konsep bpk isbd (2)

236
1 BAB I PENGANTAR ILMU SOSIALDAN BUDAYA DASAR A. HAKIKAT, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP 1. Hakikat Ilmu Soaial dan Budaya Dasar (ISBD) Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) merupakan Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) dengan visi “Berkembangnya mahasiswa sebagai manusia terpelajar yang kritis, peka dan arif dalam memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia yang dilandasi nilai-nilai estetika, etika, dan mmoral dalam kehidupan bermasyarakat”.Adapun misinya adalah “Memberikan landasan dan wawasan yang luas, serta menumbuhkan sikap kritis, pekam dan arif pada mahasiswa untuk memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat selaku individu dan makhluk social yang beradab serta bertanggung jawab terhadap sumber daya dan lingkungannya”. ISBD bukanlah suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, melainkan suatu rangkaian pengetahuan mengenai aspek-aspek yang paling dasar yang ada dalam kehidupan manusia sebagai makhluk social yang berbudaya, dan masalah-masalah yang terwujud daripadanya.Selain itu, mata kuliah ini

Upload: ant-khusus

Post on 03-Aug-2015

374 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENGANTAR ILMU SOSIALDAN BUDAYA DASAR

A. HAKIKAT, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

1. Hakikat Ilmu Soaial dan Budaya Dasar (ISBD)

Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) merupakan Matakuliah

Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) dengan visi “Berkembangnya

mahasiswa sebagai manusia terpelajar yang kritis, peka dan arif dalam

memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia yang

dilandasi nilai-nilai estetika, etika, dan mmoral dalam kehidupan

bermasyarakat”.Adapun misinya adalah “Memberikan landasan dan

wawasan yang luas, serta menumbuhkan sikap kritis, pekam dan arif pada

mahasiswa untuk memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan

manusia dalam kehidupan bermasyarakat selaku individu dan makhluk

social yang beradab serta bertanggung jawab terhadap sumber daya dan

lingkungannya”.

ISBD bukanlah suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, melainkan

suatu rangkaian pengetahuan mengenai aspek-aspek yang paling dasar

yang ada dalam kehidupan manusia sebagai makhluk social yang

berbudaya, dan masalah-masalah yang terwujud daripadanya.Selain itu,

mata kuliah ini pada prinsipnya sebagai pengatur dasar menuju pengenalan

teori ilmu-ilmu social dan kebudayaan sehingga diharapkan mahasiswa

dapat memiliki wawasan keilmuan yang bersifat multidisipliner tentang

keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara.

2. Tujuan Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD)

Berdasarkan hakikat keilmuan di atas, maka tujuan Ilmu Sosial dan

Budaya Dasar (ISBD) yang merupakan bagian dari Matakuliah

Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) adalah:

2

a. Mengembangkan kesadaran mahasiswa menguasai pengetahuan

tentang keanekaragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia

sebagai individu dan makhluk social dalam kehidupan bermasyarakat.

b. Menumbuhkan sikap kritis, peka dan arif dalam memahami

keragaman, kesederajatan, dan kemartabatan manusia dengan

landasan nilai estetika, etika, dan moral dalam kehidupan

bermasyarakat.

c. Memberikan landasan pengetahuan dan wawasan yang luas serta

keyakinan kepada mahasiswa sebagai bekal bagi hidup

bermasyarakat, selaku individu dan makhluk social yag beradab

dalam mempraktikkan pengetahuan akademik dan keahliannya dan

mampu memecahkan maalah social budaya secara arif.

3. Ruang Lingkup Mata Kuliah Pengantar Ilmu Sosial Dan Budaya

(ISBD)

Untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan mata kuliah Ilmu Sosial

dan Budaya Dasar (ISBD) pada perguruan tinggi, berikut ini adalah ruang

lingkup dan sub bahasannya.

a. Pengantar Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD)

1. Hakikat dan ruang lingkup ISBD

2. ISBD sebagai MBB dan pendidikan umum; dan

3. ISBD sebagai alternative pemecahan masalah social budaya

b. Manusia sebagai Makhluk Budaya:

1. Hakikat manusia sebagai makhluk budaya;

2. Apresiasi terhadap kemanusiaan dan kebudayaan;

3. Etika dan estetika berbudaya

4. Memanusiakan manusia melalui pemahaman konep-konsep dasar

manusia; dan

5. Problematika kebudayaan

3

c. Manusia sebagai Individu dan Makhluk Sosial;

1. Hakikat manusia sebagai individu dan makhluk social;

2. Fungsi dan peran manusia sebagai individu dan makhluk social;

3. Dinamika interaksi social; dan

4. Dilema antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat;

d. Manusia dan Peradaban

1. Hakikat peradaban;

2. Manusia sebagai makhluk beradab dan masyarakat adab;

3. Evolusi budaya dan wujud peradaban dalam kehidupan social-

budaya;

4. Dinamika peradaban global; dan

5. Problematika peradaban pada kehidupan manusia

e. Manusia, Keragaman dan Kesetaraan;

1. Hakikat keragaman dan kesetaraan manusia;

2. Kemajemukan dalam dinamikan social dan budaya;

3. Keraganan dan kesetaraan sebagai kekayaan social, budaya bangsa;

dan

4. Problematika keragaman dan kesetaraan serta solusinya dalam

kehidupan masyarakat dan negara

f. Manusia, Nilai, Moral, dan Hukum

1. Hakikat, fungsi, dan perwujudan nilai, oral dan hukum dalam

kehidupan manusia, masyarakat dan negara;

2. Keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan sebagai wujud masyarakat

yang bermoral dan menaati hukum dan

3. Problematika nilai, moral, dan hokum dalam masyarakat dan

negara

g. Manusia, Sains, Teknologi dan Seni:

1. Hakikat dan makna sains, teknologi dan seni bagi manusia;

2. dampak penyalahgunaan IPTEKS pada kehidupan social dan

budaya; dan

3. Problematika pemanfaatan IPTEKS di Indonesia

4

h. Manusia dan Lingkungan

1. Hakikat dan makna lingkungan bagi manusia;

2. Kualitas penduduk dan lingkungan terhadap kesejahteraan manusia

3. Problematika lingkungan social-budaya yang dihadapi masyarakat;

dan

4. Isu-isu penting tentang persoalan lintas budaya dan bangsa.

B. ISBD SEBAGAI MBB DAN PENDIDIKAN UMUM

ISBD sebagai bagian dari Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat

(MBB) mempunyai tema pokok, yaitu hubungan timbale balik antara manusia

dengan lingkungannya. Dengan wawasan tersebut diharapkan perguruan

tinggi mampu menghasilkan tenaga ahli dengan tigas jenis kemampuan secara

simultan, yang meliputi:

1. Kemampuan personal: para tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan

sehingga mampu menunjukkan sikap, tingkah laku dan tidnakan yang

mencerminkan kepribadian Indonesia, memahami dan mengenal nilai-nilai

keragaman, kemasyarakatan dan kenegaraan, serta memiliki pandangan

yang luas dan kepekaan terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh

masyarakat Indonesia.

2. Kemampuan akademis; kemampuan untuk berkomunikasi secara ilmiah

baik lisan maupun tulisan, mengusai peralatan analiss, maupun berpikir

logis, kritis, istematis, analisis, memiliki kemampuan konsepsional untuk

mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang dihadapi, serta mampu

menawarkan alternative pemacahannya.

3. Kemampuan professional: kemampuan dalam bidang profesi sesuai

keahlian bersangjutan, para ahli diharapkan memiliki pengetahuan dan

ketrampilan yang tinggi dalam bidang profesinya.

5

C. ISBD SEBAGAI ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH SOSIAL-

BUDAYA

Dengan bekal wawasan, sikap, dan perilaku melalui mata kuliah Ilmu

Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) diharapkan mahasiswa dapat menjadi

manusia yang memiliki kemampuan personal, kemampuan akademik dan

kemampuan professional sehingga para lulusan akan mampu mengenali

masalah dan mengatasi masalah tersebut dengan bijaksana. Dengan itu

problematika kemanusiaan dan peradaban manusia merupakan fakta objektif

yang penting dikenali secara menunjung tinggi pemikiran serta nilai-nilai

luhur tradisi.

Di samping diurai kondisi objektif konteks keindonesiaan, buku ini

juga mengulas lesson learns atau pelajaran berharga dari akta atau fenomena

social yang terjadi di sekitar lingkungan kita baik yang dialami secara

langsung atau tidak langsung dalam perspektif lintas keilmuan secara

simultan. Pendekatan multidisipliner dipilih guna menstimulus mahasiswa

berpikir terbuka dan kritis atas apa yang didengar, dimengerti, dipahami, dan

dikonsepsikannya selama ini agar dapat didiskusikan dan dikomunikasikan

menjadi pengetahuan yang ilmuah.

6

BAB 2

HAKIKAT MANUSIASEBAGAI MAKHLUK BUDAYA

A. HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BUDAYA

Sebelum mengulas manusia sebagai makhluk budaya penting bagi kita

mencermati kajian tentang filsafat manusia secara singkat dan

mendasar.Bahwasanya diskusi klasik yang hingga kini masih dibincangkan

seputar manusia adalah pertanyaan siapakah sebenarnya manusia itu.Dengan

pertanyaan tersebut sejauh ini telah menghasilkan pelbagai teori, konsep,

konstruk pemikiran tentang haikat manusia.Secara sederhana aliran tersebut

dapat diklasifikasikan dalam beberapa aliran utama, yaitu materialisme,

idealisme, realisme, dan aliran agamawan (teologis).Tetapi pentin ditegaskan

di sini bahwasanya hingga kini jawaban tentang siapa manusia itu tampaknya

belum juga terpuaskan atau belum final.

Untuk aliran materialisme misalnya mempunyai pemikiran bahwa

materi atau zat merupakan satu-satunya kenyataan, karena itu semua peristiwa

dapat terjadi melalui proses materiil. Demikian pula analogi yang terjadi pada

manusia, yakni kejadian “adanya adalah juga bagian dari proses-proses

materiil itu sendiri.Aliran ini baik dari kalangan aliran materilalisme didaktik

atau humanistic, keduanya tidak mengenal adanya kenyatan bersifat

spiritual.Karena itu, bagi aliran ini kenyataan yang sebenarnya adalah alam

semesta yang bersifat badaniah.

Sebaliknya, bagi pemikir atau filsuf dari airan idelisme mereka

menyangkul secara mendasar pemikiran materialisme di atas. Menurut aliran

idelisma, bukan materi yang menjadi “kenyataan”, tetapi kenyataan yang

sebenarnya adalah “ide” yang bersifat rohani dan/atau intelegensi. Karena itu,

manusia oleh aliran ini dipandang bukan sebagai materi tetapi makhluk yang

berjiwa/berkerohanian.

Substansi pemikiran dari dua aliran di atas diyakini secara bersamaan

oleh aliran realisme. Bagi aliran realisme kenyataan dapat berupa kenyataan

dunia batin atau rohani dan dapat berupa kenyataan dunia batin atau rohani

7

dan dapat juga berupa kenyataan dunia materi. Keduanya dalam pandangan

realisme adalah hakikat asli dan abadi. Hakikat manusia dengan demikian,

adalah dapat dipandang sebagai makhluk kejiwaan/kerohanian, dan sekaligus

makhluk materiil.

Bandingkan berikutnya dengan pemikiran para tokoh aliran teologis.

Aliran teologis ini jika dicermati tidak memiliki irisan dengan pemikiran

aliran-aliran sebelumnya. Karana mereka cenderung meletakkan kedudukan

manusia secara berbeda dengan makhluk lain di muka bumi, yakni karena

hubungannya dengan Tuhan. Artinya, manusia menurut aliran ini diyakini

sebagai makhluk materi, makhluk rohani, tetapi keduanya tidak bersifat abadi

dan/atau sebagai hakikat asli. Menurut aliran ini, hakikat asli atau kenyataan

utama adalah Tuhan itu sendiri.

Jika kita tarik benang merah dari pemikiran beberapa aliran di atas,

umumnya berusaha mendudukkan hakikat manusia sebagai makhluk di antara

makhluk-makhluk lainnya di muka bumi ini, sekaligus membandingkan di

antara keduanya. Kesamaan manusia sebagai makhluk dengan makhluk

lainnya adalah pada dorongan naluriah (animal instinct) yang termuat dalam

tiap gen mereka. Adapun yang membedakan manusia dari makhluk lainnya

dalam hal pengetahuan dan perasaan (emosional dan kejiwaan). Melalui

pengetahuan yang dimiliki manusia, ia dapat hidup jauh lebih berkembang

(survival) daripada pengetahuan makhluk lainnya. Demikian juga melalui

perasaan manusia, mereka dapat mengembangkan eksistensi kemanusiaannya

menajdi lebih beradab disbanding makhluk lainnya.

Secara lebih mendalam pendekatan keilmuan yang umumnya

digunakan untuk membincangkan hakikat manusia ini adalah melalui ilmu

antropologi filsafat atau filsafat manusia (anthropos dalam bahasa Yunani,

berarti: “manusia”). Di mana awalnya, filsafat manusia lebih dekat dengan

kajian psikologi filosofis atau psikologi rasional, tetapi tampaknya pendekatan

psikolog dianggap kurang mencakup diskusi tentang manusia secara holistis.

Karena sesungguhnya diskusi tentang filsafat manusia tidak saja membahas

aspek jiwa dan raganya, tetapi juga roh dan badannya.

8

Dalam pandangan Adelbert Snijders, filsafat manusia dirumuskan

sebagai refleksi atas pengalaman yang dilaksanakan secara rasional, kritis

serta ilmiah, dan dengan maksud untuk memahami diri manusia dari segi yang

paling asasi. Yakni, memahami manusia sebagai suatu kesatuan, di mana

dalam kesatuan itu terdapat unsur “keduanya” (jiwa dan badan). Tujuan dari

kajian filsafat manusia tidak lain adalah untuk memahami diri manusia dari

segi yang paling mendasar tersebut. Berikut ini akan dikupas pandangan

beberapa tokoh, pemikiran, dan alirannya.

Sebagaimana pemiiran Plato dan Plotinos, bahwa manusia adalah

makhluk ilahiah. Bahkan lebih ekstrem disampaikan Deserates, menurutnya

manusia memiliki kebebasaan mirip seperti kebebasan yang dimiliki Tuhan.

Tetapi, pandangan manusia sebagai makhluk ilahah tersebut ditolak oleh

Epikuros dan Lukretius. Menurut keduannya manusia tak lebih dari makhluk

hidup berumur pendek, ia lahir karena kebetulan, dan akhirnya sama sekali

lenyap. Demikian juga seperti yang disampaikan Voltaire, manusia tidak

berbeda secara esensial ibarat binatang yang paling tinggi atau sempurna.

Pandangan lain tentang manusia disampaikan Hobbes. Ia berpendapat

bahwa manusia pada dasarnya memiliki sifat agresif dan jahat. Tetapi

Rousseau justru melihat sebaliknya, yaitu manusia dalam kodratnya adalah

baik. Belakangan para pemikir, seperti Buber, Marcel, Levinas, dan Mounier

menegaskan bahwa setiap manusia memiliki suatu kepribadian dengan

kompeksitas manusia memiliki suatu kepribadian dengan kompleksitas nilai

yang unik. Tetapi, pemikiran lainnya justru meletakkan manusia sebagai

makhluk yang tak berarti atau “keinginan” yang sia-sia.

Dapat disimpulkan bahwa para pemikir filsafat manusia dan ilmuwan

memiliki pandangan yang berseberangan di antara dua titik secara ekstrem

baik mereka yang berlatar periode kesejahteraan yang sama atau berbeda.

Namun perdebatan hakikat manusia (lebens-philosophie)menurut penilaian

filsuf mazhab Frankfurt Jerman Max Horkheimer (1895-1973) merupakan

diskursus ilmiah yang sehat, yang dapat membuka kebekuan berpikir rasional

yang abstrak dan menjadi lawan dari debut kapitalisme yang selama ini

9

berkembang pesat. Sebagai pengkritik positivisme, Horkheimer menyatakan

selama ini saintisme tak lebih pendukung status-quo yang bersembunyi di

balik objektivitas. Segala bentuk demikian menurut Horkheimer dan juga

Habermas, telah dijerumuskan oleh kepentingan kognitif, dan karenanya tidak

bebas nilai, termasuk teori kritis yang didorong oleh kepentingan

emansipatoris (Sulistyanta, 2005). Menurut Jurgen Habermas (1929), bahwa

kekuatan kritik erat kaitannya dengan metodologi maupun kondisi sejarah

yang melatari, yakni kesadaran akan kritis social pada histories (sejarah)

tertentu.

Jika dicermati sesungguhnya kajian filsafat manusia tumbuh subur

bersamaan dengan ideology kapitalisme yang sedang mendominasi arus

keilmuan. Kritik mendasar yang hendak disampaikan para pengkaji filsafat

manusia adalah seraun untuk tidak membatasi cara pandang keilmuan, selalu

berpikir reflektif, dan jangan membuang cirri utama manusia sebagai makhluk

yang selalu bertanya dan berpikir. Karena itu, berpikir refleksi merupakan

aktivitas rohaniah, menemukan kebenaran untuk kehidupan bersama, sebagai

makhluk eksentrik. Dengan berpikir kritis dan refleksi tidak menjadikan

seseorang jauh dari Tuhan, berbeda dengan pemikiran kapitalis yang lebih

mendekatkan seseorang pada materi atau kebendaan.

Ungkapan Descartes yang dikenal luas “cogito ergo sum” (aku

berpikir, maka aku ada). Cogito (aku berpikir) adalah suatu kepastian tak

tergoyahkan, ia ingin suatu kepastian tentang ekesistensi Tuhan dan

ketidakmatian jiwa manusia. Hal yang sama dikemukakan Maine de Biran

yang bertitik tolak pada volo (aku mau), dengan merefkeksikan “aku mau”, ia

menemukan paham tentang diri dan pengaruh afeksi atas segala kepastiannya.

Atau filsafat karl Marx dengan ungkapan “manusia adalah makhluk yang

bekerja”. Artinya, sebagai makhuk paradoksal, manusia itu bebas dan terikat,

otonom dan tergantung, terbatas dan tidak terbatas. Sebagai makhluk yang

dinamis, manusia bebas dan bertanggung jawab, tetapi dalam kebebasan juga

hadir suatu dorongan metafisika, suatu orientasi dasariah untuk menuju diri

yang sejati. Sebagai makhluk multidimensional, manusia meskipun sebagai

10

suatu kesatuan, tetapi di dalam kesatuan itu ditemukan pelbagai dimensi

ontologis dengan tingkatan yang berbeda.

Herbert Marcuse, mengatakan meskipun seolah-olah manusia itu one-

dimensional man, yang terkurung dalam dimensi produksi-konsumsi, tetapi

konsumerisme itu sesungguhnya bertentangan dengan panggilannya sebagai

makhluk pluridimensional. Panggilan atau seruan itu berkaitan erat dengan

hakikat manusia. W Luijpen, mengatakan being man is having to be man (diri

manusia merupakan suatu seruan etis untuk manusia).

B. HAKIKAT MANUSIA DALAM KAJIAN ISLAM

Melengkapi kajian hakikat manusia pada bahasan sebelumnya, maka

dipandang penting untuk mendiskusikan hakikat manusia dalam perspektif

Islam. Mengkaji manusia dalam perspektif keislaman tidak dapat dilepaskan

dari konteks masyarakat muslim itu sendiri. Sebagaimana disebutkan Fazlur

Rahman bahwasanya masyarakat Islam dibentuk karena ideologinya, yaitu

Islam (Fazlur Rahman, 1980: 43). Ideologi adalah Weltanchauiting, yang

menjelaskan realitas dalam perspektif tertentu. Ideologi adalah cara

memandang realitas. Di antara realitas penting yang diulas ideologi adalah

hakikat manusia. Konteks manusia dan masyarakat tersebut sebagaimana

disebutkan dalam Al-Qur'an, terdapat sekurangnya tiga istilah kuncui yang

mengacu kepada makna pokok manusia, yaitu: basyar,insan, dan al-nas.

Basyar disebut dalam AI-Qur'an sebanyak 27 kali. Dalam seluruh ayat

tersebut, kalimat basyar menunjuk pada referensi manusia- sebagai makhluk

biologis. Lihatlah bagaimana Maryam berkata: Tuhanku, bagaimana mungkin

aku mempunyai anak, padahal aku tidak disentuh basyar (QS. 3: 47); atau

bagaimana kaum yang diseru para nabi menolak ajarannya, karena nabi

hanyalah basyar-manusia biasa yang "seperti kita", bukan manusia superstar.

Kata basyar juga dihubungkan dengan ungkapan mitslukum (sebanyak tujuh

kali) dan mitsluna (sejumlah enam kali). Nabi Muhammad SAW., disuruh

Allah untuk menegaskan bahwasanya dirinya secara biologis, ia tak ubahnya

sama seperti manusia yang lain: Katakanlah, aku ini manusia biasa (basyar)

11

seperti kamu, hanya saja aku diberi wahyu bahwa Tuhanmu ialah Tuhan

yang satu (QS. 18: 110; QS. 41: 6). Tentang para nabi, orang-orang kafir

selalu berkata: Bukankah ia basyar seperti kamu, ia makan apa yang kamu

makan, dan ia minum apa yang kamu minum (QS. 33: 33). Ayat ini juga

ditegaskan dalam QS. 25: 7, Mereka berkata; Rasul itu memakan makanan

dan berjalan-jalan di pasar; dan QS. 25: 20, Dan tidak Kami utus

sebelumnya para utusan kecuali mereka itu memakan makanan dan berjalan-

jalan di pasar. Ketika wanita-wanita Mesir takjub melihat ketampanan Yusuf

as., mereka berkata, Ya Allah, ini bukan basyar, tetapi ini tidak lain kecuali

malaikat yang mulia (QS. 12: 31). Dari uraian tersebut, maka secara singkat

bahwasanya konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat biologis

manusia semata, yaitu butuh makan, minum, seks, berjalan di pasar, dan

seterusnya.

Sebaliknya, adalah tidak tepat jika menafsirkan kalimat basyarun

mitsluklim sebagai manusia seperti kita dalam hal berbuat dosa.

Keeenderungan para rasul untuk tidak patuh pada dosa dan kesalahan

bukanlah masuk kategori sifatsifat biologis, tetapi merupakan sifat-sifat

psikologis (atau spiritual). Sama tidak tepatnya ketika menafsirkan:

Sesungguhnya telah kami jadikan insan dalam bentuk yang sebaikbaiknya

(QS. 95: 4) dengan menunjukkan karakteristik fisiologi manusia. Yusuf Ali

(1977: 1759), dengan tepat menafsirkan ayat ini to man God gave the purest

and the best nature, and man's duty is to preserve the pattern on which God

has made him (QS. 30: 30). Al-Syaukani (1964, 5: 65) menyebutkan

umumnya para mufasir mengartikan ayat ini untuk menunjukkan kelebihan

manusia secara fisiologis, yaitu berjalan tegak, dan makan dengan

menggunakan tangan. Tetapi Ibn ‘Arabi berkata, tidak ada makhluk Allah

yang lebih bagus daripada manusia. Allah membuatnya hidup, mengetahui,

berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat, dan memutuskan, dan

ini adalah sifat-sifat rabbaniyah.

12

Artinya, konsepsi insan secara tegas berbeda dengan basyar. Jika

ditelisik didapatkan penyebutan insan disebut sebanyak 65 kali dalam Al-

Qur'an. Kita dapat mengelompokkan konteks insan tersebut dalam tiga

kategori pokok. Pertama, insan dihubungkan dengan keistimewaannya

sebagai khalifah atau pemikul amanah. Kedua, insan dihubungkan dengan

predisposisi negatif diri manusia. Dan ketiga, insan dihubungkan dengan

proses penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga yang akan kita jelaskan

kemudian, semua konteks insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau

spiritual.

Sementara istilah al-Nas sebagai konsep kunci ketiga mengacu pada

manusia sebagai makhluk sosial. Inilah manusia yang paling banyak disebut

dalam Al-Qur'an (240 kali, lihat ‘Abd. al-Baqi, al-Mu'jam; pada kata al-Nas).

Pertama, banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan

karakteristiknya. Ayat-ayat itu lazimnya dikenal dengan ungkapan wa min al-

Nas (dan di antara sebagian manusia). Dengan memerhatikan ungkapan ini,

kita menemukan kelompok manusia yang menyatakan beriman, tetapi

sebetulnya tidak beriman (2:8), yang mengambil sekutu terhadap Allah

(2:165), yang hanya memikirkan kehidupan dunia (2:200), yang

memesonakan orang dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia, tetapi

memusuhi kebenaran (2:204), yang berdebat dengan Allah tanpa ilmu,

petunjuk, dan Al-Kitab (22: 3, 8; dan 31: 20), yang menyembah Allah dengan

iman yang lemah (22: 11; dan 29: 10), yang menjual pembicaraan yang

menyesatkan (31:6) ; di samping ada sebagian orang yang rela mengorbankan

dirinya untuk mencari kerelaan Allah.

Kedua, dengan memerhatikan ungkapan aktsar al-Nas, kita dapat

menyimpulkan, sebagian besar manusia mempunyai kualitas rendah, baik

dari segi ilmu maupun dari segi iman. Menurut Al-Qur'an sebagian manusia

itu tidak berilmu (7: 187; 12: 21; 28; 68; 30: 6, 30; 45: 26; 34: 28, 36; dan 40:

57), tidak bersyukur (40: 61; 2: 243; dan 12: 38), tidak beriman (11: 17; 12:

103; dan 13: 1), fasik (5: 49), melalaikan ayat-ayat Allah (10: 92), kafir (17:

89; dan 25: 50), dan kebanyakan harus menanggung azab (22: 18). Ayat-ayat

13

ini dipertegas dengan ayat-ayat yang menunjukkan sedikitnya kelompok

manusia yang beriman (4: 66; 38: 24; 2: 88; 4: 46; dan 4: 155), yang berilmu

atau dapat mengambil pelajaran (18: 22; 7: 3; 27: 62; 40: 58; dan 69:42),

yang bersyukur (34: 13; 7: 10; 23: 78; 67: 23; dan 32: 9), yang selamat dari

azab Allah (11: 116), yang tidak diperdayakan setan (4:83). Surat 11: 16

menyimpulkan bukti kedua ini, jika kamu ikuti kebanyakan yang ada di bumi,

mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.

Ketiga, Al-Qur'an menegaskan bahwa petunjuk Al-Qur'an bukanlah

hanya dimaksudkan pada manusia secara individual, tetapi juga manusia

secara sosial. Al-Nas sering dihubungkan Al-Qur'an dengan petunjuk atau Al-

Kitab (57: 25; 4: 170; 14: 1; 24: 35; 39: 27).

C. HAKIKAT MANUSIA DALAM KEBUDAYAAN

Kebudayaan sering kali dipahami dengan pengertian yang tidak tepat.

Beberapa ahli ihnu sosial telah berusaha merumuskan berbagai definisi

tentang kebudayaan dalam rangka memberikan pengertian yang benar tentang

apa yang dimaksud dengan kebudayaan tersebut. Akan tetapi, ternyata

definisi-definisi tersebut tetap saja kurang memuaskan. Terdapat dua aliran

pemikiran yang berusaha memberikan kerangka bagi pemahaman tentang

pengertian kebudayaan ini, yaitu aliran ideasional dan aliran behavio-

risme/materialisme. Dari berbagai definisi yang telah dibuat tersebut,

Koentjaraningrat berusaha merangkum pengertian kebudayaan dalam tiga

wujudnya, yaitu kebudayaan sebagai wujud cultural system, social system,

dan artefact. Artinya, kebudayaan tersusun atas beberapa komponen utama,

yaitu yang bersifat kognitif, normatif, dan materiil.

Sayangnya kemudian, cara pandang orang melihat kebudayaan sering

kali terjebak dalam sifat chauvinism, yaitu membanggakan kebudayaannya

sendiri dan menganggap rendah kebudayaan lain. Contoh sikap chauvinism

seperti yang dikemukakan oleh Adolf Hitler misalnya, dengan kalimat

Deutschland Uber Alles in der Welt (Jerman di atas segala-galanya dalam

dunia). Demikian juga Inggris denganslogan: Right or Wrong is My Country.

14

Demikian pula Jepang yang menganggap bangsanya merupakan keturunan

Dewa Matahari. Padahal seharusnya dalam memahami kebudayaan kita perlu

jujur dan berpegangan pada sifat-sifat kebudayaan yang variatif, relatif,

universal, dan counter-culture (meremehkan kultur lain).

Antara manusia dan kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat,

karena menjadi manusia tidak lain adalah merupakan bagian dari hasil

kebudayaan itu sendiri. Hampir semua tindakan manusia merupakan produk

kebudayaan. Kecuali tindakan yang sifatnya naluriah saja (animal instinct)

yang bukan merupakan kebudayaan. Tindakan yang berupa kebudayaan

tersebut dibiasakan dengan cara belajar, seperti melalui proses internalisasi,

sosialisasi, dan alkulturasi. Karena itu, budaya bukanlah sesuatu yang statis

dan kaku, tetapi senantiasa berubah sesuai perubahan sosial yang ada.

Sebagaimana dikatakan Van Peursen (1988), bahwasanya budaya semestinya

diperlakukan sebagai kata kerja, bukannya sebagai kata benda. Sebab suatu

budaya dalam masyarakat terus-menerus berubah, bahkan meskipun itu

adalah sebuah tradisi. Dan biasanya proses pengalihan atau perubahan budaya

difasilitasi oleh adanya kontak komunikasi melalui bahasa. Tanpa bahasa,

proses pengalihan kebudayaan tidak akan terjadi.

Selanjutnya, hubungan antara manusia dengan kebudayaan juga dapat

dilihat dari kedudukan manusia tersebut terhadap kebudayaannya. Manusia

mempunyai empat kedudukan terhadap kebudayaan, yaitu sebagai

1)penganut kebudayaan; 2) pembawa kebudayaan; 3) manipulator

kebudayaan; dan 4) pencipta kebudayaan. Sebagai penganut kebudayaan

seseorang hanya menjadi pelaku tradisi dan kebiasaan yang berkembang

dalam masyarakatnya. Sebaliknya, pembawa kebudayaan adalah pihak luar

dan/atau anggota masyarakat setempat yang membawa budaya asing atau

baru dalam tatanan masyarakat setempat. Tidak semua anggota masyarakat

dapat beradaptasi dengan budaya baru yang datang dari luar. Umumnya,

budaya baru sulit diterima dan butuh waktu bertahap untuk penyesuaian jika

budaya baru tersebut ada kemungkinan diterima. Sementara manipulator

kebudayaan adalah anggota masyarakat yang melakukan aktivitas

15

kebudayaan atau mengatasnamakan budaya setempat tetapi tidak sesuai

dengan nilai-nilai atau ide luhur sebagaimana yang seharusnya dilakukan.

Kedudukan tertinggi adalah manusia sebagai pencipta kebudayaan, yaitu

mendorong secara sadar atau tidak sadar ke semua lapisan masyarakat untuk

melakukan revitalisasi kebudayaan lama atau meneiptakan dan menemukan

kembali kesepakatan barn terkait ide, aktivitas bermasyarakat, atau budaya

baru yang dapat diterima secara masif.

Pembentukan kebudayaan sebagaimana diuraikan di atas

sesungguhnya dikarenakan manusia dihadapkan pada persoalan yang

meminta pemecahan dan penyelesaian atas kondisi kehidupan yang

dialaminya. Dalam rangka bertahan atau survive, maka manusia harus mampu

memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya sehingga manusia melakukan

berbagai cara agar tetap mampu beradaptasi dengan perubahan sosial yang

terjadi. Apa yang dilakukan oleh manusia tersebut dapat disebut sebagai

proses kebudayaan. Kebudayaan yang digunakan oleh manusia untuk

menyelesaikan masalah-masalahnya, atau yang bisa kita sebut sebagai way of

life, pedoman hidup yang digunakan setiap individu dalam bertingkah laku.

Dengan demikian, maka secara definitif makna kebudayaan sendiri

adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat,

serta kemampuan dan kebisaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai

bagian dari anggota masyarakat (E. B. Taylor, 1871:21). Substansi penjelasan

Taylor tersebut pada dasarnya telah rnerangkum semua definisi tentang

kebudayaan yang pernah muncul (Jujun S. Suriasumantri, 2003: 261). Namun

Kuntjaraningrat (1974), kemudian membaginya menjadi unsur-unsur

kebudayaan secara lebih terperinci, yaitu terdiri dari sistem religi dan upacara

keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem kemasyarakatan,

sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem pencarian, serta sistem

teknologi peralatan.

Dalam kehidupannya, manusia mempunyai kebutuhan yang beragam

dan terus bertambah mengikuti deras laju perubahan lingkungan sosial di

sekitarnya. Dan secara naluriah, manusia melakukan banyak tindakan melalui

16

pelbagai cara agar kebutuhan dasarnya terpenuhi. Cara pemenuhan kebutuhan

dasarnya itulah yang membedakaan manusia dengan makhluk hidup lainnya

yang juga memiliki kebutuhan dasar, yang mungkin tidak jauh berbeda

dengan manusia. Kebudayaan dalam konteks ini yang menjadi pembeda

antara manusia dan binatang. Maslow dalam Jujun (2003: 262), membagi

kebutuhan manusia dalam lima kelompok kebutuhan mendasar, yaitu

fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri, dan pengembangan potensi. Pada

binatang, kebutuhan pokoknya terpusat pada fisiologi dan rasa aman,

demikian juga pemenuhannya dilakukan secara instingtif atau naluriah.

Sementara pada manusia, pemenuhan kebutuhannya diperoleh melalui cara

hidup berdasarkan kebiasaan, tradisi, atau kebudayaan pendahulunya. Karena

itu, kebudayaan tak ubahnya seperti kompas penyelamat (survival kit) bagi

keberlanjutan nilai-nilai kemanusiaan.

Manusia memiliki kemampuan dasar selain instingtif, juga

kemampuan untuk terus belajar, berkomunikasi, dan menguasai objek-objek

yang bersifat fisik. Dengan kemampuan berkomunikasi dan belajar

menjadikan manusia terus meningkatkan kecerdasan dan eara berpikirnya.

Selain itu, manusia juga memiliki kehalusan perasaan atau kejiwaan yang di

dalamnya terkandung dorongan-dorongan hidup dasar, insting, perasaan,

berpikir, kemauan, dan fantasi. Kejiwaan atau budi yang dimiliki manusia

menjadi motor atau penggerak bagi tereiptanya hubungan bermakna dengan

alam sekitarnya melalui penilaian atas objek dan kejadian. Nilai yang

diberikan oleh manusia inilah yang menjadi tujuan dan substansi dari

kebudayaan itu sendiri.

Jika disimpulkan, maka inti dari kebudayaan adalah nilai-nilai dasar

dari segenap wujud kebudayaan atau hasil kebudayaan. Nilai-nilai budaya

dan segenap hasilnya adalah muncul dari tata cara hidup yang merupakan

kegiatan manusia atas nilai-nilai budaya yang dikandungnya. Cara hidup

manusia tidak lain adalah bentuk konkret (nyata) dari nilai-nilai budaya yang

bersifat abstrak (ide). Dengan bahasa lain nilai budaya hanya bisa diketahui

melalui budi dan jiwa, sementara tata cara hidup manusia dapat diketahui

17

oleh pancaindra. Dari ide kebudayaan dan tata cara hidup manusia kemudian

terwujud produk (artefak) kebudayaan sebagai sarana untuk memudahkan

atau sebagai alat dalam berkehidupan. Sarana kebudayaan adalah perwujudan

secara fisik atas nilai-nilai budaya dan tata cara hidup yang dilakukan

manusia guna memudahkan atau menjembatani tercapainya pelbagai

kebutuhan manusia.

Mendukung konsepsi kebudayaan sebelumnya, sebagaimana

dikemukakan Parsudi Suparlan, “kebudayaan adalah keseluruhan

pengetahuan yang dipunyai manusia sebagai makhluk sosial; yang isinya

adalah perangkat model-model pengetahuan (pedoman hidup; atau blueprint;

atau desain untuk kehidupan) yang secara selektif dapat digunakan untuk

memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, dan untuk

mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya

(menghasilkan kelakuan dan benda/peralatan).” Definisi ini tampaknya

sejalan dengan James P. Spradley yang menyatakan "Culture is the acquired

knowledge that people use to interpretation experience and to generate social

behavior .., we speak of them as cultural knowledge, cultural behavior, and

Cultural artifacts" (Kebudayaan adalah pengetahuan yang diperoleh yang

digunakan penduduk untuk menginterpretasi pengalaman dan melahirkan

tingkah laku sosial ... kita katakan semua itu sebagai kebudayaan

pengetahuan, kebudayaan tingkah laku, dan kebudayaan kebendaan)1.

