konsep kekuasaan - i-lib.ugm.ac.id

10
Menelusuri Perdebatan Mengenai Konsep Kekuasaan Dafri Agussalim ") PENDAHULUAN Apakah yang dimaksud dengan kekuasaan atau power! Siapa saja yang memilikinya?Bagaimanamerekamenjalankankekuasaanyangmerekamiliki tersebut? Tidakmudahmenjawabpertanyaan-pertanyaandi atas. Upayauntuk mencari penjelasan teoritik dan empirik terhadap pertanyaan tersebut, walaupunsudah berlangsungsejak lama, belumjuga mencapaihasil yang memuaskansemuapihak.Sampaisekarang,khususnyadi kalanganparaahli ilmu politik Amerika,perdebatanmengenaikonsepkekuas.aanbelum juga berhenti, dan bahkan cenderungmenunjukkangejala yang semakin intens dan meluas. Sayangnya,tidak banyak di antara kita yang tertarik untuk "J Stafpengajar pada Jurosan IImu Hubullgan Intemasional, Fakultas Ilmu Sosial dan IImu Politik, Universitas Gadjah Mada. JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998

Upload: others

Post on 01-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Konsep Kekuasaan - i-lib.ugm.ac.id

Menelusuri Perdebatan Mengenai

Konsep Kekuasaan

Dafri Agussalim ")

PENDAHULUAN

Apakah yang dimaksud dengan kekuasaanatau power! Siapa saja yangmemilikinya?Bagaimanamerekamenjalankankekuasaanyangmerekamilikitersebut?

Tidak mudahmenjawabpertanyaan-pertanyaandi atas. Upayauntukmencari penjelasan teoritik dan empirik terhadap pertanyaan tersebut,walaupunsudah berlangsungsejak lama, belumjuga mencapaihasil yangmemuaskansemuapihak. Sampaisekarang,khususnyadi kalanganpara ahliilmu politik Amerika,perdebatanmengenaikonsepkekuas.aanbelumjugaberhenti, dan bahkancenderungmenunjukkangejala yang semakin intensdan meluas. Sayangnya,tidak banyak di antara kita yang tertarik untuk

"J Stafpengajar pada Jurosan IImu Hubullgan Intemasional, Fakultas Ilmu Sosial dan IImu Politik,Universitas Gadjah Mada.

JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998

Page 2: Konsep Kekuasaan - i-lib.ugm.ac.id

Menelusuri Perdebatan Mengenai Konsep Kekuasaan Dafri Agussalim

mengikuti perdebatan tersebut. Padahal, mengingat kekuasaan merupakankonsep sentral dalam ilmu politik, pemahaman yang mendalam mengenaikonsep kekuasaan tersebut sangat penting artinya bagi seorang ahli ilmusosial dan politik seperti kita.

Tulisan pendek ini akan mengetengahkanperdebatan para ahli mengenaikekuasaan beserta konsep yang menyertainya. Untuk maksud itu, bagianpertama dari tulisan ini akan dipusatkan pada pemikiran-pemikiran yangdikemukakan oleh empat kubu utama para ahli yang terlibat dalam perdebatantersebut: kubu Pluralis (dikenal dengan One-Dimensional View of Poweratau One Face of Power Approach) yang diwakili oleh karya Robert Dahldan para pengikutnya, kubu pengritik Pluralis (dikenal dengan Two-Dimen-sional View of Power atau Two Faces of Power Approach) yang diwakilioleh karya Peter Bachrach dan Morton Baratz, kubu radikal (dikenal denganThree-Dimensional View of Power atau Three Faces of Power Approach)yang diwakili oleh karya Steven Lukes, dan terakhir kubu Rea1is (dikenaldengan Four-Dimensional View of Power atau Beyond the Three Faces ofPower Approach) yang diwakili oleh karya Ted Benton dan Jefrey Isaac.Diharapkan melalui bagian ini akan diperoleh gambaran yang cukup jelasmengenai konsep-konsep kekuasaan yang menjadi akar perdebatan para ahliilmu sosial dan ilmu politik tersebut.

Setelah membuat peta pemikiran masing-masing kubu tersebut, denganberbagai perbedaan dan persamaan penekanan masing-masing, pada bagianakhir dari tulisan ini akan dicoba mengaitkan relevansi konsep-konsepkekuasaan itu dengan.rea1itaskehidupan sosial politik di Indonesia. Argumenyang ingin disampaikan melalui tulisan ini adalah bahwa keseluruuhan konsepyang telah dikemukakan oleh keempat kubu tersebut, di samping memilikikekuatannya masing-masing, juga masih mempunyai berbagai kelemahan.Bahwa konsep-konsep kekuasaan yang diperdebatkan tersebut tidak selalurelevan dengan rea1itaskehidupan sosial politik di tempat tertentu, khususnyadi Indonesia. Dengan kata lain, diskursus tentang konsep kekuasaan tersebutbelum berakhir dan masih terbuka untuk terus dilanjutkan.

12 JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998

Dafri Agussalim Menelusuri Perdebatan Mengenai Konsep Kekuasaan

DAHL DAN KONSEP ONE-DIMENSIONAL VIEW OF POWER

Adalah Robert Dahl, ilmuwan politik terkemuka Amerika Serikat,

yang menjadi pemicu secara intens perdebatan mengenai konsep kekuasaandi kalangan ahli ilmu politik. Dalam sebuah artikelnya yang berjudul "TheConcept of Power", Dahl memaparkan idenya mengenai kekuasaan (power)seperti berikut ini: "A has power over B to the extent that he can get B to dosomething that B would not otherwise do". Selanjutnya, pada bagian laindalam artikel yang sama, Dahl memberikan penjelasan yang sedikit agakberbeda terhadap ide intuitifnya tersebut mengenai hubungan kekuasaan itu.Ia menulis bahwa "to involve a successful attempt by A to get a to do some-thing he would not otherwise do" (Dahl, 1957: 201-205).

