konsep bpk isbd (2)
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENGANTAR ILMU SOSIALDAN BUDAYA DASAR
A. HAKIKAT, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
1. Hakikat Ilmu Soaial dan Budaya Dasar (ISBD)
Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) merupakan Matakuliah
Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) dengan visi “Berkembangnya
mahasiswa sebagai manusia terpelajar yang kritis, peka dan arif dalam
memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia yang
dilandasi nilai-nilai estetika, etika, dan mmoral dalam kehidupan
bermasyarakat”.Adapun misinya adalah “Memberikan landasan dan
wawasan yang luas, serta menumbuhkan sikap kritis, pekam dan arif pada
mahasiswa untuk memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan
manusia dalam kehidupan bermasyarakat selaku individu dan makhluk
social yang beradab serta bertanggung jawab terhadap sumber daya dan
lingkungannya”.
ISBD bukanlah suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, melainkan
suatu rangkaian pengetahuan mengenai aspek-aspek yang paling dasar
yang ada dalam kehidupan manusia sebagai makhluk social yang
berbudaya, dan masalah-masalah yang terwujud daripadanya.Selain itu,
mata kuliah ini pada prinsipnya sebagai pengatur dasar menuju pengenalan
teori ilmu-ilmu social dan kebudayaan sehingga diharapkan mahasiswa
dapat memiliki wawasan keilmuan yang bersifat multidisipliner tentang
keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
2. Tujuan Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD)
Berdasarkan hakikat keilmuan di atas, maka tujuan Ilmu Sosial dan
Budaya Dasar (ISBD) yang merupakan bagian dari Matakuliah
Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) adalah:
2
a. Mengembangkan kesadaran mahasiswa menguasai pengetahuan
tentang keanekaragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia
sebagai individu dan makhluk social dalam kehidupan bermasyarakat.
b. Menumbuhkan sikap kritis, peka dan arif dalam memahami
keragaman, kesederajatan, dan kemartabatan manusia dengan
landasan nilai estetika, etika, dan moral dalam kehidupan
bermasyarakat.
c. Memberikan landasan pengetahuan dan wawasan yang luas serta
keyakinan kepada mahasiswa sebagai bekal bagi hidup
bermasyarakat, selaku individu dan makhluk social yag beradab
dalam mempraktikkan pengetahuan akademik dan keahliannya dan
mampu memecahkan maalah social budaya secara arif.
3. Ruang Lingkup Mata Kuliah Pengantar Ilmu Sosial Dan Budaya
(ISBD)
Untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan mata kuliah Ilmu Sosial
dan Budaya Dasar (ISBD) pada perguruan tinggi, berikut ini adalah ruang
lingkup dan sub bahasannya.
a. Pengantar Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD)
1. Hakikat dan ruang lingkup ISBD
2. ISBD sebagai MBB dan pendidikan umum; dan
3. ISBD sebagai alternative pemecahan masalah social budaya
b. Manusia sebagai Makhluk Budaya:
1. Hakikat manusia sebagai makhluk budaya;
2. Apresiasi terhadap kemanusiaan dan kebudayaan;
3. Etika dan estetika berbudaya
4. Memanusiakan manusia melalui pemahaman konep-konsep dasar
manusia; dan
5. Problematika kebudayaan
3
c. Manusia sebagai Individu dan Makhluk Sosial;
1. Hakikat manusia sebagai individu dan makhluk social;
2. Fungsi dan peran manusia sebagai individu dan makhluk social;
3. Dinamika interaksi social; dan
4. Dilema antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat;
d. Manusia dan Peradaban
1. Hakikat peradaban;
2. Manusia sebagai makhluk beradab dan masyarakat adab;
3. Evolusi budaya dan wujud peradaban dalam kehidupan social-
budaya;
4. Dinamika peradaban global; dan
5. Problematika peradaban pada kehidupan manusia
e. Manusia, Keragaman dan Kesetaraan;
1. Hakikat keragaman dan kesetaraan manusia;
2. Kemajemukan dalam dinamikan social dan budaya;
3. Keraganan dan kesetaraan sebagai kekayaan social, budaya bangsa;
dan
4. Problematika keragaman dan kesetaraan serta solusinya dalam
kehidupan masyarakat dan negara
f. Manusia, Nilai, Moral, dan Hukum
1. Hakikat, fungsi, dan perwujudan nilai, oral dan hukum dalam
kehidupan manusia, masyarakat dan negara;
2. Keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan sebagai wujud masyarakat
yang bermoral dan menaati hukum dan
3. Problematika nilai, moral, dan hokum dalam masyarakat dan
negara
g. Manusia, Sains, Teknologi dan Seni:
1. Hakikat dan makna sains, teknologi dan seni bagi manusia;
2. dampak penyalahgunaan IPTEKS pada kehidupan social dan
budaya; dan
3. Problematika pemanfaatan IPTEKS di Indonesia
4
h. Manusia dan Lingkungan
1. Hakikat dan makna lingkungan bagi manusia;
2. Kualitas penduduk dan lingkungan terhadap kesejahteraan manusia
3. Problematika lingkungan social-budaya yang dihadapi masyarakat;
dan
4. Isu-isu penting tentang persoalan lintas budaya dan bangsa.
B. ISBD SEBAGAI MBB DAN PENDIDIKAN UMUM
ISBD sebagai bagian dari Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat
(MBB) mempunyai tema pokok, yaitu hubungan timbale balik antara manusia
dengan lingkungannya. Dengan wawasan tersebut diharapkan perguruan
tinggi mampu menghasilkan tenaga ahli dengan tigas jenis kemampuan secara
simultan, yang meliputi:
1. Kemampuan personal: para tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan
sehingga mampu menunjukkan sikap, tingkah laku dan tidnakan yang
mencerminkan kepribadian Indonesia, memahami dan mengenal nilai-nilai
keragaman, kemasyarakatan dan kenegaraan, serta memiliki pandangan
yang luas dan kepekaan terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh
masyarakat Indonesia.
2. Kemampuan akademis; kemampuan untuk berkomunikasi secara ilmiah
baik lisan maupun tulisan, mengusai peralatan analiss, maupun berpikir
logis, kritis, istematis, analisis, memiliki kemampuan konsepsional untuk
mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang dihadapi, serta mampu
menawarkan alternative pemacahannya.
3. Kemampuan professional: kemampuan dalam bidang profesi sesuai
keahlian bersangjutan, para ahli diharapkan memiliki pengetahuan dan
ketrampilan yang tinggi dalam bidang profesinya.
5
C. ISBD SEBAGAI ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH SOSIAL-
BUDAYA
Dengan bekal wawasan, sikap, dan perilaku melalui mata kuliah Ilmu
Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) diharapkan mahasiswa dapat menjadi
manusia yang memiliki kemampuan personal, kemampuan akademik dan
kemampuan professional sehingga para lulusan akan mampu mengenali
masalah dan mengatasi masalah tersebut dengan bijaksana. Dengan itu
problematika kemanusiaan dan peradaban manusia merupakan fakta objektif
yang penting dikenali secara menunjung tinggi pemikiran serta nilai-nilai
luhur tradisi.
Di samping diurai kondisi objektif konteks keindonesiaan, buku ini
juga mengulas lesson learns atau pelajaran berharga dari akta atau fenomena
social yang terjadi di sekitar lingkungan kita baik yang dialami secara
langsung atau tidak langsung dalam perspektif lintas keilmuan secara
simultan. Pendekatan multidisipliner dipilih guna menstimulus mahasiswa
berpikir terbuka dan kritis atas apa yang didengar, dimengerti, dipahami, dan
dikonsepsikannya selama ini agar dapat didiskusikan dan dikomunikasikan
menjadi pengetahuan yang ilmuah.
6
BAB 2
HAKIKAT MANUSIASEBAGAI MAKHLUK BUDAYA
A. HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BUDAYA
Sebelum mengulas manusia sebagai makhluk budaya penting bagi kita
mencermati kajian tentang filsafat manusia secara singkat dan
mendasar.Bahwasanya diskusi klasik yang hingga kini masih dibincangkan
seputar manusia adalah pertanyaan siapakah sebenarnya manusia itu.Dengan
pertanyaan tersebut sejauh ini telah menghasilkan pelbagai teori, konsep,
konstruk pemikiran tentang haikat manusia.Secara sederhana aliran tersebut
dapat diklasifikasikan dalam beberapa aliran utama, yaitu materialisme,
idealisme, realisme, dan aliran agamawan (teologis).Tetapi pentin ditegaskan
di sini bahwasanya hingga kini jawaban tentang siapa manusia itu tampaknya
belum juga terpuaskan atau belum final.
Untuk aliran materialisme misalnya mempunyai pemikiran bahwa
materi atau zat merupakan satu-satunya kenyataan, karena itu semua peristiwa
dapat terjadi melalui proses materiil. Demikian pula analogi yang terjadi pada
manusia, yakni kejadian “adanya adalah juga bagian dari proses-proses
materiil itu sendiri.Aliran ini baik dari kalangan aliran materilalisme didaktik
atau humanistic, keduanya tidak mengenal adanya kenyatan bersifat
spiritual.Karena itu, bagi aliran ini kenyataan yang sebenarnya adalah alam
semesta yang bersifat badaniah.
Sebaliknya, bagi pemikir atau filsuf dari airan idelisme mereka
menyangkul secara mendasar pemikiran materialisme di atas. Menurut aliran
idelisma, bukan materi yang menjadi “kenyataan”, tetapi kenyataan yang
sebenarnya adalah “ide” yang bersifat rohani dan/atau intelegensi. Karena itu,
manusia oleh aliran ini dipandang bukan sebagai materi tetapi makhluk yang
berjiwa/berkerohanian.
Substansi pemikiran dari dua aliran di atas diyakini secara bersamaan
oleh aliran realisme. Bagi aliran realisme kenyataan dapat berupa kenyataan
dunia batin atau rohani dan dapat berupa kenyataan dunia batin atau rohani
7
dan dapat juga berupa kenyataan dunia materi. Keduanya dalam pandangan
realisme adalah hakikat asli dan abadi. Hakikat manusia dengan demikian,
adalah dapat dipandang sebagai makhluk kejiwaan/kerohanian, dan sekaligus
makhluk materiil.
Bandingkan berikutnya dengan pemikiran para tokoh aliran teologis.
Aliran teologis ini jika dicermati tidak memiliki irisan dengan pemikiran
aliran-aliran sebelumnya. Karana mereka cenderung meletakkan kedudukan
manusia secara berbeda dengan makhluk lain di muka bumi, yakni karena
hubungannya dengan Tuhan. Artinya, manusia menurut aliran ini diyakini
sebagai makhluk materi, makhluk rohani, tetapi keduanya tidak bersifat abadi
dan/atau sebagai hakikat asli. Menurut aliran ini, hakikat asli atau kenyataan
utama adalah Tuhan itu sendiri.
Jika kita tarik benang merah dari pemikiran beberapa aliran di atas,
umumnya berusaha mendudukkan hakikat manusia sebagai makhluk di antara
makhluk-makhluk lainnya di muka bumi ini, sekaligus membandingkan di
antara keduanya. Kesamaan manusia sebagai makhluk dengan makhluk
lainnya adalah pada dorongan naluriah (animal instinct) yang termuat dalam
tiap gen mereka. Adapun yang membedakan manusia dari makhluk lainnya
dalam hal pengetahuan dan perasaan (emosional dan kejiwaan). Melalui
pengetahuan yang dimiliki manusia, ia dapat hidup jauh lebih berkembang
(survival) daripada pengetahuan makhluk lainnya. Demikian juga melalui
perasaan manusia, mereka dapat mengembangkan eksistensi kemanusiaannya
menajdi lebih beradab disbanding makhluk lainnya.
Secara lebih mendalam pendekatan keilmuan yang umumnya
digunakan untuk membincangkan hakikat manusia ini adalah melalui ilmu
antropologi filsafat atau filsafat manusia (anthropos dalam bahasa Yunani,
berarti: “manusia”). Di mana awalnya, filsafat manusia lebih dekat dengan
kajian psikologi filosofis atau psikologi rasional, tetapi tampaknya pendekatan
psikolog dianggap kurang mencakup diskusi tentang manusia secara holistis.
Karena sesungguhnya diskusi tentang filsafat manusia tidak saja membahas
aspek jiwa dan raganya, tetapi juga roh dan badannya.
8
Dalam pandangan Adelbert Snijders, filsafat manusia dirumuskan
sebagai refleksi atas pengalaman yang dilaksanakan secara rasional, kritis
serta ilmiah, dan dengan maksud untuk memahami diri manusia dari segi yang
paling asasi. Yakni, memahami manusia sebagai suatu kesatuan, di mana
dalam kesatuan itu terdapat unsur “keduanya” (jiwa dan badan). Tujuan dari
kajian filsafat manusia tidak lain adalah untuk memahami diri manusia dari
segi yang paling mendasar tersebut. Berikut ini akan dikupas pandangan
beberapa tokoh, pemikiran, dan alirannya.
Sebagaimana pemiiran Plato dan Plotinos, bahwa manusia adalah
makhluk ilahiah. Bahkan lebih ekstrem disampaikan Deserates, menurutnya
manusia memiliki kebebasaan mirip seperti kebebasan yang dimiliki Tuhan.
Tetapi, pandangan manusia sebagai makhluk ilahah tersebut ditolak oleh
Epikuros dan Lukretius. Menurut keduannya manusia tak lebih dari makhluk
hidup berumur pendek, ia lahir karena kebetulan, dan akhirnya sama sekali
lenyap. Demikian juga seperti yang disampaikan Voltaire, manusia tidak
berbeda secara esensial ibarat binatang yang paling tinggi atau sempurna.
Pandangan lain tentang manusia disampaikan Hobbes. Ia berpendapat
bahwa manusia pada dasarnya memiliki sifat agresif dan jahat. Tetapi
Rousseau justru melihat sebaliknya, yaitu manusia dalam kodratnya adalah
baik. Belakangan para pemikir, seperti Buber, Marcel, Levinas, dan Mounier
menegaskan bahwa setiap manusia memiliki suatu kepribadian dengan
kompeksitas manusia memiliki suatu kepribadian dengan kompleksitas nilai
yang unik. Tetapi, pemikiran lainnya justru meletakkan manusia sebagai
makhluk yang tak berarti atau “keinginan” yang sia-sia.
Dapat disimpulkan bahwa para pemikir filsafat manusia dan ilmuwan
memiliki pandangan yang berseberangan di antara dua titik secara ekstrem
baik mereka yang berlatar periode kesejahteraan yang sama atau berbeda.
Namun perdebatan hakikat manusia (lebens-philosophie)menurut penilaian
filsuf mazhab Frankfurt Jerman Max Horkheimer (1895-1973) merupakan
diskursus ilmiah yang sehat, yang dapat membuka kebekuan berpikir rasional
yang abstrak dan menjadi lawan dari debut kapitalisme yang selama ini
9
berkembang pesat. Sebagai pengkritik positivisme, Horkheimer menyatakan
selama ini saintisme tak lebih pendukung status-quo yang bersembunyi di
balik objektivitas. Segala bentuk demikian menurut Horkheimer dan juga
Habermas, telah dijerumuskan oleh kepentingan kognitif, dan karenanya tidak
bebas nilai, termasuk teori kritis yang didorong oleh kepentingan
emansipatoris (Sulistyanta, 2005). Menurut Jurgen Habermas (1929), bahwa
kekuatan kritik erat kaitannya dengan metodologi maupun kondisi sejarah
yang melatari, yakni kesadaran akan kritis social pada histories (sejarah)
tertentu.
Jika dicermati sesungguhnya kajian filsafat manusia tumbuh subur
bersamaan dengan ideology kapitalisme yang sedang mendominasi arus
keilmuan. Kritik mendasar yang hendak disampaikan para pengkaji filsafat
manusia adalah seraun untuk tidak membatasi cara pandang keilmuan, selalu
berpikir reflektif, dan jangan membuang cirri utama manusia sebagai makhluk
yang selalu bertanya dan berpikir. Karena itu, berpikir refleksi merupakan
aktivitas rohaniah, menemukan kebenaran untuk kehidupan bersama, sebagai
makhluk eksentrik. Dengan berpikir kritis dan refleksi tidak menjadikan
seseorang jauh dari Tuhan, berbeda dengan pemikiran kapitalis yang lebih
mendekatkan seseorang pada materi atau kebendaan.
Ungkapan Descartes yang dikenal luas “cogito ergo sum” (aku
berpikir, maka aku ada). Cogito (aku berpikir) adalah suatu kepastian tak
tergoyahkan, ia ingin suatu kepastian tentang ekesistensi Tuhan dan
ketidakmatian jiwa manusia. Hal yang sama dikemukakan Maine de Biran
yang bertitik tolak pada volo (aku mau), dengan merefkeksikan “aku mau”, ia
menemukan paham tentang diri dan pengaruh afeksi atas segala kepastiannya.
Atau filsafat karl Marx dengan ungkapan “manusia adalah makhluk yang
bekerja”. Artinya, sebagai makhuk paradoksal, manusia itu bebas dan terikat,
otonom dan tergantung, terbatas dan tidak terbatas. Sebagai makhluk yang
dinamis, manusia bebas dan bertanggung jawab, tetapi dalam kebebasan juga
hadir suatu dorongan metafisika, suatu orientasi dasariah untuk menuju diri
yang sejati. Sebagai makhluk multidimensional, manusia meskipun sebagai
10
suatu kesatuan, tetapi di dalam kesatuan itu ditemukan pelbagai dimensi
ontologis dengan tingkatan yang berbeda.
Herbert Marcuse, mengatakan meskipun seolah-olah manusia itu one-
dimensional man, yang terkurung dalam dimensi produksi-konsumsi, tetapi
konsumerisme itu sesungguhnya bertentangan dengan panggilannya sebagai
makhluk pluridimensional. Panggilan atau seruan itu berkaitan erat dengan
hakikat manusia. W Luijpen, mengatakan being man is having to be man (diri
manusia merupakan suatu seruan etis untuk manusia).
B. HAKIKAT MANUSIA DALAM KAJIAN ISLAM
Melengkapi kajian hakikat manusia pada bahasan sebelumnya, maka
dipandang penting untuk mendiskusikan hakikat manusia dalam perspektif
Islam. Mengkaji manusia dalam perspektif keislaman tidak dapat dilepaskan
dari konteks masyarakat muslim itu sendiri. Sebagaimana disebutkan Fazlur
Rahman bahwasanya masyarakat Islam dibentuk karena ideologinya, yaitu
Islam (Fazlur Rahman, 1980: 43). Ideologi adalah Weltanchauiting, yang
menjelaskan realitas dalam perspektif tertentu. Ideologi adalah cara
memandang realitas. Di antara realitas penting yang diulas ideologi adalah
hakikat manusia. Konteks manusia dan masyarakat tersebut sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur'an, terdapat sekurangnya tiga istilah kuncui yang
mengacu kepada makna pokok manusia, yaitu: basyar,insan, dan al-nas.
Basyar disebut dalam AI-Qur'an sebanyak 27 kali. Dalam seluruh ayat
tersebut, kalimat basyar menunjuk pada referensi manusia- sebagai makhluk
biologis. Lihatlah bagaimana Maryam berkata: Tuhanku, bagaimana mungkin
aku mempunyai anak, padahal aku tidak disentuh basyar (QS. 3: 47); atau
bagaimana kaum yang diseru para nabi menolak ajarannya, karena nabi
hanyalah basyar-manusia biasa yang "seperti kita", bukan manusia superstar.
Kata basyar juga dihubungkan dengan ungkapan mitslukum (sebanyak tujuh
kali) dan mitsluna (sejumlah enam kali). Nabi Muhammad SAW., disuruh
Allah untuk menegaskan bahwasanya dirinya secara biologis, ia tak ubahnya
sama seperti manusia yang lain: Katakanlah, aku ini manusia biasa (basyar)
11
seperti kamu, hanya saja aku diberi wahyu bahwa Tuhanmu ialah Tuhan
yang satu (QS. 18: 110; QS. 41: 6). Tentang para nabi, orang-orang kafir
selalu berkata: Bukankah ia basyar seperti kamu, ia makan apa yang kamu
makan, dan ia minum apa yang kamu minum (QS. 33: 33). Ayat ini juga
ditegaskan dalam QS. 25: 7, Mereka berkata; Rasul itu memakan makanan
dan berjalan-jalan di pasar; dan QS. 25: 20, Dan tidak Kami utus
sebelumnya para utusan kecuali mereka itu memakan makanan dan berjalan-
jalan di pasar. Ketika wanita-wanita Mesir takjub melihat ketampanan Yusuf
as., mereka berkata, Ya Allah, ini bukan basyar, tetapi ini tidak lain kecuali
malaikat yang mulia (QS. 12: 31). Dari uraian tersebut, maka secara singkat
bahwasanya konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat biologis
manusia semata, yaitu butuh makan, minum, seks, berjalan di pasar, dan
seterusnya.
Sebaliknya, adalah tidak tepat jika menafsirkan kalimat basyarun
mitsluklim sebagai manusia seperti kita dalam hal berbuat dosa.
Keeenderungan para rasul untuk tidak patuh pada dosa dan kesalahan
bukanlah masuk kategori sifatsifat biologis, tetapi merupakan sifat-sifat
psikologis (atau spiritual). Sama tidak tepatnya ketika menafsirkan:
Sesungguhnya telah kami jadikan insan dalam bentuk yang sebaikbaiknya
(QS. 95: 4) dengan menunjukkan karakteristik fisiologi manusia. Yusuf Ali
(1977: 1759), dengan tepat menafsirkan ayat ini to man God gave the purest
and the best nature, and man's duty is to preserve the pattern on which God
has made him (QS. 30: 30). Al-Syaukani (1964, 5: 65) menyebutkan
umumnya para mufasir mengartikan ayat ini untuk menunjukkan kelebihan
manusia secara fisiologis, yaitu berjalan tegak, dan makan dengan
menggunakan tangan. Tetapi Ibn ‘Arabi berkata, tidak ada makhluk Allah
yang lebih bagus daripada manusia. Allah membuatnya hidup, mengetahui,
berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat, dan memutuskan, dan
ini adalah sifat-sifat rabbaniyah.
12
Artinya, konsepsi insan secara tegas berbeda dengan basyar. Jika
ditelisik didapatkan penyebutan insan disebut sebanyak 65 kali dalam Al-
Qur'an. Kita dapat mengelompokkan konteks insan tersebut dalam tiga
kategori pokok. Pertama, insan dihubungkan dengan keistimewaannya
sebagai khalifah atau pemikul amanah. Kedua, insan dihubungkan dengan
predisposisi negatif diri manusia. Dan ketiga, insan dihubungkan dengan
proses penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga yang akan kita jelaskan
kemudian, semua konteks insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau
spiritual.
Sementara istilah al-Nas sebagai konsep kunci ketiga mengacu pada
manusia sebagai makhluk sosial. Inilah manusia yang paling banyak disebut
dalam Al-Qur'an (240 kali, lihat ‘Abd. al-Baqi, al-Mu'jam; pada kata al-Nas).
Pertama, banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan
karakteristiknya. Ayat-ayat itu lazimnya dikenal dengan ungkapan wa min al-
Nas (dan di antara sebagian manusia). Dengan memerhatikan ungkapan ini,
kita menemukan kelompok manusia yang menyatakan beriman, tetapi
sebetulnya tidak beriman (2:8), yang mengambil sekutu terhadap Allah
(2:165), yang hanya memikirkan kehidupan dunia (2:200), yang
memesonakan orang dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia, tetapi
memusuhi kebenaran (2:204), yang berdebat dengan Allah tanpa ilmu,
petunjuk, dan Al-Kitab (22: 3, 8; dan 31: 20), yang menyembah Allah dengan
iman yang lemah (22: 11; dan 29: 10), yang menjual pembicaraan yang
menyesatkan (31:6) ; di samping ada sebagian orang yang rela mengorbankan
dirinya untuk mencari kerelaan Allah.
Kedua, dengan memerhatikan ungkapan aktsar al-Nas, kita dapat
menyimpulkan, sebagian besar manusia mempunyai kualitas rendah, baik
dari segi ilmu maupun dari segi iman. Menurut Al-Qur'an sebagian manusia
itu tidak berilmu (7: 187; 12: 21; 28; 68; 30: 6, 30; 45: 26; 34: 28, 36; dan 40:
57), tidak bersyukur (40: 61; 2: 243; dan 12: 38), tidak beriman (11: 17; 12:
103; dan 13: 1), fasik (5: 49), melalaikan ayat-ayat Allah (10: 92), kafir (17:
89; dan 25: 50), dan kebanyakan harus menanggung azab (22: 18). Ayat-ayat
13
ini dipertegas dengan ayat-ayat yang menunjukkan sedikitnya kelompok
manusia yang beriman (4: 66; 38: 24; 2: 88; 4: 46; dan 4: 155), yang berilmu
atau dapat mengambil pelajaran (18: 22; 7: 3; 27: 62; 40: 58; dan 69:42),
yang bersyukur (34: 13; 7: 10; 23: 78; 67: 23; dan 32: 9), yang selamat dari
azab Allah (11: 116), yang tidak diperdayakan setan (4:83). Surat 11: 16
menyimpulkan bukti kedua ini, jika kamu ikuti kebanyakan yang ada di bumi,
mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.
Ketiga, Al-Qur'an menegaskan bahwa petunjuk Al-Qur'an bukanlah
hanya dimaksudkan pada manusia secara individual, tetapi juga manusia
secara sosial. Al-Nas sering dihubungkan Al-Qur'an dengan petunjuk atau Al-
Kitab (57: 25; 4: 170; 14: 1; 24: 35; 39: 27).
C. HAKIKAT MANUSIA DALAM KEBUDAYAAN
Kebudayaan sering kali dipahami dengan pengertian yang tidak tepat.
Beberapa ahli ihnu sosial telah berusaha merumuskan berbagai definisi
tentang kebudayaan dalam rangka memberikan pengertian yang benar tentang
apa yang dimaksud dengan kebudayaan tersebut. Akan tetapi, ternyata
definisi-definisi tersebut tetap saja kurang memuaskan. Terdapat dua aliran
pemikiran yang berusaha memberikan kerangka bagi pemahaman tentang
pengertian kebudayaan ini, yaitu aliran ideasional dan aliran behavio-
risme/materialisme. Dari berbagai definisi yang telah dibuat tersebut,
Koentjaraningrat berusaha merangkum pengertian kebudayaan dalam tiga
wujudnya, yaitu kebudayaan sebagai wujud cultural system, social system,
dan artefact. Artinya, kebudayaan tersusun atas beberapa komponen utama,
yaitu yang bersifat kognitif, normatif, dan materiil.
Sayangnya kemudian, cara pandang orang melihat kebudayaan sering
kali terjebak dalam sifat chauvinism, yaitu membanggakan kebudayaannya
sendiri dan menganggap rendah kebudayaan lain. Contoh sikap chauvinism
seperti yang dikemukakan oleh Adolf Hitler misalnya, dengan kalimat
Deutschland Uber Alles in der Welt (Jerman di atas segala-galanya dalam
dunia). Demikian juga Inggris denganslogan: Right or Wrong is My Country.
14
Demikian pula Jepang yang menganggap bangsanya merupakan keturunan
Dewa Matahari. Padahal seharusnya dalam memahami kebudayaan kita perlu
jujur dan berpegangan pada sifat-sifat kebudayaan yang variatif, relatif,
universal, dan counter-culture (meremehkan kultur lain).
Antara manusia dan kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat,
karena menjadi manusia tidak lain adalah merupakan bagian dari hasil
kebudayaan itu sendiri. Hampir semua tindakan manusia merupakan produk
kebudayaan. Kecuali tindakan yang sifatnya naluriah saja (animal instinct)
yang bukan merupakan kebudayaan. Tindakan yang berupa kebudayaan
tersebut dibiasakan dengan cara belajar, seperti melalui proses internalisasi,
sosialisasi, dan alkulturasi. Karena itu, budaya bukanlah sesuatu yang statis
dan kaku, tetapi senantiasa berubah sesuai perubahan sosial yang ada.
Sebagaimana dikatakan Van Peursen (1988), bahwasanya budaya semestinya
diperlakukan sebagai kata kerja, bukannya sebagai kata benda. Sebab suatu
budaya dalam masyarakat terus-menerus berubah, bahkan meskipun itu
adalah sebuah tradisi. Dan biasanya proses pengalihan atau perubahan budaya
difasilitasi oleh adanya kontak komunikasi melalui bahasa. Tanpa bahasa,
proses pengalihan kebudayaan tidak akan terjadi.
Selanjutnya, hubungan antara manusia dengan kebudayaan juga dapat
dilihat dari kedudukan manusia tersebut terhadap kebudayaannya. Manusia
mempunyai empat kedudukan terhadap kebudayaan, yaitu sebagai
1)penganut kebudayaan; 2) pembawa kebudayaan; 3) manipulator
kebudayaan; dan 4) pencipta kebudayaan. Sebagai penganut kebudayaan
seseorang hanya menjadi pelaku tradisi dan kebiasaan yang berkembang
dalam masyarakatnya. Sebaliknya, pembawa kebudayaan adalah pihak luar
dan/atau anggota masyarakat setempat yang membawa budaya asing atau
baru dalam tatanan masyarakat setempat. Tidak semua anggota masyarakat
dapat beradaptasi dengan budaya baru yang datang dari luar. Umumnya,
budaya baru sulit diterima dan butuh waktu bertahap untuk penyesuaian jika
budaya baru tersebut ada kemungkinan diterima. Sementara manipulator
kebudayaan adalah anggota masyarakat yang melakukan aktivitas
15
kebudayaan atau mengatasnamakan budaya setempat tetapi tidak sesuai
dengan nilai-nilai atau ide luhur sebagaimana yang seharusnya dilakukan.
Kedudukan tertinggi adalah manusia sebagai pencipta kebudayaan, yaitu
mendorong secara sadar atau tidak sadar ke semua lapisan masyarakat untuk
melakukan revitalisasi kebudayaan lama atau meneiptakan dan menemukan
kembali kesepakatan barn terkait ide, aktivitas bermasyarakat, atau budaya
baru yang dapat diterima secara masif.
Pembentukan kebudayaan sebagaimana diuraikan di atas
sesungguhnya dikarenakan manusia dihadapkan pada persoalan yang
meminta pemecahan dan penyelesaian atas kondisi kehidupan yang
dialaminya. Dalam rangka bertahan atau survive, maka manusia harus mampu
memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya sehingga manusia melakukan
berbagai cara agar tetap mampu beradaptasi dengan perubahan sosial yang
terjadi. Apa yang dilakukan oleh manusia tersebut dapat disebut sebagai
proses kebudayaan. Kebudayaan yang digunakan oleh manusia untuk
menyelesaikan masalah-masalahnya, atau yang bisa kita sebut sebagai way of
life, pedoman hidup yang digunakan setiap individu dalam bertingkah laku.
Dengan demikian, maka secara definitif makna kebudayaan sendiri
adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat,
serta kemampuan dan kebisaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai
bagian dari anggota masyarakat (E. B. Taylor, 1871:21). Substansi penjelasan
Taylor tersebut pada dasarnya telah rnerangkum semua definisi tentang
kebudayaan yang pernah muncul (Jujun S. Suriasumantri, 2003: 261). Namun
Kuntjaraningrat (1974), kemudian membaginya menjadi unsur-unsur
kebudayaan secara lebih terperinci, yaitu terdiri dari sistem religi dan upacara
keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem kemasyarakatan,
sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem pencarian, serta sistem
teknologi peralatan.
Dalam kehidupannya, manusia mempunyai kebutuhan yang beragam
dan terus bertambah mengikuti deras laju perubahan lingkungan sosial di
sekitarnya. Dan secara naluriah, manusia melakukan banyak tindakan melalui
16
pelbagai cara agar kebutuhan dasarnya terpenuhi. Cara pemenuhan kebutuhan
dasarnya itulah yang membedakaan manusia dengan makhluk hidup lainnya
yang juga memiliki kebutuhan dasar, yang mungkin tidak jauh berbeda
dengan manusia. Kebudayaan dalam konteks ini yang menjadi pembeda
antara manusia dan binatang. Maslow dalam Jujun (2003: 262), membagi
kebutuhan manusia dalam lima kelompok kebutuhan mendasar, yaitu
fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri, dan pengembangan potensi. Pada
binatang, kebutuhan pokoknya terpusat pada fisiologi dan rasa aman,
demikian juga pemenuhannya dilakukan secara instingtif atau naluriah.
Sementara pada manusia, pemenuhan kebutuhannya diperoleh melalui cara
hidup berdasarkan kebiasaan, tradisi, atau kebudayaan pendahulunya. Karena
itu, kebudayaan tak ubahnya seperti kompas penyelamat (survival kit) bagi
keberlanjutan nilai-nilai kemanusiaan.
Manusia memiliki kemampuan dasar selain instingtif, juga
kemampuan untuk terus belajar, berkomunikasi, dan menguasai objek-objek
yang bersifat fisik. Dengan kemampuan berkomunikasi dan belajar
menjadikan manusia terus meningkatkan kecerdasan dan eara berpikirnya.
Selain itu, manusia juga memiliki kehalusan perasaan atau kejiwaan yang di
dalamnya terkandung dorongan-dorongan hidup dasar, insting, perasaan,
berpikir, kemauan, dan fantasi. Kejiwaan atau budi yang dimiliki manusia
menjadi motor atau penggerak bagi tereiptanya hubungan bermakna dengan
alam sekitarnya melalui penilaian atas objek dan kejadian. Nilai yang
diberikan oleh manusia inilah yang menjadi tujuan dan substansi dari
kebudayaan itu sendiri.
Jika disimpulkan, maka inti dari kebudayaan adalah nilai-nilai dasar
dari segenap wujud kebudayaan atau hasil kebudayaan. Nilai-nilai budaya
dan segenap hasilnya adalah muncul dari tata cara hidup yang merupakan
kegiatan manusia atas nilai-nilai budaya yang dikandungnya. Cara hidup
manusia tidak lain adalah bentuk konkret (nyata) dari nilai-nilai budaya yang
bersifat abstrak (ide). Dengan bahasa lain nilai budaya hanya bisa diketahui
melalui budi dan jiwa, sementara tata cara hidup manusia dapat diketahui
17
oleh pancaindra. Dari ide kebudayaan dan tata cara hidup manusia kemudian
terwujud produk (artefak) kebudayaan sebagai sarana untuk memudahkan
atau sebagai alat dalam berkehidupan. Sarana kebudayaan adalah perwujudan
secara fisik atas nilai-nilai budaya dan tata cara hidup yang dilakukan
manusia guna memudahkan atau menjembatani tercapainya pelbagai
kebutuhan manusia.
Mendukung konsepsi kebudayaan sebelumnya, sebagaimana
dikemukakan Parsudi Suparlan, “kebudayaan adalah keseluruhan
pengetahuan yang dipunyai manusia sebagai makhluk sosial; yang isinya
adalah perangkat model-model pengetahuan (pedoman hidup; atau blueprint;
atau desain untuk kehidupan) yang secara selektif dapat digunakan untuk
memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, dan untuk
mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya
(menghasilkan kelakuan dan benda/peralatan).” Definisi ini tampaknya
sejalan dengan James P. Spradley yang menyatakan "Culture is the acquired
knowledge that people use to interpretation experience and to generate social
behavior .., we speak of them as cultural knowledge, cultural behavior, and
Cultural artifacts" (Kebudayaan adalah pengetahuan yang diperoleh yang
digunakan penduduk untuk menginterpretasi pengalaman dan melahirkan
tingkah laku sosial ... kita katakan semua itu sebagai kebudayaan
pengetahuan, kebudayaan tingkah laku, dan kebudayaan kebendaan)1.
Kebudayaan, dengan demikian adalah ide berupa model-model
pengetahuan yang dijadikan landasan atau acuan oleh seseorang sebagai
anggota masyarakat melakukan aktivitas sosial, menciptakan materi
kebudayaan dalam unsur budaya universal: agama, ilmu pengetahuan,
teknologi, ekonomi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian,
seperti pada Gambar 1.
1Lihat juga Malinowski, Bronislaw, Magic, Science and Religion and Other Essays. Garden Ciry New York: Doubleday & Company, Inc., 1948 hlm. 91; dan Tumanggor, Rusmin, Sistern Kepercayaan dan Pengobatan Tradisional (Disertasi), Jakarta: Universitas Indonesia, 1999, hlm. 3; White, Leslie A katakan "... we shall distinguish three sub-system of culture. namely, technological, sociological, and ideological system. ...These three categories comprise the system of culture as a whole" (dalam The Science of Culture: A Study of Man and Civilization). New York: Doubleday Canada Ltd. 1949 hlm. 364
19
Legenda: Setiap kotak unsur kebudayaan ini terbuka satu sama lainnya,
termasuk dari suatu suku bangsa kepada suku bangsa lainnya.
