konsep penguasaan negara atas sumber daya air...
TRANSCRIPT
KONSEP PENGUASAAN NEGARA ATAS SUMBER DAYA AIR
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan
008/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air)
SkripsiDiajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan MemperolehGelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Afnanul Huda
NIM : 105045201507
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala
rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga
tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul yang berjasa besar kepada
kita semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan.
Skripsi yang berjudul “KONSEP PENGUASAAN NEGARA ATAS
SUMBER DAYA AIR DALAM PERSPEKTIF ISLAM (Analisis Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-
III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air)” penulis susun dalam rangka memenuhi persyaratan mencapai
gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada program studi Jinayah Siyasah konsentrasi Siyasah
Syar’iyyah (Ketatanegaraan Islam) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan
mengatasi berbagai macam hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya
penulisan skripsi ini, tanpa adanya bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa terima
kasih yang tulus kepada yang terhormat:
v
1. Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag dan ibu Sri Hidayati, M.Ag, Ketua dan Sekretaris
Program Studi Jinayah Siyasah yang lama dan Bapak Dr. Asmawi, M.Ag dan
Bapak Afwan Faizin, M. Ag selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi
Jinayah Siyasah yang baru.
3. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, sebagai Dosen pembimbing yang senantiasa
membimbing dan meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Segenap Dosen fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan berbagai
macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berarti bagi
perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas bagi penulis.
5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah jakarta atas pelayanan referensi buku-
bukunya.
6. Orang tua penulis Bapak H. Ahmad Faiq dan Ibu Hj. Zakiyah, penulis
memohon maaf atas segala perilaku penulis yang tidak berkenan di hati,
penulis juga menyucapkan terima kasih yang teramat sangat atas cinta, kasih
dan sayangnya kepada penulis yang telah merawat dengan penuh kesabaran
dan keikhlasan.
vi
7. Kepada semua paman dan bibi ku: mbak Bad, pakde Abu, mbak Wik, kak
Yasin, dan mas Zen, terima kasih atas kasih sayang dan motivasi yang kalian
berikan kepada penulis, baik moril maupun materil. Penulis tidak bisa
membalas jasa-jasa kalian, penulis hanya bisa mendoakan semoga selalu
diberkahi oleh Allah SWT dan mendapatkan kemudahan dalam segala urusan.
8. Sahabat-sahabat penulis yang tercinta: Budi, Latif, Andi, Lia, Rahma, Isti,
Dinnur, Iqie, Dawam, Salman, Fadholi, Hendri, Fery, Alwan, Niam (SS 2005)
yang senantiasa menemati penulis dalam studi, Anas, Widi, Rahman, Ulin, dll
(Komunitas SaunG) yang menjadi teman diskusi yang menyenangkan, dan
Jazuli, Syadzali, Mufti, Usup, dan mas Iput (SIMAHARAJA) terima kasih
atas semua keceriaan selama ini, terima kasih semua.
Terakhir, penulis berdoa kepada Allah SWT semoga ilmu yang telah kita
dapat di kampus ini bermanfaat bagi kita semua dan diberkahi oleh Allah SWT.
Amien..
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ii
HALAMAN PERNYATAAN iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Rumusan dan Batasan Masalah ......................................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 9
D. Tinjauan Kepustakaan ....................................................................... 9
E. Metodologi Penelitian ....................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 14
BAB II KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN ATAS SUMBER DAYA
AIR DALAM ISLAM........................................................................... 15
A. Pengertian Kepemilikan ....................................................................15
B. Macam-Macam Kepemilikan ............................................................19
C. Penguasaan atas Sumber Daya Air ...................................................33
BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI NOMOR 058-059-060-
063/PUU-II/2004 DAN NOMOR 008/PUU-III/2005................................. 38
A. Hukum Acara dan Putusan Mahkamah Konstitusi ..................................38
1. Hukum Acara ....................................................................................38
2. Putusan Mahkamah Konstitusi ..........................................................45
B. Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air .....................................................................................53
1. Pemohon dan Jenis Permohonan .....................................................53
viii
2. Bagian yang dimohonkan ................................................................56
3. Dalil-dalil Pemohon (isu hukum) dan Petitum ................................60
4. Pertimbangan Hukum dan Putusan ..................................................64
5. Dissenting Opinion ..........................................................................69
BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI....................................................... 72
A. Analisis Fiqh Siyasah terhadap Pertimbangan Hukum
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi .....................................................72
1. Analisis Formil Pembentukan Undang-Undang .............................73
2. Analisis Materil Isi Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ............................................80
B. Analisis Fiqh Siyasah terhadap Amar Putusan Mahkamah ....................86
BAB V PENUTUP............................................................................................... 91
A. Kesimpulan .............................................................................................91
B. Saran-Saran .............................................................................................93
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 94
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia, dalam rangka persiapan kemerdekaan sebuah negara
berdaulat yang lepas dari penjajahan asing, pada tahun 1945, para tokoh nasional
yang terbentuk dalam wadah yang disebut Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mempersiapkan suatu naskah konstitusi yang
kemudian dikenal dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Undang-Undang Dasar 1945 di samping mengatur tata kenegaraan
juga mengatur tata kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan seperti termuat
dalam Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34.
Hal ini yang membedakan konstitusi Republik Indonesia dengan tradisi
penulisan konstitusi di negara-negara Eropa Barat dan Amerika yang lazimnya
hanya memuat materi-materi konstitusi yang bersifat politik. Tradisi yang dianut
Indonesia, sejauh menyangkut corak muatan yang diatur, nampak dipengaruhi
oleh corak penulisan konstitusi yang lazim ditemui pada negara-negara sosialis
seperti negara-negara di Eropa Timur.1
Corak Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi ekonomi terlihat
pada materi Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi:
1 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: KonstitusiPress, 2005), hal. 124.
2
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam perkembangannya, setelah amandemen Undang Undang Dasar
1945 keempat pada tanggal 10 Agustus 2002, Pasal ini ditambah dengan
memasukkan 2 (dua) ayat baru, yaitu:
4) perekonomian Indonesia diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
5) ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
undang.
Penambahan dua ayat dalam pasal ini merupakan upaya untuk
mengakomodasi ketentuan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dihapus, yaitu mengenai demokrasi
ekonomi. Bila dilihat kembali materi yang diatur dalam Penjelasan Pasal 33
disebutkan bahwa:
"dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakanoleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-
3
anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan,bukan kemakmuran orang seorang".
Selanjutnya dikatakan bahwa:
"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalahpokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negaradan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."2
Dari pasal ini jelas sekali peranan negara dalam mengatur perekonomian
besar sekali. Sehingga, sebenarnya secara tegas Pasal 33 Undang Undang Dasar
1945 beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam di
tangan orang-seorang. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek
kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya alam adalah bertentangan dengan
prinsip pasal 33.3
Selama ini, jiwa Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 mengandung
semangat untuk membela kesejahteraan rakyat banyak. Akan tetapi, sekarang kita
menghadapi era globalisasi yang melahirkan ekonomi pasar.4 Dapatkah kita
mempertahankan pelaksanaan Pasal 33, yang meletakkan fungsi penguasaan
2 Arimbi HP dan Emmy Hafild, Makalah: Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 45,(Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Fiends of the Earth (FoE) Indonesia, 1999),hal. 1.
3 Arimbi HP dan Emmy Hafid, Makalah: Membumikan...., hal. 2.
4 Dasar dari teori ekonomi pasar adalah persaingan bebas yang menggerakkan mekanismepasar. Dalam hal ini penawaran dan permintaan bebas yang melatarbelakangi motif keuntunganpada pihak produsen, pedagang maupun konsumen, menentukan harga-harga yang disebut hargatawaran bebas – dan selanjutnya menentukan apa dan berapa banyak jenis dan jumlah barang yangakan diproduksi. Lihat Tom Gunadi, Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD’45,(Bandung: Angkasa, 1990), hal 35.
4
negara sangat besar dalam menghadapi perkembangan zaman seperti sekarang
ini? Semua tantangan ini dapat kita amati dari produk perundang-undangan yang
dibuat. Apakah undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama
Dewan Perwakilan Rakyat telah sesuai dengan semangat Pasal 33 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, agar jiwa dari pasal
tersebut dapat terjaga.
Salah satu undang-undang yang dibentuk dalam rangka melaksanakan
ketentuan pasal 33 UUD 1945 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air. Namun undang-undang yang disahkan pada tanggal 19
Februari 2004 dan diundangkan pada tanggal 18 Maret 2004 ini menuai banyak
kontroversi, karena terdapat beberapa pasal yang diindikasikan akan memicu
privatisasi5 pengelolaan air dan komersialisasi air yang bertentangan dengan
semangat pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Untuk menjaga Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 khususnya, dan
konstitusi pada umumnya, amandemen Undang-Undang 1945 yang ketiga telah
mengakomodasi terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga
baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, di mana salah satu fungsinya adalah
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, kemudian fungsi
5 Privatisasi adalah sebuah proses sistematis untuk memindahkan status kepemilikanBUMN atau kekayaan publik lainnya dari tangan seluruh anggota masyarakat kepada para pemilikmodal perseorangan. Privatisasi merupakan salah satu unsur dari agenda besar liberalisasi ekonomidalam arti seluas-luasnya. Lihat I. Wibowo dan Francis Wahono, Neoliberalisme, (Yogyakarta:Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), hal. 206.
5
ini lebih dikenal dengan istilah judicial review. Keberadaan Mahkamah Konstitusi
dengan kewenangannya melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar disebut dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai
penjaga konstitusi (The Guardian of Constitution) dan penafsir konstitusi (The
Sole of Interpreter Constitution)
Oleh karena itu, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
mengajukan uji materiil UU Sumber Daya Air (UU SDA) ke Mahkamah
Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas UU SDA terhadap pasal 33 UUD
1945. Bahkan undang-undang ini mencetak rekor sebagai undang-undang yang
paling banyak diujimateriilkan di Mahkamah Konstitusi.6 Tercatat ada 19 pasal
yang dimintakan uji materiil kepada Mahkamah konstitusi dengan berbagai
alasan, di antaranya:
1. pasal 9, 10, 26, 45, 46, 80 karena dianggap dapat mendorong
privatisasi sumber daya air
2. pasal 26 ayat (7) yang dapat mengakibatkan adanya komersialisasi air
3. pasal 90, 91, 92 yang bersifat diskriminatif, karena membatasi pihak-
pihak yang dapat mengajukan gugatan apabila terjadi kerugian
6 Tercatat ada lima uji materiil yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan nomorperkara 058/PUU-II/2004, 059/PUU-2004, 060/PUU-II/2004, 063/PUU-II/2004, dan 008/PUU-III/2005. Rekor sebagai undang-undang yang paling banyak diujimateriilkan ini akhirnyadikalahkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang lebihdari lima kali diujimateriilkan di Mahkamah Konstitusi.
6
Setelah melalui persidangan yang cukup panjang, pada tanggal 13 Juli
2005 majelis hakim membacakan putusannya yang menolak permohonan
pembatalan UU SDA karena majelis hakim menganggap UU SDA tidak
bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. Dalam pertimbangan hukumnya,
majelis hakim menganggap bahwa tidak terjadi privatisasi dan komersialisasi
terhadap sumber daya air akibat diberlakukannya UU SDA tersebut.
Islam sebagai agama wahyu juga mengatur tentang kepemilikan dan
pengelolaan sumber daya alam. Jenis kepemilikan atas sumber daya alam terdiri
dari (i) kepemilikan individu (milk fardiyah); (ii) kepemilikan umum (milk
’ammah) dan, kepemilikan negara (milk daulah).7 Terminologi konsep
kepemilikan dalam Islam ini memang tidak berbeda dengan konsep ekonomi
konvensional. Akan tetapi, secara substansi dan implementasi konsep
kepemilikan (property right) menurut ajaran Islam berbeda cukup signifikan.
Islam mengakui kepemilikan individu/swasta akan tetapi tidak boleh memilikinya
dalam arti seluas-luasnya.
Jika kita transformasikan nilai ajaran Islam dalam konteks kekinian, peran
negara yang pemimpinnya sebagai pengemban amanah rakyat harus mampu
mengelola/mengendalikan dan memanfaatkan sumber daya alam demi
menyejahterakan rakyatnya. Dalam perspektif ini substansi pasal 33 UUD 1945
jelas sejalan dengan konsep kepemilikan dalam Islam.
7 Rofiq Yunus al-Mishry, Ushul al-Iqtishod al-Islami, (Beirut: Dar as-Syamiyah,1993),hal. 41.
7
Dalam pandangan Islam, sumber daya air termasuk dalam kepemilikan
umum. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw.:
Artinya: “Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tigahal: air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud)8
Yusuf Qardhawi dalam bukunya Daur al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-
Iqtishadi al-Islami menyatakan bahwa Islam menetapkan adanya kepemilikan
bersama terhadap benda-benda yang bersifat dharuri (yang sangat dibutuhkan)
bagi semua manusia. Oleh karena itu, Islam mengeluarkan segala sesuatu yang
keberadaan dan kemanfaatannya tidak bergantung usaha-usaha khusus dari ruang
lingkup kepemilikan individu,sehingga kepemilikannya bersifat bersama dan
umum serta tidak boleh dilakukan oleh perseorangan yang akan mengakibatkan
kerugian bagi masyarakat.. Rasulullah SAW menyebutkan benda-benda jenis ini
sebanyak empat hal, yaitu: air, padang rumput, api, dan garam.9
Berdasarkan fenomena di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan
penelitian tentang konsep penguasaan negara terhadap sumber daya air dalam
perspektif Islam dalam sebuah skripsi yang berjudul KONSEP PENGUASAAN
NEGARA ATAS SUMBER DAYA AIR DALAM PERSPEKTIF ISLAM
8 Abi Daud Sulaiman As-Sijistani, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1998), hal.537.
9 Yusuf Qardhawi, Daur al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtishadi al-Islami, (Kairo:Maktabah Wahbah, 1995), hal. 118.
8
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004
dan 008/PUU-III/2005 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007
tentang Sumber daya Air).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk lebih terarahnya sasaran sesuai dengan judul yang telah penulis
kemukakan di atas, penulis memberikan batasan masalah atau identifikasi
masalah agar tidak jauh menyimpang dari apa yang menjadi pokok bahasan.
Pembatasan tersebut berupa analisis yang menggunakan tinjauan fiqh siyasah
dalam menjawab permasalahan tentang konsep penguasaan negara atas sumber
daya air dalam perspektif Islam. Mengacu kepada latar belakang yang diuraikan
di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep penguasaan negara atas sumber daya air menurut putusan
Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber daya Air?
2. Bagaimana tinjauan fiqh siyasah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi
tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
daya Air?
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan penulisan
skripsi ini antara lain:
1. Untuk mengetahui konsep penguasaan negara terhadap sumber daya air
dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
2. Untuk memberikan perspektif Islam mengenai penguasaan negara terhadap
sumber daya air.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis sendiri, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
penulis dan mengembangkan cakrawala berpikir penulis, khususnya
menyangkut bidang politik ekonomi
2. Bagi dunia akademis menjadi bahan kajian atau referensi ilmiah-kritis dalam
memperkaya khazanah ilmu pengetahuan
3. Memberikan gambaran yang jelas tentang kebijakan Pemerintah Indonesia
dalam pemanfaatan sumber daya alam, khususnya sumber daya air.
D. Tinjauan Pustaka (Study Preview)
Untuk memudahkan penulis dalam menyusun penulisan skripsi ini,
penulis ingin memberikan rujukan terhadap tema-tema yang membahas dan tema-
tema yang hampir sama dengan pembahasan judul skripsi ini. Adapaun sumber-
10
sumber yang penulis dapatkan ialah berasal dari buku-buku yang berkaitan,
jurnal-jurnal, artikel pada media massa,dan karya ilmiah berupa skripsi.
