dah dan lainnya. Selain itu jelas terlihat dalam nama-nama Penget
Palintangan yang rupanya menyadur nama-nama buruj (zodiak) dalam bahasa
Arab, saperti Kamluon, Sur, dan lain sebagainya.34
Perbandingan Palintangan Primbon dengan Buruj Ilmu Hikmah
Palintangan Neptu
Buruj Zodiak Bulan Khodam
Kamlun 13 Al Hamlu Aries Muharam Jafkhail
Sur 14 Al Tsauru Taurus Shafar Bisghail
Djud 15 Al Jawza’ Gemini Rab. Awal Waktsail
Surtan 16 Al Sarthan Cancer Rab. Akhir Raghail
Kasad 17 Al Asad Leo Jum. Awal Jamsyail
Sambulah 18 Al Sanbulah
Virgo Jum. Akhir Hanghail
Mijan 7 Al Mizan Libra Rajab Ha’dzail
Ngakarad 8 Al ‘Aqrab Scorpion Sya’ban Wal aghail
Kus 9 Al Qaws Sagitarius
Ramadhan Nartsail
Jadiyun 10 Al Jadyu Carpicorn
Syawal Amtayail
Daliyun 11 A Dalwu Aquarius Dzu Qa’dah
Wandzaail
Kuda 12 Al Hut Pisces Dzu Hijah Thighail
Dari sini dapat disimpulkan bahwa primbon belum muncul pada masa
Hindu-Buddha. Bahkan jangka (ramalan) Jayabaya baru dituliskan
Ranggawarsita pada masa Mataram Islam. Sehingga bisa dipastikan
34 Harya Tjakraningrat, Attasadhur Adammakna, (Solo: Buana Raya, 1994), h. 163
munculnya primbon karena adanya pengaruh dari sufisme Persia, seperti
perhitungan dalam tradisi ilmu hikmah ataupun ilmu falaq.
Hal ini dikuatkan dengan kentalnya konsep makrokosmos (alam
semesta) dan mikrokosmos (manusia) yang dalam bahasa Jawa disebut jagat
gedhe dan jagat cilik, terdapat dalam ilmu hikmah dengan sebutan ‘alam al
‘ulya dan ‘alam al adna.35
Sehingga gerak makrokosmos mempengaruhi nasib
mikrokosmos.
Selain itu keduanya mempunyai kemiripan dalam menempatkan huruf.
Di mana huruf, baik abjad Jawa ataupun Hijaiyah, bukanlah tanpa makna.
Setiap huruf mempunyai nilai numeriknya sendiri yang disebut neptu. Dalam
primbon, jelas tersirat bahwa nama seseorang mempengaruhi watak dan
semua yang dilakukannya. Sehingga dalam mencari jodoh, seseorang harus
menghitung neptu pasangan laki-laki dan perempuan dengan rumusan
tertentu.36
Pada mulanya, primbon hanyalah catatan-catatan pribadi yang
diwariskan turun temurun di lingkungan keluarga, terutama di kalangan
masyarakat Jawa. Namun pada awal abad ke-20 primbon mulai dicetak dan
diedarkan secara bebas. Primbon cetakan tertua berangka tahun 1906 Masehi,
diterbitkan oleh De Bliksem dengan ketebalan 36 halaman. Namun primbon
tersebut belum tersusun secara sistematis.
35
Ade Faizal, Tradisi Ilmu Hikmah, Dari Sufisme Persia Hingga Kyai Nusantara (Jakarta:
Lemlit UIN, 2009), h. 5. 36 Harya Tjakraningrat, Betaljemur Adammakna (Solo: Buana Raya, 1994), h. 12.
Di Perpustakaan Nasional terdapat banyak jenis primbon seperti Kitab
Ta’bir, Primbon Padhukunan Pal-Palan, Mantra Siwastra Raja, Lontarak
Bola dan lain-lain.37
Primbon yang ditulis lebih sistematis terbit pada tahun 1930-an.
Selanjutnya primbon bukan lagi sekedar catatan keluarga, tetapi justru sudah
menjadi petunjuk praktis dalam kehidupan. Seri Primbon Betaljemur
Adammakna terbitan Yogyakarta misalnya, disusun secara berseri dengan
Attasadhur Adammakna dan Lukmanakim Adammakna dalam dua bahasa,
Jawa dan Indonesia. 38
37
Behrend, Primbon, h. 2. 38
Bambang Harsrinuksmo, Primbon (Jakarta: Ensiklopedi Nasional Indonesia, 2001), Vol.
13, h. 395.
BAB III
KONSEP RUANG DAN WAKTU DALAM PRIMBON
A. Definisi Ruang dan Waktu
Manusia dan alam semesta sama-sama mengada dalam ruang dan
waktu. Sejak seorang manusia dilahirkan hingga kematiannya, ia berada dalam
ruang dan waktu dunia ini. Tetapi penjelasan mengenai apa itu ruang dan
waktu, rupanya sejak zaman Yunani dan Upanishad di India, hinga sekarang
belum ada jawaban yang memuaskan. Karenanya tetap akan muncul jawaban-
jawaban berikutnya dalam filsafat kosmologi.
Ketika St. Agustinus ditanya mengenai waktu, ia menjawab “Saya tahu
apa itu waktu. Tetapi jika saya diminta menjelaskannya, saya tidak tahu”.39
1. Definisi Ruang
Adapun ruang, Anton Bekker membaginya dalam empat golongan
pemikiran. Golongan pertama adalah Subjektif, golongan ini menyatakan
bahwa ruang itu konsep subyektif saja tanpa realitas. Seperti penjelasan
Kant, bahwa tempat dan ruang merupakan konsep tanpa dasar objektif.
Hanya bentuk subjektif dalam persepsi. Kaum positivis juga berpendapat
bahwa ruang dan waktu tidak mempunyai arti. Sebab keduanya bukan
realitas empiris yang dapat dibuktikan dengan metode empiris ilmiah.40
Golongan kedua adalah golongan Realisme-Ekstrim, realitas
tersendiri. Penganutnya kebanyakan para filsuf Timur dan filsuf pra-
39
Jacob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, h. 83. 40 Anton Bakker, Kosmologi dan Ekologi, h. 111.
Sokrates di Barat. Menurut golongan ini, ruang bersifat tak terbatas, abadi,
tak terobservasi, dan menjadi syarat kemungkinan ekstensi, tetapi tidak
sama dengan ekstensi. Ruang terbagi menjadi dua, yakni ruang yang
memuat dunia, dan ruang yang kosong di seberang sana.