Jika kita amati secara seksama, pernyataan pertama mempunyaiarti yang berbeda dengan dengan pernyataan kedua. Pernyataan pertamamerujuk ke kapasitas yang dimiliki oleh A, sedangkan pernyataan keduamerujuk ke suatu basil dari tindakan A. Dengan kata lain, pernyataan pertamadan kedua menunjukkan adanya perbedaan antara kekuasaan potensial (po-tential power) dan kelcuasaan aktual (actual power), dan antara memilikikekuasaan (possession of power) dan menjalankan/mempraktikkan (exerciseof power). Makna yang terkandungdalam pernyataan kedua inilah - theexerciseofpower -yang menjadi titik sentral dari pandangan Dahl mengenaikekuasaan.

Untuk mempertegas pemikiran tersebut, Dahl, dalam bukunya WhoGovern?, memusatkan perhatian pada setiap keputusan yang diambil, ditentangatau diabaikanoleh seluruhpartisipan. Tindakanini kemudiandirumuskansecara singkatsebagai "sukses atau kegagalanindividu". Setiappartisipanyangusulannyapalingbanyakdiadopsimenjadikeputusanmelebihipartisipanlainnya, maka ia dapat dikatakansebagaiorang yang paling berpengaruhatau paling berkuasa (1961: 336). Ringkasnya,sebagaimanaditulis olehseorangpendukungDahl, NelsonPolsby, "In the pluralist approach ... anattemptis madeto studyspecificoutcomesin order to determinewhoactu-ally prevails in communitydecision-making"(polsby 1963: 113). DalamhaIinipenekanandiberikanpadastuditingkahlaku(behaviour)yangkongkretdan dapat diamati (observable).Para peneliti, demikian menurut Polsby,"should study actualbehavior,either at first hand or by reconstructingbe-havior from documents,information's, newspapers,and other appropriate

JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998 13

Page 3: Konsep Kekuasaan - i-lib.ugm.ac.id

Menelusur; Perdebatan Mengenai Konsep KekuasaanDafri AgUSSaljiJafri Agussalim

Menelusuri Perdebatan Mengenai Konsep Kekuasaan

sources" (121). Dengan demikian menjadi jelas bahwa kobu pluraIismenerapkanmetodelogi,dalambahasaMerelman,"studiedactualbehavior,stressedoperationaldefinitions,and turnedup evidence"(Merelman,1968:451).

Tugasutamapara penelitipluralisdalammengidentifikasikekuasaanadalah mempelajaridedsion-making (pembuatankeputusan). Bagi Dahl,kekoasaan(power)hanyadapatdianalisismelaluisuatu "a carefulexamina-tion of a series of concrete decisions" (1958: 466). Polsby memperkuatargumenDahl tersebutdenganmengatakanbahwa,

"who prevail in decision-making seems the best way to determinewhich individuals and group have 'more' power in social life, be-cause direct conflict between actors presents a situation most closelyapproximating an experimental test of their capacities to affect out-comes" (Polsby, 1963: 4).

Dari kutipan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa "dedsion"

(keputusan), dalam pandangan kaum pluralis, mengandungpengertian sebagaikonfliklangsung,aktuaIdan dapatdiamati.Dahl, lebihlanjut, berargumenbahwa,

"one can only strictly test the hypothesisof a ruling class if thereare ...cases involvingkey political decisionsin whichthe prefer-ences of the hypotheticalruling elite run counter to those of anyother likely group that might be suggested. ... in such cases, thepreferencesof the elite regularlyprevail" (Dahl, 1958:466).

Ketikakaum pluralis berbicaramengenaidedsion (keputusan)makayang dimaksudadalah keputusanyang menyangkutisyu kunci (key issue),yaituisyuyangbukansajapentingtetapijugakontroversialdanmengandungkonflikaktual. SebagaimanadituIisoleh Dahl,

"it is necessary though possibly not a sufficient condition that thekey issue should involve actual disagreement in preferences amongtwo or more groups" (Dahl, 1958: 467).

14JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998

Dengan demikianmenjadijelas bahwakaum pluralis memfokuskanperhatiannyapada tingkah lako (behavior)para aktor dalam pembuatankeputusan-keputusanatasisyu-isyukunciataupentingyangmelibatkankonflikaktualdan dapat diamati. Konflik, menurutpandangankaum pluralis ini,sangatpentingartinyadalamupayamelakukantes eksprimentalatas hal-halyang berhubungandengan kekoasaan.Tanpa konflik, demikiandikatakanolehDahl, "the exerciseof power will, it seemsto be though, fail to showup" (Dahl, 1958:468). Konflikyang dimaksudoleh Dahl dan pengikutnyaitu adalah konflik antar preferensi, yang diasumsikandibuat secara sadarolehpara aktor yang terlibat, tampakdalamtindakan, dan oleh karenanyadapatdiketahuidengancara mengarnatitingkahlakupara aktor tersebut.

LebihIanjut, kaumpluralisberanggapanbahwakepentingan(interest)harnsdipahamisebagaipr.eferensikebijaksanaan(policypreferences),sehinggasoatukonflikkepentingandianggapsarnadengankonflikpreferensi.merekamenolak pandangan bahwa kepentingan ada kemungkinan tidakterartikulasikan atau tidak dapat diamati (unobservable). Lebih dari itu merekajuga menolak ide bahwa orang bisa saja mengalami kesalahan atauketidaksadaranakan kepentinganmerekasendiri. Sebagaimanaditulis olehPolsby:

rejecting this presumption of "objecti'vity of interest" , we may viewinstances of intraclass disagreement as intraclass conflict of inter-ests, and interclass agreement as interclass harmony of interests.To maintain the opposite seems perverse. If information about theactual behavior of groups in the community is not considered rel-evant when it is different from the researcher's expectations, thenit is impossible ever to disprove the empirical propositions of thestratificationtheory(whichpostulateclass interests),and rneywillthen have to be regarded as metaphysical rather than empirical state-ments. The presumption that the "real" interests ofa class can beassigned to them by an analyst allows the analyst to charge "falseclass consciousness" when the class in question disagrees with theanalyst (polsby, 1963: 22-3).