Agama sering menjadi kuat dominasinya jika ia kuat penekanannya pada
nilai tertinggi "ultimate value", yaitu hubungannya dengan Maha Pencipta
(Tuhan), dan kehidupan abadi serta keadilan tertinggi atas kebaikan dan
keburukan (pahala atau dosa) atas pola pikir, sikap, dan perilaku selama di
dunia fana.
1) Agama
Dalam temuan antropologi dan sosiologi, komponen-komponen
pokokyang terdapat dalam setiap agama meliputi adanya: umat beragama,
sistem keyakinan, sistem peribadatan/ritual, sistem peralatan ritus, dan
emosi keagamaan.
2) Ilmu pengetahuan
Dari penelitian antropologi dan sosiologi, semua masyarakat pendukung
suatu kebudayaan, memiliki sistem pengetahuan yang utuh menanggapi
keberadaan alam nyata (natural) dan nirnyata (supernatural). Kondisi ini
menyambung kepada pemahaman tentang kehidupan dankematian,
perbuatan dan keadilan, kefanaan dankeabadian.
3) Teknologi
Antropologi dan sosiologi juga menjumpai bahwa setiap warga
masyarakat pendukung suatu kebudayaan memiliki kemampuan secara
ide hingga melaksanakan kegiatan bersama melahirkan peralatan hidup
yang difungsikan untuk memenuhi kebutuhan pada pelbagai unsur
kebutuhan budaya universal lainnya.
20
4) Ekonomi
Antropologi serta sosiologi juga menemukan dalam setiap masyarakat
kebudayaan adanya bentuk-bentuk ekonomi (berburu-meramu, bercocok
tanam, barter, pasar/ uang, dan foto, komunikasi). Rentangan kekuatan
ekonomi (investasi, produksi, keagenan, distribusi, eceran, buruh,
kegiatan pasar, dan penjabaran penghasilan).
5) Organisasi sosial
Pada setiap masyarakat pendukung kebudayaan akan selalu terdapat
variasi kelompok warga masyarakat (kemargaan, jaringan kawin-mawin,
kampung/kewilayahan, keetnisan, profesi, dan politik).
6) Bahasa dan komunikasi
Setiap masyarakat pendukung suatu Icebudayaan memiliki simbol-simbol
bunyi dan intonasi serta isyarat yang digunakan untuk menyampaikan
sesuatu maksud kepada seseorang atau khalayak untuk dipahami dan
dilaksanakan. Ada untuk pereakapan, tulisan, maupun seni. Ada kata-kata
untuk umum, dari hati ke hati, anak-anak, teman sebaya, orang tua, dan
tamu. Ada yang esensinya world view, penjelasan alam semesta, dan
tatakrama.
7) Kesenian
Antropologi menemukan bahwa pada setiap masyarakat kebudayaan
mempunyai ungkapan seni berupa simbol pernyataan rasa senang dan
susah (suka duka). Baikuntuk umum maupun untuk sendiri. Muncul pula
dalam berbagai bentuk: ukiran, gambar, tulisan, ungkapan, teater, pentas,
dan gerak/tari.
Semua komponen ini dimiliki sebagai unsur kebudayaan bahkan
menjadi faktor pembangunan dari setiap suku bangsa mulai dari tingkat
sektoral, regional, nasional, hingga internasional. Unsur-unsur itu juga akan
melintasi batas-batas wilayah tersebut (cross cultural). Selain itu, dapat
diketahui simbol-simbol lain yang wujudnya lebih konkret dari wujud
pertama untuk dapat menjadi pembeda atau berlaku sebagai cultural traits
antara kebudayaan yang satu dengan lainnya. Wujud konkret dari simbol-
21
simbol tersebut ialah perilaku, kebiasaan, habitus (sebagaimana sosiolog
Perancis, Pierre Bourdieu, menyebutnya), atau yang kita kenal dengan istilah
adat istiadat sebagai wujud kedua dari kebudayaan. Selain adat istiadat,
elemen lainnya ialah budaya materiil. Budaya materiil (material culture) atau
artefak atau benda-benda hasil produksi suatu kebudayaan merupakan hal-hal
dalam kebudayaan yang paling konkret (empiris).
Ada empat bentuk yang dapat diidentifikasi dan dikategorikan sebagai
peninggalan budaya. Pertama, benda-benda fisik atau material culture.
Wujud pertama ini mencakup seluruh benda-benda basil kreasi manusia,
mulai dari bendabenda dengan ukuran yang relatif kecil hingga benda-benda
yang sangat besar (dari emblem kerajaan Sultan Nata Sintang, kain songket,
keris, sampai Candi Borobudur, misalnya). Kemudian, wujud kedua ialah
pola-pola perilaku yang merupakan representasi dari adat istiadat sebuah
kebudayaan tertentu. Bentuk kedua ini meliputi hal-hal keseharian, seperti
pola makan, kerja, belajar, berdoa, hingga pola-pola yang bersangkutan
dengan aktivitas sebuah komunitas, seperti pola upacara adat ataupun ritual
Ngaben di masyarakat Bali.
Di dalam pola-pola keseharian itu, terkandung nilai-nilai atau tata
aturan dari adat istiadat yang berlaku. Tata aturan yang berlaku tersebut
merupakan ejawantah dari pandangan hidup atau sistem nilai dalam
masyarakat tertentu, di mana pandangan hidup ini merupakan wujud ketiga
dari kebudayaan. Wujud ketiga ini bersifat lebih abstrak dibanding kedua
wujud sebelumnya. Sistem nilai atau pandangan hidup ini bisa berupa
falsafah hidup atau kearifan lokal dari suatu masyarakat dalam memandang
atau memaknai lingkungan sekitarnya. Hal ini tiada lain adalah representasi
dari pola pikir atau pengetahuan atau logika masyarakat pengampu
kebudayaan tertentu.
Selain itu, dalam konteks tinggalan budaya di sini, terdapat satu lagi
bentuk peninggalan yang merupakan wujud keempat, yakni lingkungan.
Barangkali, muncul pertanyaandalam benak kita mengapa lingkungan dapat
dikategorikan sebagai warisan budaya? Lantas, lingkungan seperti apa yang
22
termasuk peninggalan budaya? Sebelum masuk pada pemaparan atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya bila mengetahui terlebih dulu
pengertian lingkungan di dalam tulisan ini. Ahimsa-Putra (2004: 38),
menjelaskan bahwa lingkungan atau environment secara garis besar dapat
dibedakan berdasarkan (1) sifat atau keadaannya dan (2) asal usulnya.
Lingkungan atas dasar kategori sifat ini masih dapat dipilah lagi menjadi:
1. Lingkungan fisik, berupa benda-benda yang ada di sekitar kita, makhluk
hidup, dan segala unsur-unsur alam.
2. Lingkungan sosial, meliputi perilaku-perilaku manusia atau pelbagai
aktivitas sosial yang berupa interaksi antar-individu serta berbagai
aktivitas individu.
3. Lingkungan budaya, mencakup pandangan-pandangan, pengetahuan,
norma-norma, serta aturan-aturan yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Adapun, lingkungan yang dilihat dari asal usulnya berupa: (1)
lingkungan alami (natural environment), di mana lingkungan jenis ini
memiliki pengertian keseluruhan unsur di luar diri manusia yang bukan
ciptaan manusia, dan (2) lingkungan buatan (built environment) yakni
lingkungan yang merupakan hasil kreasi manusia.
Lingkungan dapat menjadi bagian dari tinggalan budaya (artifacts),
oleh karena itu, lingkungan memainkan peran sebagai bagian yang tak
terpisahkan bagi terciptanya kebudayaan itu sendiri. Sebagai ilustrasi, dapat
dibandingkan masyarakat pesisir atau nelayan di sepanjang Pantai Utara Jawa
di Cirebon, masyarakat nelayan di Kepulauan Karimunjawa, atau masyarakat
Suku Laut di Thailand Selatan dengan masyarakatnya yang agraris, seperti
masyarakat petani salak di Yogyakarta atau masyarakat petani kopi di
kawasan pegunungan Minahasa. Letak perbedaan pertama yang tampak
dengan jelas ialah kawasan atau lingkungan di mana mereka menjalani siklus
kehidupannya (lahir, bekerja, berinteraksi, kawin, dan sebagainya), yakni
pegunungan atau dataran tinggi dan pesisir atau pantai. Perbedaan kedua ialah
pola pikir masyarakatnya atau cara pandang mereka terhadap hidupnya. Pola
pikir masyarakat pesisir dengan masyarakat pegunungan sudah tentu
23
berlainan. Perbedaan ini terletak pada tataran perangkat pengetahuan (sistem
simbol) masyarakat yang pada gilirannya memengaruhi cara mereka
memaknai persoalan-persoalan atau hal-hal yang berkaitan dengan
lingkungannya, dengan hidupnya. lnilah yang dinamakan kearifan lokal,
sebuah pengetahuan yang khas pada masyarakat tertentu, yang muncul lewat
penghayatan manusia atas lingkungannya. Penghayatan terhadap lingkungan
inilah yang kemudian menghasilkan kearifan lokal atau kebudayaan yang
khas pula, yakni sistem nilai, adat istiadat, dan artefak-artefak budaya
(Ahimsa-Putra, 2008: 11-12). Dengan demikian, lingkungan sebagai salah
satu entitas penting dalam pembentukan sebuah kebudayaan dapat
dikategorikan sebagai warisan atau tinggalan budaya, sehingga ia harus
dilindungi dan dilestarikan.
D. ETIKA DAN ESTETIKA BERBUDAYA
Perjalanan kebudayaan manusia dalam sejarahnya erat kaitannya
dengan pendidikan. Sebab semua materi yang terkandung dalam kebudayaan
yang diperoleh manusia selain dilalui secara sadar juga dilalui dengan proses
belajar. Melalui proses belajar itulah transfer nilai-nilai kebudayaan terhadap
generasi ke generasi berikutnya dilakukan. Sehingga nilai-nilai kebudayaan
senantiasa berkelanjutan dari waktu ke waktu, dari kebudayaan masa lalu
menuju kebudayaan masa kini. Adakebudayaan masa lalu yang tetap
dipertahankan dalam kebudayaan masa kini, ada juga yang ditinggalkan atau
tidak digunakan. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan
kebudayaan pada masa lalu yang pernah ditinggalkan akan kembali
digunakan oleh generasi mendatang. Artinya, sebagaimana disampaikan oleh
Alferd Korybski, bahwa kebudayaan mempunyai kemampuan mengikat
waktu. Jika tanaman hanya mampu mengikat bahan-bahan kimiawi yang
penting bagi pertumbuhan tanaman itu, binatang mengikat ruang, maka
manusia mengikat waktu (Jujun, 2003: 263). Dengan itu seseorang dikatakan
berbudaya pada hakikatnya ketika ia telah menjaga nilai-nilai luhur dan
24
tatanan kemasyarakatan yang telah berlaku sebelumnya, dan dengan tetap
terbuka terhadap kemungkinan masuknya kebudayaan baru.
Kebudayaan Indonesia adalah salah satu dari sekian ba-
nyakkebudayaan yang ada di dunia. Keberadaannya-sama dengan
kebudayaan laintelah berlangsung dalam waktu yang lama. Mendiskusikan
kebudayaan Indonesia, maka kita akan berbicara tentang sejarah panjang
pertemuan antar kebudayaan daerah Indonesia dengan kebudayaan dari luar
Indonesia.
Pertemuan antar kebudayaan-kebudayaan di Indonesia, sudah dimulai
sejak masuknya agama Hindu dan Buddha. Kebudayaan daerah Indonesia
yang masih sederhana kemudian bertemu dengan agama Hindu dan Buddha
yang menjadi sedemikian meluas dan dianut oleh banyakmasyarakat di
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya kerajaan yang pernah ada
di wilayah Barat dan Tengah.
Indonesia yang menganut agama tersebut seperti Kutai,
Tarumanegara, Sriwijaya, Padjajaran, dan Majapahit. Pada masa Kerajaan
Majapahit, kebudayaan Indonesia mencapai kebersamaannya dengan
menyatukan kerajaan yang ada di Nusantara oleh Patih Gajah Mada, yang
terkenal dengan Sumpah Palapa. Kesatuan ini jelas menjadikan kebudayaan
di Indonesia semakin dinamis. Terlihat mulai munculnya berbagai persoalan
kebudayaan, salah satunya seperti hubungan kerajaan di daerah dengan
Majapahit. Keadaan ini semakin terlihat, ketika agama Islam mulai banyak
dianut oleh masyarakat di Indonesia, bahkan hingga tingkat kerajaan.
Perubahan keyakinan ini membuat banyak perubahan di bidang lain,
kesetaraan antara sesama manusia, semakin berkembangnya sastra, berdirinya
kerajaan-kerajaan baru, dan lain-lain.
Perjalanan kebudayaan Indonesia dipengaruhi oleh masuknya
Portugis, awal masa penjajahan melanda wilayah Nusantara. Dengan
ditutupnya Terusan Suez membuat banyak negara di belahan dunia Barat
mengalihkan perhatiannya ke wilayah-wilayah tropis untuk mencari rempah-
rempah. Tokoh-tokoh, seperti Vasco da Gama, Marcopolo, dan Bartholomeus
25
Diaz, mencari sebuah wilayah perdagangan baru. Salah satu wilayah yang
mereka temukan adalah tanah Nusantara, yang akhirnya menjadikan
Nusantara sebagai wilayah jajahan dalam periode masa yang panjang.
Meskipun dalam kesabaran yang panjang pula akhirnya Nusantara menapaki
jalan menuju persatuan, menjadi Negara RepublikIndonesia. Masa tersebut,
dipenuhi dengan berbagai peperangan di berbagai daerah Nusantara, mulai
dari negeri Aceh hingga Maluku. Peperangan yang digerakan oleh
semangatmempertahankan diri. Strategi perang dengan taktik memecah belah
atau devide et impera membuat perlawanan yang diberikan oleh para pejuang
di daerah menjadi tidak berarti. Meskipun demikian, perlawanan di seluruh
wilayah Nusantara masih terus diberikan terhadap kedatangan para pendatang
asing yang bermaksud menjajah, mulai dari "kecil-kecilan" hingga akhirnya
memuncak pada perlawanan secara serentak terhadap penjajahan di bumi
Nusantara. Peristiwa paling dikenang adalah ketika Indonesia akhirnya
memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Jika dikaji selama dalam masa penjajahan tersebut, bukan hanya kisah
perlawanan fisik semata, tetapi juga tentang perlawanan kebudayaan. Oleh
karena itu, terjadi perubahan yang besar dalam banyak bidang kehidupan kita.
Dalam hal ini, misalnya dapat disoroti perubahan bentuk pemerintahan.
Perubahan bentuk pemerintahan, dari kerajaan kepada negara, menjadi
sebuah perubahan yang menuntut adanya kesatuan wilayah dan kebudayaan
di Indonesia. Pada masa ini pula, polemik tentang dasar negara, bahasa,
Undang-Undang Dasar, dan persoalan kebudayaan nasional mulai terlihat.
Saat itu, telah banyak usaha yang dilakukan untuk merumuskan apa itu
kebudayaan Indonesia. Kekayaan kebudayaan yang sedemikian hebat dari
wilayah Indonesia, membuat para perumus tidak ingin menghilangkan
kebudayaan yang sudah lama hidup di negeri ini. Kekayaan kebudayaan yang
telah terkenal kebesarannya ke seluruh mancanegara, dari Tiongkok hingga
Eropa. Namun hingga saat ini, usaha perumusan tersebut belum membuahkan
hasil yang final dan memuaskan. Bahkan kita tampaknya perlu jujur bahwa
26
masyarakatIndonesia telah banyak yang teralihkan perhatiannya kepada
kebudayaan yang dibawa oleh bangsa Eropa dan Amerika.
Untuk itu, penting bagi kita semua melakukan upaya pengembangan
kebudayaan Indonesia secara terus-menerus. Rumusan nilai-nilai luhur yang
tertuang dalam UUD Dasar 1945 dan Pancasila perlu untuk terus
disempurnakan secara berkelanjutan agar kebudayaan nasional sebagai
identitas kebangsaan teraktualisasi secara nyata dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara kita. Prinsip-prinsip pengembangan kebudayaan Indonesia
sebagaimana telah dilakukan oleh generasi sebelumnya penting
mempertimbangkan hal-hal berikut:
a. Jujur.
b. Tanggung jawab.
c. Menepati janji. Toleransi.
d. Berpedoman pada kebudayaan Indonesia.
e. Tanamkan minat sejak dini pada kebudayaan daerah Indonesia.
f. Mempelajari dan mengenali kebudayaan daerah Indonesia (tarian,
kerajinan tangan, seni bertutur, alat musik daerah, membangun rumah
kebudayaan daerah, dan lain-lain).
Sudah saatnya kebudayaan Indonesia memiliki kesejajaran dengan
budaya barat. Oleh karena itu, mulai disadari bahwa kebudayaan daerah di
Indonesia memiliki keunggulan mulai dari pandangan tentang alam hingga
pranata sosial. Dan masyarakat Barat juga mulai menyadari kekurangan
kebudayaan mereka sendiri, yang terlihat lewat gairah dan ketertarikan
kepada kebudayaan Timur sebagai penawar kegelisahan mereka.
Mengenali dan mengembangkan kebudayaan Indonesiaadalah tugas
yang diemban oleh setiap warga negara Indonesia. Jangan tinggalkan
kebudayaan Indonesiakarenakekayaan menunggu untuk dikenali,
dikembangkan, hingga akhirnya dapat hidup mencapai kebesarannya, yang
dahulu pernah dimiliki.
Konteks keindonesiaan, kebudayaan manusia Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir telah didesak oleh serbuan kebudayaan asing melalui
27
deras arus globalisasi (tata cara hidup sosial lintas-antarbenua). Sementara
kebudayaan milik daerah atau nasional sendiri sering kali sulit beradaptasi
dengan budaya asing. Di era tahun 2000-an, misalnya terlihat begitu
mencolok perilaku atau tata cara hidup generasi muda yang dekat dengan
budaya asing. Bandingkan antara kegiatan para remaja yang keluar masuk
pub, diskotek dan tempat hiburan malam lainnya terutama di kota-kota besar
dan metropolitan dengan kegiatan gotong royong, silaturahmi (kunjung
mengunjungi) sanak famili, membatik, belajar pantun, dan lainnya yang
menjadi wujud kebudayaan leluhur masa lalu. Proses akulturasi budaya asing
dengan budaya lokal masih kental dengan pengejawantahan nilai-nilai asing
itu sendiri dibanding menjadi sebuah kebudayaan milik sendiri. Artinya,
kebudayaan yang ditampilkan kebanyakan generasi muda saat ini bukan
melalui proses belajar dan secara sadar mewakili kebutuhan mendasar
mereka, tetapi lebih mengikuti tren kebudayaan baru dari luar (budaya
global).
Contoh-contoh akibat globalisasi sebelumnya menunjukkan bahwa,
dalam realitasnya, globalisasi mampu menjadi penentu arah perkembangan
kebudayaan dan peradaban manusia di dunia. Dalam lingkup sosiokultural
yang lebih sempit, salah satu implikasi globalisasi ialah pada munculnya
pola-pola baru dari suatu kebudayaan dalam beragambentuk dan
tatanannya.Kebudayaan dengan corak baru ini kerap kita sebut sebagai
kebudayaan pasca-industri, pascamodern, ataupun postmodern. Keadaan
masyarakat di era milenium kelima tersebut memiliki konsekuensi logis pada
situasi yang akan menggiring kita, sebagai "warga dunia", untuk berpikir,
berkeputusan, hingga bertindak dalam ritme yang relatif cepat. Dari
kenyataan itu, tidak bisa dimungkiri bahwa realitas sosial semacam ini
sesungguhnya lahir karena transformasi yang signifikan pada core
kebudayaan itu sendiri, yakni pola atau cara berpikir dan cara memandang
dunia. (Al Mudra, 2007a dan 2008a)
Dalam konteks sosial-budaya masyarakatIndonesia, implikasi lain dari
lahirnya bentuk-bentuk baru dari peradaban dan kebudayaan postmodern di
28
atas ialah mulai ditinggalkannya produk-produk kebudayaan lokal (seni,
bahasa, pola-pola perilaku, maupun benda budaya lainnya) oleh
masyarakatnya. Produk-produk budaya lokal mulai ditinggalkan lantaran
dianggap ketinggalan zaman, tidakup-to-date, kuno, dan semacamnya. Oleh
karenanya, generasi terkini dengan basis kulturalnya masing-masing
kemudian, meski tidak semua, akhirnya lebih memilih untuk mengadopsi
budaya baru atau budaya kekinian (hybrid culture) yang telah berasimilasi
dengan budaya Barat. Persoalannya bukan terletak pada boleh tidaknya
diterima dan dipraktikkannya budaya hybrid tersebut, melainkan terletak pada
sikap penafian budaya lama (peninggalan nilai luhur nenek moyang) oleh
generasi masa kini. Ketika warisan budaya tiada lagi diindahkan, maka yang
akan terjadi ialah sebuah krisis idcntitas (jati diri).
Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita berupaya menjaga, merawat,
mengemas, dan memublikasikan kekayaan warisan budaya kita kepada dunia
untuk mengukuhkan identitas kita sebagai bangsa yang bermartabat. Sebab,
hanya dengan memahami dan menjaga kekayaan warisan budaya dan sejarah,
bangsa ini akan dihargai dan dipandang secara terhormat oleh bangsa lain.
Benefit lain yang bisa dipetik ialah bahwa bangsa ini juga dapat berangsur
melepaskan diri dari hegemoni budaya asing (A1 Mudra, 2007b). Penting
untuk digarisbawahi di sini, masyarakat yang dinamis tidak selalu menolak
pengaruh budaya luar. Produk budaya asing yang mendorong kepada
perbaikan hidup dankemajuan, tidak perlu serta-merta ditolak, meski tetap
menjaga maratabat dan jati diri bangsa. Hal ini berpegang pada prinsip "al
muhafadhatu ‘ala al qadimi as sholih wal akhdzu bi al jadidi al ashlah",
yang maknanya adalah menjaga warisan (budaya) lama yang baik, dan
mengadopsi sesuatu (budaya) yang baru yang lebih baik. (Ibid, 2007b)
“Hanya manusia yang memiliki kebudayaan,” begitu kira-kira teori
Erns Cassirer, seorang ahli lingustik asal Swiss, dalam bukunya An Essay on
Man (1945 via Ahimsa-Putra, 2002; 2004; 2005). Disebutkan olehnya bahwa
kebudayaan atau budaya merupakan eiri penting (khas) dari manusia, yang
membedakan manusia dengan binatang. Mengulang bahasan sebelumnya,
29
mengapa hanya manusia yang memiliki kebudayaan, sedangkan binatang atau
makhluk lainnya tidak? Pendapat ini berangkat dari pemahaman bahwa
manusia merupakan animal symbolicum atau binatang yang mengkreasi
simbol. Sebab itu, hanya manusia yang dapat melakukan simbolisasi terhadap
sesuatu. Manusia merupakan makhluk yang mampu menggunakan,
mengembangkan, dan menciptakan lambang-lambang atau simbol-simbol
untuk berkomunikasi dengan sesamanya (Ahimsa-Putra, 2004:29). Sementara
itu, apa yang dimaksud dengan simbol? Definisi konsep simbol atau lambang
ialah segala sesuatu yang dimaknai di mana malrna dari suatu simbol itu
mengacu pada sesuatu (konsep) yang lain. Wujud lambang-lambang ini bisa
berupa teks (tulisan), suara, bunyi, gerak, gambar, dan lain sebagainya. (Ibid.)
Oleh karena hanya manusia yang dapat melakukan pemaknaan
terhadap sesuatu dan sesuatu yang dimaknai ini merupakan sebuah lambang
basil kreasi manusia sendiri, dan proses simbolisasi ini melahirkan
kebudayaan, maka kebudayaan dalam hal ini dapat didefinisikan sebagai:
seperangkat atau keseluruhan simbol yang digunakan atau dimiliki manusia
dalam hidupnya untuk bisa melakukan reproduksi dan menghadapi
lingkungannya, yang diperoleh lewat proses belajar dalam kehidupannya
sebagai anggota suatu masyarakat atau komunitas (Ibid). Di sini perlu dicatat
bahwa setiap manusia beserta komunitasnya memiliki perangkat simbol
(baca: kebudayaan) dan proses simbolisasinya (proses berkembangnya
kebudayaan) masing-masing, sehingga pemaknaan atau penafsiran yang lahir
juga beragam (lihat juga Geertz, 1973: 89). Hal inilah yang kemudian
melahirkan diversivitas budaya dalam kehidupan manusia.
Catatan berbudaya seperti apakah yang perlu ditanamkan ke setiap
generasi bangsa terhadap kebudayaan Nusantara kita. Adalah di antaranya
dengan menjaga sikap jujur dan bertanggung jawab terhadap setiap
perubahan nilai, aktivitas bersosial dan bermasyarakat, serta produk
kebudayaan yang dihasilkannya. Tanpa harus tertutup terhadap kebudayaan
luar, pelestarian kebudayaan sendiri merupakan prioritas utama untuk
menegaskan identitas kebangsaan dan kenegaraan kita.
30
E. PROBLEMATIKA KEBl1DAYAAN INDONESIA
Menelusuri pergulatan kebudayaan di Indonesia, akan ditemukan
sebuah fenomena yang lazim dihidupi yaitu, kerendahdirian
masyarakatIndonesia terhadap kebudayaannya sendiri. Kerendahdirian ini
muncul dari hubungan antara kebudayaan Barat dengan kebudayaan daerah di
Indonesia, Barat yang sering diposisikan sebagai pihak superior dan
kebudayaan daerah di Indonesia sebagai pihak inferior. Rendah diri ini
disebabkan oleh penjajahan, kerusakan perilaku masyarakatIndonesia, dan
pencitraan yang kuat dari media tentang keunggulan kebudayaan Barat.
Namun dari beberapa sebab tersebut, yang terus terjadi hingga saat ini dan
yang paling mendasar adalah peneitraan. Dikatakan mendasar karena pada
saat penjajahan pun sudah terjadi proses pencitraan tersebut.
Ungkapan khusus seperti, ilmiah, keren, funky, dan gaul adalah
ungkapan yang secara tidak langsung menujukkan kondisi rendah diri.
Ungkapan-ungkapan tersebut sering kali dilekatkan kepada kebudayaan
Barat, sedangkan kebudayaan daerah di Indonesia, sepertinya jauh dari
ungkapan-ungkapan tersebut. Hal ini memang tidak sepenuhnya bermasalah,
karena Barat memang memiliki keunggulan dalam bidang-bidang tertentu,
seperti di bidang sains (ilmu pengetahuan). Namun penilaian kebudayaan
Barat lebih superior dan kemudian fenomena masyarakat Indonesia
meninggalkan kebudayaannya sendiri yang sudah lama dihidupi, tentu
menjadi suatu masalah. Kebudayaan daerah di Indonesia ditinggalkan hanya
karena dieitrakan tidak ilmiah, keren, dan sebagainya. Padahal, mulai disadari
bahwa kebudayaan daerah di Indonesia memiliki keunggulan mulai dari
pandangan tentang alam hingga pranata sosial. Dan juga masyarakat Barat
mulai menyadari kekurangan kebudayaan mereka sendiri yang terlihat lewat
gairah dan ketertarikan kebudayaan Timur sebagai penawar kegelisahan
mereka.
Menurut banyak ahli permasalahan kemunduran budaya nasional
muncul karena persoalan pencitraan, dan karena itu harus juga diselesaikan
31
dengan cara pencitraan. Sudah saatnya kita melihat bahwa kebudayaan
Indonesia memiliki kesejajaran dengan kebudayaan Barat, setelah
kebudayaan Indonesia kurang dikenakan dan kurang dikenali oleh sebagian
masyarakat Indonesia yang hidup mulai masa 70-an. Tentu, usaha untuk
mengenali kebudayaan Indonesia adalah tugas yang diemban oleh setiap
warga negara Indonesia. Pengenalan ini merupakan salah satu modal untuk
memiliki dan mengembangkan kebudayaan Indonesia. Minimnya pengenalan
ini, merupakan salah satu faktor yang membuat rendahnya rasa kepemilikan
dan keinginan untuk mengembangkan kebudayaannya sendiri.
Problem kebudayaan dewasa ini antara lain adalah terjadinya
penafsiran budaya yang cenderung keliru. Hal tersebut akibat miskomunikasi
budaya antargenerasi yang terusmenerus terjadi. Padahal, sebagai sistem
gagasan yang terdiri dari nilai-nilai, norma dan aturan, kebudayaan harus
dilihat dalam tiga aspek sekaligus, masing-masing proses pembelajaran,
konteks, dan pelaku pendukung kebudayaan. Ketiga aspek ini dapat
menentukan seberapa besar dan kuat peran kebudayaan dalam membangun
kehidupan lebih baik. Revitalisasi kebudayaan merupakan proses logis dari
bagaimana kebudayaan berperan dalam pembangunan dengan tanpa
meninggalkannya atau bahkan melupakannya.
Kebudayaan selamanya merupakan langkah strategis pembangunan
bangsa. Alasannya, belum ada suatu usaha yang teruji untuk mengakomodasi
budaya lokal di tingkat nasional, sehingga ternyata perjalanan bangsa sampai
kini masih menuju pada kondisi yang memprihatinkan secara budaya.
Contohnya, konflik yang menggunakan atau memanipulasi simbol-simbol
budaya. Padahal tujuan akhir dari pengembangan kebudayaan pada
hakikatnya adalah peradaban. Sebagai bangsa yang beradab (civilized
society), Indonesia sangat perlu menempatkan kebudayaan sebagai konsepsi
dan sekaligus strategi. Kelembagaan formal dan informal dalam masyarakat
bertanggung jawab kepada keutuhan masyarakat. Pendukung kebudayaan
menjadi titik sentral bagaimana proses pengembangan kebudayaan
berlangsung secara kelembagaan (instituted process).
33
BAB 3
MANUSIA SEBAGAI INDIVIDUDAN MAKHLUK SOSIAL
A. HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU DAN MAKHLUK
SOSIAL
Di dalam diri manusia terdapat dua kepentingan, yaitu kepentingan
individu dan bersama. Kepentingan individu didasarkan manusia sebagai
makhluk individu, karena pribadi manusia yang ingin memenuhi kebutuhan
pribadi. Kepentingan bersama didasarkan manusia sebagai makhluk sosial
(kelompok) yang ingin memenuhi kebutuhan bersama.
Dalam perjalanannya, kepentingan-kepentingan tersebut kadang saling
berhadapan dan kadang pula saling berkait. Terkadang muncul suatu
penolakan dan penerimaan yang pada akhirnya bermuara pada etika, yaitu
suatu ajaran tentiang norma dan tingkah laku yang berlaku dalam suatu
kehidupan manusia. Artinya, titik kompromi antara kepentingan individu dan
bersama ditimbang menurut kadar etis-tidaknya kedua kepentingan tersebut.
Menurut Jurgen Habermas (2001), masyarakat memiliki tiga jenis
kepentingan yang memiliki pendekatan rasio berbeda. Pertama, kepentingan
teknis (objective welt). Hal ini sangat kuat berhubungan dengan penyediaan
sumber daya natural dan juga kerja (instrumentalis). Kedua, kepentingan
interaksi (social welt). Ini merupakan kepentingan praktis yang sesuai dengan
hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Ketiga, Kepentingan kekuasaan. Di
satu sisi, hal ini berhubungan erat dengan distribusi kekuasaan dalam
masyarakat. Di sisi lain, adanya sebuah kebutuhan dasariah manusia untuk
membebaskan diri dari segala bentuk dominasi atau kebebasan (Freiheit).
Freiheit, yang menurut Sartre sebagai sprat utama yang mendorong eksistensi
manusia menuju peradaban yang maju.
Dalam perbedaan kepentingan ini masyarakat mengalami sebuah
pertarungan yang sangat tajam dalam kehidupan sosial dan politik. Apalagi
kalau kepentingan kekuasaan dan kepentingan teknis mengabaikan
kepentingan sosial. Kalau kepentingan kekuasaan mengarah pada tendensi
34
untuk menciptakan distorsi terhadap komunikasi, maka yang terjadi hanya ada
penindasan dan redulai. Menurut Haber mas, untuk bisa mendamaikan konflik
kepentingan ini, kita membutuhkan adanya sebuah ruang publik (public
spare). Ini merupakan media untuk menjembatani setiap kepentingan karena
setiap komponen dalam masyarakat memiliki akses yang sama untuk
berbicara, berdiskusi, dan mencari alternatif yang tepat tentang segala
persoalan dalam kehidupan bermasyarakat.
Manusia sebagai makhluk individu diartikan sebagai person atau
perseorangan atau sebagai diri pribadi. Manusia sebagai diri pribadi
merupakan makhluk yang diciptakan secara sempurna oleh Tuhan Yang Maha
Esa. Disebutkan dalam Kitab Suci Al-Qur'an bahwa “Sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Dalam ajaran agama-agama dunia juga diterangkan sangat jelas kedudukan
manusia sebagai makhluk yang mulia, karena itu tidak dibenarkan manusia
melakukan perbuatan tercela, seperti berjudi, korupsi, berzina, membunuh,
mabuk, dan seterusnya. Sebaliknya, pribadi manusia dituntut mampu
berinteralai, berkomunikasi, bekerja sama, dan saling berlomba-lomba
melakukan perubahan menuju yang lebih baik dengan individu lainnya.
Manusia sebagai makhluk sosial, artinya manusia sebagai warga
masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak mungkin dapat hidup
sendiri atau mencukupi kebutuhan sendiri. Meskipun dia mempunyai
kedudukan dan kekayaan, dia selalu membutuhkan bantuan manusia lain.
Setiap manusia cenderung untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan
bersosialisasi dengan manusia lainnya. Bahkan sejak lahir pun, manusia sudah
disebut sebagai makhluk sosial.
Telah berabad-abad konsep manusia sebagai makhluk sosial itu ada,
yang menitikberatkan pada pengaruh masyarakat yang berkuasa kepada
individu. Yakni memiliki unsur-unsur keharusan biologis, yang terdiri dari:
1. Dorongan untuk makan.
2. Dorongan untuk mempertahankan diri.
3. Dorongan untuk melangsungkan hubungan beda jenis.
35
Dengan keharusan biologis tersebut menggambarkan betapa individu
dalam perkembangannya sebagai seorang makhluk sosial meniscayakan
adanya dorongan untuk saling ketergantungan dan membutuhkan antara satu
dengan lainnya. Karena itu, komunikasi antar masyarakat menentukan peran
manusia sebagai makhluk sosial. Kedudukan manusia sebagai makhluk sosial,
dengan demikian tidak dapat dilepaskan dari cara dan bentuk adaptasi mereka
terhadap lingkungannya.
Dalam perkembangannya, manusia mempunyai kecenderungan sosial
untuk selalu meniru guna membentuk diri dalam kehidupan masyaratmya. Di
antara kebutuhan untuk meniru adalah dalam hal:
1. Penerimaan bentuk-bentuk kebudayaan, yaitu menerima bentuk-bentuk
pembaruan yang berasal dari luar sehingga dalam diri manusia terbentuk
sebuah pengetahuan,
2. Penghematan tenaga, yaitu tindakan meniru untuk tidak terlalu
menggunakan banyak tenaga dari manusia sehingga kinerja manusia
dalam masyarakat bisa berjalan secara efektif dan efisien.
Pada umumnya, hasrat meniru itu kita dapat lihat paling jelas di dalam
ikatan kelompok, yang secara lebih luas juga terjadi di dalam kehidupan
masyarakat. Proses meniru dapat dicontohkan misalnya anak terhadap orang
tuanya, pribumi terhadap pendatang atau sebaliknya, dan masyarakat
tradisional terhadap pendatang modern. Dari gambaran tersebut jelas
bagaimana manusia itu membutuhkan sebuah interaksi atau komunikasi untuk
membentuk dirinya sebagai pribadi (individu) dan sekaligus sebagui makhluk
sosial.
Banyak faktor yang mendorong manusia secara individual
membutuhkan dirinya sebagai makhluk sosial sehingga terbentuk interaksi
sosial antara manusia satu dengan manusia yang lainnya. Secara garis besar,
faktor-faktor personal yang memengaruhi interaksi manusia terdiri dari tiga
hal, yakni:
1. Tekanan emosional. Kondisi psikologis seseorang sangat memengaruhi
bagaimana manusia berinteralai satu sama lain, apakah sedang bahagia,
36
senang, atau sebaliknya sedih, berduka dan seterusnya.
2. Harga diri yang rendah. Ketika kondisi seseorang berada dalam kondisi
yang direndahkan, maka ia akan memilikihasrat yang tinggi untuk
berhubungan dengan orang lain. Karena ketika seseorang merasa
direndahkan dengan secara spontan la membutuhkan kasih sayang dari
pihak lain atau dukungan moral untuk membentuk kondisi psikologis
kembali seperti semula.