Golongan ketiga ialah mereka yang melihat ruang sebagai konsep
dengan dasar riil. Aristoteles misalnya menyatakan bahwa ruang adalah riil
sejauh terdapatkan keleluasaan berdimensi dengan panjang, lebar, dan
tingginya. Ruang absolut tidak ada, harus bertolak, yaitu realitas yang
berbeda dengan substansi kosmos. Ruang merupakan konsep logis saja,
tetapi dengan satu landasan dalam kenyataan. Adapun golongan terakhir
adalah kaum eksistensialis. Ruang selalu dihidupi dalam praktis.
2. Definisi Waktu
Anton Bakker menggolongkan pemikiran tentang waktu dalam 4
golongan. Golongan pertama adalah golongan subjektivisme. Golongan ini
menyatakan, bahwa waktu itu sesuatu yang tidak riil, hanya merupakan
bentuk subjektif-individual yang berasal dari pikiran. Ruang dan waktu
adalah konstruksi-konstruksi yang bersifat relatif, terbatas dan ilusif.
Pandangan ini terdapat di Barat ataupun Timur. Di Barat dimulai dari
Parmenides dan Zeno di zaman Yunani, sampai Descarters, John Locke,
David Hume, Kant, Hegel, dan Carnap di abad XX. Sedang di dunia Timur
diwakili Budhis yang menyatakan “Masa lalu, masa depan, ruang fisik dan
individu-individu tidak lebih dari deretan nama-nama bentuk pemikiran,
kata-kata dari kebiasan umum”.41
41 Jacob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, h. 84.
Golongan kedua adalah Realisme Ekstrem, yang menyatakan bahwa
waktu itu realitas absolut otonom yang universal, tidak memiliki kesatuan
intrinsik, tetapi hanya menunjukkan urutan-urutan murni. Pandangan yang
bersifat spiritual ini berkembang di kalangan filsuf India purba seperti
Kaum Jaina, Nyaya dan Vaiseshika sekitar 500 SM. Mereka menyatakan
bahwa waktu adalah substansi nonmaterial yang riil. Substansi unitaris yang
terbatas, abadi, noneksisten dan tak terbagikan. Waktu itu hanya satu yang
menampung dan meresapi segala yang ada. Di samping itu ada waktu
empiris yang memungkinkan adanya perubahan-perubahan. Waktu empiris
oleh konvensi manusia diletakkan atas waktu riil itu.
Pandangan demikian juga dianut oleh manusia Indonesia kuno, di
mana primbon muncul. Di Barat juga terdapat pendapat seperti ini pada
Newton, Whitehead, Clarke dan Alexander.
Golongan ketiga adalah Realis Lunak, yang berpendapat bahwa
waktu merupakan aspek perubahan riil, tetapi dihasilkan oleh subjek dan
terabstraksi dari kreativitas pengkosmos. Penganutnya antara lain adalah
Aristoteles, Agustinus, Thomas Aquinas, dan Einstein.
Golongan terakhir ialah kaum Subjektivisme Lunak, yang banyak
dianut eksistensialis. Dalam hal ini Henri Bergson menyatakan bahwa
waktu itu memang riil, tetapi selalu berciri kualitatif, tidak bereksistensi dan
tidak terukur, sebab kesadaran manusia memang tidak bereksistensi.42
42 Anton Bakker, Kosmologi dan Ekologi, (Jakarta: Kanisius, 1995), h. 110.
B. Konsep Ruang dalam Primbon
Seperti yang ditunjukkan oleh Anton Bakker, Indonesia menganut
paham ruang dan waktu sebagai realisme-ekstrim. Waktu adalah tatanan yang
berada di luar semua hal, termasuk manusia dan peristiwa-peristiwa. Terdapat
suatu waktu yang asali dan primordial, dan semua peristiwa berakar dalam
waktu asali itu, serta mendapatkan identitas dan mutunya di sana. Semua
peristiwa alami dikuasai oleh takdir, dan semua peristiwa manusiawi harus
menyesuaikan diri dengan keteraturan yang telah ditetapkan. Arti waktu bagi
seseorang dapat berbeda dengan arti waktu bagi yang lain. Setiap orang
memperoleh ketentuan waktunya sendiri-sendiri, bagi seseorang merupakan
waktu yang baik, bagi yang lain tidak baik. Waktu itu bukan linear, tetapi
siklis, teratur dalam periodisitas-periodisitas.
Pandangan tentang ruang pun realistis-ekstrim. Semua penghuni
kosmos memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Seluruh kosmos besar ini
semuanya memiliki tempatnya sendiri-sendiri yang saling berhubungan dan
saling melengkapi. Ruang geografis sangat dipentingkan dengan tempatnya
yang relatif. Tempat konkret itu menentukan kedudukan seseorang, juga
tempatnya dalam kosmos ini.43
Ruang sejati juga absolut, menyeluruh dan holistik. Ruang absolut ini
menjadi dasar dari ruang relatif pula, dan berada di dalamnya. Ruang manusia
dan semesta yang relatif itu tersusun dalam tata tertib holistik dalam ruang
absolut. Hubungan antara ruang relatif dengan ruang absolut adalah
ketergantungan padanya. Setiap benda dan peristiwa dalam ruang relatif,
43 Ibid., h. 112.
tersusun dalam tata tertib menyeluruh dengan ruang absolut. Setiap benda dan
peristiwa dalam ruang relatif tersusun dalam tata tertib menyeluruh dengan
ruang absolut.
Setiap benda dan peristiwa di dunia ini saling tergantung dalam
“ketertiban agung” ruang absolut. Bumi ini juga tergantung pada tata tertib
rotasi bulan dan matahari. Matahari dan Bulan tergantung pada tata tertib
jalannya bintang-bintang. Dan bintang-bintang seluruh semesta tergantung
dari ruang absolut tadi. Inilah sebabnya dalam primbon, semua hal di dunia
manusia memiliki pola hubungan satu sama lain. Setiap benda menempati
ruangnya sendiri yang relatif terhadap keberadaan benda-benda yang lain.