Kebudayaan, dengan demikian adalah ide berupa model-model

pengetahuan yang dijadikan landasan atau acuan oleh seseorang sebagai

anggota masyarakat melakukan aktivitas sosial, menciptakan materi

kebudayaan dalam unsur budaya universal: agama, ilmu pengetahuan,

teknologi, ekonomi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian,

seperti pada Gambar 1.

1Lihat juga Malinowski, Bronislaw, Magic, Science and Religion and Other Essays. Garden Ciry New York: Doubleday & Company, Inc., 1948 hlm. 91; dan Tumanggor, Rusmin, Sistern Kepercayaan dan Pengobatan Tradisional (Disertasi), Jakarta: Universitas Indonesia, 1999, hlm. 3; White, Leslie A katakan "... we shall distinguish three sub-system of culture. namely, technological, sociological, and ideological system. ...These three categories comprise the system of culture as a whole" (dalam The Science of Culture: A Study of Man and Civilization). New York: Doubleday Canada Ltd. 1949 hlm. 364

18

19

Legenda: Setiap kotak unsur kebudayaan ini terbuka satu sama lainnya,

termasuk dari suatu suku bangsa kepada suku bangsa lainnya.

Agama sering menjadi kuat dominasinya jika ia kuat penekanannya pada

nilai tertinggi "ultimate value", yaitu hubungannya dengan Maha Pencipta

(Tuhan), dan kehidupan abadi serta keadilan tertinggi atas kebaikan dan

keburukan (pahala atau dosa) atas pola pikir, sikap, dan perilaku selama di

dunia fana.

1) Agama

Dalam temuan antropologi dan sosiologi, komponen-komponen

pokokyang terdapat dalam setiap agama meliputi adanya: umat beragama,

sistem keyakinan, sistem peribadatan/ritual, sistem peralatan ritus, dan

emosi keagamaan.

2) Ilmu pengetahuan

Dari penelitian antropologi dan sosiologi, semua masyarakat pendukung

suatu kebudayaan, memiliki sistem pengetahuan yang utuh menanggapi

keberadaan alam nyata (natural) dan nirnyata (supernatural). Kondisi ini

menyambung kepada pemahaman tentang kehidupan dankematian,

perbuatan dan keadilan, kefanaan dankeabadian.

3) Teknologi

Antropologi dan sosiologi juga menjumpai bahwa setiap warga

masyarakat pendukung suatu kebudayaan memiliki kemampuan secara

ide hingga melaksanakan kegiatan bersama melahirkan peralatan hidup

yang difungsikan untuk memenuhi kebutuhan pada pelbagai unsur

kebutuhan budaya universal lainnya.

20

4) Ekonomi

Antropologi serta sosiologi juga menemukan dalam setiap masyarakat

kebudayaan adanya bentuk-bentuk ekonomi (berburu-meramu, bercocok

tanam, barter, pasar/ uang, dan foto, komunikasi). Rentangan kekuatan

ekonomi (investasi, produksi, keagenan, distribusi, eceran, buruh,

kegiatan pasar, dan penjabaran penghasilan).

5) Organisasi sosial

Pada setiap masyarakat pendukung kebudayaan akan selalu terdapat

variasi kelompok warga masyarakat (kemargaan, jaringan kawin-mawin,

kampung/kewilayahan, keetnisan, profesi, dan politik).

6) Bahasa dan komunikasi

Setiap masyarakat pendukung suatu Icebudayaan memiliki simbol-simbol

bunyi dan intonasi serta isyarat yang digunakan untuk menyampaikan

sesuatu maksud kepada seseorang atau khalayak untuk dipahami dan

dilaksanakan. Ada untuk pereakapan, tulisan, maupun seni. Ada kata-kata

untuk umum, dari hati ke hati, anak-anak, teman sebaya, orang tua, dan

tamu. Ada yang esensinya world view, penjelasan alam semesta, dan

tatakrama.

7) Kesenian

Antropologi menemukan bahwa pada setiap masyarakat kebudayaan

mempunyai ungkapan seni berupa simbol pernyataan rasa senang dan

susah (suka duka). Baikuntuk umum maupun untuk sendiri. Muncul pula

dalam berbagai bentuk: ukiran, gambar, tulisan, ungkapan, teater, pentas,

dan gerak/tari.

Semua komponen ini dimiliki sebagai unsur kebudayaan bahkan

menjadi faktor pembangunan dari setiap suku bangsa mulai dari tingkat

sektoral, regional, nasional, hingga internasional. Unsur-unsur itu juga akan

melintasi batas-batas wilayah tersebut (cross cultural). Selain itu, dapat

diketahui simbol-simbol lain yang wujudnya lebih konkret dari wujud

pertama untuk dapat menjadi pembeda atau berlaku sebagai cultural traits

antara kebudayaan yang satu dengan lainnya. Wujud konkret dari simbol-

21

simbol tersebut ialah perilaku, kebiasaan, habitus (sebagaimana sosiolog

Perancis, Pierre Bourdieu, menyebutnya), atau yang kita kenal dengan istilah

adat istiadat sebagai wujud kedua dari kebudayaan. Selain adat istiadat,

elemen lainnya ialah budaya materiil. Budaya materiil (material culture) atau

artefak atau benda-benda hasil produksi suatu kebudayaan merupakan hal-hal

dalam kebudayaan yang paling konkret (empiris).

Ada empat bentuk yang dapat diidentifikasi dan dikategorikan sebagai

peninggalan budaya. Pertama, benda-benda fisik atau material culture.

Wujud pertama ini mencakup seluruh benda-benda basil kreasi manusia,

mulai dari bendabenda dengan ukuran yang relatif kecil hingga benda-benda

yang sangat besar (dari emblem kerajaan Sultan Nata Sintang, kain songket,

keris, sampai Candi Borobudur, misalnya). Kemudian, wujud kedua ialah

pola-pola perilaku yang merupakan representasi dari adat istiadat sebuah

kebudayaan tertentu. Bentuk kedua ini meliputi hal-hal keseharian, seperti

pola makan, kerja, belajar, berdoa, hingga pola-pola yang bersangkutan

dengan aktivitas sebuah komunitas, seperti pola upacara adat ataupun ritual

Ngaben di masyarakat Bali.

Di dalam pola-pola keseharian itu, terkandung nilai-nilai atau tata

aturan dari adat istiadat yang berlaku. Tata aturan yang berlaku tersebut

merupakan ejawantah dari pandangan hidup atau sistem nilai dalam

masyarakat tertentu, di mana pandangan hidup ini merupakan wujud ketiga

dari kebudayaan. Wujud ketiga ini bersifat lebih abstrak dibanding kedua

wujud sebelumnya. Sistem nilai atau pandangan hidup ini bisa berupa

falsafah hidup atau kearifan lokal dari suatu masyarakat dalam memandang

atau memaknai lingkungan sekitarnya. Hal ini tiada lain adalah representasi

dari pola pikir atau pengetahuan atau logika masyarakat pengampu

kebudayaan tertentu.

Selain itu, dalam konteks tinggalan budaya di sini, terdapat satu lagi

bentuk peninggalan yang merupakan wujud keempat, yakni lingkungan.

Barangkali, muncul pertanyaandalam benak kita mengapa lingkungan dapat

dikategorikan sebagai warisan budaya? Lantas, lingkungan seperti apa yang

22

termasuk peninggalan budaya? Sebelum masuk pada pemaparan atas

pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya bila mengetahui terlebih dulu

pengertian lingkungan di dalam tulisan ini. Ahimsa-Putra (2004: 38),

menjelaskan bahwa lingkungan atau environment secara garis besar dapat

dibedakan berdasarkan (1) sifat atau keadaannya dan (2) asal usulnya.

Lingkungan atas dasar kategori sifat ini masih dapat dipilah lagi menjadi:

1. Lingkungan fisik, berupa benda-benda yang ada di sekitar kita, makhluk

hidup, dan segala unsur-unsur alam.

2. Lingkungan sosial, meliputi perilaku-perilaku manusia atau pelbagai

aktivitas sosial yang berupa interaksi antar-individu serta berbagai

aktivitas individu.

3. Lingkungan budaya, mencakup pandangan-pandangan, pengetahuan,

norma-norma, serta aturan-aturan yang berlaku dalam suatu masyarakat.

Adapun, lingkungan yang dilihat dari asal usulnya berupa: (1)

lingkungan alami (natural environment), di mana lingkungan jenis ini

memiliki pengertian keseluruhan unsur di luar diri manusia yang bukan

ciptaan manusia, dan (2) lingkungan buatan (built environment) yakni

lingkungan yang merupakan hasil kreasi manusia.

Lingkungan dapat menjadi bagian dari tinggalan budaya (artifacts),

oleh karena itu, lingkungan memainkan peran sebagai bagian yang tak

terpisahkan bagi terciptanya kebudayaan itu sendiri. Sebagai ilustrasi, dapat

dibandingkan masyarakat pesisir atau nelayan di sepanjang Pantai Utara Jawa

di Cirebon, masyarakat nelayan di Kepulauan Karimunjawa, atau masyarakat

Suku Laut di Thailand Selatan dengan masyarakatnya yang agraris, seperti

masyarakat petani salak di Yogyakarta atau masyarakat petani kopi di

kawasan pegunungan Minahasa. Letak perbedaan pertama yang tampak

dengan jelas ialah kawasan atau lingkungan di mana mereka menjalani siklus

kehidupannya (lahir, bekerja, berinteraksi, kawin, dan sebagainya), yakni

pegunungan atau dataran tinggi dan pesisir atau pantai. Perbedaan kedua ialah

pola pikir masyarakatnya atau cara pandang mereka terhadap hidupnya. Pola

pikir masyarakat pesisir dengan masyarakat pegunungan sudah tentu

23

berlainan. Perbedaan ini terletak pada tataran perangkat pengetahuan (sistem

simbol) masyarakat yang pada gilirannya memengaruhi cara mereka

memaknai persoalan-persoalan atau hal-hal yang berkaitan dengan

lingkungannya, dengan hidupnya. lnilah yang dinamakan kearifan lokal,

sebuah pengetahuan yang khas pada masyarakat tertentu, yang muncul lewat

penghayatan manusia atas lingkungannya. Penghayatan terhadap lingkungan

inilah yang kemudian menghasilkan kearifan lokal atau kebudayaan yang

khas pula, yakni sistem nilai, adat istiadat, dan artefak-artefak budaya

(Ahimsa-Putra, 2008: 11-12). Dengan demikian, lingkungan sebagai salah

satu entitas penting dalam pembentukan sebuah kebudayaan dapat

dikategorikan sebagai warisan atau tinggalan budaya, sehingga ia harus

dilindungi dan dilestarikan.

D. ETIKA DAN ESTETIKA BERBUDAYA

Perjalanan kebudayaan manusia dalam sejarahnya erat kaitannya

dengan pendidikan. Sebab semua materi yang terkandung dalam kebudayaan

yang diperoleh manusia selain dilalui secara sadar juga dilalui dengan proses

belajar. Melalui proses belajar itulah transfer nilai-nilai kebudayaan terhadap

generasi ke generasi berikutnya dilakukan. Sehingga nilai-nilai kebudayaan

senantiasa berkelanjutan dari waktu ke waktu, dari kebudayaan masa lalu

menuju kebudayaan masa kini. Adakebudayaan masa lalu yang tetap

dipertahankan dalam kebudayaan masa kini, ada juga yang ditinggalkan atau

tidak digunakan. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan

kebudayaan pada masa lalu yang pernah ditinggalkan akan kembali

digunakan oleh generasi mendatang. Artinya, sebagaimana disampaikan oleh

Alferd Korybski, bahwa kebudayaan mempunyai kemampuan mengikat

waktu. Jika tanaman hanya mampu mengikat bahan-bahan kimiawi yang

penting bagi pertumbuhan tanaman itu, binatang mengikat ruang, maka

manusia mengikat waktu (Jujun, 2003: 263). Dengan itu seseorang dikatakan

berbudaya pada hakikatnya ketika ia telah menjaga nilai-nilai luhur dan

24

tatanan kemasyarakatan yang telah berlaku sebelumnya, dan dengan tetap

terbuka terhadap kemungkinan masuknya kebudayaan baru.

Kebudayaan Indonesia adalah salah satu dari sekian ba-

nyakkebudayaan yang ada di dunia. Keberadaannya-sama dengan

kebudayaan laintelah berlangsung dalam waktu yang lama. Mendiskusikan

kebudayaan Indonesia, maka kita akan berbicara tentang sejarah panjang

pertemuan antar kebudayaan daerah Indonesia dengan kebudayaan dari luar

Indonesia.

Pertemuan antar kebudayaan-kebudayaan di Indonesia, sudah dimulai

sejak masuknya agama Hindu dan Buddha. Kebudayaan daerah Indonesia

yang masih sederhana kemudian bertemu dengan agama Hindu dan Buddha

yang menjadi sedemikian meluas dan dianut oleh banyakmasyarakat di

Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya kerajaan yang pernah ada

di wilayah Barat dan Tengah.

Indonesia yang menganut agama tersebut seperti Kutai,

Tarumanegara, Sriwijaya, Padjajaran, dan Majapahit. Pada masa Kerajaan

Majapahit, kebudayaan Indonesia mencapai kebersamaannya dengan

menyatukan kerajaan yang ada di Nusantara oleh Patih Gajah Mada, yang

terkenal dengan Sumpah Palapa. Kesatuan ini jelas menjadikan kebudayaan

di Indonesia semakin dinamis. Terlihat mulai munculnya berbagai persoalan

kebudayaan, salah satunya seperti hubungan kerajaan di daerah dengan

Majapahit. Keadaan ini semakin terlihat, ketika agama Islam mulai banyak

dianut oleh masyarakat di Indonesia, bahkan hingga tingkat kerajaan.

Perubahan keyakinan ini membuat banyak perubahan di bidang lain,

kesetaraan antara sesama manusia, semakin berkembangnya sastra, berdirinya

kerajaan-kerajaan baru, dan lain-lain.

Perjalanan kebudayaan Indonesia dipengaruhi oleh masuknya

Portugis, awal masa penjajahan melanda wilayah Nusantara. Dengan

ditutupnya Terusan Suez membuat banyak negara di belahan dunia Barat

mengalihkan perhatiannya ke wilayah-wilayah tropis untuk mencari rempah-

rempah. Tokoh-tokoh, seperti Vasco da Gama, Marcopolo, dan Bartholomeus

25

Diaz, mencari sebuah wilayah perdagangan baru. Salah satu wilayah yang

mereka temukan adalah tanah Nusantara, yang akhirnya menjadikan

Nusantara sebagai wilayah jajahan dalam periode masa yang panjang.

Meskipun dalam kesabaran yang panjang pula akhirnya Nusantara menapaki

jalan menuju persatuan, menjadi Negara RepublikIndonesia. Masa tersebut,

dipenuhi dengan berbagai peperangan di berbagai daerah Nusantara, mulai

dari negeri Aceh hingga Maluku. Peperangan yang digerakan oleh

semangatmempertahankan diri. Strategi perang dengan taktik memecah belah

atau devide et impera membuat perlawanan yang diberikan oleh para pejuang

di daerah menjadi tidak berarti. Meskipun demikian, perlawanan di seluruh

wilayah Nusantara masih terus diberikan terhadap kedatangan para pendatang

asing yang bermaksud menjajah, mulai dari "kecil-kecilan" hingga akhirnya

memuncak pada perlawanan secara serentak terhadap penjajahan di bumi

Nusantara. Peristiwa paling dikenang adalah ketika Indonesia akhirnya

memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Jika dikaji selama dalam masa penjajahan tersebut, bukan hanya kisah

perlawanan fisik semata, tetapi juga tentang perlawanan kebudayaan. Oleh

karena itu, terjadi perubahan yang besar dalam banyak bidang kehidupan kita.

Dalam hal ini, misalnya dapat disoroti perubahan bentuk pemerintahan.

Perubahan bentuk pemerintahan, dari kerajaan kepada negara, menjadi

sebuah perubahan yang menuntut adanya kesatuan wilayah dan kebudayaan

di Indonesia. Pada masa ini pula, polemik tentang dasar negara, bahasa,

Undang-Undang Dasar, dan persoalan kebudayaan nasional mulai terlihat.

Saat itu, telah banyak usaha yang dilakukan untuk merumuskan apa itu

kebudayaan Indonesia. Kekayaan kebudayaan yang sedemikian hebat dari

wilayah Indonesia, membuat para perumus tidak ingin menghilangkan

kebudayaan yang sudah lama hidup di negeri ini. Kekayaan kebudayaan yang

telah terkenal kebesarannya ke seluruh mancanegara, dari Tiongkok hingga

Eropa. Namun hingga saat ini, usaha perumusan tersebut belum membuahkan

hasil yang final dan memuaskan. Bahkan kita tampaknya perlu jujur bahwa

26

masyarakatIndonesia telah banyak yang teralihkan perhatiannya kepada

kebudayaan yang dibawa oleh bangsa Eropa dan Amerika.

Untuk itu, penting bagi kita semua melakukan upaya pengembangan

kebudayaan Indonesia secara terus-menerus. Rumusan nilai-nilai luhur yang

tertuang dalam UUD Dasar 1945 dan Pancasila perlu untuk terus

disempurnakan secara berkelanjutan agar kebudayaan nasional sebagai

identitas kebangsaan teraktualisasi secara nyata dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara kita. Prinsip-prinsip pengembangan kebudayaan Indonesia

sebagaimana telah dilakukan oleh generasi sebelumnya penting

mempertimbangkan hal-hal berikut:

a. Jujur.

b. Tanggung jawab.

c. Menepati janji. Toleransi.

d. Berpedoman pada kebudayaan Indonesia.

e. Tanamkan minat sejak dini pada kebudayaan daerah Indonesia.

f. Mempelajari dan mengenali kebudayaan daerah Indonesia (tarian,

kerajinan tangan, seni bertutur, alat musik daerah, membangun rumah

kebudayaan daerah, dan lain-lain).

Sudah saatnya kebudayaan Indonesia memiliki kesejajaran dengan

budaya barat. Oleh karena itu, mulai disadari bahwa kebudayaan daerah di

Indonesia memiliki keunggulan mulai dari pandangan tentang alam hingga

pranata sosial. Dan masyarakat Barat juga mulai menyadari kekurangan

kebudayaan mereka sendiri, yang terlihat lewat gairah dan ketertarikan

kepada kebudayaan Timur sebagai penawar kegelisahan mereka.

Mengenali dan mengembangkan kebudayaan Indonesiaadalah tugas

yang diemban oleh setiap warga negara Indonesia. Jangan tinggalkan

kebudayaan Indonesiakarenakekayaan menunggu untuk dikenali,

dikembangkan, hingga akhirnya dapat hidup mencapai kebesarannya, yang

dahulu pernah dimiliki.

Konteks keindonesiaan, kebudayaan manusia Indonesia dalam

beberapa tahun terakhir telah didesak oleh serbuan kebudayaan asing melalui

27

deras arus globalisasi (tata cara hidup sosial lintas-antarbenua). Sementara

kebudayaan milik daerah atau nasional sendiri sering kali sulit beradaptasi

dengan budaya asing. Di era tahun 2000-an, misalnya terlihat begitu

mencolok perilaku atau tata cara hidup generasi muda yang dekat dengan

budaya asing. Bandingkan antara kegiatan para remaja yang keluar masuk

pub, diskotek dan tempat hiburan malam lainnya terutama di kota-kota besar

dan metropolitan dengan kegiatan gotong royong, silaturahmi (kunjung

mengunjungi) sanak famili, membatik, belajar pantun, dan lainnya yang

menjadi wujud kebudayaan leluhur masa lalu. Proses akulturasi budaya asing

dengan budaya lokal masih kental dengan pengejawantahan nilai-nilai asing

itu sendiri dibanding menjadi sebuah kebudayaan milik sendiri. Artinya,

kebudayaan yang ditampilkan kebanyakan generasi muda saat ini bukan

melalui proses belajar dan secara sadar mewakili kebutuhan mendasar

mereka, tetapi lebih mengikuti tren kebudayaan baru dari luar (budaya

global).

Contoh-contoh akibat globalisasi sebelumnya menunjukkan bahwa,

dalam realitasnya, globalisasi mampu menjadi penentu arah perkembangan

kebudayaan dan peradaban manusia di dunia. Dalam lingkup sosiokultural

yang lebih sempit, salah satu implikasi globalisasi ialah pada munculnya

pola-pola baru dari suatu kebudayaan dalam beragambentuk dan

tatanannya.Kebudayaan dengan corak baru ini kerap kita sebut sebagai

kebudayaan pasca-industri, pascamodern, ataupun postmodern. Keadaan

masyarakat di era milenium kelima tersebut memiliki konsekuensi logis pada

situasi yang akan menggiring kita, sebagai "warga dunia", untuk berpikir,

berkeputusan, hingga bertindak dalam ritme yang relatif cepat. Dari

kenyataan itu, tidak bisa dimungkiri bahwa realitas sosial semacam ini

sesungguhnya lahir karena transformasi yang signifikan pada core

kebudayaan itu sendiri, yakni pola atau cara berpikir dan cara memandang

dunia. (Al Mudra, 2007a dan 2008a)

Dalam konteks sosial-budaya masyarakatIndonesia, implikasi lain dari

lahirnya bentuk-bentuk baru dari peradaban dan kebudayaan postmodern di

28

atas ialah mulai ditinggalkannya produk-produk kebudayaan lokal (seni,

bahasa, pola-pola perilaku, maupun benda budaya lainnya) oleh

masyarakatnya. Produk-produk budaya lokal mulai ditinggalkan lantaran

dianggap ketinggalan zaman, tidakup-to-date, kuno, dan semacamnya. Oleh

karenanya, generasi terkini dengan basis kulturalnya masing-masing

kemudian, meski tidak semua, akhirnya lebih memilih untuk mengadopsi

budaya baru atau budaya kekinian (hybrid culture) yang telah berasimilasi

dengan budaya Barat. Persoalannya bukan terletak pada boleh tidaknya

diterima dan dipraktikkannya budaya hybrid tersebut, melainkan terletak pada

sikap penafian budaya lama (peninggalan nilai luhur nenek moyang) oleh

generasi masa kini. Ketika warisan budaya tiada lagi diindahkan, maka yang

akan terjadi ialah sebuah krisis idcntitas (jati diri).

Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita berupaya menjaga, merawat,

mengemas, dan memublikasikan kekayaan warisan budaya kita kepada dunia

untuk mengukuhkan identitas kita sebagai bangsa yang bermartabat. Sebab,

hanya dengan memahami dan menjaga kekayaan warisan budaya dan sejarah,

bangsa ini akan dihargai dan dipandang secara terhormat oleh bangsa lain.

Benefit lain yang bisa dipetik ialah bahwa bangsa ini juga dapat berangsur

melepaskan diri dari hegemoni budaya asing (A1 Mudra, 2007b). Penting

untuk digarisbawahi di sini, masyarakat yang dinamis tidak selalu menolak

pengaruh budaya luar. Produk budaya asing yang mendorong kepada

perbaikan hidup dankemajuan, tidak perlu serta-merta ditolak, meski tetap

menjaga maratabat dan jati diri bangsa. Hal ini berpegang pada prinsip "al

muhafadhatu ‘ala al qadimi as sholih wal akhdzu bi al jadidi al ashlah",

yang maknanya adalah menjaga warisan (budaya) lama yang baik, dan

mengadopsi sesuatu (budaya) yang baru yang lebih baik. (Ibid, 2007b)

“Hanya manusia yang memiliki kebudayaan,” begitu kira-kira teori

Erns Cassirer, seorang ahli lingustik asal Swiss, dalam bukunya An Essay on

Man (1945 via Ahimsa-Putra, 2002; 2004; 2005). Disebutkan olehnya bahwa

kebudayaan atau budaya merupakan eiri penting (khas) dari manusia, yang

membedakan manusia dengan binatang. Mengulang bahasan sebelumnya,

29

mengapa hanya manusia yang memiliki kebudayaan, sedangkan binatang atau

makhluk lainnya tidak? Pendapat ini berangkat dari pemahaman bahwa

manusia merupakan animal symbolicum atau binatang yang mengkreasi

simbol. Sebab itu, hanya manusia yang dapat melakukan simbolisasi terhadap

sesuatu. Manusia merupakan makhluk yang mampu menggunakan,

mengembangkan, dan menciptakan lambang-lambang atau simbol-simbol

untuk berkomunikasi dengan sesamanya (Ahimsa-Putra, 2004:29). Sementara

itu, apa yang dimaksud dengan simbol? Definisi konsep simbol atau lambang

ialah segala sesuatu yang dimaknai di mana malrna dari suatu simbol itu

mengacu pada sesuatu (konsep) yang lain. Wujud lambang-lambang ini bisa

berupa teks (tulisan), suara, bunyi, gerak, gambar, dan lain sebagainya. (Ibid.)

Oleh karena hanya manusia yang dapat melakukan pemaknaan

terhadap sesuatu dan sesuatu yang dimaknai ini merupakan sebuah lambang

basil kreasi manusia sendiri, dan proses simbolisasi ini melahirkan

kebudayaan, maka kebudayaan dalam hal ini dapat didefinisikan sebagai:

seperangkat atau keseluruhan simbol yang digunakan atau dimiliki manusia

dalam hidupnya untuk bisa melakukan reproduksi dan menghadapi

lingkungannya, yang diperoleh lewat proses belajar dalam kehidupannya

sebagai anggota suatu masyarakat atau komunitas (Ibid). Di sini perlu dicatat

bahwa setiap manusia beserta komunitasnya memiliki perangkat simbol

(baca: kebudayaan) dan proses simbolisasinya (proses berkembangnya

kebudayaan) masing-masing, sehingga pemaknaan atau penafsiran yang lahir

juga beragam (lihat juga Geertz, 1973: 89). Hal inilah yang kemudian

melahirkan diversivitas budaya dalam kehidupan manusia.

Catatan berbudaya seperti apakah yang perlu ditanamkan ke setiap

generasi bangsa terhadap kebudayaan Nusantara kita. Adalah di antaranya

dengan menjaga sikap jujur dan bertanggung jawab terhadap setiap

perubahan nilai, aktivitas bersosial dan bermasyarakat, serta produk

kebudayaan yang dihasilkannya. Tanpa harus tertutup terhadap kebudayaan

luar, pelestarian kebudayaan sendiri merupakan prioritas utama untuk

menegaskan identitas kebangsaan dan kenegaraan kita.

30

E. PROBLEMATIKA KEBl1DAYAAN INDONESIA

Menelusuri pergulatan kebudayaan di Indonesia, akan ditemukan

sebuah fenomena yang lazim dihidupi yaitu, kerendahdirian

masyarakatIndonesia terhadap kebudayaannya sendiri. Kerendahdirian ini

muncul dari hubungan antara kebudayaan Barat dengan kebudayaan daerah di

Indonesia, Barat yang sering diposisikan sebagai pihak superior dan

kebudayaan daerah di Indonesia sebagai pihak inferior. Rendah diri ini

disebabkan oleh penjajahan, kerusakan perilaku masyarakatIndonesia, dan

pencitraan yang kuat dari media tentang keunggulan kebudayaan Barat.

Namun dari beberapa sebab tersebut, yang terus terjadi hingga saat ini dan

yang paling mendasar adalah peneitraan. Dikatakan mendasar karena pada

saat penjajahan pun sudah terjadi proses pencitraan tersebut.

Ungkapan khusus seperti, ilmiah, keren, funky, dan gaul adalah

ungkapan yang secara tidak langsung menujukkan kondisi rendah diri.

Ungkapan-ungkapan tersebut sering kali dilekatkan kepada kebudayaan

Barat, sedangkan kebudayaan daerah di Indonesia, sepertinya jauh dari

ungkapan-ungkapan tersebut. Hal ini memang tidak sepenuhnya bermasalah,

karena Barat memang memiliki keunggulan dalam bidang-bidang tertentu,

seperti di bidang sains (ilmu pengetahuan). Namun penilaian kebudayaan

Barat lebih superior dan kemudian fenomena masyarakat Indonesia

meninggalkan kebudayaannya sendiri yang sudah lama dihidupi, tentu

menjadi suatu masalah. Kebudayaan daerah di Indonesia ditinggalkan hanya

karena dieitrakan tidak ilmiah, keren, dan sebagainya. Padahal, mulai disadari

bahwa kebudayaan daerah di Indonesia memiliki keunggulan mulai dari

pandangan tentang alam hingga pranata sosial. Dan juga masyarakat Barat

mulai menyadari kekurangan kebudayaan mereka sendiri yang terlihat lewat

gairah dan ketertarikan kebudayaan Timur sebagai penawar kegelisahan

mereka.

Menurut banyak ahli permasalahan kemunduran budaya nasional

muncul karena persoalan pencitraan, dan karena itu harus juga diselesaikan

31

dengan cara pencitraan. Sudah saatnya kita melihat bahwa kebudayaan

Indonesia memiliki kesejajaran dengan kebudayaan Barat, setelah

kebudayaan Indonesia kurang dikenakan dan kurang dikenali oleh sebagian

masyarakat Indonesia yang hidup mulai masa 70-an. Tentu, usaha untuk

mengenali kebudayaan Indonesia adalah tugas yang diemban oleh setiap

warga negara Indonesia. Pengenalan ini merupakan salah satu modal untuk

memiliki dan mengembangkan kebudayaan Indonesia. Minimnya pengenalan

ini, merupakan salah satu faktor yang membuat rendahnya rasa kepemilikan

dan keinginan untuk mengembangkan kebudayaannya sendiri.

Problem kebudayaan dewasa ini antara lain adalah terjadinya

penafsiran budaya yang cenderung keliru. Hal tersebut akibat miskomunikasi

budaya antargenerasi yang terusmenerus terjadi. Padahal, sebagai sistem

gagasan yang terdiri dari nilai-nilai, norma dan aturan, kebudayaan harus

dilihat dalam tiga aspek sekaligus, masing-masing proses pembelajaran,

konteks, dan pelaku pendukung kebudayaan. Ketiga aspek ini dapat

menentukan seberapa besar dan kuat peran kebudayaan dalam membangun

kehidupan lebih baik. Revitalisasi kebudayaan merupakan proses logis dari

bagaimana kebudayaan berperan dalam pembangunan dengan tanpa

meninggalkannya atau bahkan melupakannya.

Kebudayaan selamanya merupakan langkah strategis pembangunan

bangsa. Alasannya, belum ada suatu usaha yang teruji untuk mengakomodasi

budaya lokal di tingkat nasional, sehingga ternyata perjalanan bangsa sampai

kini masih menuju pada kondisi yang memprihatinkan secara budaya.

Contohnya, konflik yang menggunakan atau memanipulasi simbol-simbol

budaya. Padahal tujuan akhir dari pengembangan kebudayaan pada

hakikatnya adalah peradaban. Sebagai bangsa yang beradab (civilized

society), Indonesia sangat perlu menempatkan kebudayaan sebagai konsepsi

dan sekaligus strategi. Kelembagaan formal dan informal dalam masyarakat

bertanggung jawab kepada keutuhan masyarakat. Pendukung kebudayaan

menjadi titik sentral bagaimana proses pengembangan kebudayaan

berlangsung secara kelembagaan (instituted process).

32

33

BAB 3

MANUSIA SEBAGAI INDIVIDUDAN MAKHLUK SOSIAL

A. HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU DAN MAKHLUK

SOSIAL

Di dalam diri manusia terdapat dua kepentingan, yaitu kepentingan

individu dan bersama. Kepentingan individu didasarkan manusia sebagai

makhluk individu, karena pribadi manusia yang ingin memenuhi kebutuhan

pribadi. Kepentingan bersama didasarkan manusia sebagai makhluk sosial

(kelompok) yang ingin memenuhi kebutuhan bersama.

Dalam perjalanannya, kepentingan-kepentingan tersebut kadang saling

berhadapan dan kadang pula saling berkait. Terkadang muncul suatu

penolakan dan penerimaan yang pada akhirnya bermuara pada etika, yaitu

suatu ajaran tentiang norma dan tingkah laku yang berlaku dalam suatu

kehidupan manusia. Artinya, titik kompromi antara kepentingan individu dan

bersama ditimbang menurut kadar etis-tidaknya kedua kepentingan tersebut.

Menurut Jurgen Habermas (2001), masyarakat memiliki tiga jenis

kepentingan yang memiliki pendekatan rasio berbeda. Pertama, kepentingan

teknis (objective welt). Hal ini sangat kuat berhubungan dengan penyediaan

sumber daya natural dan juga kerja (instrumentalis). Kedua, kepentingan

interaksi (social welt). Ini merupakan kepentingan praktis yang sesuai dengan

hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Ketiga, Kepentingan kekuasaan. Di

satu sisi, hal ini berhubungan erat dengan distribusi kekuasaan dalam

masyarakat. Di sisi lain, adanya sebuah kebutuhan dasariah manusia untuk

membebaskan diri dari segala bentuk dominasi atau kebebasan (Freiheit).

Freiheit, yang menurut Sartre sebagai sprat utama yang mendorong eksistensi

manusia menuju peradaban yang maju.

Dalam perbedaan kepentingan ini masyarakat mengalami sebuah

pertarungan yang sangat tajam dalam kehidupan sosial dan politik. Apalagi

kalau kepentingan kekuasaan dan kepentingan teknis mengabaikan

kepentingan sosial. Kalau kepentingan kekuasaan mengarah pada tendensi

34

untuk menciptakan distorsi terhadap komunikasi, maka yang terjadi hanya ada

penindasan dan redulai. Menurut Haber mas, untuk bisa mendamaikan konflik

kepentingan ini, kita membutuhkan adanya sebuah ruang publik (public

spare). Ini merupakan media untuk menjembatani setiap kepentingan karena

setiap komponen dalam masyarakat memiliki akses yang sama untuk

berbicara, berdiskusi, dan mencari alternatif yang tepat tentang segala

persoalan dalam kehidupan bermasyarakat.

Manusia sebagai makhluk individu diartikan sebagai person atau

perseorangan atau sebagai diri pribadi. Manusia sebagai diri pribadi

merupakan makhluk yang diciptakan secara sempurna oleh Tuhan Yang Maha

Esa. Disebutkan dalam Kitab Suci Al-Qur'an bahwa “Sesungguhnya Kami

telah menciptakan manusia manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.

Dalam ajaran agama-agama dunia juga diterangkan sangat jelas kedudukan

manusia sebagai makhluk yang mulia, karena itu tidak dibenarkan manusia

melakukan perbuatan tercela, seperti berjudi, korupsi, berzina, membunuh,

mabuk, dan seterusnya. Sebaliknya, pribadi manusia dituntut mampu

berinteralai, berkomunikasi, bekerja sama, dan saling berlomba-lomba

melakukan perubahan menuju yang lebih baik dengan individu lainnya.

Manusia sebagai makhluk sosial, artinya manusia sebagai warga

masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak mungkin dapat hidup

sendiri atau mencukupi kebutuhan sendiri. Meskipun dia mempunyai

kedudukan dan kekayaan, dia selalu membutuhkan bantuan manusia lain.

Setiap manusia cenderung untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan

bersosialisasi dengan manusia lainnya. Bahkan sejak lahir pun, manusia sudah

disebut sebagai makhluk sosial.

Telah berabad-abad konsep manusia sebagai makhluk sosial itu ada,

yang menitikberatkan pada pengaruh masyarakat yang berkuasa kepada

individu. Yakni memiliki unsur-unsur keharusan biologis, yang terdiri dari:

1. Dorongan untuk makan.

2. Dorongan untuk mempertahankan diri.

3. Dorongan untuk melangsungkan hubungan beda jenis.

35

Dengan keharusan biologis tersebut menggambarkan betapa individu

dalam perkembangannya sebagai seorang makhluk sosial meniscayakan

adanya dorongan untuk saling ketergantungan dan membutuhkan antara satu

dengan lainnya. Karena itu, komunikasi antar masyarakat menentukan peran

manusia sebagai makhluk sosial. Kedudukan manusia sebagai makhluk sosial,

dengan demikian tidak dapat dilepaskan dari cara dan bentuk adaptasi mereka

terhadap lingkungannya.

Dalam perkembangannya, manusia mempunyai kecenderungan sosial

untuk selalu meniru guna membentuk diri dalam kehidupan masyaratmya. Di

antara kebutuhan untuk meniru adalah dalam hal:

1. Penerimaan bentuk-bentuk kebudayaan, yaitu menerima bentuk-bentuk

pembaruan yang berasal dari luar sehingga dalam diri manusia terbentuk

sebuah pengetahuan,

2. Penghematan tenaga, yaitu tindakan meniru untuk tidak terlalu

menggunakan banyak tenaga dari manusia sehingga kinerja manusia

dalam masyarakat bisa berjalan secara efektif dan efisien.

Pada umumnya, hasrat meniru itu kita dapat lihat paling jelas di dalam

ikatan kelompok, yang secara lebih luas juga terjadi di dalam kehidupan

masyarakat. Proses meniru dapat dicontohkan misalnya anak terhadap orang

tuanya, pribumi terhadap pendatang atau sebaliknya, dan masyarakat

tradisional terhadap pendatang modern. Dari gambaran tersebut jelas

bagaimana manusia itu membutuhkan sebuah interaksi atau komunikasi untuk

membentuk dirinya sebagai pribadi (individu) dan sekaligus sebagui makhluk

sosial.