Buku Soegeng Sarjadi dan Imam Sugema, Ekonomi Konstitusi:Haluan
Baru Kebangkitan Ekonomi Indonesia, Soegeng Sarjadi Syndicate, Jakarta 2009,
buku ini menjelaskan konsep ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan konstitusi
UUD 1945 yang menafikan privatisasi dan komersialisasi terhadap sumber daya
alam dan mengupayakan kedaulatan ekonomi berada di tangan rakyat.
Buku Yusuf Qardhawi, Daur al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtishadi al-
Islami, Maktabah Wahbah, Kairo 1995, Buku ini menjelaskan tentang nilai dan
karakteristik ekonomi islam. Dalam buku ini, Yusuf Qardhawi menjelaskan
bahwa ekonomi islam adalah ekonomi pertengahan antara paham kapitalis dan
sosialis. Beliau juga menjelaskan tentang konsep kepemilikan dalam islam yang
mengakui adanya kepemilikan bersama atas benda-benda yang sangat dibutuhkan
oleh manusia.
Buku Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang,
Setjen dan Kepaniteraan MK-RI, Jakarta 2006, Buku ini menjelaskan tentang tata
cara pengajuan uji materiil undang-undang di Mahkamah Konstitusi.
Makalah Yance Arizona, Konstitusi dalam Intaian Neoliberalisme, Jakarta
2008. makalah ini menjelaskan politik ekonomi Indonesia dari era Orde lama
sampai era reformasi dan potensi adanya privatisasi dalam setiap undang-undang
yang disahkan bersama oleh Pemerintah dan DPR.
11
Skripsi Siti Makbullah, Konsep Perekonomian Nasional dalam
Pandangan Ekonomi Islam: Tinjauan terhadap Pasal 33 UUD 1945 dan
Perubahannya, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2003.
Dalam skripsi ini dijelaskan tentang konsep perekonomian nasional berdasarkan
pasal 33 UUD 1945 dalam pandangan ekonomi islam. Skripsi ini hanya
menjelaskan secara global konsep perekonomian nasional tanpa menyinggung
konsep penguasaaan negara atas sumber daya alam.
Skripsi M. Waliyul Fahmi, Demokrasi Ekonomi dalam Perspektif UUD
1945 dan Hukum Islam, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah,
2007. Skripsi ini menjelaskan sistem demokrasi ekonomi yang dianut Bangsa
Indonesia sesuai UUD 1945 dan sistem ekonomi islam sebagai alternatif dalam
sistem ekonomi di Indonesia. Skripsi ini juga tidak membahas tentang konsep
penguasaan negara atas sumber daya alam.
E. Metode Penelitian
Untuk sampai pada rumusan yang tepat mengenai penelitian ini, maka
metodologi yang digunakan adalah:
1. Jenis Penelitian
Melihat pada pendekatan keilmuan yang digunakan dalam skripsi ini,
maka penelitian skripsi ini termasuk pada jenis penelitian hukum normatif,
karena titik tekannya adalah pada peraturan perundang-undangan serta
peraturan lainnya yang terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
12
Selain itu, titik tekan penelitian ini juga terletak pada aturan-aturan dan
pandangan para ahli hukum Islam baik klasik maupun kontemporer tentang
konsep kepemilikan dan penguasaan negara terhadap sumber daya air dalam
Islam terutama yang terkait erat dengan analisis yang akan dilakukan oleh
penulis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan studi dokumenter
di mana data diperoleh dengan cara meneliti dokumen-dokumen hukum yang
ada, baik berupa peraturan yang mengatur tentang uji materiil undang-undang
terhadap UUD 1945 maupun tentang konsep penguasaan negara atas sumber
daya air , serta buku-buku referensi yang lainnya yang memiliki keterkaitan
dengan permasalahan tersebut.
3. Sumber data
a. Sumber data primer, yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung
dari sumber asli. Pasal 33 UUD 1945 beserta Perubahannya, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Mahkamah Konstitusi,
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 058-059-
060-063/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005 mengenai
pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air.
13
b. Data Sekunder, buku-buku yang ditulis oleh para ahli hukum yang
membahas tentang hal-hal yang terkait dengan pembahasan.
c. Data Tersier, yang terdiri dari kamus, ensiklopedia, artikel, koran,
majalah, situs, internet, jurnal politik dan pemerintahan serta makalah
yang berkaitan.
4. Teknik Analisis Data
Karena penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif,
maka analisis data yang akan dilakukan adalah analisis isi (content analysis).
Teknik analisis ini diawali dengan mengkompilasi berbagai dokumen
termasuk peraturan perundang-undangan ataupun referensi-referensi islam
yang berkaitan dengan konsep penguasaan negara atas sumber daya air.
Kemudian dari hasil tersebut, selanjutnya dikaji isi (content) baik berupa kata-
kata (word), makna (meaning), ide, tema-tema dan pesan lainnya yang
dimaksudkan dalam isi putusan tersebut.
5. Teknik Penulisan Skripsi
Adapun Teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku
Pedoman Menulis Skripsi, Tesis, Disertasi, yang diterbitkan oleh Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri , Jakarta, 2007.
14
F. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam (5) lima Bab,
dimana masing-masing bab mempunyai penekanan pembahasan mengenai topik-
topik tertentu, yaitu:
Bab I merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II membahas konsep kepemilikan dan penguasaan atas sumber daya
air dalam perspektif Islam, yang berisi tentang pengertian kepemilikan, macam-
macam kepemilikan, dan penguasaan atas sumber daya air
Bab III membahas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-
063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005. Bab ini membahas seputar
hukum acara dan putusan di Mahkamah Konstitusi dan pengujian Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air.
Bab IV membahas analisis fiqh siyasah terhadap putusan Mahkamah
Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
sumber daya air yang berisi tentang analisis fiqh siyasah terhadap pertimbangan
hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi dan analisis fiqh siyasah terhadap
amar putusan Mahkamah Konstitusi.
Bab V membahas penutup yang berisi tentang kesimpulan yang menjawab
rumusan masalah dan saran yang berguna untuk perbaikan di masa yang akan
datang.
15
BAB II
KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN ATAS
SUMBER DAYA AIR DALAM ISLAM
A. Pengertian Kepemilikan
Secara etimologis kepemilikan (milkiyyah) berarti1:
ت“Memiliki sesuatu dan mampu untuk bertindak secara bebas terhadapnya”
Dengan demikian kepemilikan merupakan penguasaan seseorang terhadap
sesuatu sehingga seseorang mempunyai kekuasaan khusus terhadap sesuatu tersebut.
Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang
memiliki sesuatu berarti mempunyai kekuasaan terhadap sesuatu tersebut
sehingga dia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada
orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat
menghalang-halanginya dari memanfaatkan sesuatu yang dimilikinya itu.2
Sedangkan pengertian kepemilikan menurut terminologi fuqaha,
terdapat beberapa definisi tentang kepemilikan yang disampaikan oleh para ulama ,
antara lain:
1 Ibn Mandhur, Lisan al-Arab, jilid X, (Beirut: Dar al-Fikr,tt), hal. 492.
2Ikhwan Abidin Basri, Kepemilikan dalam Islam, yang diakses pada 20 Oktober 2010 dihttp://elwardi.com/2010/03/kepemilikan-dalam-islam/
16
1. definisi yang disampaikan oleh Jamaluddin al-Ghaznawi3:
مرعبتهباحليطذاجتMilk adalah keistimewaan (ikhtishash) yang bersifat menghalangi, artinyamemberi pemiliknya hak untuk memanfaatkannya beserta mencegah oranglain untuk memanfaatkannya.
2. definisi yang disampaikan oleh Mustafa Ahmad al-Zarqa4:
عانا لاحاجتMilk adalah keistimewaan (ikhtishash) yang menghalangi (orang lain) secarasyara’ yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk bertasharrufketika tidak adanya halangan.
3. definisi yang disampaikan oleh Wahbah al-Zuhaily5:
ععانا للتماحكمبتMilk adalah keistimewaan (ikhtishash) terhadap sesuatu yang menghalangiorang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara langsungkecuali ada halangan syar’i.
4. definisi yang disampaikan oleh Ali al-Khafifi6:
3 Jamaluddin al-Ghaznawi, al-Hawi al-Qudsi, sebagaimana dikutip oleh SaidMahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi al-Tanmiyah,(Kairo: Dar al-Wafa’, 1988), hal. 49.
4 Mushtafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqhi al-Islami, jilid I, (Beirut: Dar al-Fikri,t.t), hal. 241.
5 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr),1985, hal. 57.
6 Ali al-Khafifi, Ahkam al-Mu’amalah as-Syar’iyyah, sebagaimana dikutip oleh GhufronA. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2002), hal. 54.
17
ععانعتبباحكتMilk adalah keistimewaan (ikhtishash) yang memungkinkan pemiliknyabebas membelanjakan dan memanfaatkannya sepanjang tidak adanyahalangan syara’.
Dari beberapa definisi tersebut di atas, telah jelas bahwa yang dijadikan
kata kunci kepemilikan adalah penggunaan term ikhtishash. Dalam definisi
tersebut terdapat dua ikhtishash/keistimewaan yang diberikan oleh syara’ kepada
pemilik harta:
1. keistimewaan dalam menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya tanpa
kehendak atau izin pemiliknya
2. keistimewaan dalam bertasharruf. Tasharruf adalah7:
قائههتبصملSesuatu yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan iradah (kehendak)nya dan syara’ menetapkan batasnya beberapa konsekwensi yangberkaitan dengan hak
Jadi pada prinsipnya atas dasar kepemilikan (milkiyyah), seseorang
mempunyai keistimewaan berupa kebebasan dalam membelanjakannya selama
7 Ali Hasaballah, Ushul al-Tasyri al-Islami, Dar al-ma’arif , Mishr, 1976, hal 78sebagaimana dikutip oleh Ahmad Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN JakartaPress), 2005, hal 49.
18
tidak ada halangan tertentu yang diakui oleh syara’ (al-mani’). Adapun yang
dimaksud dengan al-mani’ adalah8:
ن“Sesuatu yang mencegah pemilik dari melakukan tasharruf(membelanjakan harta)”
Penghalang (mani’) dalam kepemilikan yang mencegah adanya tasharruf
dalam harta terdiri atas dua hal:
1. kurangnya keahlian, seperti anak kecil
2. adanya hak orang lain yang ada pada harta seseorang, seperti harta yang
digadaikan.
Namun adanya penghalang ini tidak menghilangkan status kepemilikan
seseorang atas harta tersebut, karena penghalang ini adalah faktor eksternal yang
tidak mempengaruhi status kepemilikan seseorang.
Dari beberapa definisi yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan
bahwa kepemilikan adalah suatu hak atas zat tertentu (dalam hal ini bisa
berbentuk benda bergerak atau benda mati) dan atau kegunaanya yang dapat
dimanfaatkan sesuai dengan kehendak pemiliknya atau yang berhak terhadap zat
tersebut. Sehingga apabila pemilik akan melakukan suatu kehendak terhadap zat
tersebut, pemilik tidak membutuhkan persetujuan dari orang lain, karena pemilik
berhak atas zat tersebut.
8 Mushtafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqhi al-Islami, jilid I, (Beirut: Dar al-Fikri,t.t), hal. 242
19
Taqyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa kepemilikan individu adalah
hukum syara’ yang berlaku bagi zat dan atau kegunaannya (utility) tertentu yang
memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang
tersebut, serta memperoleh kompensasi, baik karena barangnya diambil
kegunaannya oleh orang lain, seperti disewa ataupun dikonsumsi untuk
dihabiskan zatnya seperti dibeli oleh orang lain.9
Atas dasar inilah, maka kepemilikan merupakan izin syar’i untuk
memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut tidak akan
ditetapkan selain dengan ketetapan syar’i terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab
kepemilikannya. Jika demikian, maka kepemilikan atas zat tertentu bukan semata
berasal dari zat itu sendiri, atau dari karakter dasarnya, akan tetapi berasal dari
adanya izin yang diberikan oleh syara’, serta berasal dari sebab yang
diperbolehkan oleh syara’ untuk memiliki zat tersebut secara sah.10
B. Macam-macam Kepemilikan
Kepemilikan dari sudut pandang obyek kepemilikan (mahal al-milk) dapat
dibedakan menjadi dua bagian:
1. kepemilikan sempurna (milkiyah tammah), yaitu: kepemilikan atas materi
harta dan manfaatnya secara bersamaan, sehingga seluruh hak yang terkait
9 Taqyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif : Perspektif Islam, terj.Moh. Maghfur Wachid, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal. 66.
10 Taqyuddin an-Nabhani, Membangun........., hal. 67.
20
dengan harta itu berada di bawah penguasaan pemilik. Kepemilikan ini
bersifat mutlak, tidak dibatasi waktu, dan tidak bisa digugurkan orang lain.
Menurut ulama fiqih, ciri khusus kepemilikan sempurna adalah:
a. sejak awal, kepemilikan terhadap materi dan manfaat bersifat sempurna
b. kepemilikannya tidak didahului oleh sesuatu yang dimiliki sebelumnya,
artinya materi dan manfaat sudah ada sejak pemilikan benda itu
c. Kepemilikannya tidak dibatasi dengan waktu
d. Apabila hak milik itu kepunyaan bersama, maka masing-masing orang
dianggap bebas menggunakan miliknya tersebut sebagaimana milik
mereka masing-masing.
2. kepemilikan tidak sempurna (milkiyah naqisah), yaitu: kepemilikan atas salah
satu unsur harta, materi atau manfaatnya saja. Hal ini seperti orang yang
menyewa yang hanya memiliki manfaatnya saja tanpa memiliki materinya.
Kepemilikan dari sudut pandang bentuknya dapat dibagi menjadi dua
bagian:
1. kepemilikan yang jelas (mutamayyizah), yaitu: kepemilikan terhadap suatu
benda yang mempunyai batas-batas yang jelas dan tertentu yang dapat
dipisahkan dari yang lainnya. Seperti kepemilikan terhadap sebuah rumah
atau sebagian rumah yang sudah jelas batas-batasnya.
2. kepemilikan yang bercampur (sya’iah), yaitu: kepemilikan atas sebagian, baik
banyak atau sedikit, yang tidak tertentu dari sebuah harta benda sebagai hasil
21
dari persekutuan dalam harta tersebut. Seperti kepemilikan atas sebaian
rumah yang belum jelas pembagiannya.
Kepemilikan dari sudut pandang pihak yang berhak memanfaatkannya
dapat dibagi menjadi dua bagian11:
1. kepemilikan pribadi (milkiyah fardiyah), yaitu: kepemilikan terhadap suatu
harta yang hak pemanfaatannya hanya untuk seseorang yang tertentu sebagai
pemilik harta
2. kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah), yaitu: kepemilikan terhadap sesuatu
yang hak pemanfaatannya ditetapkan bagi kelompok masyarakat dengan
ketentuan setiap anggota masyarakat berhak menggunakannya atas nama
bagian dari masyarakat tersebut.
Namun ada sebagian fuqaha yang menambahkan pembagian kepemilikan
dari sudut pandang pihak yang memanfaatkannya menjadi tiga bagian dengan
menambah satu bagian, yaitu12:
3. kepemilikan negara (milkiyah dauliyah), yaitu: harta yang merupakan hak
bagi seluruh kaum muslimin/rakyat dan pengelolaannya menjadi wewenang
khalifah/negara, dimana khalifah/negara berhak memberikan atau
mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim/rakyat sesuai dengan
11 Said Mahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fial-Tanmiyah, (Kairo: Dar al-Wafa’, 1988), hal. 46.
12 Rafiq Yunus al-Mishry, Ushul al-Iqtishadi al-Islami, (Damaskus: Dar al-Qalam,1993), hal 41.
22
ijtihadnya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan
yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
1. Kepemilikan Pribadi (milkiyah fardiyah)
Kepemilikan pribadi adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat
ataupun manfaat (utility) tertentu, yang memungkinkan siapa saja
mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh
kompensasi-baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain
(seperti disewa), atau karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya (seperti
dibeli)-dari barang tersebut.