Keyakinan ini seperti membuat primbon seolah-olah merupakan ‘ngelmu
gathuk’ (ilmu mencocokkan). Kesan demikian bisa saja terjadi, karena pola
menghubung-hubungkan itu tidak baku.44
C. Konsep Waktu dalam Primbon
Takdir atau nasib manusia ditentukan oleh kedudukan waktu pada saat
manusia hadir di dunia ruang. Maka pemahaman tentang waktu ini memegang
peranan kunci dalam memahami tempat manusia di dunia. Waktu yang non-
material menentukan tempat dan ruang yang material. Manusia dan benda-
benda serta peristiwa-peristiwa adalah material. Karena absolutnya peranan
waktu yang universal dan otonom ini, primbon memperinci hitungan waktu
sampai hal yang sekecil-kecilnya, yakni hitungan jam. Tetapi juga menghitung
44 Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, h. 119.
hal yang sebesar-besarnya, yakni windu atau periode delapan tahunan. Bahkan
yang delapan tahunan ini diperluas menjadi 64 tahun.
Hitungan waktu dalam Primbon berbeda sekali dengan hitungan waktu
modern. Sebuah kelahiran hanya dicatat tanggal, hari, bulan dan tahunnya.
Dalam Primbon, kelahiran seseorang dicatat dari mulai jamnya, hari pasaran,
tanggal, paringkelannya (hitungan pasaran dalam sebulan), wukunya
(hitungan minggu dalam jumlah 30 minggu), nama tahun, nama bulan, nama
windu.45
Ketepatan waktu absolut itu dihitung serinci-rincinya, sebab
pemahaman ini akan sangat menentukan ruang gerak subjek di tempatnya.
Jelaslah bahwa pandangan orang Jawa terhadap ruang dan waktu tidak
jauh berbeda dengan pandangan Timur, terutama India dan juga filsuf-filsuf
Yunani sebelum Aristoteles. Pandangan Plato boleh dikatakan mirip dengan
pandangan Timur. Waktu itu absolut dan berada di luar waktu manusia ini.
Waktu absolut memberikan dampak terhadap keberadaan manusia di
tempatnya masing-masing. Waktu yang non-material itu meresapi semua yang
ada dalam ruang. Waktu faktor unitaris yang abadi, yang hadir dalam tempat
dan ruang kosmos.
Primbon mendasarkan diri pada filsafat objektif (realis) tentang waktu
dan ruang. Waktu dan ruang benar-benar ada, bukan hanya berada dalam
pikiran manusia. Waktu dan ruang itu absolut adanya dan berada di luar waktu
dan ruang semesta yang relatif. Waktu dan ruang relatif manusia bersumber
pada waktu dan ruang absolut. Waktu absolut adalah waktu yang ‘sekarang’
dan selalu ‘sekarang’. Kategori masa lalu, masa sekarang dan yang akan
45 Lihat Harya Tjakraningrat, Betaljemur Adammakna dan Attasadhur Adammakna (Solo: Buana Raya, 1994).
datang adalah konvensi manusia dan nilainya relatif. Waktu relatif ini
ditentukan adanya oleh waktu absolut yang objektif riil itu.
Di belakang Primbon terdapat gambaran bahwa ada ruang dan Waktu
yang Tunggal, Satu dalam dirinya, dan Absolut, Nyata. Pada ketunggalan itu
masuk di dalamnya ruang dan waktu relatif manusia. Pandangan Primbon
tentang ruang dan waktu, berbeda dengan pandangan kaum Subjektivis keras
maupun lunak, yang menyatakan bahwa ruang dan wktu sepenuhnya ‘tak ada’,
tidak objektif, tidak riil. Semua itu hanya konstruktif pikiran manusia belaka,
lantas jadi konvensi umum.46
46 Anton Bakker, Kosmologi dan Ekologi, h. 111.
BAB IV
APLIKASI PRIMBON PADA MASYARAKAT JAWA
A. Perhitungan Waktu dalam Primbon
Kunci Primbon adalah memahami Waktu absolutnya terlebih dahulu.
Penemuan waktu ini akan dapat menentukan di mana letak seorang manusia
dalam Ruang semesta, khususnya dalam ruang relatifnya di dunia ini. Karena
tempat seorang manusia telah ditemukan berdasarkan kemunculannya dalam
Waktu, maka semua gerak-geriknya harus diatur berdasarkan Waktu tersebut,
kalau manusia itu mau selamat. Begitu pula kala seseorang mau mencelakakan
orang lain, maka dia harus mengetahui letak dan tempat orang lain tersebut
dalam pola tata tertib Waktu dan Ruangnya dalam alam semesta (kosmos).47
Para maling penganut Primbon di Jawa, misalnya, jika ingin selamat
menjalankan profesinya, juga harus mempelajari Primbon yang disebut
kalamunyeng atau Kalamudeng. Kapan hari yang baik baginya untuk maling,
berdasarkan hitungan tempat tinggal dan tanggal lahir si maling tersebut.
Dalam hal ini keselamatan masyarakat juga dapat dihitung berdasarkan letak
dan tempat masyarakat tersebut dalam tata tertib Kosmos Agung itu.
Dengan demikian, Primbon memperlakukan kategori waktu secara
semesta dan rinci. Dasar perhitungan waktu semesta itu berdasarkan dari
agama Hindu. Dalam agama Hindu diajarkan tentang adanya Hari Brahma dan
Malam Brahma. Hari Brahma adalah waktu penciptaan segala material dunia
47 Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen (Yogyakarta: Narasi, 2001), h. 148.
dan semesta ini. Di sini tidak dipermasalahkan apakah penciptaan semesta
material itu dengan cara emanasi atau dengan cara creatio ex nihilio.
Dalam Hindu, masa penciptaan semesta berlangsung dalam empat waktu
besar, yakni Kertayuga, Dwaparayuga, Tertayuga dan Kaliyuga. Masa
Kertayuga adalah masa keemasan penciptaan dunia, sebab semua makhluk
ciptaan bertingkah laku sempurna, sehingga keadaan manusia secara tertib
kosmologi. Sehingga dalam keadaan damai dalam kemakmuran. Tetapi dalam
masa berikutnya, manusia di dunia telah ada yang bertingkah laku chaos
terhadap kosmos, sehingga hampir separuh manusia bertingkah laku tidak
tertib kosmologis. Ketentraman hidup manusia mulai terganggu, kejahatan-
kejahatan dilakukan oleh setengah jumlah manusia yang ada.48
Pada masa berikutnya, gejala tidak tertib kosmos ini semakin banyak,
sehingga tiga perempat jumlah manusia berlaku jahat, yang disebut Tertayuga.
Dan pada masa akhir penciptaan dalam Hari Brahma ini, dapat dikatakan
semua makhluk mansia berbuat jahat, chaos, yang dapat mengguncangkan
kosmos. Inilah masa Kaliyuga.
Pola pemikiran kosmos yang demikian itulah yang menyebabkan setiap
manusia Jawa mengalami masa-masa krisis sosial, entah lantaran kelakuan
manusia atau alam, selalu ingat sebagai masa Kaliyuga, sehingga akhir dunia
semakin dekat.