Akhirnya dapat disimpulkanbahwa pandangankaum pluralis (one-dimensionalview ofpower atau oneface ofpower) terhadapkekuasaaniniterfokuspada tingkah-laku.aktorpolitikdalamprosespembuatankeputusanatas isyu-isyuyangpentingyangmelibatkanmunculnyakonflikyang aktual

JSP. Vol.I, No.3 - Maret 1998 15

Page 4: Konsep Kekuasaan - i-lib.ugm.ac.id

Menelusuri Perdebatan Mengenai Konsep KekuasaanDafriAgussaIi. . AgussalimDafri

Menelusuri Perdebatan Mengenai Konsep Kekuasaan

(dapat diamati) atas kepentingan subjektif(subjective interests). Perlu dicatatbahwa di antara kaum pluralis, power (kekuasaan), influence (pengaruh) danlain-Iainnya, cenderung digunakan secara berganti-ganti.

BACHRACH & BARATZ DAN TWO FACES OF POWER

Konsepsi Dahl dan para pengikutnya mengenai kekuasaan tersebutmerupakan tonggak awal dimulainya perdebatan mengenai kekuasaan secaralebih intens. Karya Dahl dan pengikutnya tersebut di samping mendapatkanpujian, juga mendapat banyak kritikan. Dua di antara para pengeritik Dahlyang paling terkenal dan dianggap telah memberikan sumbangan yang sangatbesar bagi berkembangnya perdebatan mengenai kekuasaan tersebut adalahPeter Bachrach dan Morton Baratz. Dalam bukunya yang berjudul, Powerand Poverty: Theory and Practice, Bachrachdan Baratz mengkritik pandanganpertama (Dahl) mengenai kekuasaan dengan mengatakan bahwa konsep yangtelah dikemukakan oleh Dahl tersebut bersifat restriktif dan telah memberikan

gambaran yang keliru dan berlebihan mengenai sistem politik Amerika.Menurut mereka, kekuasaan (power) tidak hanya memiliki satu "wajah"seperti tercermin dalam "concrete dedsion" sebagaimana telah diulas olehDahl dan Polsby, melainkan memiliki dua "wajah, yaitu meliputi juga yangbersifat "non-decision" (Bachrach and Baratz, 1970: 7).

Of course power is exercised when A participates in the making ofdecisions that affect B. Power is also exercised when A devotes hisenergies to creating or reinforcing social and political values andinstitutional practices that limit the scope of the political process topublic consideration of only those issues which are comparativelyinnocuous to A. To the extent that A succeeds in doing this, B isprevented, for all practical purposes, from bringing to the fore anyissues that might in their resolution be seriously detrimental to A'sset of preferences (Bachrach and Baratz, 1970: 7).

Poin sentral yang dikemukakan oleh Bachrach dan Baratz adalah bahwapada tingkat di mana seseorang atau kelompok - secara sadar atau tidak -menciptakan atau memperkokohhambatan-hambatanmunculnyakonflikkebijaksanaanke permukaan, makadapat dikatakanbahwa seseorangatau

16 JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998

kelompok tersebut mempunyai kekuasaan (Bachrach and Baratz, 1970: 8).Untuk mempertegas pandangan tersebut, mereka mengutif pendapatSchaattSchneider yang sangat terkenal dan paling sering dikutip:

All forms of political organization have a bias in favor of the exploi-tation of some kinds of conflicts and the suppression of others, be-cause organization is the mobilization o/bias. Some issues are orga-nized into politics while others are organized out (Schaattschneider,1960:71).

Sehubungan dengan "mobilisation of bias" ini selanjutnya Bachrachdan Baratz mengatakan:

a set of predominant values, beliefs, rituals, and institutional pro-cedures (rule of game) that operate systematically and consistentlyto the benefit of certain persons and groups at the expense of oth-ers. Those who benefit are placed in a preferred position to defendand promote their vested interests (Bachrachand Baratz, 1970:43-4).

Dimasukkannya ide mengenai "mobilisation of bias" ini merupakanaspek yang sangat penting dari karya Bachrach dan Baratz dalamperdebatanmengenai kekuasaan. Hal ini memberikan nuansa lain yang tidak atau belumdibahas oleh kaum pluralis. Dengan demikian poin sentral dari kritik yangdilontarkan oleh Bachrach dan Baratz terhadap pandangan pluralis mengenaikekuasaan terlihat pada sikap anti-behavioural mereka. Mereka menganggapbahwa kaum pluralis telah memberikan penekanan yang berlebihan terhadaparti penting dad prakarsa, memutuskan dan penentangan, sehinggamengabaikan fakta bahwa ada kemungkinan, bahkan sering sekali, kekuasaandigunakanatau dipraktekkan dengan membatasi ruang lingkup dari pembuatankeputusan pada isyu-isyu yang relatif "aman" (Bachrachand Baratz, 1970: 6).

Dengan demikian, arti terpenting dari karya Bachrach dan Baratz dalamperdebatan mengenai kekuasan ini adalah dikemukakannya alternatif laindalam memahami kekuasaan selain sebagaimana yang terlihat dalam prosespembuatan keputusan (dedsion-making), yaitu melalui pengamatan pada yangbersifat non decision-making. Bachrach dan Baratz mendetinisikan decision

17JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998

Page 5: Konsep Kekuasaan - i-lib.ugm.ac.id

Menelusuri Perdebatan Mengenai Konsep Kekuasaan DafriA

sebagai"suatupilihandiantaraberbagaialternatiftindakkan"(BachrachandBaratz, 1970:39). Sedangkannondedsion merekadefmisikansebagai"suatukeputusanyangmenyebabkantertekannyaatauterhalangnyasuatukeberatanatau penolakanlaten atau manifesterhadapnilai-nilaiatau kepentingandarisi pembuat keputusan" (Bachrachand Baratz, 1970: 44). Ini artinya nondecisionadalahsuatualat dimanakeinginanuntukperubahandalamalokasiprivileges dan keuntunganyang ada dalammasyarakatditekansebehimiadisuarakan, atau diupayakantetap tertutup, atau dilenyapkansama-sekalisebelumia mencapaiarenapembuatankeputusanyang relevan.

Dengan dikemukakannnyaaspek non decision dalam pemahamanmengenaikekuasaan tersebut, Bachrachdan Baratz secara tidak langsungtelah mendefinisikankembalibatasan-batasanatasapa yang dapatdianggapsebagai isyu politik. Bagipluralis, batasan-batasanterseb.utterbentukolehsistem politik yang diamati atau oleh elite di dalamnya(Dahl, 1961: 12).SedangkanbagiBachrachdanBaratz,yangterpentingadalahmengidentifikasiisyu potensial yang tidak mampu atau terhambatuntuk diaktualkan.Bagimereka, oleh karenaitu, isyu pentingatau isyu kuncimungkinsajabersifataktual,ataumungkinpula,bersifatpote~ia1(BachrachandBaratz,1970:47-8).