Kepemilikan pribadi dapat diperoleh dengan berbagai cara yang
dibenarkan oleh hukum islam, di antaranya adalah13:
a. Penguasaan terhadap harta bebas (Ihraz al-mubahat14 )
Yakni cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang
belum dikuasai atau dimiliki oleh pihak lain. Yang dimaksud dengan al-
mubahat (harta bebas atau harta tak bertuan) adalah harta benda yang
tidak termasuk dalam milik yang dilindungi (dikuasai oleh orang lain) dan
13 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 2002), hal 56.
14 Wahbah al-Zuhaily menyebut dengan istilah al-istila’ ala al-mubah dengan pengertian“menguasai harta yang belum dimiliki seseorang dan tidak ada halangan syara’ untukmemilikinya”. Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz IV, (Beirut: Dar al-Fiqr, 1985, hal 69-70.
23
tidak ada larangan hukum (mani’ syar’i) untuk memilikinya.. seperti air di
sumbernya, rumput di padang rumput, kayu dan pohon-pohon di hutan
belantara atau ikan di sungai dan di laut.
Kepemilikan jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut :
1) Kepenguasaan ini merupakan sebab yang menimbulkan kepemilikan
terhadap suatu barang yang sebelumnya tidak ada yang memilikinya.
2) Proses kepemilikan ini adalah karena aksi praktis dan bukan karena
ucapan seperti dalam akad. Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab
aksi praktis, maka dua persyaratan di bawah ini mesti dipenuhi
terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar’i yaitu:
a) belum ada orang lain yang mendahului melakukan ihraz
(penguasaan). Dalam hal ini berlaku kaidah:
“Barang siapa lebih dahulu menguasai harta bebas, maka sungguhia telah memilikinya”
b) Orang yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus
berniat untuk memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak
menjadi miliknya.jadi kalimat kunci dari ihraz al-mubahat adalah
penguasaan untuk tujuan dimiliki.
b. Adanya transaksi (al-aqd)
Yang dimaksud dengan al-aqd adalah pertalian antara ijab dan
qabul sesuai dengan ketentuan syara’ yang menimbulkan pengaruh
24
terhadap obyek akad. Akad merupakan sebab kepemilikan yang paling
kuat dan paling luas berlaku dalam kehidupan manusia yang mebutuhkan
distribusi harta kekayaan.
c. Penggantian (al-khalafiyah)
Al-khalafiyah adalah penggantian seseorang atau sesuatu yang baru
menempati posisi pemilikan yang lama. Penggantian dapat dibedakan
menjadi dua yaitu:
1) Penggantian atas seseorang oleh orang lain, seperti pewarisan
Dalam pewarisan, seorang ahli waris menggantikan posisi kepemilikan
orang yang wafat terhadap terhadap harta yang ditinggalkannya
(tirkah).
2) Penggantian benda atas benda yang lainnya, seperti tadhmin
(pertanggungan) ketika seseorang merusakkan atau menghilangkan
harta benda orang lain, atau pada ta’widh (pengganti kerugian) ketika
seseorang menyebabkan penganiayaan terhadap pihak lain. Melalui
tadhmin dan ta’widh, terjadilah peralihan kepemilikan dari pemilik
lama kepada pemilik baru.
d. Turunan dari sesuatu yang dimiliki (al-tawallud)
Sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang dimiliki adalah milik
orang yang memiliki ssesuatu yang awal. Hal ini berlaku kaidah:
مل
25
Setiap peranakan atau segala sesuatu yang tumbuh (muncul) dari hartamilik adalah milik pemiliknya.
Prinsip tawallud ini hanya berlaku pada harta yang bersifat
produktif (dapat menghasilkan sesuatu yang baru) seperti binatang yang
dapat beranak, menghasilkan air susu dan pohon yang dapat berbuah.
Benda mati yang tidak produktif seperti rumah, perabotan rumah, dan
uang tidak berlaku prinsip tawallud. Keuntungan yang didapat dari benda-
benda mati tersebut sesungguhnya berasal dari hasil usaha (tijarah).15
2. Kepemilikan Umum (milkiyah ‘ammah)
Kepemilikan umum adalah hak yang ditetapkan bagi setiap individu
untuk memanfaatkan benda-benda tertentu yang ditetapkan oleh syara’ atas
dasar individu tersebut merupakan bagian dari komunitas masyarakat, bukan
sebagai individu yang memiliki barang tersebut. Sedangkan benda-benda
yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang
telah dinyatakan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW bahwa benda-benda
tersebut untuk suatu komunitas dimana mereka masing-masing saling
membutuhkan. Berkaitan dengan pemilikan umum ini, hukum Islam
15 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah...., hal. 61-62.
26
melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang atau sekelompok
kecil orang.16
Islam menjelaskan bahwa setiap sumber alam yang produktif adalah
menjadi hak milik umum apabila memenuhi dua syarat, yaitu:
3. Sumber alam tersebut mempunyai manfaat yang penting bagi masyarakat
4. Sumber alam tersebut tumbuh dengan sendirinya, dan tidak membutuhkan
pekerjaan besar untuk mendapatkan hasilnya.
Apabila kedua syarat ini terpenuhi, maka sumber alam tersebut
menjadi milik umum dan negara tidak boleh menjual atau memberikan
kepada seseorang. Sedangkan apabila salah satu kedua syarat di atas tidak
ada, maka pemerintah boleh memberikan hak pengelolaan sumber daya alam
tersebut kepada perorangan atau membiarkan tetap sebagai hak milik umum
sebagaimana asalnya.17
Adapun jenis-jenis benda milik umum dapat dikategorikan menjadi 3
(tiga) bagian, yaitu:
a. Barang tambang (sumber alam) yang tak terbatas jumlahnya
Dalil yang digunakan sebagai dasar untuk jenis barang yang
depositnya tidak terbatas ini adalah hadis Nabi riwayat Abu Dawud
16 Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi al-Islam, terj: Redaksi al-AzharPress, (Bogor: Al-Azhar Press, 2009), hal. 238.
17 Said Mahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fial-Tanmiyah, (Kairo: Dar al-Wafa’, 1988), hal. 220-221.
27
tentang Abyad ibn Hamal yang meminta kepada Rasulullah agar dia
diizinkan mengelola tambang garam di daerah Ma'rab:
"Bahwa ia datang kepada Rasulullah SAW meminta (tambang) garam,maka beliaupun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-lakiyang bertanya kepada beliau: "Wahai Rasulullah, tahukah apa yangengkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikansesuatu yang bagaikan air mengalir". Lalu ia berkata: KemudianRasulullah pun menarik kembali tambang itu darinya" (HR AbuDawud).18
Larangan tersebut tidak hanya terbatas pada tambang garam saja,
melainkan meliputi seluruh barang tambang yang jumlah depositnya
banyak (laksana air mengalir) atau tidak terbatas. Ini juga mencakup
kepemilikan semua jenis tambang, baik yang tampak di permukaan bumi
seperti garam, batu mulia atau tambang yang berada dalam perut bumi
seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, minyak, timah dan
sejenisnya.
Barang tambang semacam ini menjadi milik umum sehingga tidak
boleh dimiliki oleh perorangan atau beberapa orang. Demikian juga tidak
boleh hukumnya, memberikan keistimewaan kepada seseorang atau
18 Abi Daud Sulaiman As-Sijistani, Sunan Abi Daud, (‘Amman: Dar al-A’lam), 2003,hal. 507.
28
lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya tetapi penguasa wajib
membiarkannya sebagai milik umum bagi seluruh rakyat. Negaralah yang
wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, menjualnya
dan menyimpan hasilnya di bayt al-mal.
Ketentuan bahwa barang tambang adalah termasuk kepemilikan
umum jika barang tambang tersebut ditemukan di dalam tanah yang tidak
dimiliki oleh seseorang. Apabila barang tambang tersebut ditemukan di
tempat yang masuk dalam kepemilikan pribadi, para fuqaha berbeda
pendapat. Ada dua pendapat yang meengemuka di kalangan fuqaha
menanggapi persoalan barang tambang yang ditemukan di tanah yang
sudah menjadi milik seseorang, yaitu:
1) Barang tambang tersebut tetap menjadi milik umum, sekalipun
ditemukan di tanah yang sudah menjadi milik seseorang. pendapat ini
dipilih oleh sebagian besar ulama mazhab Maliki.
2) Barang tambang tersebut menjadi milik sang pemilik tanah karena ikut
kepada tanah, sebagaimana tanaman yang tumbuh di atas tanah
tersebut. Inilah pendapat yang terkuat dalam mazhab Syafii.19
b. Sarana umum dan kebutuhan pokok yang diperlukan oleh masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari
19 Ahmad Muhammad al-‘Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, An-Nizam al-Iqtishadifi al-Islam, terj: Imam Saefudin, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal: 71.
29
Semua harta yang mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia
dan jika tidak ada akan menyebabkan kesengsaraan bagi manusia tidak
boleh dikuasai oleh seseorang dan menjadi milik bersama, seperti air.
Rasulullah SAW telah menjelaskan secara rinci dan sempurna mengenai
sifat-sifat sarana umum ini. Hal ini seperti yang dimaksud dalam hadits
beliau yang berkaitan dengan sarana umum ini. Seperti hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tigahal: air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud)20
Air, padang rumput, dan api merupakan sebagian harta yang
pertama kali diperbolehkan oleh Rasulullah untuk seluruh umat manusia.
Mereka berserikat di dalamnya dan melarang mereka untuk memiliki
bagian apa pun dari sarana umum tersebut, karena hal itu merupakan hak
seluruh rakyat. Rakyat boleh mengambil air dari sungai-sungai yang ada
untuk mengairi sawah dan ladang mereka. Rakyat juga boleh mengambil
rumput untuk hewan ternak mereka dari padang rumput yang tidak
dimiliki oleh seseorang. Dalam hal ini pemerintah tidak boleh
20 Abi Daud Sulaiman As-Sijistani, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1998),hal. 537.
30
memberikannya hanya kepada satu golongan dan melarang golongan
lainnya. Pemerintah hanya diperbolehkan melakukan pengaturan agar
tidak terjadi perselisihan antar sesama anggota masyarakat dalam
memanfaatkan sarana umum tersebut.21
Sarana umum yang menjadi milik bersama dan tidak boleh
dimiliki secara pribadi tidak hanya terbatas pada ketiga benda yang
disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits di atas. Para ulama
berpendapat bahwa hadits di atas hanya menyebutkan beberapa jenis
benda sebagai contoh, bukan merinci secara pasti bahwa hanya ketiga
benda tersebut yang menjadi milik umum. Para ulama mengqiyaskan
(menyamakan) dengan benda yang disebutkan dalam hadits untuk semua
benda-benda yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan
mereka. Seperti minyak bumi dan batubara sebagai sumber energi
disamakan dengan api yang merupakan sumber energi pada masa
Rasulullah dan dibutuhkan oleh seluruh manusia.
c. Harta yang asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk
memilikinya
Yang termasuk dalam kategori ini adalah benda-banda yang sejak
awal pembentukannya diperuntukkan bagi kepentingan umum dan dapat
21 Said Mahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fial-Tanmiyah, (Kairo: Dar al-Wafa’, 1988), hal. 244.
31
dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat. Contohnya adalah benda-benda
yang diwaqafkan untuk kepentingan umum, seperti masjid dan jalan raya.
Dalil dari harta jenis ini adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh imam
Tirmidzi:
Artinya: Mina adalah milik orang-orang yang lebih dahulu sampai. (HR.Tirmidzi dari Aisyah)22
Maksud dari perkataan munakhu man sabaq adalah bahwa Mina
merupakan milik seluruh rakyat. Barangsiapa yang lebih awal datang di
tempat Mina, lalu menempatinya, maka bagian tersebut adalah baginya,
karena Mina adalah milik umum bagi seluruh manusia.
Hal yang sama juga terjadi pada harta yang diwaqafkan pemiliknya
untuk kepentingan umum, seperti masjid, sekolah dan jalan raya.
Semuanya merupakan harta milik umum yang dilarang dimiliki oleh
individu dengan alasan apapun.
3. Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah)
Kepemilikan negara merupakan kekhususan yang dimiliki oleh negara
dalam mengelola harta yang merupakan milik umum (seluruh rakyat), dimana
22 Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmidzi, Beirut, (Dar al-Ma’rifah:2002), hal: 379.
32
kepala negara selaku pemegang kekuasaan bisa memberikan harta tersebut
kepada sebagian rakyatnya sesuai dengan kebijakannya. Yang termasuk
dalam harta milik negara adalah harta yang tersimpan di baitul mal (kas
negara) yang berasal dari harta fai’, kharaj, dan jizyah (pajak).23
Ada perbedaan yang mendasar antara harta milik negara dan harta
milik umum, meskipun pengelolaannya sama-sama dilakukan oleh negara.
Harta yang termasuk milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan negara
kepada siapapun, meskipun negara dapat membolehkan orang-orang untuk
mengambil dan memanfaatkannya. Berbeda dengan harta milik negara
dimana negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada siapapun
yang dikehendaki oleh negara sesuai dengan kebijakan negara.
Sebagai contoh: air, garam, padang rumput yang merupakan milik
umum, negara tidak boleh sama sekali memberikannya kepada orang tertentu,
meskipun semua orang boleh memanfaatkannya secara bersama-sama sesuai
dengan keperluannya. Berbeda dengan harta kharaj (pajak) yang merupakan
milik negara boleh diberikan kepada para petani saja sedangkan yang lain
tidak. Juga diperbolehkan harta kharaj dipergunakan untuk membeli senjata
saja tanpa diberikan kepada seorangpun.24
23 Rafiq Yunus al-Mishry, Ushul al-Iqtishadi al-Islami, (Damaskus: Dar al-Qalam,1993), hal 45-46.
24 Rafiq Yunus al-Mishry, Ushul al-Iqtishad....., hal. 46.
33
Dalam konteks Inndonesia, harta milik negara adalah semua
penerimaan negara yang masuk dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara), baik penerimaan negara dari pajak maupun penerimaan
negara non-pajak. Semua penerimaan negara tersebut akan dikeluarkan
(dibelanjakan) sesuai dengan kebijakan pemerintah.
C. Penguasaan atas Sumber Daya Air
Air, Sebagaimana telah dijelaskan di atas, merupakan salah satu benda
yang menjadi milik umum dan bisa dimanfaatkan oleh semua orang. Sedangkan
air yang dieksplorasi ada tiga macam, yaitu: air sungai, air sumur, dan air dari
mata air.25 Ketiganya akan dijelaskan secara rinci beserta siapa saja yang berhak
untuk menguasai dan memanfaatkannya.
1. Air Sungai
Air sungai sendiri dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: Pertama,
sungai besar yang dialirkan oleh Allah SWT yang tidak dibuat manusia,
seperti sungai Nil, sungai Dajlah. Air dari sungai macam ini dapat
dipergunakan untuk berbagai keperluan, mulai untuk minum, mengairi lahan
pertanian, sampai pembangkit listrik. Tidak ada yang boleh melarang
seseorang untuk mengambil air darinya, termasuk pemerintah. Pemerintah
25 Ali ibn Muhammad al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayat al-Diniyah,(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2006), hal. 226.
34
tidak berkuasa atas air yang ada di sungai tersebut. Pemerintah hanya berhak
untuk mengatur supaya pemanfaatan air berlangsung tertib dan lancar.
Kedua, sungai kecil yang dialirkan oleh Allah SWT. Sungai jenis ini
ada dua macam:
a. Sungai yang bisa naik meninggi meskipun tanpa bendungan yang
menahannya dan mencukupi kebutuhan penduduk tanpa kekurangan.