Guna menghindari hal tersebut, manusia selalu tergerak untuk berusaha
agar tertib dunia dikembalikan seperti semula, yakni zaman emas Kertayuga.
Zaman seperti ini ditandai dengan munculnya seseorang atau beberapa orang
48 Harun Hadiwijono, Filsafat India, h. 4.
yang menyatakan diri sebagai memperoleh ‘wahyu’ Dunia Absolut, untuk
memimpin rakyat memusnahkan unsur-unsur Kaliyuga, yakni mereka yang
hidup dalam kegelapan moral. Inilah gerakan milenier, hitungan ribuan
tahun.49
Apabila dunia ini akhirnya kiamat pada masa akhir Kaliyuga, maka
tibalah masa tiada material. Inilah masa Pralaya, masa dihancurkannya dunia
oleh kekuatan-kekuatan semesta. Saat yang amat mengerikan. Berlangsunglah
masa Malam Brahma. Kemudiain peristiwa penciptaan Brahma akan berulang
kembali dengan mengalami proses periodisasi yang sama seperti sebelumnya.
Pola berfikir demikian itu mengisyaratkan bahwa segala sesuatu ‘yang ada’
secara material ini menjalani proses pengulangan-pengulangan. Semesta tidak
berproses secara linear, tetapi sirklar, seperti malam dan siang, musim hujan
dan musim kemarau, tahun berganti tahun.
Primbon diletakkan dalam kerangka berfikir Harai Brahma, hanya saja
tidak jelas di masa yang mana. Apakah ini masa Kaliyuga, Dwaparayuga atau
Tertayuga. Yang jelas bukan masa Kertayuga. Masa yang disebut Caturyuga
ini tengah berlangsung sekarang. Mungkin masa Primbon sudah memasuki
masa Kaliyuga, yang entah berapa ribu tahun usianya.50
49
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), h. 42. 50 Harun Hadiwijono, Filsafat India, h. 23.
B. Perhitungan Ruang dalam Primbon
Ruang relatif yang material ini bergantung atau bagian dari ruang absolut
yang riil. Ruang subjek dalam primbon ditetapkan tempatnya dalm empat
kiblat kalimo pancer, empat arah mata angin dengan satu pusat, yaitu timur,
barat, utara, selatan, tenggara, timur laut, barat laut, barat daya, dan pusat.
Penghitungan lima atau sembilan ruang ini khas masyarakat sawah. Dalam
masyarakat yang murni hidup dalam berladang atau berburu, bahkan maritim,
hanya dikenal pembagian tiga, yakni timur-barat-tengah, utara-selatan-tengah.
“Tengah” di situ tidak menyatukan dualisme ruang yang ada, masing-masing
terpisah. Hanya di masyarakat sawah seperti Jawa dan Bali, ruang empat-lima
ini dikenal. Ini disebabkan masyarakat sawah amat menekankan pentingnya
lokasitas, komunalitas, solidaritas, dan sistem organisasi terpusat untuk
menangani masalah persawahan yang memerlukan lahan yang lebih luas dan
tenaga kerja petani yang lebih banyak. Untuk menangani tenaga kerja yang
begitu banyak, dan menangani perairan persawahan yang begitu luas,
diperlukan suatu pengorganisasian yang terpusat dan kuat. Perlu ada pusat.
Pusat inilah yang mengatur ruang dalam pembagian empat. Pembagian itu
sesuai dengan pembagian waktu pasaran, yakni Kliwon di pusat, Pon di barat,
Wage di utara, Legi di Timur dan Pahing di selatan.
Jacob Soemarjo berpendapat bahwa primbon asli Jawa berdasarkan
sistem penanggalan qamariyah (bulan) yang membagi satu bulan dalam enam
pasaran. Dan enam pasaran ini menciptakan paringkelan. Satu tahun ditandai
oleh empat musim, yakni Mareng, Ketiga, Labuh, dan Rendheng. Ketika
muncul kalender Surya dari India, tahun Saka, maka terjadi kesulitan
menetapkan tempat waktu daam ruang 4 satu pusat, atau ruang 8 satu pusat.
Pada penempatan waktu dalam ruang kalender surya ini, terpaksa diadakan
pengualangan waktu. Tepatnya adalah Rabu di pusat, Jumat di Timur, Selasa
di Barat, Kamis di Utara, Minggu di Selatan, Sabtu di Tenggara, Senin di
Barat Daya. Tetapi di Barat Laut, terpaksa dipasang lagi hari rabu, dan untuk
di Timur Laut dipasang hari Kamis.51
Ruang subjek dalam ruang relatif ini ditentukan oleh hari dan
pasarannya. Seperti sudah diutarakan di muka, bahwa setiap hari dalam
minggu telah ditetapkan tempat ruangnya, dan setiap hari pasaran juga telah
ditetapkan tempat ruangnya. Jika seseorang dilahirkan pada hari Rabu (barat)
dan pasarannya Pon (barat), maka orang itu berada di ruang barat tepat. Tetapi
jika seseorang lahir hari Sabtu (selatan) dan pasarannya Pon (barat), maka
tempat ruangnya ada di antara barat-selatan. Gabungan waktu-ruang kelahiran
seseorang ini, jika dihubungkan dengan kesatuan-kesatuan waktu lainnya,
seperti jam, bulan, wuku, paringkelan, dan tahun, akan melahirkan berbagai
ketentuan keselamatan, kelestarian, keberuntungan kecelakaan, sakit,
kematian, kerugian dan lain-lain, jika dia bergerak ke arah ruang tertentu.