Banyak faktor yang mendorong manusia secara individual

membutuhkan dirinya sebagai makhluk sosial sehingga terbentuk interaksi

sosial antara manusia satu dengan manusia yang lainnya. Secara garis besar,

faktor-faktor personal yang memengaruhi interaksi manusia terdiri dari tiga

hal, yakni:

1. Tekanan emosional. Kondisi psikologis seseorang sangat memengaruhi

bagaimana manusia berinteralai satu sama lain, apakah sedang bahagia,

36

senang, atau sebaliknya sedih, berduka dan seterusnya.

2. Harga diri yang rendah. Ketika kondisi seseorang berada dalam kondisi

yang direndahkan, maka ia akan memilikihasrat yang tinggi untuk

berhubungan dengan orang lain. Karena ketika seseorang merasa

direndahkan dengan secara spontan la membutuhkan kasih sayang dari

pihak lain atau dukungan moral untuk membentuk kondisi psikologis

kembali seperti semula.

3. Isolasi sosial. Orang yang merasa atau dengan sengaja terisolasi oleh

komunitasnya atau pihak-pihak tertentu, maka ia akan berupaya

melakukan interaksi dengan orang yang sepaham atau sepemikiran agar

terbentuk sebuah interaksi yang harmonis.

B. FUNGSI DAN PERAN MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU DAN

MAKHLUK SOSIAL

Pada hakikatnva, manusia senantiasa berperan ganda. Yaitu sebagai

makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam berinteraksi dengan sekitar, ada

hubungan secara vertikal (hubungan dengan Tuhan) dan secara horizontal

(hubungan dengan sesama manusia, alam sekitar, dan makhluk lainnya).

Manusia sebagai makhluk sosial, artinya manusia tidak bisa hidup sendirian.

Manusia sejak lahir sampai masuk liang kubur selalu membutuhkan kehadiran

orang lain selain dirinya. Jika manusia tidak berhubungan atau berinteraksi

dengan sesama manusia lainnya, maka orang tersebut belum bisa dikatakan

manusia. Karena itu, dalam hubungan sesama manusia terdapat model dan

kualitasnya yang berbeda.

Ada tiga teori yang dapat membantu menerangkan model dan kualitas

hubungan antarmanusia (Achmad Mubarok, : 2009)

1. Teori Transaksional (Model Pertukaran Sosial) Menurut teori ini,

hubungan antarmanusia (interpersonal) berlangsung mengikuti kaidah

transaksional, yaitu apakah masing-masing merasa memperoleh keuntung-

an dalain transaksinya atau malah merugi. Jika merasa memperoleh

keuntungan, maka hubungan itu pasti mulus, tetapi jika merasa rugi, maka

37

hubungan itu akan terganggu, putus, atau bahkan berubah menjadi

permusuhan.

2. Teori Peran

Menurut teori ini, sebenarnya dalam pergaulan sosial itu sudah ada

skenario yang disusun oleh masyarakat, yang mengatur apa dan bagaimana

peran setiap orang dalam pergaulannya. Dalam skenario itu sudah

"tertulis" seorang presiden harus bagaimana, seorang gubernur harus

bagaimana, seorang guru harus bagaimana, dan murid harus bagaimana.

Demikian juga sudah tertulis perau apa yang harus dilakukan oleh suami,

istri, ayah, ibu, anak, mantu, mertua, dan seterusnya. Menurut teori ini,

jika seseorang mematuhi skenario, maka hidupnya akan harmoni, tetapi

jika menyalahi skenario, maka ia akan dicemooh oleh penonton dan

ditegur sutradara.

3. Teori Permainan

Menurut teori ini, klasifikasi manusia itu hanya terbagi tiga, yaitu anak-

anak, orang dewasa, dan orang tua. Anak-anak itu manja, tidak mengerti

tanggung jawab, dan jika permintaannya tidak segera dipenuhi ia akan

menangis terguling-guling atau ngambek. Adapun orang dewasa, ia lugas

dan sadar akan tanggung jawab, sadar akibat dan sadar risiko. Adapun

orang tua, ia selalu memaklumi kesalahan orang lain dan menyayangi

mereka. Tidak ada orang yang merasa aneh melihat anak kecil menangis

terguling-guling ketika minta es krim, tetapi orang akan heran jika ada

orang tua yang masih kekanak-kanakan.

Manusia memang tidak akan bisa lepas dari berhubungan dengan

orang lain. Dalam hubungan itu kita harus bisa memahami peranan dan

kedudukan masing-masing. Jangan sampai terjadi kesalahan. Karena hal itu

bisa membual tidak harmonisnya hubungan kita dengan sesama manusia.

Untuk menjaga hubungan yang harmonis sebagai individu dan

makhluk sosial, umumnya setiap suku bangsa memiliki nilai-nilai dan tradisi

yang dapat dikembangkan menjadi model kedamaian yang kondusif bagi

keeratan antar suku bangsa, agama, ras, dan perbedaan-perbedaan lainnya.

38

Sebagaimana disebutkan Mubarok di atas, masing-masing individu tampaknya

biasa melakukan kontak hubungan transaksional, jika merasa beruntung

hubungan akan berjalan mulus, demikian jika merasa dirugikan akan

mengarah perpecahan.

Dalam praktiknya, hubungan transaksional ini bermacam-macam

sifatnya. Adakalanya bersifat barter atau pertukaran langsung seperti jual beli

di pasar atau mal-mal. Masing-masing individu mendapat manfaat dari proses

interaksi secara langsung dan seketika. Dapat pula transaksional bersifat

kekeluargaan atau kekerabatan seperti dilakukan umumnya etnis Jawa dengan

sebutan "sambatan". Salah satu anggota keluarga yang sedang tertimpa

musibah, kematian, melaksanakan perkawinan, khitanan, tertimpa kecelakaan

atau terlilit utang, maka anggota keluarga yang lain akan turut membantu

meringankan beban persoalan yang sedang menimpa salah satu anggota

keluarga tersebut. Demikian ini akan dilakukan secara bergiliran dan turun-

temurun guna menjaga keutuhan keluarga, kerabat, atau famili. Tidak heran

dalam nilai-nilai hidup orang Jawa yang masih tetap kuat dipertahankan

adalah “mangan ra mangan yang penting kumpul”, yakni secara sederhana

dapat diterjemahkan "dapat makan atau tidak, yang paling penting adalah

keutuhan keluarga".

Jenis hubungan transaksional lainnya adalah hubungan pertukaran

bersifat pertemanan atau kesetiakawanan. Pada masyarakat perkotaan, jenis

pertukaraan ini sering muncul pada perkantoran-perkantoran, lembaga-

lembaga profit atau nonprofit, atau komunitas-komunitas tertentu seperti

komunitas biker, pengguna moge (motor gede), pencinta bola, dan seterusnya.

C. DINAMIKA INTERAKSI SOSIAL: AKULTURASI, ASIMILASI, DAN

INOVASI

1. Akulturasi Budaya

Adalah proses sosial yang timbul apabila suatu kelompok manusia

dengan suatu kebudayaan tertentu sedemikian rupa dipengaruhi oleh

unsur-unsur suatu kebudayaan lain sehingga unsur-unsur lain itu diterima

39

dan disesuaikan dengan unsur-unsur kebudayaan sendiri tanpa

menyebabkan hilangnya identitas kebudayaan asli. Contoh yang muncul

adalah ketika pihak pribumi mulai menerima penggunaan gaya hidup,

seperti bahasa, mode pakaian, dan sopan santun ala barat.

Kajian akulturasi meliputi lima hal pokok, demikian yang

dikemukakan Koentjaraningrat (1997):

1. Masalah mengenai metode untuk mengobservasi, mencatat dan

melukiskan suatu proses akulturasi dalam suatu masyarakat.

2. Masalah mengenai unsur-unsur kebudayaan yang mudah diterima

dan yang sukar diterima oleh masyarakat penerima.

3. Masalah unsur kebudayaan mana saja yang mudah diganti dan

diubah dan unsur kebudayaan mana saja yang tidak mudah diganti

dan diubah oleh unsur-unsur kebudayaan asing.

4. Masalah mengenai individu-individu apa yang mudahdan cepat

menerima, dan individu-individu apa yang sukar dan lambat

menerima unsur-unsur kebudayaan asing.

5. Masalah mengenai ketegangan-ketegangan sosial yang timbul akibat

adanya akulturasi.

Dampak akulturasi terhadap masyarakat meniscayakan seorang

peneliti perlu memerhatikan beberapa hal berikul:

1. Keadaan masyarakat penerima sebelum proses akulturasi mulai

berjalan.

2. Individu-individu dari kebudayaan asing yang membawa unsur-unsur

kebudayaan asing itu.

3. Saluran-saluran yang dilalui oleh unsur-unsur kebudayaan asing untuk

masuk ke dalam kebudayaan penerima.

4. Bagian-bagian dari masyarakat penerima yang terkena pengaruh unsur-

unsur kebudayaan asing tadi.

5. Reaksi para individu yang terkena unsur-unsur kebudayaan asing.

40

2. Asimilasi Budaya

Proses asimilasi dapat terjadi jika terjadi hal-hal sebagai berikut :

1. Kelompok-kelompok manusia dengan latar belakang kebudayaan

yang berbeda-beda.

2. Kelompok manusia ini saling bergaul secara intensif dalam kurun

waktu yang lama.

3. Pertemuan budaya-budaya antar kelompok itu masing-masing

berubah watak khasnya dan unsur-unsur kebudayaannya saling

berubah sehingga memunculkan suatu watak kebudayaan yang

baru/campuran.

Faktor penghambat adanya proses asimilasi budaya:

1. Kurangnya pengetahuan terhadap unsur kebudayaan yang dihadapi

(dapat) bersumber dari pendatang ataupun penduduk asli.

2. Sifat takut terhadap kebudayaan yang dihadapi.

3. Perasaan ego dan superioritas yang ada pada individu-individu dari

suatu kebudayaan terhadap kelompok lain.

Faktor yang memudahkan/penarik terjadinya asimilasi budaya:

a. Faktor toleransi, kelakuan saling menerima dan memberi dalam

struktur himpunan masyarakat.

b. Faktor kemanfataan timbal balik, memberi manfaat kepada dua belah

pihak

c. Faktor simpati, pemahaman saling menghargai dan memperlakukan

pihak lain secara baik.

3. Inovasi (Pembaruan) Campuran, Bermanfaat Bagi Proses Asimilasi

Proses pembaruan (inovasi) dapat digolongkn dalam bentuk:

a. Discovery, atau penemuan unsur-unsur kebudayaan yang baru berupa

gagasan individu atau kelompok.

b. Invention, atau tindak lanjut inovasi berupa pengakuan, penerimaan,

dan penerapan proses koleh masyarakat.

41

Pemanfaatan hasil inovasi bergantung:

a. Persepsi masyarakat pendukung dalam kelompok, sebuah penemuan

perlu mendapat dukungan kelompok guna pengakuan sebagai

kebutuhan dasar, jika tidak pastilah sangat tidak memberikan hasil

yang maksimal.

b. Mutu serta ketahanan SDM, dalam setiap keanggotaan kelompok pasti

terdapat individu yang selalu merasa tidak puas dan merasa

kekurangan sehingga secara sadar individu ini melaksanakan aktivitas

pengkajian, penelitian terhadap situasi yang dihadapinya.

c. Sistem perangsang, penghargaan dan pengakuan, dapat berupa

pengakuan ilmiah, pemberian gelar, rangsangan materi, dan fasilitas

lain.

d. Harus memberikan kemanfaatan bagi masa depan. Proses inovasi

menimbulkan suatu perubahan (evolusi).

Goodwin Watson, telah mengumpulkan data berbagai hasil

penelitian tentang upaya pembaugunan dan pengembangan masyarakat

dari sekitar 500 studi difusi inovasi di berbagai bidang kajian keilmuan

baik secara empiris maupun non-empiris, khususnya di negara-negara

berkembang yang dilakukan oleh Eicholz dan Rogers (Zaltnian,et al.,

1972: 621). Dari situ diperoleh 12 prinsip yang dapat mengurangi

penolakan (resistance) atas gagasan baru (innovation) sebagai berikut:

a. Resistensi akan berkurang jika administrator, guru-guru anggota-

anggota pengurus, dan pimpinan-pimpinan masyarakat merasa bahwa

proyek (inovasi) itu adalah milik mereka bukan sesuatu yang

direncanakan dan dilaksanakan oleh orang lain (luar).

b. Resistensi akan berkurang jika inovasi itu secara jelas mendapat

dukungan sepenuhnya dari pimpinan tertinggi dari sistem (kehidupan

masyarakat) itu.

c. Resistensi akan berkurang jika partisipan melihat perubahan itu

sebagai upaya pengurangan beban mereka sekarang dan bukan justru

menambah beban baru.

42

d. Resistensi akan berkurang jika inovasi itu serasi dengan nilai-nilai

(values) dan gagasan-gagasan yang telah lama diketahui masyarakat.

e. Resistensi akan berkurang jika dalam inovasi itu partisipan merasa

bahwa kemandirian (autonomy) dan keamanan (security) mereka tetap

terjamin.

f. Resistensi akan berkurang jika program inovasi itu menawarkan jenis

pengalaman yang dapat menarik minat partisipan.

g. Resistensi akan berkurang jika partisipan diikutkan dalam upaya

diagnostik yang membawa mereka untuk menyetujui apa yang jadi

problem mendasar (gagasan sentral) dan untuk yang merasakan bahwa

hal itu penting dipecahkan dan dicarikan jalan keluarnya.

h. Resistensi akan berkurang jika inovasi itu diadopsi atas dasar

keputusan (konsensus) kelompok itu sendiri.

i. Resistensi akan berkurang jika penganjur (proponent) mampu untuk

memperkenalkan diri secara baik/jelas (emphertize) terhadap penerima

anjuran (opponent), memperkenalkan kesulitan-kesulitan yang berarti

atauperlu diatasi serta mengambil langkah-langkah seperlunya

terhadap hal-hal yang tidak pantas ditakuti.

j. Resistensi akan berkurang jika diberitahukan dengan bijaksana alas

penolakan terhadap inovasi karena kesalahpahaman dan salah

penafsiran, dan jika ketentuan yang dibuat untuk mandapatkan umpan

batik (feedback) persepsi masyarakat tentang inovasi serta penjelasan-

penjelasan berikutnya sesuai dengan yang mereka butuhkan.

k. Resistensi akan berkurang jika partisipan mendapatkan penerimaan,

dukungan, pembenaran, serta kepercayaan dari teman-teman mereka

satu sama lainnya.

l. Resistensi akan berkurang jika inovasi itu terbuka atas kritikan

perbaikan dan pertimbangan ulang jika dibutuhhan untuk mendapatkan

perubahan yang lebih memuaskan. (Warner G. Bennis, 1969: 56-57)

43

Sementara itu, teori penerimaan dan penolakan gagasan baru yang

dideskripsikan oleh Eicholz dan Rogers di atas disebut dengan namaa

rejection-adoption theory. Proses adopsi terjadi disebabkan lima tahap: (1)

awareness (kesadaran). Semula individu atau kelompok yang

bersangkutan tidak mengetahui dan mengabaikan "ignorance" inovasi itu.

Kemudian dengau kesadaran bersedia belajar tentang eksistensi inovasi

yang belum diketahui tadi. Meskipun sebelumnya ia telah memiliki

pengetahuan lama "traditional". Tahap ini penggunaan inovasi masih

ditangguhkan selama mempertimbangkan “suspended judgment” nilai

hakiki yang terkandung di dalamnya sambil membandingkannya dengan

cara lama; (2)interest (menaruh minat). Individu bersangkutan

memperluas upaya mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang adat

istiadat, agama, pendapat warga masyarakat umumnya, yang berkaitan

dengan dorongan dan larangan berupa beban sosial dan finansial jika

inovasi itu digunakan. Jadi, ia mempelajari keadaan “situational”

(3) evolution (penilaian). Individu bersangkutan menilai inovasi itu dan

mendorong jiwanya memilih hal-hal yang sesuai dengan kondisi dirinya

personal": (4) trial (percobaan). lndividu bersangkutan mulai

memberanikan diri untuk menggunakan inovasi sebagai percobaan

pendahuluan "experiment". Ketika gagal dicobanya lagi hingga berhasil;

(5) adopsi (penggunaan). lndividu bersangkutan menerinia inovasi itu

digunakan seterusnya atas dasar percobaan yang berhasil sebelumnya.

Akan tetapi, jika pada penggunaan-penggunaan berikutnya terus-menerus

gagal, maka penggunaan itu akan dihentikan (discontinuance).

Sebaliknya, penolakan (rejection) terjadi karena tahapan-tahapan

berikut: (1) awareness (kesadaran). Individu bersangkutan semua belum

memiliki pengetahuan tentang inovasi “ignorance" dan telah memiliki

pengetahuan lama "traditional". Ketika mengikuti pelajaran, inovasi itu

dirasakan lebih kompleks dan sulit dimengerti hingga terjadi

kesalahpahaman. Penggunaan inovasi ditangguhkan “suspended

judgement", sementara pertimbangan cenderung mengambil jalan pintas

44

saja yaitu penggunaan cara lama lebih mudah, sudah biasa, aman dari segi

sosial, terjangkau secara finansial, dan berhasil juga. Sehingga tidak lagi

diiringi dengan upaya belajar yang sungguh-sungguh; (2) indifference

(acuh tak acuh). Individu bersangkutan semakin acuh tak acuh setelah

melihat keadaan "situational". Meskipun inovasi itu kelihatannya logis,

tetapi kurang mereka perhatikan karena belum biasa dalam masyarakat,

diragukan bertentangan dengan agama, adat istiadat, norma, nilai, dan

pendapat orang umumnya; (3) denial (penolakan). Pada masa kebutuhan

pemilihan inovasi yang sesuai untuk dirinya “personal”, individu

bersangkutan tidak memahami betul fungsi inovasi itu menggantikan apa

dari cara lama, apa faedahnya yang lebih menonjol daripada cara lama,

bagaimana kedudukan cara lama yang digantikannya. Sehingga la

menyangkal kehadiran inovasi; (4) trial (percobaan). Ketika individu

bersangkutan atau orang lain melakukan percobaan dengan inovasi itu

“experiment”, terjadi insiden atau kegagalan, individu bersangkutan tidak

lagi berusaha untuk mencoba hingga berhasil, akan tetapi kembali saja

kepada cara lama yang telah dia ketahui dan biasa dipraktikkan; dan (5)

rejection (penolakan). Individu bersangkutan akan mengakhiri dengan

penolakan seterusnya terhadap inovasi tersebut dan tetap mempraktikkan

cara biasa. Konsekuensi logis dari penolakan ini, pemutusan penggunaan

(discontinuance) akan berlangsung dalam waktu panjang yang tidak

terpastikan (Zaltman,et al., 1972: 624). Skema dari The rejection-adoption

theory ini terlihat sebagai berikut (Rusmin Tumanggor, 1990: 27-28).

Dalam diagram ini terlihat ada masa ignorance, susperi-

dedjudgment, situational, personal dan experimental, yaitu masa

pengabaian, penangguhan pertimbangan, memerhatikan situasi, kondisi

dan kebutuhan diri, serta pengalaman. Teori penerimaan dan penolakan ini

dapat dibandingkan dengan teori pertukaran dari Homans terkait proposisi

sukses.

From of adoption- Rejection AdoptionRejection

Ignorance

Suspended Judgment

Situation

Personal

Experimental

Disontinuance

Awareness StageAwareness Stage

Interest StageIndifference

Evaluation StageDenial Stage

Trial StageTrial Stage

Rejection Adoption

Gam

bar TIM

E

45

D. DILEMA ANTARA KEPENTINGAN INDIVIDU DAN KEPENTINGAN

MASYARAKAT

Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendirian tanpa

bantuan orang lain. Kebutuhan fisik (sandang,pangan, papan), kebutuhan

sosial (pergaulan, pengakuan, sekolah, pekerjaan) dan kebutuhan psikis

termasuk rasa ingin tahu, rasa aman, perasaan religiositas, tidak mungkin

terpenuhi tanpa bantuan orang lain. Apalagi jika orang tersebut sedang

menghadapi masalah, baik ringan maupun berat. Pada saat-saat seperti itu

seseorang akan mencari dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya,

sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan, dan dicintai. Contoh nyata

yang paling sering kita lihat dan alami adalah bila ada seseorang yang sakit

dan terpaksa dirawat di rumah sakit, maka sanak saudara ataupun teman-

teman biasanya datang berkunjung. Dengan kunjungan tersebut, maka orang

yang sakit tentu merasa mendapat dukungan sosial.

Gambar 2 Skema Alur Adoption-Rejection Theory

46

Dukungan sosial (social support) didefinisikan oleh Gottlieb (1983)

sebagai informasi verbal atau nonverbal, saran, bantuan yang nyata atau

tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di

dalatn lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang

dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku

penerimanya. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan sosial,

secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran, atau kesan

yang menyenangkan pada dirinya. Pendapat senada dikemukakan juga oleh

Sarason (1983) yang mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan,

kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai,

dan menyayangi kita. Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Cobb

yang mendefinisikan dukungan sosial sebagai adanya kenyamanan, perhatian,

penghargaan atau menolong orang dcngan sikap menerima kondisinya,

dukungan sosial tersebut diperoleh dari individu maupun kelompok. Sarason

(1983), berpendapat bahwa dukungan sosial itu selalu mencakup dua hal,

yaitu:

1. Jumlah sumber dukungan sosial yang tersedia; merupakan persepsi

individu terhadap sejumlah orang yang dapat diandalkan saat individu

membutuhkan bantuan(pendekatan berdasarkan kuantitas).

2. Tingkatan kepuasan akan dukungan sosial yang diterima; berkaitan dengan

persepsi individu bahwa kebutuhannya akan terpenuhi (pendekatan

berdasarkan kualitas).

Hal tersebut penting dipahami oleh individu yang ingin memberikan

dukungan sosial, karena menyangkut persepsi tentang keberadaan

(availability) dan ketepatan (adequacy) dukungan sosial bagi seseorang.

Dukungan sosial bukan sekedar mmeberikan bantuan, tetapi yang penting

adalah bagaimana persepsi si penerima terhadap makna dari bantuan itu. Hal

itu erat hubungannya dengan ketepatan dukungan social yang diberikan,

dalam arti bahwa orang yang menerima sangat meraakan bantuan bagi dirinya,

karena sesuatu yang actual dan memberikan kepuasan.

47

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan

social merupakan bantuan atau dukungan yang diterima individu dari orang-

orang tertentu dalam kehidupannya dan berada dalam lingkungan social

tertentu yang membuat si penerima merasa diperhatikan, dihargai, dan

dicintai. Orang yang menerima dukungan social memahami makna dukungan

social yang diberikan oleh orang lain.

Sumber-sumber dukungan social banyak diperoleh individu dari

lingkungan sekitarnya. Namun perlu diketahui seberapa banyak sumber

dukungan social ini efektif bagi individu yang memerlukan. Sumber dukungan

social merupakan aspek paling memerlukan. Sumber dukungan social sesuai

dengan situasi dan keinginannya yang spesifik, sehingga dukungan social

memiliki makna yang berarti bagi kedua belah pihak.

Menurut Rook dan Dooley (1985), ada dua sumber dukungan social

yaitu sumber artikulasi dan natural. Dukungan social yang natural diterima

seseorang melalui interaksi social dalam kehidupannya secara spontan dengan

orang-orang yang berada di sekitarnya, misalnya anggota keluarga (anak, istri,

suami, dan kerabat), teman dekat atau relasi. Dukungan social itu bersifat

nonformal. Sementara itu, yang dimaksud dengan dukungan artikulasi adalah

dukungan social yang dirancang ke dalam kebutuhan primer seseorang,

misalnya dukungan social akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan

social.

Sumber dukungan social yang bersifat natural berbeda dengan sumber

dukungan social yang bersifat artificial dalam sejumlah hal. Perbedaa tersebut

terletak dalam hal sebagai berikut :

a. Keberadaan sumber dukungan social natural bersifat apa adanya tanpa

dibuat-buat sehingga lebih mudah diperoleh dan bersifat spontan.

b. Sumber dukungan social yang natural memiliki kesesuaian dengan norma

yang berlaku tentang kapan sesuatu harus diberikan.

c. Sumber dukungan social yang natural berakhir dari hubungan yang telah

berakar lama.

48

d. Sumber dukungan social yang natural berakar dari hubungan yang telah

berakar lama.

e. Sumber dukungan social yang natural memiliki keragaman dalam

penyampaian dukungan social, mulai dari pemberian barang-barang nyata

hingga sekadar menemui seseorang dengan menyampaikan salam.

f. Sumber dukungan social yang natural terbebas dari beban dan label

psikologis.

Para ahli berpendapat bahwa dukungan social dapat dibagi ke dalam

berbagai komponen yang berbeda-beda. Misalnya Weiss (Cutrona dkk.1994:

371), mengemukakan adanya enam komponen dukungan social yang disebut

sebagai “The Social Provision Scale”¸di mana masing-masing komponen

dapat dapat berdiri sendiri-sendiri, namun satu sama lain saling berhubungan.

Adapun komponen-komponen tersebut adalah:

1. Kerekatan emosional (etttotional attachment)

Jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan seseorang memperoleh

kerekatan (kedekatan) emosional sehingga menimbulkan rasa aman bagi

yang menerima. Orang yang menerima dukungan sosial semacam ini

merasa tenteram, aman, dan damai yang ditunjukkan dengan sikap tenang

dan bahagia. Sumber dukungan sosial semacam ini yang paling sering dan

umum adalah diperoleh dari pasangan hidup. atau anggota keluarga/ teman

dekat/sanak keluarga yang Arab dan memiliki hubungan yang harmonis.

Bagi lansia adanya orang kedua yang cocok, terutama yang tidak memiliki

pasangan hidup, menjadi sangat penting untuk dapat memberi dukungan

sosial atau dukungan moral (moral suppport).

2. lntegrasi sosial (social integration)

Jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan lansia untuk

memperoleh perasaan memiliki suatu kelompok yang memungkinkannya

untuk membagi minat, perhatian, serta melakukan kegiatan yang sifatnya

rekreatif secara bersama-sama. Sumber dukungan semacam ini

memungkinkan lansia mendapatkan rasa aman, nyaman serta merasa

memiliki dan dimiliki darn kelompok. Adanya kepedulian oleh masyarakat

49

untuk mengorganisasi lansia dan melakukan kegiatan bersama tanpa ada

pamrih akan banyak memberikan dukungan sosial.Mereka merasa bahagia,

ceria, dan dapat mencurahkansegala ganjalan yang ada pada dirinya untuk

bercerita,atau mendengarkan ceramah ringan yang sesuai

dengankebutuhan lansia. Hal itu semua merupakan dukungansosial yang

sangat bermanfaat bagi lansia.

3. Adanya pengakuan (reanssurance of worth)

Pada dukungan sosial jenis ini lansia mendapat pengakuan atas

kemampuan dan keahliannya serta mendapat penghargaan dari orang lain

atau lembaga. Sumber dukungan sosial semacam ini dapat berasal dari

keluarga atau lembaga/instansi atau perusahaan/organisasi di mana sang

lansia pernah bekerja. Karena jasa, kemampuan dan keahliannya maka ia

tetap mendapat perhatian dan santunan dalam berbagai bentuk

penghargaan. Uang pensiun mungkin dapat dianggap sebagai salah satu

bentuk dukungan sosial juga, bila seseorang menerimanya dengan rasa

syukur. Bentuk lain dukungan sosial berupa pengakuan adalah

mengundang para lansia pada seliap event/hari besar untuk berpartisipasi

dalam perayaan tersebut bersama-sama dengan para pegawai yang masih

berusia produktif. Contoh: Setiap hari besar TNI, maka para mantan

pejabat yang telah pensiun/memasuki masa lansia biasa diundang hadir

dalam upacara ataupun resepsi yang diadakan oleh instansi tersebut.

4. Ketergantungan yang dapat diandalkan (reliable reliance)

Dalam dukungan sosial jenis ini, lansia mendapat dukungan sosial berupa

jaminan bahwa ada orang yang dapat diandalkan bantuannya ketika lansia

membutuhkan bantuan tersebut. Dukungan sosial jenis ini pada umumnya

berasal dari keluarga. Untuk lansia yang tinggal di lembaga, misalnya pada

Sasana Werdha ada petugas yang selalu siap untuk membantu para lansia

yang tinggal di lembaga tersebut, sehingga para lansia mendapat

pelayanan yang memuaskan.

50

5. Bimbingan (guidance)

Dukungan sosial jenis ini adalah berupa adanya hubungan kerja ataupun

hubungan sosial yang memungkinkan lansia mendapatkan informasi,

saran, atau nasihat yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dan

mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dukungan sosial jenis ini

bersumber dari guru, alim ulama, pamong dalam masyarakat, figur yang

dituakan, dan juga orang tua.

6. Kesempatan untu mengasuh (opportunity for nurturance)

Suatu aspek penting dalam hubungan interpersonal akan perasaan

dibutuhkan oleh orang lain. Jenis dukungan sosial ini memungkinkan

lansia untuk memperoleh perasaan bahwa orang lain tergantung padanya

untuk memperoleh kesejahteraan. Menurut Weiss (Cotuna dkk. 1994),

sumber dukungan sosial ini adalah keturunan (anak-anak) dan pasangan

hidup. Itulah sebabnva sangat banyak lansia yang merasa sedih dan kurang

bahagia jika berada jauh dari cucu-cucu ataupun anak-anaknya.

51

BAB 4

MANUSIA DAN PERADABAN

A. HAKIKAT PERADABAN MANUSIA

Hakikat peradaban bisa kita mulai dengan definisi ”peradaban” itu

sendiri. Peradaban mengambil padanan kata civilization yang berarti nilai

hidup satu kelompok atau dalam merespons tantangan masa yang dihadapinya

dalam era tertentu (Oxport Dictionaty English oleh Hassan Shadily: 2003).

Peradaban adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut bagian-bagian

atau unsur-unsur suatu kebudayaan yang dianggap halus maju, dan indah.

Dalam definisi peradaban juga mengandung adanya perkembangan

pengetahuan dan kecakapan, sehingga orang memungkinkan memiliki tabiat

”beradab”. Karena itu manusia beradab salah satunya memiliki ciri mampu

mengendalikan dirinya, yakni menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan

kebudayaan suatu bangsa. Peradaban juga sering menunjukpada kemajuan

ekonomi, teknologi, dan politik.

Sekurangnya tiga inti peradaban, yaitu: (1) nilai; (2) kelompok

tertentu; dan (3) tantangan zaman. Pengertian demikian memungkinkan

respons suatu kelompok orang akan berbeda dengan kelompok lainnya. Juga

bisa tantangan zaman berbeda, maka nilai yang dipakai berbeda pula. Dengan

demikian, penegakan satu peradaban tergantung pada kelompok dengan nilai

yang Wanutnya, serta tantangan zamannya. Respon dengan cara berbeda itu

bahkan yang tidak beradab sekalipun dimungkinkan bisa terjadi.

Agaknya dengan dimensi peradaban itu, antara dimensi masa lalu dan

masa kini kerap mendatangkan kebimbangan pada kita. Padahal masa lalu itu

sesuatu yang sudah selesai masa kini dan masa depan menyediakan kreativitas

yang baru. Ibarat buku masa kini dan akan datang, merupakan sambungan

halaman demi halaman yang berbeda, namun merupakan kesatuan yang utuh.

Peradaban adalah sebuah entitas terluas dari budaya, yang

teridentifikasi melalui unsur-unsur objektif umum, seperti bahasa sejarah,

52

agama, kebiasaan, institusi, maupun melalui identifikasi diri yang subjektif.

Budaya di sebuah desa di ItaliaSelatan mungkin berbeda dengan yang di

Utara, tetapi keduanya bisa disebut budaya Italia yang membedakan mereka

dari karakteristik desa-desa di Jerman.

Sepanjang sejarah umat manusia, sebuah peradaban mengalami pasang

surut. Terkadang, suatu peradaban mampu berkembang dengan pesat, mampu

beradaptasi, dan memengaruhi kehidupan manusia. Akan tetapi, banyak juga

peradaban yang hilang ditelan bumi dan terkubur di dalam pasir-pasir masa,

taklagi relevan dengan kehidupan manusia. Peradaban yang mampu bertahan

(Peradaban Mayor) antara lain: Peradaban Tionghoa, Jepang, Hindu, Islam,

Ortodoks, Barat, Amerika Latin, dan Afrika.

Mungkinkah lahir sebuah peradaban universal? Asumsi ini lahir dari

satu pemikiran bahwa suatu budaya senantiasa tidak lepas dari kemanusiaan

dan adanya penerimaan secara umum terhadap nilai-nilai, keyakinan-

keyakinan, orientasi-orientasi, perilaku-perilaku, dan institusi-institusi oleh

umat manusia di seluruh dunia. Kondisi ini terjadi pada masyarakat modern di

mana dalam perjalanannya telah melahirkan adanya proses globalisasi.

Mengglobal berarti mendunia. Dalam alam yang serba canggih, suatu

kebudayaan dapat diserap dan merambah ke seluruh dunia jika memiliki

perangkatnya, yaitu transportasi dan komunikasi. Dengan dua modal tersebut

suatu kebudayaan akan memiliki banyak peluang untuk disosialisasikan ke

segala penjuru negeri, dan mempunyai kemampuan untuk menghadirkan

selalu produk budaya yang up-to-date. Karena itu negara-negara maju yang

mempunyai kekuatan akses yang besar akan mampu membentul: opini dunia.

Artinya, negara-negara maju mampu memprakarsai format “peradaban

masyarakat dunia”.

53

B. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERADAB DAN MASYARAKAT

ADAB

Sejak dahulu kala manusia selalu mempertanyakan asal usul kehidupan

dan dirinya. Jawaban sementara atas pertanyaan tersebut ada tiga alternatifi,

yaitu melaui konsep penciptaan, transformasi, dan/atau evolusi biologi.

Definisi evolusi biologi bermacam-macam tergantung dari aspek

biologi yang dikaji. Beberapa definisi yang umum dijumpai di buku-buku

biologi, antara lain: evolusi pada makhluk hidup adalah perubahan-perubahan

yang dialami makhluk hidup secara perlahan-lahan dalam kurun waktu yang

lama dan diturunkan, sehingga lama kelamaan dapat terbentuk species baru.

Atau evolusi diartikan dengan perubahan frekuensi gen pada populasi dari

masa ke masa. Atau evolusi juga sering dimaksudkan sebagai perubahan

karakter adaptif pada populasi dari masa ke masa. Melalui pemikiran evolusi

inilah kemudian pelbagai pandangan dari cabang ilmu biologi dipersatukan.

Ide tentang terjadinya evolusi biologis sudah lama menjadi pemikiran

manusia. Namun di antara berbagai teori evolusi yang pernah diusulkan,

tampaknya teori evolusi oleh Darwin yang paling sering dijadikan rujukan

pokok. Darwin (1858) mengajukan dua teori pokok: yaitu spesies yang hidup

species berasal dari spesies yang hidup sebelumnya, dan evolusi terjadi

melalui seleksi alam. Perkembangan tentang teori evolusi tersebut sangat

menarik untuk diikuti. Darwin berpendapat bahwa berdasarkan pola evolusi

bersifat graduai, berdasarkan arah adaptasinya bersifatgradual dan berdasarkan

hasilnva sendiri selalu dimulai terbentuknya.

Dalam perkembangannya, teori evolusi Darwin mendapat tantangan

(terutama dari golongan agama, dan yang menganut paham teori penciptaan

Universal Crastion), dukungan dan pengayaan-pengayaan. Jadi, teori sendiri

juga berevolusi sehingga teori evolusi biologis yang sekarang kita kenal

dengan label "Neo-Darwinian" dan "Modern Sintesis", bukanlah murni seperti

yang diusulkan oleh Darwin. Berbagai istilah di bawah ini merupakan hasil

pengayaan yang mencerminkan pergulatan pemikiran dan argumentasi ilmiah

seputar teori evolusi berdasarkan kecepatan evolusi (evolusi kuasi

54

dankuantum); berdasarkan polanya (gradual, punctual, dan saltasi); dan

berdasarkan skala produknya (evolusi makro dan mikro).

Topik yang akan dibahas di bawah ini meliputi perkembagan teori

evolusi Darwin dan implikasi dari teori evolusi biologi Darwin terhadap cara

pandang kita tentang keberadaan makhluk dan alam semesta.

Pada 1858 Darwin memublihasikan The Originyang memuat dua teori

utama, yaitu:

1. Spesies yang hidup sekarang berasal dari spesies lain yang hidup di masa

lampau.