Masing-masing penduduk boleh mengambil air untuk mengairi lahan
pertaniannya saat ia membutuhkan. Peran pemerintah adalah mengatur
pemanfaatan air supaya tidak terjadi perselisihan antar warga.
b. Sungai yang airnya sedikit dan baru bisa mengairi lahan pertanian apabila
diberi bendungan. Maka penduduk bagian hulu dapat menahan air itu
hingga dapat mengairi sawah mereka, kemudian dilanjutkan wilayah
berikutnya yang dilewati sungai. Peran pemerintah adalah mengatur
supaya penduduk yang di hulu tidak menghabiskan air dan membatasi
pemakaian air supaya bisa merata. Adapun ukuran air yang ditahan oleh
penduduk hulu adalah sebatas mata kaki sebagaimana yang diriwayatkan
dari Rasulullah SAW.26
Ketiga, sungai yang digali oleh manusia ketika mereka menghidupkan
lahan mati untuk mengairi lahan mereka. Maka sungai itu menjadi milik
bersama mereka, seperti saluran yang mereka buat di antara lahan mereka.
26 Ali ibn Muhammad al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah........, hal. 227.
35
2. Air Sumur
Bagi para penggali sumur ada tiga kemungkinan: Pertama, orang yang
menggali sumur untuk air minum bagi orang yang lewat, maka air yang
dihasilkan oleh sumur itu menjadi milik bersama, dan penggalinya memiliki
hak yang setara dengan orang lain. Jadi penggali sumur seolah-olah
mewaqafkan sumur hasil galiannya kepada setiap orang yang
membutuhkannya.
Kedua, orang yang menggali sumur untuk pemenuhan kebutuhan
airnya. Seperti kalangan badui yang nomaden (berpindah-pindah) saat mereka
menempati lahan dan menggali sumur di tanah itu untuk keperluan minum
mereka dan hewan-hewannya. Maka mereka menjadi pihak yang paling
berhak atas air sumur itu selama mereka berada di tempat itu. Jika mereka
meninggalkan tempat itu, maka sumur itu menjadi sumber air yang menjadi
milik umum.
Ketiga, orang yang menggali untuk kepentingan dirinya dengan niat
untuk memilikinya. Apabila penggaliannya belum sampai menemukan air,
maka kepemilikannya atas sumur itu belum diakui. Sedangkan jika dia
menggalinya dan menemukan airnya, maka sumur itu menjadi miliknya
setelah selesai menuntaskan penggaliannya.27 Hukum di atas adalah ketika
27 Ali ibn Muhammad al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah....., hal. 229.
36
seseorang menggalinya di lahan kosong yang tidak dimiliki oleh seseorang
(bumi mati).
3. Air dari mata air
Mata air terbagi atas 3 (tiga) macam: Pertama, mata air yang
dipancarkan oleh Allah SWT dan bukan karena digali oleh manusia. Status
hukum mata air ini adalah sebagaimana hukum dari sungai-sungai yang
dialirkan oleh Allah SWT. Bagi orang yang mengelola bumi mati dengan
menggunakan air dari mata air tersebut, maka dia dapat mengambilnya sesuai
dengan kebutuhannya. Jika para petani memperebutkan mata air itu karena
keterbatasan airnya, maka yang didahulukan adalah lahan-lahan yang
dihidupkan (dikelola) dengan air dari mata air tersebut.
Kedua, mata air yang digali oleh manusia. Mata air tersebut menjadi
milik orang yang menggalinya dan dia juga berhak memiliki lahan di sekitar
mata air tersebut. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa masalah luasnya tanah
di sekitanya adalah mengikuti kebiasaan yang berlaku. Sedang imam Abu
Hanifah berpendapat tanah di sekitar mata air adalah seluas lima ratus hasta.
Orang yang menggali mata air itu boleh mengalirkan airnya ke mana saja
yang dia mau, dan tanah yang dialiri air itu menjadi miliknya juga.
Ketiga, mata air yang digali oleh seseorang di lingkungan tanah
miliknya, maka orang itu menjadi pihak yang paling berhak atas airnya. Jika
kapasitas mata air itu hanya mencukupi pengairan ladangnya, orang lain tidak
berhak atas airnya, kecuali untuk orang yang amat membutuhkan untuk
37
diminum. Jika air itu lebih dari kebutuhannya, lalu dia ingin mengolah lahan
lain dengan kelebihan air tersebut, maka dia menjadi pihak yang berhak atas
kelebihan air tersebut. Jika dia tidak ingin mengolah tanah mati dengan
kelebihan air itu, maka dia harus memberikan kelebihan air itu untuk para
pemilik ternak, bukan para pemilik ladang. Jika dia minta bayaran atas air
yang digunakan oleh para pemilik ladang, maka hal itu boleh dilakukan.28
28 Ali ibn Muhammad al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah......., hal. 232.
38
BAB III
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 058-059-060-063/PUU-II/2004 DAN NOMOR 008/PUU-III/2005
A. Hukum Acara dan Putusan Mahkamah Konstitusi
1. Hukum Acara
Untuk melaksanakan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi hanya
bisa melakukan atau memutus perkara yang dimohonkan kepadanya apabila
pemohon tersebut mempunyai kedudukan hukum (legal standing). Tidak
semua orang dapat mengajukan perkara permohonan ke Mahkamah Konstitusi
dan menjadi pemohon. Adanya kepentingan hukum saja, sebagaimana dikenal
dalam hukum acara perdata maupun hukum acara tata usaha negara belum
tentu dapat dijadikan dasar permohonan.1
Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut
undang-undang untuk mengajukan permohonan perkara konstitusi kepada
Mahkamah Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan
kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi
pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-undang. Dalam perkara
pengujian undang-undang, persyaratan legal standing atau kedudukan hukum
1 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cet I,(Jakarta: MKRI, 2006), hal. 94.
39
dimaksud mencakup syarat formil sebagaimana ditentukan dalam undang-
undang, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan
konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang dipersoalkan.2
Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, yang boleh mengajukan
permohonan untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi ditentukan dalam
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, yang menyebutkan:
(1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang
dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga
agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang
2 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: KonsitusiPress, 2006), hal. 67-68.
40
memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian
undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam
Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud
yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon sebagai
akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Tentang Iegal standing, Mahkamah Konstitusi pernah menjelaskannya
dalam putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU-
III/2005, bahwa kerugian yang timbul karena berlakunya suatu undang-
undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagai
berikut:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah
dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
41
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.3
Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya
memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapi
sehari-hari oleh peradilan biasa. Keputusan yang diminta oleh pemohon dan
diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang
tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara
dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali
dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar.
Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam
itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata
usaha negara yang pada umumnya menyangkut kepentingan pribadi dan
individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri
3 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cet I,Jakarta MKRI, 2006), hal. 96-97.
42
inilah yang membedakan penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi
dengan hukum acara di pengadilan-pengadilan lainnya.
Oleh karena terjadinya praktek hukum acara yang merujuk pada
undang-undang, hukum acara lain yang timbul karena kebutuhan yang
kadang-kadang dihadapkan kepada Mahkamah Konstitusi, maka ketentuan
yang memberlakukan aturan Hukum Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha
Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan
aturan dimaksud dalam praktek hukum acaranya. Hanya saja jika terjadi
pertentangan dalam praktek hukum acara pidana dan tata usaha negara dengan
aturan hukum acara perdata maka secara mutatis mutandis juga aturan hukum
acara perdata tidak akan diberlakukan. Meskipun aturan ini tidak dimuat
dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), baik
sebelum maupun sesudah praktek yang merujuk undang-undang hukum acara
lain itu digunakan dalam praktek.
Dari uraian di atas, maka sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi
dapat dikenali sebagai berikut:
a. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
b. Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK);
c. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah ada;
d. Undang-undang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara, dan Hukum Acara Pidana Indonesia;
43
e. Pendapat sarjana (doktrin);
f. Hukum Acara dan/atau yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Negara lain.4
Secara ringkas dan sistematis, prosedur berperkara di Mahkamah
Konstitusi dapat penulis simpulkan sebagai berikut:5
1. Pengajuan permohonan
a. Ditulis dalam bahasa Indonesia;
b. Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya;
c. Diajukan dalam 12 rangkap;
d. Jenis perkara;
e. Sistematika:
1) Identitas dan legal standing
2) Posita
3) Petitum
f. Disertai bukti pendukung
2. Pendaftaran
3. Penjadwalan Sidang
a. Dalam 14 hari kerja setelah registrasi ditetapkan Hari Sidang I (kecuali
perkara Perselisihan Hasil Pemilu).
4 Maruarar Siahaan, Hukum Acara…., hal. 82-84.
5Lihat Bab V Hukum Acara Pasal 28-85 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentangMahkamah Konsti tusi.
44
b. Para pihak diberitahu/dipanggil.
c. Diumumkan kepada masyarakat.
4. Pemeriksaan Pendahuluan
a. Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa:
1) Kelengkapan syarat-syarat permohonan.
2) Kejelasan materi permohonan.
b. Memberi nasehat:
1) Kelengkapan syarat-syarat permohonan.
2) Perbaikan materi permohonan.
c. 14 hari harus sudah dilengkapi dan diperbaiki.
5. Pemeriksaan Persidangan
a. Terbuka untuk umum.
b. Memeriksa: permohonan dan alat bukti.
c. Para pihak hadir menghadapi sidang guna memberikan keterangan.
d. Lembaga Negara dapat dimintai keterangan, Lembaga Negara
dimaksud dalam jangka waktu tujuh hari wajib memberi keterangan
yang diminta.
e. Saksi dan/atau ahli memberi keterangan.
f. Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, didampingi kuasa dan orang lain.
6. Putusan
45
Adapun susunan isi putusan atau sistematika putusan Mahkamah
Konstitusi diatur dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu:
a. Mahkamah Konstitusi memberikan putusan demi keadilan berdasarkan
ketuhanan yang maha esa.
b. Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat:
1)Kepala putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”;
2) Identitas pihak;
3)Ringkasan permohonan;
4)Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
5)Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
6)Amar putusan;
7)Hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat
negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan
dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan
46
kepadanya.6 Gustav Radbruch mengemukakan bahwa: “Seharusnya dalam
suatu putusan mengandung idée des recht atau cita hukum, yang meliputi
unsur keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheid) dan
kemanfaatan (zweekmasigkeit).7
Ketiga unsur tersebut sedapat mungkin harus diakomodir dalam suatu
putusan secara proporsional. Bagi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara
yang penting bukanlah hukumnya karena hakim dianggap tahu hukumnya,
melainkan mengetahui secara objektif fakta atau peristiwanya sebagai duduk
perkara yang sebenarnya yang nantinya dijadikan dasar putusannya, bukan
secara a priori langsung menemukan hukumnya tanpa perlu mengetahui
terlebih dahulu duduk perkara yang sebenarnya. Untuk dapat memberikan
putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan
mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus benar-
benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang
akan diterapkan.8
6 Mr. P.A. Stein, Compendium Van Het Burgerlijke Procesrechts, 4e druk, Kluwer,1977, hal. 158. dalam Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi RepublikIndonesia, Cet I, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia), 2006, hal. 235.
7 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Edisi IV, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hal.145.
8Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia-UpayaMembangun Kesadaran dan Pemahaman Kepada Publik Akan Hak-Hak Konstitusionalnya YangDapat Diperjuangkan dan Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi, (Bandung: PT CitraAditya Bakti, 2006), hal. 117.
47
Dengan demikian, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh
hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di
dalam persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu
perkara atau sengketa antara para pihak.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pada dasarnya isi putusan hakim
konstitusi dapat berupa 3 (tiga) macam, yaitu permohonan tidak dapat
diterima, permohonan ditolak, serta permohonan dikabulkan. Ketiga macam
hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Permohonan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard)
Syarat suatu putusan hakim konstitusi yang menyatakan
permohonan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard) apabila
permohonannya melawan hukum atau tidak berdasarkan hukum. Dalam
hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan atau
permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Dalam Pasal 51 diatur bahwa:
1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a) Perorangan warga negara Indonesia;
48
b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c) Badan hukum publik atau privat; atau
d) Lembaga negara.
2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya
tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon
wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
a) Pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan
berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; dan/atau
b) Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
dianggap bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Permohonan ditolak (ontzigd)
Putusan hakim konstitusi menyatakan permohonan ditolak apabila
permohonannya tidak beralasan. Dalam hal ini undang-undang dimaksud
tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945, baik mengenai
pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, maka amar
putusannya menyatakan permohonan ditolak.
49
c. Permohonan dikabulkan.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan permohonan
dikabulkan, apabila permohonannya beralasan. Dalam hal ini Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan. Atau dalam hal
pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang Undang Dasar 1945,
amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Dalam hal
permohonan dikabulkan, Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas
materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian dari undang-undang yang
bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonaan
wajib dimuat dalam berita negara dalam jangka waktu paling lambat tiga
puluh hari kerja sejak putusan diucapkan. Terhadap materi muatan ayat,
pasal, dan atau bagian dari undang-undang yang telah diuji, tidak dapat
dimohonkan pengujian kembali dikemudian hari (nebis in idem).
Jenis putusan Mahkamah Konstitusi yang disimpulkan dari
amarnya dapat dibedakan antara putusan yang bersifat declaratoir,
constitutief dan condemnatoir. Suatu putusan dikatakan condemnatoir
kalau putusan tersebut berisi penghukuman terhadap tergugat atau
termohon untuk melakukan satu prestasi (tot het verrichten van een
prestatie). Akibat dari putusan condemnatoir ialah diberikannya hak
kepada penggugat/pemohon untuk meminta tindakan eksekutorial
50
terhadap penggugat/termohon. Sifat putusan condemnatoir ini dapat
dilihat dalam putusan perkara sengketa kewenangan lembaga negara.
Sedangkan putusan declaratoir adalah putusan dimana hakim
menyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan hakim yang menyatakan
permohonan atau gugatan ditolak merupakan satu putusan yang bersifat
declaratoir. Putusan yang bersifat declaratoir dalam pengujian undang-
undang oleh Mahkamah Konstitusi nampak jelas dalam amar putusannya.
Pasal 56 ayat (3) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa:
“Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud ayat(2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan, ayat,pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan denganUndang Undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945.”
Tetapi setiap putusan yang bersifat declaratoir khususnya yang
menyatakan bagian undang-undang, ayat dan/atau pasal bertentangan
dengan Undang Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat juga sekaligus merupakan putusan yang bersifat
constitutief.
Putusan constitutief adalah putusan yang menyatakan satu keadaan
hukum atau menciptakan satu keadaan hukum baru. Menyatakan suatu
undang-undang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena
bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 adalah meniadakan
51
keadaan hukum yang timbul karena undang-undang yang dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.9
Putusan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diuraikan di
atas, kebanyakan jenisnya, terutama dalam pengujian undang-undang
adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah
Konstitusi itu menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru
atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator. Sifat declaratoir
tidak membutuhkan satu aparat yang melakukan pelaksanaan putusan
Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan di hadapan sidang
terbuka untuk umum, dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu:
a. Kekuatan Mengikat
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi
dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Itu
berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum
yang dapat ditempuh.
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi, berbeda
dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak
9 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cet I,Jakarta: MKRI, 2006), hal. 240-242.
52
yang berperkara (interpartes) yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD
ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi
putusan tersebut juga mengikat semua orang, lembaga negara dan
badan hukum yang ada di wilayah Republik Indonesia
Ia belaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan
pembuat undang-undang. Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan
sebagai negative legislatoir yang putusannya bersifat erga omnes,
yang ditujukan pada semua orang.
b. Kekuatan pembuktian
Pasal 60 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa materi muatan, ayat, pasal
dan/atau bagian dari undang-undang yang telah diuji, tidak dapat
dimohonkan untuk diuji kembali. Dengan demikian adanya putusan
Mahkamah Konstitusi yang telah menguji satu undang-undang,
merupakan alat bukti yang dapat digunakan bahwa telah diperoleh satu
kekuatan pasti (gezag van gewijsde).