Hubungan antar subjek yang menguntungkan dan merugikan juga
ditentukan oleh tempat ruang masing-masing. Disinilah terdapat perhitungan
yang sulit dan berbelit-belit dalam primbon, sehingga diperlukan pakarnya
yang memiliki catatan yang lengkap terdapat makna semua hubungan ruang-
waktunya. Inilah sebabnya para pakar primbon memerlukan bantuan lambang-
lambang angka untuk setiap kategori ruang-waktu. Hitungan itu tak lebih dari
51 Jacob Soemardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, h. 88.
sembilan angka saja, sehingga terdapat sembilan rumusan makna untuk setiap
koordinat waktu dan ruangnya. Itulah yang disebut petungan (perhitungan)
yang arti akhirnya sama dengan primbon. 52
C. Aplikasi Primbon dalam Masyarakat Jawa
Pandangan dasar Primbon adalah bahwa waktu dan ruang itu riil,
objektif dan absolut. Hal ini berbeda dengan pandangan manusia modern yang
menilai waktu dan ruang hanyalah ‘konstruksi pikiran’, jadi subjektif, ‘tidak
ada’, dan relatif. Waktu dan ruang itu tidak menyangkut moralitas. Primbon
sendiri bukan ajaran moral. Primbon adalah pengetahuan atau ‘ilmu slamet’,
bagaimana menjalani hidup di ruang dan waktu dunia ini secara selamat,
aman, sejahtera, terhindar dari malapetaka dan musibah. Ilmu slamet ini juga
tidak menyangkut selamat di alam kematian. Primbon adalah petunjuk tentang
mana yang ‘boleh’ dan ‘tidak boleh’. Yang boleh, bahkan harus, merupakan
jalan selamat, sedang yang tidak boleh merupakan jalan kecelakaan, dalam
hidup konkret ini.53
Karena waktu dan ruang itu netral moralitas, maka dalam waktu dan
ruang juga terdapat apa yang disebut ‘baik’ atau selamat, dan apa yang disebut
‘tidak baik’ atau tidak selamat. Waktu itu baik dan tidak baik sekaligus, begitu
pula ruang itu baik dan tidak baik. Waktu yang sama dan ruang yang sama,
bagi dua subjek yang koordinat waktu dan ruangnya amat berbeda dalam tertib
kosmos ini, maka waktu dan ruang itu bagi yang satu ‘baik’ dan bagi yang lain
‘tidak baik’. Waktu dan Ruang itu mengandung paradoks di dalam dirinya.
52
Ibid., h. 90. 53 Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, h. 121.
Waktu dan Ruang absolut juga mengandung paradoks absolut. Brahman itu
sebuah paradoks absolut.
Aspek ‘tidak baik’ dalam waktu dan ruang inilah yang justru mendapat
perhatian utama orang Jawa. Waktu yang tidak baik dikuasai oleh Bathara
Kala, bukan Brahman itu sendiri. Apalagi kalau kepercayaan itu bersifat
pantheistik, sebab waktu dan ruang tidak lain Brahman sendiri, juga segala
yang ada ini adalah emanasi atau pancaran Dzat Brahman. Bathara Kala
mengincar dan awas bagi mereka yang melanggar larangan atau tabu dalam
hitungan Primbonnya. Pelanggaran terhadap tabu ini hanya dapat dibetulkan
atau disucikan lewat upacara ruwatan kepada Bathara Kala, sang penguasa
waktu. Primbon dan ruwatan tidak dapat dipisahkan bagi orang yang
melanggar tabu. Itulah sebabnya, bagi orang Jawa primbon dianggap penting.
Waktu (kala) adalah Bathara Kala yang menguasai kesatuan-kesatuan
waktu mulai dari jam sampai yuga. Misalnya, pada jam berapa dua pasang
pengantin harus melaksanakan upacara pernikahannya? Bagi pasangan yang
pasarannya Pon dan Wage, lebih baik diselenggarakan pada jam 03.30 sampai
05.59, karena pada jam tersebut bermakna rejeki dan slamet bagi keduanya.
Pasangan ini hendaknya menghindari pernikahan pada jam 08.25 sampai
10.11, lantaran pada jam-jam itu keduanya tabu. Pada jam yang disebut
belakangan justru amat baik untuk dua pasangan yang dilahirkan pasaran Legi
dan Pahing.
Begitu pula ada hari-hari yang tabu bagi siapapun untuk mengadakan
perjalanan atau kegiatan-kegiatan lain yang mengandung resiko kecelakaan.
Hari-hari itu adalah Rabu Legi, Ahad Pahing, Kamis Pon, Selasa Wage, dan
Sabtu Kliwon.54
Begitu pula dalam ketentuan Wuku, misalnya, mereka yang berwuku
Warigalit, sama sekali terlarang atau tabu, apabila pada hari Kamis Pon
mengadakan segala jenis kegiatan yang mengandung resiko kecelakaan,
seperti bepergian, naik pohon, mengendari motor, menebang pohon ataupun
yang lainnya. Dalam hitungan tahun juga banyak tabu. Misalnya, terlarang
bagi semua orang menyelenggarakan nikah atau lain-lain pada bulan Besar
tanggal 29 dan 30. Larangan ini berlaku bagi mereka yang lahir pada tahun
Alip. Yang lahir pada tahun Alip dilarang mengadakan upacara hari Sabtu
Pahing, dan yang lahir pada tahun Ehe dilarang pada hari Kamis Pahing, dan
seterusnya.
Hubungan antara tahun kelahiran dengan bulan keberuntungan dan
kesialan, dapat disimak Primbon sebagai berikut; mereka yang dilahirkan
pada tahun Alip hanya memiliki satu bulan keberuntungan, yakni bulan
pertama, sedang bulan-bulan sialnya ada dua, yakni bulan ke-9 dan ke-11.
Yang lahir pada tahun Je memiliki bulan-bulan keberuntungan paling banyak,
yakni ke-4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 12. Sedang bulan jeleknya adalah bulan 1, 2, 3, 10
dan 11.
Ruang juga memiliki tabu-tabunya sendiri. Kalau orang mau berbisnis,
hari lahir dari pasarannya atau menentukan arah mana yang harus ia tuju dari
54 Jacob Soemardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, h. 88.
tempat tinggalnya. Mereka yang dilahirkan pada hari Selasa Legi lebih baik
mengarahkan kegiatan bisnisnya ke arah Timur.55
1. Membaca Jodoh dalam Primbon
Dalam tradisi Jawa, jodoh memang termasuk misteri. Karena Tuhan
merahasiakannya. Namun dalam Primbon, untuk mencari jodoh maka harus
melalui petungan (perhitungan huruf) secara khusus. Dalam hal ini ada
orang yang menerapkan petungan untuk mencari jodohnya, adapula yang
menerapkan petungan ke dalam mistik melalui tirakat.56
Dalam hal jodoh, orientasi berbagai Primbon ternyata ada
kemiripan. Biasanya menggunakan istilah pasatowan salaki-rabi. Yakni
dengan menyatukan nama calon. Di bawah ini beberapa contoh perhitungan
dari kitab Primbon Betaljemur Adammakna.57
Neptu Hari, Pekan, Bulan dan Tahun
Ahad
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jum’at
Sabtu
Neptunya
Neptunya
Neptunya
Neptunya
Neptunya
Neptunya
Neptunya
5
4
3
7
8
6
9
Kliwon
Legi
Pahing
Pon
Wage
Neptunya
Neptunya
Neptunya
Neptunya
Neptunya
8
5
9
7
4
Sura
Sapar
Rabiul Awal
Rabiul Akhir
Jumadil
Awal
Jumadil
Akhir
Neptunya
Neptunya
Neptunya
Neptunya
Neptunya
Neptunya
7 2
3 5
6 1
Rajab
Ruwah
Puasa
Sawal
Dulkadah
Besar
Neptunya
Neptunya
Neptunya
Neptunya
Neptunya
Neptunya
2 4
5 7
1 3
55
Radjiman, Konsep Petangan Jawa (Surakarta: Pustaka Cakra, 2000), h. 186. 56
Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, h. 121. 57 Harya Tjakraningrat, Betaljemur Adammakna, h. 12-15.