2. Evolusi terjadi melalui seleksi alam.

Menurut Darwin, agen tunggal penyebab terjadinva evolusi adalah

seleksi alam. Selelai alam adalah “process of presenving, in nature favorable

variantions and ultimately eliminating those that are injurious”. Secara

umum, tanggapan ahli lain terhadap teori Darwin adalah:

a. Mendapat tantangan terutama dari golongan agama, danyang menganut

paham teori penciptaan (Universal Crastion)

b. Mendapat pembelaan dari penganut Darwin antara lain, Yoseph Hooker

dan Thomas Henry Huxlcy (18251895).

c. Mendapat kritik dan pengayaan dari banyak ahli antara lain Morgan

(1915), Fisher (1930), Dobzhansky (1937), Goldschmidt (1940), dan Mayr

(1942).

Dengan berbagai pekembangan dalam ilmu biologi, khususnya

genetika maka teori evolusi Darwin diperkaya. Seleksi alam tidak lagi menjadi

satu-satunya agen penyebab terjadinya evolusi, melainkan ada tambahan

faktor-faktor penyebab lain, yaitu: mutasi, aliran gen, dan genetic drifi. Oleh

karenanya, teori evolusi yang sekarang disebut New Darwinian atau Modern

Sinteds.

Secara singkat, proses evolusi oleh seleksi alam (NeoDarwinian)

terjadi lcarena adanya:

a. Perubahan frekuensi gen dari satu generasi ke generasi berikutnva.

b. Perubahan dan genotipe yang terakumulasi seiring berjalannya waktu.

55

c. Produksi varian baru melalui materi genetik yang diturunkan (DNA/RNA).

d. Kompetisi antar-individu karena keberadaan besaran individu melebihi

sumber daya lingkungan tidak cukup untuk menyokongnya.

e. Generasi berikut mewarisi "kombinasi gen yang sukses" dari individu

fertile (dan beruntung) yang masih dapat bertahan hidup dari kompetisi.

Teori utama Darwin bahwa spesies yang hidup sekrang berasal dari

spesies lain yang hidup di masa lampau dan bila diurut leih lanjut semua

spesies makluk hidup diturunkan dari nenek moyang umum yang sama.

Seperti yang juga diperkirakan oleh Darwin. Teorinya akan ditentang banyak

pihak. Para penentang teori ini dikategorikan dalam tiga kelompok utama:

a. Kelompok yang berpendapat bahwa teori Darwin tersebut tidak cukup

"ilmiah".

b. Kelompok "Creationist" yang berpendapat bahwa masing-masing spesies

diciptakan khusus oleh Yang Mahakuasa untuk tujuan tertentu.

c. Kelompok penganut filsafat "Idealist" yang berpendapat bahwa spesies

tidak berubah. Variasi yang ada merupakan tiruan tidak sempurna dari

pola umum "archetypes". Goethe mengabstraksikan satu archetype atau

Urbild untuk semua tanaman (Urplanze) dan beberapa Bauplane untuk

hewan.

Untuk para penentangnya, dari dua kelompok pertamasebelumnya

Darwin cukup menandaskan bahwa Keajaiban-keeajaiban atau intervensi dari

kekualan supranatural dalam pembentukan spesies adalah tidak ilmiah. Dalam

menanggapi kelompok Idealist (seperti Owen dan Lois Agassiz) Darwin

mampu menangkis dengan baik. Pada Origin edisi pertama, Darwin (1959) di

halaman 435, menyimpulkan bahwa penjelasan Owen pada masalah archetype

adalah "irzteresting" dan "unity of type"-nya merupakan "hukum" biologi yang

penting. Kemudian Owen lebih keras lagi menentang teorinya. Darwin pada

edisi berikutnya menambahkan "... tetapi itu bukan penjelasan ilmiah".

Menurut Darwin, penjelasan tentang "homologi" dan "unity of types" terkait

dengan nenek moyang adalah ilmiah, sementara penjelasan terkait dengan

archetype tidak ilmiah. Oleh karena itu, Darwin memandang masalah ini

56

sebagai proses, sementara konsep archehtype adalah timeless. Secara umum,

Darwin adalah penganut paham materialisme.

Darwin mengemukakan bahwa selkcsi alam merupakan agen utama

penyebab terjadinya evolusi. Darwin (dan Wallace) menyimpulkan selcksi

dari prinsip yang dikemukakan oleh Malthus bahwa setiap populasi cenderung

berlambah jumlahnya seperti deret ukur, dan sebagai akibatnya cepat atau

lambat akan terjadi perbenturan antar-anggota dalam pemanfaatan sumber

daya khususnya bila ketersediaannya terbatas. Hanya sebagian, sering kali

merupakan bagian kecil, dari keturunannya bertahan hidup: sementara

sebagian besar lainnya tereliminasi.

Dengan berkembangnya ilmu genetika, teori itu diperkaya sehingga

muncul Neo-Darwinian. Menurut Lemer (1958), definisi seleksi alam adalah

segala proses yang menyebabkan pembedaan nonrandom dalam reproduksi

terhadap genotype; atau allele gen dan kompleks gen dari generasi ke generasi

berikutnya.

Anggota populasi yang membawa genotipe yang lebih adaptif

(superior) berpeluang lebih besar untuk bertahan daripada keturunan yang

inferior. Jumlah individu keturunan yang superior akan bertambah sementara

jumlah individu interior akan berkurang dari satu generasi ke generasi lainnya.

Seleksi alam pun juga masih bekerja, sekalipun jika semua keturunan dapat

bertahan hidup dalam beberapa generasi. Contohnya adalah pada jenis fauna

yang memiliki beberapa generasi dalam satu tahun. Jika makanan dan sumber

daya yang lain tidak terbatas selama suatu musim, populasi akan bertambah

seperti deret ukur dengan tidak ada kematian di antara keturunannya. Hal itu

tidak berarti seleksi tidak terjadi, karena anggota populasi dengan genotipe

yang berbeda memproduksi keturunan dalam jumlah yang berbeda atau

berkembang mencapai matang seksual pada kecepatan yang berbeda. Musim

yang lain kemungkinan mengurangi jumlah individu secara drastis tanpa pilih-

pilih. Jadi, pertumbuhan eksponensial dan seleksi kemungkinan akan

dilanjutkan lagi pada tahun berikutnya. Perbedaan fekunditas, sesungguhnya

juga merupakan agen penyeleksi yang kuat karena menentukan perbedaan

57

jumlah individu yang dapat betahan hidup dan/atau jumlah individu yang akan

mati, yang ditunjukkan dalam angka kematian. (Dobzhansky, 1970).

Darwin telah menerima, namun dengan sedikit keraguan, slogan

Herbert Spencer ”survival of the fittest in the struggle for life” sebagai

alternative untuk menerangkan proses seleksi alam, namun saat ini slogan itu

tampaknya dipandang tidak sepenuhnya tepat. Tidak hanya individu atau jenis

yang terkuat tetapi mereka yang lumayan pas dengan lingkungan dapat

bertahan hidup dan bereproduksi. Dalam kondisi seleksi yang lunak atau halus

semua individu atau jenis pembawa genotipe yang bermacam-macam dapat

bertahan hidup ketika populasi berkurang. Individu yang fit (individu yang

sesuai dengan lingkungan dapat bertoleransi dengan lingkungan) tidak harus

mereka yang paling kuat, paling agrasif atau paling bertenaga, melainkan

mereka yang mampu bereproduksi menghasilkan keturunan dengan jumlah

terbanyak yang viable dan fertile.

Seleksi alam tidak menyebabkan timbulnya meteriil baru (bahan

genetic yang baru di masa mendatang akan dapat diseleksi lagi), justru

menyebabkan hilangnya suatu varian genetic atau berkurang frekuensi gen

tertentu. Seleksi alam bekerja efektif hanya bila populasi berisi dua atau lebih

genotype, yang mana dari varian itu ada yang akan tetap bertahan atau ada

yang tereliminasi pada kecepatan yang berbeda-beda. Pada seleksi buatan,

breader akan memilih varian genetic (individu dengan genotype) tertentu

untuk dijadikan induk untuk generasi yang akan dating. Permasalahan yang

timbul adalah dari mana sumber materi dasar atau bahan mentah genetik

penyebab keanekaragaman genetik pada varian-varian yang akan datang.

Permasalahan yang timbul adalah dari mana sumber materi dasar atau bahan

mentah genetik penyebab keanekaragaman genetik pada varian-varian yang

akan di objek seleksi oleh alam. Permasalahan itu terpecahkan setelah T.H

Morgan dan kawan-kawan meneliti mutasi pada lalat buah Drosophilia. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa proses mutasi menyuplai bahan mentah

genetik yang menyebabkan terjadinya keanekaragaman genetik di mana

nantinya seleksi alam bekerja. (Dobzhansky, 1970).

58

Implikasi dari teori evolusi melalui alam ini sangat luas, tidak hanya

mencakup bidang filsafat namun juga sosial ekonomi, dan budaya:

a. Penggantian cara pandang bahwa dunia tidak statis melainkan berevolusi.

b. Paham creationisme berkurang pengaruhnya.

c. Penolakan terhadap theology kosmis.

d. Penjelasan "desain" di dunia oleh proses materialistis seleksi alam, proses

vang mencakup interaksi antara variasi yang tidak beraturan dan

reproduksi yang sukses bersifat oportunistis yang sepenuhnya jauh dari

dogma agama.

e. Penggantian pola pikir esensialieme oleh pola pikir polulasi.

f. Memberikan inspirasi yang disalahgunakan untuk tujuan yang tidak baik

seperti gerakan Nazi di Jerman, Musolini di Italia, kebijakan "eugenic" di

Singapura di masa Lee Kuan Yu, dan berkembangnya ekonomi liberal

yang dikemas dengan label Social-Darwinian.

Secara ilmiah, teori evolusi Darwin utama belum dapat dikatakan

runtuh, karena sebelum ditemukan bukti-bukti empiris yang bertentangan

dengan kesimpulan teori tersebut, maka pernyataan dalam teori itu masih

dianggap benar. Akan tetapi, sampai saat ini banyak kalangan masih

meragukan kebenaran teori itu terutama dari kalangan agamawan.

Saat ini, Indonesia kebanjiran buku-buku Islam yang diproduksi Dr.

Harun Yahya yang "menyerang" teori Darwin. Dari segi teologis ada

kekhawatiran bahwa teori Darwin akan mengusir Tuhan dari kehidupan,

namun Haidar Bagir, pakar filsafat Islam, tidak sepenuhnya sependapat

dengan Harun Yahya. Bagir (2003), menanggapinya dengan mengatakan

"Sikap kita terhadap keyakinan Darwinian mengenai sifat kebetulan dan

materialistik asal usul kehidupan yang terkandung dalam teori itu sudah jelas.

Kita tetap menolaknya. Tetapi tidak demikian halnya dengan kesimpulan

utama teori ini mengenai sifat-sifat evolusioner kehidupan. Karena betapa pun

demikian, tetap saja Tuhan bisa dipercayai sebagai Dzat di balik semua

gerakan evolusi itu...". 'Ientang prinsip survival of the littest, Bagir justru

59

membenarkannya dan kita harus mengambil hikmahnya, karena hal itu sesuai

dengan kenyataan sehari-hari dan tidak bertentangan dengan kandungan Al-

Qur’an.

Apa yang diperdebatkan tentang hipotesis akar pohon asal mula

keluarga manusia di atas oleh banyak ahli mulai dianggap tidak terlalu penting

untuk didiskusikan lebih jauh. Yakni, apakah nenek moyang manusia berasal

dari simpanse atau neadethal, adalah lebih bijak jika mulai diteliti faktor yang

mcnyebabkan manusia modern dapat bertahan lebih lama hingga kini dantidak

punah seperti simpanse atau neadethal. Menurut antropolog John Hawks dari

Universitas of Wisconsin-Madison (2010), lebih baik lcita mendiskusikan apa

yang membual kita dapat bertahan hingga kini. Apakah disebabkan oleh

kondisi fisik kita yang lebihtahan terhadap penyakit, ataukah keahlian manusia

dalam berkomunikasi, ataukah kebiasaan manusia yang suka berkumpul?

Penjelasan dari pertanyaan tersebut lebih bermanfaat untuk dikaji para ahli

karena akan menjelaskan perbedaan manusia dengan simpanse ataLl

neanderthal. Karena itu adalah tidak penting penting memperbedatkan apakah

manusia dari spesies yang sama dengan simpanse atau neadethal, meskipun

terdapat temuan inilah manusia secara genetik tidak jauh berbeda dengan

simpanse atau neadethal(Kompas, 15 Mei 2010).

Apakah manusia ada melalui penciptaan atau proses evolusi, keduanya

adalah dialektika pemikiran tentang asalmula manusia yang cemerlang. Kita

tidak boleh terjebak pada penjelasan kausal empiris tentang akar pohon

manusia long tanpa akhir. KIta tetap perlu melihat sisi lain berupa pelajaran

penting dari diskusi tersebut. Mengapa manusia dapat bertahan lebih kuat

dibanding makhluk lainnva dari proses, seleksi alam yang sedang

berlangsung?. Apakah melalui nilainilai kemanusian sehingga melahirkan

peradaban modern berupa peralatan-peralatan canggih ataukah memang secara

fisik lebih kuat dibandingkan makhluk lainnya? Ataukah karena keahllian

manusia dalam berkomunikasi dengan manusia lainnya manusia dalam

berkomunikasi dengan manusia lainnya sehingga perlbagai tantangan dan

rintangan alam mampu direkayasa dan dicarikan jalan keluarnya? Apa pun

60

jawabannya, kita tida k dapat menolak bahwa kemampuan manusia dalam

bertahan melewati seleksi alam melahirkan pelbagai produk peradaban

berharga (baik yang bernilai ositif dan negatif bagi kemanusiaan) yang patut

dijadikan pelajaran penting bagi setiap generasi manusia mendatang.

C. EVOLUSI BUDAYA DAN WUJUD PERADABAN DALAM

KEHIDUPAN SOSIAL-BUDAYA

Pada perkembangannya, kehidupan manusia modern muncul sejak

beberapa ratus ribu tahun terakhir sungguh hanea sekejap jika dibandingkan

dengan sejarah planet bumi yang sudah berusia 5 miliar tahun. Kita tidak

dapat mengganggu sistem bumi sccara keseluruhan, namun kita telah

memengaruhinya dengan menggunakan energi yang menyebabkan polusi

sewaktu membuat niakanan, tempat berteduh, dan sejumlah produk lainnya

bagi populasi dunk yang, meningkat kita melepas senyawa-senyawa lain yang

menyebabkan timbulnya lubang di lapisan ozon yang berfungsi melindungi

kita dari radiasi ultraviolet dan hita membakar bahan bakar yang

menyebabkan terbentuknya gas-gas panas yang tidak dapat keluar dari lapisan

atmosfer sehingga jumlahnya terus bertambah. Penambahan jumlah populasi

juga menambah beban bagi potensi pertanian dan kebutuhan lahan semakin

meningkat.

Hutan-hutan Uropis yang merupakan tempat tinggal bagi jutaan

spesies ditebang untuk pertanian, padang rumput, tempat tinggal, dan kawasan

industri. Bahan baku yang diambil dari permukaan bumi untuk menjaga

kestabilan ekonomi dari dunia yang sedang berkembang, dan kita mem-

perlakukan atmosfer, tanah, dan sebagai limbah yang dihasilkan

daripenggunaan energi dan barang-barang dalam kehidupan sehari-hari.

Melalui geologi masa lampau, kondisi di atmosfer, samudra, dan

biosfer untuk sebagian besar telah mengikuti perputaran alami. Sekarang

kegiatan-kegiatan manusia merupakan kekuatan yang penting yang

mendorong perubahan-perubahan di dalam lingkungan global. Kekuatan

pendorong dalam peradaban budaya manusia modern ini sangat dipengaruhi

61

oleh kemampuan akal pikiran dan budi daya manusia dalam mempertahankan

kehidupannya di planet bumi ini. Dengan meningkatknya populasi manusia di

planet bumi akan semakin menambah marak kehidupan terhadap lahan dan

sumber daya lainnya yang potensial dan strategis bagi kelangsungan hidup

kelompok-kelompok manusia yang pada suatu saat terjadi ketergantungan

terhadap lingkungan alam. Ketergantungan terhadap lingkungan alam akan se-

gera teratasi dengan meningkatnya budaya manusia dalam penguasaan ilmu

dan teknologi yang nantinya akan semakin jelas bagaimana manusia akan

berperilaku terhadap lingkcungan alam dan perubahan yang menyertainya.

Peradaban manusia dalam Perkembangan evolusi budaya dan adaptasi

biologis dimulai setelah ditemukannya api sebagai alat untuk memenuhi

berbagai keperluan dan keinginan. Api merupakan penemuan teknologi paling

awal yang membawa peradaban manusia pada kemampuan untuk mengubah

lingkungan binaan menjadi lingkungan binaan yang scsuai dengan kehendak

dan aspirasinya. Perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa evolusi

budaya lebih mendominasi adaptasi biologis manusia terhadap lingkungan

manusia. Terlebih lagi ketiha perkembangan teknologi sebagai bagian dari

perkembangan budaya yang paling menonjol. Akibat kemajuan yang pesat di

bidang ilmu pengetahuan dan telanologi menjadikan manusia kurang

menyadari pentingnya adaptasi terhadap lingkungan alam, karena dengan

teknologi manusia bisa mengatasi berbagai hal dalam bentuk relung dan

kondisi lingkungan tanpa memiliki kemampuanalami. Kita sudah dapat

menyaksikan bahwa manusia dapat berkeliaran di dasar samudra tanpa

memiliki insang seperti halnya ikan, atau bertamasya ke ruang angkasa tanpa

harusbersayap. Akibat perkembangan budaya, manusia karena peradaban yang

dibawanya dengan teknologi sebagai instrumenyang menyertainya menjadikan

pandangan manusia terhadap lingkungan alamiah mengalami perubahan yang

berarti.Dengan ilmu dan teknologi yang dimilikinya manusia telahmerasa

menguasai lingkungan, padahal kejadian yang sebenarnya lingkungan binaan

lingkungan binaan manusia jauh dari kekuasaannya.

62

Kemampuan manusia untuk menguasai lingkungan alam hanyalah

suatu impian atau khalayan yang kurang mendasar. Tidaklah etis bilamana ada

manusia yang mengatakan dengan bangganya telah menaklukkan lingkungan

alam yangberupa kawasan pegunungan, pantai, DAS, lautan, sumberdaya air,

serta bahan galian mineral. Bukankah semua potensi lingkungan alam tersebut

merupakan tanggung jawab kita sebagai pengelola sumber daya bumi demi

kemaslahatanumat manusia. Tidak banyak yang menyadari bahwa kehadiran

lingkungan alam beserta proses alam yang menyertainya merupakan amanah

terhadap manusia. Dalam pandangan geofilosofi, kehadiran manusia dengan

budayanya selalu dipandang sebagai pemelihara alam. Tetapi kini dengan

munculnya krisis lingkungan, manusia telah menjadi perusaknya. Manusia

telah mengubah perannya, berkat uluran tangan peradaban modern, dari

makhluk yang diturunkan dari langit dan hidup harmonis dengan bumi

menjadi sebuah makhluk ciptaan yang memandang dirinya sebagai yang

merangkak dari bawah dan kini menjadi pemangsa dan pembasmi yang sangat

mematikan.

Dalam pandangan Islam sebagai rahmatan seluruh alam semesta,

memandang manusia sebagai wakil (al-khalifah) Allah SWT. di atas bumi dan

secara eksplisit Al-Qur'an menegaskan, "Sesungguhnya Aku hendak

menjadikan seorang wakil (khalifah) di muka bumi" (Al-Baqarah: 30). Lebih

jauh lagi, kualitas kewakilan ini disempurnakan dengan kualitas kehambaan

(al-’ubudiyyah) kepada Allah SWT. Manusia adalah hamba Allah dan

karenanya harus menaati-Nya. Sebagai khalifah Allah, manusia harus aktif di

dunia, memelihara keharmonisan lingkungan alam dan menyebaruaskan

berkah dan karunia karena ia sehubungan dengan kedudukan manusia sebagai

ciptaan yang terdidik dan berbudaya di dunia yang sementara ini merupakan

perantara. Seperti halnya Allah SWT. memelihara dan mengasuh dunia,

manusia sebagai wakil-Nya juga harus memelihara dan mengasuh dengan

kasih sayang, keharmonisan terhadap: litosfer, atmosfer, tanah lahan, mineral,

energi, serta air, di mana ia memainkan peran penting. Fungsi pemeliharaan

terhadap lingkungan alam merupakan kesalahan manusia sebagai pemegang

63

amanah ketika bersaksi di hadapan Sang Pencipta. Allah SWT menunjukkan

hal ini dalam ayat yang terkenal, ”Bukanlah Aku ini Tuhanmu? Mereka (yait,

anggota kelompok manusia) menjawab, betul Engkau Tuhan kami, kami

bersaksi” (al-A’raaf : 172). Menjadi masyarakat manusia sebagai makhluk

yang berbudaya dan terdidik berarti menyadari akan tanggung jawab yang

melekat dalam status "wakil Allah SWT" Dalam ayat-Nya bahwa Allah SWI'.

telah menundukkan (sakhhara) lingkungan alam bagi manusia sebagaimana

termuat dalam ayat, ”Apakah kamu tiada melihat bahwa Allah menundukkan

bagimu apa yang ada di bumi dan bah tera yang belayar di lautan dengan

perintah-Nya” (al-Hajj: 65) tidaklah berarti bahwa dengan perkembangan

peradaban di bidang ilmu dan teknologi manusia semena-mena melakukan

eksploitasi terhadap lingkungan alam/semesta daya bumi (apa yang ada di

bumi). Dengan ayat itu dimaksudkan, bahwa domunasi atas segala apa yang

ada di bumi diperbolehkan bagi manusia sejauh itu sesuai dengan hukum-

hukum Allah pada sifat-sifat dasar dinamika kebumian bahwa lingkungan

alam. Secara makro, dapat diartikan bahwa eksplotasi sumber alam itu lebih

ditekankan pada kemaslahatan masyarakat/ umat manusia.

Namun apa yang banyak terjadi di sekitar kita saat ini, bahwa manusia

mulai bisa hidup dan merasa aman dalam lingkungan alam yang sudah

diubahnya menjadi lingkungan binaan dan secara budaya telah menjauhkan

kepekaan manusia terhadap risiko yang dapat ditimbulkannya maupun risiko

proses kebumian yang menyertainya. Perlakuan terhadap sumber daya alam

kebumian ini harus menekankan pada kemampuan daya dukung alam;

lingkungan di mana diperbolehkan untuk dimanfaatkan sebagaimana adanya.

Kepekaan manusia dalam dimensi penghambaan kepada Allah SWT, serta

dimensi kewakilan-Nya di bunii ini mulai luntur dan makin bias dengan

kemajuan peradaban modern. Manusia semakin tidak menyadari bahwa dalam

setiap perencanaan dan pelalaanaan pembangunan terdapat dimensi

perwakilan (al-khalifah) dan kehambaan (al’-ubudiyyah) serta adanya proses

perubahan alam (atmosfer dan litosfer) di dalamnya. Perubahan lingkungan

alam menjadi lingkungan hinaannya selalu dimulai dengan munculnva

64

kesempatan yang lebih baik dan mapan. Kerana itu di balik kesempatan yang

lebih baik dan mapan. Karena itu di balik kemapanan kesempatan itu manusia

hanya mampu memandang berbagai manfaat dari manipulasi terhadap

lingkungan alam dengan berbagai potensi sumber daya kebumian yang

terkandung di dalamnya. Setiap manusia memiliki keinginan dan kehendak

untuk mengelaploitasi lingkungan alam, bayang-bayang risiko selalu tertutup

rapat-rapat, sehingga kemungkinan muncul ancaman baik dari proses alam

kebumian maupun lingkungan binaannya kurang mendapat perhatian yang

proporsional.

Bencana alam merupakan peristiwa atau kerugian/kehilangan secara

mendadak karena proses alam. Terdapat tiga unsur dalam bencana alam yaitu,

pertama adalah unsur kerugian/kehilangan; Kedua, unsur dadakan sehingga

manusia tidak mempunyai waktu untuk menghindar serta Ketiga, adalah unsur

proses alamiah. Unsur kerugian atau kehilangan dapat berupa kehilangan jiwa

manusia, harta benda, budi daya manusia, kerusakan lingkungan, juga dapat

berupa hilangnya aset nasional yang potensial. Unsur dariakan yang dimaksud

adalah dalam hal yang menyangkut kcrugian yang hilangnya aset nasional

yang potensial. Unsur dadakan yang dimaksud adalah dalam hal yang

menyangkut kerugian yang ditumbulkannya.

Dari perkembangan peradaban budaya, manusia telah mengenal apa

yang disebut dengan bencana alam. Dilihat dari kacamata geologi, bencana

alam merupakan proses alam kebumian, tetapi yang berjalan sangat cepat

dengan ukuran manusia yang di dalamnya terdapat unsur manusia. Pada

dasarnya terdapat dua jenis proses alam yang dapat mengakibatkan bencana

alam. Proses alam yang bersumber dari dalam bumi atau juga disebut proses

alam asal dalam atau proses endogen, dan yang bersumber di atmosfer atau di-

sebut juga proses asal luar atau proses eksogen. Yang termasuk dalam proses

endogen adalah gempa bumi dan letusan gunung api. Gempa bumi dapat

menimbulkan guncangan dan pergeseran pada permukaan. Bila akumulasi

energi melebihi kondisi elasto-plastis, bahkan ke kondisi runtuh maka energi

akan menimbulkan getaran yang menyebar melalui tanah dan batuan ke

65

permukaan bumi menjadi gempa tektonik yang dahsyat dan memorak

porandakan semua aktivitas yang dikenainya. Bilamana hat ini terjadi di

perairan samudera, maka akan terjadi gelombang tsunami yang sangat

berbahaya bila dekat dengan kawasan pantai yang padat dengan aktivitas

budaya manusia, seperti yang telah terjadi di Aceh, 26 Desember 2004 yang

lalu.

Aktivitas gunung api merupakan fenomena yang jarang diperhatikan

banyak orang kecuali para saintis bidang vulkanologi maupun fisika gunung

api. Bahan padat hasil erupsi baik berupa aliran lava, penumpukan kubah lava,

bahan piroklastik merupakan materiil-materiil yang sangat merusak bila

mengenai kawasan budaya manusia di lereng-lereng gunung api. Guguran

kubah lava yang menyebabkan awan bersuhu tinggi dan bergerak sangat cepat

merupakan bahaya yang sangat fatal terhadap kehidupan manusia maupun

lingkungan di lereng gunung api. Demikian juga bila terjadi banjir lahar

dingin yang bersifat merusak pada aliran yang dilewatinya.

Gejala eksogen ialah hujan yang berlebihan misalnya (atau sebaliknya,

lcekeringan), serta angin kencang. Di kawasan yang berlereng curam dengan

kestabilan batuan dan tanahnya tidak baik, kemudian bila akumulasi air dalam

tanah berlebihan sering terjadi longsoran, runtuhan yang merupakan gejala

yang wajar. Demikian juga bila tcrjadi kelebihan massa air dan curah hujan,

sering menimbulkan banjir baik banjir genangan maupun banjir

bandang/banjir kiriman. Bencana kekeringan yang pada gilirannya dapat

menjadi penyebab paceklik dan kelaparan, penyakit, dan juga kebakaran.

Angin kencang atau angin ribut dapat menimbulkan bencana. Gelombang air

laut pasang dapat pula ditimbulkan oleh angin yang meniup kuat.

Semua ini menyangkut gejala alam yang pada hakikatnya merupakan

proses alam yang wajar-wajar saja. Proses alam akan menjadi sebuah bencana

alam bilamana proses alam tersebut mengenai semua aktivitas budaya

manusia. Apakah aktivitas itu di kota, desa, kawasan pegunungan, kawasan

pantai, daerah kantong-kantong kemiskinan atau daerah dengan akses

ekonomi yang tinggi atau wilayah yang mempunyai aset nasional. Bencana

66

alam yang melanda bumi Akhir-akhir ini hendaknya menjadikan kita sadar

betapa tidak berdayanya manusia terhadap lingkungan alam.

Kenyataan menjadi jelas bahwa lingkungan alam kebumian dan

lingkungan binaan manusia memiliki berbagai potensi bencana alam, seperti

gempa bumi tektonik, tsunami, bencana awan panas, tanah longsor, banjir

bandang/banjir genangan, angin kencang, badai salju yang sangat Fatal ter-

hadap perkembangan budaya manusia. Hal ini terkadang lepas dari sorotan

pada saat manusia merencanakan berbagai kegiatan hidupnya. Ilmu

pengetahuan dan teknologi yang dibanggakan dan diharaphan oleh manusia

untuk dapat melindungi dirinya dari ancaman bencana alam justru me-

nimbulkan berbagai bentuk gangguan terhadap lingkungan maupun ekosistem.

Pada gilirannya, gangguan dan degradasi lingkungan akibat penerapan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang tidak tepat telah menimbulkan dampak

negatif terhadap peri kehidupan dan peradaban lingkungan budaya manusia itu

sendiri. Sebagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi tentang tata cara

pembuangan sampah/limbah padat pacla media geologi tertentu perlu

perlakuan khusus. Namun demikian, kesalahan dalam manajemen dan

teknologi tersebut mengakibatkan satu rangkaian komunikasi budaya

masyarakat Leuwigajah (Cimahi) harus hilang seketika (kasus longsoran di

lokasi penimbungan sampah di Leuwigajah, Cimahi, pertengahan Februari

2005 lalu).

Dalam dua dasawarsa terakhir hingga memasuki abad ke-21, tanpa

disadari jumlah manusia, harta benda/aset nasional yan menjadi korban

bencana alam ternyata meningkat, meskipun dari bencana alam ternyata

meningkat, meskipun dari kacamata geologi maupun klimatologi, lingkungan

geologi di masa kini (kuarter, kurang dari 1,8 juta tahun yang lalu hingga

sekarang ini) tidak menunjukkan suatu perubahan yang mendasar. Tetapi jika

mengaca betapa dasyatnya bencana alam seperti gempa bumi di Peru, Kobe,

Meksiko, tsunami di flores, Banyuwangi, gempa bumi di Liwa, gampa bumi

dan tsunami di Pangandaran dan Cilacap (Juli 2006), awan panas Merapi,

banjir di Pantura, Jakarta, Aceh, dan Sumatera Utara; tanah longsor di jawa

67

Barat, tanah longsor dan banjir bandang di Bohorok dan Pacet (Jawa Timur),

tanah longsor di Purworejo, banjir di berbagai tempat di Sumatera-Kalimantan

dan Jawa, gempa bumi di lran, gempa bumi di Nabire, tsunami di Biak, gempa

bumi di Alor, gempa bumi dan tsunami gempa bumi dan tsunami di Aceh dan

Sumatera Utara; gempa bumi Bantul dan Klaten, longsor di Solok, gempa

bumi di Mandailing Natal Sumatera Utara, hingga gempa bumi Haiti,

merupakan peningkatan bencana alam yang nyata baik ditinjau dari segi

kejadiannya maupun jumlah korban manusia yang ditimbulkannya. Lebih

berat lagi ketika kita mendapati kenyataan bahwa jumlah penduduk bumi juga

semakin meningkat. Belum lagi peristiwa semburan lumpur panas di sekitar

sumur eksplorasi Banjar Panji-1 milik Lapindo Brantas di Porong, sebagai

bentuk aktunulasi kekuatan yang kurang diantisipasi dengan kemampuan

teknologi eksplorasi sumber daya migas yang andal. Akibatnya, keperluan

manusia akan lingkungan alam juga semakin meluas dan makin meningkat

baik ditinjau dari segi kebutuhan akan ruang untuk hidup maupun kebutuhan

akan sumber daya yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, bila

keperluan manusia akan ruang hidup dan sumber daya bumi yang terkandung

di dalamnya tidak dipertimbangkan dengan potensi sumber bencana

kebumian, risiko yang akan ditimbulkannya semakin fatal dan sangat

berbahaya.

Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber

daya bumi dan sumber bahaya kebumian. Karena itu, sudah sepantasnyalah

pertimbangan terhadap risiko bahaya kebumian ini harus mendapat perhatian

saksama di Indonesia. Apalagi bila dikaitkan dengan adanya pusat-pusat

pertumbuhan wilayah strategis yang sebagian berada di kawasan rawan

bahaya keilmuan. Bila perhatian terhadap sumber bahaya kebumian beserta

risikonya lolos dari berbagai rencana pembangunan nasional maupun daerah,

maka bukan hanya manusia yang semakin peka terhadap bencana kebumian,

bahkan proses pembencanaan alam yang bersumber dari kelalaian peradaban

manusia terhadap aneaman bencana kebumian tidak dapat dihindarkan.

68

Akhirnya evolusi budaya manusia akan membawanya kepada

perubahan lingkungan awal secara global, karena kita mengetahui bahwa

perubahan-perubahan akan membawa konsekuensi yang baik maupun yang

buruk. Peri kehidupan manusia modern saat ini sedang berada pada suatu titik

kulminasi yang menentukan proses evolusi sejarah peradaban modern, yaitu

apakah terjatuh pada kondisi semakin memburuk atau sebaliknya semakin

membaik. Kondisi nyata yang sedang kita alami saat ini adalah meluasnya

kemiskinan, kelaparan, ketidaksehatan, tunaaksara dan berlanjutnya kerusakan

ekosistem, global warming, dan seterusnya. Demikian juga kesenjangan antara

kaya dan miskin makin berlanjut.

Karena itu, satu-satunya alternatif jalan untuk menjamin adanya masa

depan yang lebih ainan dan lebih sejahtera bagi kita adalah mengembalikan

fitrah manusia pada kekhalifahan dan kehambaan kepada Tuhan dengan

konsekuensinya melakukan pembangunan nasional/daerah yang ramah ling-

kungan kebumiannya dalam mengupayakan kebutuhan pokok umat manusia,

memperbaiki taraf hidup semua orang dan mengupayakan perlindungan serta

pengelolaan ekosistein yang lebih baik dan bijaksana. Dalam menjalankan se-

mua ini kita harus mempunyai suatu visi yang jauh ke depan demi kesatuan

dan keutuhan bangsa/umat manusia serta kelestarian pembangunan yang

berwawasan lingkungan kebumian. Di samping itu, kita perlu memandang

perlunya solidaritas kemanusiaan dalam pelaksanaan pembangunan. Umat

manusia adalah satu, oleh karena itu dalam transformasi kebudayaan untuk

mengantisipasi berbagai perubahan termasuk di dalamnya risiko bencana

kebumian, degradasi lingkungan global, peledakan populasi, memerlukan

solidaritas kemanusiaan yang berkelanjutan untuk evolusi budaya manusia.

Pada dasawarsa terakhir ini, terlihat bahwa interaksi dinamis antara atmosfer

dan litosfer yang berimplikasi pada risiko kehidupan dan hasil budaya bangsa

ini telah menunjukkan satu proses pembelajaran yang sangat mendalam

tentang makna kehadiran manusia sebagai khalifahtull fill ardh. Ke mana

hakikat kehidupan budaya manusia dan budaya bangsa ini dibawa dalam

lingkungan yang sangat dinamis yang melibatkan semua elemen/unsur

69

atmosfer dan litosfera bergerak mengikuti ritme sunatullah-Nya. Semoga kita

mampu mengambil pelajaran dari semua kejadian itu untuk tahun yang akan

datang, dan selalu berpikir bahwa "tidaklah Aku ciptakan ini dengan sia-sia".

D. DINAMIKA PERADABAN GLOBAL

Mobilitas antar bangsa seperti saat ini menjadi salah satu ciri kuat

perkembangan masyarakat global. Mobilitas yang dilakukan atas alasan apa

pun telah menjadi fenomena penting yang menandai terbukanya isolasi-isolasi

rutinitas kehidupan di pelbagai belahan dunia. Namun demikian, tidak dapat

disangkal pula bahwa berbagai model danberembangan mobilitas antar bangsa

tidak lagi mengenal adanya batasan spasial, teritorial kedaulatan suatu bangsa,

ruang, maupun waktu. Berbagai pergerakan manusia yangberlangsung dapat

dikatakan bergerak di luar kendali ruang dan waktu.

Dalam konteks kehidupan global, tantangan utama yang dihadapi

banyak negara adalah terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan sosial,

budaya dan politik, termasuh kelimpangan pertumbuhan ekonomi yang

berimbas pada persaingan ketat pasar tenaga kerja secara global. Globalisasi

dengan demikian, merupakan dunia terbuka yang benar-benar telah

meleburkan sekat-sekatyang membatasi pergerahan manusia dari dan berbagai

negara. Sehingga hampir menghilangkan ruang, waktu yang menjadi

identifikasi identitas sebuah bangsa. Dalam konteks tersebut pealing

memberikan ruang besar bagi terjadinya dialog yang menjembatani

kompleksitas persoalan budaya. Dengan demikian, mampu menjadi katalisator

pertumbuhan peradaban. Jalan paling yang perlu dilakukan adalah melalui

jalur pendidikan. Melalui pendidikan dibuka ruang mahaluas bagi

berlangswngnya berbagai mobilitas, baik dalam konteks praksis maupun

teoretis. Keterbukaan ruang mobilitas tersebut pada gilirannya menciptakan

persinggungan peradaban dan pemikiran yang bersifat dialogis.

