konsep dasar pajak internasional fix

13
KONSEP DASAR PAJAK INTERNASIONAL LATAR BELAKANG Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat ketentuan tentang perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh pemerintah ini utamanya adalah untuk membiayai kegiatan pemerintahan dalam rangka menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, pajak juga berfungsi untuk mengatur perilaku warga Negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Indonesia juga bagian dari dunia internasional yang sudah pasti dalam menjalankan roda pemerintahannya melakukan hubungan internasional. Hubungan internasional dapat berupa kerjasama di bidang keamanan pertahanan, kerjasama di bidang sosial, ekonomi, budaya dan lainnya, namun pembahasan ini terbatas pada kegiatan ekspor maupun impor (Transaksi Perdagangan Internasional) yang terkait dengan pajak internasional. Setiap kerjasama yang dilakukan oleh setiap negara tentunya harus disepakati terlebih dahulu oleh para pihak guna mencapai komitmen bersama yang termuat dalam suatu perjanjian internasional, tidak terkecuali perjanjian dalam bidang perpajakan Transaksi perdagangan antara dua negara atau beberapa negara berpotensi menimbulkan aspek perpajakan, hal ini tentunya harus diatur oleh kedua negara atau dunia internasional secara umum guna meningkatkan perekonomian dan perdagangan negara-negara yang melakukan kerjasama tersebut. Ini menjadi penting agar tidak menghambat aliran dana

Upload: blackguard-wealthy-mw

Post on 03-Jan-2016

59 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Konsep Dasar Pajak Internasional

TRANSCRIPT

Page 1: Konsep Dasar Pajak Internasional Fix

KONSEP DASAR PAJAK INTERNASIONAL

LATAR BELAKANG

Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat ketentuan tentang

perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh pemerintah ini utamanya adalah untuk

membiayai kegiatan pemerintahan dalam rangka menyediakan barang dan jasa publik yang

diperlukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, pajak juga berfungsi untuk

mengatur perilaku warga Negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Indonesia juga bagian dari dunia internasional yang sudah pasti dalam menjalankan roda

pemerintahannya melakukan hubungan internasional. Hubungan internasional dapat berupa

kerjasama di bidang keamanan pertahanan, kerjasama di bidang sosial, ekonomi, budaya dan

lainnya, namun pembahasan ini terbatas pada kegiatan ekspor maupun impor (Transaksi

Perdagangan Internasional) yang terkait dengan pajak internasional.

Setiap kerjasama yang dilakukan oleh setiap negara tentunya harus disepakati terlebih

dahulu oleh para pihak guna mencapai komitmen bersama yang termuat dalam suatu

perjanjian internasional, tidak terkecuali perjanjian dalam bidang perpajakan

Transaksi perdagangan antara dua negara atau beberapa negara berpotensi

menimbulkan aspek perpajakan, hal ini tentunya harus diatur oleh kedua negara atau dunia

internasional secara umum guna meningkatkan perekonomian dan perdagangan negara-

negara yang melakukan kerjasama tersebut. Ini menjadi penting agar tidak menghambat

aliran dana investasi akibat pengenaan pajak yang memberatkan Wajib Pajak yang

bekedudukan di kedua negara yang melakukan transaksi tersebut

Untuk itu perlu adanya kebijakan perpajakan internasional dalam hal mengatur hak

pengenaan pajak yang berlaku disuatu negara, dengan asumsi bahwa disetiap negara dapat

dipastikan sudah mengatur ketentuan pajak dalam wilayah yang menjadi kedaulatannya.

Namun setiap negara tidak bebas mengatur pengenaan pajak terhadap badan atau warga

negara asing, pajak internasional merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana

setiap negara harus tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang dikenal dengan istilah

Konvensi Wina.

Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional

Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai, begitu juga

dengan kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu

memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing negara,

pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan

Page 2: Konsep Dasar Pajak Internasional Fix

investasi tersebut. Salah upaya untuk meminimalkan beban tersebut adalah dengan

melakukan penghindaraan pajak berganda internasional.