Perhitungan Untuk Pernikahan
Neptu hari dan pekan (pasaran) dari kelahiran calon suami dan istri,
masing-masing dijumlahkan. Kemudian hasilnya dibagi dengan 9 dan dicatat
berapa sisa dari calon suami dan juga istri. Jika tersisa :
1 dan 1
1 dan 2 1 dan 3
1 dan 4
1 dan 5
1 dan 6
1 dan 7
1 dan 8
1 dan 9
2 dan 2
2 dan 3
2 dan 4
2 dan 5
2 dan 6
2 dan 7
2 dan 8 2 dan 9
3 dan 3 3 dan 4
3 dan 5 3 dan 6
3 dan 7 3 dan 8
3 dan 9
4 dan 4
4 dan 5
4 dan 6
4 dan 7
4 dan 8
4 dan 9
5 dan 5
5 dan 6
5 dan 7
5 dan 8
5 dan 9
6 dan 6 6 dan 7
6 dan 8 6 dan 9
7 dan 7
Baik, saling mencintai
Baik Kuat, tetapi rejekinya jauh
Banyak celakanya
Bercerai
Sulit kehidupannya
Banyak musuh
Sengsara
Tempat berlindung
Selamat, rejekinya banyak
Salah satu meninggal lebih dulu
Banyak mengalami godaan
Banyak celakanya
Cepat kaya
Banyak anaknya yang mati
Murah rejeki Banyak rejeki
Melarat Banyak celakanya
Cepat cerai Mendapat anugrah
Banyak celakanya Salah satu meninggal dulu
Banyak rejeki
Sering sakit
Banyak mengalami godaan
Banyak rejeki
Melarat
Mengalami banyak rintangan
Salah satu kalah
Terus mendapat keberuntungan
Murah rejeki
Selalu ada mata pencaharian
Mengalami banyak rintangan
Murah rejeki
Banyak celakanya Rukun, damai dan tentram
Banyak musuh Sengsara
Terhukum oleh istrinya
7 dan 8
7 dan 9
8 dan 8
8 dan 9 9 dan 9
Mendapat celaka karna diri sendiri
Perjodohannya langgeng
Dicintai orang lain
Banyak celakanya Susah rejeki
Misalnya kelahiran suami hari Jum’at Kliwon. Neptu Jum’at = 6,
ditambahkan neptu Kliwon = 8. 6 + 8 = 14 dibagi 9, maka sisanya 5.
Sedangkan dari istri diumpamakan kelahirannya Jum’at Pahing. Neptu Jum’at
= 6, adapun hari pasarannya, Pahing = 9. Jika dijumlahkan hasilnya 15, dibagi
9 maka sisanya 6. Sisa keduanya adalah bilangan 5 dan 6 yang jatuh pada;
murah rejeki.
Perhitungan Suami dan Istri
Neptu hari kelahiran dan pasaran suami-istri dijumlahkan. Hasilnya
kemudian dibagi 4. Jika bersisa:
1 = Gonto, jarang memiliki anak 3 = Sri, banyak rejeki
2 = Gembali, banyak anak 4 = Punggel, salah satu meninggal
Misalnya hari kelahiran suami Jum’at Pon. Neptu Jum’at = 6, adapun
neptu hari pasarannya, Pon = 7. Sedangkan hari kelahiran istri Rabu pahing,
neptu hari dan pasarannya adalah 7 dan 9. Jika seluruhnya dijumlahkan maka
hasilnya 29. Hasil penjumlahan tersebut kemudian dibagi 4. Maka tersisa 1.
Bilangan 1 jatuh pada Gento, artinya jarang memiliki anak.58
58 Ibid., h. 57
Perhitungan Untuk Suami dan Istri
Perhitungan ini didasarkan menurut hari kelahiran kedua pasangan.
Ahad dengan Ahad
Ahad dengan Senin Ahad dengan Selasa
Ahad dengan Rabu Ahad dengan Kamis
Ahad dengan Jum’at Ahad dengan Sabtu
Senin dengan Senin
Senin dengan Selasa
Senin dengan Rabu
Senin dengan Kamis
Senin dengan Jum’at
Senin dengan Sabtu
Selasa dengan Selasa
Selasa dengan Rabu
Selasa dengan Kamis
Selasa dengan Jum’at
Selasa dengan Sabtu
Rabu dengan Rabu
Rabu dengan Kamis Rabu dengan Jum’at
Rabu dengan Sabtu Kamis dengan Kamis
Kamis dengan Jum’at Kamis dengan Sabtu
Jum’at dengan Jum’at Jum’at dengan Sabtu
Sabtu dengan Sabtu
Sering sakit
Banyak penyakitnya Miskin
Yuwana Bertengkar
Yuwana Miskin
Tidak baik
Yuwana
Anaknya wanita
Dicintai banyak orang
Yuwana
Berekat
Tidak baik
Kaya
Kaya
Bercerai
Sering bertengkar
Tidak baik
Yuwana Yuwana
Baik Yuwana
Yuwana Bercerai
Miskin Celaka
Tidak Baik
Catatan:
Yuwana = Selamat meskipun difitnah orang.
Berekat = Selalu cukup, meskipun pendapatannya sedikit.
Perhitungan Pernikahan
Nama penganten Pria dan wanita diambil huruf awal dan akhirnya saja,
kemudian neptu masing-masing huruf suami dan istri tersebut dijumlahkan.