Perbincangan tentang globalisasi (terlebih dibaca dari perspektif negeri

periphery istilah Wailerstein) akan mengambil dua pokok pertanyaan: Apa itu

globalisasi dan bagaimana dampaknya bagi kehidupan keseharian kita?

70

Globalisasi sebagai sebuah konsep akan mengacu pada intensifikasi kesadaran

sebuah dunia secara keseluruhan. Perspektif ini mengingatkan pada

perdebatan klasik (Marx-Weber), yakni antara kekuatan dominasi ekonomi

dan pluralisme sosiokultural. Dalam praktiknya, globalisasi adalah terciptanya

sebuah dunia yang tanpa batas. Sebuah "transnasional ruang". Tak berlebihan

bila Giddens (1990), menyebut bahwa masyarakat kitadewasa ini merupakan

masyarakat ”pengembara dalam ruang dan waktu.” (of Bauman, 1998).

Kekuatan ekonomi yangdimotori oleh kapitalisme,

menumbuhkembangkan globalisasi produksi dan konsumsi. Sektor produlai

numcul dengan tumbuhnya industri-transnasional, yang merambah mendekati

pasar dan upah buruh murah. Proses ini menciptakan transnasionalisasi

kapital, dan sekaligus melokalisasi problem sosial Maka, apa yang kini kita

kenal sebagai Neo-Liberalisme pun merambah dunia keseharian kita,

memformat proses kebangsaan kita, dan membuat runtuhnya bangunan sosial

lama. kekuatan kapital lelah menggulung tatanan sosial. Berbagai kasus

kebijakan publik tentang politik swastanisasi pendidikan, adalah contoh nyata

betapa dunia sosioikultural berhadapan langsung dngan kekuatan pasar.

Negara pun seperti tak bisa berbual banyak terhadap pengaruh deras

kaphalisme.

Pengaruh sektor produksi internasional yang berkembang menciptakan

pula tingkah laku konsumtif di berbagai belahan bumi. Bahkan, negeri

periphery menjadi ladang subur bagi pertumbuhan tingkah laku konsumtif,

yang sering tampil sebagaigaya hidup. Scott Lash menyebutkkan sebagai

proses estetikanisasi dunia kehidupan global.

Globalisasi sektor produksi dan konsumsi secara nyata

membawa sebuah situasi baru: polurisierung and strafizierung arme

Wltbevoekrung in globalisierte Reiche und lokalisierte Arme (polarisasi dan

stratifikasi penduduk dunia dan globalitas kaum kaya dan lokalitas kaum

miskin) (Beck,1997: 101). Dengan bahasa lain bahwasanya akses global hanya

dapat tersentuh oleh kaum kaya, sementara kaum miskin

terkotak-kotak dalam permasalahannya sendiri (Anjal AnakBerhadapan

71

dengan hukum (ABH), warga miskin kota, PSK, pemulung, dan lain-lain),

tanpa memiliki daya dan kuasa untuk terlibat aktif dalam kemajuan dunia

global. Polarisasi ekonomi tersebut dibarengi pula oleh adanya situasi dunia

yang terfragmentasi. Penyebabnya adalah, tidak hanya akibat dari pergeseran

sektor produksi menuju sektor konsumsi, namun lebih dahsyat lagi adalah

terjadinya konsekuensi penalaran modernitas. (Giddens 1990; Beck 1986)

Konsekuensi-konsekuensi dari penalaran dan praktik modernitas

tersebut menciptakan impact-impact yang tak terdeteksi atau tak teramalkan

sebelumnya. Risiko adalah kata kunci untuk mendeskripsikan proses

kerusakan atau biaya. Beck dalam bukunya ”Risikogesellschaft : Auf dem Weg

in eine andere Moderne” (1996)menyebut proses modernitas semacam itu

sebagai "masyarakat risiko". Individuasi adalah proses sosial yang tak

terelakkan, yang menghidupi dan dihidupi oleh roh modernitas.

Spirit modernitas yang menyertai proses globalisasi tersebut kiranya

juga menghantam dunia kehidupan warga masyarakat. Jika di negeri-negeri

"pusat" terjadi proses individuasi yang luar biasa, demikian pula masyarakat

negeri-negeri "periphery" mengalami guncangan-guncangan luar biasa pada

tatanan sosialnya. Periode transisi ini ditandai oleh proses disembedding of

social system. Akibatnya, sistem komunikasi sosial masyarakat pada situasi

yang kaotis dan semakin hilangnya nilai "kepercayaan" institusional dan in-

dividual. (cf Luhman, 1999).

Pemahaman di atas memberikan makna bahwa proses intensifikasi

ruang-ruang transnasional, problem-problemnya, konflik, dan peristiwa selalu

berjalan dalam logika "global". Inilah yang kemudian disebut proses

globalisasi. Dimensi-dimensi tersebut tak pelak mengerucut pada soal bahwa

semuanya dimotori oleh kekuasaan pasar yang berideologi neoliberal

(globalisme).

Dalam era globalisasi dan persaingan internasional yang ketat, daya

saing bangsa Indonesia kerap disalip bangsa lain karena kita terlena dari

membangun bangsa yang kuat dan mandiri. Adalah John Kendrick (1573-

1624), di akhir dasawarsa 60-an yang mengingatkan kepada kita bagaimana

72

pentingnya pembangunan sebuah bangsa yang didasari oleh optimalisasi peran

sumber daya manusia (human stock), setelah sekian lama kita berpikir bahwa

capital stock merupakan aspek terpenting dalam proses perubahan peradaban

manusia. Pergeseran pemikiran tersebut berimplikasi pada penentuan target-

target pembangunan yang harus dicapai oleh suatu negara di dunia. Oleh

karenanya, indeks mutu sumber daya manusia pun dijadikan indikator

strategis untuk membangun daya saing suatu bangsa. Dalam konteks itu, maka

sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi menjadi sarana yang efektif untuk

mendongkrak peraihan indeks mutu sumber daya manusia. Untuk menyiapkan

sumber daya manusia tersebut, keberadaan dunia pendidikan terutama

pendidikan tinggi menjadi hal yang strategis untuk merepresentasikan tingkat

ketercapaian pembangunan ketiga pada sektor itu.

E. PROBLEMATIKA PERADABAN PADA KEHIDUPAN MANUSIA

Awal kelahiran modernisme merupakan sebuah proses revolusi

peradaban tentang cara pandang manusia terhadap realitas. Melalui fisika

Descartes, ia membangun sebuah wacana besar tentang metode pemahaman

terhadap realitas yang bertumpu pada konsep democritus. Descrates, membagi

realitas ke dalam atom-atom penyusun realitas dan kemudian dicari sistemnya

terhadap keseluruhan. Bersama para pengikutnya, kemudian ilmu fisika

menjelma sebagai bentuk ideologi besar modernisme, bahkan kemudian

mampu meruntuhkan dominasi gereja yang kala itu menjadi 'satu-satunya'

tafsir kebenaran terhadap segala macam realitas. Alam dalam pemaknaan

Descartes adalah kurang lebih dipahami scbagai sesuatu yang 'langsung jadi'

dan tidak memiliki perubahan, sistemnya tetap, begitu juga semua elemen

pembentuk alamnya.

Setelah konsepsi Descartes memengaruhi segala macam kehidupan,

termasuk tatanan sosial melalui pemikiran F. Bacon (1561-1626) dan Comte

(1798-1857), berlanjut kemudian alam pikiran modern mengenal seorang

Lamarck (1744-1829) dan Charles Robert Darwin (1809-1882) dengan teori

evolusinya di bidang biologi. Walaupun keduanya sejatinya berbeda dalam

73

memaknai proses evolusi, namun konsep evolusi ini merupakan sebuah revisi

terhadap konsep realitas dari sumbangsih Descartes yang menganggap alam

sebagai sebuah sistem yang tetap. Ternyata ide Darwin tersebut kemudian

mendapat dukungan dari generasi berikutnya, yaitu Karl Marx (1818-1883)

yang dikenal sebagai seorang Darwinian Sosial yang menganggap bahwa

prosespergantian sosial pun selalu melalui proses seleksi alam. Bahkan adanya

konflik adalah sesuatu yang niscaya sebagai upaya untuk keluar dari

kerumitan sosial sekaligus menjadi pemenang dari proses seleksi alam

tersebut.

Berikutnya adalah ilmuwan Sir Isaac Newton (1643-1727), melalui

Newton perkembangan ilmu fisika mengalami proses penyempurnaan.

Dengan demikian, realitas yang terdiri atas sistem dan elemen pembentuk

sistem (Descrates), dan realitas yang mengalami sebuah evolusi sccara terus-

menerus (Darwin) diterangkan dalam konsepsi berbeda yang dikenal dengan

konsepsi melanika. Mekanika Newton atau sering juga disebut dengan

mekanika klasik menjelaskan adanya fenomena benda yang relatif besar,

dengan kecepatan relatifrendah, tetapi juga dapat digunakan sebagai pendekat-

an fenomena benda mikroskopis. Secara makro, penjelasan mekanika Newton

tersebut membuka wacana besar yang membentuk peradaban modern semakin

sempurna. Melalui Descartcs, Darwin, dan Newton fondasi modernisme se-

makin kukuh. Pemikiran ketiga tokoh tersebut menemukan bentuk

fungsionalnya saat perkembangan alat-alat teknologi semakin meluas dan

mendunia, dimulai saat revolusi industri pada akhir abad ke-17.

Bergulirnya percepatan penggunaan teknologi canggih saat ini tidak

perlu selalu dimaknai sebagai keadaan yang negatif (Fritjof Capra, 2004).

Sebagaimana dalam kebijaksanaan klasik Cina, konsep

"krisis” menggunakan kata weijiyang terdiri dari huruf-huruf yang berarti

"bahaya" dan "kesempatan". Artinya, saat terjadi krisis sesungguhnya terjadi

proses transisi, yaitu selain mengandung bahaya juga mengandung

kesempatan yang bisa membuat kondisi awal manusia menjadi lebih baik.

74

Dilihat dari proses kelahiran modernisme sebelumnya, bisa dimaknai

bahwa peran sains (atau lebih tepatnya natural science) dalam menentukan

arah peradaban manusia sangat besar. Demikian juga kontribusi para saintis

yang memiliki kompetensi filosofis ternyata terbukti mampu menggiring

sejarah umat manusia. Begitu juga peran teknologi, di mana ketika sains

memiliki peran besar dalarn proses pembentukan wacana besar yang menjadi

fondasi 'kebenaran', teknologi sebagai bentuk aplikasi sains memiliki peran

besar dalam pembentukan realitas sosial. Secara sederhana dapat dikatakan

bahwa para saintis berwacana dan para teknolog membumikan pemikiran

mereka dalam bentuk peralatan yang berguna bagi kehidupan manusia.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana peran Sains dan teknologi dalam

penentuan bentuk peradaban baru pasca modernisme? Fritjof Capra menyitir

Toynbee tentang proses kelahiran Minoritas Kreatif sebagai nukleolus penentu

arah peradaban sebagai berikut:

Budaya runtuh karena kehilangan fleksibilitas. Pada waktu struktur

sosial dan pola perilaku telah menjadi kaku sedangkan masyarakat

tidak lagi mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah, per-

adaban itu tidak akan mampu melanjutkan proses kreatif evolusi

budayanya. Dia akan hancur dan secara berangsur mengalami

disintegrasi.

Sementara peradaban-peradaban yang sedang berkembang

menunjukkan keberagaman dan kepandaian yang tak pernah berhenti,

peradaban-peradaban yang berada dalam proses disintegrasi

menunjukkan keseragaman dan kurangnya daya temu. Hilangnya

fleksibilitas dalam masyarakat yang mengalami disintegrasi ini disertai

dengan hilangnya harmoni secara umum pada elemen-elemennya,

yang mau tak mau mengarah pada meletusnya perpecahan dan

kekacauan sosial.

75

Namun demikian, selama proses disintegrasi yang menyakitkan itu,

kreativitas masyarakat-kemampuannya untuk menghadapi tantangan-tidak

hilang sama sekali. Meskipun arus budaya telah menjadi beku dengan

melekatkan diri pada pemikiran-pemikiran mapan dan pola-pola perilaku yang

kaku, minoritas kreatif akan tetap muncul ke permukaan dan melanjutkan

proses tantangan dan tanggapan itu. Lembaga-lembaga sosial yang dominan

akan menolak menyerahkan peran-peran utama kepada kekuatan-kekuatan

budaya baru ini, tetapi mereka mau tak mau akan tetap runtuh dan mengalami

disintegrasi, dan kelompok minoritas kreatif itu mungkin akan mampu

mentransformasikan beberapa elemen lama menjadi konfigurasi baru. Proses

evolusi budaya ini akan terus berlanjut, tetapi berada dalam kondisi-kondisi

baru dan dengan tokoh-tokoh baru pula. (Titik Balik Perdaban, Fritjof Capra,

1981)

Melalui penjelasan Toynbee di atas, peradaban baru manusia post-

modern mulai terbentuk secara perlahan. Bahkan setelah ada interaksi antara

matematika dengan teknologi elektronika, kita kemudian mengenal bentuk

aplikasi teknologi yang dikenal dengan teknologi komputer, yang jauh me-

ninggalkan konsep mekanika Newton. Dunia kemudian juga mengenal adanya

pengaruh filosofis dari konsep fisika kuantum terhadap realitas sosial, yaitu

ketika teknologi komputer berinteraksi dengan realitas sosial, sehingga terlahir

sebuah teknologi informasi yang bergerak dalam logika kuantum yang

diprediksikan oleh Tofler akan menjadi tulang punggung benluk Peradaban

baru pengganti modernisme.

Sclain itu, kita mengenal bagaimana konsep cepat lambat mengalami

perubahan secara drastis. Juga konsep keterbatasan ruang yang bisa diatasi

sehingga konsep jauh dan dekat secara filosofis juga mengalami perubahan

makna. Dengan demikian, jaring-jaring Cartesian akan sulit untuk

menggambarkan karena konsep ruang dan waktu ini sudah berubah secara

filosofis. Bahkan perbedaan konsep nyata dan imajiner yang juga kemudian

diklaim oleh dunia IT akan segera teratsi akan semakin meninggalkan jaring-

jaring Cartesian sebagai satu-satunya yang bisa menggambarkan kenyataan.

76

Juga dengan berkembangnya pemetaan DNA, rekayasa genetika yang

meninggalkan konsep evolusinya Darwin. Sekali lagi terbukti, pengaruh

dominan saintis dan teknolog ternyata masih sangat dominan untuk

menentukan masa depan umat manusia. Apalagi setelah ilmuwan sosial

mahzab kritis dengan post-modernismenya terjebak dalam wacana dan definisi

semata, serta para teolog dan ahli agama yang terus disibukkan dengan

perdebatan liberal dan konservatifnya, disadari atau tidak para saintis dan

teknolog akan terus menjadi Penentu arah peradaban.

Ketika Descartes merumuskan konsep geometri analitis mungkin tidak

berpikir tentang implikasi moral dan sosial dari konsepnya tersebut. Demikian

juga seorang Darwin dan juga Newton. Apalagi melihat konsep

reduksionisnya Descartes yang kemudian mengilhami pembagian bidang spe-

sialisasi ilmu yang di masa peradaban Islam dianggap belum begitu penting.

Sehingga, pengaruh pemikiran yang mereka berikan terhadap perubahan sosial

bisa jadi tidak terpikirkan sebelumnya. Dengan bahasa lain, ekses modernisme

terhadap tatanan sosial pengganti tatanan sosial 'Abad Kegelapan' bisa jadi

tidak pernah mereka pikirkan bahkan tidak pernah mereka bayangkan. Apalagi

dampak negatifnya terhadap kenyataan sosial.

Adanya 'penyesalan' umat manusia terhadap proses peradaban manusia

yang merusak lingkungan dan tatanan sosial akses dari modernisme perlu

disikapi dengan bijak. Adalah sebuah kebutuhan mutlak bagi kita semua saat

ini agar para komunitas saintis dan teknolog terus mempertimbangkan dan

mengembangkan penerapan sains dan teknologi. Namun demikian, seluruh

kemajuan teknologi perlu terus mempertimbangkan konsekuensi ekologi,

moral, dan sosial dari proses inovasi maupun inventori yang mereka lakukan.

Karenanya, sindiran, teguran, dan peringatan dari kalangan ahli ilmu sosial

dan juga teolog atau ulama perlu disikapi secara bijak oleh para saintis dan

telnolog itu sendiri.

Hal yang cukup memperhatikan adalah budaya pragmatis, egois

bahkan tertutup (elitis) di tengah masyarakat kita. Hal tersebut secara tidak

sadar, sedikit banyak adalah kontribusi dari kalangan saintis dan teknolog.

77

Pertanyaannya bagaimana kita mengembalikan sistem yang memungkinkan

terbukanya kembali sekat-sekat komunikasi antara sains dan teknologi, dari

pihak saintis dan teknolog tentunya, dengan disiplin ilmu dan spesialisasi lain

tanpa harus mcmandang bidang ilmu lain lebih rendah. Selain itu,

Kuntowidjoyo (1943-2005) juga mengusulkan pentingnya membangun sebuah

etika profetis di kalangan saintis dan teknolog, sebagainiana layaknya para

nabi yang memandang dirinya sebagai sosok pembebas umat manusia dari

segala penindasan, sebagai sosok yang mendedikasikan proses inovasi

daninventory-nya untuk pembangunan kembali hakikat kemanusiaan

yangnyaris musnah, dan juga sebagai para pengingat urnat manusia akan

kenyataan bahwa sejatinya mereka adalah makhluk Tuhan.

Oleh karena itu, setiap ilmuwan seyogianya mengemban misi kenabian

(profetik) yaitu dengan melakukan transmisi keilmuan untuk peradaban yang

lebih maju tanpa merusak tatanan kehidupan manusia dan ekologi lingkungan

hidup. Yakni dengan membangun pemahaman bersarna bahwa sejatinya ilmu

adalah untuk kemanusiaan (humanity) dan kemaslahatan bersama (common

good). Ilmuwan tidak saja menyelesaikan persoalan kehidupan, tetapi ia harus

turut andil memastikan nasib keberlangsungan hidup dan masa depan generasi

umat manusia ke depan. Dengan kebersamaan satu misi tersebut, para

ilmuwan diharapkan tidak lagi terjebak dalam sekat-sekat pembidangan

keilmuwan yang yang dan merusak tujuan mulia dari ilmu pengetahuan.

78

BAB 5

MANUSIA, KERAGAMAN, DAN KESETARAAN

A. HAKIKAT KERAGAMAN DAN KESETARAAN MANUSIA

Masyarakat majemuk seperti Indonesia, bukan hanya beraneka ragarn

corak kesukubangsaan dan kebudayaan suku bangsanya secara horizontal,

tetapi juga secara vertikal atau jenjang menurut kemajuan ekonomi, teknologi,

dan organisasi sosial-politiknya (Suparlan, 1979). Tanpa disadari oleh banyak

orang Indonesia, sebenarnya dalam masyarakat Indonesia terdapat golongan

dominan dan minoritas, sebagaimana yang terwujud dalam tindakan-tindakan

yang dilakukan terhadap mereka dalam berbagai interaksi baik interaksi sccara

individual maupun secara kategorikal baik pada tingkat nasional.

Sebagai bangsa yang memiliki keragaman etnis, agarna, dan budaya

yang luar biasa, Indonesia sering kali dijadikan ajang pernantauan bagaimana

proses-proses demokrasi, penerapan ide-ide pluralisme, dan multikulturalisme

dapat dilangsungkan. Persentuhan ragam budaya dan agama antarkelompok

masyarakatnya yang telah berlangsung sejak lama ini juga telah melahirkan

ragam konflik dan konsensus yang terjadi. Demokrasi yang oleh Robert Dahl

(1982), juga disyaratkan dengan terciptanya karakteristik pluralisme yang

kondusif bagi sebuah negara ini mendapatkan gimnasiumnya di Indonesia.

Sebelum RI merdeka pada 1945, penduduk yang menghuni wilayah

Nusantara dapat dikelompokkan ke dalam berbagai bentuk pengelompokan

sosial yang disebut suku bangsa, subsuku bangsa, maupun pengelompokan

sosial vang didasari oleh sistem penggolongan sosial lain bcrdasarkan satu

(atau lebih) unsur tertentu yang diperoleh secara askriptif (warisan), seperti

ras, agama, dan lain sebagainya. Pada hakikatnya, masing-masing kesatuan

sosial tersebut hidup dengan mengacu pada kebudayaan atau

subkebudayaannya masing-masing, yang saling bcrbeda satu dengan lainnya.

Bahkan lengkap dengan ‘aturan-aturan hukum’-nya sendiri, yang kemudian

hari dikenal dengan sebutan ‘hukum adat’. Maka, tidak mengherankan jika

79

para ahli menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

mewujudkan diri sebagai suatu masyarakat yang majemuk dan sudah menjadi

pokok pcrhatian dari para ahli tersebut untuk waktu yang lama.

Dengan kalimat mewujudkan diri sebagai Negara Kesatuan Republik

Indonesia atau NKRl pada hakikatnya setiap kelompok, golongan, suku,

agama dan yang berbeda satu dengan lainnya melebur dan bersepakat

membentuk kesukubangsaan yang satu, yaitu bangsa Indonesia. Karena itu,

setiap generasi bangsa berdiri satu dengan lainnya dengan sejajar. Semua suku

bangsa saling inemberikan potensi terbaik yang mereka miliki kepada Negara

Kesatuan RI. Untuk itulah kita harus membangun bangsa kita, dimulai dari

diri kita sendiri, untuk menjadi unsur terbaik yang bisa memberikan kiprah

gemilang menuju cita-cita besar para founding fathers kita. Kesetaraan, artinya

setiap gcnerasi melaksanakan pembangunan dan diberi kepercayaan penuh,

dihargai, dihormati, dan diberikan pengakuan dalam hal kemampuandan nilai-

nilai yang dimiliki. Dalam prinsip kesetaraan bahwasanya setiap individu,

organisasi, atau institusi yang telah bersedia menjalin kemitraan harus merasa

"duduk sama rcndah berdiri sama tinggi" dengan yang lain. Kedua belah pihak

yang bermitra mempunyai kedudukan yang sejajar dalam mencapai tujuan

vang disepakati. Bagaimanapun besarnya suatu institusi atau organisasi dan

bagaimanapun kecilnva suatu institusi atau organisasi, apabila telah bersedia

menjalin kemitman harus mcrasa sama dan sejajar. Karena itu, dalam

kemitraan asas toleransi, kerja sama, saling timbal balik, harmonis, dan

keterbukaan harus terus dijunjung tinggi. Dalam prinsip keselaman tidak boleh

terjadi ada satu anggota memaksakan kehendaknyakepada anggota yang lain,

misalnya merasa lebih terhormat atau lebih tinggi kedudukannya, sehingga

anggota atau komunitas lainnya merasa terdiskriminasi dan tertindas oleh

dominasi anggota atau komunitas lainnya.

Kesetaraan adalah komitmen bersama yang perlu untuk terus dipupuk

dan dikembangkan dalam proses berbangsa dan bernegara di NKRI kita.

Dengan prinsip kesetaraan tersebut diharapkan kita kembali memperlihatkan

jati diri dan harga diri sebagai bangsa (self-nation-esteem) menghadapi

80

pelbagai persoalan kebangsaan yang terus-menerus datang di setiap zaman.

Dengan prinsip kesetaraan kita bisa membangun kemitraan yang kukuh untuk

kemudian saling berinteraksi, bersosialisasi dan berelapresi satu dengan

lainnya.

B. KEMAJEMUKAN DALAM DINAMIKA SOSIAL DAN BUDAYA

Pada dasarnya, kemajemukan dalam masyarakat Indonesia dapat

dipahami sebagai bentuk perbedaan daya adaptasi antar kelompok-kelompok

yang berbeda secara ras, suku bangsa, agama, dan bahasa, sehingga

menjadikan kelompok-kelompok yang memiliki tingkat perkembangan

kebudayaan, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Dengan proses yang

demikian, dengan mudah dapat dipahami pada adanya ketidakseimbangan dan

kesenjangan yang dapat saja berlanjut ke arah pertikaian antarras, suku

bangsa, dan kelompok agama, yang di Indonesia populer dengan sebutan

masalah sara, yang jelas-jelas mengancam integritas Indonesia sebagai suatu

nation.

Dalam pandangan Thamrin Amal Thomagola, struktur mozaik

sosialbudaya yang tegak di Nusantara kita ini dapat dideskripsikan dalam tiga

aspek, yaitu: struktur kesukuan, distribusi wilayah agama, dan dari aspek

tingkat pendidikan. pertama, dari aspek struktur kesukuan, keseluruhan

struktur mozaik Nusantara ini terbelah menjadi dua bagian utama.

keterbelahan ini kurang lebih mengikuti garis-Wallace (Wallace Line) yang

terkenal itu ke dalam dua bagian, yaitu Indonesia Barat dan Indonesia Timur.

Teramati ada beberapa perbedaan pokok antara Pola Indonesia Barat dengan

Pola Indonesia Timur (selanjutnya disingkat dengan PIB untuk yang pertama,

dan PIT untuk yang disebut terakhir). Pertama, dari 656 suku di seluruh

Nusantara hanya ada seperenam (109 suku) di PIB sedangkan di PIT ada lima

perenam (547 suku). Dari jumlah yang disebut terakhir ini, tiga perlirna (300-

an suku) berdiam di Papua Barat. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa

keseragaman suku di PIT jauh lebih tinggi dari keragaman suku di PIB.

81

Kedua, ada delapan suku, yaitu suku Aceh, Batak, Minang, Sunda,

Jawa, Madura dan Bali, dari semibilan suku dominan di Indonesia ada di PIB

dan hanya satu berlokasi di PIT, yaitu suku Bugis. Sementara suku-suku

dominan lainnya, yaitu: Aceh, Batak, Melayu, Minang, Sunda, Jawa, Madura,

Bali, dan Bugis. Suku-suku tersebut dikatakan domain berdasarkan tiga

kriteria utama, yaitu: (1) jumlah proporsional; (2) punya kerajaan dan

masyarakat yang mapan di masa lampau; dan (3) menyumbangkan banyak

tokoh nasional dalam hampir semua bidang kehidupan, terutama dalam bidang

kebudayaan, intelektual, dan kenegaraan. (Tomagola, 1990)

Ketiga, setiap suku di PIB paling kurang mendiami satu provinsi

secara utuh, dan, kadang-kadang dua provinsi atau lebih seperti suku Minang

dan Jawa. Sebaliknya di PIT, dalam satu kecarnatan saja dapat ditemukan

lebih dari 10 suku, dalam satu kabupaten berdiam lebih dari 20 suku, dan,

besar kemungkinan dalam satu provinsi menampung lebih dari 40 suku.

Sementara dalam tinjaun Koenjaraningrat (1987: 32), suku bangsa di

Indonesia dapat juga dipetakan dari model mata pencaharian yang dominan

digelutinya, yang secara bersamaan sekaligus dipengaruhi oleh suatu

peradaban dari luar seperti zending, missi, pemerintahan kolonial,

kebijakanpemerintahan RI, pengaruh kebudayaan Hindu dan agama Islam.

Antara lain dapat dikelompokkan pada masyarakat berburu, berladang, tani

sawah, berkebun, pengembara, dan seterusnya.

Dengan melihat kebudayaan sebagai suatu mekanisme adaptasi suatu

masyarakat dalam menginterpretasikan lingkungan yang dihadapinya, baik

lingkungan sosial maupunfisik, maka tingkat perkembangan masing-masing

kebudayaan dapat dibeda-bedakan berdasarkan daya adaptasinya itu.

Perbedaan daya adaptasi ini dapat ditelusuri melalui model-model produksi

(models of production) yang dikembangkan oleh masing-masing kelompok

masyarakat yang bersangkutan, yang terwujud kedalam sistem teknologi,

pengetahuan, pola-pola pengeksploitasi dan penguasaan sumber daya

ekonomi, serta jaringan hubungan dengan masyarakat lain yang lebih luas.

82

Dengan cara demikian, perbedaan kebudayaan dalam nation Indonesia

dapat dilihat secara gradual. Baik antara kelompok-kelompok yang ada di

dalam satu golongan sosial yang dikategorisasikan ke dalam situ kelompok

horizontal tertentu, maupun antar kelompok-kelompok horizontal itu sendiri.

Misalnya saja, dalam masyarakat orang Jawa, Minangkabau atau Batak, ada

kelompok-kelompok sosial tertentu yang memiliki daya adaptasi yang tinggi

dan ada yang rendah. Demikian pula, orang Jawa, Minangkabau dan Batak,

pada umumnya, relatif memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi ketimbang

rata-rata orang Mentawai, Kubu (atau Suku Anak Dalam), atau berbagai suku

bangsa (atau subsuku bangsa) yang menghuni pcdalaman Kalimantan, Su-

lawesi, dan Irian Jaya, misalnya.

Berdasarkan tingkat perkembangan sistem teknologi, pengetahuan,

poly-poly pengeksploitasian dan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi,

serta jaringan hubungan dengan masyarakat yang lebih luas ini, kelompok-

kelompok suku bangsa atau subsuku bangsa yang ada di wilayah kedaulatan

Republik Indonesia ini setidaknya dapat dibagi kedalam empat kategori

utama, di mana situ sama lainnya memiliki tingkat daya adaptasi yang berbeda

satu lama lainnya.

Pertanna, adalah kelompok masyarakat yang dapat dikategorikan

sebagai tribal society. Dari segi komposisi demografi, jumlah anggota

kelompok masyarakat yang dimaksud relatif kecil. Masyarakat yang tergolong

kepada tribal society ini biasanya hidup dalam persekutuan-persekutuan hidup

yang beranggotakan lebih/ kurang 50 jiwa saja. Masing-masing persekutuan

hidup itu tidak terintegrasi ke dalain persekutuan (politik) yang lebih luas.

Pada umumnya bermata pencaharian berburu dan meramu (hunting and food

gathering). Berkaitan dengan sistem pemenuhan kebutuhan sehari-hari ini,

biasanya, pola permukiman kelompok masyarakat ini bersifat nomadis

(berpindah-pindah tempat), meski batas-batas wilayah pengembaraannya itu

tetap dapat ditentukan secara pasti.

83

Di Indonesia, kelompok masyarakat yang terkategori ke dalam tribal

society atau masyarakat pemburu dan peramu ini relatif kecil jumlahnya.

Sejauh yang dapat diketahui, kelompok masyarakat yang dapat dikategorikan

sebagai tribal society hanyalah sebagian dari orang Kubu (Suku Anak Dalam)

yang hidup di wilayah belantara Jambi dan Sumatera Selatan. Konon juga

terdapat di beberapa daerah pedalaman lrian Jaya, Kalimantan, dan Sulawesi

(bagian Tengah). Di samping itu, dalam kenyataannya, untuk kasus Indonesia,

kegiatan berburu dan meramu ini sering kali pula dikombinasikan dengan

kegiatan berkebun yang teknologinya juga relatif amat sederhana. Jenis

tanaman yang umum dibudidayakan adalah keladi dan ubi jalar. Sebab itu

pula, oleh Koentjaraningrat, masyarakat ini dikategorikan sebagai masyarakat

berkebun. Menurut Koentjaraningrat, khususnya bagi kelompok-kelompok

yang telah mengombinasikan sistern berburu dan merarnu ini dengan sistem

berkebun, tanaman padi tidak dibiasakan. Sistem dasar kemasyarakatannya

juga telah berkembang menjadi desa terpencil tanpa diferensiasi dan

stratifikasi yang berarti; gelombang pengaruh kebudayaan menanarn padi,

kebudayaan perunggu, kebudayaan Hindu dan agama Islam-setidaknya hingga

satu-dua dekade belakangan ini-tidak dialami; dan isolasi dibuka oleh zending

dan/atau missi.

Kedua, kelompok masyarakat perladangan berputar (rotary

cultinatiotz), atau lebih populer disebut kelompok masyarakat yang

mengembangkan sistem pcrladangan berpindah (shifting cultivation). Karena

dalam sistem teknologi pertanian yang dikembangkannya ada unsur pekerjaan

menebas dan membakar, teknik ini kerap pula disebut sebagai slash and burn

cultivation. Demikian pula, karena kegiatan pertanian itu tidak

diselenggarakan secara terus-menerus pada satu bidang lahan tertentu, maka

kegiatan pertanian ini sering pula dikategorikan sebagai suatu cara produksi

pertanian elcstensif (extensive agriculture). Betapa pun, kelompok masyarakat

ini pada dasarnya merupakan kelompok masyarakat yang telah dapat bercocok

tanah untuk menghasilkan bahan makanan pokoknya (food producing) scndiri.

Sebagian besar kelompok masyarakat ini juga berada di luar Jawa, dengan

84

sedikit pcngecualian di beberapa tempat tertentu saja, seperti pada masyarakat

Badui, misalnya. Komposisi demografis kelompok masyarakat ini berjumlah

lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang pertama.

Bisa mencapai angka ribuan jiwa. Meski begitu, keterikatan anggota

masyarakat yang satu dengan yang lainnya masih menekankan pada sistem

kekerabatan (kinship system). Secara tradisional kelompok ini belum

sepenuhnya terintegrasi pada sisteln sosio-ekonomi pasar yang lebih luas dan

sistem sosiopolitik yang lebih besar dan kompleks.

Seperti juga pada kelompok pertama, diferensiasi dan stratifikasi

sosial-ekonomi belum begitu menonjol, masih bersifat egaliter, dan juga

belum mengenal spesialisasi atau pembagian kerja atas dasar keterampilan dan

keahlian penguasaan teknologi. Semua anggota masyarakat masih mungkin

untuk memiliki akses dan kontrol yang sama atas sumber daya-sumber daya

elconomi, khususnya tanah. Hal ini dimungkinkan karena rasio antara jumlah

dan kepadatan penduduk dengan luas tanah masih rendah, sehingga mereka

masih bisa melakukan perladangan berputar itu. Tanah masih dikuasai seeara

kolektif-kecuali pada bidang-bidang tertentu-dan setiap anggota kolektif bisa

membuka dan menguasainya. Dalam konteks inilah mengapa masyarakat

peladang berputar ini dalam batas-batas tertentu masih dapat dikatakan

bersifat egaliter. Namun demikian, karena pertanian perladangan ini

mempunyai indeks diversitas tanaman yang tinggi, artinva scbidang lahan

ditanami oleh banyak jenis tanaman, maka-dari sudut tertentu-biasanya tidak

efektif, dan hasilnya juga tidak begitu tinggi, tidak dapat menghasilkan surplus

produksi yang besar, meskipun tingkat kepadatan penduduknya masih rendah.

Akibatnya, masyarakat peladang belum sepenuhnya dapat terintegrasi pada

sistem ekonomi yang lebih besar.

85

Ketiga, kelompok masyarakat petani (peasant society). Kelompok

masyarakat ini adalah kelompok-kelompok masyarakat yang mengembangkan

sistem pertanian menetap (sedenter). Berbeda dengan cara bertani pada

kelompok peladang berputar terdahulu, kelompok masyarakat ini

mengembanglcan cara produksi pertanian intensif (intensive agriculture),

yang di Indonesia dikenal sebagai sistem pertanian lahan basah atau pertanian

persawahan. Sistem ini UmIum dikenal oleh kelompok masyarakat yang

menghuni Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan di daerah-daerah tertentu di pulau-

pulau yang ada di gugusan Sunda kecil (terutama di Bali, NTB).

Karcna sistem pertanian ini mampu menghasilkan surplus hasil yang

cukup besar, kegiatan ekonomi kelompok ini telah terintegrasi ke dalam

sistem sosio-ekonomi dan sosiopolitik yang lebih besar dan lebih luas. Bahkan

hingga tingkat regional dan global. Keterikatan antar-anggota dalam

masyarakat-masyarakat yang bersangkutan tidak lagi melulu berdasarkan

sistem kekerabatan, melainkan juga pada ikatan sosiopolitik dan sosio-

ekonomi yang lebih formalistis. Seperti organisasi dan asosiasi.

Di samping itu, secara demografis jumlah anggota kelompok

masyarakat yang besangkutan cukup besar dan tingkat kepadatan pcnduduk

cukup tinggi, serta tkah pula mengenal diferensiasi dan stratifikasi sosial-

ekonomi (dan politik). Artinya, ada di antara anggota masyarakat yang

bersangkutan yang tidak atau hanya sedikit memiliki akses dan kontrol pada

sumber-sumber daya ekonomi, terutama tanah. Bahkan, orang-orang yang

tidak atau sedikit memiliki akses dan kontrol pada tanah itu jumlahnya lebih

banyak. Hal ini disebabkan oleh adanya ketimpangan rasio antara tanah

dengan jumlah dan tingkat kepadatan penduduk, jumlah masyarakat petani

selalu lebih besar dibandingkan dengan luas lahan pertanian yang tersedia.