Kekuatan pasti satu putusan secara negatif diartikan bahwa
hakim tidak boleh lagi memutus perkara permohonan yang
sebelumnya pernah diputuskan. Dalam perkara konstitusi putusannya
bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut
materi yang sama sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk
diuji oleh siapa pun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah
53
berkekuatan tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan
kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputuskan oleh hakim
itu telah benar.
c. Kekuatan eksekutorial
Hakim Mahkamah Konstitusi adalah negative-legislator dan
putusannya berlaku sebagai undang-undang tetapi tidak memerlukan
perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-
undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan Undang
Undang Dasar 1945. Untuk itu, putusan Mahkamah Konstitusi perlu
dimuat dalam berita negara agar setiap orang mengetahuinya.
Dalam hal kewenangan Mahkamah Konstitusi melakukan
pengujian terhadap konstitusionalitas dari suatu undang-undang, maka
karakteristik putusannya yaitu bahwa selama undang-undang tersebut
sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi masih tetap berlaku, sebelum
ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
B. Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
1. Pemohon dan Jenis Permohonan
Permohonan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air merupakan permohonan pengujian undang-undang yang
paling banyak pemohonnya sepanjang terbentuknya Mahkamah Konstitusi
54
(sebelum dikalahkan oleh pengujian Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah). Pengujian ini terdiri dari 5 berkas
permohonan, yaitu permohonan dengan Nomor Registrasi Perkara 058/PUU-
II/2004, 059/PUU-II/2004, 060/PUU-II/2004, 063/PUU-II/2004, dan
008/PUU-III/2005. Lebih rincinya, permohonan tersebut akan dijelaskan
sebagai berikut:
a. Permohonan 058/PUU-II/2004.No Kategori Nomor Registrasi Perkara 058/PUU-II/20041 Pemohon Tim Advokasi Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air yang
meliputi beberapa LSM dan perorangan sebanyak 53orang
2 Kategori Pemohon Perorangan warga negara Indonesia (termasukkelompok orang)
3 Tanggal RegistrasiPermohonan
18 Juni 2004, kemudian setelah diperbaiki, diserahkankembali ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 27 Juli2004
4 Jenis Perngujian Pengujian formil dan materil5 Objek Permohonan 1. Konsideran mengingat dalam UU No.7 Tahun 2004
yang tidak mencantumkan Pasal 33 ayat (1) sampaiayat (5) secara utuh
2. Pasal 6 ayat (3), Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal8 ayat (2) huruf c, Pasal 9 ayat (1), Pasal 29 ayat (3)dan ayat (4), Pasal 29 ayat (5), Pasal 38 ayat (2),Pasal 40 ayat (1), ayat (4) dan ayat (7), Pasal 45 ayat(3) dan ayat (4), Pasal 46 ayat (2), Pasal 91, Pasal 92ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU No.7 Tahun 2004
b. Permohonan 059/PUU-II/2004No Kategori Nomor Registrasi Perkara 059/PUU-II/20041 Pemohon 16 orang dari organisasi non-pemerintah yang
menamakan diri Rakyat Menggugat, antara lain terdiridari WALHI, FSPI dan lain-lain
2 Kategori Pemohon Badan Hukum3 Tanggal Registrasi
Permohonan2 Juli 2004, kemudian setelah diperbaiki, diserahkankembali ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 27 Juli
55
20044 Jenis Pengujian Pengujian formil dan materil5 Objek Permohonan UU No 7 Tahun 2004 secara keseluruhan
c. Permohonan 060/PUU-II/2004No Kategori Nomor Registrasi Perkara 060/PUU-II/20041 Pemohon 868 perorangan WNI2 Kategori Pemohon Perorangan warga negara Indonesia (termasuk
kelompok orang)3 Tanggal Registrasi
Permohonan29 Juli 2004, kemudian setelah diperbaiki, diserahkankembali ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 8September 2004
4 Jenis Pengujian Pengujian formil dan materil5 Objek Permohonan UU No 7 Tahun 2004 secara keseluruhan
d. Permohonan 063/PUU-II/2004No Kategori Nomor Registrasi Perkara 063/PUU-II/20041 Pemohon Suta Widya, perorangan WNI2 Kategori Pemohon Perorangan warga negara Indonesia3 Tanggal Registrasi
Permohonan26 Juli 2004, kemudian setelah diperbaiki, diserahkankembali ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 22September 2004
4 Jenis Pengujian Pengujian formil dan materil5 Objek Permohonan Pasal 9, Pasal 26 ayat (7), Pasal 45 dan Pasal 46 UU No
7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
e. Permohonan 008/PUU-III/2005
Permohonan ini merupakan permohonan yang bersifat ad
informandum10. Hal ini berdasarkan saran dari Mahkamah Konstitusi karena
permohonan 008/PUU-III/2005 diajukan pada saat empat permohonan
sebelumnya telah berjalan dan tinggal menunggu putusan saja. ad
informandum yang dimaksud adalah jika suatu permohonan mempunyai
10 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005, hal. 167
56
kepentingan terhadap pasal-pasal sama dengan yang telah dimohonkan
sebelumnnya, maka permohonan diajukan untuk memperkuat dalil,
argumentasi menyangkut pasal-pasal yang telah dimohonkan oleh pemohon
sebelumnya.
No Kategori Nomor Registrasi Perkara 008/PUU-III/20051 Pemohon 2063 orang WNI yang memberi kuasa kepada Bambang
Widjojanto, S.H., LLM., dkk, dari “Tim AdvokasiKeadilan Sumber Daya Alam”
2 Kategori Pemohon Perorangan warga negara Indonesia (termasukkelompok orang)
3 Tanggal RegistrasiPermohonan
1 Maret 2005, kemudian setelah diperbaiki, diserahknkembali ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31Maret 2005
4 Jenis Pengujian Pengujian formil dan materil5 Objek Permohonan Pasal 6 ayat (2), ayat (3), pasal 7, pasal 8 ayat (1), ayat
(2), pasal 9 ayat (1), pasal 11 ayat (3), pasal 29 ayat (3),pasal 38, pasal 39, pasal 40 ayat (4), pasal 49 UU No. 7tahun 2004
2. Bagian yang dimohonkan
Secara umum, para pemohon dalam Pengujian Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air memohon pengujian formil
sekaligus permohonan pengujian materil. Hal ini karena pemohon
mendalilkan bahwa filosofi pembentukan Undang-undang Nomor 7 Tahun
2004 tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat. Sebagian materi muatan,
ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang dimohonkan adalah
sebagai berikut:
Pasal atau Bagian PenjelasanKonsideran mengingat dalam UU No.7Tahun 2004
Tidak mencantumkan Pasal 33 ayat (1)sampai ayat (5) secara utuh
57
Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Penjelasannya(1) Hak guna air sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4)berupa hak guna pakai air danhak guna usaha air.
(2) Hak guna air sebagaimanadimaksud pada ayat (1) tidak dapatdisewakan atau dipindahtangankan,sebagian atau seluruhnya.
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Yang dimaksud tidak dapat disewakanatau dipindahtangankan artinya hakguna air yang diberikan kepadapemohon tidak dapat disewakan dandipindahkan kepada pihak lain denganalasan apapun.Apabila hak guna air tersebut tidakdimanfaatkan oleh pemegang hak gunaair, Pemerintah atau pemerintah daerahdapat mencabut hak guna air yangbersangkutan.
Pasal 8 ayat (2) huruf c Penjelasannya(2) Hak guna pakai air sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)memerlukan izin apabila:c. digunakan untuk pertanian
rakyat di luar sistem irigasiyang sudah ada
Pasal 9 ayat (1) PenjelasannyaHak guna usaha air dapat diberikankepada perseorangan atau badan usahadengan izin dari Pemerintah ataupemerintah daerah sesuai dengankewenangannya.
Ayat (1)Yang dimaksud dengan perseoranganadalah subjek non-badan usaha yangmemerlukan air untuk keperluanusahanya misalnya usaha pertambakandan usaha industri rumah tangga.
Pasal 26 ayat (7) Penjelasannya
Pendayagunaan sumber daya airdilakukan dengan mengutamakanfungsi sosial untuk mewujudkankeadilan dengan memperhatikan prinsippemanfaat air membayar biaya jasapengelolaan sumber daya air dandengan melibatkan peran masyarakat.
Ayat (7)Yang dimaksud dengan prinsippemanfaat membayar biaya jasapengelolaan adalah penerima manfaatikut menanggung biaya pengelolaansumber daya air baik secara langsungmaupun tidak langsung. Ketentuan initidak diberlakukan kepada pengguna airuntuk pemenuhan kebutuhan pokoksehari-hari dan pertanian rakyatsebagaimana dimaksud dalam Pasal 80.
Pasal 29 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Penjelasannya
58
(3) Penyediaan air untuk memenuhikebutuhan pokok sehari-hari danirigasi bagi pertanian rakyat dalamsistem irigasi yang sudah adamerupakan prioritas utamapenyediaan sumber daya air di atassemua kebutuhan.
(4) Urutan prioritas penyediaan sumberdaya air selain sebagaimanadimaksud pada ayat (3) ditetapkanpada setiap wilayah sungai olehPemerintah atau pemerintah daerahsesuai dengan kewenangannya.
(5) Apabila penetapan urutan prioritaspenyediaan sumber daya airsebagaimana dimaksud pada ayat(4) menimbulkan kerugian bagipemakai sumber daya air,Pemerintah atau pemerintah daerahwajib mengatur kompensasikepada pemakainya.
Ayat (3)Apabila terjadi konflik kepentinganantara pemenuhan kebutuhan pokoksehari-hari dan pemenuhan kebutuhanair irigasi untuk pertanian rakyatmisalnya pada situasi kekeringan yangekstrim, prioritas ditempatkan padapemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari.
Ayat (4)Cukup jelas
Ayat (5)Kompensasi dapat berbentuk gantikerugian misalnya berupa keringananbiaya jasa pengelolaan sumber daya airyang dilakukan atas dasar kesepakatanantar pemakai.
Pasal 40 ayat (1), ayat (4) dan ayat (7) Penjelasannya
(1) Pemenuhan kebutuhan air bakuuntuk air minum rumah tanggasebagaimana dimaksud dalamPasal 34 ayat (1) dilakukan denganpengembangan sistem penyediaanair minum.
(4) Koperasi, badan usaha swasta, danmasyarakat dapat berperan sertadalam penyelenggaraanpengembangan sistem penyediaanair minum.
(7) Untuk mencapai tujuan pengaturanpengembangan sistem penyediaanair minum dan sanitasisebagaimana dimaksud pada ayat(5) dan ayat (6), Pemerintah dapatmembentuk badan yang berada dibawah dan bertanggung jawabkepada menteri yang membidangisumber daya air.
Ayat (1)Yang dimaksud dengan air minumrumah tangga adalah air dengan standardapat langsung diminum tanpa harusdimasak terlebih dahulu dan dinyatakansehat menurut hasil pengujianmikrobiologi (uji ecoli). Yangdimaksud dengan pengembangansistem penyediaan air minum adalahmemperluas dan meningkatkan sistemfisik (teknik) dan sistem non fisik(kelembagaan, manajemen, keuangan,peran masyarakat, dan hukum) dalamkesatuan yang utuh untuk menyediakanair minum yang memenuhi kualitasstandar tertentu bagi masyarakatmenuju kepada keadaan yang lebihbaik. Pengembangan instalasi danjaringan serta sistem penyediaan airminum untuk rumah tangga termasuk
59
pola hidran dan pola distribusi denganmobil tangki air.
Ayat (4)Dalam hal di suatu wilayah tidakterdapat penyelenggaraan air minumyang dilakukan oleh badan usaha miliknegara dan/atau badan usaha milikdaerah, penyelenggaraan air minum diwilayah tersebut dilakukan olehkoperasi, badan usaha swasta danmasyarakat.
Ayat (7)Cukup jelas
Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4) Penjelasannya
(3) Pengusahaan sumber daya air selainsebagaimana dimaksud pada ayat(2) dapat dilakukan olehperseorangan, badan usaha, ataukerja sama antar badan usahaberdasarkan izin pengusahaan dariPemerintah atau pemerintah daerahsesuai dengan kewenangannya.
(4) Pengusahaan sebagaimanadimaksud pada ayat (3) dapatberbentuk:a. penggunaan air pada suatu
lokasi tertentu sesuaipersyaratan yang ditentukandalam perizinan;
b. pemanfaatan wadah air padasuatu lokasi tertentu sesuaipersyaratan yang ditentukandalam perizinan; dan/atau
c. pemanfaatan daya air pada suatulokasi tertentu sesuaipersyaratan yang ditentukandalam perizinan.
Ayat (3)Yang dimaksud dengan badan usahapada ayat ini dapat berupa badan usahamilik negara/badan usaha milik daerah(yang bukan badan usaha pengelolasumber daya air wilayah sungai), badanusaha swasta, dan koperasi.Kerja sama dapat dilakukan, baik dalampembiayaan investasi pembangunanprasarana sumber daya air maupundalam penyediaan jasa pelayanandan/atau pengoperasian prasaranasumber daya air. Kerja sama dapatdilaksanakan dengan berbagai caramisalnya dengan pola bangun gunaserah (build, operate, and transfer),perusahaan patungan, kontrakpelayanan, kontrak manajemen, kontrakkonsesi, kontrak sewa dan sebagainya.Pelaksanaan berbagai bentuk kerjasama yang dimaksud harus tetap dalambatas-batas yang memungkinkanpemerintah menjalankankewenangannya dalam pengaturan,pengawasan dan pengendalianpengelolaan sumber daya air secarakeseluruhan.Izin pengusahaan antara lain memuat
60
substansi alokasi air dan/atau ruas(bagian) sumber air yang dapatdiusahakan.
Ayat (4)Huruf a
Cukup jelasHuruf b
Pemanfaatan wadah air pada lokasitertentu antara lain adalah pemanfaatanatau penggunaan sumber air untukkeperluan wisata air, olahraga arungjeram, atau lalu lintas air.
Huruf cPemanfaatan daya air antara lainsebagai penggerak turbin pembangkitlistrik atau sebagai penggerak kincir
Pasal 46 ayat (2) Penjelasannya
Alokasi air untuk pengusahaan sumberdaya air sebagaimana dimaksud padaayat (1) harus didasarkan pada rencanaalokasi air yang ditetapkan dalamrencana pengelolaan sumber daya airwilayah sungai bersangkutan.
Ayat (2)Alokasi air yang diberikan untukkeperluan pengusahaan tersebut tetapmemperhatikan alokasi air untukpemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat pada wilayahsungai yang bersangkutan.
3. Dalil-dalil Pemohon (isu hukum) dan Petitum
a. Dalil-dalil pemohon (isu hukum)
Dalam pengajuan uji materil (judicial review) suatu undang-undang
kepada Mahkamah Konstitusi, pemohon selalu menyebutkan dalil-dalil
sebagai dasar hukum atas pengujian tersebut. Dalil-dalil atau isu hukum
yang dikemukakan oleh pemohon dalam kelima berkas permohonan
pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
dapat disederhanakan dalam satu kumpulan dalil permohonan.
61
Hal ini supaya tidak terjadi pengulangan, karena terdapat materi
muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang sama yang
dimohonkan oleh satu pemohon dan dimohonkan juga oleh pemohon
lainnya. Disamping itu, alasan-alasan permohonan yang dikemukakan
pemohon tidak akan dijelaskankan keseluruhannya dalam ringkasan ini,
melainkan hanya terfokus kepada beberapa isu hukum yang penting dan
berhubungan dengan konsep penguasaan negara terhadap sumber daya air.