Walaupunterdapat perbedaanyang cukup krusial antara pandangankaum pluralis dan Bacrachdan Baratz, namun kedua kubu tersebut jugamempunyaikesarnaanpandanganyangcukupsignifikan.Kesarnaantersebutterutamaterletakpada penekananmerekapada adanyakonflikyang aktualdan dapatdiamati,baikyangbersifatterbukamaupunyangbersifattertutup.Sebagaimanakaumpluralis beranggapanbahwakekuasaandalamdecision-makinghanyaterlihatdimanaadakonflik,BachrachdanBaratzberanggapanbahwahal yang samajuga terjadipadakasusnon-kontlikterbuka(nonded-sion).

Dibandingkandengankaum pluralis, konsep kepentingan(interests)yang dikembangkanoleh Bachrachdan Baratzjauh lebih luas. Walaupundemikian, konsep interests yang dikembangkaQoleh Bachrachdan Baratztetap belum beranjak dari konsep subjective interests. Kaum pluralismemandanginterestssebagaipreferensikebijaksanaan(policypreferences)yangterlihatdari tingkah-Iakusemuawarganegarayangberadadalamsistempolitik. SedangkanBachrachdan Baratz melihatpreferensikebijaksanaanyangtampakdari tingkah-Iakumerekayangberadadi dalamdanjuga di luar

18JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998

Dafri AgussalimMenelusuri Perdebatan Mengenai Konsep Kekuasaan

dari sistem politik yang ada, dalam bentuk keluhan tertutup maupun terbuka.Dalam kedua kasus tersebut asumsinya tetap sarna yaitu bahwa interestsdiartikulasikan secara sadar dan dapat diamati.

Ringkasnya, pandangan kaum two faces of power merupakan,meminjam istilah Steven Lukes, "a qualified critique of the behavioral focusof the first view" (Lukes, 1976: 20). Dikatakan qualified karena two-dimentional view of power masih beranggapan bahwa non dedsion-making

juga merupakan bentuk dari dedsion-making. Pandangan in~juga mengakuikemungkinan decisions dihambat atau dihalangi untuk diambil dari isyu-isyupotensialyang mengandungkontlik kepentingan(subjektif)aktual sebagaimanatampakpadapreferensikebijaksanaanatau keluhanpolitik lainnya.

STEVEN LUKES DAN PANDANGAN RADIKALNY A

Tidak dapat disang1ci11bahwa pemikiran Bachrach dan Baratz tersebutmerupakan kemajuan yang besar di banding konsepsi one-dimensional viewof power yang dikembangkan Dahl dan pengikutnya, dan dengan demikiantelah memberikan sumbangan yang besar bagi perdebatan mengenaikekuasaan. Walaupun demikian, itu bukan berarti kemudian mereka berduatelah terbebas dari kritik. Salah seorang pengkritik yang paling terkemukaterhadap pemikiran Bachrach dan Baratz (dan juga Dahl) tersebut adalahSteven Lukes. Melalui bukunya, Power: A Radical View, Lukes melontarkananalisis kritis terhaaap teori kekuasaan yang dilontarkan oleh kubu pluralis(Dahl dan pengikutnya) dan non decisio!,-making oleh Bachrach dan Baratz.Pandangan Lukes terhadap konsep kekuasaan tersebut selanjutnya .disebutnyasebagai Three-dimensional View of Power.

Sebagaimana halnya dengan Dahl, Lukes juga memformulasikankekuasaan sebagai konsep sederhana yang merujuk ke tingkah-laku yangberaturan, dimana iingkh-laku seseorang agen akan menyebabkan tingkah-laku yang lain. Dalam pandangan Lukes, sebagaimana halnya denganpandangan pluralis dan pandangan non decision-making,

"A has power over B if A's behavior causes B to do something thatB would not otherwise do" (Lukes, 1974: 41).

J5P. Vol. I, No.3 - Maret 1998 19

Page 6: Konsep Kekuasaan - i-lib.ugm.ac.id

MenelusuriPerdebatanMengenaiKonsepKekuasaan DamAgUssaJ"

"'}fri Agussalim MenelusuriPerdebatanMengenaiKonsepKekuasaanSetelah mengkritik karya Dahl dan Bachrach dan Baratz yang I. "

dianggapnyaterlaluterfokuspadapendekatantingkah-laku(penekananyang kemudianmelanJu~n. argumennya.denganmengatakanbahwa,. A affec~sberlebihanterhadap arti penting kontlik aktual), Lukes mengklaimbahwa B in a mannerthat hnuts B from.domgwhatB ,:ould do under Ide~lcondl-kekuasaanmungkinsajadigunakandalamsituasikontlikpotensialataulaten, tions, then it can be properly said that A exerciSespower over B (Lukesdimana kontlik laten tersebut mungkintidak akan menjadiaktual (Lukes, 1974:34-35).1974:24). Kontlik laten tergantungpada ide tentang kemungkinanadanya Di samping memasukan konsep real interests dalam perdebatanapa yangdinamakanfalseconscioussnessatauunconsciousinterests.Hal ini engenaikekuasaan,Lukesjuga melakukaninovasi yang lain yang tidakkarena konseptersebut berada dalamketidaksesuaianantara interestsdari :lah pentingnyadalam perdebatanmengenaikekuasaantersebut. Inovasiyang berkuasa dan "real" (objective)interests yang tidak terartikulasikan ang dimaksudadalah pandanganyayang menganggapbahwa kekuasaan,darimerekayangberadadi luar(atautida~dilibatkan)d~lamproses'pern?uata~ ~isampingdigunakanoleh seorang agen secara individual, mungkin sajakeputusan(Lukes, 1974:24-5). Lukes,Juga mengklalmbahwaIdentlfikasl digunakansecara kolektif, misal oleh kelompok atau lembaga-lembaga.terhadapinterestssemacamituterletakpadahipotesisyangdapatdibuktikan Pertimbanganadanyadua bentuk kekuasaantersebut didasarkanpada duasecara empiris. hal. Pertama, karena adanya gejala tindakan kolektif dalam masyarakat,