Berapa sisa masing-masing. Jika sisanya :
1 dan 1
1 dan 2 1 dan 3
1 dan 4
1 dan 5
1 dan 6
1 dan 7
1 dan 8
1 dan 9
2 dan 2
2 dan 3
2 dan 4
2 dan 5
2 dan 6
2 dan 7
2 dan 8 2 dan 9
3 dan 3 3 dan 4
3 dan 5 3 dan 6
3 dan 7 3 dan 8
Baik
Baik Bertengkar
Cerai
Cerai
Cerai
Jadi musuh
Mati
Jadi Penghulu
Baik
Mati
Baik
Cerai
Jelek
Sering Cerai/rujuk
Tidak mudah cerai Baik
Lipat Tidak jadi
Cerai Baik
Celaka Cerai
3 dan 9
4 dan 4 4 dan 5
4 dan 6
4 dan 7
4 dan 8
4 dan 9
5 dan 5
5 dan 6
5 dan 7
5 dan 8
5 dan 9
6 dan 6
6 dan 7
6 dan 8
6 dan 9 7 dan 7
7 dan 8 7 dan 9
8 dan 8 8 dan 9
9 dan 9
Baik
Jahat Cerai
Cerai
Jadi musuh
Jadi musuh
Dianggap jelek
Siang sialnya
Cerai
Cerai
Cerai
Baik
Jelek tapi tidak cerai
Baik
Baik
Cerai Baik
Baik Kejahatan
Baik Banyak anak tapi
mendapat celaka Pisah tapi tidak cerai
Neptu hurufnya sebagai berikut:59
No. Abjad Neptu No. Abjad Neptu
1
2 3
4
5
6
7
8
9
10
Ha
Na Ca
Ra
Ka
Da
Ta
Sa
Wa
La
1
3 5
7
2
4
7
9
1
1
11
12 13
14
15
16
17
18
19
20
Pa
Da Ja
Ya
Nya
Ma
Ga
Ba
Tha
Nga
7
3 6
5
10
4
2
4
9
10
59 Neptu atau nilai numerik sangat umum dalam ilmu perbintangan. Lihat juga Labib
(Peny), Primbon Mujarobat Kubro (Surabaya: Gali Ilmu, 2005), h. 148.
Misalnya nama penganten pria Sudargo, huruf awalnya Sa dan akhirnya
Ga. Masing-masing neptunya 9 dan 2, jumlahnya 11 dibagi 9, maka untuk
penganten pria sisa 2 (dua).
Sedangkan nama penganten wanita Satimah, huruf awalnya Sa dan
akhirnya Ma, masing masing neptunya 9 dan 4, jumlahnya 13 dibagi 9 maka
untuk penganten wanita sisa 4 (empat). 2 dan 4 (lihat dalam tabel) berarti baik.
Perhitungan Pernikahan
Ambil huruf depan dan belakang dari pasangan penganten. Jumlahkan
seluruh neptu hurufnya, kemudian dibagi 7. Jika sisanya:
1
2
3
4 5
6 7
Tunggak tan semi, anaknya banyak yang mati
Pisang Punggel, Cerai
Lumbung gumuling, boros
Sanggar waringin, jadi tempat berlindung Pedaringan kebak, kaya
Satriya lelaku, baik kalau berdagang Pandhita mukti, tentram dan selamat
Neptu hurufnya sebagai berikut:60
No Abjad Neptu No Abjad Neptu
1 2
3 4
5 6
7
8
9
10
Ha Na
Ca Ra
Ka Da
Ta
Sa
Wa
La
6 3
3 3
3 5
3
3
6
5
11 12
13 14
15 16
17
18
19
20
Pa Da
Ja Ya
Nya Ma
Ga
Ba
Tha
Nga
1 4
3 8
3 5
1
2
4
2
60 Bandingkan dengan neptu perhitungan nikah sebelumnya, terdapat perbedaan.
Kemungkinan terjadi karena menyesuaikan dengan umum atau khususnya hipotesa. Jika di awal
hanya berbicara baik buruknya perhitungan, maka yang kedua lebih luas.
Misalnya nama penganten pria Surono, huruf awalnya Sa dan akhirnya
Na. Masing-masing neptunya 3 dan 3, maka jumlahnya 6. Sedangkan nama
penganten wanitanya Martiyah, huruf awalnya Ma dan akhirnya Ya. Masing-
masing neptunya 5 dan 8, maka jumlahnya 13. jumlah keseluruhan (6+13)
hasilnya 19, kemudian dibagi 7. sisanya 5, jatuh pada Pedharingan Kebak,
artinya kaya.61
2. Membaca Gejala Alam
Kehebatan orang Jawa dalam membaca alam semesta telah
melahirkan seni Pranatamangsa yang merupakan tafsir alam semesta.
Sampai saat ini pranatamangsa masih banyak digunakan kaum tani di
pedesaan. Mereka dengan cerdik tahu saat yang tepat untuk menanam. Hal
ini untuk meminimalisir petaka yang mungkin menimpa.62
Pranatamangsa sama halnya dengan horoskop atau ramalan bintang.
Dalam Primbon Attasadhur Adammakna dijelaskan ada 12 Penget
Palintangan beserta baik dan buruknya mengerjakan sesuatu. Kemungkinan
besar, Penget palintangan menyadur nama-nama buruj (zodiak) dalam
Islam.63
61 Harya Tjakraningrat, Betaljemur Adammakna, h. 12-15. 62
Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, h. 122. 63
Harya Tjakraningrat, Primbon Attasadhur Adammakna (Solo: Buana Raya, 1994), h. 162-
167.
No Palintangan Buruj Zodiak
1
2
3
4
5 6
7 8
9 10
11 12
Kam,lun
Sur
Jud
Surtan
Kasad Sambulah
Mijan Ngakarad
Kus Jadiyun
Daliyun Kuda
Al Hamlu
Al Tsauru
Al Jawza’
Al Sarthan
Al Asad Al Sanbulah
Al Mizan Al ‘Aqrab
Al Qaws Al Jadyu
Al Dalwu Al Hut
Aries
Taurus
Gemini
Cancer
Leo Virgo
Libra Scorpio
Sagitarius Carpicorn
Aquarius Pisces
Dapat disimpulkan bahwa penget palintangan menyadur dari nama-
nama Arab, bersamaan dengan politik Sultan Agung dalam mendamaikan
budaya golongan santri dan abangan.
Namun nampaknya dalam era modern saat ini, tidak banyak orang
yang masih bertumpu dalam perhitungan Primbon. Misalnya, kalau dulu,
jodoh masih didominasi orang tua dengan perhitunan Primbon, saat ini
berbeda. Inilah zaman yang disebut orang Jawa sebagai Kebo nusu gudel.