Hal tersebut meliputi:
1) Dalam sidang paripurna persetujuan RUU Sumber Daya Air terdapat
beberapa anggota DPR RI yang berpendirian tidak setuju terhadap
pengesahan Undang-Undang tersebut. Namun pimpinan rapat tetap
memaksakan persetujuan terhadap RUU tersebut. Akibatnya, beberapa
anggota DPR tersebut melakukan walk out. Tindakan pimpinan rapat
paripurna yang tetap memaksakan pengambilan suara dengan mufakat
dan tidak dengan suara terbanyak, padahal ada perbedaan pendirian di
antara anggota rapat paripurna merupakan pelanggaran terhadap Pasal
192 dan Pasal 193 Peraturan Tata Tertib DPR RI.
2) Pertimbangan hukum sebagai dasar pembentukan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan
semangat dan jiwa UUD 1945, karena tidak mencantumkan Pasal 33
Undang Undang Dasar 1945 secara utuh dan lengkap(ayat 1 sampai 5).
3) Hak atas air adalah hak asasi manusia.
62
4) Komersialisasi dan swastanisasi pengelolaan sumber daya air, yaitu
penguasaan dan monopoli sumber-sumber air oleh swasta,
terkonsentrasinya penggunaan air bagi kepentingan komersil, dan
Pasal 40, Pasal 41 dan Pasal 45 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air yang mengandung muatan Privatisasi atas
Penyediaan Air Minum, Pengelolaan Sumber Daya Air dan lrigasi
Pertanian.
5) Kewajiban dan tanggung jawab negara dalam hal penyediaan fasilitas
pelayanan umum kepada rakyat, termasuk dalam hal ini adalah
penyediaan air yang bersih dan sehat sebagai turunan dari Pasal 33
ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 34 ayat (3) Undang Undang
Dasar 1945.
b. Petitum
Petitum atau tuntutan yang sampaikan oleh seluruh pemohon
kepada Mahkamah Konstitusi hampir sama, jadi penulis mengambil
petitum yang dimohonkan oleh pemohon Nomor Perkara 058/PUU-II/2004
karena petitumnya dipandang dapat mewakili petitum dari pemohon
lainnya, yaitu sebagai berikut:
1) Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang-
undang para Pemohon;
2) Menyatakan pembentukan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan Undang Undang Dasar
63
1945 dan menyatakan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
3) Menyatakan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (3), Pasal 7 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 8 ayat (2) huruf c, Pasal 9 ayat (1), Pasal 29 ayat (3) dan ayat
(4), Pasal 29 ayat (5), Pasal 38 ayat (2), Pasal 40 ayat (1), ayat (4) dan
ayat (7), Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 46 ayat (2), Pasal 91, Pasal
92 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan Undang Undang Dasar
1945;
4) Menyatakan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (3), Pasal 7 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 8 ayat (2) huruf c, Pasal 9 ayat (1), Pasal 29 ayat (3) dan ayat
(4), Pasal 29 ayat (5), Pasal 38 ayat (2), Pasal 40 ayat (1), ayat (4) dan
ayat (7), Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 46 ayat (2), Pasal 91, Pasal
92 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat;
5) Memerintahkan amar Putusan Majelis Hakim dari Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia yang mengabulkan permohonan pengujian Undang-
undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap
Undang Undang Dasar 1945 untuk dimuat dalam Berita Negara dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan
diucapkan.
64
4. Pertimbangan Hukum dan Putusan
a. Pertimbangan Hukum
Dalam memutuskan perkara pengujian undang-undang, majelis
hakim Mahkamah Konstitusi selalu mendasarkan putusannya pada
pertimbangan hukum yang menjadi dasar dari putusan majelis hakim. Ada
banyak pertimbangan hukum yang mendasari putusan pengujian Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Namun penulis
hanya akan menyebutkan pertimbangan hukum yang berhubungan dengan
konsep penguasaan negara atas sumber daya air yang menjadi fokus
penelitian ini. Pertimbangan hukum tersebut adalah:
Isu Hukum Pertimbangan Hukum
Prosedur pengesahan UUNo. 7 Tahun 2004 tentangSumber Daya Air yangbertentangan dengan:
a. Pasal 20 ayat (1)UUD 1945
b. Pasal 33 ayat (2)huruf a dan ayat (5)UU No.4 Tahun 1999tentang Susunan danKedudukan MPR,DPR dan DPRD
c. Keputusan DPR RINo.03A/DPRRI/2001-2002 tentangPeraturan Tata Tertib
Bahwa berdasarkan Risalah Rapat Paripurna DPR RIyang diselenggarakan pada tanggal 19 Pebruari 2004,dihadiri 282 orang dari 494 orang anggota DPR RI dariseluruh fraksi.Dengan demikian Rapat Paripurna tersebut telahmemenuhi kuorum sebagaimana ditentukan dalam Pasal189 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR.Bahwa berdasarkan fakta dalam persidangan,keterangan saksi, keterangan tertulis DPR dan RisalahRapat DPR, prosedur pengesahan UU No. 7 Tahun 2004sudah sesuai dengan peraturan perundang-undanganyang berlaku.Bahwa masih adanya satu fraksi yang minta ditunda dansatu fraksi yang belum jelas sikapnya, maka diadakanlobby antar fraksi. Proses ini sering dan biasa dilakukanapabila dalam pengambilan keputusan secara
65
DPR RI musyawarah dan mufakat mengalami kebuntuan.Tidak seluruh Pasal 33UUD 1945 menjadikonsideran “mengingat”UU SDA, maka UU SDAbertentangan dengan UUD1945.
Meskipun hanya sebagian dari Pasal 33 UUD 1945 yangdicantumkan dalam konsiderans “mengingat” UU SDA,yaitu ayat (3) dan ayat (4) dan tidak keseluruhan dariPasal 33 UUD 1945, hal tersebut tidak menyebabkansecara formil UU SDA bertentangan dengan UUD 1945.
Hak atas air adalah hakasasi manusia
1. Fungsi air memang sangat perlu bagi kehidupanmanusia dan dapat dikatakan sebagai kebutuhanyang demikian pentingnya sebagaimana kebutuhanmahluk hidup terhadap oksigen (udara).
2. Bahwa sumber daya air tidak hanya semata-matadimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pokoksehari-hari secara langsung, akan tetapi dalam fungsisekundernya sumber daya air banyak diperlukandalam kegiatan industri, baik industri kecil,menengah maupun besar dimana kegiatan tersebutdilakukan oleh pihak non Pemerintah.
3. Menimbang bahwa pengakuan akses terhadap airsebagai hak asasi manusia mengindikasikan dua hal;di satu pihak adalah pengakuan terhadap kenyataanbahwa air merupakan kebutuhan yang demikianpenting bagi hidup manusia, di pihak lain perlunyaperlindungan kepada setiap orang atas akses untukmendapatkan air. Sebagaimana hak-hak asasimanusia lainnya posisi negara dalam hubungannyadengan kewajibannya yang ditimbulkan oleh hakasasi manusia, negara harus menghormati (torespect), melindungi (to protect), dan memenuhinya(to fulfill);
4. Menimbang bahwa para founding fathers secaravisioner telah meletakkan dasar bagi pengaturan airdengan tepat dalam ketentuan UUD 1945 yaitu Pasal33 ayat (3) yang berbunyi: “Bumi, air dan kekayaanalam yang terkandung di dalamnya dikuasai olehnegara dan dipergunakan untuk sebesar besarnyakemakmuran rakyat.” Dengan demikian secarakonstitusional landasan pengaturan air adalah Pasal33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 28H UUD 1945yang memberikan dasar bagi diakuinya hak atas airsebagai bagian dari hak hidup sejahtera lahir danbatin yang artinya mejadi substansi dari hak asasi
66
manusia.Privatisasi dankomersialisasipengelolaan sumber dayaair
1. Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 11ayat (3) yang menyatakan bahwa; ”Penyusunan polapengelolaan sumber daya air dilakukan denganmelibatkan peran masyarakat dan dunia usahaseluas-luasnya“ cukup mencerminkan keterbukaandalam penyusunan pola pengelolaan sumber dayaair. Adanya kalimat “seluas-luasnya“ tidaklahditafsirkan hanya memberikan peran yang besarkepada dunia usaha saja tetapi juga kepadamasyarakat. Pelibatan masyarakat dan dunia usahadimaksudkan untuk memberi masukan atas rencanapenyusunan pengelolaan sumber daya air, dantanggapan atas pola yang akan digunakan dalampengelolaan sumber daya air. Peran negara sebagaiyang menguasai air, demikian perintah Pasal 33 ayat(3) UUD 1945 yang dilaksanakan oleh Pemerintahatau Pemerintah Daerah tetap ada dan tidak dialihkankepada dunia usaha atau swasta. Hal tersebuttercermin dalam ketentuan yang termuat dalam Pasal14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU SDA;
2. Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan UUSDA menyebabkan komersialisasi terhadap airkarena menganut prinsip “penerima manfaat jasapengelolaan sumber daya air wajib menanggungbiaya pengelolaan” sesuai dengan jasa yangdipergunakan. Mahkamah berpendapat bahwaprinsip ini justru menempatkan air tidak sebagaiobjek untuk dikenai harga secara ekonomi,karenanya tidak ada harga air sebagai komponendalam menghitung jumlah yang harus dibayar olehpenerima manfaat. Oleh karenanya prinsip ini tidakbersifat komersial;
3. PDAM harus diposisikan sebagai unit operasionalnegara dalam merealisasikan kewajiban negarasebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 UU SDA, danbukan sebagai perusahaan yang berorientasi padakeuntungan secara ekonomis.
Kewajiban dan tanggungjawab negara terhadap hak(asasi manusia) atas air
1. Menimbang bahwa air tidak hanya diperlukan untukmemenuhi kebutuhan hidup manusia secara langsungsaja. Sumber daya yang terdapat pada air jugadiperlukan untuk memenuhi kebutuhan lainnya,
67
seperti pengairan untuk pertanian, pembangkittenaga listrik, dan untuk keperluan industri. Olehkarenanya, pengaturan sumber daya air tidak cukuphanya menyangkut pengaturan air sebagai kebutuhandasar manusia yaitu sebagai hak asasi, tetapi jugaperlu diatur pemanfaatan sumber daya air untukkeperluan sekunder yang tidak kalah pentingnya bagimanusia agar dapat hidup secara layak. KehadiranUndang-undang yang mengatur kedua hal tersebutsangatlah relevan.
2. Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 5 UU SDAyang berbunyi: “Negara menjamin hak setiap oranguntuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokokminimal sehari-hari guna memenuhi kehidupan yangsehat, bersih dan produktif”, adalah rumusan hukumyang cukup memadai untuk menjabarkan hak asasiatas air sebagai hak yang dijamin oleh UUD.Meskipun jaminan negara dalam Pasal 5 UU SDAtersebut tidak dirumuskan kembali dalam bentuktanggung jawab Pemerintah dan Pemerintahprovinsi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14,Pasal 15 UU SDA, namun tanggung jawabPemerintah dan Pemerintah provinsi, sebagaimanadirinci dalam kedua pasal tersebut harus didasari ataspenghormatan, perlindungan dan pemenuhan hakasasi atas air. Hal demikian harus tercerminkandalam peraturan pelaksanaan UU SDA.
b. Putusan
Dalam pengujian Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang
Sumber daya Air ini, majelis hakim akhirnya menolak seluruh permohonan
para pemohon. Majelis hakim berpendapat bahwa Undang-Undang SDA
tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik dalam pembentukannya
maupun ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang tersebut.
68
Artinya secara formil maupun materil, Undang-Undang nomor 7 tahun
2004 tentang Sumber Daya Air tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam putusannya, majelis hakim Mahkamah Konstitusi juga
menafsirkan frase “dikuasai oleh negara” dalam pasal 33 ayat (3) UUD
1945 yang berbunyi:” Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Majelis hakim berpendapat bahwa penguasaan
negara atas air meliputi kegiatan:
1) merumuskan kebijakan (beleid), yaitu merumuskan kebijakan yang
berhubungan dengan pengelolaan sunber daya air.
2) melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad). Fungsi pengurusan
(bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan
kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan
(vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie).
3) melakukan pengaturan (regelendaad). Fungsi pengaturan oleh negara
(regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR
bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif).
4) melakukan pengelolaan (beheersdaad). Fungsi pengelolaan
(beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-
holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen
Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai
instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah
69
mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu
untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
5) Melakukan pengawasan (toezichthoudendaad). Fungsi pengawasan
(toezichthoudendaad) dilakukan oleh pemerintah sebagai wakil negara
terhadap kegiatan pemanfaatan sumber daya air.11
Majelis juga berpendapat bahwa Perkataan “dikuasai oleh
negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam
arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat
Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian
kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan
dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945
memberikan mandat kepada negara untuk melaksanakan kelima hal di atas
dengan tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
5. Dissenting Opinion
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-
II/2004 dan 008/PUU-III/2005 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber daya Air, majelis hakim tidak mengambil
11 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005, hal. 498-499
70
keputusan dengan suara bulat. Ada dua orang hakim yang berbeda pendapat
dengan mayoritas hakim yang dalam istilah Mahkamah Konstitusi disebut
dissenting opinion. Dissenting opinion adalah pendapat yang berbeda secara
substantif sehingga menghasilkan amar yang berbeda. Misalnya mayoritas
hakim menolak permohonan, tetapi hakim minoritas mengabulkan
permohonan yang bersangkutan, atau sebaliknya. Jadi perbedaan itu berasal
dari argumentasi dan pertimbangan hukum yang mendasari putusan hakim
sehingga putusannya pun jadi berbeda. Kalau perbedaan hanya pada
argumentasi dan pertimbangan hukum saja, namun kesimpulan akhir dan
putusannya sama, maka tidak disebut sebagai dissenting opinion, melainkan
disebut concurrent opinion atau consenting opinion.12
Kedua hakim tersebut adalah A. Mukthie Fadjar dan Maruarar
Siahaan. Mereka berpendapat bahwa ada beberapa bagian dari UU SDA yang
bertentangan dengan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 karena membuka secara
lebar peluang privatisasi yang dilarang dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Bahkan menurut Maruarar Siahaan, UU SDA harus dibatalkan secara
12 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: KonstitusiPress, 2006), hal. 287-288.
71
keseluruhan karena bagian yang bertentangan dengan pasal 33 ayat (3) UUD
1945 merupakan ruh dari keseluruhan UU SDA.13
13 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005, hal. 519-522
72
BAB IV
ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Analisis Fiqh Siyasah terhadap Pertimbangan Hukum dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan tentang norma-norma hukum
ekomomi Islam, terutama masalah kepemilikan dan penguasaan negara atas
sumber daya air, sekarang penulis mencoba menganalisis pendapat Mahkamah
Konstitusi tentang pertimbangan hukum atas putusan majelis hakim baik dari sisi
formil maupun materil dari perspektif fiqh siyasah. Dalam pokok permohonan,
para pemohon mengajukan dua permohonan sekaligus, yaitu permohonan
pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
secara formil maupun materil. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi harus
memutuskan apakah proses pembentukan dan pengesahan UU 7/2004 tentang
Sumber Daya Air telah memenuhi syarat-syarat formil pembentukan undang-
undang sesuai dengan yang ditentukan dalam UUD 1945 (uji formil) dan apakah
materi yang diatur dalam UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan
dengan pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 (uji materil).
73
1. Analisis formil pembentukan undang-undang
Dalam kajian fiqh siyasah, kekuasaan legislatif disebut juga dengan al-
sulthah al-tasyri’iyah, yaitu kekuasaan pemerintah Islam dalam membuat dan
menetapkan hukum. Menurut Islam, tidak seorang pun yang berhak
menetapkan suatu hukum yang akan diberlakukan bagi umat Islam. Namun
dalam kehidupan bernegara, diperlukan aturan-aturan yang mengatur
kehidupan bernegara menjadi lebih baik sehingga diperlukan lembaga yang
bertugas untuk membuat dan menetapkan hukum yang mengatur kehidupan
bernegara. Di sinilah peran al-sulthah al-tasyri’iyah dalam menetapkan
hukum yang tidak diatur oleh Allah dan Rasul-Nya.