AkantetapiberbedadenganpandanganDahldanBa~hrachdanBaratz, dimanakebijaksanaanatauorientasidari suatukolektifitas(b~ikitu~elompokLukespercayabahwa"whatB woulddootherwise"tidakdapatdiukursecara sepertisuatukelas, ~e~baga,partai~olitika~~ perusahaanmdu~tn)munculseksamadaripreferensiB, melainkandarikepentingan(interests)B. Dengan kepermukaantetapl tIdakmemperhhatkanCInkeputusanatau tIngkah-lakukata lain, identifikasiterhadap"real" (objective)intereststidakterletakpada individual.A (kekuasaansubjek),tetapipadatindakanB (objek)dalammelakukanpilihan Kedua, adanya gejala sistemik atau efek organisasi, dimana biasdalam kondisi yang otonomi relatif, khususnya dari pengaruh kekuasaan A - mobilisasi moocul ke permukaan dari bentuk organisasi yang ada (Lukes,misalnya melalui partisipasi yang demokratis (Lukes, 1974: 33). Lukes, 1974:22).WalaupunLukes tidak pernah secarategas menggunakanistilaholeh karenanya,mendefinisikanpower sebagai"A exercisespower over B dalambukunya, tapi tampaknyaia sangatconcerndengan sosialisasi:"thewhenAaffectsBcontraryto B's interests"(Lukes,1974:22-25).Menurutnya possibilityof falseor manipulatedconsciousness"(Lukes, 1974:22). Lukeskonsep interests ini merupakanhal yang sangatpentingdalamupayauntuk memahamibagaimana suatu isyu tertentu dapat dihambat atau bahkanmembedakan efek yang signifikan dan non-signifikan dari pelaksanaan dilenyapkansama-sekalidariagenda,yaitumelaluipenerapankekuatansosialkekuasaanoleh A atas B. dan praktek kelembagaanatau melalui keputusanindividu (Lukes, 1974:

Lukes membuatkonsep interests menjadi sentral dalam perdebatan 24). DalamrumusanLukes,olehkarenanya,suatu.kolektivitaspolitik,sepertimengenaikekuasaan ini karena ia menawarkaninterpretasiyang berbeda partaipolitikataupersekutuankomersial,m~~ menggunakan~~ku.a~aanatas apa yang disebut sebagai "interests" dan bagaimana mereka dapat independendaripemimpinnyadanbadansepertIltudianggapsebagal~dlVldu.dipengaruhi.BerbedadenganDahldanBachrachdanBaratz,dalampengertian Akantetapi kekuasaanjug~ mungkindi~na~. ole~kekuatansoslalyang,Lukes, interestsyang dimaksudbukanlahsubjectiveinterests(kepentingan secaraimplisit, tidak terkalt denganpraktlk mstltuslonal.subjektit), melainkanobjective interests (kepentinganobjektit), atau yang Walaupundemikian,Lukesjugamengakuibahwawalaupookolektifitasdiistilahkannyadenganreal interests(kepentinganriil). Objectiveinterests danorganisasiterdiridari individu-individu,namookekuasaanyangmerekamerujuk kepadaapa yang akan (seharusnya)dilakukanoleh seorang aktor gunakantidakdapatbegitusajadikonsepsikansebagaikeputusanatautingkah-atauagendalamkondisiatausituasiyangdemokratisideal(idealdemocratic laku individu.Kekuasaankolektifsemacamitu digunakanoleh berbagaicircumstance) atausebagaisuatukeingina!1danpreferensiyangpalingutama komponenindividuyangadatersebut,baikmelaluisuatutindakanatautidakdari seorang aktor atau agen dalam kondisi yang relatif otonomi. Lukes bertindak sama-sekali, walaupun ia tidak dapat begitu saja diidentifikasikan

20 J5P ·Vol. I, No.3 - Maret 1998JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998

21

Page 7: Konsep Kekuasaan - i-lib.ugm.ac.id

Menelusuri Perdebatan Mengenai Konsep Kekuasaan Dafri A

sebagai keputusan atau tingkah-Iaku mereka. Misalnya, mungkin merekatetap berada dalam pengaruh bias mobilisasi melalui tindakkan rutin mereka.Hal ini berani, aksi dan tidak beraksi individu tidak dapat diidentifikasi,atau dijelaskan, tanpa merujuk ke seluruh faktor jaringan kultural, sosial daninstitusional (Lukes, 1974: 28).

Ringkasnya, melalui karyanya yang betjudul Power: A Radical View,Steven Lukes telah melontarkan analisis kritis terhadap teori kekuasaan darikubu pluralis and kubu non-decision. Pandangan Lukes pada dasarnyamenekankan bahwa untuk mengetahui penggunaan kekuasaan oleh seseorangatau sekelompok aktor politik tidak selalu harus melalui kontlik yang aktualdan dapat diamati, tetapi juga dapat dilakukan melalui kontlik yang bersifatlaten. Bahwa penggunaan kekuasaanadalah suatu fungsi dari kekuatan kolektifdan social arrangements, dan penggunaan kekuasan semacam'itu mungkindapat berbentuk suatu aksi maupun bukan.

KRITIK KUBU REALIS TERHADAP LUKES

Konsepsi Steven Lukes mengenai kekuasaan bukan saja dipandangradikal oleh banyak ahli Hmu politik, akan tetapi dianggap kontroversial.Oleh sebab itu tidak mengherankanjika karya Lukes tersebut menjadi sumberperdebatan dan kritikan. Jefrey Isaac dan Ted Benton adalah dua diantaramereka yang mengkritik Lukes secara tajam. Isaac, penama-tama, menolakcara pandang Lukes yang menganggappower sebagai tingkah-Iaku seseorangaktor yang menyebabkan tingkah-Iaku orang lain sebagaimana dikonsepsikanoleh Lukes. Bagi Isaac, berbicara mengenai power sebagai konsep yangmerujuk ke hubungan causal tingkah-lakudari dua pihak semacamitu dianggapsangat tidak memadai. Konsep semacam itu, menurutnya, terbatas hanyapada pemaharnan terhadap situasi "power over" dan gagal untuk melihat danmemahami bahwa "power over" (dominasi)sebenarnyabersifatparasit terhadap"power to". Konsepseperti itujuga dianggaptidak mampu membedakanantaramemiliki dan menggunakan power atau kekuasaan (Isaac, 1992: 32).