3. Isolasi sosial. Orang yang merasa atau dengan sengaja terisolasi oleh
komunitasnya atau pihak-pihak tertentu, maka ia akan berupaya
melakukan interaksi dengan orang yang sepaham atau sepemikiran agar
terbentuk sebuah interaksi yang harmonis.
B. FUNGSI DAN PERAN MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU DAN
MAKHLUK SOSIAL
Pada hakikatnva, manusia senantiasa berperan ganda. Yaitu sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam berinteraksi dengan sekitar, ada
hubungan secara vertikal (hubungan dengan Tuhan) dan secara horizontal
(hubungan dengan sesama manusia, alam sekitar, dan makhluk lainnya).
Manusia sebagai makhluk sosial, artinya manusia tidak bisa hidup sendirian.
Manusia sejak lahir sampai masuk liang kubur selalu membutuhkan kehadiran
orang lain selain dirinya. Jika manusia tidak berhubungan atau berinteraksi
dengan sesama manusia lainnya, maka orang tersebut belum bisa dikatakan
manusia. Karena itu, dalam hubungan sesama manusia terdapat model dan
kualitasnya yang berbeda.
Ada tiga teori yang dapat membantu menerangkan model dan kualitas
hubungan antarmanusia (Achmad Mubarok, : 2009)
1. Teori Transaksional (Model Pertukaran Sosial) Menurut teori ini,
hubungan antarmanusia (interpersonal) berlangsung mengikuti kaidah
transaksional, yaitu apakah masing-masing merasa memperoleh keuntung-
an dalain transaksinya atau malah merugi. Jika merasa memperoleh
keuntungan, maka hubungan itu pasti mulus, tetapi jika merasa rugi, maka
37
hubungan itu akan terganggu, putus, atau bahkan berubah menjadi
permusuhan.
2. Teori Peran
Menurut teori ini, sebenarnya dalam pergaulan sosial itu sudah ada
skenario yang disusun oleh masyarakat, yang mengatur apa dan bagaimana
peran setiap orang dalam pergaulannya. Dalam skenario itu sudah
"tertulis" seorang presiden harus bagaimana, seorang gubernur harus
bagaimana, seorang guru harus bagaimana, dan murid harus bagaimana.
Demikian juga sudah tertulis perau apa yang harus dilakukan oleh suami,
istri, ayah, ibu, anak, mantu, mertua, dan seterusnya. Menurut teori ini,
jika seseorang mematuhi skenario, maka hidupnya akan harmoni, tetapi
jika menyalahi skenario, maka ia akan dicemooh oleh penonton dan
ditegur sutradara.
3. Teori Permainan
Menurut teori ini, klasifikasi manusia itu hanya terbagi tiga, yaitu anak-
anak, orang dewasa, dan orang tua. Anak-anak itu manja, tidak mengerti
tanggung jawab, dan jika permintaannya tidak segera dipenuhi ia akan
menangis terguling-guling atau ngambek. Adapun orang dewasa, ia lugas
dan sadar akan tanggung jawab, sadar akibat dan sadar risiko. Adapun
orang tua, ia selalu memaklumi kesalahan orang lain dan menyayangi
mereka. Tidak ada orang yang merasa aneh melihat anak kecil menangis
terguling-guling ketika minta es krim, tetapi orang akan heran jika ada
orang tua yang masih kekanak-kanakan.
Manusia memang tidak akan bisa lepas dari berhubungan dengan
orang lain. Dalam hubungan itu kita harus bisa memahami peranan dan
kedudukan masing-masing. Jangan sampai terjadi kesalahan. Karena hal itu
bisa membual tidak harmonisnya hubungan kita dengan sesama manusia.
Untuk menjaga hubungan yang harmonis sebagai individu dan
makhluk sosial, umumnya setiap suku bangsa memiliki nilai-nilai dan tradisi
yang dapat dikembangkan menjadi model kedamaian yang kondusif bagi
keeratan antar suku bangsa, agama, ras, dan perbedaan-perbedaan lainnya.
38
Sebagaimana disebutkan Mubarok di atas, masing-masing individu tampaknya
biasa melakukan kontak hubungan transaksional, jika merasa beruntung
hubungan akan berjalan mulus, demikian jika merasa dirugikan akan
mengarah perpecahan.
Dalam praktiknya, hubungan transaksional ini bermacam-macam
sifatnya. Adakalanya bersifat barter atau pertukaran langsung seperti jual beli
di pasar atau mal-mal. Masing-masing individu mendapat manfaat dari proses
interaksi secara langsung dan seketika. Dapat pula transaksional bersifat
kekeluargaan atau kekerabatan seperti dilakukan umumnya etnis Jawa dengan
sebutan "sambatan". Salah satu anggota keluarga yang sedang tertimpa
musibah, kematian, melaksanakan perkawinan, khitanan, tertimpa kecelakaan
atau terlilit utang, maka anggota keluarga yang lain akan turut membantu
meringankan beban persoalan yang sedang menimpa salah satu anggota
keluarga tersebut. Demikian ini akan dilakukan secara bergiliran dan turun-
temurun guna menjaga keutuhan keluarga, kerabat, atau famili. Tidak heran
dalam nilai-nilai hidup orang Jawa yang masih tetap kuat dipertahankan
adalah “mangan ra mangan yang penting kumpul”, yakni secara sederhana
dapat diterjemahkan "dapat makan atau tidak, yang paling penting adalah
keutuhan keluarga".
Jenis hubungan transaksional lainnya adalah hubungan pertukaran
bersifat pertemanan atau kesetiakawanan. Pada masyarakat perkotaan, jenis
pertukaraan ini sering muncul pada perkantoran-perkantoran, lembaga-
lembaga profit atau nonprofit, atau komunitas-komunitas tertentu seperti
komunitas biker, pengguna moge (motor gede), pencinta bola, dan seterusnya.
C. DINAMIKA INTERAKSI SOSIAL: AKULTURASI, ASIMILASI, DAN
INOVASI
1. Akulturasi Budaya
Adalah proses sosial yang timbul apabila suatu kelompok manusia
dengan suatu kebudayaan tertentu sedemikian rupa dipengaruhi oleh
unsur-unsur suatu kebudayaan lain sehingga unsur-unsur lain itu diterima
39
dan disesuaikan dengan unsur-unsur kebudayaan sendiri tanpa
menyebabkan hilangnya identitas kebudayaan asli. Contoh yang muncul
adalah ketika pihak pribumi mulai menerima penggunaan gaya hidup,
seperti bahasa, mode pakaian, dan sopan santun ala barat.
Kajian akulturasi meliputi lima hal pokok, demikian yang
dikemukakan Koentjaraningrat (1997):
1. Masalah mengenai metode untuk mengobservasi, mencatat dan
melukiskan suatu proses akulturasi dalam suatu masyarakat.
2. Masalah mengenai unsur-unsur kebudayaan yang mudah diterima
dan yang sukar diterima oleh masyarakat penerima.
3. Masalah unsur kebudayaan mana saja yang mudah diganti dan
diubah dan unsur kebudayaan mana saja yang tidak mudah diganti
dan diubah oleh unsur-unsur kebudayaan asing.
4. Masalah mengenai individu-individu apa yang mudahdan cepat
menerima, dan individu-individu apa yang sukar dan lambat
menerima unsur-unsur kebudayaan asing.
5. Masalah mengenai ketegangan-ketegangan sosial yang timbul akibat
adanya akulturasi.
Dampak akulturasi terhadap masyarakat meniscayakan seorang
peneliti perlu memerhatikan beberapa hal berikul:
1. Keadaan masyarakat penerima sebelum proses akulturasi mulai
berjalan.
2. Individu-individu dari kebudayaan asing yang membawa unsur-unsur
kebudayaan asing itu.
3. Saluran-saluran yang dilalui oleh unsur-unsur kebudayaan asing untuk
masuk ke dalam kebudayaan penerima.
4. Bagian-bagian dari masyarakat penerima yang terkena pengaruh unsur-
unsur kebudayaan asing tadi.
5. Reaksi para individu yang terkena unsur-unsur kebudayaan asing.
40
2. Asimilasi Budaya
Proses asimilasi dapat terjadi jika terjadi hal-hal sebagai berikut :
1. Kelompok-kelompok manusia dengan latar belakang kebudayaan
yang berbeda-beda.
2. Kelompok manusia ini saling bergaul secara intensif dalam kurun
waktu yang lama.
3. Pertemuan budaya-budaya antar kelompok itu masing-masing
berubah watak khasnya dan unsur-unsur kebudayaannya saling
berubah sehingga memunculkan suatu watak kebudayaan yang
baru/campuran.
Faktor penghambat adanya proses asimilasi budaya:
1. Kurangnya pengetahuan terhadap unsur kebudayaan yang dihadapi
(dapat) bersumber dari pendatang ataupun penduduk asli.
2. Sifat takut terhadap kebudayaan yang dihadapi.
3. Perasaan ego dan superioritas yang ada pada individu-individu dari
suatu kebudayaan terhadap kelompok lain.
Faktor yang memudahkan/penarik terjadinya asimilasi budaya:
a. Faktor toleransi, kelakuan saling menerima dan memberi dalam
struktur himpunan masyarakat.
b. Faktor kemanfataan timbal balik, memberi manfaat kepada dua belah
pihak
c. Faktor simpati, pemahaman saling menghargai dan memperlakukan
pihak lain secara baik.
3. Inovasi (Pembaruan) Campuran, Bermanfaat Bagi Proses Asimilasi
Proses pembaruan (inovasi) dapat digolongkn dalam bentuk:
a. Discovery, atau penemuan unsur-unsur kebudayaan yang baru berupa
gagasan individu atau kelompok.
b. Invention, atau tindak lanjut inovasi berupa pengakuan, penerimaan,
dan penerapan proses koleh masyarakat.
41
Pemanfaatan hasil inovasi bergantung:
a. Persepsi masyarakat pendukung dalam kelompok, sebuah penemuan
perlu mendapat dukungan kelompok guna pengakuan sebagai
kebutuhan dasar, jika tidak pastilah sangat tidak memberikan hasil
yang maksimal.
b. Mutu serta ketahanan SDM, dalam setiap keanggotaan kelompok pasti
terdapat individu yang selalu merasa tidak puas dan merasa
kekurangan sehingga secara sadar individu ini melaksanakan aktivitas
pengkajian, penelitian terhadap situasi yang dihadapinya.
c. Sistem perangsang, penghargaan dan pengakuan, dapat berupa
pengakuan ilmiah, pemberian gelar, rangsangan materi, dan fasilitas
lain.
d. Harus memberikan kemanfaatan bagi masa depan. Proses inovasi
menimbulkan suatu perubahan (evolusi).
Goodwin Watson, telah mengumpulkan data berbagai hasil
penelitian tentang upaya pembaugunan dan pengembangan masyarakat
dari sekitar 500 studi difusi inovasi di berbagai bidang kajian keilmuan
baik secara empiris maupun non-empiris, khususnya di negara-negara
berkembang yang dilakukan oleh Eicholz dan Rogers (Zaltnian,et al.,
1972: 621). Dari situ diperoleh 12 prinsip yang dapat mengurangi
penolakan (resistance) atas gagasan baru (innovation) sebagai berikut:
a. Resistensi akan berkurang jika administrator, guru-guru anggota-
anggota pengurus, dan pimpinan-pimpinan masyarakat merasa bahwa
proyek (inovasi) itu adalah milik mereka bukan sesuatu yang
direncanakan dan dilaksanakan oleh orang lain (luar).
b. Resistensi akan berkurang jika inovasi itu secara jelas mendapat
dukungan sepenuhnya dari pimpinan tertinggi dari sistem (kehidupan
masyarakat) itu.
c. Resistensi akan berkurang jika partisipan melihat perubahan itu
sebagai upaya pengurangan beban mereka sekarang dan bukan justru
menambah beban baru.
42
d. Resistensi akan berkurang jika inovasi itu serasi dengan nilai-nilai
(values) dan gagasan-gagasan yang telah lama diketahui masyarakat.
e. Resistensi akan berkurang jika dalam inovasi itu partisipan merasa
bahwa kemandirian (autonomy) dan keamanan (security) mereka tetap
terjamin.
f. Resistensi akan berkurang jika program inovasi itu menawarkan jenis
pengalaman yang dapat menarik minat partisipan.
g. Resistensi akan berkurang jika partisipan diikutkan dalam upaya
diagnostik yang membawa mereka untuk menyetujui apa yang jadi
problem mendasar (gagasan sentral) dan untuk yang merasakan bahwa
hal itu penting dipecahkan dan dicarikan jalan keluarnya.
h. Resistensi akan berkurang jika inovasi itu diadopsi atas dasar
keputusan (konsensus) kelompok itu sendiri.
i. Resistensi akan berkurang jika penganjur (proponent) mampu untuk
memperkenalkan diri secara baik/jelas (emphertize) terhadap penerima
anjuran (opponent), memperkenalkan kesulitan-kesulitan yang berarti
atauperlu diatasi serta mengambil langkah-langkah seperlunya
terhadap hal-hal yang tidak pantas ditakuti.
j. Resistensi akan berkurang jika diberitahukan dengan bijaksana alas
penolakan terhadap inovasi karena kesalahpahaman dan salah
penafsiran, dan jika ketentuan yang dibuat untuk mandapatkan umpan
batik (feedback) persepsi masyarakat tentang inovasi serta penjelasan-
penjelasan berikutnya sesuai dengan yang mereka butuhkan.
k. Resistensi akan berkurang jika partisipan mendapatkan penerimaan,
dukungan, pembenaran, serta kepercayaan dari teman-teman mereka
satu sama lainnya.
l. Resistensi akan berkurang jika inovasi itu terbuka atas kritikan
perbaikan dan pertimbangan ulang jika dibutuhhan untuk mendapatkan
perubahan yang lebih memuaskan. (Warner G. Bennis, 1969: 56-57)
43
Sementara itu, teori penerimaan dan penolakan gagasan baru yang
dideskripsikan oleh Eicholz dan Rogers di atas disebut dengan namaa
rejection-adoption theory. Proses adopsi terjadi disebabkan lima tahap: (1)
awareness (kesadaran). Semula individu atau kelompok yang
bersangkutan tidak mengetahui dan mengabaikan "ignorance" inovasi itu.
Kemudian dengau kesadaran bersedia belajar tentang eksistensi inovasi
yang belum diketahui tadi. Meskipun sebelumnya ia telah memiliki
pengetahuan lama "traditional". Tahap ini penggunaan inovasi masih
ditangguhkan selama mempertimbangkan “suspended judgment” nilai
hakiki yang terkandung di dalamnya sambil membandingkannya dengan
cara lama; (2)interest (menaruh minat). Individu bersangkutan
memperluas upaya mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang adat
istiadat, agama, pendapat warga masyarakat umumnya, yang berkaitan
dengan dorongan dan larangan berupa beban sosial dan finansial jika
inovasi itu digunakan. Jadi, ia mempelajari keadaan “situational”
(3) evolution (penilaian). Individu bersangkutan menilai inovasi itu dan
mendorong jiwanya memilih hal-hal yang sesuai dengan kondisi dirinya
personal": (4) trial (percobaan). lndividu bersangkutan mulai
memberanikan diri untuk menggunakan inovasi sebagai percobaan
pendahuluan "experiment". Ketika gagal dicobanya lagi hingga berhasil;
(5) adopsi (penggunaan). lndividu bersangkutan menerinia inovasi itu
digunakan seterusnya atas dasar percobaan yang berhasil sebelumnya.
Akan tetapi, jika pada penggunaan-penggunaan berikutnya terus-menerus
gagal, maka penggunaan itu akan dihentikan (discontinuance).
Sebaliknya, penolakan (rejection) terjadi karena tahapan-tahapan
berikut: (1) awareness (kesadaran). Individu bersangkutan semua belum
memiliki pengetahuan tentang inovasi “ignorance" dan telah memiliki
pengetahuan lama "traditional". Ketika mengikuti pelajaran, inovasi itu
dirasakan lebih kompleks dan sulit dimengerti hingga terjadi
kesalahpahaman. Penggunaan inovasi ditangguhkan “suspended
judgement", sementara pertimbangan cenderung mengambil jalan pintas
44
saja yaitu penggunaan cara lama lebih mudah, sudah biasa, aman dari segi
sosial, terjangkau secara finansial, dan berhasil juga. Sehingga tidak lagi
diiringi dengan upaya belajar yang sungguh-sungguh; (2) indifference
(acuh tak acuh). Individu bersangkutan semakin acuh tak acuh setelah
melihat keadaan "situational". Meskipun inovasi itu kelihatannya logis,
tetapi kurang mereka perhatikan karena belum biasa dalam masyarakat,
diragukan bertentangan dengan agama, adat istiadat, norma, nilai, dan
pendapat orang umumnya; (3) denial (penolakan). Pada masa kebutuhan
pemilihan inovasi yang sesuai untuk dirinya “personal”, individu
bersangkutan tidak memahami betul fungsi inovasi itu menggantikan apa
dari cara lama, apa faedahnya yang lebih menonjol daripada cara lama,
bagaimana kedudukan cara lama yang digantikannya. Sehingga la
menyangkal kehadiran inovasi; (4) trial (percobaan). Ketika individu
bersangkutan atau orang lain melakukan percobaan dengan inovasi itu
“experiment”, terjadi insiden atau kegagalan, individu bersangkutan tidak
lagi berusaha untuk mencoba hingga berhasil, akan tetapi kembali saja
kepada cara lama yang telah dia ketahui dan biasa dipraktikkan; dan (5)
rejection (penolakan). Individu bersangkutan akan mengakhiri dengan
penolakan seterusnya terhadap inovasi tersebut dan tetap mempraktikkan
cara biasa. Konsekuensi logis dari penolakan ini, pemutusan penggunaan
(discontinuance) akan berlangsung dalam waktu panjang yang tidak
terpastikan (Zaltman,et al., 1972: 624). Skema dari The rejection-adoption
theory ini terlihat sebagai berikut (Rusmin Tumanggor, 1990: 27-28).
Dalam diagram ini terlihat ada masa ignorance, susperi-
dedjudgment, situational, personal dan experimental, yaitu masa
pengabaian, penangguhan pertimbangan, memerhatikan situasi, kondisi
dan kebutuhan diri, serta pengalaman. Teori penerimaan dan penolakan ini
dapat dibandingkan dengan teori pertukaran dari Homans terkait proposisi
sukses.
From of adoption- Rejection AdoptionRejection
Ignorance
Suspended Judgment
Situation
Personal
Experimental
Disontinuance
Awareness StageAwareness Stage
Interest StageIndifference
Evaluation StageDenial Stage
Trial StageTrial Stage
Rejection Adoption
Gam
bar TIM
E
45
D. DILEMA ANTARA KEPENTINGAN INDIVIDU DAN KEPENTINGAN
MASYARAKAT
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendirian tanpa
bantuan orang lain. Kebutuhan fisik (sandang,pangan, papan), kebutuhan
sosial (pergaulan, pengakuan, sekolah, pekerjaan) dan kebutuhan psikis
termasuk rasa ingin tahu, rasa aman, perasaan religiositas, tidak mungkin
terpenuhi tanpa bantuan orang lain. Apalagi jika orang tersebut sedang
menghadapi masalah, baik ringan maupun berat. Pada saat-saat seperti itu
seseorang akan mencari dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya,
sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan, dan dicintai. Contoh nyata
yang paling sering kita lihat dan alami adalah bila ada seseorang yang sakit
dan terpaksa dirawat di rumah sakit, maka sanak saudara ataupun teman-
teman biasanya datang berkunjung. Dengan kunjungan tersebut, maka orang
yang sakit tentu merasa mendapat dukungan sosial.
Gambar 2 Skema Alur Adoption-Rejection Theory
46
Dukungan sosial (social support) didefinisikan oleh Gottlieb (1983)
sebagai informasi verbal atau nonverbal, saran, bantuan yang nyata atau
tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di
dalatn lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang
dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku
penerimanya. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan sosial,
secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran, atau kesan
yang menyenangkan pada dirinya. Pendapat senada dikemukakan juga oleh
Sarason (1983) yang mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan,
kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai,
dan menyayangi kita. Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Cobb
yang mendefinisikan dukungan sosial sebagai adanya kenyamanan, perhatian,
penghargaan atau menolong orang dcngan sikap menerima kondisinya,
dukungan sosial tersebut diperoleh dari individu maupun kelompok. Sarason
(1983), berpendapat bahwa dukungan sosial itu selalu mencakup dua hal,
yaitu:
1. Jumlah sumber dukungan sosial yang tersedia; merupakan persepsi
individu terhadap sejumlah orang yang dapat diandalkan saat individu
membutuhkan bantuan(pendekatan berdasarkan kuantitas).
2. Tingkatan kepuasan akan dukungan sosial yang diterima; berkaitan dengan
persepsi individu bahwa kebutuhannya akan terpenuhi (pendekatan
berdasarkan kualitas).
Hal tersebut penting dipahami oleh individu yang ingin memberikan
dukungan sosial, karena menyangkut persepsi tentang keberadaan
(availability) dan ketepatan (adequacy) dukungan sosial bagi seseorang.
Dukungan sosial bukan sekedar mmeberikan bantuan, tetapi yang penting
adalah bagaimana persepsi si penerima terhadap makna dari bantuan itu. Hal
itu erat hubungannya dengan ketepatan dukungan social yang diberikan,
dalam arti bahwa orang yang menerima sangat meraakan bantuan bagi dirinya,
karena sesuatu yang actual dan memberikan kepuasan.
47
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan
social merupakan bantuan atau dukungan yang diterima individu dari orang-
orang tertentu dalam kehidupannya dan berada dalam lingkungan social
tertentu yang membuat si penerima merasa diperhatikan, dihargai, dan
dicintai. Orang yang menerima dukungan social memahami makna dukungan
social yang diberikan oleh orang lain.
Sumber-sumber dukungan social banyak diperoleh individu dari
lingkungan sekitarnya. Namun perlu diketahui seberapa banyak sumber
dukungan social ini efektif bagi individu yang memerlukan. Sumber dukungan
social merupakan aspek paling memerlukan. Sumber dukungan social sesuai
dengan situasi dan keinginannya yang spesifik, sehingga dukungan social
memiliki makna yang berarti bagi kedua belah pihak.
Menurut Rook dan Dooley (1985), ada dua sumber dukungan social
yaitu sumber artikulasi dan natural. Dukungan social yang natural diterima
seseorang melalui interaksi social dalam kehidupannya secara spontan dengan
orang-orang yang berada di sekitarnya, misalnya anggota keluarga (anak, istri,
suami, dan kerabat), teman dekat atau relasi. Dukungan social itu bersifat
nonformal. Sementara itu, yang dimaksud dengan dukungan artikulasi adalah
dukungan social yang dirancang ke dalam kebutuhan primer seseorang,
misalnya dukungan social akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan
social.
Sumber dukungan social yang bersifat natural berbeda dengan sumber
dukungan social yang bersifat artificial dalam sejumlah hal. Perbedaa tersebut
terletak dalam hal sebagai berikut :
a. Keberadaan sumber dukungan social natural bersifat apa adanya tanpa
dibuat-buat sehingga lebih mudah diperoleh dan bersifat spontan.
b. Sumber dukungan social yang natural memiliki kesesuaian dengan norma
yang berlaku tentang kapan sesuatu harus diberikan.
c. Sumber dukungan social yang natural berakhir dari hubungan yang telah
berakar lama.
48
d. Sumber dukungan social yang natural berakar dari hubungan yang telah
berakar lama.
e. Sumber dukungan social yang natural memiliki keragaman dalam
penyampaian dukungan social, mulai dari pemberian barang-barang nyata
hingga sekadar menemui seseorang dengan menyampaikan salam.
f. Sumber dukungan social yang natural terbebas dari beban dan label
psikologis.
Para ahli berpendapat bahwa dukungan social dapat dibagi ke dalam
berbagai komponen yang berbeda-beda. Misalnya Weiss (Cutrona dkk.1994:
371), mengemukakan adanya enam komponen dukungan social yang disebut
sebagai “The Social Provision Scale”¸di mana masing-masing komponen
dapat dapat berdiri sendiri-sendiri, namun satu sama lain saling berhubungan.
Adapun komponen-komponen tersebut adalah:
1. Kerekatan emosional (etttotional attachment)
Jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan seseorang memperoleh
kerekatan (kedekatan) emosional sehingga menimbulkan rasa aman bagi
yang menerima. Orang yang menerima dukungan sosial semacam ini
merasa tenteram, aman, dan damai yang ditunjukkan dengan sikap tenang
dan bahagia. Sumber dukungan sosial semacam ini yang paling sering dan
umum adalah diperoleh dari pasangan hidup. atau anggota keluarga/ teman
dekat/sanak keluarga yang Arab dan memiliki hubungan yang harmonis.
Bagi lansia adanya orang kedua yang cocok, terutama yang tidak memiliki
pasangan hidup, menjadi sangat penting untuk dapat memberi dukungan
sosial atau dukungan moral (moral suppport).
2. lntegrasi sosial (social integration)
Jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan lansia untuk
memperoleh perasaan memiliki suatu kelompok yang memungkinkannya
untuk membagi minat, perhatian, serta melakukan kegiatan yang sifatnya
rekreatif secara bersama-sama. Sumber dukungan semacam ini
memungkinkan lansia mendapatkan rasa aman, nyaman serta merasa
memiliki dan dimiliki darn kelompok. Adanya kepedulian oleh masyarakat
49
untuk mengorganisasi lansia dan melakukan kegiatan bersama tanpa ada
pamrih akan banyak memberikan dukungan sosial.Mereka merasa bahagia,
ceria, dan dapat mencurahkansegala ganjalan yang ada pada dirinya untuk
bercerita,atau mendengarkan ceramah ringan yang sesuai
dengankebutuhan lansia. Hal itu semua merupakan dukungansosial yang
sangat bermanfaat bagi lansia.
3. Adanya pengakuan (reanssurance of worth)
Pada dukungan sosial jenis ini lansia mendapat pengakuan atas
kemampuan dan keahliannya serta mendapat penghargaan dari orang lain
atau lembaga. Sumber dukungan sosial semacam ini dapat berasal dari
keluarga atau lembaga/instansi atau perusahaan/organisasi di mana sang
lansia pernah bekerja. Karena jasa, kemampuan dan keahliannya maka ia
tetap mendapat perhatian dan santunan dalam berbagai bentuk
penghargaan. Uang pensiun mungkin dapat dianggap sebagai salah satu
bentuk dukungan sosial juga, bila seseorang menerimanya dengan rasa
syukur. Bentuk lain dukungan sosial berupa pengakuan adalah
mengundang para lansia pada seliap event/hari besar untuk berpartisipasi
dalam perayaan tersebut bersama-sama dengan para pegawai yang masih
berusia produktif. Contoh: Setiap hari besar TNI, maka para mantan
pejabat yang telah pensiun/memasuki masa lansia biasa diundang hadir
dalam upacara ataupun resepsi yang diadakan oleh instansi tersebut.
4. Ketergantungan yang dapat diandalkan (reliable reliance)
Dalam dukungan sosial jenis ini, lansia mendapat dukungan sosial berupa
jaminan bahwa ada orang yang dapat diandalkan bantuannya ketika lansia
membutuhkan bantuan tersebut. Dukungan sosial jenis ini pada umumnya
berasal dari keluarga. Untuk lansia yang tinggal di lembaga, misalnya pada
Sasana Werdha ada petugas yang selalu siap untuk membantu para lansia
yang tinggal di lembaga tersebut, sehingga para lansia mendapat
pelayanan yang memuaskan.
50
5. Bimbingan (guidance)
Dukungan sosial jenis ini adalah berupa adanya hubungan kerja ataupun
hubungan sosial yang memungkinkan lansia mendapatkan informasi,
saran, atau nasihat yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dan
mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dukungan sosial jenis ini
bersumber dari guru, alim ulama, pamong dalam masyarakat, figur yang
dituakan, dan juga orang tua.
6. Kesempatan untu mengasuh (opportunity for nurturance)
Suatu aspek penting dalam hubungan interpersonal akan perasaan
dibutuhkan oleh orang lain. Jenis dukungan sosial ini memungkinkan
lansia untuk memperoleh perasaan bahwa orang lain tergantung padanya
untuk memperoleh kesejahteraan. Menurut Weiss (Cotuna dkk. 1994),
sumber dukungan sosial ini adalah keturunan (anak-anak) dan pasangan
hidup. Itulah sebabnva sangat banyak lansia yang merasa sedih dan kurang
bahagia jika berada jauh dari cucu-cucu ataupun anak-anaknya.
51
BAB 4
MANUSIA DAN PERADABAN
A. HAKIKAT PERADABAN MANUSIA
Hakikat peradaban bisa kita mulai dengan definisi ”peradaban” itu
sendiri. Peradaban mengambil padanan kata civilization yang berarti nilai
hidup satu kelompok atau dalam merespons tantangan masa yang dihadapinya
dalam era tertentu (Oxport Dictionaty English oleh Hassan Shadily: 2003).
Peradaban adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut bagian-bagian
atau unsur-unsur suatu kebudayaan yang dianggap halus maju, dan indah.
Dalam definisi peradaban juga mengandung adanya perkembangan
pengetahuan dan kecakapan, sehingga orang memungkinkan memiliki tabiat
”beradab”. Karena itu manusia beradab salah satunya memiliki ciri mampu
mengendalikan dirinya, yakni menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan
kebudayaan suatu bangsa. Peradaban juga sering menunjukpada kemajuan
ekonomi, teknologi, dan politik.
Sekurangnya tiga inti peradaban, yaitu: (1) nilai; (2) kelompok
tertentu; dan (3) tantangan zaman. Pengertian demikian memungkinkan
respons suatu kelompok orang akan berbeda dengan kelompok lainnya. Juga
bisa tantangan zaman berbeda, maka nilai yang dipakai berbeda pula. Dengan
demikian, penegakan satu peradaban tergantung pada kelompok dengan nilai
yang Wanutnya, serta tantangan zamannya. Respon dengan cara berbeda itu
bahkan yang tidak beradab sekalipun dimungkinkan bisa terjadi.
Agaknya dengan dimensi peradaban itu, antara dimensi masa lalu dan
masa kini kerap mendatangkan kebimbangan pada kita. Padahal masa lalu itu
sesuatu yang sudah selesai masa kini dan masa depan menyediakan kreativitas
yang baru. Ibarat buku masa kini dan akan datang, merupakan sambungan
halaman demi halaman yang berbeda, namun merupakan kesatuan yang utuh.
Peradaban adalah sebuah entitas terluas dari budaya, yang
teridentifikasi melalui unsur-unsur objektif umum, seperti bahasa sejarah,
52
agama, kebiasaan, institusi, maupun melalui identifikasi diri yang subjektif.
Budaya di sebuah desa di ItaliaSelatan mungkin berbeda dengan yang di
Utara, tetapi keduanya bisa disebut budaya Italia yang membedakan mereka
dari karakteristik desa-desa di Jerman.
Sepanjang sejarah umat manusia, sebuah peradaban mengalami pasang
surut. Terkadang, suatu peradaban mampu berkembang dengan pesat, mampu
beradaptasi, dan memengaruhi kehidupan manusia. Akan tetapi, banyak juga
peradaban yang hilang ditelan bumi dan terkubur di dalam pasir-pasir masa,
taklagi relevan dengan kehidupan manusia. Peradaban yang mampu bertahan
(Peradaban Mayor) antara lain: Peradaban Tionghoa, Jepang, Hindu, Islam,
Ortodoks, Barat, Amerika Latin, dan Afrika.
Mungkinkah lahir sebuah peradaban universal? Asumsi ini lahir dari
satu pemikiran bahwa suatu budaya senantiasa tidak lepas dari kemanusiaan
dan adanya penerimaan secara umum terhadap nilai-nilai, keyakinan-
keyakinan, orientasi-orientasi, perilaku-perilaku, dan institusi-institusi oleh
umat manusia di seluruh dunia. Kondisi ini terjadi pada masyarakat modern di
mana dalam perjalanannya telah melahirkan adanya proses globalisasi.
Mengglobal berarti mendunia. Dalam alam yang serba canggih, suatu
kebudayaan dapat diserap dan merambah ke seluruh dunia jika memiliki
perangkatnya, yaitu transportasi dan komunikasi. Dengan dua modal tersebut
suatu kebudayaan akan memiliki banyak peluang untuk disosialisasikan ke
segala penjuru negeri, dan mempunyai kemampuan untuk menghadirkan
selalu produk budaya yang up-to-date. Karena itu negara-negara maju yang
mempunyai kekuatan akses yang besar akan mampu membentul: opini dunia.
Artinya, negara-negara maju mampu memprakarsai format “peradaban
masyarakat dunia”.
53
B. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERADAB DAN MASYARAKAT
ADAB
Sejak dahulu kala manusia selalu mempertanyakan asal usul kehidupan
dan dirinya. Jawaban sementara atas pertanyaan tersebut ada tiga alternatifi,
yaitu melaui konsep penciptaan, transformasi, dan/atau evolusi biologi.
Definisi evolusi biologi bermacam-macam tergantung dari aspek
biologi yang dikaji. Beberapa definisi yang umum dijumpai di buku-buku
biologi, antara lain: evolusi pada makhluk hidup adalah perubahan-perubahan
yang dialami makhluk hidup secara perlahan-lahan dalam kurun waktu yang
lama dan diturunkan, sehingga lama kelamaan dapat terbentuk species baru.
Atau evolusi diartikan dengan perubahan frekuensi gen pada populasi dari
masa ke masa. Atau evolusi juga sering dimaksudkan sebagai perubahan
karakter adaptif pada populasi dari masa ke masa. Melalui pemikiran evolusi
inilah kemudian pelbagai pandangan dari cabang ilmu biologi dipersatukan.
Ide tentang terjadinya evolusi biologis sudah lama menjadi pemikiran
manusia. Namun di antara berbagai teori evolusi yang pernah diusulkan,
tampaknya teori evolusi oleh Darwin yang paling sering dijadikan rujukan
pokok. Darwin (1858) mengajukan dua teori pokok: yaitu spesies yang hidup
species berasal dari spesies yang hidup sebelumnya, dan evolusi terjadi
melalui seleksi alam. Perkembangan tentang teori evolusi tersebut sangat
menarik untuk diikuti. Darwin berpendapat bahwa berdasarkan pola evolusi
bersifat graduai, berdasarkan arah adaptasinya bersifatgradual dan berdasarkan
hasilnva sendiri selalu dimulai terbentuknya.
Dalam perkembangannya, teori evolusi Darwin mendapat tantangan
(terutama dari golongan agama, dan yang menganut paham teori penciptaan
Universal Crastion), dukungan dan pengayaan-pengayaan. Jadi, teori sendiri
juga berevolusi sehingga teori evolusi biologis yang sekarang kita kenal
dengan label "Neo-Darwinian" dan "Modern Sintesis", bukanlah murni seperti
yang diusulkan oleh Darwin. Berbagai istilah di bawah ini merupakan hasil
pengayaan yang mencerminkan pergulatan pemikiran dan argumentasi ilmiah
seputar teori evolusi berdasarkan kecepatan evolusi (evolusi kuasi
54
dankuantum); berdasarkan polanya (gradual, punctual, dan saltasi); dan
berdasarkan skala produknya (evolusi makro dan mikro).
Topik yang akan dibahas di bawah ini meliputi perkembagan teori
evolusi Darwin dan implikasi dari teori evolusi biologi Darwin terhadap cara
pandang kita tentang keberadaan makhluk dan alam semesta.
Pada 1858 Darwin memublihasikan The Originyang memuat dua teori
utama, yaitu:
1. Spesies yang hidup sekarang berasal dari spesies lain yang hidup di masa
lampau.
2. Evolusi terjadi melalui seleksi alam.
Menurut Darwin, agen tunggal penyebab terjadinva evolusi adalah
seleksi alam. Selelai alam adalah “process of presenving, in nature favorable
variantions and ultimately eliminating those that are injurious”. Secara
umum, tanggapan ahli lain terhadap teori Darwin adalah:
a. Mendapat tantangan terutama dari golongan agama, danyang menganut
paham teori penciptaan (Universal Crastion)
b. Mendapat pembelaan dari penganut Darwin antara lain, Yoseph Hooker
dan Thomas Henry Huxlcy (18251895).
c. Mendapat kritik dan pengayaan dari banyak ahli antara lain Morgan
(1915), Fisher (1930), Dobzhansky (1937), Goldschmidt (1940), dan Mayr
(1942).