Istilah al-sulthah al-tasyri’iyah digunakan untuk menunjukkan salah
satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur masalah
kenegaraan di samping kekuasaan eksekutif (al-sulthah al-tanfidziyah) dan
kekuasaan yudikatif (al-sulthah al-qadhaiyah). Dalam konteks ini, kekuasaan
legislatif (al-sulthah al-tasyri’iyah) berarti kekuasaan atau kewenangan
pemerintah Islam untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan
dilaksanakan oleh masyarakat berdasarkan ketentuan yang telah ditentukan
oleh Allah SWT dalam syariat Islam. Dengan demikian, unsur-unsur legislasi
dalam Islam meliputi:
a. Pemerintah (lembaga legislatif) sebagai pemegang kekuasaan untuk
menetapkan hukum yang akan diberlakukan dalam masyarakat Islam;
b. Masyarakat Islam yang akan melaksanakannya;
74
c. Isi peraturan atau hukum itu sendiri yang harus sesuai dengan nilai-nilai
dasar syariat Islam.1
Sebenarnya pembagian kekuasaan, dengan beberapa kekhususan dan
perbedaaan, telah terdapat dalam pemerintahan Islam jauh sebelum pemikir-
pemikir Barat merumuskan teori mereka tentang trias politica. Ketiga
kekuasaan tersebut telah berjalan sejak zaman Nabi Muhammad di Madinah.
Sebagai kepala negara, Nabi membagi tugas-tugas tersebut kepada para
shahabat yang mampu dan menguasai bidang-bidangnya. Meskipun secara
umum, semuanya bermuara kepada Nabi juga.2
Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan terpenting dalam pemerintahan
Islam, karena ketentuan dan ketetapan yang dikeluarkan lembaga legislatif ini
akan dilaksanakan secaraa efektif oleh lembaga eksekutif dan dipertahankan
oleh lembaga yudikatif atau peradilan. Orang-orang yang duduk di lembaga
legislatif ini terdiri dari para mujtahid dan ahli fatwa (mufti) serta para pakar
dalam berbagai bidang.3 Undang-undang dan peraturan yang akan dikeluarkan
oleh lembaga eksekutif ini harus mengikuti ketentuan-ketentuan syariat Islam.
Oleh karena itu, terdapat dua fungsi lembaga legislatif. Pertama, dalam hal-
1 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cet. ke-2,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hal. 162
2 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah:......, hal. 163
3 Abdul Wahhab Khalaf, Al-Siyasahh al-Syari’ah, (Kaiiro: Dar al-Anshar, 1977), hal. 42sebagaimana dikutip oleh Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah....., hal. 162
75
hal yang ketentuannya sudah terdapat di dalam nash al-Qur’an dan Sunnah,
undang-undang yang dikeluarkan adalah undang-undang ilahiyah yang
disyari’atkan-Nya dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad
SAW. Namun hal ini sangat sedikit, karena pada prinsipnya kedua sumber
ajaran Islam tersebut banyak berbicara masalah-masalah yang global dan
sedikit sekali menjelaskan suatu permasalahan secara rinci. Sementara
perkembangan masyarakat begitu cepat dan kompleks sehingga membutuhkan
jawaban yang tepat untuk mengantisipasinya.
Oleh karena itu, kekuasaan legislatif menjalankan fungsi keduanya,
yaitu melakukan penalaran kreatif (ijtihad) terhadap permasalahan-
permasalahan yang secara tegas tidak dijelaskan oleh nash. Di sinilah
perlunya al-sulthah al-tasyri’iyah tersebut diisi oleh para mujtahid dan ahli
fatwa sebagaimana dijelaskan di atas. Mereka melakukan ijtihad untuk
menetapkan hukumnya dengan jalan qiyas (analogi). Mereka mencari illat
(sebab hukum) yang ada dalam permasalahan yang timbul dan
menyesuaikannya dengan ketentuan yang terdapat di dalam nash. Di samping
harus merujuk kepada nash, ijtihad anggota legislatif harus mengacu kepada
prinsip jalb al-mashalih dan daf’ al-mafasid (mengambil maslahat dan
menolak kemudaratan). Ijtihad mereka juga perlu mempertimbangkan situasi
dan kondisi sosial masyarakat, agar hasil peraturan yang akan diundangkan itu
sesuai dengan aspirasi masyarakat dan tidak memberatkan mereka.
76
Pada era modern, sejalan dengan masuknya penjajah Barat ke dunia
Islam sejak abad ke-19, ide-ide politik dan kenegaraan Barat pun memulai
mengembangkan pengaruhnya terhadap umat Islam. Di antaranya adalah ide
tentang legislasi hukum yang secara praktis terlihat dalam keberadaan dewan
legislatif atau parlemen. Masuknya ide ini mendapat respons dari kalangan
pemikir Islam. Di antara mereka mencoba menanggapinya dan melontarkan
gagasan pula tentang legislasi hukum dalam negara Islam. Di antara mereka
adalah Muhammad Iqbal.
Gagasan Iqbal tentang legislasi berpangkal pada konsep pemikirannya
tentang negara. Menurut Iqbal, negara Islam bersifat teokratis. Namun,
teokrasi di sini harus dibedakan dengan teokrasi di Barat. Teokrasi Islam
adalah pemerintahan yang berdasarkan tauhid dan menerapkan nilai-nilai
(prinsip-prinsip) persamaan, kesetiakawanan, dan kebebasan yang terkandung
di dalam tauhid. Negara adalah suatu alat untuk mentransfer prinsip-prinsip
tersebut ke dalam ruang dan waktu. Dalm pengertian ini, lanjut Iqbal, negara
yang tidak didasarkan pada dominasi dan keistimewaan suatu kelompok
manusia atas manusia yang lainnya dan bertujuan hendak melaksanakan
prinsip-prinsip spritual tauhid adalah negara teokratis. Negara inilah yang
sesuai dengan kehendak Tuhan, sebagaimana maksud Ttuhan yang
menciptakan manusia untuk menjadi wakil-Nya (khalifah) di bumi.4
4 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah....., hal. 170-171
77
Untuk mentransfer prinsip tauhid ke dalam ruang dan waktu, maka
sekarang diperlukan ijtihad yang kreatif dan berani terhadap garis-garis besar
syariat Islam yang ada di dalam al-Qur’an dan Sunnah agar dapat diterapkan
dalam masyarakat Islam sesuai dengan tuntutan zaman yang berkembang.
Dalam semangat ini, Iqbal mengutip pola pikir Umar ibn Khattab:
“Hukum Islam akan mampu berevolusi terhadap perkembanganmasyarakat di negeri-negeri muslim, kalau umat Islam beranimendekatinya dengan semangat Umar, otak kritis yang pertama dalamIslam”
Bardasarkan ini, Iqbal memandang bahwa satu-satunya upaya untuk
membuang kekakuan hukum Islam yang dihasilkan pada periode kemunduran
Islam adalah menggalakkan kembali ijtihad dan merumuskannya sesuai
dengan kebutuhan zaman sekarang.
Sekarang ini perlu mengalihkan kekuasan ijtihad pribadi menjadi
ijtihad kolektif yang tergabung dalam lembaga legislatif. Bagi Iqbal, pada
zaman modern ini, peralihan kekuasaan ijtihad individu yang mewakili
mazhab tertentu kepada lembaga legislatif adalah satu-satunya bentuk ijma’
yang paling tepat. Hanya dengan cara inilah umat islam dapat menggerakkan
semangat di dalam sistem hukum Islam yang selama ini hilang dari dalam
tubuh umat Islam. Keuntungan lain dari adanya ijtihad kolektif dari lembaga
legislatif adalah dapat menjadi penyeimbang kekuasaan eksekutif yang
cenderung lebih besar.
78
Orang-orang yang berhak menduduki lembaga legislatif ini tidak
hanya para ulama yang dianggap memiliki otoritas dalam penafsiran ajaran
Islam, namun juga harus diisi oleh orang yang awam tentang hukum Islam,
tetapi mempunyai pandangan yang luas terhadap berbagai persoalan
kemasyarakatan. Berdasarkan alasan tersebut, perlu orang-orang yang ahli
dalam berbagai bidang, misalnya bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
kesehatan.
Sayangnya, dalam idenya tentang lembaga legislatif ini, Iqbal tidak
menjelaskan secara eksplisit bagaimana mekanisme pemilihan anggota-
anggotanya. Iqbal menyatakan bahwa pemilihan merupakan satu-satunya cara
untuk mengekspresikan kehendak umat. Namun Iqbal tidak mengelaborasi
secara tuntas bagaimana bentuk dan caranya pemilihan anggota legislatif serta
kontrol masyarakat terhadap lembaga ini.
Dapatlah dimengerti dari penjelasan di atas, bahwa proses
pembentukan undang-undang dalam Islam mempunyai kesamaan dengan
dunia di luar Islam yaitu melalui badan khusus yang menangani pembentukan
undang-undang yang disebut parlemen (dalam Islam sering disebut ahl al-
halli wa al-aqdi). Namun ada perbedaan yang mendasar di Islam yaitu yang
menjadi nilai dasar atau prinsip yang dianut dalam pembuatan undang-undang
adalah al-Qur’an dan Sunnah. Di samping itu, yang diatur dalam undang-
undang adalah aturan yang belum ada dalam al-Qur’an dan Sunnah serta hasil
ijtihad para anggota legislatif harus mengacu kepada prinsip jalb al-mashalih
79
dan daf’ al-mafasid (mengambil kebaikan dan menolak keburukan). Khusus
di Indonesia, yang menjadi dasar pembentukan undang-undang adalah
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai norma hukum tertinggi Indonesia
dan norma-norma hukum lainnya yang dianut oleh Negara Indonesia.
Merujuk pada pendapat pemohon yang mendalihkan pengesahan UU
No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan pasal 20 ayat (1)
UUD 1945, pasal 33 ayat (2) huruf a dan ayat (5) UU No. 4/1999 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, dan keputusan DPR RI No.
03A/DPR RI/2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI sehingga UU
No. 7/2004 adalah cacat hukum. Mahkamah berpendapat bahwa proses
pembentukan UU No. 7/2004 telah sesuai dengan prosedur pembentukan
undang-undang dan tidak menemukan unsur-unsur yang bertentangan dengan
UUD 1945. Hal ini dibuktikan dari proses yang telah dilaksanakan oleh DPR
dan Pemerintah dalam menyusun UU SDA dari proses rancangan,
pembahasan, dan pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-
undang dilalui sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Adapun rapat paripurna DPR RI pada tanggal 19 Februari 2004 yang
mengesahkan RUU SDA menjadi Undang-Undang telah sesuai dengan
keputusan DPR RI No. 03A/DPR RI/2001-2002 tentang Peraturan Tata
Tertib DPR RI pasal 192 yang berbunyi:
“Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah, apabila diambil dalamrapat yang dihadiri oleh anggota dan unsur fraksi, sebagaimana
80
dimaksud dalam pasal 189 ayat (1) dan disetujui oleh semua yanghadir”
Hal ini tercermin dalam risalah rapat paripurna pada tanggal 19 Februari 2004
yang dihadiri 282 orang dari 494 anggota DPR dari semua fraksi. Adapun
adanya keberatan dari beberapa anggota DPR tidak menggugurkan
kesepakatan yang telah dicapai dalam lobby antar fraksi sebelumnya.
Sehingga UU SDA disahkan dengan kesepakatan yang bulat dari semua
anggota DPR.
Jadi dapatlah disimpulkan bahwa pendapat majelis hakim konstitusi
tentang formil pembentukan dan pengesahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tidak bertentangan dengan proses
pembentukan undang-undang dalam pandangan fiqh siyasah, karena dibentuk
oleh lembaga yang sah dan berwenang yaitu DPR dan tidak bertentangan
dengan norma dasar yang ada dalam UUD 1945 serta menjamin keadilan
hukum dan menjaga martabat manusia.
2. Analisis Materil Isi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air
Sebelum menyampaikan putusannya, majelis hakim mnyampaikan
pertimbangan hukum yang menjadi dasar dalam memutuskan apakah
menerima atau menolak permohonan para pemohon dalam pengujian UU
SDA. Pertimbangan tersebut adalah:
81
a. Hak atas air adalah hak asasi manusia
Islam memandang bahwa air merupakan komponen terpenting bagi
mahluk hidup, terutama manusia. Air menjadi sebab bagi kehidupan di
muka bumi ini. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an surat al-
Anbiya’:30:
., ل
Artinya:.... dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman? (QS: 30)
Wahbah Zuhaili menafsirkan ayat di atas bahwa setiap mahluk
hidup diciptakan dari unsur air. Air merupakan unsur terpenting dari
mahluk hidup di dunia ini. Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa setiap
mahluk hidup tidak bisa hidup tanpa adanya air. Air menjadi sebab
kehidupan bagi semua mahluk hidup. Oleh karena itu Islam sependapat
bahwa hak atas air termasuk hak yang paling dasar bagi manusia untuk
kelangsungan hidupnya di dunia ini.5
Selain ayat di atas, Nabi Muhammad juga mengakui bahwa air
adalah kebutuhan pokok bagi manusia dan mengelompokkannya dalam
barang-barang yang menjadi milik umum dan tidak dimiliki oleh
5 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, juz IX, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2003), hal. 48-51
82
perseorangan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya air bagi kehidupan
manusia. Oleh karena itu Islam sepakat bahwa hak terhadap air merupakan
bagian dari hak asasi manusia.
b. Privatisasi dan komersialisasi pengelolaan sumber daya air
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa air
termasuk barang yang menjadi milik umum, maka tidak seorang pun yang
dapat memilikinya kecuali dalam keadaan tertentu, seperti air sumur yang
berada di tanah milik seseorang. Seseorang hanya diperbolehkan untuk
memanfaatkannya tanpa harus memiliki.
Dalam pasal Pasal 11 ayat (3) yang menyatakan bahwa:
”Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air dilakukan dengan
melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya“, para
pemohon menyatakan bahwa pasal ini akan membuka pintu privatisasi
(proses pemilikan pribadi) terhadap sumber-sumber air yang dapat
merugikan orang lain dikarenakan adanya kata “seluas-luasnya”. Kata
inilah yang menurut pemohon akan membuka lebar-lebar pintu privatisasi
terhadap air. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Peran negara
sebagai yang menguasai air (sebagaimana yang termaktub dalam pasal 33
ayat (3) UUD 1945) yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah tetap ada dan tidak dialihkan kepada dunia usaha atau swasta.
Pemerintah dapat berperan sebagai regulator (yang mengatur dan
83
menyusun peraturan) yang mengatur eksplorasi sumber daya air supaya
berlangsung dengan baik dan tidak merugikan kepentingan umum.
Para pemohon juga mendalihkan UU SDA akan mengakibatkan
terjadinya komersialisasi terhadap air, karena UU SDA menganut prinsip
“penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung
biaya pengelolaan” sesuai dengan jasa yang dipergunakan (pasal 26 ayat
(7) UU SDA). Dalam hal ini, majelis hakim berpendapat bahwa prinsip ini
justru menempatkan air tidak sebagai objek untuk dikenai harga secara
ekonomi, karenanya tidak ada harga air sebagai komponen dalam
menghitung jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat.
Dalam kajian fiqh siyasah, terutama siyasah maliyah, barang yang
termasuk kepemilikan umum tidak dapat diberikan kepada seseorang oleh
pemerintah. Pemerintah hanya punya kewenangan untuk mengatur
pemanfaatannya oleh masyarakat supaya berjalan dengan tertib dan baik.