Isaac, oleh karena itu, mengusulkan agar objek utama dari analisisteoritik terhadap kekuasaan sebaiknya bukan tingkah-Iaku yang teratur, tetapihubungan sosial yang membentukmereka (Issac, 1992:44). Kekuasaansosial,demikian menurut Isaac, harus dipahami dalam kerangka hubungan sosial

22JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998

afri Agussalim Menelusuri Perdebatan Mengenai Konsep Kekuasaan

yang membentuk tingkah-Iaku interaksi, dan bukan dalam kerangka tingkah-laku yang berulang dari para agen atau aktor politiknya yang belum tenturnempunyai hubungan satu sarna lainnya (Isaac, 1992: 46).

Isaac percaya bahwa hubungan kekuasaan dalam masyarakat secaratipikal akan selalu melibatkan agen dan apa yang biasa mereka lakukal) dalamkondisi tertentu. Hubungan sosial akan mendistribusikan kekuasaan untukbertindak dengancara tenentu kepada mereka yang berpartisipasi di dalamnya.Hubungan seperti inilah dan bukannya tingkah-laku, menurut Isaac, yangrnenjadi sumber utama tingkah-Iaku dan interaksi. "Power relations" dalampandangan Isaac,

"approximateless a model of stimulusand response, and more amodelof endemicreciprocity~ negotiationand struggle, with bothdominantand subordinategroupsmobilizingtheir specificpowersand resources"(Isaac, 1992:49).

Lebih jauh Isaac berpendapat bahwa setiap teori mengenai kekuasaanhams menganalisis hubungan struktural and bagaimana mereka disusun secarakongkret oleh lingkungan sosialnya.

Berbeda denganLukes, Isaac, sebagaimanajuga Benton, mendefinisikankekuasaan dalam artian capacity (kapasitas). Sebagaimana ditulisnya: "so-cial power is the capacity to act possessed by social agents in virtue of theenduring relations in which they participate" (Isaac, 1992:47). Yang dimaksuddengan kekuasaan sosial (social power) di sini merujuk kepada kapabilitasuntuk mencapai hasil yang diharapkan , di mana realisasi dari pencapaianbasilyang diharapkantersebut tergantungpada agenyang lain. Jadi, kekuasaansosial secara implisit mengandung pengertian adanya situasi salingketergantungan (interdependence). Cara memahami kekuasaan yang bersifatrelasional sepeni ini, menurut Isaac, memperjelas perbedaa~ antara "powerover" dan "power to" atau antara apa yang disebutnya dengan hubungandominasi dan subordinasi (Isaac, 1992: 47).

Bagi Isaac, sepeni halnya kekuasaan (power) ditentukan oleh struktursosial, demikian juga dengan interests (kepentingan). Akan tetapi berbedadengan Lukes yang mendefinisikankepentingan(real interests)sebagai sesuatuyang benar-benar ada dalam kepentingan si agen, baik disadarinya atau tidak,

JSP. Vol.I, No.3 - Maret 199823

Page 8: Konsep Kekuasaan - i-lib.ugm.ac.id

Menelusuri PerdebaJan Mengenoi Konsep Kekuasaan DafriA

Isaac mendefinisikan real interests sebagai norma, nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang ada dalam praktek kehidupan sosial masyarakat, dan berkaitandengan peranan sosial sebagai prinsip dari setiap tindakan (Isaac, 1992: 50).Dengan demikian, dalam terminologi Isaac, interests adalahriil karena merekaefektif ada dalam praktek sosial, sedangkan kepentingan objektif (objectiveinterests) seperti yang dirumuskan oleh Lukes tidak. Real interests semacamini memainkan peranan sentral dalampengaturan kekuasaandalam masyarakat.Mereka itu adalah norma-norma praktis yang sah dan hubungan kekuasaanyang legitimate lainnya. Oleh karena itu, analisis terhadap power (kekuasaan)menuntut suatu analisis terhadap real interests dan ideologi-ideologi yangmembentuknya.

Apa yang dipikirkan oleh Isaac tersebut tampaknya disetujui oleh TedBenton. Akan tetapi Benton tampaknya bergerak lebih jauh dibanding Isaacdengan menawarkan suatu konsep interests yang berhubUngande~an fonnasidan reformasi dari identitas sosial dan personal dari para aktor atau agen(Benton, 1993: 181). Menurut Benton, ada hubungan konseptual yang eratantara interests dan identitas sosial dan personal. Sifat counter/actual yangterdapat dalam atribut interests dimanapola-pola keinginan, preferensi, pilihandari seorang agen adalah merupakan basil dari produksi sosialyang melibatkanhubungan kekuasaan (Benton, 1993: 168). Dengan kata lain, interests adalahproduk dari atau dipengaruhi oleh produksi dan reproduksi sosial. Prosessosial semacam itu merupakan mekanisme dimana manusia dibentuk sebagaipartisipan yang sadar dalam kehidupan sosialnya. Interests, dalam pengertiandemikian, akan objektif karena mereka berasal dari prinsip-prinsip dasardan stadar yang berlaku umum.

Lebih lanjut, Benton setuju bahwa interests memainkan multi peranandalam berbagai diskursus dan praktek sosial. Interests. Misalnya, dapatmemainkan peran sentral dalammembentuk dan mentransformasikanidentitas,dalam memecahkan persoalan konflik kesetiaan, dalam memperjuangkan ataumenolak tindakan'tertentu dan dalam melegitimasi penggunaan kekuasaan(Benton 1993: 170).