Dengan berbagai pekembangan dalam ilmu biologi, khususnya
genetika maka teori evolusi Darwin diperkaya. Seleksi alam tidak lagi menjadi
satu-satunya agen penyebab terjadinya evolusi, melainkan ada tambahan
faktor-faktor penyebab lain, yaitu: mutasi, aliran gen, dan genetic drifi. Oleh
karenanya, teori evolusi yang sekarang disebut New Darwinian atau Modern
Sinteds.
Secara singkat, proses evolusi oleh seleksi alam (NeoDarwinian)
terjadi lcarena adanya:
a. Perubahan frekuensi gen dari satu generasi ke generasi berikutnva.
b. Perubahan dan genotipe yang terakumulasi seiring berjalannya waktu.
55
c. Produksi varian baru melalui materi genetik yang diturunkan (DNA/RNA).
d. Kompetisi antar-individu karena keberadaan besaran individu melebihi
sumber daya lingkungan tidak cukup untuk menyokongnya.
e. Generasi berikut mewarisi "kombinasi gen yang sukses" dari individu
fertile (dan beruntung) yang masih dapat bertahan hidup dari kompetisi.
Teori utama Darwin bahwa spesies yang hidup sekrang berasal dari
spesies lain yang hidup di masa lampau dan bila diurut leih lanjut semua
spesies makluk hidup diturunkan dari nenek moyang umum yang sama.
Seperti yang juga diperkirakan oleh Darwin. Teorinya akan ditentang banyak
pihak. Para penentang teori ini dikategorikan dalam tiga kelompok utama:
a. Kelompok yang berpendapat bahwa teori Darwin tersebut tidak cukup
"ilmiah".
b. Kelompok "Creationist" yang berpendapat bahwa masing-masing spesies
diciptakan khusus oleh Yang Mahakuasa untuk tujuan tertentu.
c. Kelompok penganut filsafat "Idealist" yang berpendapat bahwa spesies
tidak berubah. Variasi yang ada merupakan tiruan tidak sempurna dari
pola umum "archetypes". Goethe mengabstraksikan satu archetype atau
Urbild untuk semua tanaman (Urplanze) dan beberapa Bauplane untuk
hewan.
Untuk para penentangnya, dari dua kelompok pertamasebelumnya
Darwin cukup menandaskan bahwa Keajaiban-keeajaiban atau intervensi dari
kekualan supranatural dalam pembentukan spesies adalah tidak ilmiah. Dalam
menanggapi kelompok Idealist (seperti Owen dan Lois Agassiz) Darwin
mampu menangkis dengan baik. Pada Origin edisi pertama, Darwin (1959) di
halaman 435, menyimpulkan bahwa penjelasan Owen pada masalah archetype
adalah "irzteresting" dan "unity of type"-nya merupakan "hukum" biologi yang
penting. Kemudian Owen lebih keras lagi menentang teorinya. Darwin pada
edisi berikutnya menambahkan "... tetapi itu bukan penjelasan ilmiah".
Menurut Darwin, penjelasan tentang "homologi" dan "unity of types" terkait
dengan nenek moyang adalah ilmiah, sementara penjelasan terkait dengan
archetype tidak ilmiah. Oleh karena itu, Darwin memandang masalah ini
56
sebagai proses, sementara konsep archehtype adalah timeless. Secara umum,
Darwin adalah penganut paham materialisme.
Darwin mengemukakan bahwa selkcsi alam merupakan agen utama
penyebab terjadinya evolusi. Darwin (dan Wallace) menyimpulkan selcksi
dari prinsip yang dikemukakan oleh Malthus bahwa setiap populasi cenderung
berlambah jumlahnya seperti deret ukur, dan sebagai akibatnya cepat atau
lambat akan terjadi perbenturan antar-anggota dalam pemanfaatan sumber
daya khususnya bila ketersediaannya terbatas. Hanya sebagian, sering kali
merupakan bagian kecil, dari keturunannya bertahan hidup: sementara
sebagian besar lainnya tereliminasi.
Dengan berkembangnya ilmu genetika, teori itu diperkaya sehingga
muncul Neo-Darwinian. Menurut Lemer (1958), definisi seleksi alam adalah
segala proses yang menyebabkan pembedaan nonrandom dalam reproduksi
terhadap genotype; atau allele gen dan kompleks gen dari generasi ke generasi
berikutnya.
Anggota populasi yang membawa genotipe yang lebih adaptif
(superior) berpeluang lebih besar untuk bertahan daripada keturunan yang
inferior. Jumlah individu keturunan yang superior akan bertambah sementara
jumlah individu interior akan berkurang dari satu generasi ke generasi lainnya.
Seleksi alam pun juga masih bekerja, sekalipun jika semua keturunan dapat
bertahan hidup dalam beberapa generasi. Contohnya adalah pada jenis fauna
yang memiliki beberapa generasi dalam satu tahun. Jika makanan dan sumber
daya yang lain tidak terbatas selama suatu musim, populasi akan bertambah
seperti deret ukur dengan tidak ada kematian di antara keturunannya. Hal itu
tidak berarti seleksi tidak terjadi, karena anggota populasi dengan genotipe
yang berbeda memproduksi keturunan dalam jumlah yang berbeda atau
berkembang mencapai matang seksual pada kecepatan yang berbeda. Musim
yang lain kemungkinan mengurangi jumlah individu secara drastis tanpa pilih-
pilih. Jadi, pertumbuhan eksponensial dan seleksi kemungkinan akan
dilanjutkan lagi pada tahun berikutnya. Perbedaan fekunditas, sesungguhnya
juga merupakan agen penyeleksi yang kuat karena menentukan perbedaan
57
jumlah individu yang dapat betahan hidup dan/atau jumlah individu yang akan
mati, yang ditunjukkan dalam angka kematian. (Dobzhansky, 1970).
Darwin telah menerima, namun dengan sedikit keraguan, slogan
Herbert Spencer ”survival of the fittest in the struggle for life” sebagai
alternative untuk menerangkan proses seleksi alam, namun saat ini slogan itu
tampaknya dipandang tidak sepenuhnya tepat. Tidak hanya individu atau jenis
yang terkuat tetapi mereka yang lumayan pas dengan lingkungan dapat
bertahan hidup dan bereproduksi. Dalam kondisi seleksi yang lunak atau halus
semua individu atau jenis pembawa genotipe yang bermacam-macam dapat
bertahan hidup ketika populasi berkurang. Individu yang fit (individu yang
sesuai dengan lingkungan dapat bertoleransi dengan lingkungan) tidak harus
mereka yang paling kuat, paling agrasif atau paling bertenaga, melainkan
mereka yang mampu bereproduksi menghasilkan keturunan dengan jumlah
terbanyak yang viable dan fertile.
Seleksi alam tidak menyebabkan timbulnya meteriil baru (bahan
genetic yang baru di masa mendatang akan dapat diseleksi lagi), justru
menyebabkan hilangnya suatu varian genetic atau berkurang frekuensi gen
tertentu. Seleksi alam bekerja efektif hanya bila populasi berisi dua atau lebih
genotype, yang mana dari varian itu ada yang akan tetap bertahan atau ada
yang tereliminasi pada kecepatan yang berbeda-beda. Pada seleksi buatan,
breader akan memilih varian genetic (individu dengan genotype) tertentu
untuk dijadikan induk untuk generasi yang akan dating. Permasalahan yang
timbul adalah dari mana sumber materi dasar atau bahan mentah genetik
penyebab keanekaragaman genetik pada varian-varian yang akan datang.
Permasalahan yang timbul adalah dari mana sumber materi dasar atau bahan
mentah genetik penyebab keanekaragaman genetik pada varian-varian yang
akan di objek seleksi oleh alam. Permasalahan itu terpecahkan setelah T.H
Morgan dan kawan-kawan meneliti mutasi pada lalat buah Drosophilia. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa proses mutasi menyuplai bahan mentah
genetik yang menyebabkan terjadinya keanekaragaman genetik di mana
nantinya seleksi alam bekerja. (Dobzhansky, 1970).
58
Implikasi dari teori evolusi melalui alam ini sangat luas, tidak hanya
mencakup bidang filsafat namun juga sosial ekonomi, dan budaya:
a. Penggantian cara pandang bahwa dunia tidak statis melainkan berevolusi.
b. Paham creationisme berkurang pengaruhnya.
c. Penolakan terhadap theology kosmis.
d. Penjelasan "desain" di dunia oleh proses materialistis seleksi alam, proses
vang mencakup interaksi antara variasi yang tidak beraturan dan
reproduksi yang sukses bersifat oportunistis yang sepenuhnya jauh dari
dogma agama.
e. Penggantian pola pikir esensialieme oleh pola pikir polulasi.
f. Memberikan inspirasi yang disalahgunakan untuk tujuan yang tidak baik
seperti gerakan Nazi di Jerman, Musolini di Italia, kebijakan "eugenic" di
Singapura di masa Lee Kuan Yu, dan berkembangnya ekonomi liberal
yang dikemas dengan label Social-Darwinian.
Secara ilmiah, teori evolusi Darwin utama belum dapat dikatakan
runtuh, karena sebelum ditemukan bukti-bukti empiris yang bertentangan
dengan kesimpulan teori tersebut, maka pernyataan dalam teori itu masih
dianggap benar. Akan tetapi, sampai saat ini banyak kalangan masih
meragukan kebenaran teori itu terutama dari kalangan agamawan.
Saat ini, Indonesia kebanjiran buku-buku Islam yang diproduksi Dr.
Harun Yahya yang "menyerang" teori Darwin. Dari segi teologis ada
kekhawatiran bahwa teori Darwin akan mengusir Tuhan dari kehidupan,
namun Haidar Bagir, pakar filsafat Islam, tidak sepenuhnya sependapat
dengan Harun Yahya. Bagir (2003), menanggapinya dengan mengatakan
"Sikap kita terhadap keyakinan Darwinian mengenai sifat kebetulan dan
materialistik asal usul kehidupan yang terkandung dalam teori itu sudah jelas.
Kita tetap menolaknya. Tetapi tidak demikian halnya dengan kesimpulan
utama teori ini mengenai sifat-sifat evolusioner kehidupan. Karena betapa pun
demikian, tetap saja Tuhan bisa dipercayai sebagai Dzat di balik semua
gerakan evolusi itu...". 'Ientang prinsip survival of the littest, Bagir justru
59
membenarkannya dan kita harus mengambil hikmahnya, karena hal itu sesuai
dengan kenyataan sehari-hari dan tidak bertentangan dengan kandungan Al-
Qur’an.
Apa yang diperdebatkan tentang hipotesis akar pohon asal mula
keluarga manusia di atas oleh banyak ahli mulai dianggap tidak terlalu penting
untuk didiskusikan lebih jauh. Yakni, apakah nenek moyang manusia berasal
dari simpanse atau neadethal, adalah lebih bijak jika mulai diteliti faktor yang
mcnyebabkan manusia modern dapat bertahan lebih lama hingga kini dantidak
punah seperti simpanse atau neadethal. Menurut antropolog John Hawks dari
Universitas of Wisconsin-Madison (2010), lebih baik lcita mendiskusikan apa
yang membual kita dapat bertahan hingga kini. Apakah disebabkan oleh
kondisi fisik kita yang lebihtahan terhadap penyakit, ataukah keahlian manusia
dalam berkomunikasi, ataukah kebiasaan manusia yang suka berkumpul?
Penjelasan dari pertanyaan tersebut lebih bermanfaat untuk dikaji para ahli
karena akan menjelaskan perbedaan manusia dengan simpanse ataLl
neanderthal. Karena itu adalah tidak penting penting memperbedatkan apakah
manusia dari spesies yang sama dengan simpanse atau neadethal, meskipun
terdapat temuan inilah manusia secara genetik tidak jauh berbeda dengan
simpanse atau neadethal(Kompas, 15 Mei 2010).
Apakah manusia ada melalui penciptaan atau proses evolusi, keduanya
adalah dialektika pemikiran tentang asalmula manusia yang cemerlang. Kita
tidak boleh terjebak pada penjelasan kausal empiris tentang akar pohon
manusia long tanpa akhir. KIta tetap perlu melihat sisi lain berupa pelajaran
penting dari diskusi tersebut. Mengapa manusia dapat bertahan lebih kuat
dibanding makhluk lainnva dari proses, seleksi alam yang sedang
berlangsung?. Apakah melalui nilainilai kemanusian sehingga melahirkan
peradaban modern berupa peralatan-peralatan canggih ataukah memang secara
fisik lebih kuat dibandingkan makhluk lainnya? Ataukah karena keahllian
manusia dalam berkomunikasi dengan manusia lainnya manusia dalam
berkomunikasi dengan manusia lainnya sehingga perlbagai tantangan dan
rintangan alam mampu direkayasa dan dicarikan jalan keluarnya? Apa pun
60
jawabannya, kita tida k dapat menolak bahwa kemampuan manusia dalam
bertahan melewati seleksi alam melahirkan pelbagai produk peradaban
berharga (baik yang bernilai ositif dan negatif bagi kemanusiaan) yang patut
dijadikan pelajaran penting bagi setiap generasi manusia mendatang.
C. EVOLUSI BUDAYA DAN WUJUD PERADABAN DALAM
KEHIDUPAN SOSIAL-BUDAYA
Pada perkembangannya, kehidupan manusia modern muncul sejak
beberapa ratus ribu tahun terakhir sungguh hanea sekejap jika dibandingkan
dengan sejarah planet bumi yang sudah berusia 5 miliar tahun. Kita tidak
dapat mengganggu sistem bumi sccara keseluruhan, namun kita telah
memengaruhinya dengan menggunakan energi yang menyebabkan polusi
sewaktu membuat niakanan, tempat berteduh, dan sejumlah produk lainnya
bagi populasi dunk yang, meningkat kita melepas senyawa-senyawa lain yang
menyebabkan timbulnya lubang di lapisan ozon yang berfungsi melindungi
kita dari radiasi ultraviolet dan hita membakar bahan bakar yang
menyebabkan terbentuknya gas-gas panas yang tidak dapat keluar dari lapisan
atmosfer sehingga jumlahnya terus bertambah. Penambahan jumlah populasi
juga menambah beban bagi potensi pertanian dan kebutuhan lahan semakin
meningkat.
Hutan-hutan Uropis yang merupakan tempat tinggal bagi jutaan
spesies ditebang untuk pertanian, padang rumput, tempat tinggal, dan kawasan
industri. Bahan baku yang diambil dari permukaan bumi untuk menjaga
kestabilan ekonomi dari dunia yang sedang berkembang, dan kita mem-
perlakukan atmosfer, tanah, dan sebagai limbah yang dihasilkan
daripenggunaan energi dan barang-barang dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui geologi masa lampau, kondisi di atmosfer, samudra, dan
biosfer untuk sebagian besar telah mengikuti perputaran alami. Sekarang
kegiatan-kegiatan manusia merupakan kekuatan yang penting yang
mendorong perubahan-perubahan di dalam lingkungan global. Kekuatan
pendorong dalam peradaban budaya manusia modern ini sangat dipengaruhi
61
oleh kemampuan akal pikiran dan budi daya manusia dalam mempertahankan
kehidupannya di planet bumi ini. Dengan meningkatknya populasi manusia di
planet bumi akan semakin menambah marak kehidupan terhadap lahan dan
sumber daya lainnya yang potensial dan strategis bagi kelangsungan hidup
kelompok-kelompok manusia yang pada suatu saat terjadi ketergantungan
terhadap lingkungan alam. Ketergantungan terhadap lingkungan alam akan se-
gera teratasi dengan meningkatnya budaya manusia dalam penguasaan ilmu
dan teknologi yang nantinya akan semakin jelas bagaimana manusia akan
berperilaku terhadap lingkcungan alam dan perubahan yang menyertainya.
Peradaban manusia dalam Perkembangan evolusi budaya dan adaptasi
biologis dimulai setelah ditemukannya api sebagai alat untuk memenuhi
berbagai keperluan dan keinginan. Api merupakan penemuan teknologi paling
awal yang membawa peradaban manusia pada kemampuan untuk mengubah
lingkungan binaan menjadi lingkungan binaan yang scsuai dengan kehendak
dan aspirasinya. Perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa evolusi
budaya lebih mendominasi adaptasi biologis manusia terhadap lingkungan
manusia. Terlebih lagi ketiha perkembangan teknologi sebagai bagian dari
perkembangan budaya yang paling menonjol. Akibat kemajuan yang pesat di
bidang ilmu pengetahuan dan telanologi menjadikan manusia kurang
menyadari pentingnya adaptasi terhadap lingkungan alam, karena dengan
teknologi manusia bisa mengatasi berbagai hal dalam bentuk relung dan
kondisi lingkungan tanpa memiliki kemampuanalami. Kita sudah dapat
menyaksikan bahwa manusia dapat berkeliaran di dasar samudra tanpa
memiliki insang seperti halnya ikan, atau bertamasya ke ruang angkasa tanpa
harusbersayap. Akibat perkembangan budaya, manusia karena peradaban yang
dibawanya dengan teknologi sebagai instrumenyang menyertainya menjadikan
pandangan manusia terhadap lingkungan alamiah mengalami perubahan yang
berarti.Dengan ilmu dan teknologi yang dimilikinya manusia telahmerasa
menguasai lingkungan, padahal kejadian yang sebenarnya lingkungan binaan
lingkungan binaan manusia jauh dari kekuasaannya.
62
Kemampuan manusia untuk menguasai lingkungan alam hanyalah
suatu impian atau khalayan yang kurang mendasar. Tidaklah etis bilamana ada
manusia yang mengatakan dengan bangganya telah menaklukkan lingkungan
alam yangberupa kawasan pegunungan, pantai, DAS, lautan, sumberdaya air,
serta bahan galian mineral. Bukankah semua potensi lingkungan alam tersebut
merupakan tanggung jawab kita sebagai pengelola sumber daya bumi demi
kemaslahatanumat manusia. Tidak banyak yang menyadari bahwa kehadiran
lingkungan alam beserta proses alam yang menyertainya merupakan amanah
terhadap manusia. Dalam pandangan geofilosofi, kehadiran manusia dengan
budayanya selalu dipandang sebagai pemelihara alam. Tetapi kini dengan
munculnya krisis lingkungan, manusia telah menjadi perusaknya. Manusia
telah mengubah perannya, berkat uluran tangan peradaban modern, dari
makhluk yang diturunkan dari langit dan hidup harmonis dengan bumi
menjadi sebuah makhluk ciptaan yang memandang dirinya sebagai yang
merangkak dari bawah dan kini menjadi pemangsa dan pembasmi yang sangat
mematikan.
Dalam pandangan Islam sebagai rahmatan seluruh alam semesta,
memandang manusia sebagai wakil (al-khalifah) Allah SWT. di atas bumi dan
secara eksplisit Al-Qur'an menegaskan, "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang wakil (khalifah) di muka bumi" (Al-Baqarah: 30). Lebih
jauh lagi, kualitas kewakilan ini disempurnakan dengan kualitas kehambaan
(al-’ubudiyyah) kepada Allah SWT. Manusia adalah hamba Allah dan
karenanya harus menaati-Nya. Sebagai khalifah Allah, manusia harus aktif di
dunia, memelihara keharmonisan lingkungan alam dan menyebaruaskan
berkah dan karunia karena ia sehubungan dengan kedudukan manusia sebagai
ciptaan yang terdidik dan berbudaya di dunia yang sementara ini merupakan
perantara. Seperti halnya Allah SWT. memelihara dan mengasuh dunia,
manusia sebagai wakil-Nya juga harus memelihara dan mengasuh dengan
kasih sayang, keharmonisan terhadap: litosfer, atmosfer, tanah lahan, mineral,
energi, serta air, di mana ia memainkan peran penting. Fungsi pemeliharaan
terhadap lingkungan alam merupakan kesalahan manusia sebagai pemegang
63
amanah ketika bersaksi di hadapan Sang Pencipta. Allah SWT menunjukkan
hal ini dalam ayat yang terkenal, ”Bukanlah Aku ini Tuhanmu? Mereka (yait,
anggota kelompok manusia) menjawab, betul Engkau Tuhan kami, kami
bersaksi” (al-A’raaf : 172). Menjadi masyarakat manusia sebagai makhluk
yang berbudaya dan terdidik berarti menyadari akan tanggung jawab yang
melekat dalam status "wakil Allah SWT" Dalam ayat-Nya bahwa Allah SWI'.
telah menundukkan (sakhhara) lingkungan alam bagi manusia sebagaimana
termuat dalam ayat, ”Apakah kamu tiada melihat bahwa Allah menundukkan
bagimu apa yang ada di bumi dan bah tera yang belayar di lautan dengan
perintah-Nya” (al-Hajj: 65) tidaklah berarti bahwa dengan perkembangan
peradaban di bidang ilmu dan teknologi manusia semena-mena melakukan
eksploitasi terhadap lingkungan alam/semesta daya bumi (apa yang ada di
bumi). Dengan ayat itu dimaksudkan, bahwa domunasi atas segala apa yang
ada di bumi diperbolehkan bagi manusia sejauh itu sesuai dengan hukum-
hukum Allah pada sifat-sifat dasar dinamika kebumian bahwa lingkungan
alam. Secara makro, dapat diartikan bahwa eksplotasi sumber alam itu lebih
ditekankan pada kemaslahatan masyarakat/ umat manusia.
Namun apa yang banyak terjadi di sekitar kita saat ini, bahwa manusia
mulai bisa hidup dan merasa aman dalam lingkungan alam yang sudah
diubahnya menjadi lingkungan binaan dan secara budaya telah menjauhkan
kepekaan manusia terhadap risiko yang dapat ditimbulkannya maupun risiko
proses kebumian yang menyertainya. Perlakuan terhadap sumber daya alam
kebumian ini harus menekankan pada kemampuan daya dukung alam;
lingkungan di mana diperbolehkan untuk dimanfaatkan sebagaimana adanya.
Kepekaan manusia dalam dimensi penghambaan kepada Allah SWT, serta
dimensi kewakilan-Nya di bunii ini mulai luntur dan makin bias dengan
kemajuan peradaban modern. Manusia semakin tidak menyadari bahwa dalam
setiap perencanaan dan pelalaanaan pembangunan terdapat dimensi
perwakilan (al-khalifah) dan kehambaan (al’-ubudiyyah) serta adanya proses
perubahan alam (atmosfer dan litosfer) di dalamnya. Perubahan lingkungan
alam menjadi lingkungan hinaannya selalu dimulai dengan munculnva
64
kesempatan yang lebih baik dan mapan. Kerana itu di balik kesempatan yang
lebih baik dan mapan. Karena itu di balik kemapanan kesempatan itu manusia
hanya mampu memandang berbagai manfaat dari manipulasi terhadap
lingkungan alam dengan berbagai potensi sumber daya kebumian yang
terkandung di dalamnya. Setiap manusia memiliki keinginan dan kehendak
untuk mengelaploitasi lingkungan alam, bayang-bayang risiko selalu tertutup
rapat-rapat, sehingga kemungkinan muncul ancaman baik dari proses alam
kebumian maupun lingkungan binaannya kurang mendapat perhatian yang
proporsional.
Bencana alam merupakan peristiwa atau kerugian/kehilangan secara
mendadak karena proses alam. Terdapat tiga unsur dalam bencana alam yaitu,
pertama adalah unsur kerugian/kehilangan; Kedua, unsur dadakan sehingga
manusia tidak mempunyai waktu untuk menghindar serta Ketiga, adalah unsur
proses alamiah. Unsur kerugian atau kehilangan dapat berupa kehilangan jiwa
manusia, harta benda, budi daya manusia, kerusakan lingkungan, juga dapat
berupa hilangnya aset nasional yang potensial. Unsur dariakan yang dimaksud
adalah dalam hal yang menyangkut kcrugian yang hilangnya aset nasional
yang potensial. Unsur dadakan yang dimaksud adalah dalam hal yang
menyangkut kerugian yang ditumbulkannya.
Dari perkembangan peradaban budaya, manusia telah mengenal apa
yang disebut dengan bencana alam. Dilihat dari kacamata geologi, bencana
alam merupakan proses alam kebumian, tetapi yang berjalan sangat cepat
dengan ukuran manusia yang di dalamnya terdapat unsur manusia. Pada
dasarnya terdapat dua jenis proses alam yang dapat mengakibatkan bencana
alam. Proses alam yang bersumber dari dalam bumi atau juga disebut proses
alam asal dalam atau proses endogen, dan yang bersumber di atmosfer atau di-
sebut juga proses asal luar atau proses eksogen. Yang termasuk dalam proses
endogen adalah gempa bumi dan letusan gunung api. Gempa bumi dapat
menimbulkan guncangan dan pergeseran pada permukaan. Bila akumulasi
energi melebihi kondisi elasto-plastis, bahkan ke kondisi runtuh maka energi
akan menimbulkan getaran yang menyebar melalui tanah dan batuan ke
65
permukaan bumi menjadi gempa tektonik yang dahsyat dan memorak
porandakan semua aktivitas yang dikenainya. Bilamana hat ini terjadi di
perairan samudera, maka akan terjadi gelombang tsunami yang sangat
berbahaya bila dekat dengan kawasan pantai yang padat dengan aktivitas
budaya manusia, seperti yang telah terjadi di Aceh, 26 Desember 2004 yang
lalu.
Aktivitas gunung api merupakan fenomena yang jarang diperhatikan
banyak orang kecuali para saintis bidang vulkanologi maupun fisika gunung
api. Bahan padat hasil erupsi baik berupa aliran lava, penumpukan kubah lava,
bahan piroklastik merupakan materiil-materiil yang sangat merusak bila
mengenai kawasan budaya manusia di lereng-lereng gunung api. Guguran
kubah lava yang menyebabkan awan bersuhu tinggi dan bergerak sangat cepat
merupakan bahaya yang sangat fatal terhadap kehidupan manusia maupun
lingkungan di lereng gunung api. Demikian juga bila terjadi banjir lahar
dingin yang bersifat merusak pada aliran yang dilewatinya.
Gejala eksogen ialah hujan yang berlebihan misalnya (atau sebaliknya,
lcekeringan), serta angin kencang. Di kawasan yang berlereng curam dengan
kestabilan batuan dan tanahnya tidak baik, kemudian bila akumulasi air dalam
tanah berlebihan sering terjadi longsoran, runtuhan yang merupakan gejala
yang wajar. Demikian juga bila tcrjadi kelebihan massa air dan curah hujan,
sering menimbulkan banjir baik banjir genangan maupun banjir
bandang/banjir kiriman. Bencana kekeringan yang pada gilirannya dapat
menjadi penyebab paceklik dan kelaparan, penyakit, dan juga kebakaran.
Angin kencang atau angin ribut dapat menimbulkan bencana. Gelombang air
laut pasang dapat pula ditimbulkan oleh angin yang meniup kuat.
Semua ini menyangkut gejala alam yang pada hakikatnya merupakan
proses alam yang wajar-wajar saja. Proses alam akan menjadi sebuah bencana
alam bilamana proses alam tersebut mengenai semua aktivitas budaya
manusia. Apakah aktivitas itu di kota, desa, kawasan pegunungan, kawasan
pantai, daerah kantong-kantong kemiskinan atau daerah dengan akses
ekonomi yang tinggi atau wilayah yang mempunyai aset nasional. Bencana
66
alam yang melanda bumi Akhir-akhir ini hendaknya menjadikan kita sadar
betapa tidak berdayanya manusia terhadap lingkungan alam.
Kenyataan menjadi jelas bahwa lingkungan alam kebumian dan
lingkungan binaan manusia memiliki berbagai potensi bencana alam, seperti
gempa bumi tektonik, tsunami, bencana awan panas, tanah longsor, banjir
bandang/banjir genangan, angin kencang, badai salju yang sangat Fatal ter-
hadap perkembangan budaya manusia. Hal ini terkadang lepas dari sorotan
pada saat manusia merencanakan berbagai kegiatan hidupnya. Ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dibanggakan dan diharaphan oleh manusia
untuk dapat melindungi dirinya dari ancaman bencana alam justru me-
nimbulkan berbagai bentuk gangguan terhadap lingkungan maupun ekosistem.
Pada gilirannya, gangguan dan degradasi lingkungan akibat penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang tidak tepat telah menimbulkan dampak
negatif terhadap peri kehidupan dan peradaban lingkungan budaya manusia itu
sendiri. Sebagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi tentang tata cara
pembuangan sampah/limbah padat pacla media geologi tertentu perlu
perlakuan khusus. Namun demikian, kesalahan dalam manajemen dan
teknologi tersebut mengakibatkan satu rangkaian komunikasi budaya
masyarakat Leuwigajah (Cimahi) harus hilang seketika (kasus longsoran di
lokasi penimbungan sampah di Leuwigajah, Cimahi, pertengahan Februari
2005 lalu).
Dalam dua dasawarsa terakhir hingga memasuki abad ke-21, tanpa
disadari jumlah manusia, harta benda/aset nasional yan menjadi korban
bencana alam ternyata meningkat, meskipun dari bencana alam ternyata
meningkat, meskipun dari kacamata geologi maupun klimatologi, lingkungan
geologi di masa kini (kuarter, kurang dari 1,8 juta tahun yang lalu hingga
sekarang ini) tidak menunjukkan suatu perubahan yang mendasar. Tetapi jika
mengaca betapa dasyatnya bencana alam seperti gempa bumi di Peru, Kobe,
Meksiko, tsunami di flores, Banyuwangi, gempa bumi di Liwa, gampa bumi
dan tsunami di Pangandaran dan Cilacap (Juli 2006), awan panas Merapi,
banjir di Pantura, Jakarta, Aceh, dan Sumatera Utara; tanah longsor di jawa
67
Barat, tanah longsor dan banjir bandang di Bohorok dan Pacet (Jawa Timur),
tanah longsor di Purworejo, banjir di berbagai tempat di Sumatera-Kalimantan
dan Jawa, gempa bumi di lran, gempa bumi di Nabire, tsunami di Biak, gempa
bumi di Alor, gempa bumi dan tsunami gempa bumi dan tsunami di Aceh dan
Sumatera Utara; gempa bumi Bantul dan Klaten, longsor di Solok, gempa
bumi di Mandailing Natal Sumatera Utara, hingga gempa bumi Haiti,
merupakan peningkatan bencana alam yang nyata baik ditinjau dari segi
kejadiannya maupun jumlah korban manusia yang ditimbulkannya. Lebih
berat lagi ketika kita mendapati kenyataan bahwa jumlah penduduk bumi juga
semakin meningkat. Belum lagi peristiwa semburan lumpur panas di sekitar
sumur eksplorasi Banjar Panji-1 milik Lapindo Brantas di Porong, sebagai
bentuk aktunulasi kekuatan yang kurang diantisipasi dengan kemampuan
teknologi eksplorasi sumber daya migas yang andal. Akibatnya, keperluan
manusia akan lingkungan alam juga semakin meluas dan makin meningkat
baik ditinjau dari segi kebutuhan akan ruang untuk hidup maupun kebutuhan
akan sumber daya yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, bila
keperluan manusia akan ruang hidup dan sumber daya bumi yang terkandung
di dalamnya tidak dipertimbangkan dengan potensi sumber bencana
kebumian, risiko yang akan ditimbulkannya semakin fatal dan sangat
berbahaya.
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber
daya bumi dan sumber bahaya kebumian. Karena itu, sudah sepantasnyalah
pertimbangan terhadap risiko bahaya kebumian ini harus mendapat perhatian
saksama di Indonesia. Apalagi bila dikaitkan dengan adanya pusat-pusat
pertumbuhan wilayah strategis yang sebagian berada di kawasan rawan
bahaya keilmuan. Bila perhatian terhadap sumber bahaya kebumian beserta
risikonya lolos dari berbagai rencana pembangunan nasional maupun daerah,
maka bukan hanya manusia yang semakin peka terhadap bencana kebumian,
bahkan proses pembencanaan alam yang bersumber dari kelalaian peradaban
manusia terhadap aneaman bencana kebumian tidak dapat dihindarkan.
68
Akhirnya evolusi budaya manusia akan membawanya kepada
perubahan lingkungan awal secara global, karena kita mengetahui bahwa
perubahan-perubahan akan membawa konsekuensi yang baik maupun yang
buruk. Peri kehidupan manusia modern saat ini sedang berada pada suatu titik
kulminasi yang menentukan proses evolusi sejarah peradaban modern, yaitu
apakah terjatuh pada kondisi semakin memburuk atau sebaliknya semakin
membaik. Kondisi nyata yang sedang kita alami saat ini adalah meluasnya
kemiskinan, kelaparan, ketidaksehatan, tunaaksara dan berlanjutnya kerusakan
ekosistem, global warming, dan seterusnya. Demikian juga kesenjangan antara
kaya dan miskin makin berlanjut.
Karena itu, satu-satunya alternatif jalan untuk menjamin adanya masa
depan yang lebih ainan dan lebih sejahtera bagi kita adalah mengembalikan
fitrah manusia pada kekhalifahan dan kehambaan kepada Tuhan dengan
konsekuensinya melakukan pembangunan nasional/daerah yang ramah ling-
kungan kebumiannya dalam mengupayakan kebutuhan pokok umat manusia,
memperbaiki taraf hidup semua orang dan mengupayakan perlindungan serta
pengelolaan ekosistein yang lebih baik dan bijaksana. Dalam menjalankan se-
mua ini kita harus mempunyai suatu visi yang jauh ke depan demi kesatuan
dan keutuhan bangsa/umat manusia serta kelestarian pembangunan yang
berwawasan lingkungan kebumian. Di samping itu, kita perlu memandang
perlunya solidaritas kemanusiaan dalam pelaksanaan pembangunan. Umat
manusia adalah satu, oleh karena itu dalam transformasi kebudayaan untuk
mengantisipasi berbagai perubahan termasuk di dalamnya risiko bencana
kebumian, degradasi lingkungan global, peledakan populasi, memerlukan
solidaritas kemanusiaan yang berkelanjutan untuk evolusi budaya manusia.
Pada dasawarsa terakhir ini, terlihat bahwa interaksi dinamis antara atmosfer
dan litosfer yang berimplikasi pada risiko kehidupan dan hasil budaya bangsa
ini telah menunjukkan satu proses pembelajaran yang sangat mendalam
tentang makna kehadiran manusia sebagai khalifahtull fill ardh. Ke mana
hakikat kehidupan budaya manusia dan budaya bangsa ini dibawa dalam
lingkungan yang sangat dinamis yang melibatkan semua elemen/unsur
69
atmosfer dan litosfera bergerak mengikuti ritme sunatullah-Nya. Semoga kita
mampu mengambil pelajaran dari semua kejadian itu untuk tahun yang akan
datang, dan selalu berpikir bahwa "tidaklah Aku ciptakan ini dengan sia-sia".
D. DINAMIKA PERADABAN GLOBAL
Mobilitas antar bangsa seperti saat ini menjadi salah satu ciri kuat
perkembangan masyarakat global. Mobilitas yang dilakukan atas alasan apa
pun telah menjadi fenomena penting yang menandai terbukanya isolasi-isolasi
rutinitas kehidupan di pelbagai belahan dunia. Namun demikian, tidak dapat
disangkal pula bahwa berbagai model danberembangan mobilitas antar bangsa
tidak lagi mengenal adanya batasan spasial, teritorial kedaulatan suatu bangsa,
ruang, maupun waktu. Berbagai pergerakan manusia yangberlangsung dapat
dikatakan bergerak di luar kendali ruang dan waktu.
Dalam konteks kehidupan global, tantangan utama yang dihadapi
banyak negara adalah terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan sosial,
budaya dan politik, termasuh kelimpangan pertumbuhan ekonomi yang
berimbas pada persaingan ketat pasar tenaga kerja secara global. Globalisasi
dengan demikian, merupakan dunia terbuka yang benar-benar telah
meleburkan sekat-sekatyang membatasi pergerahan manusia dari dan berbagai
negara. Sehingga hampir menghilangkan ruang, waktu yang menjadi
identifikasi identitas sebuah bangsa. Dalam konteks tersebut pealing
memberikan ruang besar bagi terjadinya dialog yang menjembatani
kompleksitas persoalan budaya. Dengan demikian, mampu menjadi katalisator
pertumbuhan peradaban. Jalan paling yang perlu dilakukan adalah melalui
jalur pendidikan. Melalui pendidikan dibuka ruang mahaluas bagi
berlangswngnya berbagai mobilitas, baik dalam konteks praksis maupun
teoretis. Keterbukaan ruang mobilitas tersebut pada gilirannya menciptakan
persinggungan peradaban dan pemikiran yang bersifat dialogis.
Perbincangan tentang globalisasi (terlebih dibaca dari perspektif negeri
periphery istilah Wailerstein) akan mengambil dua pokok pertanyaan: Apa itu
globalisasi dan bagaimana dampaknya bagi kehidupan keseharian kita?