Keempat, adalah kelompok masyarakat perkotaan. Masyarakat

perkotaan adalah suatu masyarakat yang tinggal di suatu lingkungan

pemukiman tertentu, yaitu suatu lingkungan di mana para penghuninya dapat

memenuhi sebagianbesar kebutuhan ekonominya di pasar setempat. Biasanya

barang-barang itu dihasilkan oleh penduduk yang tinggal di daerah

86

”pedalaman” (pedesaan), yang biasa disebut sebagai daerah yang melindungi

desa. Titik awal gejala kota adalah timbulnya golongan literati (golongan

intelektual, pujangga, agamawan, misalnya), atau berbagai kelompok spesialis

yang berpendidilcan dan non-agraris, sehingga pembagian kerja dalam

masyarakat perkotaan ini sangat kompleks.

Dilihat dari peran sosio-ekonomi dan sosiopolitiknya dalam suatu

jaringan kehidupan yang lebih luas, masyarakat perkotaan ini juga disebut

sebagai kelompok elite ekonomi dan politik. Kelompok ini pada dasarnya

mulai terbentuk sejak zaman kolonial, atau mungkin sejak awal abad XX,

ketika pemerintah kolonial Belanda mulai memperkenalkan sistem pendidikan

sekolah yang modern. Kelompok ini adalah orang-orang yang berlatar

belakang pendidikan sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan

penduduk Indonesia pada umumnya yang sebagian di antaranya kemudian

masuk ke dalam sistem birokrasi pemerintahan kolonial atau menjadi politisi

pejuang kemerdekaan.

Setelah masa kolonial, kelompok masyarakat ini mulai bertambah

dengan orang-orang yang memiliki akses dan kontrol pada sumber-sumber

daya ekonomi, teknologi, dan informasi, terutama sejak pemerintah Orde Baru

memegang tampuk pemerintahan, yang dapat dikategorikan sebagai elite

ekonomi nasional, yang berasal baik dari golongan pribumi dengan latar

belakang suku bangsa, agama, dan daerah yang berlainan, maupun yang

berasal dari golongan minoritas pribumi.

Di bawah kelompok elite kota ini ada suatu kelas menengah perkotaan

yang jumlahnya lebih besar, yaitu parapegawai pemerintahan, pegawai,

perusahaan-perusahaan swasta, kaum intelektual, dan pengusaha-pengusaha

mandiri. Dari segi cara hidup kelas menengah ini tidak berbeda jauh dengan

lapisan elite, sehingga mereka bisa dimasukkan ke dalam lapisan yang

dikategorikan memiliki suatu pola kebudayaan “super kultur metropolitan”.

Dilihat dari gaya hidup yang mereka miliki dan kembangkan, mereka

telah lebih jauh hidup dan menjadi bagian dari kerangka peradaban global.

Bahasa, gaya hidup, penguasaan teknologi dan informasi, serta cara kerja yang

87

berorientasi pada peradaban internasional ini menjadi kelompok acuan

(reference group) bagi hampir semua kelompok-kelompok masyarakat yang

lain. Betapa pun, perbedaan sistem teknologi, sistem-sistem kemasyarakatan,

dan kompleksitas jaringan hubungan dengan masyarakat yang lebih luas pada

masing-masing kategori seperti telah diperinci di atas, akan berpengaruh pada

kemampuan beradaptasi atas perkembangan sosial-ekonomi, sosial-politik dan

sosial-budaya, yang dihadapi oleh masing-masing kelompok masyarakat yang

bersangkutan.

C. KERAGAMAN DAN KESETARAANSEBAGAI KEKAYAAN SOSIAL-

BUDAYA BANGSA

Kita menyadari bahwa Kepulauan Nusantara terdiri atas aneka warna

kebudayaan dan bahasa, secara umum keragaman atas sosial-budaya yang

tegak di Nusantara kita ini dapat dideskripsikan dalam tiga aspek, yaitu:

struktur kesukuan, distribusi wilayah agama, dan dari aspek tingkat

pendidikan. Namun keberagaman tersebut dalam konteks kekayaan menjadi

kekayaan yang patut kita syukuri. Keberagaman dalam konteks Nusantara

menjadi konsep kesetaraan sesuai dengan konsep integrasi nasional dengan

rumusan Bhineka Tunggal Ika yang artinya Bhina = pecah, ika = itu, Tunggal

= satu, sehingga Bhineka Tunggal Ika artinya "terpecah itu satu”.

Tidak jarang kebhinekaan bangsa kita sampai pada konflik tingkat

nasional yang menyebabkan terganggunya integrasi bangsa scbagai cita-cita

bangsa. Sosial-budaya begitu kompleksnya menyangkut berbagai segi

kehidupan manusia dan masyarakat, serta unsur utama dalam proses

pembangunan diri manusia dan masyarakat.

Keberagaman dan kesetaraan dalam konteks kekayaan khazanah

sosial-budaya bangsa salah satunva adalah dengan mcngembangkan atau

merumuskan kebudayaan nasional Indonesia. Sehingga keberagaman sosial

budaya dan kesetaraan sosial-budaya mampu mengemban fungsi kebudayaan

nasional, yaitu :

88

a. Suatu sistem gagasan dan perlambang yang memberi identitas kepada

warga negara Indonesia.

b. Suatu sistem gagasan dan perlambang yang dapat dipakai oleh semua

warga negara Indonesia yang beragam (bhineka) itu, untuk saling

berkomunikasi dalam kesetaraan dengan demikian dapat memperkuat

solidaritas sosial-budaya bangsa.

D. PROBLEMATIKA KERAGAMAN DAN KESETARAAN SERTA

SOLUSINYA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN NEGARA

Dalam pen-Takdir-annya sebagai negara kepulauan atau negara

maritim yang masyarakatnya bersifat majemuk (plural society), pemerintah

dan masyarakat Indonesia masih harus belajar banyak dari sejarah

perjalanannya sendiri tentang bagaimana mengelola kemajemukan terscbut

agar menjadi modal sosial pembangunan bangsa. Masyarakat majemuk yang

tersusun oleh keragaman lcelompok etnik (etnic group) atau suku bangsa

beserta tradisi budayanya itu, tidak, hanya berpeluang menjadikan Indonesia

sebagai negara yang kuat di masa mendatang, tetapi juga berpotensi

mendorong timbulnya konflik sosial yang dapat mengancam sendi-sendi

integrasi negara-bangsa (nation-state), jika dinamika kemajemukan sosial

budaya itu tidak dapat dikelola dengan baik.

Sebagai unsur pembentuk sistem sosial masyarakat majemuk

kelompok-lcelompok etnik memiliki kebudayaan, batas-batas sosial-budaya,

dan sejumlah atribut atau ciri-ciri budaya yang menandai identitas dan

eksistensi mereka. Kebudayaan yang dimiliki kelompok etnik mcnjadi

pcdoman kehidupan mereka dan atribut-atribut budaya yang ada, seperti adat

istiadat, tradisi, bahasa, kesenian, agama dan paham keagamaan, kesamaan

leluhur, asal usul daerah, sejarah sosial, pakaian tradisional, atau aliran

ideologi politik menjadi ciri pemerlain atau peinbeda suatu lcelompok etnik

dari kelompok etnic yang lain. Kebudayaan dan atribut sosialbudaya sebagai

penanda identitas kelompok etnik memiliki sifat stabil, konsisten, dan

bertahan lama.

89

Berdasarkan uraian di atas dan dalarn konteks perbandingan yang

setara, orang Jawa disebut sebagai suatu kelompok etnik karena mereka secara

budaya memang berbeda dengan orang Madura. Demikian juga, dalam

konteks perbandingan yang setara pada orang Jawa di Jawa Timur, bahwa

orang Jember tentu berbeda secara kultural dengan orang Surabaya. Orang

Jember tidak akan mau disebut sebagai orang Surabaya, demikian pula

sebaliknya. Karena perbedaan-perbedaan kultural ini keduanya disebut

sebagai sebuah kelompok etnik yang berbeda, walaupun keduanya berada

dalam ruang lingkup orang Jawa, di Jawa Timur. Hal yang sama juga berlaku

untuk penyebutan Osing, Tengger, Pendhalungan, Mataraman, Arekan atau

Samin sebagai sebuah kelompok etnik dan sub-etnik yang berbeda-beda.

Etnisitas (etnicity) atau kesukubangsaan selalu muncul dalam konteks

interaksi sosial pada masyarakat majemuk. Sebagai sebuah realitas sosial yang

wajar dan alamiah, etnisitas akan terjadi secara intensif dalam masyarakat

tradisional atau masyarakat trandisional. Dalam proses interaksi tersebut

kelompok etnik atau individu-individu dalam kelompok etnik akan

memanfaatkan atribut-atribut sosial-budaya yang dimiliki untuk mencapai

tujuan tertentu. Bentuk mana yang dipilih di antara atribut-atribut tersebut

sebagai penanda identitas diri sangat ditentukan oleh konteks interaksi dan

tujuan yang akan dicapai. Pilihan terhadap suatu atribut sosial-budaya bagi

seorang individu akan didasarkan pada pilihan rasional (rational choice), yang

dipertimbangkannya secara saksama bahwa hal itu dapat mencapai tujuan

yang diinginkan melalui interaksi sosial tersebut.

Dalam kaitannya dengan akses dan perebutan sumber daya di daerah

yang bersifat struktural, seperti potensi ekonomi dan kekuasaan politik,

manifestasi etnisitas sering menimbulkan ketegangan dan konflik sosial di

antara pihak-pihak yang terlibat atau yang berkepentingan. Masa otonomi

daerah sekarang ini memberikan peluang yang besar bagi timbuhnya konflik

sosial berbasis etnisitas, ketika tradisi berdemokrasi, penghormatan terhadap

keadilan sosial, dan penghargaan terhadap prestasi belum menjadi pandangan

dan sikap hidup kita sehari-hari. Kondisi demikian lebih banyak

90

menguntungkan kepentingan pribadi dan kelompok (etnik) daripada

kepentingan masyarakat. Masalahnya adalah bagaimanakah meminimalkan

konflik sosial berbasis etnisitas yang dapat merugikan kepentingan masyarakat

luas?

Secara normatif, otonomi daerah telah memberikan keleluasaan bagi

masyarakat di daerah (bukan pemerintah daerah) untuk mengaktualisasikan

diri secara optimal dalam manajemen pembangunan daerah. Undang-undang

yang mendasari praktik otonomi daerah memberi pengakuan terhadap

eksistensi masyarakat dan kebudayaannya. Otonomi daerah menandai era

penghargaan terhadap keberagaman dan otonomi masyarakat, setelah Orde

Baru memberangusnya selama masa tiga dasawarsa lebih (Zakaria, 2000). Da-

lam ruang politik yang semakin terbuka ini, masyarakat di daerah (indigenous

people) menggali kembali potensi-potensi kelembagaan sosial atau konstruk

nilai-nilai budaya lokal yang dianggap berguna untuk menopang eksistensi

mereka di tengah arus globalisasi dan dinamika pembangunan daerah.

Wujud dari penggalian di atas adalah hadirnya asosiasi-asosiasi

masyarakat adat Nusantara, pembangkitan kembali satuan-satuan desa adat

tradisional (nagari di Minangkabau, kampong di komunitas Melayu

Kalimantan Barat, dan pakraman di Bali), serta eksplorasi ulang atas

revitalisasi pranata-pranata lokal untuk mengelola sumber daya alam secara

lestari dan adil, seperti sasi di Maluku dan awig-awig di Bali-Lombok. Hal-hal

ini untuk membangun kembali fondasi sosial-budaya masyarakat, khususnya

masyarakat di pedesaan agar memiliki kemampuan otonomi yang kukuh

dalam menyikapi gerak pembangunan di bawah kebijakan otonomi daerah.

(Siregar dan Wahono (Peny.), 2002; Zakaria, 2004)

Walaupun demikian, di daerah-daerah yang memiliki struktur

masyarakat majemuk proses revitalisasi kebudayaan etnik juga harus

memerhatikan eksistensi kebudayaan etnik yang lain. Misalnya, kasus

Osingisasi yang dilakukan olch Bupati Banyuwangi, Samsul Hadi, yang

ketepatan la berasal dari etnik Osing adalah kasus yang kebablasan, sehingga

berpotensi mengundang kctcgangan sosial. Kebijakan Bupati Banyuwangi

91

tersebut adalah mengharuskan para petinggi pemerintah kabupaten yang akan

menghadapnya harus menggunakan bahasa Osing. Bahasa Osing scbagai

muatan kurikulum lokal diajarkan pada siswa SD-SMP yang sudah

berlangsung tiga tahun terakhir, dan menginstruksikan kepada seluruh

masyarakat Banyuwangi agar mcrayakan tradisi endog-endogan dalam rangka

Maulud Nabi Muhaulmad SAW seperti yang selama ini dilakukan oleh

komunitas Osing. (Sunarlan, 2004: 170-171)

Bupati juga memperkuat posisi kesenian Gandrung sebagai ikon

Kabupaten Banyuwangi, dengan membangun patung Gandrung yang

menghabiskan dana miliaran rupiah di daerah Watu Dodol, Ketapang.

Kebijakan yang berkaitan dengan kurikulum lokal tersebut mengundang reaksi

sosial dari para pengelola SD-SMP yang lingkungan sosialnya bukan

komunitas Osing, seperti masyaralcat Madura di Muncar. Kebijakan politik

etnisitas seperti ini lebih bernuansa politik praktis, yakni memperkuat basis

konsolidasi kekuasaan dan legitimasi politik Bupati di mata publik

menyongsong Pilkada 2005, dengan jalan mengaktifkan beberapa atribut atau

unsur kebudayaan Osing: bahasa, seni, dan tradisi.

Kasus yang lain bisa kita lihat pada beredarnya selebaran gelap

mcnjelang pemilihan Bupati Lamongan. Selebaran itu berisi surat perjanjian

Calon Bupati Masfuk kepada Forum Rembug Muhammadiyah Lamongan

untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar di Lamongan

dibandingkan dengan ormas yang lain. Surat perjanjian itu ditandatangani 20

Mei 2005. Kop surat selebaran tertera nama Muhammadiyah dan Partai

Amanat Nasional. Pengurus Daerah Muhammadiyah dan Dewan Pimpinan

Daerah Partai Amanat Nasional Lamongan menilai skebaran gelap tersebut

bisa menyesatkan masyarakat Lamongan. Ketua Muhammadiyah Lamongan,

Afnan Anshari mengatakan, “Muhammadiyah tidak pernah menggunakan

segala cara untuk meraih tujuannya. Isu yang ada dalam selebaran ini sangat

kotor. Kami mendesak agar Panwas Pilkada menindaklanjuti temuan ini

secara hokum”. (Kompas Jatim, Senin, 27 Juni 2005: A)

92

Masih dalam Kaitannya dengan pemilihan kepala daerah, Forum

Komunikasi Batak (FKB) Jawa Timur menyesalkan Calon Wali Kota

Surabaya Alisjahbana dari Partai Kebangkitan Bangsa yang selama ini

dianggap enggan mencantumkan nama marga Sitepu dalam berbagai

kesempatan. Menurut Ketua FKB Jawa Timur, RH Batubara, "Nama marga

merupakan ikatan turun-temurun. Seharusnya sebagai, orang yang berdarah

Batak, Alisjahbana tetap menggunakan nama marga seperti halnya sejumlah

tokoh lain, yakni Akbar Tanjung dan Sudi Silalahi". FKB Jatim juga

menunjukkan fotokopi ijazah Alisjahbana saat lulus sebagai sarjana teknik

ITB Bandung 1974, dengan nama lengkap Alisjahbana Sitepu. Ketika

dihubungi wartawan untuk konfirmasi, Alisjahbana mengatakan, "Nama

seseorang merupakan urusan pribadi". Sejak bekerja di Pemerintah Kota

Surabaya selama 30 tahun lebih, Alisjahbana tidak pernah menggunakan nama

marganya. (Kompas Jatim, Senin, 30 Mei 2005: 1)

Benar tidaknya isi selebaran gelap di Lamongan tersebut, dari

perspektif etnisitas mobilitas identitas etnik yang terkait degan paham

keagamaan (Muhammadiyah) juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan

politik yang bersifat negatif atau positif bagi pihak-pihak yang terlibat dalam

persaingan memperebutkan jabatan politik Bupati Lamongan. Demikian juga,

penghilangan (penyembunyian) nama marga Sitepu bagi Alisjahbana, bukan

tanpa alasan, tetapi ada kepentingan tertentu (ekonomi-politik) yang akan

diraih dalam proses interaksi social dan jika nama marga itu tetap dilekatkan

justru akan menghambat pencapaian kepentingan tersebut. Pilihan tindakan

demikian sudah diperhitungkan untung ruginya bagi yang bersangkutan.

Kasus-kasus serupa banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks otonomi daerah, kasus yang terjadi di Banyuwangi

untuk membangun “hegemoni budaya Osing” sesungguhnya hanya merupakan

sarana penguasa daerah untuk mencapai penguasaan sumber daya ekonomi-

politik yang lebih besar. Kasus seperti ini mirip dengan kebijakan

kolonialisme internal (internal colonialism) Pemerintah Thailand terhadap

kelompok-kelompok etnik minoritas, khususnya masyarakat muslim Malaysia

93

di Pattini di wilayah selatan yang berbatasan dengan Malaysia, yang berusaha

keras untuk menegaskan aspek-aspek identitas budaya masyarakat Pattani

melalui penetrasi kebudayaan Thai dan Buddha. Di samping terjadinya

penetrasi budaya dominant (dominance ulture), kebijakan pembangunan

regional Pemerintah Thailand yang bersifat deskriminatif dan hanya menguras

sumber daya local, telah membangkitkan gerakan perlawanan bersenjata

masyarakat Pattani terhadap Pemerintah Thailand. Hal yang sama juga

dilakukan oleh Penguasa Orde Baru terhadap Aceh, yang mendorong

masyarakat Aceh menjadi anti-Jawa (lihat, Brown, 1994).

Dalam studi-studi konflik etnik, kebijakan politik etnik negara dan

Pemerintah Thiland memperluas batas-batas social budaya identitas suatu

kelompok etnik, khususnya etnik yang dianggap kelompok dominant atau

pribumi, seperti Thai-Buddha, senantiasa berhadapan dengan penolakan atau

resistensi social dari kelompok-kelompok etnik yang terkena kebijakan

tersebut, orang Pattani-Muslim. Sementara itu, untuk menghimpun kekuatan

dan modal perjuangan menghadapi hegemoni negara dan penetrasi kelompok

etnik dominan (Thai), kelompok-kelompok etnik minoritas yang

terdisriminasi, seperti masyarakat Pattani akanmengaktifkan jaringan etnisitas

yang berbasis kesamaan asal usul dan leluhur, sejarah social, identitas ke-

Islam-an, dan tradisi social budaya sebagai sarana pengikat social dan

pembangun solidaritas social. Dalam konteks demikian, etnisitas akan berubah

menjadi ideology perjuangan untuk menghadapi negara yang telah membuat

diri mereka tidak nyaman dan terancam serta mengganggu kelangsungan

hidup kelompok etnik. (Brown, 1994: 1-5).

Dalam banyak kasus, negara dan kebijakan-kebijakan para

penguasanya mengambil peranan yang besar terhadap tumbuhnya peristiwa

konflik etnik dan kekerasan social di berbagai negara (Renner, 1999: 33-47).

Konflik-konflik dan kekerasan social berbasis etnisitas yang terjadi di

Indonesia menjelang akhir kekuasaan Orde Baru hingga sekarang merupakan

akibat dari kesalahan kebijakan pembangunan daerah dan ketidakbecusan

penguasa Orde Baru mengelola kemajemukan masyarakat kita (Kusnadi,

94

2001). Hal yang sama bukan tidak mungkin akan dilakukan oleh penguasa

pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) era otonomi daerah. Bahkan, saya

perkirakan bahwa sifat rakus politik danserakah ekonomi penguasa di daerah

dan kebijakan-kebijakannya yang tidak memihak kepentingan rakyat akan

menjadi pemicu konflik sosial yang berskala luas di daerah.

Konflik sosial ini tidak hanya terjadi di kalangan internal antar-elite

daerah, tetapi juga melibatkan penguasa daerah dengan rakyat secara

keseluruhan dan antar kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat.

Keetidakpuasan rakyat yang meluas terhadap perilaku pemimpinnva dapat

mendorong timbuhnya revolusi sosial, sebagaimana pcrnah terjadi dalam

sejarah sosial kita. (Lucas, 2004)

Di saat rakyat harus berjuang melawan kemislcinan, ketidakadilan

hukum, busung lapar, kurang gizi, dan mahalnya biaya pendidikan, para

penguasa daerah justru berpesta pora menghambur-hamburkn uang rakyat

yang diperoleh dengan jalan menjarah. Walaupun kita telah memasuki era

demokrasi dan masyarakat mulai tumbuh kekuatannya untuk terlibat dalam

proses bernegara, tetapi praktik-praktik kekuasaan yang muncul lebih parah

daripada perilaku kuasa rezim Orde Baru. Substansi berdemokrasi belum

memberikcan keuntungan bagi rakyat dankebijakan-kebijakan publikyang

dihasilkan oleh negara juga belum memihak pada kepentingan rakyat. Beban

kehidupan rakyat semakin berat, khususnya untuk memenuhi kebutuhan

primernya. (Prasetyo, 2004ab, 2005 dan Putra, 2005)

Dalam masa otonomi daerah ini yang pendekatan pembangunannya

berorientasi pada aspek kewilayahan, eksplorasi etnisitas sebagai ideologi

perjuangan kelompok masyarakat yang dirugikan oleh kebijakan

pembangunan daerah akansemakin berpeluang. Gagasan sebagian masyarakat

beberapa waktu yang lalu untuk membentuk Kabupaten Jember Selatan,

Banyuwangi Selatan, atau Kabupaten Sumenep Kepulauan, harus dilihat

sebagai persoalan konflik politikkebijakan berbasis etnisitas dengan

pernerintah kabupaten setempat. Mereka bisa saja menggunakan basis

legitimasi berdasarkan unsur-unsur etnisitas yang berkaitan dengan kesamaan

95

budaya, kesejarahan, nasib sosial, dannilai-nilai baru yang dimunculkan

karena faktor karakteristik geografis. Berdasarkan eksplorasi nilai-nilai

budaya di atas, masyarakat di Jember Selatan, Banyuwangi Selatan, atau

Sumenep Kepulauan, membedakan dirinya dengan masyarakat di Jember

Utara, Bayuwangi Utara, dan Sumenep Daratan.

Demikian pula, kasus konflik nelayan yang meluas di berbagai daerah

perairan Jawa Timur, merupakan akibat dari kekurangmampuan pemerintah

daerah (provinsi/kabupaten/kota) dalam memahamkan esensi otonomi daerah

yang terkait dengan batas-batas administrasi daerah dan kewenangannya

mengelola potensi sumber daya laut setempat kepada masyarakat nelayan di

kawasan pesisir. Aspek lain yang ikut memberikan kontribusi terhadap

timbulnya konflik nelayan tersebut adalah semakin tingginya kelangkaan

sumber daya ekonomi-perikanan dan kompetisi memperebutkannya. (Kusnadi,

2002)

Konflik nelayan Ujung Pangkah, Gresik dengan nelayan Weru

Kompleks, Lamongan, walaupun mereka bagian dari masyarakat Jawa

Pesisiran, tetap dilihat sebagai kasus konflik sosial berbasis etnisitas. Kedua

pihak mendefinisikan identitas dirinya sebagai kelompok nelayan yang

berbeda satu sama lain berdasarkan nilai-nilai sosial-budaya dan sejarah sosial

yang membentuk eksistensi mereka. Hal yang samajuga berlaku untuk nelayan

Madura asal Kraton, Pasuruan dan nelayan Kwanyar, Bangkalan Selatan, yang

telah lama berkonflik memperebutkan sumber daya perikanan di Perairan

Selat Madura. Identitas kebudayaan Madura ternyata tidak mampu

mendamaikan kedua kelompok nelayan tersebut. Masing-masing pihak

mendefinisikan eksistensinya berdasarkan nilai-nilai lokalitas yang

kontekstual, yang dianggapnya lebih tepat dan menguntungkan kehidupannya

dalam interaksi sosial. (Kusnadi dkk. 2005)

Pada dasarnya, konflik sosial berbasis etnisitas yang berlangsung

secara masif tidak ada yang semata-mata terjadi karena perbedaan-perbedaan

sosial-budaya yang bersifat horizontal, seperti agama, bahasa, tradisi dan adat

istiadat, sejarah sosial, gaya hidup, atau nilai-nilai budaya lainnya. Aspek-

96

aspek vertikal-struktural, seperti akses dan penguasaan sumber daya ekonomi-

politik (kekuasaan) senantiasa terlibat. Bahkan semakin tinggi nilai sumber

daya yang diperebutkan dan kondisinya terbatas, maka konflik sosial yang

terjadi akan semakin intensif dan keras (Kusnadi dan Burhanuddin, 1997).

Dalam situasi demikian, dampak konflik secara psikologis sangat mencekam

masyarakat dan secara sosial-ekonomi memberatkan masa depan kehidupan

mereka yang terlibat konflik. Upaya untuk meretas jalan menuju perdamaian

abadi juga sangat sulit karena membutuhkan kesabaran, keseriusan, dan

pengorbanan yang besar.

Berdasarkan uraian di atas, rezim otonomi daerah dalam masa

transisional ini harus belajar bagaimana meminimalisasi timbulnya konflik-

konflik sosial yang berbasis etnisitas dan keagamaan, dengan jalan

merumuskan kebijakan pembangunan dan pembuatan regulasi daerah yang

bersifat transparan, demokratis, berorientasi kerakyatan, dan berdimensi

keadilan sosial. Sementara itu, pada tataran sosial, dengan berbagai cara,

penguatan kapasitas masyarakat harus dilakukan dengan membangun fondasi

kesadaran struktural-kultural bernegara dan berbangsa agar memiliki

kemampuan dalam berdiskusi dengan elite daerah untuk memberi arah pada

kebijakan pembangunan daerah yang memihak kepentingan masyarakat luas.

Otonomi daerah hat-us ditafsiri sebagai otonorni masyarakat untuk memba-

ngun daerahnya masing-masing, bukan otonomi pemerintah daerah (pemda),

karena esensi pemerintah daerah hanya sebagai alat pembangunan daerah. Di

tengah-tengah karakter rezim otonomi daerah yang masih belum beradab dan

manusiawi, jalan untuk membangun fondasi kesadaran strukturalkultural di

atas masih sangat panjang.

97

BAB 6

MANUSIA, NILAI, MORAL, DAN HUKUM

A. MANUSIA DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN

Manusia sebagai makhluk sosial dan berbudaya pada dsarnya

dipengaruhi oleh nilai-nilai kemanusiaan. Nilai tersebut berupa : etika yang

erat hubungannya dengan moralitas, maupun estetika yang berhubungan

dengan keindahan. Dalam realitas sosial, pengembangan spremasi hukum

sangat tergantung pada empat komponen, yakni (a) materi hukum; (b) sarana

prasarana hukum; (c) aparatur hukum; dan (d) budaya hukum masnyarakat.

Tatkala terjadi dilema antara materi hukum, konflik di antara penegak hukum,

kurangnya sarana dan prasarana hukum, serta rendahnya budaya hukum

masyarakat, maka setiap orang (masyarakat dan aparatur hukum) harus

mengembalikan pada rasa keadilan hukum masyarakat, artinya harus

mengutamakan moralitas masyarakat. Demikian pula dalam pengembangan

estetika yang akan menjadi wujud budaya masyarakat sangat mungkin terjadi

dilema dan benturan dengan nilai etika.

Membicarakan mengenai manusia, maka akan muncul berbagai

macam pertanyaan. Apa itu manusia? Apa beda manusia dengan makhluk-

makhluk lain? Apa nilai-nilai kemanusiaan itu dan berbagai macam definisi

manusia. Ada definisi yang memandangkan dari segi fisiologis ada juga yang

memandangnya dari segi sosiologi. Dari segi fisiologis bahwa manusia itu

makhluk yang mempunyai fisik hampir sama dengan hewan. Hewan punya

kepala, maka manusia punya kepala. Hewan punya telinga, maka manusia

punya telinga. Hewan punya kaki, maka manusia pun punya kaki. Dari segi

fisiologis bisa dikatakan tidak ada beda antara manusia dengan hewan. Jika

kita mendefinisikan manusia hanya melalui segi fisiologis saja, maka kita akan

dibuat kebingungan. Di antara manusia itu saja terjadi perbedaan bentuk fisik.

Ada yang gendut, kurus, ada yang langsing. Ada yang bisa melihat dan ada

yang (maaf) buta. jika terjadi perbedaan seperti itu, maka mana yang pantas

disebut sebagai manusia? Maka dari itu, kita harus mendefinisikan manusia

98

kembali dengan sudut pandang lainnya. Definisi manusia adalah makhluk

yang diciptakan oleh Allah dan dianugerahi-Nya akal, hati, dan fisik. Yang

membedakan antara manusia dengan hewan adalah akal. Maka, ada yang

berpendapat bahwa manusia itu hewan yang berakal. Karena dari segi fisik

memang tidak ada beda dengan hewan tetapi yang membedakannya adalah

akal.

Nilai-nilai kemanusiaan adalah suatu hal yang dapat memanusiakan

manusia atau bisa dikatakan juga kembali kepada fitrah manusia, itulah nilai-

nilai kemanusiaan. Fitrah manusia adalah punya sisi baik dan buruk. Tetapi

kita juga jangan lupa bahwa manusia itu juga punya fitrah/kecenderungan

untuk menyempurnakan diri. Bagaimana manusia menyempurnakan dirinya?

Manusia dalam proses penyempurnaan diri itu membutuhkan yang namanya

pengetahuan. Pengetahuan yang dirnilikinya itulah yang akan menentukan

apakah proses penyempurnaan diri yang dia lakukan itu memang sudah benar-

benar sempurna ataukah belem. Pengetahuan seperti apa yang betul?

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa agama Islam adalah agama

langit yang kemudian "membumi". Ketika masih di "langit" Islam adalah

agama yang sempurna dan mutlak benar, tetapi ketika "membumi", maka ia

mengalami proses pembudayaan atau pergumulan budaya di mana ada peran

manusia yang tidak sempurna sehingga sebagai agarna bumi Islam tidak lagi

sebagai agama yang mutlak benar, tetapi memiliki variasi tingkat kedekatan

dengan kebenaran. Dengan demikian, maka ada kebudayaan Islam yang

sangat dekat dengan syariat (budaya syar'iy) di samping ada kebudayaan yang

hanya merupakan sempalan saja dari Islam, karena ia lebih dekat ke

kebudayaan lokal setempat Di sisi lain, ada kebudayaan umat Islam yang

malah tidak ada relevansinya dengan Islam.

B. NILAI BUDAYA

Banyak definisi tentang kebudayaan, tetapi saya memilih pandangan

yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah konsep, keyakinan, nilai, dan

norma yang dianut masyarakat yang memengaruhi perilaku mereka dalam

99

upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya.

Di samping sebagai fasilitas, alam adalah tantangan yang harus diatasi.

Berbeda dengan hewan, manusia tidak puas hanya dengan apa yang terdapat

dalam alam kebendaan. Dengan konsep yang dimiliki manusia berusaha

mengolah alam ini, dan dengan kesadaran dan cita-citanya manusia

merumuskan apa yang bermakna dan apa yang tidak bermakna dalam

kehidupannya. Sekurang-kurangnya ada enam nilai yang amat menentukan

wawasan etika dan kepribadian manusia sebagai individu maupun sebagai

masyarakat, yaitu: teori, ekonomi, agama, seni, kuasa, dan solidaritas.

1. Nilai teori. Ketika manusia menentukan dengan objektif identitas benda-

benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga menjadi

pengetahuan, ulanusia mengenal adanya teori yang menjadi konsep dalam

proses penilaian atas alam sekitar.

2. Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda

atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau

kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan

hidup. Kombinasi antara nilai teori dan ekonomi yang senantiasa maju

disebut aspek progresif dari kebudayaan.

3. Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan

dankebesaran yang menggetarkan di mana di dalamnya ada konsep

kekudusan dan ketakziman kepada yang mahagaib, maka manusia

mengenal nilai agama.

4. Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan di mana ada konsep estetika

dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia mengenal

nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sanna

menekanlcan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek ekspresif dari

kebudayaan.

5. Nilai kuasa. Ketika manusia merasa puas jika orang lain mengikuti

pikirannya, norma-normanya dan kemauan-kemauannya, maka ketika itu

manusia mengenal nilai kuasa.

100

6. Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta,

persahabatan dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan

merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia mengenal

nilai solidaritas.

Enam nilai budaya itu merupakan kristalisasi dari berbagai macam

nilai kehidupan, yang selanjutnya menentukan konfigurasi kepribadian dan

norma etik individu maupun masyarakat. Nilai apa yang paling dominan pada

seseorang atau sekelompok orang, akan menentukan "sosok" mereka sebagai

manusia budaya (al insan madaniyyun bi at thab’i).Orang yang lebih

dipengaruhi oleh nilai ekonomi cenderung kurang memerhatikan halal dan

haram, orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai teori cenderung menjadi

ilmuwan, yang lebih dipengaruhi oleh nilai kuasa cenderung tega dan nekad,

yang lebih dipengaruhi olch nilai agama dan seni cenderung menjadi sufi dan

seterusnya, schingga ada sosok orang yang materialis, seniman, pekerja sosial,

dan sebagainya. Bisa juga ada ilmuwan yang mengabdi kepada materi, politisi

yang pejuang, ulama yang rasional, ilmuwan yang mistis, dan sebagainya.

Budaya progresif akan mengembangkan cara berpikir ilmiah dan

melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, sedankan puncak dari budaya

ekspresif bermuara pada kepercayaan mitologis dan mistik. Pendukung

budaya progresif pada umumnya dinamis dan siap digantikan olch generasi

penerus dengan penemuan-penemuan baru, sedangkan pendukung budaya

ekspresif biasanya statis atau tradisional, memandang kebudayaan sebagai

sesuatu yang sudah final.

Kesempurnaan pada suatu maujud (ciptaan) berbeda dengan

kesempurnaan pada maujud (ciptaan) lainnya. Misalnya, insan kamil berbeda

dengan malaikat kamil. Terdapat perbedaan antara malaikat, sebagai dirinya

(malaikat), yang telah mencapai tingkat tertinggi dan akhir kesempurnaannya,

dengan manusia yang mencapai puncak kesempurnaannya.

Malaikat adalah maujud yang diciptakan dari akal murni, artinya, pada

malaikat sama sekali tidak terdapat unsur materi, hawa nafsu, syahwat,

amarah, dan lainnya. Demikian pula halnya dengan hewan yang seluruh

101

substansinya bersifat materi. Lain halnya dengan manusia, insane, adalah

maujud yang terdiri dari apa yang ada pada malaikat (akal) dan apa yang ada

pada hewan (nafsu), suatu makhluk yang mulki-malakuti.

Perbedaan antara manusia, malaikat dan hewan terletak pada susunan

unsur dan zatnya, sebagaimana disebut dalam Al-Qur'an:

Sesungguhnya Kami ciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur

yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu

Kami jadikan dia mendengnr dan melihat. Sesuungguhnya Kami

menunjukinya jalan yang hurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kajir.

(Q S. Al-Insan: 2-3)

Kami telah menciptakan manusia dari nutfah (sperma) yang di

dalamnya terdapat banyak campuran. Yakni, pada diri manusia tertimbun

serangkaian potensi. Kemudian ia akan sampai pada satu fase atau tahapan di

mana ia akan diuji. Tidak demikian halnya dengan makhluk-makhluk lainnya,

mereka tidak layak untuk diuji, karena memang mereka tidak diciptakan untuk

diuji.

C. PERLUNYA KESEIMBANGAN NILAI-NILAI INSANI

Kamal atau kesempurnaan manusia terletak pada kestabilan dan

keseimbangan nilai-nilainya. Manusia dengan segala kemampuan yang ada

pada dirinya dapat dianggap sempurna, ketika tidak hanya kecenderungan

pada satu nilaidari sekian banyak nilai yang ia miliki. la dapat dianggap

sempurna ketika mampu menyeimbangkan dan menstabilkan serangkaian

potensi insaninya. Orang-orang bijak mengatakan: "Hakikat dan substansi

keadilan adalah keseimbangan dan keselarasan". Yang dirnaksud dengan

keseimbangan di sini adalah: seiring dengan perkembangan potensi-potensi

insaninya, tercipta juga keseimbangan dalam perkembangannya. Insan kamil

adalah manusia yang seluruh nilai insaninya berkembang secara seimbang dan

stabil. Tidak satu pun dari nilai-nilai itu yang berkembang tidak selaras

102

dengan nilai yang lain. Al-Qur'an menyebut manusia yang nilai-nilai insaninya

berkembang seimbang dan sempurna ini sebagai "imam":

Dan (ingatlah), ketika ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat

(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:

Sesunguhnva Aku akan menjadikanmu bagi sehlrult manusia. (QS. Al-

Baqarah: 124)

D. KESALEHAN PRIBADI DAN SOSIAL

Manusia dalam keberadaannya di muka bumi senantiasa berada dalam

dua lingkup yaitu dalam lingkup personal (pribadi) dan sosial. Potensi

personal merupakan sebuah inti atau core manusia dalam mencapai

kesempurnaan dirinya sebagai insani menuju insan kamil (manusia yang

sempurna). Keberadaan insani yang satu merupakan organ yang unik dan

beragam. Setiap insan atau personal mempunyai potensi yang diberikan sama

oleh Allah dalam rangka beribadah kepada-Nya.