Prinsip-prinsip yang harus dipahami dalam pemajakan internasional

Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netraliats yang harus dipenuhi dalam kebijakan

pemajakan internasional:

1. Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita berinvestasi,

beban pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada bedanya bila kita

berinvestasi di dalam atau luar negeri. Maka jangan sampai bila berinvestasi di luar

negeri, beban pajaknya lebih besar karena menanggung pajak dari dua negara. Hal ini

akan melandasi UU PPh Psl 24 yang mengatur kredit pajak luar negeri.

2. Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional): Darimanapun investasi berasal,

dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari dalam negeri atau luar negeri

akan dikenakan tarif pajak yang sama bila berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi

hak pemajakan yang sama denagn Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap

permanent establishment (PE) atau Badan Uasah Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang

perusahaan ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan yang berlaku.

3. National Neutrality: Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama.

Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan boleh dikurangkan

sebagai biaya pengurang laba.

Pemajakan transaksi lintas Negara

Pemajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim pemajakan. Hal ini karena

adanya prinsip pemajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global principle) dimana

penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan pajak oleh negara residen

(negara domisili wajib pajak). Selain itu, terdapat pemajakan teritorial (source principle) bagi

wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh negara sumber penghasilan dimana penghasilan yang

bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara sumber. Hal ini membuat suatu

penghasilan dikenakan pajak dua kali, pertama oleh negara residen lalu oleh negara sumber

Misalnya: PT A punya cabang di Jepang. Penghasilan cabang di jepang dikenakan pajak oleh

fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu digabung dengan penghasilan dalam negeri

lalu dikalikan tarif pajak UU domestik Indonesia.

Bentokran klaim lebih diperparah bila terjadi dual residen, dimana terdapat dua negara

sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam negerinya yang

menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali. Misalnya: Mr. A bekerja di Indonesia

Page 3: Konsep Dasar Pajak Internasional Fix

lebih dari 183 hari namun setiap sabtu dan minggu ia pulang ke rumahnya di Singapura. Mr.

A dianggap WPDN oleh Indonesia dan juga Singapura sehingga untuk wajib melapor dan

membayar pajak untuk penghasilan globalnya pada Indonesia maupun Singapura.

Dalam kaitan pembagian hak pemajakan ini, negara-negara yang melakukan perjanjian

perpajakan dibagi menjadi dua jenis. Pertama adalah negara sumber (source country) yang

merupakan negara di mana penghasilan yang merupakan objek pajak timbul. Kedua adalah

negara domisili (resident country) yaitu negara tempat subjek pajak bertempat tinggal,

berkedudukan atau berdomisili berdasarkan ketentuan perpajakan.

Baik negara sumber maupun negara domisili biasanya berhak untuk mengenakan

pajak berdasarkan undang-undang domestiknya. Pengenaan pajak oleh dua yurisdiksi

perpajakan terhadap satu jenis penghasilan inilah yang biasanya menimbulkan pengenaan

pajak berganda sehingga perlu diatur dalam suatu persetujuan antara negara sumber dan

negara domisili.

Konsep juridical double taxation dan economic double taxation

Dalam arti sempit, pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan

beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu administrasi pajak yang

sama. Pajak berganda tersebut dapat disebabkan oleh pemajakan oleh penguasa tunggal

(singular power) atau oleh berbagai (lapisan) tunggal, misalnya dapat terjadi pada pemajakan

terhadap bangunan atas nilai jualnya (Pajak Bumi dan Bangunan) dan penghasilannya (Pajak

Penghasilan atas sewa atau keuntungan transfernya). Pajak berganda tersebut sering disebut

pajak berganda ekonomis (economic double taxation). Pajak berganda dalam arti luas, sesuai

dengan Negara (yurisdiksi) pemungut pajaknya, dapat dikelompokkan menjadi pajak

berganda (1) internal (domestic) dan (2) internasional.

Knechtle, dalam buku “Basic Problems in International Fiscal Law”, menyebut

beberapa tipe PBI (1) faktual dan potensial, (2) yuridis dan ekonomis, dan (3) langsung dan

tidak langsung. Apabila klaim pemajakan tersebut benar-benar dilaksanakan oleh beberapa

Negara pemegang yurisdiksi maka akan terjadi PBI faktual. Apabila dari kedua (atau lebih)

Negara pemegang klaim pajak, hanya satu Negara saja yang melaksanakan klaim pemajakan

tersebut maka akan terjadi PBI Potensial.