70
Globalisasi sebagai sebuah konsep akan mengacu pada intensifikasi kesadaran
sebuah dunia secara keseluruhan. Perspektif ini mengingatkan pada
perdebatan klasik (Marx-Weber), yakni antara kekuatan dominasi ekonomi
dan pluralisme sosiokultural. Dalam praktiknya, globalisasi adalah terciptanya
sebuah dunia yang tanpa batas. Sebuah "transnasional ruang". Tak berlebihan
bila Giddens (1990), menyebut bahwa masyarakat kitadewasa ini merupakan
masyarakat ”pengembara dalam ruang dan waktu.” (of Bauman, 1998).
Kekuatan ekonomi yangdimotori oleh kapitalisme,
menumbuhkembangkan globalisasi produksi dan konsumsi. Sektor produlai
numcul dengan tumbuhnya industri-transnasional, yang merambah mendekati
pasar dan upah buruh murah. Proses ini menciptakan transnasionalisasi
kapital, dan sekaligus melokalisasi problem sosial Maka, apa yang kini kita
kenal sebagai Neo-Liberalisme pun merambah dunia keseharian kita,
memformat proses kebangsaan kita, dan membuat runtuhnya bangunan sosial
lama. kekuatan kapital lelah menggulung tatanan sosial. Berbagai kasus
kebijakan publik tentang politik swastanisasi pendidikan, adalah contoh nyata
betapa dunia sosioikultural berhadapan langsung dngan kekuatan pasar.
Negara pun seperti tak bisa berbual banyak terhadap pengaruh deras
kaphalisme.
Pengaruh sektor produksi internasional yang berkembang menciptakan
pula tingkah laku konsumtif di berbagai belahan bumi. Bahkan, negeri
periphery menjadi ladang subur bagi pertumbuhan tingkah laku konsumtif,
yang sering tampil sebagaigaya hidup. Scott Lash menyebutkkan sebagai
proses estetikanisasi dunia kehidupan global.
Globalisasi sektor produksi dan konsumsi secara nyata
membawa sebuah situasi baru: polurisierung and strafizierung arme
Wltbevoekrung in globalisierte Reiche und lokalisierte Arme (polarisasi dan
stratifikasi penduduk dunia dan globalitas kaum kaya dan lokalitas kaum
miskin) (Beck,1997: 101). Dengan bahasa lain bahwasanya akses global hanya
dapat tersentuh oleh kaum kaya, sementara kaum miskin
terkotak-kotak dalam permasalahannya sendiri (Anjal AnakBerhadapan
71
dengan hukum (ABH), warga miskin kota, PSK, pemulung, dan lain-lain),
tanpa memiliki daya dan kuasa untuk terlibat aktif dalam kemajuan dunia
global. Polarisasi ekonomi tersebut dibarengi pula oleh adanya situasi dunia
yang terfragmentasi. Penyebabnya adalah, tidak hanya akibat dari pergeseran
sektor produksi menuju sektor konsumsi, namun lebih dahsyat lagi adalah
terjadinya konsekuensi penalaran modernitas. (Giddens 1990; Beck 1986)
Konsekuensi-konsekuensi dari penalaran dan praktik modernitas
tersebut menciptakan impact-impact yang tak terdeteksi atau tak teramalkan
sebelumnya. Risiko adalah kata kunci untuk mendeskripsikan proses
kerusakan atau biaya. Beck dalam bukunya ”Risikogesellschaft : Auf dem Weg
in eine andere Moderne” (1996)menyebut proses modernitas semacam itu
sebagai "masyarakat risiko". Individuasi adalah proses sosial yang tak
terelakkan, yang menghidupi dan dihidupi oleh roh modernitas.
Spirit modernitas yang menyertai proses globalisasi tersebut kiranya
juga menghantam dunia kehidupan warga masyarakat. Jika di negeri-negeri
"pusat" terjadi proses individuasi yang luar biasa, demikian pula masyarakat
negeri-negeri "periphery" mengalami guncangan-guncangan luar biasa pada
tatanan sosialnya. Periode transisi ini ditandai oleh proses disembedding of
social system. Akibatnya, sistem komunikasi sosial masyarakat pada situasi
yang kaotis dan semakin hilangnya nilai "kepercayaan" institusional dan in-
dividual. (cf Luhman, 1999).
Pemahaman di atas memberikan makna bahwa proses intensifikasi
ruang-ruang transnasional, problem-problemnya, konflik, dan peristiwa selalu
berjalan dalam logika "global". Inilah yang kemudian disebut proses
globalisasi. Dimensi-dimensi tersebut tak pelak mengerucut pada soal bahwa
semuanya dimotori oleh kekuasaan pasar yang berideologi neoliberal
(globalisme).
Dalam era globalisasi dan persaingan internasional yang ketat, daya
saing bangsa Indonesia kerap disalip bangsa lain karena kita terlena dari
membangun bangsa yang kuat dan mandiri. Adalah John Kendrick (1573-
1624), di akhir dasawarsa 60-an yang mengingatkan kepada kita bagaimana
72
pentingnya pembangunan sebuah bangsa yang didasari oleh optimalisasi peran
sumber daya manusia (human stock), setelah sekian lama kita berpikir bahwa
capital stock merupakan aspek terpenting dalam proses perubahan peradaban
manusia. Pergeseran pemikiran tersebut berimplikasi pada penentuan target-
target pembangunan yang harus dicapai oleh suatu negara di dunia. Oleh
karenanya, indeks mutu sumber daya manusia pun dijadikan indikator
strategis untuk membangun daya saing suatu bangsa. Dalam konteks itu, maka
sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi menjadi sarana yang efektif untuk
mendongkrak peraihan indeks mutu sumber daya manusia. Untuk menyiapkan
sumber daya manusia tersebut, keberadaan dunia pendidikan terutama
pendidikan tinggi menjadi hal yang strategis untuk merepresentasikan tingkat
ketercapaian pembangunan ketiga pada sektor itu.
E. PROBLEMATIKA PERADABAN PADA KEHIDUPAN MANUSIA
Awal kelahiran modernisme merupakan sebuah proses revolusi
peradaban tentang cara pandang manusia terhadap realitas. Melalui fisika
Descartes, ia membangun sebuah wacana besar tentang metode pemahaman
terhadap realitas yang bertumpu pada konsep democritus. Descrates, membagi
realitas ke dalam atom-atom penyusun realitas dan kemudian dicari sistemnya
terhadap keseluruhan. Bersama para pengikutnya, kemudian ilmu fisika
menjelma sebagai bentuk ideologi besar modernisme, bahkan kemudian
mampu meruntuhkan dominasi gereja yang kala itu menjadi 'satu-satunya'
tafsir kebenaran terhadap segala macam realitas. Alam dalam pemaknaan
Descartes adalah kurang lebih dipahami scbagai sesuatu yang 'langsung jadi'
dan tidak memiliki perubahan, sistemnya tetap, begitu juga semua elemen
pembentuk alamnya.
Setelah konsepsi Descartes memengaruhi segala macam kehidupan,
termasuk tatanan sosial melalui pemikiran F. Bacon (1561-1626) dan Comte
(1798-1857), berlanjut kemudian alam pikiran modern mengenal seorang
Lamarck (1744-1829) dan Charles Robert Darwin (1809-1882) dengan teori
evolusinya di bidang biologi. Walaupun keduanya sejatinya berbeda dalam
73
memaknai proses evolusi, namun konsep evolusi ini merupakan sebuah revisi
terhadap konsep realitas dari sumbangsih Descartes yang menganggap alam
sebagai sebuah sistem yang tetap. Ternyata ide Darwin tersebut kemudian
mendapat dukungan dari generasi berikutnya, yaitu Karl Marx (1818-1883)
yang dikenal sebagai seorang Darwinian Sosial yang menganggap bahwa
prosespergantian sosial pun selalu melalui proses seleksi alam. Bahkan adanya
konflik adalah sesuatu yang niscaya sebagai upaya untuk keluar dari
kerumitan sosial sekaligus menjadi pemenang dari proses seleksi alam
tersebut.
Berikutnya adalah ilmuwan Sir Isaac Newton (1643-1727), melalui
Newton perkembangan ilmu fisika mengalami proses penyempurnaan.
Dengan demikian, realitas yang terdiri atas sistem dan elemen pembentuk
sistem (Descrates), dan realitas yang mengalami sebuah evolusi sccara terus-
menerus (Darwin) diterangkan dalam konsepsi berbeda yang dikenal dengan
konsepsi melanika. Mekanika Newton atau sering juga disebut dengan
mekanika klasik menjelaskan adanya fenomena benda yang relatif besar,
dengan kecepatan relatifrendah, tetapi juga dapat digunakan sebagai pendekat-
an fenomena benda mikroskopis. Secara makro, penjelasan mekanika Newton
tersebut membuka wacana besar yang membentuk peradaban modern semakin
sempurna. Melalui Descartcs, Darwin, dan Newton fondasi modernisme se-
makin kukuh. Pemikiran ketiga tokoh tersebut menemukan bentuk
fungsionalnya saat perkembangan alat-alat teknologi semakin meluas dan
mendunia, dimulai saat revolusi industri pada akhir abad ke-17.
Bergulirnya percepatan penggunaan teknologi canggih saat ini tidak
perlu selalu dimaknai sebagai keadaan yang negatif (Fritjof Capra, 2004).
Sebagaimana dalam kebijaksanaan klasik Cina, konsep
"krisis” menggunakan kata weijiyang terdiri dari huruf-huruf yang berarti
"bahaya" dan "kesempatan". Artinya, saat terjadi krisis sesungguhnya terjadi
proses transisi, yaitu selain mengandung bahaya juga mengandung
kesempatan yang bisa membuat kondisi awal manusia menjadi lebih baik.
74
Dilihat dari proses kelahiran modernisme sebelumnya, bisa dimaknai
bahwa peran sains (atau lebih tepatnya natural science) dalam menentukan
arah peradaban manusia sangat besar. Demikian juga kontribusi para saintis
yang memiliki kompetensi filosofis ternyata terbukti mampu menggiring
sejarah umat manusia. Begitu juga peran teknologi, di mana ketika sains
memiliki peran besar dalarn proses pembentukan wacana besar yang menjadi
fondasi 'kebenaran', teknologi sebagai bentuk aplikasi sains memiliki peran
besar dalam pembentukan realitas sosial. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa para saintis berwacana dan para teknolog membumikan pemikiran
mereka dalam bentuk peralatan yang berguna bagi kehidupan manusia.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana peran Sains dan teknologi dalam
penentuan bentuk peradaban baru pasca modernisme? Fritjof Capra menyitir
Toynbee tentang proses kelahiran Minoritas Kreatif sebagai nukleolus penentu
arah peradaban sebagai berikut:
Budaya runtuh karena kehilangan fleksibilitas. Pada waktu struktur
sosial dan pola perilaku telah menjadi kaku sedangkan masyarakat
tidak lagi mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah, per-
adaban itu tidak akan mampu melanjutkan proses kreatif evolusi
budayanya. Dia akan hancur dan secara berangsur mengalami
disintegrasi.
Sementara peradaban-peradaban yang sedang berkembang
menunjukkan keberagaman dan kepandaian yang tak pernah berhenti,
peradaban-peradaban yang berada dalam proses disintegrasi
menunjukkan keseragaman dan kurangnya daya temu. Hilangnya
fleksibilitas dalam masyarakat yang mengalami disintegrasi ini disertai
dengan hilangnya harmoni secara umum pada elemen-elemennya,
yang mau tak mau mengarah pada meletusnya perpecahan dan
kekacauan sosial.
75
Namun demikian, selama proses disintegrasi yang menyakitkan itu,
kreativitas masyarakat-kemampuannya untuk menghadapi tantangan-tidak
hilang sama sekali. Meskipun arus budaya telah menjadi beku dengan
melekatkan diri pada pemikiran-pemikiran mapan dan pola-pola perilaku yang
kaku, minoritas kreatif akan tetap muncul ke permukaan dan melanjutkan
proses tantangan dan tanggapan itu. Lembaga-lembaga sosial yang dominan
akan menolak menyerahkan peran-peran utama kepada kekuatan-kekuatan
budaya baru ini, tetapi mereka mau tak mau akan tetap runtuh dan mengalami
disintegrasi, dan kelompok minoritas kreatif itu mungkin akan mampu
mentransformasikan beberapa elemen lama menjadi konfigurasi baru. Proses
evolusi budaya ini akan terus berlanjut, tetapi berada dalam kondisi-kondisi
baru dan dengan tokoh-tokoh baru pula. (Titik Balik Perdaban, Fritjof Capra,
1981)
Melalui penjelasan Toynbee di atas, peradaban baru manusia post-
modern mulai terbentuk secara perlahan. Bahkan setelah ada interaksi antara
matematika dengan teknologi elektronika, kita kemudian mengenal bentuk
aplikasi teknologi yang dikenal dengan teknologi komputer, yang jauh me-
ninggalkan konsep mekanika Newton. Dunia kemudian juga mengenal adanya
pengaruh filosofis dari konsep fisika kuantum terhadap realitas sosial, yaitu
ketika teknologi komputer berinteraksi dengan realitas sosial, sehingga terlahir
sebuah teknologi informasi yang bergerak dalam logika kuantum yang
diprediksikan oleh Tofler akan menjadi tulang punggung benluk Peradaban
baru pengganti modernisme.
Sclain itu, kita mengenal bagaimana konsep cepat lambat mengalami
perubahan secara drastis. Juga konsep keterbatasan ruang yang bisa diatasi
sehingga konsep jauh dan dekat secara filosofis juga mengalami perubahan
makna. Dengan demikian, jaring-jaring Cartesian akan sulit untuk
menggambarkan karena konsep ruang dan waktu ini sudah berubah secara
filosofis. Bahkan perbedaan konsep nyata dan imajiner yang juga kemudian
diklaim oleh dunia IT akan segera teratsi akan semakin meninggalkan jaring-
jaring Cartesian sebagai satu-satunya yang bisa menggambarkan kenyataan.
76
Juga dengan berkembangnya pemetaan DNA, rekayasa genetika yang
meninggalkan konsep evolusinya Darwin. Sekali lagi terbukti, pengaruh
dominan saintis dan teknolog ternyata masih sangat dominan untuk
menentukan masa depan umat manusia. Apalagi setelah ilmuwan sosial
mahzab kritis dengan post-modernismenya terjebak dalam wacana dan definisi
semata, serta para teolog dan ahli agama yang terus disibukkan dengan
perdebatan liberal dan konservatifnya, disadari atau tidak para saintis dan
teknolog akan terus menjadi Penentu arah peradaban.
Ketika Descartes merumuskan konsep geometri analitis mungkin tidak
berpikir tentang implikasi moral dan sosial dari konsepnya tersebut. Demikian
juga seorang Darwin dan juga Newton. Apalagi melihat konsep
reduksionisnya Descartes yang kemudian mengilhami pembagian bidang spe-
sialisasi ilmu yang di masa peradaban Islam dianggap belum begitu penting.
Sehingga, pengaruh pemikiran yang mereka berikan terhadap perubahan sosial
bisa jadi tidak terpikirkan sebelumnya. Dengan bahasa lain, ekses modernisme
terhadap tatanan sosial pengganti tatanan sosial 'Abad Kegelapan' bisa jadi
tidak pernah mereka pikirkan bahkan tidak pernah mereka bayangkan. Apalagi
dampak negatifnya terhadap kenyataan sosial.
Adanya 'penyesalan' umat manusia terhadap proses peradaban manusia
yang merusak lingkungan dan tatanan sosial akses dari modernisme perlu
disikapi dengan bijak. Adalah sebuah kebutuhan mutlak bagi kita semua saat
ini agar para komunitas saintis dan teknolog terus mempertimbangkan dan
mengembangkan penerapan sains dan teknologi. Namun demikian, seluruh
kemajuan teknologi perlu terus mempertimbangkan konsekuensi ekologi,
moral, dan sosial dari proses inovasi maupun inventori yang mereka lakukan.
Karenanya, sindiran, teguran, dan peringatan dari kalangan ahli ilmu sosial
dan juga teolog atau ulama perlu disikapi secara bijak oleh para saintis dan
telnolog itu sendiri.
Hal yang cukup memperhatikan adalah budaya pragmatis, egois
bahkan tertutup (elitis) di tengah masyarakat kita. Hal tersebut secara tidak
sadar, sedikit banyak adalah kontribusi dari kalangan saintis dan teknolog.
77
Pertanyaannya bagaimana kita mengembalikan sistem yang memungkinkan
terbukanya kembali sekat-sekat komunikasi antara sains dan teknologi, dari
pihak saintis dan teknolog tentunya, dengan disiplin ilmu dan spesialisasi lain
tanpa harus mcmandang bidang ilmu lain lebih rendah. Selain itu,
Kuntowidjoyo (1943-2005) juga mengusulkan pentingnya membangun sebuah
etika profetis di kalangan saintis dan teknolog, sebagainiana layaknya para
nabi yang memandang dirinya sebagai sosok pembebas umat manusia dari
segala penindasan, sebagai sosok yang mendedikasikan proses inovasi
daninventory-nya untuk pembangunan kembali hakikat kemanusiaan
yangnyaris musnah, dan juga sebagai para pengingat urnat manusia akan
kenyataan bahwa sejatinya mereka adalah makhluk Tuhan.
Oleh karena itu, setiap ilmuwan seyogianya mengemban misi kenabian
(profetik) yaitu dengan melakukan transmisi keilmuan untuk peradaban yang
lebih maju tanpa merusak tatanan kehidupan manusia dan ekologi lingkungan
hidup. Yakni dengan membangun pemahaman bersarna bahwa sejatinya ilmu
adalah untuk kemanusiaan (humanity) dan kemaslahatan bersama (common
good). Ilmuwan tidak saja menyelesaikan persoalan kehidupan, tetapi ia harus
turut andil memastikan nasib keberlangsungan hidup dan masa depan generasi
umat manusia ke depan. Dengan kebersamaan satu misi tersebut, para
ilmuwan diharapkan tidak lagi terjebak dalam sekat-sekat pembidangan
keilmuwan yang yang dan merusak tujuan mulia dari ilmu pengetahuan.
78
BAB 5
MANUSIA, KERAGAMAN, DAN KESETARAAN
A. HAKIKAT KERAGAMAN DAN KESETARAAN MANUSIA
Masyarakat majemuk seperti Indonesia, bukan hanya beraneka ragarn
corak kesukubangsaan dan kebudayaan suku bangsanya secara horizontal,
tetapi juga secara vertikal atau jenjang menurut kemajuan ekonomi, teknologi,
dan organisasi sosial-politiknya (Suparlan, 1979). Tanpa disadari oleh banyak
orang Indonesia, sebenarnya dalam masyarakat Indonesia terdapat golongan
dominan dan minoritas, sebagaimana yang terwujud dalam tindakan-tindakan
yang dilakukan terhadap mereka dalam berbagai interaksi baik interaksi sccara
individual maupun secara kategorikal baik pada tingkat nasional.
Sebagai bangsa yang memiliki keragaman etnis, agarna, dan budaya
yang luar biasa, Indonesia sering kali dijadikan ajang pernantauan bagaimana
proses-proses demokrasi, penerapan ide-ide pluralisme, dan multikulturalisme
dapat dilangsungkan. Persentuhan ragam budaya dan agama antarkelompok
masyarakatnya yang telah berlangsung sejak lama ini juga telah melahirkan
ragam konflik dan konsensus yang terjadi. Demokrasi yang oleh Robert Dahl
(1982), juga disyaratkan dengan terciptanya karakteristik pluralisme yang
kondusif bagi sebuah negara ini mendapatkan gimnasiumnya di Indonesia.
Sebelum RI merdeka pada 1945, penduduk yang menghuni wilayah
Nusantara dapat dikelompokkan ke dalam berbagai bentuk pengelompokan
sosial yang disebut suku bangsa, subsuku bangsa, maupun pengelompokan
sosial vang didasari oleh sistem penggolongan sosial lain bcrdasarkan satu
(atau lebih) unsur tertentu yang diperoleh secara askriptif (warisan), seperti
ras, agama, dan lain sebagainya. Pada hakikatnya, masing-masing kesatuan
sosial tersebut hidup dengan mengacu pada kebudayaan atau
subkebudayaannya masing-masing, yang saling bcrbeda satu dengan lainnya.
Bahkan lengkap dengan ‘aturan-aturan hukum’-nya sendiri, yang kemudian
hari dikenal dengan sebutan ‘hukum adat’. Maka, tidak mengherankan jika
79
para ahli menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
mewujudkan diri sebagai suatu masyarakat yang majemuk dan sudah menjadi
pokok pcrhatian dari para ahli tersebut untuk waktu yang lama.
Dengan kalimat mewujudkan diri sebagai Negara Kesatuan Republik
Indonesia atau NKRl pada hakikatnya setiap kelompok, golongan, suku,
agama dan yang berbeda satu dengan lainnya melebur dan bersepakat
membentuk kesukubangsaan yang satu, yaitu bangsa Indonesia. Karena itu,
setiap generasi bangsa berdiri satu dengan lainnya dengan sejajar. Semua suku
bangsa saling inemberikan potensi terbaik yang mereka miliki kepada Negara
Kesatuan RI. Untuk itulah kita harus membangun bangsa kita, dimulai dari
diri kita sendiri, untuk menjadi unsur terbaik yang bisa memberikan kiprah
gemilang menuju cita-cita besar para founding fathers kita. Kesetaraan, artinya
setiap gcnerasi melaksanakan pembangunan dan diberi kepercayaan penuh,
dihargai, dihormati, dan diberikan pengakuan dalam hal kemampuandan nilai-
nilai yang dimiliki. Dalam prinsip kesetaraan bahwasanya setiap individu,
organisasi, atau institusi yang telah bersedia menjalin kemitraan harus merasa
"duduk sama rcndah berdiri sama tinggi" dengan yang lain. Kedua belah pihak
yang bermitra mempunyai kedudukan yang sejajar dalam mencapai tujuan
vang disepakati. Bagaimanapun besarnya suatu institusi atau organisasi dan
bagaimanapun kecilnva suatu institusi atau organisasi, apabila telah bersedia
menjalin kemitman harus mcrasa sama dan sejajar. Karena itu, dalam
kemitraan asas toleransi, kerja sama, saling timbal balik, harmonis, dan
keterbukaan harus terus dijunjung tinggi. Dalam prinsip keselaman tidak boleh
terjadi ada satu anggota memaksakan kehendaknyakepada anggota yang lain,
misalnya merasa lebih terhormat atau lebih tinggi kedudukannya, sehingga
anggota atau komunitas lainnya merasa terdiskriminasi dan tertindas oleh
dominasi anggota atau komunitas lainnya.
Kesetaraan adalah komitmen bersama yang perlu untuk terus dipupuk
dan dikembangkan dalam proses berbangsa dan bernegara di NKRI kita.
Dengan prinsip kesetaraan tersebut diharapkan kita kembali memperlihatkan
jati diri dan harga diri sebagai bangsa (self-nation-esteem) menghadapi
80
pelbagai persoalan kebangsaan yang terus-menerus datang di setiap zaman.
Dengan prinsip kesetaraan kita bisa membangun kemitraan yang kukuh untuk
kemudian saling berinteraksi, bersosialisasi dan berelapresi satu dengan
lainnya.
B. KEMAJEMUKAN DALAM DINAMIKA SOSIAL DAN BUDAYA
Pada dasarnya, kemajemukan dalam masyarakat Indonesia dapat
dipahami sebagai bentuk perbedaan daya adaptasi antar kelompok-kelompok
yang berbeda secara ras, suku bangsa, agama, dan bahasa, sehingga
menjadikan kelompok-kelompok yang memiliki tingkat perkembangan
kebudayaan, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Dengan proses yang
demikian, dengan mudah dapat dipahami pada adanya ketidakseimbangan dan
kesenjangan yang dapat saja berlanjut ke arah pertikaian antarras, suku
bangsa, dan kelompok agama, yang di Indonesia populer dengan sebutan
masalah sara, yang jelas-jelas mengancam integritas Indonesia sebagai suatu
nation.
Dalam pandangan Thamrin Amal Thomagola, struktur mozaik
sosialbudaya yang tegak di Nusantara kita ini dapat dideskripsikan dalam tiga
aspek, yaitu: struktur kesukuan, distribusi wilayah agama, dan dari aspek
tingkat pendidikan. pertama, dari aspek struktur kesukuan, keseluruhan
struktur mozaik Nusantara ini terbelah menjadi dua bagian utama.
keterbelahan ini kurang lebih mengikuti garis-Wallace (Wallace Line) yang
terkenal itu ke dalam dua bagian, yaitu Indonesia Barat dan Indonesia Timur.
Teramati ada beberapa perbedaan pokok antara Pola Indonesia Barat dengan
Pola Indonesia Timur (selanjutnya disingkat dengan PIB untuk yang pertama,
dan PIT untuk yang disebut terakhir). Pertama, dari 656 suku di seluruh
Nusantara hanya ada seperenam (109 suku) di PIB sedangkan di PIT ada lima
perenam (547 suku). Dari jumlah yang disebut terakhir ini, tiga perlirna (300-
an suku) berdiam di Papua Barat. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa
keseragaman suku di PIT jauh lebih tinggi dari keragaman suku di PIB.
81
Kedua, ada delapan suku, yaitu suku Aceh, Batak, Minang, Sunda,
Jawa, Madura dan Bali, dari semibilan suku dominan di Indonesia ada di PIB
dan hanya satu berlokasi di PIT, yaitu suku Bugis. Sementara suku-suku
dominan lainnya, yaitu: Aceh, Batak, Melayu, Minang, Sunda, Jawa, Madura,
Bali, dan Bugis. Suku-suku tersebut dikatakan domain berdasarkan tiga
kriteria utama, yaitu: (1) jumlah proporsional; (2) punya kerajaan dan
masyarakat yang mapan di masa lampau; dan (3) menyumbangkan banyak
tokoh nasional dalam hampir semua bidang kehidupan, terutama dalam bidang
kebudayaan, intelektual, dan kenegaraan. (Tomagola, 1990)
Ketiga, setiap suku di PIB paling kurang mendiami satu provinsi
secara utuh, dan, kadang-kadang dua provinsi atau lebih seperti suku Minang
dan Jawa. Sebaliknya di PIT, dalam satu kecarnatan saja dapat ditemukan
lebih dari 10 suku, dalam satu kabupaten berdiam lebih dari 20 suku, dan,
besar kemungkinan dalam satu provinsi menampung lebih dari 40 suku.
Sementara dalam tinjaun Koenjaraningrat (1987: 32), suku bangsa di
Indonesia dapat juga dipetakan dari model mata pencaharian yang dominan
digelutinya, yang secara bersamaan sekaligus dipengaruhi oleh suatu
peradaban dari luar seperti zending, missi, pemerintahan kolonial,
kebijakanpemerintahan RI, pengaruh kebudayaan Hindu dan agama Islam.
Antara lain dapat dikelompokkan pada masyarakat berburu, berladang, tani
sawah, berkebun, pengembara, dan seterusnya.
Dengan melihat kebudayaan sebagai suatu mekanisme adaptasi suatu
masyarakat dalam menginterpretasikan lingkungan yang dihadapinya, baik
lingkungan sosial maupunfisik, maka tingkat perkembangan masing-masing
kebudayaan dapat dibeda-bedakan berdasarkan daya adaptasinya itu.
Perbedaan daya adaptasi ini dapat ditelusuri melalui model-model produksi
(models of production) yang dikembangkan oleh masing-masing kelompok
masyarakat yang bersangkutan, yang terwujud kedalam sistem teknologi,
pengetahuan, pola-pola pengeksploitasi dan penguasaan sumber daya
ekonomi, serta jaringan hubungan dengan masyarakat lain yang lebih luas.
82
Dengan cara demikian, perbedaan kebudayaan dalam nation Indonesia
dapat dilihat secara gradual. Baik antara kelompok-kelompok yang ada di
dalam satu golongan sosial yang dikategorisasikan ke dalam situ kelompok
horizontal tertentu, maupun antar kelompok-kelompok horizontal itu sendiri.
Misalnya saja, dalam masyarakat orang Jawa, Minangkabau atau Batak, ada
kelompok-kelompok sosial tertentu yang memiliki daya adaptasi yang tinggi
dan ada yang rendah. Demikian pula, orang Jawa, Minangkabau dan Batak,
pada umumnya, relatif memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi ketimbang
rata-rata orang Mentawai, Kubu (atau Suku Anak Dalam), atau berbagai suku
bangsa (atau subsuku bangsa) yang menghuni pcdalaman Kalimantan, Su-
lawesi, dan Irian Jaya, misalnya.
Berdasarkan tingkat perkembangan sistem teknologi, pengetahuan,
poly-poly pengeksploitasian dan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi,
serta jaringan hubungan dengan masyarakat yang lebih luas ini, kelompok-
kelompok suku bangsa atau subsuku bangsa yang ada di wilayah kedaulatan
Republik Indonesia ini setidaknya dapat dibagi kedalam empat kategori
utama, di mana situ sama lainnya memiliki tingkat daya adaptasi yang berbeda
satu lama lainnya.
Pertanna, adalah kelompok masyarakat yang dapat dikategorikan
sebagai tribal society. Dari segi komposisi demografi, jumlah anggota
kelompok masyarakat yang dimaksud relatif kecil. Masyarakat yang tergolong
kepada tribal society ini biasanya hidup dalam persekutuan-persekutuan hidup
yang beranggotakan lebih/ kurang 50 jiwa saja. Masing-masing persekutuan
hidup itu tidak terintegrasi ke dalain persekutuan (politik) yang lebih luas.
Pada umumnya bermata pencaharian berburu dan meramu (hunting and food
gathering). Berkaitan dengan sistem pemenuhan kebutuhan sehari-hari ini,
biasanya, pola permukiman kelompok masyarakat ini bersifat nomadis
(berpindah-pindah tempat), meski batas-batas wilayah pengembaraannya itu
tetap dapat ditentukan secara pasti.
83
Di Indonesia, kelompok masyarakat yang terkategori ke dalam tribal
society atau masyarakat pemburu dan peramu ini relatif kecil jumlahnya.
Sejauh yang dapat diketahui, kelompok masyarakat yang dapat dikategorikan
sebagai tribal society hanyalah sebagian dari orang Kubu (Suku Anak Dalam)
yang hidup di wilayah belantara Jambi dan Sumatera Selatan. Konon juga
terdapat di beberapa daerah pedalaman lrian Jaya, Kalimantan, dan Sulawesi
(bagian Tengah). Di samping itu, dalam kenyataannya, untuk kasus Indonesia,
kegiatan berburu dan meramu ini sering kali pula dikombinasikan dengan
kegiatan berkebun yang teknologinya juga relatif amat sederhana. Jenis
tanaman yang umum dibudidayakan adalah keladi dan ubi jalar. Sebab itu
pula, oleh Koentjaraningrat, masyarakat ini dikategorikan sebagai masyarakat
berkebun. Menurut Koentjaraningrat, khususnya bagi kelompok-kelompok
yang telah mengombinasikan sistern berburu dan merarnu ini dengan sistem
berkebun, tanaman padi tidak dibiasakan. Sistem dasar kemasyarakatannya
juga telah berkembang menjadi desa terpencil tanpa diferensiasi dan
stratifikasi yang berarti; gelombang pengaruh kebudayaan menanarn padi,
kebudayaan perunggu, kebudayaan Hindu dan agama Islam-setidaknya hingga
satu-dua dekade belakangan ini-tidak dialami; dan isolasi dibuka oleh zending
dan/atau missi.
Kedua, kelompok masyarakat perladangan berputar (rotary
cultinatiotz), atau lebih populer disebut kelompok masyarakat yang
mengembangkan sistem pcrladangan berpindah (shifting cultivation). Karena
dalam sistem teknologi pertanian yang dikembangkannya ada unsur pekerjaan
menebas dan membakar, teknik ini kerap pula disebut sebagai slash and burn
cultivation. Demikian pula, karena kegiatan pertanian itu tidak
diselenggarakan secara terus-menerus pada satu bidang lahan tertentu, maka
kegiatan pertanian ini sering pula dikategorikan sebagai suatu cara produksi
pertanian elcstensif (extensive agriculture). Betapa pun, kelompok masyarakat
ini pada dasarnya merupakan kelompok masyarakat yang telah dapat bercocok
tanah untuk menghasilkan bahan makanan pokoknya (food producing) scndiri.
Sebagian besar kelompok masyarakat ini juga berada di luar Jawa, dengan
84
sedikit pcngecualian di beberapa tempat tertentu saja, seperti pada masyarakat
Badui, misalnya. Komposisi demografis kelompok masyarakat ini berjumlah
lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang pertama.
Bisa mencapai angka ribuan jiwa. Meski begitu, keterikatan anggota
masyarakat yang satu dengan yang lainnya masih menekankan pada sistem
kekerabatan (kinship system). Secara tradisional kelompok ini belum
sepenuhnya terintegrasi pada sisteln sosio-ekonomi pasar yang lebih luas dan
sistem sosiopolitik yang lebih besar dan kompleks.
Seperti juga pada kelompok pertama, diferensiasi dan stratifikasi
sosial-ekonomi belum begitu menonjol, masih bersifat egaliter, dan juga
belum mengenal spesialisasi atau pembagian kerja atas dasar keterampilan dan
keahlian penguasaan teknologi. Semua anggota masyarakat masih mungkin
untuk memiliki akses dan kontrol yang sama atas sumber daya-sumber daya
elconomi, khususnya tanah. Hal ini dimungkinkan karena rasio antara jumlah
dan kepadatan penduduk dengan luas tanah masih rendah, sehingga mereka
masih bisa melakukan perladangan berputar itu. Tanah masih dikuasai seeara
kolektif-kecuali pada bidang-bidang tertentu-dan setiap anggota kolektif bisa
membuka dan menguasainya. Dalam konteks inilah mengapa masyarakat
peladang berputar ini dalam batas-batas tertentu masih dapat dikatakan
bersifat egaliter. Namun demikian, karena pertanian perladangan ini
mempunyai indeks diversitas tanaman yang tinggi, artinva scbidang lahan
ditanami oleh banyak jenis tanaman, maka-dari sudut tertentu-biasanya tidak
efektif, dan hasilnya juga tidak begitu tinggi, tidak dapat menghasilkan surplus
produksi yang besar, meskipun tingkat kepadatan penduduknya masih rendah.
Akibatnya, masyarakat peladang belum sepenuhnya dapat terintegrasi pada
sistem ekonomi yang lebih besar.
85
Ketiga, kelompok masyarakat petani (peasant society). Kelompok
masyarakat ini adalah kelompok-kelompok masyarakat yang mengembangkan
sistem pertanian menetap (sedenter). Berbeda dengan cara bertani pada
kelompok peladang berputar terdahulu, kelompok masyarakat ini
mengembanglcan cara produksi pertanian intensif (intensive agriculture),
yang di Indonesia dikenal sebagai sistem pertanian lahan basah atau pertanian
persawahan. Sistem ini UmIum dikenal oleh kelompok masyarakat yang
menghuni Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan di daerah-daerah tertentu di pulau-
pulau yang ada di gugusan Sunda kecil (terutama di Bali, NTB).
Karcna sistem pertanian ini mampu menghasilkan surplus hasil yang
cukup besar, kegiatan ekonomi kelompok ini telah terintegrasi ke dalam
sistem sosio-ekonomi dan sosiopolitik yang lebih besar dan lebih luas. Bahkan
hingga tingkat regional dan global. Keterikatan antar-anggota dalam
masyarakat-masyarakat yang bersangkutan tidak lagi melulu berdasarkan
sistem kekerabatan, melainkan juga pada ikatan sosiopolitik dan sosio-
ekonomi yang lebih formalistis. Seperti organisasi dan asosiasi.
Di samping itu, secara demografis jumlah anggota kelompok
masyarakat yang besangkutan cukup besar dan tingkat kepadatan pcnduduk
cukup tinggi, serta tkah pula mengenal diferensiasi dan stratifikasi sosial-
ekonomi (dan politik). Artinya, ada di antara anggota masyarakat yang
bersangkutan yang tidak atau hanya sedikit memiliki akses dan kontrol pada
sumber-sumber daya ekonomi, terutama tanah. Bahkan, orang-orang yang
tidak atau sedikit memiliki akses dan kontrol pada tanah itu jumlahnya lebih
banyak. Hal ini disebabkan oleh adanya ketimpangan rasio antara tanah
dengan jumlah dan tingkat kepadatan penduduk, jumlah masyarakat petani
selalu lebih besar dibandingkan dengan luas lahan pertanian yang tersedia.
Keempat, adalah kelompok masyarakat perkotaan. Masyarakat
perkotaan adalah suatu masyarakat yang tinggal di suatu lingkungan
pemukiman tertentu, yaitu suatu lingkungan di mana para penghuninya dapat
memenuhi sebagianbesar kebutuhan ekonominya di pasar setempat. Biasanya
barang-barang itu dihasilkan oleh penduduk yang tinggal di daerah
86
”pedalaman” (pedesaan), yang biasa disebut sebagai daerah yang melindungi
desa. Titik awal gejala kota adalah timbulnya golongan literati (golongan
intelektual, pujangga, agamawan, misalnya), atau berbagai kelompok spesialis
yang berpendidilcan dan non-agraris, sehingga pembagian kerja dalam
masyarakat perkotaan ini sangat kompleks.