Oleh karena itu privatisasi terhadap sumber daya air tidak dapat
dibenarkan, karena hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan
masyarakat secara keseluruhan dikarenakan tertutupnya akses mereka
dalam mendapatkan air yang telah dikuasai oleh satu pihak dengan izin
dari pemerintah. Hal ini berdasarkan Hadis Nabi Muhammad yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud tentang sahabat Abyad yang diberi
tambang garam oleh Rasulullah SAW, namun ketika Rasulullah SAW
tahu bahwa tambang garam tersebut mengeluarkan garam secara terus
84
menerus seperti air yang mengalir dan merupakan kebutuhan pokok
manusia, maka Rasulullah mencabut kembali pemberiannya. Hal ini
menunjukkan bahwa barang yang menjadi kebutuhan pokok manusia dan
terus mengalir (berproduksi) tidak dapat diberikan kepada perseorangan,
karena akan menutup akses orang lain untuk memanfaatkannya.
Berkaitan dengan komersialisasi air, seperti yang didalihkan oleh
para pemohon, An-Nabhani berpendapat bahwa pada dasarnya air tidak
boleh dikomersialkan, kecuali pada saat-saat tertentu, seperti air yang
keluar dari sumur pribadi. Namun untuk jasa pengelolaan air, Islam
berpendapat bahwa negara harus menyediakan sarana dan pra sarana agar
air yanga ada di sumbernya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat melalui
pembangunan pipa-pipa saluran air ke rumah-rumah warga. Biaya untuk
membangun sarana tersebut diiambil dari uang negara dan menjadi milik
umum sebagaimana air.6
c. Kewajiban dan tanggung jawab negara terhadap hak (asasi manusia) atas
air
Sebagai konsekuensi pengakuan bahwa hak atas air merupakan
bagian dari hak asasi manusia, maka ada kewajiban dan tanggung jawab
negara untuk menjamin hak tersebut dapat terlaksana dengan baik. Dalam
6 Taqyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif : PerspektifIslam, terj. Moh. Maghfur Wachid, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal. 165
85
UU SDA, majelis hakim berpendapat bahwa ketentuan pasal 5 yang
berbunyi: “Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi
kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupan yang
sehat, bersih dan produktif”, adalah rumusan hukum yang cukup memadai
untuk menjabarkan hak asasi atas air sebagai hak yang dijamin oleh UUD
1945. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan adanya tanggung jawab
pemerinntah dalam pemenuhan hak atas air tersebut dalam pasal 14, 15,
dan 16 UU SDA yang berisi adanya tanggung jawab pemerintah untuk
menetapkan kebijakan nasional sumber daya air dan mengatur,
menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan,
dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai.
Dalam pandangan fiqh siyasah, pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan harus dapat menyejahterakan rakyatnya dengan memenuhi
semua kebutuhannya, termasuk kebutuhan terhadap air. Hal ini sesuai
dengan kaidah fiqih yang berbunyi:
7
Artinya: Kebijakan yang diambil oleh pemerintah atas rakyatnyaharus dibebankan (diarahkan) kepada kepentingan umum.
Dengan demikian, negara harus mampu membuat kebijakan yang
dapat menjamin kepentingan seluruh rakyat. UU SDA yang dibuat untuk
7 Abdur Rahman ibn Abu Bakr as-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nadhair fi al-Furu’,(Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 84.
86
mengatur pemanfaatan sumber daya air oleh masyarakat dan mencegah
terjadinya perselisihan antar warga cukup mampu mengatasi persoalan-
persoalan yang timbul dari kegiatan eksplorasi sumber daya air di
Indonesia.
B. Analisis Fiqh Siyasah terhadap Amar Putusan Mahkamah Konstitusi
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menolak semua permohonan
yang diajukan oleh para pemohon dalam pengujian konstitusionalitas UU SDA
terhadap UUD 1945. Majelis hakim konstitusi berpendapat bahwa secara formil
maupun materiil, UU SDA tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam amar
putusan, majelis hakim juga menafsirkan frase “ dikuasai oleh negara” dalam
pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Majelis hakim berpendapat bahwa frase “dikuasai negara” harus diartikan
sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup
juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber
kekayaan alam. Penguasaan ini mengandung pengertian yang lebih tinggi atau
lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata, karena
kepemilikan tersebut lahir dari konstruksi kedaulatan rakyat yang dinyatakan
dalam hukum tertinggi, yaitu Undang Undang Dasar 1945.
87
Majelis hakim juga berpendapat bahwa penguasaan negara atas air
meliputi kegiatan:
1. Merumuskan kebijakan (beleid), yaitu merumuskan kebijakan yang
berhubungan dengan pengelolaan sunber daya air.
2. Melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad). Fungsi pengurusan
(bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan
kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan
(vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie).
3. Melakukan pengaturan (regelendaad). Fungsi pengaturan oleh negara
(regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama
dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif).
4. Melakukan pengelolaan (beheersdaad). Fungsi pengelolaan (beheersdaad)
dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau
melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara
atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui
mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-
sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
5. Melakukan pengawasan (toezichthoudendaad). Fungsi pengawasan
(toezichthoudendaad) dilakukan oleh pemerintah sebagai wakil negara
terhadap kegiatan pemanfaatan sumber daya air.
88
Faruq Nabhan dalam bukunya, al-Ittijah al-Jima’i menyatakan bahwa air
dikategorikan sebagai benda milik umum, artinya semua orang dapat
memanfaatkannya tanpa ada yang dapat menghalanginya, karena air merupakan
unsur terpenting bagi kehidupan.8 Tidak dibenarkan seseorang menguasai sumber
air karena dapat menutup akses orang lain terhadap air sehingga akan merugikan
kepentingan umum. Pemerintah sebagai wakil negara tidak dibenarkan untuk
memberikan sumber air kepada pihak tertentu, karena air termasuk milik umum
dan bukan milik negara. Dalam pemanfaatan sumber daya air, negara berperan
sebagai pihak yang mebuat aturan yang mengatur pemanfaatan sumber daya air
agar berlangsung dengan tertib dan tidak ada yang merasa dirugikan. Negara juga
berperan sebagai pihak yang menyelesaikan perselisihan antar anggota
masyarakat dalam memnfaatkan air. Akan tetapi negara bukanlah pemilik dari
sumber daya air tersebut.
Dengan demikian putusan majelis hakim yang menafsirkan penguasaan
negara dengan kewenangan pemerintah, yang mewakili negara, melakukan lima
kegiatan meliputi: merumuskan kebijakan, melakukan tindakan pengurusan,
melakukan pengaturan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan
adalah sesuai dengan hukum Islam. Merumuskan kebijakan dan pengaturan
merupakan upaya pemerintah untuk mengatur pemanfaatan air berlangsung
dengan adil dan baik. Pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
8 Said Muhammad Basyuni, Al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fial-Tanmiyah, (Kairo: Dar al-Wafa’, 1988), hal. 244
89
juga diperbolehkan untuk melakukan pengelolaan terhadap sumber daya air agar
dapat bermanfaat untuk seluruh rakyat. Sedangkan tindakan pengawasan
dilakukan dengan tujuan memberi sangsi kepada pihak-pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan pemerintah dalam pemanfaatan air.
Adapun tindakan pengurusan dengan memberi izin pengelolaan kepada
swasta atau perorangan, fiqh siyasah memandang bahwa pemerintah
diperkenankan untuk memberi izin pengelolaan sumber daya air kepada swasta
atau perorangan dengan syarat tidak menutup akses orang lain dalam
mendapatkan air dari sumbernya.. Hal ini dapat dituangkan dalam peraturan yang
mengatur tentang syarat mendapatkan izin pengelolaan sumber daya air. Yang
tidak dapat dilakukan oleh pemerintah adalah memberi penguasaan yang mutlak
atas sumber daya air kepada perorangan atau swasta, karena dikhawatirkan akan
merugikan kepentinngan umum yang lebih besar. Adanya pasal yang
menjelaskan keterlibatan swasta dalam pengelolaan air dalam UU SDA (pasal 11
ayat (3) yang dikhawatirkan akan membuka privatisasi air yang dapat merugikan
kepentingan umum harus diminimalisir dengan memberikan syarat yang ketat
terhadap setiap kegiatan eksplorasi terhadap sumber daya air. Jadi, kewenangan
pemerintah dalam memberi izin pengelolaan air kepada swasta harus dibatasi
selama tidak merugikan kepentingan umum.
Adapun kedudukan negara dalam mengelola sumber daya air adalah
sebagai wakil dari rakyat yang merupakan pemilik air. Negara harus bertindak
untuk kebaikan rakyatnya. Ini tentu sama dengan konsep kedaulatan rakyat yang
90
dianut oleh UUD 1945 dimana rakyatlah yang memiliki kedaulatan, termasuk
kedaulatan di bidang ekonomi. Hal ini tercermin dalam rumusan pasal 33 ayat (2)
dan (3) UUD 1945.
91
BABV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 ayat (3) Undang Undang
Dasar 1945 dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air adalah:
a. Terhadap Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945
1) Pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 ayat (3) Undang
Undang Dasar 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau
lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata, karena
kepemilikan tersebut lahir dari konstruksi kedaulatan rakyat yang
dinyatakan dalam hukum tertinggi, yaitu Undang Undang Dasar 1945.
2) Dalam konsep penguasaan negara, rakyat secara kolektif
dikonstruksikan oleh Undang Undang Dasar 1945 memberikan
mandat kepada negara untuk:
a) Merumuskan kebijakan (beleid), yaitu merumuskan kebijakan
yang berhubungan dengan pengelolaan sunber daya air.
b) Melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad).
92
c) Melakukan pengaturan (regelendaad).
d) Melakukan pengelolaan (beheersdaad).
e) Melakukan pengawasan (toezichthoudendaad).
b. Terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air
1) Hak atas air merupakan hak asasi manusia, sehingga hak tersebut tidak
hanya tunduk pada Pasal 33 ayat (3) Undang Undang dasar 1945 saja,
tetapi juga pada Pasal 28H Undang Undang Dasar 1945
2) Air bukanlah barang ekonomi, sesuai dengan prinsip “pemanfaat air
membayar jasa pengelolaan sumber daya air”
3) Peran swasta dalam pengelolaan sumber daya air hanya dapat
dilakukan dibawah izin dari pemerintah.
4) Adanya kewajiban tanggung jawab negara terhadap hak atas air.
2. Pandangan fiqh siyasah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU
Sumber Daya Air adalah:
a. Air termasuk barang yang menjadi milik umum (bersama). Tidak ada
seorangpun yang dapat memonopoli pemanfaatan sumber daya air.
93
b. Negara berkewajiban menjamin ketersediaan pasokan air bagi seluruh
rakyat dengan membuat peraturan yang mengatur pemanfaatan air
dengan baik dan menjamin tidak adanya perselisihan antar anggota
masyarakat dalam memanfaatkan air.
c. Negara berperan sebagai wakil rakyat yang merupakan pemilik atas air
untuk melaksanakan fungsi-fungsi pembuatan kebijakan, pengaturan,
pengelolaan, dan pengawasan terhadap sumber daya air agar bermanfaat
dan dapat dipergunakan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
d. Islam menilai pemerintah boleh memberikan izin pengelolaan air kepada
swasta dengan persyaratan tidak menutup akses untuk mendapatkan air
bagi masyarakat luas. karena itu pintu privatisasi air harus dibatasi , sebab
pihak swasta ketika mengelola sumber daya air dapat dipastikan untuk
mencari keuntungan (profit oriented) sehingga mengabaikan kepentingan
umum.
B. Saran
1. Dalam membuat Undang-Undang, pemerintah dan DPR diharapkan benar-
benar memperhatikan kepentingan rakyat dan mengacu kepada konstitusi kita,
terutama masalah ekonomi harus sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 yang
menganut paham kedaulatan ekonomi.
94
2. Pemerintah diharapkan tidak dengan mudah memberikan izin pengelolaan
sumber daya air kepada swasta, apalagi pihak asing, karena merugikan
kepentingan rakyat dan mengancam kedaulatan rakyat di bidang ekonomi.
3. Pemerintah segera melakukan revisi terhadap UU SDA, terutama pasal-pasal
yang membuka pintu privatisasi sumber daya air serta undang-undang yang
terkait dengan pengelolaan sumber daya alam lainnya.
94
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku:
Al-Qur’an dan Terjemahannya.
A. Mas’adi, Ghufron, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta, RajaGrafindoPersada,2002.
Assal, Ahmad Muhammad al- dan Fathi Ahmad Abdul Karim, An-Nizam al-Iqtishadifi al-Islam, terj: Imam Saefudin, Bandung, Pustaka Setia, 1999.
Asshiddiqie, Jilmly, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta,Konstitusi Press, 2005.
________________, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta, KonsitusiPress, 2006.
Basyuni, Said Mahammad, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fial-Tanmiyah, Kairo, Dar al-Wafa’, 1988.
Gunadi, Tom, Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD’45, Bandung,Angkasa, 1990.
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cet. ke-2,Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007.
Islahi, A.A, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, terj: Anshari Thayib, Surabaya, PTBina Ilmu Offset, 1997.
Khalaf, Abdul Wahhab , Al-Siyasahh al-Syari’ah, Kairo, Dar al-Anshar, 1977.
Lathif, Ahmad Azharuddin, Fiqh Muamalat, Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005.
Mandhur, Ibn, Lisan al-Arab, jilid X, Beirut, Dar al-Fikr,tt.
Mawardi, Ali ibn Muhammad al-, Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayat al-Diniyah, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2006.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Edisi IV, Yogyakarta, Liberty, 1995.
95
Mishry, Rofiq Yunus al-, Ushul al-Iqtishad al-Islami, Beirut, Dar as-Syamiyah,1993.
Nabhani, Taqiyuddin al-, An-Nizham al-Iqtishadi al-Islam, terj: Redaksi al-AzharPress, Bogor, Al-Azhar Press, 2009.
Qardhawi, Yusuf, Daur al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtishadi al-Islami, Kairo,Maktabah Wahbah, 1995.
Sarjadi, Soegeng dan Imam Sugema (ed.), Ekonomi Konstitusi: Haluan BaruKebangkitan Ekonomi Indonesia, Jakarta, Soegeng Sarjadi Syndicate, 2009.
Sholahuddin, Muhammad, Asas-Asas Ekonomi Islam, Jakarta, PT RajaGrafindoPersada, 2007.
Siahaan, Maruarar, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cet I,(Jakarta, MKRI, 2006.
Sijistani, Abi Daud Sulaiman al-, Sunan Abi Daud, Amman, Dar al-A’lam, 2003.
Sutiyoso, Bambang, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia-UpayaMembangun Kesadaran dan Pemahaman Kepada Publik Akan Hak-HakKonstitusionalnya Yang Dapat Diperjuangkan dan Dipertahankan MelaluiMahkamah Konstitusi, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2006.
Suyuthi, Abdur Rahman ibn Abu Bakr al-, Al-Asybah wa al-Nadhair fi al-Furu’, Beirut, Daral-Fikr, 1995.
Tirmidzi, Muhammad bin Isa al-, Sunan at-Tirmidzi, Beirut, Dar al-Ma’rifah, 2002.
Wibowo dan Francis Wahono, Neoliberalisme, Yogyakarta, Cindelaras PustakaRakyat Cerdas, 2003.
Zarqa, Mushtafa Ahmad al-, al-Madkhal al-Fiqhi al-Islami, jilid I, Beirut, Dar al-Fikri, t.t.
Zuhaili, Wahbah al-, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IV, Beirut, Dar al-Fikr),1985.
________________, Tafsir al-Munir, juz IX, Damaskus, Dar al-Fikr, 2003.
2. Peraturan Perundang-Undangan:
96
Indonesia, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 beserta Amandemennya.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32.
Indonesia, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 tentang PedomanBeracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
3. Makalah:
Arimbi dan Emmy Hafild, Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 45, Jakarta: WahanaLingkungan Hidup Indonesia dan Fiends of the Earth (FoE) Indonesia, 1999.
4. Data Internet:
Ikhwan Abidin Basri, Kepemilikan dalam Islam, yang diakses pada 20 Oktober 2010di http://elwardi.com/2010/03/kepemilikan-dalam-islam/