Sementara PBI yuridis terjadi apabila suatu penghasilan (atau modal) yang sama

dikenakan pajak di tangan orang (subjek) yang sama oleh lebih dari satu Negara, PBI

Ekonomis, timbul apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda dikenakan pajak atas suatu

penghasilan (atau modal; objek) yang sama (oleh lebih dari satu Negara). PBI Yuridis,

Page 4: Konsep Dasar Pajak Internasional Fix

pemajakan oleh lebih dari satu Negara dan satu subjek legal yang sama. PBI tak langsung

terjadi dari pemajakan atas satu hal yang sama (setara dengan PBI Ekonomis).

Sumber hukum perpajakan internasional

Perjanjian perpajakan internasional pertama sekali dicetuskan oleh Liga Bangsa-

Bangsa pada tahun 1921, model inilah yang menjadi dasar yang dikembangkan pada tahun

1928 yang kemudian dipakai oleh negara-negara yang tergabung dalam Organization for

economic cooperation and Development (OECD) yang semula merupakan konvensi bilateral

yang tergabung dalam The Council of Organization For European Economic cooperation

(OEEC) dengan 70 anggota negara.

Model ini kemudia disempurnakan dalam model mexico tahun 1943 dan Model

London tahun 1946, komite fiskal dalam OECD kemudian membuat draft konvensi guna

memecahkan permasalahan pajak ganda agar dapat diterima oleh semua anggota OECD,

kemudia pada tahun 1963 dibuatlah laporan final dengan judul draft double taxation

convention on income and capital yang kemudian diubah beberapa kali.

Kemudian untuk perjanjian Tax Treaty untuk negara berkembang, dibuat oleh The Economic

dan Social Council Of The United Nation pada tahun 1967. Kemudian pada tahun 1980

dirubah lagi dengan nama The Group Of Experts yang anggotanya terdiri dari 25 negara,

yang terdiri dari 10 negara maju dan 15 negara berkembang. Kemudian pada tahun 1974 dan

1979. Pada tahun 1979 the group of experts mereview lagi draft United Nation Model

Convention dan diubah beberapa kali pada tahun 1995,1997,1998,1999, 2000 dan terakhir

2005. Konvensi-konvensi inilah yang kemudian menjadi sumber hukum perpajakan

internasional. Di dunia ini, ada dua model treaty yang sering dijadikan acuan dalam

menyusun suatu treaty yaitu model OECD dan model PBB.

Prinsip Non Deskriminasi

Prinsip ini mengatur tentang persamaan perlakuan perpajakan yang diberikan oeh

suatu negara kepada warga negara dan kepada bukan warga negara. Suatu negara yang terikat

tax treaty memiliki kewajiban untuk memberikan perlakuan perpajakan yang sama untuk

warga negaranya dan untuk mereka yang bukan warga negaranya. Perlakuan perpajakan yang

sama ini mengandung arti bahwa dalam suatu kondisi yang sama, pihak yang bukan warga

negara dari suatu negara tidak boleh menanggung kewajiban pajak yang lebih berat daripada

yang ditanggung oleh warga negara dari negara tersebut. Perlakuan yang sama juga harus

Page 5: Konsep Dasar Pajak Internasional Fix

diberikan kepada mereka yang bukan merupakan warga negara dari kedua negara yang terikat

perjanjian.

Konsep Penghindaran Pajak Berganda

Pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara yang menerapkan

domisili dan negara yang menerapkan azas sumber menimbulkan pajak ganda internasional

(international double taxation). Oleh para investor dan pengusaha, pajak ganda tersebut

dianggap kurang memperlancar mobilitas arus investasi, bisnis, dan perdagangan

internasional. oleh karena itu, perlu dihilangkan atau diberikan keringanan. Selain diatur

dalam ketentuan pajak domestik, keringanan pajak ganda dimaksud pada umumnya juga

diatur dalam P3B. Pajak Berganda Internasional (selanjutnya dalam modul ini disebut PBI)

muncul apabila terdapat benturan yurisdiksi pemajakan, baik yang melekat pada pemerintah

pusat (negara) maupun pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten), dan yang melekat

pada masing-masing negara (overlapping of tax jurisdiction in the international sphere).