Dilihat dari peran sosio-ekonomi dan sosiopolitiknya dalam suatu
jaringan kehidupan yang lebih luas, masyarakat perkotaan ini juga disebut
sebagai kelompok elite ekonomi dan politik. Kelompok ini pada dasarnya
mulai terbentuk sejak zaman kolonial, atau mungkin sejak awal abad XX,
ketika pemerintah kolonial Belanda mulai memperkenalkan sistem pendidikan
sekolah yang modern. Kelompok ini adalah orang-orang yang berlatar
belakang pendidikan sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penduduk Indonesia pada umumnya yang sebagian di antaranya kemudian
masuk ke dalam sistem birokrasi pemerintahan kolonial atau menjadi politisi
pejuang kemerdekaan.
Setelah masa kolonial, kelompok masyarakat ini mulai bertambah
dengan orang-orang yang memiliki akses dan kontrol pada sumber-sumber
daya ekonomi, teknologi, dan informasi, terutama sejak pemerintah Orde Baru
memegang tampuk pemerintahan, yang dapat dikategorikan sebagai elite
ekonomi nasional, yang berasal baik dari golongan pribumi dengan latar
belakang suku bangsa, agama, dan daerah yang berlainan, maupun yang
berasal dari golongan minoritas pribumi.
Di bawah kelompok elite kota ini ada suatu kelas menengah perkotaan
yang jumlahnya lebih besar, yaitu parapegawai pemerintahan, pegawai,
perusahaan-perusahaan swasta, kaum intelektual, dan pengusaha-pengusaha
mandiri. Dari segi cara hidup kelas menengah ini tidak berbeda jauh dengan
lapisan elite, sehingga mereka bisa dimasukkan ke dalam lapisan yang
dikategorikan memiliki suatu pola kebudayaan “super kultur metropolitan”.
Dilihat dari gaya hidup yang mereka miliki dan kembangkan, mereka
telah lebih jauh hidup dan menjadi bagian dari kerangka peradaban global.
Bahasa, gaya hidup, penguasaan teknologi dan informasi, serta cara kerja yang
87
berorientasi pada peradaban internasional ini menjadi kelompok acuan
(reference group) bagi hampir semua kelompok-kelompok masyarakat yang
lain. Betapa pun, perbedaan sistem teknologi, sistem-sistem kemasyarakatan,
dan kompleksitas jaringan hubungan dengan masyarakat yang lebih luas pada
masing-masing kategori seperti telah diperinci di atas, akan berpengaruh pada
kemampuan beradaptasi atas perkembangan sosial-ekonomi, sosial-politik dan
sosial-budaya, yang dihadapi oleh masing-masing kelompok masyarakat yang
bersangkutan.
C. KERAGAMAN DAN KESETARAANSEBAGAI KEKAYAAN SOSIAL-
BUDAYA BANGSA
Kita menyadari bahwa Kepulauan Nusantara terdiri atas aneka warna
kebudayaan dan bahasa, secara umum keragaman atas sosial-budaya yang
tegak di Nusantara kita ini dapat dideskripsikan dalam tiga aspek, yaitu:
struktur kesukuan, distribusi wilayah agama, dan dari aspek tingkat
pendidikan. Namun keberagaman tersebut dalam konteks kekayaan menjadi
kekayaan yang patut kita syukuri. Keberagaman dalam konteks Nusantara
menjadi konsep kesetaraan sesuai dengan konsep integrasi nasional dengan
rumusan Bhineka Tunggal Ika yang artinya Bhina = pecah, ika = itu, Tunggal
= satu, sehingga Bhineka Tunggal Ika artinya "terpecah itu satu”.
Tidak jarang kebhinekaan bangsa kita sampai pada konflik tingkat
nasional yang menyebabkan terganggunya integrasi bangsa scbagai cita-cita
bangsa. Sosial-budaya begitu kompleksnya menyangkut berbagai segi
kehidupan manusia dan masyarakat, serta unsur utama dalam proses
pembangunan diri manusia dan masyarakat.
Keberagaman dan kesetaraan dalam konteks kekayaan khazanah
sosial-budaya bangsa salah satunva adalah dengan mcngembangkan atau
merumuskan kebudayaan nasional Indonesia. Sehingga keberagaman sosial
budaya dan kesetaraan sosial-budaya mampu mengemban fungsi kebudayaan
nasional, yaitu :
88
a. Suatu sistem gagasan dan perlambang yang memberi identitas kepada
warga negara Indonesia.
b. Suatu sistem gagasan dan perlambang yang dapat dipakai oleh semua
warga negara Indonesia yang beragam (bhineka) itu, untuk saling
berkomunikasi dalam kesetaraan dengan demikian dapat memperkuat
solidaritas sosial-budaya bangsa.
D. PROBLEMATIKA KERAGAMAN DAN KESETARAAN SERTA
SOLUSINYA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN NEGARA
Dalam pen-Takdir-annya sebagai negara kepulauan atau negara
maritim yang masyarakatnya bersifat majemuk (plural society), pemerintah
dan masyarakat Indonesia masih harus belajar banyak dari sejarah
perjalanannya sendiri tentang bagaimana mengelola kemajemukan terscbut
agar menjadi modal sosial pembangunan bangsa. Masyarakat majemuk yang
tersusun oleh keragaman lcelompok etnik (etnic group) atau suku bangsa
beserta tradisi budayanya itu, tidak, hanya berpeluang menjadikan Indonesia
sebagai negara yang kuat di masa mendatang, tetapi juga berpotensi
mendorong timbulnya konflik sosial yang dapat mengancam sendi-sendi
integrasi negara-bangsa (nation-state), jika dinamika kemajemukan sosial
budaya itu tidak dapat dikelola dengan baik.
Sebagai unsur pembentuk sistem sosial masyarakat majemuk
kelompok-lcelompok etnik memiliki kebudayaan, batas-batas sosial-budaya,
dan sejumlah atribut atau ciri-ciri budaya yang menandai identitas dan
eksistensi mereka. Kebudayaan yang dimiliki kelompok etnik mcnjadi
pcdoman kehidupan mereka dan atribut-atribut budaya yang ada, seperti adat
istiadat, tradisi, bahasa, kesenian, agama dan paham keagamaan, kesamaan
leluhur, asal usul daerah, sejarah sosial, pakaian tradisional, atau aliran
ideologi politik menjadi ciri pemerlain atau peinbeda suatu lcelompok etnik
dari kelompok etnic yang lain. Kebudayaan dan atribut sosialbudaya sebagai
penanda identitas kelompok etnik memiliki sifat stabil, konsisten, dan
bertahan lama.
89
Berdasarkan uraian di atas dan dalarn konteks perbandingan yang
setara, orang Jawa disebut sebagai suatu kelompok etnik karena mereka secara
budaya memang berbeda dengan orang Madura. Demikian juga, dalam
konteks perbandingan yang setara pada orang Jawa di Jawa Timur, bahwa
orang Jember tentu berbeda secara kultural dengan orang Surabaya. Orang
Jember tidak akan mau disebut sebagai orang Surabaya, demikian pula
sebaliknya. Karena perbedaan-perbedaan kultural ini keduanya disebut
sebagai sebuah kelompok etnik yang berbeda, walaupun keduanya berada
dalam ruang lingkup orang Jawa, di Jawa Timur. Hal yang sama juga berlaku
untuk penyebutan Osing, Tengger, Pendhalungan, Mataraman, Arekan atau
Samin sebagai sebuah kelompok etnik dan sub-etnik yang berbeda-beda.
Etnisitas (etnicity) atau kesukubangsaan selalu muncul dalam konteks
interaksi sosial pada masyarakat majemuk. Sebagai sebuah realitas sosial yang
wajar dan alamiah, etnisitas akan terjadi secara intensif dalam masyarakat
tradisional atau masyarakat trandisional. Dalam proses interaksi tersebut
kelompok etnik atau individu-individu dalam kelompok etnik akan
memanfaatkan atribut-atribut sosial-budaya yang dimiliki untuk mencapai
tujuan tertentu. Bentuk mana yang dipilih di antara atribut-atribut tersebut
sebagai penanda identitas diri sangat ditentukan oleh konteks interaksi dan
tujuan yang akan dicapai. Pilihan terhadap suatu atribut sosial-budaya bagi
seorang individu akan didasarkan pada pilihan rasional (rational choice), yang
dipertimbangkannya secara saksama bahwa hal itu dapat mencapai tujuan
yang diinginkan melalui interaksi sosial tersebut.
Dalam kaitannya dengan akses dan perebutan sumber daya di daerah
yang bersifat struktural, seperti potensi ekonomi dan kekuasaan politik,
manifestasi etnisitas sering menimbulkan ketegangan dan konflik sosial di
antara pihak-pihak yang terlibat atau yang berkepentingan. Masa otonomi
daerah sekarang ini memberikan peluang yang besar bagi timbuhnya konflik
sosial berbasis etnisitas, ketika tradisi berdemokrasi, penghormatan terhadap
keadilan sosial, dan penghargaan terhadap prestasi belum menjadi pandangan
dan sikap hidup kita sehari-hari. Kondisi demikian lebih banyak
90
menguntungkan kepentingan pribadi dan kelompok (etnik) daripada
kepentingan masyarakat. Masalahnya adalah bagaimanakah meminimalkan
konflik sosial berbasis etnisitas yang dapat merugikan kepentingan masyarakat
luas?
Secara normatif, otonomi daerah telah memberikan keleluasaan bagi
masyarakat di daerah (bukan pemerintah daerah) untuk mengaktualisasikan
diri secara optimal dalam manajemen pembangunan daerah. Undang-undang
yang mendasari praktik otonomi daerah memberi pengakuan terhadap
eksistensi masyarakat dan kebudayaannya. Otonomi daerah menandai era
penghargaan terhadap keberagaman dan otonomi masyarakat, setelah Orde
Baru memberangusnya selama masa tiga dasawarsa lebih (Zakaria, 2000). Da-
lam ruang politik yang semakin terbuka ini, masyarakat di daerah (indigenous
people) menggali kembali potensi-potensi kelembagaan sosial atau konstruk
nilai-nilai budaya lokal yang dianggap berguna untuk menopang eksistensi
mereka di tengah arus globalisasi dan dinamika pembangunan daerah.
Wujud dari penggalian di atas adalah hadirnya asosiasi-asosiasi
masyarakat adat Nusantara, pembangkitan kembali satuan-satuan desa adat
tradisional (nagari di Minangkabau, kampong di komunitas Melayu
Kalimantan Barat, dan pakraman di Bali), serta eksplorasi ulang atas
revitalisasi pranata-pranata lokal untuk mengelola sumber daya alam secara
lestari dan adil, seperti sasi di Maluku dan awig-awig di Bali-Lombok. Hal-hal
ini untuk membangun kembali fondasi sosial-budaya masyarakat, khususnya
masyarakat di pedesaan agar memiliki kemampuan otonomi yang kukuh
dalam menyikapi gerak pembangunan di bawah kebijakan otonomi daerah.
(Siregar dan Wahono (Peny.), 2002; Zakaria, 2004)
Walaupun demikian, di daerah-daerah yang memiliki struktur
masyarakat majemuk proses revitalisasi kebudayaan etnik juga harus
memerhatikan eksistensi kebudayaan etnik yang lain. Misalnya, kasus
Osingisasi yang dilakukan olch Bupati Banyuwangi, Samsul Hadi, yang
ketepatan la berasal dari etnik Osing adalah kasus yang kebablasan, sehingga
berpotensi mengundang kctcgangan sosial. Kebijakan Bupati Banyuwangi
91
tersebut adalah mengharuskan para petinggi pemerintah kabupaten yang akan
menghadapnya harus menggunakan bahasa Osing. Bahasa Osing scbagai
muatan kurikulum lokal diajarkan pada siswa SD-SMP yang sudah
berlangsung tiga tahun terakhir, dan menginstruksikan kepada seluruh
masyarakat Banyuwangi agar mcrayakan tradisi endog-endogan dalam rangka
Maulud Nabi Muhaulmad SAW seperti yang selama ini dilakukan oleh
komunitas Osing. (Sunarlan, 2004: 170-171)
Bupati juga memperkuat posisi kesenian Gandrung sebagai ikon
Kabupaten Banyuwangi, dengan membangun patung Gandrung yang
menghabiskan dana miliaran rupiah di daerah Watu Dodol, Ketapang.
Kebijakan yang berkaitan dengan kurikulum lokal tersebut mengundang reaksi
sosial dari para pengelola SD-SMP yang lingkungan sosialnya bukan
komunitas Osing, seperti masyaralcat Madura di Muncar. Kebijakan politik
etnisitas seperti ini lebih bernuansa politik praktis, yakni memperkuat basis
konsolidasi kekuasaan dan legitimasi politik Bupati di mata publik
menyongsong Pilkada 2005, dengan jalan mengaktifkan beberapa atribut atau
unsur kebudayaan Osing: bahasa, seni, dan tradisi.
Kasus yang lain bisa kita lihat pada beredarnya selebaran gelap
mcnjelang pemilihan Bupati Lamongan. Selebaran itu berisi surat perjanjian
Calon Bupati Masfuk kepada Forum Rembug Muhammadiyah Lamongan
untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar di Lamongan
dibandingkan dengan ormas yang lain. Surat perjanjian itu ditandatangani 20
Mei 2005. Kop surat selebaran tertera nama Muhammadiyah dan Partai
Amanat Nasional. Pengurus Daerah Muhammadiyah dan Dewan Pimpinan
Daerah Partai Amanat Nasional Lamongan menilai skebaran gelap tersebut
bisa menyesatkan masyarakat Lamongan. Ketua Muhammadiyah Lamongan,
Afnan Anshari mengatakan, “Muhammadiyah tidak pernah menggunakan
segala cara untuk meraih tujuannya. Isu yang ada dalam selebaran ini sangat
kotor. Kami mendesak agar Panwas Pilkada menindaklanjuti temuan ini
secara hokum”. (Kompas Jatim, Senin, 27 Juni 2005: A)
92
Masih dalam Kaitannya dengan pemilihan kepala daerah, Forum
Komunikasi Batak (FKB) Jawa Timur menyesalkan Calon Wali Kota
Surabaya Alisjahbana dari Partai Kebangkitan Bangsa yang selama ini
dianggap enggan mencantumkan nama marga Sitepu dalam berbagai
kesempatan. Menurut Ketua FKB Jawa Timur, RH Batubara, "Nama marga
merupakan ikatan turun-temurun. Seharusnya sebagai, orang yang berdarah
Batak, Alisjahbana tetap menggunakan nama marga seperti halnya sejumlah
tokoh lain, yakni Akbar Tanjung dan Sudi Silalahi". FKB Jatim juga
menunjukkan fotokopi ijazah Alisjahbana saat lulus sebagai sarjana teknik
ITB Bandung 1974, dengan nama lengkap Alisjahbana Sitepu. Ketika
dihubungi wartawan untuk konfirmasi, Alisjahbana mengatakan, "Nama
seseorang merupakan urusan pribadi". Sejak bekerja di Pemerintah Kota
Surabaya selama 30 tahun lebih, Alisjahbana tidak pernah menggunakan nama
marganya. (Kompas Jatim, Senin, 30 Mei 2005: 1)
Benar tidaknya isi selebaran gelap di Lamongan tersebut, dari
perspektif etnisitas mobilitas identitas etnik yang terkait degan paham
keagamaan (Muhammadiyah) juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
politik yang bersifat negatif atau positif bagi pihak-pihak yang terlibat dalam
persaingan memperebutkan jabatan politik Bupati Lamongan. Demikian juga,
penghilangan (penyembunyian) nama marga Sitepu bagi Alisjahbana, bukan
tanpa alasan, tetapi ada kepentingan tertentu (ekonomi-politik) yang akan
diraih dalam proses interaksi social dan jika nama marga itu tetap dilekatkan
justru akan menghambat pencapaian kepentingan tersebut. Pilihan tindakan
demikian sudah diperhitungkan untung ruginya bagi yang bersangkutan.
Kasus-kasus serupa banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks otonomi daerah, kasus yang terjadi di Banyuwangi
untuk membangun “hegemoni budaya Osing” sesungguhnya hanya merupakan
sarana penguasa daerah untuk mencapai penguasaan sumber daya ekonomi-
politik yang lebih besar. Kasus seperti ini mirip dengan kebijakan
kolonialisme internal (internal colonialism) Pemerintah Thailand terhadap
kelompok-kelompok etnik minoritas, khususnya masyarakat muslim Malaysia
93
di Pattini di wilayah selatan yang berbatasan dengan Malaysia, yang berusaha
keras untuk menegaskan aspek-aspek identitas budaya masyarakat Pattani
melalui penetrasi kebudayaan Thai dan Buddha. Di samping terjadinya
penetrasi budaya dominant (dominance ulture), kebijakan pembangunan
regional Pemerintah Thailand yang bersifat deskriminatif dan hanya menguras
sumber daya local, telah membangkitkan gerakan perlawanan bersenjata
masyarakat Pattani terhadap Pemerintah Thailand. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Penguasa Orde Baru terhadap Aceh, yang mendorong
masyarakat Aceh menjadi anti-Jawa (lihat, Brown, 1994).
Dalam studi-studi konflik etnik, kebijakan politik etnik negara dan
Pemerintah Thiland memperluas batas-batas social budaya identitas suatu
kelompok etnik, khususnya etnik yang dianggap kelompok dominant atau
pribumi, seperti Thai-Buddha, senantiasa berhadapan dengan penolakan atau
resistensi social dari kelompok-kelompok etnik yang terkena kebijakan
tersebut, orang Pattani-Muslim. Sementara itu, untuk menghimpun kekuatan
dan modal perjuangan menghadapi hegemoni negara dan penetrasi kelompok
etnik dominan (Thai), kelompok-kelompok etnik minoritas yang
terdisriminasi, seperti masyarakat Pattani akanmengaktifkan jaringan etnisitas
yang berbasis kesamaan asal usul dan leluhur, sejarah social, identitas ke-
Islam-an, dan tradisi social budaya sebagai sarana pengikat social dan
pembangun solidaritas social. Dalam konteks demikian, etnisitas akan berubah
menjadi ideology perjuangan untuk menghadapi negara yang telah membuat
diri mereka tidak nyaman dan terancam serta mengganggu kelangsungan
hidup kelompok etnik. (Brown, 1994: 1-5).
Dalam banyak kasus, negara dan kebijakan-kebijakan para
penguasanya mengambil peranan yang besar terhadap tumbuhnya peristiwa
konflik etnik dan kekerasan social di berbagai negara (Renner, 1999: 33-47).
Konflik-konflik dan kekerasan social berbasis etnisitas yang terjadi di
Indonesia menjelang akhir kekuasaan Orde Baru hingga sekarang merupakan
akibat dari kesalahan kebijakan pembangunan daerah dan ketidakbecusan
penguasa Orde Baru mengelola kemajemukan masyarakat kita (Kusnadi,
94
2001). Hal yang sama bukan tidak mungkin akan dilakukan oleh penguasa
pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) era otonomi daerah. Bahkan, saya
perkirakan bahwa sifat rakus politik danserakah ekonomi penguasa di daerah
dan kebijakan-kebijakannya yang tidak memihak kepentingan rakyat akan
menjadi pemicu konflik sosial yang berskala luas di daerah.
Konflik sosial ini tidak hanya terjadi di kalangan internal antar-elite
daerah, tetapi juga melibatkan penguasa daerah dengan rakyat secara
keseluruhan dan antar kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat.
Keetidakpuasan rakyat yang meluas terhadap perilaku pemimpinnva dapat
mendorong timbuhnya revolusi sosial, sebagaimana pcrnah terjadi dalam
sejarah sosial kita. (Lucas, 2004)
Di saat rakyat harus berjuang melawan kemislcinan, ketidakadilan
hukum, busung lapar, kurang gizi, dan mahalnya biaya pendidikan, para
penguasa daerah justru berpesta pora menghambur-hamburkn uang rakyat
yang diperoleh dengan jalan menjarah. Walaupun kita telah memasuki era
demokrasi dan masyarakat mulai tumbuh kekuatannya untuk terlibat dalam
proses bernegara, tetapi praktik-praktik kekuasaan yang muncul lebih parah
daripada perilaku kuasa rezim Orde Baru. Substansi berdemokrasi belum
memberikcan keuntungan bagi rakyat dankebijakan-kebijakan publikyang
dihasilkan oleh negara juga belum memihak pada kepentingan rakyat. Beban
kehidupan rakyat semakin berat, khususnya untuk memenuhi kebutuhan
primernya. (Prasetyo, 2004ab, 2005 dan Putra, 2005)
Dalam masa otonomi daerah ini yang pendekatan pembangunannya
berorientasi pada aspek kewilayahan, eksplorasi etnisitas sebagai ideologi
perjuangan kelompok masyarakat yang dirugikan oleh kebijakan
pembangunan daerah akansemakin berpeluang. Gagasan sebagian masyarakat
beberapa waktu yang lalu untuk membentuk Kabupaten Jember Selatan,
Banyuwangi Selatan, atau Kabupaten Sumenep Kepulauan, harus dilihat
sebagai persoalan konflik politikkebijakan berbasis etnisitas dengan
pernerintah kabupaten setempat. Mereka bisa saja menggunakan basis
legitimasi berdasarkan unsur-unsur etnisitas yang berkaitan dengan kesamaan
95
budaya, kesejarahan, nasib sosial, dannilai-nilai baru yang dimunculkan
karena faktor karakteristik geografis. Berdasarkan eksplorasi nilai-nilai
budaya di atas, masyarakat di Jember Selatan, Banyuwangi Selatan, atau
Sumenep Kepulauan, membedakan dirinya dengan masyarakat di Jember
Utara, Bayuwangi Utara, dan Sumenep Daratan.
Demikian pula, kasus konflik nelayan yang meluas di berbagai daerah
perairan Jawa Timur, merupakan akibat dari kekurangmampuan pemerintah
daerah (provinsi/kabupaten/kota) dalam memahamkan esensi otonomi daerah
yang terkait dengan batas-batas administrasi daerah dan kewenangannya
mengelola potensi sumber daya laut setempat kepada masyarakat nelayan di
kawasan pesisir. Aspek lain yang ikut memberikan kontribusi terhadap
timbulnya konflik nelayan tersebut adalah semakin tingginya kelangkaan
sumber daya ekonomi-perikanan dan kompetisi memperebutkannya. (Kusnadi,
2002)
Konflik nelayan Ujung Pangkah, Gresik dengan nelayan Weru
Kompleks, Lamongan, walaupun mereka bagian dari masyarakat Jawa
Pesisiran, tetap dilihat sebagai kasus konflik sosial berbasis etnisitas. Kedua
pihak mendefinisikan identitas dirinya sebagai kelompok nelayan yang
berbeda satu sama lain berdasarkan nilai-nilai sosial-budaya dan sejarah sosial
yang membentuk eksistensi mereka. Hal yang samajuga berlaku untuk nelayan
Madura asal Kraton, Pasuruan dan nelayan Kwanyar, Bangkalan Selatan, yang
telah lama berkonflik memperebutkan sumber daya perikanan di Perairan
Selat Madura. Identitas kebudayaan Madura ternyata tidak mampu
mendamaikan kedua kelompok nelayan tersebut. Masing-masing pihak
mendefinisikan eksistensinya berdasarkan nilai-nilai lokalitas yang
kontekstual, yang dianggapnya lebih tepat dan menguntungkan kehidupannya
dalam interaksi sosial. (Kusnadi dkk. 2005)
Pada dasarnya, konflik sosial berbasis etnisitas yang berlangsung
secara masif tidak ada yang semata-mata terjadi karena perbedaan-perbedaan
sosial-budaya yang bersifat horizontal, seperti agama, bahasa, tradisi dan adat
istiadat, sejarah sosial, gaya hidup, atau nilai-nilai budaya lainnya. Aspek-
96
aspek vertikal-struktural, seperti akses dan penguasaan sumber daya ekonomi-
politik (kekuasaan) senantiasa terlibat. Bahkan semakin tinggi nilai sumber
daya yang diperebutkan dan kondisinya terbatas, maka konflik sosial yang
terjadi akan semakin intensif dan keras (Kusnadi dan Burhanuddin, 1997).
Dalam situasi demikian, dampak konflik secara psikologis sangat mencekam
masyarakat dan secara sosial-ekonomi memberatkan masa depan kehidupan
mereka yang terlibat konflik. Upaya untuk meretas jalan menuju perdamaian
abadi juga sangat sulit karena membutuhkan kesabaran, keseriusan, dan
pengorbanan yang besar.
Berdasarkan uraian di atas, rezim otonomi daerah dalam masa
transisional ini harus belajar bagaimana meminimalisasi timbulnya konflik-
konflik sosial yang berbasis etnisitas dan keagamaan, dengan jalan
merumuskan kebijakan pembangunan dan pembuatan regulasi daerah yang
bersifat transparan, demokratis, berorientasi kerakyatan, dan berdimensi
keadilan sosial. Sementara itu, pada tataran sosial, dengan berbagai cara,
penguatan kapasitas masyarakat harus dilakukan dengan membangun fondasi
kesadaran struktural-kultural bernegara dan berbangsa agar memiliki
kemampuan dalam berdiskusi dengan elite daerah untuk memberi arah pada
kebijakan pembangunan daerah yang memihak kepentingan masyarakat luas.
Otonomi daerah hat-us ditafsiri sebagai otonorni masyarakat untuk memba-
ngun daerahnya masing-masing, bukan otonomi pemerintah daerah (pemda),
karena esensi pemerintah daerah hanya sebagai alat pembangunan daerah. Di
tengah-tengah karakter rezim otonomi daerah yang masih belum beradab dan
manusiawi, jalan untuk membangun fondasi kesadaran strukturalkultural di
atas masih sangat panjang.
97
BAB 6
MANUSIA, NILAI, MORAL, DAN HUKUM
A. MANUSIA DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN
Manusia sebagai makhluk sosial dan berbudaya pada dsarnya
dipengaruhi oleh nilai-nilai kemanusiaan. Nilai tersebut berupa : etika yang
erat hubungannya dengan moralitas, maupun estetika yang berhubungan
dengan keindahan. Dalam realitas sosial, pengembangan spremasi hukum
sangat tergantung pada empat komponen, yakni (a) materi hukum; (b) sarana
prasarana hukum; (c) aparatur hukum; dan (d) budaya hukum masnyarakat.
Tatkala terjadi dilema antara materi hukum, konflik di antara penegak hukum,
kurangnya sarana dan prasarana hukum, serta rendahnya budaya hukum
masyarakat, maka setiap orang (masyarakat dan aparatur hukum) harus
mengembalikan pada rasa keadilan hukum masyarakat, artinya harus
mengutamakan moralitas masyarakat. Demikian pula dalam pengembangan
estetika yang akan menjadi wujud budaya masyarakat sangat mungkin terjadi
dilema dan benturan dengan nilai etika.
Membicarakan mengenai manusia, maka akan muncul berbagai
macam pertanyaan. Apa itu manusia? Apa beda manusia dengan makhluk-
makhluk lain? Apa nilai-nilai kemanusiaan itu dan berbagai macam definisi
manusia. Ada definisi yang memandangkan dari segi fisiologis ada juga yang
memandangnya dari segi sosiologi. Dari segi fisiologis bahwa manusia itu
makhluk yang mempunyai fisik hampir sama dengan hewan. Hewan punya
kepala, maka manusia punya kepala. Hewan punya telinga, maka manusia
punya telinga. Hewan punya kaki, maka manusia pun punya kaki. Dari segi
fisiologis bisa dikatakan tidak ada beda antara manusia dengan hewan. Jika
kita mendefinisikan manusia hanya melalui segi fisiologis saja, maka kita akan
dibuat kebingungan. Di antara manusia itu saja terjadi perbedaan bentuk fisik.
Ada yang gendut, kurus, ada yang langsing. Ada yang bisa melihat dan ada
yang (maaf) buta. jika terjadi perbedaan seperti itu, maka mana yang pantas
disebut sebagai manusia? Maka dari itu, kita harus mendefinisikan manusia
98
kembali dengan sudut pandang lainnya. Definisi manusia adalah makhluk
yang diciptakan oleh Allah dan dianugerahi-Nya akal, hati, dan fisik. Yang
membedakan antara manusia dengan hewan adalah akal. Maka, ada yang
berpendapat bahwa manusia itu hewan yang berakal. Karena dari segi fisik
memang tidak ada beda dengan hewan tetapi yang membedakannya adalah
akal.
Nilai-nilai kemanusiaan adalah suatu hal yang dapat memanusiakan
manusia atau bisa dikatakan juga kembali kepada fitrah manusia, itulah nilai-
nilai kemanusiaan. Fitrah manusia adalah punya sisi baik dan buruk. Tetapi
kita juga jangan lupa bahwa manusia itu juga punya fitrah/kecenderungan
untuk menyempurnakan diri. Bagaimana manusia menyempurnakan dirinya?
Manusia dalam proses penyempurnaan diri itu membutuhkan yang namanya
pengetahuan. Pengetahuan yang dirnilikinya itulah yang akan menentukan
apakah proses penyempurnaan diri yang dia lakukan itu memang sudah benar-
benar sempurna ataukah belem. Pengetahuan seperti apa yang betul?
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa agama Islam adalah agama
langit yang kemudian "membumi". Ketika masih di "langit" Islam adalah
agama yang sempurna dan mutlak benar, tetapi ketika "membumi", maka ia
mengalami proses pembudayaan atau pergumulan budaya di mana ada peran
manusia yang tidak sempurna sehingga sebagai agarna bumi Islam tidak lagi
sebagai agama yang mutlak benar, tetapi memiliki variasi tingkat kedekatan
dengan kebenaran. Dengan demikian, maka ada kebudayaan Islam yang
sangat dekat dengan syariat (budaya syar'iy) di samping ada kebudayaan yang
hanya merupakan sempalan saja dari Islam, karena ia lebih dekat ke
kebudayaan lokal setempat Di sisi lain, ada kebudayaan umat Islam yang
malah tidak ada relevansinya dengan Islam.
B. NILAI BUDAYA
Banyak definisi tentang kebudayaan, tetapi saya memilih pandangan
yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah konsep, keyakinan, nilai, dan
norma yang dianut masyarakat yang memengaruhi perilaku mereka dalam
99
upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya.
Di samping sebagai fasilitas, alam adalah tantangan yang harus diatasi.
Berbeda dengan hewan, manusia tidak puas hanya dengan apa yang terdapat
dalam alam kebendaan. Dengan konsep yang dimiliki manusia berusaha
mengolah alam ini, dan dengan kesadaran dan cita-citanya manusia
merumuskan apa yang bermakna dan apa yang tidak bermakna dalam
kehidupannya. Sekurang-kurangnya ada enam nilai yang amat menentukan
wawasan etika dan kepribadian manusia sebagai individu maupun sebagai
masyarakat, yaitu: teori, ekonomi, agama, seni, kuasa, dan solidaritas.
1. Nilai teori. Ketika manusia menentukan dengan objektif identitas benda-
benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga menjadi
pengetahuan, ulanusia mengenal adanya teori yang menjadi konsep dalam
proses penilaian atas alam sekitar.
2. Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda
atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau
kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan
hidup. Kombinasi antara nilai teori dan ekonomi yang senantiasa maju
disebut aspek progresif dari kebudayaan.
3. Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan
dankebesaran yang menggetarkan di mana di dalamnya ada konsep
kekudusan dan ketakziman kepada yang mahagaib, maka manusia
mengenal nilai agama.
4. Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan di mana ada konsep estetika
dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia mengenal
nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sanna
menekanlcan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek ekspresif dari
kebudayaan.
5. Nilai kuasa. Ketika manusia merasa puas jika orang lain mengikuti
pikirannya, norma-normanya dan kemauan-kemauannya, maka ketika itu
manusia mengenal nilai kuasa.
100
6. Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta,
persahabatan dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan
merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia mengenal
nilai solidaritas.
Enam nilai budaya itu merupakan kristalisasi dari berbagai macam
nilai kehidupan, yang selanjutnya menentukan konfigurasi kepribadian dan
norma etik individu maupun masyarakat. Nilai apa yang paling dominan pada
seseorang atau sekelompok orang, akan menentukan "sosok" mereka sebagai
manusia budaya (al insan madaniyyun bi at thab’i).Orang yang lebih
dipengaruhi oleh nilai ekonomi cenderung kurang memerhatikan halal dan
haram, orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai teori cenderung menjadi
ilmuwan, yang lebih dipengaruhi oleh nilai kuasa cenderung tega dan nekad,
yang lebih dipengaruhi olch nilai agama dan seni cenderung menjadi sufi dan
seterusnya, schingga ada sosok orang yang materialis, seniman, pekerja sosial,
dan sebagainya. Bisa juga ada ilmuwan yang mengabdi kepada materi, politisi
yang pejuang, ulama yang rasional, ilmuwan yang mistis, dan sebagainya.
Budaya progresif akan mengembangkan cara berpikir ilmiah dan
melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, sedankan puncak dari budaya
ekspresif bermuara pada kepercayaan mitologis dan mistik. Pendukung
budaya progresif pada umumnya dinamis dan siap digantikan olch generasi
penerus dengan penemuan-penemuan baru, sedangkan pendukung budaya
ekspresif biasanya statis atau tradisional, memandang kebudayaan sebagai
sesuatu yang sudah final.
Kesempurnaan pada suatu maujud (ciptaan) berbeda dengan
kesempurnaan pada maujud (ciptaan) lainnya. Misalnya, insan kamil berbeda
dengan malaikat kamil. Terdapat perbedaan antara malaikat, sebagai dirinya
(malaikat), yang telah mencapai tingkat tertinggi dan akhir kesempurnaannya,
dengan manusia yang mencapai puncak kesempurnaannya.
Malaikat adalah maujud yang diciptakan dari akal murni, artinya, pada
malaikat sama sekali tidak terdapat unsur materi, hawa nafsu, syahwat,
amarah, dan lainnya. Demikian pula halnya dengan hewan yang seluruh
101
substansinya bersifat materi. Lain halnya dengan manusia, insane, adalah
maujud yang terdiri dari apa yang ada pada malaikat (akal) dan apa yang ada
pada hewan (nafsu), suatu makhluk yang mulki-malakuti.
Perbedaan antara manusia, malaikat dan hewan terletak pada susunan
unsur dan zatnya, sebagaimana disebut dalam Al-Qur'an:
Sesungguhnya Kami ciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur
yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu
Kami jadikan dia mendengnr dan melihat. Sesuungguhnya Kami
menunjukinya jalan yang hurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kajir.
(Q S. Al-Insan: 2-3)
Kami telah menciptakan manusia dari nutfah (sperma) yang di
dalamnya terdapat banyak campuran. Yakni, pada diri manusia tertimbun
serangkaian potensi. Kemudian ia akan sampai pada satu fase atau tahapan di
mana ia akan diuji. Tidak demikian halnya dengan makhluk-makhluk lainnya,
mereka tidak layak untuk diuji, karena memang mereka tidak diciptakan untuk
diuji.
C. PERLUNYA KESEIMBANGAN NILAI-NILAI INSANI
Kamal atau kesempurnaan manusia terletak pada kestabilan dan
keseimbangan nilai-nilainya. Manusia dengan segala kemampuan yang ada
pada dirinya dapat dianggap sempurna, ketika tidak hanya kecenderungan
pada satu nilaidari sekian banyak nilai yang ia miliki. la dapat dianggap
sempurna ketika mampu menyeimbangkan dan menstabilkan serangkaian
potensi insaninya. Orang-orang bijak mengatakan: "Hakikat dan substansi
keadilan adalah keseimbangan dan keselarasan". Yang dirnaksud dengan
keseimbangan di sini adalah: seiring dengan perkembangan potensi-potensi
insaninya, tercipta juga keseimbangan dalam perkembangannya. Insan kamil
adalah manusia yang seluruh nilai insaninya berkembang secara seimbang dan
stabil. Tidak satu pun dari nilai-nilai itu yang berkembang tidak selaras
102
dengan nilai yang lain. Al-Qur'an menyebut manusia yang nilai-nilai insaninya
berkembang seimbang dan sempurna ini sebagai "imam":
Dan (ingatlah), ketika ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat
(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:
Sesunguhnva Aku akan menjadikanmu bagi sehlrult manusia. (QS. Al-
Baqarah: 124)
D. KESALEHAN PRIBADI DAN SOSIAL
Manusia dalam keberadaannya di muka bumi senantiasa berada dalam
dua lingkup yaitu dalam lingkup personal (pribadi) dan sosial. Potensi
personal merupakan sebuah inti atau core manusia dalam mencapai
kesempurnaan dirinya sebagai insani menuju insan kamil (manusia yang
sempurna). Keberadaan insani yang satu merupakan organ yang unik dan
beragam. Setiap insan atau personal mempunyai potensi yang diberikan sama
oleh Allah dalam rangka beribadah kepada-Nya.