Kemampuan insan akan semakin terasah dan teruji kalau dia

dihadapkan dengan insan yang lain dan pada sebuah komunitas yang berada di

sekeliling dia. Potensi pribadi akan bisa memengaruhi suasana komunitas,

akan tetapi tidak sedikit koniunitas justru mewarnai pribadi itu sendiri menjadi

sebuah budaya. Akan tetapi, insan yang unggul dan teruji dapat dengan kuat

memengaruhi komunitas tanpa dia sendiri terpcngaruh oleh komunitas itu.

Hanya insan yang belum teruji atau lemahlah yang akan terpengaruh oleh

lingkungan yang ada.

Kesalehan pribadi atau integritas diri merupakan sebuah fondasi yang

penting dan utama dalam mengubah diri dan sosial. Seseorang yang saleh dan

teruji dan kuat akan bisa menjadikan komunitas sekitarnya salah. Nilai-nilai

kebaikan dari seseorang yang saleh belum teruji kalau dia tidak berinteraksi

dengan komunitas sebagai makhluk sosial. Tidak hanya dari segi nilai saja

yang disebarkan, tetapi dalam sebuah komunitas suasana tolong-menolong dan

komunikasi biasa bisa memberikan sebuah perubahan yang bertahap.

103

Perubahan sebuah komunitas berawal dari insan-insan yang berubah

menuju kesalehan dan satu sama lainnya saling melengkapi dalam

menebarkan kesalehan. Perubahan sosial meinang tidaklah sebentar, akan

tetapi memerlukan waktu dan tahapan yang mau tidak mau dikerjakan dengan

kesungguhan dan kerja keras yang lama dan berkesinambungan. Perubahan

berawal dari perubahan di sekitar atau sekelompok orang yang mempunyai

alam pikiran yang sama dan saling menghargai di antara perbedaau yang ada

dan tidak saling mengganggu dan merusak, dan bertahap menjadi sebuah

koinunitas yang saleh.

Sebuah unglcapan yang mungkin bisa dijadikan perenungan, yaitu

Janganlah kita masuk surga sendirian atau saleh untuk sendiri saja, tetapi

ajaklah mereka yang pengensaleh tetapi terjerumus pada kesalahan atau

terkesima oleh inggar-bingar duniawi yang menyesatkan. Saleh untuk kita dan

juga untuk orang lain, tanamkan dalam diri kita kesalehan pribadi dan

bersosial. Islam sebagai agama dan umat, terlibat pertarungan ideologis

hampir di semua bidang dan pengaruh. Di antara agama-agama yang ada

dalam sejarah, Islam memiliki keistimewaan tersendiri. la tidak membatasi

dirinya pada hubungan manusia dengan Tuhan atau penyucian jiwa semata

(sebagaimana agama Masehi), akan tetapi sekaligus menyatakan dirinya

sebagai aliran yang komprehensif yang mencakup seluruh aspek kehidupan

manusia, dari pandangan filosofisnya tentang alam, hingga pada pedoman

kehidupan individual.

104

BAB 7

MANUSIA, TEKNOLOGI, DAN SENI

A. HAKIKAT DAN MAKNA SAINS, TEKNOLOGI, DAN SENI BAGI

MANUSIA

Dalam setiap kebudayaan selalu terdapat ilmu pengetahuan atau sains

dan teknologi, yang digunakan sebagai acuan untuk menginterpretasikan dan

memahami lingkungan beserta isinya, serta digunakan sebagai alat untuk

mengeksploitasi, mengolah, dan memanfaatkannya untuk pemenuhan

kebutuhan manusia. Sains dan teknologi dapat berkembang melalui kreativitas

penemuan (discovery), penciptaan (invention), melalui berbagai bentuk

inovasi dan rekayasa. Kegunaan nyata iptek bagi manusia sangat tergantung

dari nilai, moral, norma, dan hukum yang mendasarinya. Iptek tanpa nilai

sangat berbahaya dan manusia tanpa iptek mencerminkan keterbelakangan.

1. Hakikat dan Makna Sains

Sains dalam istilah Inggris berarti science berasal dari bahasa Latin

yaitu scientia, yang berarti knowledge atau ilmu pengetahuan (P Medawar,

1986). Pengertian pengetahuan sendiri sebagai istilah filsafat tidaklah

sesederhana dipahami pada umumnya, karena bermacam-macam

pandangan dan teori (epistemologi) yang melingkupi makna pengetahuan

tersebut. Di antaranya pandangan Aristoteles (384 SM - 322SM), bahwa

pengetahuan menipakan pengetahuan yang dapat diindra dan dapat

merangsang budi. Menurut Descrates ilmu pengatahuan adalah serba budi,

olch Bacon dan David Home (1711-1776) diartikan sebagai pengalaman

indera dan batin. Menurut Immanuel Kant (1724 -1804) pengetahuan

merupakan persatuan antara budi dan pcngalaman. Tetapi tidak semua

ilmu itu boleh dikatakan sains. Yang dimaksud ilmu sains adalah ilmu

yang dapat diuji (hasil pengamatan yang sesungguhnya) kebenarannya dan

dikembangkan secara bersistem dengan kaidah-kaidah tertentu

105

berdasarkan kebenaran atau kenyataan semata sehingga pengetahuan yang

dipedomani tersebut boleh dipercayai, melalui eksperimen secara teori.

Untuk mencapai suatu pengalaman yang ilmiah dan objektif

diperlukan sikap yang bersifat ilmiah. Bukan membahas tujuan ilmu,

melainkan mendukung dalam mencapai tujuan ilmu itu sendiri, sehingga

bcnar-benar objektif, terlepas dari prasangka pribadi yang bersifat

subjektif. Sikap yang bersifat ilmiah itu meliputi empat hal:

a) Tidak ada perasaan yang bersifat pamrih sehingga mencapai

pengetahuan ilmiah yang objektif.

b) Selektif, artinya mengadakan pemilihan terhadap problema yang

dihadapinya supaya didukung oleh fakta atau gejala, dan mengadakan

pemilihan terhadap hipotesis yang ada.

c) Kepercayaan yang layak terhadap kenyataan yang tak dapat diubah

maupun terhadap alat indra dan budi yang digunakan untuk mencapai

ilmu.

d) Merasa pasti bahwa setiap pendapat, teori, maupun aksioma terdahulu

telah mencapai kepastian, namun terbuka untuk dibuktikan kembali.

Permasalahan ilmu pengetahuan meliputi arti sumber, kebenaran

pengetahuan, serta sikap ilmuwan itu sendiri sebagai dasar langkah

berkelanjutan llmu pengetahuan itu sendiri mencakup ilmu pcngetahuan

alam dan pengetahuan sosial dan kemanusiaan, dan sebagai apa yang

disebut generikmeliputi usaha penelitian dasar dan terapan serta

pengembangannya. Penelitian dasar bertujuan untuk menambah

pengetahuan ilmiah. Penelitian pengembangan diartikan sebagai

penggunaan sistematis dari pengetahuan yang diperoleh penelitian untuk

keperluan penciptaan bahan-bahan, perencanaan sistematis, metode atau

proses yang berguma, tetapi yang tidak mencakup produksi atau

engineering-nya.

Sains memberilcan penekanan kepada sumbangan pemikiran

manusia dalam menguasai ilmu pcngctahuan itu, dan ini terdapat dalam

seluruh alam semesta. Proses mencari kebenaran serta mencari jawaban

106

atas persoalan-persoalan secara sistematik dinamakan pendekatan

scientific dan ia menjadi landasan perkembangan teknologi yang menjadi

salah satu unsur terpenting peradaban manusia.

2. Hakikat dan Makna Teknologi

Istilah teknologi berasal dari kata techne dan logia, dari Yunani

kuno techne berarti seni kerajinan. Dari techne kemudian lahirlah

perkataan technikos yang berarti orang yang miliki keahlian tertentu.

Dengan berkembangnya keterampilan seseorang yang menjadi semakin

tetap karena menunjukkan suatu pola, langkah, dan metode yang pasti,

keterampilan itu menjadi lebih teknik.

Seperti yang diungkapkan Jacques Ellul (1912-1994), dalam

tulisannya berjudul "The Technological Society" tidak mengatakan

teknologi tetapi teknik, meski arti dan maksudnya sama. Teknologi itu

sendiri memperlihatkan fenomenanya dalam masyarakat sebagai hal

impersonal dan memiliki otonomi mengubah setiap bidang kehidupan

manusia menjadi lingkup teknis. Menurut Ellul, istilah teknik digunakan

tidak untuk mensin, teknologi atau prosedur untuk memperoleh hasilnya,

melainkan totalitas metode yang dicapai secara rasional dan mempunyai

efisiensi (untuk memberikan tingkat perkembangan) dalam setiap bidang

aktivitas manusia. Batasan ini bukan dalam bentuk teoretis, melainkan

perolehan aktivitas masing-masing dan observasi fakta dari apa yang

disebut manusia modern dengan perlengkapan tekniknya. Jadi, teknik

menurut Ellul adalah berbagai usaha, metode, dan cara untuk memperoleh

hasil yang sudah distandarisasi dan diperhitungkan sebelumnya.

Dalam kepustakaan teknologi terdapat aneka ragam pendapat yang

menyatakan teknologi adalah transformasi kebutuhan (perubahan bentuk

dari alam), teknologi adalah realitas/kenyataan yang diperoleh dari dunia

ide. Secara konvensional mencakup penguasaan dunia fisik dan biologis,

tetapi secara luas juga mencakup teknologi sosial, terutama teknologi

sosial pembangunan (the social technology of development) sehingga

107

teknologi itu adalah metode sistematis untuk mencapai tujuan insani.

Adapun teknologi dalam makna subjektif adalah keseluruhan peralatan

dan prosedur yang disempurnakan, sampai kenyataan bahwa teknologi

adalah segala hal, dan segala hal adalah teknologi.

Fenomena teknik pada masyarakat kini, memiliki ciri-ciri sebagai

berikut:

a. Rasionalitas, artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi

tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional.

b. Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak

alamiah.

c. Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan

dilaksanakan serba otomatis. Demikian juga dengan teknik mampu

mengeliminasikan kegiatan nonteknis menjadi kegiatan teknis.

d. Teknik berkembang pada suatu kebudayaan.

e. Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling

bergantung.

f. Universalisme, atinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan

ideologi, bahkan dapat menguasai kebudayaan.

g. Otonomi, artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.

Teknologi yang berkembang dengan pesat, meliputi berbagai

kehidupan manusia. Luasnya bidang teknologi, digambarkan oleh Ellul

sebagai berikut:

a. Teknik meliputi bidang ekonomi, artinya teknik mampu menghasilkan

barang-barang industri. Dengan teknik, mampu mengonsentrasikan

kapital sehingga terjadi sentralisasi ekonomi. Bahkan ilmu ekonomi

juga terserap teknologi. Contohnya dengan berkembang pcsatnya ilmu

pengetahuan ekonomi. Knowledge Economy (KE) menurut salah satu

definisi merupakan segala aktivitas ekonomi di mana penciptaan dan

eksplorasi pengetahuan (knowledge) memainkan peran utama dalam

menciptakan kemakmuran (United Kingdom Department of Trade and

Industry, 1998). Pembicaraan mengenai knowledge economy di

108

beberapa literatur sering mengaitkannya dengan peran teknologi

khususnya teknologi informasi yang kemudian mempereepat pe-

nyebaran informasi. Pesatnya perkembangan teknologi informasi yang

menghilangkan batasan-batasan demografi semakin mempercepat

proses penyebaran pengetahuan dan akhirnya juga kegiatan ekonomi.

Hat ini seperti dijelaskan ramalan Toffler. Evolusi ini pun berubah dari

(natural) resources menuju knowledge di mana pcnggunaan teknologi

semakin intensif. Tentu saja ini berkaitan dengan dua latar belakang

yang mengantar perkembangan gelombang ketiga ini yaitu globalisasi

dan teknologi informasi. Jika di masa Revolusi Inkustri kemakmuran

diciptakan melalui penggunaan mesin untuk menggantikan tenaga

kerja manusia, maka di era perkembangan teknologi informasi banyak

orang menghubungkan knowledgeeconomy dengan industri

berteknologi tinggi seperti telematika dan jasa-jasa keuangan. Bukan

rahasia dan juga bukanlah hal yang baru bahwa pengetahuan

(knowledge) merupakan hal yang penting dalam kegiatan ekonomi.

Setiap kegiatan ekonomi bagaimanapun juga selalu didasari oleh pe-

ngetahuan. Bagaimana untuk menanam benih misalnya atau

bagaimana menjual suatu barang tentu memerlukan pengetahuan dan

penggunaan pengetahuan tersebut telah semakin meningkat semenjak

Revolusi Industri. Hanya saja yang membedakannya adalah porsi

penggunaan pengetahuan dan informasi tersebut dalam kegiatan

ekonomi saat ini menjadi semakin intensif sehingga membuat

perubahan yang cukup besar dalam kegiatan ekonomi dan mengubah

basis dari keunggulan kompetitif (Business Week com).

Perkembangan kegiatan ekonomi saat ini yang oleh Tofler telah

diramalkan sebeluinnya sebagai gelombang ketiga dengan peranan dari

teknologi informasi yang semakin pesat, tampaknya akan terus

berubah. Karakteristik khusus dari KE seperti yang digunakan oleh

Pemerintah New Zealand dalam pengembangan knowledgeeconomy-

nya menyebutkan bahwa keberadaan dari KE dapat dicirikan melalui

109

peningkatan peran dari pengetahuan sebagai faktor produksi dan dam-

paknya terhadap kemampuan, pembelajaran, organisasi, dan inovasi.

Perkembangan KE juga didukung oleh dua kekuatan, utama yaitu:

peningkatan intensitas pengetahuan dalam kegiatan ekonomi dan

maraknya globalisasi dari kegiatan ekonomi. Peningkatan dalam

intensitas pengetahuan ini didorong oleh kombinasi dua kekuatan yaitu

revolusi TI dan peningkatan kecepatan dari perubahan teknologi.

Sementara globalisasi didorong oleh deregulasi nasional dan

internasional, dan juga revolusi komunikasi yang berbubungan dengan

TI.Dengan kata lain, perubahan tersebut merupakan perubahan dari

hardware ke software. Di mana hardware merupakan produk

sementara software lebih kepada ide. Yang jelas produk masih akan

tetap ada namun siapa yang akan mendapatkan keuntungan dari

produk tersebut adalah persoalan siapa yang memiliki software (ide)

tersebut. Setelah Revolusi Industri di mana produksi barang menjadi

semakin efisien melalui penciptaan econornies of scale, penciptaan ide

yang kemudian direalisasikan dalam bentuk produk juga akan semakin

menggandakan keuntungan yang didapat. Ide bersifat cepat menyebar

seperti virus dan teknologi mampu meciptakan skala elconomi.

Gabungan keduanya akan menciptakan keuntungan yang berlipat

ganda karena begituide tersebut masuk ke pabrik, maka biaya

produksinya akan semakin mendekati nol. Kita bisa melihat banyak

contoh perusahaan yang telah menikmati kekayaan dari penciptaan ide.

Di akhir 2007 lalu Microsoft yang hanya memiliki 31.000 karyawan,

memiliki kapitalisasi pasar sebesar $600 (billion) triliun. Perusahaan

lainnya Mc Donalds's dengan karyawan 10 kali lebih banyak memiliki

1/10 dari kapitalisasi pasar. Lihat juga Yahoo! Inc yang sahamnya

diperdagangkan pada nilai 40 kali nilai bukunya (Business Week.com).

Modal utama perusahaan-perusahaan tersebut adalah pada kekuatan

"ide".

110

b. Teknologi meliputi bidang organisasional, seperti administrasi,

pemerintahan, manajemen, hukum, dan militer. Contohnya dalam

organisasi negara, bagi seorang teknik negara hanyalah merupakan

ruang lingkup untuk aplikasi alat-alat yang dihasilkan teknik. Negara

tidak sepenuhnya bermakna sebagai ekspresi kehendak rakyat, tetapi

dianggap sebagai perusahaan yang harus memberikan jasa dan dibuat

berfungsi secara efisien.

c. Teknik meliputi bidang manusiawi, seperti pendidikan, kerja, olahraga,

hiburan, dan obat-obatan. Teknik telah menguasai seluruh sektor

kehidupan manusia, manusia harus beradaptasi dengan dunia teknik

dan tidak adalagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh

teknik. Pada masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa kemajuan

adalah suatu proses dehumanisasi secara perlahan sampai akhirnya

manusia takluk pada teknik.

Secara hierarki teknologi dibedakan menjadi tiga macam teknologi,

yaitu:

a. Teknologi modern, jenis teknologi ini mempunyai ciri-ciri antara lain:

padat modal, mekanis elektrik, menggunakan bahan impor,

berdasarkan penelitian mutakhir, dan lain-lain.

b. Teknologi madya, jenis teknologi ini mempunyai cirri-ciri antara lain:

padat karya, dapat dikerjakan oleh keterampilan setempat,

menggunakan alat setempat, berdasarkan alat penelitian.

c. Teknologi tradisional, jenis teknologi ini mempunyai ciri-ciri sebagai

berikut: bersifat padat karya (menyerap banyak tenaga kerja),

menggunakan keterampilan setempat, menggunakan alat setempat,

menggunakan bahan setempat, dan berdasarkan kebiasaan dan

pengamatan.

111

3. Hakikat dan Makna Seni

Menurut pandangan tradisional, seni hanya diekspresikan oleh

segelintir orang dan audiensi yang eksklusif. Pandangan ini mengatakan

bahwa kegiatan artistik yang benar, apa pun macamnya hanya dilakukan

oleh orang-orang tertentu yang memiliki kreativitas unik. Namun dewasa

ini, pandangan semacam itu dianggap terlalu sempit dan eliteis. Sering kali

para artis, pelukis, musikus, dan lain sebagainya dianggap orang yang

menghasilkan kreasi-kreasi baru yang berbeda dengan sebelumnya.

Namun para pelaku yang dianggap seniman tersebut sering kali hanya

dapat berkarya dalam lingkungan estetis kebudayaan mereka dan

memanfaatkan idiom-idiom yang digunakan masyarakat meraka. Maka

keliru bila ada yang menganggap bahwa karya-karya seni itu bersifat

individual dan eksklusif, terpisah dari masyarakat. Oleh sebab itu, segala

aktivitas seni pun tak mungkin dilepaskan dari eksistensi serta aktivitas

masyarakat secara keseluruhan.

Seni adalah suatu nilai hakiki yang tak bisa dipisahkan dari

kehidupan manusia. Dalam seluruh sejarah kebudayaan manusia pun

ditandai dengan seni manusia sebagaimana terungkap dalam pelbagai

ragaul karya seni. Mungkin sulit memisahkan permulaan kesenian dan

kebudayaan manusia, karena aktivitas sosial pada hakikatnya bersifat

artistik, yakni pembentukan lingkungan materiil menjadi lingkungan yang

manusiawi berkat keterampilan dan kreativitas manusia, manusia pernah

didefinisikan sebagia a tool-using animal, binatang yang menggunakan

alat. Namun alat itu sejak mulanya lebih merupakan alat artis daripada alat

seorang pekerja. Manusia tak pernah tergantung dan tunduk sepenuhnya

pada lingkungan alamiah tertentu. Manusia adalah pencipta

lingkungannya. Maka sejak awal mulanya, manusia adalah sang artis,

seniman. Karya seni merupakan wujud dari keseluruhan serta keagungan

hati manusia. Seni memang tiada lain dari keindahan yang terpancar dari

segi batin yang halus. Maka seni merupakan aktif-kreatif-dinamis; suatu

kekuatan yang dapat menghidupkan dan memperkaya batin manusia dan

112

masyarakat. Seni adalah nilai yang secara kreatif mendorong manusia

kearah pemenuhan martabat manusia sebagai manusia.

Seni juga merupakan segi batin masyarakat, yang juga berfungsi

sebagai jembatan penghubung antar kebudayaan yang berlainan coraknya.

Di sini, seni berperan sebagai jalan untuk memahami kebudayaan suatu

masyarakat. Menonton Wayang, misalnya orang mengenal eksistensi

kebudayaan Jawa ataupun kebudayaan-kebudayaan lain yang juga

memiliki unsur seni Wayang. Atau melalui Candi Borobudur orang dapat

berkontak dengan denyut nadi kehidupan kebudayaan Buddhis. Karenanya

suatu karya seni selalu bersifat sosial.

Kehadiran karya seni selalu mengandaikan kehadiran suatu

masyarakat yang berjiwa kreatif, dinamis, dan agung. Suatu karya seni

tidak saja melambangkan kehadiran sang artis, seniman yang

menciptakannya, melainkan melambangkan juga kehadiran masyarakat.

Oleh sebab itu, menghargai dan memahami seni adalah penting.

Memahami seni suatu masyarakat berarti memahaini aktivitas vital

masyarakat yang bersangkutan dalam momen yang paling dalam dan

kreatif. Oleh sebab itu, benar adanya apa yang dikatakan Janet Woll,

bahwa scni adalah produk sosial.

4. Hakikat dan Makna Sains, Teknologi, dan Seni bagi Manusia

Dalam kehidupan kita sehari-hari, berbagai pendapat yang

mempertentangkan praksis sains dan teknologi secara bipolar masih sering

terdengar. Sudah tentu, diskursus lersebut tidak mungkin muncul tanpa

sejarah. Salah satu sebabnya, boleh jadi ialah karena pemahaman umum

tentang teknologi sebagai perpanjangan tangan dari sains modern yang

dianggap selalu berurusan dengan kepastian rasional dan serba

keterukuran dalam logika positivisme. Adapun seni atau lebih khusus lagi,

seni rupa modern, umumnya dilihat sebagai praksis filosofis yang justru

identikdengan berbagai ketidakpastian, penafsiran personal, dan

subjektivitas. Pertentangan bipolar itu juga terkait dengan pandangan

113

khalayak yang di satu sisi memahami teknologi sebagai perwujudan nyata

dari cita-cita kemajuan peradaban modern secara konkret, berdampak pada

kehidupan manusia. Sementara di sisi lain, melihat seni sebagai aktualisasi

pengalaman batin, intuisi, dunia pra reflektif manusia dan khazanah rasawi

yang tak terjamah.

Demikian paparan dari Agung Hujatkajennong pada diskusi yang

berlangsung dalam rangka pameran Video Sculpture di Jerman Sejak 1963

di ITB, 9 Juni lalu. Pendapat-pendapat tersebut memang tidak sepenuhnya

keliru melihat pemisahan yang secara sadar atau tidak memang dilakukan

oleh para pelaku teknologi dan seni tersebut. Pemisahan ini tidak terlepas

dari ambisi manusia sendiri untuk mengejar modernitas, menciptakan

spesialisasi dalam bidang-bidang kehidupan manusia demi terwujudnya

praktik dan disiplin keilmuan yang otonom.

Sejarah sendiri mencatat bagaimana pada paruh pertama abad ke-

20, kedua bidang tersebut telah menghasilkan puncak-puncak penemuan

dalam kebudayaan modern, di mana eksperimentasi dan riset menjadi

tulang punggung dalam pencapaian kesejahteraan manusia. Namun

berbagai penemuan tersebut semakin memisahkan seni dan teknologi di

masa itu hingga menjangkau dalam tataran konsep. Keterkaitan antara

keduanya hanya samar-samar terlihat dalam hal keinginan untuk terus

menemukan sesuatu yang baru.

Tetapi dalam dekade 60-an, terjadi perubahan mendasar dalam

konsep tersebut. Kehadiran genre video art mempertemukan dua perangkat

tersebut bagai dua sisi mata uang logam. Memang tidak bisa dimungkiri

kehadiran kamera, film, dan video telah menciptakan sintesis antara dunia

imaji dalam seni dengan perangkat teknologi reproduksi mekanik.

Kelahiran fotografi dan sinema telah membawa perubahan besar dalam

kebudayaan manusia. Sebuah pendobrakan terhadap tataran konsep

pemisahan seni dan teknologi.

114

Menanggapi berkembangnya video art, Agung menjelaskan bahwa

seni yang hadir lewat teknologi video memiliki ciri unik sendiri. Secara

sejarah, karya-karya dalam video art menuntut kita untuk mendefinisikan

kembali model persepsi estetik secara baru karena karakter-karakter

inheren medium video yang khusus membedakan dengan seni lukis, tari,

teater, bahkan sinema sekalipun. Video merupakan rangkaian citra

bergerak dan suara yang terikat dengan waktu berbeda dengan lukisan.

Karya-karya purwarupa video art juga mendeskonstruksi konvensi narasi

dan pola yang pcnting hadir dalam sinema/film. Ketika fotografi dan

film/sinema hadir sebagai kebaruan dari teknologi dan seni, video art

justru lahir dari kecurigaan dan kritisme terhadap seni dan telrnologi.

Salah satu fenomena yang menjadi kritik terhadap seni dan

telrnologi adalah televisi. Televisi yang hadir dalam dekade 60-an,

menjadi sebuah jargon teknologi informasi yang sangat agresif. Kebutuhan

akan televisi telah memicu lahirnya sistern komunikasi yang baru. Sistem

komunikasi ini yang mampu mendorong perubahan sosial, politik,

ekonomi secara besar-besaran dalam kehidupan manusia. Sejak pertarna

kali televisi ditemukan telah menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan

hiburan, informasi, pendapat bahkan ideologi yang terselubung. Kritik

yang sama terhadap budaya TV dan budaya tontonan juga ditampilkan

dalam pameran video art bulan ini.

Video art yang hadir dalam bentuk kritisme terhadap seni dan

teknologi disajikan dalam bentuk berbeda. Di mana seni dan peralatan

teknologi sendiri digunakan untuk menggambarkan kritik tersebut. Sejak

berkembangnya video art sampai sekarang, penggunaan perangkat

teknologi terbaru juga menyertai setiap karya yang hadir. Video art hadir

dalam berbagai bentuk teknologi visual yang secara konseptual seiring

dengan diskursu, yang berkembang dalam praksis seni rupa.

Terlepas dari kehadiran video art sebagai bentuk kritik, teknologi,

dan seni memang berada dalam sebuah konteks sama mengusung pada

kemajuan budaya manusia. Pada tataran tertentu, video art memang

115

merupakan sinergi paling menguntungkan antara seni dan teknologi. Di

satu sisi, penemuan-penemuan teknologi telah menyumbangkan sistem

bahasa yang baru bagi seni, sehingga perkeinbangan seni tidak mandek

dengan kanon-kanon yang klasik seperti seni lukis dan seni patung saja.

Perkembangan arus informasi dan makin gemerlapnya dunia dengan

teknologi, seharusnya dilengkapi dengan keterlibatan seni dalam

perkenalan dengan manusia. Seni sebagai sebuah imaji batin yang mampu

dirasa bersanding dengan penerapan teknologi yang agresif. Dengan

tujuan yang sama untuk memajukan budaya manusia sekaligus

menyejahterakannya.

Proses-proses kreatif yang hadir dari seni, seharusnya bisa menjadi

stimtilan yang baik bagi para saintis/teknokrat dan seniman di Indonesia

untuk lebih memahami proses perubahan budaya di masyarakat berkaitan

dengan adaptasi dan aplikasi seni dan teknologi. Kolaborasi di antara

pihak-pihak tersebut akan mengembalikan praksis seni dan teknologi pada

fitrahnya sebagai techne.

Techne yang merupakan proses kreatif seni dan ilmu pengetahuan

juga telah melahirkan teknologi yang tidak hanya modern tetapi juga

memenuhi berbagai kebutuhan dan keiuginan manusia. Sudah menjadi

sifat dasar manusia bila telah terpenuhinya keinginan, maka akan timbul

keinginan yang lain atau menambah apa yang telah tercapai. Dan setiap

orang tidak ingin mengalami kesulitan, tetapi setiap orang akan berusaha

setiap langkah untuk mendapat kemudahan. Kemudahan itu didapatkan

dari kreativitas seni dan ilmu pengetahuan yang menghasilkan teknologi,

misalnya:

a. Penggunaan teknologi nuklir, orang dapat membuat reaktor nuklir

yang dapat menghasilkan zat-zat radio aktif, yang dimanfaatkan untuk

keperluan. Misalnya untuk keperluan bidang kesehatan (sinar

rontgen), memperbaiki bibit pada bidang pertanian, dan lain

sebagainya.

116

b. Teknologi pengendalian air sungai, misalnya dengan membuat irigasi

modern sehingga petani mendapat kemudahan memperoleh air.

Bendungan dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. Alat rumah

tangga mempermudah ibu-ibu melaksanakan tugasnya di dapur, seperti

alat-alat masak.

c. Dalam dunia pendidikan, teknologi juga dapat membuat macam-

macam media pendidikan, seperti OHP, slide, TV, dan lain-lain yang

mempermudah para pendidik melaksanakan tugasnya.

B. DAMPAK PENYALAHGUNAAN IPTEK PADA KEHIDUPAN SOSIAL

DAN BUDAYA

Pengaruh negatif iptek secara manusiawi dirasakan pada masyarakat

dewasa ini, terlihat dari kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia pada

saat ini telah begitu jauh dipengaruhi oleh iptek. Gambaran kondisi tersebut

sebagai berikut:

a. Situasi tertekan, manusia mengalami ketegangan akibat penyerapan iptek,

dan mekanisme-mekanisme iptek. Manusia melebur dengan mekanisme

iptek, sehingga waktu manusia dan pekerjaannya mengalami pergeseran.

Peleburan manusia dalam mekanisme iptek, menuntut kualitas dari

manusia, tetapi kadang manusia tidak hadir didalamnya atau pekerjaannya.

Contoh pada sistem industri ban berjalan, seorang pekerja meskipun sakit

atau lemah ataupun ada berita duka bahwa anaknya sedang sakit di rumah

sakit, mungkin pekerjaan itu tidak dapat ditinggalkan sebab akan membuat

macet garis produksi dan upah bagi temannya. Keadaan tertekan demikan,

akan mengilangkan nilai-nilai sosial dan tidak manusiawi lagi.

b. Perubahan ruang dan lingkungan manusia. Iptek telah mengubah

lingkungan manusia dan hakikat manusia. Contoh yang sederhana manusia

dalam hari makan atau tidur tidak ditentukan oleh lapar atau kantuk tetapi

diatur oleh jam. Alat-alat transportasi telah mengubah jarak pola

komunikasi manusia. Lingkungan manusia menjadi terbatas, tidak

berhubungan dengan padang rumput, pantai, pepohonan atau gunung

117

secara langsung, yang ada hanyalah bangunan tinggi dan padat, sehingga

sinar matahari pagi tidak menyentuh permukaan kulit manusia.

c. Perubahan waktu dan gerak manusia. Akibat iptek, manusia terlepas dari

hakikat kehidupan. Sebelumnya, tidur diatur dan diukur sesuai dengan

kebutuhan dan peristiwa-peristiwa dalam hidup manusia sifatnya konkret

dan alamiah. Tetapi sekarang waktu menjadi abstrak dengan pembagian

jam, menit, dan detik. Waktu hanya memiliki kuantitas belaka tidak ada

nilai kualitas manusiawi dan sosial, sehingga irama kehidupan harus

tunduk kepada waktu yang mekanistis dengan mengorbankan nilai kualitas

manusia dan nilai sosial.

d. Terbentuknya suatu masyarakat massa. Akibat iptek, manusia hanya

membentuk masyarakat massa, artinya ada kesenjangan sebagai

masyarakat kolektif. Hal ini dibuktikan bila ada perubahan norma dalam

masyarakat, maka muncul keguncangan. Masyarakat kita masih

memegang nilai-nilai asli (primordial) seperti agama atau adat istiadat

secara ideologis, akan tetapi struktur masyarakat ataupun dunia norma

pokoknya tetap saja hukum ekonomi, politik, atau persaingan kelas. Proses

sekularisasi sedang berjalan secara tidak disadari. Proses massafikasi yang

melanda kita dewasa ini, telah menghilangkan nilai-nilai hubungan sosial

suatu komunitas, padahal individu perlu hubungan sosial. Terjadi neurosis

obsesional atau gangguan saraf menurut beberapa ahli, sebagai akibat

hilangnya nilai-nilai hubungan sosial, yaitu kegagalan adaptasi dan

pergantian relasi-relasi komunal dengan relasi yang bersifat teknis.

Struktur sosiologi massa dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan iptek dan

kebijakan ekonomi (produk industri) yang melampaui kemampuan

manusia.

e. Iptek manusiawi dalam arti ketat. Artinya, iptek manusiawi harus

memberikan kepada manusia suatu kehidupan manusia yang sehat dan

seimbang, bebas dari tekanan-tekanan. Iptek harus menyelaraskan diri

dengan kepentingan manusia bukan sebaliknya. Melalui iptek bukan

menghilangkan kodrat manusia itu sendiri, tetapi pertu memanusiakan

118

iptek. Manusia bukan menjadi objek iptek tetapi harus menjadi subjek

iptek. Kondisi sekarang rnanusia itu menjadi objek iptek dan harus selalu

menyesuaikan dengan iptek.

Alvin Toffler, mengumpamakan teknologi itu sebagai mesin yang

besar atau sebuah eskalator (alat mempercepat) yang dahsyat, dan ilmu

pengetahuan sebagai bahan bakarnya. Dengan meningkatnya ilmu

pengetahuan secara kuantitatif dan kualitatif, maka kian meningkat pula

proses akselerasi yang ditimbulkan oleh mesin pengubah, lebih-lebih iptek

mampu menghasilkan teknologi yang lebih banyak dan lebih baik.

Akselerasi perubahan secara drastis dapat mengubah situasi. Dalam hal

ini situasi dapat dianalisis menurut lima komponen dasar, yaitu:

1. Benda, hubungan manusia dengan benda tidak awet, dan masyarakatnya

merupakan masyarakat pembuang. Bandingkan, misalnya, pulpen bertinta

yang permanen dengan bolpoin yang dibuang setelah habis.

2. Tempat, hubungan tempat dengan manusia menjadi lebih sering, dan lebih

sementara. Jarak fisik semakin tidak berarti. masyarakat amat mobile

penuh dengan ”nomad baru”. Secara kiasan tempat pun seolah-olah cepat

terpakai dan habis, tidak berbeda misalnya dengan minuman kaleng.

3. Manusia, hubungan manusia dengan manusia pun pada umumnya menjadi

sangat sementara dan coraknya fungsional. Kontak antarmanusia tidak

menyangkut keseluruhan personalitas, melainkan bersifat dangkal dan

terbatas, secara kiasan terdapat “orang yang dapat dibuang”.

4. Organisasi, kecenderungan menjadi superbirokrasi di masa depan.

Manusia dapat kehilangan individualitas dan personalitasnya dalam mesin

organisasi yang besar, namun hakikatnya sistemnya sendiri telah

mengalami banyak perubahan. Hubungan manusia dengan organisasi

menjadi mengalir dan beraneka ragam, menjadi sementara, baik hubungan

formalnya (departemen,instansi pemerintah, perusahaan) maupun

hubungan informalnya (kelompok minum kopi). Namun hubungan

manusia dengan organisasi hubungan kelompok task force yang semuanya

119

pada hakikatnya merupakan kelompok ad hoc atau hanya untuk keperluan

khusus.

5. Ide, hubungan manusia dengan ide bersifat sementara karena image timbul

dan menghilang dengan lebih cepat. Gelombang demi gelombang ide

menyusupi hampir di segala bidang aktivitas manusia.

C. PERMASALAHAN PEMANFAATAN IPTEK DI INDONESIA

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia memiliki

kemampuan yang cukup dalam bidang iptek? Upaya untuk membangun daya

saing saja tentunya tidak hanya didasari oleh kcinginan untukmemenangkan

pasar tetapi juga harus dengan melihat kemampuan yang dimiliki. Indonesia

saat ini masih sangat jauh tertinggal dalam bidang teknologi. Indonesia bukan

India yang memiliki tcnaga-tenaga ahli di bidang TI yang kemudian dapat

menjual layanannya lintas negara dengan memanfaatkan iptek.

Yang tersisa dari Indonesia saat ini mungkin adalah budaya dalam

pengertian culture dan heritage. Indonesia berlimpah berbagai ragam budaya

yang membentang sepanjang Nusantara. Keanekaragaman budaya ini

merupakan salah satu karakteristik unik yang mampu memberikan nilai

tambah tinggi bagi produk yang akan menjadi implementasi budaya ini.