Sementara orang akan mempertanyakan kenapa benturan tersebut sampai terjadi? Dalam hak

pemajakan, kita menyadari bahwa setiap negara berdaulat akan melaksanakan pemajakan

terhadap subjek dan/atau objek yang mempunyai pertalian fiskal (fiscal allegiance) dengan

negara pemungut pajak dan berada dalam wilayah kedaulatannya berdasarkan ketentuan

domestik. Seandainya dalam ketentuan domestik dari negara-negara pemungut pajak tersebut

terdapat pengecualian atau pembebasan dari pajak terhadap subjek atau objek yang bertempat

kedudukan atau berada di luar wilayah kedaulatannya maka tidak akan terjadi PBI karena

mungkin tidak terjadi benturan hak pemajakan dengan negara lain. atau apabila tarif pajak di

negara tempat sumber penghasilan dikenakan pajak dan domisili cukup rendah, beban pajak

berganda yang dikenakan di negara sumber sebagai pemegang hak pemajakan utama

(primary taxing rights) dan yang dikenakan di negara domisili sebagai pemegang hak

pemajakan skunder (secondary taxing rights) secara wajar masih dalam jumlah yang

terjangkau oleh pembayar pajak.

Dalam Pajak Penjualan, misalnya, PBI dapat terjadi apabila negara pengekspor

menganut prinsip negara asal (origin principle; pemajakan oleh negara asal barang dan jasa),

dipihak lain, negara pengimpor menganut prinsip negara tujuan (destination principle;

Pemajakan oleh negara tujuan atau negara konsumen). PBI berkenaan dengan Pajak

Penghasilan, sebagaimana telah dikemukakan di awal bagian ini, apabila terjadi benturan hak

pemajakan antara negara-negara mempunyai pertalian ekonomis, menerapkan azas

pembagian hak pemajakan secara tidak bersamaan.

Page 6: Konsep Dasar Pajak Internasional Fix

Pengertian dan tujuan penghindaran pajak berganda (P3B)

Sehubungan dengan pengertian pajak berganda (double taxation), Knechtle dalam

bukunya yang berjudul ”Basic Problems in Internasional Fiscal Law” (1979) memberikan

pembahasan secara rinci. . Knechtle membedakan pengertian pajak berganda, yaitu :

a. Secara Luas, Pajak berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya

lebih dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu fakta fiskal.

b. Secara Sempit, Pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa

kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu administrasi pajak yang sama,

yang mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah.

Selanjutnya, pajak berganda sesuai dengan Negara ( yurisdiksi ) pemungut pajaknya,

dapat dikelompokkan menjadi pajak berganda :

1. Internal ( domestic )

2. Internasional

Dalam kedua kelompok tersebut terdapat pajak berganda vertical, horizontal dan

diagonal (terutama dalam Negara yang berbentuk federal).

Definisi lain Perjanjian penghindaran pajak berganda adalah perjanjian antara dua

negara bilateral yang mengatur pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh

atau diterima oleh penduduk oleh salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan (Both

Constacting State). Atau perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka

meminimalisir pemajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini

digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari

suatu transaksi di antara mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan

klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis transaksi yang

sedang dihadapi.

Setiap tax treaty mempunyai prinsip-prinsip dasar yang kurang lebih sama, sebagai

bagian dari konvensi internasional di mana setiap negara yang terlibat dalam suatu tax treaty

menyusun treaty-nya masing-masing berdasarkan model-model perjanjian yang diakui secara

internasional. Di dunia ini, ada dua model treaty yang sering dijadikan acuan dalam

menyusun suatu treaty yaitu model OECD dan model PBB.

Memahami treaty yang berlaku antara suatu negara dengan negara lainnya, bisa

dimulai dengan memahami prinsip-prinsip dasar tersebut. Dalam kenyataannya, memahami

suatu tax treaty tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bahasa yang digunakan,

jumlah klausul yang cukup banyak, pemahaman seseorang tentang dasar-dasar perpajakan

Page 7: Konsep Dasar Pajak Internasional Fix

dan berbagai sebab lainnya merupakan hal yang dapat mempengaruhi kesulitan tersebut.