Kemampuan insan akan semakin terasah dan teruji kalau dia
dihadapkan dengan insan yang lain dan pada sebuah komunitas yang berada di
sekeliling dia. Potensi pribadi akan bisa memengaruhi suasana komunitas,
akan tetapi tidak sedikit koniunitas justru mewarnai pribadi itu sendiri menjadi
sebuah budaya. Akan tetapi, insan yang unggul dan teruji dapat dengan kuat
memengaruhi komunitas tanpa dia sendiri terpcngaruh oleh komunitas itu.
Hanya insan yang belum teruji atau lemahlah yang akan terpengaruh oleh
lingkungan yang ada.
Kesalehan pribadi atau integritas diri merupakan sebuah fondasi yang
penting dan utama dalam mengubah diri dan sosial. Seseorang yang saleh dan
teruji dan kuat akan bisa menjadikan komunitas sekitarnya salah. Nilai-nilai
kebaikan dari seseorang yang saleh belum teruji kalau dia tidak berinteraksi
dengan komunitas sebagai makhluk sosial. Tidak hanya dari segi nilai saja
yang disebarkan, tetapi dalam sebuah komunitas suasana tolong-menolong dan
komunikasi biasa bisa memberikan sebuah perubahan yang bertahap.
103
Perubahan sebuah komunitas berawal dari insan-insan yang berubah
menuju kesalehan dan satu sama lainnya saling melengkapi dalam
menebarkan kesalehan. Perubahan sosial meinang tidaklah sebentar, akan
tetapi memerlukan waktu dan tahapan yang mau tidak mau dikerjakan dengan
kesungguhan dan kerja keras yang lama dan berkesinambungan. Perubahan
berawal dari perubahan di sekitar atau sekelompok orang yang mempunyai
alam pikiran yang sama dan saling menghargai di antara perbedaau yang ada
dan tidak saling mengganggu dan merusak, dan bertahap menjadi sebuah
koinunitas yang saleh.
Sebuah unglcapan yang mungkin bisa dijadikan perenungan, yaitu
Janganlah kita masuk surga sendirian atau saleh untuk sendiri saja, tetapi
ajaklah mereka yang pengensaleh tetapi terjerumus pada kesalahan atau
terkesima oleh inggar-bingar duniawi yang menyesatkan. Saleh untuk kita dan
juga untuk orang lain, tanamkan dalam diri kita kesalehan pribadi dan
bersosial. Islam sebagai agama dan umat, terlibat pertarungan ideologis
hampir di semua bidang dan pengaruh. Di antara agama-agama yang ada
dalam sejarah, Islam memiliki keistimewaan tersendiri. la tidak membatasi
dirinya pada hubungan manusia dengan Tuhan atau penyucian jiwa semata
(sebagaimana agama Masehi), akan tetapi sekaligus menyatakan dirinya
sebagai aliran yang komprehensif yang mencakup seluruh aspek kehidupan
manusia, dari pandangan filosofisnya tentang alam, hingga pada pedoman
kehidupan individual.
104
BAB 7
MANUSIA, TEKNOLOGI, DAN SENI
A. HAKIKAT DAN MAKNA SAINS, TEKNOLOGI, DAN SENI BAGI
MANUSIA
Dalam setiap kebudayaan selalu terdapat ilmu pengetahuan atau sains
dan teknologi, yang digunakan sebagai acuan untuk menginterpretasikan dan
memahami lingkungan beserta isinya, serta digunakan sebagai alat untuk
mengeksploitasi, mengolah, dan memanfaatkannya untuk pemenuhan
kebutuhan manusia. Sains dan teknologi dapat berkembang melalui kreativitas
penemuan (discovery), penciptaan (invention), melalui berbagai bentuk
inovasi dan rekayasa. Kegunaan nyata iptek bagi manusia sangat tergantung
dari nilai, moral, norma, dan hukum yang mendasarinya. Iptek tanpa nilai
sangat berbahaya dan manusia tanpa iptek mencerminkan keterbelakangan.
1. Hakikat dan Makna Sains
Sains dalam istilah Inggris berarti science berasal dari bahasa Latin
yaitu scientia, yang berarti knowledge atau ilmu pengetahuan (P Medawar,
1986). Pengertian pengetahuan sendiri sebagai istilah filsafat tidaklah
sesederhana dipahami pada umumnya, karena bermacam-macam
pandangan dan teori (epistemologi) yang melingkupi makna pengetahuan
tersebut. Di antaranya pandangan Aristoteles (384 SM - 322SM), bahwa
pengetahuan menipakan pengetahuan yang dapat diindra dan dapat
merangsang budi. Menurut Descrates ilmu pengatahuan adalah serba budi,
olch Bacon dan David Home (1711-1776) diartikan sebagai pengalaman
indera dan batin. Menurut Immanuel Kant (1724 -1804) pengetahuan
merupakan persatuan antara budi dan pcngalaman. Tetapi tidak semua
ilmu itu boleh dikatakan sains. Yang dimaksud ilmu sains adalah ilmu
yang dapat diuji (hasil pengamatan yang sesungguhnya) kebenarannya dan
dikembangkan secara bersistem dengan kaidah-kaidah tertentu
105
berdasarkan kebenaran atau kenyataan semata sehingga pengetahuan yang
dipedomani tersebut boleh dipercayai, melalui eksperimen secara teori.
Untuk mencapai suatu pengalaman yang ilmiah dan objektif
diperlukan sikap yang bersifat ilmiah. Bukan membahas tujuan ilmu,
melainkan mendukung dalam mencapai tujuan ilmu itu sendiri, sehingga
bcnar-benar objektif, terlepas dari prasangka pribadi yang bersifat
subjektif. Sikap yang bersifat ilmiah itu meliputi empat hal:
a) Tidak ada perasaan yang bersifat pamrih sehingga mencapai
pengetahuan ilmiah yang objektif.
b) Selektif, artinya mengadakan pemilihan terhadap problema yang
dihadapinya supaya didukung oleh fakta atau gejala, dan mengadakan
pemilihan terhadap hipotesis yang ada.
c) Kepercayaan yang layak terhadap kenyataan yang tak dapat diubah
maupun terhadap alat indra dan budi yang digunakan untuk mencapai
ilmu.
d) Merasa pasti bahwa setiap pendapat, teori, maupun aksioma terdahulu
telah mencapai kepastian, namun terbuka untuk dibuktikan kembali.
Permasalahan ilmu pengetahuan meliputi arti sumber, kebenaran
pengetahuan, serta sikap ilmuwan itu sendiri sebagai dasar langkah
berkelanjutan llmu pengetahuan itu sendiri mencakup ilmu pcngetahuan
alam dan pengetahuan sosial dan kemanusiaan, dan sebagai apa yang
disebut generikmeliputi usaha penelitian dasar dan terapan serta
pengembangannya. Penelitian dasar bertujuan untuk menambah
pengetahuan ilmiah. Penelitian pengembangan diartikan sebagai
penggunaan sistematis dari pengetahuan yang diperoleh penelitian untuk
keperluan penciptaan bahan-bahan, perencanaan sistematis, metode atau
proses yang berguma, tetapi yang tidak mencakup produksi atau
engineering-nya.
Sains memberilcan penekanan kepada sumbangan pemikiran
manusia dalam menguasai ilmu pcngctahuan itu, dan ini terdapat dalam
seluruh alam semesta. Proses mencari kebenaran serta mencari jawaban
106
atas persoalan-persoalan secara sistematik dinamakan pendekatan
scientific dan ia menjadi landasan perkembangan teknologi yang menjadi
salah satu unsur terpenting peradaban manusia.
2. Hakikat dan Makna Teknologi
Istilah teknologi berasal dari kata techne dan logia, dari Yunani
kuno techne berarti seni kerajinan. Dari techne kemudian lahirlah
perkataan technikos yang berarti orang yang miliki keahlian tertentu.
Dengan berkembangnya keterampilan seseorang yang menjadi semakin
tetap karena menunjukkan suatu pola, langkah, dan metode yang pasti,
keterampilan itu menjadi lebih teknik.
Seperti yang diungkapkan Jacques Ellul (1912-1994), dalam
tulisannya berjudul "The Technological Society" tidak mengatakan
teknologi tetapi teknik, meski arti dan maksudnya sama. Teknologi itu
sendiri memperlihatkan fenomenanya dalam masyarakat sebagai hal
impersonal dan memiliki otonomi mengubah setiap bidang kehidupan
manusia menjadi lingkup teknis. Menurut Ellul, istilah teknik digunakan
tidak untuk mensin, teknologi atau prosedur untuk memperoleh hasilnya,
melainkan totalitas metode yang dicapai secara rasional dan mempunyai
efisiensi (untuk memberikan tingkat perkembangan) dalam setiap bidang
aktivitas manusia. Batasan ini bukan dalam bentuk teoretis, melainkan
perolehan aktivitas masing-masing dan observasi fakta dari apa yang
disebut manusia modern dengan perlengkapan tekniknya. Jadi, teknik
menurut Ellul adalah berbagai usaha, metode, dan cara untuk memperoleh
hasil yang sudah distandarisasi dan diperhitungkan sebelumnya.
Dalam kepustakaan teknologi terdapat aneka ragam pendapat yang
menyatakan teknologi adalah transformasi kebutuhan (perubahan bentuk
dari alam), teknologi adalah realitas/kenyataan yang diperoleh dari dunia
ide. Secara konvensional mencakup penguasaan dunia fisik dan biologis,
tetapi secara luas juga mencakup teknologi sosial, terutama teknologi
sosial pembangunan (the social technology of development) sehingga
107
teknologi itu adalah metode sistematis untuk mencapai tujuan insani.
Adapun teknologi dalam makna subjektif adalah keseluruhan peralatan
dan prosedur yang disempurnakan, sampai kenyataan bahwa teknologi
adalah segala hal, dan segala hal adalah teknologi.
Fenomena teknik pada masyarakat kini, memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Rasionalitas, artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi
tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional.
b. Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak
alamiah.
c. Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan
dilaksanakan serba otomatis. Demikian juga dengan teknik mampu
mengeliminasikan kegiatan nonteknis menjadi kegiatan teknis.
d. Teknik berkembang pada suatu kebudayaan.
e. Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling
bergantung.
f. Universalisme, atinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan
ideologi, bahkan dapat menguasai kebudayaan.
g. Otonomi, artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.
Teknologi yang berkembang dengan pesat, meliputi berbagai
kehidupan manusia. Luasnya bidang teknologi, digambarkan oleh Ellul
sebagai berikut:
a. Teknik meliputi bidang ekonomi, artinya teknik mampu menghasilkan
barang-barang industri. Dengan teknik, mampu mengonsentrasikan
kapital sehingga terjadi sentralisasi ekonomi. Bahkan ilmu ekonomi
juga terserap teknologi. Contohnya dengan berkembang pcsatnya ilmu
pengetahuan ekonomi. Knowledge Economy (KE) menurut salah satu
definisi merupakan segala aktivitas ekonomi di mana penciptaan dan
eksplorasi pengetahuan (knowledge) memainkan peran utama dalam
menciptakan kemakmuran (United Kingdom Department of Trade and
Industry, 1998). Pembicaraan mengenai knowledge economy di
108
beberapa literatur sering mengaitkannya dengan peran teknologi
khususnya teknologi informasi yang kemudian mempereepat pe-
nyebaran informasi. Pesatnya perkembangan teknologi informasi yang
menghilangkan batasan-batasan demografi semakin mempercepat
proses penyebaran pengetahuan dan akhirnya juga kegiatan ekonomi.
Hat ini seperti dijelaskan ramalan Toffler. Evolusi ini pun berubah dari
(natural) resources menuju knowledge di mana pcnggunaan teknologi
semakin intensif. Tentu saja ini berkaitan dengan dua latar belakang
yang mengantar perkembangan gelombang ketiga ini yaitu globalisasi
dan teknologi informasi. Jika di masa Revolusi Inkustri kemakmuran
diciptakan melalui penggunaan mesin untuk menggantikan tenaga
kerja manusia, maka di era perkembangan teknologi informasi banyak
orang menghubungkan knowledgeeconomy dengan industri
berteknologi tinggi seperti telematika dan jasa-jasa keuangan. Bukan
rahasia dan juga bukanlah hal yang baru bahwa pengetahuan
(knowledge) merupakan hal yang penting dalam kegiatan ekonomi.
Setiap kegiatan ekonomi bagaimanapun juga selalu didasari oleh pe-
ngetahuan. Bagaimana untuk menanam benih misalnya atau
bagaimana menjual suatu barang tentu memerlukan pengetahuan dan
penggunaan pengetahuan tersebut telah semakin meningkat semenjak
Revolusi Industri. Hanya saja yang membedakannya adalah porsi
penggunaan pengetahuan dan informasi tersebut dalam kegiatan
ekonomi saat ini menjadi semakin intensif sehingga membuat
perubahan yang cukup besar dalam kegiatan ekonomi dan mengubah
basis dari keunggulan kompetitif (Business Week com).
Perkembangan kegiatan ekonomi saat ini yang oleh Tofler telah
diramalkan sebeluinnya sebagai gelombang ketiga dengan peranan dari
teknologi informasi yang semakin pesat, tampaknya akan terus
berubah. Karakteristik khusus dari KE seperti yang digunakan oleh
Pemerintah New Zealand dalam pengembangan knowledgeeconomy-
nya menyebutkan bahwa keberadaan dari KE dapat dicirikan melalui
109
peningkatan peran dari pengetahuan sebagai faktor produksi dan dam-
paknya terhadap kemampuan, pembelajaran, organisasi, dan inovasi.
Perkembangan KE juga didukung oleh dua kekuatan, utama yaitu:
peningkatan intensitas pengetahuan dalam kegiatan ekonomi dan
maraknya globalisasi dari kegiatan ekonomi. Peningkatan dalam
intensitas pengetahuan ini didorong oleh kombinasi dua kekuatan yaitu
revolusi TI dan peningkatan kecepatan dari perubahan teknologi.
Sementara globalisasi didorong oleh deregulasi nasional dan
internasional, dan juga revolusi komunikasi yang berbubungan dengan
TI.Dengan kata lain, perubahan tersebut merupakan perubahan dari
hardware ke software. Di mana hardware merupakan produk
sementara software lebih kepada ide. Yang jelas produk masih akan
tetap ada namun siapa yang akan mendapatkan keuntungan dari
produk tersebut adalah persoalan siapa yang memiliki software (ide)
tersebut. Setelah Revolusi Industri di mana produksi barang menjadi
semakin efisien melalui penciptaan econornies of scale, penciptaan ide
yang kemudian direalisasikan dalam bentuk produk juga akan semakin
menggandakan keuntungan yang didapat. Ide bersifat cepat menyebar
seperti virus dan teknologi mampu meciptakan skala elconomi.
Gabungan keduanya akan menciptakan keuntungan yang berlipat
ganda karena begituide tersebut masuk ke pabrik, maka biaya
produksinya akan semakin mendekati nol. Kita bisa melihat banyak
contoh perusahaan yang telah menikmati kekayaan dari penciptaan ide.
Di akhir 2007 lalu Microsoft yang hanya memiliki 31.000 karyawan,
memiliki kapitalisasi pasar sebesar $600 (billion) triliun. Perusahaan
lainnya Mc Donalds's dengan karyawan 10 kali lebih banyak memiliki
1/10 dari kapitalisasi pasar. Lihat juga Yahoo! Inc yang sahamnya
diperdagangkan pada nilai 40 kali nilai bukunya (Business Week.com).
Modal utama perusahaan-perusahaan tersebut adalah pada kekuatan
"ide".
110
b. Teknologi meliputi bidang organisasional, seperti administrasi,
pemerintahan, manajemen, hukum, dan militer. Contohnya dalam
organisasi negara, bagi seorang teknik negara hanyalah merupakan
ruang lingkup untuk aplikasi alat-alat yang dihasilkan teknik. Negara
tidak sepenuhnya bermakna sebagai ekspresi kehendak rakyat, tetapi
dianggap sebagai perusahaan yang harus memberikan jasa dan dibuat
berfungsi secara efisien.
c. Teknik meliputi bidang manusiawi, seperti pendidikan, kerja, olahraga,
hiburan, dan obat-obatan. Teknik telah menguasai seluruh sektor
kehidupan manusia, manusia harus beradaptasi dengan dunia teknik
dan tidak adalagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh
teknik. Pada masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa kemajuan
adalah suatu proses dehumanisasi secara perlahan sampai akhirnya
manusia takluk pada teknik.
Secara hierarki teknologi dibedakan menjadi tiga macam teknologi,
yaitu:
a. Teknologi modern, jenis teknologi ini mempunyai ciri-ciri antara lain:
padat modal, mekanis elektrik, menggunakan bahan impor,
berdasarkan penelitian mutakhir, dan lain-lain.
b. Teknologi madya, jenis teknologi ini mempunyai cirri-ciri antara lain:
padat karya, dapat dikerjakan oleh keterampilan setempat,
menggunakan alat setempat, berdasarkan alat penelitian.
c. Teknologi tradisional, jenis teknologi ini mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut: bersifat padat karya (menyerap banyak tenaga kerja),
menggunakan keterampilan setempat, menggunakan alat setempat,
menggunakan bahan setempat, dan berdasarkan kebiasaan dan
pengamatan.
111
3. Hakikat dan Makna Seni
Menurut pandangan tradisional, seni hanya diekspresikan oleh
segelintir orang dan audiensi yang eksklusif. Pandangan ini mengatakan
bahwa kegiatan artistik yang benar, apa pun macamnya hanya dilakukan
oleh orang-orang tertentu yang memiliki kreativitas unik. Namun dewasa
ini, pandangan semacam itu dianggap terlalu sempit dan eliteis. Sering kali
para artis, pelukis, musikus, dan lain sebagainya dianggap orang yang
menghasilkan kreasi-kreasi baru yang berbeda dengan sebelumnya.
Namun para pelaku yang dianggap seniman tersebut sering kali hanya
dapat berkarya dalam lingkungan estetis kebudayaan mereka dan
memanfaatkan idiom-idiom yang digunakan masyarakat meraka. Maka
keliru bila ada yang menganggap bahwa karya-karya seni itu bersifat
individual dan eksklusif, terpisah dari masyarakat. Oleh sebab itu, segala
aktivitas seni pun tak mungkin dilepaskan dari eksistensi serta aktivitas
masyarakat secara keseluruhan.
Seni adalah suatu nilai hakiki yang tak bisa dipisahkan dari
kehidupan manusia. Dalam seluruh sejarah kebudayaan manusia pun
ditandai dengan seni manusia sebagaimana terungkap dalam pelbagai
ragaul karya seni. Mungkin sulit memisahkan permulaan kesenian dan
kebudayaan manusia, karena aktivitas sosial pada hakikatnya bersifat
artistik, yakni pembentukan lingkungan materiil menjadi lingkungan yang
manusiawi berkat keterampilan dan kreativitas manusia, manusia pernah
didefinisikan sebagia a tool-using animal, binatang yang menggunakan
alat. Namun alat itu sejak mulanya lebih merupakan alat artis daripada alat
seorang pekerja. Manusia tak pernah tergantung dan tunduk sepenuhnya
pada lingkungan alamiah tertentu. Manusia adalah pencipta
lingkungannya. Maka sejak awal mulanya, manusia adalah sang artis,
seniman. Karya seni merupakan wujud dari keseluruhan serta keagungan
hati manusia. Seni memang tiada lain dari keindahan yang terpancar dari
segi batin yang halus. Maka seni merupakan aktif-kreatif-dinamis; suatu
kekuatan yang dapat menghidupkan dan memperkaya batin manusia dan
112
masyarakat. Seni adalah nilai yang secara kreatif mendorong manusia
kearah pemenuhan martabat manusia sebagai manusia.
Seni juga merupakan segi batin masyarakat, yang juga berfungsi
sebagai jembatan penghubung antar kebudayaan yang berlainan coraknya.
Di sini, seni berperan sebagai jalan untuk memahami kebudayaan suatu
masyarakat. Menonton Wayang, misalnya orang mengenal eksistensi
kebudayaan Jawa ataupun kebudayaan-kebudayaan lain yang juga
memiliki unsur seni Wayang. Atau melalui Candi Borobudur orang dapat
berkontak dengan denyut nadi kehidupan kebudayaan Buddhis. Karenanya
suatu karya seni selalu bersifat sosial.
Kehadiran karya seni selalu mengandaikan kehadiran suatu
masyarakat yang berjiwa kreatif, dinamis, dan agung. Suatu karya seni
tidak saja melambangkan kehadiran sang artis, seniman yang
menciptakannya, melainkan melambangkan juga kehadiran masyarakat.
Oleh sebab itu, menghargai dan memahami seni adalah penting.
Memahami seni suatu masyarakat berarti memahaini aktivitas vital
masyarakat yang bersangkutan dalam momen yang paling dalam dan
kreatif. Oleh sebab itu, benar adanya apa yang dikatakan Janet Woll,
bahwa scni adalah produk sosial.
4. Hakikat dan Makna Sains, Teknologi, dan Seni bagi Manusia
Dalam kehidupan kita sehari-hari, berbagai pendapat yang
mempertentangkan praksis sains dan teknologi secara bipolar masih sering
terdengar. Sudah tentu, diskursus lersebut tidak mungkin muncul tanpa
sejarah. Salah satu sebabnya, boleh jadi ialah karena pemahaman umum
tentang teknologi sebagai perpanjangan tangan dari sains modern yang
dianggap selalu berurusan dengan kepastian rasional dan serba
keterukuran dalam logika positivisme. Adapun seni atau lebih khusus lagi,
seni rupa modern, umumnya dilihat sebagai praksis filosofis yang justru
identikdengan berbagai ketidakpastian, penafsiran personal, dan
subjektivitas. Pertentangan bipolar itu juga terkait dengan pandangan
113
khalayak yang di satu sisi memahami teknologi sebagai perwujudan nyata
dari cita-cita kemajuan peradaban modern secara konkret, berdampak pada
kehidupan manusia. Sementara di sisi lain, melihat seni sebagai aktualisasi
pengalaman batin, intuisi, dunia pra reflektif manusia dan khazanah rasawi
yang tak terjamah.
Demikian paparan dari Agung Hujatkajennong pada diskusi yang
berlangsung dalam rangka pameran Video Sculpture di Jerman Sejak 1963
di ITB, 9 Juni lalu. Pendapat-pendapat tersebut memang tidak sepenuhnya
keliru melihat pemisahan yang secara sadar atau tidak memang dilakukan
oleh para pelaku teknologi dan seni tersebut. Pemisahan ini tidak terlepas
dari ambisi manusia sendiri untuk mengejar modernitas, menciptakan
spesialisasi dalam bidang-bidang kehidupan manusia demi terwujudnya
praktik dan disiplin keilmuan yang otonom.
Sejarah sendiri mencatat bagaimana pada paruh pertama abad ke-
20, kedua bidang tersebut telah menghasilkan puncak-puncak penemuan
dalam kebudayaan modern, di mana eksperimentasi dan riset menjadi
tulang punggung dalam pencapaian kesejahteraan manusia. Namun
berbagai penemuan tersebut semakin memisahkan seni dan teknologi di
masa itu hingga menjangkau dalam tataran konsep. Keterkaitan antara
keduanya hanya samar-samar terlihat dalam hal keinginan untuk terus
menemukan sesuatu yang baru.
Tetapi dalam dekade 60-an, terjadi perubahan mendasar dalam
konsep tersebut. Kehadiran genre video art mempertemukan dua perangkat
tersebut bagai dua sisi mata uang logam. Memang tidak bisa dimungkiri
kehadiran kamera, film, dan video telah menciptakan sintesis antara dunia
imaji dalam seni dengan perangkat teknologi reproduksi mekanik.
Kelahiran fotografi dan sinema telah membawa perubahan besar dalam
kebudayaan manusia. Sebuah pendobrakan terhadap tataran konsep
pemisahan seni dan teknologi.
114
Menanggapi berkembangnya video art, Agung menjelaskan bahwa
seni yang hadir lewat teknologi video memiliki ciri unik sendiri. Secara
sejarah, karya-karya dalam video art menuntut kita untuk mendefinisikan
kembali model persepsi estetik secara baru karena karakter-karakter
inheren medium video yang khusus membedakan dengan seni lukis, tari,
teater, bahkan sinema sekalipun. Video merupakan rangkaian citra
bergerak dan suara yang terikat dengan waktu berbeda dengan lukisan.
Karya-karya purwarupa video art juga mendeskonstruksi konvensi narasi
dan pola yang pcnting hadir dalam sinema/film. Ketika fotografi dan
film/sinema hadir sebagai kebaruan dari teknologi dan seni, video art
justru lahir dari kecurigaan dan kritisme terhadap seni dan telrnologi.
Salah satu fenomena yang menjadi kritik terhadap seni dan
telrnologi adalah televisi. Televisi yang hadir dalam dekade 60-an,
menjadi sebuah jargon teknologi informasi yang sangat agresif. Kebutuhan
akan televisi telah memicu lahirnya sistern komunikasi yang baru. Sistem
komunikasi ini yang mampu mendorong perubahan sosial, politik,
ekonomi secara besar-besaran dalam kehidupan manusia. Sejak pertarna
kali televisi ditemukan telah menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan
hiburan, informasi, pendapat bahkan ideologi yang terselubung. Kritik
yang sama terhadap budaya TV dan budaya tontonan juga ditampilkan
dalam pameran video art bulan ini.
Video art yang hadir dalam bentuk kritisme terhadap seni dan
teknologi disajikan dalam bentuk berbeda. Di mana seni dan peralatan
teknologi sendiri digunakan untuk menggambarkan kritik tersebut. Sejak
berkembangnya video art sampai sekarang, penggunaan perangkat
teknologi terbaru juga menyertai setiap karya yang hadir. Video art hadir
dalam berbagai bentuk teknologi visual yang secara konseptual seiring
dengan diskursu, yang berkembang dalam praksis seni rupa.
Terlepas dari kehadiran video art sebagai bentuk kritik, teknologi,
dan seni memang berada dalam sebuah konteks sama mengusung pada
kemajuan budaya manusia. Pada tataran tertentu, video art memang
115
merupakan sinergi paling menguntungkan antara seni dan teknologi. Di
satu sisi, penemuan-penemuan teknologi telah menyumbangkan sistem
bahasa yang baru bagi seni, sehingga perkeinbangan seni tidak mandek
dengan kanon-kanon yang klasik seperti seni lukis dan seni patung saja.
Perkembangan arus informasi dan makin gemerlapnya dunia dengan
teknologi, seharusnya dilengkapi dengan keterlibatan seni dalam
perkenalan dengan manusia. Seni sebagai sebuah imaji batin yang mampu
dirasa bersanding dengan penerapan teknologi yang agresif. Dengan
tujuan yang sama untuk memajukan budaya manusia sekaligus
menyejahterakannya.
Proses-proses kreatif yang hadir dari seni, seharusnya bisa menjadi
stimtilan yang baik bagi para saintis/teknokrat dan seniman di Indonesia
untuk lebih memahami proses perubahan budaya di masyarakat berkaitan
dengan adaptasi dan aplikasi seni dan teknologi. Kolaborasi di antara
pihak-pihak tersebut akan mengembalikan praksis seni dan teknologi pada
fitrahnya sebagai techne.
Techne yang merupakan proses kreatif seni dan ilmu pengetahuan
juga telah melahirkan teknologi yang tidak hanya modern tetapi juga
memenuhi berbagai kebutuhan dan keiuginan manusia. Sudah menjadi
sifat dasar manusia bila telah terpenuhinya keinginan, maka akan timbul
keinginan yang lain atau menambah apa yang telah tercapai. Dan setiap
orang tidak ingin mengalami kesulitan, tetapi setiap orang akan berusaha
setiap langkah untuk mendapat kemudahan. Kemudahan itu didapatkan
dari kreativitas seni dan ilmu pengetahuan yang menghasilkan teknologi,
misalnya:
a. Penggunaan teknologi nuklir, orang dapat membuat reaktor nuklir
yang dapat menghasilkan zat-zat radio aktif, yang dimanfaatkan untuk
keperluan. Misalnya untuk keperluan bidang kesehatan (sinar
rontgen), memperbaiki bibit pada bidang pertanian, dan lain
sebagainya.
116
b. Teknologi pengendalian air sungai, misalnya dengan membuat irigasi
modern sehingga petani mendapat kemudahan memperoleh air.
Bendungan dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. Alat rumah
tangga mempermudah ibu-ibu melaksanakan tugasnya di dapur, seperti
alat-alat masak.
c. Dalam dunia pendidikan, teknologi juga dapat membuat macam-
macam media pendidikan, seperti OHP, slide, TV, dan lain-lain yang
mempermudah para pendidik melaksanakan tugasnya.
B. DAMPAK PENYALAHGUNAAN IPTEK PADA KEHIDUPAN SOSIAL
DAN BUDAYA
Pengaruh negatif iptek secara manusiawi dirasakan pada masyarakat
dewasa ini, terlihat dari kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia pada
saat ini telah begitu jauh dipengaruhi oleh iptek. Gambaran kondisi tersebut
sebagai berikut:
a. Situasi tertekan, manusia mengalami ketegangan akibat penyerapan iptek,
dan mekanisme-mekanisme iptek. Manusia melebur dengan mekanisme
iptek, sehingga waktu manusia dan pekerjaannya mengalami pergeseran.
Peleburan manusia dalam mekanisme iptek, menuntut kualitas dari
manusia, tetapi kadang manusia tidak hadir didalamnya atau pekerjaannya.
Contoh pada sistem industri ban berjalan, seorang pekerja meskipun sakit
atau lemah ataupun ada berita duka bahwa anaknya sedang sakit di rumah
sakit, mungkin pekerjaan itu tidak dapat ditinggalkan sebab akan membuat
macet garis produksi dan upah bagi temannya. Keadaan tertekan demikan,
akan mengilangkan nilai-nilai sosial dan tidak manusiawi lagi.
b. Perubahan ruang dan lingkungan manusia. Iptek telah mengubah
lingkungan manusia dan hakikat manusia. Contoh yang sederhana manusia
dalam hari makan atau tidur tidak ditentukan oleh lapar atau kantuk tetapi
diatur oleh jam. Alat-alat transportasi telah mengubah jarak pola
komunikasi manusia. Lingkungan manusia menjadi terbatas, tidak
berhubungan dengan padang rumput, pantai, pepohonan atau gunung
117
secara langsung, yang ada hanyalah bangunan tinggi dan padat, sehingga
sinar matahari pagi tidak menyentuh permukaan kulit manusia.
c. Perubahan waktu dan gerak manusia. Akibat iptek, manusia terlepas dari
hakikat kehidupan. Sebelumnya, tidur diatur dan diukur sesuai dengan
kebutuhan dan peristiwa-peristiwa dalam hidup manusia sifatnya konkret
dan alamiah. Tetapi sekarang waktu menjadi abstrak dengan pembagian
jam, menit, dan detik. Waktu hanya memiliki kuantitas belaka tidak ada
nilai kualitas manusiawi dan sosial, sehingga irama kehidupan harus
tunduk kepada waktu yang mekanistis dengan mengorbankan nilai kualitas
manusia dan nilai sosial.
d. Terbentuknya suatu masyarakat massa. Akibat iptek, manusia hanya
membentuk masyarakat massa, artinya ada kesenjangan sebagai
masyarakat kolektif. Hal ini dibuktikan bila ada perubahan norma dalam
masyarakat, maka muncul keguncangan. Masyarakat kita masih
memegang nilai-nilai asli (primordial) seperti agama atau adat istiadat
secara ideologis, akan tetapi struktur masyarakat ataupun dunia norma
pokoknya tetap saja hukum ekonomi, politik, atau persaingan kelas. Proses
sekularisasi sedang berjalan secara tidak disadari. Proses massafikasi yang
melanda kita dewasa ini, telah menghilangkan nilai-nilai hubungan sosial
suatu komunitas, padahal individu perlu hubungan sosial. Terjadi neurosis
obsesional atau gangguan saraf menurut beberapa ahli, sebagai akibat
hilangnya nilai-nilai hubungan sosial, yaitu kegagalan adaptasi dan
pergantian relasi-relasi komunal dengan relasi yang bersifat teknis.
Struktur sosiologi massa dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan iptek dan
kebijakan ekonomi (produk industri) yang melampaui kemampuan
manusia.
e. Iptek manusiawi dalam arti ketat. Artinya, iptek manusiawi harus
memberikan kepada manusia suatu kehidupan manusia yang sehat dan
seimbang, bebas dari tekanan-tekanan. Iptek harus menyelaraskan diri
dengan kepentingan manusia bukan sebaliknya. Melalui iptek bukan
menghilangkan kodrat manusia itu sendiri, tetapi pertu memanusiakan
118
iptek. Manusia bukan menjadi objek iptek tetapi harus menjadi subjek
iptek. Kondisi sekarang rnanusia itu menjadi objek iptek dan harus selalu
menyesuaikan dengan iptek.
Alvin Toffler, mengumpamakan teknologi itu sebagai mesin yang
besar atau sebuah eskalator (alat mempercepat) yang dahsyat, dan ilmu
pengetahuan sebagai bahan bakarnya. Dengan meningkatnya ilmu
pengetahuan secara kuantitatif dan kualitatif, maka kian meningkat pula
proses akselerasi yang ditimbulkan oleh mesin pengubah, lebih-lebih iptek
mampu menghasilkan teknologi yang lebih banyak dan lebih baik.
Akselerasi perubahan secara drastis dapat mengubah situasi. Dalam hal
ini situasi dapat dianalisis menurut lima komponen dasar, yaitu:
1. Benda, hubungan manusia dengan benda tidak awet, dan masyarakatnya
merupakan masyarakat pembuang. Bandingkan, misalnya, pulpen bertinta
yang permanen dengan bolpoin yang dibuang setelah habis.
2. Tempat, hubungan tempat dengan manusia menjadi lebih sering, dan lebih
sementara. Jarak fisik semakin tidak berarti. masyarakat amat mobile
penuh dengan ”nomad baru”. Secara kiasan tempat pun seolah-olah cepat
terpakai dan habis, tidak berbeda misalnya dengan minuman kaleng.
3. Manusia, hubungan manusia dengan manusia pun pada umumnya menjadi
sangat sementara dan coraknya fungsional. Kontak antarmanusia tidak
menyangkut keseluruhan personalitas, melainkan bersifat dangkal dan
terbatas, secara kiasan terdapat “orang yang dapat dibuang”.
4. Organisasi, kecenderungan menjadi superbirokrasi di masa depan.
Manusia dapat kehilangan individualitas dan personalitasnya dalam mesin
organisasi yang besar, namun hakikatnya sistemnya sendiri telah
mengalami banyak perubahan. Hubungan manusia dengan organisasi
menjadi mengalir dan beraneka ragam, menjadi sementara, baik hubungan
formalnya (departemen,instansi pemerintah, perusahaan) maupun
hubungan informalnya (kelompok minum kopi). Namun hubungan
manusia dengan organisasi hubungan kelompok task force yang semuanya
119
pada hakikatnya merupakan kelompok ad hoc atau hanya untuk keperluan
khusus.
5. Ide, hubungan manusia dengan ide bersifat sementara karena image timbul
dan menghilang dengan lebih cepat. Gelombang demi gelombang ide
menyusupi hampir di segala bidang aktivitas manusia.
C. PERMASALAHAN PEMANFAATAN IPTEK DI INDONESIA
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia memiliki
kemampuan yang cukup dalam bidang iptek? Upaya untuk membangun daya
saing saja tentunya tidak hanya didasari oleh kcinginan untukmemenangkan
pasar tetapi juga harus dengan melihat kemampuan yang dimiliki. Indonesia
saat ini masih sangat jauh tertinggal dalam bidang teknologi. Indonesia bukan
India yang memiliki tcnaga-tenaga ahli di bidang TI yang kemudian dapat
menjual layanannya lintas negara dengan memanfaatkan iptek.
Yang tersisa dari Indonesia saat ini mungkin adalah budaya dalam
pengertian culture dan heritage. Indonesia berlimpah berbagai ragam budaya
yang membentang sepanjang Nusantara. Keanekaragaman budaya ini
merupakan salah satu karakteristik unik yang mampu memberikan nilai
tambah tinggi bagi produk yang akan menjadi implementasi budaya ini.
Bentuk nyatanya tentu saja seperti yang saat ini populer
diperbincangkan banyak orang yaitu industri kreatif (atau ekonomi kreatif).
Pengembangan ekonomi kreatif memadukan unsure ide, seni, dan teknologi.