Orang tua yang dinasehati anak, bukan sebaliknya. Namun bagaimanapun,
Primbon merupakan warisan kearifan lokal yang tidak ternilai.64
64 Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, h. 120.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Primbon memiliki konstruksi pemikirannya sendiri tentang keberadaan
manusia, dunia, semesta dan alam absolut dalam hubungannya dengan waktu
dan ruang. Orang modern juga memililki konstruksi pemikirannya sendiri
tentang makna keberadaan manusia, dunia, semesta dan alam ketuhanan.
Dengan demikian, jika Primbon dianggap sebagai tahayul, maka pandangan
manusia modern juga merupakan tahayul. Dasar filosofi manusia modern
tentang ruang dan waktu memang berbeda dengan filosofi masyarakat
Nusantara kuno. Masalahnya pikiran siapa yang menghegemoni pada saat ini.
Dalam situasi pengembangan kebebasan berfikir saat ini, sudah
selayaknya orang-orang modern dapat memahami cara berfikir masyarakat
lain. Sebenarnya cara berfikir berdasarkan ‘realita absolut’ ini tidak terjadi
pada masyarakat yang percaya Primbon, tetapi juga mereka yang kepercayaan
agamanya kuat. Tetapi tentu saja berbeda dalam konsep Yang Absolut ini.
Primbon adalah sisa-sisa dari cara berfikir masyarakat lama di Indonesia,
yang sekarang ini masih cukup banyak penganutnya, meskipun mereka ini
telah modern, atau memeluk salah satu agama besar dunia.
Tulisan-tulisan Primbon muncul setelah Sultan Agung berhasil
menyusun dan mengumumkan berlakunya sistem perhitungan tahun yang baru
bagi seluruh kerajaan Mataram, yakni perhitungan tahun Jawa pada tahun 1633
Masehi, yang hampir secara keseluruhan menyesuaikan dengan tahun Hijriyah,
berdasarkan atas perjalanan bulan. Namun awal perhitungann Jawa ini tetap
pada tahun satu Saka, yaitu tahun 78 Masehi.
Dalam Primbon, seperti yang ditunjukkan oleh Anton Bakker,
Indonesia menganut paham ruang dan waktu sebagai realisme-ekstrim. Waktu
adalah tatanan yang berada di luar semua hal, termasuk manusia dan peristiwa-
peristiwa. Terdapat suatu waktu yang asali dan primordial, dan semua
peristiwa berakar dalam waktu asali itu, serta mendapatkan identitas dan
mutunya di sana. Semua peristiwa alami dikuasai oleh takdir, dan semua
peristiwa manusiawi harus menyesuaikan diri dengan keteraturan yang telah
ditetapkan. Arti waktu bagi seseorang dapat berbeda dengan arti waktu bagi
yang lain. Setiap orang memperoleh ketentuan waktunya sendiri-sendiri, bagi
seseorang merupakan waktu yang baik, bagi yang lain tidak baik. Waktu itu
bukan linear, tetapi siklis, teratur dalam periodisitas-periodisitas.
Pandangan tentang ruang pun realistis-ekstrim. Semua penghuni
kosmos memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Seluruh kosmos besar ini
semuanya memiliki tempatnya sendiri-sendiri yang saling berhubungan dan
saling melengkapi. Ruang geografis sangat dipentingkan dengan tempatnya
yang relatif. Tempat konkret itu menentukan kedudukan seseorang, juga
tempatnya dalam kosmos ini.
A. Saran
Bagaimana pun, Primbon dapat didekati dalam berbagai disiplin ilmu,
tidak melulu oleh studi perbandingan agama yang berkecimpung dalam
berbagai aliaran kepercayaan masyarakat. Misalnya, dari sudut pandang
sejarah, digali lebih mendalam asal-usul penulisan Primbon berdasarkan
konteks zamannya dan penyebarannyya di Jawa.
Dari sudut pandang filsafat, Primbon dapat dibedah secara khusus
seperti, konsep manusia dalam Primbon, Kosmologi Primbon, Makna Huruf,
dan lain sebagainya.
Penelitian Primbon dengan menggunakan berbagai pisau analisa tidak
hanya akan memperkaya penelitian akademis dari Primbon, tetapi mengangkat
kembali kearifan lokal nusantara yang hampir hilang karena riuh modernitas.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara.
Bandung: Mizan, 1999.
Bakker, Anton. Kosmologi dan Ekologi, Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumah
Tangga Manusia. Jakarta: Kanisius, 1995.
Behrend. Primbon. Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2001.
Daud, Alfani. Islam dan Masyarakat Banjar. Jakarta: Rajawali Press, 1997.
Endraswara, Suwardi Falsafah Hidup Jawa. Tangerang: Cakrawala, 2003.
Faizal, Ade. Tradisi Ilmu Hikmah; Dari Sufisme Persia Hingga Kyai Nusantara.
Jakarta: Lemlit UIN, 2009.
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyai, dalam masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Jaya, 1981.
Graaf, De H.J dan Pegeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Jakarta Grafiti
Pers, 1986.
___________. Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senopati. Jakarta:
Grafiti Pers, 1983.
___________. Puncak Kekuasaan Mataram. Jakarta: Grafiti Pers, 1986.
Hadiwijono, Harun. Filsafat India: Kanisius, Jakarta, 1994.
Harsrinuksmo, Bambang. Primbon. Ensiklopedi Nasional Indonesia V.13, Jakarta.
Kartodirdjo, Sartono. Ratu Adil. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
Purwadi. Ramalan Sakti Prabu Jaya Baya. Yogyakarta: Persada, 2003.
Radjiman. Konsep Petangan Jawa. Surakarta: Pustaka Cakra, 2000.
Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: DEPDIKBUD, 1991.
Simon, Hasanu. Misteri Syeikh Siti Jenar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Simuh. “Kajian Keislaman dalam Pandangan Kejawen”. Kumpulan Makalah
Seminar LIPI, 1979.
Simuh. Mistik Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. Jakarta: UI Press, 2008.
Simuh. “Warisan Tradisi Hindu Kejawen”. Kumpulan Makalah Seminar LIPI,
1979.
Soemardjo, Jacob. Arkeologi Budaya Indonesia. Yogyakarta: Qalam, 2002.
Subagja, Rahmat. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.
Imam S, Suwarno. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan
Jawa. Jakarta: Rajawali Pers, 2005.
Tjakraningrat, Harya. Attasadhur Adammakna. Solo: Buana Raya, 1994.
___________ Betaljemur Adammakna: Buana Raya, Solo, 1994.
Olthof, W.L. (Penyusun). Babad Tanah Jawi Mulai dari Nabi Adam Sampai
Tahun 1647. Yogyakarta: Narasi, 2007.