Dengan memahami prinsip-prinsip dasar dan prinsip umum yang berlaku dalam suatu treaty,

seseorang akan menjadi lebih mudah memahami suatu treaty yang secara spesifik berlaku

untuk negara tertentu.

Sebagai suatu perjanjian, sebuah treaty adalah kontrak yang mengikat suatu negara

dengan negara lain dalam hal perlakuan perpajakan. Oleh sebab itu, di dalamnya selalu berisi

klausul-klausul, pasal-pasal dan ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu aspek transaksi dan

pihak tertentu tertentu. Pasal-pasal atau ayat-ayat (article atau artikel) yang terdapat dalam

sebuah tax treaty pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat bagian besar yaitu

bagian yang mengungkapkan cakupan tax treaty, bagian yang mengatur minimalisasi

pengenaan pajak berganda, bagian tentang pencegahan penghindaran pajak dan bagian yang

mencakup hal-hal lainnya.

Semua bagian itu cenderung lebih mudah dipahami dari pada berbagai definisi, istilah

dan pengertian yang sering disebutkan dalam suatu tax treaty. Berbagai definisi, istilah dan

pengertian inilah yang menjadi lebih penting untuk dipahami setiap pihak khususnya

berkaitan dengan kepentingan dalam praktek bisnis sehari-hari.

Disamaping tujuan utama seperti disebutkan diatas P3B juga mempunyai tujuan

khusus lainnya yaitu :

a. Menghindari pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha;

Dengan P3B maka penganaan pajak atas laba usaha tidak dapat dikenakan di kedua

tempat (negara sumber dan negara domisili). Laba usaha dikenakan pajak di tempat di

mana mereka berkedudukan. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan dunia usaha

mendapatkan kepastian hukum, karena membayar pajak hanya dikenakan satu kali yaitu

di negara domisili.

b. Meningkatkan investasi modal dari luar negeri;

Pemajakan atas investasi berupa bunga dari pinjaman, dividen dari penanaman saham,

royalti dari pemilik hak cipta, jika dikenakan pemajakan yang tinggi, maka dapat

dipastikan pendudukan atau warga negara asing akan mempertimbangkan untuk

menanamkan modalnya, karena hasil dari investasinya tidak sesuai dengan yang

diharapkan.

c. Peningkatan sumber daya manusia;

Dengan adanya pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di negara di

mana mereka menempuh pendidikan dan pelatihan, maka dapat meningkatkan jumlah

peserta pendidikan dan pelatihan ke luar negeri, dampaknya akan meningkatkan

Page 8: Konsep Dasar Pajak Internasional Fix

kemampuan SDM negara pengirim peserta pelatihan dan pendidikan. Sebaliknya jika

penghasilan mahasiswa dan karyawan yang mengikuti pelatihan dikenakan pajak maka

akan membebani mereka sehingga mereka tidak berangkat keluar negeri ini akan

berdampak kurang baik terhadap pengembangan SDM.

d. Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak;

Dengan membangun jaringan komunikasi yang baik diantara kedua negara, maka

informasi tentang penduduk yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya di kedua

negara tersebut akan dapat terdeteksi (untuk mengintensifkan penerimaan pajak).

Negara yang terkait dengan Tax Treaty dapat melaporkan penghasilan penduduk asing

di negara sumber, misalnya saja dengan mengirimkan bukti penerimaan penghasilan

dari negara sumber, informasi penghasilan tersebut seharusnya dilaporkan oleh

penerima penghasilan di negara domisili, dan diperhitungkan kembali pada akhir tahun

pajak.

e. Keadilan dalam hal pemajakan penduduk antar kedua negara.

P3B juga mengaatur adanya pemajakan yang sama dan setara antara kedua negara,

dengan prinsip saling menguntungkan dan tidak memberatkan penduduk asing antar

kedua negara dalam menjalankan usaha. Negara yang mengadaka tax treaty terikat

dengan ketentuan dalam perjanjiannya sehingga tidak boleh sewenang-wenang dalam

hal pemajakannya.