Indonesia memiliki daya dukung yang sangat melimpah. Manusia Indonesia
(secara rata-rata) mungkin seperti saya, tidak terlalu pintar (kalau tidak mau
dibilang bodoh). Namun memiliki kreativitas yang cukup seperti kita bisa lihat
dari berbagai mcam peninggalan yang kita miliki.
Masalahnya kemudian adalah bagaimana untuk mengembangkan
potensi iptek kreatif yang dimiliki Indonesia. Satu hal yang harus menjadi
perhatian adalah bagaimana mengakomodasi pengembangan bidang yang
relatif baru ini di Indonesia sehingga mampu menciptakan nilai tambah yang
tinggi dan hal lainnya adalah bagaimana untuk menjaga dan mengembangkan
120
sumber dari iptek kreatif ini yaitu penciptaan ide dari manusia-manusia kreatif
Indonesia.
Seperti dikutip Kompas.com, Hubert Gijzen, Direktur dan Perwakilan
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (Unesco),
menyampaikan bahwa pengembangan industri kreatif memiliki implikasi
ekonomi yang jauh lebih luas, lebih dari sekadar menciptakan nilai tambah
yang besar tetapi juga dapat mengangkat pembangunan manusia dan sosial.
Dalam membangun industri kreatif yang di dalamnya termasuk industri
budaya, kata Hubert, harus didorong terjadinya dialog interkultural. Saya
pikir, kesimpulan yang disampaikan oleh Sardono W Kusumo masih dalam
diskusi yang sama oleh Kompas, bisa juga menjadi perhatian bahwa
penciptaan lingkungan yang mendukung adanya kebebasan untuk berkreasi
adalah salah satu sarana untuk terus menjaga agar benih-benih manusia kreatif
Indonesia dapat terus tumbuh dan pada akhirnya menjadikan Indonesia
sebagai salah satu negara yang memiliki posisi seperti yang diimpikan
Indonesia Forum dalam visi 2020. Dalam hal ini perlu ada kebebasan individu
dan negara harus menciptakan iklim untuk tumbuhnya kebebasan berkreasi
itu.
121
BAB 8
MANUSIA DAN LINGKUNGAN
A. EKOLOGI MANUSIA DAN KESADARAN INDIVIDU DALAM
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
Secara alamiah, manusia berinteraksi dengan lingkungannya, manusia
sebagai pelaku dan sekaligus dipengaruhi oleh lingkungan tersebut.
Perlakuan manusia terhadap lingkungannya sangat menentukan keramahan
lingkungan terhadap kehidupannya sendiri. Manusia dapat memanfaatkan
lingkungan tetapi perlu memkihara lingkungan agar tingkat kemanfaatannya
bisa dipertahankan bahkan ditingkatkan. Bagaimana manusia menyikapi dan
mengelola lingkungannya yang pada akhirnya akan mewujudkan pola-pola
perdaban dan kebudayaan.
Ekologi manusia, menurut Amos H. Hawley (1950: 67) dikatakan,
"Human ecology maybe defirzed, therefore, in terms that have already been
used, as the study of the form and the development of the community in
human population” (Ekologi manusia, dengan demikian bisa diartikan, dalam
istilah yang biasa digunakan, sebagai studi yang mempelajari bentuk dan
perkembangan komunitas dalam sebuah populasi manusia). Frederick Steiner
(2002: 3) mengatakan, "This new human ecology over emphasizes complexity
over-reductionism, focuses on changes over stable states, and expands
ecological concepts beyond the study of plants and animals to include
people.This view differs from the environment determinism of the early
twentieth century”. (Ekologi manusia baru menekankan pada over-
reduksionieme yang cukup rumit, memfokuskan pada perubahan negara yang
stabil, dan memperluas konsep ekologi melebihi studi tentang tumbuh-
tumbuhan dan hewan menuju keterlibatan manusia. Pandangan ini berbeda
dari determinisme lingkungan pada awal-awal abad ke-20). Menurut Gerald
L. Young (1994: 339) dikatakan, “Human ecology, then, is an attempt to
understand the inter-relation ships between the human species and is its
122
environment” (dengan demikian, ekologi manusia, adalah suatu pandangan
yang mencoba memahami keterkaitan antara spesies manusia dan
lingkungannya).
Persamaan dari ketiga definisi yang dikemukakan di atas adalah
bahwa pengertian “ekologi manusia” merujuk pada suatu ilmu (iokos =
rumah/tempat tinggal; logos = ilmu) dan mempelajari interaksi lingkungan
dengan manusia sebagai perluasan dari konsep ekologi pada umumnya.
Perbedaan dari ketiga definisi tersebut adalah pada titik tekan
(emphasizes) para pakar dalam mendefinisikan “ekologi manusia”, yang
masing-masing sebagai berikut. Hawley menekankan pada studi tentang
bentuk dan perkembangan komunitas dalam sebuah populasi manusia
(masyarakat) dalam kaitannya dengan lingkungan. Steiner menekankan pada
era baru ilmu “ekologi manusia” yang memperluas dari ekologi yang hanya
mempelajari lingkungan tumbuhan dan hewan menuju keterlibatan manusia
secara kompleks). Young menekankan pada keterkaitan (interaksi) antara
manusia dan lingkungannya saja.
Ruang lingkup ekologi manusia menurut Hawley (1950); Human
ecology, like plant and animal ecology, represents a special application of
the general viewpoint to a particular class of living things. It involves both a
recognition af the fundamental unity of animate nature and an awareness
that there is differentiation within that unity. Man, as we have seen, not only
occupies a nicle in nature’s web of life, he also develops among his fellows
an elaborate community of relations comparable in many important respects
to the more inclusive biotic community” Jadi, ruang lingkup ekologi manusia
menurut Hawley adalah sebagaimana pernyataannya, (Ekologi manusia,
sebagaimana ekologi tumbuh-tumbuhan dan manusia, merepresentasikan
penerapan khusus dari pandangan umum pada sebuah kelas khusus dalam
sebuah kehidupan. Ini meliputi dua kesadaran bahwa ada perbedaan dalam
kesatuan tersebut. Manusia, sebagaimana kita tahu, tidak hanya bekerja
dalam sebuah tempat jaringan kehidupan, melainkan dia juga
mengembangkan di antara anggota-anggotanya sebuah pengalaman
123
hubungan lingkungan yang sebanding dalam tanggung jawab pentingnya atas
lingkungan hidup yang lebih terbuka).
Steiner (2002), menyatakan bahwa ruang lingkup ekologi manusia
meliputi: (1) set of connected stuff (sekelompok hal yang yang sakung
terkait); (2) integrative traits (cirri-ciri yang integrative); dan (3) scaffolding
of place and change (perancah tempat dan perubahan).
B. KESADARAN INDIVIDU DALAM MASYARAKAT
Kesadaran individu dalam masyarakat mengenai lingkungan hidup
dan kelestariannya merupakan hal yang amat penting dewasa ini di mana
pencemaran dan perusakan lingkungan merupakan hal yang sulit dihindari.
Kesadaran masyarakat yang terwujud dalam berbagai aktivitas lingkungan
maupun aktivitas kontrol lainnya adalah hat yang sangat diperlukan untuk
mendukung apa yang dilakukan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan
penyelamatan lingkungannya.
Kesadaran terhadap lingkungan tidak hanya bagaimana menciptakan
suatu yang indah atau bersih saja, akan tetapi ini sudah masuk pada
kewajiban manusia untuk menghormati hak-hak orang lain. Hak orang lain
tersebut adalah untuk menikmati dan merasakan keseimbangan alam secara
murni. Sehingga kegiatan-kegiatan yang sifatnya hanya merusak saja,
sebaiknya dihindari dalam perspektif ini. Oleh karena itu, tindakan suatu
kelompok yang hanya ingin menggapai keuntungan pribadi saja sebaiknya
juga harus meletakkan rasa toleransi ini.
Dengan begitu, kita bisa mengatakan bahwa kesadaran masyarakat
akan lingkungannya adalah suatu bentuk dari toleransi ini. Toleransi atau
sikap tenggang rasa adalah bagian dari konsekuensi logis dari kita hidup
bersama sebagai makhluk sosial. Melanggar konsekuensi ini juga berarti
melanggar etika berkehidupan bersama, seperti dikatakan Plato bahwa
manusia adalah makhluk sosial yang perlu menghargai satu dan lainnya.
Demikian juga halnya dengan perspektif lingkungan, hak yang sama juga
berlaku di sini.
124
Kondisi senyatanya dari masyarakat kita mengenai kesadaran
lingkungan hidup ini tampaknya masih tercermin seperti apa yang dikatakan
P. Joko Subagyo, bahwa ada beberapa hat yang perlu kita perhatikan:
1. Rasa tepa salira yang cukup tinggi, dan tidak terlaluingin mengganggu.
2. Tidak memikirkan akibat yang akan terjaki, sepanjang kehidupan saat ini
masih berjalan dengan normal.
3. Kesadaran melapor (jika ada hal-hal yang tidakberkenan dan dianggap
sebagai mkawan hukum lingkungan) tampaknya masih kurang. Hal ini
dirasakan akan mengakibatkan masalah lingkungan semakin panjang.
4. Tanggung jawab mengenai kelestarian alam masih perlu diperbaiki dan
ditingkatkan kembali.
Untuk membahas hal ini, maka dalam bab ini kita akan membahas
pada salah satu jenis perusakan lingkungan, yakni pencemaran lingkungan
baik udara maupun air dan sekaligus membahas mengenai cara
menanggulanginya, sebagai bentuk usaha kuratif maupun preventif.
C. PENCEMARAN LINGKUNGAN
Umumnya, ahli lingkungan membagi kriteria lingkungan hidup dalam
tiga golongan besar, yakni:
1. Lingkungan fisik segala sesuatu di sekitar kita sebagai benda mati.
2. Lingkungan biologis: segala sesuatu di sekitar kita sebagai benda hidup.
3. Lingkungan sosial, adalah manusia yang hidup secarabermasyarakat.
Keberadaan lingkungan tersebut pada hakikatnya meski dijaga dari
kerusakan yang parah. Suatu kehidupan lingkungan akan sangat tergantung
pada ekosistemnya. Oleh karena itu, masyarakat secara terus-menerus harus
didorong untuk, mencintai, memelihara, dan bertanggungjawab terhadap
kerusakan lingkungan. Sebab untuk menjaga semuanya itu tidak ada lagi yang
bisa dimintai pertanggungjawaban kecuali manusia sebagai pemakai/
pengguna itu sendiri. Kerusakan suatu lingkungan akan berakibat pada
manusia itu sendiri, dan demikian pula sebaliknya. Lingkungan merupakan
unsur penentu dari kehidupan mendatang. Lingkungan merupakan unsur
125
penentu dari kehidupan mendatang. Lingkungan alam merupakan prasyarat
pokok mengapa dan bagaimana pembangunan itu diselenggarakan. Bagi
program pembangunan itu sendiri, apabila pelaksanaanya sesuai dengan
program yang telah dijalankan, maka orientasi untuk menjaga lingkungan
semesta pun akan bisa digunakan untuk mencapai tingginya tingkat
pertumbuhan ekonomi semata, maka hal itu akan menimbulkan kerusakan
lingkungan yang cukup seriuas. Salah satu prosuk dari kerusakan lingkungan
itu adalah pencemaran, baik air, tanah, maupun udata.
Pencemaran air, misalnya bisa dikategorikan melalui ukuran zat
pencemar yang diizinkan dibuang pada suatu jangka waktu tertentu. Misalnya,
satuan berat unsur atau senyawa dalam air bungan. Misalnya, maksimum ppm.
Unsur senyawa kimia yang diizinkan. Kemudian jumlah maksimum yang
dapat dibuang dalam setiap unit produksi. Misalnya, dalam produksi setiap ton
kertas tidak diperbolehkan sekian kilogram zat padat dan lain sebagainya.
Dengan demikian, di samping perkiraan atas sebagainya. Dengan demikian, di
samping perkiraan atas pengaruh yang bersifat kimia, fisis dan biologis, maka
dituntut perkiraan mengenai biaya keseluruhan teknologi linkungannya,
usianya, semua fasilitas yang digunakan, teknik penggunaannya, metode
operasinya dan lain-lain.
Pencemaran lingkungan yang berdampak pada berubahnya tatanan
lingkungan karena kegiatan manusia atau oleh proses alam berakibat
lingkungan kurang berfungsi. Pencemaran berakibat kualitas lingkungan
menurun, sehingga menjadi fatal jika itu tak bisa dimanfaatkan sebagaimana
fungsi sebenarnya. Ini disadari, keadaan lingkungan yang dotata sebaik-
baiknya untuk menjaga kehidupan kini dan mendatang. Perubahan ini
bukannya menunjukkan perkembangan yang optimus dan mengarah pada
tuntutan zaman namun malahan sebaliknya.
Kemunduran yang seperti itu dimulai dari sebuah gejala pencemaran
dan kerusakan lingkungan yang belum begitu tampak. Pencemaran itu lebih
banyak terjadi karena limbah pabrik yang masih murni, dan mereka belum
melalui proses waste water treatment atau pengolahan. Dampaknya pada
126
lingkungan secara umum, jelas sangat merusak dan berakibat fatal bagi
lingkungan secara keseluruhan. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran
bahwa setiap kegiatan pada dasarnya menimbulkan dampak terhadap
lingkungan hidup. Kita perlu memperkirakan pada perencanaan awal suatu
pembangunan yang akan kita lakukan. Sehingga dengan cara demikian, maka
dapat dipersiapkan pencegahan maupun penanggulangan dampak negatifnya
dan mengupayakan dalam bentuk pengembangan positif dari kegiatan
pembangunan yang dilakukan tersebut.
Kebijaksanaan lingkungan ditujukan kepada pencegahan pencemaran.
Sarana utama yang diterapkan adalah pengaturan sifatnta tradisional dan
biasanya berupa izin serta persyaratan pemakaian teknologi pencemaran.
Instrumen ekonomis merupakan hal yang relative baru. Contohnya: pungutan
(charges) pencemaran udara dan air serta uang jaminan pengembalian kaleng
atau botol bekas (deposit fees). Mulanya pencemaran diakibatkan dampak
teknologi buatan manusia atau hasil produksi yang sudah tidak bisa
dimanfaatkan. Akibat pengembangan industri, sistem transportasi,
permukiman akan menimbulkan sisa buangan, gas, cair, dan padat yang jika
dibuang ke lingkungan hidup akan menimbulkan dampak yang besar terhadap
kehidupan manusia.
Proses perkembangan teknologi, pembangunan dan peningkatan
populasi (jumlah banyaknya penduduk) selama dekade-dekade terakhir
mengakibatkan berlipatnya aktivitas manusia dalam upaya pemenuhan
kebutuhan pokok kehidupannya. Aktivitas manusia itu sendiri merupakan
sumber pencemaran yang sangat potensial. Di samping adanya sumber daya
alam, alam air dan tanah, udara adalah sumber daya alam yang mengalami
pencemaran sebagai akibat sampingan dari aktivitas manusia itu. Selain dari
aktivitas unanusia, proses alami, seperti kegiatan gunung berapi, tiupan angin
terhadap lahan gundul berdebu dan lain sebagainva juga merupakan sumber
dari pencemaran udara.
127
Menurut sifat penyebaran bahan pencemarannya, sumber penceman
udara dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu sumber titik,
area, dan bergerak. Sumber titik dan area dapat dijadikan satu kelompok,
sehingga pengelompokannya menjadi dua, yakni sumber stasioner dan
bergerak. Termasuk ke dalam sumber stasioner adalah kegiatan rumah tangga,
industri, pembakaran sampah, dan letusan gunung berapi. Adapun sumber
bergerak adalah kendaraan angkutan.
Konsentrasi bahan pencemar yang terkandung dalam udara bebas
dipengaruhi banyak faktor, yaitu konsentrasi dan volume bahan penceman
yang dihasilkan suatu sumber, sifat khas bahan pencemar, kondisi
metereologi, klimatologi, topografi, dan geografi. Sehingga tingkat
pencemaran udara sangat bervariasi baik terhadap tempat maupun waktu.
Bahan pencemar udara digolongkan dalam dua golongan dasar, yaitu partikel
dan gas. Dari banyak jenis gas yang berperan dalam masalah udara adalah
SO2, NO2, CO2, oksidan, hidrokarbon, NH3 dan H2. Dalain konsentrasi yang
berlebih, gas-gas tersebut sangat berbahaya bagi manusia dan hewan, tanaman
dan materiil, dan berbagai gangguan lain. Melihat kondisi pencemaran itu,
adalah penting bagi kita untuk menyadari bahwa ini ancaman yang serius bagi
manusia. Karenanya pengetahuan lingkungan perlu ditingkatkan guna
mencapai kesadaran masyarakat.
D.PENGENDALIAN PENCEMARAN
Salah satu akibat yang paling pasti dari adanya pencemaran adalah
perubahan tatanan lingkungan alam atau ekosistem yang sebelumnya secara
alami telah terjadi. Akibat lainnya adalah tidak atau kurang berfungsi satu atau
beberapa elemen lingkungan dikarenakan kegiatan manusia yang
mengakibatkan pencemaran tersebut. Akibat lain, dan ini barangkali yang
paling fatal adalah, menurunnya kualitas sumber daya dan kemudian tidak bisa
dimanfaatkan lagi.
128
Dengan akibat-akibat seperti itu, maka sudah tidak bisa ditunda lagi
bahwa pencemaran haruslah, tidak sekadar dihindari, akan tetapi diperlukan
juga tindakan-tindakan preventif atau pencegahan. Pencegahan terhadap
pencernaran merupakan upaya yang sangat besar bagi penyelamatan masa
depan bumi, air, dan udara di dunia ini. Sebelumya, pencemaran memang
sudah banyak terjadi. Tidak hanya di negara maju di mana industrialisasi
sudah mencapai puncaknya, namun juga di negara-negara yang sedang
berkembang dimana proses dan praktik industrialisasi mulai diterapkan.
Dengan demikian, industrialisasi yang tidak memenuhi standat kebijaksanaan
lingkungan hidup adalah faktor utama mengapa pencemaran terjadi.
Dengan menyadari bahwa setiap kegiatan pada dasarnya menimbulkan
dampak terhadap lingkungan hidup, maka perlu dengan perkiraan pada
perencanaan awal, sehingga dengan cara demikian dapat dipersiapkan langkah
pencegahan maupun penanggulangan dampak negatifnya dan mengupayakan
pengembangan dampak positif dari kegiatan tersebut. Sehubungan dengan itu,
maka diperlukan analisis mengenai dampak lingkungan sebagai proses dalam
pengambilan keputusan tentang pelaksanaan rencana kegiatan.
Pencemaran pada sungai misalnya, harus dihindari dan dicegah karena
sungai merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terlebih
lagi karena sungai adalah kebutuhan sehari-hari. Terlebih lagi karena sungai
adalah sumber air yang digunakan untuk makan dan minum bagi makhluk
hidup. Di samping itu, sungai sebagai sumber air, sangat penting fungsinya
sarana penunjang utama dalam pembangunan nasional. Karena itu, pemerintah
hendaknya memerhatikan pelestarian sungai. Pelestarian sungai dari
pencemaran meliputi perlindungan, pengambangan, penggunaan, dan
pengendalian atas kerusakan dari sifat aslinya, Misalnya dengan
dikeluarkannya PP Ni.35 Tahun 1991 tentang Sungai, sebagai pelaksanaan
UU No. 11/1974 tentang Pengairan, maka peraturan itu bisa digunakan
sebagai pedoman dalam rangka menjalankan aktivitas yang pada akhirnya
mengancam bahaya kelestarian sungai. Hal ini berpedoman pada prinsip
bahwa air dalam sungai akan bisa menjadi sumber malapetaka.
129
Pencemaran akibat industri misalnya, merupakan hal yang harus
dihindari kareana, baik polusi udara yang diakibatkannya maupun buangan
limbah hasil proses mengelolahan barang mentahnya sangat berbahaya bagi
makhluk hidup. Jika industrialisai merupakan proyek pembangunan yang tak
bisa dihindari guna kemajuan manusia, maka setidaknya harua ada landasan
bagaimana industrialisasi yang tak merugikan. Pencegahan pencemaran
industri dimulai dari tahap perencanaan pembangunan maupun mnegoperasian
industri. Hal tersebut meliputi pemilihan lokasi yang dikaitkan dengan rencana
tata ruang; studi yang menyangkut pengaruh dari pemilihan industri terhadap
kemungkinan pencemaran melalui prosedur AMDAL maupun ANDAL;
pemilihan teknologi yang akan digunakan dalam proses produksi; dan yang
lebih penting lagi adalah pemilihan teknologi yang dapat guna proses
pengelolahan limbah industri termasuk daur ulang dari limbah tersebut. Hal ini
penting mengingat kebutuhan kelestarian lingkungan yang ada di sekitarnya.
Dalam UU No.23/1997 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPLH) Pasal 14 ayat 2 dinyatakan bahwa di samping ketentuan
tentang baku mutu lingkungan hidup, ketentuan mengenai pencegahan dan
penanggulangan pencemaran serta pemulihan daya tampungnya diatur dengan
PP. Mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran, dalam Pasal 17
UULH dinyatakan bahwa: Ketentuan tentang pencegahan dan penanggulangan
perusakan dan pencemaran lingkungan hidup beserta pengawasannya yang
dilakukan scara menyeluruh dan/atau secara sektoral ditetapkan dengan
Peraturan Perundang-undangan. Dengan melihat kepedulian pemerintah dalam
hal penyelamatan lingkungan hidup, maka masyarakat pun harus mendukung
sekaligus mengontrol dari pelaksanaan berbagai kebijakan itu. Sebab yang
demikian inilah yang disebut sebagai partisipasi dari kesadaran masyarakat.
E. PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP INDIVIDU
Lingkungan merupakan salah satu faktor vang mempengaruhi terhadap
pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik
maupun sosio-psikologis, termasuk di dalamnya adalah belajar.
130
Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai
empiris yang berarti pengalaman, karena dengan lingkungan itu individu
mulai mengalami danmengecap alam sekitarnya. Manusia tidak bisa
melepaslcan diri seeara mutlak dari pengaruh lingkungan itu, karena
lingkungan itu senantiasa tersedia di sekitarnya.
Sejauh mana pengaruh lingkungan itu bagi diri individu, dapat kita
ikuti pada uraian berikut:
a. Lingkungan membuat individu sebagai makhluk sosial.
Yang dimaksud dengan lingkungan pada uraian ini hanya meliputi orang-
orang atau manusia-manusia lain yang dapat memberikan pengaruh dan
dapat dipengaruhi, sehingga kenyataannya akan menuntut suatu keharusan
sebagai makhluk sosial yang dalam keadaan bergaul satu dengan yang
lainnya.
Terputusnya hubungan manusia dengan masyarakat manusia pada tahun-
tahun permulaan perkembangannya, akan mengakibatkan berubahnva
tabiat manusia sebagai manusia. Berubahnya tabiat manusia sebagai
manusia dalam arti bahwa ia tidak akan mampu bergaul dan bertingkah
laku dengan sesamanya.
Dapat kita bayangkan andai kata seorang anak manusia yang sejak
lahirnya dipisahkan dari pergaulan manusia sampai kira-kira berusia 10
tahun saja, walaupun diberinya cukup makanan dan minuman, akan tetapi
serentak dia dihadapkan kepada pergaulan manusia, maka sudah dapat
dipastikan bahwa dia tidak akan mampu berbicara dengan bahasa yang
biasa. canggung, pemalu, dan lain-lain. Sehingga kalaupun dia kemudian
dididik, maka penyesuaian dirinya itu akan berlangsung sangat lambat
sekali.
b. Lingkungan membuat wajah budaya bagi individu.
Lingkungan dengan aneka ragam kekayaannya merupakcan sumber
inspirasi dan daya cipta untuk diolah menjadi kekayaan budaya bagi
dirinya. Lingkungan dapat membentuk pribadi seseorang, karena manusia
hidup adalah manusia yang berpikir dan serba ingin tahu serta mencoba-
131
coba terhadap segala apa yang tersedia di alam sekitarnya.
Lingkungan memiliki peranan bagi individu, sebagai:
a) Alat untuk kepentingan dan kelangsungan hidup individu dan menjadi
alat pergaulan sosial individu. Contoh: air dapat digunakan untuk
minum atau menjamu teman ketika berkunjung kerumah.
b) Tantangan bagi individu dan individu berusaha untuk dapat
menundukkannya. Contoh: air banjir pada musim hujan mendorong
manusia untuk mencari cara-cara untuk mengatasinya.
c) Sesuatu yang diikuti individu. Lingkungan yang beraneka ragam
senantiasa memberikan rangsangan kepada individu untuk
berpartisipasi dan mengikutinya serta berupaya untuk meniru dan
mengentifikasi, apabila dianggap sesuai dengan dirinya. Contoh :
seorang anak yang senantiasa bergaul dengan temanya yang senantiasa
bergaul dengan temannya yang rajin belajar, sedikit banyaknya sifat
rajin dari temanya akan diikutinya sehingga lama-kelamaan dia pun
menjadi anak yang rajin.
d) Objek penyesuian diri bagi individu, baik secara aloplastik maupun
autoplastis. Penyesuian diri alloplatis, artinya individu itu berusaha
untuk mengubah lingkungannya. Contohnya : dalam keadaan cuaca
panas individu memasang kipas angin sehingga dikamarnya menjadi
sejuk. Dalam hal ini, individu melakukan manipulation yaitu
mengadakan usaha untuk memalsukan lingkungan panas menjadi sejuk
sehingga sesuai dengan dirinya. Adapun penyesuaian diri autoplastis,
penyesuian diri yang dilakukan individu agar dirinya sesuai dengan
lingkungannya. Contoh : seorang juru rawat di rumah sakit, pada
awalnya dia merasa mual karena bau obat-obatan, namun lama-
kelamaan dia menjadi terbiasa dan tidak mengalami gangguan lagi,
karena dirinya telah sesuai dengan lingkungannya.
132
D. ISU-ISU PENTING TENTANG PERSOALAN LINTAS BUDAYA
Kebanyakn masyarakat dunia dewasa ini disatukan oleh sistem
komunikasi dunia. Kejadian di suatu masyarakat atau di suatu tempat tidak
akan luput dari sototan media komunikasi sehingga masyarakat di tempat lain
pun mengetahuinya. Iklim keterbukaan itu akibat perkembangan teknologi
informasi yang merupakan bagian dari perkembangan iptek. Dengan sistem
komunikasi dunia yang terbuka, persoalan lintas budaya menjadi tak
terelakan lagi.
Secara umum, persoalan lintas budaya umumnya terkait dengan
perkembangan di dunia memengaruhi atau dipengaruhi. Persoalan lintas
budaya dapat diartikan pula sebagai perkembangan modernisasi yang
berkembang terus menjadi globalisasi. Globalisasi adalah sistem atau tatanan
yang menyebabkan suatu negara tidak mungkin mengisolasi diri akibat
kemajuan teknologi dan komunikasi. Dalam era globalisasi unsur-unsur
budaya saling memengaruhi dari satu budaya ke budaya lain. Pengaruh
globalisasi tersebut dapat dikelompokkan pada dua macam, yaitu : pengaruh
positif dan negatif.
Pengaruh positif, bisa berwujud pengembangan ilmu pengetahuan,
berkembangnya teknologi yang lebih baik, perkembangan sistem pemerintah,
perekominian, politik mengarah pada pelaksanaan yang lebih sistematis dan
logisrasional. Dampak negatif dari globalisasi adalah bergesernya norma dan
nilai moral, sehingga ukuran norma dan nilai menjadi lebih lunak. Dari sisi
ke-Indonesia-an, persoalan lintas budaya ini adalah: (1) kesenjangan
kebudayaan (cultural lag), (2) terjadi guncangan budaya (cultural shock).
1. Kesenjangan kebudayaan adalah pertumbuhan atau perubahan unsur
kebudayaan tidak sama cepatnya. Ogburn berpendapat, bahwa perubahan
kebudayaan materiil cenderug lebih cepat dibandingkan perubahan
kebudayaan immateriil. Ketidakseimbangan perubahan kebudayaan
materiil dengan kebudayaan immateriil disebut kesenjangan kebudayaan.
Kesimbangan dalam kehidupan masyarakat (social equilibrium) tidak
selalu berarti tidak menginginkan perubahan atau berhenti pada suatu
133
titik. Tetapi makskudnya, perubahan yang terjadi dalam suatu unsur tidak
mengganggu unsur yang lain atau unsur yang lain diharapkan
menyesuaikan diri sehingga terjadi keseimbangan
2. Guncangan kebudayaan adalah ketidaksesuaian unsur-unsur yang
saling berbeda sehingga menghasilkan pola kehidupan sosial ylng
tidak serasi fungsinya bagi masyarakat. Ada empat tahap yang
membentuk siklus cultural shock, yaitu:
a. Tahap inkubasi; kadang-kadang disebut tahap bulan madu, sebagai
pengalaman baru yang menarik.
b. Tahap krisis; ditandai dengan suatu perasaan dendam, pada saat
inilah terjadi korban cultural shock.
c. Tahap kesembuhan; korban mampu melampaui tahap kedua, hidup
dengan damai;
d. Tahap penyesuian diri: sekarang orang tersebut sudah
membanggakan sesuatu yang dilihat dan dirasakannya dalam
kondisi yang baru; rasa cemas dalam dirinya sudah berlaku.
Penyesuaian diri antarbudaya dipengaruhi oleh berbagai faktor, di
antaranya faktor internal dan eksternal. Faktor internal, menurut Brislin
(1981) ialah watak (trait) dan kecakapan (skills). Watak ialah segala tabiat
yang membentuk seluruh kepribadian seseorang, yang dalam bahasa
sehari-hari biasanya merupakan jawaban dan pertanyaan, ”Orang macam
apa dia?Jababannya : emosional, pemberani, bertanggung jawab, senang
bergaul dan seterusnya. Kecakapan (skill) meyangkut budaya yang dapat
dipelajari mengenai lingkungan budaya yang akan dimasuki,
sepertibahasa, adat istiadat, tata krama, keadaan geografis, keadaan
ekonomi, dan lain sebagaiuya.
Selain kedua faktor di atas, sikap (uftitude) seseorang berpengaruh
terhadap penyesuaian diri antarbudaya. Menurut Alport, yang dimaksud
dengan sikap adalah kesediaan mental yang terbina melaiui pengalaman
yang memberikan pengarahan atau penbaruh bagaimana seseorang
134
menanggapi segala macam objek atau situasi yang dihadapinya.
Faktor eksternal vang berpengaruh terhadap penyesuaian diri
antarbudaya adalah:
a. Besar kecilnya perbedaan antar kebudayaan tempat asalnya dengan
kebudayaan lingkungan yang dimasukinya.
b. Pekerjaan yang dilakukannya, yaitu apakah pekerjaan yang
dilakukannya itu dapat ditoleransi dengan latar belakang
pendidikannya atau pekerjaan sebelumnya.
c. Suasana lingkungan tempat ia bekerja. Suasana lingkungan yang
terbuka akan mempermudah seseorang menyesuaikan diri bila
dibandingkan dengan suasana lingkungan yang tertutup.
Dengan demikian penting kemudian mencermati lingkungan
sekitar kita dalam beraktivitas dan bertindak. Lingkungan yang berasal
dari luar dan bernilai positif dapat diadaptasi dan dipraktikkan menjadi
kebiasaan keseharian. Demikian sebaliknya lingkungan yang negatif dapat
mengubah atau bahkan merusak kebiasaan yang telah berjalan baik selama
ini.
135
BAB 9
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Mendekati pelbagai realitas dan fenomena sosial-budaya saat ini sering
kali membutuhkan pengkajian secara bersama dalam pelbagai sudut pandang
yang luas dengan tetap mempertahanhan perspektif keilmiahan masing-masing
bidang keilmuan. Kajian multidisipliner dibutuhkan untuk memberihan
penjelasan lebih terbuka dan luas terkait kerumitan sosial-budaya yang telah
semakin kompleks.
Kebudayaan dalam konteks keindonesiaan beberapa tahun terakhir
telah diguncang oleh serbuan kebudayaan asing sehingga memengaruhi
perilaku dan tata hidup generasi muda. Kebudayaan asing dalam realitasnya
harus diakui telah berhasil memengaruhi arah kebudayaan Indonesia yang
multikultur. Lahirnva budaya hybrid (persilangan instan) seperti kebiasaan
minum Coca Cola, bermain facebook, pakaian jeans, nongkrong di mall, dan
ngedate/pacaran yang di kalangan generasi muda saat ini merupakan perilaku
sosial yang dibiasakan dan mendapat pemakluman bersama dari publik,
merupakan cermin dari perubahan kebudayaan masyarakat yang dinamis,
sekaligus instan.
Problematika kehidupan tersebut perlu ditelaah dan disikapi dengan
serius guna tidak jatuh pada penafsiran kebudayaan yang keliru. Karena tujuan
akhir dari pengembangan kebudayaan sejatinya ialah untuk kemajuan
peradaban manusia yang lebih baik. Sebagai bangsa yang bermartabat,
kebudayaan Indonesia haruslah ditempatkan sebagai konsepsi dan strategi
dalam pembangunan nasional. Dengan ini, proses integrasi sosial dan politik
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap kukuh terpelihara.
Demikian juga tujuan kesejahteraan sosial bagi setiap warga negara RI dapat
tercapai.
136
B. TINJAUAN KE DEPAN
Mahasiswa dan para pengkaji keilmuan sosial dan budaya perlu
memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang keanekaragaman, kesetaraan,
dan kemartabatan manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Dengan ini,
ia memiliki sikap kritis, peka, dan arif atas setiap keragaman budaya dan
kultur dalam kehidupan bermasyarakat.
Untuk itu, penting menyampaikan tinjauan kondisi terkini untuk
dijadikan bahan kajian bersama ke depan. Beberapa problematika sosial-
budaya dan politik yang beberapa tahun terakhir muncul di hadapan publik
dan dianggap penting untuk dijadikan sorotan banyak pihak sebagai berikut:
1) Bagaimana menyikapi pelbagai perilaku elite yang telah kehilangan hati
nurani, kejujuran, dan nilai etis yang sering kali ditampilkan di ruang
publik?
2) Penataan birokrasi (Good Governance) yang lambat akibat dampak
korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah membakar menjadi
permasalahan krusial yang menyedot perhatian publik.
3) Kemiskinan, kawasan tertinggal, terpencil, dan persoalan kesejahteraan
sosial dinilai masih menjadi catatanpenting bagi pembenahan strategi
perekonomian Indonesia ke depan.
4) Kondisi lingkungan hidup yang semakin buruk seperti hutan gundul akibat
pembakaran dan pembakaran hutan, rumah kaca, sampah, limbah industri,
pencemaran lingkungan, dan kesadaran hidup sehat, bagaimana penataan
dan pengelolaannya?
5) Pelajaran dari Maluku dan Sulewesi terkait bencana sosial berupa konflik
etnik dan religius (1998-2003) menjadi sorotan tajam tentang upaya
pembenahan kerukunan hidup antar-umat bcragama yang belum optimal,
bagaimana menyikapinya untuk pemeliharaan kerukunan di tempat lain?
6) Bagaimana mewujudkan masyarakat multikultur dan memanfaatkan
kondisi masyarakat yang multikultur tersebut bagi pembangunan nasional
di Indonesia?
137
7) Bagaimana seharusnya generasi muda menyikapi seni dan kesenian di
tengah deras globalisasi, yaitu meletakkan mana yang seni dan mana yang
pornografi/pornoaksi? Dampak negatif kemajuan teknologi informasi
seperti internet, HV, komputer, dan TV sangat berpengaruh bagi
keberhasilan pendidikan akhlak dan karakter anak-anak bangsa.
Bagaimana peran ilmuwan sosial, teknologi, humaniora, dan agamawan
dengan kondisi tersebut?
8) Munculnya beragam keyakinan dan akidah baru termasuk menjamurnya
lembaga keagamaan baru di Indonesia menjadi bagian dari kerumitan
sosial yang akhir-akhir ini sering muncul ke permukaan. Tidak jarang
persoalan tentang beda keyakinan dan akidah berujung pada benturan fisik
baik secara horizontal dan vertikal. Gejala sosial seperti ini penting
menjadi telaah serius ke depan.
9) Perubahan iklim dan cuaca yang terjadi di hampir seluruh belahan dunia,
khususnyadi Indonesia, juga menjadi kajian utama yang dicarikan
solusinya ke depan. Hal ini terutama kaitannya dengan pendapatan
perekonomian primer masyarakat Indonesia seperti bidang pertanian,
peternakan, dan perikanan.
10) Pemanfaatan potensi kelautan dan pariwisata nasional yang mulai lesu
setelah perubahan iklim dan cuaca dekade terakhir yang tidak menentu,
utamanya akibat gempa dan tsunami.