Walaupun demikian, tidak seperti Lukes yang bersitegang bahwa adahubungan defmisional antara interests danpreferences actor, dalam pandanganBenton, interests berbeda dari keinginan, preferensi dan lain-lain sejenisnya.Menurutnya, konsep-konsep tersebut tidak bisa diasimilasikan satu dengan

24 J5P. Vol.I, No.3 - Maret 1998

DaW AgussalimMenelusuri PerdebaJan Mengenai Konsep Kekuasaan

lainnya. Dalam banyak kasus, keinginan, preferensi, dan pilihan seorangaktor tidak selalu dapat dipandang sebagai identik dengan kepentingan atauinterestsmereka. Keinginan, preferensi, kepercayaandan aspirasi dari seorangaktor, menurut Benton, dapat saja justru bertentangan dengan real interestsmereka sendiri. Sebagaimana dikatakannya: "It is not self contradictory toassert one's interests in performing "a", but preference for "not a" (Benton,1993: 166-9).

Lebih lanjut, Bentonmengkritiknilai politik Lukes yang egalitariansecararadikaldandemokratisserta valuedependent.Dia menolakkonsepsiLukesbahwa "identificationof B's real interest is not up to A, but to B,exercisingchoiceunderconditionof relativeautonomyand, in particularly,independentlyof A's power, e.g. throughdemocraticparticipation".Hal inikarena, dalam kenyataannya,situasi antara A dan B tidak pernah bersifatotonomdi pihakB, danolehkarenanyapartisipasiyangadajuga tidakbersifatdemokratis.Sekali kekuasaandigunakandalam membentukkeinginandanpreferensi,menurutnya,makasudahpasti keinginandanpreferensitersebutbukannyamilik seorangagenyang otonom.

Untukmenghindarivaluedependencedarikekuasaan,Bentonmenolakdefinisi kekuasaan dalam artian interests, dan memisahkan hubungandefinisionalantara kekuasandan intereststersebut. Bentonpercaya bahwakonsepintereststidakhams adahubungandengankonsepkekuasaan.DalambahasaIsaac,suatuhubungankekuasaandapatadatidakhanyadalamkeadaantidak adanya konflik empiris terhadap preferensi sebagaimanadipercayaiLukes, tetapi juga dapat ada tanpa adanyaobjectiveinterests. Oleh karenaitu, Bentonmengabaikanreferensi terhadapB's interest,dan menggantinyadengan referensi terhadap B's objectives. Bagi Benton, ada perbedaankonseptualantara B sebagai objek kekuasaandan subordinasi B sebagaitujuannya.Dengankatalain, "powerto" tidakselaluharusmelibatkan"powerover". Hal itu hanyaterjadi jika, hasil yang diperoleholeh A tidak sesuaidenganhasilyangdiperolehdariB. Jika tujuanA tidakbertentangandenganhasilyangdicapaiolehsetiaptujuanaktualataupotensialB, makakekuasaanA untuk mencapaitujuannyatidak digunakanatas B. SebagaimanaIsaac,dan juga Benton, tulis "A has powerto achieveA's objectivemeansA hascapabilitiesandresourcessuchthat if A utilizestheseabilitiesand resourcesA will achieve A's objective" (Isaac, 1992: 174). Definisi ini jugamengklarifikasiperbedaanantaramemilikidan menggunakankekuasaan.

25J5P. Vol. I, No.3 - Maret 1998

Page 9: Konsep Kekuasaan - i-lib.ugm.ac.id

Menelusuri Perdebatan Mengenai Konsep Kekuasaon Dam Agussa]il Dam Agussalim Menelusuri Perdebatan Mengenai Konsep Kekuasaon

Pendeknya,Isaac dan BentonmenolakpemahamanLuk.esmengenaikekuasaandengancaramernbongkarfondasiempirisnya,danmerevisikonseptersebutdenganmenggunakansudutpandangfIIsafatilmurealis (realistphi-losophyof science).Jika Lukesmemahamikekuasaanberdasarkanontologidan metodologiindividualisme(ontologicaland methodologicalindividual-ism), Isaacdan Bentonmendasarkanpendekatananalisiskekuasaannyapadaontologi dan metodologi relasionalisme(ontologicaldan methodologicalrelationalism).Fokus per~tian merekabuJcanpada individuyang terpisahdari lingkungannya,akantetapipada individualsebagaibagiandari produkdari lingkungansosialnya. Bagi Isaac dan Benton,analisis kekuasaandanintereststidak dapat dipisahkandari analisisterhadapstruktur sosialdalammana aktor-aktortersebut terlibatatau berpartisipasi.Merekayakin bahwamanusiamempunyaikekuasaandalamduniasosial. Kekuasaandimilikidandigunakanbukan oleh masing-masingorang sebagai individu, tetapi olehorangdalamkapasitasnyasebagaiseseorangyangmemilikiposisidanperanantertentudalammasyarakatnya.

CAT AT AN AKHIR

Dariuraiandi atasdapatkitaketahuiapayangmenjadiakarperdebatanpara ahli mengenaikonsepkek11asaan.Kitajuga dapatmengetahuiberbagaipersamaan dan perbedaan serta kekuatan dan kelemahanmasing-masingargumen yang dikemukakan.Salah satu hal yang dapat kita catat adalah,bahwa di balik berbagaiperbedaanyang ada, pada dasamya, kita melihatadabenangmerahyangmenghubungkanberbagaimacampandangantersebut.Bahkan dapat dikatakanbahwa sebenarnyaantara satu pandangandenganpandanganyang lain terUhatkecenderungansaling melengkapisatu sarnalainnya.

Walaupun demikian, menurut hemat saya, diskursus mengenaikekuasaantersebutbelumlahselesai.Dengankatalain, masihbanyakaspekyang dapat dipertanyakandan didiskusikandari konsep-konsepyang telahdisampaikanoleh keempatkubuyangberlainantersebutdi atas. Ada kesankuatbahwaberbagaipandanganmengenaikonsepkekuasaantersebutdi atas,misalnya, sangat bersifat Barat Sentris (western centric), atau tepatnyaAmerikaSentris.Berbagaiargumendan teori kekuasaanyangdikemukakan

26JSP' Vol. I, No.3 - Maret 1998

oleh berbagai ahli tersebut dibangun atas dasar pengalaman emperismasyarakatindustrimodemBarat, khususnyamasyarakatAmerikaSerikat.Sebagaiman3diketahui,teorikekuasaanyangdikemukakanolehkubupluralisyangmenjadiakarperdebatantersebut,misalnya,didasarkanataspenelitianemperisDahldibeberapakotaindustridiAmerikaSerikat.Tidakadasatupundari para ahli tersebut yang mencobamencaridata tambahandengan caramelakukanriset pembandingdi masyarakattradisionalnegara-negaraduniaketiga. Ini artinyasampelyangdiambilolehpara ahli politikdi atas kurangproporsional.Konsep-konsepyangdiajukancenderungmelupakankenyataanempirikyangberlangsungdi dalammasyarakattradisionaldi negara-negaradunia ketiga seperti Indonesia, di mana masyarakatnyamayoritas masihmengalamiketerbelakangandan kebodohan.Sehinggavaliditaskesimpulanyangdiambiljugadapatdipertanyakan,khususnyajika teoritersebutdikaitkandengandata emperikdi negara-negaradunia ketiga.