Bentuk nyatanya tentu saja seperti yang saat ini populer

diperbincangkan banyak orang yaitu industri kreatif (atau ekonomi kreatif).

Pengembangan ekonomi kreatif memadukan unsure ide, seni, dan teknologi.

Indonesia memiliki daya dukung yang sangat melimpah. Manusia Indonesia

(secara rata-rata) mungkin seperti saya, tidak terlalu pintar (kalau tidak mau

dibilang bodoh). Namun memiliki kreativitas yang cukup seperti kita bisa lihat

dari berbagai mcam peninggalan yang kita miliki.

Masalahnya kemudian adalah bagaimana untuk mengembangkan

potensi iptek kreatif yang dimiliki Indonesia. Satu hal yang harus menjadi

perhatian adalah bagaimana mengakomodasi pengembangan bidang yang

relatif baru ini di Indonesia sehingga mampu menciptakan nilai tambah yang

tinggi dan hal lainnya adalah bagaimana untuk menjaga dan mengembangkan

120

sumber dari iptek kreatif ini yaitu penciptaan ide dari manusia-manusia kreatif

Indonesia.

Seperti dikutip Kompas.com, Hubert Gijzen, Direktur dan Perwakilan

Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (Unesco),

menyampaikan bahwa pengembangan industri kreatif memiliki implikasi

ekonomi yang jauh lebih luas, lebih dari sekadar menciptakan nilai tambah

yang besar tetapi juga dapat mengangkat pembangunan manusia dan sosial.

Dalam membangun industri kreatif yang di dalamnya termasuk industri

budaya, kata Hubert, harus didorong terjadinya dialog interkultural. Saya

pikir, kesimpulan yang disampaikan oleh Sardono W Kusumo masih dalam

diskusi yang sama oleh Kompas, bisa juga menjadi perhatian bahwa

penciptaan lingkungan yang mendukung adanya kebebasan untuk berkreasi

adalah salah satu sarana untuk terus menjaga agar benih-benih manusia kreatif

Indonesia dapat terus tumbuh dan pada akhirnya menjadikan Indonesia

sebagai salah satu negara yang memiliki posisi seperti yang diimpikan

Indonesia Forum dalam visi 2020. Dalam hal ini perlu ada kebebasan individu

dan negara harus menciptakan iklim untuk tumbuhnya kebebasan berkreasi

itu.

121

BAB 8

MANUSIA DAN LINGKUNGAN

A. EKOLOGI MANUSIA DAN KESADARAN INDIVIDU DALAM

PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Secara alamiah, manusia berinteraksi dengan lingkungannya, manusia

sebagai pelaku dan sekaligus dipengaruhi oleh lingkungan tersebut.

Perlakuan manusia terhadap lingkungannya sangat menentukan keramahan

lingkungan terhadap kehidupannya sendiri. Manusia dapat memanfaatkan

lingkungan tetapi perlu memkihara lingkungan agar tingkat kemanfaatannya

bisa dipertahankan bahkan ditingkatkan. Bagaimana manusia menyikapi dan

mengelola lingkungannya yang pada akhirnya akan mewujudkan pola-pola

perdaban dan kebudayaan.

Ekologi manusia, menurut Amos H. Hawley (1950: 67) dikatakan,

"Human ecology maybe defirzed, therefore, in terms that have already been

used, as the study of the form and the development of the community in

human population” (Ekologi manusia, dengan demikian bisa diartikan, dalam

istilah yang biasa digunakan, sebagai studi yang mempelajari bentuk dan

perkembangan komunitas dalam sebuah populasi manusia). Frederick Steiner

(2002: 3) mengatakan, "This new human ecology over emphasizes complexity

over-reductionism, focuses on changes over stable states, and expands

ecological concepts beyond the study of plants and animals to include

people.This view differs from the environment determinism of the early

twentieth century”. (Ekologi manusia baru menekankan pada over-

reduksionieme yang cukup rumit, memfokuskan pada perubahan negara yang

stabil, dan memperluas konsep ekologi melebihi studi tentang tumbuh-

tumbuhan dan hewan menuju keterlibatan manusia. Pandangan ini berbeda

dari determinisme lingkungan pada awal-awal abad ke-20). Menurut Gerald

L. Young (1994: 339) dikatakan, “Human ecology, then, is an attempt to

understand the inter-relation ships between the human species and is its

122

environment” (dengan demikian, ekologi manusia, adalah suatu pandangan

yang mencoba memahami keterkaitan antara spesies manusia dan

lingkungannya).

Persamaan dari ketiga definisi yang dikemukakan di atas adalah

bahwa pengertian “ekologi manusia” merujuk pada suatu ilmu (iokos =

rumah/tempat tinggal; logos = ilmu) dan mempelajari interaksi lingkungan

dengan manusia sebagai perluasan dari konsep ekologi pada umumnya.

Perbedaan dari ketiga definisi tersebut adalah pada titik tekan

(emphasizes) para pakar dalam mendefinisikan “ekologi manusia”, yang

masing-masing sebagai berikut. Hawley menekankan pada studi tentang

bentuk dan perkembangan komunitas dalam sebuah populasi manusia

(masyarakat) dalam kaitannya dengan lingkungan. Steiner menekankan pada

era baru ilmu “ekologi manusia” yang memperluas dari ekologi yang hanya

mempelajari lingkungan tumbuhan dan hewan menuju keterlibatan manusia

secara kompleks). Young menekankan pada keterkaitan (interaksi) antara

manusia dan lingkungannya saja.

Ruang lingkup ekologi manusia menurut Hawley (1950); Human

ecology, like plant and animal ecology, represents a special application of

the general viewpoint to a particular class of living things. It involves both a

recognition af the fundamental unity of animate nature and an awareness

that there is differentiation within that unity. Man, as we have seen, not only

occupies a nicle in nature’s web of life, he also develops among his fellows

an elaborate community of relations comparable in many important respects

to the more inclusive biotic community” Jadi, ruang lingkup ekologi manusia

menurut Hawley adalah sebagaimana pernyataannya, (Ekologi manusia,

sebagaimana ekologi tumbuh-tumbuhan dan manusia, merepresentasikan

penerapan khusus dari pandangan umum pada sebuah kelas khusus dalam

sebuah kehidupan. Ini meliputi dua kesadaran bahwa ada perbedaan dalam

kesatuan tersebut. Manusia, sebagaimana kita tahu, tidak hanya bekerja

dalam sebuah tempat jaringan kehidupan, melainkan dia juga

mengembangkan di antara anggota-anggotanya sebuah pengalaman

123

hubungan lingkungan yang sebanding dalam tanggung jawab pentingnya atas

lingkungan hidup yang lebih terbuka).

Steiner (2002), menyatakan bahwa ruang lingkup ekologi manusia

meliputi: (1) set of connected stuff (sekelompok hal yang yang sakung

terkait); (2) integrative traits (cirri-ciri yang integrative); dan (3) scaffolding

of place and change (perancah tempat dan perubahan).

B. KESADARAN INDIVIDU DALAM MASYARAKAT

Kesadaran individu dalam masyarakat mengenai lingkungan hidup

dan kelestariannya merupakan hal yang amat penting dewasa ini di mana

pencemaran dan perusakan lingkungan merupakan hal yang sulit dihindari.

Kesadaran masyarakat yang terwujud dalam berbagai aktivitas lingkungan

maupun aktivitas kontrol lainnya adalah hat yang sangat diperlukan untuk

mendukung apa yang dilakukan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan

penyelamatan lingkungannya.

Kesadaran terhadap lingkungan tidak hanya bagaimana menciptakan

suatu yang indah atau bersih saja, akan tetapi ini sudah masuk pada

kewajiban manusia untuk menghormati hak-hak orang lain. Hak orang lain

tersebut adalah untuk menikmati dan merasakan keseimbangan alam secara

murni. Sehingga kegiatan-kegiatan yang sifatnya hanya merusak saja,

sebaiknya dihindari dalam perspektif ini. Oleh karena itu, tindakan suatu

kelompok yang hanya ingin menggapai keuntungan pribadi saja sebaiknya

juga harus meletakkan rasa toleransi ini.

Dengan begitu, kita bisa mengatakan bahwa kesadaran masyarakat

akan lingkungannya adalah suatu bentuk dari toleransi ini. Toleransi atau

sikap tenggang rasa adalah bagian dari konsekuensi logis dari kita hidup

bersama sebagai makhluk sosial. Melanggar konsekuensi ini juga berarti

melanggar etika berkehidupan bersama, seperti dikatakan Plato bahwa

manusia adalah makhluk sosial yang perlu menghargai satu dan lainnya.

Demikian juga halnya dengan perspektif lingkungan, hak yang sama juga

berlaku di sini.

124

Kondisi senyatanya dari masyarakat kita mengenai kesadaran

lingkungan hidup ini tampaknya masih tercermin seperti apa yang dikatakan

P. Joko Subagyo, bahwa ada beberapa hat yang perlu kita perhatikan:

1. Rasa tepa salira yang cukup tinggi, dan tidak terlaluingin mengganggu.

2. Tidak memikirkan akibat yang akan terjaki, sepanjang kehidupan saat ini

masih berjalan dengan normal.

3. Kesadaran melapor (jika ada hal-hal yang tidakberkenan dan dianggap

sebagai mkawan hukum lingkungan) tampaknya masih kurang. Hal ini

dirasakan akan mengakibatkan masalah lingkungan semakin panjang.

4. Tanggung jawab mengenai kelestarian alam masih perlu diperbaiki dan

ditingkatkan kembali.

Untuk membahas hal ini, maka dalam bab ini kita akan membahas

pada salah satu jenis perusakan lingkungan, yakni pencemaran lingkungan

baik udara maupun air dan sekaligus membahas mengenai cara

menanggulanginya, sebagai bentuk usaha kuratif maupun preventif.

C. PENCEMARAN LINGKUNGAN

Umumnya, ahli lingkungan membagi kriteria lingkungan hidup dalam

tiga golongan besar, yakni:

1. Lingkungan fisik segala sesuatu di sekitar kita sebagai benda mati.

2. Lingkungan biologis: segala sesuatu di sekitar kita sebagai benda hidup.

3. Lingkungan sosial, adalah manusia yang hidup secarabermasyarakat.

Keberadaan lingkungan tersebut pada hakikatnya meski dijaga dari

kerusakan yang parah. Suatu kehidupan lingkungan akan sangat tergantung

pada ekosistemnya. Oleh karena itu, masyarakat secara terus-menerus harus

didorong untuk, mencintai, memelihara, dan bertanggungjawab terhadap

kerusakan lingkungan. Sebab untuk menjaga semuanya itu tidak ada lagi yang

bisa dimintai pertanggungjawaban kecuali manusia sebagai pemakai/

pengguna itu sendiri. Kerusakan suatu lingkungan akan berakibat pada

manusia itu sendiri, dan demikian pula sebaliknya. Lingkungan merupakan

unsur penentu dari kehidupan mendatang. Lingkungan merupakan unsur

125

penentu dari kehidupan mendatang. Lingkungan alam merupakan prasyarat

pokok mengapa dan bagaimana pembangunan itu diselenggarakan. Bagi

program pembangunan itu sendiri, apabila pelaksanaanya sesuai dengan

program yang telah dijalankan, maka orientasi untuk menjaga lingkungan

semesta pun akan bisa digunakan untuk mencapai tingginya tingkat

pertumbuhan ekonomi semata, maka hal itu akan menimbulkan kerusakan

lingkungan yang cukup seriuas. Salah satu prosuk dari kerusakan lingkungan

itu adalah pencemaran, baik air, tanah, maupun udata.

Pencemaran air, misalnya bisa dikategorikan melalui ukuran zat

pencemar yang diizinkan dibuang pada suatu jangka waktu tertentu. Misalnya,

satuan berat unsur atau senyawa dalam air bungan. Misalnya, maksimum ppm.

Unsur senyawa kimia yang diizinkan. Kemudian jumlah maksimum yang

dapat dibuang dalam setiap unit produksi. Misalnya, dalam produksi setiap ton

kertas tidak diperbolehkan sekian kilogram zat padat dan lain sebagainya.

Dengan demikian, di samping perkiraan atas sebagainya. Dengan demikian, di

samping perkiraan atas pengaruh yang bersifat kimia, fisis dan biologis, maka

dituntut perkiraan mengenai biaya keseluruhan teknologi linkungannya,

usianya, semua fasilitas yang digunakan, teknik penggunaannya, metode

operasinya dan lain-lain.

Pencemaran lingkungan yang berdampak pada berubahnya tatanan

lingkungan karena kegiatan manusia atau oleh proses alam berakibat

lingkungan kurang berfungsi. Pencemaran berakibat kualitas lingkungan

menurun, sehingga menjadi fatal jika itu tak bisa dimanfaatkan sebagaimana

fungsi sebenarnya. Ini disadari, keadaan lingkungan yang dotata sebaik-

baiknya untuk menjaga kehidupan kini dan mendatang. Perubahan ini

bukannya menunjukkan perkembangan yang optimus dan mengarah pada

tuntutan zaman namun malahan sebaliknya.

Kemunduran yang seperti itu dimulai dari sebuah gejala pencemaran

dan kerusakan lingkungan yang belum begitu tampak. Pencemaran itu lebih

banyak terjadi karena limbah pabrik yang masih murni, dan mereka belum

melalui proses waste water treatment atau pengolahan. Dampaknya pada

126

lingkungan secara umum, jelas sangat merusak dan berakibat fatal bagi

lingkungan secara keseluruhan. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran

bahwa setiap kegiatan pada dasarnya menimbulkan dampak terhadap

lingkungan hidup. Kita perlu memperkirakan pada perencanaan awal suatu

pembangunan yang akan kita lakukan. Sehingga dengan cara demikian, maka

dapat dipersiapkan pencegahan maupun penanggulangan dampak negatifnya

dan mengupayakan dalam bentuk pengembangan positif dari kegiatan

pembangunan yang dilakukan tersebut.

Kebijaksanaan lingkungan ditujukan kepada pencegahan pencemaran.

Sarana utama yang diterapkan adalah pengaturan sifatnta tradisional dan

biasanya berupa izin serta persyaratan pemakaian teknologi pencemaran.

Instrumen ekonomis merupakan hal yang relative baru. Contohnya: pungutan

(charges) pencemaran udara dan air serta uang jaminan pengembalian kaleng

atau botol bekas (deposit fees). Mulanya pencemaran diakibatkan dampak

teknologi buatan manusia atau hasil produksi yang sudah tidak bisa

dimanfaatkan. Akibat pengembangan industri, sistem transportasi,

permukiman akan menimbulkan sisa buangan, gas, cair, dan padat yang jika

dibuang ke lingkungan hidup akan menimbulkan dampak yang besar terhadap

kehidupan manusia.

Proses perkembangan teknologi, pembangunan dan peningkatan

populasi (jumlah banyaknya penduduk) selama dekade-dekade terakhir

mengakibatkan berlipatnya aktivitas manusia dalam upaya pemenuhan

kebutuhan pokok kehidupannya. Aktivitas manusia itu sendiri merupakan

sumber pencemaran yang sangat potensial. Di samping adanya sumber daya

alam, alam air dan tanah, udara adalah sumber daya alam yang mengalami

pencemaran sebagai akibat sampingan dari aktivitas manusia itu. Selain dari

aktivitas unanusia, proses alami, seperti kegiatan gunung berapi, tiupan angin

terhadap lahan gundul berdebu dan lain sebagainva juga merupakan sumber

dari pencemaran udara.

127

Menurut sifat penyebaran bahan pencemarannya, sumber penceman

udara dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu sumber titik,

area, dan bergerak. Sumber titik dan area dapat dijadikan satu kelompok,

sehingga pengelompokannya menjadi dua, yakni sumber stasioner dan

bergerak. Termasuk ke dalam sumber stasioner adalah kegiatan rumah tangga,

industri, pembakaran sampah, dan letusan gunung berapi. Adapun sumber

bergerak adalah kendaraan angkutan.

Konsentrasi bahan pencemar yang terkandung dalam udara bebas

dipengaruhi banyak faktor, yaitu konsentrasi dan volume bahan penceman

yang dihasilkan suatu sumber, sifat khas bahan pencemar, kondisi

metereologi, klimatologi, topografi, dan geografi. Sehingga tingkat

pencemaran udara sangat bervariasi baik terhadap tempat maupun waktu.

Bahan pencemar udara digolongkan dalam dua golongan dasar, yaitu partikel

dan gas. Dari banyak jenis gas yang berperan dalam masalah udara adalah

SO2, NO2, CO2, oksidan, hidrokarbon, NH3 dan H2. Dalain konsentrasi yang

berlebih, gas-gas tersebut sangat berbahaya bagi manusia dan hewan, tanaman

dan materiil, dan berbagai gangguan lain. Melihat kondisi pencemaran itu,

adalah penting bagi kita untuk menyadari bahwa ini ancaman yang serius bagi

manusia. Karenanya pengetahuan lingkungan perlu ditingkatkan guna

mencapai kesadaran masyarakat.

D.PENGENDALIAN PENCEMARAN

Salah satu akibat yang paling pasti dari adanya pencemaran adalah

perubahan tatanan lingkungan alam atau ekosistem yang sebelumnya secara

alami telah terjadi. Akibat lainnya adalah tidak atau kurang berfungsi satu atau

beberapa elemen lingkungan dikarenakan kegiatan manusia yang

mengakibatkan pencemaran tersebut. Akibat lain, dan ini barangkali yang

paling fatal adalah, menurunnya kualitas sumber daya dan kemudian tidak bisa

dimanfaatkan lagi.

128

Dengan akibat-akibat seperti itu, maka sudah tidak bisa ditunda lagi

bahwa pencemaran haruslah, tidak sekadar dihindari, akan tetapi diperlukan

juga tindakan-tindakan preventif atau pencegahan. Pencegahan terhadap

pencernaran merupakan upaya yang sangat besar bagi penyelamatan masa

depan bumi, air, dan udara di dunia ini. Sebelumya, pencemaran memang

sudah banyak terjadi. Tidak hanya di negara maju di mana industrialisasi

sudah mencapai puncaknya, namun juga di negara-negara yang sedang

berkembang dimana proses dan praktik industrialisasi mulai diterapkan.

Dengan demikian, industrialisasi yang tidak memenuhi standat kebijaksanaan

lingkungan hidup adalah faktor utama mengapa pencemaran terjadi.

Dengan menyadari bahwa setiap kegiatan pada dasarnya menimbulkan

dampak terhadap lingkungan hidup, maka perlu dengan perkiraan pada

perencanaan awal, sehingga dengan cara demikian dapat dipersiapkan langkah

pencegahan maupun penanggulangan dampak negatifnya dan mengupayakan

pengembangan dampak positif dari kegiatan tersebut. Sehubungan dengan itu,

maka diperlukan analisis mengenai dampak lingkungan sebagai proses dalam

pengambilan keputusan tentang pelaksanaan rencana kegiatan.

Pencemaran pada sungai misalnya, harus dihindari dan dicegah karena

sungai merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terlebih

lagi karena sungai adalah kebutuhan sehari-hari. Terlebih lagi karena sungai

adalah sumber air yang digunakan untuk makan dan minum bagi makhluk

hidup. Di samping itu, sungai sebagai sumber air, sangat penting fungsinya

sarana penunjang utama dalam pembangunan nasional. Karena itu, pemerintah

hendaknya memerhatikan pelestarian sungai. Pelestarian sungai dari

pencemaran meliputi perlindungan, pengambangan, penggunaan, dan

pengendalian atas kerusakan dari sifat aslinya, Misalnya dengan

dikeluarkannya PP Ni.35 Tahun 1991 tentang Sungai, sebagai pelaksanaan

UU No. 11/1974 tentang Pengairan, maka peraturan itu bisa digunakan

sebagai pedoman dalam rangka menjalankan aktivitas yang pada akhirnya

mengancam bahaya kelestarian sungai. Hal ini berpedoman pada prinsip

bahwa air dalam sungai akan bisa menjadi sumber malapetaka.

129

Pencemaran akibat industri misalnya, merupakan hal yang harus

dihindari kareana, baik polusi udara yang diakibatkannya maupun buangan

limbah hasil proses mengelolahan barang mentahnya sangat berbahaya bagi

makhluk hidup. Jika industrialisai merupakan proyek pembangunan yang tak

bisa dihindari guna kemajuan manusia, maka setidaknya harua ada landasan

bagaimana industrialisasi yang tak merugikan. Pencegahan pencemaran

industri dimulai dari tahap perencanaan pembangunan maupun mnegoperasian

industri. Hal tersebut meliputi pemilihan lokasi yang dikaitkan dengan rencana

tata ruang; studi yang menyangkut pengaruh dari pemilihan industri terhadap

kemungkinan pencemaran melalui prosedur AMDAL maupun ANDAL;

pemilihan teknologi yang akan digunakan dalam proses produksi; dan yang

lebih penting lagi adalah pemilihan teknologi yang dapat guna proses

pengelolahan limbah industri termasuk daur ulang dari limbah tersebut. Hal ini

penting mengingat kebutuhan kelestarian lingkungan yang ada di sekitarnya.

Dalam UU No.23/1997 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan

Hidup (UUPLH) Pasal 14 ayat 2 dinyatakan bahwa di samping ketentuan

tentang baku mutu lingkungan hidup, ketentuan mengenai pencegahan dan

penanggulangan pencemaran serta pemulihan daya tampungnya diatur dengan

PP. Mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran, dalam Pasal 17

UULH dinyatakan bahwa: Ketentuan tentang pencegahan dan penanggulangan

perusakan dan pencemaran lingkungan hidup beserta pengawasannya yang

dilakukan scara menyeluruh dan/atau secara sektoral ditetapkan dengan

Peraturan Perundang-undangan. Dengan melihat kepedulian pemerintah dalam

hal penyelamatan lingkungan hidup, maka masyarakat pun harus mendukung

sekaligus mengontrol dari pelaksanaan berbagai kebijakan itu. Sebab yang

demikian inilah yang disebut sebagai partisipasi dari kesadaran masyarakat.

E. PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP INDIVIDU

Lingkungan merupakan salah satu faktor vang mempengaruhi terhadap

pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik

maupun sosio-psikologis, termasuk di dalamnya adalah belajar.

130

Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai

empiris yang berarti pengalaman, karena dengan lingkungan itu individu

mulai mengalami danmengecap alam sekitarnya. Manusia tidak bisa

melepaslcan diri seeara mutlak dari pengaruh lingkungan itu, karena

lingkungan itu senantiasa tersedia di sekitarnya.

Sejauh mana pengaruh lingkungan itu bagi diri individu, dapat kita

ikuti pada uraian berikut:

a. Lingkungan membuat individu sebagai makhluk sosial.

Yang dimaksud dengan lingkungan pada uraian ini hanya meliputi orang-

orang atau manusia-manusia lain yang dapat memberikan pengaruh dan

dapat dipengaruhi, sehingga kenyataannya akan menuntut suatu keharusan

sebagai makhluk sosial yang dalam keadaan bergaul satu dengan yang

lainnya.

Terputusnya hubungan manusia dengan masyarakat manusia pada tahun-

tahun permulaan perkembangannya, akan mengakibatkan berubahnva

tabiat manusia sebagai manusia. Berubahnya tabiat manusia sebagai

manusia dalam arti bahwa ia tidak akan mampu bergaul dan bertingkah

laku dengan sesamanya.

Dapat kita bayangkan andai kata seorang anak manusia yang sejak

lahirnya dipisahkan dari pergaulan manusia sampai kira-kira berusia 10

tahun saja, walaupun diberinya cukup makanan dan minuman, akan tetapi

serentak dia dihadapkan kepada pergaulan manusia, maka sudah dapat

dipastikan bahwa dia tidak akan mampu berbicara dengan bahasa yang

biasa. canggung, pemalu, dan lain-lain. Sehingga kalaupun dia kemudian

dididik, maka penyesuaian dirinya itu akan berlangsung sangat lambat

sekali.

b. Lingkungan membuat wajah budaya bagi individu.

Lingkungan dengan aneka ragam kekayaannya merupakcan sumber

inspirasi dan daya cipta untuk diolah menjadi kekayaan budaya bagi

dirinya. Lingkungan dapat membentuk pribadi seseorang, karena manusia

hidup adalah manusia yang berpikir dan serba ingin tahu serta mencoba-

131

coba terhadap segala apa yang tersedia di alam sekitarnya.

Lingkungan memiliki peranan bagi individu, sebagai:

a) Alat untuk kepentingan dan kelangsungan hidup individu dan menjadi

alat pergaulan sosial individu. Contoh: air dapat digunakan untuk

minum atau menjamu teman ketika berkunjung kerumah.

b) Tantangan bagi individu dan individu berusaha untuk dapat

menundukkannya. Contoh: air banjir pada musim hujan mendorong

manusia untuk mencari cara-cara untuk mengatasinya.

c) Sesuatu yang diikuti individu. Lingkungan yang beraneka ragam

senantiasa memberikan rangsangan kepada individu untuk

berpartisipasi dan mengikutinya serta berupaya untuk meniru dan

mengentifikasi, apabila dianggap sesuai dengan dirinya. Contoh :

seorang anak yang senantiasa bergaul dengan temanya yang senantiasa

bergaul dengan temannya yang rajin belajar, sedikit banyaknya sifat

rajin dari temanya akan diikutinya sehingga lama-kelamaan dia pun

menjadi anak yang rajin.

d) Objek penyesuian diri bagi individu, baik secara aloplastik maupun

autoplastis. Penyesuian diri alloplatis, artinya individu itu berusaha

untuk mengubah lingkungannya. Contohnya : dalam keadaan cuaca

panas individu memasang kipas angin sehingga dikamarnya menjadi

sejuk. Dalam hal ini, individu melakukan manipulation yaitu

mengadakan usaha untuk memalsukan lingkungan panas menjadi sejuk

sehingga sesuai dengan dirinya. Adapun penyesuaian diri autoplastis,

penyesuian diri yang dilakukan individu agar dirinya sesuai dengan

lingkungannya. Contoh : seorang juru rawat di rumah sakit, pada

awalnya dia merasa mual karena bau obat-obatan, namun lama-

kelamaan dia menjadi terbiasa dan tidak mengalami gangguan lagi,

karena dirinya telah sesuai dengan lingkungannya.

132

D. ISU-ISU PENTING TENTANG PERSOALAN LINTAS BUDAYA

Kebanyakn masyarakat dunia dewasa ini disatukan oleh sistem

komunikasi dunia. Kejadian di suatu masyarakat atau di suatu tempat tidak

akan luput dari sototan media komunikasi sehingga masyarakat di tempat lain

pun mengetahuinya. Iklim keterbukaan itu akibat perkembangan teknologi

informasi yang merupakan bagian dari perkembangan iptek. Dengan sistem

komunikasi dunia yang terbuka, persoalan lintas budaya menjadi tak

terelakan lagi.

Secara umum, persoalan lintas budaya umumnya terkait dengan

perkembangan di dunia memengaruhi atau dipengaruhi. Persoalan lintas

budaya dapat diartikan pula sebagai perkembangan modernisasi yang

berkembang terus menjadi globalisasi. Globalisasi adalah sistem atau tatanan

yang menyebabkan suatu negara tidak mungkin mengisolasi diri akibat

kemajuan teknologi dan komunikasi. Dalam era globalisasi unsur-unsur

budaya saling memengaruhi dari satu budaya ke budaya lain. Pengaruh

globalisasi tersebut dapat dikelompokkan pada dua macam, yaitu : pengaruh

positif dan negatif.

Pengaruh positif, bisa berwujud pengembangan ilmu pengetahuan,

berkembangnya teknologi yang lebih baik, perkembangan sistem pemerintah,

perekominian, politik mengarah pada pelaksanaan yang lebih sistematis dan

logisrasional. Dampak negatif dari globalisasi adalah bergesernya norma dan

nilai moral, sehingga ukuran norma dan nilai menjadi lebih lunak. Dari sisi

ke-Indonesia-an, persoalan lintas budaya ini adalah: (1) kesenjangan

kebudayaan (cultural lag), (2) terjadi guncangan budaya (cultural shock).

1. Kesenjangan kebudayaan adalah pertumbuhan atau perubahan unsur

kebudayaan tidak sama cepatnya. Ogburn berpendapat, bahwa perubahan

kebudayaan materiil cenderug lebih cepat dibandingkan perubahan

kebudayaan immateriil. Ketidakseimbangan perubahan kebudayaan

materiil dengan kebudayaan immateriil disebut kesenjangan kebudayaan.

Kesimbangan dalam kehidupan masyarakat (social equilibrium) tidak

selalu berarti tidak menginginkan perubahan atau berhenti pada suatu

133

titik. Tetapi makskudnya, perubahan yang terjadi dalam suatu unsur tidak

mengganggu unsur yang lain atau unsur yang lain diharapkan

menyesuaikan diri sehingga terjadi keseimbangan

2. Guncangan kebudayaan adalah ketidaksesuaian unsur-unsur yang

saling berbeda sehingga menghasilkan pola kehidupan sosial ylng

tidak serasi fungsinya bagi masyarakat. Ada empat tahap yang

membentuk siklus cultural shock, yaitu:

a. Tahap inkubasi; kadang-kadang disebut tahap bulan madu, sebagai

pengalaman baru yang menarik.

b. Tahap krisis; ditandai dengan suatu perasaan dendam, pada saat

inilah terjadi korban cultural shock.

c. Tahap kesembuhan; korban mampu melampaui tahap kedua, hidup

dengan damai;

d. Tahap penyesuian diri: sekarang orang tersebut sudah

membanggakan sesuatu yang dilihat dan dirasakannya dalam

kondisi yang baru; rasa cemas dalam dirinya sudah berlaku.

Penyesuaian diri antarbudaya dipengaruhi oleh berbagai faktor, di

antaranya faktor internal dan eksternal. Faktor internal, menurut Brislin

(1981) ialah watak (trait) dan kecakapan (skills). Watak ialah segala tabiat

yang membentuk seluruh kepribadian seseorang, yang dalam bahasa

sehari-hari biasanya merupakan jawaban dan pertanyaan, ”Orang macam

apa dia?Jababannya : emosional, pemberani, bertanggung jawab, senang

bergaul dan seterusnya. Kecakapan (skill) meyangkut budaya yang dapat

dipelajari mengenai lingkungan budaya yang akan dimasuki,

sepertibahasa, adat istiadat, tata krama, keadaan geografis, keadaan

ekonomi, dan lain sebagaiuya.

Selain kedua faktor di atas, sikap (uftitude) seseorang berpengaruh

terhadap penyesuaian diri antarbudaya. Menurut Alport, yang dimaksud

dengan sikap adalah kesediaan mental yang terbina melaiui pengalaman

yang memberikan pengarahan atau penbaruh bagaimana seseorang

134

menanggapi segala macam objek atau situasi yang dihadapinya.

Faktor eksternal vang berpengaruh terhadap penyesuaian diri

antarbudaya adalah:

a. Besar kecilnya perbedaan antar kebudayaan tempat asalnya dengan

kebudayaan lingkungan yang dimasukinya.

b. Pekerjaan yang dilakukannya, yaitu apakah pekerjaan yang

dilakukannya itu dapat ditoleransi dengan latar belakang

pendidikannya atau pekerjaan sebelumnya.

c. Suasana lingkungan tempat ia bekerja. Suasana lingkungan yang

terbuka akan mempermudah seseorang menyesuaikan diri bila

dibandingkan dengan suasana lingkungan yang tertutup.

Dengan demikian penting kemudian mencermati lingkungan

sekitar kita dalam beraktivitas dan bertindak. Lingkungan yang berasal

dari luar dan bernilai positif dapat diadaptasi dan dipraktikkan menjadi

kebiasaan keseharian. Demikian sebaliknya lingkungan yang negatif dapat

mengubah atau bahkan merusak kebiasaan yang telah berjalan baik selama

ini.

135

BAB 9

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Mendekati pelbagai realitas dan fenomena sosial-budaya saat ini sering

kali membutuhkan pengkajian secara bersama dalam pelbagai sudut pandang

yang luas dengan tetap mempertahanhan perspektif keilmiahan masing-masing

bidang keilmuan. Kajian multidisipliner dibutuhkan untuk memberihan

penjelasan lebih terbuka dan luas terkait kerumitan sosial-budaya yang telah

semakin kompleks.

Kebudayaan dalam konteks keindonesiaan beberapa tahun terakhir

telah diguncang oleh serbuan kebudayaan asing sehingga memengaruhi

perilaku dan tata hidup generasi muda. Kebudayaan asing dalam realitasnya

harus diakui telah berhasil memengaruhi arah kebudayaan Indonesia yang

multikultur. Lahirnva budaya hybrid (persilangan instan) seperti kebiasaan

minum Coca Cola, bermain facebook, pakaian jeans, nongkrong di mall, dan

ngedate/pacaran yang di kalangan generasi muda saat ini merupakan perilaku

sosial yang dibiasakan dan mendapat pemakluman bersama dari publik,

merupakan cermin dari perubahan kebudayaan masyarakat yang dinamis,

sekaligus instan.

Problematika kehidupan tersebut perlu ditelaah dan disikapi dengan

serius guna tidak jatuh pada penafsiran kebudayaan yang keliru. Karena tujuan

akhir dari pengembangan kebudayaan sejatinya ialah untuk kemajuan

peradaban manusia yang lebih baik. Sebagai bangsa yang bermartabat,

kebudayaan Indonesia haruslah ditempatkan sebagai konsepsi dan strategi

dalam pembangunan nasional. Dengan ini, proses integrasi sosial dan politik

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap kukuh terpelihara.

Demikian juga tujuan kesejahteraan sosial bagi setiap warga negara RI dapat

tercapai.

136

B. TINJAUAN KE DEPAN

Mahasiswa dan para pengkaji keilmuan sosial dan budaya perlu

memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang keanekaragaman, kesetaraan,

dan kemartabatan manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Dengan ini,

ia memiliki sikap kritis, peka, dan arif atas setiap keragaman budaya dan

kultur dalam kehidupan bermasyarakat.

Untuk itu, penting menyampaikan tinjauan kondisi terkini untuk

dijadikan bahan kajian bersama ke depan. Beberapa problematika sosial-

budaya dan politik yang beberapa tahun terakhir muncul di hadapan publik

dan dianggap penting untuk dijadikan sorotan banyak pihak sebagai berikut:

1) Bagaimana menyikapi pelbagai perilaku elite yang telah kehilangan hati

nurani, kejujuran, dan nilai etis yang sering kali ditampilkan di ruang

publik?

2) Penataan birokrasi (Good Governance) yang lambat akibat dampak

korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah membakar menjadi

permasalahan krusial yang menyedot perhatian publik.

3) Kemiskinan, kawasan tertinggal, terpencil, dan persoalan kesejahteraan

sosial dinilai masih menjadi catatanpenting bagi pembenahan strategi

perekonomian Indonesia ke depan.

4) Kondisi lingkungan hidup yang semakin buruk seperti hutan gundul akibat

pembakaran dan pembakaran hutan, rumah kaca, sampah, limbah industri,

pencemaran lingkungan, dan kesadaran hidup sehat, bagaimana penataan

dan pengelolaannya?

5) Pelajaran dari Maluku dan Sulewesi terkait bencana sosial berupa konflik

etnik dan religius (1998-2003) menjadi sorotan tajam tentang upaya

pembenahan kerukunan hidup antar-umat bcragama yang belum optimal,

bagaimana menyikapinya untuk pemeliharaan kerukunan di tempat lain?

6) Bagaimana mewujudkan masyarakat multikultur dan memanfaatkan

kondisi masyarakat yang multikultur tersebut bagi pembangunan nasional

di Indonesia?

137

7) Bagaimana seharusnya generasi muda menyikapi seni dan kesenian di

tengah deras globalisasi, yaitu meletakkan mana yang seni dan mana yang

pornografi/pornoaksi? Dampak negatif kemajuan teknologi informasi

seperti internet, HV, komputer, dan TV sangat berpengaruh bagi

keberhasilan pendidikan akhlak dan karakter anak-anak bangsa.

Bagaimana peran ilmuwan sosial, teknologi, humaniora, dan agamawan

dengan kondisi tersebut?

8) Munculnya beragam keyakinan dan akidah baru termasuk menjamurnya

lembaga keagamaan baru di Indonesia menjadi bagian dari kerumitan

sosial yang akhir-akhir ini sering muncul ke permukaan. Tidak jarang

persoalan tentang beda keyakinan dan akidah berujung pada benturan fisik

baik secara horizontal dan vertikal. Gejala sosial seperti ini penting

menjadi telaah serius ke depan.

9) Perubahan iklim dan cuaca yang terjadi di hampir seluruh belahan dunia,

khususnyadi Indonesia, juga menjadi kajian utama yang dicarikan

solusinya ke depan. Hal ini terutama kaitannya dengan pendapatan

perekonomian primer masyarakat Indonesia seperti bidang pertanian,

peternakan, dan perikanan.

10) Pemanfaatan potensi kelautan dan pariwisata nasional yang mulai lesu

setelah perubahan iklim dan cuaca dekade terakhir yang tidak menentu,

utamanya akibat gempa dan tsunami.

138