Denganmelihatke bagianterakhirdari tulisandi atas (konsepsirealisdari Isaac dan Benton), misalnya, kita dapat mengajukanpaling tidak duapertanyaanpenting.Pertama, apakahyangdimaksudoleh Bentondan Isaacdenganstruktur sosialyangdapatmendistribusikankekuasaandalamsetiapaksi dari partisipan?Apakahstruktur sosialyang dimaksud.tersebutadalahstruktur formalatau struktur non-formal,atau keduanya?DalamtulisannyaIsaac memang memberikancontoh suatu struktur formal, yaitu strukturpendidikan - hubungan antara guru dan muridnya. Sebagaimana ia tulis,"the structure of education-not teachers, causes studentsto act like stu-dents,just it causeSteachersto act teachers" (Isaac, 1992:67). Akantetapibagaimanadengan seorang agen atau aktor yang bergerak atau berpindahdari struktur satu ke struktur lainnya tetapi, dalam kenyataannya,masihmemilikipower(kekuasaan)atasbawahannyaterdahulu,walaupunmungkindalam bentuk yang terbatas? Misalnya, seorang pensiunanjenderal ataumenteri,karenakharismanyaatauhal-hallainya,iamungkintetapmempunyaikekuasaanatas bawahannyaterdahulu walaupunkini ia sudah tidak lagimendudukiposisi tersebut. Selanjutnya,bagaimanapula denganpemimpininformal yang dalam banyak kasus, memainkan peranan sentral dalamkehidupansosial walaupunia tidakpernahmendudukiposisi formal dalamstruktur sosialdan politikyang ada.

JSP' Vol. I, No.3 - Maret 1998 27

Page 10: Konsep Kekuasaan - i-lib.ugm.ac.id

Menelusuri Perdebatan Mengenai Konsep Kekuasaan Dafri AgussaIillllfrio Agussalimva Menelusuri Perdebatan Mengenai Konsep Kekuasaan

Kedua, argumen Benton bahwa proses sosial adalah merupakanmekanismedimanamanusiasecaraindividudibentuksebagaipartisipanyangself-consciousdalam kehidupansosial perlu dipertanyakankebenarannya.Ada banyakkasus, dalamkenyataannya,dimanaorangberpartisipasidalamkehidupansosial bukankarena kesadarannyasendiri, tetapi karena merekaterpaksa atau "dipaksa" oleh situasi dan ~ondisiuntuk berbuat demikian.Bahkan sering juga mereka juga bertindak bukan atas kesadaranmerekasendiri tetapi atas kesadaranyang terbentuk oleh lingkungansosial ataustruktur sosial dimana mereka berada. Seorangcleaningserver di sebuahbank,misalnya,barangkaliakanmemilihmenjadidirekturjika iabisamemilihataumemilikipilihan.Akantetapidalamkenyataannyaiatidakdapatmenjadidirektur karena ia dipaksaatau terpaksauntuk tidakadapilihanlain kecualimenjadicleaner tersebut.

Ringkasnya,adaperbedaanyangsangatsignifikanantarasikap,tingkahlaku dancaraberpikir (termasuktingkatkesadaran)masyarakatnegaramaju(bacaBarat yang menjadiobjek penelitian)dengansikap, tingkah laku dancara berpikir dari masyarakatnegara-negaraberkembangyang umumnyamasih bersifat tradisional. Hal ini terjadikarena adanyaperbedaantingkatkebodohandan keterbelakanganatau juga karena tingkat represi kultural,struktural , politik dan sosial, ekonomi masyarakat negara maju danmasyarakatnegara berkembang.Sayangsekali Isaac dan Bentondan jugapenulis lainnya hampir tidak mnyentuhhal ini sama sekali. Padahalkasussemacamini mudahditemukandi banyaknegara-negaraberkembangsepertiIndonesia.

28 JSP ·Vol. I, No.3 - Maret 1998

Referensi .

Arendt, Hannah, On Violent, London, Allen Lane, The Penguin Press, 1970

Bachrach, P and Baratz, M, "The Two Faces of Power" ,American Political S".-ence Review, 56 (1962).

, "Decisions and Nondecisions: An Analytical Framework", AmericanPolitical Science Review, 57 (1963).

,Powerand Poverty: Theory and Practice, NewYork, Oxford UniversityPress, 1970.

Benton, T., "Objective Interest and Sosilogy of Power" ,Sosciology, 15 (1992).

Dahl, R., "The Concept of Power" ,Behavioural Science, 2 (1957).

, "A Critique of the Ruling Elite Model", American Political ScienceReview, 52 1958. .. .

, Who Govern? Democracy and Power in an American City, New Havenand London, Yale University Press, 1961.

Gramsci, A., Selection from the Prison Notebooks ofAntonio Gramsci, (ed andTrans.) Quintin Hoare and Geoffrey Nowell-Smith, London, Lawrence& Wishart, 1971

Isaac, J., "Beyond the Three Faces of Power: A Realist Critique" dalam ThomasWartenberg (ed), Rethingldng Power, Albany, State of New York Press,1992

Lukes, S., Power: A Radical View, London, MacMillan, 1974

Merelmen, Ro, "On the Neo-Elitist Critique of Community Power", AmericanPolitical Science Review, 62 (1968).

Schaattschneider, E., The Semi-Sovereign People: A Realist's View of Democracyin America, New York, Holt, Rinehart & Winston, 1960

29JSP ·Vol. I, No.3 - Maret 1998